81
BAHAYA LONGSOR DI DAERAH VULKANIK KABUPATEN SUKABUMI BAGIAN UTARA SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

BAHAYA LONGSOR DI DAERAH VULKANIK …repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/80793/1/A16sha.pdf · geomorfologi Gunung Gede Pangrango dilihat dari citra SRTM resolusi 30 m

Embed Size (px)

Citation preview

BAHAYA LONGSOR DI DAERAH VULKANIK KABUPATEN

SUKABUMI BAGIAN UTARA

SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Bahaya Longsor di

Daerah Vulkanik Kabupaten Sukabumi Bagian Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Siti Huzaimah Aslamiah Badrudjaman NIM A14110065

ABSTRAK

SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN. Bahaya Longsor di Daerah Vulkanik Kabupaten Sukabumi Bagian Utara. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan BABA BARUS.

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah yang sering mengalami bencana longsor dan sering memberikan dampak kerugian baik materi maupun korban jiwa. Tujuan penelitian ini adalah melakukan, identifikasi titik longsor, mengetahui faktor utama penyebab longsor, dan melakukan estimasi persebaran daerah bahaya longsor. Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sukabumi bagian utara pada unit geomorfologi vulkanik: Gede Pangrango, Salak, dan Talaga. Metode yang dipakai dalam penelitian ini meliputi analisis tumpang tindih (overlay), analisis regresi logistik ordinal, dan analisis multi kriteria (pembobotan dan skoring). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 76 titik longsor yang ditemukan di lapangan dan terjadi pada penggunaan lahan sawah, kebun campuran, dan permukiman. Secara administratif jumlah kejadian longsor tertinggi ditemukan di Kecamatan Kadudampit dan terendah di Kecamatan Cibadak berturut-turut sebesar 15 dan 2 titik longsor. Dalam hal ini penggunaan lahan sawah memiliki jumlah kejadian longor yang paling tinggi (33 kejadian longsor) dibandingkan dengan penggunaan lainnya. Dari hasil observasi lapangan didapatkan bahwa titik longsor terjadi pada lereng-lereng yang telah mengalami pemotongan oleh aktivitas manusia. Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap longsor (bobot paling tinggi) untuk daerah penelitian adalah curah hujan, kemudian diikuti oleh faktor lereng, jenis tanah, litologi, elevasi, landform, dan penggunaan/penutupan lahan. Untuk melakukan estimasi bahaya longsor di daerah penelitian dilakukan dengan dua pendekatan yaitu berdasarkan hasil analisis statistik dan studi literatur. Hasil uji akurasi berdasarkan kerapatan jumlah kejadian longsor menunjukan bahwa kedua metode rendah dikarenakan jumlah kejadian longsor terbanyak berada pada kelas bahaya sedang.

Kata Kunci: Bahaya, Longsor, Sukabumi, Vulkanik, Geomorfologi

ABSTRACT

SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN. Landslide Hazard of Northern Sukabumi district Volcanic area. Supervised by BOEDI TJAHJONO and BABA BARUS.

Sukabumi regency is one of the most area having high landslide frequency, causing loss of material and lives. The aim of this research were to identify landslides location, identify their main cause factor, and to estimate the distribution of hazard area. The study area comprised of volcanic geomorphological unit of the northern side of Sukabumi regency i.e. Gede Pangrango, Salak, and Talaga. The method used in this study were the spatial overlay analysis, ordinal logistic regression analysis, and multi-criteria analysis (weighting and scoring). The result showed that there were 76 point landslides location found in the field, occurred on paddy field, mix garden, and settlements. Administratively, Kecamatan Kadudampit had the most point of landslide conversly Kecamatan Cibadak had the lowest one, succesively 15 and 2 points. The paddy field land use had the most frequent of landslide (33 landslide) in compared to other land uses. Through field observation, most of landslide occurred at hillside which were cut by human activities. Based on regression analysis, the main factors of landslide cause (highest weight) were rainfall, followed by slope factor, soil type, lithology, elevation, landform, and land cover/land use. The estimation of landslide hazard area was done based on statistical result and literature study. The result of accuraccy test based on density number shows that both of methods are low, since the most number of landslide located in medium class of hazard.

Keywords: Landslide, hazard, Sukabumi, Volcanic, Geomorphology

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

BAHAYA LONGSOR DI DAERAH VULKANIK KABUPATEN

SUKABUMI BAGIAN UTARA

SITI HUZAIMAH ASLAMIAH BADRUDJAMAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penelitian ini berjudul “Bahaya Longsor di Daerah Vulkanik Kabupaten Sukabumi Bagian Utara”. Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr Boedi Tjahjono, selaku pembimbing I yang telah memberikan arahan dan

bimbingan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi. 2. Dr Baba Barus, MSc selaku pembimbing II yang telah memberikan motivasi

dan masukan bagi penulis selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi. 3. Dr DPT Baskoro selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan bagi

penulis. 4. Orang tua tercinta (Bapak Tjetjep Badrudjaman dan Ibu Ratnaningsih) dan

kakakku tersayang (Abdullah Sandi Nubara, Sugih Wibawa Mukti, Harry Meilan Kuswara, Hady Hardiansyah), atas doa perhatian dan dukungan kepada penulis.

5. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan ilmu, bantuan dan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan studi.

6. BPBD Kabupaten Sukabumi dan BPD setempat yang telah memberikan informasi dan bantuan kepada penulis.

7. Teman seperjuangan di Lab PPJ (Indah, Novi Endang, Wiwid, Yuli, Anis, Arroyan, Fitri Maktuah, Diendra, Zahra, Roki, Noviana, Meilani, Bang Rizal Kak Lucy, Ka Papink, Bang Dicky, dan Kak Ardya) atas saran dan motivasi kepada penulis.

8. Rekan-rekan MSL’48 (Frans, Stevia, Bunga, Eka), Abang dan Kakak MSL’47, MSL’46, MSL’45 dan Adik Ilmu Tanah yang Tidak Dapat disebutkan, terimakasih untuk kebersamaan dan dukungannya.

9. Rekan rekan lain dari Institut Pertanian Bogor (Shabira, Puspa, Eca, Mae, Fely, Dinar, Andri, dan Ignas) yang telah memberikan semangat.

10. Semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Akhir kata semoga karya Ilmiah ini bermanfaat Bagi para pembaca dan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

Bogor, April 2016

Siti Huzaimah Aslamiah Badrudjaman

NIM. A14110065

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Definisi Longsor dan Bahaya Longsor 2

METODOLOGI PENELITIAN 5

Waktu dan Lokasi Penelitian 5

Bahan dan Alat Penelitian 6

Metode Penelitian 6

Tahap Persiapan 6

Tahap Kerja Lapang 7

Tahap Analisis Data 7

KONDISI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN 13

Lokasi 13

Kondisi Geografis 13

Estimasi Persebaran Spasial Daerah Bahaya Longsor 36

SIMPULAN DAN SARAN 41

Simpulan 41

Saran 41

DAFTAR PUSTAKA 42

LAMPIRAN 45

RIWAYAT HIDUP 65

DAFTAR TABEL

1. Data sekunder penelitian 6 2. Analisis matriks parameter penentu longsor 7 3. Skor masing-masing parameter bahaya longsor 8 4. Bobot dan perhitungan masing-masing parameter bahaya longsor berdasarkan statistik 9 5. Ranking setiap parameter berdasarkan studi literatur 10 6. Bobot dan perhitungan masing-masing parameter bahaya longsor berdasarkan studi literatur 10 7. Klasifikasi bahaya longsor 11 8. Sebaran jumlah titik longsor dari setiap unit geomorfologi 17 9. Jumlah kejadian longsor berdasarkan administrasi 17 10. Derajat hubungan antara variabel longsor di lapangan 35 11. Klasifikasi tingkat bahaya longsor berdasarkan hasil analisis statistik 37 12. Klasifikasi tingkat bahaya longsor berdasarkan hasil studi literatur 37 13. Jumlah kejadian longsor pada kelas bahaya berdasarkan hasil analisis statistik 37 14. Jumlah kejadian longsor pada kelas bahaya berdasarkan studi literatur 40 15. Kerapatan kejadian longsor/100km2 berdasarkan hasil analisis statistik 40 16. Kerapatan kejadian longsor/100km2 berdasarkan studi literatur 41

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir penelitian 12 2. Luas daerah penelitian berdasarkan kelas kemiringan lereng: (a) luas dalam % dan (b) luas dalam hektar 13 3. Peta administrasi lokasi penelitian 14 4. Luas daerah penelitian berdasarkan jenis tanah: (a) luas dalam % dan (b) luas dalam ha 15 5. Luas daerah penelitian berdasarkan sifat batuan: (a) luas dalam % dan (b) luas dalam ha 15 6. Kondisi geomorfologi daerah penelitian. (a) unit geomorfologi Gunung Talaga, (b) unit geomorfologi Gunung Salak, dan (c) unit geomorfologi Gunung Gede Pangrango dilihat dari citra SRTM resolusi 30 m 16 7. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan unit geomorfologi 18 8. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan elevasi 19 9. Kejadian longsor berdasarkan elevasi. (a) Lokasi longsor pada ketinggian <600 mdpl (Kecamatan Parakan Salak) dan (b) lokasi longsor pada ketinggian >600 mdpl (Kecamatan Sukabumi) 19 10. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan elevasi 20

11. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan jenis batuan 21 12. Contoh kejadian longsor di lapangan (a) batuan dari endapan lahar di sekitar kejadian longsor dan (b) longsor di lapangan dari endapan lahar yang menewaskan 3 korban jiwa yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2015 21 13. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan litologi 22 14. Grafik hubungan antara jumlah titik longsor dengan jenis tanah 23 15. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan jenis tanah 24 16. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan curah hujan 25 17. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan curah hujan 26 18. Grafik hubungan jumlah titik dengan kemiringan lereng 27 19. Longsor akibat pemotongan lereng di tepi jalan 27 20. Sebaran titik-titik longsor dalam kaitannya dengan kelas lereng 28 21. Hubungan antara jenis penutupan/penggunaan lahan dengan jumlah titik longsor 29 22. (a) contoh sawah yang berada di lokasi penelitian dan (b) contoh longsor kecil di areal persawahan 30 23. (a) contoh longsor pada bagian bawah lereng dan (b) contoh longsor di areal permukiman 30 24. (a) contoh kejadian longsor di tepi jalan pada kebun campuran meskipun sudah diberi bangunan penguat lereng (turap), (b) pemotongan lereng pada kebun campuran untuk jalan, (c) kondisi lereng yang terpotong untuk jalan di antara perkebunan, dan (d) bekas longsoran pada hutan yang kini telah diberi penguat lereng berupa turap 31 25. Sebaran titik longsor dalam kaitannya dengan penutupan/penggunaan lahan 32 26. Hubungan antara bentuklahan dengan jumlah titik longsor 33 27. Sebaran titik longsor dalam kaitannya dengan bentuklahan (landform) 34 28. Sebaran titik longsor berdasarkan pendekatan statistik 38 29. Sebaran titik longsor berdasarkan pendekatan studi literatur 39

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kelas dimensi longsor 47 2. Data GPS titik longsor di lapangan 47 3. Data longsor pada unit vulkanik Gede-Pangrango 50 4. Data longsor pada unit vulkanik Salak 53 5. Data longsor pada unit vulkanik Talaga 56 6. Hasil perhitungan statistik 58 7. Kenampakan penutupan/penggunaan lahan pada citra dan di lapangan 60 8. Contoh longsoran pada masing-masing unit geomorfologi 62 9. Longsor yang telah menewaskan korban jiwa 64

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara geotektonik, Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia (Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik) dan secara klimatologis Indonesia beriklim tropika basah. Konsekuensi kondisi ini adalah bahwa wilayah Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap beberapa bencana, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunungapi, banjir, maupun tanah longsor.

Tanah longsor merupakan proses geomorfik yang sering terjadi di Indonesia terutama di musim hujan. Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa bebatuan, bahan rombakan tanah, atau campuran keduanya yang bergerak ke bawah atau ke luar lereng (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2005). Menurut Yunianto (2011), tanah longsor merupakan bencana alam yang dapat diramalkan kedatangannya. Hal ini dikarenakan longsor erat kaitannya dengan curah hujan. Pada prinsipnya tanah longsor dapat terjadi apabila kondisi gaya pendorong pada suatu lereng nilainya lebih besar daripada gaya penahan. Gaya penahan banyak dipengaruhi oleh kekuatan batuan maupun kepadatan tanah, sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, kandungan air, besarnya beban lereng, serta berat jenis tanah dan bebatuan. Dijelaskan oleh Alhasanah (2006), bahwa secara alamiah faktor penyebab tanah longsor meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan gempa.

Di Indonesia, Provinsi Jawa Barat dikenal sebagai daerah yang paling rawan terhadap longsor. Provinsi ini memiliki kondisi geografis yang dominan berbukit, bergunung, dan berlembah serta mempunyai curah hujan yang tinggi. Menurut Alhasanah (2006), sejak tahun 1990 hingga tahun 2000, di Provinsi Jawa Barat telah terjadi 483 kali longsor yang telah menelan korban jiwa sebanyak 249 orang dan 108 orang luka-luka, 529 unit rumah hancur, 3.753 unit rumah rusak, dan 2.300 unit rumah terancam. Secara statistika, rata-rata bencana longsor yang terjadi setiap tahun di Jawa Barat sebanyak 64 lokasi, dengan korban jiwa berkisar 2 sampai 35 orang dan 78 unit rumah rusak. Adapun beberapa daerah yang tergolong rawan longsor di wilayah Jawa Barat menurut PVMBG (2005) adalah Kabupaten Bandung, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasikmalaya, Ciamis, Majalengka, Kuningan, dan Cirebon.

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu contoh wilayah yang sering mengalami bencana longsor (BPBD, 2011). Berdasarkan data pemetaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), di Kabupaten Sukabumi terdapat 31 kecamatan yang rentan terhadap bencana longsor. Kecamatan-kecamatan tersebut antara lain Kalapangunggal, Cibadak, Nagrak, Kadudampit, Gunungguruh, Gegerbitung, Cireunghas, Nyalindung, Cisolok, Bantargadung, Warungkiara, Curugkembar, Sagaranten, Cidolog, Tegal Buleud, dan Jampang Kulon. Bencana longsor yang pernah terjadi di wilayah-wilayah tersebut menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian yang mencapai milyaran rupiah, sehingga longsor menjadi masalah yang serius di Kabupaten Sukabumi. Sebagai contoh pada tanggal 28 Maret 2015 pukul 22.30 WIB, longsor terjadi di Kampung Cimerak, Desa Tegal Panjang, Kecamatan Cireunghas menimbun 11 rumah dengan 11 kepala keluarga (30 Jiwa), dan sebanyak 13 orang meninggal akibat longsor tersebut (Viva, 2015). Sementara itu beberapa hari sebelumnya, pada tanggal 11

2

Maret 2015, longsor terjadi di Desa Pasawahan Kecamatan Cicurug dengan memakan korban sebanyak 3 orang. Proses evakuasi melibatkan 197 petugas gabungan dan alat berat karena kondisi medan yang cukup berat (Republika, 2015).

Mengingat tingginya ancaman longsor di Kabupaten Sukabumi, maka kajian persebaran lokasi-lokasi daerah rawan longsor dan penyebab utama kejadian longsor di wilayah ini sangat diperlukan. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat membantu pemerintah daerah maupun masyarakat dalam memanfaatkan lahan secara arif (efektif dan efisien) dan dapat menunjang program mitigasi bencana daerah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan identifikasi titik longsor di lapangan dan analisis hubungannya dengan parameter penyebab longsor, (2) menentukan parameter utama penyebab longsor, serta (3) melakukan estimasi persebaran spasial daerah bahaya longsor.

Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan tujuan yang telah dipaparkan, diharapkan penelitian ini dapat memberikan mafaat, kepada:

1. Peneliti, terutama untuk menambah wawasan pengetahuan terkait bencana longsor.

2. Masyarakat, menambah pemahaman tentang bahaya dan bencana longsor. 3. Pemerintah Kabupaten Sukabumi, untuk pengelolaan daerahnya agar dapat

menekan kerugian atau risiko akibat bencana longsor.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Longsor dan Bahaya Longsor

Cruden (1991) dalam Alhasanah (2006), mengemukakan bahwa longsor (landslide) adalah massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (percampuran tanah dan batuan) yang bergerak menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh pengaruh gravitasi terhadap batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable). Lapisan kedap air tersebut dalam hal ini berfungsi sebagai bidang luncur. Sementara itu Hardiyatmo (2006), mengatakan bahwa longsoran (landslide) adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya pergeseran di sepanjang satu atau lebih bidang longsor.

Adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh longsor tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang dapat melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Dengan demikian dampak bencana alam dapat meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia. Oleh karenanya Glade et al. (2005),

3

mengatakan bahwa tanah longsor merupakan ancaman terhadap kehidupan dan penghidupan di seluruh dunia.

Menurut UN/ISDR (2009) dalam Ikqra (2012) bahaya adalah potensi kehancuran fisik dan aktifitas manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa atau terluka, kehancuran harta benda, gangguan sosial dan ekonomi atau degradasi lingkungan. Dalam hal ini bahaya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dalam kondisi yang terpendam (latent) disebabkan oleh kondisi alam (geologi, hidrometeorologi, dan biologi) dan oleh aktifitas manusia (degradasi lingkungan dan teknologi). Dengan demikian bahaya longsor adalah suatu potensi terjadinya longsor dalam waktu dekat yang dapat menimbulkan bencana.

Faktor Penyebab Longsor

Kementrian Pekerjaan Umum (2007), menjelaskan bahwa beberapa faktor penyebab terjadinya longsor antara lain adalah curah hujan, lereng, tekstur dan jenis tanah, batuan, jenis tata lahan, getaran, material timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, penggundulan hutan, dan daerah pembuangan sampah.

a. Curah Hujan

Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena air akan masuk melalui tanah yang merekah dan terakumulasi di dasar lereng, sehingga dapat menimbulkan gerakan. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan dan akar tumbuhan berfungsi mengikat tanah.

b. Lereng

Menurut Karnawati (2001), kelerengan menjadi faktor yang sangat penting dalam proses terjadinya longsor. Hal ini disebabkan lereng yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Wilayah dengan kemiringan lereng antara 0-15% akan stabil terhadap kemungkinan longsor, sedangkan kemiringan di atas 15% potensi untuk terjadi longsor (pada saat musim penghujan dan terjadinya gempa bumi) akan semakin besar.

c. Tekstur dan Jenis Tanah (Karakteristik Tanah)

Jenis tanah yang kurang padat seperti tanah lempung atau tanah liat, memiliki potensi untuk longsor terutama pada musim penghujan. Menurut Sitorus (2006), jenis tanah merupakan faktor yang sangat menentukan potensi erosi dan longsor, karena tanah memiliki sifat meloloskan air (permeabilitas). Sifat ini dapat menggambarkan kuat atau lemahnya daya ikat (kohesi) tanah, sehingga tanah yang gembur akan mudah dilalui air hingga masuk ke dalam penampang tanah. Hal tersebut menyebabkan tanah yang gembur akan lebih berpotensi longsor jika dibawahnya ada lapisan yang lebih padat (massive).

d. Batuan

Batuan endapan gunungapi dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Bahan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

4

e. Jenis Tata Lahan Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan atau penggunaan lahan

persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akar tanaman padi tidak mampu untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek serta jenuhnya air menyebabkan tanah mudah terjadi longsor. Adapun untuk daerah perladangan penyebab longsor adalah karena akar tumbuhan tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

f. Getaran

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak dan dapat terjadi longsor.

g. Material Timbunan pada Tebing

Untuk mengembangkan dan memperluas lahan permukiman, umumnya orang melakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah umumnya belum terpadatkan secara sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya, sehingga apabila hujan turun, maka akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti oleh retakan tanah.

h. Penggundulan Hutan

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul, dimana kurangnya tutupan vegetasi menyebabkan pengikatan air tanah sangat kurang.

Jenis-jenis Longsor

Longsor menurut PVMBG (2012) dibedakan menjadi enam jenis, yakni longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan: 1. Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang

gelincir berbentuk rata atau gelombang landai. 2. Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang

gelincir berbentuk cekung. 3. Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang

gelincir yang berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran blok batu. 4. Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak

ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng terjal dan menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah.

5. Rayapan tanah adalah jenis gerakan tanah yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis gerakan tanah ini hampir tidak dapat dikenali, namun dalam waktu yang cukup lama rayapan ini dapat ditunjukkan oleh adanya tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah yang menjadi miring ke bawah.

6. Aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak karena terdorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume, dan

5

tekanan air, serta jenis materialnya. Longsor jenis ini sering kali memakan korban dalam jumlah yang banyak.

Menurut Fransiska (2014) dari keenam jenis longsor tersebut, jenis

longsoran translasi dan longsoran rotasi merupakan jenis longsoran yang banyak terjadi di Indonesia.

Penelitian Sebelumnya

Identifikasi titik longsor di lapangan sangat penting. Namun, dalam pelaksanaannya identifikasi tersebut tidak mudah, terutama pada lokasi yang jauh dan mempunyai relief perbukitan atau pegunungan yang sulit dijangkau. Dalam hal ini pemanfaatan data penginderaan jauh menjadi sangat penting karena dapat membantu mengidentifikasi titik longsor secara efisien. Oleh karena itu, beberapa penelitian telah banyak dilakukan dengan menggunakan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geospasial (SIG). Penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1997). Adapun SIG menurut Barus dan Wiradisastra (2000), adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data bereferensi spasial atau berkoordinat geografis. Penelitian-penelitian longsor yang memakai data penginderaan jauh dan SIG telah banyak, namun parameter yang digunakan untuk menilai kerentanan atau bahaya longsor agak bervariasi. Fransiska (2014) menggunakan parameter longsor kemiringan lereng, jenis tanah, iklim atau curah hujan, dan penggunaan/penutupan lahan dengan studi kasus Kabupaten Agam. Ikqra (2012) menggunakan kemiringan lereng, jenis tanah, penggunaan lahan dan bentuklahan untuk mengukur tingkat bahaya longsor di Pulau Ternate, sedangkan Silviani (2013) mengukur tingkat bahaya longsor di DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan parameter yang disintesis dari berbagai sumber, yaitu curah hujan, kemiringan lereng, geologi, jenis tanah, dan penggunaan lahan. Parameter-parameter tersebut dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan MCE

(Multi Criteria Evaluation) dengan pembobotan (weighting) dan scoring dalam SIG.

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2015 di Kabupaten Sukabumi bagian utara sebagai tempat studi kasus penelitian. Daerah penelitian mencakup 24 wilayah kecamatan (Gambar 1), yaitu Parakansalak, Bojong Genteng, Caringin, Ciambar, Cibadak, Cicantayan, Cicurug, Cidahu, Cikakak, Cikembar, Cikidang, Cireunghas, Cisaat, Cisolok, Kabandungan, Kadudampit, Kalapanunggal, Kebon Pedes, Nagrak, Parungkuda, Sukabumi, Sukalarang, Sukaraja, dan Warung Kiara. Analisis data dilakukan di Divisi Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

6

Bahan dan Alat Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan pengecekan titik longsor di lapangan, sedangkan data sekunder diambil dari citra Landsat 8 tahun 2014, citra SRTM resolusi 30x30 m, peta administrasi Kabupaten Sukabumi, peta digital curah hujan lembar Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, peta digital geologi skala 1:100.000, peta sungai, dan peta jalan. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi GPS, Kompas Geologi, Kamera, Abney Level, alat tulis dan seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Word 2007,

Microsoft Excel 2007, ArcGIS 10.2.2, Global Mapper 15, SPSS 16, ENVI 4.5, dan ERDAS IMAGINE 2014. Semua data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data sekunder penelitian No Data Skala/Resolusi

Spasial Sumber

1. Citra Landsat TM 8 Akuisisi 9 Juni 2014

30x30 m www.earthexplorer.usgs.gov

2. Citra SRTM 30x30 m www.earthexplorer.usgs.gov 3. Peta Geologi Digital Lembar

Jawa Barat 1:100.000 Pusat Penelitian dan

Penelitian Geologi 4. Peta Curah Hujan Kabupaten

Sukabumi 1:50.000 Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah 5. Peta Adimintrasi Kabupaten

Sukabumi 1:50.000 Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah 6. Peta Jenis Tanah Kabupatan

Sukabumi 1:50.000 Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah

Metode Penelitian

Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan interpretasi geomorfologis melalui citra SRTM-30 m yang dibantu dengan peta geologi. Tujuannya adalah untuk menentukan batas wilayah penelitian yang meliputi bentanglahan vulkanik di Kabupaten Sukabumi bagian utara. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan analisis kemiringan lereng dari citra SRTM serta klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dari Landsat TM 8. Hasilnya disajikan dalam bentuk peta tematik, yaitu peta unit geomorfologi, peta bentuklahan, dan peta penutupan/penggunaan lahan. Sebelum melakukan kerja lapangan, pada tahap ini dilakukan terlebih dahulu penentuan parameter longsor melalui analisis matriks yang mengacu pada parameter yang telah dipakai oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Alhasanah, 2006; Damanik, 2015; Fransiska, 2014; Ikqra, 2012; Mukti, 2012; Silviani, 2013; dan Yunianto, 2011). Tabel 2 berikut menyajikan bentuk analisis matriks dari berbagai literatur.

7

Tabel 2. Analisis matriks parameter penentu longsor

Literatur

Parameter Longsor

Kemiringan Lereng

Jenis Tanah

Iklim /Curah Hujan

Penggunaan /Penutupan

Lahan Geologi Elevasi Bentuk

Lahan Gangguan

lereng

Alhasanah, 2006 √ √ √ √ √

Damanik, 2015 √

√ √

√ √

Fransiska, 2013 √ √ √ √

Yunianto, 2011 √ √ √ √ √

Mukti,2012 √ √ √ √ √ √ Silviani,

2013 √ √ √ √ √ Ikqra, 2012 √ √ √ √ Total 7 6 6 7 4 1 3 1

Berdasarkan Tabel 2, maka semua parameter tersebut digunakan dalam penelitian ini yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, penggunaan/penutupan lahan, geologi, elevasi, bentuklahan, kecuali gangguan lereng. Hal ini disebabkan data parameter gangguan lereng atau lereng lokal (pemotongan lereng) tidak dapat digunakan untuk mewakili seluruh keadaan di lapangan.

Tahap Kerja Lapang

Pada tahap ini dilakukan pencarian dan pengambilan data longsor di lokasi-lokasi yang pernah mengalami longsor. Orientasi pencarian titik longsor mengacu pada data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi dan wawancara dengan penduduk lokal. Lokasi titik longsor diambil dengan GPS. Data di lokasi longsor yang diambil antara lain bentuklahan, jenis batuan (litologi), kemiringan lokal di titik longsor, jenis penutupan/penggunaan lahan, elevasi kejadian longsor, ukuran longsor, frekuensi longsor, serta data lainnya seperti dampak longsor terhadap penduduk lokal.

Tahap Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya diplot pada peta-peta tematik melalui analisis tumpang tindih (overlay) dengan software ArcGIS 10.2.2. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui keterkaitan antara titik longsor dengan faktor penentu longsor melalui Peta Administrasi, Peta Elevasi, Peta Litologi, Peta Jenis Tanah, Peta Curah Hujan, Peta Lereng, Peta Penutupan/penggunaan lahan, dan Peta Bentuklahan.

Analisis regresi logistik dengan software SPSS dilakukan untuk melihat faktor utama penyebab terjadinya longsor. Parameter yang digunakan untuk analisis adalah elevasi, litologi, jenis tanah, curah hujan, kemiringan lereng, penutupan/penggunaan lahan, dan bentuklahan.

Pemetaan Bahaya Longsor Analisis bahaya (hazard) longsor dilakukan dengan metode Multi Criteria

Evaluation (MCE) yang berbasiskan pada pembobotan dan skoring terhadap

8

parameter yang digunakan, yaitu elevasi, litologi, jenis tanah, curah hujan, lereng, penutupan/penggunaan lahan, dan bentuklahan. Besarnya skor dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Skor masing-masing parameter bahaya longsor

No Parameter Skor 1 Lereng

Sangat Curam (>40%) 5

Curam (25-40%) 4

Agak Curam (15-25%) 3

Landai (8-15%) 2

Datar (0-8%) 1

2 Elevasi

>2400 mdpl 5

1800-2400 mdpl 4

1200-1800 mdpl 3

600-1200 mdpl 2

<600 mdpl 1

3 Curah Hujan

5500-6000 mm/tahun 7

5000-5500 mm/tahun 6

4500-5000 mm/tahun 5

4000-4500 mm/tahun 4

2500-4000 mm/tahun 3

3000-3500 mm/tahun 2

2500-3000 mm/tahun 1

4 Jenis Tanah

Latosol 4

Andosol 3

Regosol 2

Alluvial 1

5 Bentuklahan (Landform)

VGP1 4

VGP2, VGP3, VS1, VS2, VS3, VS4, 3

VS5, VDT1, VDT2, VDT3, VDT4

VGP4, VDT4 2

6 Litologi

Tuff dan Lahar, Lahar 4

Tuff Lava 3

Breksi Tuff, Lava Tuff 2

Lava, Lava Breksi 1

9

No Parameter Skor 7 Penggunaan/Penutupan Lahan

Badan air 1

Hutan/Vegetasi 2

Pemukiman 3

Kebun Campuran/Semak 4

Sawah/Tanah Kosong 5

Sumber : Damanik (2015), Fransiska (2014), Ikqra (2012), Mukti (2012), dan Silviani (2013) dengan modifikasi

Pembobotan terhadap masing-masing parameter penentu longsor dihitung melalui persamaan yang digunakan oleh Silviani (2013) dan Ikqra (2012) sebagai berikut:

Keterangan :

wj = Nilai bobot yang dinormalkan n = Jumlah kriteria (k= 1, 2, 3, …, n) rj = Posisi ururtan kriteria

Analisis berikutnya adalah analisis untuk menilai bahaya longsor yang hasilnya digunakan untuk pemetaan. Dalam hal ini penilaian untuk estimasi bahaya longsor dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan hasil analisis statistik dan berdasarkan studi literatur. Sebelum menggunakan persamaan di atas, parameter penyebab longsor diurutkan terlebih dahulu berdasarkan parameter yang paling berpengaruh terhadap longsor (berdasarkan nilai signifikansi dari perhitungan regresi logistik ordinal). Berdasarkan analisis statistik yang telah dilakukan terhadap data yang diperoleh dan persamaan statistik yang diperoleh, maka nilai pembobotan dari masing-masing parameter disajikan seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Bobot dan perhitungan masing-masing parameter bahaya longsor berdasarkan statistik

Parameter Urutan Kriteria (rj)

Urutan Bobot ( n - rj + 1)

Bobot Normalisasi

Curah Hujan 1 7 25 Litologi 2 6 21 Penutupan/Penggunaan Lahan 3 5 18

Tanah 4 4 14 Lereng 5 3 11 Landform 6 2 7 Elevasi 7 1 4

wj = n – rj +1

∑ (n – rj +1)

10

Berdasarkan hasil perhitungan bobot tersebut, maka persamaan untuk membuat peta bahaya longsor (dengan model pendugaan) adalah sebagai berikut:

H = 25 (CH) + 21(LT) + 18(LuLc) + 14(T) + 11 (L) + 7(LF) + 4(E)

Keterangan : H = Bahaya Longsor (Hazard) CH = Curah Hujan LT = Litologi (batuan) LuLc = Penutupan/Penggunaan Lahan (Landuse/Landcover)

T = Jenis Tanah L = Kemiringan Lereng LF = Landform E = Elevasi

Beberapa literatur menyatakan bahwa lereng merupakan parameter yang berpengaruh terhadap longsor. Oleh sebab itu, dalam penentuan estimasi bahaya longsor urutan parameter dengan sistem ranking didasarkan pada studi literatur seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Ranking setiap parameter berdasarkan studi literatur

Parameter Fransiska (2014)

Silviani (2013)

Ikqra (2012)

Damanik (2015)

Mukti (2012)

Lereng 1 1 1 1 1 Curah Hujan 2 2 3 4 2 Penutupan/Penggunaan Lahan 3 3 4 5 4 Litologi 4 7 5 3 3 Jenis Tanah 5 4 6 2 6 Landform - - 2 - - Elevasi - - - - 5

Berdasarkan Tabel 5 tersebut dan perhitungan peluang urutan bobot dari literatur, maka dapat disusun bobot dari masing-masing parameter seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Bobot dan perhitungan masing-masing parameter bahaya longsor berdasarkan studi literatur

Parameter Urutan Kriteria (rj)

Urutan Bobot ( n - rj + 1)

Bobot Normalisasi

Lereng 1 7 25 Curah Hujan 2 6 21 Penutupan/Penggunaan Lahan 3 5 18

Litologi 4 4 14 Tanah 5 3 11 Landform 6 2 7 Elevasi 7 1 4

11

Berdasarkan hasil perhitungan bobot tersebut, maka persamaan untuk membuat peta bahaya longsor (model pendugaan) adalah sebagai berikut:

H = 25 (L) + 21(CH) + 18(LuLc) + 14(LT) + 11 (T) + 7(LF) + 4(E)

Keterangan : H = Bahaya Longsor (Landslide Hazard) L = Lereng CH = Curah Hujan LuLc = Penutupan/Penggunaan Lahan LT = Litologi (batuan) T = Jenis Tanah LF = Landform E = Elevasi

Hasil perhitungan dengan formulasi tersebut selanjutnya diklasifikasikan menjadi empat kelas bahaya, yaitu bahaya rendah, bahaya sedang, dan bahaya tinggi (Tabel 7). Pengklasifikasian dilakukan dengan menggunakan interval yang dihitung dengan rumus seperti beriku (Ikqra, 2012):

Tabel 7. Klasifikasi bahaya longsor

Kelas Tingkat Bahaya Selang Nilai 1 Ringan <108 2 Sedang 108-216 3 Tinggi >216

Secara ringkas, gambaran tahapan penelitian yang dilakukan secara berurutan disajikan pada diagram alir seperti pada Gambar 1.

Kelas Interval = Nilai Tertinggi - Nilai Terendah

Jumlah Kelas

12

Gam

bar 1

. D

iagr

am a

lir p

enel

itian

13

KONDISI GEOGRAFIS DAERAH PENELITIAN

Lokasi

Kabupaten Sukabumi merupakan kabupaten terluas kedua di Pulau Jawa. Kabupaten ini meliputi sebagian wilayah Gunung Gede-Pangrango, Gunung Salak, dan Gunung Talaga dan dalam penelitian ini digunakan sebagai daerah kajian. Secara geografis, ketiga unit wilayah ini berada di antara kordinat 60 44’10” LS sampai dengan 60 56’40” LS dan dari 1060 23’20” BT sampai dengan 1070 0’50” BT dengan luas total 106.380 ha. Secara administrasi batas-batas lokasi wilayah penelitian adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bogor Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia Sebelah Barat, berbatasan dengan Provinsi Banten Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur

Di dalam daerah penelitian terdapat sebagian kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang mempunyai bentanglahan (landscape) vulkanik. Lokasi daerah penelitian disajikan pada Gambar 3.

Kondisi Geografis

Daerah penelitian secara topografis merupakan daerah yang dominan berbukit dan bergunung. Kondisi kemiringan lereng dalam penelitian ini diperoleh dari hasil analisis data SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) dan kelas kemiringan lereng dikelompokan menjadi 5 kelas, yaitu datar (0-8%), landai (8-15%), agak curam (15-25%), curam (25-40%), dan sangat curam (>40%). Gambar 2, memperlihatkan proporsi luas di daerah penelitian berdasarkan kelas kemiringan lereng dan terlihat bahwa kelas kemiringan lereng terluas terdapat pada kelas agak curam (25%) dan curam (24%).

Gambar 2. Luas daerah penelitian berdasarkan kelas kemiringan lereng: (a) luas dalam % dan (b) luas dalam hektar

Kondisi hidrologi wilayah penelitian dicirikan oleh mata air dan air permukaan, seperti alian sungai Cimandiri, Cibareno, Cimaja, Cileuleuy, Cigunung, Cikahuripan, Cipalasari, Cibeureum, Cicurug, dan Citarik. Pola aliran yang berkembang dari sungai-sungai tersebut adalah pola radial dan pola dendritik.

(a) (b)

14

Gam

bar 3

. Pe

ta a

dmin

istra

si lo

kasi

pen

eliti

an

15

Jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian pada umumnya adalah jenis tanah Latosol, Andosol, dan Regosol yang berasal dari hasil erupsi gunungapi. Proporsi luas jenis tanah di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa jenis tanah terluas adalah jenis Latosol dengan luas wilayah 80.415 ha atau 76% dari luas daerah penelitian.

Gambar 4. Luas daerah penelitian berdasarkan jenis tanah: (a) luas dalam % dan (b) luas dalam ha

Secara geologis, daerah penelitian tersusun dari formasi geologi berumur Holosen, dan Pleistosen. Lokasi penelitian terletak pada daerah endapan vulkanik dari ketiga gunungapi yang mengacu pada peta geologi digital (PPPG, 1996). Sementara itu berdasarkan sifat batuan umumnya didominasi oleh batuan breksi tuff dengan luas wilayah 26.248 ha atau 25% dari luas wilayah total daerah penelitian (Gambar 5).

Gambar 5. Luas daerah penelitian berdasarkan sifat batuan: (a) luas dalam % dan (b) luas dalam ha

(b) (a)

(a) (b)

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Titik Longsor dan Hubungan antara Titik-titik Longsor dengan

Parameter Pembentuk Longsor

Identifikasi Titik Longsor

Daerah penelitian secara geomorfologi meliputi wilayah yang tercakup dalam jajaran pegunungan vulkanik berumur Kuarter yang terdiri dari tiga gunungapi, dimana kondisi dari dua gunungapi tergolong aktif (Gunung Gede dan Gunung Salak) dan satu gunungapi tergolong dormant (Gunung Talaga). Kenampakan geomorfologi dari ketiga unit vulkanik tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 menunjukkan bahwa kenampakan geomorfologi dari ketiga unit vulkanik tersebut pada citra lebih mudah dibedakan dari segi kenampakan teksturnya. Morfologi daerah vulkanik ini dicirikan oleh relief perbukitan dan pegunungan serta mempunyai pola aliran radial, sedangkan informasi litologi dapat diketahui dari peta geologi maupun observasi lapangan sehingga dapat membantu untuk mengetahui morfogenesis vulkanik daerah penelitian. Tingkat torehan dan tekstur permukaan lahan yang tampak pada citra membantu membedakan tahapan perkembangan bentuklahan atau morfokronologi dari setiap unit geomorfologi. Pada unit geomorfologi Gunung Gede-Pangrango terlihat bahwa torehan-torehan yang ada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan torehan pada unit geomorfologi pada Gunung Salak dan unit geomorfologi Gunung Talaga. Hal ini dikarenakan Gunung Gede-Pangrango relatif lebih muda dan masih aktif, sementara itu Gunung Salak tampak sudah lebih berkembang tingkat torehannya, apalagi pada Gunung Talaga yang relatif paling terdenudasi dan sudah lebih banyak mengalami perubahan pada bagian lerengnya

Gambar 6. Kondisi geomorfologi daerah penelitian. (a) unit geomorfologi Gunung Talaga, (b) unit geomorfologi Gunung Salak, dan (c) unit geomorfologi

Gunung Gede Pangrango dilihat dari citra SRTM resolusi 30 m

Berdasarkan hasil pencarian, identifikasi, dan pengamatan lapangan, titik-titik longsor yang diperoleh data sebanyak 76 titik yang meliputi titik-titik longsor baru (belum lama terjadi) dan titik-titik longsor lama (terjadi di tahun-tahun sebelumnya). Dari data tersebut, sebanyak 35 titik longsor berada pada unit geomorfologi vulkanik Gede-Pangrango, 36 titik longsor berada pada unit geomorfologi vulkanik Salak, dan 5 titik berada pada unit geomorfologi vulkanik Talaga. Dari hasil identifikasi, titik-titik longsor ditemukan pada berbagai macam penggunaan lahan, yaitu di penggunaan lahan permukiman, lahan pertanian, dan

(a) (b) (c)

17

kebun campuran. Beberapa titik longsor sangat sulit untuk dijangkau dalam survei sehingga tidak diperoleh titik koordinatnya. Oleh karena itu, jumlah titik-titik pengamatan yang diperoleh dalam penelitian ini agak terbatas, yaitu hanya pada wilayah yang masih dapat dijangkau. Dengan demikian, dimungkinkan masih terdapat titik-titik longsor lain yang belum ditemukan (karena sulitnya medan untuk mencapai titik-titik tersebut). Sebaran dari jumlah titik longsor di ketiga unit geomorfologi vulkanik tersebut disajikan pada Tabel 8, dan secara spasial dapat dilihat pada Gambar 7.

Tabel 8. Sebaran jumlah titik longsor dari setiap unit geomorfologi

No Unit Geomorfologi Jumlah Titik Longsor 1. Gunung Gede-Pangrango 35 2. Gunung Salak 36 3. Gunung Talaga 5

Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa ukuran longsor pada unit geomorfologi vulkanik Gede-Pangrango dan Salak relatif lebih bervariasi, dari kecil hingga besar (Lampiran 7), sedangkan pada unit geomorfologi vulkanik Talaga hanya ditemukan jenis longsor yang berukuran besar. Umur tubuh gunungapi yang telah lama mengalami proses denudasi (G. Talaga) tampaknya dapat menjadi penciri untuk ukuran longsoran yang banyak terjadi di daerah penelitian. Jika dilihat berdasarkan batas kecamatan (administrasi), maka persebaran titik longsor paling banyak adalah terdapat di Kecamatan Kadudampit yang diikuti oleh Kecamatan Parungkuda, Kecamatan Parakansalak dan kecamatan-kecamatan lainnya (Tabel 9).

Tabel 9. Jumlah kejadian longsor berdasarkan administrasi

No. Kecamatan Jumlah Titik Longsor 1 Kadudampit 15 2 Parungkuda 11 3 Parakan Salak 11 4 Cicurug 8 5 Caringin 8 6 Cisolok 5 7 Nagrak 5 8 Sukaraja 4 9 Kabandungan 4 10 Sukabumi 3 11 Cibadak 2

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa jumlah kejadian longsor tertinggi terdapat pada Kecamatan Kadudampit dan terendah pada Kecamatan Cibadak dengan titik longsor masing-masing 15 dan 2 kejadian. Hal ini dikarenakan Kecamatan Kadudampit memiliki topografi berbukit dan bergunung (Gambar 1), dan berdasarkan hasil pengamatan lapang, longsor banyak terjadi akibat adanya aktivitas manusia, seperti pemotongan lereng untuk pembuatan jalan dan permukiman. Gejala ini mirip dengan pendapat Gerrard (1981) bahwa beberapa penyebab longsor yang paling utama adalah kondisi topografi (ketinggian/elevasi dan kemiringan lereng).

18

G

amba

r 7.

Seba

ran

titik

-titik

long

sor d

alam

kai

tann

ya d

enga

n un

it ge

omor

folo

gi

19

19

Dalam halaman berikut akan diuraikan secara singkat hubungan antara jumlah titik-titik longsor yang diperoleh di lapangan dengan parameter-parameter penentu longsor, yaitu elevasi, litologi, jenis tanah, curah hujan, lereng, penggunaan/penutupan lahan, dan bentuklahan (landform).

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Elevasi

Apabila elevasi daerah penelitian dipilah menjadi dua, yaitu <600 mdpl (dataran dan perbukitan) dan >600 mdpl (pegunungan), maka hasil pemetaan memperlihatkan bahwa titik-titik longsor yang berada pada elevasi <600 mdpl terdapat sebanyak 34 kejadian longsor, dan pada elevasi >600 mdpl terdapat sebanyak 42 kejadian longsor (Gambar 8). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi elevasi, maka jumlah kejadian longsor semakin banyak. Menurut Mukti (2012), hal tersebut cukup wajar dikarenakan semakin bertambahnya elevasi maka peluang keberadaan kelas kemiringan lereng, terutama dari miring hingga terjal, semakin besar. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Gerrad (1981), bahwa pada elevasi tinggi secara umum mempunyai banyak lereng-lereng yang curam, meskipun pada beberapa tempat di dataran tinggi juga terdapat lereng yang landai. Titik-titik longsor di daerah penelitian yang berada pada elevasi >1200 tidak diidentifikasi dalam penelitian ini karena sulitnya medan yang untuk mencapai daerah tersebut sehingga pada grafik tidak ditandai adanya kejadian titik longsor. Contoh lapangan kejadian longsor berdasarkan elevasi dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan persebaran titik longsor di daerah penelitian terhadap elevasi secara spasial dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 8. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan elevasi

(a) (b)

Gambar 9. Kejadian longsor berdasarkan elevasi. (a) Lokasi longsor pada ketinggian <600 mdpl (Kecamatan Parakan Salak), dan (b) lokasi longsor pada

ketinggian >600 mdpl (Kecamatan Sukabumi)

20

Gam

bar 1

0. S

ebar

an ti

tik-ti

tik lo

ngso

r dal

am k

aita

nnya

den

gan

elev

asi

21

21

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Litologi (Sifat Batuan)

Faktor geologi yang memicu terjadinya longsor adalah ditentukan oleh struktur batuan dan komposisi mineralogi (kepekaan longsor) yang dicirikan oleh jenis batuan. Jenis batuan yang diacu dalam penelitian ini diambil dari peta bentuklahan (Landform) dan juga hasil observasi lapangan. Berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa jumlah kejadian titik longsor banyak terjadi pada batuan lahar, yaitu sebanyak 62 titik kejadian longsor (Gambar 11). Batuan lahar adalah formasi batuan hasil endapan proses fluvio-vulkanik yang umumnya berada pada lereng yang relatif lebih landai. Pada lereng yang lebih landai tersebut, aktivitas manusia (memanfaatkan lahan) tampak lebih dominan, sehingga tidak sedikit hasil dari aktivitas tersebut yang kemudian memicu terjadinya longsor, terutama pada tebing-tebing perlembahan yang digunakan untuk penambangan, lahan pertanian, atau lahan yang dipotong untuk jalan (Gambar 12). Adapun untuk kejadian longsor pada jenis batuan tuff terdapat 9 kejadian. Dalam hal ini tuff adalah jenis batuan yang berbutir halus dan pada umumnya mempunyai kerentanan lebih tinggi terhadap longsor dibandingkan dengan jenis batuan vulkanik lain. Pada wilayah yang berbatuan lava jumlah kejadian longsor hanya sebanyak 5 kejadian. Batuan lava (dan juga termasuk batuan breksi vulkanik) adalah jenis batuan vulkanik yang kompak, sehingga memiliki sifat tidak mudah longsor. Namun demikian, Darsoatmodjo dan Soedrajat (2002), menyebutkan bahwa batuan breksi yang kompak apabila berada di atas lapisan yang mempunyai bidang luncur miring ke arah lereng yang terjal, maka akan tetap rawan terhadap longsor. Secara spasial persebaran titik longsor dan kaitannya dengan kondisi litologi dapat dilihat pada Gambar 13.

(b) (a) Gambar 12. Contoh kejadian longsor di lapangan (a) batuan dari endapan lahar di sekitar kejadian longsor dan (b) longsor di lapangan dari endapan lahar yang menewaskan 3 korban jiwa yang terjadi pada tanggal 11 Maret

2015

Gambar 11. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan jenis batuan

22

Gam

bar 1

3. S

ebar

an ti

tik-ti

tik lo

ngso

r dal

am k

aita

nnya

den

gan

litol

ogi

23

23

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Jenis Tanah

Berdasarkan hasil observasi lapangan kejadian longsor jauh lebih banyak terjadi pada tanah-tanah Latosol daripada tanah Andosol, sedangkan pada jenis-jenis tanah yang lain tidak teridentifikasi adanya titik longsor (Gambar 14).

Gambar 14. Grafik hubungan antara jumlah titik longsor dengan jenis tanah

Berdasarkan Gambar 14 terlihat bahwa jumlah kejadian titik longsor terbanyak terdapat pada pada jenis tanah Latosol, yaitu sebanyak 73 kejadian. Hal ini bisa disebabkan oleh sifat tanah Latosol itu sendiri yang lebih rentan terhadap longsor daripada tanah lain seperti tanah Andosol. Menurut Dudal dan Soepraptoharjo (1957), tanah Latosol umumnya mempunyai tekstur lempung hingga liat, sehingga jika lapisan liat ini berada di lapisan bawah permukaan tanah maka dapat membentuk suatu lapisan kedap air yang selanjutnya dapat berfungsi sebagai bidang luncur dan menyebabkan longsor. Hal tersebut sesuai juga dengan pendapat Sitorus (2006) yang menyatakan bahwa tekstur liat (clay) relatif kedap air sehingga dapat membentuk bidang luncur terutama pada lahan yang berlereng agak curam hingga curam. Untuk hasil penelitian ini, keterkaitan antara titik longsor dengan jenis tanah secara spasial dapat dilihat pada Gambar 15.

24

Gam

bar 1

5. S

ebar

an ti

tik-ti

tik lo

ngso

r dal

am k

aita

nnya

den

gan

jeni

s tan

ah

25

25

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Curah Hujan

Berdasarkan keterkaitannya dengan curah hujan, jumlah titik longsor pada kelas curah hujan 2500-3000 mm/tahun hanya sebanyak 3 titik longsor, sebaliknya jumlah titik longsor terbanyak berada pada kelas curah hujan 4000-4500 mm/tahun yaitu sebanyak 30 titik longsor (Gambar 16). Secara teori hal tersebut tampak wajar karena curah hujan adalah pemicu terjadinya longsor, sehingga semakin tinggi curah hujan suatu area maka semakin banyak jumlah kejadian longsor yang terjadi. Dalam teori, curah hujan bersifat meningkatkan kejenuhan tanah serta menaiknya muka air tanah, sehingga jika hujan turun pada lereng-lereng dengan material penyusun (tanah dan batuan) yang rentan terhadap longsor, maka akan menurunkan daya kuat geser tanah/batuan tersebut dan sebaliknya menambah berat massa tanah. Untuk titik-titik longsor yang berada pada kelas curah hujan >5.000 mm/th dalam penelitian ini tidak dilakukan identifikasi dikarenakan kondisi medan yang sulit dijangkau pada saat survey. Selain itu, pada wilayah dengan kelas curah hujan di atas 4500 mm/tahun, pada umumnya sudah sangat jarang ditemukan aktivitas manusia, sehingga pengaruh aktivitas manusia sebagai pemicu longsor relatif sangat kecil. Secara spasial, persebaran titik-titik longsor dalam hubungannya dengan curah hujan di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 16. Grafik hubungan jumlah titik longsor dengan curah hujan

26

Gam

bar 1

7. S

ebar

an ti

tik-ti

tik lo

ngso

r dal

am k

aita

nnya

den

gan

cura

h hu

jan

27

27

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Kemiringan Lereng

Secara teori, kemiringan lereng adalah salah satu faktor pemicu terjadinya longsor di lahan perbukitan/pegunungan. Dengan demikian semakin curam suatu lereng maka peluang terjadinya longsor juga semakin besar. Hal tersebut disebabkan volume dan kecepatan aliran air (over landflow) permukaan meningkat sejalan dengan meningkatnya kecuraman lereng, akibatnya kondisi ini berpotensi untuk menyebabkan longsor (Naisah, 2014).

Berdasarkan jumlah titik longsor yang ditemukan di lapangan, terdapat 8 titik longsor yang berada pada kelas kemiringan lereng 0-8%, 49 titik longsor pada kelas kemiringan lereng 8-15%, 16 titik longsor pada kelas kemiringan lereng 15-25%, dan 2 titik longsor terjadi pada kelas kemiringan lereng 25-45% (Gambar 18). Gejala ini tampak berbeda dengan peluang teoritis seperti yang disebutkan di atas, dimana semakin curam suatu lereng maka semakin besar peluang terjadinya longsor. Salah satu penyebabnya adalah bahwa kelas kemiringan lereng yang digunakan dalam peta adalah kelas kemiringan lereng umum atau global yang tidak mencakup kondisi kemiringan lereng lokal. Padahal berdasarkan hasil observasi lapangan, terlihat banyak longsor yang terjadi pada area-area dengan kemiringan lereng 8-15% (pada peta) namun memiliki kemiringan lereng lokal (pada titik longsor) yang lebih besar. Lereng-lereng terjal ini dihasilkan oleh aktivitas manusia, seperti pemotongan lereng untuk keperluan penggunaan lahan tertentu, seperti tambang, permukiman, dan pembangunan jalan. Dampak dari pemotongan lereng tersebut adalah menurunkan stabilitas lereng, sehingga lereng mudah mengalami longsor (Gambar 19 dan Lampiran 8 dan 9). Persebaran titik-titik longsor yang telah diplot di atas peta kelas lereng disajikan pada Gambar 20.

Gambar 18. Grafik hubungan jumlah titik dengan kemiringan lereng

Gambar 19. Longsor akibat pemotongan lereng di tepi jalan

28

Gam

bar 2

0. S

ebar

an ti

tik-ti

tik lo

ngso

r dal

am k

aita

nnya

den

gan

kela

s ler

eng

29

29

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Penutupan/Penggunaan Lahan

Vegetasi merupakan faktor penting dalam menjaga kemantapan lereng, karena dengan tidak adanya tumbuhan atau pepohonan maka daerah pegunungan akan sangat rentan terhadap proses longsor. Menurut Asdak (2003), pengaruh vegetasi penutup tanah adalah untuk melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan dan voulme air, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, serta mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air. Sistem perakaran vegetasi juga banyak membantu dalam menjaga kemantapan lereng apalagi jika dapat menembus celah-celah pada batuan induk tanah tersebut. Jika dilihat dari kerterkaitannya dengan penutupan/penggunaan lahan (Gambar 21) maka terlihat bahwa jumlah kejadian longsor tertinggi berada pada penggunaan lahan sawah, yaitu sebanyak 33 kejadian longsor dibandingkan dengan pola penggunaan lahan lainnya. Lahan sawah di lokasi penelitian berada pada lereng-lereng yang umumnya miring namun dibuat berteras-teras (Gambar 22). Lahan sawah adalah lahan yang bersifat menampung air, sehingga resapan air ke dalam tanah berpeluang besar untuk memicu terjadinya longsor, apalagi struktur batuan di lereng-lereng kerucut vulkanik pada umumnya adalah searah dengan kemiringan lereng permukaannya. Selain itu perubahan musim, dari kemarau (yang meretakkan tanah) ke musim hujan, juga merupakan suatu peluang besar untuk meningkatkan jumlah resapan air ke dalam tanah sehingga meningkatkan peluang terjadinya longsor di awal musim penghujan tersebut. Ancaman longsor dari penggunaan lahan ini (sawah) perlu diwaspadai apalagi jika pada lereng-lereng bawahnya terdapat suatu area permukiman.

Gambar 21. Hubungan antara jenis penutupan/penggunaan lahan dengan

jumlah titik longsor

30

Gambar 22. (a) contoh sawah yang berada di lokasi penelitian dan (b) contoh

longsor kecil di areal persawahan

Pada penggunaan lahan permukiman jumlah kejadian longsor tercatat sebanyak 16 kejadian yang umumnya berada pada tebing-tebing sungai atau gawir dan berada pada bagian bawah lereng (Gambar 23). Lokasi ini sangat mengkhawatirkan mengingat bahwa tidak selamanya lereng mampu untuk menahan beban di atasnya, sementara itu aliran sungai mengikis bagian bawah lereng yang dapat memicu terjadinya longsor.

Pada penggunaan lahan kebun campuran jumlah longsor tercatat sebanyak 24 kejadian, sedangkan pada penggunaan lahan perkebunan jumlah kejadian longsor teridentifikasi sebanyak 4 kejadian dan 1 kejadian terdapat pada penggunaan lahan hutan. Dari pengamatan lapangan longsor pada penggunaan lahan kebun campuran dan perkebunan lebih disebabkan oleh pemotongan lereng seperti untuk tujuan pembangunan infastruktur berupa jalan yang menuju ke permukiman (Gambar 24). Adapun keadaan hutan seperti yang dimaksud diatas bukan merupakan hutan primer namun merupakan hutan sekunder yang telah mengalami penebangan dan juga pemotongan lereng untuk pembangunan infastruktur jalan di dalamnya. Sejalan dengan pendapat Pramuwijoyo dan Dwikorita (2001) bahwa pembukaan lahan hutan (termasuk pemotongan lereng untuk jalan) dapat menyebabkan tanah menjadi mudah mengalami longsor.

(a) (b) Gambar 23. (a) contoh longsor pada bagian bawah lereng dan (b) contoh

longsor di areal permukiman

31

31

Menurut Wahyunto (2007) penggunaan lahan pesawahan, kebun campuran, dan semak terutama pada daerah-daerah yang memiliki kemiringan lereng curam umumnya sering kali terjadi longsor. Rendahnya tutupan permukaan tanah dan vegetasi menyebabkan perakaran sebagai pengikat tanah menjadi sedikit dan lemah. Kondisi ini mempermudah tanah (yang retak-retak pada musim kemarau), sedangkan pada musim penghujan tanah tersebut menjadi lebih mudah meresapkan air pada musim penghujan sehingga mengakibatkan tanah mudah longsor. Secara spasial persebaran titik longsor berdasarkan penutupan /penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 25.

(a) (b)

Gambar 24. (a) contoh kejadian longsor di tepi jalan pada kebun campuran meskipun sudah diberi bangunan penguat lereng (turap), (b) pemotongan lereng pada kebun campuran untuk jalan, (c) kondisi lereng yang terpotong untuk jalan di antara perkebunan, dan (d) bekas longsoran pada hutan yang kini telah diberi

penguat lereng berupa turap

(c) (d)

32

Gam

bar 2

5. S

ebar

an ti

tik lo

ngso

r dal

am k

aita

nnya

den

gan

penu

tupa

n/pe

nggu

naan

laha

n

33

33

Hubungan Jumlah Titik Longsor dengan Bentuklahan (Landform)

Hasil interpretasi geomorfologis wilayah penelitian menghasilkan 14 macam bentuklahan, yaitu kerucut vulkanik denudasional Gunung Talaga, kerucut vulkanik lereng atas Gunung Gede-Pangrango, kerucut vulkanik lereng atas Gunung Perbakti, kerucut vulkanik lereng atas Gunung Salak, kerucut vulkanik lereng bawah Gunung Salak, kerucut vulkanik lereng bawah Gunung Gede-Pangrango, kerucut vulkanik lereng tengah kompleks Gunung Salak, kerucut vulkanik lereng tengah Gunung Gede-Pangrango, kerucut vulkanik parasiter kompleks Gunung Talaga, lereng kaki Gunung Gede-Pangrango, pegunungan vulkanik lereng bawah kompleks Gunung Salak, pegunungan vulkanik kompleks GunungTalaga, dan perbukitan vulkanik kompleks Gunung Talaga (Gambar 27). Jika dilihat dari kerterkaitannya dengan titik longsor (Gambar 26) terlihat bahwa jumlah kejadian longsor tertinggi berada pada bentuklahan kerucut vulkanik lereng bawah Gunung Salak dan kerucut vulkanik lereng bawah Gunung Gede-Pangrango. Hal ini dikarenakan pada bentuklahan tersebut aktivitas manusia tampak paling dominan (berada pada kemiringan lereng < 25 %). Mengingat bahwa pada lereng-lereng bawah dari kedua gunungapi tersebut merupakan pusat kegiatan masyarakat setempat, maka sangat wajar jika banyak terjadi proses pemotongan lereng untuk keperluan pembangunan permukiman dan jalan. Kondisi ini dapat membuat lereng-lereng di wilayah ini menjadi lebih rentan untuk mengalami longsor. Secara spasial persebaran titik-titik longsor terkait dengan bentuklahan disajikan pada Gambar 27.

Gambar 26. Hubungan antara bentuklahan dengan jumlah titik longsor

34

Gam

bar 2

7. S

ebar

an ti

tik lo

ngso

r dal

am k

aita

nnya

den

gan

bent

ukla

han

(landfo

rm)

35

35

Faktor Utama Penyebab Longsor

Untuk mengetahui faktor utama penyebab longsor di daerah penelitian, maka dalam penelitian ini dilakukan uji statistik terhadap data yang diperoleh, yakni meliputi parameter-parameter kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, penggunaan/penutupan lahan, litologi, elevasi, dan bentuklahan. Faktor utama yang dimaksud disini adalah faktor yang mempunyai bobot tertinggi atau peran besar dalam proses terjadinya longsor. Adapun berdasarkan 76 titik kejadian longsor di lapangan yang dianalisis secara statistik diperoleh hasil nilai R-Square seperti yang tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10. Derajat hubungan antara variabel longsor di lapangan

Variabel Tujuan Pseudo R-Square Cox and Snell Nagelkerke McFadden

Titik kejadian longsor (Y) 37% 43% 20%

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa variabel titik kejadian longsor (Y) mempunyai nilai pendekatan R-Square Nagelkerke sebesar 43%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian longsor yang dapat dijelaskan oleh variabel lereng lokal, elevasi, penggunaan/penutupan lahan, lereng global, curah hujan, jenis tanah, litologi, dan bentuklahan (landform) hanya mendapatkan nilai sebesar 43%, adapun sisanya (57%) dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model.

Berdasarkan variabel penyebab longsor di atas, selanjutnya diperoleh model persamaan regresi logistik ordinal, sebagai berikut:

Berdasarkan kedua persamaan di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa

parameter yang memberikan kontribusi atau bobot yang paling besar terhadap terjadinya longsor di daerah penelitian adalah parameter curah hujan yang diikuti berturut-turut oleh parameter-parameter litologi, penggunaan/tutupan lahan, lereng global, jenis tanah, bentuklahan, dan elevasi. Parameter ini diambil berdasarkan nilai yang signifikan terhadap kejadian longsor dengan selang kepercayaan 95% dimana parameter yang signifikan adalah curah hujan, litologi, dan penggunaan/penutupan lahan. Nilai signifikansi dari masing-masing parameter dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dalam kaitannya dengan nilai signifikasi tersebut, maka parameter curah hujan memberikan pengaruh secara nyata (signifikan) dalam memicu terjadinya longsor. Adapun untuk parameter penutupan/penggunaan lahan yang banyak

17,742 – 0,002E + 0,008 LL + -3,682 (L1) + M-2,981 (L2) + 3,774(L3) + -3,287(L4) + -1,927(LULS2) + 0,682 (LULS3) +1,512 (LULS4) +19,188 (CH1) + 20,210(CH2) +19,858(CH3)+ 20,901(CH4) + 0,399 (LF2) + 19,789(LT1)+-1,491(LT2) + 1,078(T3)

15,382 – 0,002E + 0,008 LL + -3,682 (L1) + M-2,981 (L2) + 3,774(L3) + -3,287(L4) + -1,927(LULS2) + 0,682 (LULS3) +1,512 (LULS4) +19,188 (CH1) + 20,210(CH2) +19,858(CH3)+ 20,901(CH4) + 0,399 (LF2) + 19,789(LT1)+-1,491(LT2) + 1,078(T3)

= P (Y > 1) P ( Y ≤ 1) ln

P (Y > 2) P ( Y ≤ 2) ln =

36

memberikan pengaruh adalah kebun campuran/semak, sementara itu untuk parameter litologi (batuan) jenis batuan yang banyak memberikan pengaruh besar (signifikan) terhadap proses longsor adalah breksi tuff dan lava tuff. Dalam hal ini faktor keberadaan tuff dimungkinkan sebagai penyebab mudahnya terjadi proses longsor.

Adapun untuk parameter yang bernilai negatif menunjukan arah hubungan parameter dengan kejadian longsor yang berlawanan arah. Artinya, jika nilai parameter naik maka cenderung akan menurunkan peluang kejadian longsor, begitupun sebaliknya. Mengingat rendahnya nilai R-Square, maka pemilihan parameter yang diamati dimungkinkan belum memberikan keterkaitan secara nyata terhadap fenomena tanah longsor, atau dapat pula dikarenakan oleh terbatasnya jumlah sampel yang diperoleh. Oleh sebab itu, model yang telah dibuat ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh jumlah titik pengamatan yang lebih banyak lagi dengan penambahan parameter, agar peluang terjadinya error dalam menetapkan variabel dan pengukuran akan menjadi lebih kecil.

Estimasi Persebaran Spasial Daerah Bahaya Longsor

Berdasarkan hasil analisis regresi logistik ordinal seperti tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa parameter yang paling banyak mempengaruhi terjadinya longsor secara berturut-turut adalah curah hujan, litologi, penutupan /penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis tanah, bentuklahan, dan elevasi. Di sisi lain, jika dilihat dari studi literatur (hasil penelitian-penelitian sebelumnya) seperti dari Ikqra (2012), Silviani (2013), Fransiska (2014), dan Damanik (2015) didapatkan bahwa parameter penyebab longsor yang utama adalah kemiringan

lereng. Urutan secara komparatif adalah kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan/penutupan lahan, litologi, jenis tanah, bentuklahan, dan elevasi. Lereng yang menjadi parameter utama ini diperkuat oleh pernyataan Hardiyatmo (2006) yang menyatakan bahwa longsor sangat dipengaruhi oleh stabilitas lereng, oleh karena itu semakin curam suatu lereng, maka kemungkinan untuk terjadinya longsor akan semakin tinggi.

Berdasarkan uraian di atas maka berikut dapat dibuat dua versi estimasi bahaya longsor secara spasial yang berdasarkan pada hasil analisis regresi logistik ordinal dan hasil studi literatur. Untuk estimasi ini, hasil analisis bahaya (hazard) longsor dibagi menjadi 3 kelas, yaitu bahaya rendah, bahaya sedang, dan bahaya tinggi. Nilai selang (interval) dari bahaya longsor dihasilkan dari pengurangan antara nilai tertinggi hasil analisis dengan nilai terendahnya dan dibagi dengan jumlah kelas yang diinginkan (Dibyosaputro, 1999, dalam Ikqra, 2012). Untuk versi analisis statistik didapatkan bahwa nilai tertinggi bahaya longsor adalah sebesar 442, nilai terendah 186, dan nilai selang bahaya sebesar 86,66. Adapun untuk versi studi literatur didapatkan bahwa nilai tertinggi bahaya longsor adalah sebesar 455, nilai terendah 182, dan nilai selang bahaya sebesar 91. Berdasarkan ketentuan ini, selanjutnya dapat dilakukan proses analisis untuk mengetahui persebaran spasial dari kelas-kelas bahaya longsor dari kedua pendekatan tersebut. Hasil analisis yang didapatkan selanjutnya disajikan pada Gambar 28 dan Gambar 29, sedangkan luasan dari setiap kelas disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12.

Berdasarkan Gambar 28 dan Gambar 29 dan apabila dilakukan komparasi, maka terlihat bahwa peta bahaya longsor hasil studi literatur tampak lebih natural dan logis perubahan kelas bahayanya daripada peta bahaya longsor hasil analisis

37

37

statistik. Sebagai contoh pada wilayah bagian atas (upland areas) bahaya longsor tinggi banyak terdapat pada lembah-lembah sungai yang sangat dalam dimana bagian hulunya berada di puncak kerucut vulkanik Gede-Pangrango maupun Salak. Pada lereng bagian atas kerucut vulkanik kelas bahaya sedang lebih dominan, hal ini disebabkan di wilayah tersebut lebih banyak ditutupi oleh vegetasi hutan meskipun kemiringan lerengnya relatif curam. Adapun pada lereng bagian tengah dan bagian bawah dari kerucut vulkanik kelas bahaya sedang juga dominan, hal ini disebabkan kemiringan lereng meskipun sudah mulai berkurang namun penutupan/penggunaan lahan sudah berbeda yaitu berupa kebun campuran dan sawah. Untuk kelas bahaya rendah sebagian besar tersebar di lereng-lereng kaki dari kedua gunungapi tersebut yang pada umumnya mempunyai lereng relatif landai dengan penutupan/penggunaan lahan dominan berupa sawah dan juga permukiman.

Tabel 11. Klasifikasi tingkat bahaya longsor berdasarkan hasil analisis statistik

Tingkat Bahaya Selang Nilai Luas

ha % Ringan <268,66 13646 13% Sedang 268,66-355,33 81486 77% Tinggi >355,33 11248 10%

Total 106380 100%

Tabel 12. Klasifikasi tingkat bahaya longsor berdasarkan hasil studi literatur

Tingkat Bahaya Selang Nilai Luas

ha % Ringan <273 15902 15% Sedang 273-364 78406 74% Tinggi >364 12072 11%

Total 106380 100%

Jika dilakukan analisis hubungan antara jumlah titik longsor dengan peta bahaya longsor, maka dari Tabel 11 dan Gambar 28 dapat dilihat bahwa daerah penelitian lebih didominasi oleh kelas bahaya sedang (77%) dan jumlah titik-titik longsor (setelah di-overlay dengan peta bahaya longsor) terdapat 47 titik longsor pada kelas bahaya sedang, 7 titik longsor pada kelas bahaya rendah, dan 22 titik longsor pada kelas bahaya tinggi (Tabel 13). Hal ini menunjukkan bahwa titik-titik longsor lebih banyak terjadi di wilayah yang mempunyai kelas bahaya sedang.

Tabel 13. Jumlah kejadian longsor pada kelas bahaya berdasarkan hasil analisis statistik

Kelas Bahaya Kejadian Longsor Ringan 7 Sedang 47 Tinggi 22

38

Gam

bar 2

8. S

ebar

an ti

tik lo

ngso

r ber

dasa

rkan

pen

deka

tan

stat

istik

39

Gam

bar 2

9. S

ebar

an ti

tik lo

ngso

r ber

dasa

rkan

pen

deka

tan

stud

i lite

ratu

r

40

Apabila dilihat berdasarkan Tabel 12 dan Gambar 29, maka terlihat bahwa daerah penelitian juga didominasi oleh kelas bahaya sedang (74%), sementara itu jumlah titik-titik longsor (setelah di-overlay dengan peta bahaya longsor), terdapat 57 titik longsor pada kelas bahaya sedang, 9 titik pada kelas bahaya rendah, dan 10 titik longsor pada kelas bahaya tinggi (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa titik-titik longsor juga lebih banyak terjadi di wilayah yang mempunyai kelas bahaya sedang.

Tabel 14. Jumlah kejadian longsor pada kelas bahaya berdasarkan studi literatur

Kelas Bahaya Kejadian Longsor Rendah 9 Sedang 57 Tinggi 10

Berdasarkan hasil analisis dengan dua pendekatan tersebut menunjukan bahwa di wilayah-wilayah yang mempunyai kelas bahaya sedang ternyata perlu lebih diwaspadai karena di wilayah ini mempunyai lebih banyak titik longsor, meskipun dimensi longsor yang ada sangat variatif dari dimensi kecil, sedang, hingga besar. Dalam pemodelan seperti ini jumlah titik longsor terbanyak seharusnya berada pada kelas bahaya tinggi, sehingga sesuai dengan tingkat bahayanya. Oleh karena itu untuk penelitian lanjutan kedepan diperlukan penambahan jumlah titik longsor untuk seluruh daerah penelitian dan juga penambahan parameter, terutama yang terkait dengan pengaruh aktivitas manusia.

KerapatanTitik Longsor Terhadap Kelas Bahaya Longsor

Kerapatan longsor yang dimaksud disini adalah perbandingan antara jumlah titik longsor terhadap luas bahaya longsor. Tabel 15 dan Tabel 16 berikut memperlihatkan keterkaitan antara jumlah titik longsor dengan luas area dari masing-masing kelas bahaya longsor, sehingga dapat diperoleh tingkat kerapatannya.

Tabel 15. Kerapatan kejadian longsor/100km2 berdasarkan hasil analisis statistik

Tingkat Bahaya Luas (ha)

Luas (%)

Kejadian Longsor

Kerapatan (kejadian longsor/100km2)

Ringan 13646 13% 7 0,05 Sedang 81486 77% 47 0,34 Tinggi 11248 10% 22 0,16

Berdasarkan Tabel 15 tersebut, terlihat bahwa peluang terjadinya longsor di daerah kelas bahaya ringan dan tinggi bernilai lebih kecil atau rendah (memiliki kerapatan 0,05 dan 0,16) daripada kelas bahaya sedang (memiliki kerapatan 0,34). Adapun berdasarkan Tabel 16, terlihat pula bahwa peluang terjadinya longsor di daerah kelas bahaya ringan dan tinggi lebih rendah (memiliki kerapatan 0,06) daripada kelas bahaya sedang (memiliki kerapatan 0,36).

41

Tabel 16. Kerapatan kejadian longsor/100km2 berdasarkan studi literatur

Tingkat Bahaya

Luas (ha)

Luas (%)

Kejadian Longsor

Kerapatan (kejadian longsor/100km2)

Ringan 15902 15% 9 0,06 Sedang 78406 74% 57 0,36 Tinggi 12072 11% 10 0,06

Dengan demikian keterkaitan antara jumlah kerapatan titik longsor dengan peta bahaya longsor (baik studi literatur maupun hasil statistik) mempunyai kerapatan yang hampir sama, yaitu peluang kejadian longsor pada kelas bahaya sedang. Namun masing-masing kerapatan kejadian logsor mengalami penurunan pada kelas bahaya tinggi baik pada pendekatan studi literatur atau hasil analisis statistik. Maka dapat disimpulkan bahwa tingkat akurasi dari model yang telah dibuat rendah. Hal ini dapat disebabkan karena parameter lereng lokal atau gangguan lereng tidak dimasukan sebagai parameter pemetaan bahaya longsor.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Dalam penelitian ini telah ditemukan sebanyak 76 titik longsor yang lokasinya dapat dijangkau dalam survei. Dari jumlah titik tersebut, titik-titik longsor secara dominan berada pada elevasi >600 mdpl 42 titik, pada batuan lahar 62 titik, pada jenis tanah Latosol 73 titik, pada kemiringan lereng 8-15% 49 titik, pada curah hujan 4000-4500 mm/tahun 49 titik, pada bentuklahan kerucut vulkanik lereng bawah Gede-Pangrango 21 titik, dan pada penggunaan lahan sawah berteras 21 titik. Lahan sawah berteras ini perlu diwaspadai untuk mitigasi bencana, karena secara dominan berada pada wilayah dengan jenis tanah Latosol yang mudah longsor.

2. Hasil perhitungan statistik menunjukan bahwa parameter utama penyebab longsor adalah curah hujan, yang diikuti oleh parameter-parameter lereng, jenis tanah, litologi, elevasi, bentuklahan, dan penggunaan/penutupan lahan.

3. Estimasi bahaya longsor di daerah penelitian berdasarkan hasil statistik dan studi literatur mempunyai akurasi yang rendah, walaupun demikian kedua metode mempunyai kelas bahaya sedang dengan luas paling dominan.

Saran

Perlu adanya penambahan titik-titik longsor, baik di wilayah Gunung Gede-Pangrango, Gunung Salak, maupun (terutama) Gunung Talaga agar hasil analisis menjadi semakin baik dan perlu penambahan parameter penentu longsor, seperti parameter gangguan lereng (lereng lokal).

42

DAFTAR PUSTAKA

[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2014. Kabupaten Sukabumi dalam Angka 2013. [Internet]. [diakses pada 11 Januari 2015]. Tersedia pada: http://bappeda.sukabumikab.go.id/gu.php.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2014. Kabupaten Sukabumi dalam Angka 2014. [Internet]. [diakses pada 11 Januari 2015]. Tersedia pada: http://bappeda.sukabumikab.go.id/gu.php.

[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah. 2011. Rekap Bencana 2011. Sukabumi: Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Gambaran Umum Kabupaten Sukabumi. Acuan dari BAPPEDA. [Internet]. [diakses pada 12 Desember 2014]. Tersedia pada: htpp://www.bapepeda.sukabumi.go.id/gu.

Alhasanah F. 2006. Pemetaan dan analisis daerah rawan tanah longsor serta upaya mitigasinya menggunakan sistem informasi geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Asdak C. 2003. Faktor hutan, geomorfologi, dan anomali iklim pada bencana longsor di hulu DAS Cimanuk. 39-52 [makalah]. Prosiding Semiloka Mitigasi Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Garut

Damanik. 2015. Prediksi bahaya longsor dan penilaian faktor utama penyebab longsor di Wilayah DAS Kali Bekasi bagian hulu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan

Bencana Longsor. Direktorat Jendral Penataan Ruang. Dibyosaputro S. 1999. Longsor lahan di Kecamatan Samigaluh Kabupaten Kulon

Progo. Daerah Istimewa Yogyakarta (ID): Majalah Geografi Indonesia. 23: 3-34.

Dudal R dan Soepraptohardjo M. 1957. Soil Classification in Indonesia. Bogor (ID): Pemberitaan Balai Besar Penyelidikan Pertanian.

Fransiska L. 2014. Studi geomorfologi dan analisis bahaya longsor di Kabupaten Agam, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Gerrard AJ. 1981. Soil and Landforms ‘an integration of Geomorfology and

Pedology”. London: George Allen & Unwin. Hardiyatmo. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta (ID):

Gadjah Mada University Pr. Ikqra. 2012. Studi geomorfologi pulau Ternate dan penilaian risiko longsor [tesis].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Karnawati D. 2001. Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000

(Evaluasi dan Rekomendasi). Jurusan Teknik Geologi. Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Lillesand TM and Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh Dan Interpretasi Citra.

Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University. Mukti AB. 2012. Pola sebaran titik longsor dan keterkaitannya dengan faktor-

faktor biogeofosik lahan (Studi Kasus: Kabupaten Garut, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

43

Nasiah dan Invanni I. 2014. Identifikasi daerah rawan bencana longsor lahan sebagai upaya penanggulangan bencana di Kabupaten Sinjai. Jurnal

Sainsmat. 3(2): 109-121. [PVMG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen

Bencana Tanah Longsor. [Internet]. [diakses pada 28 Februari 2015]. Tersedia pada:htpp.//www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/22/0802.htm.

Republika. 2015. Tiga korban di Cicurug ditemukan tewas. [Internet]. [diakses pada 19 Desember 2015]. Tersedia pada: http://www.republika.co.id/.

Silviani RV. 2013. Analisis bahaya dan resiko longsor di DAS Ciliwung Hulu dan keterkaitannya dengan penataan ruang [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sitorus SRP. 2006. Peran penutupan lahan untuk menanggulangi bahaya banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan. [makalah]. Workshop Degradasi Lahan, Banjir Bandang, Tanah Longsor, dan Kekeringan. Yogyakarta

Yunianto AC. 2011. Analisis kerawanan tanah longsor dengan aplikasi sistem informasi geografis (GIS) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Viva. 2015. Longsor di Sukabumi 1 Tewas dan 9 Tertimbun. [Internet]. [diakses pada 19 Desember 2015]. Tersedia pada : http://nasional.news.viva.co.id/.

44

45

LAMPIRAN

46

47

Lampiran 1. Kelas dimensi longsor

Lampiran 2. Data GPS titik longsor di lapangan

No Lokasi Titik Koorndinat Dimensi

Longsor Kampung Kecamatan S E 1 Cisitu Caringin 6'51.395 106'53.107 Sedang 2 Cisitu Caringin 6'51.826 106'52.809 Besar 3 Cikembang Caringin 6'51.437 106'52.609 Kecil 4 Cikembang Caringin 6'51.453 106'53.530 Kecil 5 Caringin Pasir Caringin 6'52.765 106'51.995 Kecil 6 Pasir Angin Caringin 6'53.360 106'51.432 Sedang 7 Pasir Angin Caringin 6'53.075 106'51.669 Sedang 8 Cijengkol Caringin 6'53.261 106'50.792 Kecil 9 Cibiul Kadudampit 6'52.579 106"53.268 Besar

10 Pasir Randu Kadudampit 6'52.475 106'53.603 Kecil 11 Cisela Kadudampit 6'52.288 106'53.639 Sedang 12 Gunung Jati Kadudampit 6'51.633 106'53.328 Kecil 13 Cisarua Kadudampit 6'51.966 106'54.399 Sedang 14 Cipetir Kadudampit 6'52.169 106'54.912 Sedang 15 Kadudampit Kadudampit 6'52.290 106'54.674 Kecil 16 Kadudampit Kadudampit 6'52.296 106'54.560 Kecil 17 Kadudampit Kadudampit 6'52.404 106'54.650 Kecil 18 Cipetir Kadudampit 6'52.815 106'55.108 Sedang 19 Warnasari Sukabumi 6'52.517 106'56.775 Kecil 20 Karawang Sukabumi 6'52.265 106'56.778 Kecil 21 Cimahpar Sukaraja 6'54.948 106'57.872 Kecil 22 Cijeruk Sukaraja 6'53.090 106'57.702 Sedang 23 Selaater Sukaraja 6'53.331 106'58.370 Sedang 24 Selaater Sukaraja 6'53.264 106'58.298 Kecil 25 TNGP TNGP 6'50.516 106'55.714 Sedang 26 TNGP TNGP 6'50.493 106'55.690 Kecil 27 TNGP TNGP 6'50.493 106'55.690 Kecil

Dimensi Panjang Longsoran

Lebar Longsoran atas Bawah

1. Kecil <5 m <2 m <10 m 2. Sedang 5-10 m 2-5 m 10-15 m 3. Besar >10 m >5 m >15 m

48

Data GPS titik longsor di lapangan (lanjutan)

No Lokasi Titik Koorndinat Dimensi

Longsor Kampung Kecamatan S E 28 TNGP TNGP 6'50.397 106'55.750 Sedang

29 Undrus Binangun Kadudampit 6'53.808 106'55.521 Sedang

30 Nagrok Sukabumi 6'51.860 106'56.886 Sedang 31 Nyelepet Nagrak 6'50.835 106'50.706 Besar 32 Cirende Lebak Nagrak 6'50.884 106'51.344 Sedang 33 Ciganas Nagrak 6'51.268 106'47.847 Sedang 34 Pondok Tisut Nagrak 6'53.149 106'48.465 Kecil 35 Pondok Tisut Nagrak 6'53.117 106'48.217 Kecil 36 Babakan Anyar Cibadak 6'52.678 106'46.252 Sedang 37 Babakan Anyar Cibadak 6'52.666 106'46.263 Sedang 38 Pajagan Parakan Salak 6'47.796 106'42.162 Sedang 39 Pajagan Parakan Salak 6'47.775 106'42.134 Besar 40 Pajagan Parakan Salak 6'47.736 106'42.112 Sedang 41 Lebak Siuh Parakan Salak 6'48.438 106'42.471 Sedang 42 Lebak Siuh Parakan Salak 6'48.396 106'42.437 Sedang 43 Bojong Asih Parakan Salak 6'48.766 106'43.234 Sedang 44 Pasir Ipis Parakan Salak 6'48.717 106'43.361 Besar 45 Mancle Parakan Salak 6'49.132 106'43.187 Sedang 46 Pasir Parakan Salak 6'49.120 106'43.506 Sedang 47 Pasir ipis Parakan Salak 6'49.031 106'43.559 Sedang 48 Pasir ipis Parakan Salak 6'49.075 106'43.580 Sedang 49 Pangadengan Parungkuda 6'51.818 106'46.176 Besar 50 Leuwi Orok Parungkuda 6'51.214 106'45.944 Sedang 51 Leuwi Orok Parungkuda 6'51.130 106'45.835 Kecil 52 Ciburial Parungkuda 6'47.978 106'46.007 Kecil 53 Pangkalan Parungkuda 6'48.482 106'45.437 Besar 54 Cibilik Cicurug 6'46.309 106'49.233 Kecil 55 Kuta Lebak Cicurug 6'45.081 106'46.094 Besar

49

49

Data GPS titik di lapangan (lanjutan)

No Lokasi Titik Koorndinat Dimensi

Longsor Kampung Kecamatan S E 61 Caringin Cicurug 6'47.686 106'46.758 Besar 62 Pasir Tengek Parungkuda 6'49.414 106'45.029 Sedang 63 Pasir Tengek Parungkuda 6'49.329 106'44.899 Sedang 64 Babakan Parungkuda 6'49.672 106'44.949 Sedang 65 Legoksirna Parungkuda 6'49.770 106'44.982 Sedang 66 Sindangsari Parungkuda 6'49.865 106'45.111 Besar 67 Baru Parungkuda 6'50.572 106'45.665 Besar 68 Cimuntir Cisolok 6'53.042 106'27.596 Besar 69 Cimuntir Cisolok 6'53.000 106'28.001 Besar 70 Pasir Talaga Cisolok 6'51.513 106'27.014 Besar 71 Cikukulu Cisolok 6'56.537 106'28.054 Besar 72 Cirenik Cisolok 6'56.449 106'27.050 Besar 73 Leuwi Waluh Kabandungan 6'46.152 106'35.195 Besar 74 Dermaga Kabandungan 6'46.338 106'34.334 Besar 75 Ciawi Tali Kabandungan 6'47.250 106'37.510 Sedang 76 Ciawi Tali kabandungan 6'42.045 106'38.181 Sedang

50

Lam

pira

n 3.

Dat

a lo

ngso

r pad

a un

it vu

lkan

ik G

ede-

Pang

rang

o

No

Loka

si

(Kam

pung

) K

ecam

atan

D

imen

si

Long

sor

Elev

asi

Lere

ng

Glo

bal

(%)

Cur

ah

Huj

an

Lere

ng

Loka

l (0 )

Lito

logi

La

ndfo

rm

Land

use

1 Pa

sir A

ngin

C

arin

gin

2 60

6,5

8-15

%

3000

-350

0 65

La

har

Vgp

4 Pe

muk

iman

2

Cije

ngko

l C

arin

gin

1 57

4,5

8-15

%

3000

-350

0 40

La

har

Vgp

4 Sa

wah

3

Pasi

r Ang

in

Car

ingi

n 2

635,

2 8-

15%

30

00-3

500

25

Laha

r V

gp4

Saw

ah

4 C

arin

gin

Pasi

r C

arin

gin

1 68

7,6

0-8%

30

00-3

500

80

Laha

r V

gp4

Saw

ah

5 C

isitu

C

arin

gin

3 75

9,1

8-15

%

4000

-450

0 60

Tu

ff d

an

laha

r V

gp3

Saw

ah

6 C

ikem

bang

C

arin

gin

1 78

2,8

8-15

%

4000

-450

0 27

Tu

ff d

an

laha

r V

gp3

Saw

ah

7 C

ikem

bang

C

arin

gin

1 76

9,2

8-15

%

4000

-450

0 40

Tu

ff d

an

laha

r V

gp3

Saw

ah

8 C

isitu

C

arin

gin

2 76

8,7

8-15

%

4000

-450

0 65

Tu

ff d

an

laha

r V

gp3

Saw

ah

9 U

ndru

s B

inan

gun

Kad

udam

pit

2 67

6,9

8-15

%

3000

-350

0 60

Tu

ff d

an

laha

r V

gp3

Saw

ah

10

Cip

etir

Kad

udam

pit

2 75

5,6

0-8%

40

00-4

500

20

Tuff

dan

la

har

Vgp

3 Sa

wah

11

Cib

iul

Kad

udam

pit

3 67

1,1

8-15

%

3500

-400

0 30

La

har

Vgp

4 Sa

wah

12

Pa

sir R

andu

K

adud

ampi

t 1

662,

9 15

-25%

35

00-4

000

20

Laha

r V

gp4

Saw

ah

13

Kad

udam

pit

Kad

udam

pit

1 77

9 8-

15%

40

00-4

500

80

Laha

r V

gp4

Saw

ah

14

Kad

udam

pit

Kad

udam

pit

1 77

0,7

8-15

%

4000

-450

0 40

La

har

Vgp

4 Pe

muk

iman

15

K

adud

ampi

t K

adud

ampi

t 1

762,

4 8-

15%

40

00-4

500

65

Laha

r V

gp4

Pem

ukim

an

51

Dat

a lo

ngso

r pad

a un

it vu

lkan

ik G

ede-

Pang

rang

o (L

anju

tan)

No

Loka

si

(Kam

pung

) K

ecam

atan

D

imen

si

Long

sor

Elev

asi

Lere

ng

Glo

bal

(%)

Cur

ah

Huj

an

Lere

ng

Loka

l(0 ) Li

tolo

gi

Land

form

La

ndus

e

16

Cis

ela

Kad

udam

pit

2 71

1,9

8-15

%

4000

-450

0 15

Tu

ff d

an la

har

Vgp

3 Sa

wah

17

Cip

etir

Kad

udam

pit

2 80

8,6

0-8%

40

00-4

500

30

Tuff

dan

laha

r V

gp3

Keb

un

Cam

pura

n 18

C

isar

ua

Kad

udam

pit

2 75

5 8-

15%

40

00-4

500

10

Tuff

dan

laha

r V

gp3

Saw

ah

19

Gun

ung

Jati

Kad

udam

pit

1 79

5,3

15-2

5%

4000

-450

0 60

Tu

ff d

an la

har

Vgp

3 Sa

wah

20

Tngp

K

adud

ampi

t 2

904,

8 8-

15%

45

00-5

000

50

Tuff

lava

V

gp2

Keb

un

Cam

pura

n

21

Tngp

2 K

adud

ampi

t 1

986,

1 15

-25%

45

00-5

001

40

Tuff

lava

V

gp2

Keb

un

Cam

pura

n

22

Tngp

4 K

adud

ampi

t 2

976,

3 15

-25%

45

00-5

003

40

Tuff

lava

V

gp2

Keb

un

Cam

pura

n

23

Tngp

3 K

adud

ampi

t 1

971,

2 15

-25%

45

00-5

002

60

Tuff

lava

V

gp2

Keb

un

Cam

pura

n 24

W

arna

sari

Suka

bum

i 1

915,

6 8-

15%

40

00-4

500

45

Tuff

dan

laha

r V

gp3

Perk

ebun

an

25

Kar

awan

g Su

kabu

mi

1 94

0,3

8-15

%

4000

-450

0 15

Tu

ff d

an la

har

Vgp

3 Sa

wah

26

Nag

rok

Perb

awat

i Su

kabu

mi

2 99

7,2

8-15

%

4000

-450

0 40

Tu

ff d

an la

har

Vgp

3 Pe

rkeb

unan

27

Cim

ahpa

r Su

kara

ja

1 65

5,8

8-15

%

3000

-350

0 30

La

har

Vgp

4 Sa

wah

28

Sa

laat

er

Suka

raja

2

864,

6 8-

15%

35

00-4

000

40

Tuff

dan

laha

r V

gp3

Saw

ah

29

Sala

ater

Su

kara

ja

1 87

7,1

8-15

%

3500

-400

0 40

Tu

ff d

an la

har

Vgp

3 Sa

wah

30

C

ijeru

k Su

kara

ja

2 86

6,9

8-15

%

3500

-400

0 35

Tu

ff d

an la

har

Vgp

3 Sa

wah

52

Dat

a lo

ngso

r pad

a un

it vu

lkan

ik G

ede-

Pang

rang

o (L

anju

tan)

No

Loka

si

(Kam

pung

) K

ecam

atan

D

imen

si

Long

sor

Elev

asi

Lere

ng

Glo

bal

(%)

Cur

ah

Huj

an

Lere

ng

Loka

l (0 )

Lito

logi

La

ndfo

rm

Land

use

31

Pond

ok

Tisu

t N

agra

k 1

432,

3 8-

15%

25

00-3

000

30

Laha

r V

gp4

Saw

ah

32

Nye

lepe

t N

agra

k 3

601,

5 8-

15%

30

00-3

500

35

Tuff

dan

la

har

Vgp

3 Sa

wah

33

Cig

anas

N

agra

k 2

459,

2 8-

15%

30

00-3

500

25

Tuff

dan

la

har

Vgp

3 Sa

wah

34

Uta

ra

Nag

rak

3 42

1,8

15-2

5%

3000

-350

0 30

Tu

ff d

an

laha

r V

gp3

Saw

ah

35

Cire

nde

Leba

k N

agra

k 2

738

8-15

%

4000

-450

0 50

Tu

ff d

an

laha

r V

gp3

Pem

ukim

an

53

Lam

pira

n 4.

Dat

a lo

ngso

r pad

a un

it vu

lkan

ik S

alak

No

Loka

si

(Kam

pung

) K

ecam

atan

D

imen

si

Long

sor

Elev

asi

Lere

ng

Glo

bal(%

) C

urah

H

ujan

Le

reng

Lo

kal (

0 ) Li

tolo

gi

Land

form

La

ndus

e

1 B

abak

an

Any

ar

Cib

adak

2

392

8-15

%

2500

-300

0 35

B

reks

i tuf

f V

s5

Keb

un

Cam

pura

n

2 B

abak

an

Any

ar

Cib

adak

2

407,

3 15

-25%

25

00-3

000

65

Bre

ksi t

uff

Vs5

K

ebun

C

ampu

ran

3 C

arin

gin

Cic

urug

3

513,

8 8-

15%

35

00-4

000

36

Tuff

dan

la

har

Vs6

Pe

muk

iman

4 N

egla

sari

Cic

urug

3

496,

8 8-

15%

35

00-4

000

35

Tuff

dan

la

har

Vs6

Pe

muk

iman

5 C

ibili

k C

icur

ug

1 58

4,7

8-15

%

4000

-450

0 30

Tu

ff d

an

laha

r V

gp3

Keb

un

Cam

pura

n

6 C

ipar

i C

icur

ug

2 65

9,7

8-15

%

4000

-450

0 40

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Saw

ah

7 C

ipar

i C

icur

ug

2 60

6,1

8-15

%

4000

-450

0 20

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Keb

un

Cam

pura

n

8 C

ipar

i C

icur

ug

2 69

8,6

8-15

%

4000

-450

0 28

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Keb

un

Cam

pura

n

9 K

uta

Kut

ajay

a C

icur

ug

3 61

6,8

15-2

5%

4000

-450

0 90

B

reks

i tuf

f V

s4

Keb

un

Cam

pura

n

10

Cib

untu

C

icur

ug

3 65

0 15

-25%

40

00-4

500

90

Bre

ksi t

uff

Vs4

K

ebun

C

ampu

ran

11

Man

cle

Para

kan

Sala

k 2

519,

6 15

-25%

35

00-4

000

40

Tuff

dan

la

har

Vs6

K

ebun

C

ampu

ran

12

Pasi

r Pa

raka

n Sa

lak

2 49

6,2

15-2

5%

3500

-400

0 29

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Keb

un

Cam

pura

n

13

Pasi

r Ipi

s Pa

raka

n Sa

lak

2 54

9,3

0-8%

35

00-4

000

35

Tuff

dan

la

har

Vs6

Sa

wah

54

Dat

a lo

ngso

r pad

a un

it vu

lkan

ik S

alak

(Lan

juta

n)

No

Loka

si

(Kam

pung

) K

ecam

atan

D

imen

si

Long

sor

Elev

asi

Lere

ng

Glo

bal

(%)

Cur

ah

Huj

an

Lere

ng

Loka

l (0 )

Lito

logi

La

ndfo

rm

Land

use

14

Pasi

r Ipi

s Pa

raka

n Sa

lak

2 51

6 0-

8%

3500

-400

0 35

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Keb

un

Cam

pura

n

15

Boj

ong

Asi

h Pa

raka

n Sa

lak

2 52

6,5

8-15

%

3500

-400

0 23

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Keb

un

Cam

pura

n

16

Pasi

r Ipi

s Pa

raka

n Sa

lak

3 50

6,1

0-8%

35

00-4

000

25

Tuff

dan

la

har

Vs6

K

ebun

C

ampu

ran

17

Leba

ksiu

h Pa

raka

n Sa

lak

2 59

7,2

8-15

%

4000

-450

0 65

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Saw

ah

18

Leba

ksiu

h Pa

raka

n Sa

lak

2 59

5,8

8-15

%

4000

-450

0 64

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Saw

ah

19

Paja

gan

Para

kan

Sala

k 2

639,

5 8-

15%

40

00-4

500

35

Bre

ksi t

uff

Vs4

Pe

muk

iman

20

Paja

gan

Para

kan

Sala

k 3

687,

6 8-

15%

40

00-4

500

65

Bre

ksi t

uff

Vs4

Pe

muk

iman

21

Papa

jan

Para

kan

Sala

k 2

678,

5 8-

15%

40

00-4

500

65

Bre

ksi t

uff

Vs4

Pe

muk

iman

22

Pang

adeg

an

Paru

ngku

da

3 40

5,5

8-15

%

3000

-350

0 52

B

reks

i tuf

f V

s5

Pem

ukim

an

23

Lew

i Oro

k Pa

rung

kuda

2

403,

9 0-

8%

3000

-350

0 35

B

reks

i tuf

f V

s5

Pem

ukim

an

24

Lew

i Oro

k Pa

rung

kuda

1

400,

2 0-

8%

3000

-350

0 32

B

reks

i tuf

f V

s5

Pem

ukim

an

25

Bar

u Pa

rung

kuda

3

432,

9 0-

8%

3000

-350

0 85

B

reks

i tuf

f V

s5

Pem

ukim

an

26

Sind

angs

ari

Paru

ngku

da

3 44

9,3

8-15

%

3000

-350

0 60

B

reks

i tuf

f V

s5

Pem

ukim

an

27

Lego

ksirn

a Pa

rung

kuda

2

437,

5 15

-25%

30

00-3

500

35

Bre

ksi t

uff

Vs5

K

ebun

C

ampu

ran

55

Dat

a lo

ngso

r pad

a un

it vu

lkan

ik S

alak

(Lan

juta

n)

No

Loka

si

(Kam

pung

) K

ecam

atan

D

imen

si

Long

sor

Elev

asi

Lere

ng

Glo

bal

(%)

Cur

ah

Huj

an

Lere

ng

Loka

l (0 )

Lito

logi

La

ndfo

rm

Land

use

28

Bab

akan

Pa

rung

kuda

2

447,

1 8-

15%

30

00-3

500

19

Bre

ksi t

uff

Vs5

Pe

muk

iman

29

Pasi

r Ten

gek

Paru

ngku

da

2 44

6,2

0-8%

30

00-3

500

31

Tuff

dan

la

har

Vs6

K

ebun

C

ampu

ran

30

Pasi

r Ten

gek

Paru

ngku

da

2 45

7,7

0-8%

30

00-3

500

10

Tuff

dan

la

har

Vs6

K

ebun

C

ampu

ran

31

Pang

kala

n Pa

rung

kuda

3

504,

4 0-

8%

3500

-400

0 24

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Pem

ukim

an

32

Cib

uria

l Pa

rung

kuda

1

490,

6 8-

15%

35

00-4

000

45

Tuff

dan

la

har

Vs6

Sa

wah

33

Cia

wi T

ali

Kab

andu

ngan

2

642

8-15

%

4000

-450

0 26

B

reks

i tuf

f V

s5

Keb

un

Cam

pura

n

34

Cia

wi T

ali

Kab

andu

ngan

2

669

15-

25%

40

00-4

500

50

Bre

ksi t

uff

Vs4

K

ebun

C

ampu

ran

35

Der

mag

a K

aban

dung

an

3 89

3 >4

0%

4500

-500

0 25

La

va

brek

si

VD

t2

Hut

an

36

Leuw

i Wal

uh

Kab

andu

ngan

3

768

8-15

%

4500

-500

0 47

B

reks

i tuf

f V

s4

Keb

un

Cam

pura

n

56

Lam

pira

n 5.

Dat

a lo

ngso

r pad

a un

it vu

lkan

ik T

alag

a

No

Loka

si

(Kam

pung

) K

ecam

atan

D

imen

si

Long

sor

Elev

asi

Lere

ng

Glo

bal

(%)

Cur

ah

Huj

an

Lere

ng

Loka

l (0 )

Lito

logi

La

ndfo

rm

Land

use

1 C

ikuk

ulu

Cis

olok

3

135

8-15

%

3500

-400

0 27

B

reks

i tuf

f V

Dt4

Sa

wah

2 C

imun

tir

Cis

olok

3

515

8-15

%

3000

-350

0 40

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Keb

un

Cam

pura

n 3

Pasi

r Tal

aga

Cis

olok

3

679

8-15

%

4000

-450

0 40

La

va tu

ff

VD

t3

Saw

ah

4 C

imun

tir

Cis

olok

3

453

8-15

%

3000

-350

0 40

Tu

ff d

an

laha

r V

s6

Keb

un

Cam

pura

n

5 C

ireni

k C

isol

ok

3 98

25

-40%

35

00-4

000

14

Bre

ksi t

uff

VD

t4

Keb

un

Cam

pura

n

Ket

eran

gan

Land

fom

:

Vs6

: K

eruc

ut v

ulka

nik

pada

lere

ng b

awah

di G

unun

g Sa

lak

deng

an li

tolo

gi tu

ff d

an la

har

Vs5

: P

egun

unga

n vu

lkan

ik p

ada

lere

ng b

awah

di G

unun

g Sa

lak

deng

an li

tolo

gi b

reks

i tuf

f V

s4

: Ker

ucut

vul

kani

k di

lere

ng te

ngah

di G

unun

g Sa

lak

deng

an li

tolo

gi b

reks

i tu

ff

Vs5

: P

egun

unga

n vu

lkan

ik p

ada

lere

ng b

awah

di G

unun

g Sa

lak

deng

an li

tolo

gi b

reks

i tuf

f V

s6

: Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

baw

ah d

i Gun

ung

Sala

k de

ngan

lito

logi

tuff

dan

laha

r V

gp3

: Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

baw

ah d

i Ged

e-Pa

ngra

ngo

deng

an li

tolo

gi tu

ff d

an la

har

Vs6

: K

eruc

ut v

ulka

nik

pada

lere

ng b

awah

di G

unun

g Sa

lak

deng

an li

tolo

gi tu

ff d

an la

har

Vgp

3 : K

eruc

ut v

ulka

nik

pada

lere

ng b

awah

di G

ede-

Pang

rang

o de

ngan

lito

logi

tu

ff d

an la

har

Vs4

: K

eruc

ut v

ulka

nik

di le

reng

teng

ah d

i Gun

ung

Sala

k de

ngan

lito

logi

bre

ksi

tuff

V

s5

: Peg

unun

gan

vulk

anik

pad

a le

reng

baw

ah d

i Gun

ung

Sala

k de

ngan

lito

logi

bre

ksi t

uff

Vs6

: K

eruc

ut v

ulka

nik

pada

lere

ng b

awah

di G

unun

g Sa

lak

deng

an li

tolo

gi tu

ff d

an la

har

Vs4

: K

eruc

ut v

ulka

nik

di le

reng

teng

ah d

i Gun

ung

Sala

k de

ngan

lito

logi

bre

ksi

tuff

V

s6

: Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

baw

ah d

i Gun

ung

Sala

k de

ngan

lito

logi

tuff

dan

laha

r V

gp4 :

Ler

eng

kaki

di G

unun

g G

ede-

Pang

rang

o de

ngan

lito

logi

laha

r

57

Vs6

: K

eruc

ut v

ulka

nik

pada

lere

ng b

awah

di G

unun

g Sa

lak

deng

an li

tolo

gi tu

ff d

an la

har

Vgp

4 : L

eren

g ka

ki d

i Gun

ung

Ged

e-Pa

ngra

ngo

deng

an li

tolo

gi la

har

VD

t3 :

Pegu

nung

an v

ulka

nik

di k

ompl

ek G

unun

g Ta

laga

den

gan

litol

ogi l

ava

tuff

V

s6

: Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

baw

ah d

i Gun

ung

Sala

k de

ngan

lito

logi

tuff

dan

laha

r V

gp4

: Ler

eng

kaki

di G

unun

g G

ede-

Pang

rang

o de

ngan

lito

logi

laha

r V

gp3 :

Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

baw

ah d

i Ged

e-Pa

ngra

ngo

deng

an li

tolo

gi tu

ff d

an la

har

Vs5

: P

egun

unga

n vu

lkan

ik p

ada

lere

ng b

awah

di G

unun

g Sa

lak

deng

an li

tolo

gi b

reks

i tuf

f V

gp2 :

Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

teng

ah d

i Gun

ung

Ged

e-Pa

ngra

ngo

deng

an li

tolo

gi tu

ff la

va

Vgp

2 : K

eruc

ut v

ulka

nik

pada

lere

ng te

ngah

di G

unun

g G

ede-

Pang

rang

o de

ngan

lito

logi

tuff

lava

V

gp2

: Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

teng

ah d

i Gun

ung

Ged

e-Pa

ngra

ngo

deng

an li

tolo

gi tu

ff la

va

Vgp

2 : K

eruc

ut v

ulka

nik

pada

lere

ng te

ngah

di G

unun

g G

ede-

Pang

rang

o de

ngan

lito

logi

tuff

lava

V

gp3 :

Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

baw

ah d

i Ged

e-Pa

ngra

ngo

deng

an li

tolo

gi tu

ff d

an la

har

Vgp

3 : K

eruc

ut v

ulka

nik

pada

lere

ng b

awah

di G

ede-

Pang

rang

o de

ngan

lito

logi

tuff

dan

laha

r V

gp3 :

Ker

ucut

vul

kani

k pa

da le

reng

baw

ah d

i Ged

e-Pa

ngra

ngo

deng

an li

tolo

gi tu

ff d

an la

har

58

Lam

pira

n 6.

Has

il pe

rhitu

ngan

stat

istik

Para

met

er E

stim

ate

s

Estim

ate

Std.

Err

or

Wal

d df

Si

g.

95%

Con

fiden

ce In

terv

al

Low

er

Bou

nd

Upp

er B

ound

Th

resh

old

[Lon

gsor

= 1

,00]

15

.328

3.

064

25.0

31

1 .0

00

9.32

3 21

.333

[L

ongs

or =

2,0

0]

17.7

42

3.02

4 34

.426

1

.000

11

.816

23

.669

Lo

catio

n El

evas

i -.0

02

.002

.4

93

1 .4

83

-.006

.0

03

[Ler

eng=

1,00

] -3

.682

2.

950

1.55

8 1

.212

-9

.463

2.

100

[Ler

eng=

2,00

] -2

.981

2.

829

1.11

0 1

.292

-8

.527

2.

564

[Ler

eng=

3,00

] -3

.774

2.

872

1.72

7 1

.189

-9

.402

1.

855

[Ler

eng=

4,00

] -3

.287

3.

461

.902

1

.342

-1

0.07

1 3.

497

[Ler

eng=

5,00

] 0a

. .

0 .

. .

[LU

=2,0

0]

-1.9

27

1.64

7 1.

369

1 .2

42

-5.1

55

1.30

1 [L

U=3

,00]

.6

82

.692

.9

71

1 .3

25

-.675

2.

039

[LU

=4,0

0]

1.51

2 .6

85

4.86

7 1

.027

.1

69

2.85

4 [L

U=5

,00]

0a

. .

0 .

. .

[CH

=1,0

0]

19.1

88

2.01

2 90

.960

1

.000

15

.245

23

.132

[C

H=2

,00]

20

.210

1.

662

147.

887

1 .0

00

16.9

53

23.4

67

59

[CH

=3,0

0]

19.8

58

1.54

4 16

5.51

8 1

.000

16

.833

22

.883

[C

H=4

,00]

20

.901

1.

323

249.

709

1 .0

00

18.3

09

23.4

94

[CH

=5,0

0]

0a .

. 0

. .

. [L

andf

orm

=2,0

0]

.399

.5

85

.465

1

.495

-.7

47

1.54

5 [L

andf

orm

=3,0

0]

0a .

. 0

. .

. [L

itolo

gi=1

,00]

19

.789

.0

00

. 1

. 19

.789

19

.789

[L

itolo

gi=2

,00]

-1

.491

.7

39

4.07

5 1

.044

-2

.939

-.0

43

[Lito

logi

=4,0

0]

0a .

. 0

. .

. [T

anah

=3,0

0]

1.07

8 1.

131

.908

1

.341

-1

.139

3.

295

[Tan

ah=4

,00]

0a

. .

0 .

. .

Link

func

tion:

Log

it.

a.

Thi

s par

amet

er is

set t

o ze

ro b

ecau

se it

is re

dund

ant.

60

Kenampakan Pada Citra (Band 654) Kenampakan di Lapangan

Hutan

Hutan

Semak

Semak

Permukiman

Permukiman

Kebun Campurran

Kebun Campurran

Lampiran 7. Kenampakan penutupan/penggunaan lahan pada citra dan di lapangan

61

61

Perkebunan

Perkebunan

Badan Air

Badan Air

Sawah

Sawah

62

Lam

pira

n 8.

Con

toh

long

sora

n pa

da m

asin

g-m

asin

g un

it ge

omor

folo

gi

U

nit

Geo

mor

folo

gi

Dim

ensi

Lon

gsor

an

Gun

ung

Ged

e Pa

ngra

ngo

Long

sor K

ecil

Long

sor S

edan

g Lo

ngso

r Bes

ar

S : 6

'51.

437,

E : 10

6'52

.609

S : 6

'53.

090,

E : 10

6'57

.702

S : 6

'50.

835,

E : 10

6'50

.706

Gun

ung

Sala

k

S : 6

'47.

978,

E : 10

6'46

.007

S : 6

'49.

414,

E : 10

6'45

.029

S : 6

'45.

081,

E : 10

6'46

.094

63 C

onto

h lo

ngso

ran

pada

mas

ing-

mas

ing

unit

geom

orfo

logi

(lan

juta

n)

Uni

t Geo

mor

folo

gi

Dim

ensi

Lon

gsor

an

Gun

ung

Tala

ga

Long

sor B

esar

S :

6'56

.537

,E :

106'

28.0

54

S : 6

'53.

042,

E : 10

6'27

.596

64

Lampiran 9. Longsor yang telah menewaskan korban jiwa

Kejadian longsor yang telah menewaskan 12 korban jiwa pada tanggal 11 Maret 2015 di Kampung Cimerak, Desa Tegal Panjang, Kecamatan Cireunghas. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, titik longsor terjadi akibat adanya aktivitas manusia, seperti pemotongan lereng untuk keperluan penggunaan lahan tertentu, seperti pembangunan jalan. Dampak dari pemotongan lereng tersebut adalah menurunkan stabilitas lereng, sehingga lereng mudah mengalami longsor. Oleh karena itu perlu adanya tindakan mitigasi untuk menekan jumlah angka korban. Secara deskriptif beberapa rekomendasi seperti pemahaman masyarakat terhadap longsor perlu ditingkatkan terutama dampak tindakan pemotongan lereng yang dapat menurunkan stabilitas lereng. Mitigasi yang telah dilakukan oleh masyarakat antara lain seperti membuat bronjong atau struktur batuan penahan lereng agar terus digalakkan supaya tidak terjadi longsor di waktu yang akan datang seperti pada gambar dibawah ini.

Lokasi setelah kejadian longsor (sebelum pemasangan bronjong)

Lokasi setelah kejadian longsor (setelah pemasangan bronjong)

Material longsoran yang menimbun permukiman warga

65

65

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 25 Juni 1993 sebagai anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan ayah Tjetjep Badrudjaman dan Ibu Ratnaningsih. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SD PUI Lebaksirna, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Cisaat tahun 2008. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 4 Kota Sukabumi dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan. Selama masa perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra serta Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun ajaran 2014/2015 dan 2015/2016. Pada bulan Juli-Agustus 2014 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Sindangsari, Kecamatan Cikaum, Kabupaten Subang. Sementara itu, penulis juga aktif dalam kegiatan akademik dan non akademik di lingkungan kampus IPB.