36
1 Juni 2013 www.balairungpress.com Karut-Marut Pasca Relokasi balkon Edisi 140, Juni 2013

Balkon 140

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Balkon 140 "Karut-Marut Pasca Relokasi"

Citation preview

1Juni 2013

ww

w.b

alai

rung

pres

s.co

m

Karut-Marut Pasca Relokasi

balkonEdisi 140, Juni 2013

2 balkon

3Juni 2013

UGM Milik RakyatBukan

Milik Rektorat

4 balkon

Daftar Isi

Editorial/ 5

Laporan Utama Dinamika Regulasi Penataan PKL 6

Laporan Utama Karut-Marut Pasca Relokasi 7

Sisi LainDua Angkringan untuk Kehidupan Gelanggang 11

Jajak PendapatRelokasi ke Pujale Tidak Menguntungkan PKL 13

Dialektika Membaca Sistem dalam Penetapan Harga BBM 14

ApresiasiRamayana dalam Modernitas dan Komedi 16

PotretSepeda Bekas Tunjungsari 18

KomunitasWaterplant,Solusi Permasalahan Air Bersih 20

SosokMerajut Cita Di Tengah Keterbatasan 22

RehalTrauma Putri Pahlawan Revolusi 24

EurekaPendidikan Baru dalam Ruang Demokrasi Pancasila 26

SiasatUGM dan PKL 28Mengenang PKL, Menimbang Relokasi 29

OpiniMinoritas dalam Eksklusivitas 30

Gores 32

InterupsiAsing 33

Si Iyik 33Surat Pembaca 34

PenanggungjawabM. Misbahul Ulum

KoordinatorYuliana Ratnasari

Tim Kreatif Hamzah Zhafiri, Rindiawan, Ummi

Khaltsum, Yoga Darmawan

EditorDian, Dimas, Dhila, Faisol, Ibnu, Mira,

Nafe’, Nisa, Reksa, Shiane

RedaksiAdrian, Agung, Agus, Arifanny, Bobby, Dessy, Ganesh, Inez, Lintang, Nuzula,

Oktiviani, Ria, Tya, Wicak

RisetAnis, Aryo, Ayu, Sofiyah

PerusahaanAlif, Arul, Dody, Fauzi, Lilo, Manda,

Mila, Rama

Produksi dan ArtistikArdi, Ben, Berliana, Elvia, Fifin, Jojo,

Morinka, Nabil, Nawang, Nurokhman, Rangga, Syafiq, Yesika, Yoel

CoverJojo

ALAMAT REDAKSI, SIRKULASI, IKLAN DAN PROMOSI: Bulaksumur B-21 Yogyakarta

55281, Facebook:

Bppm BalairungTwitter:

@bppmbalairung Website:

www.balairungpress.comE-mail:

[email protected]:

Ummi (085221715181)Rekening BNI Yogyakarta

0258228557 a.n. Wiwit Endri Nuryaningsih

Redaksi menerima tanggapan, kesan, kritik, maupun saran pembaca sekalian yang

berkaitan dengan lingkungan UGM melalui email, atau sms ke 081916311792 atau

juga dapat disampaikan langsung ke Redaksi Balairung di Bulaksumur B-21.

balkonDITERBITKAN BPPM BALAIRUNG UGM

5Juni 2013

Pihak UGM bisa saja melontarkan klaim atas wilayah, lalu dengan lantang meneriaki PKL sebagai tamu tak diundang dan layak disingkirkan. Tindakan seperti ini memang menjadi kegemaran bagi pihak yang merasa punya kuasa. Persis seperti yang kerap dilakukan pemerintah terhadap PKL di ruang-ruang publik: mengirim satpol PP untuk mengusir mereka tanpa memberi solusi apa-apa.

Hasilnya, tindakan semacam ini justru menimbulkan masalah baru. PKL yang tergusur kocar-kacir memikirkan tempat berjualan. Pelanggan yang bertahun-tahun menjadi tempat mereka bergantung hidup, hilang. Belum lagi jika PKL merugi dan gulung tikar. Bisa dibayangkan, bagaimana pengangguran bertambah. Dan, bagi pakar ilmu sosial, pengangguran dan kemiskinan adalah salah satu biang keladi kriminalitas. Di sebuah institusi pendidikan nan megah seperti UGM, mestinya tak sulit mencari birokrat kampus yang paham akan hal ini.

Nyatanya kebijakan penataan PKL masih menjadi paradoks tersendiri di kampus ini. Di satu sisi UGM mendaulat diri sebagai--kami kutipkan langsung dari visi UGM--institusi pendidikan yang bermartabat, dan dengan dijiwai Pancasila mengabdi kepada kepentingan dan kemakmuran bangsa. Lucunya, visi itu terus digembar-gemborkan sembari menggusur PKL, menuding mereka sebagai tamu tak diundang, dan karena itu, bisa seenaknya direlokasi.

Tindakan yang lebih cerdas sebenarnya bisa dilakukan. Kalau saja birokrat kampus mau sedikit menoleh kebelakang, apa yang dilakukan Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri bisa dijadikan pelajaran. Rektor periode 1986-1990 itu sadar betul akan pentingnya hubungan baik antara UGM dengan PKL. Sebab, keberadaan PKL melayani puluhan ribu mahasiswa UGM dengan tempat makan yang terjangkau. Ia juga menyadari kedudukan UGM terhadap roda ekonomi masyarakat di sekitarnya. Penataan PKL pun dilakukan dengan penuh pertimbangan. Pihak PKL diajak bersama-sama memikirkan solusi tebaik bagi kedua belah pihak. Kebijakan yang dikeluarkan pun merupakan buah kesepakatan kedua belah pihak.

Akan tetapi, tindakan itu agaknya sulit dilakukan. Pihak UGM perlu sedikit merendahkan hati untuk duduk bersama PKL. Jubah kebesaran universitas riset harus mau bersanding dengan handuk pengelap keringat para pedagang. Hal yang paling sulit, tampaknya, menyesuaikan konsep educopolis dengan kedudukan UGM sebagai kampus kerakyatan.

Balkon kali ini kembali mengangkat isu PKL. Isu ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak beberapa tahun terakhir, UGM memang gencar melontarkan berbagai kebijakan terhadap PKL. Tetapi, tingginya intensitas pengeluaran kebijakan tak berbanding lurus dengan kualitas pelaksanaannya. Buktinya adalah penolakan dan keluhan yang terus datang dari PKL, baik sebelum maupun sesudah relokasi. Karena itu kami tetap memandang penting persoalan ini. Cita-cita UGM untuk mewujudkan kawasan elite pendidikan bak perumahan mewah yang menyediakan segalanya sah-sah saja. Perkaranya tinggal bagaimana cita-cita itu tidak mematikan PKL yang selama ini mengais rezeki di kampus kerakyatan ini.

Akhirnya, selamat membaca dan berdialektika! Redaksi

Editorial

Balairung/Awan

6 balkon

Jalan Pancasila terlihat lengang. Tak tampak lagi pedagang yang biasa mendorong gerobak di sekitarnya seperti pada awal 2000-an. Para pedagang itu sudah lama tak singgah di

Jalan Pancasila. Kini, mereka berkumpul di belakang Gelanggang Mahasiswa.

Mulanya adalah Surat Keputusan (SK) Rektor bernomor 256/p/HT/2008. Isinya, UGM perlu memberikan kesempatan dan dukungan berusaha kepada usaha kecil. Pemberian kesempatan dan dukungan itu diwujudkan dengan melakukan penataan, pembinaan, dan pengembangan. Tindakan nyata dari kebijakan tersebut adalah relokasi para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dulu menempati berbagai wilayah di UGM.

Jika ditelisik, sebenarnya hubungan antara UGM dengan PKL sudah terjalin cukup lama. Dalam masa jabatannya sebagai rektor(1986-1990), Prof. Koesnadi Hardjasoemantri mengundang PKL di seputar kampus untuk menempati lahan kosong di wilayah UGM. Hal itu diceritakan dalam buku “Pemikiran Agraria Bulaksumur” karangan Ahmad Nashih Luthfi, dkk (2010). Koesnadi memandang keberadaan PKL sebagai solusi atas kebutuhan konsumsi yang dihadapi oleh 35.000-an mahasiswa UGM. Koesnadi dengan tegas mengatakan, keputusan untuk menerima kehadiran para PKL itu tidak lepas dari komitmen kerakyatan UGM. Karenanya, lahan-lahan kosong tersebut kemudian dialokasikan untuk proses jual-beli para PKL dan dikenal sebagai Kompleks Pedagang Kaki Lima.

Setelah rektor berganti, perubahan mulai terjadi. Pasca 1990, tidak ada lagi kebijakan yang mengatur keberadaan PKL. Mereka tak lagi merasa terikat dengan perjanjian yang dibuat pada masa kepemimpinan Koesnadi. “Satu per satu mereka

Dahulu diminta menempati lahan kosong, kini mereka dianggap sebagai tamu tak diundang.

kembali mengisi jalanan UGM, meninggalkan kompleks yang dihuninya selama beberapa tahun,” tutur Prof. Susetyawan, dosen Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM yang juga peneliti Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK).

Sikap PKL ini, dinilai Susetyawan, adalah akibat dari ketidakjelasan kebijakan terkait pedagang kaki lima saat itu. “Kalau tidak ada aturan yang melarang, ya berarti diperbolehkan,” tutur Susetyawan. Ia menduga sikap diam para pembuat kebijakan sebagai alasan kembalinya PKL ke jalanan. Para PKL, menurutnya, terlanjur merasa nyaman berdagang di jalan-jalan.

Selama belasan tahun para PKL melenggang di jalanan UGM, memang tak ada kebijakan yang melarang. Baru pada 2008 para pembuat kebijakan merasakan perlunya penataan. Dengan SK Rektor, mereka mencoba mengembalikan kerapian yang dulu tercipta. “Sampai saat ini UGM sudah melakukan relokasi sebanyak tiga kali,” ungkap Kepala Satuan Keamanan dan Keselamatan Kampus (SKKK), Drs. Noorhadi Rahardjo, M.Sc. Dalam relokasi PKL, pihak SKKK berperan sebagai eksekutor penertiban.

Tindakan pertama UGM adalah merelokasi PKL di sepanjang Jalan Pancasila pada 2009.Mereka dipindahkan ke wilayah kosong di belakang Gelanggang Mahasiswa dan sisi timur Fakultas Ilmu Budaya. Kedua daerah tersebut sekarang dikenal sebagai dua kantin utama di kawasan sosio-humaniora. Relokasi selanjutnya dilakukan pada 2010. PKL yang berada di sekitar lembah dipindahkan ke kantin Pusat Jajanan Lembah (Pujale).

Saat ini, UGM sedang menjalankan proses relokasi PKL di sepanjang Jalan Agro. Rencananya, mereka akan direlokasi ke sebelah timur areal PKL

Laporan Utama

Dinamika Regulasi Penataan PKLBalairung/Yesika

7Juni 2013

Agro dengan konsep stan seperti Pujale.Mengenai relokasi yang dilakukan, Direktorat

Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) sebagai pembuat kebijakan memiliki alasan sendiri. “Selain menjajakan makanan yang kurang sehat, mereka juga telah merampas hak pejalan kaki,” ujar Ir. Sudarmoko, M.Sc., Direktur DPPA UGM.Menurut Sudarmoko mayoritas alumni kerap gagal di tahap akhir seleksi kerja, yaitu tes kesehatan. Kebanyakan dari mereka mengidap Hepatitis A. “Makanan yang dijual PKL adalah penyebab utama kegagalan alumni,” ujar Sudarmoko.

Pertimbangan lain dalam merelokasi PKL adalah karena mengganggu pengguna jalan di trotoar. Ketika mahasiswa berjalan di seputaran kampus, kenyamanan mereka diusik oleh PKL yang berjualan di trotoar. Sudarmoko mengatakan, seharusnya PKL yang membangun usaha di sekitar kampus lebih diatur agar mahasiswa tidak merasa terganggu. Untuk mewujudkan keteraturan itulah pihak DPPA melakukan relokasi PKL.

Sebelum merelokasi, pihak UGM mengaku telah melakukan beberapa tahapan. “Merelokasi itu tidak sembarangan, perlu persiapan yang matang,” terang Noorhadi. Ia menjelaskan, sebelum melakukan relokasi, dibuat kesepakatan awal antara pihak DPPA dan SKKK. Berikutnya, pihak UGM memberikan surat pemberitahuan relokasi kepada PKL. SKKK akan melakukan kunjungan atau pengawasan untuk mengetahui tanggapan PKL. Bila ada yang dirasa tidak sesuai dari pihak PKL, UGM mengundangnya untuk melakukan diskusi bersama memberikan solusi. Keputusan bersama dari hasil diskusi itulah yang kemudian akan direalisasikan.

Namun, dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan cara pandang antara pihak DPPA dan PKL. Hal ini menyebabkan meningkatnya penolakan terhadap relokasi. Menurut Ketua Paguyuban Pujale, Yoga Adi Pratama, relokasi yang dilakukan DPPA kurang berpihak pada rakyat kecil. Ia pun membandingkan kebijakan saat ini dengan masa ketika Koesnadi menjadi rektor. “Saat Koesnadi

menjabat sebagai rektor, kami benar-benar diayomi. Beliau selalu mau berkomunikasi langsung dengan kami,” rujuknya pada Guru Besar Fakultas Hukum kelahiran Tasikmalaya itu. Berbeda dengan pada masa kepemimpinan Koesnadi, saat ini DPPA dianggap lebih menutup pintu komunikasi. Bahkan, DPPA sampai sekarang belum pernah menemui langsung pihak PKL.

Keluhan dari PKL ditanggapi dingin oleh Sudarmoko. Direktur DPPA itu berdalih, UGM memiliki kuasa penuh atas tanah yang digunakannya.Ia bahkan mengumpakan kehadiran PKL sebagai tamu tak diundang. “Tentunya anda tidak akan membiarkan orang asing masuk begitu saja ke halaman rumah, bukan?” celetuknya.

Kebijakan yang dianggap elitis mendorong penolakan keras disuarakan oleh pihak PKL. “Dulu saja diiming-imingi omset yang meningkat setelah direlokasi, nyatanya pemasukan kami jauh menurun,” ungkap Yoga. Ia juga mengatakan bahwa omset PKL Pujale hanya sekitar 30% dari pendapatan sebelum direlokasi. Hal ini menyebabkan beberapa PKL di Pujale gulung tikar.

PKL Agro yang juga menjadi target relokasi selanjutnya pun ikut bersuara. Sofyan Adi, salah satu PKL Agro, mencontohkan sikap PKL yang tergabung di Pujale sebagai bentuk nyata kerugian yang akan dialami. “Baru satu tahun saja sudah menimbulkan keluhan,” protesnya. Sofyan menambahkan, kerugian yang dialami PKL disebabkan wilayah yang tak strategis.

Suprihono selaku Ketua Aliansi PKL UGM mengungkapkan hal senada. Menurutnya, apabila dikumpulkan di wilayah yang tidak strategis, PKL tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar. “Namanya juga Kaki Lima, Kanan Kiri Lintas Masyarakat,” tuturnya. Ia menambakan, PKL dicari masyarakat karena kedekatannya. Karena itu, tempat yang tak strategis akan menurunkan minat masyarakat terhadap PKL. “Lah, kalau jauh, untuk apa cari PKL,” simpulnya singkat. [Agus, Lintang, Ria]

Balairung/Yesika

8 balkon

Laporan Utama

Warung-warung di Foodcourt Gelanggang Mahasiswa tampak lengang, Kamis (2/5) lalu. Waktu masih menunjukkan Pukul 19.00, sebagian besar pedagang

di sana sudah tutup. Padahal, Jalan Kaliurang masih ramai dengan lalu – lalang kendaraan bermotor. Beberapa pedagang Foodcourt tampak sedang mengemasi barangnya sambil duduk di pinggir gerobak. Mereka berbincang mengenai warung yang semakin hari semakin sepi. Salah satunya Lina Situmorang, pemilik warung ayam bakar di foodcourt. Bersama empat puluh pedagang foodcourt lainnya, Lina tetap bertahan di lokasi usahanya, meski penghasilannya semakin tak bisa diandalkan. “Dulu omset kami mencapai empat ratus ribu per hari, sekarang cuma delapan puluh ribu,” ungkap Lina kecewa. Ia menambahkan, jika masih ada pengunjung di malam hari, paling-paling hanya sebagian mahasiswa pegiat UKM di Gelanggang.

Sebelum Foodcourt berdiri pada 2009, Lina dan puluhan Pedagang Kaki Lima (PKL) lainnya masih ramai berjajar di Jalan selatan Grha Sabha Pramana (GSP). Namun, sejak Surat Keputusan (SK) Rektor UGM No. 256/P/SK/HT/2008 terbit, pedagang terpaksa pindah. SK ini berisi pengaturan usaha kecil di lingkungan kampus. Para PKL direlokasi ke area barat Gelanggang Mahasiswa, tempat Foodcourt yang dikenal saat ini.

Setelah empat tahun relokasi, Foodcourt UGM kian bertambah sepi. Menurut Lina, hal ini disebebakan letak Foodcourt yang tidak strategis. Terlebih, kini terjadi pembatasan pada pintu masuk area Gelanggang. Di sebelah utara, akses dibatasi dengan diterapkannya jalan satu arah yang hanya bisa dimasuki oleh kendaraan ber-KIK. Sedangkan jalan di sebelah selatan telah ditutup dan dijadikan kantong parkir. Keduanya menyebabkan akses kendaraan untuk berlalu-lalang terbatas. “Kalau ada orang lewat kan sekaligus ada promosi,” ujar Lina yang juga ketua aliansi PKL Foodcourt.

Relokasi memang berdampak besar pada pendapatan PKL. Lina memaparkan, pendapatan mereka merosot hingga 20%. Banyak pedagang yang akhirnya harus gulung tikar. Padahal, biaya listrik dan kebersihan yang harus ditanggung pedagang tiap bulan tak pernah turun. “Saat ini banyak yang tidak berjualan. Padahal operasional tetap harus dibayar secara kolektif, karena itu menyangkut air, listrik, dan keamanan tempat ini (Foodcourt),” ungkapnya.Hasilnya, sampai saat ini, Ia mencatat sekitar sebelas pedagang sudah gulung tikar.

Lina dan para pedagang di Foodcourt mengeluhkan pengelolaan PKL yang tidak ideal. Semula, PKL Foodcourt berada di bawah tanggung jawab PT. Gama Multi. Perusahaan tersebut mengaku pernah diberi wewenang dari Rektorat

untuk mengelola Foodcourt sejak 2007. “Kami

diminta untuk mengurusi infrastruktur Foodcourt dan membantu publikasi

usaha mereka,” ujar Arif Purnomo, Staf Umum PT. Gama Multi Usaha Mandiri(GMUM). Publikasi Foodcourt dilakukan menggunakan brosur serta mempromosikannya lewat Radio Swaragama.

Namun, sejak tahun 2010 wewenang GMUM dicabut dan digantikan oleh DPPA. “Sejak kepengurusan ganti, kebijakan justru semakin buruk,” tukas Lina. Menurutnya DPPA justru tidak lagi mengikuti perkembangan PKL Foodcourt.

Keluhan pascarelokasi juga diutarakan paguyuban PKL Pusat Jajanan Lembah (Pujale) yang sebelumnya berjualan di sepanjang Jalan Sosio Yustisia. Adi Yoga, ketua paguyuban PKL Pujale mengatakan bahwa banyak janji-janji UGM yang belum ditepati. Sebelum PKL bersedia direlokasi ke

Relokasi dirasakan membawa rugi, pi hak Rektorat cenderung tak peduli

Karut-Marut Pasca Relokasi

9Juni 2013

Pujale, pihak DPPA menjanjikan promosi bagi mereka. “Kami juga dijanjikan workshop untuk pembekalan berwirausaha,” tambah Adi.

Selain janji yang belum dipenuhi, PKL juga mengeluhkan berbagai pungutan yang dibebankan kepada mereka. PKL harus membayar biaya retribusi Rp 2.000,00 per hari. Padahal mereka masih harus menanggung biaya air, listrik dan kebersihan. “Bahkan kami tidak tahu uang kami dikemanakan,” keluh Adi bingung.

Di sisi lain, pendapatan PKL pascarelokasi terus merosot. Adi memperkirakan penurunan penghasilan mencapai 30%. Serupa dengan PKL Foodcourt, pedagang Pujale juga mengeluhkan lokasi dagang yang kurang strategis. Letak Pujale yang berada di dalam tempat parkir Lembah dirasakan kurang dekat dengan pelanggan. Masyarakat umum pun enggan untuk membeli karena mengira Pujale

hanya ditujukan bagi mahasiswa saja. “Padahal, mahasiswa yang parkir di sini juga belum tentu beli,” ungkapnya.

Pihak UGM, melalui Direktorat Pengelolaan dan Pemelihraan Aset (DPPA), sebenarnya mengetahui hal itu. Drs. Supriyanto, staf DPPA, mengatakan bahwa DPPA telah melakukan berbagai usaha untuk mendampingi mereka. Misalnya, studi banding PKL ke Solo yang dilakukan pada tahun 2010. Kemudian, pendampingan bagi pedagang untuk diversifikasi barang dagangan.

Supriyanto menerangkan, penurunan omset salah satunya dikarenakan kecenderungan pedagang untuk menjual barang yang sama. Hal ini membuat pelanggan cepat bosan. Persaingan yang kompetitif tidak tercipta antarpedagang. Akibatnya, makanan yang dijual tidak variatif. Situasi ini menyebabkan susahnya menjaring pembeli. DPPA pun menyarankan pedagang untuk memvariasikan barang dagangnya.

Menurut Supriyanto, promosi pun telah dilakukan di awal berdirinya Foodcourt

dengan perantaraan Radio Swaragama. Ia juga beranggapan bahwa DPPA telah memberikan perhatian dari segi kebersihan dan kesehatan. “Pengecekan kebersihan dan kesehatan barang dagang pernah diadakan agar makanan yang dijual terjamin kesehatannya,” tambah Supriyanto.

Pemaparan pihak DPPA ini disanggah PKL. Lina menilai DPPA hanya menepati janji

di awal pendiriannya saja. Kecewa dengan tanggapan DPPA yang tak berkelanjutan, PKL

Foodcourt dan Pujale menyusun inisiatif sendiri. “Kita mengajak para pedagang untuk berinovasi terkait menu makanan. Selain

itu, kita juga mengurus pinjaman uang ke Bank,” urainya. Dalam hal kepengurusan peminjaman, tidak satu pun pihak UGM yang ikut andil. Para pedagang sepakat mengajukan peminjaman sendiri ke BPR Bumi Artha. Pinjaman inilah yang digunakan sebagai modal untuk mengembangkan menu-menu makanan yang lebih variatif.

PKL Pujale juga berusaha mempromosikan diri mereka dengan membuat spanduk sendiri. Spanduk ditaruh menghadap ke depan jalan agar keberadaan mereka menarik perhatian pengguna jalan. Tindakan serupa juga PKL Foodcourt. Mereka bahkan menempuh cara yang unik untuk menarik perhatian pembeli. Caranya, setiap seminggu sekali mereka menampilkan hiburan campursari. “Sejak setahun lalu ada panggung campursari, beberapa minggu sekali selalu kita bikin pertunjukan,” terang Lina. Berbagai inisiatif tersebut memang tak berdampak besar. Namun, di tengah abainya pihak UGM, hal itulah yang bisa dilakukan PKL agar dapat tetap bertahan. [Ganesh, Agung]

Relokasi dirasakan membawa rugi, pi hak Rektorat cenderung tak peduli

Karut-Marut Pasca Relokasi

10 balkon

Sisi Lain

“Ivanovic!” seru seorang pria yang baru saja keluar dari pintu barat gelanggang mahasiswa. Sambil berjalan menuju gerobak angkringan ia melanjutkan, “Es teh empat, diantar ya.” Seruan

itu disambut dengan senyum oleh si empunya angkringan. Dengan sigap, ia mengambil gelas dan mulai membuat pesanan. Namanya memang bukan Ivanovic. Tetapi beberapa mahasiswa di gelanggang memang kerap memanggil Mas Yanto dengan nama pemain bola favoritnya itu.

Keakraban Mas Yanto dan pegiat UKM sudah terjalin sejak belasan tahun lalu. Berbekal informasi dari seorang temannya, pada tahun 2000 ia membuka angkringan di sisi barat gelanggang mahasiswa. Karena banyak menghabiskan waktunya berjualan di kawasan gelanggang, pria asal Gunung Kidul ini sekarang mondok di Blimbingsari, Sleman.

Mas Yanto bukan satu-satunya penjual angkringan di kawasan gelanggang mahasiswa. Ada juga Mas Kuat yang berjualan di sisi utara gelanggang. Pada tahun 2003, ia melanjutkan usaha angkringan milik ayahnya di sekitar UGM. Sebelumnya ia juga pernah mencoba peruntungan di Semarang setelah lulus dari SMK di tahun 2000.

Dalam sehari Mas Kuat bisa mendapat keuntungan bersih antara dua ratus sampai tiga ratus ribu rupiah. Namun, ada kalanya angkringan sepi dan hanya bisa mengantongi seratus ribu. Pendapatan tersebut ia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. “Keuntungannya relatif, yang penting cukup untuk kehidupan keluarga,” kata pria yang memiliki seorang isteri dan anak itu.

Kendati pendapatan masih tak menentu, ia tetap rutin membuka angkringannya. “Biasanya buka sekitar pukul 10,” ujar Kuat. Mahasiswa maupun pegawai yang berkegiatan di sekitar gelanggang mulai berdatangan ketika angkringan baru dibuka. Terlebih menjelang jam istirahat siang, semakin banyak mahasiswa dan pegawai yang singgah. Bungkusan nasi kucing, aneka gorengan, serta sate dan beragam minuman pun siap mengisi perut mereka.

Jam buka angkringan dalam melayani kebutuhan mahasiswa di gelanggang tergolong beragam. “Tergantung pembeli sih mas,” tutur Kuat. Ia terkadang harus membuka angkringannya sampai subuh. Namun, apabila tidak ada pembeli lagi maka angkringan akan tutup lebih awal. Berbeda dengan Mas Kuat, Mas Yanto memilih membatasi jam berjualan angkringannya sampai tengah malam. “Kan mahasiswa juga besoknya harus kuliah,” katanya.

Dulu angkringan menjadi salah satu tempat berkumpul favorit mahasiswa. Banyak hal yang dapat mereka lakukan di sana. Mulai dari sekedar mengobrol hingga larut malam, sampai mengerjakan tugas kuliah. “Bahkan dulu juga sering dipakai rapat oleh anak-anak UKM,” kenang Mas Kuat. Tidak heran jika saat itu hampir semua ketua UKM mengenal Mas Kuat.

Dua Angkringan untuk Kehidupan GelanggangAnkringan Mas Yanto dan Mas Kuat seolah tak terpisahkan dari kehidupan di gelanggang. Belasan tahun melayani mahasiswa, hubungan yang terjalin pun melampaui jual beli.

11Juni 2013

dengan Mas Kuat, ia tak terlalu memusingkan hal itu. Hubungan antara pedagang angkringan dan mahasiswa, menurutnya, bukan sekedar hubungan jual beli. “Kita mungkin nggak dapat duit, tapi teman,” kata Yanto.

Keberadaan angkringan Mas Kuat dan Mas Yanto di gelanggang mahasiswa melukiskan hubungan saling ketergantungan antara PKL dan pembelinya. Namun, keberadaan PKL saat ini kian terancam. UGM, dengan Rencana Induk Pengembangan Kampus Tahun 2005-2015, hendak mewujudkan visinya sebagai kampus educopolis. Targetnya adalah menciptakan lingkungan yang kondusif untuk proses pembelajaran. Keberadaan PKL di UGM yang belum tertata dengan baik dinilai menghalangi visi tersebut. Rencana relokasi pun mengancam keberadaan mereka.

Selain persoalan letak, masalah kebersihan dan kesehatan makanan juga dijadikan alasan. Menurut Ir. Sudarmoko, M.Sc, Direktur Direktorat Pengembangan dan Pengelolaan Aset, selama ini banyak alumni gagal melalui tes kesehatan karena terkena penyakit hepatitis A. Ia menilai penyakit tersebut adalah akibat mengkonsumsi makanan yang dijual PKL. Oleh karena itu UGM berencana merelokasi PKL agar dapat mengontrol kebersihan dan kualitas makanan.

Sebenarnya, wacana relokasi PKL di UGM bukanlah hal baru. Sebelumnya, relokasi pernah dirasakan oleh PKL yang berjualan di sekitar Boulevard dan Lembah. PKL angkringan di gelanggang mahasiswa pun tak luput dari upaya relokasi. Angkringan Mas Yanto juga sempat menjadi salah satu targetnya. Namun, mahasiswa di gelanggang membela angkringan Mas Yanto.Angkringannya pun lolos dari rencana relokasi. “Lagi pula kan duluan saya daripada petugas-petugas SKKK itu,” kisahnya.

Keakraban antara mahasiswa gelanggang dengan angkringan Mas Kuat dan Mas Yanto adalah potret hubungan PKL dengan pembelinya. Keduanya hanyalah bagian kecil dari sekian banyak PKL di lingkungan UGM. Sayangnya keberadaan PKL masihterancam upaya relokasi dengan berbagai pembenaran. Tentunya relokasi akan menimbulkan kerugian baik terhadap pedagang maupun pembelinya. Apabila PKL direlokasi maka pembeli akan kesulitan mencari tempat makan dengan harga yang terjangkau. Terlebih, hubungan harmonis antara pedagang dan pembeli yang telah dibangun sekian lama juga akan ikut tergusur. Lokasi berjualan pascarelokasi pun tidak menjamin kesejahteraan seperti yang didapatkan PKL di tempat semula. Di tengah ancaman dan ketidakpastian yang mengarah pada PKL, Mas Kuat hanya bisa menyampaikan harapannya. “Ya, mudah-mudahan selama ada gelanggang, angkringan akan tetap hidup.” [Arifanny, Wicak]

Seiring berjalannya waktu, perubahan mulai dirasakan. Pembatasan masa studi yang awalnya longgar, kini dimampatkan. Mahasiswa dituntut untuk lulus lebih cepat, tak boleh melampaui waktu tujuh tahun. Belum lagi biaya kuliah yang semakin mahal mendorong mahasiswa untuk segera lulus. Alhasil, mahasiswa tak banyak mengembangkan diri di UKM, apalagi berinteraksi dengan lingkungan sekitar UKM. “Kan kalau sekarang kuliah dibatasi, jadi nggak semua kenal saya,” kata Mas Kuat.

Meskipun demikian, sebagian mahasiswa masih cukup akrab dengan pedagang angkringan. Salah satunya adalah Ainun, anggota UKM Merpati Putih. Sore itu, Senin, (20/5) sebelum ke sekretariat UKM Merpati Putih, Ia menyempatkan diri mampir ke angkringan Mas Yanto. Sambil memasukkan beberapa gorengan ke kantung plastik, ia bertegur sapa dengan Mas Yanto.

Selama beraktivitas di gelanggang, angkringan menjadi tujuan Ainun dan teman-temannya saat sedang haus atau lapar. Dengan keberadaan angkringan mereka tidak perlu pergi jauh untuk mencari makanan dan minuman. Selain itu, harganya pun terjangkau. “Lima ribu rupiah saja sudah kenyang,” jelas Ainun.

Keakraban antara pedagang dan mahasiswa juga membuat angkringan menjadi tempat yang nyaman bagi mereka. “Karena sudah kenal sama penjualnya

jadi enak kalo beli,” tutur Ainun. Tak jarang, keakraban dengan pedagang angkringan menyelamatkan mahasiswa di

akhir bulan. Ada kalanya mahasiswa tak mempunyai uang dan terpaksa

harus berhutang. Meski demikian, pedagang angkringan tak keberatan. “Sudah sering kalau mahasiswa hutang,”

terang Kuat. Ia bahkan tak pernah mencatat atau pun menagih hutang para mahasiswa. Ia percaya mereka akan membayar

ketika sudah mempunyai uang. “Pernah juga ada yang bayar hutang sampai puluhan ribu, padahal nggak saya ingatkan,” kisah Mas Kuat.

Perkara mahasiswa yang berhutang juga dihadapi oleh Mas Yanto. Senada

Dua Angkringan untuk Kehidupan Gelanggang

12 balkon

Penataan PKL bertujuan untuk menciptakan kampus yang educopolis. Konsep educopolis mengharuskan UGM menata kampus secara terstruktur. Pola tersebut dibentuk dengan

penanaman pohon, pembangunan jalur pejalan kaki, dan jalan-jalan menuju pusat jajanan. Dalam mewujudkan struktur tersebut PKL direlokasikan kepada beberapa area di kampus UGM. PKL yang sebelum penataan berjualan di trotoar-trotoar sekitar kampus, dianggap pihak UGM sebagai sebuah ketidakteraturan. Itulah awal mula kebijakan relokasi UGM untuk menertibkan para PKL ke lokasi yang dianggap lebih tepat.

Semua titik relokasi menggambarkan kebijakan UGM akan konsep educopolis. Penempatan PKL diatur supaya tidak lagi berada di trotoar-trotoar sekitar kampus. Relokasi tersebut berada di empat area. Keempat area tersebut adalah Foodcourt Plaza Campus, Plaza Mandiri, Pusat Jajanan Lembah (Pujale), dan pedagang Jalan Kesehatan.

Pujale merupakan titik relokasi terbaru. Pujale diresmikan pada tanggal 2 Januari 2012. Berdasarkan surat dari Direktorat Pengelolaan dan Pengembangan Aset (DPPA) UGM melalui Surat No.048/Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset/2013. UGM berusaha menata kampus yang

bersih dan nyaman untuk proses pembelajaran. Proses penataan lingkungan kampus diwujudkan dengan merelokasi para PKL agar tidak menimbulkan kesemrawutan di jalanan.

Peratuan kebijakan relokasi PKL tersebut didapat dengan hasil survei tim Balairung disekitar area Pujale. Sekitar hingga saat ini baru 23 PKL yang menempati kios Pujale (Pusat Jajanan Lembah). Mereka berasal dari lembah atas dan lembah bawah. Berikut Data dari surat No.048/Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset/2013.

PKL kemudian membentuk aliansi paguyuban sebagai sarana pendukung komunikasi bagi mereka. Paguyuban tersebut diketuai oleh Adi Yoga. Sedangkan Suprihono mengetuai aliansi PKL. Paguyuban berfungsi mengurusi aktivitas eksternal para PKL Pujale seperti penambahan pedagang baru. Sedangkan aliansi, membina hubungan antara sesama anggota internal, perihal interaksi antar PKL di Pujale.

Untuk mengetahui kesejahteraan PKL Pujale setelah direlokasi, Balairung melakukan survei. Berdasarkan data dari surat DPPA, jumlah pedagang Pujale terdapat 23 PKL. Saat Balairung melakukan survei, jumlah pedagang Pujale hanya 10 yang aktif berjualan. Dari 10 PKL ini, hanya tujuh PKL yang

Relokasi ke Pujale Tidak Menguntungkan PKLSemula UGM menargetkan relokasi Pujale demi kesejahteraan PKL. Namun kebijakan itu justru merugikan beberapa pedagang.

Jajak Pendapat

Balairung/Fifin

13Juni 2013

Relokasi ke Pujale Tidak Menguntungkan PKL

bersedia menjadi responden dari survei Balairung sedangkan sisanya tidak bersedia karena berstatus bukan pemilik kios.

Survei menunjukan dari ketujuh PKL, didapatkan dua pedagang yang pendapatannya tetap, dua pedagang pendapatannya meningkat dan tiga pedagang yang pendapatannya menurun setelah direlokasi. Survei juga menunjukkan bahwa setelah relokasi tidak semua PKL mengalami peningkatan laba. Didapatkan dua PKL yang mengalami peningkatan laba, dua konstan dan tiga mengalami penurunan laba. Data tersebut menunjukan bahwa relokasi kampus belum memenuhi sasaran yang di targetkan. Dengan perbandingan tiga pedagang yang mengalami penurunan dan hanya dua pedagang yang mengalami peningkatan dapat dikatakan relokasi ini merugikan pihak PKL.

Kebijakan relokasi PKL, khususnya di Pujale, merupakan suatu win-win solution dari UGM. Melalui relokasi ini, UGM tidak perlu melakukan penggusuran demi menata lingkungan kampus. Tempat relokasi yang disediakan bagi PKL lengkap dengan kios, fasilitas air dan listrik, serta berada di titik keramaian. Dengan begitu, relokasi tidak menghambat perkembangan usaha PKL namun justru meningkatkan pendapatan mereka.

Namun dalam pelaksanaannya, ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan rancangan relokasi. Bentuk bangunan sudah menarik dan bagus, tetapi lokasi kios Pujale yang terlalu menjorok ke dalam area katong parkir. Penempatan bangunan yang

terlalu ke dalam membuat Pujale seperti terasing. Faktor-faktor tersebut membuat tujuan relokasi tidak tercapai. Hal ini terlihat dari hasil survei yang menunjukkan penurunan keuntungan beberapa pedagang.

Berbagai persoalan yang terjadi memang terlalu dini untuk disimpulkan sebagai kegagalan relokasi. PKL Pujale yang pada awalnya berada di sekitar Jalan Olahraga Timur tidak semua merasakan perbaikan kesejahteraan setelah berjualan di Pujale. Dari perbandingan jumlah pedagang yang mengalami penurunan pendapatan, menunjukan bahwa program relokasi UGM ini menimbulkan dampak relatif negatif bagi PKL.

Perbandingan antara jumlah kebutuhan PKL dengan laba bersih menunjukan tingkat kesejahteraan PKL Pujale yang diperoleh setiap harinya. Beberapa PKL di Pujale belum mampu memenuhi kebutuhan pokok setelah berjualan di Pujale. Program relokasi PKL ini mempengaruhi berbagai faktor yang mana saling terkait. secara tidak langsung penataan PKL Pujale berpengaruh terhadap laba yang menjadi indikator kesejahteraan kehidupan pedagang.

Relokasi Pujale di kantong parkir lembah dirasa belum cukup adil bagi PKL. PKL merasa ada perbedaan sebelum dan sesudah direlokasi. Pada awalnya UGM bertujuan meningkatkan daya jual PKL melalui penertiban ini. Namun realitasnya penertiban ini malah mengurangi keuntungan pedagang. [Anis, Aryo]

Balairung/Fifin

Balairung/Fifin

14 balkon

Dialektika

Harga minyak mentah rata-rata Indonesia menurut perhitungan Indonesian Crude Price (ICP) tahun ini mencapai 100 dolar AS per barel. Tingginya harga itu

menimbulkan kekhawatiran pemerintah dalam mengatur anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Tahun ini, negara menganggarkan dana subsidi BBM sebesar Rp 193 triliun. Dana sebesar itu dianggap sangat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

APBN yang dialokasikan untuk subsidi BBM selama ini dianggap tidak tepat sasaran. Hal ini terbukti dengan banyaknya kalangan menengah atas yang ikut merasakan bantuan tersebut. Akibatnya, pemerintah pun berencana menghapuskan subsidi BBM. Isu peniadaan subsidi berimbas pada rencana kebijakan kenaikan harga BBM. Seperti tahun-tahun sebelumnya, rencana kebijakan kenaikan harga BBM menimbulkan kontroversi. Masyarakat khawatir harga bahan pokok ikut merangkak naik.

Berangkat dari hangatnya isu tersebut, Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung menyelenggarakan diskusi bertajuk “Dilematika Kebijakan Kenaikan Harga BBM Bersubsidi”. Diskusi tersebut dihelat di Perputakaan Hasbi Lallo, Jalan

Kembang Merak B21 Perumahan Dosen UGM, Jumat (10/5). Diskusi menghadirkan Awan Santosa, Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Ahmad Rizky M. Umar, Mantan Menko Eksternal BEM KM UGM, dan Bhima Yudhistira Adhinegara, Peneliti Syariah Corner sebagai pemantik.

Mengawali diskusi, Awan menjelaskan, kebijakan kenaikan harga BBM membuat rakyat sulit memenuhi kebutuhannya. Terlebih lagi setelah Undang-undang Minyak dan Gas (UU Migas) berlaku, pengelolaan minyak bumi tidak sepenuhnya dikuasai negara. Hal ini sangat tidak relevan dengan cita-cita bangsa yang tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sesuai pasal tersebut, BBM merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.

UU Migas membuat kesejahteraan rakyat tidak mungkin terpenuhi karena penguasaan harga oleh pasar. UU ini mengisyaratkan Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak lagi menjadi satu-satunya perusahaan yang menguasai pengelolaan minyak bumi di Indonesia. Chevron, Shell, Pertronas dan Exon adalah beberapa perusahaan asing yang turut serta menguasainya. Adanya campur tangan perusahaan asing ini

Subsidi BBM yang tidak tepat sasaran dituding sebagai penyulut jebolnya APBN. Di sisi lain kebijakan naiknya harga BBM dianggap tidak memihak rakyat.

Membaca Sistem dalam Penetapan Harga BBM

Dari kiri ke kanan : Awan Santosa, Bhima Yudhistira Adhinegara, Ahmad Rizky M. Umar Balairung/Nawang

15Juni 2013

membuat negara sulit mengendalikan harga minyak di pasar. “Terlebih tidak ada kontrol negara dalam mengendalikan harga pasar,” beber Awan.

Menurut Awan, kebijakan kenaikan harga BBM dipenuhi muatan ideologis dan politik. Dari segi ideologi, kapitalisme mewarnai penetapan harga BBM oleh pasar. Ini karena adanya pemahaman yang menganggap negara kini hanya sebagai pemuas keinginan perusahaan asing. “BBM kini dijadikan sebagai komoditas,”katanya.

Sepakat dengan Awan, Umar pun berpendapat kini energi hanya dijadikan komoditas untuk mendapatkan profit setinggi-tingginya. Apalagi energi sudah selayaknya dijadikan sebagai hak setiap warga negara Indonesia. “Dengan menjadi komoditas, penjualan BBM hanya menguntungkan pihak tertentu,” imbuhnya.

Berkembangnya ideologi kapitalis sebenarnya telah diantisipasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK memberi wewenang pada pemerintah untuk menetapkan harga BBM. Namun, Awan berpendapat, kewenangan itu justru menimbulkan krisis kedaulatan. Ini terjadi karena pemerintah justru menetapkan harga berdasarkan pasar dunia yang dipengaruhi perusahaan asing, bukan berdasarkan keadaan rakyatnya sendiri. “Nyatanya presiden lebih berani pada rakyatnya dibanding pada pihak asing,” keluhnya.

Selanjutnya, Umar memaparkan bahwa persoalan utama bukan terletak pada besarnya kenaikan harga, tapi pada kenaikan harga BBM yang terjadi setiap tahun. Akibatnya, peraturan perdagangan minyak bumi yang pro rakyat semakin sulit diterapkan. “Pertamina kini hanya menjadi operator perusahaan asing, tidak lagi memihak rakyat,” tuturnya.

Berbeda dengan Awan dan Umar, Bhima setuju terhadap kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Ia mengatakan bahwa pemerintah sudah sepantasnya fokus pada hal-hal yang bersifat praktis, bukan lagi ideologis. “Pada kenyataannya APBN jebol, harga BBM harus naik, ” tegasnya.

Kebijakan kenaikan harga BBM dianggap menjadi langkah paling cepat untuk menyelamatkan APBN. Subsidi BBM dari APBN sebesar Rp 193,8 triliun mengakibatkan APBN jebol. “Pendapatan kita tahun ini hanya 1529 triliun dan belanja negara 1683 triliun, otomatis negara mengalami defisit sebesar 154 triliun,” beber Bhima.

Menurut Bhima, naiknya harga BBM akan membantu perekonomian rakyat kecil. Rakyat akan diberikan Bantuan Langsung Sementara sebagai kompensasi naiknya harga BBM. Namun, kenaikan harga ini harus tetap dilakukan secara bertahap. “Kenaikan secara bertahap dapat dijadikan strategi pemerintah agar tidak memberatkan rakyat,” paparnya.

Awan dan Umar tidak sependapat dengan rencana praktis pemerintah menaikkan harga BBM. Mereka lebih menginginkan adanya perbaikan sistem secara mendasar dalam pengelolaan minyak di dalam negeri. Langkah ini dianggap lebih tepat dibandingkan harus menaikkan harga BBM. “Jika solusinya adalah kenaikan harga, nantinya juga akan naik lagi, ini adalah sistem yang dzalim,” ungkap Awan. Oleh sebab itu Awan juga menyarankan, perlu diadakannya kontrol yang jelas dalam setiap tahapan pengelolaan minyak bumi.

Awan memaparkan kontrol terhadap pengelolaan minyak bumi tersebut diharapkan dapat memperbaiki pola produksi, alokasi, dan konsumsi BBM. “Kontrol bisa diwujudkan dengan memperbaiki UU Migas dan membuat UU pengelolaan energi,” terangnya. Kemudian Umar menambahkan, kontrol ini harus dilakukan dari bagian hilir sampai ke hulu. “Kontrol hulu diperlukan untuk mengatur pengelolaan minyak bumi di kilang-kilang, sedangkan di hilir merupakan kontrol di bagian pemasarannya,” jelasnya.

Ada berbagai cara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat, salah satunya dengan memperbaiki sistem. Namun Ane, peserta diskusi, justru mengkhawatirkan APBN yang akan segera jebol. “Perbaikan sistem memakan waktu yang lama,” ujarnya. Menanggapi hal itu, Awan pun berpendapat, sistem yang ada memang terbilang sulit diperbaiki, tapi merupakan langkah paling tepat. “Ini karena dapat memengaruhi keberlanjutan sistem kedepannya,” tandasnya.

Menurut Umar dan Awan, perbaikan sistem harus terus dilanjutkan. Peran dari setiap orang diperlukan untuk memulainya. Mahasiswa misalnya, harus dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik. Hal itu dilakukan dengan berperan pada bidang ilmunya. “Sudah semestinya setiap orang turut memperbaiki sistem ini,” pungkas Umar. [Dessy,Tya]

16 balkon

Apresiasi

Kisah klasik Rama-Sinta dikemas dalam bentuk parodi, membuatnya lebih dekat dengan generasi masa kini.

Seorang pedanda membakar dupa di pojok ruangan. Harumnya menguar. Pedanda itu melanjutkan ritualnya: berdoa, memohon kelancaran bagi pementasan. Hari itu (5/5), Keluarga Mahasiswa Hindu Budha (KMHD) UGM menggelar operet. Kisahnya diambil dari cerita pewayangan Ramayana, namun diparodikan.

Operet “Ramayana The Series: Kisah Cinta dan Lain-Lain” menjadi acara puncak dari rangkaian perhelatan Dharma Santi Nyepi Kampus 1935 Caka. Pementasan yang berlangsung di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri (PKKH) ini sarat sentuhan modernitas. Hal itu ditunjukkan lewat kostum pemain yang sesuai gaya anak muda masa kini. Contohnya Sinta, kekasih Rama. Alih-alih mengenakan pakaian a la Ramaana, ia justru mengenakan rok mini. Rama, sang Raja yang menjadi tokoh utama, pun tak mengenakan pakaian kebesaran atau mahkota. Hanya kaus yang dibalut kemeja untuk menekankan kesan muda.

Carita pun bermula dari rayuan Rama kepada Sinta saat mereka sedang berdua di hutan. “Sayang, di mata kamu ada apa?” tanya Rama. Melihat Sinta penasaran, Rama melanjutkan, “Sepertinya di sana ada cintaku untukmu.” Sinta yang mendengar rayuan itu pun tersipu malu. Ternyata kejadian itu terlihat oleh Laksmana, adik Rama. Ia pun menggoda kakaknya, namun dengan segera diusir oleh Rama.

Ketika Laksmana pergi, ia bertemu Sarpakenaka, adik Rahwana. Tanpa basa-basi, Sarpakenaka menyatakan rasa sukanya pada Laksmana. Laksmana yang dalam pewayangan bernama asli Lesmana ini pun kaget. Serta merta ia menolak. Sebab ia tak suka pada Sarpakenaka yang menjadi anggota balap motor.

Ramayana dalam Modernitas dan Komedi

Sarpakenaka yang merasa malah berkeras meminta Laksmana menyukainya. Karena kesal, Laksmana pun menarik belati dari balik sakunya dan dengan penuh emosi melayangkannya pada Sarpakenaka. Belati itu menebas hidung Sarpakenaka dan membuatnya terpotong. Tak terima dengan perlakuan itu, Sarpakenaka berlari dengan marah dan mengadukan perlakuan Laksmana pada Rahwana.

Dalam operet, sosok Rahwana, Raja raksasa dari Alengka ditampilkan secara berbeda. Dengan baju berantakan dan temperamen tinggi, ia justru terlihat bak preman. Meski digambarkan sebagai sosok jahat, ekspresi dan gerakan tubuh yang lucu tetap muncul darinya. Seperti saat Rahwana menari-nari tak jelas dengan lagu “Madu Tiga” sebagai musik latar belakang. Penonton sampai harus memegangi perut karena tertawa melihatnya.

Rahwana yang diminta membalas dendam pun langsung mengiyakan permintaan adiknya. Sebenarnya, Rahwana pun punya rencana lain. Ia ternyata ingin memperistri Sinta setelah melihat foto Twitter-nya yang cantik jelita.

Rahwana pun pergi menemui Laksmana bersama Kumbakarna, adik laki-lakinya. Melihat Laksmana hanya berdua saja dengan Sinta di hutan, Rahwana meniru suara Rama. Teriakan itu mengabarkan rama yang sedang dalam bahaya karena sedang mencari kijang emas untuk Sinta. Sinta yang cemas pun meminta Laksmana menyusul kakaknya.

Tipu daya Rahwana berhasil. Laksmana pun pergi setelah sebelumnya membuat lingkaran suci untuk melindungi Sinta. “Kakak jangan melewati lingkaran ini ya,” pesan Laksmana. Hanya saja, setelah Laksmana pergi, Rahwana dan Kumbakarna

Apresiasi

Balairung/Nawang

17Juni 2013

datang. Rahwana menyamar sebagai kakek tua yang kelaparan. Ia lalu membujuk Sinta agar keluar dari lingkaran. Siasat itu berhasil. Dengan cepat, Rahwana dan Kumbakarna lantas menyeret gadis itu pergi.

Saat Rama dan Laksmana kembali, mereka terkejut melihat Sinta tak ada. Laksmana yang merasa bersalah ikut menemani kakaknya. Dengan kalut mereka pergi mencari Sinta. Dalam perjalanan, mereka bertemu kera putih bernama Hanoman. Kera baik hati itu pun menawarkan bantuan. Jatayu, burung yang menjadi teman Hanoman, memberi tahu ke mana Rahwana dan Kumbakarna melarikan Sinta.

Ketiga ksatria ini lalu mengikuti petunjuk Jatayu menuju Alengka, negeri kediaman para raksasa. Di sana mereka bertemu Sarpakenaka. Melihat Laksmana, Sarpakenaka langsung mengancamnya. “Kalau kamu mau Sinta hidup, kamu menikah sama aku! Kalau nggak, Sinta aku bunuh!”

Ancaman Sarpakenaka itu ditolak Laksmana yang justru berbalik menantangnya. Dengan jurus pamungkas Panah Sakti Ambara Suli, Laksmana pun mengalahkan Sarpakenaka. Melihat si adik kalah, Rahwana memerintahkan Kumbakarna menghadapi Rama, Laksmana dan Hanoman. Kumbakarna lalu mengerahkan dua raksasa untuk membantunya.

Dengan percaya diri Kumbakarna mengeluarkan Kamehameha, jurus Son Goku dalam film Dragon Ball. Jurus itu tepat mengenai Laksmana. Tak terima, Hanoman ganti menyerang Kumbakarna dan dua raksasa hingga mereka kalah. Hanoman lalu memberikan Daun Sanjiwani berhelai empat yang dibawanya untuk mengobati Laksmana. Seketika, Laksmana pun segar kembali.

Setelah Kumbakarna kalah, Rama meminta Laksmana dan Hanoman menyingkir. Ia sendiri yang akan melawan Rahwana. “Laksmana, Hanoman, ini bagianku!” tegasnya. Pertempuran sebenarnya pun dimulai.

Rama dan Rahwana bertukar serangan. Jurus Panah Sakti Ambara Suli dari Rama dibalas dengan jurus Bola Api dari Rahwana. Lalu disusul dengan Api Amaterasu, salah satu jurus dari kartun Naruto. Serangan itu mengenai Laksmana dan Hanoman yang berada tepat di belakang Rama. Ia pun membalasnya dengan jurus pamungkas Panah Kahyangan Tiga. Jurus itu mengenai Rahwana dan membuatnya kalah.

Saat menyaksikan adegan pertarungan, penonton tertawa. Tingkah laku dua lelaki yang muncul menjadi figuran dalam adegan pertarungan ini membuat penonton geli. Mereka berpakaian serba hitam. Bahkan wajah mereka pun dicat hitam. Hanya gigi putih yang terlihat saat mereka tertawa. Di atas panggung, dengan berjingkat mereka membawa bola api dari gabus untuk menunjukkan efek jurus para pemain.

Mengetahui Rahwana kalah, Rama lalu memeluk Sinta dengan bahagia. Penonton pun bersorak melihat kedua tokoh utama saling berpelukan mesra. Dari belakang, dua figuran datang

membawa gabus berbentuk hati. Tingkah mereka yang ingin menggambarkan rasa cinta Rama-Sinta ini membuat penonton tertawa lagi.

Anak Agung Ngurah Anom PW, mahasiswa Teknik Fisika ‘11 selaku ketua panitia puas melihat reaksi penonton yang antusias. “Terharu juga melihat yang datang sebanyak ini. Karena sebelumnya publikasi hanya satu minggu tapi acara tetap bisa sukses,” ungkapnya.

Keberhasilan pementasan ini tak lepas dari campur tangan I Nyoman Adikarya Nugraha, mahasiswa Ilmu Keperawatan ’11 yang menjadi sutradara. Sejak awal ia sengaja mengambil kisah wayang Ramayana hanya sepenggal-sepenggal. Tujuannya supaya penonton dapat menikmati kisah wayang secara dekat tanpa merasa jenuh ataupun bosan. “Tahun lalu kami juga membuat pementasan, namun sifatnya serius. Karena itu, kali ini kami mencoba cerita yang lebih segar. Sebenarnya sempat takut juga memparodikan kisah wayang seperti ini,” tutur pria yang akrab dipanggil Mang Adi ini.

Menanggapi itu, Drs. Anung Tedjowirawan berharap inovasi dalam pementasan cerita pewayangan tak terlalu merubah karakter utama. “Ramayana masih termasuk dalam Smerti, bagian kitab Weda yang disusun berdasar ingatan. Nilai religiusnya pun sangat kental. Sehingga bila kisah tersebut diparodikan, kesannya kurang pantas,” terang pengajar Sastra Wayang Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.

Meski begitu, Mang Adi menegaskan bahwa tetap ada pesan dalam pementasan parodi ini. Ia berharap penonton dapat menangkap nilai kesetiaan dan bakti dalam cerita. Selanjutnya, menerapkan pesan itu pada alam, manusia dan Tuhan. [Bobby, Inez]

Balairung/Nawang

Balairung/Nawang

18 balkon

Sepeda Bekas

Foto dan teks: Nurrokhman

Terletak di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta, pasar sepeda Tunjungsari menjadi tempat pilihan pencari sepeda bekas dari berbagai kalangan pembeli. Pasar ini dikelola oleh Persatuan Pedagang Sepeda Yogya (PPSY) dengan 15 orang pedagang. Satu-satunya pasar sepeda yang resmi di Yogya ini memiliki ratuasan koleksi sepeda dengan harga mulai dari 250 ribu--15 juta rupiah tergantung pada kondisi fisik dan umur pemakaian. Tidak hanya menjual kepada pembeli, pedagang juga bersedia membeli kembali sepeda sesuai kesepakatan.

Potret

Tunjungsari

18 balkon

19Juni 2013

Sepeda Bekas Tunjungsari

19Juni 2013

20 balkon

Sosok

Kamis (16/5), seorang mahasiswa sedang asyik berdiskusi dengan temannya di depan mushola Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM. Ia menghadap sebuah laptop dan

mengetikkan sesuatu dengan mimik serius. Sesekali argumen dari temannya ia bantah dengan percaya diri. Kemeja batik dan celana kain yang dikenakan, membuatnya terlihat lebih bersahaja dari mahasiswa

Merajut Cita Di Tengah Keterbatasan

lain. Ia adalah Agung Widhianto. Sehari-hari, mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP) ‘12 ini lebih akrab disapa Widhianto.

Sejak kecil, Widhianto dibesarkan di lingkungan keluarga yang berpenghasilan rendah. Ayahnya berjualan di Stasiun Kebumen dan ibunya pernah menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia. Ketika sang ibu bekerja sebagai TKW,

Segala keterbatasan yang ia alami tidak membuatnya merasa kecil hati. Ia terus berjuang untuk mewujudkan cita-citanya.

Balairung/Nawang

21Juni 2013

Merajut Cita Di Tengah Keterbatasan

Widhianto kecil masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Masa kecilnya dihabiskan untuk berjualan nasi rames dan gorengan di stasiun Kebumen. Widhianto berkenalan dengan banyak orang dari profesi yang berbeda-beda di Stasiun Kebumen, mulai dari pengemis, tukang becak, hingga pedagang asongan. Berkenalan dengan banyak orang membuat Widhianto menjadi lebih peka dengan lingkungannya.

Kondisi perekonomian serba terbatas, membuat banyak tetangga meremehkan keluarga Widhianto. Sang ayah tidak ingin hal ini terjadi pada Widhianto. Hal ini membuat sang ayah mendidiknya dengan sangat keras. Seluruh perintah ayahnya harus dipatuhi, termasuk berjualan di Stasiun Kebumen. Jika Widhianto mengeluh atau membantah, maka sang ayah tak segan untuk menghukumnya. “Waktu itu saya hanya bisa nangis aja,” ujar Widhianto.

Sikap sang ayah ini berpengaruh besar terhadap kepribadian Widhianto. Di balik kedisplinannya, sang ayah ingin sang anak tumbuh menjadi seseorang yang kuat dan hebat. Setelah beranjak dewasa, Widhianto mengerti bahwa tindakan sang ayah itu bertujuan untuk mendidiknya. Hal ini membuat Widhianto ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa ia tidak lemah. Di setiap kesempatan, Widhianto selalu berusaha melakukan yang terbaik.

Ketika duduk di bangku kelas 8 Sekolah Menengah Pertama, Widhianto mengikuti pertemuan anak tingkat kabupaten di Benteng Van Der Wijk, Gombong, Kebumen. Kegiatan ini disponsori oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anak tingkat internasional, yaitu Plan International Indonesia Program Unit Kebumen. Saat mengikuti pertemuan tersebut, Widhianto aktif mengemukakan gagasannya. Keaktifan Widhianto ini membuat panitia organisasi anak tingkat Kabupaten, Komunitas Peduli Anak Kebumen (Kompak) menaruh perhatian kepadanya. Sejak saat itu, Widhianto bergabung bersama Kompak. “Kompak ini seakan menjadi batu loncatan bagi saya,” ujarnya.

Bersama Kompak, Widhianto tumbuh menjadi pribadi yang semakin aktif dan cerdas. Saat duduk di bangku kelas 11 Sekolah Menengah Atas, Kompak memilih Widhianto sebagai ketua. Selama menjadi ketua, Widhianto sering mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Kompak. Salah satu kegiatan yang paling berkesan bagi Widhianto adalah ketika ia menjadi pembaca deklarasi anak Jawa Tengah di depan Gubernur Jawa Tengah. Ia merasa sangat bangga karena ia mewakili seluruh anak di Jawa Tengah. “Saya sangat senang karena ketika itu acaranya juga disiarkan secara langsung melalui RRI,” tambahnya.

Setelah lulus SMA, Widhianto bertekad untuk meneruskan studinya ke Universitas Gadjah Mada. Beberapa orang, termasuk keluarganya, menyarankan untuk tidak kuliah di UGM karena alasan ekonomi. Akan tetapi, Widhianto tetap bersikukuh untuk melanjutkan pendidikannya di UGM. Ia belajar dengan sungguh-sungguh sambil mencari alternatif agar tidak terhimpit oleh masalah

ekonomi. Widhianto mengikuti SNMPTN jalur tertulis dan ternyata ia lolos. Ia masuk Jurusan Politik dan Pemerintahan (JPP). Selain itu, Widhianto mendapatkan beasiswa bidik misi dari pemerintah. Dengan perjuangan yang sedemikian besar, ia selalu berusaha menjalani perkuliahan dengan sebaik mungkin.

Aktif di Kompak membuka peluang bagi Widhianto untuk berpartisipasi di organisasi yang lebih besar. Kini ia aktif sebagai anggota Komite Pengarah Muda Plan International. Ia terpilih menjadi anggota LSM ini melalui serangkaian tahapan seleksi, mulai dari tingkat kabupaten hingga nasional. “Tahap seleksi ini terdiri atas pengetahuan mengenai HAM, wawancara bahasa inggris, dan yang ketiga itu harus memiliki komitmen”, ujarnya. Setelah terpilih hingga nasional, ia mewakili Indonesia sebagai anggota dari Asia Regional Office (ARO) Plan International. Program kerja ARO antara lain adalah menyiapkan, mengkritisi, dan memberikan masukan terhadap kebijakan Plan International untuk anak muda di dunia.

Untuk merealisasikan program kerja ARO, Widhianto mengikuti pertemuan dengan seluruh komponen Plan International di dunia. Pada 12-17 Februari 2012 yang lalu, Widhianto berpartisipasi dalam Global Youth Steering Committee and Key Stake Holder Meeting di London, Inggris. Pertemuan selanjutnya akan dilaksanakan pada 10-16 Juli mendatang di New York, Amerika Serikat. “Selama tiga tahun saya akan bekerja sama dengan teman-teman, perwakilan dari masing-masing negara, untuk merancang program ini”, tambahnya. Setiap bulannya, Widhianto juga harus mengikuti pertemuan melalui internet dengan anggota lain dari berbagai negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain.

Kesibukan yang dijalani Widhianto tidak membuatnya lupa diri. Widhianto tetap rajin menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Selain itu, Widhianto juga menjadi mahasiswa yang aktif berargumen di kelasnya. Hobinya membaca buku membuat Widhianto tidak kesulitan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan dosen atau temannya. “Widhianto itu punya pilihan kata yang baik. Omongan dia nggak monoton,” tambah Ridho Nurwantoro, salah satu sahabat seangkatannya.

Widhianto bukan mahasiswa yang aktif berorganisasi di fakultasnya. Akan tetapi, dirinya telah membuktikan bahwa ia memiliki eksistensi di bidang Lembaga Swadaya Masyarakat. Pengaruhnya di LSM Plan International juga sudah mendunia. Widhianto bangga karena telah membuktikan bahwa ia bisa lebih unggul dari orang lain dan tidak lagi dianggap lemah. Widhianto juga tidak pernah menduga akan bisa berperan di LSM internasional, apalagi sampai mengikuti pertemuan tingkat dunia. “Saya tidak menduga sebelumnya. Rasanya seperti mimpi, alhamdulillah,” ucapnya penuh syukur. (Oktiviani)

Balairung/Nawang

22 balkon

Trauma Putri Pahlawan Revolusi

Malam itu, 30 September 1965, tujuh jenderal TNI dibawa pergi oleh segerombolan orang yang mengaku sebagai pasukan Cakrabirawa. Lima

hari kemudian, jenazah mereka, yang kemudian dikenal sebagai Pahlawan Revolusi, ditemukan di sebuah sumur, daerah Lubang Buaya. Salah satu dari ketujuh jenderal itu adalah Mayor Jenderal (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo, ayah Nani Nurrachman Sutojo, penulis buku ini. Peristiwa itu kemudian diperingati sebagai pemberontakan G30S/PKI atau Tragedi 1965.

Sudah banyak yang membahas tentang Tragedi 1965 baik sebagai bahan penelitian, ide karya sastra, maupun diadaptasi ke film. Namun, pembahasan Tragedi 1965 selalu mengambil sudut pandang PKI sebagai korban. Memang, penumpasan PKI oleh rezim pemerintah saat itu dinilai sebagai pelanggaran HAM terberat yang pernah terjadi di Indonesia.

Nani Nurrachman Sutojo kemudian menulis buku Kenangan Tak Terucap : Saya, Ayah, dan Tragedi 1965. Buku ini memberikan perspektif baru mengenai Tragedi 1965. Tulisan Nani mencoba menjelaskan bahwa korban tidak hanya pihak PKI atau yang tertuduh PKI beserta keluarga dan keturunannya, tetapi juga keluarga dari para jenderal yang terbunuh. Dia mengambil posisi yang cukup netral tanpa keberpihakan politik. Ia bercerita melalui perspektif sebagai seorang anak yang kehilangan ayah saat berusia 15 tahun. Saat itu ia sama sekali tidak paham kondisi politik Indonesia.

Nani lebih banyak bercerita tentang keluarga dan trauma pascakematian ayahnya. Caranya menggambarkan sosok sang ayah ringan layaknya tutur remaja. Sosok ayah yang kebapakan, begitu sibuk tetapi tetap meluangkan waktu untuk masa depan anak-anaknya. Ia baru mengenal ayahnya sebagai seorang TNI setelah Tragedi 1965 melalui beberapa buku. Dari sana ia baru menyadari bahwa kematian ayahnya berhubungan dengan kepentingan politik Indonesia saat itu.

Setelah Peristiwa 1965, ia yang sudah menjadi anak yatim sejak umur 2 tahun harus bergulat dengan trauma tanpa dampingan khusus. Trauma yang dialami Nani, membuatnya menjadi pribadi yang selalu curiga pada siapa pun. Ia menganggap dunia luar penuh ancaman. Nani menjadi sulit bergaul karena terlalu membentengi dirinya agar tidak terluka lagi. Nani juga tidak mau ke Lubang Buaya sampai tahun 1987. Proses yang harus ia lewati untuk sembuh dari rasa trauma masa lalu

sekitar 22 tahun. Itulah jawaban Nani ketika ia diwawancarai oleh wartawan Suara Pembaruan tahun 2002.

Dalam mengatasi trauma dan kerinduannya kepada sang ayah, Nani tidak pernah membicarakan apa yang dirasakannya kepada kakak dan adiknya. Mereka lebih suka menyimpannya sendiri-sendiri. Baru pada tahun 1973 Ia merasa perlu untuk membagi traumanya. Pada tahun itu, adiknya yang masih menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) meninggal karena kanker hati. Setelah kematian adiknya itu, ia baru menyadari bahwa mereka mengalami trauma yang sama. Ia menyesal karena trauma antara ia dan saudaranya tidak pernah dibuka. Seharusnya ia dan adiknya saling memberi dukungan untuk menyembuhkan trauma masing-masing.

Kesadarannya akan kebutuhan penyembuhan trauma membuatnya melanjutkan kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Selepas kuliah, ia menjalani karier sebagai psikolog. Oleh karena itu, ia banyak membahas proses penyembuhan trauma sebagai korban dari peristiwa tersebut. Dari latarbelakangnya, ia juga mengkritik pemerintah yang tidak menyediakan bantuan psikolog untuk keluarga korban Tragedi 1965.

Proses penyembuhan trauma tidak hanya ia dapat sejak menjadi mahasiswa psikologi. Ada pula beberapa peristiwa penting yang turut membantunya berdamai dengan masa lalu. Salah satunya ketika ia bertemu dengan seorang Yahudi, mantan penghuni camp konsentrasi Auschwitz, Mrs. Nivelli. Mrs. Nivelli menyadarkannya bahwa ia tidak sendiri. Ada banyak orang di luar sana yang memiliki nasib yang sama dengannya dan berhasil sembuh dari rasa trauma.

Melalui buku ini, Nani menghadirkan perjalanannya bertemu keluarga korban tragedi 1965. Seperti ketika ia hadir dalam konferensi yang membahas Tragedi 1965. Yang paling berkesan adalah ketika ia ‘tertampar’ oleh pernyataan peserta diskusi yang menganggapnya bukan korban pada diskusi tahun 2003. Ia dianggap memiliki hidup yang lebih baik dibandingkan korban yang dianggap PKI sebab tidak didiskriminasi secara sosial-politik.

Sejak saat itu ia lebih banyak hadir dalam pertemuan-pertemuan bertemakan Tragedi 1965. Ia banyak bertemu dengan korban dari latar belakang yang berbeda-beda. Misalnya, Lohjinawi yang ayahnya dituduh sebagai anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan ditahan tanpa diadili sepuluh tahun. Nani juga bertemu dengan

“Salah atau benar adalah penilaian historis. Tetapi siapa yang menjadi korban dan siapakah yang menderita? semua.” - Nani Nurrachman Sutojo

Rehal

23Juni 2013

Judul buku : Kenangan Tak Terucap : Saya, Ayah, dan Tragedi 1965Penulis : Nani Nurrachman SutojoCetakan Pertama : Februari 2013Penerbit : Penerbit Buku KompasTebal : xliv + 228 hlm

Ibarurri Putri Alam Aidit, putri D.N. Aidit, yang tidak pernah kembali ke Indonesia pasca Tragedi 1965; Sugiarto Supardjo, anak Brigdjen Supardjo; dan anggota TNI yang dicurigai terlibat dengan PKI. Konferensi itu membuat Nani lebih memahami para korban Tragedi 1965 dari pihak lain.

Buku ini dikemas dengan sangat pribadi. Isinya adalah cerita tentang perjalanan Nani Nurrachman Sutojo pasca-Tragedi 1965. Di antaranya beberapa cerita saat Nani sekeluarga tinggal di London, foto-foto keluarga Nani, serta perjalanan karirnya. Namun, berkat bentuknya yang sangat pribadi pula, kita akan menemukan beberapa kisah yang cukup netral. Salah satunya, Nani menulis tentang Rachmawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra yang menyampaikan duka cita atas kematian ayahnya. Padahal, citra Soekarno dan sekeluarga pasca-peristiwa 30 September 1965 buruk.

Selain itu, ia pun mengkritik film Pengkhianatan G30S/PKI yang dianggap tidak mengangkat konteks sosial-sejarah pada saat peristiwa terjadi. Film yang

dijadikan tontonan wajib selama masa Orde Baru itu dinilainya terlalu menonjolkan peran Soeharto dan memberikan doktrin pada generasi muda yang tidak paham apa yang terjadi pada saat itu. Doktrin yang kemudian meninggalkan stigma buruk pada satu PKI.

Buku ini mengajak pembaca untuk bersama-sama merenungkan kembali Tragedi 1965. Siapa sebenarnya korban dari Tragedi 1965 ini? Jika kedua pihak (PKI dan TNI) adalah sama-sama korban, lalu siapa pelakunya? Meskipun ada beberapa hal yang terlihat seperti biografi, buku ini layak untuk dijadikan bahan diskusi mengenai Tragedi 1965. Kenangan Tak Terucap : Saya, Ayah, dan Tragedi 1965 mampu memberikan perspektif yang berbeda mengenai Tragedi 1965. Nani hendak menyampaikan pesan bahwa rasa sakit dan penderitaan yang dialami pasca-Tragedi 1965 tidak mengenal status. Untuk itu perlu adanya lebih banyak diskusi dari berbagai pihak untuk menemukan jalan memaafkan tetapi tidak melupakan. [Ayu]

Balairung/Anung

24 balkon

Eureka

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang ada di wilayah Asia Tenggara. Negara dapat dikatakan berkembang ketika sebagian besar aspek mengalami peningkatan dalam pengelolaan

sektor kenegaraan. Terdapat satu aspek yang memiliki peran penting dalam proses memajukan sebuah negara. Aspek tersebut ialah pendidikan bangsa yang berkarakter.

Pendidikan merupakan suatu proses yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperoleh pengetahuan. Namun untuk mencapai tujuan pendidikan, tidak cukup menyasar aspek kognitif semata. Perlu rancangan pendidikan yang juga bertujuan mengembangkan aspek afektif, seperti pendidikan karakter dan budaya.

Hal ini dikarenakan suatu bangsa dapat ditentukan oleh karakter dan budayanya. Dua hal tersebut memiliki peran penting dalam kelangsungan proses pendidikan. Di Indonesia, mendidik karakter dan budaya dapat dicapai melalui penautan nilai-nilai Pancasila ke dalam pendidikan. Hal itulah yang kurang terlaksana dalam kegiatan pendidikan di Indonesia. Aspek kognitif masih menjadi tujuan utama, sehingga aspek afektif seakan tertinggalkan.

Permasalahan tersebut membuat Syukri alumni S2 Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, melakukan penelitian berjudul “Landasan Aksiologis Demokrasi Pendidikan Pancasila dalam Membangun Masyarakat Indonesia Baru”. Menurutnya Pendidikan Nasional Indonesia diusahakan oleh bangsa Indonesia sendiri sekaligus diharapkan sejajar dengan bangsa lain. Instansi pendidikan hendaknya memiliki faktor penunjang yang memadai guna mengoptimalisasikan pendidikan.

Dimulai dari fasilitas kegiatan belajar mengajar (KBM) yang lengkap untuk menunjang perkembangan aspek kognitif, kemudian kualitas pengajar sebagai ujung tombak pendidikan afektif. Dengan begitu, pendidikan akan menciptakan peserta didik yang berguna dalam kemajuan negara.

Sayangnya, pendidikan Indonesia dewasa ini dinilainya mengalami penurunan kualitas. Penurunan tersebut disebabkan oleh kegagalan pengelolaan fasilitas yang menunjang kelancaran aktivitas. Hal tersebut membuat tujuan mulia dunia pendidikan tidak dapat terwujud sebagaimana mestinya.

Fenomena pengadaan Ujian Nasional (UN) bisa dijadikan tolak ukur. UN memperlihatkan bagaimana sebuah kebijakan kurang matang dari pemerintah dapat merusak kultur yang sudah terbangun. Melalui UN, siswa dibentuk bukan sebagai peserta didik pragmatis yang hanya bertujuan menjawab soal, bukan menalar permasalahan.

Hal itu membuat pendidikan menjadi ajang pengumpulan nilai angka semata. Pendidikan tidak

lagi bertujuan pada pembentukkan keterampilan dan kompetensi siswa. Hasilnya, banyak peserta didik yang tidak mampu menggunakan hasil pendidikannya setelah selesai bersekolah. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya lulusan penidikan yang mumpuni secara kognitif, namun tidak mampu menghasilkan solusi dari permasalahan-permasalahan di sekitarnya. Hal ini dikarenakan aspek kognitif lulusan terbentuk dengan basis hapalan. Ini diakibatkan penisbian kegiatan penalaran dalam kegiatan pendidikan.

Dalam lingkup yang lebih besar, fenomena ini adalah bukti dominasi pemerintah dalam bidang

Pendidikan Baru dalam Ruang Demokrasi PancasilaMeningkatkatkan kualitas generasi penerus cukup hanya memprioritaskan pendidikan formal. Diperlukan pembangunan karakter untuk membentuk individu berjiwa pancasilais

25Juni 2013

pendidikan. Segala hal dalam kegiatan pendidikan diatur dalam garis komando yang ketat. Hal ini membuat inovasi pendidik, yang sangat vital adanya, menjadi hilang. Padahal, proses pendidikan harus terus berkembang seiring kemajuan zaman. Akibatnya, kegiatan pendidikan di Indonesia masih menggunakan cara usang yang sudah ditinggalkan negara-negara lain.

Akibat lain yang muncul adalah masalah kecurangan dalam kegiatan pendidikan selalu muncul sebagai sorotan. Hal ini bisa diindikasikan sebagai hilangnya nilai moral dalam proses pendidikan. Melihat hal tersebut, menurutnya

mengajarkan anak nilai moral kejujuran jauh lebih penting. Namun hal tersebut harus didukung dengan penghilangan sistem-sistem kontra-produktif, seperti sistem ranking. Pendidikan seharusnya tidak bisa disamaratakan kepada semua peserta didik. Dengan begitu, sistem ranking yang menjadikan kelas sebagai ajang kompetisi menjadi tidak relevan.

Penelitian bidang filsafat ini merupakan penelitian kepustakaan. Sumber datanya diperoleh melalui buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan objek material mengenai demokrasi pendidikan pancasila dan objek formal yang menggunakan kajian aksiologis sebagai landasan penelitiannya.

Dalam penelitiannya, Syukri menggunakan tiga tahapan metodologi. Pertama adalah data penelitian dikelompokkan menjadi kepustakaan primer, sekunder dan interview. Kedua, jalannya penelitian dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian hasil penelitian. Ketiga, analisis data dengan menggunakan metode hermeneutika, yaitu penafsiran dengan cara mendeskripsikan, interpretasi, dan refleksi data.

Setelah susunan metode dilakukan, dihasilkan suatu analisis pembahasan mengenai demokrasi pendidikan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, masyarakat Indonesia baru pada era reformasi, dan peran demokrasi pendidikan Pancasila dalam membangun masyarakat Indonesia baru pada era reformasi. Ketiga pembahasan tersebut saling berkaitan dan selalu melibatkan peran pancasila sebagai acuan dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia.

Penelitian bertema demokrasi pendidikan Pancasila ini memberikan pandangan bagi masyarakat agar memperbaiki konsep pendidikan di Indonesia. Melalui tesisnya, Syukri berusaha memunculkan solusi atas masalah yang disorotnya. Solusi yang dimaksud adalah dengan gagasan demokrasi pendidikan. Ia berharap dapat memberikan wawasan pemikiran bagi pelaksanaan dan pengembangan sistem pendidikan nasional ke depan. Penentuan kebijakan diharapkan relevan dengan perkembangan zaman dan budaya.

Hal tersebut disebabkan oleh pola pendidikan yang saat ini “mengimani” konsep pendidikan barat. Padahal konsep pendidikan barat cenderung mendidik manusia secara individualis yang berarti kurang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Semestinya, bangsa kita menjadikan dasar dan nilai Pancasila sebagai tolak ukur keberhasilan dunia pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, pendidikan Indonesia akan memiliki prinsip kuat sebagai tolak ukur membentuk generasi bangsa yang unggul moral dan intelektual. (Sofiyah)

Pendidikan Baru dalam Ruang Demokrasi PancasilaMeningkatkatkan kualitas generasi penerus cukup hanya memprioritaskan pendidikan formal. Diperlukan pembangunan karakter untuk membentuk individu berjiwa pancasilais

26 balkon

Siasat

Universitas Gadjah Mada. Namanya tersohor ke seluruh pelosok negeri. Universitas ini menjadi cita-cita bagi banyak putra-putri bangsa untuk menuntut ilmu. Pun

demikian dengan saya yang tinggal di pelosok bagian barat Provinsi DIY. Ketika kecil saya sering diajak orang tua untuk berjalan-jalan ke Kota Jogja. Kampus UGM pun menjadi salah satu tujuan, meski hanya berkeliling menyusuri jalanan kampus sambil menyaksikan bangunan-bangunan elok di UGM. “Akan membahagiakan jika kamu dapat kuliah disini,” begitu kata ayah kepada saya. Entah apa yang ada dalam benak orang tua saya ketika mengatakan hal itu. Mungkin, disana ada harapan tentang kampus yang punya nama besar ini.

Tak salah kiranya, jika harapan tersebut tak hanya berasal dari satu orang namun juga dari seluruh penjuru nusantara. Ketika menetapkan hari kelahiran UGM, Presiden Soekarno menyampaikan pesan.

“Tanggal 19 Desember 1949 dipilih sebagai hari kelahiran Universitit Negeri Gadjah Mada untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat. Meskipun sudah diserang oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, dalam waktu satu tahun bangsa Indonesia telah mampu bangkit kembali. Kebangkitan kembali bangsa ini kita tunjukkan dengan mendirikan sebuah perguruan tinggi karena kekuatan suatu bangsa amat ditentukan oleh kemampuan lembaga pencerdas bunga-bunga bangsa dan sekaligus sumber inspirasi bagi rakyat.”

Pesan tersebut seirama dengan kalimat dari Prof. Dr. Sardjito, rektor pertama UGM pada 19 Desember 1955.

“Maka dapat digambarkan bahwa universitas dari sudut ini merupakan juga penjelmaan jiwa masyarakat, dalam arti menjadi petunjuk jalan, penggalang, dan pengasuh, serta pula insan kamil

masyarakat.”Pesan dari dua tokoh tersebut

begitu gamblang. Universitas bukanlah lembaga yang terpisah dari rakyat. Dia harus hidup bersama rakyat.

Kini, Universitas Gadjah Mada telah berkembang pesat. Di dalam website

UGM tercantum visi UGM sebagai pelopor perguruan tinggi nasional

berkelas dunia yang unggul dan inovatif, mengabdi kepada kepentingan

bangsa dan kemanusiaan, serta dijiwai nilai-nilai budaya bangsa berdasarkan

Pancasila. Hingga kini UGM masih dikenal sebagai kampus perjuangan dan

kerakyatan.

UGM memiliki visi untuk menjadi perguruan tinggi berkelas dunia. Visi tersebut menuntut perbaikan dalam segala hal mulai dari sisi akademik hingga sarana prasarana kampus. Tuntutan yang sangat logis.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah keberadaan pedagang kaki lima di dalam kampus. Dahulu, mereka leluasa untuk berdagang, keluar masuk, dan menempati berbagai lokasi di kampus dengan bebas. Tak bisa disangkal, keberadaan PKL kadang memang mengganggu namun mereka juga dibutuhkan. Disamping itu, mereka adalah orang-orang yang semata berjuang sendiri untuk bisa hidup. Sesuatu yang semestinya menjadi kewajiban negara.

Kini, universitas memiliki keinginan untuk menata mereka. Hal itu dilakukan demi mewujudkan kondisi kampus yang bersih, tertib, dan kondusif untuk kegiatan akademik. Keinginan yang sangat wajar dan sudah seharusnya. Bagaimanapun juga universitas adalah lembaga akademik bukan tempat untuk berdagang¬–baik berdagang pada level PKL maupun berdagang pada level akademik. Dalam kaitan dengan cita-cita itu, universitas kemudian berhadapan dengan realitas lapangan seperti PKL yang ada di dalam kampus,

Jika negara (pemerintah) sering menampilkan wajah dan perilaku bengis kepada rakyat melalui pendekatan kapital dan kekerasan, UGM seharusnya bisa tampil berbeda. Dia harus mampu mengoperasionalkan visi yang demikian gagah terpampang. Akan tetapi, tujuan yang baik seringkali tak berhasil jika tidak melalui proses yang tepat. Orang Jawa bilang: ora mung bener nanging yo kudu pener.

PKL adalah manusia. Pendekatan yang memanusiakan manusia mesti dikedepankan. Pendekatan yang Pancasilais sesuai dengan visi UGM mesti menjadi ciri utama universitas ini. Seperti yang disampaikan oleh Presiden Soekarno pada pembukaan Gedung UGM di Bulaksumur pada 19 Desember 1959.

“Maka oleh karena itu benar apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Sardjito pagi tadi: Pancasila adalah isi dari Gadjah Mada, isi daripada universitas ini, dan saya minta kepada semua mahaguru, pada lektor-lektor, supaya Pancasila, jiwa Pancasila itu, betul-betul dikobar-kobarkan, dihidup-hidupkan, di dalam kalangan mahasiswa semua.”

Istianto Ari Wibowo, SE (Peneliti di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM)

UGM dan PKL

27Juni 2013

Pedagang Kaki Lima (PKL) bukanlah bagian utama dalam kehidupan saya, mungkin juga di kehidupan pengguna jalan yang lain. Akan tetapi, PKL selalu hadir dalam kehidupan

sehari-hari kita, baik disadari atau tidak. Saat bersepeda dari kos menuju kampus, saya seringkali melewati jajaran PKL di Jalan Agro UGM. Mereka membuat tempat-tempat kecil yang disekat dengan anyaman dan tegak disokong bambu. Mereka ada. Mereka hidup. Mereka sederhana, tapi menyenangkan.

PKL menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan oleh warga sekitar yang mayoritas adalah mahasiswa UGM. Memang bukan kebutuhan besar sebab hanya sebatas pulsa, makanan, koran, majalah, bensin, dan tambal ban. Namun, semua kebutuhan itu dekat dengan kita. Maka, saat mendengar UGM akan merelokasi PKL Agro, saya kaget. Kok bisa?

Suatu program pembangunan dilaksanakan karena dasar-dasar yang biasanya dilandasi identitas pelaksana, tujuan, dan langkah tepat pelaksanaan. Rencana relokasi PKL Agro ke Pusat Jajanan Lembah (Pujale) dilaksanakan oleh pihak UGM dengan tujuan penataan bangunan.

Dalam hal ini, UGM sebagai pelaksana memiliki identitas sebagai Kampus Kerakyatan. Umumnya, Kampus Kerakyatan hidup untuk mendukung kemajuan masyarakat. Untuk mewujudkan identitas Kampus Kerakyatan yang berkualitas, UGM pun mencoba untuk merambah jati diri sebagai Kampus Educopolis. Identitas inilah yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas masyarakat UGM.

Untuk menjadi Kampus Educopolis, banyak hal yang perlu diperbaiki oleh UGM. Di antaranya adalah permasalahan penataan wilayah terkait PKL. UGM merelokasi PKL Agro ke Pujale dengan tujuan sentralisasi pusat perdagangan warga di titik-titik tertentu atas dasar estetika dan kenyamanan. Sekilas tampak baik, UGM merelakan sebagian tenaganya untuk mengurusi PKL.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang memang disayangkan dari rencana relokasi PKL Agro ke wilayah Pujale ini–jika saja itu terjadi. Dari segi pengambilan lokasi berdagang, PKL Agro sebenarnya sudah tertib. Wajarnya, relokasi PKL dilakukan karena PKL mengganggu aktivitas warga UGM terutama penghuni kampus. Namun, PKL Agro tidak mengganggu lalu lintas ataupun membuat kebisingan bagi warga UGM. Menurut pihak UGM, relokasi PKL ini ditujukan untuk memperindah jalur ringroad UGM. Apakah itu sebanding dengan kehidupan PKL yang direlokasi nantinya?

Pembangunan atas dasar estetika dan kenyamanan seringkali dilakukan tidak secara maksimal oleh UGM. Banyak bangunan-bangunan UGM yang terbengkalai, seperti Gama Plaza, asrama UGM di Sendowo, dan bangunan di Fakultas Geografi. Nantinya, wilayah PKL Agro akan dibangun sebagai lahan parkir. Apakah pelaksanaannya kelak akan maksimal? Atau justru nantinya akan menambah kemacetan? Apalagi, area jalan persimpangan lembah dekat PKL Agro ini tidak memiliki rambu-rambu lalulintas.

Rencana relokasi tersebut tentunya tidak bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat sekitar Klebengan dan pengguna jalan, seperti saat ban sepeda saya bocor atau teman saya kehabisan bensin dan butuh pulsa. Bahkan, pengguna jalan yang sekadar ingin ngadem sambil menikmati es krim rujak dan lotis akan merasakan dampak relokasi tersebut. Segmentasi pelanggan PKL Agro tidak hanya sekadar warga UGM tetapi juga pengguna jalan yang mayoritas non-warga UGM. Relokasi PKL seharusnya tidak hanya tentang pembangunan dan estetika, tetapi juga pelanggan, pendapatan, dan kehidupan. Ya, ini tentang relasi sosial dan humanisme yang selalu diperjuangkan oleh semua orang.

Saya tidak dapat membayangkan jika nantinya harus pergi jauh ke pasar hanya untuk membeli tanaman. Mereka, mahasiswa indekos sekitar PKL Agro, pun akan merindukan enaknya lotis, es krim rujak, dan lontong Sumatera. Mereka, pengguna jalan, juga akan kebingungan saat kehabisan bensin, ban bocor, atau sekadar isi angin untuk kendaraan mereka. PKL Agro pun akan mengalami kemerosotan pendapatan. Mereka, PKL Agro, harus bersaing ketat dengan pedagang lama di Pujale yang sebenarnya juga mengalami kemerosotan pendapatan. Semoga saja UGM bisa lebih bijak mempertimbangkan estetika pembangunan dan humanisme di lapangan.

Mira Tri Rahayu (Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia UGM 2010)

Siasat

Mengenang PKL, Menimbang Relokasi

28 balkon

Komunitas

Waterplant,Solusi Permasalahan Air BersihSemua manusia membutuhkan air. Melalui ilmu, komunitas Waterplant membantu masyarakat yang kesulitan air.

Rabu (22/5), suara hujan terdengar gemericik menerpa atap Laboratorium Bahan Bangunan Fakultas Teknik, UGM. Cahaya lampu berpendar dari salah satu

ruangan dekat tangga yang terletak di lantai dua gedung laboratorium. Beberapa anak muda terlihat sedang berkumpul membentuk lingkaran di ruangan tersebut. Mereka terdengar sedang berdiskusi mengenai permasalahan air dan antisipasinya.

Sekumpulan pemuda itu tergabung dalam komunitas Waterplant. Fokus komunitas ini adalah membantu masyarakat yang tempat tinggalnya belum dialiri air dari PDAM. Anggotanya berjumlah dua puluh lima orang. Tiga belas anggota berasal dari mahasiswa fakultas teknik dan sisanya dari luar fakultas Tehnik. “Anggota kami tidak hanya dari

fakultas teknik saja, tetapi juga ada yang berasal dari fakultas-fakultas ilmu sosial,” ujar Adib Farikha, salah satu anggota komunitas Waterplant. Dalam praktek di lapangan, mahasiswa dari luar fakultas Teknik membantu masyarakat tentang program yang diadakan sesuai dengan disiplin ilmunya.

Rabu malam merupakan jadwal rutin bagi komunitas ini berkumpul. Di setiap pertemuan, mereka mendiskusikan permasalahan kebutuhan air bersih bagi masyarakat provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). “Komunitas ini intinya sebagai katalisator pembangunan, memfasilitasi masyarakat yang berhubungan dengan air,” ungkap Almy Ruzni, salah seorang anggota komunitas Waterplant.

Selain memetakan berbagai permasalahan, mereka juga mewujudkan jalan keluar bagi

Balairung/Rangga

29Juni 2013

Keberlangsungan dari komunitas ini bukan tanpa kendala. Pembangunan instalasi air rentan dengan penyelewengan dan pembengkakan anggaran. “Ada juga pihak yang memanipulasi anggaran, masa pipa butuhnya dua kilometer dibilang butuhnya delapan kilometer,” ujar Syifa

Sebagai antisipasinya, dalam pembangunan instalasi air, masyarakat diberikan modal untuk membangun saluran air dalam bentuk bahan bangunan. Sebab, pemberian bantuan dalam bentuk uang tunai, berpotensi menimbulkan mark-up. “Biasanya, material bangunan yang kita berikan seperti pipa, semen, dan bahan-bahan lainnya,” lanjut Syifa. Selain itu, dalam pengerjaan instalasi air juga kerap ditemui oknum-oknum yang ingin menumpangi proyek sebagai sarana untuk kepentingan pribadi.

Dalam pengerjaan instalasi air di lapangan, komunitas ini juga kerap berhadapan langsung dengan masyarakat. Biasanya, apabila program tidak kunjung terealisasi, masyarakat akan terus menagih janji. “Satu hal yang penting untuk diingat, jangan janji yang muluk-muluk kepada masyarakat, karena takutnya janji itu tidak terpenuhi,” jelas Almy.

Jam dinding diruangkan itu telah menunjukan pukul 21.00 WIB. Hujan yang mengguyur kawasan Fakultas Teknik juga nampak mulai reda. Beberapa anggota komunitas ini mulai berkemas untuk pulang. Ketika salah satu anggota menyinggung komersialisasi air oleh perusahaan, seketika anggota lain fokus kembali dalam diskusi. “Jangan sampai komunitas waterplant menjual air seperti yang dilakukan perusahaan air minum saat ini,” ungkap Almy. Masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan mengolah air secara benar juga menjadi sasaran perusahaan komersial. “Mata air banyak dijual ke perusahaan oleh masyarakat karena mereka tidak tahu cara mengolahnya,” jelas Almy. Syifa menginginkan agar pemerintah membuat usaha desa untuk mengelola air yang ada. “Sebaiknya pemerintah membuat semacam perusahaan air minum milik desa untuk mengelola air bersih dengan benar,” tandas Syifa.(Adrian, Nuzula)

masyarakat di D.I.Y. Salah satunya dengan membuat saluran-saluran air bagi daerah yang kebutuhan airnya sulit terpenuhi. Pemasangan pompa hingga perawatan fasilitas air menjadi sebagian kegiatan komunitas ini. Selain itu, komunitas ini juga mengedukasi masyarakat yang daerahnya telah dialiri air bersih. Pengetahuan yang disosialisasikan meliputi tentang penggunaan air sehari-hari agar digunakan sesuai kebutuhan. “Kami mengajarkan kepada masyarakat mulai dari membuat, memakai serta memelihara fasilitas air,” ungkap Syifa Mujahidin, salah satu anggota komunitas Waterplant.

Dalam melaksanakan programnya, komunitas ini juga bekerja sama dengan berbagai pihak. Misalnya, bekerja sama dengan mahasiswa yang akan mengikuti KKN. Komunitas ini memberikan edukasi untuk kemudian diterapkan oleh mahasiswa KKN. Komunitas ini juga menjalin kerjasama dengan Paguyuban Air Minum Masyarakat Yogyakarta (Pammaskarta) dan Dinas Pekerjaan Umum. Kerjasama yang terjalin terwujud dalam bentuk saling membantu satu dengan yang lain. “Pernah juga beberapa proyek yang kita kerjakan diresmikan oleh pejabat setempat,” jelas Adib. Kampanye pentingnya kelestarian air juga dilakukan oleh komunitas ini dengan kerjasama Pammaskarta. Kampanye yang dilakukan dapat berupa menggelar talkshow serta seminar. “Dari talkshow itu diharapkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang air semakin luas,” imbuh Adib. Komunitas ini juga turut membantu program Pammaskarta terkait layanan air. Layanan tersebut berfokus kepada warga DIY yang tidak terjangkau PDAM.

Aagar program yang dijalankan benar-benar sesuai dengan kebutuhan warga, kerja sama dengan pemerintah setempat mutlak diperlukan. “Sebelum pengerjaan proyek, kita selalu menanyakan pada warga apa butuh saluran air,” jelas Adib. Sebab, dikhawatirkan proyek itu nantinya sia-sia apabila tidak sesuai dengan keinginan warga. “Kalau warga tidak membutuhkan buat apa kita repot-repot membangun saluran air,” imbuh Syifa.

Balairung/Rangga Balairung/Rangga

30 balkon

Opini

Menjadi minoritas di lingkungan yang dieksklusifkan merupakan persoalan yang membingungkan. Sebab, jika ingin mengeluh atau protes karena merasa

dibedakan, akan banyak pihak yang mengatakan kurang bersyukur. Namun jika tidak protes, masalah kaum minoritas di tempat yang eksklusif tersebut akan tetap di posisinya.

Kondisi tersebut sama halnya dengan keadaan Program Studi (Prodi) Gizi Kesehatan saat ini. Prodi ini menjadi minoritas yang dibedakan di bawah atap megah Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Nama besar FK menjadi tameng sekaligus borgol bagi Prodi Gizi Kesehatan untuk berkembang. Dengan mengekor di belakang nama besar FK, prodi ini dengan sendirinya mendapat cap baik di mata masyarakat. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa Prodi Gizi Kesehatan tidak berbahagia hidup di bawah atap besar tersebut. Ia mendapat perlakuan yang berbeda, mulai dari fasilitas hingga sistem pembelajaran.

Perbedaan ini jelas terlihat ketika mengunjungi FK. Prodi Gizi Kesehatan mendapat gedung kuliah di pojok belakang dengan fasilitas yang serba minim. Dari bentuk bangunan sudah dapat dilihat disparitas fasilitas antara Prodi Gizi Kesehatan dengan program studi lain. Di gedung itu hanya ada tiga ruang kuliah untuk menampung empat angkatan aktif. Ruang dosen hanya berukuran sekitar 6x4 meter. Itu pun untuk menampung semua dosen Prodi Gizi Kesehatan. Dosen prodi ini harus rela bersempit-sempitan di ruang kerjanya. Pun mahasiswa harus rela duduk di kursi kelas yang keras. Sementara itu, dosen dan mahasiswa prodi lain di FK bernyaman-nyaman di tempatnya. Selain itu, ruang administrasi Prodi Gizi Kesehatan juga harus berbagi gedung dengan Laboratorium Forensik milik Prodi Pendidikan Dokter. Padahal, prodi lain memiliki gedung sendiri untuk mengurus segala administrasinya.

Minimnya fasilitas gedung ini sepertinya kurang mendapat perhatian dari pihak fakultas. Wacana pembangunan gedung atau penyediaan ruang kelas dengan fasilitas yang sama seperti prodi lain pun belum pernah terdengar. Minimal, wacana yang berkembang hanya untuk berbagi ruang kelas dengan prodi lain. Memang, renovasi sempat dilakukan. Namun, hasil renovasi tetap tidak mengubah penampakan dan fungsi gedung.

Sebagai mahasiswa Prodi Gizi Kesehatan, saya merasa iri dengan mahasiswa prodi lain. Sebab, dengan biaya kuliah yang sama, mereka mendapat perlakuan yang lebih istimewa. Hal itu tidak hanya terlihat dalam persoalan gedung. Referensi buku–yang tentu amat kami butuhkan untuk memperdalam ilmu gizi–pun sangat minim. Di perpustakaan

fakultas, buku terkait ilmu gizi dapat dihitung dengan jari. Sementara, Prodi Gizi Kesehatan tidak memiliki perpustakaan sendiri. Fasilitas wi-fi, yang merupakan modal untuk mengakses referensi dari jurnal online, juga hidup setengah-setengah.

Memang, Prodi Gizi Kesehatan baru sepuluh tahun berdiri di FK UGM. Namun, seharusnya hal tersebut tidak dijadikan alasan. Sebab, FK yang menaunginya sudah memiliki modal berlebih untuk membantu pengembangan Prodi Gizi Kesehatan–minimal dengan berbagi sarana-prasarana.

Seharusnya menjadi hal yang mudah bagi fakultas untuk membenahi masalah wi-fi atau kurangnya referensi buku bacaan. Nemun entah kenapa, hingga usia sepuluh tahun masalah sarana dan prasarana masih juga menjadi persoalan.

Mahasiswa Prodi Gizi Kesehatan tentu menjadi pihak yang paling dirugikan. Dengan biaya kuliah yang tinggi standar FK, mereka hanya mendapat fasilitas kelas ekonomi. Pun diskriminasi dari beberapa pihak sering diterima. Misalnya saja, dalam hal penggunaan fasilitas bersama, seperti laboratorium. Mereka harus mengalah dengan mahasiswa prodi lain yang dinomorsatukan.

Pertanyaannya adalah apakah memang FK sengaja memberikan otonomi penuh kepada Prodi Gizi Kesehatan untuk mengurus dirinya sendiri? Saya pikir bukan hal yang bijak jika demikian yang terjadi. Sebab, pada awal berdirinya Prodi Gizi Kesehatan, FK telah memutuskan untuk mengambil peran dalam pengembangan prodi ini di bawah nama besarnya. Artinya, FK memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya. Pun dalam hal penyediaan sarana-prasarana untuk proses pembelajaran, FK memiliki kewajiban untuk membantu. Setidaknya, pihak Fakultas dan Prodi dapat bekerjasama untuk menghapus perbedaan-perbedaan tersebut.

Anisa Lailatul Fitri (Mahasiswa Jurusan Gizi Kesehatan ’11 UGM; Pemimpin Umum Persma FK, Medisina)

Minoritas dalam Eksklusivitas

31Juni 2013

BALAIRUNGPRESS.COM

Anda Punya Kegiatan di Kampus Kami Siap Mempublikasikan

Hubungi Feby (087771866108)

32 balkon

GoresGores

33Juni 2013

Interupsi

Pembaca, pernahkah anda dalam suatu waktu merasa hidup anda begitu sempit dan terasing karena derasnya arus informasi? Perangkat komunikasi bergerak anda—bahasa kerennya gadget—tak henti-hentinya berdering, menyedot perhatian untuk mencerna kabar-kabar yang tak semuanya penting.

Hidup terasa kurang jika belum menghadap layar, tersambung internet, dan menarikan jemari pada tombol keyboard, untuk sekedar membaca informasi terbaru atau mengabarkan hal-hal yang menurut anda keren. Kemudian anda menjadi begitu cuek, self-centric, dan tak peduli hal-hal lain yang tak muncul di gadget anda.

Sebagai dampak kemajuan teknologi informasi, anda dituntut untuk mampu memilah informasi mana yang layak atau sekedar propaganda. Ketika segala informasi bisa didapatkan dengan mudah, jamak jika yang terjadi justru kebingungan.

Jangan sampai, anda justru kecanduan informasi sampah yang berisi hiburan semata, tanpa memerhatikan urgensinya. Karena kini, informasi adalah senjata yang lebih berbahaya daripada bedil paling canggih sekalipun. Tak percaya? Lihat saja Amerika yang memimpin dunia karena kemajuan industri pengolahan informasi-nya.

Terasa berbusa-busa dan anakronistis? Mari kembali ke kampus kita. Masalah relokasi PKL bisa menjadi ukuran. Berbagai alasan, mulai dari ekonomi sampai estetika digunakan rektorat guna mengatur PKL. Kadangkala, alasannya begitu tidak masuk akal dan menimbulkan protes. Namun, pemrotesnya selalu itu-itu saja. Kalau anda justru belum tahu apa masalah di proses relokasi, jangan-jangan anda

Asingadalah orang terasing yang, mungkin, sering sibuk sendiri dengan gadget canggih anda.

Relokasi sana-sini yang telah dan akan diadakan, memberikan anggapan bahwa PKL seolah bukanlah bagian dari kampus. Rektorat kini seperti merasa asing pada PKL. Padahal, kampus ini mempunyai sejarah romantis sebagai ruang publik. Dan PKL adalah satu bagian yang mewarnai kenangan romantis itu.

Lihat saja, Pujale yang terus sepi karena penataan yang terkesan kurang teliti. Janji bantuan promosi dan hal-hal lain guna menunjang proses relokasi belum dan entah kapan terlaksana. Kesannya, PKL di sana sengaja diasingkan. Memang, titik relokasi seperti Foodcourt dan Plaza Mandiri (Bonbin) terlihat berhasil karena selalu ramai pengunjung. Namun, itu tidak berarti menihilkan perbaikan pada relokasi yang masih bermasalah.

Ah, ketika gadget anda lebih sering menampilkan kabar tentang presiden yang ingin berjualan nasi goreng, pemberang naif yang mendadak terkenal, atau politisi yang mempunyai banyak istri, wajar saja jika masalah relokasi PKL terasa begitu asing.

Kalau anda merasa tersindir, tentu itu bukan maksud utama kami. Tak perlu tersinggung. Toh mungkin kami yang kurangajar karena menggeneralisasi kesibukan anda. Tapi, sesibuk apapun, bukan berarti anda tak mampu berbuat sesuatu. Mungkin bisa dimulai dari gadget anda. Masalah-masalah kampus dapat dikabarkan melalui semua akun media sosial anda. Kalau perlu, sertakan tagar (baca: tanda pagar) agar lebih menarik. Siapa tahu, gerakan kecil anda, akan membebaskan orang lain dari keterasingan.

+ PKL itu tamu tak diundang, makanannya bikin penyakit. UGM berhak merelokasi mereka.- Universitas Gemar Menindas?

+ Usai direlokasi sepihak oleh UGM, keuntungan PKL turun drastis, bahkan ada yang gulung tikar.- Yang penting educopolis ya, pak.?

+ Penurunan pendapatan PKL karena menu yang tidak variatif.- Oh jadi ini alasannya rektorat sering delivery nasi kotak...

Sudut

[Penginterupsi]

Balairung/Yoel

34 balkon

Surat Pembaca

*Kami menerima tanggapan, kesan, kritik, maupun saran Anda terkait Balkon ataupun lingkungan UGM. Kirim ke [email protected] atau sms ke 081916311792

RalatBalkon edisi 139 pada rubrik Siasat tertulis

bahwa penulis, yaitu Ahmad Syarifudin merupakan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia 2010. Keterangan yang benar adalah Ahmad Syarifudin merupakan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia 2011.

35Juni 2013

KOTAK PEMASANGAN IKLAN BALAIRUNGAlamatJalan Kembang Merak Blok B-21Komplek Perumahan Dosen UGM Bulaksumur, SlemanEmailBalairungpress.comWebsitewww.balairungpress.comTelepon085221715181 (Ummi)

36 balkon