30
BANGUNAN TERAPUNG SEBAGAI SOLUSI MASA DEPAN Karya Ilmiah Ini Ditulis sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia HAVIS ZUKRI BP 1410921055 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

Bangunan Terapung Sebagai Solusi Masa Depan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Menjelaskan bagaimana bangunan terapung dapat menjadi solusi masa depan

Citation preview

BANGUNAN TERAPUNG SEBAGAI SOLUSI MASA DEPAN

Karya Ilmiah Ini Ditulis sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia

HAVIS ZUKRI

BP 1410921055

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2014

BANGUNAN TERAPUNG SEBAGAI SOLUSI MASA DEPAN

Oleh: Havis Zukri

ABSTRAK

Penelitian in bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bangunan terapung; (2) mendeskripsikan perencanaan pembangunan bangunan terapung.

Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data.

Bangunan terapung diharapkan menjadi solusi pembangunan di masa depan dikarenakan pertumbuhan penduduk dunia yang diluar perkiraan, pemanasan global, serta reklamasi yang dianggap sebagai solusi yang malah lebih banyak mendatangkan kerugian.

Teknologi dalam mewujudkan kota terapung dikenal dengan sebutan Very Large Floating Structures (VLFSs). Dalam desain VLFSs, berbagai beban harus diperhatikan, terutama air pasang, tsunami, badai dan gempa bumi. Bahan yang digunakan untuk permukaan terapung adalah baja, atau komposit beton atau baja beton dan spesifikasi relevan lainnya yang harus diikuti.

Pembangunan konstruksi bangunan terapung ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur pembangunan di masa depan yang tentunya ramah lingkungan serta tidak perlu khawatir dengan adanya isu pemanasan global dan laju pertumbuhan penduduk.

KATA PENGANTAR

2

Penulis mengucapkan puji syukur dan Alhamdulillah kepada Allah SWT

karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, karaya ilmiah berjudul “Bangunan Terapung

Sebagai Solusi Masa Depan” dapat disajikan dalam bentuk hasil penelitian. Penulisan

karya ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian akhir

semester Bahasa Indonesia.

Karya ilmiah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada Ria Febrina, S.s, M.Hum., dosen pengajar yang

telah meluangkan waktu dan memberikan saran-saran serta kritikan dalam

penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini agar sesuai dengan sistematika penulisan

karya ilmiah. Bantuan,bimbingan, dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis

insya Allah akan menjadi ilmu yang bermanfaat dan semoga menjadi amal ibadah

dan pahala yang diridhoi Allah SWT.

Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak dan berharap dapat mendorong peneliti lain untuk melanjutkan penelitian ini.

Padang, November 2014

Havis Zukri

DAFTAR ISI

3

ABSTRAK 2

KATA PENGANTAR 3

BAB I PENDAHULUAN 6

1.1 Latar Belakang 6

1.2 Rumusan Masalah 6

1.3 Tujuan Penelitian 6

1.4 Manfaat Penelitian 7

1.5 Sistematika Penulisan 7

BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA 8

2.1 Landasan Teori 8

2.2 Kajian Pustaka 9

BAB III METODE PENELITIAN 11

3.1 Jenis Penelitian 11

3.2 Data dan Sumber Data 11

3.3 Populasi dan Sampel 11

3.4 Metode Pengumpulan Data 11

3.5 Metode Analisis Data 12

3.6 Metode Pengajian Hasil Analisis 12

BAB IV ANALISIS 13

4.1 Pengertian Bangunan Terapung 13

4

4.2 Alasan Memilih Bangunan Terapung 13

4.3 Cara Membuat Bangunan Terapung 15

BAB V PENUTUP 20

5.1 Kesimpulan 20

5.2 Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

BAB I

5

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanasan global menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh banyak orang

akhir-akhir ini. Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena

peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan naiknya

permukaan air laut, sehingga mengakibatkan permukaan tanah yang semakin

sempit.

Hal ini menjadi masalah yang besar dalam bidang pembangunan, karena

semakin sedikitnya lahan kosong yang bisa dijadikan tempat untuk

pembangunan. Adapun lahan yang tersisa adalah hutan-hutan yang merupakan

paru-paru dunia. Apabila pohon-pohon di hutan ditebang, tentu hal ini malah

memperbesar masalah pemanasan global.

Disamping itu jumlah pertumbuhan penduduk di dunia kian hari semakin

diluar perkiraan. Reklamasi yang awalnya menjadi solusi pembangunan malah

banyak menimbulkan pertentangan.

Tentu di masa depan haruslah ada solusi untuk memecahkan masalah ini yang

semakin lama semakin runyam permasalahannya. Hal inilah yang menjadi acuan

pembuatan konstruksi bangunan terapung.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan bangunan terapung?

2. Mengapa bagunan terapung menjadi solusi pembangunan di masa depan?

3. Bagaimana membuat bangunan terapung di atas permukaan air?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan bangunan terapung.

2. Menjelaskan mengapa bangunan terapung menjadi solusi di masa depan.

3. Menjelaskan cara pembuatan bangunan terapung di atas permukaan air.

6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Dengan dilakukanya penelitian tentang bangunan terapung ini, diharapkan

dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu teknik sipil di masa mendatang.

1.4.2 Praktis

Dengan dilakukannya penelitian tentang bangunan terapung ini, diharapkan

dapat bermanfaat untuk kehidupan banyak orang serta memelihara bumi tetap

hijau.

1.5 Sistematika Penulisan

Karya ilmiah ini disusun atas empat bab, yaitu Bab I pendahuluan yang terdiri

atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

sistematika penulisan; Bab II landasan teori dan kajian pustaka; Bab III metode

penelitian terdiri atas jenis penelitian, data dan sumber data, populasi dan sampel,

metode pengumpulan data, metode analisis data, metode pengujian hasil analisis;

Bab IV analisis; dan yang terakhir Bab V penutup.

BAB II

7

LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Banyak alasan yang menjadi dasar mengapa bangunan terapung menjadi

solusi pembangunan dimasa depan. Pertama, adalah laju pertumbuhan penduduk

di dunia yang sangat pesat. Kompas (2013) mengemukakan

Dalam laporan bertajuk ”Prospek Populasi Dunia: Revisi 2012” yang dirilis di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Jumat (14/6/13), disebutkan, penduduk dunia akan naik menjadi 8,1 miliar jiwa pada tahun 2025 dari jumlah 7,2 miliar jiwa saat ni. Jumlah itu akan terus berkembang menjadi 9,6 miliar pada tahun 2050. Prediksi sebelumnya, penduduk dunia diperkirakan ”hanya” mencapai 9,3 miliar jiwa pada 2050. Majalah Scientific American pada 27 Oktober 2011 menurunkan laporan yang menyebutkan populasi yang semakin besar juga membutuhkan sumber daya lebih banyak, mulai dari air, pangan, mineral, hingga energi dan ketersediaan lahan untuk pertanian.

Kedua, pemanasan global menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh banyak

orang akhir-akhir ini. Muhi (2011) menjelaskan bahwa pemanasan global pada

dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke

tahun karena efek rumah kaca sehingga energy matahari terperangkap dalam

atmosfer. Hal ini menyebabkan naiknya permukaan air laut, sehingga

mengakibatkan permukaan tanah yang semakin sempit.

Ketiga, adalah reklamasi pantai. Banyak pro dan kontra mengenai reklamasi

pantai. Reklamasi pantai sendiri adalah upaya teknologi yang dilakukan manusia

untuk merubah suatu lingkungan alam menjadi linkungan buatan, suatu tipologi

ekosistem estuaria, mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam

daratan (Maskur, 2008). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh reklamasi sendiri

antara lain:

1. Peninggian muka air laut

2. Daerah pantai rawan tenggelam

3. Musnahnya habitat flora dan fauna laut

4. Tercemarnya air laut

8

2.2 Kajian Pustaka

Peneliti yang sudah melakukan penelitian mengenai bangunan terapung

adalah Azhar Firdaus (2011). Ia menyimpulkan bahwa

1. Rumah terapung menjadi harapan ke depan yang jelas untuk dapat

terealisasikan dalam mengatasi perubahan iklim pada aspek kenaikan muka

air laut. Karena rumah terapung dapat menyesuaikan dengan tingginya muka

air laut, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dengan adanya banjir yang

selama ini mereka alami jika mendirikan rumah di daratan.

2. Pulau buatan adalah harapan kedua untuk mengatasi perubahan iklim. Pulau

buatan dibangun dengan untuk melakukan reklamasi lahan yang sebelumnya

telah terkontaminasi oleh limbah. Hanya saja, pulau buatan inin dibangun

dengan perencanaan yang baik dan biaya yang tidak sedikit.

Peneliti lain yang juga sudah melakukan penelitian tentang bangunan

terapung adalah Rigan Satria A Putra, Puput Wiyono, dan Titis Wahyu (2013).

Mereka menilai reklamasi menimbulkan dampak negative bagi manusia dan

lingkungan sekitar. Kota apung menjadi solusinya, kota apung tersebut ada

beberapa banguna yang merupakan fasilitas umum dan pemukiman warga.

Bangunan utama memiliki diameter 200 meter dan mampu menampung hingga

12000 penghuni. Pada bangunan utama. Terdapat rumah sakit, sekolah, dan

fasilitas umum lainnya. Setiap cincin rumah apung dapat dihuni orang hingga 32

orang. Pembuangan limbah juga tak luput dari perhitungan mereka. Sebelum

akhirnya dibuang ke laut, limbah akan terlebih dahulu diolah sehingga tidak

mencemari kawasan perairan.

Komponen utama kota apung terdiri dari top rise, area fluktuatif, town ring,

dan badan tumpu. Top rise merupakan bagian bangunan paling atas yang

menggunakan kontruksi baja sebagai struktur penangkal petir dan penangkap

sinyal. Sedangkan town ring merupakan bagian bawah bangunan yang terbuat

dari bahan kedap air sehingga dapat menerima gaya tekan air dengan baik.

9

Area fluktuatif menjadi penghubung antara top rise dan town ring. Area ini

didukung sistem pegas sehingga dapat meredam tumbukan.

Fondasi kota apung tertancap di dasar laut namun bersifat floating fluktuatif

terhadap pergerakan air. Efek dari pergerakan air tidak terlalu berarti

dibandingkan dengan reklamasi sehingga pondasi tidak gampang rusak.

Konsep kota apung dirancang tanpa kendaraan pribadi karena sudah

disediakan transportasi umum untuk para penghuninya. Hal tersebut untuk

mewujudkan green architecture dalam rancangan kota apung yang dibuat.

Selain aksesibilitas, pembangkit listrik juga tidak menggunakan Bahan Bakar

Minyak (BBM), namun memanfaatkan kondisi alam yang ada di sana.

10

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat studi pustaka. Studi pustaka sendiri adalah

mengumpulkan informasi-informasi penting yang berkaitan dengan objek yang

diselidiki. Informasi-informasi ini biasanya didapatkan di buku-buku ilmiah,

laporan penelitian, skripsi, dan dari internet. Penelitian “Bangunan Terapung

Sebagai Solusi Masa Depan” bersifat studi pustaka karena mengumpulkan

informasi-informasi terkait dari dalam berbagai bacaan sumber.

3.2 Data dan Sumber Data

Data penelitan ini adalah bangunan terapung. Sementara itu, penelitian ini

memiliki sumber data berupa konstruksi bangunan.

3.3 Populasi dan Sampel

Bangunan terapung sederhana dijadikan sampel dalam penelitian ini. Hal ini

dikarenakan begitu luasnya cakupan tentang konstruksi bangunan terapung yang

menjadi populasi dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan pembuatan bagunan

terapung sederhana tidak memiliki tingkat kerumitan yang tinggi.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan

informasi-informasi penting yang ada dalam buku referensi yang memiliki kaitan

dengan permasalahan dalam penelitian ini. Hal pertama yang diketahui adalah

begitu sedikitnya lahan yang akan dibangun untuk pembangunan sehingga harus

mencari solusi yang tidak mempunyai banyak tingkat kerugian. Penulis dapatkan

bagunan terapung sebagai solusi yang tepat pembangunan di masa datang.

Langkah selanjutnya adalah mencari referensi laporan penelitian atau skripsi

penulis lain yang telah terlebih dahulu membuat tulisan tentang bangunan

terapung. Selanjutnya mempelajari secara umum dan terperinci tentang apa saja

11

yang harus diperlukan untuk membuat bangunan yang terapung di atas

permukaan air.

3.5 Metode Analisis Data

Dalam meniliti tentang konstruksi bangunan terapung sebagai solusi

pembangunan di masa depan, peneliti menganalisis hasil-hasil pencarian

informasi-informasi yang ada dalam buku referensi untuk menentukan

bagaimana rancangan ini benar-benar dapat diwujudkan dan menjadi tolak ukur

pembangunan di masa depan. Tidak lupa saat menuliskan analisis, penulis juga

membandingkan pemikiran penulis dengan tulisan penulis lain yang lebih dahulu

menuliskan tulisan tentang bangunan terapung, dan juga memahami isi saran

dari penulis yang lebih dahulu membahasnya.

3.6 Metode Pengajian Hasil Analisis

Dalam penelitian ini penulis menyajikan tulisan secara verbal. Penulis hanya

menuturkan secara garis besar tentang rencana pembangunan konstruksi

bangunan di atas permukaan air. Dan item-item yang dirasa diperlukan untuk

proses pembangunan.

12

BAB IV

ANALISIS

4.1 Pengertian Bangunan Terapung

Secara garis besar bangunan terapung adalah bangunan yang terletak di atas

permukaan air. Bangunan terapung ini sederhana sudah banyak diterapkan di

dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Sumatera Selatan dan Kalimantan yang

sebagian wilayahnya dilalui oleh sungai, warga setempat telah pandai

memanfaatkannya dengan membangun rumah terapung yang di susun di atas

gelondongan kayu yang besar yang disusun seperti rakit

4.2 Alasan Memilih Bangunan Terapung

Dengan banyak jumlah penduduk dunia di masa datang, tentu perbandingan

jumlah penduduk dengan lahan yang tersedia akan semakin sedikit. Dengan

terbatasnya jumlah lahan yang ada, tentu akan menimbulkan masalah yang baru

di masa depan, dimana banyaknya orang yang tidak mempunyai tempat tinggal,

sehingga tingkat kemisikinan dan kriminalitas semakin tinggi.

Kedua, pemanasan global menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh banyak

orang akhir-akhir ini. Muhi (2011) menjelaskan bahwa pemanasan global pada

dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke

tahun karena efek rumah kaca sehingga energy matahari terperangkap dalam

atmosfer. Hal ini menyebabkan naiknya permukaan air laut, sehingga

mengakibatkan permukaan tanah yang semakin sempit.

Hal ini menjadi masalah yang besar dalam bidang pembangunan, karena

semakin sedikitnya lahan kosong yang bisa dijadikan tempat untuk

pembangunan. Adapun lahan yang tersisa adalah hutan-hutan yang merupakan

13

paru-paru dunia. Apabila pohon-pohon di hutan ditebang, tentu hal ini malah

memperbesar masalah pemanasan global.

Ketiga, adalah reklamasi pantai. Banyak pro dan kontra mengenai reklamasi

pantai. Reklamasi pantai sendiri adalah upaya teknologi yang dilakukan manusia

untuk merubah suatu lingkungan alam menjadi linkungan buatan, suatu tipologi

ekosistem estuaria, mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam

daratan (Maskur, 2008). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh reklamasi sendiri

antara lain:

5. Peninggian muka air laut

6. Daerah pantai rawan tenggelam

7. Musnahnya habitat flora dan fauna laut

8. Tercemarnya air laut

Berdasarkan ketiga alasan tersebutlah bangunan terapung menjadi solusi

pembangunan di masa depan. Keuntungan dari penggunaan bangunan

terapung menurut Watanabe (2004) adalah sebagai berikut.

1. Efisiensi konstruksi karena tidak perlu pembuatan dan pengerjaan

desain pondasi

2. Ramah lingkungan karena tidak merusak dan tidak menambah volume

benda yang bersifat massive structure.

3. Mudah dan cepat dalam pengerjaan karena proses pengerjaan dengan

metode perakitan (assembling method).

4. Tahan terhadap gempa karena secara struktur tidak tertanam di tanah

atau tidak berbasis pondasi namun mengapung dan hanya di ikat

dengan anchor.

5. Mudah dipindah maupun diperbaiki karena sifatnya yang dapat dirakit

(assembling method).

14

6. Konstruksi apung tidak mengalami proses konsolidasi maupun

setlemen.

7. Cocok untuk pembuatan konstruksi yang mengedepankan estetika

model atau bentuk dibandingkan metode konvensional yang

umumnya kaku.

4.3 Cara Membuat Bangunan Terapung

Secara tradisional, metode dan arsitektur dari rumah-rumah terapung di

seluruh dunia bergantung pada kondisi perbedaan iklim, budaya dan bahan baku,

yang tersedia di tempat-tempat lokal yang berbeda (Giebler, 2007). Di Indonesia,

kita mengenalnya terutama pada Rumah Terapung (Panggung) Suku Bajo di

Sulawesi dan Rumah Lanting di Kalimantan.

Di dalam air, objek memiliki gaya apung atau gaya ke atas. Gaya ini

menyebabkan berat benda di air akan terasa lebih ringan daripada di udara.

Berdasarkan teori Archimedes, besarnya gaya apung sama dengan berat air yang

dipindahkan (Surya, tt).

Keberlanjutan dari Arsitektur Terapung (Floating Architecture) dapat

diketahui sebagai pendekatan energi dan ekologis pada bangunan dengan sistem

terapung tanpa alat navigasi. Karakteristik berkelanjutan dari arsitektur terapung

sebagai berikut (Moon, 2011):

15

1. Penggunaannya bisa didaur ulang dan bisa direlokasi

2. Pengadopsian teknik energi terbarukan

3. Penginstalasian pembangkit mandiri

4. Penerapan sistem modular dan lainnya, seperti materi baru & tata

letak terbuka

Setidaknya ada enam jenis hunian berbasis air (Nillesen dan Singelenberg,

2011):

1. Pile Dwellings (panggung)

2. Floating Dwellings (terapung)

3. Amphibious Dwellings (air-darat)

4. Terp Dwellings (di atas bukit)

5. Dyke Houses (tanggul)

6. Waterside Living

Teknologi dalam mewujudkan kota terapung dikenal dengan sebutan Very

Large Floating Structures (VLFSs). Pada dasarnya ada dua jenis VLFSs yang

dikembangkan saat ini, yaitu jenis semi-submersible dan jenis ponton. Secara

umum sistem mega apung terdiri dari (Watanabe et al, 2004):

1. Struktur ponton terapung yang sangat besar;

2. Fasilitas Mooring (penambat) untuk menjaga struktur mengapung di

tempat;

3. Akses jembatan atau jalan terapung; dan

16

4. Breakwater untuk mengurangi pasukan gelombang yang

mempengaruhi struktur terapung

Struktur mega apung ini memiliki kelebihan:\

1. Biaya lebih efektif bila kedalaman air besar;

2. Ramah lingkungan;

3. Mudah dan cepat untuk dibangun;

4. Dapat dengan mudah dipindahkan;

5. Terlindung dari guncangan seismik;

6. Tidak terkena dampak dari pemukiman dari hasil reklamasi pantai;

7. Posisinya konstan terhadap permukaan air; dan

8. Lokasinya di perairan pantai menyediakan pemandangan permukaan

air dari sekitarnya

Dalam desain VLFSs, berbagai beban harus diperhatikan, terutama air

pasang, tsunami, badai dan gempa bumi. Bahan yang digunakan untuk

permukaan terapung adalah baja, atau komposit beton atau baja beton dan

spesifikasi relevan lainnya yang harus diikuti (Watanabe et al, 2004). Tapi

beberapa penelitian lebih lanjut telah mencoba untuk menemukan bahan-bahan

lainnya yang lebih murah dan ramah lingkungan, seperti kayu komposit dan

fiberglass, busa dan bahan daur ulang (Nguyen, 2009).

Pendekatan hijau lainnya adalah Mangrove RhizophoraChitecture (MRaC),

yang telah dikembangkan oleh para peneliti dari Institut Teknologi Surabaya

(ITS), Indonesia. MRaC adalah arsitektur alternatif yang memanfaatkan

Rhizophora spp., Sebagai biomaterial sebagai struktur utama bangunan, yang

17

mengacu pada konsep lingkungan. Hasil akhirnya adalah sebuah arsitektur yang

ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem yang ada (Prawiro et al, 2009).

Pendekatan lain adalah “Ice Platform”. Ia menggunakan platform terapung

yang murah yang diambil dari bidang es di Kutub Utara dan di Laut Selatan

Antartika. Platform ini dilindungi oleh “air-film” dan penutup isolasi

konvensional, serta memiliki sistem pendingin untuk menangani kebocoran yang

dapat mempertahankan platform untuk waktu yang tak terbatas. Mereka dapat

mengapung di lautan hangat (Bolonkin, 2010).

Dari pendekatan arsitektur terapung yang telah dijelaskan di atas

memungkinkan pengembangan yang lebih luas menjadi sebuah Floating City

(Kota Terapung) di kemuadian hari sebagai solusi alternatif selain Reklamasi

Pantai. Kota Terapung merupakan kota model baru dengan memanfaatkan

Floating Urbanization (urbanisasi terapung). Konsep ini memiliki akan banyak

keuntungan, seperti: meningkatkan ketersediaan lahan daripada menciptakan

kelangkaan lahan; menurunkan risiko banjir daripada mengakibatkannya:

menghasilkan energi, makanan, air dan nutrisi, daripada mengonsumsi sumber

daya dan menghasilkan limbah; dan memiliki dampak positif pada ekosistem dan

menciptakan habitat daripada menurunkan ekosistem (De Graaf, 2012).

18

Pada tahun 2050, pulau terapung akan digunakan sebagai sarana perumahan

penduduk yang berkembang pesat di dunia, sementara pulau-pulau terapung

lainnya akan digunakan untuk menanam pangan dan memroduksi energi

terbarukan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan menjual

energi surplus untuk daratan, sehingga tidak memerlukan metode tidak ramah

lingkungan dalam menghasilkan energy. Sekitar 71% dari permukaan bumi

ditutupi oleh lautan. Permukaan air ini akan menjadi potensi untuk dihuni.

Kolonisasi Lautan adalah teori dan praktek untuk permukiman manusia yang

permanen di lautan. Permukiman tersebut dapat mengapung di permukaan air,

atau diamankan ke dasar laut, atau ada di posisi menengah (Bolonkin, 2010).

19

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Konstruksi bangunan terapung adalah konstruksi bangunan yang

berada di atas permukaan air.

2. Konstruksi bangunan terapung menjadi solusi pembangunan di masa

depan berdasarkan tiga alasan, yaitu: laju pertumbuhan penduduk

yang pesat, naiknya permukaan air laut disebabkan pemanasan global,

reklamasi pantai.

3. Teknologi dalam mewujudkan kota terapung dikenal dengan sebutan

Very Large Floating Structures (VLFSs).

5.2 Saran

Saran penulis untuk peneliti selanjutnya adalah memperbaiki kekurangan

yang ada dalam hasil analisis karena pembahasan mengenai bangunan mengapung ini

masih baru.

20

DAFTAR PUSTAKA

De Graaf, Rutger. 2012. Adaptive urban development: A symbiosis between cities on

land and water in the 21st century. Rotterdam: Rotterdam University.

Giebler, S. 2007. Schwimmende Architektur: Bauweisen und Entwicklung.

Germany: Technische Universitaet.

Maskur A. 2008. “Rekonstruksi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai Di Kota

Semarang”. Semarang: Universitas Diponegoro.

Muhi, Ali Hanapiah. 2011. “Pemanasan Global”, diakses melalui

http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/PEMANASAN-

GLOBAL.pdf, pada tanggal 25 September 2014 pukul 20:23 WIB

Kompas, “Pertumbuhan Penduduk Dunia Lampaui Prediksi”, diakses melalui

http://internasional.kompas.com/read/2013/06/15/10091516/Pertumbuhan.Pend

uduk.Dunia.Lampaui.Prediksi, pada tanggal 9 Desember 2014 pukul 19:45

WIB

Nillesen, A. L., dan Singelenberg, J. 2011. Amphibious Housing in the Netherlands :

Architecture and Urbanism on the Water. Rotterdam: NAi Uitgevers.

Surya, Yohanes. “ Kota Terapung”, diakses melalui

http.www.yohanessurya.com/download/penulis/Bermimpi_06.pdf, pada

tanggal 1 Desember 2014 pukul 23:05 WIB

Watanabe, E. dan Utsunomiya, T. 2004. Analysis and design of floating bridges.

Singapura: National University of Singapore.

21