Upload
melany-sii-penghayal
View
44
Download
17
Embed Size (px)
DESCRIPTION
data
Citation preview
BANTUAN HIDUP DASAR PADA DEWASA
A. Definisi
Bantuan Hidup Dasar Dewasa adalah tindakan pertolongan medis sederhana yang dilakukan
pada pasien yang mengalami henti jantung sebelum diberikan tindakan pertolongan medis
lanjutan.
B. Tujuan
Memberikan bantuan sirkulasi dan pernafasan yang adekuat sampai keadaan henti jantung
teratasi atau sampai pasien dinyatakan meninggal.
C. Henti Nafas dan Henti Jantung
Henti nafas adalah berhentinya pernafasan spontan disebabkan karena gangguan jalan nafas
baik parsial maupun total atau karena gangguan di pusat pernafasan. Henti jantung adalah
berhentinya sirkulasi peredaran darah karena kegagalan jantung untuk melakukan kontraksi
secara efektif, keadaan tersebut bisa disebabkan oleh penyakit primer dari jantung atau
penyakit sekunder non jantung. Henti nafas dan henti jantung merupakan dua keadaan yang
sering berkaitan, sehingga penatalaksanaannya tidak bisa terpisahkan.
C1. Penyebab Henti Nafas
1. Sumbatan Jalan Nafas
Jalan nafas dapat mengalami sumbatan total atau parsial. Sumbatan jalan nafas
total dapat menimbulkan henti jantung secara mendadak karena berhentinya
suplai oksigen baik ke otak maupun ke miokard. Sumbatan jalan nafas parsial
umumnya lebih lambat menimbulkan keadaan henti jantung, namun usaha yang
dilakukan tubuh untuk bernafas dapat menyebabkan kelelahan.
Kondisi-kondisi yang menyebabkan sumbatan jalan nafas :
a. Benda asing (termasuk darah)
b. Muntahan
c. Edema laring atau bronkus akibat trauma langsung pada wajah atau
tenggorokan
d. Spasme laring atau bronkus baik akibat radang atau trauma
e. Tumor
2. Gangguan Paru
Kondisi-kondisi paru yang menyebabkan gangguan oksigenisasi dan ventilasi
antara lain :
a. Infeksi
b. Aspirasi
c. Edema Paru
d. Kontusio Paru
e. Keadaan tertentu yang menyebablan rongga paru tertekan oleh benda
asing seperti pneumotoraks, hematotoraks, dan efusi pleura.
3. Gangguan Neuromuskular
Kondisi-kondisi yang menyebabkan penurunan kemampuan otot-otot utama
pernafasan (otot dinding dada, diafragma, dan otot interkostal) untuk
mengembangkempiskan paru antara lain :
a. Miastenia gravis
b. Sindroma Guillan Barre
c. Multiple Sclerosis
d. Poliomelitis
e. Kiposkoliosis
f. Muskular Distrofi
g. Penyakit Motor Neuron
C2. Penyebab Henti Jantung
Henti jantung dapat disebabkan karena primer atau sekunder jantung :
Kondisi Primer penyebab henti jantung :
a. Gagal Jantung
b. Temponade Jantung
c. Miokarditis
d. Kardiomiopati Hipertrofi
e. Fibrilasi ventrikel yang mungkin disebabkan oleh iskemia miokard,
infark miokard, tersengat listrik, gangguan elektrolit, atau karena
konsumsi obat-obatan
C3. Indikasi Bantuan Hidup Dasar
a. Henti jantung
b. Henti nafas
c. Tidak sadarkan diri
D. Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar
Urutan sekuens pelaksanaan bantuan hidup dasar yang benar akan memperbaiki tingkat
keberhasilan. Berdasarkan panduan bantuan hidup dasar terbaru yang akan dikeluarkan oleh
American Heart Association dan European Society of Resuscitaion, pelaksanaan bantuan
hidup dasar dimulai dari penilaian kesadaran penderita, aktivasi layanan gawat darurat dan
diteruskan dengan tindakan pertolongan yang diawali dengan CABD (Circulation-Airway-
Breathing-Defibrillator).
E. Penilaian Respons
Penilaian respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa pada dirinya sudah aman untuk
melakukan pertolongan. Penilaian respons dilakukan dengan cara menepuk-nepuk dan
menggoyangkan penderitasambil berteriak memanggil penderita.
Hal yang perlu diperhatikan setelah melakukan penilaian respons penderita :
1. Bila penderita menjawab atau bergerak terhadap respons yang diberikan, maka
usahakan tetap mempertahankan posisi pasien seperti pada saat ditemukan atau
usahakan pasien diposisikan ke dalam posisi mantap; sambil terus melakukan
pemantauan terhadap tanda-tanda vital penderita tersebut secara terus-menerus
sampai bantuan datang.
2. Bila penderita tidak memberikan respons serta tidak bernafas atau bernafas tidak
normal (gasping) maka penderita dianggap mengalami kejadian henti jantung,
maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan aktivasi sistem
layanan gawat darurat.
F. Pengaktifan Sistem Layanan Gawat Darurat
Setelah melakukan pemeriksaan kesadaran penderita dan tidak didapatkan respons dari
penderita, sambil melanjutkan bantuan hendaknya penolong meminta bantuan orang terdekat
untuk menelpon sistem layanan gawat darurat (atau sistem kode biru bila di rumah sakit). Bila
tidak ada orang lain di dekat penolong untuk membantu, maka sebaiknya penolong menelpon
sistem layanan gawat darurat. Saat melaksanakan percakapan dengan petugas layanan gawat
darurat, hendaknya dijelaskan lokasi pasien, kondisi pasien, serta bantuan yang sudah
diberikan kepada pasien.
G. Kompresi Jantung (Circulation)
Kompresi jantung merupakan tindakan yang dilakukan untuk menciptakan aliran darah
melalui peningkatan tekanan intratorakal untuk menekan jantung seccara tidak langsung.
dilakukan dengan menekan secara kuat dan berirama di bagian setengah bawah sternum.
Tekanan tersebut diharapkan menciptakan aliran darah serta menghantarkan oksigen terutama
untuk otot miokardium serta otak.
Sebelum melakukan kompresi pada penderita, penolong harus melakukan pemeriksaan awal
untuk memastikan bahwa penderita dalam keadaan tanpa nadi saat akan dilakukan
pertolongan. Pemeriksaan dilakukan dengan melakukan perabaan denyutan arteri karotis
dalam waktu maksimal 10 detik. Melakukan pemeriksaan denyut nadi bukan hal yang mudah
untuk dilakukan, bahkan tenaga kesehatan yang menolong mungkin memerlukan waktu yang
agak panjang untuk memeriksa denyut nadi, sehingga :
- Tindakan pemeriksaan denyut nadi bisa tidak dilakukan oleh penolong awam dan
langsung mengasumsikan terjadi henti jantung jika seorang dewasa mendadak
tidak sadarkan diri atau penderita tanpa respons yang bernafas tidak normal.
- Pemeriksaan arteri karotis dilakukan dengan memegang leher pasien dan mencari
trakea dengan 2-3 jari. Selanjutnya dilakukan perabaan bergeser ke lateral sampai
menemkan batas trakea dengan otot samping leher (tempat lokasi arteri karotis
berada).
Pelaksanaan Kompresi Dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan secara kuat dan berirama pada setengah bawah
dinding sternum. Penekanan ini menciptakan aliran darah yang akan melalui peningkatan
tekanan intratorakal serta penekanan langsung pada dinding jantung. Komponen yang perlu
diperhatikan saat melakukan kompresi dada :
- Penderita dibaringkan di tempat yang datar dan keras
- Tentukan lokasi kompresi di dada dengan cara meletakkan telapak tangan yang
telah saling berkaitan di bagian bawah sternum, 2 jari di atas processus
xyphoideus
- Berikan kompresi dada dengan frekuensi yang mencukupi (minimal 100x/menit)
- Untuk dewasa, berikan kompresi dada dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm)
- Penolong awam lakukan kompresi 100x/menit tanpa interupsi. Penolong terlatih
tanpa alat bantu napas lanjutan lakukan kompresi dan ventilasi dengan
perbandingan 30 : 2 (setiap 30 kali kompresi efektif, berikan 2 napas bantuan)
- Evaluasi penderita dengan melakukan pemeriksaan denyut arteri karotis setelah 5
siklus kompresi
- Dalam keadaan berlutut, harus diperhatikan posisi setengah berlutut penolong
agar dapat memberikan kekuatan kompresi yang memadai
H. Airway dan Breathing
Perubahan yang terjadi pada alur bantuan hidup dasar ini sesuai dengan panduan yang terbaru
dari American Heart Association mengenai bantuan hidup dasar, bahwa penderita yang
mengalami henti jantung umumnya memiliki penyebab primer gangguan jantung sehingga
kompresi secepatnya harus dilakukan daripada menghabiskan waktu untuk mencari sumbatan
benda asing pada jalan nafas.
Setelah melakukan tindakan kompresi sebanyak 30 kali maka dilanjutkan dengan pemberian
bantuan nafas sebanyak 2 kali yang diawali dengan membuka jalan nafas. Posisi penderita
saat diberikan bantuan nafas tetap terlentang, jikalau mungkin dengan dasar yang keras dan
datar dengan posisi penolong tetap berada di samping penderita. Hal yang diperhatikan dalam
ventilasi :
- Berikan nafas bantuan 2 kali dalam waktu 1 detik setiap tiupan
- Berikan bantuan nafas sesuai dengan kapasitas volume tidal yang cukup untuk
memperlihatkan pengangkatan dinding dada
- Berikan bantuan nafas bersesuaian dengan kompresi dengan perbandingan 2 kali
bantuan nafas setiap 30 kali kompresi
H1. Buka Jalan Nafas
Pada penderita yang tidak sadarkan diri, maka tonus otot-otot tubuh akan melemah termasuk
otot rahang dan leher. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan lidah dan epiglotis terjatuh ke
belakang dan menyumbat jalan nafas. Jalan nafas dapat dibuka oleh penolong dengan
metode :
1. Head tilt chin lift maneuver (dorong kepala ke belakang sambil mengangkat
dagu). Tindakan ini aman dilakukan bila penderita tidak dicurigai mengalami
gangguan/trauma tulang leher.
2. Bila penderita dicurigai mengalami gangguan/trauma leher, maka tindakan untuk
membuka jalan nafas dilakukan dengan cara menekan rahang bawah ke arah
belakang/posterior (jaw thrust).
Setelah dilakukan tindakan membuka jalan nafas, langkah selanjutnya adalah dengan
pemberian nafas bantuan. Tindakan pembersihan jalan nafas, serta maneuver look, listen, and
feel (lihat, dengar, rasakan) tidak dikerjakan lagi kecuali jika tindakan pemberian nafas
bantuan tidak menyebabkan paru berkembang secara baik.
H2. Breathing (Ventilasi)
Tindakan pemberian nafas bantuan dilakukan kepada penderita henti jantung setelah satu
siklus kompresi selesai dilakukan (30x kompresi). Pemberian nafas bantuan bisa dilakukan
dengan metode :
1. Mulut ke mulut
Metode pertolongan ini merupakan metode yang paling mudah dan cepat.
Oksigen yang dipakai berasal dari udara yang dikeluarkan oleh penolong. Cara
melakukan pertolongan adalah :
- Mempertahankan posisi head tilt chin lift yang dilanjutkan dengan menjepit
hidung menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan yang melakukan head tilt chin
lift
- Buka sedikit mulut pasien, tarik nafas panjang dan tempelkan rapat bibir
penolong melingkari mulut pasien, kemudian tiupkan lambat, setiap tiupan
selama 1 detik dan pastikan sampai dada terangkat
- Tetap pertahankan head tilt chin lift, lepaskan mulut penolong dari mulut pasien,
lihat apakah dada pasien turun waktu ekshalasi
2. Mulut ke hidung
Nafas buatan ini dilakukan bila pernafasan mulut ke mulut sulit dilakukan
misalnya karena tismus, caranya adalah katupkan mulut pasien disertai chin lift,
kemudian tiupkan udara seperti pernafasan mulut ke mulut. Buka mulut pasien
waktu ekshalasi
3. Mulut ke Sungkup
Penolong meniupkan udara melalui sungkup yang diletakan diatas dan
melingkupi mulut dan hidung pasien. Sungkup ini terbuat dari plastik transparan
sehingga muntahan dan warna bibir pasien dapat terlihat. Cara melakukan
pemberian nafas mulut ke sungkup :
- Letakan sungkup pada muka pasien dan dipegang dengan kedua ibu jari
- Lakukan head tilt chin lift/jaw thrust, tekan sungkup ke muka pasien agar rapat
kemudian tiup melalui lubang sungkup sampai dada terangkat
- Hentikan tiupan dan amati turunnya pergerakan dinding dada
4. Dengan Kantung Pernafasan
Alat ini terdiri dari kantung yang berbentuk balon dan katup satu arah yang
menempel pada sungkup muka. Volume dari kantung nafas ini 1600 ml. Alat ini
bisa digunakan untuk pemberian nafas buatan dengan atau disambungkan dengan
sumber oksigen. Bila alat tersebut disambungkan dengan oksigen, maka
kecepatan aliran oksigen bisa sampai 12 L/menit (ini dapat memberikan
konsentrasi oksigen yang diinspirasi sebesar 7,4%). Penolong hanya memompa
sekitar 400-600 ml (6-7ml/kg) dalam satu detik ke pasien, bila tanpa oksigen
dipompakan 10 ml/kg berat badan pasien dalam 1 detik. Caranya dengan
menempatkan tangan untuk membuka jalan nafas dan meletakan sungkup
menutupi muka dengan teknik E-C Clamp (bila seorang diri), yaitu ibu jari dan
jari telunjuk penolong membentuk huruf C dan mempertahankan sungkup di
muka pasien. Jari-jari ketiga, empat, dan lima membentuk huruf E dengan
meletakkannya dibawah rahang bawah untuk mengangkat dagu dan rahang
bawah; tindakan ini akan mengangkat lidah dari belakang faring dan membuka
jalan nafas. Hal yang harus diperhatikan pada tindakan ini antara lain :
1. Bila dengan 2 penolong, satu penolong pada posisi diatas kepala pasien
menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri dan kanan untuk mencegah
agar tidak terjadi kebocoran di sekitar sungkup dan mulut, jari-jari yang lain
mengangkat rahang bawah dengan mengekstensikan kepala sembari melihat
pergerakan dada. Penolong kedua secara perlahan (2 detik) memompa
kantong sampai dada terangkat
2. Bila satu penolong, dengan ibu jari dan jari telunjuk melingkari pinggir
sungkup dan jari-jari lainnya mengangkat rahang bawah (E-C Clamp), tangan
yang lain memompa kantung nafas sembari melihat dada terangkat
I. Bantuan Hidup Dasar dengan 2 penolong
Beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan bantuan hidup dasar dengan 2 penolong
:
1. Tiap penolong harus mengerti peranan masing-masing. Satu orang
penolong memberikan pernafasan buatan sedangkan penolong yang lain
melakukan kompresi dada. Bila penolong kedua tiba di tempat kejadian
saat pertolongan sedang dilakukan oleh penolong pertama, maka
penolong kedua memberikan bantuan setelah penolong pertama
melakukan satu siklus bantuan yang diakhiri dengan 2 nafas bantuan
2. Penolong yang melakukan kompresi dada memberikan pedoman dengan
cara menghitung dengan suara yang kuat
3. Sebaiknya perputaran penolong dilakukan setiap 5 skilus. Sebelum
melakukan perpindahan tempat, penolong yang melakukan kompresi
memberikan aba-aba bahwa akan melakukan perpindahan tempat setelah
kompresi ke-30 dan melanjutkan pemberian 2 nafas buatan. Sedangkan
penolong yang memberikan nafas buatan, segera mengambil tempat di
samping pasien untuk melakukan kompresi. Hal tersebut terus berlanjut
sampai bantuan dinyatakan boleh dihentikan
Komplikasi yang mungkin terjadi saat melakukan bantuan hidup dasar :
1. Aspirasi regurgitasi
2. Fraktur costae-sternum
3. Pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru
4. Laserasi hati atau limpa
3. Tata Laksana Jalan Napas Dewasa
1. Pemberian Suplementasi Oksigen
Oksige yang terdapat dalam udara bebas sebesar 20% saja, sehingga pada kasus kegawatan
kardiopulmonal yang mengakibatkan hipoksemia dan hipoksia jaringan perlu diperbaiki dengan
peningkatan fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2) dan peningkatan tekanan oksigen dalam
udara inspirasi (PO2).
Perjalanan Oksigen dari udara luar menuju didalam sel untuk metabolisme berikut melalui tiga
tahap yaitu, ventilasi, difusi dan perfursi. Difusi yaitu perpindahan oksigen melewati membrane
alveoli-kapiler ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan O2 di alveoli (PAO2) dan di darah
arteri (PaO2). PAO2 dapat ditingkatkan dengan pemberian oksigen.
Keefektifan alat pemberian oksigen ditentukan oleh kemampuan alat untuk menghantarkan
oksigen dengan kecepatan aliran yang cukup tinggi untuk mengimbangi kecepatan aliran
inspirasi pernafasan spontan.
Oleh karena itu, pemberian oksigen yang diinspirasi setinggi 100% (fraksi oksigen inspirasi =
FiO2 :1,0) dianjurkan untuk kegawatan kardiopulmonal. Hal ini ditujukan untuk
mengoptimalkan tekanan oksigen inspirasi sehingga akan memaksimalkan saturasi okigen di
pembuluh arteri dan akhirnya akan memaksimalkan oksigen sistemik (DO2). DO2 ditentukan
oleh, kadar hemoglobin, saturasi oksigen dalam artei (SaO2) dan curah jantung.
Alat-Alat Pemberian Oksigen
Sumber Oksigen
Alat-alat suplementasi oksigen, kanul nasal, berbagai macam sungkup muka
Sumber Oksigen
Sumber oksigen dapat berupa tabung oksigen dan unit yang tertempel pada dindng (oksigen
sentral).
Kelengakapan dari sumber oksigen adalah :
a. Pemuka katup untuk membuka tabung, pengukur tekanan, dan aliran gas (Pressure
gauge dan Flowmeter)
b. Pipa penghunbung (Tubing Connector) ke ala suplementasi oksigen.
Alat-alat suplementasi oksigen
a. Kanul Nasal
Dapat mengatur aliran oksigen antara 1-6 liter per menit untuk menambah oksigen dari
uadara kamar yang diinspirasi pasien. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) tidak dapat
dikendalikan, tetapi maksimal FiO2 yang dicapai tidak lebih dari 0,44 (FiO2 = 40%).
Peningkatan kecepatan aliran oksigen 1 liter per menit akan meningkatkan oksigen
sebesar 4%. Kanul nasal disebut alat suplementasi oksigen sistem oksigen-4 liter/menit.
b. Sungkup Muka Sederhana
Dikenal dengan sungkup muka Hudson. Oksigen dapat dilarkan dengan kecepatan 6-10
liter per menit dengan FiO2 yang dicapai sekitar 0,35-0,6. Bila kacepatan aliran oksigen
kurang dari 6 liter per menit akan terjadi penumpukan Co2 akibat terjadi dead space
mekanik. Alat ini termasuk sistem oksigen sedang, aliran tinggi.
c. Sunkup muka non-rebreathing
Terdiri atas sungkup muka sederhana yang dilengkapi dengan kantong reservoir oksigen pada
dasar sungkup muka dan satu katup satu arah yang terletak pada lubang disamping sungkup dan
satu lagi satu katup arah yang terletak dinatara kantong reservoir dan sungkup muka.
Pada saat inspirasi, katup yang terletak dibagian samping sungkup muka akan menutup sehingga
seluruh gas inspirasi berasal dari kantong reservoir, sedangkan katup yang berada dinatara
kantong reservoir dan sungkup menutup sehingga gas ekspirasi tidak masuk ke kantong
reservoir tetapi dipaksa keluar melewati lubang-lubang kecil di samping sungkup.
d. Sungkup muka partial rebreathing
Sungkup muka ini terdiri dari sungkup uka sederhana dengan kantong reservoir pada
dasar sungkup. Oksigen mengalir ke kantong reservoir terus-menerus. Ketika ekspirasi,
sepertiga awal gas ekspirasi masuk ke kantong reservoir bercampur oksigen yang ada,.
Jadi saat inspirasi asien menghisap kembali sepertiga gas ekspirasinya.
Sungkup muka dengan reservoir O2 di dan fogunakan pada pasien-pasien :
1) Sakit kritis, kesadaran masih baik, ventilasi adekuat tetapi membutuhkan
oksigen dengan oksigen konsentrasi tinggi.
2) Sebelum ada indikasi intubasi trakea, seperti pada edem paru akut, asma akut,
PPOK atau pasien tidak sadar tetapi ventilasi adekuat dengan reflex batuk masih
ada.
e. Sungkup muka venture
TErdiri dari sungkup muka dan mixing jet. Dengan alat ini FiO2 yang diberikan dapat
dikendali. Oksigen yang diberkan dapat diatur berkisar 28%, 35% dan 40% dengan
kecepatan aliran 4-8 liter per menit, dan 45-50% dengan kecepatan aliran 10-12 liter per
menit.
Paling berguna pada pasien dengan PPOK yang diketahui memerlukan sedikit
hipoksemia untuk menjaga pacu respirasi.
Pemantauan Pemberian Oksigen
Dapat dilakukan dengan pemeriksaan invasive yaitu analisis gas darah (PaO2 dan SaO2)
dan secara non-invasif dengan alat oksimetri denyut.
Prinsip oksimetri denyut berdasarkan pada absorbs yang berdenyut antara sumber
cahaya foto detektor yaitu darah arteri; perbedaan absorbs gelombang cahaya dan infra
merah oleh oksihemeglobin dan hemoglobin tereduksi pada fraksi darah arteri yang
berpulsasi dibawah alat sensor.
Light emitting diode (LED) pada probe alat ini akan mentransmisikan cahaya melalui
jaringan (misalnya diujung jari), dan intensitas cahaya yang ditransmisikan diukur oleh
detektor cahaya pada sisi lainnya. Pengunaan oksimetri denyut dapat pula sebagai
petunjuk pilihan alat suplementasi oksigen.
2. Pembukaan dan Pemeliharaan Jalan Nafas Atas.
MEngangakat kepala, dan mendorong rahang bawah ke depan atau disebut angkat kepala-angkat
dagu (head tilt-chin lift). Teknik ini akan efektif bila obstruksi jalan nafas disebabkan oleh lidah
atau relaksasi otot pada jalan nafas.
Bila curiga trauma cervival, lakukan penarikan rahang tanpa mendorong kepala.
Pemeliharaan Jalan Nafas
PAda pasie yang dalam keaaan tidak sadar tanpa adanya reflex batuk atau muntah, pasanglah
OPA dan NPA untuk mengelola patensi jalan nafas.
Bila terdapat pasien tersedak yang tidak tersadar dan henti nafas. Buka mulutnya lebar-lebar dan
carilah benda asing didalamnya bila ada keluarkan dengan menggunakan jari anda. Kemudian
dilanjutkan dengan RJP.
3. ALat Bantu Jalan Nafas
untuk pasien yang tidak sadar dan tida ada reflex batuk atau muntah, dapat dipasang alat bantu
jalan nafas sederhana.
Alat bantu jalan nafas orofarings (OPA)
Hanya Pada pasien yang tidak sadarkan diri, dengan head tilt-chin lift tidak berhasil
membuka jalan nafas atas terbuka.
LAngkah Tindakan
1
Beihkan mulut dan faring daris sekresi,darah, atau muntahan dengan
menggunakan ujung penyedot faring yang kaku (Yaunker), bila
memungkinkan.
2
Pilihlah ukuran OPA yang tepat dengan menempatkan OPA di samping wajah,
dengan ujung OPA pada sudut mulut, ujung yg lain pada sudut rahang bawah.
Bila OPA diukur dan dimasukkan dengan tepat, maka OPA akan tepat sejajar
dengan pangkal glottis.
3Masukkan OPA sedemikian sehingga ia berputar ke arah belakang ketika
memasuki mulut.
4
KEtika OPA sudah masuk rongga mulut dan mendekati dinding posterior
farings, putarlah OPA sejauh 180 derajat kearah positif yang tepat
Satu metode alternatif adalah memasukkan OPA lurus ketika menggunakan
penekan lidah serupa untk menahan lidah di dasar mulut.
Alat bantu jalan nafas nasofaring (NPA)
Dapat digunakan pada pasien dam keadaan sdar atau setengah sadar. Alat ini berbentuk pipa
dari plastic yang lembut dan tidak berbalon yang berfungsi sebagai jalan aliran udara antara
lubang hidung dan farings. Indikasi enggunaan NPA adalah bila ditemui kesulitan pada
penggunaan OPA seperti adanya trauma disekitar mulut atau trismus.
LAngkah Tindakan
1 Pilihlah ukuran NPA yang tepat
Bandingkan diameter luar NPA dengan lubang dalam hidung.
Beberapa tenaga kesehatan menggunakan jarin kelingking pasien
sebagai pedoman untuk memilih ukuran yang tepat.
Panjang NPA harus sama dengan jarak antara ujung hidung pasien
dengan cuping telinga.
2 BAsahi saluran nafas dengan pelumas larut air dan jelly anestetik
3
Masukkan NPA melalui lubang hidung dengan arah posterior membentuk
garis tegak lurus dengan permukaan wajah. Masukkan dengan lembut
samapai dasr nasofaring.
Bila mengalami hambatan :
Putar sedikit untuk memfasuilitasi pemasangan pada sudut antara
rongga hidung dan nasofaring.
Cobalah tempatkan melalui lubang hidung yang satunya karena
pasien memiliki rongga hidung dengan ukuran yang berbeda.
Lendir, darah muntahan, atau jaringan lunak faring dapat menyumbat NPA, yang memiliki
diameter internal yang kecil. Dibutuhkan pemantauan dan penyedotan pada jalan nafas atas
untuk memastikan patensinya.
4. Pemeberian Ventilasi manual
Ventilasi dengan kantung nafas-sungkup muka (bag-mask ventilation)
Terdiri dari sebuah kantung ventilasi (selalu mengembang) yang melekat pada sebuah sungkup
muka wajah atau katup satu arah (non-rebreathing). Selain dengan sungkup muka, kantung
ventilasi bias dihubungkan dengan alat bantu jalan nafas lain seperti pipa trachea, sungkup
larings, dan pipa esofagotrakhea. Merupakan metode yang paling lazim digunakan untuk
memberikan ventilasi bertekanan positif.
ALatyang lengkap hars terdiri dari :
a. Kantung nafas (selalu mengembang) yang untuk pasien dewasa dengan volume 1600mL
b. Sistem katup satu arah (non-rebreathing) untuk mencegah pasien menghirup udara yang
sudah dihembuskan. Katup ini sebagai saluran masuk oksigen dengan aliran maksimal
30 liter per menit.
c. Konektor dengan diameter 15/22 mm
d. Kantong cadangan oksigen
e. Bahan tahan cuaca.
Indikasi penggunaan ventilasi kantung nafas sungkup muka adalah :
a. Henti nafas
b. Nafas sepontan tidak adekuat
c. Menurunkan kerja nafas dengan membantu memberikan tekanan positif pada saat
inspirasi pasien
d. Hipoksemia akibat ventilasi sontan yang tidak adekuat
Keberhasilan pemberian bantuan nafas dengan alat ini tergantung dari :
a. Menjaga jalan nafas tetap terbuka
b. Tidak ada kebocoran antara sungkup muka dengan muka pasien
c. Pemberian nafas dengan volume tidal yang optimal dengan menekan kantong nafas
dengan benar.
5. Pemberian Ventilasi Dengan Alat Bantu Jalan Nafas Tingkat Lanjut
Intubasi endotrakeal
Hanya tenaga kesehatan yang berpengalaman yang boleh melakukan intubasi endotrakeal. Intubasi
endotrakeal adalah proses memasukkan pipa endotrakeal dalam trakesa pasien. Intubasi endotrakeal in
I termasuk dalam tatalaksana jalan nafas tingkat lanjut.
Kegunaan pipa endotrakeal ini adalah:
1. Memelihara terbukanya jalan nafas atas
2. Membantu pemberian oksigen konsentrasi tinggi
3. Memfasilitasi pemberian ventilasi dengan volume tidal yang tepat untuk memelihara
pengembangan paru yang adekuat
4. Mencegah jalan nafas dari aspirasi isi lambung atau benda padat atau cairan dari mulut,
kerongkongan atau jalan nafas atas
5. Mempermudah menyedotan dalam trakea
6. Sebagai alternative untuk memasukkan obat pada waktu resusitasi jantung paru bila akses
intavena atau intraoseus belum ada
Indikasi intubasi endotrake adalah:
1. Henti jantung, bila ventilasi kantong nafas tidak memungkinkan atau tidak efektif
2. Pasien sadar dengan gangguan pernafasan dam pemberian oksigen yang tidak adekuat dengan
alat-alat ventilasi yang tidak invasive
3. Pasien yang tidak bisa mempertahankan jalan nafas (pasien koma)
Tekanan krikoid
Maksud dari penekanan tulang rawankrikoid adalah untuk mencegah regurgitasi isi lambung dan
membantu visualisasi orifisium trakea. Penekanan dilakukan sampai pipa endotrakeal masuk,
dikembangkan dan posisi pipa dipastikan tepat. Namun, bila merujuk pada guideline AHA 2010 hal
tersebut tidak direkomendasikan lagi karena dari beberapa kasus ternyata regurgutasi isi lambung
tetap saja dapat terjadi.
Pemeriksaan posisi pipa endotrakeal
Posisi pipa endotrakeal secepatnya harus diperiksa dengan cara pemberian nafas buatan dengan alat
kantong napas-sungkup muka. Tindakan ini tidak perlu menghentikan kompresi jantung pada pasien
yang sedang dilakukan resusitasi jantung paru. Pemeriksaan posisi pipa didalam trakea dapat
dilakukan dengan:
1. Pemeriksaan fisik yaitu dengan melihat dada mengembang
2. Alat-alat seperti end tidal CO2 detektor, dan esophageal detector
Apabila dinding dada tidak terlihat mengembang dan pada auskultasi terdengar gurgling di
epigastrum berarti terjadi intubasi esophagus. Ventilasi dengan sungkup muka-kantong dihentiakan,
dan pipa endotrakeal dicabut, kemudian:
1. Berikan ventilasi dengan kantong napas-sungkup muka atau pertimbangkan penggunaan alat
bantu nafas lanjut lainnya seperti LMA atau combitube.
2. Ulangi intubasi pipa endotrakeal didalam trakea setelah melakukan reoksigenasi selama 30
detik dengan ventilasi kantong napas-sungkup muka den oksigen 100%
3. Setelah intubasi ulang, tampak pengembangan dinding dad dan tidak terdengar suara cairan
dari dalam perut, lakukam auskultasi diatas perut, lapang paru atas dan bawah kanan-kiri.
4. Apabila belum yakin dengan posisi pipa endotrakeal, maka lakukan laringoskop ulang untuk
memastikan ujung pipa endotrakeal telah melewati pita suara.
Komplikasi intubasi endotrakeal
1. Trauma:
a. Laserasi bibir, lidah farings, atau trakea
b. Trauma pita suara
c. Perforasi farings-esofagus
d. Muntah dan aspirasi isi lambung ke dalam jalan nafas bawah
e. Meningkatnya sekresi katekolamin yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
takikardi atau aritmia
2. Intibasi esophagus: segera pipa endotrakeal dicabut, kemudian berikan ventilasi dengan
kantong nafas-sungkup muka dengan oksigen100% selam 20-30 detik.
3. Intubasi satu bronkus: lebih sering terjadi pada bronkus kanan dibandingkan bronkus kiri dan
dapat berakibat hipoksemia karena tidak terdapat ventiasi pada salah satu paru-paru sehingga
harus dilakukan tindakan:
a. Kempeskan balon pipa endotrakeal
b. Tarik pipa endotrakeal keluar sekitar 1-2 cm
c. Konfirmasi posisi pipa endotrakeal dengan pemeriksaan fisik
Pemberian ventilasi pada pasien dengan intubasi trakea yang dilakukan RJP
Pemberian ventilasi harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Volume:
a. Besar volume oksigen yang diberikan dengan kantong nafas-sungkup muka hanya sampai
dada terangkat
b. Pada pasien obesitas diberikan volume yang lebih besar
c. Setiap pemberian volume lamanya 1 detik
2. Kecepatan:
a. 8-10 kali permenit pada waktu resusitasi jantung paru
b. 10-12 kali permenit pada waktu henti nafas tanpa disertai henti jantung
3. Siklus kompresi dada-ventilasi: kompresi dada dengan kecepatan 100 kali permenit tanpa
diselingi pemberian ventilasi.
Pemberian obat-obatan resusitasi melalui pipa endotrakeal
Obat yang biasa biberikan adalah nalokson, atropine, vasopressin, epinefrin, dan lidokain (disingkat
NAVEL). Dosis obat-obat tersebut bila diberikan melalui pipa endotrakeal besarnya 2-2,5 kali dosis
intravena, dan diencerkan dalam 10 ml NaCl 0,9% atau aquabidest.
Sungkup larings (Laryngeal Mask Airway/LMA)
LMA merupakan pipa yang ujungnya berbentuk sungkup dengan balon yang bisa dikembangkan.
LMA dimasukkan ke dalam farings tanpa laringoskopi sampai terasa ada tahanan. Hal ini
menunjukkan ujung distal pipa sampai pada hipofaring dan balon segera dikembangkan sehingga
mendorong sungkup menutupi pembukaan trakea dan menjadikan tidak ada kebocoran. Pemberian
ventilasi terjadi lewa lubang yang ada pada bagian tengah sungkup LMA.
Indikasi pemasangan LMA:
1. Ketidakmampuan penolong memberikan ventilasi denganalat kantong nafas-sunkup muka
2. Henti nafas dan henti jantung
3.
Combitube (Pipa Esofagus-Trakea)
combitube merupakan pipa dengan dua lumen dan dua balon. Pipa ini dipasang tanpa perlu
memvisualisasikan pita suara. Satu lumen mepunyai lubang-lubang ventilasi disisi pipa pada tingkat
hipofarings dan ujung distalnya buntu. Satu lumen yang lainnya mempunyai ujung yang terbuka. Bila
combitube dimasukkan kedalam mulut dan balon farings dikembangkan, balon akan berada diantara
dasar lidah dan pallatum mole, sehingga combitube berada pada posisi yang tepat dan memisahkan
orofarings dan hipofarings. Pengembangan balon esophagus akan memisahkan trakea atau esophagus.
Combitube lebih sering masuk kedalam esophagus dibandingkan kedalam trakea. Kontraindikasi
penggunaan combitube adalah pasien dengan refleks-refleks faring atau laring.
Penyedotan Jalan Nafas Atas Yang Tersumbat
Penyedotan adalah komponen yang penting dalam mengelola jalan nafas pasien. Peralatan penyedot
yang mudah dibawa dan memiliki daya sedot yang memadai. Umumnya yang dibutuhkan adalah daya
sedot sebesar -80 hingga -120 mmHg. Unit penyedot yang tertanam pada dinding dapat memberikan
daya sedot hingga lebih dari -300 mmHg ketika selang dipasang pada daya sedot penuh. Tersedia
kateter penyedot yang lunak dan keras. Kateter yang lunak diguanakan untuk aspirasi secret kental
dari orofaring dan nasofaring, melakukan penyedotan intratrakea, dll. Kateter yang keras lebih efektif
digunakan untuk menyedot orofaring, khususnya bila terdapat nahan partikulat yang kental. Pantaulah
denyut jantung, nadi, saturasi oksigen, dan kedaan klinis pasien selama penyedotan. Bila terjadi
bradikardi, turunnya saturasi oksigen, dan keadaan klinis pasien memburuk, segera hentikan
penyedotan. Berikan oksigen aliran tinggi hingga denyut jantung kembali normal dan kondisi klinis
membaik. Bantulah ventilasi bila dibutuhkan.
4. Algoritma Henti jantung
Algoritma Henti jantung
Henti jantung merupakan keadaan diamana sirkulasi darah darah berhenti akibat kegagalan jantung
untuk berkontraksi, ditandai dengan tidak adanya nadi dan tanda-tanda sirkulasi lainnya.
Apabila menemukan seseorang dengan karateristik tersebut, mulailah memanggil bantuan tambahan
dan mengaktifkan kode darurat.
Kemudian segera lakukan RJP pada korban, RJP harus memiliki kualitas:
Tekanan keras dengan kedalaman 5cm, dengan frekuensi tekanan >99/menit, dan
memberikan kesempatan daya mengembang maksimal
Menggunakan rasio kompresi-ventilasi 30:2
Kurangi interupsi pada saat kompresi
Hindari ventilasi yang berlebih
tukar pemberi perlakuan kompresi tiap 2 menit sekali
Pada saat alat bantu datang, pasang sadapan EKG dan siapkan defibrillator tanpa menghentikan RJP,
setelah terpasang hentikan RJP (tidak boleh lebih dari 10 detik) dan lihat irama apa yang didapatkan.
Berdasarkan irama yang didapatkan tatalaksana dibagi menjadi dua:
Irama kasus fibrilasi ventrikel/ ventrikel takikardi tanpa nadi
Pulseless electrical activity (PEA)/ asystol
A. Kasus VF/VT tanpa nadi
Apabila pada irama yang didapatkan berbentuk gambaran gelombang yang naik turun dengan
berbagai amplitude gelombang yang berbeda-beda, menimbulkan gambaran seperti cacing yang yang
naik turun dan tidak beraturan, dan tidak tampak kompleks QRS atau segmen ST atau gelombang T,
maka disimpulkan irama dari fibrilasi ventrikel (VF).
Bila terlihat VT/VF, lakukan kejut listrik unsychronized dengan (1) energy 360 joule untuk kejut
mono fasik atau 200 joule untuk kejut listrik bifasik. Lalu lakukan (2) RJP selama 5 siklus (2 menit).
Setelah itu lihat kembali gambaran EKG yang didapatkan , bila masih VT/VF, kembali lakukan kejut
listrik, lakukan RJP selama 2 menit lagi dan bila jalur IV sudah terpasang (3) berikan epinefrin 1mg
IV/IO tiap 3-5 menit atau dapat (4) diberikan vasopressin dosis 40 mg IV/IO uintuk menggantikan
dosis pertama atau kedua epinefrin, vasopressin diberikan sekali saja sampai RJP selesai. Kemudian
lakukan survey sekunder dan lakukan intubasi trakea. Setelah RJP 2 menit lihat kembali irama yang
didaptkan, apabila masih VT/VF, kembali lakukan kejut listrik, diteruskan RJP 2 menit dan berikan
(5) amiodaron IV/IO dosis 300 mg, kemudian cek irama lagi, apabila masih VT/VF ulangi proses (1),
(2), (3) & (5) dan untuk amidaron, dosis kedua sebanyak 150 mg.
Sebagai catatan, untuk intubasi trakea, bila pemberian oksigenasi dapat berlangsung dengan baik,
dapat ditunda, namun untuk kasus henti jantung yang tidak disaksikan (unwitness), intubasi trakea
harus segera dilakukan. Dan apabila amiodaron tidak ada, dapat digantikan dengan lidokain dengan
dosis pertama 1-1,5 mg/kgBB dan dosis kedua 0,5-0,75/kgBB.
B. Kasus PEA/Asystole
Apabila pada layar EKG terdapat gambaran elektrik (biasanya kompleks QRS yang melebar dengan
frekuensi 20-40/menit) naumn tidak didapatkan perabaan nadi arteri karotis, maka kemungkinan besar
mengalami PEA, atau apabila didaptkan gambaran yang relative lurus tanpa pelistrikan maka orang
tersebut mengalami asystole.
Tetap lanjutkan (6) RJP selama 5 siklus (2 menit) dan berikan epinefrin 1mg IV/IO tiap 3-5 menit,
kemudian cek monitor EKG, apabila didapatkan gambaran PEA/asystole, lakukan (7) RJP kembali
selama 2 menit dan obati penyebab reversible, penyebab reversible antara lain:
Hypovolemia
Hypoxia
Acidosis
Hypo/hyperkalemia
Hypothermia
Tegangan pneumothorax
Tamponade
Toxins
Thrombosis pulmoner
Thrombosis coronary
Kemudian cek monitor EKG kembali, apabila masih terdapat tanda-tanda PEA/Asystole ulangi proses
(6) dan (7).
Untuk catatan, apabila mendapatkan gambaran asystole, beberapa tindakan harus dilakukan untuk
pengecekan alat/monitor:
Apakah sadapan sudah terpasang dengan baik?
Apakah konektor sadapan dengan alat kejut listrik sudah terpasang dengan baik?
Apakah baterai DC sudah terpasang?
Apakah kabel listrik alat DC tersambung dengan baik?
Apakah aliran listrik ada ?
Apakah sudah mencoba memindahkan lead I, II, III secara bergantian?
Apaka sudah berusaha menaikan amplitudo pada alat DC agar gelombang lebih terlihat?
C. Pemberhentian
Apabila pada kedua kasus pada saat pengecekan monitor EKG didapatkan sirkulasi spontan (ROSC),
segera lakukan post-Cardiac arrest Care. Dikatakan positif ROSC apabila terdapat nadi dan tekanan
darah, dan terdapat gelombang tekanan spontan arterial yang sejalan dengan gambaran intra-arterial
pada monitor.
Perlu juga diingatkan tata laksana yang dilakukan harus sesuai dengan irama/klinis penderita saat itu,
sebagai contoh apabila pada awal, tatalkasana yang dilakukan berupa kasus VT/VF kemudian pada
saat pengecekan monitor didapatkan irama asystole, secara cepat lakukan perubahan tatalaksana
sesuai tata cara penangan henti jantung asystole.
Untuk kasus PEA dan asystole apabila pertolongan sudah diberikan kurang lebih 30 menit, sebaiknya
dilakukan penilaian ulang pertolongan yang telah dilakukan, nilai apakah RJP sudah dilakukan
dengan benar, apakah obat-obatan sudah diberikan dengan cara dan dosis sudah benar, apabila semua
tindakan kita sudah ternilai dengan benar dan tidak didapatkan tanda ROSC serta tampak kematian
biologis yang jelas, dapat dipertimbangkan untuk menghentikan pertolongan yang diberikan.
BRADIKARDI
BRADIKARDIA
Bradikardia merupakan denyut jantung kurang dari 60 kali permenit. Sedangkan bradikardia
relatif adalah denyut jantung lebih dari 60 kali permenit tapi masih kurang dari kondisi yang
seharusnya. Misalnya: pasien demam tinggi tetapi denyut jantungnya hanya 80 kali permenit, atau
pasien syok denyut jantungnya hanya 70 kali permenit. Seorang atlit yang terlatih denyut jantungnya
biasanya kurang dari 60 kali permenit.
Bradikardia akan menjadi masalah bila simtomatik atau sudah menimbulkan gejala dan tanda
akibat denyut jantung yang terlalu lambat. Umumnya, tanda dan gejala timbul pada denyut jantung
kurang dari 50 kali permenit.
Gejala yang mungkin timbul meliputi:
- Sesak nafas
- Nyeri dada
- Pusing, kesadaran menurun
- Lemah, hampir pingsan, pingsan (sinkop)
Tanda yang dapat terjadi meliputi:
- Hipotensi atau syok
- Udem paru
- Akral dingin dengan penurunan produksi urin
Manajemen Bradikardia
Hipoksemia sering menyebabkan bradikardia, sehingga evaluasi awal pasien dengan
bradikardia mesti difokuskan pada meningkatnya usaha bernafas sepetti: tachypnea, retraksi
interkostal, retraksi suprasternal, pernafasan paradoksikal abdominal, saturasi oksihemoglobin. Jika
oksigenasi tidak adekuat, berikan oksigen, pasang monitor, evaluasi tekanan darah, dan pasang infus.
Evaluasi penyebab yang bisa dikoreksi. Tentukan apakah tanda dan gejala perfusi yang buruk
disebabkan oleh bradikardia. Jika tanda dan gejala yang terjadi bukan disebkan oleh bradikardia, nilai
ulang sebab yang mendasari simptom pasien.
Tanda dan gejala bradikardia mungkin ringan, tanpa gejala. Pada keadaan ini pasien tidak
memerlukan terapi. Jika ada persangkaan bahwa irama akan berlanjut dengan gejala atau mengancam
nyawa misalnya (blok AV derajat II tipe IIpada infark miokard akut), Jika bradikardia disangka
menyebabkan penurunan kesadaran, nyeri dada iskemi, gagal jantung akut, hipotensi atau tanda-tanda
syok mesti mendapatkan penanganan. Dalam menghadapi pasien dengan bradikardia yang penting
adalah menentukan apakah bradikardia sudah menimbulkan gejala dan tanda seperti diatas.
Jika demikian usahakan untuk meningkat denyut jantung dengan langkah-langkah sebagai berikut:
- Segera pastikan tidak ada gangguan jalan nafas
- Berikan oksigen
- Pasang monitor EKG, tekanan darah, oksimetri
- Pasang jalur intravena
Perhatikan EKG, jika gambaran EKG bukan blok AV derajat II tipe 2 dan blok AV total/derajat III
lakukanlah sebagai berikut.
- Berikan atropin sulfat 0,5 miligram intravena sambil memperhatikan monitor EKG, adakah
respon peningkatan denyuk jantung, jika tidak ada, ulangi lagi pemberian atropin sulfat 0,5
mg sampai ada respon peningkatan denyut jantung. Atau total dosis Atropin sulfat 3 mg.
- Bila dosis atropin sulfat sudah 3 mg belum ada respon peningkatan denyut jantung, pikirkan
pemberian obat yang lain epinefrin 2-10 µg/menit atau dopamin 2 sampai 10 µg / menit.
- Jika belum ada respon pertimbangkan untuk konsul ahli dan pemasangan pacujantung
transvena.
- Jika gambaran EKG adalah blok AV derajat II tipe 2 dan blok AV otal/ derajat III, segera
pasang pacu jantung transkutan sambil menunggu pemasangan pacu jantung transvena.
- Cari dan tangani penyebab yang dapat menyokong seperti: hipovolemia, hipoksia,
hipokalemia, hipoglikemia, hipotermia, asidosis, serta toksin, temponade jantung, tension
pneumathorax, thrombosis, dan trauma.
Alternaif Obat
- Dopamin
Katekolamin yang bekerja pada reseptor α dan β adrenergik, maka dapat dititrasi pada dosis
rendah sebagai inotropik dan meningkatkan denyut jantung, pada dosis yang lebih tinggi (>10
mcg/kg/menit) menyebabkan vasokontriksi. Jadi baik untuk bradikardia yang diikuti dengan
tekanan darah yang rendah. Dosis dapat dititrasi mulai dari 2-10 mcg/kg/menit.
- Epinefrin
Katekolamin yang bekerja pada reseptor α dan β adrenergik, maka dapat dititrasi 2-10
mcg/kg/menit sampai denyut jantung meningkat tapi juga menyebabkan vasokontriksi. Jadi
baik untuk bradikardia yang diikuti dengan tekanan darah yang rendah.
- Isoprotrenolol
Katekolamin yang bekerja pada β1 dan β2 adrenergik. Obat ini dapat meneingkatkan denyut
jantung dan vasodilatasi. Dapat dititrasi 2-10 mcg/kg/menit sampai denyut jantung
meningkat.
Alogaritme Bradikardia
Nilai kesesuaian dengan kondisi klinis HR biasanya <50x/menit jika bradiaritmiia
Identifikasi dan atasi penyebab
- Pertahankan patensi jalan nafas: bantu nafas jika perlu- Oksigen (jika hipoksemia)- Identifikasi irama; monitor tekanan darah dan oksimetri- Akses IV- EKG 12 sadapan; jangan menunda terapi
Atropin
Jika atropin tidak efektif:
- pacu jantung transkutan, atau
- Dopamin drip, atau- Epinefrin drip
Monitor dan Observasi
Apakah bradiaritmia menyebabkan:
- Hipotensi?- Penurunan kesadaran?- Tanda-tanda shock?- Nyeri dada iskemik?- Gagal jantung akut?
Perkembangan:
Ya
tidak
Dosis:
Atropin IV:
Dosis pertama: 0,5 mg bolus. Ulangi setiap 3-5 menit. Maksimum: 3mg
Dopamin IV drip:
2-10 mcg/kg/menit
Efineprin IV drip:
2-10 mcg/menit
Gambar. Alogaritme Bradikardia (dikutip dari 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC).
TAKIKARDIA
A. Klasifikasi Takiaritmia
Takikardia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Pengklasifikasian dapat dibagi
berdasarkan pemunculan kompleks QRS, denyut jantung, dan regularitas. Dalam hal ini,
pelaksana harus dapat mengenali dan membedakan antara sinus takikardia, takikardia
supraventricular kompleks sempit atau SVT, dan takikardia kompleks lebar atau wide-
complex tachycardia.
Klasifikasi takiaritmia:
a. Takikardia kompleks QRS sempit (QRS ≤ 0,12 detik)
Sinus takikardia
Fibrilasi atrium
Flutter atrium
Re-entri nodus AV
Takikardia atrium
Multifocal atrial tachycardia (MAT)
Takikardia penghubung
b. Takikardia kompleks QRS lebar (QRS ≥ 0,12 detik)
Takikardia ventriukular (VT dan VF)
Perkembangan:
SVT dengan aberan
Takikardia pre-eksitasi (Wolff-Parkinson-White Syndrome)
Irama pacu ventrikel
Takikardia QRS sempit irregular dapat merupakan suatu fibrilasi atrial atau MAT dan
terkadang juga flutter atrium.
B. Evaluasi Awal dan Tata Laksana Takiaritmia
Takikardia didefinisikan sebagai aritmia dengan denyut jantung > 100 kali per menit.
Denyut takikardia menimbulkan gejala klinis pada kondisi yang ekstrim dan sering kali pada
aritmia dengan gejala pada denyut jantung > 150 kali per menit. Denyut jantung yang cepat
merupakan respon yang wajar terhadap stress fisiologis atau kondisi yang mendasari lainnya.
Ketika menghadapi pasien dengan takikardi, upaya yang harus dilakukan adalah menentukan
apakah takikardi merupakan penyebab primer dari gejala yang ada atau sekunder dari kondisi
yang mendasari yang menyebabkan gejala yang ada ataupun denyut jantung yang lebih cepat.
Banyak ahli menyarankan bahwa denyut jantung < 150 kali/menit, kecil kemungkinan akan
menimbulkan gejala instabilitas kecuali terdapat gangguan fungsi ventrikel.
Evaluasi dan tata laksana takiaritmia disimpulkan dalam Algoritme Takikardi dengan
nadi. Kotak bernomor dalam teks merujuk pada kotak yang dinomori pada algoritme ini.
Dikarenakan hipoksemia merupakan penyebab umum dari takikardi, evaluasi awal
pada pasien dengan takikardi harus dipusatkan pada gejala peningkatan kerja pernapasan dan
saturasi oksihemoglobin yang ditentukan dengan menggunakan oksimetri pulsasi. Jika
oksigenasi tidak adekuat atau pasien menunjukkan gejala peningkatan kerja pernapasan,
berikan suplementasi oksigen. Pasang monitor pada pasien, evaluasi tekanan darah, dan buat
akses vena. Jika tersedia, buat EKG 12 sadapan untuk mendefinisikan irama tetapi hal ini
tidak menunda kardioversi jika pasien tidak stabil. Selama memulai tata laksana, evaluasi
status klinis pasien dan identifikasi penyebab takikardi yang potensial reversible.
Jika gejala dan tanda menetap walaupun telah diberikan suplementasi oksigen dan
bantuan jalan napas dan ventilasi, pelaksana harus menilai derajat instabilitas pasien dan
menentukan jika instabilitas berkaitan dengan takikardi (Kotak 3). Jika pasien menunjukkan
penurunan kardiovaskular terkait denyut jantung dengan gejala dan tanda seperti status
mental yang berubah secara akut, nyeri dada iskemik, gagal jantung akut, hipotensi, atau
tanda syok yang dicurigai diakibatkan takiaritmia, selanjutnya dilakukan kardioversi
tersinkronisasi (Kotak 4). Tetapi, ketika denyut ventrikel < 150 kali per menit tanpa adanya
disfungsi ventrikel, kemungkinan penyebab takikardi sekunder akibat kondisi yang
mendasarinya daripada sebagai penyebab dari instabilitas. Jika tidak hipotensif, pasien
dengan SVT kompleks-sempit dapat diobati dengan adenosine sementara dilakukan persiapan
untuk kardioversi tersinkronisasi.
Jika pasien dengan takikardi kondisinya stabil, pelaksana memiliki waktu untuk
membuat EKG 12 sadapan, mengevaluasi irama, menentukan jika lebar kompleks QRS ≥
0,12 detik (Kotak 5) dan menentukan pilihan pengobatan. Pasien stabil dapat menunggu
konsultasi ahli karena pengobatan berpotensi berbahaya.
Kardioversi
Jika memungkinkan, buat akses vena sebelum dilakukan kardioversi dan berikan
sedasi jika pasien sadar. Jangan menunda kardioversi jika pasien sangat tidak stabil.
Kardioversi dan Defibrilasi
Kardioversi adalah syok dengan waktu penghantaran ditentukan sesuai kompleks
QRS. Sinkronisasi ini untuk menghindari penghantaran syok selama periode refrakter relative
dari siklus jantung ketika suatu syok dapat membuat fibrilasi ventrikel. Jika kardioversi
diperlukan dan tidak memungkinkan untuk syok tersinkronisasi, digunakan syok tidak
tersinkronisasi dengan energi tinggi.
Kardioversi direkomendasikan untuk mengobati SVT tidak stabil, fibrilasi atrial tidak
stabil, flutter atrial tidak stabil, dan VT monomorfik tidak stabil. Syok dapat menghentikan
takiaritmia ini dengan mengganggu jalur re-entran yang bertanggung jawab atas kejadian ini.
Bentuk Gelombang dan Energi
Dosis energi bifasik inisial yang direkomendasikan untuk kardioversi pada fibrilasi
atrial adalah 120 J hingga 200 J. jika syok awal gagal, pelaksana harus meningkatkan dosis
secara bertahap.
Kardioversi pada flutter atrial dan SVT lainnya secara umum memerlukan energi
lebih sedikit; energi inisial 50 J hingga 100 J. jika syok inisial 50 J gagal, pelaksana harus
meningkatkan dosis secara bertahap. Kardioversi dengan bentuk gelombang monofasik harus
dimulai pada 200 J dan ditingkatkan secara bertahap jika tidak berhasil.
VT monoformik dengan pulsasi berespon baik dengan syok kardioversi bentuk
gelombang bifasik ataupun monofasik pada energi inisial 100 J. Jika tidak ada respon pada
syok pertama, boleh ditingkatkan dosis secara bertahap.
Aritmia dengan tampilan QRS polimorfik biasanya tidak akan berhasil dengan
sinkronisasi. Pasien dengan VT polimorfik ditangani seperti pada VF dengan defibrilasi. Jika
ada keraguan apakah ada tidaknya VT polimorfik atau monomorfik pada pasien tidak stabil,
jangan menunda penghantaran syok untuk melakukan analisis irama yang detail.
C. Takikardia Komplek-Sempit Reguler
Sinus Takikardi
Sinus takikardi umum terjadi dan biasanya akibat stimulus fisiologis seperti demam,
anemia, atau hipotensi/syok. Sinus takikardi didefinisikan sebagai denyut jantung > 100
denyut per menit. Batas atas denyut pada sinus takikardi terkait dengan usia (dihitung sebagai
220 denyut per menit dikurangi usia pasien dalam tahun) dan dapat berguna dalam menilai
apakah sinus takikardi yang terjadi berada pada kisaran yang diperkirakan sesuai dengan usia
pasien. Jika memang sinus takikardi, tidak diperlukan terapi obat. Arahkan pada identifikasi
dan tata laksana penyebab yang mendasari. Ketika fungsi jantung buruk, curah jantung
tergantung pada denyut jantung yang cepat. Pada takikardi kompensasi seperti itu, isi
sekuncup terbatas sehingga menormalkan denyut jantung dapat memperburuk keadaan.
Takikardi Supraventrikular (Re-entri SVT)
Kebanyakan SVT merupakan takikardi regular yang disebabkan re-entri, suatu irama
abnormal yang gelombang depolarisasinya berjalan secara berulang pada lingkaran jaringan
jantung. Irama dianggap berasal dari supraventricular jika kompleks QRS-sempit atau jika
kompleks QRS-lebar dan bundle branch block yang ada atau aberansi tergantung denyut yang
telah diketahui. Sirkuit re-entri menghasilkan SVT dapat muncul pada miokardium atrium.
Sirkuit re-entri juga dapat berada dalam semua atau sebagian nodus AV itu sendiri. Hal ini
menghasilkan takikardi re-entri nodus AV jika kedua tungkai sirkuit re-entri melibatkan
jaringan nodus AV. Bisa juga terjadi takikardi re-entri AV jika salah satu tungkai dari sirkuit
re-entri melibatkan jalur aksesoris dan yang lain melibatkan nodus AV. Onset yang
mendadak dan terminasi dari tiap kelompok takiaritmia re-entri menjadikannya dinamakan
takikardi supraventricular paroksismal. Subkelompok aritmia re-entri ini baik akibat AVNRT
atau AVRT memiliki onset dan terminasi yang mendadak serta denyut yang regular yang
melebihi batas atas tipikal dari sinus takikardi pada saat istirahat dan dalam kasus AVNRT
pada EKG sering menampilkan tanpa gelombang P.
Membedakan bentuk re-entri dari SVT berdasarkan pada miokardium atrium dengan
pada sirkuit re-entri baik sebagian atau seluruhnya pada nodus AV itu sendiri adalah
pentingena tiap-tiap bentuk akan memiliki respon yang berbeda pada terapi yang ditujukan
untuk menghalangi konduksi melalui nodus AV. Denyut ventricular aritmia re-entri
berdasarkan miokardium atrium akan diperlambat tetapi tidak dihentikan oleh obat-obatan
yang memperlambat konduksi melalui nodus AV. Berlawanan dengan itu, aritmia re-entri
yang salah satu tungkai sirkuit berada pada nodus AV dapat diterminasi oleh obat-obatan
seperti itu.
Kelompok lain dari SVT dianggap sebagai takikardi otomatisasi. Aritmia ini bukan
diakibatkan sirkuit yang bersikulasi tetapi diakibatkan focus otomatisasi yang terangsang.
Tidak seperti pola mendadak dari re-entri, karakteristik onset dan terminasi dari takiaritmia
ini lebih bertahap dan mirip dengan bagaimana nodus sinus bekerja dalam mempercepat dan
menurunkan denyut jantung secara bertahap. Aritmia otomatisasi ini meliputi takikardi
atrium ektopik, MAT, dan takikardi penghubung. Aritmia ini sulit ditangani dan tidak
responsive terhadap kardioversi dan biasanya dikontrol secara akut menggunakan obat yang
memperlambat konduksi melalui nodus AV dan kemudian akan memperlambat denyut
ventrikel.
Terapi
Maneuver vagal dan adenosine merupakan pilihan terapi awal untuk terminasi PSVT
stabil. Maneuver vagal saja akan menghentikan hingga 25% PSVT. Untuk SVT lainnya,
maneuver vagal dan adenosine dapat memperlambat denyut ventrikel secara transien dan
berpotensi membantu diagnosis irama tetapi tidak selalu menghentikan aritmia ini.
Adenosin
Jika PSVT tidak respon dengan maneuver vagal, diberikan adenosine 6 mg iv secara
cepat melalui vena diameter besar (antekubitus) diikuti dengan flush menggunakan cairan
salin 20 mL. Jika irama tidak berubah dalam 1 hingga 2 menit, diberikan adenosine 12 mg iv
secara cepat dengan metode yang sama. Dikarenakan kemungkinan terjadinya fibrilasi atrial
dengan respon ventrikel cepat pada pasien dengan WPW, defibrillator harus tersedia pada
saat pemberian adenosine pada pasien dengan kemungkinan memiliki WPW. Sebagaimana
dengan maneuver vagal, efek adenosine pada SVT lain secara transien akan memperlambat
kecepatan ventrikel tetapi tidak mampu menghentikan atau mengkontrol kecepatan secara
bermakna.
Sejumlah studi mendukung pemberian adenosine pada tatalaksana PSVT stabil.
Walau 2 uji klinis acak mencatat suatu angka konversi PSVT yang sama antara adenosine
dengan Ca Channel Blocker, adenosine memiliki efek yang lebih cepat dan efek samping
yang lebih sedikit dibandingkan dengan verapamil. Amiodaron dapat berguna dalam
terminasi PSVT, tetapi onset kerja amiodaron lebih lambat dibandingkan dengan adenosine.
Adenosine aman dan efektif pada kehamilan. Namun, adenosine memiliki beberapa
interaksi obat yang penting. Dosis yang lebih besar diperlukan pada pasien dengan kadar
teofilin, kafein, atau teobromin yang bermakna. Dosis awal harus dikurangi sebanyak 3 mg
pada pasien yang menggunakan dipiridamol atau karbamazepin, orang yang mengalami
transplantasi jantung, atau jika diberikan menggunakan akses vena sentral. Efek samping
adenosine umum terjadi, tetapi bersifat sementara. Flushing, dispneu, dan nyeri dada adalah
efek samping yang sering terjadi. Adenosine tidak boleh diberikan pada pasien dengan asma.
Setelah konversi, amati adanya rekurensi dan obati jika ada rekurensi PSVT dengan
adenosine atau agen penghambat nodus AV dengan aksi lebih lama (diltiazem atau beta
blocker). Jika adenosine atau menuver vagal menimbulkan bentuk lain dari SVT, pengobatan
dengan agen penghambat nodus AV aksi lebih lama harus dipertimbangkan agar mampu
mempertahankan control kecepatan ventrikel.
Jika adenosine atau maneuver vagal gagal mengubah PSVT, PSVT muncul setelah
pengobatan atau pengobatan memunculkan bentuk lain dari SVT, boleh menggunakan agen
penghambat nodus AV kerja panjang seperti penghambat kanal kalsium non dihidropiridin
atau beta blocker. Obat-obatan ini bekerja secara primer pada jaringan nodus baik untuk
menghentikan PSVT re-entri yang bergantung pada konduksi melalui nodus AV atau untuk
memperlambat respon ventrikel pada SVT lainnya dengan menghambat konduksi melalui
nodus AV. Mekanisme lain dari kerja dan durasi yang lebih panjang, obat-obatan ini dapat
menghasilkan terminasi PSVT yang lebih lama atau mampu mempertahankan control
kecepatan aritmia atrial. Sejumlah studi telah menunjukkan efektivitas verapamil dan
diltiazem dalam mengubah PSVT menjadi irama sinus normal.
Untuk verapamil, berikan 2,5 mg hingga 5 mg IV bolus selama 2 menit dan selama 3
menit pada pasien yang lebih tua. Jika tidak ada respon terapeutik dan tidak ada kejadian efek
samping obat, dosis berulang 5 mg hingga 10 mg dapat diberikan 15 hingga 30 menit dengan
dosis keseluruhan 20 mg. regimen dosis lain dapat diberikan yaitu 5 mg bolus tiap 15 menit
dengan dosis keseluruhan 30 mg. verapamil harus hanya diberikan pada pasien dengan SVT
re-entri kompleks-sempit atau aritmia dengan kepastian berasal dari supraventrikel.
Verapamil tidak boleh diberikan pada pasien dengan fungsi ventrikel menurun atau gagal
jantung.
Untuk diltiazem, berikan dosis 15 mg hingga 20 mg (0,25 mg/kgBB) IV selama 2
menit; jika diperlukan dalam 15 menit berikan dosis tambahan 20 mg hingga 25 mg IV (0,35
mg/kgBB). Dosis infus rumatan adalah 5 mg/jam hingga 15 mg/jam, dititrasi sesuai dengan
kecepatan denyut jantung.
Berbagai jenis beta blocker tersedia untuk penanganan takiaritmia supraventrikel. Ini
meliputi metoprolol, atenolol, esmolol, dan labetolol. Pada prinsipnya, agen-agen ini
mengeluarkan efeknya dengan melawan tonus simpatetik pada jaringan nodus yang
menghasilkan perlambatan pada konduksi. Seperti pada penghambat kanal kalsium, mereka
juga memiliki efek inotropik negatif dan menurunkan curah jantung pada pasien dengan
gagal jantung. Efek samping beta blocker antara lain bradikardi, keterlambatan konduksi AV,
dan hipotensi. Beta blocker harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif atau gagal jantung kongestif.
Pada pasien dengan fibrilasi atau flutter atrial pre-eksitasi yang mengarah ke ventrikel
melalui nodus AV dan jalur aksesoris, harus hati-hati dalam pemberian obat. Pengobatan
dengan agen penghambat nodus AV kecil kemungkinan dapat memperlambat kecepatan
ventrikel dan pada beberapa contoh dapat mempercepat respon ventrikel. Sehingga, obat
penghambat nodus AV tidak digunakan untuk fibrilasi atau flutter atrial pre-eksitasi.
Kewaspadaan juga dianjurkan untuk menghindari kombinasi agen penghambat nodus
AV yang memiliki kerja dengan durasi lebih panjang. Sebagai contoh, waktu paruh adenosine
yang cepat memungkinkan pemberian obat lanjutan, jika diperlukan, dengan penghambat
kanal kalsium atau penghambat beta. Berlawanan dengan itu, penghambat kanal kalsium atau
penghambat beta dengan waktu paruh lebih panjang akan mengalami efek yang saling
bertumpukan; menyebabkan bradikardi berat jika diberikan secara serial.
Walau obat-obatan antiaritmia dapat juga digunakan untuk mengatasi SVT, semakin
tinggi toksisitas dan risiko proaritmia akan semakin membuat obat-obatan ini untuk tidak
dipakai sebagai alternatif terhadap agen penghambat nodus AV yang telah dijelaskan. Suatu
pengecualian pada pasien dengan obat penghambat nodus AV dnegan aritmia atrial pre-
eksitasi: obat penghambat nodus AV dikontraindikasikan pada pasien-pasien ini dan control
kecepatan dapat dicapai dengan menggunakan obat-obatan antiaritmia. Terpenting adalah
penggunaan agen-agen ini untuk SVT dari atrium seperti fibrilasi dan flutter atrial dapat
menyebabkan terminasi yang mungkin tidak diinginkan jika tidak ada pencegahan untuk
komplikasi tromboemboli yang mungkin terjadi akibat konversi itu.
SEPO BELUM TAKIKARDI LANJUTAN NYA