Upload
abouraki
View
120
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Barang Temuan (Luqhatah Dan Rikaz) Print 02
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan barang temuan adalah suatu permasalahan yang sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik menemukan barang yang bernilai
rendah, maupun yang bernilai tinggi (berharga), baik itu barang bernilai
yang tergeletak berstatus tanpa diketahui pemiliknya (luqathah), maupun
yang terkubur dan dapat diketahui asal-usul histori kepemilikannya (rikaz),
dapat berupa objek yang tidak bergerak ataupun yang dapat bergerak seperti
manusia (laqith) dan hewan (dhallah). Permasalahan tersebut sering
dipandang sepele, dan dianggap barang temuan tersebut keuntungan atau
rezeki bagi sipenemu, yang tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya,
anggapan dan sikap semacam ini sangat tidak dibenarkan baik dari segi
etika sosial maupun Norma agama Islam khususnya.
Diketahui selama ini etika dan pemahaman tentang barang temuan
sering diabaikan oleh masyarakat pada umumnya, seolah-olah barang yang
ditemukan adalah bagian dari rezeki yang Allah anugerahkan. Padahal
Islam jelas telah mengkonsepsikan prihal barang temuan dan bagaimana
seharusnya seorang Muslim menyikapinya. Demikian itu tercermin pada
firman Allah SWT QS.Yusuf:72
Artinya: Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan
makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".
Ayat diatas jelas menggambarkan bagaimana seharusnya sikap
seorang Muslim menyikapi permasalahan barang temuan, baik dari sisi
penemu ataupun yang kehilangan. Bahwa perlunya mengumumkan sesuatu
yang hilang, dan memberikan imbalan atas kebaikan orang yang
mengembalikannya. Permasalahan barang temuan menjadi urgen karena
didalamnya menyangkut hak milik orang lain, dalam hal ini Islam punya
pandangan yang khas demi menjaga hak milik (harta) manusia, sekalipun
harta yang dimiliki seseorang hilang dari tangannya dan ditemukan oleh
orang lain, maka Islam mengatur tata cara menyikapi barang temuan
sehingga terwujudlah kehidupan yang aman tentram, dan tidak saling
mendzolimi.
Mengingat begitu pentingnya permasalahan luqathah dan rikaz,
karena didalamnya terdapat hal yang berkaitan Haqqul Adamiyin, hingga
para fuqaha menempatkan luqathah pada Bab tersendiri dalam kitab-kitab
fiqih. Adapun barang temuan rikaz, kebanyakan para fuqaha tidak
menempatkannya pada Bab khusus, pembahasan rikaz dimasukkan dalam
sub Bab zakat, karena riwayat-riwayat dan uraian tentangnya bersinggungan
langsung dengan permasalahan zakat. Dikarenakan dalam tulisan ini
membahas tentang keduanya maka dalam pembahasannya menitikberatkan
relevansi keduanya dari aspek status hukum, kepemilikan, bagaimana
menyikapinya, serta membedakan keduanya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN UMUM TENTANG LUQHATAH DAN STATUS
KEPEMILIKANNYA.
A. Pengertian Luqhatah
Luqhatah secara Bahasa adalah sesuatu yang dipungut atau ditemukan1.
Sebagaimana disebutkan didalam QS.Al-Qashash: 8:
Artinya: Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Fir'aun.
Makna diatas berlaku umum untuk sesuatu yang ditemukan berupa manusia
atau harta atau hewan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh DR. Wahbah
Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islami Wa Adillatuhu
.
Kecuali menurut ulama hanafiyah. Mereka memisahkan
pembahasannya secara terpisah berdasarkan penamaan dan istilah serta
hukumnya menurut jenis barang temuan. Mereka membedakan antara
barang temuan (luqhatah), anak temuan (laqith) dan hewan temuan
(dhallah).2
1 Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, II. (Damaskus: Dar al-fikr, 1985). 5/764 2 Ibid.
Sedangkan menurut istilah (Terminologi) yang dimaksud dengan
luqathah sebagaimana yang didefinisikan dalam kitab Fiqhul Manhaji
Mazhab As-syafiI:
.
Sesuatu (harta) atau kepemilikan seseorang yang berharga, yang
ditemukan di tempat yang tidak dikuasai seseorang, tidak terjaga dan yang
menemukan tidak mengetahui mustahiqnya.3
Dari definisi diatas dapat disimpulkan jenis barang temuan yang
dikategorikan luqathah. Dari redaksi definisi tersebut barang temuan
dikatakan luqathah apabila memenuhi tiga hal. Pertama, ikhtishas yaitu hak
istimewa orang lain atas barang tersebut (kepemilikan). Kedua, muhtaram
yaitu barang berharga atau mulia yang diakui oleh syara, dengan demikian
khamar dan barang haram lainnya tidak termasuk luqathah menurut definisi
ini. Kemudian yang ketiga, tidak disimpan (lam yahraz) ataupun dijaga oleh
seseorang.
B. Masyruiyat memungut barang temuan (iltiqhat)
Disyariatkannya memungut barang temuan berdasarkan pada hadist
rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang barang temuan.
3 Musthofa Al-khin, Musthofa Al-bugho, and Ali As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii, X. (Damaskus: dar al-Qalam, 2009).3/253
3
:
: :
4
"Kenalilah wadah dan talinya, setelah itu umumkanlah kepada khalayak
ramai, apabila pemiliknya datang maka berikanlah barang tersebut
kepadanya." Kemudian orang itu juga bertanya, "Wahai Rasulullah,
bagaimana jika yang ditemukan adalah kambing?" Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menjawab: "Mungkin ia dapat menjadi milikmu atau milik
saudaramu atau bahkan menjadi milik serigala." Dia berkata, "Wahai
Rasulullah, bagaimana jika yang ditemukan adalah unta?" beliau menjawab:
"Apa urusanmu dengan unta yang hilang? Ia telah membawa sepatu (punya
kaki) dan wadah airnya sendiri. Ia dapat mendatangi mata air dan makan
dedaunan sampai ia bertemu pemiliknya."
Hadits di atas jelas menganjurkan untuk memungut barang temuan
kemudian dan mengumumkannya kepada khalayak ramai, bahkan beberapa
ulama berpendapat wajib memungutnya apabila orang tersebut percaya
kepada dirinya bahwa dia mampu mengurus benda-benda temuan itu
dengan sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-
benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab. Adapun hukum pengambilan barang temuan
4 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah al-Jafi Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Dar al-fikr, 1981).
dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan
penemunya.5
C. Macam-macam barang temuan
Terdapat macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia,
macam-macam benda temuan itu adalah sebagai berikut:
a. Benda-benda tahan lama, dan tidak mudah rusak seperti emas,
perak, dan jenis barang berharga dan kekayaan lainnya. Barang
semacam ini wajib diumumkan selama satu tahun dengan
menerangkan enam macam perkara, wadah, tutup, tali pengaman,
jenis barang, jumlah dan berat barang, serta dia harus menaruhnya di
tempat penyimpanan yang layak.6
b. Benda-benda yang tidak bertahan lama dan tidak dapat diawetkan,
seperti makanan sejenis kurma basah yang tidak dapat dikeringkan,
sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Penemu diperkenenkan untuk
memakannya. Sebagaimana yang dinyatakan rasulullah:
7
c. Benda yang dianggap sepele, rasulullah memberi keringanan untuk
benda jenis ini, seperi tongkat, cemeti, tali dan sejenisnya apabila
dipungut oleh seseorang, ia bisa langsung memanfaatkannya.8
5 Al-khin, Al-bugho, and As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. 255 6 Ahmad Mudjab Mahalli and Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-Hadits Muttafaqun Alaih (Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset, 2004). 183 7 Sayyid Sabiq, Al-Fiqh As-Sunnah (Cairo: Fath li-ilam al-'arabi, n.d.). 3/168 8 Ibid.
4
d. Benda-benda yang tidak tahan lama kecuali melalui proses
penanganan tertentu. Seperti susu apabila dibuat keju. Yang
mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi
pemiliknya.9
e. Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang
ternak. Luqathah jenis ini terdiri dari dua macam :
1. Binatang yang kuat; berarti dapat menjaga dirinya sendiri
terhadap binatang yang buas, misalnya unta, kerbau, atau kuda.
Binatang seperti lebih baik dibiarkan saja. Hal ini dianalogikan
seperti unta pada hadits sebelumnya.
2. Binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya terhadap
bahaya binatang yang buas. Bintang seperti ini hendaklah
diambil dan dimanfaatkan.10
D. Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan
Orang yang menemukan barang temuan wajib mengenal ciri-cirinya
dan jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia
menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika
pemiliknya mengumumkan diberbagai media beserta ciri-cirinya, maka
pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah
lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfaatkan oleh penemu.
9 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010). 333 10 Al-khin, Al-bugho, and As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. 256
Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan al Bukhari dari Ubay bi Kaab,
Dia berkata Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus
Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan
ini), kemudian Beliau bersabda, Umumkan selama setahun. Lalu saya
umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong
ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda,
Umumkanlah ia selama setahun. Kemudian saya umumkan ia selama
setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang
(lagi) kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, Jaga
dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya
datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau
manfaatkan.11
Adanya ketentuan waktu satu tahun itu dalam riwayat diatas
mengandung ajaran moral yang tinggi. Didalamnya terselip ketentuan
bahwa Islam tidak membenarkan adanya pengambilan harta orang lain, dan
karena Islam mengajarkan bahwa bila seseorang menemukan sesuatu yang
bukan haknya maka ia dituntut supaya bersungguh-sungguh mencari siapa
pemilik barang temuan itu. Istilah satu tahun bisa diartikan akan keseriusan
Islam mendidik umatnya supaya tidak terburu-buru mengambil sesuatu
untuk dijadikan miliknya kalau hal itu tidak diperoleh melalui usahanya
sendiri secara halal.
11 Muttafaqun alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III: 135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan Aunul Mabud V: 118 no: 1685
5
Dari Iyadh bin Hammar R.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan
kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia
mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikannya. Jika pemiliknya
datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika
tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya.12
Pengumuman luqathah dilakukan dipasar, pintu masuk masjid, dan
tempat lainnya seperti tempat perkumpulan, pertemuan, keramaiaan pasar13
selama satu tahun, sesuai dengan hadist Zaid al Zuhani yang telah
disampaikan. Sebab tempat semacam itu lebih memudahkan untuk
menemukan pemilknya. Lebih lanjut imam syafii merincikan tatacara
pengumumannya, ditahun pertama dilakukan sebanyak dua kali dalam
sehari pada siang hari, selanjutnya diumumkan sekali sehari, kemudian
sekali dalam seminggu, hingga sekali dalam sebulan.14 Menyampaikan
pengumuman didalam masjid hukumnya makruh, kecuali Masjidil Haram,
karena mempertimbangkan ketentuan umum yang berlaku, dan karena
Masjidil Haram tempat berkumpulnya banyak orang, sama seperti masjid
nabawi dan Masjid Aqsha.15
12 Shahih Ibnu Majah no: 2032, Ibnu Majah II: 837 no: 2505, dan Aunul Mabud V: 131 no: 1693 13 Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. 5/775 14 As-syarbini Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj Syarh Al-Manhaj (Cairo: Al-Bab al-Hilby, n.d.). 3/314 Muwafiquddin Abu Muhammad Abdullah Ibn Qudamah, Al-Mughni Li Ibn Qudamah (Cairo: Maktabah al-Qohirah, 1968). 5/633 15 Al-khin, Al-bugho, and As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. 3/260
Pengumuman wajib disampaikan secara berkala ditempat luqathah
ditemukan, karena pencarian barang di tempat kehilangan barang lebih
banyak dilakukan.
Pengumuman dilakukan dengan mempertimbangkan adat dari segi
masa, tempat dan kadarnya. Pertama kali luqathah diumumkan setiap hari
sebanyak dua kali pagi dan sore hari, kemudian diumumkan sekali dalam
setiap hari, lalu seminggu satu atau dua kali. Setelah itu, kira- kira sekali
dalam sebulan untuk memastikan bahwa pengumuman itu masih dalam satu
paket, sekiranya tidak dilupakan bahwa pengumuman itu merupakan
pengulangan pengumuman yang telah lewat.16
Apabila barang temuan itu rusak di tangan orang yang memungutnya
dengan tidak disia-siakan olehnya maka tidak wajib baginya membayar
jaminan.karena dia mengambil hrta tersebut secara haqq (dengan cara yang
benar). Selain itu status penemu adalah Yad al-Amanah,17 Sedangkan
apabila barang tersebut rusak karna kelalaiannya maka wajib baginya
menggantinya dari harta miliknya.18
E. Barang Temuan Berupa Hewan (Dhallah) Kambing dan Unta
Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing,
maka berdasarkan hadits zaid, hendaklah diamankan dan diumumkan,
16 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii (Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2010). 2/410 17 Al-Yad al-Amanah: Istilah fiqih. Yaitu, titipan tanpa jaminan atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. 18 Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. 5/770
6
manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing
termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan,
siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya
untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat). Namun,
apabila orang yang menemukan kambing di tempat yang tidak terdapat
penghuninya atau jauh dari tempat tinggal penduduk, maka dia berhak
mengambil atau memanfaatkannya19
F. Anak Temuan (Laqith)
Laqith adalah menemukan anak kecil yang belum dewasa yang
tersesat dijalan atau ditempat lain yang tidak diketahui siapa keluarganya.
Anak itu tidak mengetahui jalan untuk pulang kepada keluarganya dan tidak
mengetahui dimana orang tuanya berada. Anak yang dalam kondisi
demikian kedalam istilah al Laqith. Ia dikhawatirkan akan semakin tersesat
atau akan teraniaya oleh berbagai sebab.20 Ada kalanya anak laqith
dikarenakan hal lainnya, seperti anak yang dibuang21, dimana motivasi
pembuangan seperti itu karena takut miskin atau lari dari tuduhan
perzinahan,
Memungut anak yang hilang itu hukumnya mandub, sebab
perbuatan yang demikian termasuk amal yang utama guna
menyelamatkannya. Akan tetapi, bila dikhawatirkan anak itu akan teraniaya
19 Al-khin, Al-bugho, and As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. 256 20 Helmi Karim, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997).62 21 DR. Hanan Farquti, Al-Laqith Fi Al-Islam, I. (Beirut: Muassasah As-Sinin, 1995). 7
kalau tidak dipungut maka hukum mengambilnya menjadi fardu kifayah.
Dan bila timbul kekhawatiran bahwa anak itu akan teraniaya bila tidak
dipungut maka hukumnya wajib atas pihak yang menemukannya.22
Anak manusia yang ditemukan dan tidak diketahui nasabnya, maka dia
dianggap muslim jika ditemukan ditempat yang mayoritas penduduknya
adalah kaum muslimin dan dia dianggap sebagai orang merdeka (bukan
budak), lantaran hukum asal manusia diciptakan Alloh dalam keadaan
merdeka.23
Adapun nafkah anak tersebut,maka diambil dari harta yang ada pada
diri anak tersebut jika ada, tetapi jika tidak ada, maka nafkahnya ditanggung
oleh pemerintah dari baitul mal, dan jika tidak ada baitul mal, maka wajib
bagi kaum muslimin saling bantu- membantu untuk menafkahi anak
tersebut.
G. Tanggungan Biaya Iklan (pengumuman)
Menurut hanafiah dan hanabilah, menjadi kewajiban penemu untuk
menanggung seluruh biayanya, karena apabila tidak ditemukan juga
pemiliknya barang termuan itu menjadi milik orang yang menemukan
(multaqith), dan apabila ditemukan pemiliknya, maka tidak ada kewajiban
atas pemiliknya untuk mengganti seluruh biaya pemeliharaan/iklan,24 begitu
juga pandangan malikiah, akan tetapi pemiliknya harus mengganti
22 Karim, Fiqih Muamalah. 23 ibrahim bin muhammad bin salim bin Dwiyan, Manar As-Sabili Fi Syarh Ad-Dalil (Damaskus: Dar as-Salam, n.d.). 2/588 24 Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. 5/778
7
biayanya, atau memberikan barangnya kepada si penemu sebagai imbalan.25
Sedangkan menurut syafiiah biaya tak menjadi tanggungan penemu bila ia
mengambil untuk menjaganya untuk sang pemilik, tapi ditanggung oleh
baitul mal. Namun bila diambil untuk dirinya sendiri maka biaya
pengumuman ditanggung olehnya.26
H. Status Kepemilikan Luqathah
Apabila telah lewat masa satu tahun setelah diiklankan, tapi tidak
ada satupun yang datang mengakuinya, maka menurut jumhur ulama berhak
bagi penemu untuk memeliki harta itu, Hal ini berlaku umum, baik penemu
itu miskin ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik, Imam
Asy-Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal Sedangkan Imam Abu Hanifah
mengatakan hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan
sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah
cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan
kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib
menggantinya.27
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG RIKAZ DAN STATUS
KEPEMILIKANNYA.
25 Hasyiah Ad-Dasuqi, As-Syarh Al-Kabir (Cairo: Al-Bab al-Hilby, n.d.). 4/123 26 Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj Syarh Al-Manhaj. 2/413 27 Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. 5/781
A. Pengertian Rikaz
Secara bahasa kata rikaz () bermakna:
Sesuatu yang terpendam di dalam tanah dan tersembunyi.28 Selain makna
itu, kata rikaz juga berasal dari kata rikz () yang artinya suara yang
tersembunyi, sebagaimana disebutkan di dalam QS. Maryam: 98:
Atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar?
Sedangkan secara istilah, jumhur ulama seperti mazhab Al-
Malikiyah, Asy-Syafiiyah dan Al-Hanabilah mendefinisikan rikaz sebagai:
Harta benda yang dipendam oleh orang-orang jahiliyah (bukan muslilm).
Jumhur ulama menetapkan bahwa yang dimaksud dengan rikaz adalah
benda-benda berharga peninggalan zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu
yang tidak memeluk agama Islam. Benda-benda itu bisa saja berbentuk
emas, perak atau benda lain yang berharta seperti guci, piring, marmer,
logam, permata, berlian, kuningan, tembaga, ukiran, kayu dan lainnya.
Semua itu termasuk jenis harta rikaz yang ada kewajiban zakatnya.
Namun mazhab Asy-Syafiiyah dalam pendapatnya yang baru (qaul
jadid) hanya mengkhususkan emas atau perak saja yang termasuk rikaz. Di
luar emas dan perak dalam pandangan mazhab ini bukan termasuk harta
28 Ibid. 2/775
8
rikaz. Alasannya, karena rikaz termasuk al-mal al-mustafad yang didapat
dari dalam bumi.29
Rikaz itu menjadi kepunyaan yang mendapatkannya, dan ia wajib
membyar zakat apabila didapat dari tanah yang tidak dipunyai orang. tetapi
kalau didapat dari tanah yang dipunyai orang. Maka perlu ditanyakan
kepada semua orang yang telah memiliki tanah itu. Kalau tidak ada yang
mengakuinya, maka rikaz itu kepunyaan yang membuka, Tanah itu.30
B. Pendapat Tentang Rikaz
Ulama berbeda pendapat pada definisi rikaz. Terdapat dua pendapat
tentang rikaz:
1. Jumhur ulama seperti, iama malik, as-syafeI dan Ahmad
berpendapat bahwa rikaz adalah harta yang terpendam dalam perut
bumi dari kekayaan masyarakat jahiliyah. Ini berarti tidak termasuk
barang tambang.
2. Sedangkan abu hanifah berpendapat bahwa rikaz mencakup semua
kekayaan yang ada dalam perut bumi, termasuk barang tambang.
Pendapat jumhur ulama dikuatkan oleh hadits lain riwayat jamaah
dari abu hurairah r.a.
Binatang yang jatuh maka orang tidak bertanggung jawab terhadap
lukanya. Jika seseorang terjatuh pada sumur (galian) maka yang
29 Ibid. 777 30 Al-Ghazali, Rahasia Puasa Dan Zakat (Bandung: Karisma, 1993). 57
membuatnya tidak bertanggung jawab dan barang tambang adalah bebas,
sedangkan rikaz zakatnya 1/5.
Hadis ini memisahkan antara barang tambang dengan rikaz.31
C. Kriteria Harta Rikaz
Tidak semua benda berharga yang ditemukan begitu saja termasuk harta
rikaz, kecuali setelah terpenuhi beberapa kriteria berikut:32
1. Harta Yang Ditemukan
Rikaz adalah harta yang milik pihak lain yang ditemukan, baik secara
sengaja atau pun secara tidak sengaja. Baik dengan biaya modal atau hanya
karena tidak sengaja tersandung dan tiba-tiba menemukan.Tetapi yang
menjadi prinsip utama adalah bahwa harta itu bukan harta pemberian orang
yang diserahkan kepada yang menerimanya. Prinsipnya dalam harta rikaz,
tidak ada serah-terima harta dari satu pihak ke pihak lain. Yang ada,
seseorang menemukan harta yang sudah tidak lagi menjadi milik suatu
pihak.
2. Asalnya Milik Orang Kafir
Para ulama sepakat bahwa harta rikaz itu asalnya milik orang kafir
(jahiliyah). Sedangkan harta yang di masa lalu milik umat Islam, atau
termasuk peninggalan umat Muslim terdahulu, tidak termasuk rikaz.
31 Ahmadi Sari and Yeni Priyatna, Zakat Pajak Dan Lembaga Keuangan Islam Dalam Tinjauan Fiqih (Solo: Era Intermedia, 2004). 54-55 32 Fiqih Kehidupan, accessed March 26, 2015, http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=63.
9
Maka bila seseorang menemukan harta karun dalam peti, namun kemudian
diketahui bahwa harta itu milik peninggalan kerajaan Islam di masa lalu,
misalnya dari zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid, maka harta itu bukan
termasuk rikaz.
Harta itu dahulu milik umat Islam, maka barang itu menjadi luqathah atau
barang temuan, dimana ada ketentuan hukum tersendiri tentang masalah ini
dalam syariah Islam.
3. Pemiliknya Telah Meninggal
Syarat ketiga adalah pemilik asli harta itu sudah meninggal dunia, sehingga
hak kepemilikan atas harta itu sebenarnya sudah hilang dengan
kematiannya. Demikian juga para ahli warisnya sudah tidak ada
lagi.Sedangkan harta berharga milik orang kafir yang ditemukan seorang
Muslim, namun diketahui bahwa pemiliknya masih hidup, bukan termasuk
rikaz.
Secara hukum syariah, harta itu milik yang bersangkutan. Namun
apakah boleh dimiliki, tergantung dari keadaannya. Bila orang kafir
pemiliknya termasuk kafir zimmi yang telah terikat perjanjian damai dan
hidup berdampingan, maka haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk
mengambil benda milik mereka, walaupun sempat hilang. Kalau harta itu
dirampas lewat pertempuran langsung, maka harta itu disebut ghanimah.
Sedangkan bila tanpa pertempuran fisik, harta itu disebut fai.
4. Ditemukan Bukan di Tanah Pribadi
Syarat keempat adalah harta itu ditemukan di tanah yang bukan aset milik
pribadi seorang Muslim, misalnya di jalanan umum, atau tanah yang tidak
bertuan, atau sebuah desa yang telah ditinggalkan penghuninya. Bila
seorang punya tanah pibadi yang luas, lalu di dalamnya dia menemukan
harta peninggalan dari zaman dahulu, maka dalam hal ini bukan termasuk
harta rikaz yang wajib dikeluarkan zakatnya.
BAB IV
PENUTUP
Dari uraian diatas Nampak jelas perbedaan antara luqhatah dan
rikaz, Jumhur ulama berpendapat bahwa rikaz adalah kekayaan yang
terpendam dari peninggalan masyarakat jahiliyah. Adapun madzhab syafeI
mensyaratkatkan bahwa rikaz adalah kekayaan pada tanah yang tidak
bertuan. Adapun jika mendapatkannya di masjid atau jalan, maka disebut
luqathah. Dari jenis barang temuan rikaz terbatas pada harta yang terkubur
sekian lama dan dikhususkan asal kepemilikannya yaitu orang kafir.
Sedangkan luqatah secara umum segala sesuatu harta atau benda yang
ditemukan dijalan tanpa diketahui pemiliknya. Baik yang bernilai tinggi
atau rendah.
Dari aspek status kepemilikannya luqatah. Status kepemilikannya
dapat berpindah kepada penemu apabila tidak ada yang mengakuinya dalam
jangka waktu tertentu. Adapun harta rikaz dapat langsung dimiliki
penemunya tanpa harus mengumumkannya, namun pada masa sekarang
10
rikaz dianggap benda cagar budaya yang penguasaanya dikembalikan
kepada Negara serta dilindungi dengan tujuan melestarikan dan
memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional. Status
pengalihan kepemilikan oleh Negara dari penemunya disertai ketentuan
diberikan imbalan yang wajar bagi penemunya, sebagaimana diatur dalam
UU No 5 tahun 1992 tentang cagar budaya alam.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Dasuqi, Hasyiah. As-Syarh Al-Kabir. Cairo: Al-Bab al-Hilby, n.d.
Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
al-Mugirah bin Bardizbah al-Jafi. Shahih Bukhari. Dar al-fikr, 1981.
Al-Ghazali. Rahasia Puasa Dan Zakat. Bandung: Karisma, 1993.
Al-Khatib, As-syarbini. Mughni Al-Muhtaj Syarh Al-Manhaj. Cairo: Al-Bab
al-Hilby, n.d.
Al-khin, Musthofa, Musthofa Al-bugho, and Ali As-syarbaji. Al-Fiqh Al-
Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. X. Damaskus: dar al-Qalam, 2009.
Dwiyan, ibrahim bin muhammad bin salim bin. Manar As-Sabili Fi Syarh
Ad-Dalil. Damaskus: Dar as-Salam, n.d.
Farquti, DR. Hanan. Al-Laqith Fi Al-Islam. I. Beirut: Muassasah As-Sinin,
1995.
Karim, Helmi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Mahalli, Ahmad Mudjab, and Ahmad Rodli Hasbullah. Hadits-Hadits
Muttafaqun Alaih. Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset, 2004.
Qudamah, Muwafiquddin Abu Muhammad Abdullah Ibn. Al-Mughni Li Ibn
Qudamah. Cairo: Maktabah al-Qohirah, 1968.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Sabiq, Sayyid. Al-Fiqh As-Sunnah. Cairo: Fath li-ilam al-'arabi, n.d.
Sari, Ahmadi, and Yeni Priyatna. Zakat Pajak Dan Lembaga Keuangan
Islam Dalam Tinjauan Fiqih. Solo: Era Intermedia, 2004.
Zuhaili, Wahbah. Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. II. Damaskus: Dar al-fikr,
1985.
. Fiqih Imam Syafii. Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2010.
Fiqih Kehidupan. Accessed March 26, 2015. http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=63.