Barang Temuan (Luqhatah Dan Rikaz) Print 02

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Barang Temuan (Luqhatah Dan Rikaz) Print 02

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Permasalahan barang temuan adalah suatu permasalahan yang sering

    terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik menemukan barang yang bernilai

    rendah, maupun yang bernilai tinggi (berharga), baik itu barang bernilai

    yang tergeletak berstatus tanpa diketahui pemiliknya (luqathah), maupun

    yang terkubur dan dapat diketahui asal-usul histori kepemilikannya (rikaz),

    dapat berupa objek yang tidak bergerak ataupun yang dapat bergerak seperti

    manusia (laqith) dan hewan (dhallah). Permasalahan tersebut sering

    dipandang sepele, dan dianggap barang temuan tersebut keuntungan atau

    rezeki bagi sipenemu, yang tidak perlu dikembalikan kepada pemiliknya,

    anggapan dan sikap semacam ini sangat tidak dibenarkan baik dari segi

    etika sosial maupun Norma agama Islam khususnya.

    Diketahui selama ini etika dan pemahaman tentang barang temuan

    sering diabaikan oleh masyarakat pada umumnya, seolah-olah barang yang

    ditemukan adalah bagian dari rezeki yang Allah anugerahkan. Padahal

    Islam jelas telah mengkonsepsikan prihal barang temuan dan bagaimana

    seharusnya seorang Muslim menyikapinya. Demikian itu tercermin pada

    firman Allah SWT QS.Yusuf:72

    Artinya: Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan

    siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan

    makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya".

    Ayat diatas jelas menggambarkan bagaimana seharusnya sikap

    seorang Muslim menyikapi permasalahan barang temuan, baik dari sisi

    penemu ataupun yang kehilangan. Bahwa perlunya mengumumkan sesuatu

    yang hilang, dan memberikan imbalan atas kebaikan orang yang

    mengembalikannya. Permasalahan barang temuan menjadi urgen karena

    didalamnya menyangkut hak milik orang lain, dalam hal ini Islam punya

    pandangan yang khas demi menjaga hak milik (harta) manusia, sekalipun

    harta yang dimiliki seseorang hilang dari tangannya dan ditemukan oleh

    orang lain, maka Islam mengatur tata cara menyikapi barang temuan

    sehingga terwujudlah kehidupan yang aman tentram, dan tidak saling

    mendzolimi.

    Mengingat begitu pentingnya permasalahan luqathah dan rikaz,

    karena didalamnya terdapat hal yang berkaitan Haqqul Adamiyin, hingga

    para fuqaha menempatkan luqathah pada Bab tersendiri dalam kitab-kitab

    fiqih. Adapun barang temuan rikaz, kebanyakan para fuqaha tidak

    menempatkannya pada Bab khusus, pembahasan rikaz dimasukkan dalam

    sub Bab zakat, karena riwayat-riwayat dan uraian tentangnya bersinggungan

    langsung dengan permasalahan zakat. Dikarenakan dalam tulisan ini

    membahas tentang keduanya maka dalam pembahasannya menitikberatkan

    relevansi keduanya dari aspek status hukum, kepemilikan, bagaimana

    menyikapinya, serta membedakan keduanya.

  • 2

    BAB II

    PEMBAHASAN

    TINJAUAN UMUM TENTANG LUQHATAH DAN STATUS

    KEPEMILIKANNYA.

    A. Pengertian Luqhatah

    Luqhatah secara Bahasa adalah sesuatu yang dipungut atau ditemukan1.

    Sebagaimana disebutkan didalam QS.Al-Qashash: 8:

    Artinya: Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga Fir'aun.

    Makna diatas berlaku umum untuk sesuatu yang ditemukan berupa manusia

    atau harta atau hewan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh DR. Wahbah

    Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islami Wa Adillatuhu

    .

    Kecuali menurut ulama hanafiyah. Mereka memisahkan

    pembahasannya secara terpisah berdasarkan penamaan dan istilah serta

    hukumnya menurut jenis barang temuan. Mereka membedakan antara

    barang temuan (luqhatah), anak temuan (laqith) dan hewan temuan

    (dhallah).2

    1 Wahbah Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, II. (Damaskus: Dar al-fikr, 1985). 5/764 2 Ibid.

    Sedangkan menurut istilah (Terminologi) yang dimaksud dengan

    luqathah sebagaimana yang didefinisikan dalam kitab Fiqhul Manhaji

    Mazhab As-syafiI:

    .

    Sesuatu (harta) atau kepemilikan seseorang yang berharga, yang

    ditemukan di tempat yang tidak dikuasai seseorang, tidak terjaga dan yang

    menemukan tidak mengetahui mustahiqnya.3

    Dari definisi diatas dapat disimpulkan jenis barang temuan yang

    dikategorikan luqathah. Dari redaksi definisi tersebut barang temuan

    dikatakan luqathah apabila memenuhi tiga hal. Pertama, ikhtishas yaitu hak

    istimewa orang lain atas barang tersebut (kepemilikan). Kedua, muhtaram

    yaitu barang berharga atau mulia yang diakui oleh syara, dengan demikian

    khamar dan barang haram lainnya tidak termasuk luqathah menurut definisi

    ini. Kemudian yang ketiga, tidak disimpan (lam yahraz) ataupun dijaga oleh

    seseorang.

    B. Masyruiyat memungut barang temuan (iltiqhat)

    Disyariatkannya memungut barang temuan berdasarkan pada hadist

    rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang barang temuan.

    3 Musthofa Al-khin, Musthofa Al-bugho, and Ali As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii, X. (Damaskus: dar al-Qalam, 2009).3/253

  • 3

    :

    : :

    4

    "Kenalilah wadah dan talinya, setelah itu umumkanlah kepada khalayak

    ramai, apabila pemiliknya datang maka berikanlah barang tersebut

    kepadanya." Kemudian orang itu juga bertanya, "Wahai Rasulullah,

    bagaimana jika yang ditemukan adalah kambing?" Rasulullah shallallahu

    'alaihi wasallam menjawab: "Mungkin ia dapat menjadi milikmu atau milik

    saudaramu atau bahkan menjadi milik serigala." Dia berkata, "Wahai

    Rasulullah, bagaimana jika yang ditemukan adalah unta?" beliau menjawab:

    "Apa urusanmu dengan unta yang hilang? Ia telah membawa sepatu (punya

    kaki) dan wadah airnya sendiri. Ia dapat mendatangi mata air dan makan

    dedaunan sampai ia bertemu pemiliknya."

    Hadits di atas jelas menganjurkan untuk memungut barang temuan

    kemudian dan mengumumkannya kepada khalayak ramai, bahkan beberapa

    ulama berpendapat wajib memungutnya apabila orang tersebut percaya

    kepada dirinya bahwa dia mampu mengurus benda-benda temuan itu

    dengan sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-

    benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang

    yang tidak bertanggung jawab. Adapun hukum pengambilan barang temuan

    4 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah al-Jafi Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Dar al-fikr, 1981).

    dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan

    penemunya.5

    C. Macam-macam barang temuan

    Terdapat macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia,

    macam-macam benda temuan itu adalah sebagai berikut:

    a. Benda-benda tahan lama, dan tidak mudah rusak seperti emas,

    perak, dan jenis barang berharga dan kekayaan lainnya. Barang

    semacam ini wajib diumumkan selama satu tahun dengan

    menerangkan enam macam perkara, wadah, tutup, tali pengaman,

    jenis barang, jumlah dan berat barang, serta dia harus menaruhnya di

    tempat penyimpanan yang layak.6

    b. Benda-benda yang tidak bertahan lama dan tidak dapat diawetkan,

    seperti makanan sejenis kurma basah yang tidak dapat dikeringkan,

    sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Penemu diperkenenkan untuk

    memakannya. Sebagaimana yang dinyatakan rasulullah:

    7

    c. Benda yang dianggap sepele, rasulullah memberi keringanan untuk

    benda jenis ini, seperi tongkat, cemeti, tali dan sejenisnya apabila

    dipungut oleh seseorang, ia bisa langsung memanfaatkannya.8

    5 Al-khin, Al-bugho, and As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. 255 6 Ahmad Mudjab Mahalli and Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-Hadits Muttafaqun Alaih (Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset, 2004). 183 7 Sayyid Sabiq, Al-Fiqh As-Sunnah (Cairo: Fath li-ilam al-'arabi, n.d.). 3/168 8 Ibid.

  • 4

    d. Benda-benda yang tidak tahan lama kecuali melalui proses

    penanganan tertentu. Seperti susu apabila dibuat keju. Yang

    mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi

    pemiliknya.9

    e. Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang

    ternak. Luqathah jenis ini terdiri dari dua macam :

    1. Binatang yang kuat; berarti dapat menjaga dirinya sendiri

    terhadap binatang yang buas, misalnya unta, kerbau, atau kuda.

    Binatang seperti lebih baik dibiarkan saja. Hal ini dianalogikan

    seperti unta pada hadits sebelumnya.

    2. Binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya terhadap

    bahaya binatang yang buas. Bintang seperti ini hendaklah

    diambil dan dimanfaatkan.10

    D. Kewajiban Orang Yang Menemukan Barang Temuan

    Orang yang menemukan barang temuan wajib mengenal ciri-cirinya

    dan jumlahnya kemudian mempersaksikan kepada orang yang adil, lalu ia

    menjaganya dan mengumumkan kepada khalayak selama setahun. Jika

    pemiliknya mengumumkan diberbagai media beserta ciri-cirinya, maka

    pihak penemu (harus) mengembalikannya kepada pemiliknya, meski sudah

    lewat setahun. Jika tidak, maka boleh dimanfaatkan oleh penemu.

    9 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010). 333 10 Al-khin, Al-bugho, and As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. 256

    Sesuai dengan hadist yang diriwayatkan al Bukhari dari Ubay bi Kaab,

    Dia berkata Saya pernah menemukan sebuah kantong berisi (uang) seratus

    Dinar, kemudian saya datang kepada Nabi saw (menyampaikan penemuan

    ini), kemudian Beliau bersabda, Umumkan selama setahun. Lalu saya

    umumkan ia, ternyata saya tidak mendapati orang yang mengenal kantong

    ini. Kemudian saya datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda,

    Umumkanlah ia selama setahun. Kemudian saya umumkan ia selama

    setahun, namun saya tidak menjumpai (pemiliknya). Kemudian saya datang

    (lagi) kepada Beliau untuk ketiga kalinya, lantas Beliau bersabda, Jaga

    dan simpanlah isinya, jumlahnya, dan talinya. Jika suatu saat pemiliknya

    datang (menanyakannya), (maka serahkanlah). Jika tidak, boleh kau

    manfaatkan.11

    Adanya ketentuan waktu satu tahun itu dalam riwayat diatas

    mengandung ajaran moral yang tinggi. Didalamnya terselip ketentuan

    bahwa Islam tidak membenarkan adanya pengambilan harta orang lain, dan

    karena Islam mengajarkan bahwa bila seseorang menemukan sesuatu yang

    bukan haknya maka ia dituntut supaya bersungguh-sungguh mencari siapa

    pemilik barang temuan itu. Istilah satu tahun bisa diartikan akan keseriusan

    Islam mendidik umatnya supaya tidak terburu-buru mengambil sesuatu

    untuk dijadikan miliknya kalau hal itu tidak diperoleh melalui usahanya

    sendiri secara halal.

    11 Muttafaqun alaih: Fathul Bari V: 78 no: 2426, Muslim III: 135 no: 1723, Tirmidzi II: 414 no: 1386, Ibnu Majah II: 837 no: 2506 dan Aunul Mabud V: 118 no: 1685

  • 5

    Dari Iyadh bin Hammar R.a bahwa Rasulullah saw bersabda,

    Barangsiapa mendapatkan barang temuan, maka hendaklah persaksikan

    kepada seorang atau dua orang yang adil, kemudian janganlah ia

    mengubahnya dan jangan (pula) menyembunyikannya. Jika pemiliknya

    datang (kepadanya), maka dialah yang lebih berhak memilikinya. Jika

    tidak, maka barang temuan itu adalah harta Allah yang Dia berikannya

    kepada siapa yang dikehendaki-Nya.12

    Pengumuman luqathah dilakukan dipasar, pintu masuk masjid, dan

    tempat lainnya seperti tempat perkumpulan, pertemuan, keramaiaan pasar13

    selama satu tahun, sesuai dengan hadist Zaid al Zuhani yang telah

    disampaikan. Sebab tempat semacam itu lebih memudahkan untuk

    menemukan pemilknya. Lebih lanjut imam syafii merincikan tatacara

    pengumumannya, ditahun pertama dilakukan sebanyak dua kali dalam

    sehari pada siang hari, selanjutnya diumumkan sekali sehari, kemudian

    sekali dalam seminggu, hingga sekali dalam sebulan.14 Menyampaikan

    pengumuman didalam masjid hukumnya makruh, kecuali Masjidil Haram,

    karena mempertimbangkan ketentuan umum yang berlaku, dan karena

    Masjidil Haram tempat berkumpulnya banyak orang, sama seperti masjid

    nabawi dan Masjid Aqsha.15

    12 Shahih Ibnu Majah no: 2032, Ibnu Majah II: 837 no: 2505, dan Aunul Mabud V: 131 no: 1693 13 Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. 5/775 14 As-syarbini Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj Syarh Al-Manhaj (Cairo: Al-Bab al-Hilby, n.d.). 3/314 Muwafiquddin Abu Muhammad Abdullah Ibn Qudamah, Al-Mughni Li Ibn Qudamah (Cairo: Maktabah al-Qohirah, 1968). 5/633 15 Al-khin, Al-bugho, and As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. 3/260

    Pengumuman wajib disampaikan secara berkala ditempat luqathah

    ditemukan, karena pencarian barang di tempat kehilangan barang lebih

    banyak dilakukan.

    Pengumuman dilakukan dengan mempertimbangkan adat dari segi

    masa, tempat dan kadarnya. Pertama kali luqathah diumumkan setiap hari

    sebanyak dua kali pagi dan sore hari, kemudian diumumkan sekali dalam

    setiap hari, lalu seminggu satu atau dua kali. Setelah itu, kira- kira sekali

    dalam sebulan untuk memastikan bahwa pengumuman itu masih dalam satu

    paket, sekiranya tidak dilupakan bahwa pengumuman itu merupakan

    pengulangan pengumuman yang telah lewat.16

    Apabila barang temuan itu rusak di tangan orang yang memungutnya

    dengan tidak disia-siakan olehnya maka tidak wajib baginya membayar

    jaminan.karena dia mengambil hrta tersebut secara haqq (dengan cara yang

    benar). Selain itu status penemu adalah Yad al-Amanah,17 Sedangkan

    apabila barang tersebut rusak karna kelalaiannya maka wajib baginya

    menggantinya dari harta miliknya.18

    E. Barang Temuan Berupa Hewan (Dhallah) Kambing dan Unta

    Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing,

    maka berdasarkan hadits zaid, hendaklah diamankan dan diumumkan,

    16 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafii (Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2010). 2/410 17 Al-Yad al-Amanah: Istilah fiqih. Yaitu, titipan tanpa jaminan atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut. 18 Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. 5/770

  • 6

    manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing

    termaksud kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan,

    siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya

    untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat). Namun,

    apabila orang yang menemukan kambing di tempat yang tidak terdapat

    penghuninya atau jauh dari tempat tinggal penduduk, maka dia berhak

    mengambil atau memanfaatkannya19

    F. Anak Temuan (Laqith)

    Laqith adalah menemukan anak kecil yang belum dewasa yang

    tersesat dijalan atau ditempat lain yang tidak diketahui siapa keluarganya.

    Anak itu tidak mengetahui jalan untuk pulang kepada keluarganya dan tidak

    mengetahui dimana orang tuanya berada. Anak yang dalam kondisi

    demikian kedalam istilah al Laqith. Ia dikhawatirkan akan semakin tersesat

    atau akan teraniaya oleh berbagai sebab.20 Ada kalanya anak laqith

    dikarenakan hal lainnya, seperti anak yang dibuang21, dimana motivasi

    pembuangan seperti itu karena takut miskin atau lari dari tuduhan

    perzinahan,

    Memungut anak yang hilang itu hukumnya mandub, sebab

    perbuatan yang demikian termasuk amal yang utama guna

    menyelamatkannya. Akan tetapi, bila dikhawatirkan anak itu akan teraniaya

    19 Al-khin, Al-bugho, and As-syarbaji, Al-Fiqh Al-Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. 256 20 Helmi Karim, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997).62 21 DR. Hanan Farquti, Al-Laqith Fi Al-Islam, I. (Beirut: Muassasah As-Sinin, 1995). 7

    kalau tidak dipungut maka hukum mengambilnya menjadi fardu kifayah.

    Dan bila timbul kekhawatiran bahwa anak itu akan teraniaya bila tidak

    dipungut maka hukumnya wajib atas pihak yang menemukannya.22

    Anak manusia yang ditemukan dan tidak diketahui nasabnya, maka dia

    dianggap muslim jika ditemukan ditempat yang mayoritas penduduknya

    adalah kaum muslimin dan dia dianggap sebagai orang merdeka (bukan

    budak), lantaran hukum asal manusia diciptakan Alloh dalam keadaan

    merdeka.23

    Adapun nafkah anak tersebut,maka diambil dari harta yang ada pada

    diri anak tersebut jika ada, tetapi jika tidak ada, maka nafkahnya ditanggung

    oleh pemerintah dari baitul mal, dan jika tidak ada baitul mal, maka wajib

    bagi kaum muslimin saling bantu- membantu untuk menafkahi anak

    tersebut.

    G. Tanggungan Biaya Iklan (pengumuman)

    Menurut hanafiah dan hanabilah, menjadi kewajiban penemu untuk

    menanggung seluruh biayanya, karena apabila tidak ditemukan juga

    pemiliknya barang termuan itu menjadi milik orang yang menemukan

    (multaqith), dan apabila ditemukan pemiliknya, maka tidak ada kewajiban

    atas pemiliknya untuk mengganti seluruh biaya pemeliharaan/iklan,24 begitu

    juga pandangan malikiah, akan tetapi pemiliknya harus mengganti

    22 Karim, Fiqih Muamalah. 23 ibrahim bin muhammad bin salim bin Dwiyan, Manar As-Sabili Fi Syarh Ad-Dalil (Damaskus: Dar as-Salam, n.d.). 2/588 24 Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. 5/778

  • 7

    biayanya, atau memberikan barangnya kepada si penemu sebagai imbalan.25

    Sedangkan menurut syafiiah biaya tak menjadi tanggungan penemu bila ia

    mengambil untuk menjaganya untuk sang pemilik, tapi ditanggung oleh

    baitul mal. Namun bila diambil untuk dirinya sendiri maka biaya

    pengumuman ditanggung olehnya.26

    H. Status Kepemilikan Luqathah

    Apabila telah lewat masa satu tahun setelah diiklankan, tapi tidak

    ada satupun yang datang mengakuinya, maka menurut jumhur ulama berhak

    bagi penemu untuk memeliki harta itu, Hal ini berlaku umum, baik penemu

    itu miskin ataupun kaya. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik, Imam

    Asy-Syafi`i dan Imam Ahmad bin Hanbal Sedangkan Imam Abu Hanifah

    mengatakan hanya boleh dilakukan bila penemunya orang miskin dan

    sangat membutuhkan saja. Tapi bila suatu saat pemiliknya datang dan telah

    cocok bukti-bukti kepemilikannya, maka barang itu harus dikembalikan

    kepada pemilik aslinya. Bila harta temuan itu telah habis, maka dia wajib

    menggantinya.27

    BAB III

    TINJAUAN UMUM TENTANG RIKAZ DAN STATUS

    KEPEMILIKANNYA.

    25 Hasyiah Ad-Dasuqi, As-Syarh Al-Kabir (Cairo: Al-Bab al-Hilby, n.d.). 4/123 26 Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj Syarh Al-Manhaj. 2/413 27 Zuhaili, Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. 5/781

    A. Pengertian Rikaz

    Secara bahasa kata rikaz () bermakna:

    Sesuatu yang terpendam di dalam tanah dan tersembunyi.28 Selain makna

    itu, kata rikaz juga berasal dari kata rikz () yang artinya suara yang

    tersembunyi, sebagaimana disebutkan di dalam QS. Maryam: 98:

    Atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar?

    Sedangkan secara istilah, jumhur ulama seperti mazhab Al-

    Malikiyah, Asy-Syafiiyah dan Al-Hanabilah mendefinisikan rikaz sebagai:

    Harta benda yang dipendam oleh orang-orang jahiliyah (bukan muslilm).

    Jumhur ulama menetapkan bahwa yang dimaksud dengan rikaz adalah

    benda-benda berharga peninggalan zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu

    yang tidak memeluk agama Islam. Benda-benda itu bisa saja berbentuk

    emas, perak atau benda lain yang berharta seperti guci, piring, marmer,

    logam, permata, berlian, kuningan, tembaga, ukiran, kayu dan lainnya.

    Semua itu termasuk jenis harta rikaz yang ada kewajiban zakatnya.

    Namun mazhab Asy-Syafiiyah dalam pendapatnya yang baru (qaul

    jadid) hanya mengkhususkan emas atau perak saja yang termasuk rikaz. Di

    luar emas dan perak dalam pandangan mazhab ini bukan termasuk harta

    28 Ibid. 2/775

  • 8

    rikaz. Alasannya, karena rikaz termasuk al-mal al-mustafad yang didapat

    dari dalam bumi.29

    Rikaz itu menjadi kepunyaan yang mendapatkannya, dan ia wajib

    membyar zakat apabila didapat dari tanah yang tidak dipunyai orang. tetapi

    kalau didapat dari tanah yang dipunyai orang. Maka perlu ditanyakan

    kepada semua orang yang telah memiliki tanah itu. Kalau tidak ada yang

    mengakuinya, maka rikaz itu kepunyaan yang membuka, Tanah itu.30

    B. Pendapat Tentang Rikaz

    Ulama berbeda pendapat pada definisi rikaz. Terdapat dua pendapat

    tentang rikaz:

    1. Jumhur ulama seperti, iama malik, as-syafeI dan Ahmad

    berpendapat bahwa rikaz adalah harta yang terpendam dalam perut

    bumi dari kekayaan masyarakat jahiliyah. Ini berarti tidak termasuk

    barang tambang.

    2. Sedangkan abu hanifah berpendapat bahwa rikaz mencakup semua

    kekayaan yang ada dalam perut bumi, termasuk barang tambang.

    Pendapat jumhur ulama dikuatkan oleh hadits lain riwayat jamaah

    dari abu hurairah r.a.

    Binatang yang jatuh maka orang tidak bertanggung jawab terhadap

    lukanya. Jika seseorang terjatuh pada sumur (galian) maka yang

    29 Ibid. 777 30 Al-Ghazali, Rahasia Puasa Dan Zakat (Bandung: Karisma, 1993). 57

    membuatnya tidak bertanggung jawab dan barang tambang adalah bebas,

    sedangkan rikaz zakatnya 1/5.

    Hadis ini memisahkan antara barang tambang dengan rikaz.31

    C. Kriteria Harta Rikaz

    Tidak semua benda berharga yang ditemukan begitu saja termasuk harta

    rikaz, kecuali setelah terpenuhi beberapa kriteria berikut:32

    1. Harta Yang Ditemukan

    Rikaz adalah harta yang milik pihak lain yang ditemukan, baik secara

    sengaja atau pun secara tidak sengaja. Baik dengan biaya modal atau hanya

    karena tidak sengaja tersandung dan tiba-tiba menemukan.Tetapi yang

    menjadi prinsip utama adalah bahwa harta itu bukan harta pemberian orang

    yang diserahkan kepada yang menerimanya. Prinsipnya dalam harta rikaz,

    tidak ada serah-terima harta dari satu pihak ke pihak lain. Yang ada,

    seseorang menemukan harta yang sudah tidak lagi menjadi milik suatu

    pihak.

    2. Asalnya Milik Orang Kafir

    Para ulama sepakat bahwa harta rikaz itu asalnya milik orang kafir

    (jahiliyah). Sedangkan harta yang di masa lalu milik umat Islam, atau

    termasuk peninggalan umat Muslim terdahulu, tidak termasuk rikaz.

    31 Ahmadi Sari and Yeni Priyatna, Zakat Pajak Dan Lembaga Keuangan Islam Dalam Tinjauan Fiqih (Solo: Era Intermedia, 2004). 54-55 32 Fiqih Kehidupan, accessed March 26, 2015, http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=63.

  • 9

    Maka bila seseorang menemukan harta karun dalam peti, namun kemudian

    diketahui bahwa harta itu milik peninggalan kerajaan Islam di masa lalu,

    misalnya dari zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid, maka harta itu bukan

    termasuk rikaz.

    Harta itu dahulu milik umat Islam, maka barang itu menjadi luqathah atau

    barang temuan, dimana ada ketentuan hukum tersendiri tentang masalah ini

    dalam syariah Islam.

    3. Pemiliknya Telah Meninggal

    Syarat ketiga adalah pemilik asli harta itu sudah meninggal dunia, sehingga

    hak kepemilikan atas harta itu sebenarnya sudah hilang dengan

    kematiannya. Demikian juga para ahli warisnya sudah tidak ada

    lagi.Sedangkan harta berharga milik orang kafir yang ditemukan seorang

    Muslim, namun diketahui bahwa pemiliknya masih hidup, bukan termasuk

    rikaz.

    Secara hukum syariah, harta itu milik yang bersangkutan. Namun

    apakah boleh dimiliki, tergantung dari keadaannya. Bila orang kafir

    pemiliknya termasuk kafir zimmi yang telah terikat perjanjian damai dan

    hidup berdampingan, maka haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk

    mengambil benda milik mereka, walaupun sempat hilang. Kalau harta itu

    dirampas lewat pertempuran langsung, maka harta itu disebut ghanimah.

    Sedangkan bila tanpa pertempuran fisik, harta itu disebut fai.

    4. Ditemukan Bukan di Tanah Pribadi

    Syarat keempat adalah harta itu ditemukan di tanah yang bukan aset milik

    pribadi seorang Muslim, misalnya di jalanan umum, atau tanah yang tidak

    bertuan, atau sebuah desa yang telah ditinggalkan penghuninya. Bila

    seorang punya tanah pibadi yang luas, lalu di dalamnya dia menemukan

    harta peninggalan dari zaman dahulu, maka dalam hal ini bukan termasuk

    harta rikaz yang wajib dikeluarkan zakatnya.

    BAB IV

    PENUTUP

    Dari uraian diatas Nampak jelas perbedaan antara luqhatah dan

    rikaz, Jumhur ulama berpendapat bahwa rikaz adalah kekayaan yang

    terpendam dari peninggalan masyarakat jahiliyah. Adapun madzhab syafeI

    mensyaratkatkan bahwa rikaz adalah kekayaan pada tanah yang tidak

    bertuan. Adapun jika mendapatkannya di masjid atau jalan, maka disebut

    luqathah. Dari jenis barang temuan rikaz terbatas pada harta yang terkubur

    sekian lama dan dikhususkan asal kepemilikannya yaitu orang kafir.

    Sedangkan luqatah secara umum segala sesuatu harta atau benda yang

    ditemukan dijalan tanpa diketahui pemiliknya. Baik yang bernilai tinggi

    atau rendah.

    Dari aspek status kepemilikannya luqatah. Status kepemilikannya

    dapat berpindah kepada penemu apabila tidak ada yang mengakuinya dalam

    jangka waktu tertentu. Adapun harta rikaz dapat langsung dimiliki

    penemunya tanpa harus mengumumkannya, namun pada masa sekarang

  • 10

    rikaz dianggap benda cagar budaya yang penguasaanya dikembalikan

    kepada Negara serta dilindungi dengan tujuan melestarikan dan

    memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional. Status

    pengalihan kepemilikan oleh Negara dari penemunya disertai ketentuan

    diberikan imbalan yang wajar bagi penemunya, sebagaimana diatur dalam

    UU No 5 tahun 1992 tentang cagar budaya alam.

  • 11

    DAFTAR PUSTAKA

    Ad-Dasuqi, Hasyiah. As-Syarh Al-Kabir. Cairo: Al-Bab al-Hilby, n.d.

    Al-Bukhari, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin

    al-Mugirah bin Bardizbah al-Jafi. Shahih Bukhari. Dar al-fikr, 1981.

    Al-Ghazali. Rahasia Puasa Dan Zakat. Bandung: Karisma, 1993.

    Al-Khatib, As-syarbini. Mughni Al-Muhtaj Syarh Al-Manhaj. Cairo: Al-Bab

    al-Hilby, n.d.

    Al-khin, Musthofa, Musthofa Al-bugho, and Ali As-syarbaji. Al-Fiqh Al-

    Manhaji Ala Mazhab Imam Syafii. X. Damaskus: dar al-Qalam, 2009.

    Dwiyan, ibrahim bin muhammad bin salim bin. Manar As-Sabili Fi Syarh

    Ad-Dalil. Damaskus: Dar as-Salam, n.d.

    Farquti, DR. Hanan. Al-Laqith Fi Al-Islam. I. Beirut: Muassasah As-Sinin,

    1995.

    Karim, Helmi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

    Mahalli, Ahmad Mudjab, and Ahmad Rodli Hasbullah. Hadits-Hadits

    Muttafaqun Alaih. Jakarta: Fajar Inter Pratama Offset, 2004.

    Qudamah, Muwafiquddin Abu Muhammad Abdullah Ibn. Al-Mughni Li Ibn

    Qudamah. Cairo: Maktabah al-Qohirah, 1968.

    Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.

    Sabiq, Sayyid. Al-Fiqh As-Sunnah. Cairo: Fath li-ilam al-'arabi, n.d.

    Sari, Ahmadi, and Yeni Priyatna. Zakat Pajak Dan Lembaga Keuangan

    Islam Dalam Tinjauan Fiqih. Solo: Era Intermedia, 2004.

    Zuhaili, Wahbah. Fiqhul Islam Wa Adillatuhu. II. Damaskus: Dar al-fikr,

    1985.

    . Fiqih Imam Syafii. Jakarta: PT Niaga Swadaya, 2010.

    Fiqih Kehidupan. Accessed March 26, 2015. http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=63.