4
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Page | 1 Bebas Aktif, Tepatkah bagi Indonesia? Sebuah Refleksi Kritis terhadap Artikel “Indonesia‟s Foreign Policy” Bebas aktif. Dua kata itu terdengar sempurna jika digunakan untuk menggambarkan keadaan politik luar negeri suatu negara. Bagaimana tidak, politik luar negeri bebas aktif pada hakikatnya menunjukkan suatu sikap tidak berpihak pada salah satu blok yang sedang mengadakan pertentangan, namun juga tidak menunjukkan suatu netralitas. Seperti yang dikatakan Mohammad Hatta dalam pidatonya “Mendayung Antara Dua Karang” yang disampaikan di depan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNP) pada tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta, “aktif” yang dimaksud dalam politik luar negeri Indonesia bebas aktif menunjukkan suatu intensitas Indonesia untuk ikut serta dalam usaha menjaga dan menciptakan perdamaian dunia. Ini berarti Indonesia tidak menunjukkan suatu netralitas, yang diartikan sebagai keadaan tak memihak dan juga tak berpartisipasi. Yang dimaksudkan Bung Hatta, sebagai pencetus politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, adalah Indonesia tidak memihak adidaya dunia namun bukan berarti Indonesia mundur dari arena pertentangan internasional, melainkan Indonesia akan terus berusaha secara aktif untuk melakukan upaya-upaya demi menciptakan perdamaian dunia. Apa yang menyebabkan Indonesia memilih untuk menganut politik luar negeri bebas aktif? Salah satu alasannya tertuang dalam pidato Mohammad Hatta yang berjudul “Mendayung Antara Dua Karang” : “Pemerintah memiliki pendapat yang tegas bahwa kebijakan terbaik yang diadopsi adalah tidak menjadikan kita objek konflik internasional. Sebaliknya, kita harus menjadi subyek yang memiliki hak untuk memutuskan takdir kita sendiri serta berjuang untuk tujuan kita, yaitu kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia”. Sepenggal pidato Mohammad Hatta itu menunjukkan itikad Bangsa Indonesia untuk menentukan sendiri kebijakan apa yang akan diambil sehubungan dengan berbagai konflik internasional yang terjadi, tanpa dipengaruhi oleh negara-negara lain. Indonesia tidak ingin menjadi objek, yang hanya akan digunakan oleh negara adidaya untuk memuluskan tujuan dan kepentingan mereka. Namun Indonesia juga memiliki cita-cita untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial 1 . Untuk mewujudkan cita-citanya itulah, Indonesia akan selalu berpartisipasi aktif dalam dunia internasional. Kedua hal inilah yang menjadi alasan mengapa Indonesia memilih menggunakan politik luar negeri bebas aktif. Salah satu kejadian yang melatarbelakangi keputusan Indonesia untuk menganut politik luar negeri bebas aktif adalah Perang Dingin, yang terjadi pasca Perang Dunia II. Perang Dingin itu sendiri merupakan sebuah konflik idiologi yang didasarkan pada perbedaan sistem ekonomi yang dianut oleh dua negara adidaya kala itu, Amerika Serikat dan Rusia. Ketika itu, dunia seakan terbagi dalam dua kubu, kubu negara-negara maju yang dipimpin Amerika Serikat, dan kubu negara berkembang dan komunis yang dipimpin Rusia. Seperti halnya negara lain, Indonesia pun diwajibkan memilih untuk bergabung dengan salah satu blok, yang berarti menjadi musuh blok yang lain. Indonesia, yang saat itu masih termasuk negara baru, begitu dipenuhi semangat kebangsaan. Indonesia terus-menerus menekankan bahwa mereka tidak ingin kembali ditindas oleh bangsa lain, dalam bentuk apa pun juga. Keberpihakan kepada salah satu blok yang ketika itu sedang bertarung, Blok Barat yang dipelopori Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Rusia, diyakini Indonesia sebagai salah satu bentuk penindasan juga. Indonesia khawatir, dengan berpihak pada salah satu blok, Indonesia akan merasa terus-menerus 1 Pembukaan UUD 1945 alinea 4.

Bebas Aktif, Tepatkah Bagi Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bebas Aktif, Tepatkah Bagi Indonesia

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik. Universitas Indonesia.

Page | 1

Bebas Aktif, Tepatkah bagi Indonesia? Sebuah Refleksi Kritis terhadap Artikel “Indonesia‟s Foreign Policy”

Bebas aktif. Dua kata itu terdengar sempurna jika digunakan untuk

menggambarkan keadaan politik luar negeri suatu negara. Bagaimana tidak, politik luar

negeri bebas aktif pada hakikatnya menunjukkan suatu sikap tidak berpihak pada salah

satu blok yang sedang mengadakan pertentangan, namun juga tidak menunjukkan suatu

netralitas. Seperti yang dikatakan Mohammad Hatta dalam pidatonya “Mendayung

Antara Dua Karang” yang disampaikan di depan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat

(BP-KNP) pada tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta, “aktif” yang dimaksud dalam

politik luar negeri Indonesia bebas aktif menunjukkan suatu intensitas Indonesia untuk

ikut serta dalam usaha menjaga dan menciptakan perdamaian dunia. Ini berarti Indonesia

tidak menunjukkan suatu netralitas, yang diartikan sebagai keadaan tak memihak dan

juga tak berpartisipasi. Yang dimaksudkan Bung Hatta, sebagai pencetus politik luar

negeri Indonesia yang bebas aktif, adalah Indonesia tidak memihak adidaya dunia namun

bukan berarti Indonesia mundur dari arena pertentangan internasional, melainkan

Indonesia akan terus berusaha secara aktif untuk melakukan upaya-upaya demi

menciptakan perdamaian dunia.

Apa yang menyebabkan Indonesia memilih untuk menganut politik luar negeri

bebas aktif? Salah satu alasannya tertuang dalam pidato Mohammad Hatta yang berjudul

“Mendayung Antara Dua Karang” : “Pemerintah memiliki pendapat yang tegas bahwa kebijakan terbaik yang diadopsi adalah

tidak menjadikan kita objek konflik internasional. Sebaliknya, kita harus menjadi subyek

yang memiliki hak untuk memutuskan takdir kita sendiri serta berjuang untuk tujuan kita,

yaitu kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia”.

Sepenggal pidato Mohammad Hatta itu menunjukkan itikad Bangsa Indonesia untuk

menentukan sendiri kebijakan apa yang akan diambil sehubungan dengan berbagai

konflik internasional yang terjadi, tanpa dipengaruhi oleh negara-negara lain. Indonesia

tidak ingin menjadi objek, yang hanya akan digunakan oleh negara adidaya untuk

memuluskan tujuan dan kepentingan mereka. Namun Indonesia juga memiliki cita-cita

untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi, dan keadilan sosial 1. Untuk mewujudkan cita-citanya itulah, Indonesia akan selalu

berpartisipasi aktif dalam dunia internasional. Kedua hal inilah yang menjadi alasan

mengapa Indonesia memilih menggunakan politik luar negeri bebas aktif.

Salah satu kejadian yang melatarbelakangi keputusan Indonesia untuk menganut

politik luar negeri bebas aktif adalah Perang Dingin, yang terjadi pasca Perang Dunia II.

Perang Dingin itu sendiri merupakan sebuah konflik idiologi yang didasarkan pada

perbedaan sistem ekonomi yang dianut oleh dua negara adidaya kala itu, Amerika Serikat

dan Rusia. Ketika itu, dunia seakan terbagi dalam dua kubu, kubu negara-negara maju

yang dipimpin Amerika Serikat, dan kubu negara berkembang dan komunis yang

dipimpin Rusia. Seperti halnya negara lain, Indonesia pun diwajibkan memilih untuk

bergabung dengan salah satu blok, yang berarti menjadi musuh blok yang lain. Indonesia,

yang saat itu masih termasuk negara baru, begitu dipenuhi semangat kebangsaan.

Indonesia terus-menerus menekankan bahwa mereka tidak ingin kembali ditindas oleh

bangsa lain, dalam bentuk apa pun juga. Keberpihakan kepada salah satu blok yang ketika

itu sedang bertarung, Blok Barat yang dipelopori Amerika Serikat dan Blok Timur yang

dipimpin Rusia, diyakini Indonesia sebagai salah satu bentuk penindasan juga. Indonesia

khawatir, dengan berpihak pada salah satu blok, Indonesia akan merasa terus-menerus

1 Pembukaan UUD 1945 alinea 4.

Page 2: Bebas Aktif, Tepatkah Bagi Indonesia

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik. Universitas Indonesia.

Page | 2

tergantung pada negara pemimpin blok tersebut. Ketergantungan itu diyakini Indonesia

akan menyebabkan kedaulatan mereka terganggu. Inilah sebabnya, Indonesia tidak ingin

berpihak pada blok mana pun. Indonesia merasa berhak untuk menentukan nasibnya

sendiri. Inilah juga yang menyebabkan Indonesia kemudian memilih untuk menganut

politik luar negeri bebas aktif.

Pada hakikatnya, politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan

dambaan setiap negara. Namun sayangnya, teori tinggal teori. Pelaksanaan dari politik

luar negeri bebas aktif itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Yang terjadi adalah

Indonesia selalu menunjukkan kecenderungan ke salah satu pihak, Barat atau Timur. Di

bawah ini, penulis akan mengungkapkan secara rinci berbagai kecenderungan yang

terjadi dalam penerapan politik luar negeri Indonesia dari masa ke masa.

Dimulai pada masa pemerintahan Presiden Indonesia pertama, Soekarno. Pada

era pemerintahan Soekarno, yaitu sejak tahun 1945 sampai tahun 1965, pelaksanaan

politik luar negeri Indonesia dapat dikatakan cenderung ke arah kiri. Jakarta tampak lebih

akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak garang terhadap AS dan

sekutu Baratnya 2. Kedekatan Indonesia pada Blok Timur juga terlihat dari terbentuknya

berbagai kelompok-kelompok komunis di Indonesia, salah satu contohnya adalah Partai

Komunis Indonesia (PKI).

Menjelang masa pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu dari tahun 1965 sampai

tahun 1998, politik luar negeri Indonesia menjadi lebih condong ke kanan. Hal ini

ditunjukkan dengan membaiknya hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat seperti

Amerika Serikat. Indonesia, yang pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno sangat

anti-Barat, menjadi mau tidak mau sangat bergantung pada kekuatan negara Barat. Hal ini

dikarenakan pada masa ini, Indonesia sedang mengalami fase pembangunan sebagai

negara baru yang sedang berbenah. Berbagai pembangunan yang dilakukan ini tentunya

membutuhkan dana yang cukup besar. Dana ini diperoleh Indonesia dari pinjaman pada

negara-negara Barat, sehingga pada waktu itu dapat dikatakan Indonesia menjadi sangat

tergantung pada Barat dalam hal kekuatan ekonomi. Kedekatan Indonesia dengan Barat

kala itu tidak hanya berlaku di bidang ekonomi, namun juga di bidang industri dan

keamanan. Amerika Serikat, sebagai negara adidaya yang sudah maju industri dan

keamanannya, kala itu sangat dekat hubungannya dengan Indonesia.

Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, politik luar negeri Indonesia

terlihat seperti tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Hal ini mungkin

disebabkan karena masih menjabatnya Ali Alatas sebagai Menteri Luar Negeri, seperti

yang terjadi pada jaman Orde Baru. Indonesia masih dapat dikatakan pro-Barat. Kerja

sama Indonesia dengan Barat kala itu memang banyak mendatangkan dampak positif,

salah satunya adalah berbagai kemajuan di bidang teknologi, industri, dan ekonomi.

Selepas B.J. Habibie, Indonesia kemudian beralih di bawah pimpinan

Abdurrahman Wahid. Saat itulah, terjadi perbedaan yang cukup berarti pada politik luar

negeri Indonesia. Pada masa jabatannya, Abdurrahman Wahid banyak mengadakan

kunjungan ke berbagai negara-negara berkembang, yang kemudian banyak mendatangkan

tanggapan positif berupa janji untuk memberikan bantuan-bantuan ekonomi bagi

Indonesia oleh negara-negara berkembang yang dikunjunginya, yang sebagian besar

tergabung dalam ASEAN. Hubungan Indonesia dengan sesama negara berkembang yang

tadinya sempat terbengkalai pun kembali terjalin. Tidak hanya itu, Abdurrahman Wahid

juga mengurangi berbagai kunjungan ke Amerika Serikat, yang tadinya sering dilakukan

di masa-masa sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan, jika dilihat dari berbagai kunjungan

yang dilakukan Abdurrahman Wahid, saat itu Indonesia menjadi seperti lebih pro Timur.

Presiden Indonesia yang selanjutnya adalah Megawati Soekarnoputri. Di

bawah pimpinan Megawati, politik luar negeri Indonesia kembali condong ke kanan. Ini

2 Riza Sihbudi. Politik Luar Negeri RI Mau Ke Mana?. http://www.polarhome.com/pipermail/na-

sional-m/2002-October/000341.html, diakses pada 18 Febuari 2008, pukul 15.42.

Page 3: Bebas Aktif, Tepatkah Bagi Indonesia

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik. Universitas Indonesia.

Page | 3

ditandai dengan dijadikannya AS sebagai negara non-Asia pertama yang dikunjungi

Megawati 3.

Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa pelaksanaan politik luar negeri

Indonesia yang bebas aktif sebenarnya tidak pernah terjadi. Indonesia selalu cenderung

lebih condong ke salah satu blok. Dan jika kita amati lagi, ternyata pelaksanaan politik

luar negeri Indonesia berbeda-beda, tergantung siapa yang sedang memimpin Indonesia

kala itu. Karakteristik politik luar negeri Indonesia seperti bergantung pada karakteristik

dan orientasi pemimpinnya kala itu, contoh yang paling jelas adalah yang terjadi pada

masa pemerintahan dua presiden yang berkuasa paling lama di Indonesia, Soekarno dan

Soeharto. Pada diri kedua orang itu, kita dapat melihat perbedaan orientasi yang sangat

jelas, yaitu Soekarno yang anti Barat dan Soeharto yang justru pro Barat. Perbedaan

orientasi ini nampaknya sangat tercermin dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia

di masa jabatan mereka masing-masing; di masa jabatan Soekarno, Indonesia condong ke

kiri sementara di masa jabatan Soeharto, Indonesia lebih condong ke kanan.

Hal ini sangat berbahaya, karena sebenarnya politik luar negeri suatu negara

bukan ditentukan oleh karakteristik maupun orientasi dalam diri pemimpinnya. Jika

pelaksanaan politik luar negeri suatu negara hanya bergantung pada keputusan

pemimpinnya, akan terjadi suatu ketidaktegasan. Negara lain akan menganggap negara

itu tidak konsisten dalam menentukan sikapnya, karena keberpihakan negara akan

berganti-ganti seiring dengan pergantian pemimpinnya. Ini dapat berdampak buruk di

kemudian hari pada hubungan internasional negara tersebut dengan negara-negara lain,

apalagi pada masa globalisasi seperti sekarang ini—di mana hubungan antar negara

merupakan hal yang penting untuk menentukan kelangsungan hidup dan kemakmuran

suatu negara. Hal inilah yang terjadi pada Indonesia. Indonesia seperti tidak mempunyai

arah dan orientasi yang jelas dalam menentukan politik luar negerinya. Pelaksanaan

politik luar negeri di Indonesia terkesan asal-asalan dan tidak profesional. Penulis

mengamati, selama ini politik luar negeri Indonesia tidak ditangani dengan serius. Inilah

yang menyebabkan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia—yang seharusnya bebas

aktif—menjadi tidak jelas dan tidak sesuai dengan prinsip awalnya.

Memang, pada kenyataannya ketidakberpihakan itu sulit dilakukan.

Kecenderungan pada salah satu pihak sangat mudah terjadi. Jika demikian, mengapa

Indonesia harus tetap berkedok „bebas aktif‟? Ke-„bebas aktif‟-an hanya akan

mengesankan suatu anggapan „tidak mau memilih demi mencari posisi aman‟ dari

negara-negara lain yang tergabung dalam suatu blok. Memang, tujuan dari politik luar

negeri bebas aktif Indonesia sebenarnya baik adanya namun jika semua itu tidak

didukung oleh praktik di kehidupan sebenarnya, lantas apa gunanya? Indonesia

seharusnya sudah menyadari dan memikirkan hal ini. Jika kenyataannya politik luar

negeri bebas aktif seperti yang dicita-citakan Bung Hatta sulit dilakukan, bukankah

sebaiknya kita mulai memikirkan satu bentuk politik luar negeri yang baru? Seperti

misalnya, kita dapat pro dengan salah satu kelompok negara, Barat ataupun Timur. Selain

itu, mengingat penjelasan sebelumnya tentang keadaan politik luar negeri Indonesia yang

kerap berubah-ubah sesuai dengan orientasi pemimpinnya, kiranya kita perlu memikirkan

untuk mulai menentukan sikap tegas dalam memihak. Ini penting untuk memperbaiki

nama Indonesia dari negara yang terkesan plin-plan dan tidak konsisten menjadi negara

yang konsisten pada keberpihakannya.

Penulis pribadi berpendapat, alangkah baiknya bila Indonesia menjadi negara

yang pro Barat, yang notabene dipenuhi oleh berbagai negara yang sudah maju dan

berkembang. Alasannya sederhana dan realistis : kita membutuhkan bantuan mereka. Kita

sudah melihat sendiri berbagai kemajuan telah kita alami sewaktu kita masih membangun

relasi yang baik dengan negara Barat. Kemajuan itu antara lain kita rasakan dalam bidang

pembangunan, teknologi, keamanan, sampai pada ekonomi, yang dikatakan merupakan

3 Ibid.

Page 4: Bebas Aktif, Tepatkah Bagi Indonesia

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik. Universitas Indonesia.

Page | 4

indikator penilai kesuksesan dan kemakmuran suatu negara. Kita harus mengakui bahwa

Indonesia tidak bisa memajukan negaranya sendiri, tanpa bantuan negara lain. Namun

perlu diingat bahwa keberpihakan Indonesia pada negara Barat tidak lantas menjadikan

Indonesia sebagai “budak” dari arogansi negara Barat. Untuk itu, Indonesia perlu

menempatkan dirinya pada posisi tertentu dalam berbagai organisasi internasional, seperti

PBB, IMF, dan lain-lain. Ini semua perlu dilakukan agar suara Indonesia tetap didengar

oleh negara-negara lain. Selain itu aktif dalam berbagai organisasi internasional akan

membuat Indonesia disegani oleh dunia internasional, hal ini juga pada akhirnya dapat

meningkatkan nama baik Indonesia di percaturan politik internasional sehingga Indonesia

akan dapat menjalin relasi yang baik dengan negara-negara Barat tanpa harus takut akan

dijadikan “budak” negara-negara Barat.

Apapun pilihannya, baik itu pro Barat ataupun pro Timur, hal itu sah-sah saja

dilakukan. Walaupun pada kenyataannya kini yang menguasai perekonomian dunia

sebagian besar adalah negara Barat, namun yang terjadi di masa depan bisa pula

sebaliknya. Prof. Dr. Emil Salim, seorang pakar ekonomi dalam Seminar Mencari Desain

Baru Politik Luar Negeri Indonesia di Centre for Strategic and International Studies

(CSIS) di Jakarta meramalkan bahwa pembangunan di abad 21 akan didominasi oleh

Asia 4, yang notabene adalah negara Timur. Merangkum dari pandangan Prof. Dr. Emil

Salim tersebut, sangatlah bijaksana bila Indonesia dapat lebih mendekatkan dirinya pada

negara-negara Asia, yang berarti Indonesia akan lebih pro Timur. Selain itu, identitas

bangsa Indonesia yang memang merupakan bangsa Timur juga memperkuat Indonesia

untuk lebih pro Timur; Indonesia merasa senasib dengan negara-negara Timur.

Merangkum semua argumen di atas, penulis ingin mengatakan pada hakikatnya

apapun pilihan Bangsa Indonesia, baik itu pro Barat maupun pro Timur, keduanya sah-

sah saja dilakukan. Yang penulis ingin tekankan adalah Indonesia sudah tidak seharusnya

menganut politik luar negeri bebas aktif. Selain sudah tidak relevan dengan jaman

sekarang, penerapan bebas aktif tersebut ternyata tidak pernah bisa dilakukan Indonesia.

Pada kenyataannya, „bebas aktif‟ merupakan hal yang terlalu idealis sehingga sangat sulit

dilakukan. Pelaksanaan „bebas aktif‟ Indonesia itu pada akhirnya akan mendatangkan

kesan plin-plan dan tidak konsisten, yang dapat menyebabkan turunnya harga diri Bangsa

Indonesia di mata dunia internasional. Hal ini sangatlah buruk. Oleh karena itu, penulis

berpendapat seyogyanya Indonesia mulai membuka matanya dan menyadari berbagai

kelemahan yang ada dalam politik luar negeri bebas aktif ini. Seyogyanya Indonesia mau

berubah dan mau menentukan orientasi politiknya secara lebih tegas sekarang, bukan lagi

bersembunyi dalam kedok „bebas aktif‟.

4 Politik LN RI Harus Berpihak. http://www.csis.or.id/feature_view.asp?tab=0&id=126, diakses

pada 12 Febuari 2008, pukul 10.52.