72
BEGU GANJANG : Analisa Psiko – Kultural Mgr. Dr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap. Kemelut begu-ganjang 1 telah mengemuka terutama sejak tahun 2003. Ketakutan terhadap black magic sekian mengemukan sehingga lewat tuduhan-tuduhan yang para-rational beberapa rumah dirusak dan beberapa orang diusir atau dibunuh secara sadis. Oleh kecemasan primordial (primordial paranoia), orang langsung dan membabi buta menuduhkan suatu penyakit atau tulah kepada ulah seseorang dukun black magic. Terjadi di tengah pasar Pakkat tahun 2003, seorang, yang dituduh menyandang begu ganjang, diseret ke tengah public dan langsung diramai-ramaikan sampai mati , di depan pastor. I. LATAR BELAKANG KULTURAL Wilayah budaya yang menjadi sumber begu ganjang kiranya dapat dicatat dua, yang saling membuahi satu sama lain. 1. Ekspansi Hegemoni Si Jahat : Naga Padoha Dicatat oleh J.C. Vergouwen bahwa, pemikiran Batak keburu berjiwa animistis, “lebih peka terhadap kegiatan roh begu : dia menyebut dirinya Sipelebegu : pemuja roh orang mati. Jumlah roh-roh jahat ini, yang menimpakan segala sengsara, yang harus ditolak oleh manusia, banyak sekali” (1986:81). Roh-roh yang ditakuti disebut dengan beberapa nama: begu nurnur, begu monggop, begu harera, begu sihabiaran bolon (Lihat Warneck 1922:63). Prinsip yang berlaku bagi musibah harera menurut catatan Joh. Winkler 1925:21 ialah: Bila suatu kampong atau wilayah dijangkiti penyakit kolera-kolera menjadi wabah dunia abad ke-19, mematikan hamper sepertiga penduduk orang Batak – maka orang sehat meninggalkan anggota keluarga yang sudah terjangkiti kepada nasibnya, dan mereka menyingkir ke tempat yang aman. Sebagai 1 Istilah begu-ganjang dikenakan kepada black magic penggunaan sibiangsa sebagai magic perusak (pupuk pangarobur) dan begu ganjang (“harimau panjang”) sebagai “kendaraan”. Begu ganjang dibedakan dari begu hundulan (harafiah: harimau tunggangan). Yang disebut pertama berupa black magic dan yang disebut teraknir white magic. Sering keturunan Lontung, utamanya Siregar, menyandang ilmu gaib dapat menunggangi seekor harimau dan dapat menghilang seketika. Ia berkisah mengenai perlanan menunggangi harimau secara misterius, dan sekejap mata sudah samapi ke tujuan. ______________________________________________________________________ Seminar Begu Ganjang di Paroki St. Pius X Aek Kanopan-Agustus 2008 1

Begu Ganjang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Spirituality

Citation preview

BEGU GANJANG : Analisa Psiko Kultural

BEGU GANJANG : Analisa Psiko Kultural

Mgr. Dr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap.

Kemelut begu-ganjang telah mengemuka terutama sejak tahun 2003. Ketakutan terhadap black magic sekian mengemukan sehingga lewat tuduhan-tuduhan yang para-rational beberapa rumah dirusak dan beberapa orang diusir atau dibunuh secara sadis. Oleh kecemasan primordial (primordial paranoia), orang langsung dan membabi buta menuduhkan suatu penyakit atau tulah kepada ulah seseorang dukun black magic. Terjadi di tengah pasar Pakkat tahun 2003, seorang, yang dituduh menyandang begu ganjang, diseret ke tengah public dan langsung diramai-ramaikan sampai mati , di depan pastor.

I. LATAR BELAKANG KULTURAL

Wilayah budaya yang menjadi sumber begu ganjang kiranya dapat dicatat dua, yang saling membuahi satu sama lain.

1. Ekspansi Hegemoni Si Jahat : Naga Padoha

Dicatat oleh J.C. Vergouwen bahwa, pemikiran Batak keburu berjiwa animistis, lebih peka terhadap kegiatan roh begu : dia menyebut dirinya Sipelebegu : pemuja roh orang mati. Jumlah roh-roh jahat ini, yang menimpakan segala sengsara, yang harus ditolak oleh manusia, banyak sekali (1986:81). Roh-roh yang ditakuti disebut dengan beberapa nama: begu nurnur, begu monggop, begu harera, begu sihabiaran bolon (Lihat Warneck 1922:63). Prinsip yang berlaku bagi musibah harera menurut catatan Joh. Winkler 1925:21 ialah: Bila suatu kampong atau wilayah dijangkiti penyakit kolera-kolera menjadi wabah dunia abad ke-19, mematikan hamper sepertiga penduduk orang Batak maka orang sehat meninggalkan anggota keluarga yang sudah terjangkiti kepada nasibnya, dan mereka menyingkir ke tempat yang aman. Sebagai pemahaman di balik tindakan ini ialah : Prinsip yang berlaku bukannya secuil pemahaman akan hakekat penyakit infeksi, melainkan kecemasan bahwa inilah perbuatan penjalaran kegelapan dari roh-roh jahat. Inilah ulah ekspansi kuasa maut dari Si Jahat (Naga Padoha).

2. Ofensif Sibiangsa

Pada dasarnya agama Batak termasuk Angst Religion, agama kecemasan. Dimana-mana ada begu (tondi na jahat.) Struktur kampung sendiri adalah buah hasil dari sumber-sumber yang mencemaskan ini. Kampung tradisional dikelilingi oleh parik , yakni tanah galian yang diikuti oleh benteng kampung yang ditinggikan, di mana ditanam buluduri yang rapat tak tertembus, dengan hanya ada satu pintu keluar, bahal. Ini adalah bukti mental permusuhan dan dunia defensdif-ofensif. Paranoia Primordial bersarang dengan subur di dalamnya.

Ofensif yang terkenal dan berdasar magic ialah Sibiangsa atau pangulubalang. Magic Sibiangsa berkembang dalam ranah Paranoia Primordial dan fungsinya adalah senjata pamungkas magis: Piso pangabas di jolo, saongsaong di ginjang jala lapiklapik di toru. Metode pembuatannya adalah sebagai berikut: Seorang anak paling disukai ialah hatoban yang dipelihara dengan menggendutkan : member makanan yang enak dan subur. Ke telinganya selalu dibisikkan : Ke mana saja engkau saya suruh , engkau harus menuruti. Dalam harapan diberi makanan, anak itu selalu mengangguk. Pada hari H diadakan penyumpah, manumpa. Hal ini diikuti tak lama kemudian oleh panggurigurion, pengwadahan. Cairan metal ditumpahkan ke dalam mulut yang disumpahi, sampai anak mati. Tubuhnya dicincang dan dimasukkan ke dalam guci yang sudah disediakan. Barang ini menjadi amulet ofensif defensif. Sesuai janji sumpah si anak, maka ia bersedia disuruh ke mana dan berbuat apa saja. Maka seringlah ia disuruh manumpur huta ni musu. Bisa saja seluruh isi kampung menjadi gila, berkelahi atau mati tulah.

3. Ofensif Begu Ganjang

Masalah yang dihadapi dalam menggunakan Sibiangsa adalah proktil, angkutan pangantar. Kendati memiliki magic sibiangsa dalam hal menggunakannya terdapat masalah bagaimana mengantarnya mencapai kampung musuh. Menghantar hanya seroang diri tentu kurang berani. Orang berplaing kepada begu ganjang .

Pembuatannya. Pada hari H logam tuangan disumpahi agar menjadi begu ajakan. Latar belakang dari begu hundulan ialah kepercayaan, terutama di kalangan marga Lontung (Babiat Sitelpang), adanya ilmu menjinakkan seekor harimau, agar sanggup membawanya ke tempat tujuan secara ajaib (mengubah diri seperti roh, atau terbang ke tempat tujuan). Dalam sekejap mata dipercayai sudah mencapai tujuan, seperti dalam mimpi.

Cairan metal yang disumpahi itu lantas dituang menjadi patung harimau, begu ganjang. Lantas ia dipuja dan dijadikan magic.Pada waktu yang dibutuhkan untuk melakukan ofensif kepada musuh, patung begu anjar diojur (dielek-puja) agar bersedia disuruh ke tempat tujuan. Dia pun diajari siapa yang akan dijadikan sasaran dan bagaimana ia harus menunaikan tugasnya.

Pada hari H pengutusan begu ganjang yang pertama diojur adalah pupui sibiangsa. Dia disumpahi agar setia kepada janjinya yang semual, lantas dipesani melakukan misi tertentu. Tumpur ma baba ni sibaoadi, na sai mangondam hutanmi. Kemudian diojur pula begu ganjang agar bersedia membawa situmpur panghunduli, atau situmpur pangarobur (sibiangsa) ke tempat tujuan. Lalu diadakan ritual paborhathon. Dengan mangmang (mantra) dan tabas pamorhati, begu ganjang diberangkatkan dan diutus.

Perlu diberi waktu kepada begu ganjang malakukan misinya. Datu pamorhati melakukan sitagangi. Biasanya, sitagangi adalah magic berupa dramatisasi ritual pangaroburon terhadap musuh. Ada orang membuat parsili, patung manusia dari anak pisang yang diukir menyerupai wajah manusia. Parsili disumpahi dan ditusuki atau dirusaki seperti merusak langsung musuh termaksud. Ada juga yang melukis gambar, atau langsung mengambil foto dari musuh tertuju. Gambar atau foto itu disiksa atau dirusak seperti menyiksa atau membunuh si musuh langsung.

Diyakini bahwa begu ganjang bersama dengan situmpur panghunduli sungguh melakukan misinya. Begu Ganjang sendiri diyakini, oleh kekuatan mental atau tenaga batin atau tenaga dalam dan mungkin pernah terjadi, tetapi di sini cukup banyak terjadi sulap penipuan sungguh melakukan misinya dan sang musuh sungguh dihancurkan.

Tetapi sebenarnya, yang lebih menentukan, bukan kemampuan datu panogos, melainkan kondisi labil dari sasaran. Semakin sasaran merasa terancam dan ketakutan, semakin empuk pulalah ia menjadi mangsa.

Demikianlah korban-korban berjatuhan secara tidak masuk di akal dan orang seperti kehilangan nalar yang sehat sehingga bertindak membabibuta. Ini timbul dari kondisi kejiwaan yang berstatus panische Angst (kecemasan yang berstatus panik).

II. ANALISA HAKEKAT KEKALUTANSukar menentukan dengan persis timbulnya dan sebab timbulnya perilaku bengis yang tiba-tiba sampai mempertontonkan sadism dalam perilaku begu ganjang . Mungkin hal-hal berikut dapat dikatakan mengenai analisis psiko-kultural gejala begu ganjang.

1. Gejolak Culture Shock Batin

Pertama pada tataran psikhe. Sejak pengembangan kekristenan, dan berduyun-duyun orang Batak menganut kekristenan. Setiap perubahan isi keyakinan harus tunduk kepada peribahasa Perancis: Partir est mourir en peau: berpisah berarti mati sedikit Mati kepada tatanan yang ditinggalkan dan lahir pada milieu yang diampu. Partir est mourir en peau berlaku baik terhadap perubahan isi maupun perobahan cara. Setiap perobahan suasana hidup mengandung satu mourir en peau, sehingga di sini terjadi mourir en peau ganda, alias pendobelan. Misalnya di Amerika Serikat, tahun 1970-an terjadi Culture Shock karena perilaku generasi muda yang dengan gampang menganut pergaulan bebas. Banyak generasi tua yang tak sanggup mencerna gaya berpakaian, You Can See dan dansa-dansi yang tak mengenal batas. Nudisme menjalar di Swedia ke seluruh Eropa lantas ke seluruh dunia. Skaralitas sakramen pernikahan dengan gampang dilanggar atau dilupakan. Orang menjadi gamang, cemas dan bingung.

Batak sejak abad ke-20 tercatat mangalami sekurang-kurangnya 5 (lima) unit Culture Shocks. Batak telah mengubah keyakinan keagamaan dan secara bergerombol meninggalkan agama tradisional untuk menganut agama Kristen dan Islam. Ini menghasilkan sepasang mourir en peaus. Sudah pada peralihan ini terjadi kegamangan, kecemasan, kegoncangan dan perilaku aneh. Dalam bahasa modern, di sini telah dibukukan satu stress berat.

Kemudian sudah juga terjadi bidang komunikasi dalam arti yang sangat luas. Dahulu orang hidup dengan tenteram (splendid isolation) di desa yang terpencil, di bawah lindungan alam, pamong pemerintah dari pangulu, dan dewa rohani dalam diri datu, kemudian pastor dan pendeta. Di sini terjadi double mourir en peau. Manusia pelakunya menerima juga kegamangan, kecemasan, kegoncangan, dan perilaku aneh, tatkala melihat deretan mobil, lampu merah, televise yang menghadirkan gambar-gambar yang mengatasi daya pikirnya, sampai kepada internet. Informasi dari seluruh dunia langsung masuk ke dalam rumah.

Milieu kehidupan bersama dengan pergaulan mengalami juga Cultural Shock. Dahulu, orang sudah senang mengenal dengan akrab dan aman sesama penghuni kampung. Sekali-sekali pergi ke keramaian pasar, tetapi sehariannya peri kehidupan mengalami paradis splendid isolation. Sekarang terutama kehidupan kota menyodorkan ribuan orang sekaligus. Menghafal namanya saja kita telah mengalami Cultural Shock, sebab lebih banyak pertanyaan Bagaimana dan siapa itu?. Ini juga menyodorkan stress yang tak terpaparkan lewat data yang akurat.

Berikut adalah Cultural Shock bidang konsumerisme. Ada jaman orang pagi-pagi bertanya: Apa kita makan hari ini (masa kelaparan). Setelah kemakmuran bertambah, maka pertanyaanya berubah: Di mana kita makan: di hotel, di restaurant, di warung dalam rumah tangga sendiri. Kemudian berlanjut menjadi pertanyaan: Siapa kita makan hari ini. Bagi orangtua karir, baik bapak maupun ibu, kesulitan terkadang timbul bagaimana memperkenalkan anak kepada ayahnya, sebab sang ayah karena karier sudah berangkat pagi-pagi dan masuk rumah larut malam. Kalau dahulu, acara memask dan makan bersama satu keluarga menjadi ritus ikatan keluarga inti ayah, ibu anak-anak dan mertua maka sekarang ini, orang tak sempat duduk bersama pun. Makanan diabil secara instant, makan di restoran atau baw bontot (ke sekolah) dan waktu lebih banyak digunakan di luar rumah daripada menjadi tondi ni jabu. Dapat dikatakan bahwa sendi-sendi ikatan keluarga dan tata nilai mengalami revolusi yang tak sanggup dicerna tanpa kecemasan, kegamangan, ketakutan, frustrasi dan stress. Ada orang yang tak snaggup keluar rumah menghadapi kepadatan lalu lintas di jalan raya.

Yang terakhir dari Culture Shock adalah hedonisme. Orang berlomba mau hidup senang. Hiburan dan entertainment baik di masyarakat luas maupun pada tayangan elektronik menjadi pelarian untuk bersembunyi dari kerasnya tantangan dari perjuangan-perjuangan di atas. Memang manusia pada dasarnya cenderung untuk hidup senang dan menikmati kesenangan. Berkembanglah budaya hedonisme lewat tontonan atau gambar-gambar seronok, sampai kepada pergaulan ceklek anara muda-mudi. Hal ini dikembangkan kepada pelarian high, lewat minum-minuman, narkoba, sabu-sabu, rumah remang-remang, judi dlsb. Kekalutan dan Shock batin adalah sangat besar, karena di satu pihak nurani adat tradisional sangat bertentangan dengan adat baru ini, dan di pihak lain, tatanan nilai dan etika tradisional secara langsung dan tanpa argumentasi dijadikan tertuduh sebagai kolot. Budaya baru diberi lebel modern dan mulia yang harus diberi jalan masuk dan segala lainnya adalah untuk menyingkir.

Suatu bahan bakar kepada kekalutan batin dan psyche yang sangat membuat orangtua stress berat, sekarang ini adalah terpaan ancaman untuk hidup. Adalah bencana tsunami, bencana gempa, banjir, letusan gunung berapi, lumpur panas yang sangat mengkalutkan batin dan memaksakan kecemasan hidup, metaphysische Angst, bagi setiap nurani. Hal ini ditambah oleh budaya kekerasan seperti di Poso, Ambon Papua. Hidup manusia terkadang dihargai tak kurang dari hidup seekor ayam, yang disembelih dan dicabut nyawa telah singgah ke strata kita, di ambang pintu rumah, dan bahkan ke pust rumah sendiri lewat televisi.

Pertanyaan: Dimana inti rumah tangga yang dahulu memberikan ketenangan dan keamanan hidup? Semuanya itu, untuk sekarang ini, telah menjadi hancur berantakan dan tinggal hanya debu-debunya. Kendati batin dan nurani kita sangat kalut, dalam menantikan oase kedamaian, tetapi kita pada poin perjalanan hidup sekarang ini, dihadapkan bukan kepada pilihan alternatif , melainkan terpaksakan kepada melangkah masuk ke jalan yang penuh ranjau kekalutan dan kecemasan. Dalam batin dan pada fundamen nilai-nilai kehidupan yang dibangun selama ini, kita mengalami ketakutan, kecemasan, kegentaran, ketidk-pastian dan keengganan yang harus disambut dan diolah. Padahal kekuatan kita sudah berkeping-keping dan tampa rakitan. Quo Vadis kepribadian, keluarga dan budaya Batak yang sudah dibangun selama eksistensinya?

2. Muara Begu Ganjang

Tiga magma besar adalah dapur pemompa musibah begu ganjang. Yang pertama adalah rasa keterjepitan di antara kutub-kutub tata nilai dan pemaksaan harus melangkah ke arah yang berkenan pada nurani. Inilah rasa frustrasi yang memaksakan stress berat dan menambah jumlah orang sinting . Orang sinting jelas bertindak tidak menurut logika dan budi yang sehat. Ia merasa frustrasi dan bertindak menurut etika sesat yang belum dicernakan menurut akal sehat.

Yang kedua ialah paranoia atau panische Angst, yakni ketakutan yang besar dan mengatasi daya nalar budi. Kita hidup seolah menunggangi kuda liar yang lajunya kencang dan tak mungkin dapat diolah dengan memuaskan. Korban-korban perjalanan hidup sudah pasti berjatuhan. Pengalaman hidup di sini kembali kepada arketipe atau model dasar Batak, tatkala Si Boru Deang Parujar, dalam menempa bumi, di Lautan Lapaslapas, yang ganas dan tanpa belas-kasihan, digempur dan dibinasakan oleh Naga Padoha. Jeritan batin itu menjadi arketipe: Boasa ma paloasonmu ahu, ale Debata Mulajadi Nabolon, mampar tu laut parsorion, dipasampaksampak galumbang, dipaharatharat gurampang na bolon, dipasursrsursar Naga Pahoda, hape gok dame do huta ni damang Batara Guru di Banua Ginjang? Ua, tongos ma tano sampohul bahen hundulan hamenakan !

Ternyata tidak ada jawaban penghiburan. Kita dinasibkan harus mengarungi hidup keras dan mencemaskan. Jeritan itu dari St. Agustinus gambling kita rasakan dan kita reguk dengan pahit: Cemas-gelisahlah hati kami, Ya Tuhan, sebelum beristirahat di dalam Engkau (Confessio I, 1).

Yang ketiga ialah pola dosa asal menurut versi budaya Batak. Hakekat dosa asal ialah sendiri merasa bersalah tetapi kesalahan dituduhkan pada orang lain, yang dianggap sebagai ancaman. Ndang ahu, ale Tuhan, siparsala i, boruboru i do. Orang lain selalu bersalah dan aku selalu terancam.

Pola budaya Batak dalam mengungkapkan dosa asal itu mengambil dua corak. Pertama, Naga Padoha, Si Raja Iblis, telah memakai kaki-tangannya, roh-roh jahat dan hantu penyakit telah menyerang dan menerpa bumi manusia untuk memaksakan kebinasaan. Keadaan hidup kita adalah seperti dahulu, tatkala Naga Padoha menyerbu bumi manusia dengan begu harera, begu ngenge, begu nurnur, begu monggop, begu pangambat. Manusia berseru kepada kepada Dewata Mulajadi Nabolon, yang dahulu sudah menaklukkan Naga Padoha, tetapi rasanya para Dewata membisu seribu bahasa. Manusia mengalami frustrasi.

Pola kedua ialah tradisi Batak dalam menghadapi ancaman musuh. Mereka mengembangkan Sibiangsa dan begu ganjang. Di sini berkembanglah panische Angst dan paranoia, yakni ketakutan yang amat sangat. Api pemantiknya adalah pengalaman hidup, pada umumnya pada dua sisi, yakni : sakit hati dan kecemburuan. Inilah wujud nyata dari rasa terancam dan kepanikan batin. Bila berjangkit suatu penyakit alami, logika kepanikan berkata: Marsahit pe hita di huta on ulaula ni si anu do i, Ibana do parutiutian dohot parujarujaran di huta on. Molo naeng mangolu hita, ibana do ingkon pusaon. Hugoit ma ho, songon na nengel, molo dung mangholom ari pintor disubur do pangulubalangna dohot begu ganjanna i, padalanhon botobotoanna i.

3. Nir-Logika Begu Ganjang

Ketak-masuk-akalan logika begu ganjang ialah ketakutan besar, kepanikan dan kesintingan, yang secara ajaib dan membahana meluas kepada hampir semua hati penduduk, Goit parhusipon songon na nengel dianggap sebagai logika yang paling masuk akal dan langsung diterima sebagai kebenaran satu-satunya. Nalar biasa dan budi nurani biasa dianggap tidak berlaku, atau bahkan dianggap sinting, parhata-lalaen. Jawaban yang diharapkan kepada goit parhusipon songon na nengel hanyalah: I do tutu, ba. Ahu pe nunga huida na masa i.Bukan saja logikanya telah menganut goit songon na nengel, tetapi juga cara pelampiasannya tidak ditapis lewat nalar yang sehat. Pendeknya berlaku silogisme molo boti. Molo boti do hape, ingkon siusiron , sisurbuon jala sipusaon ma bona ni gora. Tole tasurbu, tapaisir, tapusa. Demikianlah berjatuhan korban-korban kesintingan logika yang tak berkeperi kemanusiaan, tak masuk akal dan melanggar segala tatanan mapan dalam adat dan budaya. Alasannya, ketakutan amat sangat, panische Angst, paranoia.

Bila kita amati daerah-daerah yang paling dilanda oleh wabah begu ganjang terutama adalah wilayah yang mungkin dapat disebut Midah Ko (Miskin, datu, hosom, komunis). Daerah-daerah miskin dengan tradisi surogat parminum, parjuji, adalah paling rawan, karena rasa frustrasi dan stress sosial yang paling gawat. Kemudian daerah pardatudatu, parutiutian, parujarujaran, sebab frustrasi mengahadapi hidup selain lewat magic dan black magic. Alasannya tetap panische Angst dan paranoia. Bagi daerah-daerah hosom dohot late, karena dimana orang merasa frustrasi, muatan dosa asal muncul ke permukaan. Bukan aku Ya Tuhan, tetapi dia adalah mungka ni singkam mabarbar. Dengan segala daya pusat ancaman ini ingin dipusa jala dirobur. Daerah komunis sebab ideology ini meninggalkan tiga luka besar yang sangat gawat. Komunis menghapus tempat Allah, Mulajadi Nabolon dan Debata Natolu (Batara Guru, Soripada, Mangalabulan). Komunis menghapus system marga yang berdasarkan sumangot ni ompu. Tatanan pemberi rasa aman dan partuturon yang merupakan Bibel Batak, dengan sekali gunting, dikerat dari akarnya. Berikutlah etiket habatahon juga digunting, yakni pantun hangoluon, tois hamagoan. Habasaon urat ni ngolu, hatomanon urat ni pasupasu. Seluruh tatanan nilai dan ethos pengaman ini langsung dijungkirbalikkan oleh komunisme.

Bagaimana pun secara tidak masuk akal bumi Batak secara luas telah dilanda tulah begu ganjang. Sangat menyedihkan dan memalukan bagi daerah yang sudah disirami-resapi oleh Injil 144 tahun, sejak apostel Batak, tuan Ingwer Hendrik Nommensen, sampai di Huta Dame Tarutung 1863.

III. MENAWAR TULAH BEGUGANJANG

Dari analisis psiko-kultural yang kita temukan kiranya dapat disimpulakan bahwa sumber singkam mabarbar atau sebab dari musibah begu ganjang adalah rasa takut, kecemasan, kekalutan batin dan frustrasi. Lewat bermacam culture shocks yang dialami secara keras dan bengis, maka pada akhirnya manusia Batak dihadapkan kepada paranoia dan panische Angst alias malitondi hariboriboan, siala haliapan jala halipurpuran.

Pertanyaannya, bila suatu desa atau wilayah dilanda oleh begu ganjang , makalah upaya penawar yang mungkin menurut tradisi budaya Batak ? Adakah suatu bentuk upacara atau ritual penawar pemadam api musibah yang dahsyat dan tak masuk akal ini?

Sebelum kita berpretensi mampu mengatasinya, dari awal harus dikatakan bahwa tidak semua jenis musibah seperti ini teratasi. Tergantung dari timbunan magma panische Angst yang sudah menggumpal dari perjuangan dari perjuangan dan frustrasi hidup yang dialami. Parameter pengukuranya pantas ditepis dari segii merebak kemiskinan , kadar praktek datu ujarujaran, tingkat hosom-late yang ada dan rembesan ideology komunisme. Bila ini sudah bertimbun melewati ambang batas, kita hanya dapat melakukan etiket harera Batak: Tak dapat banyak, terpaksa kita membiarkan kepada nasibnya, mari kita pergi meninggalkannya.

Namun bila kadar intensitasnya masih manageable, tolerable, serentak sebagai antisipasi, kita hendak mengutarakan cara dan upacara, sbb: Pertama adalah penegasan praktek yang sudah mendarah-daging bagi Batak, dari pengalaman hidup dan asahan logika hidup, sejarah hidup Batak telah sering dilanda musibah masal.

Sesuai dengan kepekatan kesatuan psiko-somatis Batak, kesatuan jiwa dan badan,

(maaf, sedikit bagian akhir dari tulisan ini, entah karena apa hilang. Saya masih sedang mengkontak Ompung untuk melengkapinya)

TUAK DAN BEGU GANJANG: TINJAUAN PSIKOLOGIS

Semi Loka Pesta PAK Se-Paroki St. Pius X Aekkanopan

P. Dr. Sirilus Senator Manalu, OFMCap.

Pengantar

Melihat judul tulisan ini, Tuak dan Begu ganjang, secara spontan timbul pikiran bahwa tulisan ini merupakan tulisan yang sungguh-sungguh korelatif atau sebab akibat. Artinya dengan tulisan ini kita akan menemukan hubungan korelasi positip atau negatif antara tuak dan begu ganjang. Dengan korelasi positif dimaksudkan bahwa bila semakin banyak orang meminum tuak maka akan semakin tinggilah kemungkinan adanya pemelihara begu ganjang sebaliknya dengan korelasi negatif dimaksudkan bahwa semakin banyak orang meminum tuak semakin sedikitlah terjadinya pemelihara begu ganjang. Dengan hubungan sebab-akibat dimaksudkan bahwa minuman tuak akan menyebabkan adanya pemelihara begu ganjang.

Dengan rendah hati harus diakui bahwa tulisan ini tidaklah lahir dari suatu penelitian korelasi dan sebab-akibat seperti disebutkan di atas tetapi justru mau melihat beberapa factor yang mungkin bisa diteliti secara dalam oleh para peneliti yang tertarik akan topic tuak dan begu ganjang. Dengan demikian, tulisan ini hanyalah pemancing inspirasi bagi para peneliti untuk membuktikan kebenaran-kebenaran yang diungkapkan dalam tulisan ini.

Tuak dan Begu Ganjang adalah dua topic yang sangat berbeda. Akan diusahakan oleh penulis menjembatani keduanya secara psikologis. Tinjauan ini tentulah jauh dari sempurna. Tulisan ini justru menantang penulis untuk meneliti secara lebih rigid/keras efek tuak dalam kehidupan bermasyarakat bahkan dalam konteks masyarakat yang sering diganggu oleh issu begu ganjang.

Tulisan ini seperti judulnya akan berbicara pertama-tama tentang tuak, lalu begu ganjang. Tulisan akan ditutup oleh bagian ketiga yaitu koneksi antara tuak dan begu ganjang.

BAGIAN PERTAMA:

TUAK EFEKNYA UNTUK PRIBADI DAN KEHIDUPAN BERSAMA

Saya yakin, kita semua mengenal minuman tuak. Kalau kita belum pernah mencicipinya, saya yakin kita pernah melihatnya.

Apa itu tuak?

Tuak adalah salah satu minuman yang masuk dalam golongan alcohol, hasil fermentasi dari bahan minuman/buah yang mengandung gula. Umumnya tuak di daerah Sumatera Utara terbuat dari tanaman/pohon aren atau kelapa.

Tuak adalah alcohol yang berkadar rendah, harus banyak diminum supaya bisa mencapai efek yang bisa diharapkan bila dibandingkan dengan minuman alcohol lainnya seperti bir dan anggur. Sebagai bagian dari alcohol, tuak adalah minuman psikoaktif yang diklasifikasikan sebagai minuman yang membuat tenang (depressant), yang berarti bahwa minuman ini akan menekan berbagai kegiatan dari system saraf sentral para peminumnya. Pada mulanya, tuak ini nampaknya bekerja sebagai pembuat stimulasi (stimulant) karena hal ini mengurangi rintangan-rintangan dalam saraf tetapi kemudian hal ini menekan banyak reaksi fisiologis dan psikologis (Plotnik, 1999:182).

Dan untuk peminum tuak, tuak ini menjadi bagian dari bevarages yang harus diminum khususnya pada malam hari. Tidak heran, kedai-kedai tuak sering dipenuhi oleh para peminumnya yang mayoritas adalah bapak-bapak dan pemuda-pemuda. Para peminum ini dengan sendirinya akan meninggalkan rumah mereka pada pada sore hari dan kembali dari kedai tuak pada malam hari (hingga larut malam atau subuh). Jarang sekali orang membeli tuak lalu meminumnya di rumah.

Daya tarik tuak ini tidak perlu diragukan lagi mengingat begitu banyak bapak dan anak muda yang sungguh-sungguh menikmati hidupnya di kedai khususnya pada sore dan malam hari. Apalagi untuk menambah daya tarik tuak ini si pemilik kedai sering juga menyediakan makanan pelezat (tambul) dan berupa permainan seperti main judi.

Sampai sekarang, minuman tuak masih sangat merakyat di daerah Sumatera Utara apalagi untuk orang Batak Toba yang tinggal di bona pasogit atau tempat-tempat lain. Hampir di setiap kampong ada kedai yang sering dinamakan kedai tuak atau lapo tuak. Di kota Siantar dan kota-kota kecil lainnya pastilah juga terdapat beberapa kedai tuak. Walaupun tidak hanya tuak dihidangkan di kedai tersebut, namun nama kedai itu justru diambil dari minuman tuak ini.

Bila meminum sedikit, tuak akan mencipta keramahan. Semakin banyak, tuak akan mengganggu kemampuan peminumnya untuk mengerti kejadian-kejadian penting yang berlangsung di sekitarnya. Semakin banyak diminum maka orang tersebut akan secara serius mengalami gangguan koordinasi gerak tubuh, kemampuan pikiran, membuat keputusan dan bicara. Bila semakin banyak, alcohol bisa membuat pingsan, koma dan kematian (Plotnik, 1999:182).

Alasan Minum Tuak

Ada beberapa alasan mengapa orang minum tuak. Alasan itu bisa terungkap secara spontan, bisa diamati dan bisa juga dianalisa sebagai berikut:

1. Menyehatkan. Tuak itu sering dianggap berguna antara lain menyehatkan, menghangatkan dan menyegarkan orang yang meminumnya. Tuak termasuk sumber vitamin, sama seperti buah apel. Dengan demikian tuak juga memberi kekuatan dan bila cuaca dingin, tuak akan menghangatkan. Dalam pesta Batak misalnya seperti pesta adat, minuman ini sering disuguhkan. Selain karena memang minuman ini tidaklah dilarang atau diperbolehkan serta harganya pun bisa terjangkau bila dibandingkan dengan jenis alcohol lain seperti anggur dan bir, minuman ini membuat suasana pesta dan kebersamaan lebih hangat dan bersemangat.

2. Obat Penenang. Tuak juga menjadi semacam obat penenang. Bila sulit tidur, tuak akan membuat gampang tidur. Tuak sering dianggap sebagai obat termasuk obat untuk orang-orang yang kurang merasa enak badannya.

3. Alat sosialisasi. Tuak adalah minuman yang diterima umum sebagai minuman yang menghangatkan grup, pesta bahkan peserta sermon. Tuak membuat sosialisasi di kedai menarik dan menghibur. Para peminum yang berkumpul seringkali mengekspressikan diri dengan ngobrol-ngobrol, main judi, nyanyi-nyanyi dan sekali-sekali bertengkar dengan teman sekedai.

4. Obat stress. Sebagian menggunakan tuak itu sebagai obat stress. Masalah yang terjadi di dalam pekerjaan, di dalam hubungan interpersonal di rumah tangga sering diatasi dengan tuak. Stress membuat mereka susah, tetapi dengan minum tuak, masalah itu bisa dilupakan dan perasaan menjadi enak. Malah, ada kemungkinan bahwa candu dalam alcohol atau hal-hal lain kemungkinan bisa diassosiasikan dengan isolasi dan hubungan interpersonal yang sangat miskin atau kering sehingga obat sakit dan kesepian didapat dari obat-obat terlarang termasuk alcohol. Kemungkinan besar, wanita menjadi alkoholik karena gangguan afektif yang tidak didapatnya di dalam keluarga sedangkan laki-laki yang menjadi alkoholik karena kegagalan dalam hubungan akan cenderung berperilaku antisocial(bdk. Straussner dan Zelvin, 1997: 37). Tuak bisa dijadikan sebagai obatnya.

5. Ritus kedewasaan. Dalam beberapa budaya di luar negeri, minum banyak alcohol merupakan ritus untuk menuju kedewasaan (Straussner dan Zelvin, 1997: 299). Artinya kalau si pemuda telah sanggup minum banyak alcohol, dia sudah bisa diterima sebagai orang dewasa. Di daerah ini, minum tuak juga tanda bahwa dia sudah termasuk orang yang dewasa.

6. Tuak membuat berani. Ada orang yang takut berkelahi atau tampil di muka umum. Maka untuk para penakut, tuak memicu keberanian baik untuk melawan orang lain maupun untuk tampil di depan umum.

Nampaknya, fungsi-fungsi di atas sangat positip. Individu terbantu oleh tuak itu sendiri karena memang tuak ini beralkohol rendah. Namun bila dipelajari dan dilihat dari kenyataan yang ada, tuak itu memberikan efek negatif yang lebih banyak untuk para peminumnya. Secara pelan-pelan dan bertahap tuak atau alcohol lainnya menuntun orang yang meminumnya menjadi seorang alkoholik. Peminum tuak sering terpaku pada alasan minum tuak di atas. Jarang orang melihat efek tuak itu sendiri. Kalaupun dilihat, karena sudah terbuai oleh perasaan enak yang ditimbulkan oleh tuak tersebut, orang tetap bertahan minum tuak. Malah rationalisasi dipakai untuk membenarkan aktivitas minum itu dengan menekankan aspek positipnya. Tetapi benarkah bahwa aspek positip dari minum ini ditekankan?

Orang Amerika telah melihat bahaya alcohol itu sendiri. Karena itu mereka telah mengkategorikan alkoholisme sebagai penyakit. Alkohol adalah penyebab gangguan kesehatan yang ketiga paling berbahaya sesudah kanker dan penyakit jantung. Karena alcohol ini secara signifikan telah berkaitan dengan berbagai masalah pribadi dan social di masyarakat, banyak orang berpendapat bahwa inilah minuman yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan semua minuman atau zat-zat legal dan illegal. Untuk membuktikan itu, mereka menunjukkan persentasi bahaya yang telah disebabkan oleh alcohol sebagai berikut(Plotnik, 1999:183):

90% dari pemerkosaan di kampus berkaitan dengan alcohol oleh pemerkosa bahkan juga pada korban.

68% yang tertuduh sebagai terlibat dalam pembunuh manusia dan 63% pelaku telah menggunakan alcohol.

63% kejadian dimana suami melakukan kekerasan terhadap isteri terlibat alcohol.

46% kematian di jalan raya juga berkaitan dengan alcohol.

50% mahasiswa dan 39% mahasiswi telah terlibat binge (memuntahkan yang dimakan).

35% mahasiswi minum dan mabuk sementara 15 tahun lalu hanya 10%.

11% kecelakaan dalam pekerjaan karena alcohol.

8-21% bunuh tejadi karena alcohol.

7% mahasiswa tingkat 1 berhenti kuliah karena alcohol.

Apa yang terjadi di Amerika mungkin telah terjadi di Indonesia, tetapi karena data-data kita belum terekam dengan baik seperti halnya di Amerika, maka informasi bahaya alkoholik masih sangat terbatas apalagi yang ada kaitannya dengan tuak di daerah kita.

Menjadi Alkoholik

Terbuai oleh enaknya minum tuak, secara pelan-pelan peminum digiring ke alkoholisme. Telah diterima umum di Amerika bahwa alkoholisme adalah suatu penyakit kronis yaitu suatu penyakit yang telah dibentuk melalui beberapa tahapan minum. Artinya, penyakit ini mengikuti tahapan-tahapan tertentu sehingga akhirnya orang tersebut akan disebut alkoholik.

Menurut Pita (Pita: 28-31), para peneliti telah memberikan fase-fase bagaimana seorang peminum bisa menjadi alkoholik sebagai berikut:

1. Fase Pra-alkoholik (Prealcoholic Phase). Pada fase ini minum alcohol sudah mulai dimotivasi secara social. Orang tersebut telah mengalami kesegaran sesudah minum dan sudah mencari-cari berbagai kesempatan untuk minum dan mengalami yang sama. Hubungan antara minum dan menghilangkan stress telah dibuat secara sadar. Karena itu minum telah digunakan untuk mengatasi masalah. Begitulah, fase ini bisa terjadi beberapa bulan sampai dua tahun sehingga toleransi terhadap minuman semakin kuat. Toleransi artinya, orang tersebut harus meminum lebih banyak alcohol untuk mencapai perasaan yang sama.

2. Fase Sakit (Prodromal Phase). Pada fase ini sudah ada tanda-tanda bahwa dia mulai sakit. Hal itu nampak dari fase blackouts, artinya orang tersebut kehilangan ingatan untuk sementara. Hal ini menjadi bukti bahwa dia tidak lagi meminum alcohol sebagai minuman biasa (beverages) tetapi sudah menjadi kebutuhan. Orang tersebut sudah semakin banyak minum sebelum pesta, dan sering menyembunyikan minuman di kamarnya untuk memenuhi kebutuhan minumnya. Minum sendiri ini juga dibuat agar menghindar dari konsekuensi negatif dari orang lain.

3. Fase Krusial (Crucial Phase). Fase ini ditandai dengan kehilangan control atas minuman itu. Orang tersebut memiliki kebutuhan untuk selalu minum. Untuk itu dia membuat rationalisasi atas kebutuhannya untuk minum tersebut. Memang dia sendiri pun sudah merasa bahwa ada sesuatu yang salah tetapi tak bisa menerangkannya. Sering dia merasa berdosa atas kebutuhannya akan minum. Pada fase ini, hidupnya sudah dikontrol dan berpusat pada alcohol. Perhatian dan persahabatan/tanggungjawabnya atas keluarga drastis menurun.

4. Fase Kronik (Chronic Phase). Fase ini ditandai dengan minum pada pagi hari dan mabuk sepanjang hari. Orang tersebut butuh minum untuk bisa berfungsi di pagi hari dan seringkali nampak bahwa orang tersebut tremor bila tidak minum. Alkohol akan menghilangkan tremor dan membuat orang tersebut bisa berfungsi biasa. Sedikit alcohol saja telah bisa membuat dia mabuk. Toleransi alcohol akan semakin meningkat sehingga perlu meminum lebih banyak lagi untuk menghasilkan rasa enak. Proses berpikir sungguh rusak. Proses inilah yang menghasilkan kecemasan dan rasa panic.

Bahaya Alkoholik

Kita melihat dari keterangan di atas bahwa alcohol sungguh menghancurkan hidup individu. Dengan menghancurkan hidup individiu, alcohol juga secara tidak langsung menghancurkan hidup keluarga dan bersama. Jadi walaupun tidak berkadar tinggi, alkohol bila disalahgunakan akan mengakibatkan gangguan-gangguan yang kompleks dalam bidang biologis, psikologis dan social yang kemudian punya pengaruh yang besar untuk masyarakat (Butcher, et.al, 2004: 388). Kekuatan tuak untuk menghancurkan orang terletak dalam kadar alcohol yang rendah serta rasa khusus yang diberikannya kepada si peminum. Secara pelan tetapi pasti, tuak akan membuat si alkoholik kehilangan control atas dirinya sehingga dia tidak akan bisa lepas dari alcohol itu lagi. Dengan kata lain alkoholik tidak akan mampu sembuh dari penyakitnya lagi. Bila tidak diobati si alkoholik akan membutuhkan alcohol lebih banyak secara permanent dan pelan-pelan akan menggiring si peminum ke kematian. Dengan demikian alkoholik adalah penyakit terminal.

Karena bahaya ini, para ahli medis di luar negeri (AMA), telah menerima alkoholik (orang-orang yang sudah tergantung pada alcohol) sebagai penyakit yang membutuhkan pengobatan medis. Sangat umum diterima bahwa orang yang sudah candu dalam hal minum alcohol tidak lagi memiliki control atas alcohol itu dan tidak memiliki kekuatan kemauan (will power) untuk berhenti (Pita, 1995: 23-26).

Tidak heran, alkoholisme didefenisikan oleh World Health Organization (WHO) dan AMA sebagai suatu penyakit kronis, progressif dan dapat diobati dalam mana orang tersebut telah kehilangan control atas minuman tersebut shingga minuman itu telah mengganggu bidang kehidupan yang sangat penting seperti keluarga, hubungan dengan teman-teman, gangguan di sekolah atau kesehatan ( a chronic, progressive, treatable disease in which a person has lost control over his or her drinking so that it is interfering with some vital area of his or her life such a family and friends and school or health.

Atau seperti didefinisikan oleh Jellinek Alkoholisme adalah suatu penyakit sehingga penggunaan alkohol terus walaupun hal itu menyebabkan berbagai masalah di setiap bidang kehidupannya. (Alcoholism is a disease in which the persons use of alcohol continues despite problems it causes in any area of life) (Pita, 1995: 23-26).

Karena kehancuran individu dan bersama yang disebabkan oleh alcohol ini, selain masalah kesehatan fisik (biologis) seperti kerusakan lever dan otak (memori dan mengatasi masalah) ada berbagai masalah yang ditimbulkan oleh alcohol ini antara lain masalah psikologis seperti kelelahan kronis, gampang tersinggung (oversensitivity) dan kesedihan mendalam (depressi) serta masalah social seperti kurangnya perhatian pada keluarga serta berbagai kesulitan dalam keluarga. Dalam hal hidup berkeluarga dan bersahabat ini misalnya, karena orang tersebut sungguh dikurung oleh pikiran minum ini sehingga dia tidak bisa menikmati hidup bersama dengan diri sendiri, keluarga, teman-teman dan karir lepas dari minuman ini sehingga alkohol merusak kesehatan individu, merusak hubungan personalnya dengan orang lain dan merusak kerjanya juga (Butcher, et.al.:385).

Situasi buruk individu di atas diperparah lagi apabila dia juga menggunakan zat-zat lain seperti narkoba. Hal ini juga sangat mungkin. Para ahli (McCrady & Epstein, 1999: 79-80) telah melihat bahwa orang yang telah menyalahgunakan alcohol, juga akan gampang menggunakan zat-zat lain (other substances). Kombinasi yang biasa adalah alcohol dan kokain juga nikotin. Bila hal ini terjadi maka si alkoholik akan sangat terpuruk.

Walaupun efek alcohol ini sedemikian buruk untuk kesehatan individu dan kehidupan bersama, alkoholik di Indonesia belum dianggap sebagai suatu penyakit sehingga para peminum di Indonesia tetap bebas berkeliaran. Dimana-mana di Sumatera Utara, kedai tuak tetap dipenuhi oleh bapak-bapak dan pemuda-pemuda siang dan malam. Dari sekian banyak bapak dan pemuda-pemuda itu, banyak juga orang Katolik yang menjadi pelanggan tetap tuak. Masalah-masalah yang menerpa individu seperti diterangkan di atas tadi terjadi juga untuk orang-orang Katolik. Dengan kata lain, banyak orang Katolik yang telah dililit oleh tali alcohol dan tak bisa lagi lepas. Mereka ini hanya menunggu waktunya untuk dihajar oleh alcohol dan mereka sendiri akan secara tidak sadar telah menderita. Dan karena penderitaan mereka, alcohol ini juga secara tidak langsung telah menyiksa banyak keluarga Katolik sekaligus, keluarga yang tersiksa ini akan mengkontribusikan berbagai pemasalahan social di Gereja dan masyarakat.

Hingga sekarang belum ada tindakan tegas dari pemerintah untuk para peminum berat. Keluarga-keluarga yang melihat anggota keluarganya alkoholik juga tidak bisa bertindak banyak karena tiadanya perangkat ketegasan dari pemerintah mengenai status alkoholik ini. Bila berhadapan dengan keluarga yang alkoholik, mereka seringkali bingung dan menanggung masalah itu sebagai salib yang harus dipikul. Pada hal bila ini diterima sebagai penyakit seperti di Amerika, maka orang tersebut wajib dirumahsakitkan dan harus menjalani rehabilitasi sebelum dilepaskan kembali ke keluarganya.

Refleksi Psikologis

Sebenarnya efek negatif dari tuak untuk kehidupan bersama telah dikenal oleh orang Batak sendiri dari pengalaman. Tuak ini telah memberikan bahaya yang telah disadari oleh para peminumnya seperti terungkap dalam ungkapan berikut yang sumbernya sering tidak jelas:

Nikmatnya TuakSatu gelas tuak, penambah darah

Dua gelas tuak, lancar bicara

Tiga gelas tuak, mulai tertawa-tawa

Empat gelas tuak, mencari gara-gara

Lima gelas tuak, hati membara

Enam gelas tuak, membuat perkara

Tujuh gelas tuak, semakin menggila

Delapan gelas tuak, membuat sengsara

Sembilan gelas tuak, masuk penjara

Sepuluh gelas tuak, masuk neraka

Melihat efek negatif dari tuak ini untuk pribadi peminum, tidak heran begitu banyak keluarga asal alkoholik ini terganggu, dan kalau mereka terganggu tentu masyarakat darimana dan dimana si alkoholik tinggal juga terganggu.

Inilah beberapa gangguan yang mungkin disebabkan oleh si alkoholik

1. Keharmonisan keluarga. Gangguan pertama yang mungkin dialami oleh keluarga adalah keharmonisan keluarga. Orang-orang yang sudah alkoholik tidak lagi peduli terhadap kesejahteraan keluarga tetapi sudah terpusat pada kebutuhan pribadinya untuk minum. Si alkoholik seringkali tidak lagi bisa mengerti mengapa anggota keluarga lain marah atau kecewa terhadapnya, sebaliknya, dia justru meminta pengertian dan dukungan atas kebutuhan minumnya. Bila hal ini tidak terpenuhi, ketegangan, percekcokan akan terjadi. Akibatnya, keluarga tidak lagi bisa hidup harmonis karena memang tidak ada lagi sharing dan usaha untuk saling mengerti. Di keluarga seringkali terjadi kesengsaraan, kegilaan dan neraka.

2. Gangguan ekonomi. Selain ketidakharmonisan, keluarga alkoholik cenderung makin miskin. Banyak uang habis hanya untuk memenuhi kebutuhan minum apalagi kalau orangnya tidak berusaha lagi menambah matapencaharian tetapi justru menghabiskan untuk diri sendiri. Dalam situasi ekonomi yang makin sulit sekarang, banyak bapak dan pemuda tetap mempertahankan cara hidupnya di kedai. Akibatnya, kesulitan ekonomi di rumah tangga sangat dirasakan serta dukungan dana untuk pendidikan anak-anak dan kesehatan sangat minim kalau tidak ada. Maka keluarga sering mengalami ketegangan setiap kali uang tidak tersedia lagi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan bahkan kebutuhan rumah tangga. Anak-anak alkoholik seringkali tidak mampu sekolah karena ketiadaan uang sehingga pendidikan tetap rendah. Bila hal ini terus-menerus terjadi, maka keluarga dan anak-anak akan tetap hidup miskin.

3. Gangguan kekerasan. Karena gangguan-gangguan di atas hubungan interpersonal dalam rumahtangga seringkali tergganggu dengan terjadinya percekcokan, kekerasan bahkan perceraian. Anggota keluarga khususnya anak-anak tentu seringkali menjadi korban kekerasan verbal, fisik, emosional dari sang alkoholik. Mereka akhirnya menderita secara batin, bingung, malu dan bahkan mengalami ketakutan. Sebagian anggota keluarga malah sangat takut tinggal di rumah dan ingin segera merantau walau modal tidak ada. Sementara karena tuak, sang alkoholik semakin mengganas, menggila dan mencipta neraka bila kebutuhan dan keinginan pribadinya tidak terpenuhi. Dalam hal ini, ada bukti cukup kuat (Breakwell, 1998:35) untuk mendukung gagasan popular bahwa alcohol dalam jumlah sedang akan meningkatkan perilaku agresif meskipun memang ada perbedaan besar antar individu yang satu dengan yang lain sejauh mana mereka dibuat lepas kendali oleh alcohol.

4. Gangguan social. Orang yang yang sudah minum tuak, tidak terlalu peduli dengan ide-ide kesuksesan dan isu-isu perkembangan. Mereka terfocus pada minuman. Keterlibatan dalam gereja, social dan masyarakat bisa jadi masih ada tetapi dalam konteks, dia harus tetap memenuhi kebutuhan minumnya. Dia terlebih aktif dan bekerja untuk bisa memenuhi kebutuhan minum. Dengan kata lain, sumbangan yang diharapkan lebih seringkali tidak bisa lagi. Mereka seringkali menjadi model yang kurang baik di masyarakat. Begitu banyak energi mereka sia-siakan dengan hanya menikmati hidup di kedai. Mereka ini sering kali membuat keributan di kampong atau di tempat mereka mabuk.

Bila banyak keluarga alkoholik macam ini, tidak heran akan begitu banyaklah pengalaman negatif seperti ketidakharmonisan dalam keluarga, pemiskinan keluarga dan akhirnya bermuara pada kekerasan dalam rumah tangga.

Telah disadari oleh para ahli bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) itu bersifat siklis. Artinya anak-anak yang telah menyaksikan kekerasan yang dibuat oleh orangtua atau bahkan telah melecehkan mereka kemungkinan besar akan membuat kekerasan dan melecehkan orang lain ketika mereka sudah dewasa. Transmissi intergenerasi dari kekerasan tidak terhindarkan. Hampir kebanyakan orang yang telah menyaksikan atau mengalami sendiri kekerasan di dalam keluarga asal mereka tidak akan dengan sendirinya membuat kekerasan dalam keluarga baru mereka tetapi kemampuan kekerasan untuk menyebar melalui semua cabang keluarga sungguh-sungguh mungkin dan inilah hal yang sangat mengganggu (Brehm, 1993, 388).

Jenis-jenis kekerasan yang dikembangkan itu tentu tidak satu jenis. Hal itu sungguh tergantung pada kondisi pribadi dan lingkungan yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Untuk masyarakat Batak, kekerasan yang sering terjadi itu seringkali tidak terlalu nampak, tetapi dalam kenyataan selalu ada pribadi-pribadi tertentu yang dituduh membuat masalah bagi yang lain. Masalah itu seringkali nampak dalam hal membuat penyakit bagi orang lain. Dalam hal ini, selalu ada kecurigaan, ketidakpercayaan dan akhirnya mengarah pada ketegangan antar anggota masyarakat.

Diharapkan bahwa dalihan natolu sebagai dasar hubungan interpersonal Batak itu akan bekerja untuk menyelesaikan masalah dan ketegangan. Namun dalam praktek, dalihan natolu itu hanya bekerja dalam praktek adat, tetapi fungsinya dalam kehidupan sehari-hari apalagi dalam kaitan dengan hal-hal negatif yang tidak nyata seringkali tidak tersentuh.

Agama yang kiranya meletakkan dasar cintakasih, pengampunan dan saling mendukung kiranya seringkali tidak laku lagi apalagi bagi para peminum. Para peminum jarang mengikuti kegiatan pembinaan Gerejani atau rohani. Mereka lebih menikmati hidup bersenang-senang di kedai tuak dan tak peduli lagi untuk mengikuti acara di Gereja. Bila ketepatan ada yang ke Gereja, agama itu sering mereka pakai untuk menutupi hal-hal yang tidak baik dari perilakunya. Orang yang dituduh misalnya pemelihara begu ganjang, seringkali lebih rajin dibanding dengan orang lain.

Tinjaun Psikologis dan Lahirnya Kejahatan

Dari keterangan di atas nampaklah bahwa individu alkoholik itu egois. Dia tidak peduli dengan keluarga dan anak-anak apalagi orang lain. Dia tidak lagi peduli dengan kemajuan dan kesejahteraan bersama. Orang-orang yang telah menikmati nikmatnya alkhohol khususnya tuak sudah melihat tuak sebagai pusat hidupnya.

Seperti dikatakan di atas, alkoholik itu sangat sensitive, gampang curiga dan cemburu. Dia tidak dengan gampang menerima kemajuan dan kehebatan orang lain. Karena curiga dan cemburu, dia tidak senang kalau orang maju. Maka terjadilah ketegangan diam-diam. Ketegangan diam-diam ini seringkali melahirkan rasa dendam dan maksud jahat untuk orang lain. Rasa curiga ini bisa dibagikan kepada teman-teman senasib di kedai dan di sinilah nanti lahir rencana untuk mengganggu orang yang maju, orang yang baik.

Tatanan moral yang sudah dipatrikan dalam adat tidak lagi dipegang. Suara hati yang ditanamkan dan diperkenalkan Gereja juga tidak befungsi karena tidak pernah diisi dengan prinsip-prinsip Tuhan. Yang ada hanyalah dorongan emosi yang dipicu dan dipacu oleh alcohol. Yang bekerja adalah thanatos seperti ungkapan Freud, yaitu prinsip kematian. Dang di ahu, dang di ho, tumagon ma di begu. Artinya, tidak sama saya, tidak untukmu tetapi lebih baik untuk hantu. Late akhirnya gampang timbul. Late atau kedengkian yang arahnya menghancurkan bahkan membunuh direncanakan dan sering dilaksanakan.

Individu dan masyarakat yang dipenuhi maksud-maksud jahat karena sudah dirusak oleh alcohol mungkin jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun karena keberaniannya untuk bertindak, mereka ini sering kali berpengaruh. Tokoh-tokoh yang dihormati di kedai tuak seringkali lebih didengar kelompoknya daripada tokoh-tokoh Gereja atau masyarakat. Premanisme akhirnya lebih menonjol sementara suara Gereja akhirnya tidak terlalu diperhatikan.

Kadang, alat Negara yang diharapkan bisa lebih berani menegakkan keamanan juga hidup tidak jauh berbeda dari para alkoholik. Tidak jarang alat keamanan sendiri termasuk kelompok peminum tuak ini. Mereka akhirnya tidak bisa bertindak tegas dan adil karena memang kekacauan dan keonaran dibuat oleh kelompoknya. Situasi macam ini sudah lama berlangsung sehingga dimana tuak makin banyak dikonsumsi, disitulah kejahatan lebih banyak timbul. Gereja-gereja yang diharapkan turut memperbaiki situasi tidak bisa juga berbuat banyak karena bapak-bapak yang sudah terbuai oleh enaknya tuak tidak lagi rajin mendengar kotbah-kotbah dan pengajaran yang sebenarnya paling cocok untuk mereka. Kejahatan tetap timbul dan merajalela baik yang sudah berakar kuat di dalam diri individu-individu maupun juga dalam kelompok masyarakat yang dibentuk oleh individu-individu ini.

BAGIAN KEDUA:FENOMENA BEGU GANJANG DAN PERSEPSI ATASNYA

Fenomena Begu Ganjang

Baru-baru ini penduduk Hutaginjang di Kecamatan Pakkat, Kabupaten HUMBAHAS heboh karena warga menuduh seorang bapak memelihara begu ganjang dan dialah dituduh yang menyebabkan matinya warga di kampong-kampung sekitarnya. Untuk membuktikan itu mereka pergi ke Onan Ganjang kepada seorang dukun dan dukun itulah yang mengkonfirmasi bahwa dia memelihara begu ganjang.

Kasus yang kurang lebih serupa terjadi di salah satu desa di Tobasa, yaitu di Desa Lumban Bagasan, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Seorang warga yang sudah tua, EH [70 tahun], dituduh memelihara begu ganjang. EH pernah terlihat menari-nari dengan bertelanjang di halaman rumahnya pada tengah malam. Kejadian ini mendapat ingatan yang makin hidup karena ada warga yang meninggal mendadak serta anak-anak di sana sakit-sakitan. Isu itu diperkuat lagi ketika suatu malam, sekitar pukul 00.00 beberapa bulan lalu, seorang warga memergoki EH bugil dan berlari-lari kecil sembari menari di pekarangan rumahnya. Tak lama berselang, di sebuah dusun lain berjarak 500 meter dari rumahnya, dia lagi-lagi terlihat oleh warga melakukan hal yang sama. Waktu itu dia menari sambil mengelilingi sebuah pohon aren, kata sumber Blog Berita Dot Com.

EH dituduh memelihara Begu Ganjang karena seorang guru meninggal di desa itu dan kematiannya mendadak tanpa penyakit sebelumnya. Beberapa anak-anak juga dikabarkan sering sakit-sakitan. Semua kejadian itu menurut warga adalah aneh dan perlu orang tersebut dicurigai. Mereka ribut, lalu meminta kepala desa menyidang EH. Pertemuan pun digelar. Kala itu EH mengakui bahwa dia memang pernah bugil sambil berlari-lari di halaman rumahnya. Supaya badanku hangat saja, dan aku tidak pernah pelihara begu ganjang, katanya. Namun warga desa tetap tidak percaya. Mereka mengumpulkan uang untuk menyewa seorang paranormal terkenal dari Kutacane, Aceh yang ahli mengenali Begu Ganjang. Paranormal ini masih muda, berusia sekitar 25 tahun, seorang perempuan. Warga berhasil mengumpulkan uang Rp 7 juta untuk dia.

Desa heboh. Sekitar 50 orang personal polisi dari Polsek Laguboti dan Polres Tobasa turun ke sana, Mulai pagi hingga sore hari Desa Lumban Bagasan pun ramai didatangi warga dari sejumlah desa dan kecamatan lain. Di sebuah rumah tetangga EH, sang paranormal bersiap-siap menjalankan ritualnya. Dia meminta EH berhadapan dengannya, disaksikan kepala desa dan beberapa orang saksi. Tapi EH tidak bersedia menemui si orang pintar. Akhirnya paranormal tidak jadi melakukan ritual, dan dia pulang setelah mendapat honor. Dan begitulah hampir setiap tahun kehebohan karena kasus begu ganjang terjadi di kabupaten-kabupaten di Sumut.

Persepsi Orang Batak tentang Begu Ganjang

Keberadaan begu ini menurut salah satu situs orang Batak di internet [www.blogberita.com] diakui karena memang orang Batak mengenal tiga konsep roh, yaitu: Tondi, Sahala dan Begu.

Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.

Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.

Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti oleh orang Batak, yaitu:

Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan mengerikan.

Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat tempat tertentu

Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu marga

Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha, yang walaupun sudah menganut agama Kristen, dan berpendidikan tinggi orang batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka.

Begu ganjang adalah, konon, hantu peliharaan yang bisa disuruh pemiliknya untuk mencari kekayaan, dengan syarat mengorbankan nyawa manusia sebagai tumbal. Begu ganjang; kalau diterjemahkan bebas menjadi hantu panjang. Menurut cerita dari mulut ke mulut, begu ganjang di zaman dulu sengaja dipelihara oleh warga untuk menjaga ladang atau lahan pertanian. Di zaman sekarang fungsi begu ganjang berubah yaitu untuk mencari kekayaan. Si pemilik begu ganjang, konon, harus membunuh seseorang untuk memuluskan niat memperoleh harta itu. Katanya, begu ganjang bekerja pada malam hari khususnya pada jam 24.00 WIB sampai dengan kira-kira pukul 04.00 WIB. Begu Ganjang ini seringkali mengincar wanita yang baru melahirkan. Dalam berbagai kasus, orang yang memelihara begu ganjang sering dituduhkan pada warga pendatang.

Extrasensory Perception (ESP)

Sebagian kecil orang bisa menyaksikan adanya roh dan begu ini. Namun karena tidak bisa banyak orang bisa membuktikannya, penglihatan-penglihatan macam ini sering kali diragukan. Para psikolog atau psikiater gampang menuduh penglihatan macam ini sebagai halusinasi penglihatan dan sering orang tidak mempercayainya secara verbal. Namun demikian, hampir semua individu orang Batak cukup yakin akan adanya begu ini.

Dalam psikologi dikenal Extra Sensory Perception (ESP), yaitu sejumlah pengalaman psikis (psychic) yang berhubungan dengan menerima (perceive) atau mengirim informasi (gambaran-gambaran) diluar proses atau saluran sensori yang normal.

Hampir semua buku yang membahas persepsi dalam psikologi menerangkan bahwa ada empat kemampuan umum dalam ESP ini yaitu telepathy, precognition, clairvoyance dan psychokinesis. Telepathy adalah kemampuan untuk mengirim pikiran-pikiran seseorang kepada orang lain atau membaca pikiran-pikiran orang lain. Precognition adalah kemampuan untuk meramalkan kejadian-kejadian atau mengetahui kejadian sebelum terjadi. Clairvoyance adalah kemampuan untuk mengerti kejadian-kejadian atau objek diluar penglihatan. Psychokinesis adalah kemampuan untuk menguasai benda lewat pikiran misalnya dengan menggerakkan benda-benda tanpa menyentuh mereka. Kekuatan psikis atau ESP ini disebut psi phenomena atau fenomena psi (Plotnik,:138; Moran, 1999).

Setengah penduduk Amerika, Negara dimana penelitian tentang ini dibuat, percaya bahwa ada persepsi ini namun para psikolog masih tetap bergulat untuk membuktikan persepsi ini dengan penelitian yang teruji. Dan sampai sekarang banyak psikolog tetap masih ragu akan ESP karena belum ada dukungan scientific tentang ini karena itu masih banyak dari mereka yang berminat untuk terus mengadakan penelitian tentang ini (Feldman, 2005:132-133).

Perjuangan yang sama tetap hidup di daerah ini. Meskipun belum ada usaha penelitian yang keras secara metodologi seperti yang diadakan di Amerika, isu tentang adanya begu ganjang masih tetap hidup. Lebih jeleknya, efeknya untuk kehidupan bersama kita nampaknya lebih terasa karena banyaknya orang yang tiba-tiba sakit atau meninggal tanpa tahu alasan yang yang pasti. Walaupun demikian efek-efeknya untuk kebanyakan orang tetap menjadi sumber-sumber kecemasan dan ketakutan.

BAGIAN KETIGA:

ULASAN PSIKOLOGIS ATAS TUAK DAN BEGU GANJANG

Pada dasarnya tuak adalah minuman yang menyehatkan bila diminum pada porsi yang tepat. Namun, kita telah melihat bahwa tuak telah sering disalahgunakan dan telah melemahkan banyak individu sehingga mereka tak mampu lagi mengontrol hidup mreka lepas dari tuak. Tuak telah dijadikan sebagai pusat hidup sehingga prinsip Anakhonhi do Hamoraon di Ahu (Anakku merupakan kekayaan bagiku) telah terhapus. Demikian juga nilai-nilai keluarga seperti digariskan di dalam dalihan na tolu serta nilai-nilai Kekristenan seperti ditanamkan oleh Kristus atau kevakuman rohani (Kosmas dalam Media Unika, 2001:1-9) tidak lagi mempengaruhi pola hidup. Banyak individu sekarang berpusat pada diri, ego dan dengan demikian berbagai masalah timbul dalam keluarga sendiri dan masyarakat.

Dengan bangkitnya ego timbullah begitu banyak pikiran dan perasaan yang tidak enak. Sebagian masalah timbul karena sakit hati, tersinggung, salah pengertian. Sebagian lagi karena masalah harajaon (kerajaan) di kampung atau tanah. Banyak masalah terjadi dalam hubungan interpersonal sehingga sering timbul saling curiga, tidak percaya, benci, menghianati yang lain, bersaing secara negatif, cemburu dan lain-lain. Masalah-masalah ini tidak bisa lagi ditangani secara lebih positip tetapi hampir selalu diselesaikan dengan cara yang negatif yaitu dalam semangat tuak atau alcohol.

Memang sebagian besar konflik-konflik batin ini seringkali tidak ditampakkan dan nampak tenang di permukaan tetapi untuk seseorang atau keluarga api terus berkobar dan menyala. Karena itu pula secara diam-diam, orang yang sudah dipenuhi dengan ego ini secara diam-diam mencari penyelesaian dengan menggunakan energi negatif. Kalau keahlian itu tidak ada padanya sering kali hal ini dimintakan kepada orang pintar atau belajar dari orang pintar dan kalau kemampuan itu dia punya, dia akan berusaha mentransfer itu dengan segala usaha dan cara sehingga orang lain yang dianggapnya bersalah akan kena. Dengan kata lain, selain konfrontasi fisik (jarang sekali terjadi), penyelesaian seringkali dibuat dengan cara mistik atau guna-guna termasuklah di dalamnya dengan tenaga begu ganjang.

Praktek marbeguganjang ini sangat sulit dibuktikan tetapi hampir semua orang yakin bahwa cara ini ada dan sangat mengerikan karena itu tidak hanya membuat penyakit aneh-aneh yang tidak bisa diobati dokter tetapi terlebih bisa membuat kematian tiba-tiba sebagaimana telah diceritakan sebelumnya.

Di daerah ini hal ini semakin sulit dibuktikan karena memang kalau orang sakit masih jarang dibawa ke Rumah Sakit. Penduduk di daerah ini masih jarang mengadakan check up atau pemeriksaan yang teratur ke rumah sakit. Karena itu, kematian atau penyakit seseorang sering kali dianggap tiba-tiba dan penyebabnya sering dilemparkan kepada kuasa kegelapan. Padahal mungkin penyebab aslinya ialah karena dia mengidap penyakit yang belum diperiksakan secara medis sebelumnya. Tambah lagi, alat-alat pemeriksaan Rumah Sakit kita di daerah ini masih sangat terbatas. Sering tenaga medis mendiagnose suatu penyakit hanya berdasarkan stetoskop atau interview singkat.

Karena itu sulit sekali membuktikan kasus begu ganjang ini. Sulit sekali juga membuktikan bahwa orang tersebut memelihara beguganjang karena memang tidak bisa dilihat oleh mata dan disentuh oleh tangan. Yang ada adalah bahwa orang yang sakit secara tiba-tiba dan mengalami ketakutan-ketakutan aneh sering secara diam-diam pergi berobat ke orang pintar. Para orang pintar sering memberitahukan bahwa penyakit dan kematian orang tertentu dibuat oleh orang tertentu yaitu par-beguganjang. Orang pintar pun sering tidak menyebut secara langsung orangnya tetapi menunjuk pada ciri-cirinya. Tambah lagi, si korban yang sembuh justru sering diam-diam dan menghindari orang pembuat penyakit dan kematian tersebut.

Situasi macam ini mencipta kebencian baru, sakit hati dan dendam. Rasa sakit hati, dendam melemahkan sistim kekebalan tubuh. Bila hal ini tidak diatasi dengan cara yang positip yaitu dengan mengampuni seperti yang diminta oleh Yesus, maka suatu usaha baru untuk balas dendam akan terjadi. Kondisinya pun semakin lemah dan gampang sakit. Bila memang cara Tuhan tidak dipakai untuk mengatasi masalah ini maka akan ada kemungkinan untuk menggunakan mistik pula untuk membalaskannya atau bahkan dengan agressi, pembakaran atau pembunuhan atas orang yang dituduh par-begu ganjang seperti terjadi di Kecamatan Pakkat, Humbahas dan Palipi, Tobasa tahun 2000. Hukum yang berlaku bagi orang yang tidak mengenal Tuhan ialah mata ganti mata dan gigi ganti gigi.

Orang yang sudah diperlemah oleh alcohol baik secara langsung atau tidak langsung juga akan makin lemah secara fisik dan psikis. Ada kemungkinan, penyakit-penyakit baru pun timbul. Penyakit-penyakit itu antara lain ketakutan akan begu ganjang. Ketakutan-ketakutan ini akan menambah stress dan mungkin akan melemahkan jiwa dan raganya sehingga suatu saat bila kondisinya tidak makin baik dia sendiri karena halusinasinya melihat begu ganjang dan mati atau sakit.

Dengan demikian, isu begu ganjang adalah isu yang cukup pelik apakah itu muncul karena ketakutan dari dalam yang luar biasa sehingga menghasilkan halusinasi begu ganjang atau itu terjadi karena orang lain yang mentransfer energi negatif dalam rupa begu ganjang sehingga membuat orang sakit dan mati tiba-tiba karena ketakutan dan shock?

Sayang sekali orang-orang yang memiliki ESP di Amerika belum bisa menerangkannya kekuatan mereka secara ilmiah. Ada kekuatan itu tetapi bagaimana pembuktiannya secara ilmiah masih tetap dinanti.

Para ahli ini membuat kita makin sadar bahwa ada kekuatan itu dan kekuatan itu masih perlu dipelajari sehingga suatu saat kita makin bisa mengenalinya, kalau bukan karena kita memiliki ESP sekurang-kurangnya karena secara ilmiah bahwa begu ganjang telah terbukti.

Penutup

Tuak telah merusak banyak individu dengan demikian telah merusak banyak mental hidup para peminumnya termasuk orang-orang Kristen. Mental yang rusak ini tidak lagi memiliki kekuatan untuk membangun tetapi merusak.

Mental seperti ini adalah persemaian yang hebat untuk tindakan-tindakan yang merusak termasuk mentransfer energi negatif kepada orang lain. Mental seperti inilah yang terbuka untuk belajar dari yang jahat dan bukan dari Tuhan.

Gereja dan Negara yang bertanggungjawab membangun mental umat dan warganya harus dengan bijaksana menghambat proses perusakan yang dibuat oleh tuak atau alcohol lainnya sejak dini. Kalau terlambat hampir tidak ada gunanya kecuali Negara sudah membuat vonis bahwa alkoholik adalah suatu penyakit yang harus diobati sehingga setiap orang yang telah alkoholik wajib menjalani rehabilitasi sebelum diterjunkan kembali ke masyarakat.

Mungkin ini hanya mimpi tetapi begitulah yang mungkin bisa menolong bila tidak prinsip nikmatnya tuak itu akan tetap merusak individu, masyarakat dan Gereja kita.

Dr. Sirilus Senator Manalu

Biara Kapusin Nagahuta

Pematangsiantar

CURICULUM VITAE

Pastor Sirilus Manalu (Senator Manalu), lahir tgl. 20 Juli 1963, di Hutapinang Pakkat. Selekas menamatkan SMP RK Pakkat, dia melanjutkan sekolah di Seminari Menengah dan Tinggi sejak tahun 1980-1993. S1-nya diselesaikan di STFT St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar dengan judul Skripsi: Paskah Israel Menurut Keluaran 12: 1-28. Dia ditahbiskan imam Kapusin tgl. 10 Juli 1993.

Sejak ditahbiskan, dia ditugaskan di Paroki Saribudolok sebagai pembantu pastor paroki dari tahun 1993-1995 dan kemudian sebagai Sekretaris Propinsi sejak 1995-1997. Dia tinggal di Nagahuta sejak menjabat sebagai sekretaris Propinsi Medan tetapi tetap berkantor di Jl. Sibolga, Pematangsiantar.

Ordo menugaskan dia studi lanjut untuk mengambil Psikologi Klinis di Manila. Tugas itu diembannya sejak Oktober 1997 dengan studi di University of Santo Tomas, Manila dengan mengambil program Masteral dan Doktoral dengan judul Desertasinya: The Effects of Bibblical Prayers on the Trauma Level of the Abused Adolescnts. Tahun 2005 studi itu diselesaikannya dan dia langsung membuka praktek menolong orang sakit mental di Nagahuta, Pematangsiantar. Sejak itu sampai sekarang dia menangani poliklinik mental di biara tersebut sambil memberikan berbagai macam seminar, retret dan bimbingan pribadi kepada keluarga, biarawan-biarawati dan kepada umat Allah.

Kepustakaan:

Breakwell, Glynis M. Coping With Aggressive Behaviour. Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Feldman, Robert S. Essesntials of Understanding Psychology (6th Ed.).McGraw Hill, Boston, 2005.

Kaplan, Harold I. dan Sadock, Benjamin J. Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry (8th Ed.). Williams And Wlkins, Maryland, USA, 1998.

Kosslyn, Stephen dan Rosenberg, Robin S. Psychology: The Brain, The Person, The World. Allyn and Bacon, Boston, 2001.

McCrady, Barbara S. dan Elisabeth E., Epstein (Editors). Addictions: A Comprehensive Guidebook. Oxford University Press, 1999.

Moran, Sarah. Psychics: The Investigators and Spies Who Use Paranormal Powers. CLB, Quadrllion Publishing Ltd., England, 1999.

Pita, Dianne Doyle. Addictions Counseling. The Crossroad Publishing Company, New York, 1992.

Plotnik, Rod. Introduction to Psychology (5th Ed.). ITP, Publishing Company, Belmon, et.al., 1999.

Straussner, S.L.A. dan Zelvin, Elizabeth (editors). Gender And Addictions. Jason Aronson, Inc. New Jersey,1997.

Tumanggor, Kosmas. Isu Begu Ganjang Suatu Fenomena Kevakuman Rohani dalam Media UNIKA Tahun 13 No.36 September-Oktober 2001.

MENCERMATI ISU BEGU GANJANGSebuah Tinjauan Sosio-KulturalSemi-Loka PAK Se-Paroki St. Pius X Aekkanopan

P.Serpulus Tano Simamora, Lic.S.S., OFMCap.

1. Catatan Awal

Barangkali hal yang dinanti-nantikan dari saya pada pertemuan ini adalah: Adong do ulaning dohonon ni pastor on begu-ganjang i? Songondia do tompa ni begu-ganjang i mangihuthon pastor on? Saya yakin bahwa ada orang yang hadir di sini menginginkan bahwa saya maunya mengatakan begu ganjang tidak ada; atau sebaliknya, begu-ganjang ada. Anda akan kecewa nanti karena saya tidak akan menjawab apakah ada atau tidak ada begu-ganjang. Yang hendak saya paparkan ialah pengalaman manusia akan kenyataan roh atau pengalaman manusia akan kerohanian.

Salah satu definisi filsafat atas siapa itu manusia ialah: Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani sekaligus. Itulah hakekat manusia. Yang jasmani dan yang rohani tidak terpisahkan satu dari yang lain. Bila terpisah maka manusia tidak manusia lagi melainkan jasad, mayat, bangkai.

Manusia berbeda dari hewan yang mempunyai tubuh (jasmani) tetapi tidak mempunyai roh. Manusia berbeda dari malaikat yang mempunyai roh tetapi tidak mempunyai tubuh, jasmani. Manusia adalah tubuh yang ber-roh dan roh yang bertubuh. Hal ini tidak berasal dari keterangan iman, agama atau keyakinan seseorang tetapi berdasar dari keterangan akal-budi manusiawi (rasio). Menurut akal sehat itulah kenyataan manusia. Orang yang tak beriman pun akan mengakui itu.

Bila manusia pada hakekatnya adalah makhluk jasmani dan rohani, maka dalam diri manusia terdapat unsur sejajar dari kedua aspek itu. Bila jasmani sehat, kuat, lemah, sakit, maka roh itu juga mengandung kesehatan, kekuatan, kelemahan, kesakitan. Pada dasarnya keadaan antara tubuh dan jiwa itu seimbang, kendati tidak selalu. Karena itu ada motto orang Romawi yang mengatakan: Mens sana in corpore sano (Jiwa [pikiran] yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat).

2. Kenyataan Roh dalam Pengalaman Manusiaa) Hakekat Tubuh (raga, jasmani) dan Roh

Manusia adalah makhluk jasmani dan rohani dan keduanya menyatu utuh agar manusia itu dapat disebut manusia yang utuh. Namun kendati utuh, jasmani atau tubuh berbeda dari roh.

Ciri utama dari tubuh adalah terikat pada ruang dan waktu (spatio-temporal); tampak dan terjamah (visible and touchable) oleh indera manusiawi. Sebaliknya, ciri utama dari roh ialah tak terikat pada ruang dan waktu (aspatial-atemporal); tidak tampak dan terjamah (invisible and untouchable). Karena roh tidak mempunyai tubuh (raga, materi) maka untuk mewujudkan dirinya, memperlihat dirinya, roh membu-tuhkan raga (tubuh, materi). Plato pernah mengatakan tubuh adalah penjara roh. Roh membutuhkan pengantara (medium) untuk merealisir dirinya di dunia.b) Fenomena Psikofisis Luarbiasa (Ekstraordinaria)Baik dari sudut iman maupun dari sudut filsafat diakui bahwa tubuh jasmaniah (raga) dapat mati, sedangkan roh tidak dapat mati (immortal). Karena roh tidak dapat mati, maka dia tetap hidup (abadi). Karena itu, bila ada orang mati, diyakini bahwa hanya tubuhnya yang mati tetapi rohnya tetap ada (entah di mana soal lain!).

Dari sudut pandang kristiani, kenyataan dan pengalaman akan roh sungguh ada. Dan dalam pengalaman orang beriman, baik seperti tertulis dalam Kitab Suci maupun dalam kisah-kisah hidup para orang kudus, terjadi hal-hal yang tidak biasa, yang ajaib, yang tidak bisa diterangkan hanya dari sudut pandang jasmaniah atau keterangan ilmiah dari ilmu-ilmu. Konon, kejadian atau peristiwa seperti ini diyakini sebagai karya roh atau karena roh. Memang, daya atau kekuatan roh yang tak dapat mati dan tak kelihatan itu bisa terwujud dalam dunia pengalaman manusiawi secara luar biasa.

Hal-hal yang luar biasa itu bisa dalam bentuk telepati (telephatia), pandangan terang (clara visio), penglihatan kedua (visio secunda), pengalihan pikiran (trans-missio cogitationis). Telepati (telephatia) adalah fenomena di mana subyek dapat merasakan atau mengetahui obyek yang jauh, yang secara normal tidak dapat kita rasakan. Penglihatan terang (visio clara), mungkin inilah tenung, ialah pengetahuan tentang hal-hal yang tersembunyi. Penglihatan kedua (visio secunda) ialah pengetahuan akan hal-hal di masa depan (ramalan). Pengalihan (pencerapan) pikiran [transmissio cogitationis] ialah kemampuan membaca pikiran orang lain; pengalihan pikiran terhadap pikiran yang dimiliki oleh seseorang.

Semuanya ini adalah gejala atau fenomena psikofisis yang dialami oleh manusia, yang diyakini bersumber dari daya atau kekuatan roh. Tanpa roh hal itu tidak mungkin terjadi.

Selain hal-hal yang disebut di atas masih ada apa yang dinamai dengan spiritisme (spiritismus). Spiritisme adalah sekumpulan gejala (fenomena) yang di dalamnya entah lewat manusia atau hal, dikatakan mempunyai kontak dengan roh-roh orang yang sudah meninggal dunia. Orang yang melaluinya roh-roh itu berkontak dengan dunia (manusia atau hal) disebut pengantara (medium).

Fenomena psikofisis yang luarbiasa ini ditemukan baik dalam pengalaman religius dalam agama maupun dalam pengalaman non-religius di luar agama. Hal-hal yang luar biasa juga terjadi dalam dunia religius seperti tercatat dalam Kitab Suci maupun dalam riwayat hidup santo-santa. Dalam dunia agama (kisah biblis dan santo-santa) itulah yang kita sebut dengan mukjizat. Sedangkan dalam dunia non-agama itulah yang disebut okultisme. Disebut okultisme karena berkaitan dengan hal-hal yang tak kelihatan atau tersembunyi (Lat. occulre-occului-occultus: menutupi, menyembunyikan). Salah satu bentuk okultisme adalah magic. Okultisme berarti upaya menghasilkan kenyataan gaib, ajaib dengan bantuan daya misterius kodrati atau praeternaturalis, yang dimungkinkan oleh ritus (kultus) atau rumus magis. Segala upaya untuk membuat yang tak kelihatan dan tak diketahui (nasib, peristiwa masa depan, segala sesuatu dari orang yang sudah mati) menjadi kelihatan dan diketahui itulah yang terjadi dalam okultisme atau spiritisme.

Lalu apa yang membedakan fenomena psikofisis religius dengan psikofisis dan non-religius ini? Kendati mirip antara fenomena psikofisis luar biasa yang religius dan yang non-religius, terdapat perbedaan fundamental. Dalam fenomena psikofisis religius, penyebab langsung atau tidak langsung adalah Tuhan. Sementara dalam fenomena psikofisis okultisme ialah pemaksaan daya misterius kodrati atau praeter-naturalis yang tidak ilahi untuk tunduk kepada pembuatnya.

c) Dasar Pikiran Cara Kerja Magis

Dasar pikiran dari cara kerja magis sudah ditemukan dalam masyarakat primitif. Pertama, manusia primitif sudah mempunyai pikiran sebab-akibat (hukum kausalitas). Bila terjadi sesuatu pasti ada penyebabnya. Kedua, pikiran penyebab palsu (pseudo-causalitas). Paham ini berkeyanikan bahwa tindakan pada satu bagian sesuatu akan berakibat pada keseluruhan sesuatu itu. Ini menurunkan keyakinan bahwa tindakan pada gambaran atau perwakilan dari sesuatu akan menghasilkan yang sama pada pada obyek yang dimaksud (bdk. dengan penggunaan parsili).

Lukisan yang paling tua dan primitif ditemukan di kalangan masyarakat pemburu. Para pemburu itu menggambar dulu binatang buruan di dinding batu, di gua-gua, lalu gambar binatang itu ditombak atau ditikam. Menurut keyakinan mereka, dengan menombak atau menikam gambar binatang buruan, itu sudah berakibat pada binatang yang akan ditemukan nanti. Dengan melakukan ritus itu, mereka yakin bahwa hasil binatang buruan akan banyak.

Dengan kata lain, prinsip teoretis dari tindakan atau keyakinan magis ialah kepercayaan atau keyakinan akan kemujaraban (efficaxcitas) langsung antara gerak tubuh, kata ritual (mantera) dalam dirinya sendiri. Setiap hal yang magis selalu memadukan antara gerak tubuh dan kata-kata ritual (mantera, tabas). Oleh karena itu, dalam setiap hal yang magis yang paling utama ialah melaksanakan tata aturan (poda atau uhum ni tabasna) secara teliti, persis agar bisa berkhasiat dan mujarab (efektif).

3. Tondi dan Begu menurut Orang Batak Tobaa) Tondi dalam Keyakinan Orang Batak Toba

Paham atau pandangan orang Batak Toba atas alam semesta yakni segala sesuatu yang di jagad raya ini boleh digolongkan dalam apa yang disebut agama alam (natuurgodsdienst). Agama alam ini termasuk dalam kerangka keyakinan animisme.

Dalam keyakinan animisme terdapat dua ajaran atau doktrin dasariah. Doktrin yang pertama ialah bahwa bahwa segala sesuatu yang ada di jagad raya ini memiliki jiwa, roh (anima = jiwa, roh). Doktrin yang kedua ialah bahwa roh atau jiwa yang tinggal (diam) dalam obyek (benda-benda), berkuasa untuk meninggalkan benda-benda itu, sebagai hantu bebas gentayangan, untuk hidup tak bertubuh atau pergi ke tubuh yang lain.

Dalam keyakinan animisme yang paling utama ialah jiwa atau roh itu (anima). Segala sesuatu dirasuki dan dimasuki oleh jiwa atau roh tersebut. Karena itulah, menurut orang Batak Toba segala sesuatu memiliki jiwa (martondi): rumah, cangkul, pisau, periuk, pohon, batu, padi. Tentulah tondi dari hal-hal di atas mempunyai gradasi (tingkatan). Dari segala sesuatu selain manusia tentu padi adalah hal yang memiliki tondi yang paling tinggi, karena padi adalah makanan yang memberi hidup kepada manusia. Sesungguhnya, tondi adalah pemberi daya hidup (Lebenskraft).

Satu keterangan mengenai tondi dalam keyakinan orang Batak Toba adalah sebagai berikut:

Painte so ro dope tondi i tu na di bortian, djolo disungkun Debata do manang aha pangidoanna djala manag dia dipillit tondi i, i do dipasahat Debata gabe bagianna. Debata do maniop tondi ni djolma. Di tingki andorang so sorang dope djolma tu hasiangan on, nunga dipangido hian tu Debata. Ia na denggan dipangido na denggan ro. Di Debata do tondi ni na mangolu dohot na mate dohot na naeng tubu djala di sude halak do adong Debata dohot di nasa na marhosa. Tondi i do manontuhon parngoluon dohot bagian ni djolma. Di na laho djadi djolma i, mangido ma ibana tu Ompunta Mula Djadi taringot di bagianna. Radja molo ninna, saut radja; molo dipangido panangko saut panangko.

Dari kutipan di atas menjadi jelas beberapa hal, antara lain: Tondi berasal dari Tuhan (Debata). Tondi itu adalah kekuatan dan penentu nasib manusia. Karena itu, nasib baik dan buruk ditentukan oleh tondi.

Sesungguhnya, tondi-lah prinsip kehidupan dan kesejahteraan (kesehatan) menurut pandangan orang Batak Toba. Hal itu tampak dalam ungkapan bilamana seseorang mengalami sesuatu yang buruk misalnya: Nunga tinodo ni tondingku i; atau bila orang selamat dari bahaya: Di ahu do tondingku! Maka, bila tondi seseorang meninggalkan tubuhnya, dia akan sakit bahkan mati. Dalam konteks inilah dipahami upacara mangalap tondi. Upacara mangalap tondi dilaksanakan bila tondi seseorang tertahan di tempat tertentu dan meninggalkan orangnya sehingga dia menjadi sakit. Untuk menyembuhkan dia, maka perlu upacara menjemput atau memanggil tondi tersebut.

Mari ma ho, ale tondi ni si adui. Di liangliang pe ho nuaeng manang di hau na paturonsiton, ba sai unang ho lilian disi. Beta hita muli, adong do ingannmu, adong do amangmu dohot inangmu paolooloi ho. Panganonmu pe adong do.... Mulak ma tondim tu dagingmu, tinggal ma na niae na milas na niae na mohop sian pamatangmon. Pir ma tondim neang ma holiholim.

b) Begu dalam Keyakinan Orang Batak Toba

Menurut keyakinan orang Batak Toba kuno, seluruh jagad raya didiami oleh roh-roh alam atau hantu yang berbahaya dan roh yang sudah meninggal, yang mereka sebut begu. Begu, dalam arti sempit, adalah segala roh alam dan orang yang sudah meninggal yang lebih rendah mutu atau tingkatannya. Sedangkan roh alam dan orang yang sudah mati yang lebih tinggi mutu dan tingkatannya yang lebih besar pengaruhnya waktu hidup disebut sombaon.

Begu adalah tondi orang yang sudah meninggal, tetapi tidak berarti bahwa tondi sendirilah yang berubah menjadi begu, melainkan diri yang tidak kelihatan (ada dalam bayang-bayang sesudah kematian) disebut begu. Keyakinan itu terungkap dalam ungkapan: Martondi do na mangolu, marsahala do naung mate.

Dari sini dapat diketahui bahwa ada dua jenis begu, yakni: roh-alam (nature-spirits) dan roh orang mati. Begu dalam arti roh-alam itu antara lain: Pangulubalang, boru-saniang naga (penguasa air), boraspati ni tano (penguasa tanah). Dalam konteks ini, begu boleh disamakan dengan dewa-dewi. Sedangkan begu yang berasal dari roh orang mati mendapat aneka macam nama. Bagaimana roh seorang yang sudah mati menjadi begu dilukiskan oleh PH. L. Tobing, sebagai berikut:

Ia halak panopa mate anggo sintap hasahali mate dape beguna gabe porsimangotan tumondjol dape ibana. Asa molo siar ibana tu hasiangan morpelean dengke saur ma ibana dibahen na pinomparna, dibahen dohot indahan dimpuan. Ia molo mate ma beguna sahali (nari) gabe begu habanghabang ma ibana. I ma simandjadihon sahit tok ni ulu tu djolma manisia, ai dipatudos ma songon na mamasak bosi mamasak porson-tinganna molo na tok uluna; pangonai ni begu sihabanghabang ma i. Dung ni asa mate ma beguna sahali nari, laho ma ibana tu gindjang: Dison ma ahu Ompung Botima ninna. Inda adong ho dison, laho ma ho barang tu dia; beha ma inda mate ma ahu soada adong panganonhu? Botima ninna. Anggo hasudung-anmu adong do patuduhononhu: gabe begu gunung ma ho, asa adong bahen sitopa bosi nasida. Botima ninna Debata. Djadi didjadihon ma tutu begu ni panopa i gabe begu gunung, djadi sai manopai ma ulaonna ganup borngin....

Ia halak na hona begu gunung morbalihan ma matana morpullitan dohot monmonna morgubogubo dohot idjurna mohop pamatangna. Ia somba ni uhumna: asa dibahen ma mombang pitu, sada mombang godang djana mordjarungdjung sada sipitupitu sada sionomonom sada silimalima sada siopatopat sada sitolutolu sada siduadua. Dung ni asa dibuat bulu sangkarair dipiu ma idjuk; dung ni asa dibahen ma sitompion sahundulan songon ragam ni sitompion Debata ma dibahen. Dibuat ma sada manuk batara siang djagar pangase balgana. Dung ni asa dipanggang ma manuk i; dung ni asa dihatahon datu ma i tu begu gunung. Molo na tama roha ni begu gunung i mandjalo somba ni na morsahit inon malum sahitna i. Hape molo so tama rohana mandjalo mate ma na morsahit inon.

c) Lalu, Apakah Ada Begu?

Dari seluruh apa yang kita bicarakan di atas, apakah kita sudah bisa sampai kepada kesimpulan bahwa begu itu ada?

Sebelum menjawab pertanyaan itu masih harus kita pertanggungjawabkan apa itu begu. Kendati sudah diterangkan panjang-lebar di atas mengenai begu, kita belum tahu apa persisnya itu begu.

Sesungguhnya begu adalah personifikasi atau nama dari segala sesuatu yang tidak kelihatan, yang tidak dapat dipahami, yang ditakuti. Hal itu tampak dalam hal-hal berikut:

Cara hidup begu: Konon, menurut keyakinan orang Batak Toba, begu beraktivitas sama seperti manusia beraktivitas. Begu juga berkumpul di pasar, meng-adakan pertemuan atau rapat, tetapi semuanya itu dilaksanakan atau berlangsung pada waktu malam. Cara hidup begu persis terbalik dengan cara hidup manusia biasa, yakni bahwa pada waktu malam mereka beraktivitas dan pada waktu siang mereka tidur. Begu diyakini mempunyai tubuh tetapi yang tidak dapat dipegang, disentuh oleh manusia. Singkatnya, cara hidup begu persis terbalik dari cara hidup manusia yang hidup. Keberadaan begu ada hanya dalam bayang-bayang.

Apa artinya ini? Artinya ialah bahwa cara hidup begu tidak kita ketahui, karena terjadi pada waktu malam (kegelapan). Kegelapan adalah simbol dari segala sesuatu kekaburan, ketidaktahuan, ketakutan. mempunyai tubuh yang tidak dapat disentuh oleh manusia adalah ungkapan yang menunjukkan bahwa keberadaan, bentuk dan wujudnya tidak diketahui oleh manusia. Keberadaan dalam bayang-bayang adalah bahasa untuk yang tidak diketahui, terlihat dan tak teramati.

Penyebab penyakit yang dialami manusia: Dari sudut pandang orang Batak Toba kuno, penyebab penyakit bukanlah virus atau sejenisnya. Penyebab penyakit adalah begu! Yang menyebabkan penyakit epilepsi (sawan, solpot) adalah begu gunung atau begu jumpang. Bisa saja terjadi bahwa seseorang keluar pada malam hari dan menanggalkan pakaiannya. Orang itu mengalami disorientasi, bingung atau bertindak beringas. Karena terjadi pada malam hari, maka orang lain yang melihat kenyataan itu berpikir bahwa orang tersebut pemelihara begu-(ganjang).

Apa artinya ini? Artinya ialah karena orang Batak Toba primitif belum mengenal penyebab sesungguhnya penyakit itu, mereka mengenakannya pada begu: dipastap begu. Padahal, dari segi medis jelas, peristiwa seperti itu hanyalah karena serangan hipotermia biasa. Hipotermia biasa ialah kekakuan pada wajah karena temperatur yang menurun, terpaan angin dingin atau karena stroke kecil pada pembuluh darah di sekitar wajah. Sementara orang yang melepaskan pakaian pada malam hari adalah orang yang kena serangan paradoxical undressing. Ini termasuk, secara medis, gejala hipotermia ekstrim.

Demikianlah, segala sesuatu yang mendatangkan penyakit, bala atau malapetaka yang tidak dapat diketahui dan dikontrol oleh manusia dikenakan kepada begu. Wabah kolera adalah perbuatan begu antuk. Penyakit busung lapar atau lever dengan akibat perut membuncit adalah pekerjaan begu sijunde. Sekarang, karena secara medis sudah kita tahu penyebab penyakit itu, kita tidak mempercayai lagi bahwa itu adalah ulah para begu.

Maka, segala sesuatu yang tersembunyi, tak kelihatan, tak tersentuh, tak dapat diterangkan dengan akal rasional, dan dengan demikian segala sesuatu yang ditakuti, dinamai secara kolektif dan universal oleh orang Batak Toba begu. Johanes Warneck memberi definisi atas begu, yakni: Begu adalah roh orang yang sudah mati, hantu dan setan. Setiap manusia dengan kematiannya menjadi begu. Akan tetapi ada juga begu yang sebelumnya bukan manusia, personifikasi dari kekuatan alam. Setiap begu adalah obyek ketakutan. Tidak ada kaitan antara Tuhan dengan begu. Tuhan tidak disebut begu dan begu bukan Debata.

Monding, konsep tentang orang mati: Menariklah menganilisis kata yang dipakai untuk orang yang sudah mati. Orang yang mati disebut monding. Kata monding berasal dari kata onding (tersembunyi, tidak kelihatan). Orang yang sudah mati tidak berarti dia tiada, habis, melainkan hanya hidup secara tersembunyi dan tak kelihatan. Orang yang menjadi onding itulah yang disebut begu.

Pantulan ketakutan yang dialami manusia: Dalam bingkai kepercayaan animis, yang paling penting dan menentukan ialah jiwa, roh. Segala nasib baik dan buruk manusia ditentukan oleh jiwa atau roh itu. Dalam kepercayaan orang Batak Toba kuno, yang menentukan nasib baik atau buruk adalah tondi atau begu. Seluruh gerak hidup manusia Batak Toba dimotivisir oleh ketakutan terhadap tondi dan begu. Karena segala sesuatu memiliki tondi atau begu, maka segala sesuatu adalah obyek ketakutan: pohon beringin, hutan, sungai, mata air, ular, dlsb. Yang paling menakutkan ialah sesuatu yang tak kelihatan, tak terjamah, tak diketahui. Inilah kecemasan (ketakutan dengan obyek yang tidak jelas; anxiety).

Nama dari segala sesuatu yang tidak dikenal dan diketahui: Dalam kehidupan harian, bila kita tidak mengenal atau mengetahui sesuatu, maka kita katakan: Ai begu aha do on? Kalau suatu barang atau hal tidak bermakna kita rasakan, maka kita katakan: Tu begu aha i? Begu di sini adalah representasi dari yang tidak dikenal, diketahui, yang manfaat atau fungsinya tidak dikenal. Singkat kata, begu adalah segala sesuatu yang tidak dikenal, tidak diketahui, tersembunyi, menakutkan.

Demikianlah keterangan atas begu. Kalau begu tidak dikenal dan diketahui, sebenarnya tidak ada artinya membicarakan begu atau tidak bisa kita pastikan bagaimana sesungguhnya begu. Karena begu termasuk ruang bahasan spiritisme, maka tentang begu, secara ilmiah berbicara, tidak ada yang pasti, karena tentang spiritisme juga tidak ada yang pasti. Yang pasti bagi saya, saya tidak mengakui adanya begu seperti yang diyakini sebagai begu-ganjang oleh kebanyakan orang.

4. Mencermati Isu-isu Begu-Ganjang dalam Masa Krisis

Kasus atau fenomena begu ganjang perlu juga dilihat dalam bingkai krisis yang dialami oleh manusia (Indonesia, Batak). Krisis multi-dimensi di Indonesia juga turut berperan dalam menghangatkan dan membakar isu begu-ganjang. Krisis hidup itu mencakup antara lain: krisis sosio-psikologis, sosio-politis, sosio-ekonomis dan sosio-religius.

a) Sosio-psikologis

Di atas sudah kita katakan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan roh. Hal-hal yang menyangkut tubuh juga menyangkut roh(aniah). Jiwa (psikhe) manusia juga ditentukan oleh tubuh (ketubuhan) manusia.

Krisis multi-dimensi yang dialami oleh bangsa Indonesia akhir-akhir ini membuat juga jiwa (psikhe) banyak dari orang Indonesia sakit (stroke, stress, gila). Maka tidak mengherankan banyak persoalan psikologis menimpa orang Indonesia. Epidemi kesurupan yang melanda anak-anak sekolah di seantero Indonesia adalah buah ketegangan yang dialami oleh para siswa-siswi baik di rumah maupun di sekolah. Epidemi kesurupan itu semakin ditumbuhsuburkan oleh tayangan-tayangan media audio-visual dengan segala tontonan alam gaib.

Manusia Indonesia mengalami banyak kecemasan, ketakutan dan akhirnya ialah pengendapan ketakutan itu dalam psikhe, yang pada akhirnya terungkap dalam segala bentuk manifestasi irasional.

b) Sosio-politis

Mungkin untuk sebagian orang agak aneh mengaitkan isu begu-ganjang dengan politik. Kendati aneh, namun tidak berarti mustahil.

Maraknya isu santet, begu-ganjang, secara kronologis bisa ditelusuri. Isu santet dan begu-ganjang marak setelah era Reformasi. Peralihan antara zaman Orde Baru ke era Reformasi memunculkan hal yang sebelumnya tabu pada zaman Orde Baru sekarang bebas di era Reformasi.

Apa yang terjadi? Pada masa Orde Baru, dengan kekuasaan represif dari pemerintah yang berkuasa, orang tidak leluasa berbuat sesuka hatinya. Orang takut pada pemerintah. Salah satu senjata untuk menghancurkan seseorang yang tidak disukai (musuh, lawan) ialah dengan menuduh seseorang PKI. Bila ada orang atau kelompok orang yang berbuat sesuatu karena didasarkan oleh cacad (stigma) politis PKI, pihak penguasa tidak akan bertindak kekerasan terhadap pelaku. Secara sosio-politis, barang siapa yang dituduh sebagai PKI, maka dia bisa diperlakukan tidak adil. Sesudah zaman Orde Baru, cacad (stigma) politis PKI tidak berdaya lagi.

Pada era Reformasi, orang Indonesia seolah terlepas dari kungkungan yang mencekam dan represif dari penguasa pemerintah. Orang seolah bebas bertindak sesuai dengan keinginannya (lihat betapa maraknya segala bentuk demonstrasi dan pengungkapan tuntutan). Penguasa (pemerintah) seakan-akan tidak berdaya. Sekarang, demokrasi harus ditegakkan (pemerintahan ada di tangan rakyat). Stigma politis PKI tidak mujarab lagi. Untuk menghantam orang yang tidak disukai, stigma baru harus ada. Jadilah santet atau begu-ganjang hadir. Selekas seseorang dituduh parbegu-ganjang, maka dia boleh diusir, rumahnya boleh dibakar bahkan orangnya boleh dibunuh. Konon, isu santet yang beredar di Jawa Timur beberapa tahun yang lalu, ternyata disinyalir, adalah upaya untuk mendiskreditkan para kiyai Nahdatul Ulama di daerah Jawa Timur.

c) Sosio-ekonomis

Persoalan sosio-ekonomis juga tidak terlepas dari isu begu ganjang ini. Kemajuan ekonomi, kemakmuran adalah sesuatu yang didambakan orang secara bersama. Akan tetapi kemajuan ekonomi, kemakmuran tidak dengan serta merta membuat rakyat bahagia. Kerap terjadi kemajuan ekonomi justru melahirkan jurang antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan sosial seperti itu akan mudah memercikkan api konflik. Kesenjangan sosial dengan sendirinya akan melahirkan kecemburuan sosial. Ketika sebagian orang maju, makmur dan bersenang-senang, sebagian orang lagi (sialnya jumlahnya lebih banyak) menderita dan merana, yang timbul ialah krisis relasi sosial.

Dari sekian banyak kasus begu-ganjang, bila dicermati secara kritis, di belakangnya selalu kendati tidak secara jelas dan terang-benderang terdapat motif sosio-ekonomis, politis. Biasanya yang menjadi korban adalah orang kecil (pendatang di suatu kampung, partubu na metmet, dlsb.). Orang kecil itu tidak berdaya secara sosio-politis, tetapi boleh jadi kuat secara sosio-ekonomis (ekonomi baik). Karena terdorong kecemburuan (berbagai hal boleh jadi ada pemicunya), muncullah suatu rancangan yang tak kelihatan (by design). Pada suatu saat tertentu (ada orang sakit di kampung itu, ada kejadian yang tidak umum, ada orang yang mati), rancangan yang tak kelihatan itu langsung menyala yakni: menuduh seseorang sebagai parbegu-ganjang. Tuduhan parbegu-ganjang itu menjadi konstruksi sosial yang mengizinkan orang yang merancang (pribadi atau kelompok) itu bisa bertindak untuk melampiaskan kecemburuan sosial tadi.

d) Sosio-religius