Upload
buihanh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH
DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
M. Ali Ja’far Shidiq
103044128082
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M / 1430 H
KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT FIQH
DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
M. Ali Ja’far Shidiq
103044128082
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Sri Hidayati, M.Ag Kamarusdiana, S.Ag. MH
NIP : 150 282 403 NIP : 150 285 972
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M / 1430 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM KEWARISAN MENURUT
FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 6 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal
al-Syakhshiyah.
Jakarta, 6 Februari 2009
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH, MA (.........................)
NIP. 150 169 102
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………………..)
NIP. 150 285 972
3. Pembimbing I : Sri Hidayati, M.Ag (………………..)
NIP. 150 282 403
4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………………..)
NIP. 150 285 972
5. Penguji I : Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH, MA (………………..)
NIP. 150 169 102
6. Penguji II : JM. Muslimin, MA, Ph.D (………………..)
NIP. 150 312 427
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 Februari 2009
M. Ali Ja’far Shidiq
��� ا ا���� ا�����KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan alhamdulillah, berkat rahmat, hidayah dan inayah
Allah SWT. penelitian yang berjudul “KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM
KEWARISAN MENURUT FIQH DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA” ini
terwujud dalam bentuk skripsi. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis
mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa atas segala
nikmat iman, Islam dan ilmu, serta kesehatan yang senantiasa di anugrahkan kepada
penulis.
Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW. Kepada keluarga dan para sahabatnya yang memberikan
keteladanan bagi kita dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat yang diridhai
Allah SWT. Penulis yakin atas petunjuk-Nya, sehingga beragai pihak berkenan
memberikan bantuan, kemudahan, dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan studi di Program Sarjana (S1) ini, baik dalam bentuk moril maupun
materil. Untuk itu, penulis menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya dan
menghaturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak, baik
yang secara langsung maupun tidak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. beserta
pembantu Dekan dan jajarannya.
2. Ketua program studi Ahwal Syakhshiyah, Bapak Drs. H. Ahmad Basiq Djalil,
SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH. selaku Sekretaris Program Studi
yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH. selaku dosen
pembimbing yang sangat teliti memberikan bimbingan dan motivasinya dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Khususnya dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan bimbingan dan
nasihat dan para karyawan UIN, yang telah memberikan bantuan pelayanan yang
baik selama penulis menyelesaikan studi.
5. Ayahanda (alm) dan Ibunda tercinta yang telah memberikan limpahan kasih
sayangnya dan tiada henti-hentinya memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT.
untuk memohon keberkahan serta kesuksesan bagi anak-anaknya sepajang masa.
Semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada
keduanya.
6. Kakakku tercinta Siti Nurlaila dan suaminya Muhammad Faqih serta anaknya
Ahmad Fadhkhan Suhaimi semoga menjadi anak yang shalih. Juga Paman, serta
keluarga di Losari dan Cirebon yang selalu memberikan bimbingan, motivasi, dan
materinya kepada penulis.
7. Bapak Drs. H. Muhlisin dan keluarga, Bapak Drs. Arif Muchsin Yasin dan
keluarga yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan.
8. Khususnya para guru saya: Kyai Zainal Muttaqien, Kyai Abdul Barri, Nyai
Rosyidah, Nyai Muznah, serta yang lainnya. Juga kawan-kawan Kajian Mingguan
Ikatan Keluarga Besar Alumni (IKBAL) Pondok Pesantren Nurul Huda
Munjul Astana Japura Cirebon di Ciputat: Ubaidillah, Nanang Syairozi, Luqman
Hakim, serta yang lainnya, Presiden IKBAL Cabang Ciputat Masa bakti 2007-
2009 sahabat Abdul Rosyid, S.Psi. dan sahabat Dedi Sya’dallah, SHI. yang telah
banyak membantu dan memberikan inspirasi serta motivasinya dalam penulisan
skripsi ini.
9. Rekan-rekan Peradilan Agama Periode 2003-2008, serta Kepala Masjid Al-
Barokah, Drs. Fakhruddin, MM, Kepala TPA Al-Barokah, K’ Sukesih dan rekan-
rekan pengajar semuanya.
Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih yang setulusnya-tulusnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan bimbingannya,
baik yang telah disebutkan nama-namanya di atas maupun yang tidak sempat
disebutkan namanya. Kepada Allah SWT, penulis memohon semoga mereka
diberikan pahala yang berlipat ganda dan dicatat sebagai amal abadah di sisi-Nya.
Amin ya robbal’alamin.
Jakarta: J a n u a r i 2009 M
Muharrom 1430 H
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 8
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ....................................... 9
E. Sistematika Penulisan .................................................................... 10
BAB II PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM
A. Pengertian Waris ............................................................................ 13
B. Dasar Hukum Waris ....................................................................... 15
C. Rukun dan Syarat pembagian waris ……….………..…………… 19
1. Rukun Waris …………………………..…………….……… 19
2. Syarat Pembagian Waris …………….…………….……….. 20
D. Sebab-sebab dan Penghalang waris ……………………….……. 21
1. Sebab-sebab Waris ………………………..………..…….... 21
2. Penghalang Waris …………………………..…..……..…… 24
E. Ahli Waris dan Bagian-bagian Ahli waris ……..………..…..…... 28
BAB III KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM ILMU WARIS
A. Pengertian Al-Shulhu dan Dasar Hukum Al-Shulhu ..................... 42
1. Pengertian al-Shulhu ............................................................... 42
2. Dasar Hukum al-Shulhu ......................................................... 45
B. Kedudukan Al-Shulhu dalam Fiqh ................................................ 47
1. Rukun Al-Shulhu ................................................................... 47
2. Syarat Al-Shulhu .................................................................... 48
BAB IV PEMBAGIAN WARIS DENGAN AL-SHULHU PERSPEKTIF FIQIH
DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Al-Shulhu dalam Waris menurut Fiqh …….………..…...……... 53
B. Penyelesaian melalui Shulh dalam Hukum Waris di Indonesia .... 59
C. Hikmah Al-Shulhu ……………………………………………… 62
1. Menurut Hukum Islam …………...………………………… 62
2. Menurut Hukum Positif …………………………………….. 64
D. Analisa Penulis tentang Al-Shulhu ................................................ 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 72
B. Saran .............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ……………………………..………………… 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup, mati, dan
kebangkitan kembali di akhirat kelak. Semua tahap itu membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat dengannya,
baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan
orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat, dan
masyarakat lingkungannya. Selama hidupnya, sejak proses bayi, anak-anak, tamyiz,
usia baligh, dan usia selanjutnya, manusia bertindak sebagai penanggung hak dan
kewajiban, baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga negara, dan pemeluk agama
yang harus tunduk, taat, dan patuh kepada ketentuan syari’at dalam seluruh totalitas
kehidupannya.
Demikian juga kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada diri, keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian
juga menimbulkan akibat hukum secara otomatis, yaitu adanya hubungan hukum
yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta
peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara (baitul maal) pun, dalam keadaan
tertentu mempunyai hak atas peninggalan tersebut.
Jadi, dengan meninggalnya seseorang terjadilah proses pewarisan yaitu suatu
proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang
masih hidup.1
Fiqh mawaris sebagai hasil kerja intelektual melalui istinbat atau ijtihad dalam
memahami ketentuan ayat al-Qur’an dan al-Sunnah telah banyak dikemukakan secara
detail oleh para ulama. Akan tetapi perkembangan sosial dan kebiasaan yang terjadi
dan tumbuh dalam kesadaran hukum masyarakat melahirkan beberapa gagasan
pembaharuan dalam pembagian warisan.2
Kenyataan demikian sah-sah saja keberadaannya, karena memang salah satu
karakteristik fiqh adalah terdapatnya khilafiyah atau perbedaaan pendapat diantara
para ulama, apakah itu sebagai hasil istinbath individual atau merupakan kesepakatan
para ulama regional yang sering disebut dengan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif)
seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pada dasarnya hukum kewarisan Islam berlaku untuk semua umat Islam yang
ada di dunia ini, namun corak suatu negara Islam dan kehidupan masyarakat di
negara atau daerah tersebut memberi pengaruh terhadap hukum kewarisan di daerah
atau negara itu. Dan pengaruh tadi dapat terjadi pada bagian-bagian yang berasal atau
dimungkinkannya ijtihad atau pendapat para ahli hukum Islam itu sendiri.3
1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana: 2005), cet. ke-2. hal. 16 2Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 198
3 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet.
VIII, hal. 1
Berbeda dengan hukum-hukum yang lain, Allah memberikan kekhususan
dalam hal kewarisan, yaitu dengan menerangkan secara rinci pembagian harta pusaka
di dalam al-Qur’an dengan tujuan agar tidak terjadi perselisihan antar sesama ahli
waris sepeninggal orang yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi, karena
persoalan waris sering kali timbul menjadi salah satu persoalan krusial dan sensitif
dalam sebuah keluarga.
Dalam sejarahnya, sebelum turunnya ayat-ayat tentang kewarisan di Madinah,
masyarakat jahili dan kelompok muslim pemula masih menerapkan dan
mempertahankan sistem kewarisan yang bercorak patrilineal. Tradisi trabalisme
(kesukuan) masyarakat pada masa itu mengukuhkan hanya orang lelaki yang kuat dan
pandailah serta orang-orang yang memperoleh kehormatan untuk melakukan ikatan
saling waris mewarisi yang akan dapat mempusakai harta orang yang meninggal.
Anak-anak kecil dan kaum wanita tidak diberi hak sedikitpun untuk mewarisi karena
mereka dianggap orang-orang yang lemah, tidak bermanfaat dalam mempertahankan
dan mempertaruhkan kekuasaan suku diantara mereka.4
Menurut tradisi mereka, kaum wanita dianggap sebagai harta warisan. Oleh
sebab itu, mereka tak berhak menerima warisan. Bahkan menurut Syari’at Yahudi,
kedudukan kaum wanita juga tidak baik. Hal ini diungkapkan dalam Jewish
Encyclopaedia yang dikutip oleh Maulana Muhammad Ali dalam bukunya
“Islamologi” adalah sebagai berikut: “Pada saat itu tak dipersoalkan seorang janda
4 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 284
mendapat bagian waris dari harta suami yang meninggal, karena janda itu dianggap
sebagai barang warisan yang harus diserahkan kepada ahli waris......... Demikian pula
tak dipersoalkan tentang anak perempuan bahwa mereka menerima warisan dari ayah
mereka, karena anak perempuan itu dikawinkan oleh ayahnya, atau setelah ayah
meninggal, dikawinkan oleh saudara laki-laki atau kerabat terdekat, dengan demikian,
mereka menjadi harta pusaka dalam keluarga di mana mereka dinikahkan” (En. J,
halaman 583).5
M. Ali Hasan menegaskan dalam bukunya “Hukum Warisan dalam Islam”
bahwa, mereka beranggapan janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap
sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya
sebagaimana dalam suatu riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau menjelaskan:
���� ��� ا���ر ك�� و�تا �ذ ا� ا���نآ� ����� !�" ��نآ ن)", �س%� ا�#$# *���و+ ��% �
��* ر�نآ نإو��� -.%� �/� ��� "!ت��%�6
Artinya : “Bila seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang
perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya pada muka
perempuan tersebut. Hal ini berarti ia melarangnya untuk dikawini oleh
orang lain. Jika perempuan tersebut cantik, terus dikawininya dan jika
jelek ditahannya sampai meninggal dunia dan kemudian dipusakai harta
peninggalannya.”
Akan tetapi, setelah perkembangan Islam sudah semakin maju, aqidah umat
Islam bertambah kuat, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-
5 Maulana Muhammad Ali, Islamologi : Dinul Islam, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah,
1996), cet.V, hal. 820
6 M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakrta: Bulan Bintang, 1996), cet.VI, h.4
lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan
dibatalkan oleh Allah SWT, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an:
���������� ����� ��☺�� ⌧����� ������ !"#$��� ��#%&��$�'(��") * �+,�-�")
����� ��☺�� ⌧����� ������ !"#$��� ./#%&��$�'(��") ��☺� 01�� %24�
))5 "67-⌧8 9 �-:����� �4;)�$=0� >?�
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditentukan.” (Al-Nisa, 4:7)
@A*B�C#D E �� FG�H IJKLMN��))5 O ��⌧8P��� 1Q� �RS�2
�HT"U�Q�V(��
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian
dua anak perempuan”. (An-Nisa, 4:11)
Dalam surat di atas ( al-Nisa, 4:11), ketentuan pembagian ini bukan berarti
sikap pilih kasih berdasarkan jenis kelamin. Akan tetapi, ketentuan ini justru
menunjukkan keseimbangan dan keadilan, karena berbedanya beban dan tanggung
jawab antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan keluarga dan dalam sistem sosial
Islam. Selain itu, agama Islam menghendaki dan meletakkan prinsip adil dan keadilan
sebagai salah satu sendi pembentukan dan pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.7
7 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris. hal. 8
Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang tertera secara kongkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Namun dalam
kenyataannya, masyarakat sering melakukannya dengan cara perdamaian dan tidak
menggunakan ketentuan tersebut.8
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat pada buku II tentang hukum
kewarisan BAB III pasal 183 yaitu “para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya.”9
Meminjam bahasa ushul fiqh, kebiasaan yang terjadi berulang-ulang dalam
masyarakat dan menimbulkan kemaslahatan disebut dengan ‘urf. Kata ‘urf ini seakar
dengan kata ma’ruf yang artinya baik, jika penggunaannya konsisten. Sesungguhnya
tidak bisa dikatakan ‘urf, jika kebiasaan tadi tidak membawa kebaikan atau
kemashlahatan bagi manusia. Secara sosiologis dalam masyarakat sering terjadi suatu
tindakan yang terjadi secara berulang-ulang yang dianggap baik, meskipun kadang-
kadang berbeda dengan ketentuan hukum yang berlaku.10
Oleh karena itu, penulis mencoba membahas bagaimana kedudukan al-shulhu
dalam ilmu waris menurut hukum Islam, dan sebagai perbandingan adalah Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dengan pendapat para ulama, sehingga jelas akan kedudukan
8 Ibid. hal. 198 9Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2004), cet.I, h.
10 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, hal 198
hukum pembagian waris melalui asas perdamaian (shulh) dengan
mengenyampingkan ketentuan nash yang qoth’i.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sebelum pada perumusan masalah, keluasan kajian skripsi ini akan dibatasi
pada suatu tema yang menjadi pusat kajian “Kedudukan al-Shulhu dalam
Kewarisan Menurut Fiqh dan Hukum Islam di Indonesia”. Adapun yang
dimaksud dengan shulh ini adalah jalan perdamaian yang dilakukan oleh ahli
waris dalam menyelesaikan perkara waris. Sedangkan fiqh disini adalah pendapat
para imam mazhab yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik. Dan hukum Islam
di Indonesia adalah hukum yang sudah di sahkan oleh negara dalam hal ini adalah
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari tema tersebut bisa dilakukan peninjauan
dari segi hukum Islam tentang kewarisan sebagai perbandingan.
2. Perumusan Masalah
Hukum waris adalah satu-satunya hukum yang diterangkan oleh Allah di
dalam al-Qur’an dengan sangat rinci, supaya tidak terjadi pertengkaran atau
perselisihan diantara ahli waris. Hukum waris adalah hukum yang qath’i, dimana
setiap kaum muslim wajib menggunakan hukum tersebut, dan apabila tidak
menggunakkannya maka berdosalah dia. Namun belakangan ini di masyarakat
sering terjadi pembagian waris dengan sistim perdamaian (shulh). Dalam
pembagian waris ini tidak menggunakan aturan-aturan yang sudah dijelaskan
dalam al-Qur’an. Dari kasus tersebut, terdapat tindakan menyimpang dari hukum
yang sudah qath’i yaitu dengan menggunakan perdamaian. Artinya tidak ada lagi
bagian 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, 2/3 (furud al-muqaddaroh), akan tetapi mereka
menggunakan pembagian sama rata dari harta yang ditinggalkan itu. Dari
permasalahan tersebut, penulis ingin mengetahui kekuatan hukum tentang
perdamaian (shulh) yang terjadi pada pembagian waris menurut “Perspektif fiqh
dan hukum Islam di Indonesia tentang pembagian warisan dengan konsep al-
shulhu”.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Skripsi yang penulis buat ini, seperti yang telah dibatasi dan dirumuskan di
atas bertujuan “untuk mengetahui konsep fiqh dan hukum Islam di Indonesia dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang penyelesaian waris dengan jalan
perdamaian”.
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini, penulis membagi dua bagian yaitu:
1. Kegunaan teoritis, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam
bidang kewarisan untuk menambah wawasan pengetahuan bidang kewarisan,
khususnya mengenai hukum pembagian warisan dengan cara perdamaian
(shulh).
2. Kegunaan praktis, yaitu dengan hasil penulisan ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi masyarakat, dan dapat dijadikan sebagai motifasi untuk
mendalami ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kewarisan.
D. Metode Penelitian
Adapun metodologi penelitian ini terdiri dari :
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif
dengan mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul
yang diangkat. Adapun dari segi tujuan penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif – Analitis yang bertujuan menggambarkan keadaan sementara dengan
memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-data yang ada.
2. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam tehnik pengumpulan data ini, penulis menggunakan metode
penelitian kepustakaan (library research/ literature study) murni, yaitu sebuah
kajian yang mencari data-data yang diperlukan untuk menjawab masalah
penelitian ini di dalam dokumen atau bahan pustaka.11
Adapun jenis data yang
digunakan adalah jenis data primer dan sekunder. Jenis data primer adalah data
yang diambil langsung dari sumbernya, seperti kitab-kitab klasik (al-Fiqh ala
11 Rianto Adi, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, (Jakarta: Granit, 2004), h. 61
Madzahib al-Arba’ah, Shahih Bukhori, Shahih Muslim) dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Sedangkan jenis data sekunder adalah data yang diambil dari buku-
buku penunjang yang memudahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
3. Teknik Pengolahan Data
Dalam riset kepustakaan ini, penulis membaca dan mempelajari bahan-bahan
tertulis yang berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini. Melalui riset ini
akan terdapat konsep, teori dan definisi-definisi yang akan penulis pergunakan
sebagai landasan berfikir dan analisa dalam proses penulisan.
4. Tehnik analisa Data
Setelah terkumpul data-data yang diperlukan, maka penulis mencoba untuk
menganalisa data yaitu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan.12
Oleh karena data yang diperoleh berupa
data kualitatif, maka analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif atau biasa
disebut dengan analisis isi (content analysis), dengan menggunakan pola pikir
deduktif yang berangkat yang berangkat dari dalil-dalil yang bersifat umum untuk
kemudian dapat ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
5. Teknik Penulisan
12 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1995),
Cet. I, h. 263
Sedangkan teknik penulisan pada skripsi ini, penulis menggunakan teknik
yang biasa digunakan dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini
berpedoman kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007” dengan ketentuan-ketentuan yang
telah diatur di dalamnya dengan pengecualian sebagai berikut :
1. Penulisan ayat al-Quran tidak menggunakan catatan kaki dan sebagai sumber
penulis menggunakan al-Quran yang diterbitkan oleh yayasan Penyelenggara
Penterjemah/ Pentafsir al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia yang
bekerjasama dengan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
2. Kutipan yang berasal dari buku ejaan yang lama ditulis dengan ejaan yang
telah disempurnakan kecuali nama pengarang.
3. Dalam kepustakaan, al-Quran dan terjemahnya ditulis dalam urutan pertama
sebagai tanda penghormatan sebelum sumber-sumber yang lainnya.
E. Sistematika Penulisan
Penyusunan penulisan skripsi ini, penulis menyusun pembahasannya menjadi
empat bab. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
BAB I. Yaitu berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan an perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian
dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.
BAB II. Yaitu membahas seputar waris dalam Islam yang meliputi pengertian
waris dan dasar hukum waris, rukun dan syarat pembagian waris, sebab-sebab dan
penghalang waris, ahli waris dan bagian-bagian ahli waris
BAB III. Yaitu ini membahas tentang kedudukan al-shulhu dalam ilmu waris,
yang meliputi pengertian dan dasar al-shulhu, kedudukan al-shulhu dalam fiqh,
hikmah al-shulhu menurut hukum Islam dan hukum positif.
BAB IV. Yaitu membahas tentang pembagian waris dengan shulh perspektif
fiqh dan hukum Islam di Indonesia, yang terdiri dari pendapat para pakar ilmu waris,
pembagian waris dalam hukum Islam di Indonesia, analisa penulis tentang al-shulhu.
BAB V. Yaitu ini berisi penutup, yang di dalamnya meliputi kesimpulan dan
saran-saran.
BAB II
PEMBAHASAN SEPUTAR WARIS DALAM ISLAM
A. Pengertian Hukum Waris
Hukum kewarisan dalam Islam yang mengatur tentang peralihan harta
seseorang dikenal dengan sebutan “fiqh mawaris”. Lafaz mawaris secara etimologi
adalah bentuk jamak dari kata tunggal “mirats” yang mempunyai arti harta warisan
atau peninggalan mayit.13
Dalam bahasa Arab dikenal dengan nama ilmu faraidh. Faraidh adalah jama’
dari kata fardh yang artinya takdir (ketentuan), sebagai mana firman Allah swt. Yang
artinya sebagai berikut : “separuh dari apa yang kamu tentukan”.14
Menurut Fatchurrachman dalam bukunya “ilmu waris” disebutkan bahwa
lafaz al-faraidh, merupakan jamak dari lafaz faridhah, lafaz faradhiyun diartikan oleh
ulama semakna dengan lafaz mafrudhah yaitu bagian yang telah dipastikan atau
ditentukan kadarnya. Diartikan demikian, karena saham-saham (bagian-bagian) yang
telah dipastikan kadarnya dapat mengalahkan saham-saham yang belum dipastikan
kadarnya.15
13 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustak
Progresisif, 1997), et.Ke-14,h.i
14 Sayyid sabiq, Fiqh sunnah, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1987), juz 14, cet.I, h. 252
15 Fatchurrachman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h.31
Secara etimologi kata al-fardh memiliki beberapa arti, diantaranya adalah
sebagai berikut:16
1. Al-Qath’ yang berarti ketetapan atau kepastian
2. Al-Taqdir yang berarti suatu ketentuan
3. Al-Inzal yang berarti menurunkan
4. Al-Tabyin yang berarti penjelasan
5. Al-Ihlal yang berarti menghalalkan
6. Al-‘Atha’ yang berarti pemberian
Kata waris adalah bentuk isim fa’il dari kata waratsa, yaritsu, irtsan, fahuwa
waritsun yang bermakna orang yang menerima waris.17
Sedangkan Mawarits adalah
jama’ dari mirats, (irts, wirts, wiratsah dan turats, yang dinamakan dengan mauruts)
ialah: “harta peninggalan orang yang meninggal yang diwarisi oleh para
pewarisnya”.18
Menurut Amir Syarifuddin bahwa hukum kewarisan adalah “seperangkat
peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal
16 Komite Fakultas Syari’ah Univ. al-Azhar, Hukum Waris (terjemah) 17 H. Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2007),
h.1
18 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 5
peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup,
yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam”.19
Jadi, pengertian hukum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan yang
mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang
yang mati meninggalkan harta peninggalan, bagaimana kedudukan msing-masing ahli
waris serta bagaimana atau berapa perolehan masing-masing ahli waris secara adil
dan sempurna.20
B. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan
Sumber-sumber hukum yang dijadikan dasar dalam pembagian warisan
adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Sebagai nash yang qoth’i al-Qur’an menghapus ketentuan hukum kewarisan
pada masa jahiliyah dan ketentuan yang berlaku pada masa-masa awal Islam, yaitu
bahwa hanya ahli waris laki-laki dan yang sudah bisa berperang yang mendapat
warisan dari keluarga yang telah meninggal. Tetapi Islam datang menghapus
ketentuan tersebut, bahwa ahli waris laki-laki dan perempuan termasuk didalamnya
anak-anak, masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan bagian yang telah
ditentukan oleh nash. Sebagaimana firman Allah yang tercantum dalam al-Qur’an
surat al-Nisa ayat 7, sebagai berikut :
19 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. Ke-2 h.6
20 M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: IND – HILL, Co, 1984), h. 35
���������� ����� ��☺�� ⌧����� ������ !"#$��� ��#%&��$�'(��") * �+,�-�")
����� ��☺�� ⌧����� ������ !"#$��� ./#%&��$�'(��") ��☺� 01�� %24�
))5 "67-⌧8 9 �-:����� �4;)�$=0� )7: 4 ا�#.�ء(
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. Al-Nisa, 4:7)
Dalam ayat selanjutnya, al-Qur’an menegaskan secara definitif tentang
ketentuan bagian ahli waris yang biasa disebut dengan al-furudh al-muqaddarah atau
bagian yang telah ditentukan oleh nash, dalam al-Qur’an Allah swt berfirman :
@A*B�C#D E �� FG�H IJKLMN��))5 O ��⌧8P��� 1Q� �RS�2
�HT"U�Q�V(�� 9 ��W�X ��*8 ☯* �+,�Z �[I#�X �HT�\�]$A�� ��_`�X ��Q77A ��� ⌧����� O ��a") bc���⌧8
4d�M2!") ��_`�X ���4��� 9 2D"#�&f(") �R1*B� :M`!") ��☺ghi�� j0Mk,��� ��☺� ⌧�����
��a ���⌧8 l%2�� m�� ") 9 ��W�X AP� �*B�D l5P m�� ") =l%2)Ao")")
%`�"#�&)5 2��p+�X i7qV��� 9 ��W�X ���⌧8 =l5� rd"#s�a
2��p+�X j0Mk,��� 9 8�� M7�& :tuUC") m�N#D �thv ))5 �H$w�� B
IJ*8*� ��&�"* IJ*8*� �d-I&)5") xy ��)jobM�� IJ_zD)5 {|��$�)5 I&*B��
�-7$=�� 9 4tx D���X .}�� ~ �� B 0��a P �� ���⌧8 ��☺��� �Q☺��B�2 ) 4ا�#.�ء :
11(
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (Q.S. Al-Nisa, 4:11)
Dan pada ayat selanjutnya Allah menerangkan bagian suami. Jika dia
mempunyai anak maka bagiannya adalah seperdua (1/2), dan jika dia tidak
mempunyai anak maka baginya adalah seperempat (1/4). Dan bagian isteri jika dia
tidak mempunyai anak maka baginya adalah seperempat (1/4), dan jika dia tidak
mempunyai anak maka baginya adalah seperdelapan (1/8). Ayat ini juga mengatur
bagian untuk saudara-saudara pewaris ketika pewaris tidak mempunyai anak.
IJK���") ��� ��� ⌧����� IJK��!")$�)5 ��a AP� �*B�D ��_P�
m�� ") 9 ��W�X ���xL �}_�� m�� ") JK�`�X �%&����� ��☺� s��L���� 9 8�� M7�& :tuUC") .�TC#D
��_�& ))5 5�$w�� 9 �}_��") �%&����� ��☺� A%'$8���� ��a
IJP� �K��D IJ*BP� mM��") 9 ��W�X ���xL IJK��� m�� ") ��_`�X �☺qQ��� ��☺� f*��L���� 9 8��� M7�&
:tuUC") ./#C#7� ��_�& ))5 5H$w�� B ��a") ./�⌧8 r1�"o ]"o#D
N���N`xL ))5 rd)5��$��� =l5� ") ��)5 ))5 rcs�5 �R1*B��X :M`!")
��☺_-�� j0Mk,��� 9 ��W�X O�F#%��xL "6�-�L)5 �� �:�!��
bc_�X j* �xL"6K� G�H i7qV��� 9 8�� M7�& :tuUC") 9m+N#D
�thv ))5 �H$w�� "6I�⌧� ��o �x � 9 4tuUC") s��� ~ �� B E ��")
A���� A���2
Artinya: “Dan bagimu (suami mendapat) seperdua dari harta yang ditinggalkan
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isterimu mempunyai anak, maka
kamu mempunyai seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah ditunaikan
wasiat yang mereka buat, dan sesudah dibayarkan lunas hutangnya. Para isteri
mendapat seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri mendapat seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikannya wasiat yang kamu buat, dan sesudah
dibayar lunas hutangmu. Jika seorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua saudara itu sepereeeeenam harta. Ttapi jika saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam hal sepertiga itu, sesudah
ditunaikan wasiat yang telah dibuat olehnya atau dan sesudah dibayar lunas
hutangnya dengan tidak mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang
demikian sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Nisa, 4:12)
2. Al-Sunnah
Hadis yang menjadi hukum ketentuan pembagian warisan, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari adalah:
Hه�%� اF��اC� DE�!ا أ �Aل ?��9 ا��9� ���� وس�9= 8� ا�#9-:> ا��9� �#� ر;: ا 8 �-�9س 8�
21)رواL ا �Kرى("�� �: "%! H�و�� ر� ذآ�
Artinya : “Dari Ibnu ‘Abbas bahwasannya Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Berikanlah faraidh (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang
21 Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut:
al-Maktabah al-‘Shriyah, 1997), juz. IV, h.2106
berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki
yang terdekat.” (HR. Bukhari)
3. Ijma’ dan Ijtihad
Dalam masalah kewarisan ini peran ulama pun tidak kalah pentingnya,
mereka diminta pendapatnya melalui ijma’ dan ijtihadnya unutk menyelesaikan
masalah yang belum dijelaskan dalam nash-nash yang sharih. Seperti pembagian
Muqasamah (bagi sama) dalam masalah al-Jad wa al-Ikhwah (kakek bersama-sama
saudara), pembagian cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dalam
masalah wasiat wajibah, pengurangan dan penambahan bagian ahli waris dalam
masalah ‘Aul dan Radd, pembagian tsulutsu al-baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika
hanya bersama bapak dan suami atau istri dalam masalah Gharrawain, dan lain
sebagainya.
C. Rukun dan Syarat Pembagian Warisan
1. Rukun Waris
Rukun waris ada tiga, yaitu:22
a. Al-muwarrits (orang yang mewariskan), yaitu orang yang meninggal dunia
atau mayit itu sendiri, baik nyata ataupun dinyatakan mati secara hukum
seperti orang yang hilang dan dinyatakan mati.
22 Syaikh Husain Yusuf Ghazal, al-Mirats ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah Dirasatan wa
Tathbiqon,(Beirut: Daar al-Fikr, 2003), h.3
b. Al-waarits (pewaris), adalah orang yang mempunyai hubungan penyebab
memperoleh kewarisan dengan yang meninggal dunia tersebut (mayit).
c. Al-mauruuts (harta yang diwariskan), yaitu harta yang dipindahkan dari yang
mewariskan kepada pewaris.
2. Syarat Pembagian Warisan
Kematian seseorang akan menimbulkan akibat hukum kepada yang lainnya.
Dan diantara akibat hukum itu adalah kewarisan, adapun syarat-syarat pewarisan
adalah sebagai berikut:
a. Kematian orang yang mewariskan, baik secara nyata ataupun kematian secara
hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian seseorang yang
hilang. Keputusan itu menjadikan orang yang hilang sebagai orang yang mati
secara hakiki, atau mati menurut dugaan seperti seseorang memukul seorang
perempuan yang hamil sehingga janinnya gugur dalam keadaan mati; maka
janin yang gugur itu dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.23
b. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun hidupnya
itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan itu secara hukum
dianggap hidup, karena mungkin rohnya belum ditiupkan. Apabila tidak
diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang mewariskan mati,
seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun; maka diantara mereka
23 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h.259
itu tidak ada waris-mewarisi. Dan harta masing-masing dari mereka itu
dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.24
c. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan. Yang dimaksud
adalah tidak adanya penghalang (misalnya: pembunuh, murtad) atau
seseorang yang menghalangi untuk mendapatkan harta warisan, misalnya:
saudara dari si mayit terhalang karena adanya anak laki-laki dari yang
meninggal.
D. Sebab-Sebab dan Penghalang Warisan
1. Sebab-sebab mendapatkan Warisan
Seseorang tidak mendapatkan warisan dari orang lain kecuali karena salah
satu sebab dari sebab-sebab di bawah ini, yaitu:
a. Nasab atau kekerabatan. Artinya, ahli waris ialah ayah dari pihak yang
diwarisi, atau anak-anaknya, dan jalur sampingnya seperti saudara-saudara
beserta anak-anak mereka, dan paman-paman dari jalur ayah beserta anak-
anak mereka. 25
Karena Allah Ta’ala berfirman:
24 Ibid, h.259
25 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, (Jakarta: Darul Falah,
2003), cet ke-6, h.625
1K��") �d-X�7�� "G�!"#�� ��☺� ⌧����� ������ !"#$���
./#%&��$�'(��") 9
Artinya : “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu
bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya.” (Al-
Nisa: 33).
b. Pernikahan yang shahih. Suatu pernikahan dianggap masih utuh apabila
perkawinan tersebut telah diputuskan dengan talak raj’i, tetapi masih dalam
masa ‘iddah. Sebab pada saat itu, suami masih mempunyai hak penuh untuk
merujuk kembali bekas istrinya yang masih menjalankan ‘iddah, baik dengan
perkataan maupun dengan perbuatan, tanpa memerlukan kerelaan istri dengan
membayar mas kawin baru dan menghadirkan saksi serta wali. Dengan
demikian, hak suami istri untuk saling mewarisi masih tetap ada. Jadi, wanita
yang di talak raj’i hukumnya seperti istri. Mereka masih mempunyai hak-hak
suami istri, seperti hak waris mewarisi antara keduanya manakala salah satu
diantara keduanya ada yang meninggal sebelum selesai masa ‘iddah.26
Karena
Allah swt berfirman:
IJK���") ��� ��� ⌧�����
IJK��!")$�)5 ��a AP� �*B�D
��_P� m�� ") 9 ��W�X ���xL �}_��
m�� ") JK�`�X �%&����� ��☺�
s��L���� 9 8�� M7�& :tuUC")
.�TC#D ��_�& ))5 5�$w�� 9 �}_��") �%&����� ��☺�
A%'$8���� ��a IJP� �K��D IJ*BP�
26 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Terjemah Masykur AB, et.al., al-Fiqh
‘ala al-Madzahib al-Khomsah, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h. 451
mM��") 9 ��W�X ���xL IJK��� m�� ")
��_`�X �☺qQ��� ��☺�
f*��L���� 9 8��� M7�& :tuUC")
./#C#7� ��_�& ))5 5H$w�� B ��a") ./�⌧8 r1�"o ]"o#D
N���N`xL ))5 rd)5��$���
=l5� ") ��)5 ))5 rcs�5
�R1*B��X :M`!") ��☺_-��
j0Mk,��� 9 ��W�X O�F#%��xL
"6�-�L)5 �� �:�!�� bc_�X
j* �xL"6K� G�H i7qV��� 9 8��
M7�& :tuUC") 9m+N#D �thv
))5 �H$w�� "6I�⌧� ��o �x � 9 4tuUC") s��� ~ �� B E ��")
A���� A���2 ) 12: 4ا�#.�ء(
Artinya : “Dan bagimu (suami mendapat) seperdua dari harta yang
ditinggalkan isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isterimu
mempunyai anak, maka kamu mempunyai seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah ditunaikan wasiat yang mereka buat, dan sesudah
dibayarkan lunas hutangnya. Para isteri mendapat seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri mendapat seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan, sesudah ditunaikannya wasiat yang kamu buat, dan sesudah
dibayar lunas hutangmu. Jika seorang mati baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua saudara itu
sepereeeeenam harta. Ttapi jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam hal sepertiga itu, sesudah ditunaikan wasiat yang
telah dibuat olehnya atau dan sesudah dibayar lunas hutangnya dengan tidak
mudharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian sebagai
syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun. (QS. Al-Nisa, 4:12)
c. Wala’, adalah hubungan antara dua orang yang menjadikan keduanya seakan
sudah sedarah-sedaging laksana hubungan nasab. Maka, apabila ada seseorang
yang memerdekakan hambanya, maka dia menjadi maula dari orang yang
dimerdekakannya itu, dan berhak mewarisinya manakala bekas hambanya itu
tidak mempunyai seorang pewarispun.27
Hasanain Muhammad Makhluf berpendapat bahwa wala’ adalah:
A� �ا� �O��8 ع�ر� ا�Pه�نP ا�����/R� و$/ ا� .-S$ا� R/�و ن اP8 ت� �خا وUK ش
.-S� W��X�28ا�C و�ا�! ا�
Artinya: “Kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syari’ antara orang
yang memerdekakan budak dengan budaknya disebabkan adanya
pembebasan budak, atau seseorang dengan seorang hamba lainnya
disebabkan adanya akad muwalah (perjanjian) dan mukhalafah
(sumpah)”.
2. Penghalang Warisan
Dalam hal kewarisan orang atau ahli waris bisa saja tidak menerima bagian
dari harta warisan itu dikarenakan ada penghalang yang menghalanginya untuk
menerima warisan tersebut.
Hajb (terhalangnya waris) itu ada dua macam, yaitu:29
a. Hajb nuqshan, artinya terhalang yang menimbulkan kekurangan bagian,
seperti menghalangnya anak terhadap zauj (suami) dari separuh bagian
menjadi seperempat, dan zaujah (istri) dari memperoleh seperempat berubah
27
Ibid, h. 279 28 Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah, (al-Qahirah:
Lajnah al-Bayan al-‘Araby, 1958), h. 426
29 Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Terj,
(Surabaya: Bina Iman), h. 37
hanya mendapat seperdelapan, serta terhalangnya umm (ibu) dari
mendapatkan sepertiga menjadi hanya mendapat seperenam.
b. Hajb hirman, artinya terhalang yang menimbulkan tidak mendapat bagian
sama sekali. Misalnya kakek yang terhalang memperoleh waris dengan
adanya ayah mayit.
Adapun penghalang atau sebab-sebab yang mengakibatkan seseorang tidak
menerima warisan adalah sebagai berikut :
1. Perbudakan
Para ulama telah sepakat dalam pendapatnya untuk menetapkan
perbudakan itu adalah suatu hal yang menjadi penghalang pusaka mempusakai
berdasarkan adanya petunjuk umum dari suatu nash yang sharih yang menafikan
kecakapan bertindak seorang budak dalam segala bidang.30
Yakni firman Allah
swt. Yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai berikut:
s|"6x E �� �⌧�Q�� �-MI�� �48#7b☺0� �y joM$a�D 9G`�� 5*m⌧~
........... Artinya: Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun…………. (Al-
Nahl, 16:75)
2. Pembunuhan
30 Fatchurrahman, Ilmu Waris, h. 84
Jumhur ulama telah sepakat pendapatnya untuk menetapkan bahwa
pembunuhan itu, pada prinsipnya menjadi penghalang mempusakai bagi si
pembunuh terhadap harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya.31
Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:
�� 8����� أ8 ��S$ ش 8 8WLر ;:Zا � %#A =ل� :Aلس ر�ل!Zا ? �Zا �� ���
�� ��]= ��سو��8 ���W( :ء شاث�� ا�� 32)رواL ا
Artinya: “Dari Umar Bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya RA, berkata:
Rasulullah SAW bersabda “bagi pembunuh tidak berhak menerima
warisan”. (HR. Ahmad)
3. Berlainan agama.
Para ahli fiqh telah sepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang
yang mewarisi dengan orang yang mewariskan,merupakan salah satu penghalang
dari beberapa penghalang mewarisi. Dengan demikian orang kafir tidak bisa
mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang
kafir, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. berikut:
��" ا�O=.� ا��ث��: �ل A=�س و��� �� اZ� ?:- ا�#نأ� �#% � اZ:; ر�W ز 8���سأ8 �
L(33 ا�-�Kرىروا( =.� ا����" ا�Oث��و
Artinya: “Dari Usamah Bin Zaid, dari Nabi SAW, bersabda: Tidaklah
menerima warisan seorang muslim dari orang kafir dan orang kafir
dari orang muslim.” (HR. Bukhari)
31 Ibid, h, 85
32 Imam Ahmad Bin Hanbal, al-Musnad li al-Imam Ahmad Bin Hanbal, (Beirut: Daar al-Fikr,
1991) Juz. I, h. 111
33 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 2112
4. Berlainan Negara
Yang di maksud dengan berlainan negara adalah berlainan atau perbedaaan
jenis pemerintahan antara dua negara. Mengenai berlainan negara sebagai
penghalang pewarisan, para ulama telah sepakat bahwa berlainan negara bagi
orang-orang Islam tidak menjadi penghalang pewarisan.34
Sedangkan ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah menyatakan
bahwa berlainan negara antara dua orang-orang non muslim menjadi penghalang
pewarisan mereka, disebabkan karena terputusnya ishmah (ikatan kekuasaan) dan
tidak adanya hubungan perwalian. Memberikan warisan kepada ahli waris yang
berbeda negara berarti pewaris tersebut memberikan harta warisan kepada
musuhnya atau musuh keluarganya.35
Berlainan negara yang menjadi penghalang pewarisan menurut ulama
Hanafiyah di atas adalah berlainan negara menurut hukum yang berlaku bagi
kedua orang tersebut.
Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa yang menjadi penghalang
pewarisan bagi orang-orang Islam hanya ada tiga, yaitu pembunuhan,
perbudakan, dan perbedaan agama.
34 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 427
35 Fatchurrahman, Ilmu Waris, h. 108
E. Ahli Waris dan Bagian-bagian Ahli Waris
Jika dilihat dari segi bagian-bagian yang diterima, maka ahli waris dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1. Ashhab al-Furudh
Hasanain Muhammad Makhluf menjelaskan bahwa kata furudh merupakan
jamak dari lafadz al-fardh, yang artinya adalah :
36��آ: ا�/ "ثار�!� ��� شرW� ا���م%�.أ
Artinya : “Saham (bagian) yang telah ditentukan oleh syara’ untuk para ahli
waris dalam menerima harta warisan”
Dari pengertian di atas, bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan ashhab
al-furudh adalah ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah
ditetapkan oleh syara’.
Adapun bagian-bagian yang telah ditentukan atau al-furudh al-muqaddarah
dalam al-Qur’an hanya ada enam, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Sedangkan
perinciannya adalah sebagai berikut :
a. Bagian anak perempuan adalah :
1. 1/2 jika seorang diri atau tidak beresama anak laki-laki.
2. 2/3 jika dua orang atau lebih, dan tidak bersama-sama dengan anak laki-
laki.
36 Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah, h. 37
b. Cucu perempuan, berhak menerima bagian :
1. 1/2 jika seorang diri, dan atau tidak bersama dengan cucu laki-laki dan
tidak terhalang (mahjub).
2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan cucu laki-laki serta
tidak mahjub.
3. 1/6 jika bersama dengan anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan
tidak terhalang.
c. Bagian Ibu adalah :
1. 1/3 jika tidak ada anak atau cucu atau dua orang saudara atau lebih.
2. 1/6 jika ada anak atau cucu atau bersama dengan dua orang saudara atau
lebih.
3. 1/3 sisa, dalam masalah gharrawain yaitu apabila ahli waris hanya terdiri
dari suami atau istri, ibu dan bapak.
d. Bagian bapak adalah :
1. 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.
2. 1/6 + sisa, jika ada atau bersama anak perempuan atau cucu perempuan
dari garis laki-laki.
Apabila bapak bersama ibu, maka :
1. Masing-masing menerima 1/6 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.
2. Jika tidak ada anak atau cucu, maka bagian ibu 1/3 dan bapak menerima
sisanya.
3. 1/3 sisa untuk ibu, dan bapak sisanya setelah diambil untuk ahli waris
suami atau isteri.
e. Nenek, jika tidak terhalang berhak menerima bagian :
1. 1/6 jika seorang diri.
2. 1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat
kedudukannya.
f. Kakek jika tidak ada penghalang berhak menerima :
1. 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.
2. 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan dari garis laki-laki
tanpa ada anak laki-laki.
3. 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah,
setelah diambil untuk ahli waris lain.
4. 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak
ada ahli waris. Masalah seperti ini biasa disebut dengan masalah al-jadd
ma’a al-ikhwah (kakek bersama-sama saudara).
g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak ada yang menghalangi maka berhak
menerima bagian :
1. 1/2 jika seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki
sekandung.
h. Saudara perempuan seayah, jika tidak ada yang menghalangi berhak
menerima bagian :
1. 1/2 jika seorang diri dan tidak berssama dengan saudara laki-laki seayah.
2. 2/3 jika dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
3. 1/6 jika bersama dengan seorang saudara perempuan sekandung.
i. Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan yang kedudukannya sama
dan tidak ada penghalang, maka berhak menerima bagian :
1. 1/6 jika seorang diri.
2. 1/3 jika dua orang atau lebih.
3. Bergabung dengan saudara sekandung dan menerima bagian 1/3, ketika
bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah seperti ini biasa
disebut dengan masalah musyarakah.
j. Suami berhak menerima bagian :
1. 1/2 jika tidak ada anak atau cucu dari garis laki-laki.
2. 1/4 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.
k. Isteri berhak menerima bagian :
1. 1/4 jika tidak ada anak atau cucu dari garis laki-laki.
2. 1/8 jika ada anak atau cucu dari garis laki-laki.
2. ‘Ashabah
Lafadz ‘ashabah merupakan jamak dari kata ‘ashib, yang artinya
adalah sebagai berikut :
�� 8[� ونaخHو �أ وض� ا��Fب?Cأ $W ��آ ا�/8 �:�� �ونaخO#% =�H� وةرW� ��م% س� �
�d��أ �ك#8 هO= �ا �ذإ ��آ ا�/W� 8أC?ب�F37وض� ا�
Artinya : “Orang-orang yang tidak mempunyai saham-saham (bagian-bagian)
tertentu, tetapi mengambil bagian yang tersisa setelah diambil bagian
ashhab al-furudh, atau mengambil seluruh harta peninggalan apabila
tidak ada seorang pun ahli waris ashhab al-furudh.”
Mengenai pembagian sisa harta warisan ini, ahli waris yang lebih dekat
hubungan kekerabatannya, maka dialah yang lebih dahulu menerima harta
warisan tersebut. Adapun konsekuensi dari cara pembagian ini adalah ahli waris
‘ashabah yang peringkat kekerabatannya lebih jauh atau berada di bawahnya,
37 Ibid, h. 34
maka dia tidak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut. Dasar pembagian
ini adalah perintah Rasulullah SAW, dalam hadisnya sebagai berikut :
� � D�اE� ا�Fه�أ �8 �ل ا��=A.أ =�س و��� �� اZ� ? اZ!لس ر�لA: �ل �Aس- 8� ا 8�
W(38ودشرواL ا !( �آ ذeو�� "DاE�* ا�Fآ�� �� " ا�Zب/آ
Artinya : “Dari Ibn Abbas ra. berkta : Rasulullah SAW bersabda : berikanlah
harta warisan di antara ahli waris yang berhak berdasarkan al-Qur’an,
maka sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama.” (HR. Abu Daud)
Adapun ahli waris yang termasuk dalam golongan ‘ashabah dibagi menjadi
tiga, yaitu :
a. ‘Ashabah bi al-Nafsi, adalah :
Dalam pengertian ashabah bi al-nafsi, Hasanain Muhammad Makhluf
memberikan penjelasan adalah sebagai berikut :
�d�ي و ذ$W �م% ا�.��j !�� ��:� 8$ !ن��= �%نأ ومe �خhا ووج ا�+إ !رآ�a ا
Fن و إوض�ا�W��وا و =/.�l��� و�آ= ا�/��%% سق�آ!ن ��ن �إ ��آ ا�/ =! Wأ�W� 8
39��آ ا�/وض�ي ا�Fو ذ�م%* سlA�س/إن أ !نn.�� و�ضي ا�Fوذ
Artinya: “Seluruh ahli waris laki-laki, selain dari pada suami dan saudara laki-
laki seibu dan bahwasannya mereka (ahli waris ‘ashabah) mendapatkan sisa
38 Abu Daud Sulaiman al-‘Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar al-Fikr, 1994),
Juz.III, h. 48
39 Muhammad Mahluf, al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah, h. 100
dari ashhab al-furudh apabila harta peninggalan tersebut masih tersisa,
menerima seluruh harta apabila tidak ada seorang pun ahli waris ashhab al-
furudh dan tidak mendapatkan bagian sedikit pun apabila harta peninggalan
tersebut telah terhabiskan oleh ahli waris ashhab al-furudh.”
Adapun orang-orang yang termasuk dalam ‘ashabah bi al-nafsi, adalah
sebagai berikut :
1. Anak laki-laki
1. Cucu laki-laki dari garis laki-laki
2. Bapak
3. Kakek
4. Saudara laki-laki sekandung
5. Saudara laki-laki sebapak
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
7. Anak laki-laki dari saudara sebapak
8. Paman sekandung
9. Paman sebapak
10. Anak laki-laki dari paman sekandung
11. Anak laki-laki dari paman sebapak
Dalam keadaan tertentu, ahli waris ‘ashabah bi al-nafsi dapat menerima
seluruh harta peninggalan, menerima sisa harta peninggalan, atau tidak
menerima sama sekali dari harta peninggalan tersebut.
b. ‘Ashabah bi al-Ghair, yaitu :
Hasanain Muhammad Makhluf memberikan pengertian bahwa ashabah bi
al-ghair adalah :
�/إ �ض "�-��� ?نoأ �آ�" *� :j !/% �إ�lا� �� � !j$ا� p�� :" �/وش�آ �
ةWا� ا�!8 ��آeoن �o��ا�o وةWا��! Xj� ا�#8%;� "�ء. ا�d� 8#ر أ: "و�#jC� و
ا وذ)ب "h خ*hا و���� ا�Pخ*hا و q8 ا#* و���- ا�j#* ا�-8هوW� dآ �و � Wا
�%#8� ?�S #.F�" ر: د���j$S/ �$ �ث�/ "� �-jت ��ر� ?%�!�A و%/
F�� و�ض�����ن $� �a��آ� �o� rا hoن�8�40
Artinya: “Setiap perempuan penerima fardh yang memerlukan orang lain
(saudara laki-lakinya) untuk menjadikan ‘ashabah dan bersama-sama
menerima bagain ‘ashabah itu. Dan mereka itu adalah empat perempuan yang
memiliki bagian setengah apabila sendiri dan dua pertiga apabila lebih dari
seorang, yaitu anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari garis laki-
laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan sebapak. Apabila
ada ahli waris ‘ashabah bi al-nafsi bersama-sama denga salah seorang diantara
mereka, yang sama derajat dan kekuatan kekerabatannya, maka perempuan
tersebut mewarisi secara ‘ashabah, bukan secara fardh. Dan keduanya
mewarisi bersama-sama dengan ketentuan bahagian laki-laki dua bahagian
perempuan.”
40 Ibid, h. 102
Dari pengertian di atas dapat di ketehui bahwa yang termasuk dari ahli
waris ‘ashabah bi al-ghair adalah :
1. Anak perempuan bersama dengan anak laki-laki.
2. Cucu perempuan dari garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki dari
garis laki-laki.
3. Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
4. Saudar perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.
Adapun dasar dari ketentuan pembagian warisan ‘ashabah bi al-ghair
tersebut adalah :
�E��a") O�F#%��⌧8 4d"#s�a 4y����o ☯* �+,�Z") ��⌧8P����X
1V� �RS�2 �HT"U�☯�V(�� ......... B >;?�
Artinya : “………. jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara
laki dan perempuan, Maka bagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. ……….” (QS. Al-
Nisa, 4 : 176)
c. ‘Ashabah Ma’a al-Ghair, yaitu :
Ahli waris yang termasuk dalam ‘ashabah ma’a al ghair adalah seorang
atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung atau sebapak, yang
mewarisi bersama-sama dengan salah seorang atau sekelompok anak
perempuan atau cucu perempuan dari garis laki-laki, manakala tidak ada anak
laki-laki, cucu laki-laki dari garis laki-laki, atau bapak, serta tidak ada
saudaranya yang laki-laki, yang menjadikannya sebagai ahli waris ‘ashabah bi
al-ghair.
Adapun dasar hukum pembagian ‘ashabah ma’a al-ghair ini adalah
pelaksanaan pembagian waris yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW,
sebagai berikut :
� ش �8�+8 ه��-��A س�ل s� ��ل�", خ*أ و ا 8�ا # و8� ا #� �!س!� أ t# �#ا� Xj
�. "!د.$ � ا 8أت وXj ا�#خ*e�و/ �$#" :.s�س: � أ !ل� �خ-أ و!د.$ � 8 ا! �
�%: "uAأ �W8%/ ا���8 �نأ� �ا وذأ �*W� ;� ��ل�" �� �Au#ا� �-:? �Zا �� �u��
�O �س�W. ا ا q# �8 وXj ا�#� #t� =�سو��oا� �o8�� !س� � أ� �#H� "خ*e� ":�� � و
"H-نخ�L� ��ل�", !د.$ � ا 8!ل �H.�هام�د: �!ن aC�ا ا�-" O� 41)رواL ا�-�Kري( =
Artinya : “Dari Huzail bin Syurhabil berkata : Ditanyakan kepada Abu Musa
tentang pembagian pusaka seorang anak perempuan, pembagian anak
perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Jawabnya: untuk
anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Pergilah
(bertanya) kepada Ibnu Mas’ud, tentu dia akan sesuai dengan pendapat saya.
Lalu ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan diceritakan kepadanya keterangan
Abu Musa. Jawabnya: kalau begitu saya tersesat dan tidak menurut
kebenaran. Saya memutuskan tentang itu menurut apa yang diputuskan
Rasulullah SAW. Yaitu untuk anak perempuan seperdua dan untuk anak
perempuan dari anak laki-laki seperenam, sebagai mencukupkan dua pertiga.
Sisanya untuk saudara perempuan. Kemudian kami datang kepada Abu Musa
dan kami ceritakan kepadanya perkataan Ibnu Mas’ud, lalu dia berkata:
41 Ibrahim al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 2105
janganlah kamu bertanya kepada saya selama orang alim (Ibnu Mas’ud) ini
masih berada diantara kamu.” (HR. Bukhari)
3. Dzawi al-Arham
Para ulama faraidh memberikan definisi tentang dzawi al-arham sebagai
berikut :
�] A �S���آ a" و�ضي �j-�42
Artinya : “Setiap kerabat yang tidak termasuk ashhab al-furudh dan tidak
termasuk golongan ‘ashabah”
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa ahli waris yang termasuk
kedalam golongan dzawi al-arham adalah cucu perempuan dari garis perempuan
dan seterusnya ke bawah, cucu laki-laki dari garis perempuan dan seterusnya ke
bawah, anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke
bawah, anak perempuan dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya ke bawah,
anak laki-laki dari saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah, anak
perempuan dari saudara perempuan sekandung dan seterusnya ke bawah, anak
laki-laki dari saudara perempuan sebapak dan seterusnya ke bawah, kakek dari
pihak ibu dan seterusnya ke atas, dan lain sebagainya.
Ada tiga prinsip mengenai cara pembagian warisan kepada dzawi al-arham,
yang kemudian dikenal dengan nama golongan yaitu :
42 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah., h. 446
a. Prinsip al-Qarabah
Adapun yang dimaksud dengan prinsip al-qarabah adalah suatu prinsip
dalam pemberian bagian harta warisan kepada dzawi al-arham, menggunakan
prinsip jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Membagikan harta warisan
kepada dzawi al-arham berdasarkan dekatnya hubungan nasab ini sejalan
dengan membagikan harta warisan kepada ahli waris ‘ashabah, yakni dilihat
dari jihat, derajat, dan kuatnya kekerabatan mereka.43
Prinsip al-qarabah ini dianut oleh fuqaha Hanafiyah, Imam al-Baghawy
dan Imam al-Mutawally (keduanya adalah fuqaha Syafi’iyah) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Kewarisan Mesir.44
b. Prinsip al-Tanzil
Yang dimaksud dengan prinsip al-tanzil adalah menempatkan ahli waris
dzawi al-arham pada kedudukan ahli waris yang menyebabkan mereka
mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris atau mudla bihi. Jika
derajat mereka jauh, caranya digeser naik atau digeser turun menurut
rumpunnya, sampai berhasil mencapai tempat ahli waris mudla bihi untuk
digantikan kedudukannya.45
43 Fatchurrahman, Ilmu Waris, h. 357 44 Ibid, h. 358-359 45 Ibid, h. 3559
Adapun fuqaha yang mengikuti prinsip al-tanzil ini adalah al-Hasan Bin
Ziyad, Abu Nu’aim, dan imam mazhab yang empat, mereka merujuk kepada
riwayat Ibrahim al-Nakhaiy dari Ali Ibn Abi Abdillah :
�# �ل ا��نإ%�w� K����46�ا�o و���$� ���vإ�
Artinya : “Sesungguhnya harta peninggalannya untuk keduanya dibagi tiga,
dua pertiga untuk al-‘ammah dan sepertiganya untuk al-khalah.”
Selain dari riwayat di atas, ada juga penyelesaian yang dilakukan oleh Ali
Ibn Abi Thalib, yaitu :
خ*h ا��#+ �خ*h ا#* وخh ا��#+ �خh ا#* و#* ا�-��+# �#* ا�-#* ل+ ن�نإ47مh ا��#+ ����ا�K وبh ا��#+ ���ا�$و
Artinya : “Bahwa ia menempatkan cucu perempuan dari garis perempuan ke
tempat anak perempuan, anak perempuan saudara ke tempat
saudara, anak perempuan saudara perempuan ke tempat saudara
perempuan, saudara bapak ke tempat bapak dan saudara ibu ke
tempat ibu.”
c. Prinsip al-Rahim
Yang dimaksud prinsip al-rahim adalah membagikan harta warisan
kepada dzawi al-arham berdasarkan kepada rahim (kerabat) secara
keseluruhan. Karenanya mereka yang ada tatkala meninggalnya si pewaris
46 Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Mesir: Daar al-Kitab al-
Araby, 1995), h. 286
47 Ibid, h.287
tidak boleh dibedakan dan tidak boleh diutamakan yang satu dengan yang
lainnya.48
Menurut prinsip ini, maka seluruh ahli waris dzawi al-arham berhak
mendapatkan bagian yang sama. Jadi, apabila dzawi al-arham yang akan
mewarisi itu beberapa orang, maka seluruh harta peninggalan si pewaris
dibagi sama rata diantara mereka, selama mereka mempunyai prinsip umum
yang sama sebagai dzawi al-arham. Prinsip al-rahim ini dianut oleh Hasan Bin
Muyassar dan Nuh bin Dzirah.49
48 Fatchurrahman, Ilmu Waris, h.360
49 Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, h. 289
BAB III
KEDUDUKAN AL-SHULHU DALAM ILMU WARIS
A. Pengertian Al-Shulhu dan Dasar Hukum Al-Shulhu
1. Pengertian al-Shulhu
Kata al-shulhu atau perdamaian merupakan bentuk masdar dari sholaha,
yashlihu, sholhan, yang mempunyai arti “qath’ al-munadza’ah” atau “memutuskan
suatu persengketaan atau perselisihan”.50
Sedangkan arti shulh (perdamaian) menurut syara’ adalah suatu bentuk akad
yang dapat menyelesaikan adanya pertentangan atau perselisihan.51
Mohammad Anwar menjelaskan bahwa arti shulh (perdamaian) menurut
lughat adalah memutuskan pertentangan. Sedangkan menurut istilah ialah suatu
perjanjian untuk mendamaikan orang-orang yang berselisih.52
Wahbah al-Zuhaily pun berpendapat, bahwa shulh menurut bahasa adalah dnA
Sedangkan menurut syara’ adalah suatu akad yang .(memutus pertengkaran) ا��#�ز��
di buat untuk memutus suatu persengketaan atau perselisihan.53
50 Al-Munjid Fi Al Lughah Wal-I’lam, (Beirut: Daar Al-Musyriq, 1986), cet.ke-28, h. 432.
51 Imron Abu Amar, Terjemah Fath Al-Qorib, (Kudus: Menara Kudus, 1983), jilid 1, h. 254.
52 Sudarsono, Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), cet.ke-2, h. 487.
53 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Daarr al-Fikr: Damakus, 2004), Juz
Vi, h. 4330.
Abdul Aziz Dahlan menjelaskan arti perdamaian yaitu memperbaiki,
mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan.54
Selain pendapat di atas, Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam
menerangkan bahwa Shulh (perdamaian) adalah akad perjanjian untuk
menghilangkan rasa dendam, permusuhan atau perbantahan.55
Sedangkan arti shulh menurut kamus hukum adalah kesepakatan
menyelesaikan suatu perselisihan dengan cara damai.56
Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
shulh atau perdamaian adalah suatu akad atau perjanjian yang bertujuan untuk
mengakhiri pertikaian antara dua belah pihak yang sedang bersengketa atau berselisih
secara damai.
Jadi kata shulh atau perdamaian itu merupakan ungkapan yang sudah umum
dikenal oleh masyarakat, yang dalam literatur hukum positif dikenal dengan istilah
dading. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa perdamaian tersebut merupakan
bentuk akad untuk mengakhiri suatu perselisihan, atau suatu akad untuk
menyelesaikan pertikaian secara damai dan saling memaafkan.
Dalam perdamaian perlu adanya timbal balik dan pengorbanan dari pihak-
pihak yang berselisih atau bersengketa, atau dengan kata lain pihak-pihak yang
berperkara harus menyerahkan kepada pihak yang telah dipercayakan untuk
54 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van
Hoeve, 1996), cet.ke-1, h. 740.
55 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), cet.ke-38, h. 319.
56 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet.ke-3, h. 354.
menyelesaikan perkara yang sedang diperselisihkan oleh keduanya agar
permasalahannya dapat diselesaikan secara damai dengan tanpa adanya permusuhan
diantara keduanya.
Dengan demikian perdamaian adalah merupakan putusan berdasarkan atas
kesadaran bersama dari pihak-pihak yang berperkara, sehingga tidak ada kata menang
ataupun kalah, semuanya sama-sama baik, kalah maupun menang.57
Dalam masalah perdamaian ini tidak semua hal dapat diselesaikan secara
damai. Misalnya masalah kekeluargaan, tidak boleh dilaksanakan perdamaian dalam
hal sah atau tidaknya suatu perkawinan, sah atau tidaknya suatu pengakuan sebagai
anak, mengenai hak-hak ketatanegaraan, serta hak warga untuk memilih dan dipilih
menjadi anggota badan perwakilan rakyat, kesemuanya tidak boleh dimasukkan
kedalam masalah perdamaian.
Ada beberapa jenis perdamaian yang dikenal dalam hubungan bermasyarakat
dan bernegara, yaitu:58
1. Perdamaian antara orang Islam dengan non Islam.
2. Perdamaian antara imam dengan kaum bughah (kaum yang tidak tunduk
kepada imam atau kaum pemberontak).
3. Perdamaian antara suami istri.
57 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1993), cet.ke.-2, h. 47.
58 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam.h. 322
4. Perdamaian dalam urusan mu’amalah, yaitu dalam soal jual beli, sewa
menyewa, pertanian, perburuhan, soal piutang dan lain sebagainya.
Dengan demikian sistem perdamaian (shulh) ini sangat penting sekali untuk
mencari way out (jalan keluar) dari bermacam-macam perselisihan dan pertentangan
dikalangan masyarakat. Adapun caranya, bisa dengan kompromi antara kedua belah
pihak atau dikompromikan oleh orang luar (pihak ketiga).
2. Dasar Hukum Al-Shulhu
a. Al-Qur’an
Pada dasarnya perdamaian adalah akad perjanjian untuk menuju sesuatu yang
lebih baik dan mashlahah bagi semuanya. Oleh karena itu perdamaian sangat
dianjurkan oleh hukum Islam. Allah SWT berfirman:
��a") ����\⌧=� �� s�� �HT4��☺$��� O�#7�\�\$���
O�#��bC)��X ��☺gh�ik�& O 8��W�X bc��& ��☺_��M`�a G`��
B���sV(�� O�#7\N�a�X m�fP��� m�II:�� 9m�f�2 "*FG���� �G`��a ��$�)5 ~ �� 9 ��W�X bJ"* ��X
O�#��bC)��X ��☺gh�ik�& ��bM�7$����& O�F#*{�,$�)5") O
0��a P �� k�*� .�T{�,$a☺$��� > � )9: 49 / ا��xCات(
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. Al-Hujurat: 9)
��☺���a ��#4��☺$��� rd"#s�a O�#��bC)��X �HT�& I&*BD"#�s)5
)10: 49 /ا��xCات(....... Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu ……..”
(Q.S. Al-Hujurat: 10)
���a") �d)5s�I��� bc�X��( 8�� ��_�7�& ��#K�%� ))5 �4;�(kb�a x⌧�X ���d-�
��☺hI6`�� �)5 �����D ��☺��"4k�& �☯�XC 9 ⌧X�����")
r6I��s B J"6� b2�5") ¡☯K=�'(�� �⌧G���� 9 ��a") O�#4�,�7�
O�#Ka¢\��") �/�W�X P �� ./�⌧8 ��☺�& ./#7�☺7�� �46����s >;£�
)128: 2 /ا�-��ة (
Artinya: “Dan jika seorang isteri merasa tidak senang kepada suaminya, karena
sikapnya yang angkuh (sombong), maka tidak mengapa atas mereka berdua
membikin satu perdamaian antara mereka berdua, karena perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun itu bertabiat kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu
dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh) maka
sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b. Hadis
Selain dari ayat-ayat diatas, Rasulullah SAW pun memberikan keterangan
dalam sebuah hadisnya yang menerangkan tentang kebolehan melakukan perdamaian
(shulh) adalah sebagai berikut :
���� وس�= Zا �? Zن: أن رس!ل ا+��8 أ��A :jل. 8� ���و 8 �!ف ا���.��8 ا� +E� }�
أ v���م �C�? أو أ�� إ v��!ن ��� ش�و~%= إ^ ش�~� ��م �.���ا�� وا� ��و أ
��ا�� )�CC?ى وa��/ا� L59)روا
Artinya: “Dari Amr bin Auf al-Muzani, berkata; sesungguhnya Rasulullah SAW telah
bersabda: Perdamaian itu dibolehkan antara kaum muslimin, kecuali perdamaian
yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram dan
kaum muslimin terikat atas perjanjian-perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang
mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR.
Tirmidzi)
B. Kedudukan al-Shulhu dalam Fiqh
1. Rukun Al-Shulhu (perdamaian)
Shulh sebagai salah satu benuk perbuatan hukum baru dinilai ada dan
mempunyai konsekuensi hukum bila pada perbuatan itu sudah terpenuhi rukun-
rukunnya. Menurut ulama Hanafiyah, rukun shulh itu hanyalah ijab dan qabul antara
dua pihak yang melakukan akad.60
Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun shulh itu ada empat, yaitu:
1. Adanya dua orang yang melakukan akad.
2. Ijab dan qabul.
3. Persoalan yang diperselisihkan.
59 Imam Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut: Daar
al-Fikr, 1974), juz. II, h. 403
60 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet.ke-3, h.57
4. Bentuk perdamaian yang disepakati.
Apabila shulh ini telah berlangsung, maka ia menjadi akad yang meengikat
yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, dan salah satu dari keduanya tidak
diperbolehkan atau tidak dibenarkan untuk mengundurkan diri dengan jalan
memfasakhnya, tanpa adanya persetujuan atau kerelaan dari pihak lain.61
2. Syarat al-Shulhu
Seperti hukum yang lain, didalam shulh juga terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh orang yang akan melakukan shulh tersebut. Adapun syarat-syarat shulh
ini ada yang berhubungan dengan mushalih bihi (benda/ barang/ objek), dalam hal ini
berupa harta yang di tinggalkan oleh orang yang meninggal, dan ada pula yang
berkaitan dengan mushalih ‘anhu (persoalan yang diperselisihkan) yaitu masalah
pembagian harta dengan perdamaian.
Hukum Islam mengatur, syarat-syarat perdamaian itu diantaranya :62
a. Adanya ijab dan qabul antara dua pihak yang melakukan akad.
b. Objek yang akan di damaikan dapat berupa harta benda, uang ataupun jasa
(kemanfaatan).
61 Sayyid Sabiq, Fiqh sunnah, h. 213
62 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, h. 58
c. Wujud perdamaian itu harus berada dalam lingkup harta benda yang
diperbolehkan oleh agama, tidak diizinkan melakukan perdamaian dalam bentuk
harta yang diharamkan, seperti khamar, babi dan sebagainya.
d. Persoalan yang diperdamaikan itu haruslah milik dan hak dari pihak yang
melakukan perdamaian atau yang berada di bawah kekuasaannya.
e. Persoalan yang mereka perdamaikan itu harus jelas, bukan suatu yang samar-
samar.
f. Persoalan yang diperdamaikan harus berbentuk materi yang punya nilai atau
dapat dinilai (bermanfaat).
Wahbah al-Zuhaily dalam bukunya al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh,
berpendapat bahwa syarat yang harus ada dalam akad perdamaian adalah:63
1. Shighat yaitu ucapan ijab dan qabul antara dua orang yang melakukan perdamaian
(shulh).
2. Orang yang melakukan akad (al-mashalih).
Kemudian bagi para pihak yang melakukan perdamaian (shulh) harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu :64
a. Berakal sehat
63 Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, h. 4340
64
Ibid, h.4340 - 4341
Tidak sah suatu perdamaian yang dilakukan oleh orang gila atau anak-anak
yang belum berakal yang belum bisa membedakan antara yang baik dan yang
tidak baik (mumayyiz). Tidaklah disyaratkan supaya pihak yang berakad itu
sudah baligh, dan oleh sebab itu perdamaian yang dilakukan oleh anak-anak
pada bidang yang boleh ia bertasharruf diperbolehkan jika hal itu
mendatangkan manfaat baginya, atau tidak mengakibatkan mudharat
kepadanya.
b. Pihak-pihak yang melakukan shulh (perdamaian) tidak boleh berusia belum
dewasa, baik keduanya atau salah satu pihak, kalau sekiranya perdamaian
yang akan mereka lakukan berkaitan dengan persoalan yang menimbulkan
bahaya atau kerugian.
c. Pelaksanaan shulh dalam lapangan yang berkaitan dengan keharta bendaan
pada anak-anak yang masih kecil mestilah dilakukan oleh walinya, seperti
ayahnya atau datuknya, atau orang yang memeliharanya.
d. Salah satu pihak yang melakukan akad itu bukanlah orang yang murtad.
Syarat yang terakhir ini dikemukakan oleh kelompok Hanafiyah, sedangkan
jumhur ulama tidak memakai persyaratan ini.
3. Al-Mushalih ‘Alaih atau disebut juga dengan Badal al-Shulh, yaitu sesuatu yang
menyempurnakan suatu akad. Adapun syarat badal-alshulh adalah:
a. Bahwa ia harus berbentuk harta.
b. Harta tersebut mempunyai nilai dan dapat diserah terimakan.
c. Bahwa ia (harta) adalah milik dari orang yang melakukan akad.
d. Harta tersebut dapat diketahui secara jelas sekali oleh kedua belah pihak.
4. Al-Mashalih ‘Anhu, syaratnya adalah:
a. Bahwa ia termasuk dari hak manusia, yang boleh di’iwadhkan (diganti)
sekalipun berupa harta atau hukuman qishash.
b. Bahwa ia adalah hak dari kedua belah pihak, jika bukan maka batallah akad
tersebut.
c. Bahwa ia adalah hak yang tetap ketika akad berlangsung.
Dalam shulh pun ada hal-hal atau perkara yang dapat membatalkan
perdamaian, diantaranya adalah:65
1. perkataan yang membatakan perdamaian yang diucapkan oleh salah satu
orang yang berakad. Dalam hal ini qishash tidak termasuk kedalam perkara
yang dapat di damaikan.
2. menurut Abu Hanifah, terbatalnya suatu kontrak perdamaian ialah
berpindahnya orang murtad kenegara lain (negara orang kafir), atau orang
yang terlibat dalam kontrak mati murtad.
65 Ibid, h. 4366
3. pemulangan dengan cara khiyar ‘aib (cacat) atau khiyar ru’yah. Dengan
pemulangan itu, maka batallah kontrak tersebut.
4. salah satu dari yang berakad merusak barang atau benda sebelum habis
masa kontrak atau jatuh tempo.
Syaikh Muhammad bin Qosim al-Ghazziy berpendapat dalam kitabnya Fath
al-Qarib al-Mujib bahwa shulh itu harus disertai dengan adanya suatu ikrar atau
pengakuan orang yang di dakwa atas barang yang di dakwakan dalam beberapa harta
benda.66
66 Syaikh Muhammad bin Qosim al-Ghazziy, Fath al-Qarib al-Mujib. Penerjemah A. Hanafi
Ibriy, (Surabaya: Tiga Dua, 1994), h. 39.
BAB IV PEMBAGIAN WARIS DENGAN SHULH PERSPEKTIF FIQH
DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. Al-Shulhu dalam Waris menurut Fiqh
Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa al-shulhu dalam bahasa Arab berarti
putus pertengkaran. Dalam pengertian syara’ (undang-undang) shulh adalah satu
perjanjian yang dibuat untuk menyelesaikan perselisihan.67
Pembahasan mengenai pembagian waris dengan cara shulh berhubungan erat
dengan macam-macam hak. Karena permasalahan hak ada yang bisa diselesaikan
dengan perdamaian dan ada yang tidak bisa diselesaikan dengan perdamaian.
Dalam kajian hukum Islam hak terbagi kepada beberapa kategori, yang
berasal dari dua kategori umum yaitu:68
1. Hak Allah yang disebut juga dengan hak umum adalah hak-hak yang
merupakan hak Allah dan hak umum yang bilamana dilanggar akan merusak
67 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Damaskus: Daar al-Fikr, 2004), Juz VI,
h. 4330 68 H. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Kencana, 2004), cet ke-2. h. 341
hubungan seseorang dengan Allah, atau hubungannya dengan orang lain,
dan bisa menggoncang stabilitas ketenteraman orang banyak.
2. Hak hamba atau hak perorangan adalah hak-hak yang bilamana dilanggar,
akan merugikn diri perorangan yang bersangkutan, tidak merugikan orang
lain.
Pada prinsipnya, semua hukum yang diturunkan oleh Allah adalah hak Allah
dalam arti wajib ditaati. Adanya pemisahan kategori tersebut adalah dalam rangka
pemisahan atau membedakan antara hukum yang cara penyelesaiannya terdapat jalan
alternatif selain dari hukum yang tertulis itu, dan hukum yang cara penyelesaiannya
tidak terdapat jalan alternatif, dengan kata lain harus mengikuti ketentuan hukum
yang sudah ada dalam nash.
Dalam masalah kewarisan, timbul pertanyaan, apakah hak seseorang untuk
mewarisi ahli warisnya yang meninggal termasuk kategori hak Allah atau hak
hamba?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, H. Satria Efendi yang menukil
pendapatnya Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya ushul al-fiqh beliau
menegaskan bahwa hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan ahli warisnya
yang meninggal dunia termasuk dalam kategori hak hamba atau hak perorangan
secara murni. Beliau menyejajarkan hak untuk mewarisi dengan hak untuk menagih
atau menerima piutang dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan
pemilikan harta.69
Setelah menegaskan bahwa hak mewarisi adalah hak hamba secara murni,
Abu Zahrah menjelaskan lebih lanjut bahwa: “Melanggar hak hamba adalah sebuah
kezaliman. Allah tidak menerima taubat seseorang yang memakan hak hamba,
kecuali jika yang bersangkutan membayar hak itu kepada pemiliknya atau digugurkan
oleh pemilik atau memaafkannya. Hak semacam ini tidak lain adalah untuk
memelihara kemaslahatan perorangan. Oleh karena itu, hak seperti ini bisa
digugurkan oleh pemilik hak.70
Berdasarkan keterangan Abu Zahrah tersebut, maka pembagian harta warisan,
bilamana setiap ahli waris secara rela membaginya dengan cara kekeluargaan atau
perdamaian sesuai dengan kesepakatan setiap pihak yang terkait. Bahkan,
berdasarkan hal tersebut, adalah sah bilamana ada diantara ahli waris yang merelakan
atau menggugurkan haknya dalam pembagian harta warisan itu untuk diserahkan
kepada ahi waris yang lain.
Imam Syafi’i berpendapat dalam kitabnya al-Umm bahwa “apabila meninggal
seseorang dan ahli warisnya adalah wanita atau anak atau kalalah (tidak
meninggalkan ayah dan anak), kemudian para ahli waris mengadakan shulh setelah
69 Ibid. h. 342 70 Ibid, h, 342
mengetahui bagian masing-masing. Dan mereka saling merelakan. Maka shulh itu
boleh dilakukan.71
Selanjutnya Imam Syafi’i menegaskan bahwa asal shulh itu adalah seperti
kedudukan penjualan. Apa yang boleh pada penjualan, maka boleh pada shulh. Dan
apa yang tidak boleh pada penjualan, maka tidak boleh pada shulh.
Aل�Pا� "�$: :"��ز�d: ا�- "�ز� " jو�{: ا� � �n�" �� n�" j�72{: ا�
Artinya: “apa yang boleh dalam jual beli maka boleh pada shulh, dan apa yang tidak
boleh dalam jual beli maka tidak boleh pula dalam shulh.”
Ibnu Rusyd menyatakan dalam kitabnya “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtashid”, bahwa kaum muslimin telah sependapat tentang kebolehan shulh
(perdamaian) dalam hal pengakuan. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang
kebolehannya atas pengingkaran.73
Yaitu, bahwa seseorang menggugat orang lain
tentang suatu materi atau hutang atau manfaat kemudian si tergugat ingkar,
mengingkari apa yang digugatkan kepadanya, lalu mereka bershulh (damai).74
71 Imam Abi Abdillah Muhammad Bin idris Asy-Syafi’i, al-Umm, (Beiru: Daar al-Ma’rifah,
Tth), h. 224 72 Ibid, h. 224 73 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Kairo: Daar al-Hadis, 2004),
Juz IV, h. 77
74 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz XIII, h. 197
Imam Syafi’i berpendapat bahwa perdamaian atas pengingkaran tidak
dibolehkan, karena hal itu termasuk memakan harta dengan cara yang bathil tanpa
penggantian.75
xy") O�F#7*8X��� J*B��!"#$�)5
J*Bd-k�& �1{N��$����&
O�#*�bM7�") ��_�& G`��a
¤�¥�%�$¦�� O�#7KLX��\� �4aD���X
b��� ��!"#$�)5 0�0-���
�A$Ac¨���& A%'�)5") ��#☺`7��
>;� ) 188 :2,ا�-��ة (
Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan
jalan bathil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta orang lain
itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah, 2:188)
Lebih lanjut Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa imam Malik dan imam Abu
Hanifah berpendapat tentang dibolehkannya perdamaian atas pengingkaran. Karena
didalam hal tersebut ada gantinya, yakni hapusnya perselisihan dan terhindarnya
sumpah.76
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa tidak ada halangan bagi salah seorang
atau sebagian ahli waris menyerahkan sebagian atau seluruh hak warisnya kepada ahli
75 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, h. 77 76 Ibid, h. 78
waris lain atau siapa pun. Bukaniah harta warisan yang diterimanya itu telah menjadi
haknya yang sah.77
Sampai dewasa ini, di seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia sistem waris
yang diberlakukan, baik dalam versi sunni, atau pun negara-negara Islam yang telah
mengupayakan kodifikasi hukum lewat perundang-undangan masih tetap
mempertahankan kalkulasi 2:1 antara laki-laki dan perempuan di mana seorang laki-
laki seumpama dua orang perempuan dalam derajat yang sama seperti antara anak-
anak pewaris maka anak laki-laki 2/3 dan anak perempuan memperoleh 1/3, apabila
anak perempuan berjumlah tiga orang dan ada seorang anak laki-laki, maka masing-
masing anak perempuan memperoleh 1/5 sedang anak laki-laki memperoleh 2/5, cara
seperti ini didukung secara langsung teks ayat (QS. Al-Nisa, 4:11), tanpa dapat
ditafsirkan lain karena taks suci dianggap jelas.78
Walaupun demikian, bagi Munawir konsep tersebut masih sangat meragukan
keadilannya, berdasarkan penelitian dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat,
menurut Munawir, laporan para hakim di berbagai daerah seperti di Sulawesi Selatan
dan Kalimantan Selatan ditemukannya tindakan masyarakat menyimpang terhadap
ketentuan al-Qur’an tersebut tentang bagian laki-laki dan perempuan dengan
kalkulasi 2:1, dalam praktek di masyarakat, para ahli waris tetap meminta fatwa
77 M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), h. 580 78 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. I, h. 267
tentang ketetapan hukum waris sesuai dengan faraidh Islam yang di dalamnya
menetapkan kalkulasi 2:1 antara laki-laki dan perempuan tetapi dalam
pelaksanaannya kerap kali para ahli waris tidak melaksanakan fatwa tersebut. Cara
seperti ini bukan hanya dilakukan orang-orang awam saja tetapi juga dilakukan oleh
tokoh-tokoh organisasi yang cukup menguasai ilmu-ilmu agama, belum lagi laporan
hasil penelitian mahasiswa di Aceh bahwa masyarakat setempat lebih suka meminta
fatwa waris di luar Pengadilan Agama.79
Dari seluruh kenyataan tersebut, secara ide, masyarakat muslim menerima
konsep waris antara laki-laki dan perempuan dengan kalkulasi 2:1, tetapi dalam
prakteknya masyarakat menjalankan sistem pembagian kalkulasi 1:1 antara laki-laki
dan perempuan. Masyarakat muslim sendiri tanpa disadari telah melakukan suatu
dekonstruksi sistem kalkulasi 2:1 menjadi 1:1, maka bagi Munawir persoalan tersebut
harus dipikirkan dan mencari kemungkinan agar dapat diterapkan secara legal dalam
yurisdiksi Pengadilan Agama, tanpa harus sembunyi-sembunyi dengan melakukan
helah hibah atau cara lain, tetapi harus berdasarkan hukum yang didukung oleh
penafsiran baru dalam al-Qur’an.
Untuk itu, menurut penulis, hukum Islam memberikan way out (jalan keluar)
dalam penyelesaian masalah kewarisan ini. Yakni dengan jalan shulh diantara ahli
waris setelah mereka menyadari bagian masing-masing.
79 Ibid., h. 268
B. Penyelesaian melalui Shulh dalam Hukum Waris di Indonesia
Secara normatif, pembagian warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang tertera secara konkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, para ulama
sepakat bahwa ketentuan yang ada dalam nash tersebut termasuk ayat-ayat dan
sunnah yang menunjukkan petunjuk pasti atau dalalah qath’i.
Pembagian warisan dengan shulh dapat dilakukan dalam keadaan tertentu.
Artinya, apabila di dalam kenyataan ahli waris yang menerima bagian yang lebih
besar, secara ekonomi telah berkecukupan, sementara ahli waris yang menerima
bagian sedikit, masih dalam keadaan ekonomi yang kekurangan, maka pembagian
warisan di antara ahli waris tersebut dapat dilakukan dengan cara shulh atau
bermufakat untuk melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan tersebut.
Dengan cara ini, memungkinkah ditempuh upaya-upaya mengurangi kesenjangan
ekonomi antara ahli waris yang satu dengan yang lainnya, sebab kesenjangan
ekonomi dapat memicu timbulnya konflik di antara ahli waris.
Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengakomodasi sistem
pembagian warisan dengan cara damai atau shulh dalam pasal 183 yang menyatakan
bahwa “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian
harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya”.80
80 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta : Seri Pustaka Yustisia, 2004),
Cet I, h. 84.
Namun, praktek pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu sendiri
harus pula memenuhi syarat-syarat. Dan diantara syarat-syarat pentingnya adalah:81
1. Keharusan adanya kecakapan bertindak secara hukum yang didasarkan atas
kerelaan penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembagian warisan.
2. Adanya sifat rusyd (kemampuan untuk mengendalikan harta dan
pembelanjaannya.
3. Adanya ucapan ijab dan qobul.
Menurut ulama Ushul Fiqh ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menentukan sikap, pendapat mana yang harus dipilih seorang hakim, yaitu:82
1. Bilamana salah satu pendapat telah menjadi undang-undang dalam sebuah
negara.
2. Jika belum menjadi undang-undang, tetapi telah menjadi kesepakatan dalam
suatu masyarakat bahwa pendapat itulah yang menjadi pegangan.
3. Jika belum ada undang-undang dan belum juga ada kesepakatan maka
pendapat yang diambil adalah pendapat yang biasa dipakai dan dikenal di
negeri itu.
81 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h. 343
82 Ibid, h. 351.
4. Hakim baru boleh keluar dari ketentuan-ketentuan tersebut, di samping jika
ternyata suatu pendapat bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, juga
pada kasus tertentu dalam pandangan hakim bilamana pertimbangan hukum
yang biasa dipakai secara umum diterapkan dalam kasus seperti itu, akan
menimbulkan efek negatif terhadap yang bersangkutan. Dalam kasus seperti
ini, hakim boleh membuat keputusan pengecualian yang dikenal dengan
istihsan.
C. Hikmah Al-Shulhu (Perdamaian)
1. Menurut Hukum Islam
Mengenai hikmah dilaksanakannya pembagian waris dengan shulh adalah
sebagai berikut :
a. Hubungan kekeluargaan diantara ahli waris tetap utuh dan tidak adanya
perselisishan diantara ahli waris. Hal ini terjadi karena shulh (perdamaian) itu
dilakukan dengan rasa ikhlas dan penuh dengan kesadaran yang di dasarkan
pada rasa persaudaraan. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT
dalam al-Qur’an yang berbunyi :
..........9O�#Ka0���") P �� ��P �� ��#*�"* �+,�� ©2�& �ª��`Io'(��") .......... ) 1: 4ا�#.�ء(
Artinya : “…….. dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim ……..” (Q.S Al-
Nisa, 4:1)
b. Dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan antara sesama muslim. Hal ini
sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
�%= و�!ادده= و�$�~F%= آ�o� ا�W.x اذااش/W�!u� �Oا�� �� ��8 ": ��ا#�����ى ا� ��Cوا� �%.�� LW. �Eرى(س��K-ا� Lروا(
83 Artinya : ”Kamu akan melihat kepada orang-orang mukmin itu dalam hal
kasih sayang diantara mereka, dalam kecintaan dan belas kasihan
diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu bagian
dari tubuh itu meresa sakit, maka akan menjalarlah kesakitan itu
pada anggota tubuh yang lain dengan menyebabkan tidak dapat
tidur (insomania) dan merasakan demam.”
c. Dengan shulh dapat terhindar dari memakan atau mengambil barang (harta)
milik orang lain dengan cara yang bathil, karena shulh itu dilakukan dengan
rasa saling merelakan. Allah SWT berfirman :
xy") O�F#7*8X��� J*B��!"#$�)5 J*Bd-k�& �1{N��$����& ........... ) 188: 1ا�-��ة(
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain diantara kamu dengan jalan yang bathil …..” (Q.S Al-Baqarah
: 188)
d. Tidak ada yang merasa dirugikan dan terhindar dari masalah kecemburuan
sosial atau ekonomi, karena perdamaian (shulh) itu dilakukan dengan cara
musyawarah (kompromi).
e. Dengan shulh (perdamaian) maka tercapailah tujuan dari pada hukum Islam
yaitu: menegakkan kebenaran dan keadilan, mengembalikan hak-hak kepada
83 Husein Bahreisj, Hadits Shahih Bukhari-Muslim, (Surabaya: CV. Karya Utama, t.th), h.
137-138.
pemiliknya dan memelihara silaturahim atau hubungan kasih sayang diantara
sesama mahluq Allah SWT.
2. Menurut Hukum Positif
Adapun hikmah al-shulhu (damai) menurut hukum positif adalah sebagai
berikut :84
a. Hubungan antar para pihak kembali membaik bahkan menjadi lebih intim,
karena dalam perdamaian terdapat unsur take and give (pengorbanan).
b. Biaya yang dikeluarkan untuk perdamaian relatif lebih sedikit atau bahkan
bisa diabaikan.
c. Melaksanakan perdamaian tidak membutuhkan waktu yang lama atau
berlarut-larut, sehingga tidak mengganggu aktifitas yang lain.
d. Tidak banyak memeras pikiran, karena suasana dalam melakukan perdamaian
selalu dalam suasana yang kekeluargaan, terbuka, dan saling hormat
menghormati.
84 M. Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2003), cet.ke-1, h. 115
e. Sengketa atau permasalahan dapat berakhir secara tuntas dan damai, sehingga
tidak menimbulkan permusuhan antara pihak, karena perdamaian dilakukan
dengan cara kompromi (musyawarah).
f. Dapat tercapai tujuan dari pada penyelesaian perselisihan perdata.
D. Analisa Penulis tentang al-Shulhu
Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk melakukan shulh atau
perdamaian dalam setiap penyelesaian masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat
atau negara, dari mulai permasalahan individu dengan individu, individu dengan
masyarakat atau negara, dan seterusnya. Seperti yang tercantum dalam firman Allah
swt. dalam al-Qur’an tentang berbagai macam hal yang menyangkut atau
berhubungan dengan shulh. Dalam masalah peperangan antar sesama muslim,
sebagaimana firman Allah :
��a") ����\⌧=� �� s�� �HT4��☺$��� O�#7�\�\$���
O�#��bC)��X ��☺gh�ik�& O 8��W�X bc��& ��☺_��M`�a G`��
B���sV(�� O�#7\N�a�X m�fP��� m�II:�� 9m�f�2 "*FG���� �G`��a ��$�)5 ~ �� 9 ��W�X bJ"* ��X
O�#��bC)��X ��☺gh�ik�& ��bM�7$����& O�F#*{�,$�)5") O
0��a P �� k�*� .�T{�,$a☺$��� )9: 49ا��xCات (
Artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil;
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat:
49/ 9)
Sedangkan dalil shulh dalam masalah urusan rumah tangga adalah firman
Allah sebai berikut :
���a") �d)5s�I��� bc�X��( 8�� ��_�7�& ��#K�%� ))5 �4;�(kb�a x⌧�X ���d-�
��☺hI6`�� �)5 �����D ��☺��"4k�& �☯�XC 9 ⌧X�����")
r6I��s B J"6� b2�5") ¡☯K=�'(�� �⌧G���� 9 ��a") O�#4�,�7�
O�#Ka¢\��") �/�W�X P �� ./�⌧8 ��☺�& ./#7�☺7�� �46����s ) 128: 4ا�#.�ء(
Artinya : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Nisa: 4/ 128)
Allah juga mengkategorikan perdamaian sebagai suatu macam dari amal
kebaikan, sebagaiman yang di tegaskan dalam al-Qur’an sebagi berikut :
��a") A%'$=�s �[��aP �"«h�ik�& O�#7V�7I&���X
�Q☺�B�2 b��� ©5��¬)5 �Q☺�B�2") b��� ��_�¬)5 ��a ��MD��D
�☯�N`bC�a ��X"#D E �� ��☺gh�i$��& B 0��a P �� ���⌧8
��☺��� �46��:�s ) 114: 4ا�#.�ء(
Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Nisa: 4/ 114)
�y "6I��s G�H �6�QxL ��� IJ_�"#b®�� �y�a b��� ����)5 |t���M+��& ))5
|�)�7�� ))5 �⌧N`bC�a .�T�& 0�0-��� 9 ���") I1�7$=�D .¯�!��
"* ��'I&�� J�+;��� ~ �� ��I#+,�X 2���%� ��b�)5 �°«UK� ) 35: 4ا�#.�ء(
Artinya : “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat
ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang
berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi
kepadanya pahala yang besar.” (QS Al-Nisa: 4/ 35)
Dalam masalah warisan, kita tidak bisa terlepas dari tiga pokok permasalahan,
antara yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan atau dengan perkataan
lain yang satu merupakan rangkaian atau akibat dari yang lain.
Masalah pokok tersebut adalah, pertama adanya seseorang yang meninggal
dunia, kedua dia meninggalkan harta peninggalan, dan masalah yang ketiga adalah
dia meninggalkan orang-orang yang mengurusi dan berhak atas harta peninggalan
tersebut.
Di dalam KHI orang yang berhak mendapatkan harta warisan atau yang
disebut dengan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.85
85 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), cet.
ke-3, h. 383
Tidak selamanya hukum Islam harus mengikuti dengan ketentuan yang ada,
adakalanya hukum tersebut berubah sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan asal
tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah nabi SAW. Seperti dalam kaidah
fiqh “hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman” atau “hukum itu
mengikuti kondisi yang dibutuhkan”.
Kaitannya dengan pembagian waris menggunakan konsep shulh (damai) ini,
bahwa konsep tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam nash,
karena tujuan dari al-Qur’an adalah untuk kedamaian, kesejahteraan, dan ketentraman
kehidupan umat manusia. Sedangkan tujuan shulh pun sama seperti tujuan al-Qur’an
tersebut, yaitu untuk menjadikan kehidupan yang damai, tentram, dan sejahtera bagi
para ahli waris yang ditinggalkan.
Dalam kajian hukum Islam, hak itu terbagi menjadi beberapa bagian atau
kategori yang berasal dari dua kategori umum, yaitu pertama, hak Allah yang sering
disebut juga dengan hak umum; kedua, hak hamba atau sering disebut juga dengan
hak perorangan.
Pada prinsipnya, semua hukum yang diturunkan oleh Allah adalah hak Allah
dalam arti wajib ditaati. Adanya pemisahan kategori tersebut adalah dalam rangka
pemisahan atau membedakan antara hukum yang cara penyelesaiannya terdapat jalan
alternatif selain dari hukum yang tertulis itu, dan hukum yang cara penyelesaiannya
tidak terdapat jalan alternatif, dengan kata lain harus mengikuti ketentuan hukum
yang sudah ada dalam nash.
Dari uraian di atas (pendapat Muhammad Abu Zahrah), maka K.H. Ali
Darokah berpendapat bahwa “dalam pembagian warisan dalam keluarga muslim di
Indonesia anak laki-laki tidak harus dua bagian, tetapi dengan keputusan hakim yang
adil atau peraturan yang ada, bagian laki-laki itu diubah, dikurangi menurut bagian
yang wajar, sisa-sisa bagian diserahkan kepada yang mengerjakan tanggung jawab.86
Penulis pun berpendapat bahwa, pada dasarnya pendapat K.H.Ali Darokah
tidak salah karena, di dalam KHI pun pasal 183 menyatakan: “para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-
masing menyadari bagiannya.”
Dari pasal ini Ahmad Rofiq menyatakan bahwa, mengenai teknik
pelaksanannya dapat dibagi menurut ketentuan hukum kewarisan terlebih dahulu,
setelah itu diantara mereka berdamai dan membagi harta warisan tersebut
berdasarkan keperluan atau kondisi masing-masing ahli waris.87
Dalam hukum perdata diatur bahwa seorang hakim berkewajiban melakukan
mediasi (perdamaian) dan dia sebagai mediatornya sebelum pelaksanaan sidang
dimulai. Hal ini diatur dalam UU No.7 Tahun 1989 pasal 65, dan UU No.1 Tahun
1974, bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil untuk mendamaikan kedua
86 Ali Darokah, Reaktualisasi Mencari Kebenaran, Ikhtiar yang Wajar, dalam Iqbal
Abdurrauf Saimima, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1998), cet ke-1,
h. 76
87 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 116
belah pihak”. Jadi, Hakim Peradilan Agama selayaknya menyadari dan mengemban
fungsi mendamaikan.
Adapun peranan hakim dalam mendamaikan para pihak yang berperkara
terbatas pada anjuran, nasihat, penjelasan, dan memberi bantuan dalam perumusan
sepanjang hal itu diminta oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, hasil akhir dari
perdamaian ini harus benar-benar merupakan hasil kesepakatan kehendak bebas dari
kedua belah pihak. Sebab perdamaian ditinjau dari sudut hukum Islam maupun
Hukum Perdata Barat (KUH Perdata) termasuk bidang Hukum Perjanjian.88
Dalam pasal 1320 KUH Perdata diatur tentang syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu: 1) adanya kesepakatan berdasarkan kehendak bebas dari kedua
belah pihak. Hal ini berarti bahwa dalam kesepakatan tersebut tidak boleh ada cacat
yang mengandung kehilafan (dwaling), paksaan (dwang) dalam segala bentuk baik
yang bersifat jasmani, rohani atau penipuan (bedrog); 2) kecakapan untuk melakukan
tindakan hukum. 3) mengenai hal tertentu; dan 4) didasarkan atas sebab yang halal.89
Dari berbagai pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa cara pembagian
waris dengan konsep shulh (perdamaian) tidak menyalahi atau bertentangan dengan
tujuan syara’, karena pada dasarnya dalam perdamaian tidak ada pihak yang
dimenangkan atau dikalahkan, kedua pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah
dan mereka dapat pulih kembali dalam suasana yang rukun dan penuh dengan
88 Hj. Sulaikin Lubis. dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2005), cet. II, h. 65
89 Ibid, h. 66
persaudaraan. Dan perdamaian itu selagi masih dalam perdamaian yang
diperbolehkan oleh agama (bukan perdamaian yang dilarang), dan. Sebagaimana
hadis nabi Muhammad SAW, sebagai berikut :
���� وس�= Zا �? Zن: أن رس!ل ا+���A :8ل. 8� ���و 8 �!ف ا���.��8 ا� +E� }�jأ�
�� أو أ v��!ن ��� ش�و~%= إ^ ش�~� ��م �.���ا�� وا� �� أو أ v���م �C�? إ
��ا�� )�CC?ى وa��/ا� Lروا(
Artinya: “Dari Amr bin Auf al-Muzani, berkata; sesungguhnya Rasulullah SAW telah
bersabda: Perdamaian itu dibolehkan antara kaum muslimin, kecuali perdamaian
yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram dan
kaum muslimin terikat atas perjanjian-perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang
mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR.
Tirmidzi)
Selain itu, Khalifah Umar Ibn al-Khaththab pada suatu saat memberikan
nasihat kepada kaum muslimin:
��مر�hى او ذ�8 �ءuوا ا��در /� �nj�C" ن)!ا" �jKا� nث!ر ��بuا� lE�890
“Kembalikanlah penyelesaian perkara diantara keluarga, sehingga mereka dapat
mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya penyelesaian dengan keputusan
pengadilan itu menimbulkan perasaan tidak enak.”
90 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 199
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mencermati dan menganalisa dari beberapa ketentuan yang terdapat
dalam Fiqh dan Hukum Islam di Indonesia, khususnya yang menyangkut masalah
waris dengan konsep shulh, maka dapat dicapai suatu kesimpulan bahwa:
1. Agama Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci dalam al-
Qur’an agar tidak terjadi perselisihan diantara ahli waris sepeninggal orang
yang meninggal dunia dan hartanya diwarisi. Agama Islam menghendaki dan
meletakkan prinsip adil dan keadilan sebagai salah satu pembentukan
masyarakat yang damai dan sejahtera. Sebagai hasil karya intelektual, fiqh
mawaris melalui istinbat dan ijtihad dalam memahami ketentuan ayat al-
Qur’an dan al-Sunnah telah banyak dikemukakan oleh para ulama. Namun
perkembangan sosial yang terjadi dalam masyarakat melahirkan beberapa
gagasan pembaharuan dalam pembagian warisan. Secara normatif pembagian
warisan hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera secara
konkrit dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam kenyataannya
masyarakat sering melakukan dengan sistim perdamaian. Dalam hal ini para
ulama sepakat bahwa pembagian waris dengan shulh (perdamaian)
dibolehkan, artinya tidak ada halangan bagi seseorang atau sebagian ahli waris
menyerahkan sebagian atau seluruh hak warisnya kepada ahli waris lain,
karena harta warisan yang diterimanya itu telah menjadi haknya yang sah.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadisnya “Perdamaian itu
diperbolehkan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian untuk
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
2. mengenai pembagian waris dengan konsep shulh ini, Kompilasi Hukum Islam
(KHI) mengakomodasi konsep tersebut dalam pasal 183 yang menyatakan
bahwa “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan setelah masing-masaing menyadari bagiannya.”
Dalam pasal tersebut KHI membolehkan para ahli waris melakukan
perdamaian, namun sebelum melakukan perdamaian hendaknya mereka (ahli
waris) mengetahui berapa bagian yang akan diterima oleh masing-masing ahli
waris jika tidak dengan perdamaian. hal tersebut bertujuan agar terhindar dari
perselisihan diantara ahli waris dan menumbuhkan rasa ikhlas yang teramat
dalam guna membantu sesama saudara. Dalam proses perdamaian ini para ahli
waris harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu pertama
kecakapan bertindak secara hukum yang didasarkan atas kerelaan penuh dari
pihak-pihak yang terlibat, kedua mempunyai sifat rusyd yakni mampu untuk
mengendalikan harta dan pembelanjaannya, ketiga adanya ucapan ijab dan
qobul.
B. Saran-saran
Berdasarkan pembahasan yang telah di uraikan di atas, maka Penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Bagi seluruh masyarakat muslim yang akan melakukan pembagian warisan
dengan shulh, hendaknya mengetahui ketentuan pembagian warisan yang
sudah tercantum dalam al-Qur’an terlebih dahulu.
2. Untuk para ahli waris yang akan membagi harta warisan, hendaknya
diselesaikan di tingkat keluarga, sebelum mengupayakan ke tingkat
pengadilan.
3. Untuk para pengajar dan instansi pendidikan hendaknya pembahasan masalah
shulh ini, supaya dimasukkan kedalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah
(MTs), SMP, SMA, sampai Perguran Tinggi.
4. Untuk para ulama, ustadz, muballigh hendaknya mensosialisasikan masalah
shulh ini melalui ceramah-ceramah, kuliah subuh, tausiah dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abu Amar, Imron, Terjemah Fath Al-Qorib, Kudus: Menara Kudus, jilid 1, 1983
Adi, Rianto, Metode Penelitian Hukum dan Sosial, Jakarta: Granit, 2004
Ali Muhammad, Maulana., Islamologi (Dinul Islam), Jakarta: Darul Kutubil
Islamiyah, Cet-ke-5, 1996
Ash-Shiddieqy, TM, Hasbi, Fiqh Mawaris Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,
cet.III, 2001
Al-Munjid Fi Al Lughah Wal-I’lam, Beirut: Daar Al-Musyriq, Cet.ke-28, 1986
Al-Tirmidzi, Abi Isa Muhammad bin Isa bin Surah, Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Daar
al-Fikr, juz. II, 1974,
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, Juz VI,
2004
Asy-Syafi’I, Imam Abi Abdillah Muhammad Bin idris, al-Umm, Beirut: Daar al-
Ma’rifah, Tth
Bakar, Yasa, al, Abu, Ahli Waris sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta: Inis, 1998
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van
Hoeve, 1996
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, Cet.
ke-1, 2004
Fatchurrachman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta:
Pustaka Kartini, Cet.ke.-2, 1993
Hasan, M. Ali, Hukum Warisan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet.VI, 1996
Hasbiyallah, H., M.Ag, Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, cet.I, 2000
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadits, Jakarta:
Tintamas, 1982
Husein Bahreisj, Hadits Shahih Bukhari-Muslim, Surabaya: CV. Karya Utama, t.th
Jazairi, al, Jabir, Abu Bakar, Ensiklopedi Muslim Minhaj al-Muslim, Jakarta: Darul
Falah, Cet. ke-6, 2003
Karim, Helmi, Dr., Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet.ke-3,
2002
Komite Fakultas Syari’ah Univ. al-Azhar, Hukum Waris (terjemah), Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2004
Lubis Sulaikin. Hj. dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2005
Makhluf, Hasanain Muhammad, al-Mawarits fi al-Syri’at al-Islamiyah, al-Qahirah:
Lajnah al-Bayan al-Araby, 1958
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Terjemah Masykur AB, et.al.,
al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khomsah, Jakarta: Lentera Basritama, 1996
Munawwir, A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997, cet.ke-14
Musa, Muhammad Yusuf, Dr, Al-Tirkah wa al-Mirat fi al-Islam, Mesir: Daar al-Kitab
al-Araby, 1959
M. Zein, Satria Effendi, Prof. Dr. H. MA, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004.
Nasir, M, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Djambatan, cet.ke-1, 2003
Ramulyo, Idris, M, S.H., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: IND – HILL, Co, 1984
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet.ke-38, 2005
Rofiq, Ahmad, S.H., Dr., Fiqih Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4,
2003
Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Kairo: Daar al-Hadis,
Juz IV, 2004
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: Al- Ma’arif, Cet. ke-1, 1987
Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
Shihab, M. Quraish, M. Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal Keislaman yang
Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2008
Singarimbun Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES,
Cet. I, 1995
Sudarsono, Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.ke-2, 2001
--------------, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet.ke-3, 2002
Sulaiman, Abu Daud al-‘Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Beirut: Daar al-Fikr,
Juz.III, 1994
Syaikh Muhammad bin Qosim al-Ghazziy, Fath al-Qarib al-Mujib. Penerjemah A.
Hanafi Ibriy, Surabaya: Tiga Dua, 1994
Syaikh Husain Yusuf Ghazal, al-Mirats ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah Dirasatan wa
Tathbiqon, Beirut: Daar al-Fikr, 2003
Syarifuddin, Amir, Prof., Dr., H., Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, Cet.
ke-2, 2005
Taqiyuddin, Imam Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, terj.
K.H. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa, Surabaya: Bina Iman,
1993
Zahra, Abu, Muhammad, Prof., Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. ke-9,
2005