Upload
others
View
37
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI INDONESIA
(Analisis Putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh: NURDIANA RAMADHAN
NIM:11150440000016
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019M/1440H
v
v
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
vi
vi
S Es س
Sy Es dan Ye ش
S Es dengan garis bawah ص
D De dengan garis bawah ض
T Te dengan garis bawah ط
Z Zet dengan garis bawah ظ
Koma terbalik diatas hadap ‘ ع
kanan
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ‘ ء
Y Ya ي
vii
vii
b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______ = a ىا = a>
_____ ______ = i ىي = i>
_____ ______ = u ىو = u>
c. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = )ال( ai = __ أ ي
al-sh = )الش( aw = __ أ و
-wa al = )وال(
d. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-
syuf’ah
e. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)
atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
viii
viii
Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شريعة
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسال مية
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هب
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur’an Alquran
2 Al-Hadits Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nash Nas
5 Tafsir Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
ix
ix
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم هللا الر
Alhamdulillah puji syukur hanya bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang
telah melimpahkan segala limpahan rahmat, hidayah, dan taufiq-Nya di dunia ini,
terkhusus kepada penulis. Dan dengan izin dan ridho-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Kewarisan Bertingkat Sebagai
Perkembangan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia
(Analisis Putusan No. 1191/Pdt.G/2016/PAJB) Sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan studi pada Program Studi Hukum Keluarga Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan motivasi
dari berbagai sehingga segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi dan tentunya
dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga untuk semua pihak yang telah
memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga terselesaikan skripsi ini,
khususnya kepada:
1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah, SH.I., MH.
Ketua dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga.
3. Sri Hidayati, M.Ag. pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas
meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan
serta saran-saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
x
x
4. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H.,M.A.,M.H. Dosen Penasehat Akademik
yang selalu bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan
masukan dan saran bagi penulis hingga terselesaikan skripsi ini.
5. Dosen penguji skripsi Dr. K.H.A Juaini Syukri, Lc. M.A sebagai
Dosen Penguji I dan Dr. H. Azizah, M.A sebagai Dosen Penguji II
yang telah memberikan masukan serta arahan sehingga
terselesaikannya skripsi ini sampai tahap akhir.
6. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
mendidik dan memberikan ilmu yang berharga kepada penulis
beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan
pelayanan terpadu selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Ayahanda & Ibunda tercinta (Ilmi Ahmad & Herlina Laini), yang
telah begitu banyak mencurahkan perhatian, pengorbanan serta
kasih sayangnya yang tiada bandingannya di dunia ini. Adik-
adikku (Muhammad Nur Ramadhan dan Ahmad Mulki Ramadhan),
mereka tempat bercanda, tempat berbagi di waktu luang maupun
sempit dan mereka yang senantiasa mendoakan penulis.
8. Sahabat-sahabat: Ilham Ramdani Rahmat, Tiyas Puji Istanti,
Defanti Putri Utami, Lutfi Zakaria Mubarok, Iqbal Farisi, Desi
Purnama, Suci Nurindah, Ana Eka Fitriani, Hutri Rahayu, dan
kakak panutan Nida Sriwidiyanti, Mella Rosdiana, Rifqi Akbari,
Andy Asyraf, Satria Erlangga, Alim Amalkan, Syifa Rahmalia,
xi
xi
Annisa Mutiara yang selalu memberikan semangat dan warna
kepada penulis. Semoga Allah selalu meridhai persahabatan kita.
Terima kasih untuk segala kenangan yang telah terukir, semoga
persahabatan kita tak berhenti sampai disini.
9. Keluarga besar HMI Hukum Keluarga, Hukum Keluarga-A
angkatan 2015, terkhusus keluarga ELKAMASY dan keluarga
IKARUS UIN JAKARTA. Terimakasih untuk canda tawa cerita
yang selalu hadir dan akan selalu ada ayunan rindu untuk kalian
semua. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga sampai kapanpun.
10. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat dan para hakim beserta
pihak-pihak yang terkait, khususnya Bapak Drs. H. Abdul Hadi,
M.H.I yang telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan
dalam menyelesaikan skripsi.
11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Keluarga
angkatan 2015 dan mereka yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
yang telah membantu dan memberikan doa, semangat serta
motivasi kepada penulis.
Semoga amal dan jasa mereka yang telah membantu penulis dalam
penyusunan skripsi ini diterima oleh Allah SWT dan dibalas dengan pahala
yang berlipat ganda. Penulis mengharapkan kritik dan saran membangun dari
seluruh pembaca guna upaya perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini.
xii
xii
Akhirul kalam, semoga dengan kelebihan dan kekurangan yang terdapat
di dalam skripsi ini, kiranya memberikan manfaat kepada para pembacanya.
Ciputat, 16 Januari 2019
Nurdiana Ramadhan
Penulis
v
vi
vii
xvi
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Pembimbing
2. Hasil Transkip Wawancara
3. Surat telah Melakukan Wawancara
4. Surat Balasan dari Pengadilan Agama
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum kewarisan adalah cabang hukum yang penuh problem
mengingat keterkaitannya dengan kepercayaan, agama, tradisi dan budaya
secara umum.1 Salah satu masalah kewarisan yang ada di Indonesia adalah
kewarisan bertingkat (Munasakhah). Munasakhah adalah meninggalnya
ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiaannya berpindah
kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal
dunia, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena belum
dibagikan), hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karena disini
akan timbul masalah yang oleh kalangan ulama faraidh dikenal dengan
sebutan Al-jamiah.2
Munasakhah mempunyai tiga macam keadaan, antara lain:
Pertama, ahli waris mayit kedua adalah para ahli waris yang sama
(selain yang bersangkutan) dengan ahli waris dari mayit pertama sehingga
tidak terjadi perubahan dalam pembagian. Misalnya, jika seseorang wafat
meninggalkan lima orang anak laki-laki atau lima orang anak perempuan
dan tidak ada ahli waris selain mereka. Tiba-tiba salah seorang di antara
mereka wafat meninggalkan keempat saudaranya. Jika hal itu terjadi,
warisan dibagikan kepada empat orang itu sebagai pengganti lima orang.
Kedua, terjadi perubahan dalam pembagian antara para ahli waris
yang masih hidup. Misalnya, jika seorang wafat meninggalkan seorang
anak laki-laki dari istri pertama dan tiga anak perempuan dari istri kedua,
tiba-tiba salah seorang anak perempuan wafat meninggalkan saudara-
saudaranya (2 sauadara kandung perempuan dan 1 saudara seayah).
1 Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Kewarisan
Indonesia, (Jakarta: Kencana Premada Media Grup, 2013), h.1.
2 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia,2012), h.319-
320.
2
Ketiga, ahli waris mayit kedua adalah orang-orang yang berbeda
dengan ahli waris mayit pertama. Misalnya, jika seorang istri (mayit
pertama) pertama wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan dan
ibu. Tiba-tiba suami (mayit kedua) wafat meninggalkan seorang istri
kedua, ayah dan ibu. Setelah itu anak perempuan (mayit ketiga anak mayit
pertama) juga wafat meninggalkan dua anak laki-laki, seorang anak
perempuan dan nenek. Lalu nenek (“ibu” dari mayit pertama) ini wafat
juga meninggalkan seorang suami dan dua saudara laki-laki.3
Kewarisan bertingkat (Munasakhah) terdiri dari beberapa unsur:4
1. harta pusaka simati belum dibagikan kepada ahli waris,
menurut ketentuan pembagian harta pusaka.
2. danya kematian dari seorang ahli waris.
3. adanya pemindahan bagian harta pusaka yang mati
kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli
warisnya yang semula belum menjadi ahli waris terhadap
orang yang mati pertama.
4. Adanya pemindahan bagian ahli waris yang telah mati
kepada ahli warisnya harus dengan jalan mempusakai
(mewarisi).
Dari masalah kewarisan bertingkat (Munasakhah) banyak terjadi di
Indonesia salah satunya terdapat sejumlah perkara yang ada di Pengadilan
Agama Jakarta Barat. Masalah kewarisan tersebut menjadi menarik
lantaran Hakim perlu menyelesaikan pembagian warisan dalam dua atau
kasus yang berbeda namun saling berkaitan. Dalam hal ini penulis tertarik
untuk menganalisis permasalahan munasakhah ini dengan teori maqāṣid
asy-syarīʻah.
3 Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Ahkamul Mawarits: 1.400 Mas’alah Miratsiyah.
Penerjemah Tim Kuwais Media Kreasindo. Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan
Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai, 2007. H. 711-712.
4 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif,1987), h. 460-461.
3
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memilih judul
Kewarisan Bertingkat Sebagai Perkembangan Hukum dalam Penyelesaian
Sengketa Kewarisan di Indonesia (Analisis Pututusan
No.1191/Pdt.G/PA.JB.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut,
maka dapat disebutkan identifikasi masalah di bawah ini yang akan di
jelaskan lebih lanjut, yaitu:
a. Bagaimana metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan
bertingkat pada putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?
b. Bagaimana penerapan teori maqāṣid asy-syarīʻah dalam pembagian
kewarisan bertingkat?
c. Bagaimana hukum positif (Inpres No.1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam) memandang pembagian kewarisan
bertingkat?
d. Apa faktor yang melatarbelakangi adanya kewarisan bertingkat?
e. Apakah ada korelasi antara kewarisan bertingkat dengan faktor
pengetahuan masyarakat seputar waris?
f. Berapa banyak kasus kewarisan bertingkat di Pengadilan Agama
Jakarta Barat sejak 2015-sekarang?
g. Apakah hakim telah memutuskan sesuai dengan aturan hukum
yang ada?
h. Apakah ada terobosan hukum dalam putusan Nomor
1191/Pdt.G/2016/PAJB?
i. Apa dalil yang digunakan oleh hakim dalam putusan Nomor
1191/Pdt.G/2016/PAJB?
4
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan hukum
kewarisan maka penulis memberikan batasan masalah agar dapat fokus
dan tidak melebar dari inti penelitian ini. Adapun fokus penelitian yakni
metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan bertingkat pada putusan
Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari identifikasi dan pembatasan masalah,
selanjutnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan bertingkat
pada putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?
b. Apa sebab pertimbangan hakim menyamakan anak angkat menjadi
anak pewaris?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui metode ijtihad hakim dalam perkara
kewarisan bertingkat pada putusan Nomor
1191/Pdt.G/2016/PAJB?
b. Untuk mengetahui sebab pertimbangan hakim menyamakan
anak angkat menjadi anak pewaris.
2. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Memberikan wawasan keilmuan di bidang hukum keluarga
khususnya di bidang hukum kewarisan.
b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa
secara mendalam tentang hukum kewarisan.
c. Menambah pengetahuan dalam keilmuan di bidang hukum
kewarisan baik secara teoritis maupun praktis.
d. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang
akan melakukan penelitian berkaitan dengan hukum kewarisan.
5
D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu
Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis
melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang
penulis bahas. Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan penulis
diantaranya :
Ainun Barakah, dalam jurnal yang berjudul “Munasakhah; Metode
Praktis dalam Pembagian Harta Waris”.5
Fatahullah, Sugiyarno dan Ita Surayya, dalam jurnal yang berjudul
“Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti Pada Putusan Nomor:
0311/PDT.G/2009/PA.SEL”.6
Perbedaannya dengan Skripsi penulis adalah pembagian waris
bertingkat (munasakhah) yang di analisis dengan teori Maqāṣid asy-
Syarīʻah.
E. Kerangka Teori
Maqāṣid asy-Syarīʻah merupakan kata majmuk (idlafî) yang terdiri
dari dua kata yaitu Maqāṣid dan asy-syarīʻah. Secara etimologi, maqāṣid
merupakan bentuk jamak (plural) dari kata maqṣhid. Yang terbentuk dari
huruf qaf, shad dan dal, yang berarti kesengajaan atau tujuan.7 Sedangkan
kata asy-syarīʻah secara etimologi berasal dari kata syara’a yasyra’u
syar’an yang berarti membuat syarīʻat atau undang-undang, menerangkan
serta menyatakan. Dikatakan syara’a lahum syar’an berarti ia telah
menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti
menunjukkan jalan atau peraturan.8
5 Ainun Barakah, Munasakhat; Metode Praktis dalam Pembagian Harta Waris,
(Cendikia: Jurnal Studi Islam, Vol. 1 No. 2 Desember 2015). 6 Fatahullah dkk, Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti Pada putusan
Nomor: 0311/PDT.G/2009/PA.SEL, (Jurnal IUS, Vol. IV No. 1 April 2018). 7 Muhammad Idris al-Marbawiy, Kamus Idris al-Marbawi; Arab-Melayu,
(Bandung: al-Ma’arif, Juz 1, tt.), h. 136. 8 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer,(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007),
h.36.
6
Ali Mutakin mengutip pengertian syari’ah secara terminologi dari
buku Asaf A.A. Fyzee, Mahmud Syalthuth, Ali al-Sayis dan Satria Efendi
sebagai berikut:
Menurut Asaf A.A. Fyzee menjelaskan bahwa syarīʻah adalah
canon law of Islam, yaitu keseluruhan perintah Allah yang berupa
nash-nash. Sedangkan Satria Effendi menjelaskan bahwa syarīʻah
adalah al-nushûsh al-muqaddasah yaitu nash yang suci yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits al-Mutawatirah, yang
belum tercampuri oleh pemahaman manusia, sehingga cakupan
syari’ah ini meliputi bidang i’tiqadiyyah, ‘amaliyah dan
khuluqiyah.
Demikianlah makna syarīʻah, akan tetapi menurut ulama-ulama
mutaakhirin telah terjadi penyempitan makna syarīʻah. Mahmud
Syalthuth memberikan uraian tentang makna syari’ah, bahwa
syarīʻah adalah hukum-hukum dan tata aturan yang di syarīʻatkan
oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya agar dipedomani manusia
dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan sesama antar
manusia, alam dan seluruh kehidupan.
Sedangkan Ali al-Sayis menjelaskan bahwa syarīʻah adalah
hukum-hukum yang diberikan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-
Nya agar mereka percaya dan mengamalkanya demi kepentingan
mereka di dunia dan akhirat.9
Sementara apabila kita berbicara Maqāṣid asy-Syarīʻah sebagai
salah satu disiplin ilmu tertentu yang independen, maka tidak akan kita
jumpai definisi yang konkrit dan komprehensif yang diberikan oleh ulama-
ulama klasik, sehingga akan kita dapati beragam versi definisi yang
berbeda satu sama lain, meskipun kesemuanya berangkat dari titik tolak
yang hampir sama. Oleh karena itulah, kebanyakan definisi Maqāṣid asy-
Syarīʻah yang kita dapati sekarang ini, lebih banyak dikemukakan oleh
9 Ali Mutakin, Teori Maqasid Al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode
Istinbath Hukum, (Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 19 No. 3 Agustus 2017), h.550.
7
ulama-ulama kontemporer, seperti Tahir bin Asyûr yang membagi
Maqāṣid asy-Syarīʻah menjadi dua bagian. Yaitu Maqāṣid asy-Syarīʻah
al-‘ammah dan Maqāṣid asy-Syarīʻah al-khashah. Bagian pertama ia
maksudkan sebagai hikmah, dan rahasia serta tujuan diturunkannya
syarīʻah secara umum yang meliputi seluruh aspek syarīʻat dengan tanpa
mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu. Sementara bagian kedua ia
maksudkan sebagai seperangkat metode tertentu yang dikehendaki oleh al-
syari’ dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia dengan
mengkhususkannya pada satu bidang dari bidang-bidang syarīʻat yang
ada, seperti pada bidang ekonomi, hukum keluarga. Sedangkan menurut
‘Allal al-Fasi adalah metode untuk mengetahui tujuan pensyari’atan
sebuah hukum untuk menjamin kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan
yang mengandung kemaslahatan untuk manusia.
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqāṣid asy-Syarīʻah
adalah nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau
bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu
dipandang sebagai tujuan dan rahasia syarīʻah, yang ditetapkan oleh al-
Syari' (pembuat syarīʻat yaitu Allah dan Nabi Muhammad) dalam setiap
ketentuan hukum.10 Sementara al-Syâthibi menyatakan bahwa beban-
beban syarīʻah kembali pada penjagaan tujuan-tujuanya pada makhluk.
Tujuan-tujuan ini tidak lepas dari tiga macam: dharuriyyat, hajiyyat dan
tahsiniyyat. Al-Syari’ memiliki tujuan yang terkandung dalam setiap
penentuan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
di akhirat.11
Kesimpulan yang diambil peneliti adalah hukum kewarisan adalah
suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah
meninggal dunia diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
10 Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikri, (Damaskus, 1986,
cet. Ke-II), h. 225.
11 Ali Mutakin, Teori Maqasid, h.551-552.
8
Sedangkan munasakhah adalah sebagian ahli waris ada yang meninggal
sebelum diadakan pembagian harta pusaka, maka bagian warisnya
berpindah kepada ahli waris yang lain. Lalu yang dimaksud dengan
Maqāṣid asy-syarīʻah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung
dalam setiap aturannya.
F. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana,
dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru
guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.12
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitan ini penulis menggunakan pendekatan
analisis yuridis yaitu adalah kegiatan untuk mencari dan memecah
komponen-komponen dari suatu permasalahan untuk dikaji lebih
dalam serta kemudian menghubungknnya dengan hukum, kaidah
hukum serta norma hukum yang berlaku sebagai pemecahan
permasalahannya. Kegiatan analisis yuridis adalah mengumpulkan
hukum dan dasar lainnya yang relevan untuk kemudian mengambil
kesimpulan sebagai jalan keluar atau jawaban atas permasalahan.13
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan
didukung oleh studi kepustakaan (library research) yaitu dengan
mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan,
12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), h.2 13 Bahder Johan Nasution, Metode Peneliti Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar
Maju, 2008) h. 83-88.
9
serta tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan
masalah yang diteliti.
3. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini. Penelitian
menyusun berdasarkan sumber data yang terbagi kedalam dua
kriteria, yaitu sumber data utama (primer) dan sumber data
tambahan (sekunder) ialah:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer dari penelitian ini adalah putusan dan
wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat
terkait kewarisan bertingkat.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku,
jurnal, artikel dan tulisan lain yang berhubungan dengan
permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian
ini. Oleh karena itu pada umumnya data sekunder dalam
keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera,
dan salah satu ciri dari data sekunder ini tidak terbatas oleh
waktu maupun tempat.14
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Teknik Wawancara (Interview) yaitu suatu metode
pengumpulan data yang sering digunakan di dalam metode
penelitian.15 Bagian dari survey ialah teknik wawancara dengan
salah seorang Hakim yang menangani kasus kewarisan
bertingkat.
14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1986) h.11.
15 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h.
35.
10
b. Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan data yang
diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan
menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara
membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-
buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema
penelitian.
5. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif yaitu
metode yang dipakai untuk menganalisa data yang bersifat umum
dan memiliki unsur kesamaan sehingga digeneralisasikan menjadi
kesimpulan khusus. Analisa dilakukan dengan terlebih dahulu
menjelaskan hukum kewarisan bertingkat dengan teori Maqāṣid
asy-Syarīʻah.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian
ini adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini
dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar
belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan,
identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, merupakan bab mengenai konsep kewarisan menurut
fiqih dan KHI yang membahas pengertian waris, dasar hukum, rukun,
syarat waris, jenis-jenis ahli waris dan bagiannya, sebab-sebab mewarisi
dan halangan mewarisi, kewarisan didalam KHI, pengertian keawarisan
bertingkat dan unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya kewarisan
bertingkat.
11
Bab ketiga, yaitu tinjauan umum tentang Metode Istinbat Hukum
yang berisi tentang pengertian, syarat-syarat, macam-macam, sumber
hukum dalam istinbat dan hubungan antara Maqāṣid asy-Syarīʻah dengan
beberapa metode istinbat hukum Islam.
Bab keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam
skripsi ini. Yakni studi putusan No. 1191/Pdt.G/2016/PAJB yang
didalamnya berisi kronologi perkara, pertimbangan hukum, amar putusan,
analisis putusan, dan analisis hukum.
Bab kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini, yaitu bab
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang bersifat
membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.
12
BAB II
KONSEP KEWARISAN MENURUT FIQIH DAN KHI
A. Pengertian, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Mewarisi
1. Pengertian Waris
Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah
untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris,
ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Fiqh Mawaris adalah kata yang
berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Fiqh menurut bahasa
berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau
memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang
sungguh-sungguh. Sedangkan kata mawaris diambil dari bahasa Arab.
Mawaris bentuk jamak dari (miiraats) yang berarti harta peninggalan
yang diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi, fiqh mawaris adalah suatu
disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang
bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta
peninggalan itu serta bagian masing masing16
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kata
tunggal faridhah, yang bentuk dari huruf fa, ra dan dha.17 Kata
(Fariidhah) berakar dari kata faradhah yang pada mulanya bermakna
kewajiban atau perintah.18 Akan tetapi keduanya (mawaris dan
faraidh) dapat dibedakan karena kata mawaris sendiri dalam bahasa
arab adalah bentuk jamak dari mirats yang semakna dengan mauruts
(isim maf’ul) yaitu: “Harta peninggalan orang yang meninggal yang
diwarisi oleh para ahli warisnya”, sedangkan faraidh adalah bentuk
16 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 5-7.
17 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, cet 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1995), h.28.
18 Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam Al-Quraniyah (
Qairo: Dar al-Fikr al-Ariby, 1986), h. 392.
13
jamak dari faraidhah, yang diambil (mustaq) dari lafadz fardhun,
artinya adalah “Bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan ukuran
dan ketentuannya. Dari penjelasan diatas dikatakan ilmu mawaris
karena dalam ilmu ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan harta
peninggalan simayit, dan dikatakan ilmu faraidh karena membahas
tentang bagian-bagian tertentu yang sudah ditetapkan ukurannya bagi
setiap ahli waris.19
Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu faraidh ini disebut
dengan “Hukum Waris” (ERFRECHT) yaitu hukum yang mengatur
tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang
meninggal dunia.20
Ilmu mawarits adalah ilmu pokok yang berlandaskan ilmu
fiqih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan perhitungan warisan bagi
orang-orang yang berhak menerimanya. Tujuannya adalah agar setiap
yang berhak menerima warisan dari tirkah mendapatkan haknya
sebagaimana mestinya.21
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 ayat (a) dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang
mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.
Dari beberapa defenisi diatas, dapat dipahami bahwa Fiqih
Mawaris, Ilmu Faraidh atau Hukum Waris adalah suatu ilmu yang
19 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Cet. 1,
(Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 1997), h. 9-10.
20 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), h. 50. 21 Abdul Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris,
Penerjemah Ade Ichwan Ali, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009), h. 3.
14
membicarakan hal seputar pemindahan harta peninggalan dari
seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik harta
yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta
peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris dan cara
penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut.
2. Dasar Hukum
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum
agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat didalam al-Quran
dan sunnah Nabi. Ayat-ayat al-Quran dan sunnah Nabi yang secara
langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut22:
a. Dalil-dalil dari al-Quran
1) Surah An-Nisa’ayat 7
ا ترك الوالدان واألقربون و جال نصيب مم ا ترك الوالدان نصيب م نساء للللر م
ا قل منه أو كثر نصيبا مفروض (٧النساء:) اواألقربون مم
Artinya:. “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa: 7)
2) Kemudian terdapat juga di dalam surah An-Nisaa’ ayat 12
بع مم ا تركن من ولكم نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن كان لهن ولد فلكم الر
ا تركتم إن لم يكن لكم ولد ف بع مم إن كان لكم ولد بعد وصية يوصين بها أو دين ولهن الر
ا تركتم من بعد وصية توصون بها أو دين وإن كان رجل يورث كاللة أ و فلهن الثمن مم
لك فهم شركاء في امرأة وله أخ أو أخت فلكل واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذ
عليم حليم وللا الثلث من بعد وصية يوصى بها أو دين غير مضار وصية من للا
(١٢النساء:)
22 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 12.
15
Artinya: ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak.
jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisaa’: 12)
b. Dalil-dalil dari Sunnah
1) Hadis dari Imam Muslim
ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فلولى رجل ذكر 23
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dia berkata, “
Rasulullah SAW bersabda:“Berikanlah harta warisan
kepada yang berhak mendapatkannya, sedangkan sisanya
untuk laki-laki yang paling dekat garis keturunanya”. (HR.
Muslim)
23 Imam Muslim, Jam’u al-Jawami al-Hadis Wal Asanid, Juz II, ( Germany:Dar
Miknas Shohih al-Islamiyah, 2000), h. 688.
16
2) Hadis dari Imam Abu Dawud
اق حدثنا أحمد بن صالح ومخلد بن خالد وهذا حديث مخلد وهو األشبع قال حدثنا عبد ز الر
عل صلى للا يه وسلم حدثنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس قال قال رسول للا
فما تركت الفرائض فلولى ذكر 24 اقسم المال بين أهل الفرائض على كتاب للا
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih,
dan Makhlad bin Khalid, dan ini adalah hadits Makhlad dan
tersebut lebih bagus (patut diterima). Mereka berdua
mengatakan; telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq,
telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari dari Ibnu
Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: “Bagikan harta diantara para
pemilik faraidh (bagian harta waris) berdasarkan kitab
Allah. Maka bagian harta yang tersisa setelah pembagian
tersebut, lebih utama diberikan kepada (ahli waris) laki-
laki”. (HR. Abu Dawud)
3. Rukun dan Syarat
Adapun beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian
warisan. Adapun rukun pembagian warisan ada tiga, yaitu:25
a. Muwarrits ( مورث), yaitu orang yang meninggal dunia, baik
karena mati hakiki maupun hukmi (حكمي). Mati hukmi
maksudnya, dia sudah dianggap mati atas putusan pengadilan,
seperti karena telah lama menghilang atau sebab-sebab
lainnya.
b. Warits )وارث(, yaitu ahli waris yang akan menerima pembagian
warisan seperti karena ada hubungan perkawinan dan
hubungan darah (keturunan).
c. Mauruts )موروث(, yaitu harta warisan yang ditinggalkan oleh si
mati yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris, setelah
diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan
melaksanakan wasiat, kalau ada meninggalkan wasiat. Harta
24 Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adzim Abadi, Ainul Ma’bud
Syarah Sunan Abi Daud, Juz 5 (Kairo: Daarul Hadits, 2001), h. 306.
25 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001), h.
28-29.
17
warisan ada yang menyebut dengan : tirkah تركة) ( atau turats
.)تراث(
Sedangkan syarat-syarat pembagian warisan adalah:
a. Muwarrits, syaratnya benar-benar telah meninggal dunia,
apakah meninggal hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat
diketahui tanpa harus melakukan pembuktian, bahwa seorang
telah meninggal dunia. Secara yuridis (hukmi) yaitu kematian
seseorang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim
dinyatakan telah meninggal dunia. Atau secara taqdiri, yaitu
anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal
dunia.
b. Warits, syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwarrits,
ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Ada syarat lain
yang harus dipenuhi, yaitu bahwa diantara muwarrits dan
warits tidak ada halangan untuk saling mewarisi.
c. Mauruts, yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi
biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan
wasiat.26
B. Sebab-sebab Mewarisi
Harta orang yang telah meninggal dengan sendirinya beralih
kepada orang hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah
meninggal dunia tersebut. Dalam literatur hukum Islam atau fiqih,
dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima
harta warisan dari seseorang yang telah mati, yaitu hubungan kerabat,
hubungan perkawinan, hubungan wala’ dan hubungan sesama Islam.27
26 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 28-29. 27 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 2, (Jakarta: KENCANA,
2005), h. 179.
18
1. Hubungan Kerabat
Salah satu sebab beralihnya harta, seorang yang telah
meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan
silaturahmi atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu hubungan nasab
yang disebabkan oleh kelahiran.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang
mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga
golongan, yaitu sebagai berikut:
a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mati
b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan
adanya si mati
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si
meninggal dunia melalui garis menyamping, seperti saudara,
paman, bibi dan anak turunannya dengan tidak membeda-
bedakan laki-laki atau perempuan.28
2. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan (persemendaan) dengan artian suami
menjadi ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri menjadi ahli
waris bagi suaminya yang meninggal.29 Perkawinan yang menjadi
sebab timbulnya hubungan kewarisan antara suami istri didasarkan
pada dua syarat berikut:
a. Perkawinan itu Sah Menurut Syariat Islam
Artinya, syarat dan rukun perkawinan terpenuhi, atau
antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu
nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta
28 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al- Ma’arif, 1975), h. 116.
29 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 188.
19
lepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum
kumpul (hubungan kelamin).
b. Perkawinan Masih Utuh
Artinya, suami istri masih terikat dalam tali perkawinan
saat salah satu pihak meninggal dunia.30 Termasuk dalam
ketentuan ini, apabila salah satu pihak meninggal dunia,
sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak
raj’i dan perempuan masih dalam masa iddah. Seorang
perempuan yang sedang menjalani iddah talak raj’i masih
berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali
hubungan kelamin (menurut jumhur ulama) karena halalnya
hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian.31
3. Wala’
Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan
yaitu ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya dan
ahli warisnya yang mewarisi dengan bagian ‘ashabah’ dengan sebab
dirinya (ashobah bin nafsi) seperti ikatan antara orang tua dengan
anaknya, baik memerdekakan secara sukarela atau karena wajib
seperti karena nadzar atau zakat atau kafarah.32
4. Hubungan Sesama Islam
Seorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak ada
meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisnya
30 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan , h. 191. 31 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.74.
32 Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris: Metode
Praktis Menghitung Warisan Dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin,
(Tegal Jateng: Ash-Shaf media: 2007), h. 27.
20
diserahkan kepada Baitul Maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan
untuk kepentingan kaum muslimin.
C. Halangan Mewarisi
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat
menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau
syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat
menerima hak waris.33 Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan
hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut:
1. Perbudakan
Perbudakan adalah suatu sifat yang menjadikan seseorang
dimiliki oleh yang lain, dia dapat dijual dan diberikan, diwarisi dan
diatur, dan tidak dapat mengatur perkaranya dengan pengaturan yang
bebas. Sebagian ulama memberikan defenisi bahwa perbudakan
adalah kelemahan diri seseorang secara hukum disebabkan kekufuran.
Perbudakan menghalangi warisan karena Allah telah menyandarkan
warisan kepada orang yang berhak dengan memakai huruf “lam”
yang menunjukkan makna pemilikan, maka harta warisan menjadi
milik ahli waris sedangkan budak tidak memiliki.34
Baik keadaan budak itu qinna (budak murni) atau mudabbar
(yaitu budak yang dimana tuannya telah menyatakan kepadanya:
”Kamu bebas merdeka sesudah kematianku”, atau mukatabah (yaitu
budak yang diwajibkan oleh tuannya untuk memenuhi sejumlah harta,
kemudian dikatakan kepadanya, misalnya: “jika kamu memberikan
kepadaku seratus juta, maka kamu bebas, merdeka”).
Atau budak yang untuk kemerdekaaanya dikaitkan dengan
suatu sifat. Seperti tuannya mengatakan: “Jika istriku melahirkan anak
laki-laki maka kamu bebas. Dan demikian juga akan segala macam
33 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 83.
34 Asy- Syaikh Muhammad, Ilmu Waris, h. 40.
21
budak tidak boleh mewarisi. Sebagaimana budak tidak boleh
mewarisi, maka ia juga tidak boleh diwarisi, karena ia tidak
mempunyai harta.35
2. Pembunuhan
Apabila penerima waris membunuh pemberi waris, maka ia
tidak boleh mewarisi hartanya. Para ulama berbeda pendapat tentang
warisan seorang pembunuh menjadi empat pendapat:
a. Sekelompok ulama berpendapat bahwa pembunuh tidak
mendapatkan warisan sama sekali dari orang yang dibunuhnya.
b. Sekelompok ulama yang lain berpendapat bahwa seorang
pembunuh mendapatkan warisan. Mereka merupakan sekelompok
minoritas ulama.
c. Sekelompok ulama membedakan antara pembunuh bersalah dan
pembunuh sengaja. Pada pembunuhan sengaja tidak mendapatkan
warisan sedikitpun dan pada pembunuhan bersalah mendapatkan
warisan kecuali yang berasal dari diyat. Ini adalah pendapat Imam
Malik dan para pengikutnya.
d. Sekelompok ulama juga membedakan antara pembunuhan sengaja
yang dilakukan karena perintah yang wajib atau bukan perintah
yang wajib, seperti orang yang menegakkan hukuman had. Secara
garis besar, perbedaan antara orang yang tertuduh dan orang yang
tidak tertuduh.36
Dalam KHI Pasal 173 disebutkan bahwa seseorang terhalang
menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
35 Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawaris fi al-Syari’ah al-Islamiyah fi Dhau’i
al-Kitab wa al-Sunnah, (Kairo: Daarul Hadits), h. 42. 36 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Juz II (Semarang:
Thoha Putra), h. 270.
22
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.37
3. Berlainan Agama
Berlainan Agama adalah adanya perbedaan Agama yang
menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang
mewariskan. Dasar hukum berlainan Agama sebagai mawani’ ul irsi.
Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang
non-Islam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran
status orang non-Islam (kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh
Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 141:
للكافرين على المؤمنين سبيال (١٤١ )اانساء:ولن يجعل للا
Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 141)
Apabila seorang ahli waris yang berbeda Agama beberapa saat
sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan
peninggalan belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru
masuk Islam itu tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak
mewarisi tersebut sejak adanya kematian orang yang mewariskan,
bukan saat kapan dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal
37 Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: FOKUSMEDIA, 2007), H.
57.
23
pada saat kematian si pewaris, ia masih dalam keadaan non-Islam
(kafir). Jadi, mereka dalam keadaan berlainan Agama.38
Andai kata syarat mendapatkan hak mewarisi baru dimulai
pada saat pembagian harta peninggalan, tentu terdapat perbedaan
hukum tentang mendahulukan dan mengakhirkan pembagian harta
peninggalan, dan tentu hak yang demikian itu dapat disalah gunakan
oleh ahli waris yang masuk Islam hanya untuk memperoleh harta
peninggalan saja dan kemudian murtad kembali setelah tercapai
maksudnya.39
4. Hijab (Penghalang Hak Waris)
Ditinjau dari segi bahasa, kata al-hajb larangan atau halangan.
Dalam bahasa Arab, penjaga pintu disebut hajib karena ia melarang
orang masuk keruang para pemimpin tanpa izin. Bentuk isim fa’ilnya
adalah hajib dan bentuk isim maf’ulnya adalah mahjub. Dengan
demikian, orang yang menghalangi orang lain memperoleh hak
warisnya disebut al-hajib, sedangkan orang yang terhalangi untuk
memperoleh hak warisnya disebut al-mahjub.40
Sedangkan menurut istilah, hajb adalah mencegah ahli waris
dari hak warisnya, baik seluruhnya maupun sebagian karena adanya
orang yang lebih berhak daripada dia untuk memperoleh warisan.41
a. Macam-macam al-hajb
Hilangnya hak mewarisi ini mungkin secara keseluruhan
atau mungkin hanya hilang sebagian, yaitu bergeser dari bagian
38 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 98.
39 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.78.
40 Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan Islam Menurut al-Qur’an dan
Sunnah , (Jakarta: Dar al-Kutub Al- Islamiyah,2005), Cet 1, h.106.
41 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 106-107.
24
yang besar menjadi bagian yang kecil. Karena itu hijab ini
dibedakan atas 2 macam, yaitu sebagai berikut:42
1) Hijab Hirman, yaitu terhalangnya seseorang untuk
memperoleh seluruh bagian harta warisan, padahal seharusnya
ia berhak mendapatkannya. Seperti terhalangnya kakek oleh
ayah, saudara laki-laki sebapak oleh saudara laki-laki kandung,
nenek oleh ibu dan sebagainya.
2) Hijab Nuqshan, yaitu berkurangnya bagian seorang ahli waris
dari yang semestinya. Ia terima karena adanya orang lain.
Dengan demikian, hijab nuqhsan tidak menghalangi sama
sekali orang yang berhak mendapatkan warisan, namun
mengurangi bagiannya sehingga ia tidak dapat memperoleh
bagian yang maksimal (banyak). Seperti, terkuranginya bagian
istri seperempat (1/4) menjadi seperdelapan (1/8) karena
adanya anak yang menjadi ahli waris.43
b. Para Ahli Waris yang tidak akan Mahjub
Diantara para ahli waris, terdapat orang-orang yang sama
sekali tidak dapat terhalang (mahjub) oleh hijab al-hirman
sehingga selamanya dapat memperoleh bagian warisan, berjumlah
enam orang, yaitu:
1) Anak laki-laki kandung
2) Anak perempuan kandung
3) Ayah
4) Ibu
5) Suami
6) Istri
42 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.80.
43 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 107.
25
Atau dengan istilah lain yang lebih simpel sebagaimana
diungkapkan oleh para pakar ilmu faraidh; dua jenis anak, dua
orang tua, dan suami istri, jika salah seorang diantara mereka
menjadi ahli waris, maka dapat dipastikan memperoleh bagian
karena mereka tidak dapat terhalang oleh hijab al-hirman.44
c. Para Ahli Waris yang Mahjub
Adapun para ahli waris laki-laki yang mahjub (terhalang) ialah:
1) Kakek yang shahih terhalang oleh ayah, dan kakek yang jauh
terhalang oleh kakek yang dekat dan seterusnya.
2) Saudara laki-laki sekandung terhalang oleh ayah, anak laki-
laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunanya.
3) Saudara laki-laki seayah terhalang oleh ahli waris yang
menghalangi saudara laki-laki sekandung, dan oleh saudara
perempuan sekandung yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair.
Karena, dalam kondisi seperti itu ia mempunyai posisi sekuat
saudara laki-laki sekandung, baik dalam memperoleh bagian
warisan maupun dalam memahjubkan.
4) Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan terhalang
oleh orangtua laki-laki pewaris dan oleh anak-anak pewaris
baik laki-laki maupun perempuan dan seterusnya.
5) Cucu laki-laki dari anak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki
dari anak laki-laki yang dekat dan seterusnya.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) sekandung
terhalang oleh ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari
anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-
laki sebapak.
7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhalang oleh ahli
waris yang menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki
44 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 108.
26
sekandung, dan juga oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung.
8) Paman sekandung terhalang oleh anak laki-laki saudara laki-
laki seayah dan oleh ahli waris yang menghalangi anak laki-
laki saudara laki-laki seayah.
9) Paman seayah terhalang oleh paman sekandung dan oleh ahli
waris yang menghalangi paman sekandung.
10) Anak laki-laki dari paman sekandung terhalang oleh paman
seayah dan oleh ahli waris yang menghalangi paman seayah.
11) Anak laki-laki paman seayah terhalang oleh anak laki-laki
paman sekandung, dan oleh orang-orang yang menghalangi
anak laki-laki paman sekandung.
Dan para ahli waris perempuan yang mahjub ialah:
1) Nenek, baik ibunya maupun ibunya ayah terhalang oleh ibu
dalam semua keadaan.
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang maupun
lebih, terhalang oleh anak laki-laki dan oleh dua orang atau
lebih anak perempuan kecuali jika ia mempunyai saudara laki-
laki mu’ashib (yang menjadikannya memperoleh bagian
ashabah) sebagaimana akan dijelaskan nanti.
3) Saudara perempuan sekandung terhalang oleh ayah dan oleh
anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki pewaris terus ke
bawah.
4) Saudara perempuan seayah terhalang oleh saudara perempuan
sekandung yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair, oleh ayah,
anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan oleh
dua orang saudara perempuan sekandung yang memperoleh
bagian seperenam untuk menggenapkan bagian dua pertiga,
kecuali jika saudara perempuan seayah tersebut mempunyai
saudara laki-laki mu’ashib.
27
5) Saudara perempuan seibu terhalang oleh ayah atau kakek dan
seterusnya keatas, dan juga oleh anak-anak, baik laki-laki
maupun perempuan dan seterusnya kebawah.45
D. Jenis-jenis Ahli Waris dan Bagiannya
Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:
Ashabul Furudh, Ashabah dan Dzawil Arham.46
1. Ashabul Furudh
Ashabul furudh ialah waris-waris yang mempunyai bagian
yang telah ditentukan pada harta peninggalan dengan nash atau
dengan ijma. Mereka semuanya ada dua belas orang: empat orang
lelaki, delapan wanita. Ashabul furudh dari lelaki ialah: suami, ayah,
kakek sejati dan saudara seibu. Ashabul furudh dari wanita, ialah:
isteri, ibu, nenek sejati, anak perempuan sekandung, cucu perempuan
dari anak lelaki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan
seayah dan saudara perempuan seibu.
a. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/2/ (nishf) harta:
1) Suami, apabila isteri meninggalkan anak, baik anak si suami
itu sendiri ataupun anak dari suami lain.
2) Seseorang anak perempuan kandung, apabila tidak ada orang
yang menjadi ashabahnya.
3) Cucu perempuan, jika si mayit tidak meninggalkan anak
kandung laki-laki.
4) Saudara perempuan sekandung, bila dia seorang diri, dengan
syarat tidak ada orang yang menjadi ashabahnya dan tidak
pula bersamanya anak perempuan kandung.
5) Saudara perempuan seayah, dengan syarat yang telah
dikemukakan pada saudara-saudara perempuan sekadung dan
45 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 107-110.
46 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam , h. 63.
28
dengan syarat tidak pula bersamanya saudara perempuan
sekandung.
b. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/4 (rubu’) harta:
1) Suami, jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Baik anak
dari suami itu sendiri, atau pun anak dari suami yang lain.
2) Isteri, apabila suami tidak meninggalkan anak.
c. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/8 (tsumun) harta:
1) Isteri, jika suami wafat meninggalkan anak.
d. Ashabul Furudh yang berhak menerima 2/3 harta (tsulutsani) harta:
1) Dua anak perempuan kandung
2) Cucu-cucu perempuan dari anak lelaki
3) Saudara-saudara perempuan sekandung
4) Saudara-saudara perempuan seayah, dengan syarat-syarat yang
telah diterangkan tentang berhaknya mereka menerima nishfu
diwaktu bersendiri.
e. Ashabul Furudh yang menerima 1/3 (tsuluts) harta:
1) Ibu, dengan syarat orang yang meninggal itu tidak
meninggalkan anak dan tidak pula meninggalkan beberapa
saudara baik seibu bapak, atau sebapak atau seibu.
2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik lelaki maupun
perempuan baik mereka semuanya lelaki, ataupun semuanya
perempuan ataupun ada yang lelaki dan ada yang perempuan.
Dua orang saudara dan seterusnya seibu mendapat 1/3 harta.
f. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/6 (sudus) harta:
1) Ayah, ketika yang meninggal itu mempunyai anak.
2) Kakek sejati, diwaktu yang meninggal itu meninggalkan anak,
tidak meninggalkan ayah.
3) Ibu, apabila yang meninggal itu meninggalkan anak, atau dua
orang dan seterusnya dari saudara-saudara lelaki dan saudara
perempuan, baik seibu bapak atau sebapak atau seibu.
4) Nenek sejati, diwaktu tak ada ibu.
29
5) Cucu perempuan dari anak lelaki, seorang saja atau lebih
bersama seorang anak perempuan kandung.
6) Saudara perempuan seayah, seorang ataupun lebih bersama
seorang saudara perempuan sekandung.
7) Seorang anak seibu (saudara seibu), baik lelaki ataupun
perempuan.47
Di dalam al-Quran dan Hadits Nabi disebutkan bagian-bagian
tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu.
Bagian tertentu itu dalam al-Quran yang disebut dengan furudh adalah
dalam bentuk angka pecahan yaitu 1/2, 1/4. 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6. Para
ahli waris yang mendapat menurut angka-angka tersbut dinamai ahli
waris ashabul furudh.48
2. Ashabah
kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela,
penolong, pelindung atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut istilah
faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaannya tidak ada
ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima sisa atau tidak dapat sama
sekali. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang
bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa
harta setelah dibagi kepada ahli waris.
Ahli waris ashabah kan mendapatkan bagian harta
peninggalan, tetapi tidak ada ketentuan bagian yang pasti. Baginya
berlaku:
a. Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta
waris untuk ahli waris ashabah;
47 T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam
Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 74-77.
48 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004) Cet. 2,
h. 225.
30
b. Jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabul furudh
menerima sisa dari ashabul furudh tersebut.
c. Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh
maka ahli waris ashabah tidak mendapatkan apa-apa.49
Ahli waris ashabah ini terdiri dari orang-orang yang
mempunyai hubungan darah dari garis keturunan laki-laki, seperti
anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, kakek.50 Dalam keadaan
tertentu anak perempuan juga mendapat ashabah apabila ia
didampingi atau bersama saudaranya laki-laki. Kelompok ashabah ini
menerima pembagian harta waris setelah selesai pembagian untuk
ashabul furudh.
Yang termasuk ahli waris ashabah, yakni sebagai berikut:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki walaupun sampai ke bawah
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki kandung
f. Saudara laki-laki sebapak
g. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (Keponakan)
h. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan)
i. Paman kandung
j. Paman sebapak
k. Anak laki-laki paman sekandung
l. Anak laki-laki paman sebapak
Ahli waris ashabah dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan
sebagai berikut:
a. Ashabah Binnafsihi
49 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 64-65.
50 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut: Darul Fikry, 1983), h. 437.
31
Ashabah Binafsihi adalah kerabat laki-laki yang
dipertalikan dengan simati, tanpa diselingi oleh ahli waris
perempuan. Atau ahli waris yang langsung menjadi ashabah
dengan sendirinya tanpa disebabkan oleh orang lain. Misalnya,
anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara
laki-laki sekandung. Mereka itu dengan sendirinya boleh
menghabiskan harta, setelah harta peninggalan tersebut dibagikan
kepada ashabul furudh.
b. Ashabah Bilghairi (bersama orang lain)
Ashabah Bilghairi adalah orang perempuan yang menjadi
ashabah beserta laki-laki yang sederajat dengannya (setiap
perempuan yang memerlukan orang lain dalam hal ini laki-laki
untuk menjadikan ashabah dan secara bersama-sama menerima
ashabah). Kalau orang lain itu tidak ada, ini tidak menjadi
ashabah, melainkan menjadi ashabul furudh biasa.
c. Ashabah Ma’al ghairi (karena orang lain).
Ashabah Ma’al ghairi adalah orang yang menjadi
ashabah disebabkan ada orang lain yang bukan ashabah. (Setiap
perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan
ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat menerima
ashabah). Orang lain tersebut tidak ikut menajadi ashabah. Akan
tetapi, kalau orang lain tersebut tidak ada maka ia menjadi
ashabul furudh biasa.
Contohnya seperti berikut ini:
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih), bersama
dengan anak perempuan (seorang atau lebih atau bersama
dengan cucu perempuan (seorang atau lebih).
32
2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama
dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama
dengan cucu perempuan (seorang atau lebih). 51
3. Dzawil Arham
Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan ashabul
furudh dan bukan pula ashabah.52 Mereka dianggap kerabat yang jauh
pertalian nasabnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan
b. Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan
c. Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)
d. Nenek dari pihak kakek (ibu kakek)
e. Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak
maupun seibu)
f. Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu
g. Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung
sebapak atau seibu)
h. Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari
kakek
i. Paman yang seibu dengan dan saudara laki-laki yang seibu dengan
kakek
j. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu
k. Anak perempuan dari paman
l. Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu).53
Kemungkinan untuk mendapatkan dzawil arham disebagian
ulama sudah tidak berlaku lagi ketika ada Rad. Menurut Imam Malik,
Imam Syafi’i dan para fuqaha Amshar, demikian pula Zaid bin Tsabit
r.a. dari kalangan sahabat, berpendapat bahwa orang-orang tersebut
51 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 65-66.
52 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, h. 446.
53 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 66.
33
(dzawul arham) tidak mewarisi.54 Hal ini sudah diatur didalam KHI
Pasal 192 yang menyebutkan bahwa:
“Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli
warisnya Dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih
besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai
dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisannya
dibagi secara Aul menurut angka pembilang.”
Pasal 193 yang menyebutkan bahwa:
“Apabila dalam pemberian harta warisan diantara para ahli
warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih
kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah,
maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara Rad, yaitu
sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi
berimbang diantara mereka”.
E. Kewarisan dalam KHI
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23
Pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193. Pada umumnya pasal-pasal
KHI tentang kewarisan sudah sama dengan yang terdapat dalam hukum
kewarisan Islam atau yang disebut faraidh. Dalam beberapa pasal dalam
penglihatan sepintas tidak sejalan dengan hukum faraidh. Namun setelah
didalami dengan sedikit penyesuaian dapat dipahami bahwa pasal itu tidak
menyalahi hukum faraidh.55
54 Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid Analisa Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali dan Ahmad Ma’ruf Asrori, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 381.
55 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 322.
34
1. Pengertian dan Istilah Dalam KHI
Pengertian dan beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum
waris Islam yang terdapat dalam KHI Pasal 171 sebagai berikut:
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewars
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris
baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-
haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit
sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.56
Dalam penelitian ini membahasan ketentuan seputar masalah-
masalah dalam pembagian warisan terkhusus dalam masalah
munasakhah yang belum diatur didalam KHI, baik mengenai
pengertian atau pun tentang tatacara pembagiannya. Apabila ada
perkara warisan Munasakhah yang masuk di Pengadilan Agama,
maka hakim berijtihad atau melakukan suatu terobosan hukum untuk
menyelesaikan perkara ini.
56 Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: FOKUSMEDIA, 2007),
H.56.
35
2. Beberapa Ketentuan Yang Berbeda Dengan Kewarisan Fiqih
a. Ahli Waris Pengganti
Hal ini dijelaskan dalam KHI Pasal 185 yang berbunyi:
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
b. Anak Angkat (Wasiat Wajibah)
Hal ini dijelaskan dalam KHI Pasal 209 yang berbunyi:
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176
sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap
orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta dari harta wasiat anak
angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta dari harta
warisan orang tua angkatnya.
F. Kewarisan Bertingkat (Munasakhah)
1. Pengertian Kewarisan Bertingkat (Munasakhah)
Menurut bahasa, munasakhah artinya naql (memindahkan) dan
izalah (menghilangkan). Seperti kalimat, “Nasakhtu al-kitab”,
maksudnya “Naqaltuhu ila nuskhah ukhra” (Aku memindahkan atau
menyalin naskah atau tulisan dari buku itu.57 Seperti kalimat,
“Nasakhat asy-syamsu”, maksudnya, “Inna kunna nastansikhu ma
kuntum ta’malun” (al-Jasiyah [45]: 29), maksudnya ‘nanqulu wa
nusajjilu, artinya, “Kami pindahkan dan kami salin.
57 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2002), Cet. Kedua puluh lima, h. 1412.
36
Untuk makna kedua (menghilangkan), terdapat dalam firman
Allah SWT, berikut ini:
على كل شي ء قدير ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن للا
( ٦۰١البقرة: )
“Ayat mana saja yang Kami naskh-kan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau
yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (al-Baqarah
[2]: 106)
Maksudnya, “Nubaddiluha aw nuzillu tilawataha wa
nughayyiru hukmaha’ Kami ganti atau kami hilangkan bacaannya dan
Kami ubah hukumnya.”58 Kata munasakhah ) منا سخة ( berasal dari
“nasakha” ) نسخ ( yang artinya menghapus, memindahkan,
mengalihkan, maka menurut bahsa kata ‘munasakhah” artinya
penghapusan pemindahan sesuatu dan pengalihannya dari seseorang
kepada orang lain.59
Munaskhah adalah bentuk mufa’aalah (bermakna saling) dari
al-naskh yang berarti pemindahan dan pengalihan. Yang dimaksud
disini adalah perpindahan bagian sebagian ahli waris karena
kematiannya sebelum pembagian kepada orang yang mewarisinya.60
Menurut ilmu mawaris, munasakhah ialah kematian seseorang
yang sebelum harta peninggalannya dibagi terjadi kematian seseorang
atau beberapa orang ahli waris yang berhak mewarisinya sedemikian
rupa sehingga terjadi pemindahan bagian sebagian ahli waris tersebut
58 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul Mawarits fil-
Fiqhil-Islami. Penerjemah Addys aldizar, Fathurrahman. Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), Cet. 1, h. 420.
59 Muhammad bin Umar Al-Bakri, Hasyiyah Muhammad bin Umar al-Nakri,
(Kairo: Maktabah al Misriyah, t.th.,), h. 39.
60 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet.1, h.490.
37
kepada ahli warisnya lantaran dia meninggal dunia sebelum
pembagian harta pusaka yang meninggal terdahulu dilaksanakan.61
Munasakhah terjadi bila seseorang meninggalkan harta
pustaka serta beberapa orang ahli waris, kemudian sebelum harta
pusaka yang ditinggalkan itu dibagikan kepada ahli waris yang berhak
menerimanya secara ilmu faraidh, menyusul salah seorang ahli waris
yang seharusnya mendapat bagian harta pusaka tersebut meninggal
dunia pula, maka dalam kasus seperti ini disebut munasakhah.62
Sedangkan menurut ulama fiqih munasakhah adalah situasi
atau kondisi dimana salah seorang ahli waris meninggal dunia
sebelum pembagian warisan. Apabila keadaannya demikian, hak
orang yang meninggal itu atas harta waris berpindah kepada ahli
warisnya. Sebab penamaan masalah ini dengan munasakhah
dikarenakan masalah pertama dipindahkan menjadi masalah kedua,
atau karena harta waris berpindah dari satu ahli waris, ke ahli waris
lainnya.63
Munasakhah termasuk salah satu metode tashhihul masalah,
naskh secara bahasa berarti membatalkan sesuatu atau
menghilangkannya. Secara istilah munasakhah adalah metode
perhitungan warisan ketika salah satu ahli waris meninggal sebelum
warisan pertama dibagikan. Dinamakan munasakhah karena hak waris
berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain.64
61 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analiss Komparatif
Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012), Cet.1, h. 166. 62 Ali As-Shabuni, Al-Mawarrits fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 174.
63 Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Hukum Waris, h. 420.
64 Wahbah Zuhaili, AL-FIQHU ASY-SYAFI’I AL-MUYASSAR. Penerjamah
Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira: 2010), h.144.
38
2. Keadaan-keadaan Munasakhah
Berdasarkan defenisi diatas, munasakhah memiliki dua bentuk:
a. Ahli waris yang akan menerima warisan dari orang yang
meninggal belakangan, juga merupakan ahli waris dari orang
yang terlebih dahulu meninggal. Untuk menyelesaikan masalah
ini tidak terlalu sulit, cukup dengan membagikan harta
peninggalan orang yang telah meninggal terlebih dahulu dan yang
belakangan dengan cara digabungkan harta keduanya. Misalnya:
mayit meninggalkan uang sebanyak Rp. 300 juta, ahli waris
terdiri dari 2 orang anak laki-laki, yaitu Doni dan Banu, dan 2
orang anak perempuan, Risa dan Lia. Sebelum harta peninggalan
dibagikan, mendadak Doni meninggal dunia dengan tidak
meninggalkan ahli waris selain Banu, Risa dan Lia. Maka
pembagiannya cukup dengan mengadakan pembagian sekali saja
dengan menganggap Doni tidak pernah ada. Maka masing-masing
mendapat:
Banu : 2/4 x Rp. 300 juta = 150 juta.
Risa : 1/4 x Rp. 300 juta = 75 juta.
Lia : 1/4 x Rp. 300 juta = 75 juta.65
b. Ahli waris mayit kedua bukan ahli waris mayit pertama atau
sebagian dari ahli waris mayit kedua adalah ahli waris mayit yang
pertama dan mayit kedua. Dalam kondisi ini, pembagian warisan
harus dilakukan secara terpisah, artinya warisan mayit pertama
dibagikan terlebih dahulu kepada ahli warisnya, setelah itu,
warisan mayit kedua dibagikan kepada ahli warisnya, sesuai
kaidah terdahulu.
Misalnya: seorang wanita wafat meninggalkan seorang suami,
saudara perempuan seibu dan paman kandung dari pihak bapak.
65 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), Cet 1, h. 100-101.
39
Harta waris yang ditinggalkan sebesar Rp. 133.800.000,00. Tidak
lama kemudian, suami meninggal sebelum pembagian warisan
dilakukan. Suami meninggalkan ahli waris anak perempuan, cucu
perempuan dari anak laki-laki, ibu dan bapak.
Pertama, ahli waris dan pembagian warisan sebelum suami si
mayit wafat.
a.m 6
Suami : 1/2 = 3/6 x Rp. 133.800.000,00 = Rp. 66.900.000,00.
Saudara : 1/6 = 1/6 x Rp. 133.800.000,00 = Rp. 22.300.000,00.
Perempuan seibu
Paman
Kandung : A = 2/6 x Rp. 133.800.000,00. = Rp. 44.600.000,00.
Kedua, ahli waris dan pembagian warisan suami si mayit yang
meninggal.
a.m. 6
Anak Perempuan : 1/2 = 3/6 x Rp.66.900.000,00 = Rp.
33.450.000,00.
Cucu Perempuan : 1/6 = 1/6 x Rp. 66.900.000,00 = Rp.
11.150.000,00.
Bapak : 1/6 = 1/6 x Rp. 66.900.000,00 = Rp. 11.
150.000,00.
Ibu : 1/6 = 1/6 x Rp. 66.900.000,00 = Rp. 11.
150.000,00.66
3. Rincian Amaliah Munasakhah
Sebelum melakukan rincian tentang amaliah munasakhah,
harus terlebih dahulu melakukan langkah-langkah:67
66 Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Hukum Waris, h. 420.
67 Ali As-Shabuni, Al-Mawarrits fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 134.
40
a. Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan
hak waris kepada setiap ahli warisnya, termasuk ahli waris yang
meninggal.
b. Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian
pewaris kedua, tanpa memperdulikan masalah pertama.
c. Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah
pertama, dengan pentashihan masalah dan para ahli warisnya
dalam masalah kedua.
d. Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungan terhadap
ketiga nisbat, yaitu al-mumatsalah, al-muwafaqah dan al-
mubayanah. Dan di dalam buku Fatchur Rahman ada yang
disebut dengan al-mudakhalah. Bila antara keduanya yakni antara
bagian pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya yang lain
adalah mumatsalah (kesamaan), maka dibenarkan kedua masalah
hanya dengan tashih yang pertama.
4. Penyelesaian Kasus Munasakhah
Dalam menyelesaikan masalah munasakhah, para ulama
menempuh jalan sebagai berikut:68
a. Mumatsalah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashih pertama
dengan tashih kedua itu mumatsalah, maka tidak perlu adanya
perkalian juzus- saham dengan asal masalah semula.
Misalnya, ahli waris terdiri dari suami, ibu dan paman.
Kemudian sebelum harta peninggalan dibagi, suami menyusul
meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris 3 orang anak
laki-laki.
Penyelesaian pertama:
Suami : 1/2
68 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, h. 102-105.
41
Ibu : 1/3
Paman: ashabah
Asal Masalah (6)
Suami= 3 Ibu= 2 Paman= 1
Penyelesaian kedua:
3 anak laki-laki mendapat 3 (dari saham suami)
Ibu mendapat 2 (dari yang meninggal pertama)
Paman mendapat 1, (6-5=1), (dari yang meinggal pertama
Karena sahamnya sudah dapat pas dibagikan kepada
adadurruus, maka tidak perlu tashih. Dengan kata lain, saham-
saham dalam tashih I dinisbahkan dengan saham-saham dalam
tashih II adalah mumatsalah.
b. Muwafaqah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashih I
dengan tashih II itu muwafaqah, maka waafi (hasil bagi dari
pembagi yang sama) tashih II hendaklah dikalikan dengan asal
masalah yang pertama.
Misalnya ahli waris terdiri dari suami, ibu dan paman.
Kemudian sebelum harta peninggalan dibagi, suami menyusul
mati dengan meninggalkan ahli waris 6 orang anak laki-laki.
Penyelesaian pertama:
Asal masalah (6)
Suami : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/3 x 6 = 2
Paman : ashabah = 1
Penyelesaian kedua:
6 anak laki-laki mendapat ashabah berdasarkan jumlah
saham mereka yaitu 6. Karena yang diwariskan dari bapaknya
(suami yang mati kedua). 3 saham tidak dapat dibagikan kepada
mereka tanpa angka pecahan, tawaquf (6:3), maka waafinya
42
adalah 2, digunakan untuk mengkalikan asal masalah yang
pertama, sehingga menjadi 12. Dengan demikian kedua asal
masalah tersebut sudah tashih dan pembagian saham kepada
mereka dapat diselesaikan dengan mengkalikan 2.
6 anak laki-laki : 3 x 2 = 6
Ibu : 2 x 2 = 4
Paman : 1 x 2 = 2
Jumlah : = 12
c. Mubayanah
Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashih pertama
dengan tashih kedua itu tabayyun, maka seluruh tashih kedua
dikalikan dengan seluruh tashih yang pertama.
Misalnya ahli waris terdiri dari suami, ibu dan paman.
Sebelum harta peninggalan dibagikan, suami meninggal dunia
dengan meninggalkan anak laki-laki sebanyak 10 orang.
Penyelesaian pertama:
Asal masalah (6)
Suami : 1/2 x 6 = 3
Ibu : 1/3 x 2 = 2
Paman : ashabah= 1
Penyelesaian kedua:
Karena 6 dengan 10 tidak dapat tawaquf, dan hal ini
tabayyun maka asal masalah pertama (6) dikalikan dengan asal
masalah kedua (10). Dengan kata lain jumlah adadurruus (10) itu
dijadikan asal masalah dalam tashih yang kedua, kemudian tashih
yang kedua ini dipergunakan untuk mengalikan asal masalah yang
pertama. Sesudah itu, seluruh saham ahli waris dikalikan dengan
10.
Asal masalah menjadi 6 x 10 = 60
10 anak laki-laki mendapat = 3 x 10 = 30
1 orang anak laki-laki mendapat = 3
43
Ibu mendapat = 2 x 10 = 20
Paman mendapat = 1 x 10 = 10
d. Mudakhalah
Ialah apabila penyebut-penyebut pecahan fardh ahli waris
itu dapat dibagi oleh penyebut yang terkecil. Misalnya dalam
masalah mawaris yang ahli warisnya terdiri dari anak perempuan
mendapat 1/2, ibu 1/6 maka nisbah (perbandingan) 2 penyebut itu
adalah tadakhul. Sebab penyebut yang terbesar yaitu 6 dapat
dibagi oleh penyebut yang terkecil yaitu 2.69
5. Unsur-unsur yang Melatarbelakangi terjadinya Munasakhah
a. Harta pusaka si mati belum dibagi-bagikan kepada ahli waris
menurut ketentuan pembagian harta pusaka.
b. Terjadinya kematian seorang atau beberapa ahli warisnya.
c. Pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati
kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya
yang semula tidak menjadi ahli waris terhadap orang yang mati
terdahulu.
d. Pemindahan bagian ahli waris yang meninggal dunia kepada
ahli warisnya haruslah dengan jalan mempusakai, sebab jika
pemindahan tersebut karena pembelian, pemberian atau hadiah,
yang demikian itu di luar pembahasan masalah munasakhah.
Kesimpulan yang diambil penulis adalah yang dimaksud
dengan fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas
tentang harta peninggalan, yang meliputi bagaimana proses
pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan
itu serta bagian masing masing
Adapun beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam
pembagian warisan ada tiga, yaitu pertama muwarrits, yaitu orang
yang meninggalkan hartanya, kedua warits, orang yang ada
69 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 141.
44
hubungannya dengan orang yang telah meninggal, ketiga
mauruts, yaitu harta yang menjadi pusaka/warisan.
Halangan mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal yang
dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena
adanya sebab atau syarat mewarisi, seperti perbudakan,
pembunuhan, berlainan agama, dan terhalang oleh ahli waris yang
lain. Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian,
yakni: Ashabul Furudh atau Dzawil Furudh, Ashabah dan Dzawil
Arham.
Yang dimaksud dengan Ahli Waris Pengganti adalah ahli
waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka
yang kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, dan
bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti
Yang dimaksud dengan Wasiat Wajibah yaitu harta
peninggalan yang diberikan kepada selain ahli waris dan diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta.
Yang dimaksud dengan munasakhah ialah kematian
seseorang yang sebelum harta peninggalannya dibagi terjadi
kematian seseorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak
mewarisinya sedemikian rupa sehingga terjadi pemindahan
bagian sebagian ahli waris tersebut kepada ahli warisnya lantaran
dia meninggal dunia sebelum pembagian harta pusaka yang
meninggal terdahulu dilaksanakan.
Dalam menyelesaikan masalah munasakhah dapat
menggunakan beberapa cara, yaitu: pertama mumatsalah adalah
bila ada dua atau lebih angka yang sama, maka untuk membuat
asal masalah dengan mengambil salah satunya saja, kedua
muwafaqah maksudnya adalah dua bilangan atau lebih yang
45
sama-sama bisa dibagi dengan angka (angka lain) yang sama,
ketiga mubayanah maksudnya adalah apabila dua
bilanganberbeda tidak bisa saling dibagi sehingga asal
masalahnya adalah perkalian bilangan tersebut, keempat
mudakhalah maksudnya adalah apabila ada dua angka atau lebih
yang berbeda, dan angka yang besar bisa habis dibagi angka yang
kecil. Maka untuk membuat asal masalah dengan mengambil
angka yang besar tersebut.
46
BAB III
MAQASID SYARIAH SEBAGAI METODE ISTINBAT HUKUM
A. Istinbat
1. Pengertian Istinbat
Istinbat dari segi etimologi berasal dari kata nabata-yanbutu-nabtun yang
berarti “air yang pertama kali muncul pada saat seseorang menggali sumur”. Kata
kerja tersebut kemudian dijadikan bentuk transitif, sehingga menjadi anbata dan
istinbata, yang berarti mengelurkan air dari sumur (sumber tempat air
tersembunyi). Al-Jurjani memberikan arti kata Istinbat dengan arti mengeluarkan
air dari mata air (dalam tanah).70 Jadi kata Istinbat pada asalnya berarti
mengeluarkan air dari sumbernya kemudian dipakai sebagai istilah fiqih yang
berarti mengeluarkan hukum dari sumbernya, yakni mengeluarkan kandungan
hukum dari nas-nas dengan ketajaman nalar dan kemampuan daya pikir yang
optimal. Sebagaimana yang diungkapkan Muhammad bin ‘Ali al-fayyuni seperti
yang dikutip Satria Efendi, mendefenisikan Istinbat sebagai upaya menarik
hukum dari al-Quran dan sunnah dengan jalan ijtihad.71
Kata Istinbat terdapat dalam firman Allah Q.S. An-nisa(4): 83 dalam
bentuk fi’il mudari sebagai berikut:
سول وإلى أولي ال مر منهم لعلمه الذين وإذا جاءهم أمر من المن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الر
عليكم ورحمته لتبعتم ال ( ٣٨ شيطان إل قليلا )النساء:يستنبطونه منهم ولول فضل للا
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkan. Dan kalau mereka menyerahkan
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri. Kalau tidaklah kerena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikuti Syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu). (An-
Nisa’:83)
70 Al-Syarif’ Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al- Kutub al-
Ilmiyyah, 1988), h. 22.
71 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 177.
47
Para ahli tafsir hampir secara keseluruhan menjelaskan bahwa yang
dimaksud yastanbitunah mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi (tidak jelas)
dengan ketajaman pemikiran mereka.
Istinbat (pengambilan hukum) dalam syariat Islam harus berpijak atas al-
Quran al-Karim dan Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara ada dua macam,
yaitu: nash dan ghairu nash (bukan nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam
kategori nash seperti qiyas dan istihsan , pada hakekatnya digali, bersumber dan
berpedoman pada nash.72
Tujuan istinbat hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau
perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan.
Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang
ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi
pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat
para ahli fiqh dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli
fiqh dalam menentukan syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya
telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fiqh.73
Cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari nash ada dua macam
pendekatan, yaitu pendekatan makna (thuruq ma’nawiyyah) dan pendekatan
lafazh (thuruq lafziyyah). Pendekatan makna (thuruq ma’nawiyyah) adalah
(istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti
menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dzara’i dan lain sebagainya.
Pendekatan lafazh (thuruq lafzhiyyah) penerapannya membutuhkan
beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan. Yaitu penguasaan terhadap
ma’na (pengertian) dari lafazh-lafazh nash serta konotasinya dari segi umum dan
khusus; mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafzhy ataukah
termasuk dalalah yang menggunakan pendekatan pendekatan mafhum yang
72 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah: Saefullah Ma’sum, Slamet Bashir dkk,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h.166.
73 Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah
al-Tijariyah, t.th), h. 25.
48
diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi
ibarat-ibarat nash; kemudan pengertian yang dapat dipahami dari lafazh nash
apakah berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash; dan lain sebagainya.74
Keterangan di atas menjadi acuan bahwa istinbat merupakan upaya
penggalian hukum syara dari sumber-sumber yang asli melalui pengerahan
seluruh kemampuan daya nalar. pengertian ini indentik dengan pengertian ijt ihad
yang dikenal oleh ulama ushul fiqih. namun demikian istinbat menurut al-
Syaukani dianggap sebagai operasionalisasi ijtihad karena ijtitad dilakukan
dengan menggunakan kaidah-kaidah istinbat.75
Syaikh Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya yang berjudul Ijtihad
dalam Syariat Islam membagi ijtihad menjadi dua yaitu ijtihad mutlak dan ijtihad
terikat (muqayyad). ijtihad mutlak yaitu mengerahkan kekuatan maksimal untuk
sampai pada hukum syar’i yang bersifat aplikatif dari dalilnya yang rinci, disertai
idndependensi dan tidak terikat dengan metode-metode yang digunakan mujtahid
tertentu dalam melakukan penggalian hukum dari sumbernya. dengan demikian
seorang mujtahid mutlak merujuk pada dalil-dalil hukum syar’I dalam melakukan
penggalian hukum tersebut. sedangkan ijtihad terikat (muqayyad) adalah
mengerahkan kekuatan maksimal untuk sampai pada suatu hukum syar’I yang
bersifat aplikatif dari dalilnya yang rinci disertai dengan keterikatan pada dasar-
dasar, metode-metode dan bentuk-bentuk pencarian dalil yang digunakan
mujtahid tertentu. Jadi, seorang mujtahid terikat (muqayyad) tetap merujuk pada
hukum-hukum syariat, namun dengan kacamata analisa atau metode-metode yang
digunakan gurunya (imamnya) dalam melakukan penggalian hukum. Ia juga
merujuk pada teks-teks yang telah dirumuskan gurunya (imamnya), seperti halnya
ia merujuk pada dasar-dasar umum pensyariatan.76
Muhammad Fawzi Faydh membagi ijtihad menjadi dua yaitu ijtihad
mutlak dan ijtihad juz’iy (parsial). Ijtihad mutlak adalah ijtihad yang dilakukan
74 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h.166.
75 Muhammad Ibn “Ali Ibn Muhammad al-Syawkani, Irsyad al-Fukhul ila tahqiq al-Haqq
min ‘Ilm al-Ushul, (Surabaya: Ahmad Ibn Sa’d Ibn Nabhan, t.th), h. 71.
76 Syaikh Abdul Wahhab Khallaf, Ijtihad dalam Syariat Islam, Penerjemah: Rohidin Wahid,
Cet. 1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 10-11
49
oleh ulama yang berhasil menyusun motode istinbat hukum serta kaidahnya,
sedangkan ijtihad juz’iy adalah ijtihad yang dilakukan oleh ulama yang tidak
menyusun metode istinbat hukum sendiri, ia mengikuti metode istinbat hukum
yang telah disusun oleh ulama sebelumnya.77
2. Syarat-Syarat Istinbat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan
istinbat adalah sebagai berikut:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Quran yang
berhubungan dengan masalah hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi yang
berhubungan dengan masalah hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar
dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma.
d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat
mempergunakannya untuk istinbat hukum.
e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar
tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
f. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Quran dan al-Sunnah
tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain.78
3. Macam-macam Metode Istinbat
Istinbat memiliki dua macam metode, yaitu: metode lafziyyah dan metode
ma’nawiyyah.79
a. Istinbat Lafziyyah
Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu
hukum ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna
yang tepat dari suatu lafadz, yaitu:80
77 Muhammad Fawzi Faydh Allah, Al-Ijtihad fi al-Syariat al-Islamiyyat, (Kuwayt: Maktabah
Dar al-Turats, 1984), h. 21. Lihat juga Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Cet. 1,
(Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 9. 78 Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI,
1996), h. 29.
79 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), h. 178.
50
1) Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.
2) Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.
3) Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.
b. Istinbat Maknawiyyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi
maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara
pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat,
yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud
syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan
melakukan istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:81
1) Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang
berhubungan dengan masalah hukum.
2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang
berhubungan dengan masalah hukum.
3) Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh
ijma’, agar dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan
ijma’.
4) Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat
mempergunakannya untuk istinbat hukum.
5) Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang
benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.
6) Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan
Sunnah tersusun dalam bahasa Arab.
Jadi dapat disimpulkan bahwa istinbat hukum adalah suatu metode
yang dilakukan atau dikeluarkan oleh para pakar hukum (fikih) untuk
mengungkapkan suatu dalil-dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan
yang terjadi.
80 Muin dan Asymuni Rahman, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), h. 2.
81 Muin dan Asymuni Rahman, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), h. 5.
51
4. Sumber Hukum Dalam Istinbath
a. Dalil Naqli
1) Al-Quran
Secara etimologi al-Quran adalah mashdar dari qa-ra-a ( أ -ر -ق ),
setimbang dengan kata fu’lan (فعلن). Ada dua pengertian al-Quran dalam
bahasa Arab, yaitu qur’an ( قرآن) berarti “bacaan”, dan apa yang apa yang
tertulis padanya maqru’ (مقروء), isim al-fa’il (subjek) dari qara’a (قرأ)
artinya yang disebutkan terakhir ini dijumpai dalam firman Allah pada
surah al-Qiyamah, (75): 17-18:82
إن علينا جمعه وقرآنه
Artinya: Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkan (di dadamu) dan
membacakannya. (al-Qiyamah: 17)
بع قرآنه فإذا قرأناه فات
Artinya: Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu. (al-Qiyamah: 18)
Adapun secara terminologis menurut ahli ushul fiqh yaitu:
أنه الكلم المعجز المترل علي النبي صلي هللا عليه والسلم المكتوب في المصا حف النقول
المتعبد بتلوته
Artinya: Al-Quran itu adalah kalam Allah yang menjadi mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi SAW yang dituliskan di mushaf, yang dinukilkan
secara mutawatir, dan di pandang sebagai ibadah bagi yang
membacanya.83
Pada garis besarnya hukum-hukum al-Quran dibagi menjadi dua.
Pertama, hukum-hukum untuk menegakkan agama, yang meliputi soal-
soal kepercayaan dan ibadat. Kedua, hukum-hukum yang mengatur
Negara dan masyarakat serta hubungan perorangan dengan lainnya, yang
82 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 19-20.
83 Mardani, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Cet 1, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), h. 134.
52
meliputi hukum-hukum keluarga, keperdataan, kepidanaan, kenegaraan,
dan sebagainya.84
2) As-Sunnah
Sunnah secara bahasa (etimologi) berarti jalan baik yang terpuji
maupun yang tercela.85 Dalam terminologi Fiqh, sunnah diartikan sebagai
ما يقا بال الواجب من العبادات
Artinya: Segala yang berhadapan dengan wajib dalam hal ibadah
Adapun dalam peristilahan kaum Ushulliyyin, Sunnah adalah:
ما صدر عن الرسول غير القران
Artinya: Apa yang bersumber dari Nabi selain al-Quran.86
Sunnah dalam pengertian yang lain ialah semua perkataan,
perbuatan dan pengakuan Rasulullah saw yang berposisi sebagai petunjuk
dan tasri’ pengertian tersebut menunjukkan adanya 3 bentuk sunnah
masing-masing qauliyah (berupa perkataan), fi’liyah (berupa perbuatan)
dan taqririyah (berupa pengakuan/persetujuan terhadap perkataan atau
perbuatan orang lain).87
3) Ijma’
Ijma artinya menurut bahasa adalah persetujuan bersama, putusan
bersama atau konsensus.88
84 Mardani, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, h. 135.
85 Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2013), h. 177.
86 Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqh, h. 177.
87 Sulaiman Abdulloh, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), h. 20.
88 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 187.
53
Ijma adalah kesepakatan para mujtahid umat islam dari masa
kemasa setelah wafat Nabi SAW tentang hukum syara’ dalam perkara-
perkara yang bersifat amaliyah.89
Ijma menurut syara’ adalah suatu kesepakatan bagi orang-orang
yang susah payah dalam menggali hukum-hukum agama (mujtahid) di
antara umat Muhammad SAW, sesudah beliau meninggal dalam suatu
masa yang tidak ditentuksn atau suatu urusan (masalah) di antara masalah-
masalah yang diragukan (yang belum ada ketetapannya dalam al-Quran
dan Sunnah).90
b. Dalil Aqli
1) Qiyas
Qiyas yang dimaksud di dalam ilmu ushul fiqh adalah:
استخراج مثل حكم المذكور لما لم يذكربجامع بينهما
“Mengeluarkan (suatu hukum yang sama) dengan yang telah disebut,
terhadap sesuatu yang belum disebutkan karena persamaan antara
keduanya”91
Qiyas artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada
yang lain dengan persamaan illatnya. Menurut istilah agama, Qiyas yaitu
mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang
telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah
ada/telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah, disebabkan sama illat
antara keduanya (asal dan furu’).92
2) Istihsan
Istihsan dipergunakan untuk memaknai apa yang di senangi orang,
baik berupa materi atau hal-hal yang bersifat maknawi, meskipun bagi
orang lain tidak. Termasuk dalam hal ini apa yang di anggap baik oleh ahli
89 Mardani, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, h. 148.
90 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), h. 51.
91 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, h.156.
92 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, h. 45.
54
fiqh/mujtahid berdasarkan pertimbangan logika akal. Tidak terdapat beda
pendapat dikalangan para pakar menyangkut tidak dibolehkan istihsan
dalam pengertina demikian, bertolak dari kesepakatan mereka tentang
haramnya berpendapat dalam agama menurut hawa nafsu.93
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan
menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk
menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan
hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian)
disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.94
Dengan definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Istihsan
adalah:95
a) Berpindah dari suatu hukum ke hukum yang lain, pada sebagian
peristiwa yang sesuai atau meninggalkan suatu hukum dan
mengambil hukum yang lain atau mengecualikan suatu hukum dari
hukum yang berlaku umum dengan yang khusus.
b) Berpindah dalam penetapan hukum suatu peristiwa dari hukum ke
hukum lain haruslah berdasarkan dalil syar’i, baik merupakan
pengertian yang diperoleh dari nash maupun maslahah, tau bukan
merupakan urf.
c) Beroindah dalam menetapkan hukum, adakalanya dari hukum yang
ditunjuki oleh umum nash ke hukum khusus, adakalanya berpindah
dari hukum yang dikehendaki oleh penerapan satu kaidah
syar’iyyah ke kaidah syar’iyyah lainnya.
3) Maslahah Mursalah
Dari segi bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafazh al-
manfaat, baik artinya ataupun wajah-nya (timbangan kata), yaitu kalimat
mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya
93 Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqh, h. 5. 94 Mukhtar yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), h. 100.
95 M.Rizal Qosim, Pengamalan Fikih 3, (Solo: Tiga Serangkai, 2005), h. 77.
55
afazh al-manfaat sama artinya dengan al-naf’u.96 Secara terminologi,
maslahah diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang
mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan/kemadharatan.97
Sedangkan maslahah mursalah menurut ulama ushul adalah
menetapkan hukum suatu peristiwa hukum yang tidak disebutkan nash
dan ijma’, berlandaskan pada pemeliharaan maslahah mursalah yaitu
maslahah yang tak ada dalil syara’ yang menunjukkan diakuinya atau
ditolaknya. Sebagian ulama ushul menamakannya istishlah (Hanbaliyah)
dan sebagian lagi menyebutkan berbuat atasa dasar maslahah mursalah
(Malikiyah).98
4) Saad al-Dzariah
Secara etimologi, dzariah berarti wasilah (perantaraan).
Sedangkan dzariah menurut istilah ahli hukum islam ialah sesuatu yang
menjadikan perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.
Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzariah selalu
mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi
sasaranya. Jelasannya: perbuatan yang membawa ke arah mubah adalah
mubah; dan perbuatan yang menjadi perantara atas terlaksananya
perbuatan wajib adalah wajib. Zina adalah haram. Maka, melihat aurat
wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina adalah
haram juga. Shalat jum’at adalah fardhu (wajib). Maka, meninggalkan
jual-beli guna memenuhi kewajiban menjalankan ibadah slahat jum’at
adalah wajib, karena hal ini merupakan dzariah.99
5) Istishab
Secara etimologi, Istishab berarti mencari pertemanan. Sedangkan
secara terminologi, istishab adalah menghukumi sesuatu berdasarkan
keadaan yang ada padanya sebelum adanya hukum tersebut sampai ada
dalil yang mengubah keadaan tersebut sanpai dalil yang mengubah
96 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Pustaka Setia, 1999), h.117.
97 Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul (Beirut: al-Resalah, 1997), Vol.I, h. 416.
98 Sulaiman Abdulloh, Sumber Hukum Islam, h.141.
99 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 438-439.
56
keadaan tersebut. Atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada
masa yang lalu tetap berlaku sampai pada masa sekarang sampai ada dalil
yang mengubah hukum tersebut.
Jika seorang mujtahid ditanya tentang hukum dari suatu akad atau
transaksi, lalu dia tidak menemukan keterangannya di dalam al-Quran
atau Sunnah, dan tidak ada dalil syar’i apapun yang menunjukkan
hukumnya, maka ia harus menentukan hukumnya, yaitu akad atau
transaksi tersebut dibolehkan. Hal itu berdasarkan pada kaidah bahwa
pada dasarnya hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh. Dan itu
adalah kondisi yang mendasari segala ciptaan Allah dimuka bumi ini.
Selama tidak ada dalil yang mengubah hukum tersebut, maka sesuatu itu
dihukumi dengan hukum asalnya, yaitu mubah.100
6) Al-Urf
Secara bahasa al-‘urf (العرف) sebagaimana dijelaskan oleh Qutub
Mustafa Sanu berarti sesuatu yang dikenal dan diketahui secara luas.101
Arti al-urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, urf
sering disebut adat.102
Dari pengetian di atas, dapat dipahami bahwa apa yang disebut
dengan al-Urf itu tidak lain adalah hal yang terkait dengan adat dan tradisi
yang berlaku pada suatu tempat dan menjadi praktik masyarakat secara
luas, sehingga menjadi bagian dari kehidupan mereka secara terus-
menerus baik yang berkenaan dengan ucapan, perbuatan, maupun terkait
dengan hal-hal yang tidak patut dilakukan. Dinyatakan bahwa setiap
masyarakat di berbagai tempat di dunia ia pasti memiliki urf adat istiadat
100 Syaikh Abdul Wahhab Khallaf, Ijtihad dalam Syariat Islam, h. 363. 101 Quthub Mustafa Sanu, Mu’jam Mustalahat Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Surya Dar al-Fikr
al-Ma’asir, 2000), h. 284.
102 Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Setia, 1998), h.125.
57
yang dijadikan sarana atau alat untuk mengatur dan menjaga ketertiban
hidup dalam rangka memudahkan kepentingan mereka.103
7) Qaul Sahabi
Menurut jumhur ahli ushul fiqh bahwa sahabat adalah orang
mukmin yang bertemu dan hidup bersama Nabi dalam waktu relatif lama.
Mazhab sahabi adalah pendapat sahabat Nabi Saw, tentang suatu kasus
yang tidak dijelaskan hukumnya secara tegas dalam Al-Quran dan
Sunnah. Jadi, mazhab sahabi pada dasarnya adalah fatwa atau pendapat
sahabat Nabi Saw.104 Menurut Abu Zahrah, fatwa-fatwa sahabat itu terdiri
dari beberapa bentuk:105
a) Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari Rasulullah SAW.
b) Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengar fatwa dari
Rasulullah.
c) Fatwa tersebut mereka pahami dari ayat-ayat suci al-Quran yang tidak
jelas.
d) Fatwa tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan
oleh seorang mufti.
e) Fatwa tersebut merupakan pendapat secara pribadi, lantaran mereka
menguasai bahasa Arab secara sempurna, sehingga mereka
mengetahui dilalah lafazh terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui.
B. Hubungan Antara Maqāṣid asy-Syarīʻah Dengan Beberapa Metode Istinbat
Hukum Islam.
Maqasid as-Syariah pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
dan menghindari dari segala macam kerusakan, baik di dunia maupun diakhirat.
Semua kasus hukum yang disebutkan secara eksplisit dalam al-Quran dan Sunnah
103 Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 216.
104 Firdaus, Ushul Fiqh, Cet. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017), h. 134-135.
105 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, h.331-332.
58
maupun Hukum Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad harus berdasarkan pada
tujuan perwujudan maslahah tersebut.106
Dalam kasus yang secara eksplisit dijelaskan oleh teks al-Quran maupun
Sunnah, maka kemaslahatan tersebut dapat dilacak dalam kedua sumber tersebut. Jika
suatu maslahat disebutkan secara tegas dan eksplisit dalam teks, maka kemaslahatan
itu yang djadikan tolak ukur penetapan hukum dan para ulama lazimnya menyebut
dengan istilah al-maslahah al-mu’tabara’. Lain halnya jika maslahat tersebut tidak
dijelaskan secara eksplisit oleh kedua sumber tersebut, maka mujtahid harus
bersikeras dalam menggali dan menentukan maslahat tersebut. Pada dasarnya hasil
ijtihad mujtahid tersebut dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan maslahat
yang telah ditetapkan dalam kedua sumber tersebut. Jika terjadi pertentangan, maka
para ulama lazim menyebut sebagai al-maslahah al-mulghah.107
Penggalian maslahat oleh para mujtahid dapat dilakukan melalui berbagai
macam metode ijtihad. Pada dasarnya metode-metode tersebut bermuara pada upaya
penemuan “maslahat” dan menjadikannya seagai alat untuk menetapkan hukum yang
kasusnya tidak disebutkan secara ekspilist dalam Al-Quran maupun Sunnah. Terdapat
dua metode ijtihad yang dikembangkan oleh para nujtahid dalam upaya menggali dan
menetapkan maslahat. Kedua metode tersebut adalah metode Ta’lili (metode analisis
subtsantif) dan metode Istishlahi (metode analisis kemaslahatan).108
Untuk melihat lebih jauh hubungan antara Maqasid as-Syariah dengan
beberapa metode penetapan hukum, berikut akan dikemukakan metode tersebut:
1. Metode Ta’lili (Metode Analisis Substantif)
Salah satu metode penggalian hukum adalah metode ta’lili. Yaitu analisa
hukum dengan melihat kesamaan illat atau nilai-nilai substansial dari persoalan
tersebut, dengan kejadian yang telah diungkapkan dalam nash. Metode yang telah
106 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 19, No. 3, Agustus 2017, h. 554.
107 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Cet.1 (Jakarta: Logos
Publishing House, 1995), h. 47.
108 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum, h. 555.
59
dikembangkan oleh para mujtahid dalam bentuk analisis tersebut adalah qiyas dan
istihsan.109
2. Metode Istishlahi (Metode Analisis Kemaslahatan)
Sebagaimana metode lainnya, metode Istishlahi merupakan metode
pendekatan istinbath atau penetapan hukum yang permasalahannya tidak diatur
secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, metode ini lebih
menekankan pada aspek maslahat secara langsung.110 Metode analisis
kemaslahatan yang dikembangkan oleh para mujtahid ada dua, yaitu al-
mashlahah al-mursalah dan sad al-dzari’ah maupun fath al-dzari’ah.
a. Al-Maslahah al-Mursalah
Secara etimologi al-maslahah al-mursalah merupakan susunan idlafi
yang terdiri dari kata al-maslahah dan al-mursalah menurut Ibn Manzhur
berarti kebaikan.111 Sedangkan al-mursalah sama dengan kata al-muthlaqah
berarti terlepas. Berarti yang dimaksud al-mashlahah al-mursalah adalah
maslahat atau kemaslahatan itu tidak ada dalil tertentu yang membenarkan
atau membatalkannya.112
Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu
dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha
mencari dan menetapkan hukum, maslahah itu disebut dengan munasib atau
keserasian maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dalam artian munasib
itu dari segi pembuat hukum (syar’i) memerhatikannya atau tidak, maslahah
terbagi menjadi tiga macam, yaitu:113
109 Hasbi Umar, Relevansi Metode Kajian Hukum Islam Klasik dalam Pembaharuan Hukum
Islam Masa Kini, Jurnal Innovatio, Vol. 6, No. 12, Juli-Desember 2007, h. 318.
110 Hasbi Umar, Relevansi Metode Kajian Hukum Islam dalam Pembaruan Hukum Islam
Masa Kini, h.322.
111 Ibnu al-Manzur, Lisan al-Arab, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1970, h. 348.
112 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan MetodeIatinbath
Hukum, h. 559. 113 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet.6, h. 351-354.
60
b. Mashlahah al-Mu’tabarah
Maslahat al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh
syari. Maksudnya, ada petunjuk dari syari, baik langsung maupun tidak
langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya maslahah yang menjadi
alasan dalam menetapkan hukum.
c. Mashlahah al-Mulghah
Mashlahah al-Mulghah, yaitu mashlahah yang ditolak, yaitu
mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh
syara’ dan ada petunjuk syara yang menolaknya. Hal ini berarti akal
menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara, namun ternyata
syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh
mashlahah itu.
d. Mashlahah al-Mursalah
Mashlahah al-Mursalah, atau yang juga biasa disebut Istishlah , yaitu
apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara’ menolaknya.
Menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf, Mashlahah al-Mursalah
artinya mutlak. Dalam istilah ushul, yaitu kemashlahatan yang tidak
disyariatkan oleh syari hukum untuk ditetapkan. Dan tidak ditunjukkan oleh
dalil syar’i , untuk mengi’tibarkannya atau membatalkannya. Dinamakan
mutlak karena tidak dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang
membatalkannya.114
114 Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005), h. 98.
61
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN NOMOR 1191/Pdt.G/2016/PAJB
A. Duduk Perkara
1. Para Pihak
a. Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ada 2 (dua) hal yang menjadi
pokok sengketa perkara ini, yaitu:
1) Berkenaan dengan status Tergugat (anak angkat pewaris)
dalam keluarga Pewaris dan Istri Pewaris.
2) Berkenaan dengan harta/warisan Pewaris.
b. Penggugat dalam perkara ini adalah saudari 1 pewaris dan saudara
4 pewaris.
c. Tergugat dalam perkara ini adalah Anak angkat Pewaris.
2. Ahli Waris
a. Pada tanggal 12 Maret 2015 (Pewaris) telah meninggal dunia,
beragama Islam.
b. Pada waktu pewaris meninggal dunia, kedua orang tuanya, yaitu
ayah dan ibunya telah meninggal dunia.
c. Istri Pewaris telah meninggal dunia pada tanggal 22 April 2010,
beragama Islam.
d. Pada waktu Istri Pewaris meninggal dunia, kedua orang tua nya,
yaitu ayah dan ibunya, keduanya telah meninggal dunia terlebih
dahulu.
e. Selama dalam masa pernikahan dengan Istri Pewaris tidak
memiliki keturunan (anak).
f. Menetapkan ahli waris langsung Istri Pewaris adalah Pewaris dan 6
orang saudara kandung dan anak angkat pewaris.
g. Istri Pewaris sewaktu meninggal dunia meninggalkan suami
(pewaris), 6 orang saudara, saudara 1 istri pewaris, saudara 2 istri
pewaris, saudari 3 istri pewaris, saudara 4 istri pewaris, saudari 5
istri pewaris, saudari 6 istri pewaris dan anak angkat pewaris.
62
h. Saudari 6 istri pewaris telah meninggal dunia lebih dulu dari Istri Pewaris.
i. Saudari 6 istri pewaris tidak mempunyai anak;
j. Menetapkan ahli waris dari Istri Pewaris adalah saudara 1 istri pewaris,
saudara 2 istri pewaris, saudari 3 istri pewaris, saudara 4 istri pewaris, saudari
5 istri pewaris dan anak angkat pewaris.
k. Menetapkan ahli waris langsung Pewaris adalah 4 orang saudara 1. saudari 1
pewaris, saudari 2 pewaris, saudari 3 pewaris, saudara 4 pewaris, Anak angkat
pewaris.
l. Sebelum gugatan ini diputus oleh Majelis Hakim, saudari 1 pewaris sebagai
(Penggugat I) telah meninggal dunia pada tanggal 12 Desember 2016;
m. Saudari 1 pewaris mempunyai tiga orang anak yaitu : 1). Anak perempuan 1
saudari 1 pewaris, 2). Anak perempuan 2 saudari 1 pewaris, dan 3). Anak
perempuan 3 saudari 1 pewaris, yang sekarang menjadi Penggugat
menggantikan kedudukan Saudari 1 pewaris;
n. Saudari 2 pewaris telah meninggal dunia pada tahun 2012;
o. Saudari 2 pewaris tidak mempunyai anak;
p. Saudari 3 pewaris telah meninggal dunia di Jakarta pada tahun 2006;
q. Saudari 3 pewaris mempunyai dua orang anak, yaitu : 1). Anak laki-laki 1
saudari 3 pewaris, dan 2). Anak laki-laki 2 saudari 3 pewaris;
r. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, ketika meninggal
dunia, anak angkat pewaris (Tergugat) meninggalkan ahli waris yang terdiri
dari Suami anak angkat, 3 orang Anak yaitu : 1). Anak laki-laki 1 anak angkat,
2). Anak perempuan 1 anak angkat, 3). Anak perempuan 2 anak angkat dan
Ayah anak angkat.
Untuk mempermudah memahami permasalahan perkara ini peneliti membuat bagan
sebagai berikut:
63
BPK W.72 IBU W.91
SDRI 1P W.2016 SDRI 2P W.2012
SDRI 3P W.2006 SDRA 4P
A. PR 1 SDRI 1P A. PR 2 SDRI 1P A. PR 3 SDRI 1P BPK A.ANGKAT IBU A.ANGKAT A. LK 1 SDRI 3P A. LK 2 SDRI 3P
BPK ISTRI P IBU ISTRI P
SDRA 1 ISTRI P ISTRI P W. 2010 PEWARIS W. 2015
SDRA 2 ISTRI P
SDRI 3 ISTRI P SUAMI 1 A. ANGKAT A. ANGKAT W. 2017 SUAMI 2 A. ANGKAT
SDRA 4 ISTRI P
SDRI 5 ISTRI P A. LK A. ANGKAT A. PR 1 A. PR 2
SDRI 6 ISTRI P A. ANGKAT A. ANGKAT
P
P =
HUB. PERKAWINAN =
HUB. NASAB =
A. ANGKAT =
CERAI =
LAKI-LAKI =
PEREMPUAN =
LAKI-LAKI WAFAT =
PEREMPUAN WAFAT =
64
3. Tuntutan
a. Menerima gugatan waris Para Penggugat untuk seluruhnya;
b. Menyatakan tindakan Tergugat telah melawan hak/melawan hukum;
c. Menetapkan Para Penggugat yakni Sdri 1 P selaku Penggugat I dan Sdra 4 P
selaku Penggugat II sebagai Ahli Waris yang sah dan berhak mewarisi
budel waris dari Pewaris;
d. Menyatakan Tergugat (Anak angkat) bukan ahli waris dan karenanya tidak
berhak mewarisi budel waris dari Pewaris;
e. Menetapkan bahwa barang bergerak maupun tidak bergerak berikut ini adalah
harta peninggalan/budel waris dari Pewaris, yakni:
1) Tanah beserta bangunan seluas 843 m2
2) Surat Berharga berupa 5 (lima) lembar deposito
3) 2 Tabungan Bank Mandiri
4) 1 (satu) unit mobil merk Honda CRV
f. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) yang
diletakkan atas harta peninggalan/budel waris atas nama Pewaris dalam
perkara ini;
g. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Surat Pernyataan
Ahli Waris dan Surat Keterangan Ahli Waris, keduanya tertanggal 18 Maret
2015 dan segala surat-surat lain yang dibuat/ditandatangani oleh Tergugat;
h. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akta No. 54
tertanggal 28 Juli 2011 yang dibuat oleh dan di hadapan Ny. Djumini
Setyoadi, SH, MKn, Notaris dan PPAT di Jakarta yang telah dicatatkan di
Kementerian Hukum dan HAM RI dalam buku register Seksi Daftar
Wasiat, Subdit Harta Peninggalan, Repertorium nomor 3.544;
65
i. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan kepada Para Penggugat secara
seketika dan tunai budel waris atas nama Pewaris, yakni :
1) Tanah beserta bangunan seluas 843 m2
2) Surat Berharga berupa 5 (lima) lembar deposito
3) 2 Tabungan Bank Mandiri
4) 1 (satu) unit mobil merk Honda CRV
j. Menetapkan bagian/porsi masing-masing Para Penggugat yakni Sdri 1 P dan
saudara 4 P selaku ahli waris yang berhak mewarisi budel waris Pewaris
menurut ketentuan hukum waris Islam (hukum faraidl);
k. Menghukum Tergugat dan/atau siapapun pihak lain yang
memperoleh/menguasai budel waris atas nama Pewaris untuk menyerahkan
secara seketika kepada Para Penggugat;
l. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya-biaya dalam perkara ini;
Apabila Majelis Hakim Yth berpendapat lain, dalam peradilan yang baik,
mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).115
4. Harta Peninggalan Pewaris
a. Tanah beserta bangunan seluas 843 m2
b. Surat Berharga berupa 5 (lima) lembar deposito
c. 2 Tabungan Bank Mandiri
d. 1 (satu) unit mobil merk Honda CRV
B. Pertimbangan Hukum
1. Menimbang, bahwa menurut Penggugat harta warisan yang ditinggalkan oleh
Pewaris adalah :
115 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat No.1191/Pdt.G/2016/PAJB.
66
a. Tanah beserta bangunan seluas 843 m2
b. Surat berharga berupa 5 (lima) lembar deposito
c. 2 Tabungan Bank Mandiri
d. Mobil berupa 1 (satu) unit mobil merk Honda CRV
2. Menimbang, berdasarkan Putusan Sela Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB. tanggal
12 Januari 2017 M, dengan amar sebagaimana termuat pada duduk perkara di
atas, Tergugat diperintahkan untuk melakukan Tes DNA (deoxyribonucleic acid)
untuk membuktikan apakah Tergugat (Anak angkat) anak kandung dari Pewaris
dengan Istri pewaris atau anak kandung dari Bapak anak angkat dengan Ibu Anak
Angkat.
3. Menimbang, bahwa walaupun tidak ada Putusan Pengadilan tentang
pengangkatan Tergugat sebagai anak angkat oleh Pewaris dan Istri Pewaris, akan
tetapi sesuai dengan Pasal 8 huruf (a) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengangkatan
Tergugat sebagai anak angkat oleh Pewaris dan Istri pewaris dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan setempat;
4. Menimbang, bahwa walaupun Penggugat tidak menuntut penetapan ahli waris
dari Istri pewaris, akan tetapi harta warisan dan harta bersama dalam perkawinan
berhubungan erat, karena berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama dan berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam, Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama dan separoh lagi menjadi warisan pihak
yang meninggal lebih dulu;
5. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 49 dan penjelasan Pasal 49 huruf (b)
Undang-Udang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa Yang dimaksud dengan "waris"
adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masingmasing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris.
67
6. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut, ketika meninggal dunia, Istri
pewaris dan Pewaris tidak mempunyai anak dan kedua orangtuanya telah
meninggal dunia lebih dahulu, oleh karena itu berdasarkan al-Quran Surat al-Nisa
ayat 12 dan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam, Istri pewaris adalah pewaris
Kalalah, yaitu seseorang yang meninggal dunia tidak mempunyai anak dan kedua
orangtuanya telah meninggal dunia lebih dulu;
7. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, sesuai
dengan al-Quran Surat al-Nisa ayat 12, Pasal 174 ayat (1) huruf (b) dan ayat (2)
serta Pasal 182 dan Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.
8. Menimbang, bahwa Majelis Hakim mempertimbangkan sesuai dengan Pasal 185
KHI tentang ahli waris pengganti.116
C. Amar Putusan
Dalam Pokok perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;
2. Menyatakan bahwa Istri Pewaris binti telah meninggal dunia pada tanggal 22
April 2010 ;
3. Menyatakan bahwa Pewaris telah meninggal dunia pada tanggal 12-03-2015 ;
4. Menyatakan bahwa Tanah beserta bangunan seluas 843 m2 atas nama Pewaris,
adalah harta bersama Pewaris dan Istri pewaris;
5. Menyatakan bahwa tanah beserta bangunan aquo adalah hak ahli waris dan satu
orang anak angkat Pewaris dan Istri pewaris dengan pembagian sebagai berikut :
5.1. Sdra 1 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %
5.2. Sdra 2 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %
5.3. Sdri 3 Istri P mendapat 1/30 = 3,333 %
5.4. Sdra 4 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %
5.5. Sdri 5 Istri P mendapat 1/30 = 3,333 %
5.6. Sdri 1 P (Penggugat I) mendapat 3/30 = 10.00 %
5.7. Sdri 3 P mendapat 3/30 = 10.00 %
5.8. Sdra 4 P (Penggugat II) mendapat 3/30 = 20.00 %
5.9. Anak angkat (Tergugat) mendapat 10/30 = 33,33 %
----------------------------------------------------------- +
116 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat No.1191/Pdt.G/2016/PAJB.
68
Jumlah = 100 %
6. Menyatakan bahwa karena Sdri 1 P (Penggugat I) telah meninggal dunia pada
tanggal 12 Desember 2016, maka haknya sebesar 3/30 = 10,00 % dari tanah
beserta bangunan sebagaimana tersebut pada diktum (5) menjadi hak tiga orang
anaknya, yaitu 1). A. Pr 1 Sdri 1 P, 2). A. Pr 2 Sdri 1 P, dan 3). A. Pr 3 Sdri 1 P;
7. Menyatakan bahwa karena Sdri 3 P telah meninggal dunia pada pada tahun 2006,
maka haknya sebesar 3/30 = 10,00 % dari tanah beserta bangunan sebagaimana
tersebut pada diktum (5) menjadi hak dua orang anaknya, yaitu : 1). A. Lk 1 Sdri
3, dan 2). A. Lk 2 Sdri 3 sebagai ahli waris pengganti;
8. Menyatakan bahwa :
8.1. 5 Deposito.
8.2. 2 Tabungan Bank Mandiri.
Dengan segala bunganya adalah harta warisan Pewaris ;
9. Menyatakan bahwa deposito dan rekening tabungan aquo dengan segala
bunganya tersebut adalah hak tiga orang ahli waris dan satu orang anak angkat
Pewaris dengan pembagian sebagai berikut :
9.1. Sdri 1 P mendapat 2/12 = 17 %
9.2. Sdri 2 P mendapat 2/12 = 17 %
9.3. Sdra 4 mendapat 4/12 = 33 %
9.4. Anak angkat mendapat 4/12 = 33 %
------------------------------------------
Jumlah = 100 %
10. Menyatakan bahwa karena Sdri 1 P (Penggugat I) telah meninggal dunia pada
tanggal 12 Desember 2016, maka haknya sebesar 2/12 = 17 % dari deposito dan
tabungan dengan segala bunganya sebagaimana tersebut pada diktum (9) menjadi
hak tiga orang anaknya, yaitu 1). A. Pr 1 Sdri 1 P, 2). A. Pr 2 Sdri 1 P, dan 3). A.
Pr 3 Sdri 1 P;
69
11. Menyatakan bahwa karena Sdri 3 P telah meninggal dunia pada pada tahun 2006,
maka haknya sebesar 2/12 = 17 % dari deposito dan tabungan dengan segala
bunganya sebagaimana tersebut pada diktum (9) menjadi hak dua orang anaknya,
yaitu : 1). A. Lk 1 Sdri 3 P, dan 2). A. Lk 1 Sdri 3 P sebagai ahli waris
pengganti;
12. Menyatakan bahwa Anak Pewaris (Tergugat) telah meninggal dunia pada tanggal
19 Januari 2017;
13. Menyatakan bahwa hak Anak Pewaris berupa 6/18 = 33 % dari tanah beserta
bangunan sebagaimana tersebut pada diktum (5) dan 4/12 = 33 % dari lima
deposito dan dua rekening tabungan dengan segala bunganya sebagaimana
tersebut pada diktum (9) menjadi hak ahli warisnya dengan pembagian sebagai
berikut :
13.1. Suami 2 Anak angkat mendapat 12/48 = 25 %
13.2. A. Lk Anak angkat mendapat 14/48 = 29,167 %
13.3. A. Pr 1 Anak angkat medapat 7/48 = 14,583 %
13.4. A. Pr 2 Anak angkat medapat 7/48 = 14,583 %
13.5. Bapak Anak angkat mendapat 8/48 = 16,667 %
-------------------------------------------------------------
Jumlah = 100 % 117
117 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat No.1191/Pdt.G/2016/PAJB.
70
D. Analisis Putusan
1. Prespektif Hukum Positif
Dalam kasus tersebut, menurut penulis terdapat dua masalah, yaitu
masalah ahli waris pengganti dan masalah munasakhah. Munasakhah adalah
merupakan pengalihan bagian ahli waris kepada ahli warisnya yang lain
dikarenakan sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, salah satu
ahli waris tersebut meninggal dunia. Dalam kasus ini pewaris utama adalah
Pewaris yang meninggal pada tahun 2015 dan Istri Pewaris yang meninggal pada
tahun 2010. Pada saat Istri Pewaris meninggal, ahli waris yang masih hidup ada 5
orang saudara, suami dan anak angkat. Sedangkan pada saat Pewaris meninggal,
ahli waris yang masih hidup ada 3 orang saudara dan anak angkat. Akan tetapi
sebelum gugatan diputus oleh Majelis Hakim Sdri 3 P meninggal pada tahun
2006 dan Sdri 1 P meninggal pada tahun 2016, kemudian hak nya diberikan
kepada ahli warisnya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 185 ayat (1) yang
menyebutkan “ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”.
Di dalam putusan ini terdapat Anak angkat (Tergugat) yang diadopsi oleh
Pewaris dan Istri Pewaris, akan tetapi sebelum kasus ini diputus oleh Majelis
Hakim Anak angkat (Tergugat) meninggal dunia. Pada saat Anak angkat
meninggal, ahli waris yang masih hidup ada suami, 3 orang anak dan Bapak Anak
angkat.
Hakim dalam kasus ini mempertimbangkan pada Pasal 8 huruf (a)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 49 dan penjelasan Pasal 49 huruf (b)
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 96,174, 176-177, 179, 182, 185
dan 209 Kompilasi Hukum Islam.
71
2. Prespektif Maqāṣid asy-Syarīʻah
Ketentuan Munasakhah tidak diatur didalam Kompilasi Hukum Islam
maupun Peraturan Perundang-undangan lainnya. Hal ini menyebabkan keharusan
hakim dalam berijtihad hukum, karena berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 Pasal 16 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwasanya
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, atau memutus
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,118
melainkan wajib untuk mengadilinnya maka seorang hakim dituntut untuk
melakukan terobosan hukum atau ijtihad.
Dalam perkara ini hakim melakukan dua terobosan: Pertama, terobosan
dari segi pelaksanaan hukum Kewarisan Nasional. Meskipun dalam kitab fikih
sudah ada hukum kewarisan bertingkat yang disebut dengan kewarisan
munasakhah, akan tetapi dalam hukum Kewarisan Nasional belum ada aturan
tentang kewarisan bertingkat. Kedua, untuk menerapkan hukum kewarisan Anak
angkat (wasiat wajibah) dalam perkara ini, hakim mengesampingkan akta
autentik berupa akta kelahiran yang menunjukkan Tergugat sebagai anak
kandung, akan tetapi berdasarkan bukti-bukti lain yang lebih kuat Tergugat
adalah Anak angkat.119
Ijtihad merupakan suatu hal yang sangat urgen dilakukan dalam
menangani suatu perkara ketika perkara tersebut membutuhkan kejelian seorang
hakim untuk menetapkan hukum yang paling adil bagi pihak-pihak yang
berperkara. Dalam putusan ini hakim menjalankan ijtihad nya mengkaitkan antara
kasus dengan Maqāṣid asy-Syarīʻah.
Penerapan teori Maqāṣid asy-Syarīʻah yang dimaksud disini adalah agar
Maqāṣid asy-Syarīʻah dalam hukum kewarisan dapat terlaksana dengan baik, dan
setiap orang mendapatkan haknya dan tidak ada satupun pihak yang terabaikan
haknya dari tirkah pewaris, baik harta bersama maupun hak waris, walau ia telah
meninggal dunia sekalipun.120
118 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
119 Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta,
28 Januari 2019.
120 Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta, 28
Januari 2019.
72
Telah dijelaskan di bab sebelumnya, Menurut Wahbah al-Zuhaili,
Maqāṣid asy-Syarīʻah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara
oleh syara’ dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan
akhir dari syariat dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap
hukumnya.121
Konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah menurut al-Syathibi, berorientasi pada
terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan yang terdiri atas 3 bagian yaitu
dharuriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah. Terdiri dari lima pokok yang harus
dilindungi dan dipelihara. Kelima hal pokok itu ialah agama, jiwa, keturunan,
harta dan akal.122
Berkenaan dengan kasus yang penulis teliti yaitu sengketa penyelesaian
harta waris, jika dilihat dari konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah, maka kasus ini berada
dalam tingkat dharuriyyat, yaitu untuk menyelematkan harta (hifzu al-mal).
Menurut al-Syathibi, Untuk menyelamatkan harta yang didasarkan dari
konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah, maka yang harus dilakukan seseorang ialah taat
kepada ketetapan hukum Allah seperti: diharamkan untuk mencuri dan diberi
hukuman kepada pelakunya, diharamkan untuk berbuat curang atau berkhianat,
diharamkan berlebih-lebihan, diharamkan riba, diharamkan memakan harta orang
lain dengan cara yang batil, sehingga dengan demikian harta akan terpelihara dan
terselamatkan.123
Karena itulah dalam konteks pembagian harta waris harus sesuai dengan
ketentuan waris Islam dan mengedepankan rasa keadilan sebagai rangka untuk
melindungi dan menyelamatkan harta.
Selanjutnya, jika putusan tersebut dianalisa melalui metode penetapan
hukum Maqāṣid asy-Syarīʻah, dapat penulis uraikan sebagai berikut:
a. Putusan tersebut bisa dianalisis dengan melihat nilai-nilai substansial dari
contoh pemasalahan putusan ini, dengan dalil-dalil hukum yang telah
diungkapkan dalam nash atau pertimbangan hukum yang lain. Dalam kasus
121 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 1017.
122 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Jilid II, (Beirut-Lebanon: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 2004), h. 7-8.
123 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, 1997, Jilid 2, Vol. 3,
(Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia), h. 238.
73
ini misalnya: Orang tua angkat Tenggugat membuatkan akta kelahiran
Tergugat dengan tujuan mempermudah Tergugat dalam menempuh
pendidikan, Tergugat merawat orang tua angkatnya dengan baik hingga
orang tua angkat tersebut meninggal, maka dari contoh tersebut jika ditarik
suatu ilat yang sama yaitu perlakuan Penggugat sama-sama baik terhadap
orang tua angkat Tergugat sebagai saudaranya dan Penggugat sebagai ahli
waris yang sah berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh saudaranya
yang hanya memiliki anak angkat.
b. Putusan tersebut bisa dianalisis dengan melakukan pendekatan istinbath atau
penetapan hukum yang permasalahannya tidak diatur secara eksplisit dalam
Al-quran dan Sunah, akan tetapi lebih menekankan pada aspek kemaslahatan.
Dalam kasus ini misalnya: Peran Tergugat sangat baik dalam merawat orang
tua angkatnya dari sakit hingga meninggal dunia.124 Maka dari contoh
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa peran dan kontribusi Tergugat
menimbulkan kemaslahatan untuk orang tua angkatnya sehingga wajar
apabila hakim membagi lebih banyak harta warisan tersebut kepada
Tergugat, karena untuk melindungi hak-hak Tergugat dan menghindari
kemudharatan lainnya dari pihak Penggugat.
Bila ditinjau secara komprehensif melalui konsep dan metode penetapan
Maqāṣid asy-Syarīʻah menurut peneliti Putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB
sudah memenuhi kemaslahatan sesuai dengan tujuan Maqāṣid asy-Syarīʻah.
Karena tujuan Maqāṣid asy-Syarīʻah itu sendiri adalah mendatangkan
kemaslahatan dan menjauhkan kemudaratan sebagaimana kaidah fikih:
م على جلب المصالح درء المفاسد مقد
“Mencegah kerusakan (kerugian) diupayakan terlebih dulu sebelum upaya
mendapatkan manfaat (mashlahat)”
Kaidah ini menegaskan bahwa apabila kita dihadapkan kepada pilihan
yaitu menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus
didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Karena menolak kemafsadatan sama
124 Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta, 28
Januari 2019.
75
dengan meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan utama Maqāṣid asy-Syarīʻah
menurut ulama fikih ialah meraih kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.125
Dalam kaidah fikih yang lain dijelaskan mengenai larangan untuk bebuat
sesuatu yang membahayakan yaitu:
ل ضرر ول ضرا ر
“Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan.”
رريزال الض
“Kemudaratan harus dihilangkan.”
Menurut penulis dalam putusan ini hakim telah memenuhi tujuan Maqāṣid
asy-Syarīʻah, karena Hakim menyelesaikan 4 perkara yaitu perkara anak angkat,
munasakhah, ahli waris pengganti dan kalalah dalam 1 putusan. Hal ini sesuai
dengan asas peradilan yang mencakup peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan. Dalam prinsip Maqāṣid asy-Syarīʻah, kemaslahatan harus diutamakan
untuk kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang, dalam perkara ini yaitu
memelihara harta (hifz al-mal).
E. Analisis Hukum
1. Tentang Pembagian Harta Bersama
Di dalam Putusan ini, Hakim menetapkan harta warisan sebagai berikut:
1.1. Sdra 1 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %
1.2. Sdra 2 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %
1.3. Sdri 3 Istri P mendapat 1/30 = 3,333 %
1.4. Sdra 4 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %
1.5. Sdri 5 Istri P mendapat 1/30 = 3,333 %
1.6. Sdri 1 P(Penggugat I) mendapat 3/30 = 10.00 %
125 Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 164.
76
1.7. Sdri 3 P mendapat 3/30 = 10.00 %
1.8. Sdra 4 P (Penggugat II) mendapat 3/30 = 20.00 %
1.9. Anak angkat (Tergugat) mendapat 10/30 = 33,33 %
----------------------------------------------------------- +
Jumlah = 100 %
Menurut peneliti pembagian tersebut keliru, dikarenakan sebagai berikut:
a. Jumlah total dari keseluruhan adalah 27/30. Seharusnya jumlah
keseluruhan adalah 1, yaitu 30/30
b. Hakim menetapkan bagian untuk saudara-saudari istri pewaris sebagai
berikut:
Sdra 1 = 2/30
Sdra 2 = 2/30
Sdri 3 = 1/30
Sdra 4 = 2/30
Sdri 5 = 1/30
Jumlah = 8/30 = 4/15 kurang dari 1/3
c. Hakim menetapkan bagian untuk saudara-saudari Pewaris sebagai berikut:
Sdri 1 = 3/30
Sdri 2 = 3/30
Sdra 4 = 3/30
Jumlah = 9/30 = 3/10 kurang dari 1/3
d. Hakim menetapkan bagian untuk Anak angkat = 10/30 1/3
Dalam penetapan bagian ahli waris tersebut, hakim menjadikan 30 sebagai
pembagi harta. Bagian Anak angkat, sesuai dengan pasal 209 ayat (2) KHI
yaitu “Terhadap Anak angkat yang tidak menerima wasiat di beri wasiat
sebanyak-banyaknya 1/3 harta dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Sisa nya adalah 2/3 sesuai dengan pasal 96 ayat (1) KHI yaitu “Apabila
77
terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan
hidup lebih lama.” Maka masing-masing ahli waris dari Pewaris dan Istri
Pewaris adalah 1/3. Tetapi pada poin b, yaitu bagian untuk ahli waris Istri
Pewaris jumlah totalnya adalah 8/30 atau 4/15, kurang dari 1/3. Demikian
juga pada poin c, jumlah total bagian ahli waris Pewaris adalah 9/30 atau
3/10 kurang dari 1/3.
Menurut penghitungan peneliti, seharusnya sebagai berikut:
a. Bagian untuk ahli waris pewaris adalah
Sdra 1 = 2/8 x 1/3 = 2/24 = 8,333 %
Sdra 2 = 2/8 x 1/3 = 2/24 = 8,333 %
Sdri 3 = 1/8 x 1/3 = 1/24 = 4,166 %
Sdra 4 = 2/8 x 1/3 = 2/24 = 8,333 %
Sdri 5 = 1/8 x 1/3 = 1/24 = 4,166 %
Jumlah = 8/24 = 33,33 % 1/3
b. Bagian untuk ahli waris Pewaris adalah:
Sdri 1 = 1/4 x 1/3 = 1/12 atau 2/24 = 8,333 %
Sdri 3 = 1/4 x 1/3 = 1/12 atau 2/24 = 8,333 %
Sdra 4 = 2/4 x 1/3 = 2/12 atau 4/24 = 16,666 %
Jumlah = 4/12 = 8/24 = 33,333 % 1/3
2. Tentang Pembagian Harta Munasakhah Wasiat Wajibah Anak Angkat
Didalam putusan ini Hakim menetapkan bagian sebagai berikut:
Menyatakan bahwa hak ANAK PEWARIS berupa 6/18 = 33 % dari tanah beserta
bangunan sebagaimana pada diktum (5) dan 4/12 = 33 % dari 5 deposito dan 2
rekening tabungan dengan segala bunganya sebagaimana tersebut pada diktum
(9) menjadi hak ahli warisnya dengan pembagian sebagai berikut:
a. Suami 2 Anak angkat mendapat 12/48 = 25 %
b. A. Lk Anak angkat mendapat 14/48 = 29,167 %
c. A. Pr 1 Anak angkat medapat 7/48 = 14,583 %
d. A. Pr 2 Anak angkat medapat 7/48 = 14,583 %
e. Bapak Anak angkat mendapat 8/48 = 16,667 %
78
Jumlah = 100 %
Menurut peneliti, jumlah total 100 % tersebut bisa menimbulkan 2 pengertian
yang berbeda, yaitu (1) pengertian bahwa 100 % itu adalah dari 33 % dibagi
habis; dan (2) pengertian bahwa 100 % adalah dari keseluruhan harta peninggalan
pewaris. Multi penafsiran harus di hindari dalam putusan pengadilan supaya tidak
menimbulkan kerancuan dan keraguan.
Menurut penghitungan peneliti, lebih tepatnya sebagai berikut:
a. Harta Tanah Anak Angkat
1) Suami 2 Anak angkat mendapat 12/48 x 1/3 = 12/144 = 8,333 %
2) A. Lk Anak angkat mendapat 14/48 x 1/3 = 14/144 = 9,722 %
3) A. Pr 1 Anak angkat mendapat 7/48 x 1/3 = 7/144 = 4,861 %
4) A. Pr 2 Anak angkat mendapat 7/48 x 1/3 = 7/144 = 4,861 %
5) Bapak Anak angkat mendapat 8/48 x 1/3 = 8/144 = 5,555 %
Jumlah = 48/144 = 6/18 = 33,333 % 1/3 bagian
b. Harta Deposito Anak Angkat
1) Suami 2 Anak angkat mendapat 12/48 x 1/3 = 12/144 = 8,333 %
2) A. Lk Anak angkat mendapat 14/48 x 1/3 = 14/144 = 9,722 %
3) A. Pr 1 Anak angkat mendapat 7/48 x 1/3 = 7/144 = 4,861 %
4) A. Pr 2 Anak angkat mendapat 7/48 x 1/3 = 7/144 = 4,861 %
5) Bapak Anak angkat mendapat 8/48 x 1/3 = 8/144 = 5,555 %
Jumlah = 48/144 = 4/12 = 33,333 % 1/3 bagian
3. Tentang penyebutan ANAK PEWARIS di dalam putusan sebagaimana terdapat
dalam diktum (12) “Menyatakan bahwa ANAK PEWARIS (Tergugat) telah
meninggal dunia .....” dan diktum (13) “Menyatakan hak ANAK PEWARIS 6/18
= 33 % dari tanah beserta bangunan.....”. Penyebutan ANAK PEWARIS
menurut penulis keliru, karena dalam proses peradilan sudah terbukti bahwa
tergugat adalah ANAK ANGKAT, dan dalam diktum (4,5,8 dan 9) disebutkan
79
bahwa PEWARIS adalah AYAH ANGKAT karena dalam putusan multi
penafsiran harus di hindari supaya tidak menimbulkan kerancuan dan keraguan.
Wallahu A’lam Bishawab
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan beberapa poin,
diantaranya sebagai berikut:
1. Hakim dalam memutus perkara menggunakan teori maqashid as-syariah. Namun
dalam pembagian harta warisnya hakim keliru tentang pembagian harta bersama
dan harta munasakhah wasiat wajibah anak angkat. Hakim juga telah melakukan
terobosan hukum dalam pembagian kewarisan bertingkat (munasakhah), karena
hal tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang tata cara
dan pembagian kasus waris munasakhah.
2. Pada putusan ini terdapat permasalahan antara ahli waris dari pewaris dengan
anak angkat pewaris. Dalam penyebutan pihak-pihak yang berperkara, Hakim
keliru dalam menyebut “Anak Angkat” menjadi “Anak Pewaris” pada putusan ini.
Namun hakim telah merenvoi putusan tersebut.
B. Saran
Setelah penulis memaparkan beberapa hal yang terkait dengan anak angkat,
munaskhah, ahli waris pengganti dan kalalah, selanjutnya peneliti ingin memberikan
saran-saran sebagai berikut:
1. Kepada Majelis Hakim dalam Pengadilan Agama, seharusnya lebih teliti dalam
menyelesaikan permasalahan munasakhah dan harta bersama dalam
pembagiannya. Selain itu Majelis Hakim seharusnya menghindari sebuah
pernyataan yang mengandung multi tafsir dalam putusan Pengadilan agar tidak
menimbulkan kerancuan dan keraguan.
2. Kepada praktisi hukum hendaknya lebih mensosialisasikan kepada masyarakat
tentang kewarisan munasakhah.
3. Hendaknya pemahaman tentang ahli waris pengganti dibarengi dengan
pemahaman tentang munasakhah atau memasukkan pasal tentang munasakhah
kedalam KHI setelah pasal ahli waris pengganti, agar tidak terjadi kekeliruan
ketika memutuskan perkara.
81
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an Dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
Abdul Wahab Khallaf, Syaikh, Ijtihad dalam Syariat Islam, Penerjemah: Rohidin
Wahid, Cet.1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.
Abdulloh, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.
Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adzim Abadi, Imam, Ainul Ma’bud Syarah
Sunan Abi Daud, Juz 5 Kairo: Daarul Hadits, 2001.
Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al-Fikr, t.th.
Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Al-Faqih, Bidayatul
Mujtahid Analisa Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali dan Ahmad
Ma’ruf Asrori, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Ahmad Saebani, Beni, Fiqh Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
al Karim Zaidan, Abd, al Madkhal li Dirasah al Syariah al Islamiyyah, (Beirut:
Muassasah al Risalah, 1976.
al- Manzur, Ibnu, Lisan al-Arab, Juz II, Beirut: dar al-Fikr, 1970.
Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al- Mubarkfuri, Abu, Tuhfatul
Ahwadzi, Juz 5, Kairo: Daarul Hadits, 2001.
Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul, Beirut: al-Resalah, 1997.
Ali Al-Sabouni, Muhammad, Hukum Kewarisan Islam Menurut al-Qur’an dan Sunnah ,
Cet. 1, Jakarta: Dar al-Kutub Al- Islamiyah,2005.
Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Al-Syarif, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1988.
Ali, Mansur, Hibah Waris dan Wasiat, Cet. II, Cibinong: D7 Bersaudara, 2013.
al-Raisuni, Akhmad, Nazhariyat al- Maqashid fi al-Islam, Rabath: Dar al-Aman, 1991.
al-Zuhaili, Wahbah, AL-FIQHU ASY-SYAFI’I AL-MUYASSAR. Penerjamah
Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Fiqih Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira:
2010.
-----------, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syariat
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
As-Shabuni, Ali, Al-Mawarrits fi al-Syari’ah al-Islamiyah.
82
Asymuni Rahman dan Muin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Departemen Agama, 1986.
Bagir Haidar dan Basri Syafiq, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan Anggota IKAPI,
1996.
Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
Barakah, Ainun, Munasakhat; Metode Praktis dalam Pembagian Harta Waris, Cendikia:
Jurnal Studi Islam, Vol. 1 No. 2 Desember 2015.
Djalil, A. Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Jakarta: Kencana, 2010.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Cet.1, Jakarta:
Logos Publishing House, 1995.
Djazuli, Ahmad, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2011.
Efendi M. Zein, Satria, Ushul Fiqh, Cet.1, Jakarta: Kencana, 2005.
-----------------, Satria, Ushul Fiqh, Cet.7, Jakarta: Kencana, 2017.
Fatahullah dkk, Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti Pada putusan Nomor:
0311/PDT.G/2009/PA.SEL, Jurnal IUS, Vol. IV No. 1 April 2018.
Fathurrahman dan Muktar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986.
Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al- Ma’arif, 1975.
Fawzi Faydh Allah, Muhammad, Al- Ijtihad al-Syariah al-Islamiyyat, Kuwayt:
Maktabah Dar al Turats, 1984.
Firdaus, Ushul Fiqh, Cet. 1, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017.
Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, Cet.1, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Husein Nasution, Amin, Hukum Kewarisan: Suatu Analiss Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Cet.1, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2012.
Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syawkani, Muhammad, Irsyad al-Fukhul ila tahqiq al-Haqq
min ‘Ilm al-Ushul, (Surabaya: Ahmad Ibn Sa’d Ibn Nabhan, t,th.
Idris al-Marbawiy, Muhammad, Kamus Idris al-Marbawi; Arab-Melayu, Bandung: al-
Ma’arif, Juz 1, tt.
Ismail Ibrahim, Muhammad, Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam Al-Quraniyah Qairo: Dar al-
Fikr al-Ariby, 1986.
Johan Nasution, Bahder, Metode Peneliti Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008.
83
Kamal bin as-Sayyid Salim, Abdul, Malik, Tuntunan Praktis Hukum Waris, Penerjemah
Ade Ichwan Ali, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009.
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul Mawarits fil-Fiqhil-
Islami. Penerjemah Addys aldizar, Fathurrahman. Hukum Waris, Cet.1,
Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.
Kompilasi Hukum Islam.
Mardani, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Cet.1, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Muhammad Al-Ghazali, Muhammad bin, Al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul.
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Asy- Syaikh, Ilmu Waris: Metode Praktis
Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah
Muhaimin, Tegal Jateng: Ash-Shaf media: 2007.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku, Fiqih Mawaris, Cet. 1, Semarang: PT
Pustaka Riski Putra, 1997.
Muhibbin, Moh. dan Wahid, Abdul, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia, Cet.1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Muslim, Imam, Jam’u al-Jawami al-Hadis Wal Asanid, Juz II, Germany:Dar Miknas
Shohih al-Islamiyah, 2000.
Mustafa Sanu, Quthub, Mu’jam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus: Surya Dar al-Fikr
al-Ma’asir, 2000.
Mutakin, Ali, Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Istinbath Hukum,
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3, Agustus 2017.
Nur, Iffatin, Terminologi Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2013.
Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’zn, cet 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1995.
Qosim, M. Rizal, Pengamalan Fikih 3, Solo: Tiga Serangkai, 2005.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif,1987.
---------, Fatchur, Ilmu Waris,Cet.2, Bandung: PT Al-Maarif, 1981.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001.
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2017.
Rusyd,, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Semarang: Thoha Putra.
84
Sabiq, Sayid, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Fikry, 1983.
Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh, Cet.1, Jakarta: Kencana, 2011.
Silalahi, Ulber, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2009.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitan Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1969.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, 1999.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Cet.1, Jakarta: KENCANA, 2004.
--------------------, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2004.
--------------------, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet.6, Jakarta: Kencana, 2011.
Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam Bandung: FOKUSMEDIA, 2007.
Umar Al-Bakri, Muhammad bin, Hasyiyah Muhammad bin Umar al-Nakri, Kairo:
Maktabah al Misriyah, t.th..
Umar, Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
--------------, Relevansi Metode Kajian Hukum Islam dalam Pembaharuan Hukum Islam
Masa Kini, Jurnal Innovatio, Vol.6, No.12, Juli-Desember 2007.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Usman, Suparman dan Somawijaya, Yusuf, Dasar-dasar Fiqh Mawaris, Serang:
saudara, 1993.
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawwir: Kamus Arab-indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002, Cet. Kedua puluh lima.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Hadi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Zamzami, Mukhtar, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Kewarisan Indonesia,
Jakarta: Kencana Premada Media Grup, 2013.
62