108
KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI INDONESIA (Analisis Putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: NURDIANA RAMADHAN NIM:11150440000016 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019M/1440H

KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

  • Upload
    others

  • View
    37

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEWARISAN DI INDONESIA

(Analisis Putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H)

Oleh: NURDIANA RAMADHAN

NIM:11150440000016

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019M/1440H

Page 2: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 3: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 4: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 5: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

v

Page 6: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

v

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan

asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama

bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah

Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih

penggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara

Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak Dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ts Te dan es ث

J Je ج

H H dengan garis bawah ح

Kh Ka dan Ha خ

D De د

Dz De dan zet ذ

R Er ر

Z Zet ز

Page 7: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

vi

vi

S Es س

Sy Es dan Ye ش

S Es dengan garis bawah ص

D De dengan garis bawah ض

T Te dengan garis bawah ط

Z Zet dengan garis bawah ظ

Koma terbalik diatas hadap ‘ ع

kanan

Gh Ge dan ha غ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrop ‘ ء

Y Ya ي

Page 8: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

vii

vii

b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang

Vokal Pendek Vokal Panjang

_____ ______ = a ىا = a>

_____ ______ = i ىي = i>

_____ ______ = u ىو = u>

c. Diftong dan Kata Sandang

Diftong Kata Sandang

al = )ال( ai = __ أ ي

al-sh = )الش( aw = __ أ و

-wa al = )وال(

d. Tasydid (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-

syuf’ah

e. Ta Marbutah

Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)

atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti

dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”

(te) (lihat contoh 3).

Page 9: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

viii

viii

Kata Arab Alih Aksara

syarî ‘ah شريعة

al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة اإلسال مية

Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هب

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia

Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut

berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn

al-Rânîrî.

Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman

kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:

No Transliterasi Asal Dalam KBBI

1 Al-Qur’an Alquran

2 Al-Hadits Hadis

3 Sunnah Sunah

4 Nash Nas

5 Tafsir Tafsir

6 Fiqh Fikih

Dan lain-lain (lihat KBBI)

Page 10: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

ix

ix

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر بسم هللا الر

Alhamdulillah puji syukur hanya bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam, yang

telah melimpahkan segala limpahan rahmat, hidayah, dan taufiq-Nya di dunia ini,

terkhusus kepada penulis. Dan dengan izin dan ridho-Nya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Kewarisan Bertingkat Sebagai

Perkembangan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia

(Analisis Putusan No. 1191/Pdt.G/2016/PAJB) Sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan studi pada Program Studi Hukum Keluarga Universitas Syarif

Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi

Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh umatnya.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan motivasi

dari berbagai sehingga segala kesulitan dan hambatan dapat diatasi dan tentunya

dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga untuk semua pihak yang telah

memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga terselesaikan skripsi ini,

khususnya kepada:

1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah, SH.I., MH.

Ketua dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga.

3. Sri Hidayati, M.Ag. pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas

meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan

serta saran-saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Page 11: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

x

x

4. Dr. H. Yayan Sopyan, S.H.,M.A.,M.H. Dosen Penasehat Akademik

yang selalu bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan

masukan dan saran bagi penulis hingga terselesaikan skripsi ini.

5. Dosen penguji skripsi Dr. K.H.A Juaini Syukri, Lc. M.A sebagai

Dosen Penguji I dan Dr. H. Azizah, M.A sebagai Dosen Penguji II

yang telah memberikan masukan serta arahan sehingga

terselesaikannya skripsi ini sampai tahap akhir.

6. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

mendidik dan memberikan ilmu yang berharga kepada penulis

beserta seluruh staf dan karyawan yang telah memberikan

pelayanan terpadu selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

7. Ayahanda & Ibunda tercinta (Ilmi Ahmad & Herlina Laini), yang

telah begitu banyak mencurahkan perhatian, pengorbanan serta

kasih sayangnya yang tiada bandingannya di dunia ini. Adik-

adikku (Muhammad Nur Ramadhan dan Ahmad Mulki Ramadhan),

mereka tempat bercanda, tempat berbagi di waktu luang maupun

sempit dan mereka yang senantiasa mendoakan penulis.

8. Sahabat-sahabat: Ilham Ramdani Rahmat, Tiyas Puji Istanti,

Defanti Putri Utami, Lutfi Zakaria Mubarok, Iqbal Farisi, Desi

Purnama, Suci Nurindah, Ana Eka Fitriani, Hutri Rahayu, dan

kakak panutan Nida Sriwidiyanti, Mella Rosdiana, Rifqi Akbari,

Andy Asyraf, Satria Erlangga, Alim Amalkan, Syifa Rahmalia,

Page 12: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

xi

xi

Annisa Mutiara yang selalu memberikan semangat dan warna

kepada penulis. Semoga Allah selalu meridhai persahabatan kita.

Terima kasih untuk segala kenangan yang telah terukir, semoga

persahabatan kita tak berhenti sampai disini.

9. Keluarga besar HMI Hukum Keluarga, Hukum Keluarga-A

angkatan 2015, terkhusus keluarga ELKAMASY dan keluarga

IKARUS UIN JAKARTA. Terimakasih untuk canda tawa cerita

yang selalu hadir dan akan selalu ada ayunan rindu untuk kalian

semua. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga sampai kapanpun.

10. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat dan para hakim beserta

pihak-pihak yang terkait, khususnya Bapak Drs. H. Abdul Hadi,

M.H.I yang telah meluangkan waktunya sehingga memudahkan

dalam menyelesaikan skripsi.

11. Teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Keluarga

angkatan 2015 dan mereka yang tidak bisa disebutkan satu-persatu

yang telah membantu dan memberikan doa, semangat serta

motivasi kepada penulis.

Semoga amal dan jasa mereka yang telah membantu penulis dalam

penyusunan skripsi ini diterima oleh Allah SWT dan dibalas dengan pahala

yang berlipat ganda. Penulis mengharapkan kritik dan saran membangun dari

seluruh pembaca guna upaya perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini.

Page 13: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

xii

xii

Akhirul kalam, semoga dengan kelebihan dan kekurangan yang terdapat

di dalam skripsi ini, kiranya memberikan manfaat kepada para pembacanya.

Ciputat, 16 Januari 2019

Nurdiana Ramadhan

Penulis

Page 14: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

v

Page 15: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

vi

Page 16: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

vii

Page 17: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

xvi

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Permohonan Pembimbing

2. Hasil Transkip Wawancara

3. Surat telah Melakukan Wawancara

4. Surat Balasan dari Pengadilan Agama

Page 18: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum kewarisan adalah cabang hukum yang penuh problem

mengingat keterkaitannya dengan kepercayaan, agama, tradisi dan budaya

secara umum.1 Salah satu masalah kewarisan yang ada di Indonesia adalah

kewarisan bertingkat (Munasakhah). Munasakhah adalah meninggalnya

ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiaannya berpindah

kepada ahli warisnya yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal

dunia, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena belum

dibagikan), hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karena disini

akan timbul masalah yang oleh kalangan ulama faraidh dikenal dengan

sebutan Al-jamiah.2

Munasakhah mempunyai tiga macam keadaan, antara lain:

Pertama, ahli waris mayit kedua adalah para ahli waris yang sama

(selain yang bersangkutan) dengan ahli waris dari mayit pertama sehingga

tidak terjadi perubahan dalam pembagian. Misalnya, jika seseorang wafat

meninggalkan lima orang anak laki-laki atau lima orang anak perempuan

dan tidak ada ahli waris selain mereka. Tiba-tiba salah seorang di antara

mereka wafat meninggalkan keempat saudaranya. Jika hal itu terjadi,

warisan dibagikan kepada empat orang itu sebagai pengganti lima orang.

Kedua, terjadi perubahan dalam pembagian antara para ahli waris

yang masih hidup. Misalnya, jika seorang wafat meninggalkan seorang

anak laki-laki dari istri pertama dan tiga anak perempuan dari istri kedua,

tiba-tiba salah seorang anak perempuan wafat meninggalkan saudara-

saudaranya (2 sauadara kandung perempuan dan 1 saudara seayah).

1 Mukhtar Zamzami, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Kewarisan

Indonesia, (Jakarta: Kencana Premada Media Grup, 2013), h.1.

2 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia,2012), h.319-

320.

Page 19: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

2

Ketiga, ahli waris mayit kedua adalah orang-orang yang berbeda

dengan ahli waris mayit pertama. Misalnya, jika seorang istri (mayit

pertama) pertama wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan dan

ibu. Tiba-tiba suami (mayit kedua) wafat meninggalkan seorang istri

kedua, ayah dan ibu. Setelah itu anak perempuan (mayit ketiga anak mayit

pertama) juga wafat meninggalkan dua anak laki-laki, seorang anak

perempuan dan nenek. Lalu nenek (“ibu” dari mayit pertama) ini wafat

juga meninggalkan seorang suami dan dua saudara laki-laki.3

Kewarisan bertingkat (Munasakhah) terdiri dari beberapa unsur:4

1. harta pusaka simati belum dibagikan kepada ahli waris,

menurut ketentuan pembagian harta pusaka.

2. danya kematian dari seorang ahli waris.

3. adanya pemindahan bagian harta pusaka yang mati

kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli

warisnya yang semula belum menjadi ahli waris terhadap

orang yang mati pertama.

4. Adanya pemindahan bagian ahli waris yang telah mati

kepada ahli warisnya harus dengan jalan mempusakai

(mewarisi).

Dari masalah kewarisan bertingkat (Munasakhah) banyak terjadi di

Indonesia salah satunya terdapat sejumlah perkara yang ada di Pengadilan

Agama Jakarta Barat. Masalah kewarisan tersebut menjadi menarik

lantaran Hakim perlu menyelesaikan pembagian warisan dalam dua atau

kasus yang berbeda namun saling berkaitan. Dalam hal ini penulis tertarik

untuk menganalisis permasalahan munasakhah ini dengan teori maqāṣid

asy-syarīʻah.

3 Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Ahkamul Mawarits: 1.400 Mas’alah Miratsiyah.

Penerjemah Tim Kuwais Media Kreasindo. Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan

Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai, 2007. H. 711-712.

4 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif,1987), h. 460-461.

Page 20: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

3

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis memilih judul

Kewarisan Bertingkat Sebagai Perkembangan Hukum dalam Penyelesaian

Sengketa Kewarisan di Indonesia (Analisis Pututusan

No.1191/Pdt.G/PA.JB.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut,

maka dapat disebutkan identifikasi masalah di bawah ini yang akan di

jelaskan lebih lanjut, yaitu:

a. Bagaimana metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan

bertingkat pada putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?

b. Bagaimana penerapan teori maqāṣid asy-syarīʻah dalam pembagian

kewarisan bertingkat?

c. Bagaimana hukum positif (Inpres No.1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam) memandang pembagian kewarisan

bertingkat?

d. Apa faktor yang melatarbelakangi adanya kewarisan bertingkat?

e. Apakah ada korelasi antara kewarisan bertingkat dengan faktor

pengetahuan masyarakat seputar waris?

f. Berapa banyak kasus kewarisan bertingkat di Pengadilan Agama

Jakarta Barat sejak 2015-sekarang?

g. Apakah hakim telah memutuskan sesuai dengan aturan hukum

yang ada?

h. Apakah ada terobosan hukum dalam putusan Nomor

1191/Pdt.G/2016/PAJB?

i. Apa dalil yang digunakan oleh hakim dalam putusan Nomor

1191/Pdt.G/2016/PAJB?

Page 21: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

4

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya pembahasan yang berkenaan dengan hukum

kewarisan maka penulis memberikan batasan masalah agar dapat fokus

dan tidak melebar dari inti penelitian ini. Adapun fokus penelitian yakni

metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan bertingkat pada putusan

Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari identifikasi dan pembatasan masalah,

selanjutnya penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana metode ijtihad hakim dalam perkara kewarisan bertingkat

pada putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB?

b. Apa sebab pertimbangan hakim menyamakan anak angkat menjadi

anak pewaris?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui metode ijtihad hakim dalam perkara

kewarisan bertingkat pada putusan Nomor

1191/Pdt.G/2016/PAJB?

b. Untuk mengetahui sebab pertimbangan hakim menyamakan

anak angkat menjadi anak pewaris.

2. Manfaat Penelitian

Dalam penulisan diharapkan dapat memberikan manfaat:

a. Memberikan wawasan keilmuan di bidang hukum keluarga

khususnya di bidang hukum kewarisan.

b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa

secara mendalam tentang hukum kewarisan.

c. Menambah pengetahuan dalam keilmuan di bidang hukum

kewarisan baik secara teoritis maupun praktis.

d. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang

akan melakukan penelitian berkaitan dengan hukum kewarisan.

Page 22: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

5

D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu

Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis

melakukan review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang

penulis bahas. Review kajian terdahulu yang berkaitan dengan penulis

diantaranya :

Ainun Barakah, dalam jurnal yang berjudul “Munasakhah; Metode

Praktis dalam Pembagian Harta Waris”.5

Fatahullah, Sugiyarno dan Ita Surayya, dalam jurnal yang berjudul

“Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti Pada Putusan Nomor:

0311/PDT.G/2009/PA.SEL”.6

Perbedaannya dengan Skripsi penulis adalah pembagian waris

bertingkat (munasakhah) yang di analisis dengan teori Maqāṣid asy-

Syarīʻah.

E. Kerangka Teori

Maqāṣid asy-Syarīʻah merupakan kata majmuk (idlafî) yang terdiri

dari dua kata yaitu Maqāṣid dan asy-syarīʻah. Secara etimologi, maqāṣid

merupakan bentuk jamak (plural) dari kata maqṣhid. Yang terbentuk dari

huruf qaf, shad dan dal, yang berarti kesengajaan atau tujuan.7 Sedangkan

kata asy-syarīʻah secara etimologi berasal dari kata syara’a yasyra’u

syar’an yang berarti membuat syarīʻat atau undang-undang, menerangkan

serta menyatakan. Dikatakan syara’a lahum syar’an berarti ia telah

menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti

menunjukkan jalan atau peraturan.8

5 Ainun Barakah, Munasakhat; Metode Praktis dalam Pembagian Harta Waris,

(Cendikia: Jurnal Studi Islam, Vol. 1 No. 2 Desember 2015). 6 Fatahullah dkk, Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti Pada putusan

Nomor: 0311/PDT.G/2009/PA.SEL, (Jurnal IUS, Vol. IV No. 1 April 2018). 7 Muhammad Idris al-Marbawiy, Kamus Idris al-Marbawi; Arab-Melayu,

(Bandung: al-Ma’arif, Juz 1, tt.), h. 136. 8 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer,(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007),

h.36.

Page 23: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

6

Ali Mutakin mengutip pengertian syari’ah secara terminologi dari

buku Asaf A.A. Fyzee, Mahmud Syalthuth, Ali al-Sayis dan Satria Efendi

sebagai berikut:

Menurut Asaf A.A. Fyzee menjelaskan bahwa syarīʻah adalah

canon law of Islam, yaitu keseluruhan perintah Allah yang berupa

nash-nash. Sedangkan Satria Effendi menjelaskan bahwa syarīʻah

adalah al-nushûsh al-muqaddasah yaitu nash yang suci yang

terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits al-Mutawatirah, yang

belum tercampuri oleh pemahaman manusia, sehingga cakupan

syari’ah ini meliputi bidang i’tiqadiyyah, ‘amaliyah dan

khuluqiyah.

Demikianlah makna syarīʻah, akan tetapi menurut ulama-ulama

mutaakhirin telah terjadi penyempitan makna syarīʻah. Mahmud

Syalthuth memberikan uraian tentang makna syari’ah, bahwa

syarīʻah adalah hukum-hukum dan tata aturan yang di syarīʻatkan

oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya agar dipedomani manusia

dalam mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan sesama antar

manusia, alam dan seluruh kehidupan.

Sedangkan Ali al-Sayis menjelaskan bahwa syarīʻah adalah

hukum-hukum yang diberikan oleh Tuhan untuk hamba-hamba-

Nya agar mereka percaya dan mengamalkanya demi kepentingan

mereka di dunia dan akhirat.9

Sementara apabila kita berbicara Maqāṣid asy-Syarīʻah sebagai

salah satu disiplin ilmu tertentu yang independen, maka tidak akan kita

jumpai definisi yang konkrit dan komprehensif yang diberikan oleh ulama-

ulama klasik, sehingga akan kita dapati beragam versi definisi yang

berbeda satu sama lain, meskipun kesemuanya berangkat dari titik tolak

yang hampir sama. Oleh karena itulah, kebanyakan definisi Maqāṣid asy-

Syarīʻah yang kita dapati sekarang ini, lebih banyak dikemukakan oleh

9 Ali Mutakin, Teori Maqasid Al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode

Istinbath Hukum, (Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 19 No. 3 Agustus 2017), h.550.

Page 24: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

7

ulama-ulama kontemporer, seperti Tahir bin Asyûr yang membagi

Maqāṣid asy-Syarīʻah menjadi dua bagian. Yaitu Maqāṣid asy-Syarīʻah

al-‘ammah dan Maqāṣid asy-Syarīʻah al-khashah. Bagian pertama ia

maksudkan sebagai hikmah, dan rahasia serta tujuan diturunkannya

syarīʻah secara umum yang meliputi seluruh aspek syarīʻat dengan tanpa

mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu. Sementara bagian kedua ia

maksudkan sebagai seperangkat metode tertentu yang dikehendaki oleh al-

syari’ dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia dengan

mengkhususkannya pada satu bidang dari bidang-bidang syarīʻat yang

ada, seperti pada bidang ekonomi, hukum keluarga. Sedangkan menurut

‘Allal al-Fasi adalah metode untuk mengetahui tujuan pensyari’atan

sebuah hukum untuk menjamin kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan

yang mengandung kemaslahatan untuk manusia.

Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqāṣid asy-Syarīʻah

adalah nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau

bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu

dipandang sebagai tujuan dan rahasia syarīʻah, yang ditetapkan oleh al-

Syari' (pembuat syarīʻat yaitu Allah dan Nabi Muhammad) dalam setiap

ketentuan hukum.10 Sementara al-Syâthibi menyatakan bahwa beban-

beban syarīʻah kembali pada penjagaan tujuan-tujuanya pada makhluk.

Tujuan-tujuan ini tidak lepas dari tiga macam: dharuriyyat, hajiyyat dan

tahsiniyyat. Al-Syari’ memiliki tujuan yang terkandung dalam setiap

penentuan hukum untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan

di akhirat.11

Kesimpulan yang diambil peneliti adalah hukum kewarisan adalah

suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah

meninggal dunia diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.

10 Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikri, (Damaskus, 1986,

cet. Ke-II), h. 225.

11 Ali Mutakin, Teori Maqasid, h.551-552.

Page 25: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

8

Sedangkan munasakhah adalah sebagian ahli waris ada yang meninggal

sebelum diadakan pembagian harta pusaka, maka bagian warisnya

berpindah kepada ahli waris yang lain. Lalu yang dimaksud dengan

Maqāṣid asy-syarīʻah adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung

dalam setiap aturannya.

F. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana,

dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru

guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.12

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian

sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitan ini penulis menggunakan pendekatan

analisis yuridis yaitu adalah kegiatan untuk mencari dan memecah

komponen-komponen dari suatu permasalahan untuk dikaji lebih

dalam serta kemudian menghubungknnya dengan hukum, kaidah

hukum serta norma hukum yang berlaku sebagai pemecahan

permasalahannya. Kegiatan analisis yuridis adalah mengumpulkan

hukum dan dasar lainnya yang relevan untuk kemudian mengambil

kesimpulan sebagai jalan keluar atau jawaban atas permasalahan.13

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan

didukung oleh studi kepustakaan (library research) yaitu dengan

mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan,

12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,

1991), h.2 13 Bahder Johan Nasution, Metode Peneliti Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar

Maju, 2008) h. 83-88.

Page 26: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

9

serta tulisan-tulisan para sarjana yang erat kaitannya dengan

masalah yang diteliti.

3. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ilmiah ini. Penelitian

menyusun berdasarkan sumber data yang terbagi kedalam dua

kriteria, yaitu sumber data utama (primer) dan sumber data

tambahan (sekunder) ialah:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer dari penelitian ini adalah putusan dan

wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat

terkait kewarisan bertingkat.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku,

jurnal, artikel dan tulisan lain yang berhubungan dengan

permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian

ini. Oleh karena itu pada umumnya data sekunder dalam

keadaan siap terbuat dan dapat dipergunakan dengan segera,

dan salah satu ciri dari data sekunder ini tidak terbatas oleh

waktu maupun tempat.14

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam

skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Teknik Wawancara (Interview) yaitu suatu metode

pengumpulan data yang sering digunakan di dalam metode

penelitian.15 Bagian dari survey ialah teknik wawancara dengan

salah seorang Hakim yang menangani kasus kewarisan

bertingkat.

14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, (Jakarta: Universitas

Indonesia, 1986) h.11.

15 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h.

35.

Page 27: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

10

b. Studi Kepustakaan Penelusuran Informasi dan data yang

diperlukan dalam beberapa sumber. Penyusunan dengan

menggunakan studi kepustakaan dilakukan dengan cara

membaca, mempelajari serta menganalisis literatur atau buku-

buku dan sumber lainnya yang berkaitan dengan tema

penelitian.

5. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif yaitu

metode yang dipakai untuk menganalisa data yang bersifat umum

dan memiliki unsur kesamaan sehingga digeneralisasikan menjadi

kesimpulan khusus. Analisa dilakukan dengan terlebih dahulu

menjelaskan hukum kewarisan bertingkat dengan teori Maqāṣid

asy-Syarīʻah.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan peneliti dalam penelitian

ini adalah berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dalam penulisan, skripsi ini

dibagi atas lima bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang meliputi latar

belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan,

identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, merupakan bab mengenai konsep kewarisan menurut

fiqih dan KHI yang membahas pengertian waris, dasar hukum, rukun,

syarat waris, jenis-jenis ahli waris dan bagiannya, sebab-sebab mewarisi

dan halangan mewarisi, kewarisan didalam KHI, pengertian keawarisan

bertingkat dan unsur-unsur yang melatarbelakangi terjadinya kewarisan

bertingkat.

Page 28: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

11

Bab ketiga, yaitu tinjauan umum tentang Metode Istinbat Hukum

yang berisi tentang pengertian, syarat-syarat, macam-macam, sumber

hukum dalam istinbat dan hubungan antara Maqāṣid asy-Syarīʻah dengan

beberapa metode istinbat hukum Islam.

Bab keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam

skripsi ini. Yakni studi putusan No. 1191/Pdt.G/2016/PAJB yang

didalamnya berisi kronologi perkara, pertimbangan hukum, amar putusan,

analisis putusan, dan analisis hukum.

Bab kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini, yaitu bab

penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang bersifat

membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

Page 29: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

12

BAB II

KONSEP KEWARISAN MENURUT FIQIH DAN KHI

A. Pengertian, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat Mewarisi

1. Pengertian Waris

Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah

untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris,

ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Fiqh Mawaris adalah kata yang

berasal dari bahasa Arab fiqh dan mawaris. Fiqh menurut bahasa

berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau

memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang

sungguh-sungguh. Sedangkan kata mawaris diambil dari bahasa Arab.

Mawaris bentuk jamak dari (miiraats) yang berarti harta peninggalan

yang diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi, fiqh mawaris adalah suatu

disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang

bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta

peninggalan itu serta bagian masing masing16

Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kata

tunggal faridhah, yang bentuk dari huruf fa, ra dan dha.17 Kata

(Fariidhah) berakar dari kata faradhah yang pada mulanya bermakna

kewajiban atau perintah.18 Akan tetapi keduanya (mawaris dan

faraidh) dapat dibedakan karena kata mawaris sendiri dalam bahasa

arab adalah bentuk jamak dari mirats yang semakna dengan mauruts

(isim maf’ul) yaitu: “Harta peninggalan orang yang meninggal yang

diwarisi oleh para ahli warisnya”, sedangkan faraidh adalah bentuk

16 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai

Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 5-7.

17 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an, cet 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo

Persada, 1995), h.28.

18 Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam Al-Quraniyah (

Qairo: Dar al-Fikr al-Ariby, 1986), h. 392.

Page 30: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

13

jamak dari faraidhah, yang diambil (mustaq) dari lafadz fardhun,

artinya adalah “Bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan ukuran

dan ketentuannya. Dari penjelasan diatas dikatakan ilmu mawaris

karena dalam ilmu ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan harta

peninggalan simayit, dan dikatakan ilmu faraidh karena membahas

tentang bagian-bagian tertentu yang sudah ditetapkan ukurannya bagi

setiap ahli waris.19

Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu faraidh ini disebut

dengan “Hukum Waris” (ERFRECHT) yaitu hukum yang mengatur

tentang apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang

meninggal dunia.20

Ilmu mawarits adalah ilmu pokok yang berlandaskan ilmu

fiqih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan perhitungan warisan bagi

orang-orang yang berhak menerimanya. Tujuannya adalah agar setiap

yang berhak menerima warisan dari tirkah mendapatkan haknya

sebagaimana mestinya.21

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 ayat (a) dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan Hukum Kewarisan adalah hukum yang

mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan

berapa bagiannya masing-masing.

Dari beberapa defenisi diatas, dapat dipahami bahwa Fiqih

Mawaris, Ilmu Faraidh atau Hukum Waris adalah suatu ilmu yang

19 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawaris, Cet. 1,

(Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 1997), h. 9-10.

20 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1969), h. 50. 21 Abdul Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Tuntunan Praktis Hukum Waris,

Penerjemah Ade Ichwan Ali, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009), h. 3.

Page 31: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

14

membicarakan hal seputar pemindahan harta peninggalan dari

seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik harta

yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta

peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris dan cara

penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut.

2. Dasar Hukum

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum

agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat didalam al-Quran

dan sunnah Nabi. Ayat-ayat al-Quran dan sunnah Nabi yang secara

langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut22:

a. Dalil-dalil dari al-Quran

1) Surah An-Nisa’ayat 7

ا ترك الوالدان واألقربون و جال نصيب مم ا ترك الوالدان نصيب م نساء للللر م

ا قل منه أو كثر نصيبا مفروض (٧النساء:) اواألقربون مم

Artinya:. “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta

peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang

wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-

bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bahagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisa: 7)

2) Kemudian terdapat juga di dalam surah An-Nisaa’ ayat 12

بع مم ا تركن من ولكم نصف ما ترك أزواجكم إن لم يكن لهن ولد فإن كان لهن ولد فلكم الر

ا تركتم إن لم يكن لكم ولد ف بع مم إن كان لكم ولد بعد وصية يوصين بها أو دين ولهن الر

ا تركتم من بعد وصية توصون بها أو دين وإن كان رجل يورث كاللة أ و فلهن الثمن مم

لك فهم شركاء في امرأة وله أخ أو أخت فلكل واحد منهما السدس فإن كانوا أكثر من ذ

عليم حليم وللا الثلث من بعد وصية يوصى بها أو دين غير مضار وصية من للا

(١٢النساء:)

22 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 12.

Page 32: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

15

Artinya: ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta

yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak

mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,

Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat

atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri

memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika

kamu tidak mempunyai anak.

jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah

dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar

hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun

perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-

laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu

saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu

seperenam harta.

Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,

Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah

dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar

hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli

waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)

syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha

mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisaa’: 12)

b. Dalil-dalil dari Sunnah

1) Hadis dari Imam Muslim

ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فلولى رجل ذكر 23

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dia berkata, “

Rasulullah SAW bersabda:“Berikanlah harta warisan

kepada yang berhak mendapatkannya, sedangkan sisanya

untuk laki-laki yang paling dekat garis keturunanya”. (HR.

Muslim)

23 Imam Muslim, Jam’u al-Jawami al-Hadis Wal Asanid, Juz II, ( Germany:Dar

Miknas Shohih al-Islamiyah, 2000), h. 688.

Page 33: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

16

2) Hadis dari Imam Abu Dawud

اق حدثنا أحمد بن صالح ومخلد بن خالد وهذا حديث مخلد وهو األشبع قال حدثنا عبد ز الر

عل صلى للا يه وسلم حدثنا معمر عن ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس قال قال رسول للا

فما تركت الفرائض فلولى ذكر 24 اقسم المال بين أهل الفرائض على كتاب للا

Artinya:Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih,

dan Makhlad bin Khalid, dan ini adalah hadits Makhlad dan

tersebut lebih bagus (patut diterima). Mereka berdua

mengatakan; telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq,

telah menceritakan kepada kami Ma’mar dari dari Ibnu

Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:

Rasulullah SAW bersabda: “Bagikan harta diantara para

pemilik faraidh (bagian harta waris) berdasarkan kitab

Allah. Maka bagian harta yang tersisa setelah pembagian

tersebut, lebih utama diberikan kepada (ahli waris) laki-

laki”. (HR. Abu Dawud)

3. Rukun dan Syarat

Adapun beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian

warisan. Adapun rukun pembagian warisan ada tiga, yaitu:25

a. Muwarrits ( مورث), yaitu orang yang meninggal dunia, baik

karena mati hakiki maupun hukmi (حكمي). Mati hukmi

maksudnya, dia sudah dianggap mati atas putusan pengadilan,

seperti karena telah lama menghilang atau sebab-sebab

lainnya.

b. Warits )وارث(, yaitu ahli waris yang akan menerima pembagian

warisan seperti karena ada hubungan perkawinan dan

hubungan darah (keturunan).

c. Mauruts )موروث(, yaitu harta warisan yang ditinggalkan oleh si

mati yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris, setelah

diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan

melaksanakan wasiat, kalau ada meninggalkan wasiat. Harta

24 Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adzim Abadi, Ainul Ma’bud

Syarah Sunan Abi Daud, Juz 5 (Kairo: Daarul Hadits, 2001), h. 306.

25 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001), h.

28-29.

Page 34: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

17

warisan ada yang menyebut dengan : tirkah تركة) ( atau turats

.)تراث(

Sedangkan syarat-syarat pembagian warisan adalah:

a. Muwarrits, syaratnya benar-benar telah meninggal dunia,

apakah meninggal hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat

diketahui tanpa harus melakukan pembuktian, bahwa seorang

telah meninggal dunia. Secara yuridis (hukmi) yaitu kematian

seseorang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim

dinyatakan telah meninggal dunia. Atau secara taqdiri, yaitu

anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal

dunia.

b. Warits, syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwarrits,

ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Ada syarat lain

yang harus dipenuhi, yaitu bahwa diantara muwarrits dan

warits tidak ada halangan untuk saling mewarisi.

c. Mauruts, yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi

biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan

wasiat.26

B. Sebab-sebab Mewarisi

Harta orang yang telah meninggal dengan sendirinya beralih

kepada orang hidup yang memiliki hubungan dengan orang yang telah

meninggal dunia tersebut. Dalam literatur hukum Islam atau fiqih,

dinyatakan ada empat hubungan yang menyebabkan seseorang menerima

harta warisan dari seseorang yang telah mati, yaitu hubungan kerabat,

hubungan perkawinan, hubungan wala’ dan hubungan sesama Islam.27

26 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 28-29. 27 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 2, (Jakarta: KENCANA,

2005), h. 179.

Page 35: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

18

1. Hubungan Kerabat

Salah satu sebab beralihnya harta, seorang yang telah

meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan

silaturahmi atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu hubungan nasab

yang disebabkan oleh kelahiran.

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang

mewariskan dengan yang mewarisi, dapat digolongkan dalam tiga

golongan, yaitu sebagai berikut:

a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mati

b. Ushul, yaitu leluhur (pokok atau asal) yang menyebabkan

adanya si mati

c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si

meninggal dunia melalui garis menyamping, seperti saudara,

paman, bibi dan anak turunannya dengan tidak membeda-

bedakan laki-laki atau perempuan.28

2. Hubungan Perkawinan

Hubungan perkawinan (persemendaan) dengan artian suami

menjadi ahli waris bagi istrinya yang meninggal dan istri menjadi ahli

waris bagi suaminya yang meninggal.29 Perkawinan yang menjadi

sebab timbulnya hubungan kewarisan antara suami istri didasarkan

pada dua syarat berikut:

a. Perkawinan itu Sah Menurut Syariat Islam

Artinya, syarat dan rukun perkawinan terpenuhi, atau

antara keduanya telah berlangsung akad nikah yang sah, yaitu

nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta

28 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al- Ma’arif, 1975), h. 116.

29 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 188.

Page 36: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

19

lepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum

kumpul (hubungan kelamin).

b. Perkawinan Masih Utuh

Artinya, suami istri masih terikat dalam tali perkawinan

saat salah satu pihak meninggal dunia.30 Termasuk dalam

ketentuan ini, apabila salah satu pihak meninggal dunia,

sedangkan ikatan perkawinan telah putus dalam bentuk talak

raj’i dan perempuan masih dalam masa iddah. Seorang

perempuan yang sedang menjalani iddah talak raj’i masih

berstatus sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali

hubungan kelamin (menurut jumhur ulama) karena halalnya

hubungan kelamin telah berakhir dengan adanya perceraian.31

3. Wala’

Wala’ adalah wala’-nya seorang budak yang dimerdekakan

yaitu ikatan antara dirinya dengan orang yang memerdekakannya dan

ahli warisnya yang mewarisi dengan bagian ‘ashabah’ dengan sebab

dirinya (ashobah bin nafsi) seperti ikatan antara orang tua dengan

anaknya, baik memerdekakan secara sukarela atau karena wajib

seperti karena nadzar atau zakat atau kafarah.32

4. Hubungan Sesama Islam

Seorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak ada

meninggalkan ahli waris sama sekali (punah), maka harta warisnya

30 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan , h. 191. 31 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.74.

32 Asy-Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Ilmu Mawaris: Metode

Praktis Menghitung Warisan Dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah Muhaimin,

(Tegal Jateng: Ash-Shaf media: 2007), h. 27.

Page 37: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

20

diserahkan kepada Baitul Maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan

untuk kepentingan kaum muslimin.

C. Halangan Mewarisi

Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat

menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau

syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat

menerima hak waris.33 Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan

hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut:

1. Perbudakan

Perbudakan adalah suatu sifat yang menjadikan seseorang

dimiliki oleh yang lain, dia dapat dijual dan diberikan, diwarisi dan

diatur, dan tidak dapat mengatur perkaranya dengan pengaturan yang

bebas. Sebagian ulama memberikan defenisi bahwa perbudakan

adalah kelemahan diri seseorang secara hukum disebabkan kekufuran.

Perbudakan menghalangi warisan karena Allah telah menyandarkan

warisan kepada orang yang berhak dengan memakai huruf “lam”

yang menunjukkan makna pemilikan, maka harta warisan menjadi

milik ahli waris sedangkan budak tidak memiliki.34

Baik keadaan budak itu qinna (budak murni) atau mudabbar

(yaitu budak yang dimana tuannya telah menyatakan kepadanya:

”Kamu bebas merdeka sesudah kematianku”, atau mukatabah (yaitu

budak yang diwajibkan oleh tuannya untuk memenuhi sejumlah harta,

kemudian dikatakan kepadanya, misalnya: “jika kamu memberikan

kepadaku seratus juta, maka kamu bebas, merdeka”).

Atau budak yang untuk kemerdekaaanya dikaitkan dengan

suatu sifat. Seperti tuannya mengatakan: “Jika istriku melahirkan anak

laki-laki maka kamu bebas. Dan demikian juga akan segala macam

33 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 83.

34 Asy- Syaikh Muhammad, Ilmu Waris, h. 40.

Page 38: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

21

budak tidak boleh mewarisi. Sebagaimana budak tidak boleh

mewarisi, maka ia juga tidak boleh diwarisi, karena ia tidak

mempunyai harta.35

2. Pembunuhan

Apabila penerima waris membunuh pemberi waris, maka ia

tidak boleh mewarisi hartanya. Para ulama berbeda pendapat tentang

warisan seorang pembunuh menjadi empat pendapat:

a. Sekelompok ulama berpendapat bahwa pembunuh tidak

mendapatkan warisan sama sekali dari orang yang dibunuhnya.

b. Sekelompok ulama yang lain berpendapat bahwa seorang

pembunuh mendapatkan warisan. Mereka merupakan sekelompok

minoritas ulama.

c. Sekelompok ulama membedakan antara pembunuh bersalah dan

pembunuh sengaja. Pada pembunuhan sengaja tidak mendapatkan

warisan sedikitpun dan pada pembunuhan bersalah mendapatkan

warisan kecuali yang berasal dari diyat. Ini adalah pendapat Imam

Malik dan para pengikutnya.

d. Sekelompok ulama juga membedakan antara pembunuhan sengaja

yang dilakukan karena perintah yang wajib atau bukan perintah

yang wajib, seperti orang yang menegakkan hukuman had. Secara

garis besar, perbedaan antara orang yang tertuduh dan orang yang

tidak tertuduh.36

Dalam KHI Pasal 173 disebutkan bahwa seseorang terhalang

menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

35 Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawaris fi al-Syari’ah al-Islamiyah fi Dhau’i

al-Kitab wa al-Sunnah, (Kairo: Daarul Hadits), h. 42. 36 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Juz II (Semarang:

Thoha Putra), h. 270.

Page 39: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

22

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan

bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam

dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih

berat.37

3. Berlainan Agama

Berlainan Agama adalah adanya perbedaan Agama yang

menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang

mewariskan. Dasar hukum berlainan Agama sebagai mawani’ ul irsi.

Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) sepakat bahwa orang

non-Islam (kafir) tidak dapat mewarisi harta orang Islam lantaran

status orang non-Islam (kafir) lebih rendah. Hal ini dijelaskan oleh

Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 141:

للكافرين على المؤمنين سبيال (١٤١ )اانساء:ولن يجعل للا

Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada

orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisa’: 141)

Apabila seorang ahli waris yang berbeda Agama beberapa saat

sesudah meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan

peninggalan belum dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru

masuk Islam itu tetap terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak

mewarisi tersebut sejak adanya kematian orang yang mewariskan,

bukan saat kapan dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal

37 Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: FOKUSMEDIA, 2007), H.

57.

Page 40: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

23

pada saat kematian si pewaris, ia masih dalam keadaan non-Islam

(kafir). Jadi, mereka dalam keadaan berlainan Agama.38

Andai kata syarat mendapatkan hak mewarisi baru dimulai

pada saat pembagian harta peninggalan, tentu terdapat perbedaan

hukum tentang mendahulukan dan mengakhirkan pembagian harta

peninggalan, dan tentu hak yang demikian itu dapat disalah gunakan

oleh ahli waris yang masuk Islam hanya untuk memperoleh harta

peninggalan saja dan kemudian murtad kembali setelah tercapai

maksudnya.39

4. Hijab (Penghalang Hak Waris)

Ditinjau dari segi bahasa, kata al-hajb larangan atau halangan.

Dalam bahasa Arab, penjaga pintu disebut hajib karena ia melarang

orang masuk keruang para pemimpin tanpa izin. Bentuk isim fa’ilnya

adalah hajib dan bentuk isim maf’ulnya adalah mahjub. Dengan

demikian, orang yang menghalangi orang lain memperoleh hak

warisnya disebut al-hajib, sedangkan orang yang terhalangi untuk

memperoleh hak warisnya disebut al-mahjub.40

Sedangkan menurut istilah, hajb adalah mencegah ahli waris

dari hak warisnya, baik seluruhnya maupun sebagian karena adanya

orang yang lebih berhak daripada dia untuk memperoleh warisan.41

a. Macam-macam al-hajb

Hilangnya hak mewarisi ini mungkin secara keseluruhan

atau mungkin hanya hilang sebagian, yaitu bergeser dari bagian

38 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 98.

39 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.78.

40 Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan Islam Menurut al-Qur’an dan

Sunnah , (Jakarta: Dar al-Kutub Al- Islamiyah,2005), Cet 1, h.106.

41 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 106-107.

Page 41: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

24

yang besar menjadi bagian yang kecil. Karena itu hijab ini

dibedakan atas 2 macam, yaitu sebagai berikut:42

1) Hijab Hirman, yaitu terhalangnya seseorang untuk

memperoleh seluruh bagian harta warisan, padahal seharusnya

ia berhak mendapatkannya. Seperti terhalangnya kakek oleh

ayah, saudara laki-laki sebapak oleh saudara laki-laki kandung,

nenek oleh ibu dan sebagainya.

2) Hijab Nuqshan, yaitu berkurangnya bagian seorang ahli waris

dari yang semestinya. Ia terima karena adanya orang lain.

Dengan demikian, hijab nuqhsan tidak menghalangi sama

sekali orang yang berhak mendapatkan warisan, namun

mengurangi bagiannya sehingga ia tidak dapat memperoleh

bagian yang maksimal (banyak). Seperti, terkuranginya bagian

istri seperempat (1/4) menjadi seperdelapan (1/8) karena

adanya anak yang menjadi ahli waris.43

b. Para Ahli Waris yang tidak akan Mahjub

Diantara para ahli waris, terdapat orang-orang yang sama

sekali tidak dapat terhalang (mahjub) oleh hijab al-hirman

sehingga selamanya dapat memperoleh bagian warisan, berjumlah

enam orang, yaitu:

1) Anak laki-laki kandung

2) Anak perempuan kandung

3) Ayah

4) Ibu

5) Suami

6) Istri

42 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h.80.

43 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 107.

Page 42: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

25

Atau dengan istilah lain yang lebih simpel sebagaimana

diungkapkan oleh para pakar ilmu faraidh; dua jenis anak, dua

orang tua, dan suami istri, jika salah seorang diantara mereka

menjadi ahli waris, maka dapat dipastikan memperoleh bagian

karena mereka tidak dapat terhalang oleh hijab al-hirman.44

c. Para Ahli Waris yang Mahjub

Adapun para ahli waris laki-laki yang mahjub (terhalang) ialah:

1) Kakek yang shahih terhalang oleh ayah, dan kakek yang jauh

terhalang oleh kakek yang dekat dan seterusnya.

2) Saudara laki-laki sekandung terhalang oleh ayah, anak laki-

laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunanya.

3) Saudara laki-laki seayah terhalang oleh ahli waris yang

menghalangi saudara laki-laki sekandung, dan oleh saudara

perempuan sekandung yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair.

Karena, dalam kondisi seperti itu ia mempunyai posisi sekuat

saudara laki-laki sekandung, baik dalam memperoleh bagian

warisan maupun dalam memahjubkan.

4) Saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan terhalang

oleh orangtua laki-laki pewaris dan oleh anak-anak pewaris

baik laki-laki maupun perempuan dan seterusnya.

5) Cucu laki-laki dari anak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki

dari anak laki-laki yang dekat dan seterusnya.

6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki (keponakan) sekandung

terhalang oleh ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari

anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-

laki sebapak.

7) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhalang oleh ahli

waris yang menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki

44 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 108.

Page 43: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

26

sekandung, dan juga oleh anak laki-laki dari saudara laki-laki

sekandung.

8) Paman sekandung terhalang oleh anak laki-laki saudara laki-

laki seayah dan oleh ahli waris yang menghalangi anak laki-

laki saudara laki-laki seayah.

9) Paman seayah terhalang oleh paman sekandung dan oleh ahli

waris yang menghalangi paman sekandung.

10) Anak laki-laki dari paman sekandung terhalang oleh paman

seayah dan oleh ahli waris yang menghalangi paman seayah.

11) Anak laki-laki paman seayah terhalang oleh anak laki-laki

paman sekandung, dan oleh orang-orang yang menghalangi

anak laki-laki paman sekandung.

Dan para ahli waris perempuan yang mahjub ialah:

1) Nenek, baik ibunya maupun ibunya ayah terhalang oleh ibu

dalam semua keadaan.

2) Cucu perempuan dari anak laki-laki, baik seorang maupun

lebih, terhalang oleh anak laki-laki dan oleh dua orang atau

lebih anak perempuan kecuali jika ia mempunyai saudara laki-

laki mu’ashib (yang menjadikannya memperoleh bagian

ashabah) sebagaimana akan dijelaskan nanti.

3) Saudara perempuan sekandung terhalang oleh ayah dan oleh

anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki pewaris terus ke

bawah.

4) Saudara perempuan seayah terhalang oleh saudara perempuan

sekandung yang menjadi ‘ashabah ma’al ghair, oleh ayah,

anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan oleh

dua orang saudara perempuan sekandung yang memperoleh

bagian seperenam untuk menggenapkan bagian dua pertiga,

kecuali jika saudara perempuan seayah tersebut mempunyai

saudara laki-laki mu’ashib.

Page 44: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

27

5) Saudara perempuan seibu terhalang oleh ayah atau kakek dan

seterusnya keatas, dan juga oleh anak-anak, baik laki-laki

maupun perempuan dan seterusnya kebawah.45

D. Jenis-jenis Ahli Waris dan Bagiannya

Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yakni:

Ashabul Furudh, Ashabah dan Dzawil Arham.46

1. Ashabul Furudh

Ashabul furudh ialah waris-waris yang mempunyai bagian

yang telah ditentukan pada harta peninggalan dengan nash atau

dengan ijma. Mereka semuanya ada dua belas orang: empat orang

lelaki, delapan wanita. Ashabul furudh dari lelaki ialah: suami, ayah,

kakek sejati dan saudara seibu. Ashabul furudh dari wanita, ialah:

isteri, ibu, nenek sejati, anak perempuan sekandung, cucu perempuan

dari anak lelaki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan

seayah dan saudara perempuan seibu.

a. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/2/ (nishf) harta:

1) Suami, apabila isteri meninggalkan anak, baik anak si suami

itu sendiri ataupun anak dari suami lain.

2) Seseorang anak perempuan kandung, apabila tidak ada orang

yang menjadi ashabahnya.

3) Cucu perempuan, jika si mayit tidak meninggalkan anak

kandung laki-laki.

4) Saudara perempuan sekandung, bila dia seorang diri, dengan

syarat tidak ada orang yang menjadi ashabahnya dan tidak

pula bersamanya anak perempuan kandung.

5) Saudara perempuan seayah, dengan syarat yang telah

dikemukakan pada saudara-saudara perempuan sekadung dan

45 Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan, h. 107-110.

46 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam , h. 63.

Page 45: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

28

dengan syarat tidak pula bersamanya saudara perempuan

sekandung.

b. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/4 (rubu’) harta:

1) Suami, jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Baik anak

dari suami itu sendiri, atau pun anak dari suami yang lain.

2) Isteri, apabila suami tidak meninggalkan anak.

c. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/8 (tsumun) harta:

1) Isteri, jika suami wafat meninggalkan anak.

d. Ashabul Furudh yang berhak menerima 2/3 harta (tsulutsani) harta:

1) Dua anak perempuan kandung

2) Cucu-cucu perempuan dari anak lelaki

3) Saudara-saudara perempuan sekandung

4) Saudara-saudara perempuan seayah, dengan syarat-syarat yang

telah diterangkan tentang berhaknya mereka menerima nishfu

diwaktu bersendiri.

e. Ashabul Furudh yang menerima 1/3 (tsuluts) harta:

1) Ibu, dengan syarat orang yang meninggal itu tidak

meninggalkan anak dan tidak pula meninggalkan beberapa

saudara baik seibu bapak, atau sebapak atau seibu.

2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik lelaki maupun

perempuan baik mereka semuanya lelaki, ataupun semuanya

perempuan ataupun ada yang lelaki dan ada yang perempuan.

Dua orang saudara dan seterusnya seibu mendapat 1/3 harta.

f. Ashabul Furudh yang berhak menerima 1/6 (sudus) harta:

1) Ayah, ketika yang meninggal itu mempunyai anak.

2) Kakek sejati, diwaktu yang meninggal itu meninggalkan anak,

tidak meninggalkan ayah.

3) Ibu, apabila yang meninggal itu meninggalkan anak, atau dua

orang dan seterusnya dari saudara-saudara lelaki dan saudara

perempuan, baik seibu bapak atau sebapak atau seibu.

4) Nenek sejati, diwaktu tak ada ibu.

Page 46: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

29

5) Cucu perempuan dari anak lelaki, seorang saja atau lebih

bersama seorang anak perempuan kandung.

6) Saudara perempuan seayah, seorang ataupun lebih bersama

seorang saudara perempuan sekandung.

7) Seorang anak seibu (saudara seibu), baik lelaki ataupun

perempuan.47

Di dalam al-Quran dan Hadits Nabi disebutkan bagian-bagian

tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu.

Bagian tertentu itu dalam al-Quran yang disebut dengan furudh adalah

dalam bentuk angka pecahan yaitu 1/2, 1/4. 1/8, 2/3, 1/3 dan 1/6. Para

ahli waris yang mendapat menurut angka-angka tersbut dinamai ahli

waris ashabul furudh.48

2. Ashabah

kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela,

penolong, pelindung atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut istilah

faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaannya tidak ada

ketentuan bagian yang pasti, bisa menerima sisa atau tidak dapat sama

sekali. Dengan kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang

bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa

harta setelah dibagi kepada ahli waris.

Ahli waris ashabah kan mendapatkan bagian harta

peninggalan, tetapi tidak ada ketentuan bagian yang pasti. Baginya

berlaku:

a. Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta

waris untuk ahli waris ashabah;

47 T.M Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam

Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 74-77.

48 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004) Cet. 2,

h. 225.

Page 47: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

30

b. Jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabul furudh

menerima sisa dari ashabul furudh tersebut.

c. Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh

maka ahli waris ashabah tidak mendapatkan apa-apa.49

Ahli waris ashabah ini terdiri dari orang-orang yang

mempunyai hubungan darah dari garis keturunan laki-laki, seperti

anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, kakek.50 Dalam keadaan

tertentu anak perempuan juga mendapat ashabah apabila ia

didampingi atau bersama saudaranya laki-laki. Kelompok ashabah ini

menerima pembagian harta waris setelah selesai pembagian untuk

ashabul furudh.

Yang termasuk ahli waris ashabah, yakni sebagai berikut:

a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki walaupun sampai ke bawah

c. Bapak

d. Kakek

e. Saudara laki-laki kandung

f. Saudara laki-laki sebapak

g. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (Keponakan)

h. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan)

i. Paman kandung

j. Paman sebapak

k. Anak laki-laki paman sekandung

l. Anak laki-laki paman sebapak

Ahli waris ashabah dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan

sebagai berikut:

a. Ashabah Binnafsihi

49 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 64-65.

50 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut: Darul Fikry, 1983), h. 437.

Page 48: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

31

Ashabah Binafsihi adalah kerabat laki-laki yang

dipertalikan dengan simati, tanpa diselingi oleh ahli waris

perempuan. Atau ahli waris yang langsung menjadi ashabah

dengan sendirinya tanpa disebabkan oleh orang lain. Misalnya,

anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara

laki-laki sekandung. Mereka itu dengan sendirinya boleh

menghabiskan harta, setelah harta peninggalan tersebut dibagikan

kepada ashabul furudh.

b. Ashabah Bilghairi (bersama orang lain)

Ashabah Bilghairi adalah orang perempuan yang menjadi

ashabah beserta laki-laki yang sederajat dengannya (setiap

perempuan yang memerlukan orang lain dalam hal ini laki-laki

untuk menjadikan ashabah dan secara bersama-sama menerima

ashabah). Kalau orang lain itu tidak ada, ini tidak menjadi

ashabah, melainkan menjadi ashabul furudh biasa.

c. Ashabah Ma’al ghairi (karena orang lain).

Ashabah Ma’al ghairi adalah orang yang menjadi

ashabah disebabkan ada orang lain yang bukan ashabah. (Setiap

perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadikan

ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat menerima

ashabah). Orang lain tersebut tidak ikut menajadi ashabah. Akan

tetapi, kalau orang lain tersebut tidak ada maka ia menjadi

ashabul furudh biasa.

Contohnya seperti berikut ini:

1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih), bersama

dengan anak perempuan (seorang atau lebih atau bersama

dengan cucu perempuan (seorang atau lebih).

Page 49: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

32

2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama

dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama

dengan cucu perempuan (seorang atau lebih). 51

3. Dzawil Arham

Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan ashabul

furudh dan bukan pula ashabah.52 Mereka dianggap kerabat yang jauh

pertalian nasabnya, yaitu sebagai berikut:

a. Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan

b. Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan

c. Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)

d. Nenek dari pihak kakek (ibu kakek)

e. Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak

maupun seibu)

f. Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu

g. Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung

sebapak atau seibu)

h. Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari

kakek

i. Paman yang seibu dengan dan saudara laki-laki yang seibu dengan

kakek

j. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu

k. Anak perempuan dari paman

l. Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu).53

Kemungkinan untuk mendapatkan dzawil arham disebagian

ulama sudah tidak berlaku lagi ketika ada Rad. Menurut Imam Malik,

Imam Syafi’i dan para fuqaha Amshar, demikian pula Zaid bin Tsabit

r.a. dari kalangan sahabat, berpendapat bahwa orang-orang tersebut

51 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 65-66.

52 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, h. 446.

53 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan, h. 66.

Page 50: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

33

(dzawul arham) tidak mewarisi.54 Hal ini sudah diatur didalam KHI

Pasal 192 yang menyebutkan bahwa:

“Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli

warisnya Dzawil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih

besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai

dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisannya

dibagi secara Aul menurut angka pembilang.”

Pasal 193 yang menyebutkan bahwa:

“Apabila dalam pemberian harta warisan diantara para ahli

warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih

kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah,

maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara Rad, yaitu

sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi

berimbang diantara mereka”.

E. Kewarisan dalam KHI

Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23

Pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193. Pada umumnya pasal-pasal

KHI tentang kewarisan sudah sama dengan yang terdapat dalam hukum

kewarisan Islam atau yang disebut faraidh. Dalam beberapa pasal dalam

penglihatan sepintas tidak sejalan dengan hukum faraidh. Namun setelah

didalami dengan sedikit penyesuaian dapat dipahami bahwa pasal itu tidak

menyalahi hukum faraidh.55

54 Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,

Bidayatul Mujtahid Analisa Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali dan Ahmad Ma’ruf Asrori, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 381.

55 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, h. 322.

Page 51: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

34

1. Pengertian dan Istilah Dalam KHI

Pengertian dan beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum

waris Islam yang terdapat dalam KHI Pasal 171 sebagai berikut:

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewars

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan

berapa bagiannya masing-masing.

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal atau yang

dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama

Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan

pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk

menjadi ahli waris.

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris

baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-

haknya.

e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit

sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),

pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.56

Dalam penelitian ini membahasan ketentuan seputar masalah-

masalah dalam pembagian warisan terkhusus dalam masalah

munasakhah yang belum diatur didalam KHI, baik mengenai

pengertian atau pun tentang tatacara pembagiannya. Apabila ada

perkara warisan Munasakhah yang masuk di Pengadilan Agama,

maka hakim berijtihad atau melakukan suatu terobosan hukum untuk

menyelesaikan perkara ini.

56 Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: FOKUSMEDIA, 2007),

H.56.

Page 52: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

35

2. Beberapa Ketentuan Yang Berbeda Dengan Kewarisan Fiqih

a. Ahli Waris Pengganti

Hal ini dijelaskan dalam KHI Pasal 185 yang berbunyi:

(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris

maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali

mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian

ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

b. Anak Angkat (Wasiat Wajibah)

Hal ini dijelaskan dalam KHI Pasal 209 yang berbunyi:

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176

sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap

orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat

wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta dari harta wasiat anak

angkatnya.

(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi

wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta dari harta

warisan orang tua angkatnya.

F. Kewarisan Bertingkat (Munasakhah)

1. Pengertian Kewarisan Bertingkat (Munasakhah)

Menurut bahasa, munasakhah artinya naql (memindahkan) dan

izalah (menghilangkan). Seperti kalimat, “Nasakhtu al-kitab”,

maksudnya “Naqaltuhu ila nuskhah ukhra” (Aku memindahkan atau

menyalin naskah atau tulisan dari buku itu.57 Seperti kalimat,

“Nasakhat asy-syamsu”, maksudnya, “Inna kunna nastansikhu ma

kuntum ta’malun” (al-Jasiyah [45]: 29), maksudnya ‘nanqulu wa

nusajjilu, artinya, “Kami pindahkan dan kami salin.

57 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-indonesia, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 2002), Cet. Kedua puluh lima, h. 1412.

Page 53: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

36

Untuk makna kedua (menghilangkan), terdapat dalam firman

Allah SWT, berikut ini:

على كل شي ء قدير ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن للا

( ٦۰١البقرة: )

“Ayat mana saja yang Kami naskh-kan, atau Kami jadikan (manusia)

lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau

yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa

sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (al-Baqarah

[2]: 106)

Maksudnya, “Nubaddiluha aw nuzillu tilawataha wa

nughayyiru hukmaha’ Kami ganti atau kami hilangkan bacaannya dan

Kami ubah hukumnya.”58 Kata munasakhah ) منا سخة ( berasal dari

“nasakha” ) نسخ ( yang artinya menghapus, memindahkan,

mengalihkan, maka menurut bahsa kata ‘munasakhah” artinya

penghapusan pemindahan sesuatu dan pengalihannya dari seseorang

kepada orang lain.59

Munaskhah adalah bentuk mufa’aalah (bermakna saling) dari

al-naskh yang berarti pemindahan dan pengalihan. Yang dimaksud

disini adalah perpindahan bagian sebagian ahli waris karena

kematiannya sebelum pembagian kepada orang yang mewarisinya.60

Menurut ilmu mawaris, munasakhah ialah kematian seseorang

yang sebelum harta peninggalannya dibagi terjadi kematian seseorang

atau beberapa orang ahli waris yang berhak mewarisinya sedemikian

rupa sehingga terjadi pemindahan bagian sebagian ahli waris tersebut

58 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul Mawarits fil-

Fiqhil-Islami. Penerjemah Addys aldizar, Fathurrahman. Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), Cet. 1, h. 420.

59 Muhammad bin Umar Al-Bakri, Hasyiyah Muhammad bin Umar al-Nakri,

(Kairo: Maktabah al Misriyah, t.th.,), h. 39.

60 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Penerjemah Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), Cet.1, h.490.

Page 54: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

37

kepada ahli warisnya lantaran dia meninggal dunia sebelum

pembagian harta pusaka yang meninggal terdahulu dilaksanakan.61

Munasakhah terjadi bila seseorang meninggalkan harta

pustaka serta beberapa orang ahli waris, kemudian sebelum harta

pusaka yang ditinggalkan itu dibagikan kepada ahli waris yang berhak

menerimanya secara ilmu faraidh, menyusul salah seorang ahli waris

yang seharusnya mendapat bagian harta pusaka tersebut meninggal

dunia pula, maka dalam kasus seperti ini disebut munasakhah.62

Sedangkan menurut ulama fiqih munasakhah adalah situasi

atau kondisi dimana salah seorang ahli waris meninggal dunia

sebelum pembagian warisan. Apabila keadaannya demikian, hak

orang yang meninggal itu atas harta waris berpindah kepada ahli

warisnya. Sebab penamaan masalah ini dengan munasakhah

dikarenakan masalah pertama dipindahkan menjadi masalah kedua,

atau karena harta waris berpindah dari satu ahli waris, ke ahli waris

lainnya.63

Munasakhah termasuk salah satu metode tashhihul masalah,

naskh secara bahasa berarti membatalkan sesuatu atau

menghilangkannya. Secara istilah munasakhah adalah metode

perhitungan warisan ketika salah satu ahli waris meninggal sebelum

warisan pertama dibagikan. Dinamakan munasakhah karena hak waris

berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain.64

61 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analiss Komparatif

Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2012), Cet.1, h. 166. 62 Ali As-Shabuni, Al-Mawarrits fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 174.

63 Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Hukum Waris, h. 420.

64 Wahbah Zuhaili, AL-FIQHU ASY-SYAFI’I AL-MUYASSAR. Penerjamah

Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira: 2010), h.144.

Page 55: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

38

2. Keadaan-keadaan Munasakhah

Berdasarkan defenisi diatas, munasakhah memiliki dua bentuk:

a. Ahli waris yang akan menerima warisan dari orang yang

meninggal belakangan, juga merupakan ahli waris dari orang

yang terlebih dahulu meninggal. Untuk menyelesaikan masalah

ini tidak terlalu sulit, cukup dengan membagikan harta

peninggalan orang yang telah meninggal terlebih dahulu dan yang

belakangan dengan cara digabungkan harta keduanya. Misalnya:

mayit meninggalkan uang sebanyak Rp. 300 juta, ahli waris

terdiri dari 2 orang anak laki-laki, yaitu Doni dan Banu, dan 2

orang anak perempuan, Risa dan Lia. Sebelum harta peninggalan

dibagikan, mendadak Doni meninggal dunia dengan tidak

meninggalkan ahli waris selain Banu, Risa dan Lia. Maka

pembagiannya cukup dengan mengadakan pembagian sekali saja

dengan menganggap Doni tidak pernah ada. Maka masing-masing

mendapat:

Banu : 2/4 x Rp. 300 juta = 150 juta.

Risa : 1/4 x Rp. 300 juta = 75 juta.

Lia : 1/4 x Rp. 300 juta = 75 juta.65

b. Ahli waris mayit kedua bukan ahli waris mayit pertama atau

sebagian dari ahli waris mayit kedua adalah ahli waris mayit yang

pertama dan mayit kedua. Dalam kondisi ini, pembagian warisan

harus dilakukan secara terpisah, artinya warisan mayit pertama

dibagikan terlebih dahulu kepada ahli warisnya, setelah itu,

warisan mayit kedua dibagikan kepada ahli warisnya, sesuai

kaidah terdahulu.

Misalnya: seorang wanita wafat meninggalkan seorang suami,

saudara perempuan seibu dan paman kandung dari pihak bapak.

65 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2007), Cet 1, h. 100-101.

Page 56: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

39

Harta waris yang ditinggalkan sebesar Rp. 133.800.000,00. Tidak

lama kemudian, suami meninggal sebelum pembagian warisan

dilakukan. Suami meninggalkan ahli waris anak perempuan, cucu

perempuan dari anak laki-laki, ibu dan bapak.

Pertama, ahli waris dan pembagian warisan sebelum suami si

mayit wafat.

a.m 6

Suami : 1/2 = 3/6 x Rp. 133.800.000,00 = Rp. 66.900.000,00.

Saudara : 1/6 = 1/6 x Rp. 133.800.000,00 = Rp. 22.300.000,00.

Perempuan seibu

Paman

Kandung : A = 2/6 x Rp. 133.800.000,00. = Rp. 44.600.000,00.

Kedua, ahli waris dan pembagian warisan suami si mayit yang

meninggal.

a.m. 6

Anak Perempuan : 1/2 = 3/6 x Rp.66.900.000,00 = Rp.

33.450.000,00.

Cucu Perempuan : 1/6 = 1/6 x Rp. 66.900.000,00 = Rp.

11.150.000,00.

Bapak : 1/6 = 1/6 x Rp. 66.900.000,00 = Rp. 11.

150.000,00.

Ibu : 1/6 = 1/6 x Rp. 66.900.000,00 = Rp. 11.

150.000,00.66

3. Rincian Amaliah Munasakhah

Sebelum melakukan rincian tentang amaliah munasakhah,

harus terlebih dahulu melakukan langkah-langkah:67

66 Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Hukum Waris, h. 420.

67 Ali As-Shabuni, Al-Mawarrits fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 134.

Page 57: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

40

a. Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan

hak waris kepada setiap ahli warisnya, termasuk ahli waris yang

meninggal.

b. Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian

pewaris kedua, tanpa memperdulikan masalah pertama.

c. Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah

pertama, dengan pentashihan masalah dan para ahli warisnya

dalam masalah kedua.

d. Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungan terhadap

ketiga nisbat, yaitu al-mumatsalah, al-muwafaqah dan al-

mubayanah. Dan di dalam buku Fatchur Rahman ada yang

disebut dengan al-mudakhalah. Bila antara keduanya yakni antara

bagian pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya yang lain

adalah mumatsalah (kesamaan), maka dibenarkan kedua masalah

hanya dengan tashih yang pertama.

4. Penyelesaian Kasus Munasakhah

Dalam menyelesaikan masalah munasakhah, para ulama

menempuh jalan sebagai berikut:68

a. Mumatsalah

Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashih pertama

dengan tashih kedua itu mumatsalah, maka tidak perlu adanya

perkalian juzus- saham dengan asal masalah semula.

Misalnya, ahli waris terdiri dari suami, ibu dan paman.

Kemudian sebelum harta peninggalan dibagi, suami menyusul

meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris 3 orang anak

laki-laki.

Penyelesaian pertama:

Suami : 1/2

68 Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, h. 102-105.

Page 58: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

41

Ibu : 1/3

Paman: ashabah

Asal Masalah (6)

Suami= 3 Ibu= 2 Paman= 1

Penyelesaian kedua:

3 anak laki-laki mendapat 3 (dari saham suami)

Ibu mendapat 2 (dari yang meninggal pertama)

Paman mendapat 1, (6-5=1), (dari yang meinggal pertama

Karena sahamnya sudah dapat pas dibagikan kepada

adadurruus, maka tidak perlu tashih. Dengan kata lain, saham-

saham dalam tashih I dinisbahkan dengan saham-saham dalam

tashih II adalah mumatsalah.

b. Muwafaqah

Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashih I

dengan tashih II itu muwafaqah, maka waafi (hasil bagi dari

pembagi yang sama) tashih II hendaklah dikalikan dengan asal

masalah yang pertama.

Misalnya ahli waris terdiri dari suami, ibu dan paman.

Kemudian sebelum harta peninggalan dibagi, suami menyusul

mati dengan meninggalkan ahli waris 6 orang anak laki-laki.

Penyelesaian pertama:

Asal masalah (6)

Suami : 1/2 x 6 = 3

Ibu : 1/3 x 6 = 2

Paman : ashabah = 1

Penyelesaian kedua:

6 anak laki-laki mendapat ashabah berdasarkan jumlah

saham mereka yaitu 6. Karena yang diwariskan dari bapaknya

(suami yang mati kedua). 3 saham tidak dapat dibagikan kepada

mereka tanpa angka pecahan, tawaquf (6:3), maka waafinya

Page 59: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

42

adalah 2, digunakan untuk mengkalikan asal masalah yang

pertama, sehingga menjadi 12. Dengan demikian kedua asal

masalah tersebut sudah tashih dan pembagian saham kepada

mereka dapat diselesaikan dengan mengkalikan 2.

6 anak laki-laki : 3 x 2 = 6

Ibu : 2 x 2 = 4

Paman : 1 x 2 = 2

Jumlah : = 12

c. Mubayanah

Jika hasil perbandingan saham-saham dalam tashih pertama

dengan tashih kedua itu tabayyun, maka seluruh tashih kedua

dikalikan dengan seluruh tashih yang pertama.

Misalnya ahli waris terdiri dari suami, ibu dan paman.

Sebelum harta peninggalan dibagikan, suami meninggal dunia

dengan meninggalkan anak laki-laki sebanyak 10 orang.

Penyelesaian pertama:

Asal masalah (6)

Suami : 1/2 x 6 = 3

Ibu : 1/3 x 2 = 2

Paman : ashabah= 1

Penyelesaian kedua:

Karena 6 dengan 10 tidak dapat tawaquf, dan hal ini

tabayyun maka asal masalah pertama (6) dikalikan dengan asal

masalah kedua (10). Dengan kata lain jumlah adadurruus (10) itu

dijadikan asal masalah dalam tashih yang kedua, kemudian tashih

yang kedua ini dipergunakan untuk mengalikan asal masalah yang

pertama. Sesudah itu, seluruh saham ahli waris dikalikan dengan

10.

Asal masalah menjadi 6 x 10 = 60

10 anak laki-laki mendapat = 3 x 10 = 30

1 orang anak laki-laki mendapat = 3

Page 60: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

43

Ibu mendapat = 2 x 10 = 20

Paman mendapat = 1 x 10 = 10

d. Mudakhalah

Ialah apabila penyebut-penyebut pecahan fardh ahli waris

itu dapat dibagi oleh penyebut yang terkecil. Misalnya dalam

masalah mawaris yang ahli warisnya terdiri dari anak perempuan

mendapat 1/2, ibu 1/6 maka nisbah (perbandingan) 2 penyebut itu

adalah tadakhul. Sebab penyebut yang terbesar yaitu 6 dapat

dibagi oleh penyebut yang terkecil yaitu 2.69

5. Unsur-unsur yang Melatarbelakangi terjadinya Munasakhah

a. Harta pusaka si mati belum dibagi-bagikan kepada ahli waris

menurut ketentuan pembagian harta pusaka.

b. Terjadinya kematian seorang atau beberapa ahli warisnya.

c. Pemindahan bagian harta pusaka dari orang yang mati

kemudian kepada ahli waris yang lain atau kepada ahli warisnya

yang semula tidak menjadi ahli waris terhadap orang yang mati

terdahulu.

d. Pemindahan bagian ahli waris yang meninggal dunia kepada

ahli warisnya haruslah dengan jalan mempusakai, sebab jika

pemindahan tersebut karena pembelian, pemberian atau hadiah,

yang demikian itu di luar pembahasan masalah munasakhah.

Kesimpulan yang diambil penulis adalah yang dimaksud

dengan fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas

tentang harta peninggalan, yang meliputi bagaimana proses

pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan

itu serta bagian masing masing

Adapun beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam

pembagian warisan ada tiga, yaitu pertama muwarrits, yaitu orang

yang meninggalkan hartanya, kedua warits, orang yang ada

69 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 141.

Page 61: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

44

hubungannya dengan orang yang telah meninggal, ketiga

mauruts, yaitu harta yang menjadi pusaka/warisan.

Halangan mewarisi merupakan tindakan atau hal-hal yang

dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena

adanya sebab atau syarat mewarisi, seperti perbudakan,

pembunuhan, berlainan agama, dan terhalang oleh ahli waris yang

lain. Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian,

yakni: Ashabul Furudh atau Dzawil Furudh, Ashabah dan Dzawil

Arham.

Yang dimaksud dengan Ahli Waris Pengganti adalah ahli

waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka

yang kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, dan

bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang

sederajat dengan yang diganti

Yang dimaksud dengan Wasiat Wajibah yaitu harta

peninggalan yang diberikan kepada selain ahli waris dan diberi

wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 harta.

Yang dimaksud dengan munasakhah ialah kematian

seseorang yang sebelum harta peninggalannya dibagi terjadi

kematian seseorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak

mewarisinya sedemikian rupa sehingga terjadi pemindahan

bagian sebagian ahli waris tersebut kepada ahli warisnya lantaran

dia meninggal dunia sebelum pembagian harta pusaka yang

meninggal terdahulu dilaksanakan.

Dalam menyelesaikan masalah munasakhah dapat

menggunakan beberapa cara, yaitu: pertama mumatsalah adalah

bila ada dua atau lebih angka yang sama, maka untuk membuat

asal masalah dengan mengambil salah satunya saja, kedua

muwafaqah maksudnya adalah dua bilangan atau lebih yang

Page 62: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

45

sama-sama bisa dibagi dengan angka (angka lain) yang sama,

ketiga mubayanah maksudnya adalah apabila dua

bilanganberbeda tidak bisa saling dibagi sehingga asal

masalahnya adalah perkalian bilangan tersebut, keempat

mudakhalah maksudnya adalah apabila ada dua angka atau lebih

yang berbeda, dan angka yang besar bisa habis dibagi angka yang

kecil. Maka untuk membuat asal masalah dengan mengambil

angka yang besar tersebut.

Page 63: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

46

BAB III

MAQASID SYARIAH SEBAGAI METODE ISTINBAT HUKUM

A. Istinbat

1. Pengertian Istinbat

Istinbat dari segi etimologi berasal dari kata nabata-yanbutu-nabtun yang

berarti “air yang pertama kali muncul pada saat seseorang menggali sumur”. Kata

kerja tersebut kemudian dijadikan bentuk transitif, sehingga menjadi anbata dan

istinbata, yang berarti mengelurkan air dari sumur (sumber tempat air

tersembunyi). Al-Jurjani memberikan arti kata Istinbat dengan arti mengeluarkan

air dari mata air (dalam tanah).70 Jadi kata Istinbat pada asalnya berarti

mengeluarkan air dari sumbernya kemudian dipakai sebagai istilah fiqih yang

berarti mengeluarkan hukum dari sumbernya, yakni mengeluarkan kandungan

hukum dari nas-nas dengan ketajaman nalar dan kemampuan daya pikir yang

optimal. Sebagaimana yang diungkapkan Muhammad bin ‘Ali al-fayyuni seperti

yang dikutip Satria Efendi, mendefenisikan Istinbat sebagai upaya menarik

hukum dari al-Quran dan sunnah dengan jalan ijtihad.71

Kata Istinbat terdapat dalam firman Allah Q.S. An-nisa(4): 83 dalam

bentuk fi’il mudari sebagai berikut:

سول وإلى أولي ال مر منهم لعلمه الذين وإذا جاءهم أمر من المن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الر

عليكم ورحمته لتبعتم ال ( ٣٨ شيطان إل قليلا )النساء:يستنبطونه منهم ولول فضل للا

Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan

ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkan. Dan kalau mereka menyerahkan

kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin

mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan

Ulil Amri. Kalau tidaklah kerena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,

tentulah kamu mengikuti Syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu). (An-

Nisa’:83)

70 Al-Syarif’ Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al- Kutub al-

Ilmiyyah, 1988), h. 22.

71 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 177.

Page 64: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

47

Para ahli tafsir hampir secara keseluruhan menjelaskan bahwa yang

dimaksud yastanbitunah mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi (tidak jelas)

dengan ketajaman pemikiran mereka.

Istinbat (pengambilan hukum) dalam syariat Islam harus berpijak atas al-

Quran al-Karim dan Sunnah Nabi. Ini berarti dalil-dalil syara ada dua macam,

yaitu: nash dan ghairu nash (bukan nash). Dalil-dalil yang tidak termasuk dalam

kategori nash seperti qiyas dan istihsan , pada hakekatnya digali, bersumber dan

berpedoman pada nash.72

Tujuan istinbat hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau

perkataan mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan.

Melalui kaidah-kaidah itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang

ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber hukum yang kuat apabila terjadi

pertentangan antara dua buah sumber hukum dan mengetahui perbedaan pendapat

para ahli fiqh dalam menentukan hukum suatu kasus tertentu. Jika seorang ahli

fiqh dalam menentukan syariah atas perbuatan seorang mukallaf, ia sebenarnya

telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam

kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fiqh.73

Cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari nash ada dua macam

pendekatan, yaitu pendekatan makna (thuruq ma’nawiyyah) dan pendekatan

lafazh (thuruq lafziyyah). Pendekatan makna (thuruq ma’nawiyyah) adalah

(istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti

menggunakan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dzara’i dan lain sebagainya.

Pendekatan lafazh (thuruq lafzhiyyah) penerapannya membutuhkan

beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan. Yaitu penguasaan terhadap

ma’na (pengertian) dari lafazh-lafazh nash serta konotasinya dari segi umum dan

khusus; mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafzhy ataukah

termasuk dalalah yang menggunakan pendekatan pendekatan mafhum yang

72 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah: Saefullah Ma’sum, Slamet Bashir dkk,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h.166.

73 Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (al-Qubra: Maktabah

al-Tijariyah, t.th), h. 25.

Page 65: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

48

diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi

ibarat-ibarat nash; kemudan pengertian yang dapat dipahami dari lafazh nash

apakah berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash; dan lain sebagainya.74

Keterangan di atas menjadi acuan bahwa istinbat merupakan upaya

penggalian hukum syara dari sumber-sumber yang asli melalui pengerahan

seluruh kemampuan daya nalar. pengertian ini indentik dengan pengertian ijt ihad

yang dikenal oleh ulama ushul fiqih. namun demikian istinbat menurut al-

Syaukani dianggap sebagai operasionalisasi ijtihad karena ijtitad dilakukan

dengan menggunakan kaidah-kaidah istinbat.75

Syaikh Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya yang berjudul Ijtihad

dalam Syariat Islam membagi ijtihad menjadi dua yaitu ijtihad mutlak dan ijtihad

terikat (muqayyad). ijtihad mutlak yaitu mengerahkan kekuatan maksimal untuk

sampai pada hukum syar’i yang bersifat aplikatif dari dalilnya yang rinci, disertai

idndependensi dan tidak terikat dengan metode-metode yang digunakan mujtahid

tertentu dalam melakukan penggalian hukum dari sumbernya. dengan demikian

seorang mujtahid mutlak merujuk pada dalil-dalil hukum syar’I dalam melakukan

penggalian hukum tersebut. sedangkan ijtihad terikat (muqayyad) adalah

mengerahkan kekuatan maksimal untuk sampai pada suatu hukum syar’I yang

bersifat aplikatif dari dalilnya yang rinci disertai dengan keterikatan pada dasar-

dasar, metode-metode dan bentuk-bentuk pencarian dalil yang digunakan

mujtahid tertentu. Jadi, seorang mujtahid terikat (muqayyad) tetap merujuk pada

hukum-hukum syariat, namun dengan kacamata analisa atau metode-metode yang

digunakan gurunya (imamnya) dalam melakukan penggalian hukum. Ia juga

merujuk pada teks-teks yang telah dirumuskan gurunya (imamnya), seperti halnya

ia merujuk pada dasar-dasar umum pensyariatan.76

Muhammad Fawzi Faydh membagi ijtihad menjadi dua yaitu ijtihad

mutlak dan ijtihad juz’iy (parsial). Ijtihad mutlak adalah ijtihad yang dilakukan

74 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h.166.

75 Muhammad Ibn “Ali Ibn Muhammad al-Syawkani, Irsyad al-Fukhul ila tahqiq al-Haqq

min ‘Ilm al-Ushul, (Surabaya: Ahmad Ibn Sa’d Ibn Nabhan, t.th), h. 71.

76 Syaikh Abdul Wahhab Khallaf, Ijtihad dalam Syariat Islam, Penerjemah: Rohidin Wahid,

Cet. 1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 10-11

Page 66: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

49

oleh ulama yang berhasil menyusun motode istinbat hukum serta kaidahnya,

sedangkan ijtihad juz’iy adalah ijtihad yang dilakukan oleh ulama yang tidak

menyusun metode istinbat hukum sendiri, ia mengikuti metode istinbat hukum

yang telah disusun oleh ulama sebelumnya.77

2. Syarat-Syarat Istinbat

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan

istinbat adalah sebagai berikut:

a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Quran yang

berhubungan dengan masalah hukum.

b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi yang

berhubungan dengan masalah hukum.

c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar

dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma.

d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat

mempergunakannya untuk istinbat hukum.

e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar

tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.

f. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Quran dan al-Sunnah

tersusun dalam bahasa Arab, dan lain-lain.78

3. Macam-macam Metode Istinbat

Istinbat memiliki dua macam metode, yaitu: metode lafziyyah dan metode

ma’nawiyyah.79

a. Istinbat Lafziyyah

Istinbat lafdziyah dalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu

hukum ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna

yang tepat dari suatu lafadz, yaitu:80

77 Muhammad Fawzi Faydh Allah, Al-Ijtihad fi al-Syariat al-Islamiyyat, (Kuwayt: Maktabah

Dar al-Turats, 1984), h. 21. Lihat juga Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Cet. 1,

(Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 9. 78 Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI,

1996), h. 29.

79 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), h. 178.

Page 67: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

50

1) Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawattir.

2) Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu.

3) Berdasarkan hasil pemikiran akal nalar pemikiran suatu lafadz.

b. Istinbat Maknawiyyah

Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi

maknanya. Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara

pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat,

yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud

syariat.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan

melakukan istinbat atau ijtihad adalah sebagai berikut:81

1) Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang

berhubungan dengan masalah hukum.

2) Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang

berhubungan dengan masalah hukum.

3) Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh

ijma’, agar dalam menetukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan

ijma’.

4) Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat

mempergunakannya untuk istinbat hukum.

5) Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang

benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggung jawabkannya.

6) Menguasai bahasa arab secara mendalam karena Al-Qur’an dan

Sunnah tersusun dalam bahasa Arab.

Jadi dapat disimpulkan bahwa istinbat hukum adalah suatu metode

yang dilakukan atau dikeluarkan oleh para pakar hukum (fikih) untuk

mengungkapkan suatu dalil-dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan

yang terjadi.

80 Muin dan Asymuni Rahman, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), h. 2.

81 Muin dan Asymuni Rahman, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Departemen Agama, 1986), h. 5.

Page 68: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

51

4. Sumber Hukum Dalam Istinbath

a. Dalil Naqli

1) Al-Quran

Secara etimologi al-Quran adalah mashdar dari qa-ra-a ( أ -ر -ق ),

setimbang dengan kata fu’lan (فعلن). Ada dua pengertian al-Quran dalam

bahasa Arab, yaitu qur’an ( قرآن) berarti “bacaan”, dan apa yang apa yang

tertulis padanya maqru’ (مقروء), isim al-fa’il (subjek) dari qara’a (قرأ)

artinya yang disebutkan terakhir ini dijumpai dalam firman Allah pada

surah al-Qiyamah, (75): 17-18:82

إن علينا جمعه وقرآنه

Artinya: Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkan (di dadamu) dan

membacakannya. (al-Qiyamah: 17)

بع قرآنه فإذا قرأناه فات

Artinya: Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah

bacaannya itu. (al-Qiyamah: 18)

Adapun secara terminologis menurut ahli ushul fiqh yaitu:

أنه الكلم المعجز المترل علي النبي صلي هللا عليه والسلم المكتوب في المصا حف النقول

المتعبد بتلوته

Artinya: Al-Quran itu adalah kalam Allah yang menjadi mukjizat yang

diturunkan kepada Nabi SAW yang dituliskan di mushaf, yang dinukilkan

secara mutawatir, dan di pandang sebagai ibadah bagi yang

membacanya.83

Pada garis besarnya hukum-hukum al-Quran dibagi menjadi dua.

Pertama, hukum-hukum untuk menegakkan agama, yang meliputi soal-

soal kepercayaan dan ibadat. Kedua, hukum-hukum yang mengatur

Negara dan masyarakat serta hubungan perorangan dengan lainnya, yang

82 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 19-20.

83 Mardani, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Cet 1, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), h. 134.

Page 69: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

52

meliputi hukum-hukum keluarga, keperdataan, kepidanaan, kenegaraan,

dan sebagainya.84

2) As-Sunnah

Sunnah secara bahasa (etimologi) berarti jalan baik yang terpuji

maupun yang tercela.85 Dalam terminologi Fiqh, sunnah diartikan sebagai

ما يقا بال الواجب من العبادات

Artinya: Segala yang berhadapan dengan wajib dalam hal ibadah

Adapun dalam peristilahan kaum Ushulliyyin, Sunnah adalah:

ما صدر عن الرسول غير القران

Artinya: Apa yang bersumber dari Nabi selain al-Quran.86

Sunnah dalam pengertian yang lain ialah semua perkataan,

perbuatan dan pengakuan Rasulullah saw yang berposisi sebagai petunjuk

dan tasri’ pengertian tersebut menunjukkan adanya 3 bentuk sunnah

masing-masing qauliyah (berupa perkataan), fi’liyah (berupa perbuatan)

dan taqririyah (berupa pengakuan/persetujuan terhadap perkataan atau

perbuatan orang lain).87

3) Ijma’

Ijma artinya menurut bahasa adalah persetujuan bersama, putusan

bersama atau konsensus.88

84 Mardani, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, h. 135.

85 Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2013), h. 177.

86 Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqh, h. 177.

87 Sulaiman Abdulloh, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2004), h. 20.

88 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 187.

Page 70: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

53

Ijma adalah kesepakatan para mujtahid umat islam dari masa

kemasa setelah wafat Nabi SAW tentang hukum syara’ dalam perkara-

perkara yang bersifat amaliyah.89

Ijma menurut syara’ adalah suatu kesepakatan bagi orang-orang

yang susah payah dalam menggali hukum-hukum agama (mujtahid) di

antara umat Muhammad SAW, sesudah beliau meninggal dalam suatu

masa yang tidak ditentuksn atau suatu urusan (masalah) di antara masalah-

masalah yang diragukan (yang belum ada ketetapannya dalam al-Quran

dan Sunnah).90

b. Dalil Aqli

1) Qiyas

Qiyas yang dimaksud di dalam ilmu ushul fiqh adalah:

استخراج مثل حكم المذكور لما لم يذكربجامع بينهما

“Mengeluarkan (suatu hukum yang sama) dengan yang telah disebut,

terhadap sesuatu yang belum disebutkan karena persamaan antara

keduanya”91

Qiyas artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada

yang lain dengan persamaan illatnya. Menurut istilah agama, Qiyas yaitu

mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang

telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah

ada/telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah, disebabkan sama illat

antara keduanya (asal dan furu’).92

2) Istihsan

Istihsan dipergunakan untuk memaknai apa yang di senangi orang,

baik berupa materi atau hal-hal yang bersifat maknawi, meskipun bagi

orang lain tidak. Termasuk dalam hal ini apa yang di anggap baik oleh ahli

89 Mardani, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, h. 148.

90 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), h. 51.

91 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, h.156.

92 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, h. 45.

Page 71: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

54

fiqh/mujtahid berdasarkan pertimbangan logika akal. Tidak terdapat beda

pendapat dikalangan para pakar menyangkut tidak dibolehkan istihsan

dalam pengertina demikian, bertolak dari kesepakatan mereka tentang

haramnya berpendapat dalam agama menurut hawa nafsu.93

Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan

menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk

menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan

hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian)

disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkannya.94

Dengan definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Istihsan

adalah:95

a) Berpindah dari suatu hukum ke hukum yang lain, pada sebagian

peristiwa yang sesuai atau meninggalkan suatu hukum dan

mengambil hukum yang lain atau mengecualikan suatu hukum dari

hukum yang berlaku umum dengan yang khusus.

b) Berpindah dalam penetapan hukum suatu peristiwa dari hukum ke

hukum lain haruslah berdasarkan dalil syar’i, baik merupakan

pengertian yang diperoleh dari nash maupun maslahah, tau bukan

merupakan urf.

c) Beroindah dalam menetapkan hukum, adakalanya dari hukum yang

ditunjuki oleh umum nash ke hukum khusus, adakalanya berpindah

dari hukum yang dikehendaki oleh penerapan satu kaidah

syar’iyyah ke kaidah syar’iyyah lainnya.

3) Maslahah Mursalah

Dari segi bahasa, kata Al-Maslahah adalah seperti lafazh al-

manfaat, baik artinya ataupun wajah-nya (timbangan kata), yaitu kalimat

mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya

93 Iffatin Nur, Terminologi Ushul Fiqh, h. 5. 94 Mukhtar yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,

(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), h. 100.

95 M.Rizal Qosim, Pengamalan Fikih 3, (Solo: Tiga Serangkai, 2005), h. 77.

Page 72: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

55

afazh al-manfaat sama artinya dengan al-naf’u.96 Secara terminologi,

maslahah diartikan sebagai sebuah ungkapan mengenai suatu hal yang

mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan/kemadharatan.97

Sedangkan maslahah mursalah menurut ulama ushul adalah

menetapkan hukum suatu peristiwa hukum yang tidak disebutkan nash

dan ijma’, berlandaskan pada pemeliharaan maslahah mursalah yaitu

maslahah yang tak ada dalil syara’ yang menunjukkan diakuinya atau

ditolaknya. Sebagian ulama ushul menamakannya istishlah (Hanbaliyah)

dan sebagian lagi menyebutkan berbuat atasa dasar maslahah mursalah

(Malikiyah).98

4) Saad al-Dzariah

Secara etimologi, dzariah berarti wasilah (perantaraan).

Sedangkan dzariah menurut istilah ahli hukum islam ialah sesuatu yang

menjadikan perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan.

Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzariah selalu

mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi

sasaranya. Jelasannya: perbuatan yang membawa ke arah mubah adalah

mubah; dan perbuatan yang menjadi perantara atas terlaksananya

perbuatan wajib adalah wajib. Zina adalah haram. Maka, melihat aurat

wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina adalah

haram juga. Shalat jum’at adalah fardhu (wajib). Maka, meninggalkan

jual-beli guna memenuhi kewajiban menjalankan ibadah slahat jum’at

adalah wajib, karena hal ini merupakan dzariah.99

5) Istishab

Secara etimologi, Istishab berarti mencari pertemanan. Sedangkan

secara terminologi, istishab adalah menghukumi sesuatu berdasarkan

keadaan yang ada padanya sebelum adanya hukum tersebut sampai ada

dalil yang mengubah keadaan tersebut sanpai dalil yang mengubah

96 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Pustaka Setia, 1999), h.117.

97 Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul (Beirut: al-Resalah, 1997), Vol.I, h. 416.

98 Sulaiman Abdulloh, Sumber Hukum Islam, h.141.

99 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 438-439.

Page 73: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

56

keadaan tersebut. Atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada

masa yang lalu tetap berlaku sampai pada masa sekarang sampai ada dalil

yang mengubah hukum tersebut.

Jika seorang mujtahid ditanya tentang hukum dari suatu akad atau

transaksi, lalu dia tidak menemukan keterangannya di dalam al-Quran

atau Sunnah, dan tidak ada dalil syar’i apapun yang menunjukkan

hukumnya, maka ia harus menentukan hukumnya, yaitu akad atau

transaksi tersebut dibolehkan. Hal itu berdasarkan pada kaidah bahwa

pada dasarnya hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh. Dan itu

adalah kondisi yang mendasari segala ciptaan Allah dimuka bumi ini.

Selama tidak ada dalil yang mengubah hukum tersebut, maka sesuatu itu

dihukumi dengan hukum asalnya, yaitu mubah.100

6) Al-Urf

Secara bahasa al-‘urf (العرف) sebagaimana dijelaskan oleh Qutub

Mustafa Sanu berarti sesuatu yang dikenal dan diketahui secara luas.101

Arti al-urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau

ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk

melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, urf

sering disebut adat.102

Dari pengetian di atas, dapat dipahami bahwa apa yang disebut

dengan al-Urf itu tidak lain adalah hal yang terkait dengan adat dan tradisi

yang berlaku pada suatu tempat dan menjadi praktik masyarakat secara

luas, sehingga menjadi bagian dari kehidupan mereka secara terus-

menerus baik yang berkenaan dengan ucapan, perbuatan, maupun terkait

dengan hal-hal yang tidak patut dilakukan. Dinyatakan bahwa setiap

masyarakat di berbagai tempat di dunia ia pasti memiliki urf adat istiadat

100 Syaikh Abdul Wahhab Khallaf, Ijtihad dalam Syariat Islam, h. 363. 101 Quthub Mustafa Sanu, Mu’jam Mustalahat Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Surya Dar al-Fikr

al-Ma’asir, 2000), h. 284.

102 Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Setia, 1998), h.125.

Page 74: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

57

yang dijadikan sarana atau alat untuk mengatur dan menjaga ketertiban

hidup dalam rangka memudahkan kepentingan mereka.103

7) Qaul Sahabi

Menurut jumhur ahli ushul fiqh bahwa sahabat adalah orang

mukmin yang bertemu dan hidup bersama Nabi dalam waktu relatif lama.

Mazhab sahabi adalah pendapat sahabat Nabi Saw, tentang suatu kasus

yang tidak dijelaskan hukumnya secara tegas dalam Al-Quran dan

Sunnah. Jadi, mazhab sahabi pada dasarnya adalah fatwa atau pendapat

sahabat Nabi Saw.104 Menurut Abu Zahrah, fatwa-fatwa sahabat itu terdiri

dari beberapa bentuk:105

a) Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari Rasulullah SAW.

b) Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengar fatwa dari

Rasulullah.

c) Fatwa tersebut mereka pahami dari ayat-ayat suci al-Quran yang tidak

jelas.

d) Fatwa tersebut telah mereka sepakati, akan tetapi hanya disampaikan

oleh seorang mufti.

e) Fatwa tersebut merupakan pendapat secara pribadi, lantaran mereka

menguasai bahasa Arab secara sempurna, sehingga mereka

mengetahui dilalah lafazh terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui.

B. Hubungan Antara Maqāṣid asy-Syarīʻah Dengan Beberapa Metode Istinbat

Hukum Islam.

Maqasid as-Syariah pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan

dan menghindari dari segala macam kerusakan, baik di dunia maupun diakhirat.

Semua kasus hukum yang disebutkan secara eksplisit dalam al-Quran dan Sunnah

103 Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 216.

104 Firdaus, Ushul Fiqh, Cet. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017), h. 134-135.

105 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, h.331-332.

Page 75: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

58

maupun Hukum Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad harus berdasarkan pada

tujuan perwujudan maslahah tersebut.106

Dalam kasus yang secara eksplisit dijelaskan oleh teks al-Quran maupun

Sunnah, maka kemaslahatan tersebut dapat dilacak dalam kedua sumber tersebut. Jika

suatu maslahat disebutkan secara tegas dan eksplisit dalam teks, maka kemaslahatan

itu yang djadikan tolak ukur penetapan hukum dan para ulama lazimnya menyebut

dengan istilah al-maslahah al-mu’tabara’. Lain halnya jika maslahat tersebut tidak

dijelaskan secara eksplisit oleh kedua sumber tersebut, maka mujtahid harus

bersikeras dalam menggali dan menentukan maslahat tersebut. Pada dasarnya hasil

ijtihad mujtahid tersebut dapat diterima, selama tidak bertentangan dengan maslahat

yang telah ditetapkan dalam kedua sumber tersebut. Jika terjadi pertentangan, maka

para ulama lazim menyebut sebagai al-maslahah al-mulghah.107

Penggalian maslahat oleh para mujtahid dapat dilakukan melalui berbagai

macam metode ijtihad. Pada dasarnya metode-metode tersebut bermuara pada upaya

penemuan “maslahat” dan menjadikannya seagai alat untuk menetapkan hukum yang

kasusnya tidak disebutkan secara ekspilist dalam Al-Quran maupun Sunnah. Terdapat

dua metode ijtihad yang dikembangkan oleh para nujtahid dalam upaya menggali dan

menetapkan maslahat. Kedua metode tersebut adalah metode Ta’lili (metode analisis

subtsantif) dan metode Istishlahi (metode analisis kemaslahatan).108

Untuk melihat lebih jauh hubungan antara Maqasid as-Syariah dengan

beberapa metode penetapan hukum, berikut akan dikemukakan metode tersebut:

1. Metode Ta’lili (Metode Analisis Substantif)

Salah satu metode penggalian hukum adalah metode ta’lili. Yaitu analisa

hukum dengan melihat kesamaan illat atau nilai-nilai substansial dari persoalan

tersebut, dengan kejadian yang telah diungkapkan dalam nash. Metode yang telah

106 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath

Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 19, No. 3, Agustus 2017, h. 554.

107 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Cet.1 (Jakarta: Logos

Publishing House, 1995), h. 47.

108 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath

Hukum, h. 555.

Page 76: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

59

dikembangkan oleh para mujtahid dalam bentuk analisis tersebut adalah qiyas dan

istihsan.109

2. Metode Istishlahi (Metode Analisis Kemaslahatan)

Sebagaimana metode lainnya, metode Istishlahi merupakan metode

pendekatan istinbath atau penetapan hukum yang permasalahannya tidak diatur

secara eksplisit dalam Al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, metode ini lebih

menekankan pada aspek maslahat secara langsung.110 Metode analisis

kemaslahatan yang dikembangkan oleh para mujtahid ada dua, yaitu al-

mashlahah al-mursalah dan sad al-dzari’ah maupun fath al-dzari’ah.

a. Al-Maslahah al-Mursalah

Secara etimologi al-maslahah al-mursalah merupakan susunan idlafi

yang terdiri dari kata al-maslahah dan al-mursalah menurut Ibn Manzhur

berarti kebaikan.111 Sedangkan al-mursalah sama dengan kata al-muthlaqah

berarti terlepas. Berarti yang dimaksud al-mashlahah al-mursalah adalah

maslahat atau kemaslahatan itu tidak ada dalil tertentu yang membenarkan

atau membatalkannya.112

Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu

dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha

mencari dan menetapkan hukum, maslahah itu disebut dengan munasib atau

keserasian maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dalam artian munasib

itu dari segi pembuat hukum (syar’i) memerhatikannya atau tidak, maslahah

terbagi menjadi tiga macam, yaitu:113

109 Hasbi Umar, Relevansi Metode Kajian Hukum Islam Klasik dalam Pembaharuan Hukum

Islam Masa Kini, Jurnal Innovatio, Vol. 6, No. 12, Juli-Desember 2007, h. 318.

110 Hasbi Umar, Relevansi Metode Kajian Hukum Islam dalam Pembaruan Hukum Islam

Masa Kini, h.322.

111 Ibnu al-Manzur, Lisan al-Arab, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1970, h. 348.

112 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan MetodeIatinbath

Hukum, h. 559. 113 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet.6, h. 351-354.

Page 77: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

60

b. Mashlahah al-Mu’tabarah

Maslahat al-Mu’tabarah, yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh

syari. Maksudnya, ada petunjuk dari syari, baik langsung maupun tidak

langsung, yang memberikan penunjuk pada adanya maslahah yang menjadi

alasan dalam menetapkan hukum.

c. Mashlahah al-Mulghah

Mashlahah al-Mulghah, yaitu mashlahah yang ditolak, yaitu

mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh

syara’ dan ada petunjuk syara yang menolaknya. Hal ini berarti akal

menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara, namun ternyata

syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh

mashlahah itu.

d. Mashlahah al-Mursalah

Mashlahah al-Mursalah, atau yang juga biasa disebut Istishlah , yaitu

apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam

menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara’ menolaknya.

Menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf, Mashlahah al-Mursalah

artinya mutlak. Dalam istilah ushul, yaitu kemashlahatan yang tidak

disyariatkan oleh syari hukum untuk ditetapkan. Dan tidak ditunjukkan oleh

dalil syar’i , untuk mengi’tibarkannya atau membatalkannya. Dinamakan

mutlak karena tidak dikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang

membatalkannya.114

114 Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2005), h. 98.

Page 78: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

61

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN NOMOR 1191/Pdt.G/2016/PAJB

A. Duduk Perkara

1. Para Pihak

a. Majelis Hakim menyimpulkan bahwa ada 2 (dua) hal yang menjadi

pokok sengketa perkara ini, yaitu:

1) Berkenaan dengan status Tergugat (anak angkat pewaris)

dalam keluarga Pewaris dan Istri Pewaris.

2) Berkenaan dengan harta/warisan Pewaris.

b. Penggugat dalam perkara ini adalah saudari 1 pewaris dan saudara

4 pewaris.

c. Tergugat dalam perkara ini adalah Anak angkat Pewaris.

2. Ahli Waris

a. Pada tanggal 12 Maret 2015 (Pewaris) telah meninggal dunia,

beragama Islam.

b. Pada waktu pewaris meninggal dunia, kedua orang tuanya, yaitu

ayah dan ibunya telah meninggal dunia.

c. Istri Pewaris telah meninggal dunia pada tanggal 22 April 2010,

beragama Islam.

d. Pada waktu Istri Pewaris meninggal dunia, kedua orang tua nya,

yaitu ayah dan ibunya, keduanya telah meninggal dunia terlebih

dahulu.

e. Selama dalam masa pernikahan dengan Istri Pewaris tidak

memiliki keturunan (anak).

f. Menetapkan ahli waris langsung Istri Pewaris adalah Pewaris dan 6

orang saudara kandung dan anak angkat pewaris.

g. Istri Pewaris sewaktu meninggal dunia meninggalkan suami

(pewaris), 6 orang saudara, saudara 1 istri pewaris, saudara 2 istri

pewaris, saudari 3 istri pewaris, saudara 4 istri pewaris, saudari 5

istri pewaris, saudari 6 istri pewaris dan anak angkat pewaris.

Page 79: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

62

h. Saudari 6 istri pewaris telah meninggal dunia lebih dulu dari Istri Pewaris.

i. Saudari 6 istri pewaris tidak mempunyai anak;

j. Menetapkan ahli waris dari Istri Pewaris adalah saudara 1 istri pewaris,

saudara 2 istri pewaris, saudari 3 istri pewaris, saudara 4 istri pewaris, saudari

5 istri pewaris dan anak angkat pewaris.

k. Menetapkan ahli waris langsung Pewaris adalah 4 orang saudara 1. saudari 1

pewaris, saudari 2 pewaris, saudari 3 pewaris, saudara 4 pewaris, Anak angkat

pewaris.

l. Sebelum gugatan ini diputus oleh Majelis Hakim, saudari 1 pewaris sebagai

(Penggugat I) telah meninggal dunia pada tanggal 12 Desember 2016;

m. Saudari 1 pewaris mempunyai tiga orang anak yaitu : 1). Anak perempuan 1

saudari 1 pewaris, 2). Anak perempuan 2 saudari 1 pewaris, dan 3). Anak

perempuan 3 saudari 1 pewaris, yang sekarang menjadi Penggugat

menggantikan kedudukan Saudari 1 pewaris;

n. Saudari 2 pewaris telah meninggal dunia pada tahun 2012;

o. Saudari 2 pewaris tidak mempunyai anak;

p. Saudari 3 pewaris telah meninggal dunia di Jakarta pada tahun 2006;

q. Saudari 3 pewaris mempunyai dua orang anak, yaitu : 1). Anak laki-laki 1

saudari 3 pewaris, dan 2). Anak laki-laki 2 saudari 3 pewaris;

r. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, ketika meninggal

dunia, anak angkat pewaris (Tergugat) meninggalkan ahli waris yang terdiri

dari Suami anak angkat, 3 orang Anak yaitu : 1). Anak laki-laki 1 anak angkat,

2). Anak perempuan 1 anak angkat, 3). Anak perempuan 2 anak angkat dan

Ayah anak angkat.

Untuk mempermudah memahami permasalahan perkara ini peneliti membuat bagan

sebagai berikut:

Page 80: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

63

BPK W.72 IBU W.91

SDRI 1P W.2016 SDRI 2P W.2012

SDRI 3P W.2006 SDRA 4P

A. PR 1 SDRI 1P A. PR 2 SDRI 1P A. PR 3 SDRI 1P BPK A.ANGKAT IBU A.ANGKAT A. LK 1 SDRI 3P A. LK 2 SDRI 3P

BPK ISTRI P IBU ISTRI P

SDRA 1 ISTRI P ISTRI P W. 2010 PEWARIS W. 2015

SDRA 2 ISTRI P

SDRI 3 ISTRI P SUAMI 1 A. ANGKAT A. ANGKAT W. 2017 SUAMI 2 A. ANGKAT

SDRA 4 ISTRI P

SDRI 5 ISTRI P A. LK A. ANGKAT A. PR 1 A. PR 2

SDRI 6 ISTRI P A. ANGKAT A. ANGKAT

P

P =

HUB. PERKAWINAN =

HUB. NASAB =

A. ANGKAT =

CERAI =

LAKI-LAKI =

PEREMPUAN =

LAKI-LAKI WAFAT =

PEREMPUAN WAFAT =

Page 81: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

64

3. Tuntutan

a. Menerima gugatan waris Para Penggugat untuk seluruhnya;

b. Menyatakan tindakan Tergugat telah melawan hak/melawan hukum;

c. Menetapkan Para Penggugat yakni Sdri 1 P selaku Penggugat I dan Sdra 4 P

selaku Penggugat II sebagai Ahli Waris yang sah dan berhak mewarisi

budel waris dari Pewaris;

d. Menyatakan Tergugat (Anak angkat) bukan ahli waris dan karenanya tidak

berhak mewarisi budel waris dari Pewaris;

e. Menetapkan bahwa barang bergerak maupun tidak bergerak berikut ini adalah

harta peninggalan/budel waris dari Pewaris, yakni:

1) Tanah beserta bangunan seluas 843 m2

2) Surat Berharga berupa 5 (lima) lembar deposito

3) 2 Tabungan Bank Mandiri

4) 1 (satu) unit mobil merk Honda CRV

f. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) yang

diletakkan atas harta peninggalan/budel waris atas nama Pewaris dalam

perkara ini;

g. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Surat Pernyataan

Ahli Waris dan Surat Keterangan Ahli Waris, keduanya tertanggal 18 Maret

2015 dan segala surat-surat lain yang dibuat/ditandatangani oleh Tergugat;

h. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Akta No. 54

tertanggal 28 Juli 2011 yang dibuat oleh dan di hadapan Ny. Djumini

Setyoadi, SH, MKn, Notaris dan PPAT di Jakarta yang telah dicatatkan di

Kementerian Hukum dan HAM RI dalam buku register Seksi Daftar

Wasiat, Subdit Harta Peninggalan, Repertorium nomor 3.544;

Page 82: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

65

i. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan kepada Para Penggugat secara

seketika dan tunai budel waris atas nama Pewaris, yakni :

1) Tanah beserta bangunan seluas 843 m2

2) Surat Berharga berupa 5 (lima) lembar deposito

3) 2 Tabungan Bank Mandiri

4) 1 (satu) unit mobil merk Honda CRV

j. Menetapkan bagian/porsi masing-masing Para Penggugat yakni Sdri 1 P dan

saudara 4 P selaku ahli waris yang berhak mewarisi budel waris Pewaris

menurut ketentuan hukum waris Islam (hukum faraidl);

k. Menghukum Tergugat dan/atau siapapun pihak lain yang

memperoleh/menguasai budel waris atas nama Pewaris untuk menyerahkan

secara seketika kepada Para Penggugat;

l. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya-biaya dalam perkara ini;

Apabila Majelis Hakim Yth berpendapat lain, dalam peradilan yang baik,

mohon diberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).115

4. Harta Peninggalan Pewaris

a. Tanah beserta bangunan seluas 843 m2

b. Surat Berharga berupa 5 (lima) lembar deposito

c. 2 Tabungan Bank Mandiri

d. 1 (satu) unit mobil merk Honda CRV

B. Pertimbangan Hukum

1. Menimbang, bahwa menurut Penggugat harta warisan yang ditinggalkan oleh

Pewaris adalah :

115 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat No.1191/Pdt.G/2016/PAJB.

Page 83: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

66

a. Tanah beserta bangunan seluas 843 m2

b. Surat berharga berupa 5 (lima) lembar deposito

c. 2 Tabungan Bank Mandiri

d. Mobil berupa 1 (satu) unit mobil merk Honda CRV

2. Menimbang, berdasarkan Putusan Sela Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB. tanggal

12 Januari 2017 M, dengan amar sebagaimana termuat pada duduk perkara di

atas, Tergugat diperintahkan untuk melakukan Tes DNA (deoxyribonucleic acid)

untuk membuktikan apakah Tergugat (Anak angkat) anak kandung dari Pewaris

dengan Istri pewaris atau anak kandung dari Bapak anak angkat dengan Ibu Anak

Angkat.

3. Menimbang, bahwa walaupun tidak ada Putusan Pengadilan tentang

pengangkatan Tergugat sebagai anak angkat oleh Pewaris dan Istri Pewaris, akan

tetapi sesuai dengan Pasal 8 huruf (a) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengangkatan

Tergugat sebagai anak angkat oleh Pewaris dan Istri pewaris dilakukan

berdasarkan adat kebiasaan setempat;

4. Menimbang, bahwa walaupun Penggugat tidak menuntut penetapan ahli waris

dari Istri pewaris, akan tetapi harta warisan dan harta bersama dalam perkawinan

berhubungan erat, karena berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor

1 tahun 1974 tentang Perkawinan Harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama dan berdasarkan Pasal 96 ayat (1) Kompilasi

Hukum Islam, Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi

hak pasangan yang hidup lebih lama dan separoh lagi menjadi warisan pihak

yang meninggal lebih dulu;

5. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 49 dan penjelasan Pasal 49 huruf (b)

Undang-Udang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor

7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa Yang dimaksud dengan "waris"

adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta

peninggalan, penentuan bagian masingmasing ahli waris, dan melaksanakan

pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas

permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,

penentuan bagian masing-masing ahli waris.

Page 84: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

67

6. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut, ketika meninggal dunia, Istri

pewaris dan Pewaris tidak mempunyai anak dan kedua orangtuanya telah

meninggal dunia lebih dahulu, oleh karena itu berdasarkan al-Quran Surat al-Nisa

ayat 12 dan Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam, Istri pewaris adalah pewaris

Kalalah, yaitu seseorang yang meninggal dunia tidak mempunyai anak dan kedua

orangtuanya telah meninggal dunia lebih dulu;

7. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, sesuai

dengan al-Quran Surat al-Nisa ayat 12, Pasal 174 ayat (1) huruf (b) dan ayat (2)

serta Pasal 182 dan Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

8. Menimbang, bahwa Majelis Hakim mempertimbangkan sesuai dengan Pasal 185

KHI tentang ahli waris pengganti.116

C. Amar Putusan

Dalam Pokok perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;

2. Menyatakan bahwa Istri Pewaris binti telah meninggal dunia pada tanggal 22

April 2010 ;

3. Menyatakan bahwa Pewaris telah meninggal dunia pada tanggal 12-03-2015 ;

4. Menyatakan bahwa Tanah beserta bangunan seluas 843 m2 atas nama Pewaris,

adalah harta bersama Pewaris dan Istri pewaris;

5. Menyatakan bahwa tanah beserta bangunan aquo adalah hak ahli waris dan satu

orang anak angkat Pewaris dan Istri pewaris dengan pembagian sebagai berikut :

5.1. Sdra 1 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %

5.2. Sdra 2 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %

5.3. Sdri 3 Istri P mendapat 1/30 = 3,333 %

5.4. Sdra 4 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %

5.5. Sdri 5 Istri P mendapat 1/30 = 3,333 %

5.6. Sdri 1 P (Penggugat I) mendapat 3/30 = 10.00 %

5.7. Sdri 3 P mendapat 3/30 = 10.00 %

5.8. Sdra 4 P (Penggugat II) mendapat 3/30 = 20.00 %

5.9. Anak angkat (Tergugat) mendapat 10/30 = 33,33 %

----------------------------------------------------------- +

116 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat No.1191/Pdt.G/2016/PAJB.

Page 85: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

68

Jumlah = 100 %

6. Menyatakan bahwa karena Sdri 1 P (Penggugat I) telah meninggal dunia pada

tanggal 12 Desember 2016, maka haknya sebesar 3/30 = 10,00 % dari tanah

beserta bangunan sebagaimana tersebut pada diktum (5) menjadi hak tiga orang

anaknya, yaitu 1). A. Pr 1 Sdri 1 P, 2). A. Pr 2 Sdri 1 P, dan 3). A. Pr 3 Sdri 1 P;

7. Menyatakan bahwa karena Sdri 3 P telah meninggal dunia pada pada tahun 2006,

maka haknya sebesar 3/30 = 10,00 % dari tanah beserta bangunan sebagaimana

tersebut pada diktum (5) menjadi hak dua orang anaknya, yaitu : 1). A. Lk 1 Sdri

3, dan 2). A. Lk 2 Sdri 3 sebagai ahli waris pengganti;

8. Menyatakan bahwa :

8.1. 5 Deposito.

8.2. 2 Tabungan Bank Mandiri.

Dengan segala bunganya adalah harta warisan Pewaris ;

9. Menyatakan bahwa deposito dan rekening tabungan aquo dengan segala

bunganya tersebut adalah hak tiga orang ahli waris dan satu orang anak angkat

Pewaris dengan pembagian sebagai berikut :

9.1. Sdri 1 P mendapat 2/12 = 17 %

9.2. Sdri 2 P mendapat 2/12 = 17 %

9.3. Sdra 4 mendapat 4/12 = 33 %

9.4. Anak angkat mendapat 4/12 = 33 %

------------------------------------------

Jumlah = 100 %

10. Menyatakan bahwa karena Sdri 1 P (Penggugat I) telah meninggal dunia pada

tanggal 12 Desember 2016, maka haknya sebesar 2/12 = 17 % dari deposito dan

tabungan dengan segala bunganya sebagaimana tersebut pada diktum (9) menjadi

hak tiga orang anaknya, yaitu 1). A. Pr 1 Sdri 1 P, 2). A. Pr 2 Sdri 1 P, dan 3). A.

Pr 3 Sdri 1 P;

Page 86: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

69

11. Menyatakan bahwa karena Sdri 3 P telah meninggal dunia pada pada tahun 2006,

maka haknya sebesar 2/12 = 17 % dari deposito dan tabungan dengan segala

bunganya sebagaimana tersebut pada diktum (9) menjadi hak dua orang anaknya,

yaitu : 1). A. Lk 1 Sdri 3 P, dan 2). A. Lk 1 Sdri 3 P sebagai ahli waris

pengganti;

12. Menyatakan bahwa Anak Pewaris (Tergugat) telah meninggal dunia pada tanggal

19 Januari 2017;

13. Menyatakan bahwa hak Anak Pewaris berupa 6/18 = 33 % dari tanah beserta

bangunan sebagaimana tersebut pada diktum (5) dan 4/12 = 33 % dari lima

deposito dan dua rekening tabungan dengan segala bunganya sebagaimana

tersebut pada diktum (9) menjadi hak ahli warisnya dengan pembagian sebagai

berikut :

13.1. Suami 2 Anak angkat mendapat 12/48 = 25 %

13.2. A. Lk Anak angkat mendapat 14/48 = 29,167 %

13.3. A. Pr 1 Anak angkat medapat 7/48 = 14,583 %

13.4. A. Pr 2 Anak angkat medapat 7/48 = 14,583 %

13.5. Bapak Anak angkat mendapat 8/48 = 16,667 %

-------------------------------------------------------------

Jumlah = 100 % 117

117 Salinan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat No.1191/Pdt.G/2016/PAJB.

Page 87: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

70

D. Analisis Putusan

1. Prespektif Hukum Positif

Dalam kasus tersebut, menurut penulis terdapat dua masalah, yaitu

masalah ahli waris pengganti dan masalah munasakhah. Munasakhah adalah

merupakan pengalihan bagian ahli waris kepada ahli warisnya yang lain

dikarenakan sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, salah satu

ahli waris tersebut meninggal dunia. Dalam kasus ini pewaris utama adalah

Pewaris yang meninggal pada tahun 2015 dan Istri Pewaris yang meninggal pada

tahun 2010. Pada saat Istri Pewaris meninggal, ahli waris yang masih hidup ada 5

orang saudara, suami dan anak angkat. Sedangkan pada saat Pewaris meninggal,

ahli waris yang masih hidup ada 3 orang saudara dan anak angkat. Akan tetapi

sebelum gugatan diputus oleh Majelis Hakim Sdri 3 P meninggal pada tahun

2006 dan Sdri 1 P meninggal pada tahun 2016, kemudian hak nya diberikan

kepada ahli warisnya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 185 ayat (1) yang

menyebutkan “ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris, maka

kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”.

Di dalam putusan ini terdapat Anak angkat (Tergugat) yang diadopsi oleh

Pewaris dan Istri Pewaris, akan tetapi sebelum kasus ini diputus oleh Majelis

Hakim Anak angkat (Tergugat) meninggal dunia. Pada saat Anak angkat

meninggal, ahli waris yang masih hidup ada suami, 3 orang anak dan Bapak Anak

angkat.

Hakim dalam kasus ini mempertimbangkan pada Pasal 8 huruf (a)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 49 dan penjelasan Pasal 49 huruf (b)

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 96,174, 176-177, 179, 182, 185

dan 209 Kompilasi Hukum Islam.

Page 88: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

71

2. Prespektif Maqāṣid asy-Syarīʻah

Ketentuan Munasakhah tidak diatur didalam Kompilasi Hukum Islam

maupun Peraturan Perundang-undangan lainnya. Hal ini menyebabkan keharusan

hakim dalam berijtihad hukum, karena berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun

2004 Pasal 16 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwasanya

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, atau memutus

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,118

melainkan wajib untuk mengadilinnya maka seorang hakim dituntut untuk

melakukan terobosan hukum atau ijtihad.

Dalam perkara ini hakim melakukan dua terobosan: Pertama, terobosan

dari segi pelaksanaan hukum Kewarisan Nasional. Meskipun dalam kitab fikih

sudah ada hukum kewarisan bertingkat yang disebut dengan kewarisan

munasakhah, akan tetapi dalam hukum Kewarisan Nasional belum ada aturan

tentang kewarisan bertingkat. Kedua, untuk menerapkan hukum kewarisan Anak

angkat (wasiat wajibah) dalam perkara ini, hakim mengesampingkan akta

autentik berupa akta kelahiran yang menunjukkan Tergugat sebagai anak

kandung, akan tetapi berdasarkan bukti-bukti lain yang lebih kuat Tergugat

adalah Anak angkat.119

Ijtihad merupakan suatu hal yang sangat urgen dilakukan dalam

menangani suatu perkara ketika perkara tersebut membutuhkan kejelian seorang

hakim untuk menetapkan hukum yang paling adil bagi pihak-pihak yang

berperkara. Dalam putusan ini hakim menjalankan ijtihad nya mengkaitkan antara

kasus dengan Maqāṣid asy-Syarīʻah.

Penerapan teori Maqāṣid asy-Syarīʻah yang dimaksud disini adalah agar

Maqāṣid asy-Syarīʻah dalam hukum kewarisan dapat terlaksana dengan baik, dan

setiap orang mendapatkan haknya dan tidak ada satupun pihak yang terabaikan

haknya dari tirkah pewaris, baik harta bersama maupun hak waris, walau ia telah

meninggal dunia sekalipun.120

118 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

119 Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta,

28 Januari 2019.

120 Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta, 28

Januari 2019.

Page 89: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

72

Telah dijelaskan di bab sebelumnya, Menurut Wahbah al-Zuhaili,

Maqāṣid asy-Syarīʻah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara

oleh syara’ dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan

akhir dari syariat dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap

hukumnya.121

Konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah menurut al-Syathibi, berorientasi pada

terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan yang terdiri atas 3 bagian yaitu

dharuriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah. Terdiri dari lima pokok yang harus

dilindungi dan dipelihara. Kelima hal pokok itu ialah agama, jiwa, keturunan,

harta dan akal.122

Berkenaan dengan kasus yang penulis teliti yaitu sengketa penyelesaian

harta waris, jika dilihat dari konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah, maka kasus ini berada

dalam tingkat dharuriyyat, yaitu untuk menyelematkan harta (hifzu al-mal).

Menurut al-Syathibi, Untuk menyelamatkan harta yang didasarkan dari

konsep Maqāṣid asy-Syarīʻah, maka yang harus dilakukan seseorang ialah taat

kepada ketetapan hukum Allah seperti: diharamkan untuk mencuri dan diberi

hukuman kepada pelakunya, diharamkan untuk berbuat curang atau berkhianat,

diharamkan berlebih-lebihan, diharamkan riba, diharamkan memakan harta orang

lain dengan cara yang batil, sehingga dengan demikian harta akan terpelihara dan

terselamatkan.123

Karena itulah dalam konteks pembagian harta waris harus sesuai dengan

ketentuan waris Islam dan mengedepankan rasa keadilan sebagai rangka untuk

melindungi dan menyelamatkan harta.

Selanjutnya, jika putusan tersebut dianalisa melalui metode penetapan

hukum Maqāṣid asy-Syarīʻah, dapat penulis uraikan sebagai berikut:

a. Putusan tersebut bisa dianalisis dengan melihat nilai-nilai substansial dari

contoh pemasalahan putusan ini, dengan dalil-dalil hukum yang telah

diungkapkan dalam nash atau pertimbangan hukum yang lain. Dalam kasus

121 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 1017.

122 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, Jilid II, (Beirut-Lebanon: Dar Al-

Kutub Al-Ilmiyah, 2004), h. 7-8.

123 Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, 1997, Jilid 2, Vol. 3,

(Kementerian Agama Wakaf dan Dakwah: Kerajaan Saudi Arabia), h. 238.

Page 90: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

73

ini misalnya: Orang tua angkat Tenggugat membuatkan akta kelahiran

Tergugat dengan tujuan mempermudah Tergugat dalam menempuh

pendidikan, Tergugat merawat orang tua angkatnya dengan baik hingga

orang tua angkat tersebut meninggal, maka dari contoh tersebut jika ditarik

suatu ilat yang sama yaitu perlakuan Penggugat sama-sama baik terhadap

orang tua angkat Tergugat sebagai saudaranya dan Penggugat sebagai ahli

waris yang sah berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh saudaranya

yang hanya memiliki anak angkat.

b. Putusan tersebut bisa dianalisis dengan melakukan pendekatan istinbath atau

penetapan hukum yang permasalahannya tidak diatur secara eksplisit dalam

Al-quran dan Sunah, akan tetapi lebih menekankan pada aspek kemaslahatan.

Dalam kasus ini misalnya: Peran Tergugat sangat baik dalam merawat orang

tua angkatnya dari sakit hingga meninggal dunia.124 Maka dari contoh

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa peran dan kontribusi Tergugat

menimbulkan kemaslahatan untuk orang tua angkatnya sehingga wajar

apabila hakim membagi lebih banyak harta warisan tersebut kepada

Tergugat, karena untuk melindungi hak-hak Tergugat dan menghindari

kemudharatan lainnya dari pihak Penggugat.

Bila ditinjau secara komprehensif melalui konsep dan metode penetapan

Maqāṣid asy-Syarīʻah menurut peneliti Putusan Nomor 1191/Pdt.G/2016/PAJB

sudah memenuhi kemaslahatan sesuai dengan tujuan Maqāṣid asy-Syarīʻah.

Karena tujuan Maqāṣid asy-Syarīʻah itu sendiri adalah mendatangkan

kemaslahatan dan menjauhkan kemudaratan sebagaimana kaidah fikih:

م على جلب المصالح درء المفاسد مقد

“Mencegah kerusakan (kerugian) diupayakan terlebih dulu sebelum upaya

mendapatkan manfaat (mashlahat)”

Kaidah ini menegaskan bahwa apabila kita dihadapkan kepada pilihan

yaitu menolak kemafsadatan atau meraih kemaslahatan, maka yang harus

didahulukan adalah menolak kemafsadatan. Karena menolak kemafsadatan sama

124 Interview Pribadi dengan Abdul Hadi, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat, Jakarta, 28

Januari 2019.

Page 91: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

75

dengan meraih kemaslahatan. Sedangkan tujuan utama Maqāṣid asy-Syarīʻah

menurut ulama fikih ialah meraih kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.125

Dalam kaidah fikih yang lain dijelaskan mengenai larangan untuk bebuat

sesuatu yang membahayakan yaitu:

ل ضرر ول ضرا ر

“Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan.”

رريزال الض

“Kemudaratan harus dihilangkan.”

Menurut penulis dalam putusan ini hakim telah memenuhi tujuan Maqāṣid

asy-Syarīʻah, karena Hakim menyelesaikan 4 perkara yaitu perkara anak angkat,

munasakhah, ahli waris pengganti dan kalalah dalam 1 putusan. Hal ini sesuai

dengan asas peradilan yang mencakup peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan. Dalam prinsip Maqāṣid asy-Syarīʻah, kemaslahatan harus diutamakan

untuk kesejahteraan dan kebahagiaan seseorang, dalam perkara ini yaitu

memelihara harta (hifz al-mal).

E. Analisis Hukum

1. Tentang Pembagian Harta Bersama

Di dalam Putusan ini, Hakim menetapkan harta warisan sebagai berikut:

1.1. Sdra 1 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %

1.2. Sdra 2 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %

1.3. Sdri 3 Istri P mendapat 1/30 = 3,333 %

1.4. Sdra 4 Istri P mendapat 2/30 = 6,667 %

1.5. Sdri 5 Istri P mendapat 1/30 = 3,333 %

1.6. Sdri 1 P(Penggugat I) mendapat 3/30 = 10.00 %

125 Ahmad Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 164.

Page 92: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

76

1.7. Sdri 3 P mendapat 3/30 = 10.00 %

1.8. Sdra 4 P (Penggugat II) mendapat 3/30 = 20.00 %

1.9. Anak angkat (Tergugat) mendapat 10/30 = 33,33 %

----------------------------------------------------------- +

Jumlah = 100 %

Menurut peneliti pembagian tersebut keliru, dikarenakan sebagai berikut:

a. Jumlah total dari keseluruhan adalah 27/30. Seharusnya jumlah

keseluruhan adalah 1, yaitu 30/30

b. Hakim menetapkan bagian untuk saudara-saudari istri pewaris sebagai

berikut:

Sdra 1 = 2/30

Sdra 2 = 2/30

Sdri 3 = 1/30

Sdra 4 = 2/30

Sdri 5 = 1/30

Jumlah = 8/30 = 4/15 kurang dari 1/3

c. Hakim menetapkan bagian untuk saudara-saudari Pewaris sebagai berikut:

Sdri 1 = 3/30

Sdri 2 = 3/30

Sdra 4 = 3/30

Jumlah = 9/30 = 3/10 kurang dari 1/3

d. Hakim menetapkan bagian untuk Anak angkat = 10/30 1/3

Dalam penetapan bagian ahli waris tersebut, hakim menjadikan 30 sebagai

pembagi harta. Bagian Anak angkat, sesuai dengan pasal 209 ayat (2) KHI

yaitu “Terhadap Anak angkat yang tidak menerima wasiat di beri wasiat

sebanyak-banyaknya 1/3 harta dari harta warisan orang tua angkatnya.”

Sisa nya adalah 2/3 sesuai dengan pasal 96 ayat (1) KHI yaitu “Apabila

Page 93: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

77

terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan

hidup lebih lama.” Maka masing-masing ahli waris dari Pewaris dan Istri

Pewaris adalah 1/3. Tetapi pada poin b, yaitu bagian untuk ahli waris Istri

Pewaris jumlah totalnya adalah 8/30 atau 4/15, kurang dari 1/3. Demikian

juga pada poin c, jumlah total bagian ahli waris Pewaris adalah 9/30 atau

3/10 kurang dari 1/3.

Menurut penghitungan peneliti, seharusnya sebagai berikut:

a. Bagian untuk ahli waris pewaris adalah

Sdra 1 = 2/8 x 1/3 = 2/24 = 8,333 %

Sdra 2 = 2/8 x 1/3 = 2/24 = 8,333 %

Sdri 3 = 1/8 x 1/3 = 1/24 = 4,166 %

Sdra 4 = 2/8 x 1/3 = 2/24 = 8,333 %

Sdri 5 = 1/8 x 1/3 = 1/24 = 4,166 %

Jumlah = 8/24 = 33,33 % 1/3

b. Bagian untuk ahli waris Pewaris adalah:

Sdri 1 = 1/4 x 1/3 = 1/12 atau 2/24 = 8,333 %

Sdri 3 = 1/4 x 1/3 = 1/12 atau 2/24 = 8,333 %

Sdra 4 = 2/4 x 1/3 = 2/12 atau 4/24 = 16,666 %

Jumlah = 4/12 = 8/24 = 33,333 % 1/3

2. Tentang Pembagian Harta Munasakhah Wasiat Wajibah Anak Angkat

Didalam putusan ini Hakim menetapkan bagian sebagai berikut:

Menyatakan bahwa hak ANAK PEWARIS berupa 6/18 = 33 % dari tanah beserta

bangunan sebagaimana pada diktum (5) dan 4/12 = 33 % dari 5 deposito dan 2

rekening tabungan dengan segala bunganya sebagaimana tersebut pada diktum

(9) menjadi hak ahli warisnya dengan pembagian sebagai berikut:

a. Suami 2 Anak angkat mendapat 12/48 = 25 %

b. A. Lk Anak angkat mendapat 14/48 = 29,167 %

c. A. Pr 1 Anak angkat medapat 7/48 = 14,583 %

d. A. Pr 2 Anak angkat medapat 7/48 = 14,583 %

e. Bapak Anak angkat mendapat 8/48 = 16,667 %

Page 94: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

78

Jumlah = 100 %

Menurut peneliti, jumlah total 100 % tersebut bisa menimbulkan 2 pengertian

yang berbeda, yaitu (1) pengertian bahwa 100 % itu adalah dari 33 % dibagi

habis; dan (2) pengertian bahwa 100 % adalah dari keseluruhan harta peninggalan

pewaris. Multi penafsiran harus di hindari dalam putusan pengadilan supaya tidak

menimbulkan kerancuan dan keraguan.

Menurut penghitungan peneliti, lebih tepatnya sebagai berikut:

a. Harta Tanah Anak Angkat

1) Suami 2 Anak angkat mendapat 12/48 x 1/3 = 12/144 = 8,333 %

2) A. Lk Anak angkat mendapat 14/48 x 1/3 = 14/144 = 9,722 %

3) A. Pr 1 Anak angkat mendapat 7/48 x 1/3 = 7/144 = 4,861 %

4) A. Pr 2 Anak angkat mendapat 7/48 x 1/3 = 7/144 = 4,861 %

5) Bapak Anak angkat mendapat 8/48 x 1/3 = 8/144 = 5,555 %

Jumlah = 48/144 = 6/18 = 33,333 % 1/3 bagian

b. Harta Deposito Anak Angkat

1) Suami 2 Anak angkat mendapat 12/48 x 1/3 = 12/144 = 8,333 %

2) A. Lk Anak angkat mendapat 14/48 x 1/3 = 14/144 = 9,722 %

3) A. Pr 1 Anak angkat mendapat 7/48 x 1/3 = 7/144 = 4,861 %

4) A. Pr 2 Anak angkat mendapat 7/48 x 1/3 = 7/144 = 4,861 %

5) Bapak Anak angkat mendapat 8/48 x 1/3 = 8/144 = 5,555 %

Jumlah = 48/144 = 4/12 = 33,333 % 1/3 bagian

3. Tentang penyebutan ANAK PEWARIS di dalam putusan sebagaimana terdapat

dalam diktum (12) “Menyatakan bahwa ANAK PEWARIS (Tergugat) telah

meninggal dunia .....” dan diktum (13) “Menyatakan hak ANAK PEWARIS 6/18

= 33 % dari tanah beserta bangunan.....”. Penyebutan ANAK PEWARIS

menurut penulis keliru, karena dalam proses peradilan sudah terbukti bahwa

tergugat adalah ANAK ANGKAT, dan dalam diktum (4,5,8 dan 9) disebutkan

Page 95: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

79

bahwa PEWARIS adalah AYAH ANGKAT karena dalam putusan multi

penafsiran harus di hindari supaya tidak menimbulkan kerancuan dan keraguan.

Wallahu A’lam Bishawab

Page 96: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

80

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan beberapa poin,

diantaranya sebagai berikut:

1. Hakim dalam memutus perkara menggunakan teori maqashid as-syariah. Namun

dalam pembagian harta warisnya hakim keliru tentang pembagian harta bersama

dan harta munasakhah wasiat wajibah anak angkat. Hakim juga telah melakukan

terobosan hukum dalam pembagian kewarisan bertingkat (munasakhah), karena

hal tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang tata cara

dan pembagian kasus waris munasakhah.

2. Pada putusan ini terdapat permasalahan antara ahli waris dari pewaris dengan

anak angkat pewaris. Dalam penyebutan pihak-pihak yang berperkara, Hakim

keliru dalam menyebut “Anak Angkat” menjadi “Anak Pewaris” pada putusan ini.

Namun hakim telah merenvoi putusan tersebut.

B. Saran

Setelah penulis memaparkan beberapa hal yang terkait dengan anak angkat,

munaskhah, ahli waris pengganti dan kalalah, selanjutnya peneliti ingin memberikan

saran-saran sebagai berikut:

1. Kepada Majelis Hakim dalam Pengadilan Agama, seharusnya lebih teliti dalam

menyelesaikan permasalahan munasakhah dan harta bersama dalam

pembagiannya. Selain itu Majelis Hakim seharusnya menghindari sebuah

pernyataan yang mengandung multi tafsir dalam putusan Pengadilan agar tidak

menimbulkan kerancuan dan keraguan.

2. Kepada praktisi hukum hendaknya lebih mensosialisasikan kepada masyarakat

tentang kewarisan munasakhah.

3. Hendaknya pemahaman tentang ahli waris pengganti dibarengi dengan

pemahaman tentang munasakhah atau memasukkan pasal tentang munasakhah

kedalam KHI setelah pasal ahli waris pengganti, agar tidak terjadi kekeliruan

ketika memutuskan perkara.

Page 97: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

81

DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’an Dan Terjemahannya, Departemen Agama RI

Abdul Wahab Khallaf, Syaikh, Ijtihad dalam Syariat Islam, Penerjemah: Rohidin

Wahid, Cet.1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015.

Abdulloh, Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Jakarta:

Sinar Grafika, 2004.

Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adzim Abadi, Imam, Ainul Ma’bud Syarah

Sunan Abi Daud, Juz 5 Kairo: Daarul Hadits, 2001.

Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al-Fikr, t.th.

Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Al-Faqih, Bidayatul

Mujtahid Analisa Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali dan Ahmad

Ma’ruf Asrori, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

Ahmad Saebani, Beni, Fiqh Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, 2012.

al Karim Zaidan, Abd, al Madkhal li Dirasah al Syariah al Islamiyyah, (Beirut:

Muassasah al Risalah, 1976.

al- Manzur, Ibnu, Lisan al-Arab, Juz II, Beirut: dar al-Fikr, 1970.

Al Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al- Mubarkfuri, Abu, Tuhfatul

Ahwadzi, Juz 5, Kairo: Daarul Hadits, 2001.

Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul, Beirut: al-Resalah, 1997.

Ali Al-Sabouni, Muhammad, Hukum Kewarisan Islam Menurut al-Qur’an dan Sunnah ,

Cet. 1, Jakarta: Dar al-Kutub Al- Islamiyah,2005.

Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Al-Syarif, Kitab al-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyyah, 1988.

Ali, Mansur, Hibah Waris dan Wasiat, Cet. II, Cibinong: D7 Bersaudara, 2013.

al-Raisuni, Akhmad, Nazhariyat al- Maqashid fi al-Islam, Rabath: Dar al-Aman, 1991.

al-Zuhaili, Wahbah, AL-FIQHU ASY-SYAFI’I AL-MUYASSAR. Penerjamah

Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz. Fiqih Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira:

2010.

-----------, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 10, Penerjemah Abdul Hayyie al-

Kattani, dkk, Cet.1, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Ash-Shiddieqy, T.M Hasbi, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syariat

Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

As-Shabuni, Ali, Al-Mawarrits fi al-Syari’ah al-Islamiyah.

Page 98: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

82

Asymuni Rahman dan Muin, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Departemen Agama, 1986.

Bagir Haidar dan Basri Syafiq, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan Anggota IKAPI,

1996.

Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.

Barakah, Ainun, Munasakhat; Metode Praktis dalam Pembagian Harta Waris, Cendikia:

Jurnal Studi Islam, Vol. 1 No. 2 Desember 2015.

Djalil, A. Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Jakarta: Kencana, 2010.

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Cet.1, Jakarta:

Logos Publishing House, 1995.

Djazuli, Ahmad, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam

Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2011.

Efendi M. Zein, Satria, Ushul Fiqh, Cet.1, Jakarta: Kencana, 2005.

-----------------, Satria, Ushul Fiqh, Cet.7, Jakarta: Kencana, 2017.

Fatahullah dkk, Antara Munasakhah dan Ahli Waris Pengganti Pada putusan Nomor:

0311/PDT.G/2009/PA.SEL, Jurnal IUS, Vol. IV No. 1 April 2018.

Fathurrahman dan Muktar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,

Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986.

Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al- Ma’arif, 1975.

Fawzi Faydh Allah, Muhammad, Al- Ijtihad al-Syariah al-Islamiyyat, Kuwayt:

Maktabah Dar al Turats, 1984.

Firdaus, Ushul Fiqh, Cet. 1, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017.

Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, Cet.1, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.

Husein Nasution, Amin, Hukum Kewarisan: Suatu Analiss Komparatif Pemikiran

Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Cet.1, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2012.

Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syawkani, Muhammad, Irsyad al-Fukhul ila tahqiq al-Haqq

min ‘Ilm al-Ushul, (Surabaya: Ahmad Ibn Sa’d Ibn Nabhan, t,th.

Idris al-Marbawiy, Muhammad, Kamus Idris al-Marbawi; Arab-Melayu, Bandung: al-

Ma’arif, Juz 1, tt.

Ismail Ibrahim, Muhammad, Mu’jam al-Alfaz wa al-A’lam Al-Quraniyah Qairo: Dar al-

Fikr al-Ariby, 1986.

Johan Nasution, Bahder, Metode Peneliti Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008.

Page 99: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

83

Kamal bin as-Sayyid Salim, Abdul, Malik, Tuntunan Praktis Hukum Waris, Penerjemah

Ade Ichwan Ali, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Ibnu Umar, 2009.

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Ahkamul Mawarits fil-Fiqhil-

Islami. Penerjemah Addys aldizar, Fathurrahman. Hukum Waris, Cet.1,

Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.

Kompilasi Hukum Islam.

Mardani, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Cet.1, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010.

Muhammad Al-Ghazali, Muhammad bin, Al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul.

Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, Asy- Syaikh, Ilmu Waris: Metode Praktis

Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, Penerjemah Abu Najiyah

Muhaimin, Tegal Jateng: Ash-Shaf media: 2007.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku, Fiqih Mawaris, Cet. 1, Semarang: PT

Pustaka Riski Putra, 1997.

Muhibbin, Moh. dan Wahid, Abdul, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan

Hukum Positif di Indonesia, Cet.1, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Muslim, Imam, Jam’u al-Jawami al-Hadis Wal Asanid, Juz II, Germany:Dar Miknas

Shohih al-Islamiyah, 2000.

Mustafa Sanu, Quthub, Mu’jam Mustalahat Ushul al-Fiqh, Damaskus: Surya Dar al-Fikr

al-Ma’asir, 2000.

Mutakin, Ali, Teori Maqashid al-Syariah dan Hubungannya dengan Istinbath Hukum,

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 3, Agustus 2017.

Nur, Iffatin, Terminologi Ushul Fiqh, Yogyakarta: Teras, 2013.

Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Qur’zn, cet 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

1995.

Qosim, M. Rizal, Pengamalan Fikih 3, Solo: Tiga Serangkai, 2005.

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif,1987.

---------, Fatchur, Ilmu Waris,Cet.2, Bandung: PT Al-Maarif, 1981.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001.

Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2017.

Rusyd,, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Semarang: Thoha Putra.

Page 100: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

84

Sabiq, Sayid, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Fikry, 1983.

Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh, Cet.1, Jakarta: Kencana, 2011.

Silalahi, Ulber, Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitan Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.

Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1969.

Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, 1999.

Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Cet.1, Jakarta: KENCANA, 2004.

--------------------, Hukum Kewarisan Islam, Cet. 2, Jakarta: Kencana, 2004.

--------------------, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet.6, Jakarta: Kencana, 2011.

Tim Redaksi, Kompilasi Hukum Islam Bandung: FOKUSMEDIA, 2007.

Umar Al-Bakri, Muhammad bin, Hasyiyah Muhammad bin Umar al-Nakri, Kairo:

Maktabah al Misriyah, t.th..

Umar, Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

--------------, Relevansi Metode Kajian Hukum Islam dalam Pembaharuan Hukum Islam

Masa Kini, Jurnal Innovatio, Vol.6, No.12, Juli-Desember 2007.

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Usman, Suparman dan Somawijaya, Yusuf, Dasar-dasar Fiqh Mawaris, Serang:

saudara, 1993.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.

Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawwir: Kamus Arab-indonesia, Surabaya: Pustaka

Progresif, 2002, Cet. Kedua puluh lima.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Hadi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat.

Zamzami, Mukhtar, Perempuan dan Keadilan dalam Hukum Kewarisan Indonesia,

Jakarta: Kencana Premada Media Grup, 2013.

Page 101: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam

62

Page 102: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 103: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 104: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 105: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 106: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 107: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam
Page 108: KEWARISAN BERTINGKAT SEBAGAI PERKEMBANGAN HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46088/1/NURDIANA... · kewarisan bertingkat sebagai perkembangan hukum dalam