bhn.docx

Embed Size (px)

Citation preview

a. Silau (glare) adalah proses adaptasi berlebihan pada mata sebagai akibat dari retina mata yang terpapar sinar berlebihan.b. Konjungtiva adalah membrane mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus bagian posterior kelopak mata dan bagian anterior sklerac. Konjungtiva bulbi adalah konjungtiva yang melapisi sklerad. Konjungtiva palpebra adalah konjungtiva yang melapisi permukaan dalam kelopak matae. Sekret adalah produk kelenjar berupa cairan, pada konjungtiva bulbi dikeluarkan oleh sel gobletf. Hiperemi adalah yaitu warna kemerahan, biasanya disebabkan karena adanya vasodilatasi pembuluh darah

Pertanyaan a. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi membrane accesoria occuli dan konjungtiva?b. Bagaimana patofisiologi mata merah? Pada kasus apa saja yang menyebabkan mata merah tanpa disertai dengan penurunan visus?c. Bagaimana patofisiologi mata gatal? Apakah gatal pada mata sama dengan gatal yang terjadi pada kulit? Bagaimana mekanismenya?d. Bagaimana patofisiologi mata berair?e. Bagaimana patofisiologi kelopak mata bengkak?f. Bagaimana patofisiologi keluarnya secret? Apa saja macam-macam secret yang keluar dari mata?g. Apa perbedaan secret yang dikeluarkan oleh apparatus lacrimalis dan konjungtiva?h. Mengapa kelopak mata lengket ketika bangun di pagi hari?i. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan?j. Apa saja diagnosis banding untuk kasus pada skenario? Bagaimana patofisiologi dan penatalaksanaannya?k. Pemeriksaan penunjang apa saja yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis pada kasus?l. Bagaimana indikasi rawat inap untuk penyakit mata?

JUMP 3a. Bagaimana patofisiologi keluarnya secret? Apa saja macam-macam secret yang keluar dari mata?Secret adalah produk kelenjar yang pada konjungtiva bulbi dihasilkan oleh sel goblet. Secara normal secret yang dihasilkan akan langsung ditribusikan ke seluruh lapang mata. Berdasarkan bentuknya, secret dibedakan menjadi : Air : karena infeksi virus/alergi Purulen : karena Bakteri/klamidia Hiperpurulen : gonokokus Mukoid : alergi / vernal Serous : Adenovirus Karena pada skenario belum dijelaskan bagaimana sifat secret maka perlu dilakukan pemeriksaan sitologik.

b. Mengapa kelopak mata lengket ketika bangun di pagi hari?Keluhan mata belekan atau adanya secret sering dikeluhkan oleh panderita terutama saat bagun tidur di pagi hari.Sekret hanya dapat dikeluarkan oleh epitel yang mempunyai sel lendir atau pada sel goblet konjungtiva. Bila terdapat keluhan secret yang berlebihan oleh penderita hal ini menunjukkkan kelainan pada konjungtiva.Jumlah secret konjungitiva akan lebih banyak sewaktu bangun pagi. Penutupan kelopak mata yang lama akan membuat suhu mata sama dengan suhu tubuh. Pada kelopak mata yang terbuka suhu mata biasanya lebih rendah dari pada suhu badan akibat penguapan air mata. Suhu mata yang sama dengan suhu badan akan mengakibatkan perkembangbiakan kuman dengan baik. Suhu badan merupakan incubator yang optimal untuk kuman sehingga kuman akan memberikan peradangan yang lebih berat pada konjungtiva, sehingga secret akan bertambah di waktu pagi. A. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Konjungtiva dan Membrane Accesoria Occuli1. KonjungtivaSecara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit.Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan.Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada mata.Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA (Sihota, 2007).Pada konjungtiva terdapat beberapa jenis kelenjar yang dibagi menjadi dua grup besar yaitu:1. Penghasil musina. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada daerah inferonasal.b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis inferior.c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus.2. Kelenjar asesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring. Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria.Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik

2. Otot Penggerak Bola MataOtot ini menggerakkan mata dengan fungsi ganda dan untuk pergerakan mata tergantung pada letak serta sumbu penglihatan ketika otot beraksi. Otot penggerak bola mata terdiri dari : Musculus oblik inferior yang memiliki aksi primer eksotorsi dalam abduksi, dan memiliki aksi sekunder elevasi dalam adduksi, abduksi dalam elevasi. Musculus oblik superior memiliki aksi primer intorsi dan adduksi, dan aksi sekunder berupa depresi dalam aduksi, dan abduksi dalam depresi. Musculus rektus inferior memiliki aksi primer berupa gerakan depresi pada abduksi dan memiliki aksi sekunder berupa gerakan ekstorsi dan aduksi dalam depresi. Musculus rectus lateral memiliki aksi gerakan abduksi. Musculus rectus medius memiliki aksi gerakan aduksi.Musculus rectus superior memiliki aksi primer yaitu elevasi dalam abduksi dan aksi sekunder berupa intorsi dalam aduksi serta aduksi dalam elevasi.

3. Apparatus lacrimalisAparatus lakrimalis terletak di atas mata bagian temporal, dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi dan sistem ekskresi air mata.

A. Sistem Sekresi Air MataPermukaan mata dijaga tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi basal air mata perhari diperkirakan berjumlah 0,75-1,1 gram dan cenderung menurun seiring dengan pertambahan usia. Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar air mata utama yang terletak di fossa lakrimalis pada kuadran temporal di atas orbita. Kelenjar yang berbentuk seperti buah kenari ini terletak didalam palpebra superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil. Setiap lobus memiliki saluran pembuangannya tersendiri yang terdiri dari tiga sampai dua belas duktus yang bermuara di forniks konjungtivasuperior. Sekresi dari kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata mengalir berlimpah melewati tepian palpebra (epiphora). Persarafan pada kelenjar utama berasal nukleus lakrimalis pons melalui nervus intermedius dan menempuh jalur kompleks dari cabang maksilaris nervus trigeminus. Kelenjar lakrimal tambahan, walaupun hanya sepersepuluh dari massa utama, mempunya peranan penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama yang menghasilkan cairan serosa namun tidak memiliki sistem saluran. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks superior. Sel goblet uniseluler yang tersebar di konjungtiva menghasilkan glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar sebasea Meibom dan Zeis di tepian palpebra memberi substansi lipid pada air mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film prekorneal.B. Sistem Ekskresi Air MataSistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip dengan risleting mulai di lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada aspek medial palpebra. Setiap kali mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula sehingga memendekkan kanalikuli horizontal. Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan penguapannya, dan itulah sebabnya hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi. Bila memenuhi sakus konjungtiva, air mata akan masuk ke punkta sebagian karena hisapan kapiler. Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pre-tarsal yang mengelilingi ampula mengencang untuk mencegahnya keluar. Secara bersamaan, palpebra ditarik ke arah krista lakrimalis posterior, dan traksi fascia mengelilingi sakus lakrimalis berakibat memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air mata ke dalam sakus, yang kemudian masuk melalui duktus nasolakrimalis karena pengaruh gayaberat dan elastisitas jaringan ke dalam meatus inferior hidung. Lipatan-lipatan mirip-katup dari epitel pelapis sakus cenderung menghambat aliran balik air mata dan udara. Yang paling berkembang di antara lipatan ini adalah katup Hasner di ujung distal duktus nasolakrimalis

B. Patofisiologi Mata MerahPada mata normal, sklera berwarna putih karena sclera dapat terlihat melalui konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan tembus sinar. Hiperemi konjungtiva terjadi karena bertambahnya asupan pembuluh darah ataupun berkurangnya pengeluaran darah seperti pada pembendungan pembuluh darah. Bila terjadi pelebaran pembuluh darah konjungtiva atau episclera atau perdarahan antara konjungtiva dan sclera maka akan terlihat warna merah pada mata yang sebelumnya berwarna putih.Mata terlihat merah karena melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan mata akut, misalnya keratitis, pleksus arteri konjungtiva permukaan melebar, pada iritis dan glaucoma akut kongestif, pembuluh arteri perikornea yang terletak lebih dalam akan melebar, sedangkan pada konjunctivitis pembuluh darah yang lebih superficial yang melebar, maka apabila diberi epinefrin topical akan terjadi vasokonstriksi sehingga mata akan kembali putih.Pada konjungtiva terdapat pembuluh darah : Arteri konjungtiva posterior yang memperdarahi konjungtiva bulbi. Arteri siliar anterior atau episklera yang memberikan cabang : Arteri episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan arteri siliar posterior longus bergabung membentuk arteri sirkular major atau pleksus siliar, yang akan memperdarahi iris dan badan siliar. Arteri perikornea, yang memperdarahi kornea. Arteri episklera yang terletak di atas sclera, merupakan bagian arteri siliar anterior yang memberikan perdarahan ke dalam bola mata.Bila terjadi pelebaran pembuluh-pembuluh darah di atas maka akan terjadi mata merah.Selain melebarnya pembuluh darah, mata merah dapat juga terjadi akibat pecahnya salah satu dari dua pembuluh darah di atas dan darah tertimbun di bawah jaringan konjungtiva. Keadaan ini disebut sebagai perdarahan subkonjungtiva.Mata merah dapat dibagi menjadi mata merah dengan visus normal ataupun mata merah dengan visus terganggu akibat keruhnya media penglihatan bersama-sama mata yang merah.Berikut klasifikasi mata merah dengan visus normal : Mata merah dengan visus normal dan tidak kotor atau secret Pterigium Pinguekula Hematoma subkonjungtiva Episkleritis-skleritis Mata merah dengan penglihatan normal dan kotor atau secret Konjungtivitis Trakoma Konjungtiva dry eye Defisiensi vitamin A Toksik konjungtivitis folikuler Penyakit konjungtiva etiologi tak jelas Keratokonjungtivitis limbus superior Konjungtivitis membranosa

C. Patofisiologi Mata GatalMata gatal dapat disebabkan oleh banyak hal. Penyebab yang paling sering antara lain : a. Alergib. Common coldc. Konjungtivitisd. Mata Keringe. BlepharitisRasa gatal diterima oleh akhiran saraf yang tidak spesifik pada pertemuan lapisan dermis dengan epidermis, yaitu reseptor gatal yang tidak bermielin. Selanjutnya, serabut saraf menghantarkan rasa gatal memasuki cornu dorsalis pada substansia grisea pada medulla spinalis, yang bersinapsis dengan neuron sekunder yang menyilang ke tractus spinothalamicus kontralateral dan kemudian menuju thalamus. Kemudian neuron tersier menghantarkan sensasi gatal ke persepsi yang dirasakan secara sadar di cortex cerebri (Sharma et al, 2009).Mekanisme Rasa GatalSampai saat ini neurofisiologi rasa gatal masih belum jelas. Terdapat 3 teori yang diajukan untuk menerangkan mekanisme rasa gatal, yaitu : (Yosipovitch & Ishhiuji, 2009)1. Teori Spesifisitas Teori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok sel saraf sensoris yang hanya memberikan respon terhadap stimuli pruritogenik. Teori ini didukung oleh bukti-bukti adanya serabut saraf C spesifik untuk rasa gatal yang menghantarkan rangsang rasa gatal dari perifer ke sentral dan terdapatnya sel saraf yang sensitif terhadap histamin pada traktus spinotalamikus.2. Teori IntensitasTeori ini mengatakan bahwa perbedaan intensitas stimulus berperan penting pada aktivasi serabut saraf. Intensitas stimulus yang rendah akan mengaktivasi serabut saraf rasa gatal, sedangkan peningkatan intensitas stimulus akan mengaktivasi serabut saraf nyeri. Kelemahan teori ini adalah perangsangan dengan stimulus noksius (termal dan mekanik) pada dosis ambang rangsang tidak menimbulkan rasa gatal. Pemeriksaan mikroneurografi juga tidak dapat membuktikan kebenaran teori ini. Pengobatan yang menghambat nyeri tidak dapat menghambat rasa gatal melainkan malah sebaliknya, menyebabkan rasa gatal.3. Teori Selektivitas Teori ini menyatakan bahwa terdapat suatu kelompok nosiseptor aferen yang secara selektif memberikan respon terhadap stimulus pruritogenik. Kelompok nosiseptor ini memiliki hubungan sentral yang berbeda dan mengaktifkan sel saraf sentral yang berbeda pula. Teori ini didukung oleh penemuan yang mendapatkan bahwa stimulus mekanik, termal dan kimia noksius dengan memakai bradikinin lebih nyata menginduksi rasa gatal daripada nyeri pada penderita gatal kronis.Respon Imun Alergi secara umum Mekanisme Alergi/Hipersensitivitas tipe 1Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan basofil.b. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.Mediator jenis pertamaMeliputi histamin dan faktor kemotaktik. histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos. Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.Mediator jenis keduaDihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase. Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah. Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin.Mediator jenis ketigaDilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2) kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)

D. Patofisiologi Mata BerairMata berair karena mata sebelumnya kering atau terkena sindrom mata kering. Karena jika mata kering, maka secara refleks mata akan menghasilkan lebih banyak air mata. Karena fungsi utama air mata adalah menjaga kelembaban mata dari kekeringan dan membersihkan mata dari segala benda asing yang masuk ke dalam mata.Sebab mata kering bermacam-macam: Masalah pada kualitas air mata, jika kurang bagus mata produksinya banyak sebagai kompensasi. Terkena infeksi virus atau bakteri. Ada peradangan atau benda asing yang kecil. Masalah pada saluran dan aliran air mata, air mata akan mengalir melalui bagian hidung, jika terhambat maka menumpuk di mata.

E. Patofisiologi Kelopak Mata BengkakPada skenario kedua dari blok mata ini, pasien mengeluh mata merah sejak tiga hari yang lalu, terasa gatal, berair, kelopak mata bengkak, dan terasa lengket ketika membuka mata terutama di pagi hari. Namun, dari pemeriksaan lebih lanjut visus mata kanan (VOD) pasien normal (tidak mengalami penurunan) yaitu 6/6, tidak ada kekaburan mata, dan silau. Selain gejala yang telah disebutkan, juga didapati injeksi konjungtiva, konjungtiva palpebra hiperemi, dan sekret kornea jernih.Mata merah merupakan tanda dari adanya peningkatan pasokan darah ke dalam mata, mata merah dapat dibagi menjadi dua yang fisiologis dan patologis. Pada kondisi fisiologis terjadi seperti ketika mata menangis, mata lelah atau mengantuk, mata setelah bangun tidur, dll. Sedangkan mata merah patologis dapat terjadi karena beberapa hal seperti infeksi, peradangan, alergi, trauma, dll. Pasokan darah berlebih yang masuk ke mata terjadi karena memang mata membutuhkan lebih banyak oksigen seperti dalam kondisi mata lelah. Sedangkan dalam proses peradangan yang dapat diakibatkan oleh alergi maupun infeksi mata juga mendapatkan pasokan darah yang lebih. Dalam skenario ini mata merah pasien tergolong mata merah patologis (konjungtivitis). Mata merah ini merupakan hasil dari vasodilatasi pembuluh darah yang ada di bulbus oculi maupun konjungtiva. Adapun mata merah karena alergi, vasodilatasi muncul karena adanya histamine yang dihasilkan akibat adanya reaksi antigen antibodi pada tubuh. Pada konjungtivitis mata merah paling jelas terlihat pada forniks dan makin berkurang ke arah limbus karena dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior (injeksi konjungtiva). Warna merah terang menunjukkan adanya infeksi bakteri sedangkan mata yang putih mengesankan konjungtivitis alergika. Hiperemia tanpa infiltrasi sel mengesankan iritasi oleh penyebab fisik seperti angina, sinar matahari, asap, dll. Tetapi sesekali bisa muncul pada penyakit yang berhubungan dengan ketidakstabilan vaskuler.Rasa gatal di mata pada konjungtivitis alergika terjadi karena reaksi dari histamin. Namun jika konjungtivitis diakibatkan dari adanya bakteri, toksik, maupun virus. Gatal yang terasa paling hebat terutama gatal yang diakibatkan oleh reaksi alergi pada mata. Mata berair (epifora), sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi terbakat, tergores, atau karena rasa gatal. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh yang hiperemik dan menambah jumlah air mata tersebut. Kurangnya sekresi air mata yang abnormal mengesankan keratokonjungtivitas sika.Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut. Eksudatnya berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakteri dan berserabut pada konjungtivitis alergika, pada hamper semua konjungtivitis didapati banyak kotoran mata di palpebra saat bangun tidur, jika eksudat sangat banyak dan palpebranya saling melekat. Pseudoptosis adalah terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di otot muller/tarsal. Keadaan ini dijumpai pada beberapa konjungtiva berat. Untuk itu pasien perlu melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan kultur dari sekret yang keluar dari mata dan uji sensitivitas antibiotic jika konjungtivitis diakibatkan oleh bakteri. Namun selagi menunggu hasil dari pemeriksaan tersebut, setelah diambil sekret sebagai sample, pasien diberikan anti inflamasi dan antibiotik spektrum luas yang sistemik. Namun jika konjungtivitas alergik maka perlu diberikan antihistamin topikal, dan menghindari allergen yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada tubuh. Prognosis dari gejala-gejala yang dialami pasien adalah baik, jika pasien segera memeriksakan diri, dan mendapatkan terapi yang tepat dan adekuat.

F. Perbedaan Secret Yang Dikeluarkan Oleh Apparatus Lacrimalis Dan KonjungtivaFungsi air mata :1. Menghaluskan permukaan air kornea2. Memberi nutrisi pada kornea3. Anti bakteri4. Perlindungan mekanik terhadap benda asingKomposisi air mata :1. Lapisan lemak (berada diatas)a. Mencegah penguapan dan jatuhnya air matab. Terdiri dari kolesterol ester2. Lapisan akuosa. Lapisannya tebalb. Terdapat kel. Lakrimal asesoriusc. Sebagai nutrisi dan anti bakterid. Terdiri dari elektrolit, air, glukosa, albumin, globulin, lisozim3. Lapisan musin (berada dibawah)a. Terdapat sel goblet yang bersifat hidrofilikb. Terdiri dari gllikoprotein

Produksi air mata :a. Volume produksi air mata = 0,5 1,25 gr/16 jamb. Saat tidur, air mata tidak diproduksi dan semakin tua usia semakin menurun prosuksi air matac. Ph berkisar 7,3 7,7d. Mengandung glukosa, natrium, klon albumin, globulin, lisozim

Sekresi air mataair mata kantus media punctum lakrimalis kanalis lakrimalis kanalis komunikan sakus lakrimalis duktus nasolakrimalis meatus nasi inferior

G. Interpretasi Hasil PemeriksaanVOD 6/6Visus Occuli Dextri (VOD) 6/6 artinya bahwa tajam penglihatan mata kanan pasien normal. Pasien bisa melihat dengan jelas pada jarak 6 meter yang seharusnya dapat dilihat oleh orang normal juga pada jarak tersebut. Hal ini menunjukkan tidak ada penurunan visus pada mata kanan pasien.

Konjungtiva bulbi dan konjungtiva palpebra hiperemiKonjungtiva bulbi adalah konjungtiva yang melapisi sclera, sedangkan konjungtiva palpebra adalah konjungtiva yang melapisi bagian dalam kelopak mata. Mata terlihat merah karena melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan mata akut. Pembuluh darah yang melebar di sini adalah arteri konjungtiva posterior.

SekretProduk kelenjar yang pada konjungtiva bulbi dihasilkan oleh sel goblet. Secara normal secret yang dihasilkan akan langsung ditribusikan ke seluruh lapang mata. Berdasarkan sifat secret : Air : karena infeksi virus/alergi Purulen : karena Bakteri/klamidia Hiperpurulen : gonokokus Mukoid : alergi / vernal Serous : Adenovirus Karena pada skenario belum dijelaskan bagaimana sifat secret maka perlu dilakukan pemeriksaan sitologik.Kornea jernihKornea merupakan salah satu bagian dari media refrakta. Kornea jernih di sini menandakan bahwa tidak ada masalah pada media refrakta sehingga visus tidak turun

H. Diagnosis Banding pada Kasus Skenario1. PterigeumPterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degenerative dan invasive. Pertumbuhan ini biasanya terletak di celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dnegna puncak dibagian sentral atau didaerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi akan berwarna merah dan dapat mengenai kedua mata. Penyebab dari pterigium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, Cahaya sinar matahari, dan udara yang panas. Gejala yang muncul : mata iritatif, merah, menimbulkan keluhan gangguan penglihatan. Diagnosis banding pterigium : pseudopterigium, pannus, dan Krista dermoid. Tidak diperlukan pengobatan karena bersifat rekuren terutama pada pasien yang masih muda. Penatalaksanaan bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau tetes mata dekongestan. Apabila terjadi gangguan penglihatan karena astigmatisme irregular atau pterigium yang menutupi media refrakta maka perlu dilakukan pembedahan. Lindungi mata dengan pterigium dari sinar matakari, debu, dan udara kering dengan kaca mata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberi steroid. Pemberian vasokonstriksi perlu control dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan jika sudah ada perbaikan.

2. Konjungtivitis BakteriKonjungtivitis yang disebabkan bakteri dapat saja akibat infeksi gonokok, meningokok, staphylococcus aureus, streptococcus pnemoniae, hemophilus influenza, dan Escherichia coli. Memberikan gejala secret mukopurulen dan purulen, kemosis konjungtiva edema kelopak, kadang kadang disertai keratitis dan blefaritis. Konjungtivitis bakteri ini mudah menular pada satu mata ke mata sebelahnya dan menyebar ke orang lain melalui benda yang dapat menyebarkan kuman. Terdapat 2 bentuk konjungtivitis akut (dapat sembuh 14 hari) dan biasanya sekunder terhadap penyakit palpebra/ obstruksi duktus nasolakrimalis.Konjungtivitis bakteri akut disebabkan Streptokokus, Corynobacterium diphtherica, pseudomonas, neisseria, dan hemophilus. Gambaran klinis dapat berupa konjungtivitis mukopurulen dan konjungtivitis purulen. Dengan tanda hiperemi konjungtiva, edema kelopak, papil dan kornea yang jernih. Pengobatan kadang-kadang diberikan sebelum pemeriksaan mikrobiologik dengan antibiotic tunggal seperti neosporin, basitrasin, gentamisin, kloramfenikol, tobramisin, eritromisin, dan sulfa. Bila pengobatan tidak memberikan hasil dengan antibiotic setelah 3-5 hari maka pengobatan dihentikan dan ditunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik. Bila terjadi penyulit pada kornea maka diberikan sikloplegik. Pada konjungtivitis bakteri sebaiknya dimintakan pemeriksaan sediaan langsung dan bila ditemukan kumannya, maka pengobatan disesuaikan. Apabila tidak ditemukan kuman dalam sediaan langsung, maka diberikan antibiotic spectrum luas dalam bentuk tetes mata tiap jam atau salep mata 4-5 kali sehari. Apabila dipakai tetes mata, sebaiknya sebelum tidur dipakai salep mata (sulfasetamid 10-15% atau khloramfenikol). Apabila tidak sembuh dalam satu minggu bila mungkin dilakukan pemeriksaan resistensi, kemungkinan defisiensi air mata atau kemungkinan obstruksi duktus nasolakrimal.3. Konjungtivitis alergiBentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap non infeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan rekasi antibodi humoral terhadap alergen. Biasanya dengan riwayat atopi. Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva, datang bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan (Ilyas, 2004).Pengobatan terutama dengan menghindarkan penyebab pencetus penyakit dan memberikan astringen, sodium kromolin, steroid topikal dosis rendah yang kemudian disusul dengan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik (Ilyas, 2004).Mata merupakan salah satu organ yang sering mengalami alergi, bahkanlebih dari separuh kasus konjungtivitis akut adalah berasal dari proses alergi.Jaringan konjungtiva mempunyai vaskularisasi dan sistem limfe yang baik. Selain itu konjungtiva juga kaya akan sel-sel Langerhans, sel-sel dendritik, dan makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell(APC) yang potensial. Folikel-folikel yang membesar setelah proses inflamasi dan infeksi pada mata menunjukkan pengumpulan sel-sel limfosit T, limfosit B, dan APC di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa folikel berperan sebagai tempat untuk melokalisasi proses imun terhadap antigen yang lolos menembus lapisan epitel. Sel-sel efektor lain, terutama sel mast, juga banyak terdapat di dalam substantia propria dan hampir semua kelas antibodi terdapat dalam konjungtiva terutama IgA yang disekresi ke dalam tear film. Konjungtiva juga mengandung molekul soluble terutama komplemen, serta berperan dalam degranulasi sel mast yang diperantarai IgE.Jadi konjungtiva berperan penting di dalam respon efektor imunitasPelepasan mediator-mediator selmast seperti histamin, bradikinin, PAF dan leukotrien memicu reaksi inflamasiseperti gatal, ruam berwarna kemerahan, khemosis dan ekstravasasi leukosit.Perjalanan leukosit dari sirkulasi darah menuju jaringan yang mengalamiinflamasi meliputi adhesi sel polimorfonuklear (PMN) pada dinding endotelpembuluh darah, rolling PMN, aktifasi kemoatraktan, dan migrasi transendotelial.Gambaran histopatologik konjungtivitis alergi menunjukkan infiltrasineutrofil, makrofag, limfosit dan eosinofil pada jaringan konjungtiva.Karakteristik respon alergi fase lambat pada konjungtivitis alergi adalaheosinofilia dan neutrofilia pada jaringan konjungtiva.Konjungtivitis alergi merupakan salah satu bentuk menifestasi respon imunspesifik terhadap suatu antigen yang disebut alergen, di mana alergen tersebutakan terikat pada IgE di permukaan sel mast, dan menginduksi suatu respon akutyang diperantarai sel mast. Sel mast akan mengalami degranulasi, sehinggamengeluarkan mediator-mediator yang akan mengakibatkan gejala seperti gatal,mata merah berair, dan bengkak, namun tidak sakitTahap ini disebut reaksi fasecepat. Setelah itu akan terjadi reaksi fase lambat setelah 4-24 jam, yang ditandaidengan infiltrasi eosinofil, neutrofil, limfosit, dan makrofag, di mana sel-sel iniakan mengamplifikasi inflamasi yang terjadi.Pada reaksi fase lambat ini,infiltrasi leukosit yang dominan pada jaringan konjungtiva adalah eosinofil dan neutrofil.

I. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan fisik yang digunakan untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus nasolakrimalis adalah dye dissapearence test, fluorescein clearance test dan John's dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna fluorescein 2% sebagai indikator. Sedangkan untuk memeriksa letak obstruksinya dapat digunakan probing test dan anel test (Ilyas,2006).Dye dissapearance test (DDT) dilakukan dengan meneteskan zat warna fluorescein 2% pada kedua mata, masing-masing 1 tetes. Kemudian permukaan kedua mata dilihat dengan slit lamp. Jika ada obstruksi pada salah satu mata akan memperlihatkan gambaran seperti di bawah ini (Ilyas, 2006).

Gambar 1. Terdapat obstruksi pada duktus nasolakrimalis kiriSumber: http://www.djo.harvard.edu

Fluorescein clearance test dilakukan untuk melihat fungsi saluran ekskresi lakrimal. Uji ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluorescein 2% pada mata yang dicurigai mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Setelah itu pasien diminta berkedip beberapa kali dan pada akhir menit ke-6 pasien diminta untuk beringus (bersin) dan menyekanya dengan tissue. Jika pada tissue didapati zat warna, berarti duktus nasolakrimalis tidak mengalami obstruksi (Ilyas, 2006).Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran ekskresi lakrimal. Uji ini terbagi menjadi dua yaitu Jones Test I dan Jones Test II. Pada Jones Test I, mata pasien yang dicurigai mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya ditetesi zat warna fluorescein 2% sebanyak 1-2 tetes. Kemudian kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus nasal inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan berwarna hijau berarti tidak ada obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Pada Jones Test II, caranya hampir sama dengan Jones test I, akan tetapi jika pada menit ke-5 tidak didapatkan kapas dengan bercak berwarna hijau maka dilakukan irigasi pada sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit didapatkan zat warna hijau pada kapas, maka dapat dipastikan fungsi sistem lakrimalnya dalam keadaan baik. Bila lebih dari 2 menit atau bahkan tidak ada zat warna hijau pada kapas sama sekali setelah dilakukan irigasi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem lakrimalnya sedang terganggu (Mamoun, 2009).

Gambar 2. Irigasi mata setelah ditetesi fluorescein pada Jones dye test IISumber: http://drlaurasanders.com/topics/102-Evaluation/

Anel test merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi ekskresi air mata ke dalam rongga hidung. Tes ini dikatakan positif bila ada reaksi menelan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sistem ekskresi lakrimal normal. Pemeriksaan lainnya adalah probing test. Probing test bertujuan untuk menentukan letak obstruksi pada saluran ekskresi air mata dengan cara memasukkan sonde ke dalam saluran air mata. Pada tes ini, punctum lakrimal dilebarkan dengan dilator, kemudian probe dimasukkan ke dalam sackus lakrimal. Jika probe yang bisa masuk panjangnya lebi dari 8 mm berarti kanalis dalam keadaan normal, tapi jika yang masuk kurang 8 mm berarti ada obstruksi (Ilyas, 2006).

Gambar 3. Anel Test Sumber: Manual for Eye Examination and Diagnosis 7th Edition

Pemeriksaan penunjang juga memiliki peranan penting dalan penegakkan diagnosis dakriosistitis. CT scan sangat berguna untuk mencari tahu penyebab obstruksi pada dakriosistitis terutama akibat adanya suatu massa atau keganasan. Dacryocystography (DCG) dan dacryoscintigraphy sangat berguna untuk mendeteksi adanya kelainan anatomi pada sistem drainase lakrimal (Gilliland, 2009).

Gambar 4. Probing Test Sumber: Manual for Eye Examination and Diagnosis 7th EditionDiagnosis konjungtivitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang penting pada pasien konjungtivitis adanya riwayat kontak dengan penderita yang sama, riwayat alergi, riwayat hiegienitas, dan riwayat kontak dengan bahan iritan.Disamping itu juga perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti :-Ketajaman penglihatan-Pemeriksaan slit lamp-Pewarnaan sekret mata dengan Giemsa dan Metylen Blue untuk mengetahui penyebabnya bakteri atau virus dan pemberian KOH untuk yang dicurigai disebabkan jamur-Kultur kerokan konjungtivaDapat dilakukan pemeriksaan gram untuk membedakan gram positif atau gram negatif, sedangkan untuk pemeriksaan giemsa untuk membedakan infeksi virus atau bakteri.

J. Bagaimana Indikasi Rawat Inap Untuk Penyakit MataIndikasi rawat inap:Bila terdapat penyakit-penyakit seperti: 1. Ulkus kornea ulkus sentral luas ulkus > 5 mm ulkus dengan ancaman perforasi (descementocele seperti mata ikan) ulkus dengan hipopion 2. Uveitis, bila terdapat: ada hipopion uveitis bilateral terdapat komplikasi3. Hifema (Muttaqien, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK. Diseases of immunity. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, editors. Pathologic basis of disease.7th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005 : 194, 208Abelson MB, Schaefer K. Conjunctivitis of allergic origin: immunologicmechanism and current approaches to therapy. Surv Ophthalmol, 38 (Suppl.)1993: 115Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21. Jakarta: Salemba Medika.Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Gilliland, G.D. 2009. Dacryocystitis. [serial online]. http://www.emedicine.com/. [28 September 2013]. Ilyas, Sidharta. 2006. Dasar-Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Acute and chronic inflammation. In:Pathologic basis of disease. 7th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders,2005: 53-59, 61Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUIMamoun, Tarek. 2009. Chronic Dacryocystitis. [serial online]. http:// eyescure.com/Default.aspx?ID=84. [28 November 2013]Muttaqien, Fauzan, 2009. Mata Cemerlang. Jakarta: Muttaqien Coorporation

Yosipovitch G, Ishhiuji Y. Neurophysiology of Itch. In: Granstein RD (eds). Neuroimmunology of the skin. Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg 2009; pp 179-85Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.