18
1 BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN KEPURBAKALAAN MASA KLASIK INDONESIA DI KAWASAN PADANGLAWAS, SUMATERA UTARA. Oleh: Lucas Partanda Koestoro (Balai Arkeologi Sumatera Utara) [email protected] Abstrak Di kawasan Padanglawas, Sumatera Utara banyak peninggalan dari masa klasik Indonesia. Dua di antaranya adalah Biara Bahal dan Biara Sipamutung. Penelitian tentang keberadaannya telah dilakukan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda dan pada masa sesudah kemerdekaan Indonesia. Kemudian, penelitian dilakukan lebih intensif sebagai upaya pemugaran dan pelestarian objek kepurbakalaan di kawasan ini. Hasilnya memperlihatkan pengenalan akan masa pendirian dan penggunaannya, latar belakang keagamaan yang melatarbelakangi pembangunannya, serta kaitannya dengan aktivitas perdagangan yang memanfaatkan aliran sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Kata kunci: kawasan Padanglawas, biara, Sungai Barumun PENDAHULUAN Kawasan Padanglawas menempati areal luas di wilayah Kabupaten Padanglawas dan Kabupaten Padanglawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Kawasan ini berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Labuhanbatu (Provinsi Sumatera Utara) di sebelah utara, Provinsi Riau di sebelah timur, Provinsi Sumatera Barat di sebelah selatan, dan wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Provinsi Sumatera Utara) di sebelah barat. Sungai Batang Pane dan Sungai Sirunambe yang berhulu di bagian barat serta Sungai Barumun yang berhulu agak di bagian selatan, mengalir ke bagian tengah kawasan ini, bersatu di Binanga (di wilayah Kabupaten Padanglawas) untuk selanjutnya mengalir sebagai Sungai Barumun ke arah timurlaut, dan bermuara ke Selat Malaka di pesisir timur Pulau Sumatera. Peninggalan karya arsitektur berupa biara di sepanjang daerah aliran sungai, umumnya sudah dalam keadaan rusak atau runtuh. Itu berkenaan dengan, misalnya, Biara Pulo, Sitopayan, Bara, dan Biara Aek Sisangkilon. Adapun yang sudah dan sedang dipugar adalah Biara Bahal dan Biara Sipamutung. Kelengkapan karya arsitektural yang begitu megah pada masanya itu berupa arca-arca berbahan baik batuan maupun logam. Arca Heruka, arca Bhairawa, dan arca Vairocana, serta arca Amitabha adalah sebagian di antaranya. Demikian pula dengan prasasti dan objek artefaktual lainnya, yang keberadaannya membantu upaya pengenalan aspek-aspek kehidupan masa lalu di sana. Itu meliputi kronologi pendirian dan penggunaan karya-karya monumental dan kelengkapannya, juga kondisi masyarakat, begitupun dengan pengenalan akan latar belakang keagamaannya. Penelitian terdahulu terhadap biara-biara Padanglawas cenderung hanya pada aspek arsitektural, sementara perhatian terhadap aspek lain seperti lingkungan dan penanganan objek lain berhubungan

BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

1

BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN KEPURBAKALAAN MASA

KLASIK INDONESIA DI KAWASAN PADANGLAWAS, SUMATERA UTARA.

Oleh: Lucas Partanda Koestoro (Balai Arkeologi Sumatera Utara)

[email protected]

Abstrak

Di kawasan Padanglawas, Sumatera Utara banyak peninggalan dari masa klasik Indonesia. Dua di antaranya

adalah Biara Bahal dan Biara Sipamutung. Penelitian tentang keberadaannya telah dilakukan sejak masa

pemerintahan Hindia Belanda dan pada masa sesudah kemerdekaan Indonesia. Kemudian, penelitian dilakukan

lebih intensif sebagai upaya pemugaran dan pelestarian objek kepurbakalaan di kawasan ini. Hasilnya

memperlihatkan pengenalan akan masa pendirian dan penggunaannya, latar belakang keagamaan yang

melatarbelakangi pembangunannya, serta kaitannya dengan aktivitas perdagangan yang memanfaatkan aliran

sungai yang bermuara ke Selat Malaka.

Kata kunci: kawasan Padanglawas, biara, Sungai Barumun

PENDAHULUAN

Kawasan Padanglawas menempati areal luas di wilayah Kabupaten Padanglawas dan Kabupaten

Padanglawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Kawasan ini berbatasan langsung dengan wilayah

Kabupaten Labuhanbatu (Provinsi Sumatera Utara) di sebelah utara, Provinsi Riau di sebelah timur,

Provinsi Sumatera Barat di sebelah selatan, dan wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Provinsi Sumatera

Utara) di sebelah barat. Sungai Batang Pane dan Sungai Sirunambe yang berhulu di bagian barat serta

Sungai Barumun yang berhulu agak di bagian selatan, mengalir ke bagian tengah kawasan ini, bersatu di

Binanga (di wilayah Kabupaten Padanglawas) untuk selanjutnya mengalir sebagai Sungai Barumun ke

arah timurlaut, dan bermuara ke Selat Malaka di pesisir timur Pulau Sumatera.

Peninggalan karya arsitektur berupa biara di sepanjang daerah aliran sungai, umumnya sudah dalam

keadaan rusak atau runtuh. Itu berkenaan dengan, misalnya, Biara Pulo, Sitopayan, Bara, dan Biara Aek

Sisangkilon. Adapun yang sudah dan sedang dipugar adalah Biara Bahal dan Biara Sipamutung.

Kelengkapan karya arsitektural yang begitu megah pada masanya itu berupa arca-arca berbahan baik

batuan maupun logam. Arca Heruka, arca Bhairawa, dan arca Vairocana, serta arca Amitabha adalah

sebagian di antaranya. Demikian pula dengan prasasti dan objek artefaktual lainnya, yang keberadaannya

membantu upaya pengenalan aspek-aspek kehidupan masa lalu di sana. Itu meliputi kronologi pendirian

dan penggunaan karya-karya monumental dan kelengkapannya, juga kondisi masyarakat, begitupun

dengan pengenalan akan latar belakang keagamaannya.

Penelitian terdahulu terhadap biara-biara Padanglawas cenderung hanya pada aspek arsitektural,

sementara perhatian terhadap aspek lain seperti lingkungan dan penanganan objek lain berhubungan

Page 2: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

2

dengan keberadaan monumen-monumen itu belum mendapat perhatian yang memadai. Belakangan,

sejak 1999, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian terkait aspek lingkungan pada situs Biaro

Sipamutung di tempuran/pertemuan Sungai Barumun dan Sungai Batang Pane. Juga penelitian berkaitan

dengan prasasti-prasasti kawasan Padanglawas pada tahun 2003. Kelak Pusat Penelitian Arkeologi

Nasional juga melaksanakan aktivitas arkeologis di Padanglawas, dengan penekanan pada aspek

keruangan, perdagangan dan permukiman (Utomo & Intan 1998). Belakangan, kegiatan penelitian

diperbesar intensitasnya bekerjasama dengan pihak EFEO, Perancis.

Mengacu akan hal-hal tersebut di atas, maka dalam kesempatan ini tujuan yang ingin dicapai adalah

pengenalan dan pemahaman akan masa pendirian dan penggunaannya, kemudian latar belakang

keagamaan yang melatarbelakangi pembangunannya, serta kaitannya dengan aktivitas perdagangan

kawasan itu yang memanfaatkan aliran sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Semua dilakukan dalam

upaya merekonstruksi sejarah kebudayaan Padanglawas sebagai bagian reposisi historiografi Indonesia.

Ini merupakan sebuah penelitian deskriptif yang akan memberikan gambaran tentang data arkeologi yang

ada baik dalam kerangka ruang, bentuk, maupun waktu. Dan mengingat sifat data arkeologis yang

dimilikinya, maka diberlakukan pendekatan kualitatif dengan membahasnya dari segi perbandingan

kualitatif di antara sesamanya, serta kesesuaian atau penyimpangannya (Simanjuntak eds. 2008,10).

Untuk mencapai itu semua maka metode pengumpulan datanya dilakukan melalui survei dan ekskavasi

yang dilanjutkan dengan analisis artefak, arsitektur, maupun analisis ikonografi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Padanglawas dan lingkungannya

Kawasan Padanglawas merupakan bagian dataran rendah pada deretan Pegunungan Bukit Barisan yang

membujur baratlaut--tenggara. Kondisi tanahnya berbatu-batu dan banyak mengandung kalsit.

Padanglawas, yang artinya memang tempat yang luas, memperlihatkan ujud fisik yang ditutupi padang

rumput dengan gerumbulan pohon di sana-sini. Melengkapi landscape yang demikian itu adalah

banyaknya sapi dan kerbau yang berkeliaran. Adapun lahan di bagian dekat sungai biasanya merupakan

perkampungan penduduk yang dikelilingi ladang dan persawahan. jauh disekelilingnya, yang merupakan

dataran berbukit dengan curah hujan yang relatif kurang, tampak menghijau hutan yang cukup lebat.

Belakangan ini begitu banyak pemanfaatan lahan di daerah itu menjadi kebun kelapa sawit (Elaeis

guineensis), menyusul pembukaan kebun karet (Hevea brasiliensis) yang sejak lama dibudidayakan

disana. Dapat diduga bahwa bukan hanya bagian padang rumput saja yang sekarang telah berganti wujud,

area hutan yang sebelumnya tampak mengelilingi kawasan itu juga mulai digunduli dan sebagian berganti

dengan tanaman hortikultura.

Padanglawas mudah dicapai dari kota Medan, berjarak 400 kilometer ditempuh dalam waktu 11 jam

dengan rute Medan - Tebing Tinggi - Pematang Siantar – Parapat - Balige- Tarutung – Sipirok - Gunung

Tua. Ini rute membelah Pulau Sumatera, menyusuri Danau Toba, dan punggung Pegunungan Bukit

Barisan. Rute lain berjarak 425 km adalah Medan - Tebing Tinggi – Kisaran – Rantauparapat - Kota

Page 3: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

3

Pinang - Gunung Tua. Perjalanan 10 jam melalui rute kedua lebih banyak menyusuri dataran rendah di

pesisir timur Sumatera. Adapun dari kota Padang di Sumatera Barat, rute Padang - Padang Panjang -

Bukit Tinggi - Lubuk Sikaping – Kotanopan - Padang Sidempuan - Gunung Tua, dapat ditempuh dalam

11 jam.

Penduduk Padanglawas adalah orang Batak sub sukubangsa Angkola dan Mandailing. Masyarakat di

daerah yang dahulu merupakan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan ini dapat dibagi atas empat daerah

kebudayaan ditinjau dari sudut adat maupun bahasa, walaupun tidak memperlihatkan perbedaan yang

sangat menonjol, masing-masing Angkola/Sipirok, Padanglawas, Mandailing dan pesisir. Masyarakat

mengungkapkan bahwa daerah kebudayaan Padanglawas meliputi wilayah Kecamatan Padang Bolak,

Barumun Tengah, Barumun, Sosa, dan Kecamatan Sosopan. Pusatnya dapat dikatakan adalah Gunung

Tua (di wilayah Kabupaten Padanglawas Utara) dan Sibuhuan (di wilayah Kabupaten Padanglawas).

Penduduk Padanglawas umumnya memeluk agama Islam. Mereka tinggal di perkampungan dengan

rumah-rumah kayu berkolong, dan mesjid melengkapi permukimannya. Listrik merata penggunaannya di

pemukiman penduduk. Di beberapa tempat dijumpai pesantren, termasuk pesantren khusus bagi mereka

yang berusia lanjut. Masyarakat yang menghuni kawasan Padanglawas itu dapat dikatakan tidak

mengenal monumen-monumen maupun artefak lain yang merupakan peninggalan budaya masa lalu di

sana, lebih dari sekedar ujud fisiknya. Melalui cerita turun temurun yang diperolehnya, disadari bahwa

mereka memang tidak memiliki hubungan genealogis dengan masyarakat pembangun dan pemakai biara-

biara tersebut. Ini dapat dikaitkan dengan keyakinan masyarakat bahwa saat kedatangan pendahulu-

pendahulu mereka ke kawasan ini dari daerah bagian utara, di tepi Danau Toba, sisa monument-

monument itu sudah ada.

Berbeda dengan di Jawa yang cenderung menyebutnya dengan candi, masyarakat Padanglawas menyebut

sisa kepurbakalaan disana dengan kata biara yang berasal dari bahasa Sansekarta, vihara yang aslinya

berarti serambi tempat para pendeta berkumpul atau berjalan-jalan. Kelak dalam bahasa Indonesia kata itu

menjadi biara atau wihara, yang artinya adalah tempat para biksu. Berkenaan dengan itu maka di sana

dikenal misalnya Biara Bahal dan Biara Sipamutung, yaitu peninggalan kuna yang dikesempatan ini

menjadi fokus pembicaraan.

Page 4: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

4

Dahulu kompleks Biara Bahal lebih dikenal sebagai Biara Portibi. Hal ini disebabkan peninggalan kuna

dimaksud berada di daerah Portibi, sebuah pusat perdagangan dan kekuasaan lokal jauh sebelum Belanda

menganeksasi Padanglawas. Nama Portibi demikian dikenal masyarakat pada masanya sehingga

penanaman atas kepurbakalaan di wilayah itu dikaitkan dengan keberadaan pusat tersebut. Kata portibi

sendiri berasal dari kata prthivi yang dalam bahasa Sansekerta berarti bumi (Mulia 1980:8). Ini

Page 5: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

5

mengingatkan kita pada kata Ibu Pertiwi dalam bahasa Indonesia kini untuk menyebut bumi persada

Indonesia. Memang dalam bahasa setempatpun, kata portibi berarti dunia bawah. Adapun penamaan

Biara Bahal oleh penduduk bagi kompleks percandian ini cukup menarik perhatian. Hal ini dikaitkan

dengan arti kata bahal yang dalam bahasa Melayu awal abad ke-20 adalah bersekutu atau bermufakat

dalam perkara jahat. Hingga kini, selain seperti yang disebut di atas, belum diperoleh keterangan lain

tentang arti kata itu.

Dalam sejarah pemerintahan daerah tersebut, sejak tahun 1867 Tapanuli merupakan sebuah keresidenan

dengan residen yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Keresidenan ini merupakan bagian dari

Provinsi Sumatera Barat. Selanjutnya sejak tahun 1906 Tapanuli dipisah dari Sumatera Barat. Adapun

keresidenan Tapanuli yang beribukota di Sibolga dibagi menjadi beberapa afdeling, di antaranya adalah

afdeling Padang Sidempuan. Daerah Padanglawas merupakan bagian daripadanya. Kelak sesudah

Indonesia merdeka, daerah ini menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan yang belakangan (dikenal

sebagai era otonomi di Indonesia) dimekarkan menjadi beberapa wilayah kabupaten, di antaranya adalah

wilayah Kabupaten Padanglawas dan Kabupaten Padanglawas Utara pada tahun 2007.

2. Biara Bahal dan Biara Sipamutung

Masyarakat Padanglawas menyebut kepurbakalaan yang berasal dari masa pengaruh Hindu-Buddha di

sana dengan kata biara,. Ini membedakannya dengan masyarakat di Jawa yang menyebut peninggalan

sejenis dengan kata candi, yang pengertian umumnya adalah penamaan bagi semua bangunan

peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia, baik berupa pemandian kuna, gapura atau gerbang

kuna, maupun bangunan suci keagamaan.

Lokasi kepurbakalaan di kawasan ini terbagi dalam dua wilayah administratif, masing-masing wilayah

Kabupaten Padanglawas (seperti Biara Tandihat, Biara Aek Sisangkilon, dan Biara Sipamutung) dan

Kabupaten Padanglawas Utara (di antaranya Biara Bahal, Biara Pulo, dan Biara Sitopayan). Sebelum

pemekaran di era otonomi, daerah dimaksud merupakan bagian wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

2.1. Kompleks Biara Bahal

Kepurbakalaan ini berada sekitar 15 kilometer di sebelah tenggara Kota Gunung Tua dan meliputi tiga

kelompok bangunan, yang masing-masing disebut Biara Bahal I, II, dan Biara Bahal III. Letaknya

berderet baratlaut – tenggara, masing-masing berada sekitar 50 -- 250 meter dari tebing timurlaut ruas

Sungai Batang Pane di wilayah Desa Bahal, Kecamatan Padangbolak, Kabupaten Padanglawas Utara.

Biara-biara yang semua telah dipugar itu menghadap ke arah tenggara. Komponen bangunan yang

melengkapi masing-masing kelompok berupa bangunan induk, bangunan penyerta/perwara, pagar

keliling, dan gapura.

Biara Bahal I menempati lahan yang melandai kearah tenggara yang dipenuhi kebun penduduk. Disebelah

selatan, pada jarak sekitar 75 meter mengalir Sungai Batangpane. Ini adalah biara yang paling besar

dikelompoknya. Kemudian sekitar 600 meter di sebelah tenggaranya adalah lokasi Biara Bahal II. Lahan

yang ditempatinya datar dengan persawahan disekelilingnya. Selanjutnya, sekitar 450 meter di sebelah

Page 6: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

6

timur Biara Bahal II adalah kelompok Biara Bahal III. Seperti halnya Biara Bahal II, areal

disekelilingnya berupa persawahan.

a. Biara Bahal I

Biara Bahal I merupakan kelompok bangunan kuna dibatasi pagar keliling seluas 57 meter x 49 meter

dengan gapura di sisi timur/tenggara. Tangga masuk di sisi kanan dan kiri gapura, sedangkan tangga turun

di bagian dalam berada di tengah. Tinggi pagar 1,3 meter dengan tebal 1 meter. Arah hadapnya ke

tenggara. Bangunan induk di kelompok bangunan di ujung baratlaut ini berdiri di atas batur berdenah

bujursangkar.

Biara Bahal I

Di bagian luar pipi tangga masuknya terdapat panil bergambarkan yaksa (raksasa) dalam posisi menari

dan membawa mangkuk di tangan kanan dan pisau di tangan kiri (namun ada pula tangan kiri

digambarkan dalam sikap tarjanimudra, yakni sikap tangan dengan jari telunjuk ke atas). Kelompok

biara dilengkapi tiga bangunan penyerta/perwara dan sebuah gapura. Semua berada dalam areal berpagar

keliling berbahan bata setebal satu meter.

Relief pada dinding Biara Bahal I

Page 7: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

7

Relief menggambarkan tokoh raksasa sedang menari di Biara Bahal I

Komponen bangunan Biara Bahal I meliputi bangunan induk, bangunan perwara, dan gapura. Bangunan

induk adalah bagian paling utama suatu kompleks peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha. Di Indonesia

umumnya candi/biara atau peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha tidak berdiri sendiri, artinya

merupakan suatu kelompok yang terdiri atas beberapa bangunan yang dibatasi/dikeliling pagar halaman.

Pusatnya yang disebut bangunan induk dikenal antara lain dari ukurannya yang paling besar, tinggi, atau

megah; berisikan arca dewa tertinggi; atau letaknya yang di bagian tengah. Adapun bangunan perwara

adalah bangunan yang lebih kecil dari bangunan induk, yang berfungsi sebagai pengiring sekaligus

pelengkap kompleks bangunan peninggalan masa pengaruh Hindu-Buddha.

Biara Bahal I di lihat dari arah samping/baratlaut

Bangunan induk Biara Bahal I terbagi atas bagian kaki, badan, dan bagian atap, berada di atas batur

bujur sangkar 10 meter x 10 meter setinggi 2,5 meter. Tangga naiknya di tenggara. Di bagian luar pipi

tangga ada 3 panil relief menggambarkan yaksa (makhluk kayangan penjaga kekayaan dan kesuburan

alam) yang sedang menari. Pada dinding depan batur terdapat relief singa, demikian pula di dinding

belakang. Makara di bagian depan tangga berbahan tufaan. Pada mulut makara digambarkan prajurit

membawa pedang dan perisai yang mengenakan mahkota kerucut (jatamakuta) dan berkalungkan untaian

mutiara.

Page 8: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

8

Sepasang makara di pintu masuk bangunan induk Biara Bahal I

Kaki biara berukuran 7,3 meter x 7,3 meter setinggi 1,75 meter. Badan biara berdenah bujur sangkar

berukuran 5 meter x 5 meter di bagian bawah dan di bagian atas berukuran 6 meter x 6 meter. Di bagian

badan bangunan ini ada ruangan. Di bagian pintu masuk ada ruang penampil yang kiri-kanannya

dilengkapi sepasang arca dwarapala. Bagian atap berbentuk stupa yang diletakkan di atas lapik (asana)

berprofil sisi genta (ojief), bingkai persegi, dan setengah bulatan. Hingga batas atap yang dapat dipugar,

tinggi keseluruhan biara induk 14 meter.

Bangunan perwara A di sebelah tenggara bangunan induk berdenah segi empat 6 meter x 9,3 meter dan

tinggi tersisa 1,2 meter. Bangunan ini kemungkinan sebuah altar yang bagian atasnya berstruktur kayu.

Kemudian bangunan perwara B di sebelah timurlaut, berdenah bujur sangkar 4 meter x 4 meter setinggi

0,6 meter dengan tangga masuk di bagian tenggara. Selanjutnya bangunan perwara C di baratdaya

berukuran 4,65 meter x 4,65 meter setinggi 0,75 meter. Bagian badan bangunan membentuk lingkaran

seperti altar berdiameter lingkaran terbawah 2 meter dan bagian tengah 1,5 meter. Berikutnya bangunan

perwara D yang hanya berjarak 2 (dua) meter di sebelah baratdaya bangunan perwara C. Ukurannya

hanya 4 meter x 4 meter dan tinggi 0,7 meter.

b. Biara Bahal II

Biara Bahal II terdiri atas bangunan induk dan dua bangunan penyerta/perwara. Di tempat inilah dijumpai

arca Heruka dalam kondisi pecah. Sangat disayangkan, sejak tahun 1975, arca tersebut sudah tidak ada

lagi. Kelompok biara ini memiliki pagar keliling 60 meter x 50 meter setinggi 1,2 meter dengan tebal 1

meter. Sisa gapura pada sisi timur pagar keliling berukuran tinggi 1,5 meter.

Page 9: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

9

Biara Bahal II

Bangunan induk kelompok biara ini menghadap ke arah tenggara. Bangunan biara yang didirikan di atas

batur ini lebih tambun dibandingkan dengan bangunan induk kelompok Biara Bahal I. Denah baturnya

bujur sangkar 10,5 meter x 10,5 meter setinggi 1,7 meter. Tangga naik selebar 0,75 meter terletak di sisi

timur. Ujung tangga berhiaskan sepasang makara. Kaki bangunan berdenah 5,5 meter x 5,5 meter dengan

tinggi 1,1 meter. Tangga masuk pada kaki bangunan lebarnya 1,1 meter. Badan bangunannya memiliki

tiga penampil semu, masing-masing di sisi selatan, barat, dan utara. Dinding badan bangunan polos

setinggi 2,4 meter. Pintu masuk di tenggara, ruang utama bangunan induk kosong, demikian pula

dindingnya. Bagian atap bangunan induk tingginya sekitar 3 meter yang menjadi tiga bagian, masing-

masing bagian dasar berdenah delapan (octagonal). Bidang polos ini memiliki tiga relung pada setiap

sisinya. Kemudian bidang berdenah segi empat, dan yang ketiga adalah bidang berdenah segi delapan.

Pada bagian teratas terdapat 4 buah relung yang masing-masing terletak di sisi selatan, barat, dan utara.

Biara Bahal II dari arah timur

Bangunan perwara A berada di bagian depan bangunan induk, berdenah bujur sangkar 9 meter x 9

meter setinggi 80 cm. Lantai bangunan rata. Kemudian bangunan perwara B berada di timurlaut

bangunan induk. Denahnya segi empat 7 meter x 4,6 meter setinggi 1,95 meter. Arah hadapnya ke

tenggara. Selain itu masih dijumpai sisa struktur bata yang tampaknya dari dua buah bangunan lama.

c. Biara Bahal III

Page 10: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

10

Kelompok Biara Bahal III memiliki pagar keliling bergapura di sisi timur. Pagar keliling setinggi 1 meter

itu berukuran 42 meter x 35 meter. Selain bangunan induk, juga terdapat sebuah bangunan

penyerta/perwara. Dahulu sebuah arca Vairocana berbahan perunggu ditemukan di tempat ini.

Biara Bahal III

Bangunan induk Biara Bahal III berukuran 15 meter x 8,5 meter dengan tinggi 14 meter. Bangunan ini

menempati batur setinggi 1,8 meter. Bagian atapnya merupakan bidang persegi empat yang bertumpuk

sebanyak tiga buah dan semakin mengecil ke atas. Bagian atap polos.

Biara Bahal III

Selanjutnya adalah bangunan perwara yang terletak 3 meter di depan/tenggara bangunan induk.

Denahnya persegi empat 7 meter x 6 meter setinggi 1,3 meter.

2.2. Kompleks Biara Sipamutung

Kompleks kepurbakalaan ini berada di wilayah Desa Siparau, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten

Padanglawas. Letaknya sekitar 3 (tiga) kilometer dari Binanga, ibukota Kecamatan Barumun Tengah.

Arealnya berada di antara 3 (tiga) wilayah desa, yakni Desa Siparau Lama, Siparau Baru, dan Desa

Siharbogoan, diapit dua sungai, yakni Sungai Batangpane yang berada 600 meter di sebelah barat dan

Page 11: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

11

Sungai Barumun sekitar 100 meter di sebelah selatan. Kedua sungai itu bertemu di sebelah utara yang

selanjutnya membentuk Sungai Barumun.

Di bagian selatan pertemuan atau tempuran Sungai Barumun - yang mengalir dari arah selatan – dengan

Sungai Batangpane - yang mengalir dari arah barat - dijumpai lingkungan benteng tanah yang

membatasi areal seluas lebih 20 hektar. Sebagian besar benteng tanah – yang dalam bahasa setempat

disebut buttu-buttu – berupa gundukan tanah setinggi 0,5 meter hingga 2 meter dengan lebar sekitar 5

meter. Di beberapa bagian masih memperlihatkan adanya rumpun bamboo di atas gundukan. Gundukan

tanah itu sekaligus juga membentuk bidangan-bidangan, yang untuk memudahkan diberi nama secara

alfabetis.

Bidangan A di sudut baratdaya membentuk denah segitiga. Beberapa fragmen keramik dari bidangan ini

diketahui berasal dari masa dinasti Song abad ke-12 dan ke-13 serta Song-Yuan abad ke-13 (Susilowati et

al 2000,19). Belum diperoleh data yang cukup untuk mengetahui fungsi bidangan ini.

Bidangan B menempati bagian sebelah selatan areal dimaksud, dan kelompok Biara Sipamutung

menempati bagian tengahnya. Bidangan ini jelas berkaitan dengan aspek-aspek keagamaan mengingat

fungsi Biara Sipamutung sebagai tempat pemujaan. Adapun fungsi benteng tanah lebih pada menjaga

kesucian areal pemujaan (Koestoro, Susilowati & Wiradnyana 2012, 25-26).

Page 12: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

12

Bidangan B merupakan pusat kompleks Biara Sipamutung, terdapat komponen bangunan berupa

bangunan induk dan bangunan perwara atau penyerta. Bangunan induk berarah hadap timur diapit

bangunan lain di kiri-kanan dan depannya. Seluruh bangunan di halaman pusat Biara Sipamutung ini

berada dalam lingkungan pagar keliling berdenah persegi panjang yang dilengkapi gapura di sisi timur

(Setianingsih 2001; Suhartono 2001).

Biara Sipamutung

Bangunan induk Biara Sipamutung selesai dipugar tahun 1998. Denah bangunan bata ini bujursangkar

berukuran 11 meter x 11 meter, tinggi 14 meter. Dari permukaan tanah, bangunan ini terdiri dari 247 lapis

bata. Pola ikatan bata berselang-seling lebar panjang dengan menggunakan spesi adonan bata. Ada 2

(dua) kaki bangunan biaro. Kaki pertama berdenah bujursangkar 11 m x 11 m setinggi 3,1 m Umumnya

perbingkaian yang digunakan adalah pelipit rata, pelipit sisi genta, dan pelipit padma. Lantai dan tangga

berada di sebelah timur. Lebar tangga 2,12 m dan kedua ujung bawah tangga masing-masing dilengkapi

makara berbahan batuan tufaan. Lebar lantai kaki pertama 6,04 m yang berada pada lapis ke-65. Di

bagian pinggir sisi utara, selatan, barat, dan sebagian sisi timur terdapat pagar langkan berupa susunan

bata yang dibentuk seperti buah catur.

Kaki kedua biara induk berdenah bujur sangkar 8,2 meter x 8,2 meter setinggi 1,4 meter yang terdiri atas

25 lapis batu. Perbingkaiannya adalah pelipit rata, padma, dan pelipit sisi genta. Lebar tangga naik di sisi

timur 1,54 meter. Jarak dinding kaki kedua dengan pagar langkan di kaki pertama 73 cm yang digunakan

sebagai jalan untuk mengelilingi bangunan (pradaksina dan prasawya).

Tubuh bangunan biara berdenah bujur sangkar 5,72 meter x 5,72 meter setinggi 4,6 meter. Dinding tubuh

bangunan terbagi menjadi panel-panel di sisi utara, selatan, dan barat. Perbingkaiannya adalah pelipit rata

dan sisi genta. Tangga di sisi timur selebar 1,38 meter. Pintu masuk dilengkapi penampil di kanan-kiri.

Ruang/bilik di tubuh bangunan biara seluas 2,58 meter x 2,58 meter.

Page 13: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

13

Bangunan induk Biara Sipamutung

Atap bangunan induk bertingkat 2 (dua) berbentuk segi empat. Tingkat pertama berukuran 4,76 meter x

4,74 meter dan dikelilingi 16 stupa yang masing-masing berukuran 76 cm x 76 cm. Adapun tingkat

kedua yang berada di atas tingkat pertama berukuran 2,38 meter x 2,36 meter. Di tingkat kedua ini

terdapat lubang persegi 16 cm x 16 cm, diduga tempat kedudukan kemuncak atap yang kemungkinan

berbahan batuan tufaan. Seperti di tingkat pertama, atap tingkat kedua juga dikelilingi 12 buah stupa yang

masing-masing berukuran 62 cm x 86 cm.

Pagar keliling bangunan Biara Sipamutung juga menggunakan bata. Ukuran pagar keliling 66 meter x

50,22 meter setinggi 1,1 meter. Tebal pagar keliling 94 cm. Di sudut baratlaut, pada bagian bawah pagar

keliling itu ada lubang persegi empat 16 cm x 16 cm yang diperkirakan merupakan lubang pembuangan

air (drainase). Adapun gapura terdapat di sebelah timur bangunan induk. Ukurannya 8 meter x 5,5 meter

setinggi 4 meter.

Temuan lepas di kompleks Biara Sipamutung berupa arca Amitabha, juga arca yaksa, fragmen stambha,

serta relief seorang wanita yang digambarkan dengan wajah seram, kedua alis bertemu, mata melotot,

bertaring, dan dalam sikap tangan anjalimudra. Dua arca yaksa di sana digambarkan berukuran besar

namun bagian kepalanya telah hilang. Yaksa bertangan dua itu berada dalam posisi berdiri, memakai

kalung ganda, tali kasta berupa ular, tangan kanan memegang gada, dan tangan kiri di depan perut dalam

sikap tarjanimudra. Arca yaksa digambarkan mengenakan kain motif ceplok bunga sampai batas lutut

atas (dhoti) dengan wiron di bagian depan dan belakang, dan dilengkapi gelang kaki berupa ular

(Setianingsih 2001,94).

Kemudian Bidangan C, bagian yang menempati bagian utara areal ini membentuk denah hampir empat

persegi panjang. Temuan keramiknya berasal dari dinasti Song abad ke-10 hingga ke-13 dan Song-Yuan

abad ke13 (Susilowati et al 2000,19--20). Tampaknya ini areal yang disiapkan untuk aktivitas profane.

Mungkin juga terkait dengan hunian penyelenggara aktivitas keagamaan.

Selanjutnya Bidangan D di bagian timurlaut areal, ujung utara gundukan/benteng tanahnya berakhir di

tebing barat Sungai Barumun yang mengalir ke arah utara. Fragmen keramik yang didijumpai di lokasi

berasal dari masa dinasti Song abad ke-10 hingga ke-13, Song-Yuan abad ke-13, dan masa dinasti Yuan

abad ke-13. Diduga bahwa aktivitas perekonomian di lingkungan benteng ini terdapat di bidangan ini

(Susilowati et al 2000,19).

Page 14: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

14

3. Penemuan kembali dan sejarah kawasan Padang Lawas

Di pertengahan abad ke-19, pihak Belanda dapat menaklukkan wilayah Padanglawas. Adapun aneksasi

terhadap daerah Portibi dilakukan pada tahun 1837. Selanjutnya untuk mengetahui lebih banyak lagi

mengenai daerah-daerah yang baru ditaklukkannya, maka pihak Belanda, dalam hal ini pemerintah Hindia

Belanda mengutus Franz Junghun, seorang ahli geologi untuk melakukan eksplorasi. Tahun 1846 ia

berkesempatan mengenali daerah Padanglawas yang lama terlupakan (Koestoro et al 2001, 10).

Walaupun tidak mendalam, namun laporan yang dibuatnya telah memunculkan rasa keingintahuan bagi

orang lain. Tidak mengherankan bila sepuluh tahun kemudian, seorang penjelajah berkunjung ke

Padanglawas. Penjelajahan Rosenberg itu menghasilkan sejumlah temuan artefaktual, di antaranya arca

Buddha, yang kelak dikirim ke museum di Batavia (yang kelak menjadi Museum Nasional di Jakarta).

Perhatian atas Padanglawas terus berlanjut hinggga pada tahun 1887 controuler bernama Kerchoff

menerbitkan hasil pengamatannya atas situs-situs yang terdapat disana. Kemudian pada tahun 1901 dan

1902 residen Tapanuli juga menyusun sebuah daftar temuan dari situs-situs itu, yang sayangnya tidak

diterbitkan.

Selanjutnya eksplorasi atas situs-situs di sana terhenti cukup lama, hingga pada tahun 1920 Dr. P.V. van

Stein Callenfels melakukan pengamatan dan segera menyadari arti pentingnya bagi ilmu pengetahuan.

Laporannya mengenai situs ini segera ditindaklanjuti oleh Dinas Purbakala waktu itu melalui ekskavasi,

yang kemudian juga terhenti karena ketiadaan dana.

Kelak pada tahun 1935 Schnitger datang ke Padang Lawas. Kunjungan dan ekskavasi di beberapa biara di

sana menghasilkan fieldnotes yang disertai gambar ilustrasi monumen. Ia memberi penamaan terhadap

beberapa biara berdasarkan keterangan masyarakat setempat, yakni Biara Bahal I, Bahal II, Biara Pulo,

Sipamutung, Aek Sangkilon, dan Biara Joreng Belangah, dan Biara Pulo. Catatan lain adalah tentang

arca, stupa, beberapa prasasti, bagian-bagian candi, dan bagian dasar yang disebut pendopo (Koestoro et

al 2001, 11).

Kemudian setelah Indonesia merdeka, tim Dinas Purbakala di bawah pimpinan Satyawati Suleiman

mengadakan survei pada tahun 1952. Selanjutnya selama tahun 1954--1956 tim teknis dari lembaga

tersebut melakukan ekskavasi bagi kepentingan penelitian dan upaya-upaya penyelamatan. Ketika itu

dilakukan perkuatan-perkuatan (konsolidasi) terhadap beberapa bagian struktur biara untuk mencegah

kerusakan yang lebih parah. Pada periode inilah sebutan candi dikenalkan atas objek-objek di sana karena

pelaksana upaya-upaya penyelamatan yang dilakukan oleh tim teknis berasal dari cabang Dinas Purbakala

Prambanan. Selanjutnya pada tahun 1973 dibentuk sebuah tim gabungan peneliti dari lingkungan

Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional yang bekerjasama dengan Pennsylvania University,

Amerika untuk melakukan pengamatan situs-situs di Sumatera (Koestoro et al 2001, 11).

Selanjutnya pada tahun 1983 mulai dilakukan kegiatan-kegiatan pemugaran/restorasi atas Biara Bahal I

dan Biara Bahal II. Demikian pula pemugaran atas Biaro Bahal III, yang kemudian diikuti dengan

kegiatan sejenis atas kompleks Biara Sipamutung yang masih berlangsung hingga kini. Dan tahun 2016

juga mulai dilaksanakan upaya pemugaran Candi Tandihat.

Page 15: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

15

Terkait upaya mengungkap perjalanan sejarah kawasan Padanglawas yang ramai tinggalan budaya itu,

sudah sejak lama dilakukan penelitian. Pada garis besarnya, muncul pendapat bahwa keberadaan objek-

objek tersebut berkenaan dengan keberadaan Kerajaan Panai (Schnitger 1936; Suleiman 1976). Dalam

prasasti Tanjore berangka tahun 1030, yang ditulis dalam bahasa Tamil dan dibuat atas perintah Rajendra

I (Rajendra Uttama Cola atau Coladewa) disebutkan tentang keberhasilan Raja menaklukkan Kerajaan

Sriwijaya dan kerajaan lainnya, termasuk Kerajaan Pannai yang dikelilingi banyak sungai (Suleiman

1985, 23).

Adapun kitab Negarakrtagama, yakni naskah kuna tentang Kerajaan Majapahit yang ditulis oleh Mpu

Prapanca pada tahun 1365 merupakan sumber lain yang menyebutkan tentang Kerajaan Pannai. Dalam

salah satu bagiannya disampaikan bahwa Kerajaan Panai yang terletak di Bhumi Malayu (Suleiman 1983,

4) termasuk salah satu kerajaan bawahan Majapahit (Mulia 1980,4).

Kemudian mengacu pada prasasti-prasasti yang ditemukan di sana, yakni prasasti Sijorengbelangah

(1179), Sitopayan (1235), dan prasasti Porlak Dolok (1213), Satyawati Suleiman (1983) dan Machi

Suhadi (1993/1994) memperkirakan bahwa peninggalan-peninggalan di Padanglawas berasal dari abad

ke-11--14. Adapun tentang agama yang melatarbelakangi pendirian bangunan-bangunan tersebut,

Schnitger pada tahun 1936 menyebutkan Buddha Tantris.

Kemudian berdasarkan sumber tertulis lain diketahui bahwa pada tahun 1024 daerah Padanglawas,

sebagai salah satu wilayah Kerajaan Sriwijaya, berada di bawah pengaruh penguasa daerah India Selatan

yaitu Rajendra Choladewa. Riwayat Padanglawas memang dapat dikatakan tak pernah lepas dari

pengaruh kekuatan-kekuatan luar. Hal yang sama, yakni penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terjadi

lagi pada akhir abad ke-13 ketika Kertanegara dengan Ekspedisi Pamalayu-nya masuk ke daerah ini.

Kemudian pada sekitar abad pertengahan abad ke-14 kembali wilayah Padanglawas berganti penguasa,

kali ini oleh keturunan Rajasa lainnya yakni Hayam Wuruk yang mendukung upaya Mahapatih-nya,

Gajah Mada, untuk meluaskan mandala-nya hingga menjangkau seluruh Nusantara. Namun selanjutnya

sejarah daerah ini seolah-olah terlupakan sejak kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara pada akhir abad

ke-16.

Demikianlah kawasan Padanglawas, termasuk didalamnya kompleks Biara Bahal dan Biara Sipamutung

merupakan salah satu kawasan dengan peninggalan masa pengaruh Hindu-Buddha di Sumatera. Oleh

beberapa ahli arkeologi, sisa karya budaya itu dihubungkan dengan eksistensi kerajaan berpengaruh di

wilayah Asia Tenggara antara abad ke-7 sampai dengan abad ke-11, yakni Kerajaan Sriwijaya.

PENUTUP

Berkenaan dengan peninggalan purbakala di sana, beberapa hal dapat dikemukakan. Pertama bahwa

beberapa ketentuan yang dikenal dalam tradisi pembangunan Hindu-Buddha terlihat pada peninggalan di

kawasan Padanglawas, yakni karya-karya arsitektural abad ke-11 hingga abad ke-14 yang berdiri di

sepanjang aliran Sungai Barumun (Sungai Sirunambe dan Sungai Batangpane adalah anak-anak

sungainya). Ketentuan dimaksud di antaranya adalah: bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air

(tirtha), baik air di sungai (terutama di sekitar pertemuan/tempuran dua sungai), danau atau laut, dan bila

Page 16: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

16

perlu dibuatkan kolam di halaman bangunan suci yang dibangun. Adapun tempat lain yang baik bagi

pendirian bangunan suci adalah puncak bukit, lereng gunung, dalam hutan, atau di lembah (Kramrisch

1946, 3--7 dalam Setianingsih & Hartini 2002, 17). Di Jawa, posisi demikian, seperti Biara Sipamutung

yang didirikan di pertemuan Sungai Batangpane dan Sungai Barumun, sangat nyata pada bangunan Candi

Borobudur di dekat pertemuan Sungai Opak dan Sungai Progo.

Dari sisi praktis, pilihan lokasi pembangunan tempat suci di sepanjang aliran sungai tentu berkenaan

dengan aksesibilitas. Saat itu sungai merupakan jalur transportasi utama. Sumber lama berupa prasasti

yang ditemukan di Batu Gana (di wilayah Kabupaten Padanglawas Utara, dan merupakan daerah bagian

hulu Sungai Batangpane) menyebutkan kata-kata yang berkenaan dengan sungai, transportasi, dan

tempat-tempat yang dituju. Kata-kata parahu, pahilira, dan mahilira, batu gana, dan padang … (kata

selanjutnya tidak terbaca), jelas menginformasikan tentang perahu yang menyinggahi tempat-tempat di

sepanjang jalur pelayaran sungai (Setianingsih & Hartini 2002, 18). Terkait dengan itu, menyangkut

ikhwal perdagangan yang memanfaatkan jalur sungai hingga ke Selat Malaka, perlu direncanakan

penelitian arkeologis di daerah Batugana (mewakili bagian hulu) dan di daerah muara Sungai Barumun,

di pesisir Selat Malaka di wilayah Kabupaten Labuhanbatu Utara yang mewakili bagian hilir Sungai

Barumun. Ini juga bagian dari sebuah penelitian arkeologi maritim terkait pesisir timur Pulau Sumatera.

Penyebutan biara oleh masyarakat setempat bagi semua sisa bangunan monumental di Padanglawas,

tidak harus berarti bahwa fungsinya dahulu semua adalah biara atau wihara, yang berarti tempat tinggal

pendeta/rohaniawan pada lingkungan kompleks keagamaan. Di sana dijumpai objek-objek lain berkenaan

dengan pemujaan, yang mengindikasikan kemungkinan adanya bangunan-bangunan tempat beribadah.

Juga tempat tinggal/sarana lain bagi penyelenggara ritual keagamaan.

Ditemukannya arca Vairocana dan Amitabha memberikan bukti yang menguatkan pandangan bahwa

agama Buddha Mahayana telah berkembang di Padang Lawas dahulu. Keduanya menggambarkan

ketokohan yang dianggap sebagai dhyanibodhisatwa yang dapat menolong manusia lain untuk mencapai

kebuddhaan dan nirwana, dianggap suci, dan lepas dari samsara. Adapun keberadan arca Bhairawa dan

Heruka, maupun arca-arca lain yang menunjukkan keraksasaan menggambarkan keberadaan agama

Buddha Mahayana aliran Vajrayana, yang mengajarkan bahwa penganutnya dapat mencapai kelepasan

(moksa) juga dengan menjalankan praktek-praktek sihir, semadi (yoga), dan mengucapkan mantra

(Setianingsih 2001, 100).

Pada sisi kronologis, keberadaan peninggalan kepurbakalaan di Padanglawas dan institusi kekuasaan yang

memungkinkan pendiriannya dahulu tentu tidak lepas dari peralihan hegemoni kekuasaan terdahulu di

belahan barat Indonesia. Itu berhubungan dengan keberadaan Sriwijaya sebagai institusi kekuasaan yang

cukup kuat selama jangka waktu yang cukup panjang. Melalui beberapa sumber diketahui bahwa

sementara Sriwijaya tetap sebagai pelabuhan yang dominan di Selat Malaka, orang Batak membuat rute

untuk kapur barus dan kemenyan dari baratlaut dan tenggara Danau Toba ke arah selatan, yakni ke

Padanglawas (Andaya 2002, 407).

Lepas dari siapa dan dalam bentuk apa kekuasaan itu ada di Padanglawas, dari abad ke-8 sampai abad

ke-14 orang Batak mengambil keuntungan dari pelayaran internasional ini dengan mengikut rute ini dan

menempatkannya sebagai pusat ekspor. Mulai abad ke-15 migrasi orang Batak disebabkan besarnya

permintaan akan beras dan lada yang berkembang di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Adanya

permintaan pasar yang layak dipenuhi bagi peraihan keuntungan, mendorong terjadinya migrasi dari Toba

Page 17: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

17

di utara, ke sebelah selatan dan timur untuk mencari tanah persawahan dan membuka permukiman baru

(Andaya 2002,403--404).

Saran

Pelindungan atas situs-situs di kawasan budaya Padanglawas dirasakan sangat mendesak. Sebagian besar

areal situs-situs di sana mulai dirambah oleh aktivitas penanaman kelapa sawit. Ini harus segera diatasi

mengingat pada situs-situs dimaksud terkubur banyak sisa reruntuhan monumen-monumen kuna yang

masih belum diteliti secara intensif. Aktivitas pelindungan situs-situs itu harus juga didahului dengan

penelitian, yang hasilnya akan bermanfaat tidak saja bagi ilmu pengetahuan namun juga berguna bagi

kepentingan lain. Selain itu, upaya pengembangan dan pemanfaatan atas situs dan objek masa klasik

Indonesia di kawasan Padanglawas harus dipercepat pelaksanaannya. Upaya memperbesar kesejahteraan

masyarakat sangat ditunggu kehadirannya, dan arkeologi harus mampu memberi kontribusi di dalamnya.

Kepustakaan

Andaya, Leonard Y, 2002. The Trans-Sumatera trade and the etnicization of the Batak, dalam Bijdragen

tot de Taal, Land en Volkenkunde (BKI) 158-3/2002. Leiden: Koninklijk Instituut Voor Taal,

Land En Volkenkunde (KITLV), hal. 367--409

Koestoro, Lucas Partanda et al., 2001. Biaro Bahal, Selayang Pandang. Medan: MAPARASU

Koestoro, Lucas Partanda, Nenggih Susilowati & Ketut Wiradnyana, 2012. Pemetaan Benteng dan Biara

Sipamutung di Kawasan Padanglawas, Sumatera Utara, dalam Berita Penelitian Arkeologi No.

27. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal. 1--31

Mulia, Rumbi, 1980. The Ancient Kingdom of Panai and the Ruins of Padang Lawas (North Sumatra),

dalam Bulletin of the National Research Centre of Archaeology of Indonesia, Number 14.

Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Schnitger, FM, 1936. Oudheidkundige Vondsten in Padang Lawas. Leiden: EJ Brill

Setianingsih, Rita Margaretha, 2001. Vairocana dan Amitabha, Emanasi Buddha Di PadangLawas,

Sumatera Utara, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 09. Medan: Balai Arkeologi

Medan, hal. 91--100

Setianingsih, Rita Margaretha & Sri Hartini, 2002. Prasasti Koleksi Museum Negeri Provinsi

Sumatera Utara. Medan: Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara

Simanjuntak, Truman eds., 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Arkeologi Nasional

Suhartono, Yudi, 2001. Candi Si Pamutung, Arsitektur Masa Kerajaan Pannai, dalam Berkala

Arkeologi Sangkhakala No. 09. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal. 107--117

Sulaiman, Satyawati, 1976. Survai Sumatra Utara, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 4. Jakarta:

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Page 18: BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN

18

---------------, 1985. Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas, dalam Amerta No. 2.

Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 23--37

Susilowati, Nenggih, Ketut Wiradnyana & Lucas Partanda Koestoro, 2000, Laporan Penelitian

Arkeologi. Penelitian Arkeologi Di Tempuran Sungai Barumun dan Batang Pane

Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan

(tidak diterbitkan)

Susilowati, Nenggih, 2001. Benteng Tanah, Bidangan, dan Penataan Ruang di Kompleks Kepurbakalaan

Si Pamutung, Padang Lawas, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 9. Medan: Balai

Arkeologi Medan, hal. 68--81

Utomo, Bambang Budi & M Fadhlan S Intan, 1998. Padang Lawas, Barus dan Kota Cina: Sebuah

Analisis Pendahuluan Kajian Wilayah di Sumatera Utara, dalam Evaluasi Hasil Penelitian

Arkeologi 1998 di Cipayung, Jawa Barat