Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BIARA BAHAL DAN BIARA SIPAMUTUNG, PENINGGALAN KEPURBAKALAAN MASA
KLASIK INDONESIA DI KAWASAN PADANGLAWAS, SUMATERA UTARA.
Oleh: Lucas Partanda Koestoro (Balai Arkeologi Sumatera Utara)
Abstrak
Di kawasan Padanglawas, Sumatera Utara banyak peninggalan dari masa klasik Indonesia. Dua di antaranya
adalah Biara Bahal dan Biara Sipamutung. Penelitian tentang keberadaannya telah dilakukan sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda dan pada masa sesudah kemerdekaan Indonesia. Kemudian, penelitian dilakukan
lebih intensif sebagai upaya pemugaran dan pelestarian objek kepurbakalaan di kawasan ini. Hasilnya
memperlihatkan pengenalan akan masa pendirian dan penggunaannya, latar belakang keagamaan yang
melatarbelakangi pembangunannya, serta kaitannya dengan aktivitas perdagangan yang memanfaatkan aliran
sungai yang bermuara ke Selat Malaka.
Kata kunci: kawasan Padanglawas, biara, Sungai Barumun
PENDAHULUAN
Kawasan Padanglawas menempati areal luas di wilayah Kabupaten Padanglawas dan Kabupaten
Padanglawas Utara, Provinsi Sumatera Utara. Kawasan ini berbatasan langsung dengan wilayah
Kabupaten Labuhanbatu (Provinsi Sumatera Utara) di sebelah utara, Provinsi Riau di sebelah timur,
Provinsi Sumatera Barat di sebelah selatan, dan wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Provinsi Sumatera
Utara) di sebelah barat. Sungai Batang Pane dan Sungai Sirunambe yang berhulu di bagian barat serta
Sungai Barumun yang berhulu agak di bagian selatan, mengalir ke bagian tengah kawasan ini, bersatu di
Binanga (di wilayah Kabupaten Padanglawas) untuk selanjutnya mengalir sebagai Sungai Barumun ke
arah timurlaut, dan bermuara ke Selat Malaka di pesisir timur Pulau Sumatera.
Peninggalan karya arsitektur berupa biara di sepanjang daerah aliran sungai, umumnya sudah dalam
keadaan rusak atau runtuh. Itu berkenaan dengan, misalnya, Biara Pulo, Sitopayan, Bara, dan Biara Aek
Sisangkilon. Adapun yang sudah dan sedang dipugar adalah Biara Bahal dan Biara Sipamutung.
Kelengkapan karya arsitektural yang begitu megah pada masanya itu berupa arca-arca berbahan baik
batuan maupun logam. Arca Heruka, arca Bhairawa, dan arca Vairocana, serta arca Amitabha adalah
sebagian di antaranya. Demikian pula dengan prasasti dan objek artefaktual lainnya, yang keberadaannya
membantu upaya pengenalan aspek-aspek kehidupan masa lalu di sana. Itu meliputi kronologi pendirian
dan penggunaan karya-karya monumental dan kelengkapannya, juga kondisi masyarakat, begitupun
dengan pengenalan akan latar belakang keagamaannya.
Penelitian terdahulu terhadap biara-biara Padanglawas cenderung hanya pada aspek arsitektural,
sementara perhatian terhadap aspek lain seperti lingkungan dan penanganan objek lain berhubungan
2
dengan keberadaan monumen-monumen itu belum mendapat perhatian yang memadai. Belakangan,
sejak 1999, Balai Arkeologi Medan melakukan penelitian terkait aspek lingkungan pada situs Biaro
Sipamutung di tempuran/pertemuan Sungai Barumun dan Sungai Batang Pane. Juga penelitian berkaitan
dengan prasasti-prasasti kawasan Padanglawas pada tahun 2003. Kelak Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional juga melaksanakan aktivitas arkeologis di Padanglawas, dengan penekanan pada aspek
keruangan, perdagangan dan permukiman (Utomo & Intan 1998). Belakangan, kegiatan penelitian
diperbesar intensitasnya bekerjasama dengan pihak EFEO, Perancis.
Mengacu akan hal-hal tersebut di atas, maka dalam kesempatan ini tujuan yang ingin dicapai adalah
pengenalan dan pemahaman akan masa pendirian dan penggunaannya, kemudian latar belakang
keagamaan yang melatarbelakangi pembangunannya, serta kaitannya dengan aktivitas perdagangan
kawasan itu yang memanfaatkan aliran sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Semua dilakukan dalam
upaya merekonstruksi sejarah kebudayaan Padanglawas sebagai bagian reposisi historiografi Indonesia.
Ini merupakan sebuah penelitian deskriptif yang akan memberikan gambaran tentang data arkeologi yang
ada baik dalam kerangka ruang, bentuk, maupun waktu. Dan mengingat sifat data arkeologis yang
dimilikinya, maka diberlakukan pendekatan kualitatif dengan membahasnya dari segi perbandingan
kualitatif di antara sesamanya, serta kesesuaian atau penyimpangannya (Simanjuntak eds. 2008,10).
Untuk mencapai itu semua maka metode pengumpulan datanya dilakukan melalui survei dan ekskavasi
yang dilanjutkan dengan analisis artefak, arsitektur, maupun analisis ikonografi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Padanglawas dan lingkungannya
Kawasan Padanglawas merupakan bagian dataran rendah pada deretan Pegunungan Bukit Barisan yang
membujur baratlaut--tenggara. Kondisi tanahnya berbatu-batu dan banyak mengandung kalsit.
Padanglawas, yang artinya memang tempat yang luas, memperlihatkan ujud fisik yang ditutupi padang
rumput dengan gerumbulan pohon di sana-sini. Melengkapi landscape yang demikian itu adalah
banyaknya sapi dan kerbau yang berkeliaran. Adapun lahan di bagian dekat sungai biasanya merupakan
perkampungan penduduk yang dikelilingi ladang dan persawahan. jauh disekelilingnya, yang merupakan
dataran berbukit dengan curah hujan yang relatif kurang, tampak menghijau hutan yang cukup lebat.
Belakangan ini begitu banyak pemanfaatan lahan di daerah itu menjadi kebun kelapa sawit (Elaeis
guineensis), menyusul pembukaan kebun karet (Hevea brasiliensis) yang sejak lama dibudidayakan
disana. Dapat diduga bahwa bukan hanya bagian padang rumput saja yang sekarang telah berganti wujud,
area hutan yang sebelumnya tampak mengelilingi kawasan itu juga mulai digunduli dan sebagian berganti
dengan tanaman hortikultura.
Padanglawas mudah dicapai dari kota Medan, berjarak 400 kilometer ditempuh dalam waktu 11 jam
dengan rute Medan - Tebing Tinggi - Pematang Siantar – Parapat - Balige- Tarutung – Sipirok - Gunung
Tua. Ini rute membelah Pulau Sumatera, menyusuri Danau Toba, dan punggung Pegunungan Bukit
Barisan. Rute lain berjarak 425 km adalah Medan - Tebing Tinggi – Kisaran – Rantauparapat - Kota
3
Pinang - Gunung Tua. Perjalanan 10 jam melalui rute kedua lebih banyak menyusuri dataran rendah di
pesisir timur Sumatera. Adapun dari kota Padang di Sumatera Barat, rute Padang - Padang Panjang -
Bukit Tinggi - Lubuk Sikaping – Kotanopan - Padang Sidempuan - Gunung Tua, dapat ditempuh dalam
11 jam.
Penduduk Padanglawas adalah orang Batak sub sukubangsa Angkola dan Mandailing. Masyarakat di
daerah yang dahulu merupakan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan ini dapat dibagi atas empat daerah
kebudayaan ditinjau dari sudut adat maupun bahasa, walaupun tidak memperlihatkan perbedaan yang
sangat menonjol, masing-masing Angkola/Sipirok, Padanglawas, Mandailing dan pesisir. Masyarakat
mengungkapkan bahwa daerah kebudayaan Padanglawas meliputi wilayah Kecamatan Padang Bolak,
Barumun Tengah, Barumun, Sosa, dan Kecamatan Sosopan. Pusatnya dapat dikatakan adalah Gunung
Tua (di wilayah Kabupaten Padanglawas Utara) dan Sibuhuan (di wilayah Kabupaten Padanglawas).
Penduduk Padanglawas umumnya memeluk agama Islam. Mereka tinggal di perkampungan dengan
rumah-rumah kayu berkolong, dan mesjid melengkapi permukimannya. Listrik merata penggunaannya di
pemukiman penduduk. Di beberapa tempat dijumpai pesantren, termasuk pesantren khusus bagi mereka
yang berusia lanjut. Masyarakat yang menghuni kawasan Padanglawas itu dapat dikatakan tidak
mengenal monumen-monumen maupun artefak lain yang merupakan peninggalan budaya masa lalu di
sana, lebih dari sekedar ujud fisiknya. Melalui cerita turun temurun yang diperolehnya, disadari bahwa
mereka memang tidak memiliki hubungan genealogis dengan masyarakat pembangun dan pemakai biara-
biara tersebut. Ini dapat dikaitkan dengan keyakinan masyarakat bahwa saat kedatangan pendahulu-
pendahulu mereka ke kawasan ini dari daerah bagian utara, di tepi Danau Toba, sisa monument-
monument itu sudah ada.
Berbeda dengan di Jawa yang cenderung menyebutnya dengan candi, masyarakat Padanglawas menyebut
sisa kepurbakalaan disana dengan kata biara yang berasal dari bahasa Sansekarta, vihara yang aslinya
berarti serambi tempat para pendeta berkumpul atau berjalan-jalan. Kelak dalam bahasa Indonesia kata itu
menjadi biara atau wihara, yang artinya adalah tempat para biksu. Berkenaan dengan itu maka di sana
dikenal misalnya Biara Bahal dan Biara Sipamutung, yaitu peninggalan kuna yang dikesempatan ini
menjadi fokus pembicaraan.
4
Dahulu kompleks Biara Bahal lebih dikenal sebagai Biara Portibi. Hal ini disebabkan peninggalan kuna
dimaksud berada di daerah Portibi, sebuah pusat perdagangan dan kekuasaan lokal jauh sebelum Belanda
menganeksasi Padanglawas. Nama Portibi demikian dikenal masyarakat pada masanya sehingga
penanaman atas kepurbakalaan di wilayah itu dikaitkan dengan keberadaan pusat tersebut. Kata portibi
sendiri berasal dari kata prthivi yang dalam bahasa Sansekerta berarti bumi (Mulia 1980:8). Ini
5
mengingatkan kita pada kata Ibu Pertiwi dalam bahasa Indonesia kini untuk menyebut bumi persada
Indonesia. Memang dalam bahasa setempatpun, kata portibi berarti dunia bawah. Adapun penamaan
Biara Bahal oleh penduduk bagi kompleks percandian ini cukup menarik perhatian. Hal ini dikaitkan
dengan arti kata bahal yang dalam bahasa Melayu awal abad ke-20 adalah bersekutu atau bermufakat
dalam perkara jahat. Hingga kini, selain seperti yang disebut di atas, belum diperoleh keterangan lain
tentang arti kata itu.
Dalam sejarah pemerintahan daerah tersebut, sejak tahun 1867 Tapanuli merupakan sebuah keresidenan
dengan residen yang berkedudukan di Padang Sidempuan. Keresidenan ini merupakan bagian dari
Provinsi Sumatera Barat. Selanjutnya sejak tahun 1906 Tapanuli dipisah dari Sumatera Barat. Adapun
keresidenan Tapanuli yang beribukota di Sibolga dibagi menjadi beberapa afdeling, di antaranya adalah
afdeling Padang Sidempuan. Daerah Padanglawas merupakan bagian daripadanya. Kelak sesudah
Indonesia merdeka, daerah ini menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan yang belakangan (dikenal
sebagai era otonomi di Indonesia) dimekarkan menjadi beberapa wilayah kabupaten, di antaranya adalah
wilayah Kabupaten Padanglawas dan Kabupaten Padanglawas Utara pada tahun 2007.
2. Biara Bahal dan Biara Sipamutung
Masyarakat Padanglawas menyebut kepurbakalaan yang berasal dari masa pengaruh Hindu-Buddha di
sana dengan kata biara,. Ini membedakannya dengan masyarakat di Jawa yang menyebut peninggalan
sejenis dengan kata candi, yang pengertian umumnya adalah penamaan bagi semua bangunan
peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia, baik berupa pemandian kuna, gapura atau gerbang
kuna, maupun bangunan suci keagamaan.
Lokasi kepurbakalaan di kawasan ini terbagi dalam dua wilayah administratif, masing-masing wilayah
Kabupaten Padanglawas (seperti Biara Tandihat, Biara Aek Sisangkilon, dan Biara Sipamutung) dan
Kabupaten Padanglawas Utara (di antaranya Biara Bahal, Biara Pulo, dan Biara Sitopayan). Sebelum
pemekaran di era otonomi, daerah dimaksud merupakan bagian wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
2.1. Kompleks Biara Bahal
Kepurbakalaan ini berada sekitar 15 kilometer di sebelah tenggara Kota Gunung Tua dan meliputi tiga
kelompok bangunan, yang masing-masing disebut Biara Bahal I, II, dan Biara Bahal III. Letaknya
berderet baratlaut – tenggara, masing-masing berada sekitar 50 -- 250 meter dari tebing timurlaut ruas
Sungai Batang Pane di wilayah Desa Bahal, Kecamatan Padangbolak, Kabupaten Padanglawas Utara.
Biara-biara yang semua telah dipugar itu menghadap ke arah tenggara. Komponen bangunan yang
melengkapi masing-masing kelompok berupa bangunan induk, bangunan penyerta/perwara, pagar
keliling, dan gapura.
Biara Bahal I menempati lahan yang melandai kearah tenggara yang dipenuhi kebun penduduk. Disebelah
selatan, pada jarak sekitar 75 meter mengalir Sungai Batangpane. Ini adalah biara yang paling besar
dikelompoknya. Kemudian sekitar 600 meter di sebelah tenggaranya adalah lokasi Biara Bahal II. Lahan
yang ditempatinya datar dengan persawahan disekelilingnya. Selanjutnya, sekitar 450 meter di sebelah
6
timur Biara Bahal II adalah kelompok Biara Bahal III. Seperti halnya Biara Bahal II, areal
disekelilingnya berupa persawahan.
a. Biara Bahal I
Biara Bahal I merupakan kelompok bangunan kuna dibatasi pagar keliling seluas 57 meter x 49 meter
dengan gapura di sisi timur/tenggara. Tangga masuk di sisi kanan dan kiri gapura, sedangkan tangga turun
di bagian dalam berada di tengah. Tinggi pagar 1,3 meter dengan tebal 1 meter. Arah hadapnya ke
tenggara. Bangunan induk di kelompok bangunan di ujung baratlaut ini berdiri di atas batur berdenah
bujursangkar.
Biara Bahal I
Di bagian luar pipi tangga masuknya terdapat panil bergambarkan yaksa (raksasa) dalam posisi menari
dan membawa mangkuk di tangan kanan dan pisau di tangan kiri (namun ada pula tangan kiri
digambarkan dalam sikap tarjanimudra, yakni sikap tangan dengan jari telunjuk ke atas). Kelompok
biara dilengkapi tiga bangunan penyerta/perwara dan sebuah gapura. Semua berada dalam areal berpagar
keliling berbahan bata setebal satu meter.
Relief pada dinding Biara Bahal I
7
Relief menggambarkan tokoh raksasa sedang menari di Biara Bahal I
Komponen bangunan Biara Bahal I meliputi bangunan induk, bangunan perwara, dan gapura. Bangunan
induk adalah bagian paling utama suatu kompleks peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha. Di Indonesia
umumnya candi/biara atau peninggalan kebudayaan Hindu-Buddha tidak berdiri sendiri, artinya
merupakan suatu kelompok yang terdiri atas beberapa bangunan yang dibatasi/dikeliling pagar halaman.
Pusatnya yang disebut bangunan induk dikenal antara lain dari ukurannya yang paling besar, tinggi, atau
megah; berisikan arca dewa tertinggi; atau letaknya yang di bagian tengah. Adapun bangunan perwara
adalah bangunan yang lebih kecil dari bangunan induk, yang berfungsi sebagai pengiring sekaligus
pelengkap kompleks bangunan peninggalan masa pengaruh Hindu-Buddha.
Biara Bahal I di lihat dari arah samping/baratlaut
Bangunan induk Biara Bahal I terbagi atas bagian kaki, badan, dan bagian atap, berada di atas batur
bujur sangkar 10 meter x 10 meter setinggi 2,5 meter. Tangga naiknya di tenggara. Di bagian luar pipi
tangga ada 3 panil relief menggambarkan yaksa (makhluk kayangan penjaga kekayaan dan kesuburan
alam) yang sedang menari. Pada dinding depan batur terdapat relief singa, demikian pula di dinding
belakang. Makara di bagian depan tangga berbahan tufaan. Pada mulut makara digambarkan prajurit
membawa pedang dan perisai yang mengenakan mahkota kerucut (jatamakuta) dan berkalungkan untaian
mutiara.
8
Sepasang makara di pintu masuk bangunan induk Biara Bahal I
Kaki biara berukuran 7,3 meter x 7,3 meter setinggi 1,75 meter. Badan biara berdenah bujur sangkar
berukuran 5 meter x 5 meter di bagian bawah dan di bagian atas berukuran 6 meter x 6 meter. Di bagian
badan bangunan ini ada ruangan. Di bagian pintu masuk ada ruang penampil yang kiri-kanannya
dilengkapi sepasang arca dwarapala. Bagian atap berbentuk stupa yang diletakkan di atas lapik (asana)
berprofil sisi genta (ojief), bingkai persegi, dan setengah bulatan. Hingga batas atap yang dapat dipugar,
tinggi keseluruhan biara induk 14 meter.
Bangunan perwara A di sebelah tenggara bangunan induk berdenah segi empat 6 meter x 9,3 meter dan
tinggi tersisa 1,2 meter. Bangunan ini kemungkinan sebuah altar yang bagian atasnya berstruktur kayu.
Kemudian bangunan perwara B di sebelah timurlaut, berdenah bujur sangkar 4 meter x 4 meter setinggi
0,6 meter dengan tangga masuk di bagian tenggara. Selanjutnya bangunan perwara C di baratdaya
berukuran 4,65 meter x 4,65 meter setinggi 0,75 meter. Bagian badan bangunan membentuk lingkaran
seperti altar berdiameter lingkaran terbawah 2 meter dan bagian tengah 1,5 meter. Berikutnya bangunan
perwara D yang hanya berjarak 2 (dua) meter di sebelah baratdaya bangunan perwara C. Ukurannya
hanya 4 meter x 4 meter dan tinggi 0,7 meter.
b. Biara Bahal II
Biara Bahal II terdiri atas bangunan induk dan dua bangunan penyerta/perwara. Di tempat inilah dijumpai
arca Heruka dalam kondisi pecah. Sangat disayangkan, sejak tahun 1975, arca tersebut sudah tidak ada
lagi. Kelompok biara ini memiliki pagar keliling 60 meter x 50 meter setinggi 1,2 meter dengan tebal 1
meter. Sisa gapura pada sisi timur pagar keliling berukuran tinggi 1,5 meter.
9
Biara Bahal II
Bangunan induk kelompok biara ini menghadap ke arah tenggara. Bangunan biara yang didirikan di atas
batur ini lebih tambun dibandingkan dengan bangunan induk kelompok Biara Bahal I. Denah baturnya
bujur sangkar 10,5 meter x 10,5 meter setinggi 1,7 meter. Tangga naik selebar 0,75 meter terletak di sisi
timur. Ujung tangga berhiaskan sepasang makara. Kaki bangunan berdenah 5,5 meter x 5,5 meter dengan
tinggi 1,1 meter. Tangga masuk pada kaki bangunan lebarnya 1,1 meter. Badan bangunannya memiliki
tiga penampil semu, masing-masing di sisi selatan, barat, dan utara. Dinding badan bangunan polos
setinggi 2,4 meter. Pintu masuk di tenggara, ruang utama bangunan induk kosong, demikian pula
dindingnya. Bagian atap bangunan induk tingginya sekitar 3 meter yang menjadi tiga bagian, masing-
masing bagian dasar berdenah delapan (octagonal). Bidang polos ini memiliki tiga relung pada setiap
sisinya. Kemudian bidang berdenah segi empat, dan yang ketiga adalah bidang berdenah segi delapan.
Pada bagian teratas terdapat 4 buah relung yang masing-masing terletak di sisi selatan, barat, dan utara.
Biara Bahal II dari arah timur
Bangunan perwara A berada di bagian depan bangunan induk, berdenah bujur sangkar 9 meter x 9
meter setinggi 80 cm. Lantai bangunan rata. Kemudian bangunan perwara B berada di timurlaut
bangunan induk. Denahnya segi empat 7 meter x 4,6 meter setinggi 1,95 meter. Arah hadapnya ke
tenggara. Selain itu masih dijumpai sisa struktur bata yang tampaknya dari dua buah bangunan lama.
c. Biara Bahal III
10
Kelompok Biara Bahal III memiliki pagar keliling bergapura di sisi timur. Pagar keliling setinggi 1 meter
itu berukuran 42 meter x 35 meter. Selain bangunan induk, juga terdapat sebuah bangunan
penyerta/perwara. Dahulu sebuah arca Vairocana berbahan perunggu ditemukan di tempat ini.
Biara Bahal III
Bangunan induk Biara Bahal III berukuran 15 meter x 8,5 meter dengan tinggi 14 meter. Bangunan ini
menempati batur setinggi 1,8 meter. Bagian atapnya merupakan bidang persegi empat yang bertumpuk
sebanyak tiga buah dan semakin mengecil ke atas. Bagian atap polos.
Biara Bahal III
Selanjutnya adalah bangunan perwara yang terletak 3 meter di depan/tenggara bangunan induk.
Denahnya persegi empat 7 meter x 6 meter setinggi 1,3 meter.
2.2. Kompleks Biara Sipamutung
Kompleks kepurbakalaan ini berada di wilayah Desa Siparau, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten
Padanglawas. Letaknya sekitar 3 (tiga) kilometer dari Binanga, ibukota Kecamatan Barumun Tengah.
Arealnya berada di antara 3 (tiga) wilayah desa, yakni Desa Siparau Lama, Siparau Baru, dan Desa
Siharbogoan, diapit dua sungai, yakni Sungai Batangpane yang berada 600 meter di sebelah barat dan
11
Sungai Barumun sekitar 100 meter di sebelah selatan. Kedua sungai itu bertemu di sebelah utara yang
selanjutnya membentuk Sungai Barumun.
Di bagian selatan pertemuan atau tempuran Sungai Barumun - yang mengalir dari arah selatan – dengan
Sungai Batangpane - yang mengalir dari arah barat - dijumpai lingkungan benteng tanah yang
membatasi areal seluas lebih 20 hektar. Sebagian besar benteng tanah – yang dalam bahasa setempat
disebut buttu-buttu – berupa gundukan tanah setinggi 0,5 meter hingga 2 meter dengan lebar sekitar 5
meter. Di beberapa bagian masih memperlihatkan adanya rumpun bamboo di atas gundukan. Gundukan
tanah itu sekaligus juga membentuk bidangan-bidangan, yang untuk memudahkan diberi nama secara
alfabetis.
Bidangan A di sudut baratdaya membentuk denah segitiga. Beberapa fragmen keramik dari bidangan ini
diketahui berasal dari masa dinasti Song abad ke-12 dan ke-13 serta Song-Yuan abad ke-13 (Susilowati et
al 2000,19). Belum diperoleh data yang cukup untuk mengetahui fungsi bidangan ini.
Bidangan B menempati bagian sebelah selatan areal dimaksud, dan kelompok Biara Sipamutung
menempati bagian tengahnya. Bidangan ini jelas berkaitan dengan aspek-aspek keagamaan mengingat
fungsi Biara Sipamutung sebagai tempat pemujaan. Adapun fungsi benteng tanah lebih pada menjaga
kesucian areal pemujaan (Koestoro, Susilowati & Wiradnyana 2012, 25-26).
12
Bidangan B merupakan pusat kompleks Biara Sipamutung, terdapat komponen bangunan berupa
bangunan induk dan bangunan perwara atau penyerta. Bangunan induk berarah hadap timur diapit
bangunan lain di kiri-kanan dan depannya. Seluruh bangunan di halaman pusat Biara Sipamutung ini
berada dalam lingkungan pagar keliling berdenah persegi panjang yang dilengkapi gapura di sisi timur
(Setianingsih 2001; Suhartono 2001).
Biara Sipamutung
Bangunan induk Biara Sipamutung selesai dipugar tahun 1998. Denah bangunan bata ini bujursangkar
berukuran 11 meter x 11 meter, tinggi 14 meter. Dari permukaan tanah, bangunan ini terdiri dari 247 lapis
bata. Pola ikatan bata berselang-seling lebar panjang dengan menggunakan spesi adonan bata. Ada 2
(dua) kaki bangunan biaro. Kaki pertama berdenah bujursangkar 11 m x 11 m setinggi 3,1 m Umumnya
perbingkaian yang digunakan adalah pelipit rata, pelipit sisi genta, dan pelipit padma. Lantai dan tangga
berada di sebelah timur. Lebar tangga 2,12 m dan kedua ujung bawah tangga masing-masing dilengkapi
makara berbahan batuan tufaan. Lebar lantai kaki pertama 6,04 m yang berada pada lapis ke-65. Di
bagian pinggir sisi utara, selatan, barat, dan sebagian sisi timur terdapat pagar langkan berupa susunan
bata yang dibentuk seperti buah catur.
Kaki kedua biara induk berdenah bujur sangkar 8,2 meter x 8,2 meter setinggi 1,4 meter yang terdiri atas
25 lapis batu. Perbingkaiannya adalah pelipit rata, padma, dan pelipit sisi genta. Lebar tangga naik di sisi
timur 1,54 meter. Jarak dinding kaki kedua dengan pagar langkan di kaki pertama 73 cm yang digunakan
sebagai jalan untuk mengelilingi bangunan (pradaksina dan prasawya).
Tubuh bangunan biara berdenah bujur sangkar 5,72 meter x 5,72 meter setinggi 4,6 meter. Dinding tubuh
bangunan terbagi menjadi panel-panel di sisi utara, selatan, dan barat. Perbingkaiannya adalah pelipit rata
dan sisi genta. Tangga di sisi timur selebar 1,38 meter. Pintu masuk dilengkapi penampil di kanan-kiri.
Ruang/bilik di tubuh bangunan biara seluas 2,58 meter x 2,58 meter.
13
Bangunan induk Biara Sipamutung
Atap bangunan induk bertingkat 2 (dua) berbentuk segi empat. Tingkat pertama berukuran 4,76 meter x
4,74 meter dan dikelilingi 16 stupa yang masing-masing berukuran 76 cm x 76 cm. Adapun tingkat
kedua yang berada di atas tingkat pertama berukuran 2,38 meter x 2,36 meter. Di tingkat kedua ini
terdapat lubang persegi 16 cm x 16 cm, diduga tempat kedudukan kemuncak atap yang kemungkinan
berbahan batuan tufaan. Seperti di tingkat pertama, atap tingkat kedua juga dikelilingi 12 buah stupa yang
masing-masing berukuran 62 cm x 86 cm.
Pagar keliling bangunan Biara Sipamutung juga menggunakan bata. Ukuran pagar keliling 66 meter x
50,22 meter setinggi 1,1 meter. Tebal pagar keliling 94 cm. Di sudut baratlaut, pada bagian bawah pagar
keliling itu ada lubang persegi empat 16 cm x 16 cm yang diperkirakan merupakan lubang pembuangan
air (drainase). Adapun gapura terdapat di sebelah timur bangunan induk. Ukurannya 8 meter x 5,5 meter
setinggi 4 meter.
Temuan lepas di kompleks Biara Sipamutung berupa arca Amitabha, juga arca yaksa, fragmen stambha,
serta relief seorang wanita yang digambarkan dengan wajah seram, kedua alis bertemu, mata melotot,
bertaring, dan dalam sikap tangan anjalimudra. Dua arca yaksa di sana digambarkan berukuran besar
namun bagian kepalanya telah hilang. Yaksa bertangan dua itu berada dalam posisi berdiri, memakai
kalung ganda, tali kasta berupa ular, tangan kanan memegang gada, dan tangan kiri di depan perut dalam
sikap tarjanimudra. Arca yaksa digambarkan mengenakan kain motif ceplok bunga sampai batas lutut
atas (dhoti) dengan wiron di bagian depan dan belakang, dan dilengkapi gelang kaki berupa ular
(Setianingsih 2001,94).
Kemudian Bidangan C, bagian yang menempati bagian utara areal ini membentuk denah hampir empat
persegi panjang. Temuan keramiknya berasal dari dinasti Song abad ke-10 hingga ke-13 dan Song-Yuan
abad ke13 (Susilowati et al 2000,19--20). Tampaknya ini areal yang disiapkan untuk aktivitas profane.
Mungkin juga terkait dengan hunian penyelenggara aktivitas keagamaan.
Selanjutnya Bidangan D di bagian timurlaut areal, ujung utara gundukan/benteng tanahnya berakhir di
tebing barat Sungai Barumun yang mengalir ke arah utara. Fragmen keramik yang didijumpai di lokasi
berasal dari masa dinasti Song abad ke-10 hingga ke-13, Song-Yuan abad ke-13, dan masa dinasti Yuan
abad ke-13. Diduga bahwa aktivitas perekonomian di lingkungan benteng ini terdapat di bidangan ini
(Susilowati et al 2000,19).
14
3. Penemuan kembali dan sejarah kawasan Padang Lawas
Di pertengahan abad ke-19, pihak Belanda dapat menaklukkan wilayah Padanglawas. Adapun aneksasi
terhadap daerah Portibi dilakukan pada tahun 1837. Selanjutnya untuk mengetahui lebih banyak lagi
mengenai daerah-daerah yang baru ditaklukkannya, maka pihak Belanda, dalam hal ini pemerintah Hindia
Belanda mengutus Franz Junghun, seorang ahli geologi untuk melakukan eksplorasi. Tahun 1846 ia
berkesempatan mengenali daerah Padanglawas yang lama terlupakan (Koestoro et al 2001, 10).
Walaupun tidak mendalam, namun laporan yang dibuatnya telah memunculkan rasa keingintahuan bagi
orang lain. Tidak mengherankan bila sepuluh tahun kemudian, seorang penjelajah berkunjung ke
Padanglawas. Penjelajahan Rosenberg itu menghasilkan sejumlah temuan artefaktual, di antaranya arca
Buddha, yang kelak dikirim ke museum di Batavia (yang kelak menjadi Museum Nasional di Jakarta).
Perhatian atas Padanglawas terus berlanjut hinggga pada tahun 1887 controuler bernama Kerchoff
menerbitkan hasil pengamatannya atas situs-situs yang terdapat disana. Kemudian pada tahun 1901 dan
1902 residen Tapanuli juga menyusun sebuah daftar temuan dari situs-situs itu, yang sayangnya tidak
diterbitkan.
Selanjutnya eksplorasi atas situs-situs di sana terhenti cukup lama, hingga pada tahun 1920 Dr. P.V. van
Stein Callenfels melakukan pengamatan dan segera menyadari arti pentingnya bagi ilmu pengetahuan.
Laporannya mengenai situs ini segera ditindaklanjuti oleh Dinas Purbakala waktu itu melalui ekskavasi,
yang kemudian juga terhenti karena ketiadaan dana.
Kelak pada tahun 1935 Schnitger datang ke Padang Lawas. Kunjungan dan ekskavasi di beberapa biara di
sana menghasilkan fieldnotes yang disertai gambar ilustrasi monumen. Ia memberi penamaan terhadap
beberapa biara berdasarkan keterangan masyarakat setempat, yakni Biara Bahal I, Bahal II, Biara Pulo,
Sipamutung, Aek Sangkilon, dan Biara Joreng Belangah, dan Biara Pulo. Catatan lain adalah tentang
arca, stupa, beberapa prasasti, bagian-bagian candi, dan bagian dasar yang disebut pendopo (Koestoro et
al 2001, 11).
Kemudian setelah Indonesia merdeka, tim Dinas Purbakala di bawah pimpinan Satyawati Suleiman
mengadakan survei pada tahun 1952. Selanjutnya selama tahun 1954--1956 tim teknis dari lembaga
tersebut melakukan ekskavasi bagi kepentingan penelitian dan upaya-upaya penyelamatan. Ketika itu
dilakukan perkuatan-perkuatan (konsolidasi) terhadap beberapa bagian struktur biara untuk mencegah
kerusakan yang lebih parah. Pada periode inilah sebutan candi dikenalkan atas objek-objek di sana karena
pelaksana upaya-upaya penyelamatan yang dilakukan oleh tim teknis berasal dari cabang Dinas Purbakala
Prambanan. Selanjutnya pada tahun 1973 dibentuk sebuah tim gabungan peneliti dari lingkungan
Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional yang bekerjasama dengan Pennsylvania University,
Amerika untuk melakukan pengamatan situs-situs di Sumatera (Koestoro et al 2001, 11).
Selanjutnya pada tahun 1983 mulai dilakukan kegiatan-kegiatan pemugaran/restorasi atas Biara Bahal I
dan Biara Bahal II. Demikian pula pemugaran atas Biaro Bahal III, yang kemudian diikuti dengan
kegiatan sejenis atas kompleks Biara Sipamutung yang masih berlangsung hingga kini. Dan tahun 2016
juga mulai dilaksanakan upaya pemugaran Candi Tandihat.
15
Terkait upaya mengungkap perjalanan sejarah kawasan Padanglawas yang ramai tinggalan budaya itu,
sudah sejak lama dilakukan penelitian. Pada garis besarnya, muncul pendapat bahwa keberadaan objek-
objek tersebut berkenaan dengan keberadaan Kerajaan Panai (Schnitger 1936; Suleiman 1976). Dalam
prasasti Tanjore berangka tahun 1030, yang ditulis dalam bahasa Tamil dan dibuat atas perintah Rajendra
I (Rajendra Uttama Cola atau Coladewa) disebutkan tentang keberhasilan Raja menaklukkan Kerajaan
Sriwijaya dan kerajaan lainnya, termasuk Kerajaan Pannai yang dikelilingi banyak sungai (Suleiman
1985, 23).
Adapun kitab Negarakrtagama, yakni naskah kuna tentang Kerajaan Majapahit yang ditulis oleh Mpu
Prapanca pada tahun 1365 merupakan sumber lain yang menyebutkan tentang Kerajaan Pannai. Dalam
salah satu bagiannya disampaikan bahwa Kerajaan Panai yang terletak di Bhumi Malayu (Suleiman 1983,
4) termasuk salah satu kerajaan bawahan Majapahit (Mulia 1980,4).
Kemudian mengacu pada prasasti-prasasti yang ditemukan di sana, yakni prasasti Sijorengbelangah
(1179), Sitopayan (1235), dan prasasti Porlak Dolok (1213), Satyawati Suleiman (1983) dan Machi
Suhadi (1993/1994) memperkirakan bahwa peninggalan-peninggalan di Padanglawas berasal dari abad
ke-11--14. Adapun tentang agama yang melatarbelakangi pendirian bangunan-bangunan tersebut,
Schnitger pada tahun 1936 menyebutkan Buddha Tantris.
Kemudian berdasarkan sumber tertulis lain diketahui bahwa pada tahun 1024 daerah Padanglawas,
sebagai salah satu wilayah Kerajaan Sriwijaya, berada di bawah pengaruh penguasa daerah India Selatan
yaitu Rajendra Choladewa. Riwayat Padanglawas memang dapat dikatakan tak pernah lepas dari
pengaruh kekuatan-kekuatan luar. Hal yang sama, yakni penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terjadi
lagi pada akhir abad ke-13 ketika Kertanegara dengan Ekspedisi Pamalayu-nya masuk ke daerah ini.
Kemudian pada sekitar abad pertengahan abad ke-14 kembali wilayah Padanglawas berganti penguasa,
kali ini oleh keturunan Rajasa lainnya yakni Hayam Wuruk yang mendukung upaya Mahapatih-nya,
Gajah Mada, untuk meluaskan mandala-nya hingga menjangkau seluruh Nusantara. Namun selanjutnya
sejarah daerah ini seolah-olah terlupakan sejak kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara pada akhir abad
ke-16.
Demikianlah kawasan Padanglawas, termasuk didalamnya kompleks Biara Bahal dan Biara Sipamutung
merupakan salah satu kawasan dengan peninggalan masa pengaruh Hindu-Buddha di Sumatera. Oleh
beberapa ahli arkeologi, sisa karya budaya itu dihubungkan dengan eksistensi kerajaan berpengaruh di
wilayah Asia Tenggara antara abad ke-7 sampai dengan abad ke-11, yakni Kerajaan Sriwijaya.
PENUTUP
Berkenaan dengan peninggalan purbakala di sana, beberapa hal dapat dikemukakan. Pertama bahwa
beberapa ketentuan yang dikenal dalam tradisi pembangunan Hindu-Buddha terlihat pada peninggalan di
kawasan Padanglawas, yakni karya-karya arsitektural abad ke-11 hingga abad ke-14 yang berdiri di
sepanjang aliran Sungai Barumun (Sungai Sirunambe dan Sungai Batangpane adalah anak-anak
sungainya). Ketentuan dimaksud di antaranya adalah: bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air
(tirtha), baik air di sungai (terutama di sekitar pertemuan/tempuran dua sungai), danau atau laut, dan bila
16
perlu dibuatkan kolam di halaman bangunan suci yang dibangun. Adapun tempat lain yang baik bagi
pendirian bangunan suci adalah puncak bukit, lereng gunung, dalam hutan, atau di lembah (Kramrisch
1946, 3--7 dalam Setianingsih & Hartini 2002, 17). Di Jawa, posisi demikian, seperti Biara Sipamutung
yang didirikan di pertemuan Sungai Batangpane dan Sungai Barumun, sangat nyata pada bangunan Candi
Borobudur di dekat pertemuan Sungai Opak dan Sungai Progo.
Dari sisi praktis, pilihan lokasi pembangunan tempat suci di sepanjang aliran sungai tentu berkenaan
dengan aksesibilitas. Saat itu sungai merupakan jalur transportasi utama. Sumber lama berupa prasasti
yang ditemukan di Batu Gana (di wilayah Kabupaten Padanglawas Utara, dan merupakan daerah bagian
hulu Sungai Batangpane) menyebutkan kata-kata yang berkenaan dengan sungai, transportasi, dan
tempat-tempat yang dituju. Kata-kata parahu, pahilira, dan mahilira, batu gana, dan padang … (kata
selanjutnya tidak terbaca), jelas menginformasikan tentang perahu yang menyinggahi tempat-tempat di
sepanjang jalur pelayaran sungai (Setianingsih & Hartini 2002, 18). Terkait dengan itu, menyangkut
ikhwal perdagangan yang memanfaatkan jalur sungai hingga ke Selat Malaka, perlu direncanakan
penelitian arkeologis di daerah Batugana (mewakili bagian hulu) dan di daerah muara Sungai Barumun,
di pesisir Selat Malaka di wilayah Kabupaten Labuhanbatu Utara yang mewakili bagian hilir Sungai
Barumun. Ini juga bagian dari sebuah penelitian arkeologi maritim terkait pesisir timur Pulau Sumatera.
Penyebutan biara oleh masyarakat setempat bagi semua sisa bangunan monumental di Padanglawas,
tidak harus berarti bahwa fungsinya dahulu semua adalah biara atau wihara, yang berarti tempat tinggal
pendeta/rohaniawan pada lingkungan kompleks keagamaan. Di sana dijumpai objek-objek lain berkenaan
dengan pemujaan, yang mengindikasikan kemungkinan adanya bangunan-bangunan tempat beribadah.
Juga tempat tinggal/sarana lain bagi penyelenggara ritual keagamaan.
Ditemukannya arca Vairocana dan Amitabha memberikan bukti yang menguatkan pandangan bahwa
agama Buddha Mahayana telah berkembang di Padang Lawas dahulu. Keduanya menggambarkan
ketokohan yang dianggap sebagai dhyanibodhisatwa yang dapat menolong manusia lain untuk mencapai
kebuddhaan dan nirwana, dianggap suci, dan lepas dari samsara. Adapun keberadan arca Bhairawa dan
Heruka, maupun arca-arca lain yang menunjukkan keraksasaan menggambarkan keberadaan agama
Buddha Mahayana aliran Vajrayana, yang mengajarkan bahwa penganutnya dapat mencapai kelepasan
(moksa) juga dengan menjalankan praktek-praktek sihir, semadi (yoga), dan mengucapkan mantra
(Setianingsih 2001, 100).
Pada sisi kronologis, keberadaan peninggalan kepurbakalaan di Padanglawas dan institusi kekuasaan yang
memungkinkan pendiriannya dahulu tentu tidak lepas dari peralihan hegemoni kekuasaan terdahulu di
belahan barat Indonesia. Itu berhubungan dengan keberadaan Sriwijaya sebagai institusi kekuasaan yang
cukup kuat selama jangka waktu yang cukup panjang. Melalui beberapa sumber diketahui bahwa
sementara Sriwijaya tetap sebagai pelabuhan yang dominan di Selat Malaka, orang Batak membuat rute
untuk kapur barus dan kemenyan dari baratlaut dan tenggara Danau Toba ke arah selatan, yakni ke
Padanglawas (Andaya 2002, 407).
Lepas dari siapa dan dalam bentuk apa kekuasaan itu ada di Padanglawas, dari abad ke-8 sampai abad
ke-14 orang Batak mengambil keuntungan dari pelayaran internasional ini dengan mengikut rute ini dan
menempatkannya sebagai pusat ekspor. Mulai abad ke-15 migrasi orang Batak disebabkan besarnya
permintaan akan beras dan lada yang berkembang di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Adanya
permintaan pasar yang layak dipenuhi bagi peraihan keuntungan, mendorong terjadinya migrasi dari Toba
17
di utara, ke sebelah selatan dan timur untuk mencari tanah persawahan dan membuka permukiman baru
(Andaya 2002,403--404).
Saran
Pelindungan atas situs-situs di kawasan budaya Padanglawas dirasakan sangat mendesak. Sebagian besar
areal situs-situs di sana mulai dirambah oleh aktivitas penanaman kelapa sawit. Ini harus segera diatasi
mengingat pada situs-situs dimaksud terkubur banyak sisa reruntuhan monumen-monumen kuna yang
masih belum diteliti secara intensif. Aktivitas pelindungan situs-situs itu harus juga didahului dengan
penelitian, yang hasilnya akan bermanfaat tidak saja bagi ilmu pengetahuan namun juga berguna bagi
kepentingan lain. Selain itu, upaya pengembangan dan pemanfaatan atas situs dan objek masa klasik
Indonesia di kawasan Padanglawas harus dipercepat pelaksanaannya. Upaya memperbesar kesejahteraan
masyarakat sangat ditunggu kehadirannya, dan arkeologi harus mampu memberi kontribusi di dalamnya.
Kepustakaan
Andaya, Leonard Y, 2002. The Trans-Sumatera trade and the etnicization of the Batak, dalam Bijdragen
tot de Taal, Land en Volkenkunde (BKI) 158-3/2002. Leiden: Koninklijk Instituut Voor Taal,
Land En Volkenkunde (KITLV), hal. 367--409
Koestoro, Lucas Partanda et al., 2001. Biaro Bahal, Selayang Pandang. Medan: MAPARASU
Koestoro, Lucas Partanda, Nenggih Susilowati & Ketut Wiradnyana, 2012. Pemetaan Benteng dan Biara
Sipamutung di Kawasan Padanglawas, Sumatera Utara, dalam Berita Penelitian Arkeologi No.
27. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal. 1--31
Mulia, Rumbi, 1980. The Ancient Kingdom of Panai and the Ruins of Padang Lawas (North Sumatra),
dalam Bulletin of the National Research Centre of Archaeology of Indonesia, Number 14.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Schnitger, FM, 1936. Oudheidkundige Vondsten in Padang Lawas. Leiden: EJ Brill
Setianingsih, Rita Margaretha, 2001. Vairocana dan Amitabha, Emanasi Buddha Di PadangLawas,
Sumatera Utara, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 09. Medan: Balai Arkeologi
Medan, hal. 91--100
Setianingsih, Rita Margaretha & Sri Hartini, 2002. Prasasti Koleksi Museum Negeri Provinsi
Sumatera Utara. Medan: Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara
Simanjuntak, Truman eds., 2008. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional
Suhartono, Yudi, 2001. Candi Si Pamutung, Arsitektur Masa Kerajaan Pannai, dalam Berkala
Arkeologi Sangkhakala No. 09. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal. 107--117
Sulaiman, Satyawati, 1976. Survai Sumatra Utara, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 4. Jakarta:
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
18
---------------, 1985. Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas, dalam Amerta No. 2.
Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 23--37
Susilowati, Nenggih, Ketut Wiradnyana & Lucas Partanda Koestoro, 2000, Laporan Penelitian
Arkeologi. Penelitian Arkeologi Di Tempuran Sungai Barumun dan Batang Pane
Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Medan: Balai Arkeologi Medan
(tidak diterbitkan)
Susilowati, Nenggih, 2001. Benteng Tanah, Bidangan, dan Penataan Ruang di Kompleks Kepurbakalaan
Si Pamutung, Padang Lawas, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 9. Medan: Balai
Arkeologi Medan, hal. 68--81
Utomo, Bambang Budi & M Fadhlan S Intan, 1998. Padang Lawas, Barus dan Kota Cina: Sebuah
Analisis Pendahuluan Kajian Wilayah di Sumatera Utara, dalam Evaluasi Hasil Penelitian
Arkeologi 1998 di Cipayung, Jawa Barat