BIDAYAH AL-HIDAYAH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

IHYA ULUM AL-DIN MINI KARYA ABU HAMID AL-GHAZALI

Citation preview

KITAB BIDAYAH AL-HIDAYAH KARYA AL-GHAZALI

(TIGA PILAR DASAR BAGI PARA PENCARI ILMU)

Oleh

Aramdhan Kodrat Permana, S.Th.I

PENDAHULUAN

IMAM AL-GHAZALI

Latar Belakang Keluarga dan Peniddikan

Hujjah al-Islam Syaikh al-Nawawi al-Bantani mengatakan dalam kitab Muraqi al-Ubudiyyah al-Syarh ala Bidayah al-Hidaya bahwa yang dimaksud dengan Hujjah al-Islam adalah seseorang yang berhati-hati terhadap al-sunnah dan tidak berfatwa kecuali memberikan kemudahan, sesuai dengan obyek pembicaraan. Lihat Muhammad al-Nawawi al-Bantani, Muraqi al-Ubudiyyah al-Syarh ala Bidayah al-Hidayah, hlm. 2. ini yang bernama lengkap Abu Hamid ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1059 M di desa Taberan Wilayah Thus di Khurasan. Abu Bakar al-Razaq, Maa al-Ghazali fi al-Munqidl min al-Dhalal, hlm. 8. Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali dengan dua z, kata ini berasal dari ghazzal artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang wol. Sedangkan al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata Ghazalah, Nama kampung kelahiran al-Ghazali, dan yang terakhir inilah yang banyak dipakai. Ayah al-Ghazali adalah seorang sufi yang saleh. Purwantana (dkk), Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Rosda Offset, 1998), hlm. 166. Tidak lama setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Pada masa kecil, al-Ghazali hidup dalam kemiskinan. Tetapi ia mendapat bimbingan seorang sufi, yang kelak memasukaknya ke satu sekolah pengampungan anak-anak tak mampu. Abu Hamid al-Ghazali, Kerancuan Para Filosof terj. Ahmad Maimun (Bandung: Marja, 2010), hlm. 17.

Al-Ghazali menghabiskan beberapa waktu pada salah satu sekolah agama di daerahnya, Al-Ghazali belajar fiqh kepada Ahmad bin Muhammad al- Thusi, kemudian untuk menambah pengetahuan al-Ghazali pindah ke Jurjan untuk belajar kepada al-Imam al-Allamah Abu Nashr aL-Ismaili. di Jurjan al- Ghazali mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya, dari Jurjan al- Ghazali kembali ke Thus, di Thus al-Ghazali benar-benar melakukan konsentrasi untuk belajar selama tiga tahun sehingga hafal semua yang dipelajari dan memahami apa yang dia baca, selama masa itu makna dan tujuan ilmu pengetahuan dimata al-Ghazali tidak jelas, Al-Ghazali belajar dan menghafal sesuai dengan metode yang berlaku di zamannya buku-buku agama, pandangan-pandangan berbagai aliran dan fuqoha, pengetahuan yang ada di Thus tidak siap membekali al-Ghazali sebagaimana al-Ghazali sendiri tidak puas terhadapnya, sehingga ia pergi ke Naisabur untuk belajar ilmu yang populer di zamannya, tentang tauhid, penguasaan terhadap aliran Al- Asyariyah dan metode jadal (dialektika), ushul dan logika kepada Imam al-Haramain Abi al-Maali al-Juwaini. Thaha Abdul Baqi Surur, Alam Pemikiran Al-Ghazal, (tt, pustaka Mantiq, 1993), hlm.19-21

Pada tahun 478, al-Ghazali keluar dari Naisabur menuju ke Muaskar dan ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah Nizhamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. Di tempat ini, al-Ghazali mencapai puncak prestisius dalam karir keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus terkemuka. Bahkan ia dijadikan guru besar di bidang Fiqh dan Teologi sekaligus rektor di tempat tersebut. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 29. Karena suatu persoalan, ia keluar dari Madrasah Nidzamiyah menuju pengasingan di padang pasir selama sembilan tahun. Dalam rentang waktu itu, al-Ghazali berkungkung ke Syam, Hijaz dan Mesir untuk kemudian kembali ke Naisabur. Setelah itu ia kembali lgi ke Thus hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada 14 Jumadil akhir 505 H. Abu Hamid al-Ghazali, Kerancuan Para Filosof, hlm. 17. Sebelum meningga ia pun mendirikan mendirikan sebuah sekolah untuk para Fuqoha dan sebuah wihara untuk para Mutasawwifin.

Dalam kehidupannya al-Ghazali merupakan gambaran realitas seorang manusia yang mengalami hampir semua estape kehidupan. Setidaknya ada tiga fase yang bisa menggambarkan perjalanan sekaligus kehidupan seorang al-Ghazali, Pertama, fase pra-keraguan, kedua, fase terjadinya keraguan, yang terbagi lagi menjadi dua fase, dan ketiga, mendapat petunjuk dan ketenangan.

Fase pra-keraguan adalah fase yang bisa dikesampingkan. Karena pada fase ini al-Ghazali masih seorang pelajar yang belum mencapai taraf kematangan intelektual. Juga pada fase keraguan keras. Maka baru pada fase keraguan yang ringan inilah al-Ghazali memasuki dunia tasawwuf. Di dalam fase ini al-Ghazali menulis karya-karyanya dalam ilmu kalam, kritik terhadap filsafat dan aliran bathiniyyah. Pada saat itu ia mengajar di dua sekolah: naisabur dan Bagdad. Karya yang muncul pada mase ini misalnya Tahafut al-Falasifah dalam bidang filsafat dan Qawaid al-Aqaid dalam bidang ilmu kalam.

Karya pada fase ini menurut Sulaiman Dunya karya-karya al-Ghazali tidak bisa dijadikan sebuah pedoman yang matang untuk menggambarkan ide-idenya secara holistik. Karna baru pada fase ketigalah al-Ghazali mendapatkan pandangan yang holisitik terhadap keilmuan yang didapatnya melalu ketersingkapan tabir sufistik, al-Kasyf al-Shufiyyah. Disinilah kemudian al-Ghazali mengarang kitab Bidayah al-Hidayah dan masterpiece-nya, Ihya Ulum al-Din yang menyatukan nuansa legal-fiqhiyyah yang rigid dengan ruh spiritual.

Karya

Adapun karya-karya al-Ghazali dapat dijelaskan bahwa al-Faqih Muhammad Ibnu al-Hasan bin Abdullah al-Husaini al-Wasithy dalam kitabnya at-Thabaqot al-Aliyah fi manaqibi as-Syafiiyyah menyebutkan ada 98 judul kitab karya al-Ghazali, sedangkan as-Subky dalam kitabnya At-Thabaqot As-Syafiiyah menyebutkan ada 58 judul karyanya, Thasy Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya Miftahus Saadah wa Misbahus Siadah jumlah karyanya mencapai 80 judul kitab, Ia menambahkan bahwa buku dan risalah-risalahnya mencapai ratusan, bahkan sulit dihitung. Tidak mudah bagi orang yang ingin mengenal nama-nama kitabnya, bahkan pernah dikatakan al-Ghazali memiliki seribu minus satu karya, walaupun hal tersebut bertentangan dengan adat kebiasaan namun orang yang mengenal kondisi al-Ghazali sebenarnya bias jadi akan membenarkan informsi tersebut. Diantara karyakarya itu bias disebutkan menurut kelompok ilmu pengetahuan sebagai berikut Zainuddin (Dkk), Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 8.

Kelompok filsafat dan ilmu kalam, yang meliputi:Maqashid al-Falasifah (Tujuan para filosuf)Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para filosuf)Al-Iqtishad fi al-Itiqad (Moderasi dalam aqidah)Al-Munqid min Al-Dhalal (Pembebas dari kesesatan)Al-Maqashidul Asna fi Maani Asmilah Al-husna (arti nama-nama tuhan Allah yang hasan)Faishalut Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah (Perbedaan antara Islam dan Zindiq)Al-Qishash al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat)Al-Mustadhiri (Penjelasan-Penjelasan)Hujjah al-Haq (Argumen yang benar)Mufsil al-Khilaf fi Ushul al-Dini (Memisahkan Perselisihan dalam Ushuluddin)Al-Muntahal fi Ilm al-Jidal (Tata cara dalam Ilmu Diskusi)Al-Madhun bi Ala Ghari Ahlihi (Persangkaan pada bukan Ahlinya)Mahkun Nadlar (Metodologika)Asraar Ilm al-Din (Rahasia ilmu Agama)Al-Arbain fi Ushul al-Din (40 Masalah Ushuluddin)Iljam al-Awwam an ilmi al-kalam (Menghalangi orang Awam dari ilmu kalam)Al-Qulul al-Jamil fi al-Radhi ala man Ghayara al-Injil (Kata yang Baik untuk Orang-orang yang Mengubah Injil) Miyar al-Ilmi (Timbangan Ilmu)Al-Intishar (Rahasia-rahasia Alam)Isbat al-Nadlar (Pemantapan Logika)

Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqih, yang meliputi:Al-Bastih (Pembahasan yang mendalam)Al-Wasit (Perantara)Al-Wajiz (Surat-surat wasiat)Khulashah al-Mukhtasar (Intisari ringkasan karangan)Al-Musthafa (pilihan)Al-Mankhul (Adat Kebiasaan)Syifakh al-Ali fi Qiyas wa al-Talil (Penyembuh yang baik dalam Qiyas dan TalilAl-Dzariah ila Makarim al-Syariah (Jalan kepada kemulyaan Syariah)Kelompok ilmu akhlaq dan tasawuf, yang meliputi:Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama)Mizan al-Amal (Timbangan Amal)Kimiya al-Saadah (Kimia Kebahagiaan)Misykah al-Anwar (Relung-relung Cahaya)Minhaj al-Abidin (Pedoman Beribadah)Al-Darul Fahkirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (Mutiara Penyingkat Ilmu Akhirat)Al-Ainis fil Wahdah (Lembut-lembut dalam Kesatuan)Al-Qurbah ilallahi Azza Wajalla (Mendekatkan diri kepada Allah)Akhlaq al-Abrar wa al-Najat min al-Asrar (Akhlak yang Luhur dan Menyelamatkan Keburukan)Bidayah al-Hidayah (Permulaan Mencapai Petunjuk)Al-Mabadi wa al-Ghayyah (Permulaan dan tujuan)Talbis al-Iblis (Tipu daya iblis)Nasinat al-Mulk (Nasihat untuk raja-raja)Al-Ulum Al-Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni)Ar-Risalah Al-Qudsiyyah (Risalah Suci)Al-Makhadz (Tempat Pengambilan)Al-Ali (Kemuliaan)Kelompok ilmu tafsir, yang meliputi:Quutut al-Tawil fi Tafsir al-Tanjil (Metodologi Tawil didalam Tafsir yang diturunkan) terdiri 40 jilidJawahir al-Quran (Rahasia yang terkandung dalam al-Quran)

Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran al-Ghazali

BIDAYAH AL-HIDAYAH

Latar belakang penulisan kitab

Belum dapat dipastikan kapan al-Ghazali menulis kitab Bidayah al-Hidayah. Namun yang pasti karangan Imam al-Ghazali yang bertema tasawwuf sekaligus bernuansa esoterik ditulis pada periode kehidupannya yang ketiga, yaitu periode tercerahkan dan ketersingkapan diri, al-Kasyf. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa dikarangnya kitab ini sebagai awal dan pengantar dari masterpiece-nya, Ihya ulum al-Din. Cari kajian tentang kitab ini, ulama barat, arab, ataupun indonesia. Akan tetapi Martin Van Bruinessen menyatakan bahwa kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Ihya Mafhum Mukhalafahnya, Martin mengatakan bahwa kitab ini datang lebih akhir daripada kitab Ihya ulum al-Din. Lihat, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 28.

Berbeda dengan Ihya ulum al-Din, kitab Bidayah al-Hidayah tidak sepopuler kitab yang menjadi rujukan para ulama, serta masyarakat Indonesia di dalam bidang tasawwuf. Akan tetapi ia tetap memiliki signifikansi bahkan sampai saat ini karena isi yang dibahas di dalam kitab ini pun memiliki relasinya pada realitas masyarakat kontemporer.

Dilihat dari perspektif klasifikasi umat oleh al-Ghazali, sebagaimana yang ia tulis dalam al-Qisthas al-Mustaqim, Pertama, masyarakat kebanyakan (awwam) yaitu kelompok pencari keselamatan yang berkemampuan intelektual rendah, kedua, masyarakat elit (khawwash), yaitu mereka yang memiliki kecerdasan dan ketajaman mata hati. Ketiga, di antara keompok itu muncul kelompok ahli debat. Lihat, al-Ghazali, al-Qisthas al-Mustaqim, hlm. 86 kitab ini nampaknya diperkhususkan untuk kalangan khawwash, yaitu mereka yang memiliki kecerdasan dan ketajaman mata hati. Hal ini sangat nampak jelas ketika dalam awal mukadadidimahnya al-Ghazali menyintar orang-orang yang mencari ilmu demi kepentingan duniawi.

Dalam awal mukaddimahnya al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu itu penting dan memang harus diusahakan untuk didapatkan. Akan tetapi jika ilmu yang dimaksud hanya ilmu yang dipakai untuk membanggan dirinya dan mempertebal kecintaannya kepada dunia maka sesungguhnya keinginan itu tiada lain adalah keinginan untuk menghacurkan sebuah agama, meluluhlantahkan jiwa, memperjualbelikan akhirat atas dunia. Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 1.

Sebaliknya, lanjut al-Ghazali, ketika niat dan tujuan awal mencari ilmu itu didasari atas keinginan untuk mencari keridhaan (dalam arti aktif bukan pasif) Allah menghilangkan kebodohan invididu, sosial, dan menghidupkan agama, serta menancabkan Islam dalam keabadian dengan ilmu juga tanpa menghilangkan ilmu-ilmu para ulama dahulu maka para malaikat akan membentangkan sayap-sayapnya yang akan meneduhkan orang tersebut dalam godaan syetan. Begitu pun dengan ikan paus yang seraya memintap ampun bagi orang tersebut.

Namun diatas niat mulia tersebut harus ada yang harus diingat bahwa setiap hidayah yang menjadi hasil daripada pencarian ilmu pasti memiliki aspek eksoteris dan esoteris. Imam al-Nawawi al-Bantani dalam syarh nya terhadap kitab ini, al-Muraqi al-Ubudiyyah, bahwa yang dimaksud dengan hidayah adalah jalur yang Allah sediakan untuk menuju kepada-Nya. Al-Bidayah kemudian dimaknai oleh al-Bantani dengan al-Syariah dan al-Thariqah, tata-cara dan hakekat pada lafadz al-Nihayah. Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi, Muraqi al-Ubudiyyah, hlm. 4. Karena tiada lain daripada tujuan sesuatu dan hidup kecuali hakekat. Syariat itu tiada lain adalah aspek eksoteris hakekat dan hakekat adalah aspek esoteris syariat. Kedua-duanya memiliki makna yang sama dan melengkapi. Hakekat disini tidak dimaknai dengan hakekat sebagai sebuah bagian terpendam atau terdalam pada sesuatu. Akan tetapi sebagi tujuan akhir daripada segala sesuatu termasuk ciptaan manusia, dan hakekat manusia itu tiada lain adalah mengenal Allah. Oleh sebab itu hakekat dinisbahkan kepada kata haqq yang bermakna Allah. oleh sebab itu pula para tasawwuf menyebut diri mereka dengan ahl al-Haqiqah. Lihat, Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawwuf (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 6. oleh sebab itu kata al-Ghazali, seseorang tidak akan mencapai derajat hakekat sampai ia melampaui aspek eksoterisnya.Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 1.

Maka alasan dinamakan kitab ini tiada lain adalah sebagai pengantar seseorang untuk mencapi aspek terakhir dari pada hidayah tersebut, dan itu ada lain itu adalah aspek syariat dan thariqah, dalam pandangan al-Bantani. Dengan kata lain nuansa legal formal dihiasi dengan naunsa batiniyyah sehingga setiap hukum terasa memiliki ruh dan semangat oleh orang yang melakukannya.

Oleh sebab itu maka mencari ilmu tanpa tujuan mencapai hidayah (aspek esoterisnya) adalah kesalahan yang fatal. Karena ketika seseorang tidak mencari ilmu kecuali karena kepentingan-kepentingan temporer dan fana (baca: sementara) maka kehancuran akan menghampirinya. Al-Ghazali kemudian mengutip surah al-Kahfi ayat 112-113 (103) sebagai legitimasi bahwa perbuatan bahkan itu mencari ilmu yang banyak mendatangkan manfaat secara pragmatis itu adalah kesia-siaan dalam pandangan Allah, dlalla amaluhum. Al-Ghazali pun kemudian memperkuat argumentasinya dengan melampirkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Dailami bahwa barang siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak menambah kezuhudan di dunia maka tidaklah orang tersebut berada dekat Allah, kecuali ia semakin jauh dari-Nya.

Pandangan al-Ghazali akan semakin nampak jelas dengan pendekatan tematik al-Quran terhadap kata amila yang itu memiliki nuansa teologis. Artinya bahwa mencari ilmu akan menjadi perbuatan yang paripurna dan mendatangkan kemanfaatan berupa semakadin dekat dengan Allah jika tentunya dilandasi dengan keimanan. Keimanan inilah yang kemudian akan mengantarkan manusia melandasi mencari ilmu tersebut untuk mencapi hidayah. Jika tidak maka kesia-siaanlah yang akan diperoleh. Kesia-siaan dalam al-Quran ditegaskan oleh al-Zamakshyari sebagai buah daripada kemusyrikan. Al-Syafii sejatinya perbuatan yang itu memiliki dampak positif tidaklah sia-sia kecuali ia sudah meninggal dunia. Akan tetapi Abu Hanifah menyatakan bahwa kesia-siaan perbuatan itu akan ada selama itu dilandasi dengan kekafiran, kemusyrikan ataupun murtad. (Al-Zamakshyari, al-Kasysyaf , juz. 1, hlm. 191). Hal ini sebagaiman dilakukan oleh Thabathabai yang meluaskan kata kesia-sian sehingga mencakup semua amal perbuatan manusia. Hal ini terkait dengan keimanan kepada Allah swt. Dengan demikian, hal itu tidak lepas dari masalah keagamaan dan ekstologi, bukan dalam kaitan dengan urusan kehidupan di dunia semata. Maka sejatinya kesia-siaan memiliki kaitan dengan berbagai amalan dari segi pengaruhnya pada kehidupan akhirat. Karena pada dasarnya iman itu memperbaiki kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kerugian usaha orang kafir khususnya orang yang murtad adalah kesia-siaan amalanya di dunia tanpa bekas. Hal itu dikarenakan hatinya tidak bergantung pada suatu atau perkara yang pasti, yaitu Allah swt. Ayat-ayat yang berbicara tentang kesia-siaan perbuatan manusia yang tidak disadari dengan keimanan diantaranya, (al-Maidah [5]: 5), habitat amaluhum (Ali Imran [3]: 22), habitat amalahum (al-Maidah [5]: 53, (al-Zumar [39]: 65), habita anhum, habithat (al-Araf [7]: 147) habitha (Hud [11]: 16. Allah pun kemudian mengumpamakan pekerjaan sia-sia mereka seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang, Ibrahim [14]: 18 dan laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun (al-Nur [24]: 39.

Dalam kehidupan dunia, perbuatan orang-orang (yang dinyatakan sia-sia amalnya) tetap bermanfaat. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dipersembahkan olehnya setiap tetapi dirasakan kegunaannya oleh umat manusia, baik maukmin atau nonmukmin. Bahkan orang mukmin memanfaatkannya dalam mensukseskan keimanan mereka. Dengan demikian, tulis Jalaluddin Rahman, kesia-siaan yang dimaksud Quran adalah bersangkutan dengan nilai keagamaan di dunia dan pahal di akhirat dan berkaitan pula dengan ketaatan atau ketaktaatan seseorang pada ajaran-ajaran Allah. Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Quran: Suatu Kajian Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 48.

Untuk itulah kemudian al-Ghazali mengklasifikasikan manusia yang mencari ilmu dalam tiga kategori. Pertama, orang yang mencari dunia demi perbekalan di akhirat dan tidak mencarinya kecuali ridha Allah, dan itulah orang-orang yang beruntung. Kedua, orang yang mencari ilmu yang untuk kepentingan duniawi, dari harta dan kedudukan. Dia menjadikan dunia sebagai akhiratnya. Ketiga, orang yang dirasuki syetan sehingga nampak ia hidup bermegah-megahan atas apa yang ia mampu hasilkan dari ilmunya. Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 2. Oleh sebab itu jadilah orang yang masuk kategori pertama, khawatirlah untuk menjadi orang yang kedua, dan jangan pernah sekali-kali menjadi orang ketiga. Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 3.

Maka di akhir muqaddimahnya kemudian, al-Ghazali menekankan bahwa kitab ini tiada lain ditunjukkan untuk mengujui jiwanya secara personal agar tidak termasuk dalam kategori kedua dan ketiga. Secara tegas al-Ghazali berujar bahwa permulaan dari hidayah tersebut tiada lain adalah nampaknya ketakwaan seseorang, secara syarii, dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya. Dari dua hal ini kemudian al-Ghazali membuat dua bab khusus terkait ketaatan dan larangan, dan pada bab terakhir al-Ghazali menghiasi pembahasannya tentang tata krama interaksi antara seorang hamba dengan Sang Pencipta sekaligus dengan makhluk (manusia).

Sistematika Kitab

BAGIAN PERTAMA; Ketaatan

Adab al-Istiqadl min al-NaumAdab dukhul al-KhilaAdab al-WudluAdab al-GhuslAdab al-TayammumAdab dukhul al-MasjidAdab bada tulu al-Syams ila al-ZawalAdab al-Istidad li Sair al-ShalawatAdab al-NaumAdab al-ShalahAdab al-Imamah wa al-QudwahAdab al-JumahAdab al-Shiyam

Bagian kedua; Ijtinab al-Maashi

Adab al-AynAdab al-UdzunAdab al-LisanAl-KadzbAl-Khalfu fi al-wadAl-GhibahAl-Mura wa al-Jidal wa al-Munaqash fi al-KalamTazkiyah al-NafsAl-Dua ala al-KhalqAl-Mizah wa al-Sakhriyyah wa al-Isthiza bain al-NasAdab al-BathanAdab al-FarjAdab al-YadainAdab al-RijlainAl-Qaul fi Maashi al-QalbAl-HasudAl-RiyaAl-Ujub, al-Kibr, al-FakhrHadits jami fi maashi al-Qalb

BAGIAN KETIGA; AL-QAUL FI ADAB AL-SHUHBAH

Adab al-IlmiAdab al-MutaallimAdab al-Walad maa al-WalidainAshnaf al-Nas fi al-Alaqah bi al-Mari; AshdiqaMaarifMajahilAl-Alaqah bi al-Awwam al-MajhulinAl-Alaqah bi al-Ikhwan wa al-AshdiqaSyuruth al-Shuhbah wa al-ShadaqahMuruah Huquq al-ShuhbahAdab al-alaqah bi al-maarif

Nampak dari sistematika yang diajukan oleh al-Ghazali merupakan wujud serta implementasi dari amr maruf yang terkosentrasi pada ibadah individu terhadap Tuhan, habl minallah atau abadah mahdlah. Dilihat dari susunan sistematika pembahasan pada bab pertama, al-Ghazali membuat sebuah rentetan kegiatan seseorang dimulai dari bagaimana ia harus bangun dari tidur dan bagaimana semestinya ia tidur. Dengan kata lain bahwa pada semua aktivitas manusia itu pada sejatinya memiliki nuansa teologis yang itu memang benar-benar harus ditonjolkan.

Pada bab kedua al-Ghazali menghidangkan pembaca agar terjauh dari kemungkaran dan masiat baik itu berupa dzahir maupun bathin, jasad maupun hati. Disini al-Ghazali menitikberatkan pada panca indera serta organ tubuh manusia yang mudah sekali terserang godaan syetan, dari mata, telinga, perut dan lainnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa meninggalkan perkara yang dilarang itu lebih sulit dilaksanakan daripada melakukan ketaatan. Karena setiap perbuatan yang dilarang itu hanya dijauhi oleh orang-orang yang memang benar-benar mushaddiq. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi, al-Muhajir man Hajaran al-Su wa al-Mujahid man jahada hawah.

Pada bab terakhir, al-Ghazali kemudian memberikan pengarahan terkait dengan hablum min al-Nas. Dari seorang pembelajar, adab kepada orang tua sampai pada kategori orang yang awwam.

Tentunya terlalu luas jika memberikan komentar terhadap kitab ini secara keseluruhan oleh sebab itu dalam penulis hanya akan menyajikan secara deskriptif analitis terhadap salah satu bagian dari tiap bab atau penjelasan yang kiranya akan mewakili setiap pembahasan, walaupun memang tidak mungkin. Penulis pun akan menggunakan kitab syarh Bidayah al-Hidayah yaitu Muraqqi al-Ibadah karya Muhammad al-Nawawi al-Bantani-al-Jawi. Nawawi Banten (w.1896) yang dipuji oleh Snouch sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati adalah pengarang paling produktif. Di samping kitab tafsirnya yang terkenal, dia menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipejalari di pesantren. Berbeda dengan pengarang Indonesia sebelumnya, dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupan syarh atas kitab-kitab yang digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau terkadang mengoreksi matan yang disyarhai. Sejumlah syarh-nya benar-benar menggantikan matan asli dari kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (dia menulis paling sedikit dua kali jumla itu) masih beredar, dan 11 judul dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan pesantren. Nawawi sendiri berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Dia memperkenalkan dan menafsirkannya kembali warisan intelektualnya, dan mermperkayanya dengan menulis karya-karya baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka. bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, bapak reformis Islam Indonesia pun termasuk muridnya. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 38. Penulis pun akan mencoba mensyarh dan membandingkannya dengan kitab al-Ghazali Ihya Ulum al-Din.

Pembacaan Reflektif atas Bidayah al-Hidayah

Dalam upaya membaca karya ini penulis akan mengambil sample pada kajian awal pada setiap bab yang al-Ghazali bahas. Pertama, tentang tata krama bangun dari tidur. Kedua, bagaimana seharusnya seorang manusia melihat dengan kedua matanya, dan ketiga, adab al-Shuhbah, tata krama persahabatan atau kedekatan. Peletakkan kasus-kasus ini di awal pada setiap bab oleh al-Ghazali bukan tanpa alasan. Karena dalam pembacaan awal penulis ketiga kasus tersebut merupakan sumber bukan hanya awal pada setiap kegiatan selanjutnya yang akan dilakukan. Pada kasus tata krama bangun dari tidur, misalnya. Perjalanan seorang manusia pada pagi, siang, sore, bahkan malam harinya dilihat pertama kali pada reaksi spontanitas ketika ia bangun dari tidurnya, dan apa yang dia lakukan setelah itu.

Al-Ghazali pada kasus pertama menganjurkan seseorang untuk senantiasa berusaha, ijtihad (baca: mengeluarkan seluruh kemampuan) untuk bangun sebelum terbitnya fajar. Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 3. Hal itu tentunya harus diisi dengan shalat awal waktu, bacaan al-Quran, dan hal-hal positif yang lainnya. Al-Bantani menambahkan bahwa ketika seseorang bangun maka manusia ibarat hidup dari kematiannya. Sedangkan hidup adalah cahaya dan kematian adalah kegelapan. Al-Bantani, Muraqqy al-Ubudiyyah, hlm. 11. Oleh sebab itulah seorang manusia ketika bangun fikiran, hati serta lisannya harus dipenuhi dengan lautan dzikir kepada Allah. al-Bantani kemudian dalam syarh menjelaskan memperkuat argumentas al-Ghazali dengan menyantumkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa ketika seseoran tidur maka syaitan membuat tiga ikatan. Ikatan pertama akan lepas dengan dzikir, kedua dengan berwudlu, dan ketiga dengan melakukan shalat. Hadis ini ditakhrij oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majah dan Imam Malik. Kemudian ia pun merekomendasikan doa yang diriwayatkan Hudzaifah dan Abi Dzar, Hadis-hadis ini ditakhrijkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, al-Darimi, Ahmad, Ibn Hibban, dan al-Nasai. al-hamdulillahadzi ahyana bada ma amatana wa ilaih al-Nusyur, dengan mengkombinasikan doa yang diriwayatkan oleh Abza, ayah dari Abd al-Rahman, ashbahna ala fathrat al-islam hanifa muslima, Hadis ini diriwayatkan oleh al-Darimi dan Ahmad. doa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Allahumma bika ashbahna wa ilaik al-Nusyur Hadis ini ditakhrij oleh Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad., dan doa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Masud; nasaluka khair hadza al-yaum wa syarra ma fih. Hadis ini ditadlifkan oleh al-Bani sebagaima termaktub dalam Sunan Abu Daud dan dicatat shahih dalam kategori Muslim dalam kitab Shahih ibn Hibban. Dan setelah selsai membaca doa tersebut pakailah pakaian takwa sebagai bentuk ketaatanmu kepada Tuhan, al-Ghazali mengakhiri.

Dari sisi normatif nampak bahwa al-Ghazali menguasai hadis hadis yang itu bahkan ditakhrijkan oleh muhaddtis mutabarah. Artinya walaupun al-Ghazali seorang mutashawwif akan tetapi ia tidak melepaskan dirinya dari doktrin doktrin teologis, termasuk hadis. Dengan kata lain ia sebenarnya ingin menunjukkan bahwa mengingat Allah ketika bangun dari tidur, bahkan sampai kemudian melaksanakan shalat bukanlah hasil ijtihadinya tetapi merupakan ajaran langsung oleh Rasulullah yang disampaikan kembali oleh al-Ghazali.

Pentingnya doa pun secara normatif dijelaskan oleh al-Ghazali dalam ihya ulum al-Din dengan melampirkan dalil-dalil al-Quran, wa idza saalaka ibadi anni fainni qarib, udu rabbakum tadzarruan wa khufyatan, wa qala rabbukum uduni astajib lakum, dll. Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, juz. 1, hlm. 330. Dan doa-doa yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam kitab ini pun sudah tercatat lengkap dalam bab al-Adiyyah min al-Hawadits.

Kasus kedua tentang menjaga mata. Disini yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah mata setiap manusia, bukan mata batin. Mata sejatinya, menurut al-Ghazali diciptakan untuk melihat dalam kegelapan dan untuk melihat kekuasaan Allah untuk selalu ditafakkurkan dan ditadabburkan. Ada empat hal yang dilarang oleh al-Ghazali terkait dengan indera mata, pertama, melihat yang bukan mahram, melihat gambar yang tercela walau tanpa syahwat -, melihat seorang muslim dengan pandangan yang hina, atau mencari-cari celah seorang muslim. Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 17.

Amalan pertama dan kedua nampak adalah pekerjaan mata an sich berbeda dengan yang kedua dan keempat yang lebih menitikberatkan pada pekerjaan hati. Dalam konteks orang yang berilmu maka seseorang tidaklah cukup untnuk tidak melihat sesuatu yang dilaran oleh agama, tetapi bagaimana ia pun dilarang untuk melihat sesuatu tanpa kebencian, kedengkian bahkan penghinaan. Pentingnya menjaga mata ini kemudian diperluas oleh al-Bantani dengan syair yang dikutip dari Bahr al-Basith, Al-Nawawi al-Bantani, Muraqqi al-Ubudiyyah, hlm. 74.

#

Setiap perkara berawal dari mata, tiada api menyela besar kecuali dimulai dengan kejahatan yang secuil

Pembahasan ketiga tentang tata krama pendekatan dan kedekatan dengan sang Khalik. Al-Ghazali secara fenomenologis menggambarkan bahwa kedekatan makhluk dengan hambanya adalah kedekatan yang abadi. Dalam kondisi apa pun sebenarnya seorang manusia sangat dekat dengan Tuhannya; tidurkah, berdirikah, atau sedang bermaksiatkah. Namun kedekatan manusia tidak bisa diilustrasikan dengan kedekatan fisik antara manusia dengan makhluk Tuhan. Karena kedekatan Tuhan bukanlah kedekatan fisik. Bahkan dalam kondisi apa pun. Akan tetapi kedekatan ini kadang tidak bisa dirasakan oleh orang-orang yang lalai dari dzikir kepada Nya. Karena kehadiran Tuhan pada dasarnya adalaha kehadiran yang dimulai dengan kesadaran manusia atas adanya Tuhan. Al-Ghazali menyebutkan firman Allah yang walaupun secara tekstual tidak ada dalam al-Quran, ana jalisun man dzakarani. Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 23. Kata ini pun sebenarnya merupakan dialog antara nabi Musa dengna Allah swt. Syamsuddin Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (DVD ROOM al-Maktabah al-Syamilah), juz. 4, hlm. 311. Al-Razi menambahkan bahwa lafadz tersebut merupakan salah satu sabab nuzul saja dari surah al-Baqarah [2]: 186. Lihat Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz. 3, hlm. 108.

:

Wahai Tuhanku, apakah engkau dekat kemudian aku menjauhimu, ataukah engkau jauh sehingga aku harus mendekatimu. Allah berfiran, Wahai Musa, aku bersama orang yang ingat pada-Ku

Dalam al-Quran pesan al-Ghazali ini selaras dengan surah Al-Baqarah [2]: 152 dan 186. Sedangkan dalam hadis sebagaimana yang ada dalam al-Mustadrak ala al-Shahihain, Al-Mustadrak ala a-Shahihain li al-Hakim (DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah, 2008), juz. 4, hlm. 375. dan dikutip oleh al-Bantani Al-Bantani, Maraqi al-Ubudiyyah, hlm. 102. , : , Hambaku, aku tergantung pada prasangkamu, dan aku selalu bersamamu apabalia engkau mengingat-Ku. Al-Ghazali pun kemudian menegaskan bahwa dalam kesedihan pun sesungguhnya manusia harus selalu dekat dengan Tuhan.

Oleh sebab itu untuk mendapatk pengetahuan sejatihaqqa al-Marifah, seorang manusia harus menjadikan Tuhan sebagai pendamping Nya dan menjadikan hamba jauh darinya. Menjauhkan hamba disini bukan berarti, tidak menjadikan manusia sebagai partner di dunia. Karena al-Ghazali pun secara eksplisit pada bab selanjutnya memperlihatkan etika bergaul dengan orang tua dan yang lainnya. Maka yang diinginkan oleh al-Ghazali adalah ketergantungan manusia pada manusia sehingga melupakan Tuhan. Dalam konteks keilmuan maka marifah sejati akan datang bukan hanya karena usaha manusia tetapi kehendak-Nya.

Akan tetapi al-Ghazali kemudian memberi kemudahan bahwa apabila seorang manusia belum melakukan hal tersebut, setidaknya ia mampu menghilangkan dosa pada setiap waktu dan tempat dimana ia berada, fainnaka an tukhaliyya lailaka wa naharaka. Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 23. Oleh sebab itu perlu kiranya etika-etika garis besar yang manusia harus lakukan ketika ingin mendekatkan dirinya pada Tuhan, yang oleh al-Ghazali dibagi menjadi empat belas bagian; 1) menundukkan kepala (tunduk dan pasrah), 2) memiliki niat yang kuat dengan selalu bersandar pada Allah, himmah, 3) selalu diam dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, 4) tidak melakukan hal-hal merugikan yang berakibat akan menggangu kekhusyuan dan ketertundukkan diri pada Allah, 5)