96
1

Bisikan Hati

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Novel Bisikan Hati, tentang kumpulan kumpulan cerpen, tentang perjuangan cinta

Citation preview

Page 1: Bisikan Hati

1

Page 2: Bisikan Hati

2

Daftar IsI

1. Miss Ice Cream 2

2. Kota Tua 15

3. Terima Kasih Cino 25

4. Cinta Butuh Waktu 31

5. Setiap Minggu di Tanam Budaya 40

6. Setelah Kita Putus 50

7. Aku tidak Seperti Mantanmu 61

8. Tersirat 68

9. Lima belas minggu setelah kepergian kamu 82

10. Kita (Mungkin) belum Benar benar Putus 87

11. Belajar Melepaskan 91

Page 3: Bisikan Hati

3

Miss I cream

Ini sudah es krim kedua yang aku lahap malam ini,

tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua

kadang sesekali memalingkan tatapannya dari Koran pagi

harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di

cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras Sendok demi

sendok aku nikmati, tatapanku hanya menatap kosong pada

suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi

kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar

yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati ini

campur aduk dan sedikit sesak. Me-rewind semua rutinitas

gila.

Tepat 3 tahun yang lalu.

Di kedai es krim yang sama Wajahnya yang sedikit

pucat dan tirus, rambut nya yang panjang, sedikit berantakan,

dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku

tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi. “Gimana?”

tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat

Page 4: Bisikan Hati

4

ekspresi yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah

dengan es krim yang kumakan.

“Tunggu!” jawabku sambil memutar mata seolah

berfikir serius mendikripsikan Sesuatu yang sedang lumer

dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku

seperti tester sejati. “Enaak !!” Seru ku. Dia tersenyum kecil

dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang

menipu.. Ya, Dialah Putri. Putri dan Aku pertama kali

bertemu di Ruang Kelas, Dia yang mengembalikan modul

praktikumku yang tertinggal di Kelas. Disitulah kami

berkenalan, dia sebenarnya seniorku di kampus, usianya

terpaut dua tahun lebih tua dari umurku. Putri mengambil

cuti selama satu tahun di awal perkuliahan. oleh sebab itu ia

sering meminjam buku catatanku untuk mengejar

ketinggalannya. Sebagai imbalan nya Putri sering

mentaktirku es krim. Berawal dari sebuah catatan dan

secorong es krim di kantin kampus-lah pertemanan kami

semakin akrab.

Putri adalah sosok manusia yang sangat cantik yang

mempunyai hobi yang bisa dibilang menarik untuk

semuruaan dia,

Page 5: Bisikan Hati

5

Putri adalah cewek dengan hobi membuat cake atau

makanan manis. Miss ice cream adalah panggilanku

untuknya. Cewek berbadan kurus, tinggi dan berkacamata ini

bisa di bilang addicted dengan es krim seperti sesuatu yang

tak bisa di pisahkan. Karena hobi dan mimpinya ingin

mempunyai usaha di bidang kuliner itu, Putri mengambil

Cooking Class khusus membuat pastry. Putri termasuk

golongan cewek yang anggun dan tak banyak bicara,

Terkadang Putri tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.

Sore itu, Putri dengan sengaja mengajakku

berkunjung ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada

sejak jaman kolonial belanda. dan aku percaya itu, karena

bangunan kedai itu sudah tua, interior kedai itu pun terlihat

seperti di museum–museum sejarah, seperti meja kasir dan

pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang

berpelitur, mesin kasir nya pun antik dengan type model tua,

disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat

terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan

kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang

muda, semua tua.

Page 6: Bisikan Hati

6

Putri bercerita sambil menerawang kearah langit-

langit, kalo dia sering makan es krim disini ketika masih

kecil bersama ibunya. Ia menceritakan kesukaannya terhadap

tempat ini dan kegemaran nya makan es krim, alasan dirinya

suka sekali makan es krim karena ibunya pernah mengatakan

bahwa makanan yang manis itu bisa mengobati patah hati

dan bad mood. Aku hanya menatap wajahnya yang masih

sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena

antusias dengan apa yang ia lakukaan atau ia ceritakan.

“Semua orang hampir menyukai es krim bukan?” dia

menatap ku lagi. Sialnya aku tertangkap mata karena

menatapnya lamat-lamat, aku memalingkan wajah dan

menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi dan ku

jejali roti itu dengan es krim. “Termasuk kamu yang rakus,

makan es krim sama roti” protes nya sambil tertawa kecil

melihat kelakuanku melahap roti isi es krim. “ini Enaaak,

coba deh ” sambil menyodorkan roti isi eskrim kepadanya

sebagai upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Putri

lantas mencoba mengunyahnya dengan lahap, lalu tersenyum

lagi tanda setuju kalo itu kombinasi yang enak.

Page 7: Bisikan Hati

7

Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku

dan Putri seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang

bersenda gurau. Tapi mereka salah besar. Kami tidak

pacaran, tepatnya Putri punya pacar. Putri berpacaran dengan

Eko. Mengenai putri dan eko aku tak tahu banyak karena Eko

jarang sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku

mereka menjalin pertemanan semenjak mereka duduk di

bangku SMA, lalu mereka saling menyukai dan berpacaran,

Eko adalah Pria yang tampan, Smart Hanya itu yang ku tahun

2 Tahun yang lalu.

Di kedai es krim yang sama. Putri tersenyum simpul

penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan dress abu-abu

bermotif bunga kali ini rambutnya terurai. “Ta daaaa, Happy

Birth Day” putri menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku

tak menyangka. Sebuah surprise !! Malam itu di hari ke tiga

di bulan Maret, Putri membuatkanku kue ulang tahun dengan

motif bola dengan dominasi warna biru dan putih, seperti

warna club kesukaanku, Chelsea. Lengkap dengan tulisan

“Happy Birth Day Ragil” diatas kepingan cokelat putih yang

membuat kue itu semakin cantik dan tak lupa lilin dengan

Page 8: Bisikan Hati

8

angka kembar dua-puluh dua tahun. “Jangan lupa berdoa dan

make wish ya”

Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan

mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami

merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart buatan

Putri dan es Krim tentunya. “Dinda, belum telepon juga?”

Putri bertanya singkat. Aku hanya menggeleng kepala.

Singkat cerita, Dinda adalah pacarku. tepatnya 6 bulan yang

lalu, . Dinda dan Aku bertahan pacaran hanya Enam bulan

saja. Kami menjalani hubungan LDR alias Long Distance

Realtionship, atau pacaran jarak jauh, Akhir-akhir ini

komunikasi kami mulai terasa tidak lancar. Ditambah Dinda

yang tidak pernah suka dengan aktifitasku. Terkadang itu

menjadi bahan pertengkararan kami. Pada akhirnya kami

memutuskan hubungan secara baik-baik. Dan Tak ada yang

harus di pertahankan. putri selalu peduli dan selalu mencoba

menghiburku.

Seorang teman yang selalu ada untukku, diberikan

surprise seperti ini adalah pertama kali dalam hidupku, ada

orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat

perayaan spesial seperti ini khusus untukku hanya seorang

Page 9: Bisikan Hati

9

teman seperti Putri yang melakukannya. Teman? Lalu

bagaimana dengan Eko? Apakah dia melakukan hal yang

sama kepadanya? Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba

muncul di kepalaku, Mengapa aku ingin tahu detail

bagaimana Putri memperlakukan Eko? Bukankah

sebelumnya aku tak pernah peduli? “Barusan make a wish

apa?” Pertanyaan putri membangunkanku dari lamunan

akibat pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari

kepalaku.

“Rahasia” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka

jahil. “Pelit” Putri pura-pura ngambek.

“Anyway Putri, thank a lot, you’re my best” Aku tersenyum.

aku bahagia malam ini.

“Any time, Gil” balas Putri. Tersenyum simpul.

Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku

menyadari seorang duduk dihadapanku seperti sebuah es

krim yang dalam diamnya terlihat anggun, dalam senyumnya

terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang

membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang

tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus

matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan

Page 10: Bisikan Hati

10

sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan

kadang membuat dada ini sesak.

Segerombolan awan hitam, tak hentinya

menumpahkan air kebumi, menadakan besarnya kerinduan

langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan

gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma

tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari

pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun,

semua interiornya tetap tua di makan usia.

Dua jam yang lalu, aku dan Putri duduk bersama di

kedai ini, wajahnya sudah tak sepucat dan serius dulu, rambut

nya pun tak seberantakan satu tahun yang lalu, Putri terlihat

baik-baik saja bukan?, Namun tak ada sedikit pun senyum

didalam air muka Putri, Dia bersikap dingin, sedingin es krim

di mangkuk dan cuaca di luar. “Kenapa gak ada kabar gil?”

Putri menatapku serius. Nada suaranya dingin.Aku tak

sanggup memandang putri, hanya tertunduk dan diam, lidah

ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.

“Aku sibuk put” (Aku berbohong). “Maaf put, aku memang

keterlaluan” ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang

nyaris keluar.

Page 11: Bisikan Hati

11

Setelah mendengar kata maaf itu langsung

mehenyakan punggungnya kesandaran kursi, seperti tak

percaya hanya mendengar kata maaf dari seorang sahabat

yang hanya pamitan lewat sms dan setahun kemudian tak ada

kabar sedikitpun seperti menghilang di telan bumi. Aku tahu

Putri pasti marah hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan ini

makin menguasai, persahabatanku dengan Putri terasa bias,

tepatnya hanya aku yang merasa bias, aku tak kuasa lagi

mempertahankan kepura-puraanku di depan Putri yang selalu

bersikap baik kepadaku. Karena dengan sikap Putri yang

seperti itu, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri

pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah

memangkas nya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan

akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu

yang bersamaan. Maka ketika kesempatan bekerja di luar

kota itu datang aku tak menyiakan nya. “Tapi kau baik-baik

saja kan?” Ucap nya tenang. Aku mendongak, menatapnya

lekat-lekat.

Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu

aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu perasaan

Putri sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun

Page 12: Bisikan Hati

12

Putri selalu baik dan memaafkanku yang bertindak bodoh.

“Lalu bagaimana denganmu Putri?” ucapku terbata.Putri tak

menjawab, dia mentapku lekat-lekat, mungkin sikapku

terlihat aneh dan membingungkan bagi Putri sehingga

membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya ia

ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini.

Namun putri menyerah, dia menghenyakan kembali

punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana

diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini

pun mencair.

Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam

disini sedang menumpahkan kerinduan pada kedai ini,

kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Putri. Scene

potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar,

kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu

benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas,

berwarna merah, pemberian Putri dua jam yang lalu.

Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik

benda itu, dan entahlah lah sudah berapa kali hati ini merasa

terbolak balik karena melihat isinya. Sebagai teman ini

adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang

Page 13: Bisikan Hati

13

sedang tertimpa perasaan aneh ini adalah kabar buruk bagiku.

Lalu dimana aku harus menempatkan diriku sendiri? Butuh

setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini

untuk mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang

ketiga ini aku baru dapat pemahamanya, bahwa tak pernah

ada yang berubah dari sikap Putri kepadaku, dia selalu ada

untukku, melindungiku, menyangiku sebagai sahabatnya.

Aku-lah yang terlalu egois, tak mau ambil tindakan

serta resiko untuk menyatakan nya dan malah pergi

menghilang darinya yang hanya membuat Putri terluka.

Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas

menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari

kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua

itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terimakasih, aku

hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih

campur aduk dan terasa sesak.

Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju

Statsiun hendak meninggalkan kota ini, dan aku berjanji,

minggu depan aku kan datang lagi ke kota ini, menjadi saksi

ucapan janji abadi sehidup semati antara Putri dan Eko. aku

akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tidakan

Page 14: Bisikan Hati

14

bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah

membantu melupakan orang yang kita sayangi, yang

membantu hanyalah sikap menerima kenyataan. Biarlah aku

menelan semua pahit dan sakit nya perasaan ini Putri, dan

waktu yang akan mencernanya. Karena aku tahu, Rasa sakit

ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es krim akan

menjadi obatnya, bukan?

Page 15: Bisikan Hati

15

Kota Tua

Selalu teringat dibenakku kejadian dua minggu yang

lalu. Teringat akan senyuman tulus gadis itu juga kedua mata

indahnya yang kugambarkan mirip dengan bulan terang di

malam hari. Saat nyaris saja sebuah mobil menabrak gadis

itu, dengan sigapnya aku menolong gadis yang tidak

kuketahui namanya itu bak seorang pahlawan. Kejadian itu

benar-benar membuatku gelisah sekarang. Ditambah

pancaran sinar dari wajah cantik gadis itu yang membuatku

tambah tak karuan. Bahkan hingga saat ini, aku masih saja

terus gelisah memikirkan gadis cantik itu. Hingga saat ini,

saat sesuatu yang tidak terduga datang lagi kepadaku..

Kupotret bangunan-bangunan di Kota Tua sore itu,

semua orang yang lewat, para pedangang yang menanti

pembeli datang. Hingga sesuatu yang tidak terduga itu

terjadi. Diantara banyak orang-orang lewat sambil tertawa

ria, aku melihat sosok wajah yang familiar. Ya, gadis itu.

Gadis yang kutolong dua minggu lalu. Dia juga sedang asik

mengabadikan kejadian-kejadian menarik di Kota Tua sore

itu. Kemudian terukir sebuah senyuman dibibirku, dan aku

pun berlari menghampiri gadis itu. “Hey!” sapaku. Gadis itu

Page 16: Bisikan Hati

16

menoleh sambil tersenyum indah dengan tampang agak

sedikit bingung dan ragu. “Dua minggu lalu, kita ketemu saat

kamu mau ketabrak mobil. Udah inget sama aku?” tanyaku

menjawab tanda tanya dipikiran gadis itu. Gadis itu

kemudian tertawa sambil menganggukkan kepalanya.

“So, kamu seneng photograph juga, Sar?” tanyaku

setelah kami berkenalan dan aku tau nama gadis itu adalah

Sarah. “Iya. Dari SMA aku udah suka photograph. Seneng

aja gitu bisa ngabadiin hal-hal menarik yang kadang nggak

kita sadarin” jawabnya sambil tersenyum lembut ditambah

sebuah lesung pipi di pipi kanannya. Aku mengangguk.

“Emm, kapan-kapan boleh kali hunting bareng. Hehe”

ucapku basa-basi. “Oh, boleh-boleh! Secepatnya deh

direncanain tempatnya, soalnya baru-baru ini aku juga ada

rencana mau hunting gitu deh” jawabnya bersemangat. “Oke

deh, pasti diusahain cepet cari tempat huntingnya, Sar”

sahutku sambil mengedipkan satu mata kearahnya. Sarah

tertawa kemudian dia memotret seorang ibu yang sedang

menggandeng kedua anak kembarnya. “Mau es krim?”

tanyaku lagi. Sarah mengangguk.

Page 17: Bisikan Hati

17

Semakin lama, semakin dekat aku dengan Sarah.

Takdir memang tidak kemana, pertemuanku dengan Sarah

benar-benar takdir yang indah. Apalagi setelah kita berdua

hunting bersama di sebuah wisata air terjun di Jawa Tengah,

kita berdua menjadi semakin akrab lagi. Kita berdua sudah

saling berbuka cerita satu sama lain. Berbagi inspirasi, cerita,

pengalaman, trik-trik memotret yang baik dan lainnya.

Sampai kuketahui ternyata kedua orangtua Sarah telah lama

meninggal dan sekarang dia tinggal bersama tantenya dengan

hidup yang sederhana. Kenang-kenangan dari kedua

orangtuanya hanya sebuah kamera yang sekarang selalu

berada disisinya juga keinginan orangtuanya yang selalu ada

dipikiran Sarah. Mereka ingin sekali Sarah menjadi

photografer handal, terkenal dan bisa melanjutkan studi di

Paris. “Mereka mau banget aku bisa ke Paris, menjadi

seorang mahasiswi dan seorang photografer yang handal,

Zan. Jika suatu saat aku bisa memamerkan hasil foto-fotoku

di Paris, mereka pasti akan bangga banget punya anak kayak

aku. Makanya itu, sampe sakarang, aku terus berlatih jadi

photografer yang handal supaya bisa dapet beasiswa ke Paris

dari kampusku. I ever fail, but I always try it again and

Page 18: Bisikan Hati

18

again”, jelas Sarah saat berbicara tentang keinginan

orangtuanya. Dari situ aku mengerti, bahwa Sarah adalah

seorang perempuan yang pantang menyerah demi keinginan

orang yang disayanginya.

Lima bulan telah berlalu dengan begitu cepat.

Kedekatanku dengan Sarah semakin menjadi. Kehandalan

Sarah dalam memotret suatu objek juga semakin mantap.

Aku optimis, jika dia bisa mendapatkan beasiswa itu. Dengan

berjalannya waktu dan kedekatan ini, timbul perasaan

sayangku padanya yang lebih mendalam dari sebelum-

sebelumnya. Aku semakin ingin menjaga Sarah sepenuh

hatiku. Aku ingin sekali melindunginya dari apapun. Aku

ingin selalu ada disampingnya selalu. Menemani harinya.

Tapi, aku masih belum berani mengungkapkan perasaan

sayang ini padanya. Mungkin aku memang cowok pengecut

yang takut ditolak cintanya dengan Sarah jika aku

mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Tapi, aku

memang benar-benar takut. Sampai saat ini Sarah tidak

pernah memperhatikanku sampai sedetail mungkin. Dia

hanya memerhatikanku sebagai temannya, menurutku.

Page 19: Bisikan Hati

19

Sampai malam itu, saat aku mengajaknya ke Puncak, malam

yang sangat istimewa bagiku..

“Dezan, kamu nggak mau ngomong sesuatu sama

aku?” tanya Sarah tiba-tiba. seketika aku bingung menatap

Sarah. Tapi Sarah membalas tatapan bingung itu dengan

senyuman dan sebuah lesung pipi khasnya. “Emm, berbulan-

bulan kita dekat, apa kamu nggak ngerasa sesuatu yang

berubah dari hati kamu?” tanya Sarah lagi sambil

memandang licik kearahku. Aku hanya menaikkan satu

alisku keatas, bingung. “Oke, bukannya aku kepedean sih,

but I think.. you like me”, ucapan singkat yang keluar dari

mulut Sarah itu telah membuat sekujur tubuhku gemetaran.

Aku rasa darahku berhenti mengalir. Kemudian aku menarik

nafas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan

hingga tiga kali, baru kemudian kujawab ucapan Sarah tadi.

“No I’m not. I don’t like you, but I love you, Sarah” jawabku

kemudian. Sarah terlihat kaget sejenak, dan kemudian dia

tersenyum indah sekali padaku. “Dari pertama insiden itu

terjadi, aku udah tertarik sama kamu. Tadinya aku berpikir

mustahil akan bertemu kamu lagi tapi ternyata takdir berkata

lain. Kita berdua dipertemukan kembali di sebuah tempat

Page 20: Bisikan Hati

20

indah dan saat suasana romantis tercipta. Sampai akhirnya

kita semakin dekat dan semakin lama perasaan sayang itu

terbentuk di hatiku untuk kamu, Sarah” ucapku. Tiba-tiba

Sarah memelukku dengan erat, aku merasa bahuku basah.

Sarah menangis. “I love you too, Dezan” ucapnya disela-sela

isak tangisnya. Senyumku berkembang sambil membalas

pelukan Sarah.

Malam itu dirumah Sarah sangat ramai. Bertahun-

tahun Sarah menginginkan dan akhirnya hari itu juga dia

telah mendapatkannya. Malam itu juga genap hubungan kami

yang setahun. “Thanks for Allah, yang telah memberikan

kasih sayangnya padaku, thanks for my friends, my belove’s

aunt and thanks for my beloved, yang telah hadir disini. Aku

mendapatkan beasiswa ini nggak luput dari peranan dan

support dari kalian semua. Bertahun-tahun aku mengejarnya,

ternyata pengejaran itu berakhir disini. Ditahun ke-6 kedua

orangtuaku meninggal. Setelah nanti aku berada di paris, aku

nggak akan pernah mengecewakan kalian semua terutama

Tante Mira dan keluarga yang telah ngerawat aku setelah

kepergian kedua orangtuaku. Aku benar-benar berterima

kasih atas apa yang telah kalian lakukan padaku” ucap Sarah

Page 21: Bisikan Hati

21

panjang lebar dihari kebahagiaannya malam itu. Pelukan dan

ciuman hangat serta tangis haru beradu menjadi satu dimalam

bahagia itu. Aku yakin, kedua orangtua Sarah juga pasti

merasakan kebahagiaan di Surga sana.

Setelah lama berbincang, kemudian Sarah pamit

permisi sambil mengajakku keluar rumah. sarah memelukku

kemudian mencium pipiku. Dikeluarkannya tiket pesawat

keberangkatan menuju Paris besok dari dalam saku bajunya.

“See it, Honey” ucapnya sambil tersenyum padaku. “Happy

anniversary one year, Dezan” ucapnya lagi sambil

meneteskan air mata. “Kenapa?” tanyaku sambil menghapus

air matanya. “Walau nanti kita nggak ketemu, kita berbeda

tempat, berbeda pijakan bumi dan hamparan langit, kita akan

tetap saling mencintai kan? Kamu nggak akan ninggalin aku

kan? Hati kita akan terus bersatu kan?” tanya Sarah semakin

terisak. Aku tersenyum, “aku cinta sama kamu selama-

lamanya, Sarah. Aku akan terus dan akan tetap mencintaimu

sampai nanti kita akan kembali pada Tuhan. Only dead is

over our”. “I wish, We can meet again and stay at the

romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven

if we die” ucap Sarah sambil terus menangis. “Kita pasti akan

Page 22: Bisikan Hati

22

bertemu di kota romastis sedunia ini, Paris dan di Surga jika

kita mati nanti” sahutku mengikuti ucapan Sarah. Aku

memeluk Sarah dan menciumi keningnya. Walau berat

melepasnya, tapi aku rela demi kebahagiaannya... mungkin...

Acara di rumah Sarah selesai sekitar pukul 01.00.

semua teman-temannya sudah pulang dan aku pun pamit

pulang pada Sarah dan keluarga Tantenya. Saat setengah

perjalanan, tiba-tiba handphoneku bergetar. Kupinggirkan

mobil di bahu jalan yang lumayan sepi itu. “Iya, Tante, ada

ap..?” ucapanku terputus. Bulu kudukku berdiri, aku merasa

jantungku akan berhenti saat itu juga. Apa ini? apa yang baru

kudengar ini?! handphoneku terjatuh. Aku memandang

kosong kearah jalanan yang sepi. Semua badanku kaku dan

gemetaran. Ini pasti mimpi! Just dream! Just shit dream!!.

Suara Tante Mira masih bisa kudengar saking sepinya

jalanan itu. “Hallooo?! Dezan? Dezann?! Kamu dengar kan?

Sarah kecelakaan! Kamu harus cepat ke rumah sakit!”.

“We can meet again and stay at the romantic place in

this world, French. Paris. And at the heaven if we die”.

Teringat ucapan Sarah yang masih terdengar jelas

ditelingaku. Ternyata pelabuhan terakhir memanglah Surga

Page 23: Bisikan Hati

23

bukan kota romantis sedunia seperti Paris. Kelu lidah ini

melihat gadis bergaun putih, bersarung tangan putih dengan

tataan rambut yang indah dan wajah yang cantik tertidur

pulas disebuah peti yang berbalut kain putih dengan banyak

bunga di dalamnya. Kota Paris, hanyalah sebuah kota megah

yang hanya dapat dia impikan tanpa bisa diraihnya. “Setelah

kamu pergi, Sarah berlari mengejar mobilmu dan meneriaki

namamu, Dezan. Hingga tanpa aba-aba, terdengar decitan

rem yang sangat nyaring dari sebuah mobil sedan. Dan tanpa

bisa dihentikan lagi, badan logam mobil itu telah beradu

dengan tulang yang berbalut daging milik Sarah hingga dia

terpental jauh. Tante nggak kuat, Zan, kenapa Tante harus

menyaksikan sendiri peristiwa itu? Menyaksikan sendiri

keponakan yang sangat tante banggakan akhirnya harus

merelakan semua impiannya sia-sia”, ucapan Tante Mira tadi

membuat tangisku semakin menjadi. Semua teman

menyemangatiku. “Yang kami temukan, sebuah tiket menuju

Paris dan sebuah foto ini”, ucapan Inspektur polisi malam itu,

membuat aku mengeluarkan foto yang terkena bercak darah

dari dalam kantong plastik. Foto mesra kami berdua. Foto

cantik Sarah dengan senyumannya yang selalu tulus dan

Page 24: Bisikan Hati

24

kedua matanya yang indah. Sama persis ketika aku pertama

kali melihatnya dulu. Tapi sekarang senyuman itu akan pudar

selamanya dan kedua mata itu akan tertutup tidak akan

pernah terbuka lagi. Maaf jika kali ini aku tidak bisa

menolongmu, Sarah. Ku relakan engkau Sarah, walau berat

bagiku melepasmu kembali ke Sisi Tuhan...

Page 25: Bisikan Hati

25

Terima Kasih Cino

"Terkadang, suatu hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau

tanpa kata putus."

"Anak kita nanti bernama Bagas, Lintang, Langit, dan

Laut." Ucapnya lugu seraya menarik-narik ingus yang

membuat suaranya terdengar lucu. Aku hanya membalas

perkataannya dengan tawa kecil yang tidak memekikan

telinga.

"Matahari, Bintang, Langit, dan Laut. Sepertinya

nama-nama anak kita nanti menyejukkan sekali ya. Mereka

pasti jadi anak yang baik, tumpuan segala harapan kebaikan."

Aku menanggapi pendapatnya, nampaknya dia sangat suka

dengan ucapan yang kulontarkan tadi. Lalu, kami saling

tertawa bersama. Mengganti topik nama anak menjadi topik

agama dan ras.

Ya, pembicaraanku dengannya selalu saja berat,

selalu saja tidak seperti pembicaraan orang yang sedang

berpacaran. Seringkali kami berdiskusi banyak hal, persoalan

yang awalnya buta dan gelap menjadi hal yang terlihat dan

terang. Itulah masa yang tidak pernah aku temukan lagi saat

Page 26: Bisikan Hati

26

ini, karena selalu saja masa lalu yang kita inginkan kembali,

tidak akan pernah kembali.

Dia seorang mahasiswi berkacamata dengan tinggi

badan sekitar 160 sentimeter. Bermata sipit, berhidung cukup

pesek, berkulit putih, dan wajahnya memang tercipta sangat

oriental dan sangat cina. Dia kuliah di fakultas Manajemen ,

di salah satu universitas di daerah Yogyakarta. Dia sangat

suka fotografi, tapi tak suka memotret manusia, "Aku lebih

suka motret pemandangan daripada manusia. Motret manusia

malah bikin grogi." Ungkapnya santai dengan tawa

renyahnya. Pikirannya sangat idealis, dia punya konsep

tersendiri tentang Tuhan dan agama. Dia punya konsep

tersendiri tentang Agama,nya. Ya, dia selalu mengikuti jalan

pikirannya, dia selalu tahu bagaimana cara melangkah

mengikuti alur pikirannya.

Semua berjalan begitu absurd, tapi tak dapat

dipungkiri bahwa segala hal yang kita lewati memang

mengalir begitu indah. Dia mengatakan bahwa dia tak pernah

seyaman itu pada pria, kecuali pada saya. Ya, awalnya dia

memang sangat dingin, seringkali menghilang, seringkali

berbicara seenak jidatnya, tapi semua bisa terlampaui begitu

Page 27: Bisikan Hati

27

sukses, dia berubah, dia menjadi begitu indah. Itulah yang

kami sebut cinta, mampu mengubah seseorang menjadi

pribadi yang lebih baik.

Saya adalah ciri-ciri pria yang agak sedikit penuntut.

Ya, maksud saya menuntut seorang wanita yang saya cintai

menjadi lebih baik, saya menuntut wanita tersebut melakukan

perubahan dalam hidupnya, selama dia menghabiskan

waktunya dengan saya, maka saya harus mengubahnya, maka

dia harus berubah untuk saya dan untuk hubungan kita.

Maka, kami harus berubah, menjadi dua orang yang saling

jatuh cinta atas dasar kasih bukan atas dasar nafsu dan

ketertarikan fisik. Seringkali cinta menciptakan penuntutan,

penuntutan untuk mengubah pribadi menjadi lebih baik.

Jujur, saya seringkali jatuh cinta pada wanita penurut yang

mudah diatur. Saya sangat menghargai seorang wanita yang

mau berubah untuk hal yang baik.

Dia pernah jadi seseorang yang penting dalam hidup

saya. Dia pernah menjadi penenang amarah saya, dia pernah

menjadi penyebab dari senyum saya, tapi itu dulu, masa

dimana masih ada dia, masa dimana hanya ada tawa dan

senyum malu-malu yang menghiasi perjalanan kita. Dia

Page 28: Bisikan Hati

28

mengenalkan saya pada budayanya, dia mengenalkan saya

pada dunianya, dia menjelaskan konsep Tuhan yang ia tahu

pada saya. Ya, dia mengajari dan mengayomi saya, dia tahu

persis bagaimana memperlakukan perasaan saya.

Jelas, kami pernah bertengkar hebat. Hingga beberapa

hari kami tak saling berhubungan, tapi cinta tetaplah cinta,

rindu tetaplah rindu, sulit untuk disembunyikan dan

dilupakan. Hingga pada suatu ketika dia menulis di note

facebooknya, bercerita tentang hubungan kami yang berjudul

"Untitled 16". Saya terharu membacanya, saya menyangka

bahwa wanita secuek dia tidak mungkin bisa menulis

sedalam itu. Saya tahu ini yang namanya cinta, selalu punya

alasan untuk memaafkan.

Pertengkaran kecil kami yang detailnya tidak pernah

saya lupakan, seringkali menggelitik rindu setiap

mengingatnya.

"Matamu!" Ucapku kasar mengetuk keras gendang

telinganya.

"Sipit, Cuk!" Timpalnya dilanjut dengan tawa

lepasnya.

Page 29: Bisikan Hati

29

"Cino nyebahi!" Aku tak mau kalah, masih saja aku

menggoda perasaannya.

"Jowo marai emosi!" Dia juga tak mau kalah,

semonyong-monyongnya bibirnya dia lakukan hanya untuk

menghujani saya dengan pertengkaran kecil yang disertai

canda itu.

Cino dan Jowo, seringkali menjadi perpaduan yang

baik jika berada di tempat yang seharusnya. Tapi, bisa jadi

malapetaka jika tak bersatu pada tempat yang seharusnya.

Ah, tapi yah, sekali lagi saya katakan semua hanya

kenangan, semua hanya pecahan puing-puing retak yang

terpecah dari asalnya. Dia menjalani hidupnya sendiri,

sayapun harus menjalani hidup saya sendiri. Memang tak

pernah terpikirkan kita akan berpisah, karena semua mengalir

dengan begitu indah. Tapi, ya memang semua harus berakhir,

walau tanpa kata pisah dan kata putus, walau tanpa kalimat

perpisahan dan kalimat mengakhiri. Terkadang, suatu

hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau tanpa kata putus.

Sekarang, dia mungkin sedang berbahagia dengan

pilihannya. Dan, sekarang saya bahagia dengan pilihan saya.

Saya tak perlu tahu apakah dia bahagia dengan pilihannya,

Page 30: Bisikan Hati

30

yang saya tahu cerita kita pernah ada, walaupun memang

sudah berakhir.

Page 31: Bisikan Hati

31

Cinta Butuh waktu

Senyumnya adalah bagian yang paling kuhapal.

Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah satu pasokan

energiku. Kali ini pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang

sedang menulis sesuatu di kertasnya. Matanya sesekali

mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi.

Aku yang sedang menggambar sketsa wajahnya,

memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan. Detail

wajahnya tak kulewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu

mancung, pipi dan rahang yang tegas, dan bentuk bibirnya

yang mencuri perhatian siapapun saat menatap lengkungan

senyum itu. Aku penggemarnya, seseorang yang

mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan

yang nyata.

Secara terang-terangan, aku tak pernah bilang cinta,

namun selalu kutunjukkan rasa. Entah lewat sentuhan,

perhatian, dan caraku membangun percakapan. Aku

mencintainya. Terlalu mencintainya. Sampai-sampai aku tak

sadar bahwa kedekatan kita semakin tak terkendalikan,

Page 32: Bisikan Hati

32

meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburu-

buru mengetuk pintu hatiku.

Di sebuah taman, tempat kami biasa bertemu, tempat

kami biasa melakukan hal sederhana yang begitu kami cintai.

Ia menulis tentangku. Aku menggambar sosoknya. Setelah

karya kami sama-sama selesai, kami saling menukar hasil

jemari kami.

Tulisannya yang indah dan gambarku yang sederhana

sama-sama menyumbangkan senyum di bibirku dan bibirnya.

Betapa kami sangat bahagia cukup dengan seperti. Betapa

cara sederhana bisa membuat aku dan dia merasa tak butuh

apa-apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan rasa

kehilangan.

“Kamu pernah takut dengan rasa kehilangan?”

ucapnya lirih di sela-sela gerakan jemarinya yang masih

menulis sesuatu di kertas.

“Pernah dan aku tak akan mau lagi merasakan

perasaan itu.” jawabku secepat mungkin, jemariku masih

memperbaiki gambarku yang hampir selesai. Kuperhatikan

lagi bentuk wajahnya, rahang dan jambang rambutnya yang

begitu kusukai. Seandainya aku punya keberanian untuk

Page 33: Bisikan Hati

33

menyentuh wajah itu, selancang ketika aku menyentuh

batang pensil saatku menggambar.

“Kalau kausudah berusaha begitu kuat, namun

kautetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang akan

kaulakukan?”

Kubiarkan pertanyaannya menggantung di udara

sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya-tanya pada

rasa penasaran dalam hatinya. Semilir angin dan goresan

pensilku di kertas lebih terdengar jelas dalam keheningan

kami berdua.

“Apa yang akan aku lakukan?” aku mengulang

pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasarannya

yang membesar.

Kening itu mengkerut ketika pertanyaannya kuulang,

“Iya, apa yang akan kaulakukan jika rasa kehilangan tiba-tiba

menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk

menggenggam?”

Helaan napasku terdengar santai, “Aku akan selalu

bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku harus merasakan

kehilangan. Setelah aku tahu jawabannya, demi apapun, aku

tak akan mengulang kesalahanku lagi. Dan, aku akan

Page 34: Bisikan Hati

34

semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak boleh

disia-siakan.”

Jawabanku membuat ia semakin tajam menatap

wajahku, aku yang menunduk dan masih menggambar, jadi

salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan

jemarinya ke atas kepalaku dan membelai rambutku. Aku tak

tahu maksud dari sentuhan itu, entah mengapa seketika

tubuhku tak bisa memberi banyak tanggapan atas

sentuhannya. Aku belum bisa merasakan adanya cinta dalam

setiap sentuhannya.

Ia kembali menulis, kuintip sedikit ternyata kertas

tempat ia menulis sudah hampir penuh. Dengan matanya

yang indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku

merindukan dia.”

“pria itu lagi?” tanggapku dengan cepat.

Ada sesuatu yang bergerak dalam dadaku ketika ia

mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat memang,

tapi entah mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar

tak merasa sakit dengan pernyataan yang seperti itu. Kali ini,

aku merasa dianggap tak ada.

Page 35: Bisikan Hati

35

“Aku selalu bilang padamu, setiap hari, berkali-kali,

tak perlu lagi kamu merindukan seseorang yang bahkan tak

pernah menghargai perasaanmu!”

Senyumnya terlihat getir ketika aku berbicara dengan

nada tinggi.

“Apakah bagimu, ada kehilangan yang tak

menyakitkan?”

“Semua kehilangan pasti menyakitkan, kita sebagai

manusia hanya bisa mengobati setiap luka, sendirian atau

bersama seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita

tentukan sendiri.”

Tanpa menatap wajahku, ia kembali mengajakku

bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama

kehilangan?”

Aku berhenti menggambar. Kuketuk-ketukkan

pensilku di atas kertas dan berpikir dengan serius, “Luka

pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada. Keikhlasan dan

kepasrahanlah yang membuat bekas luka tak lagi perih.”

“Lantas, apa lagi?”

“Membuka hati untuk seseorang yang baru!” seruku

dengan nada bersemangat, dengan senyum singkat.

Page 36: Bisikan Hati

36

“Ah, tapi bukankah semua butuh waktu? Termasuk

juga soal cinta.”

“Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan?” aku

mengangguk setuju, “Tapi, sampai kapan kaubutuh waktu?

Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih

pergi, karena tak terlalu kuat diabaikan berkali-kali?”

Aku tertawa dalam hati; menertawai diri sendiri.

“Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut tertawa sambil terus

melanjutkan tulisannya, “Cinta memang butuh waktu dan

waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit

diprediksi.”

“Ah, kamu ini, semua hanya soal kesiapan hati.”

bibirku meringis, mencoba menutupi hatiku yang mulai

nyeri, “Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang

ke dalam hatimu, karena ia tak ingin banyak hal, selain

membahagiakanmu.”

“Aku juga berpikir begitu, tapi aku takut jika luka

yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di hati orang

yang mencoba masuk ke dalam hatiku.”

Page 37: Bisikan Hati

37

“Bagi orang yang ingin membahagiakanmu, tak akan

pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan begitu

lambat kaurasakan.”

“Tak akan pernah ada luka?” tanyanya dengan wajah

tak percaya, ia menatapku sekali lagi, dengan tatapan sangat

serius, kali ini.

“Ketika tulus mencintai seseorang, ia melakukan

banyak hal karena ia mencintaimu, bukan karena ia

memikirkan apa yang akan ia dapatkan ketika ia

mencintaimu.”

“Begitu manisnya cinta....”

“Lebih manis lagi jika tak hanya satu orang yang

berjuang untuk membahagiakan, harus saling

membahagiakan.”

Kalimatku membuat ia tersenyum lebar. Ia

membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri karya tulisnya di

kertas. Aku menulis namaku dan tanggal pembuatan gambar

ketika aku selesai menggoreskan goresan terakhir.

Setelah karya tulisnya selesai dan karya gambarku

selesai. Kebiasaan itu terulang, kami saling menutup mata

sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya.

Page 38: Bisikan Hati

38

Ketika karyanya ada di tanganku dan karyaku ada di

tangannya, kami pada akhirnya membuka mata.

Ia menikmati gambarku dengan senyum memesona,

senyum yang paling kucintai dan kukagumi. Gambarku

adalah sosoknya yang kujadikan sketsa di kertas A4. Aku tak

melewatkan detail wajahnya yang indah. Hidungnya

kugambar semirip mungkin, rahangnya yang tegas juga

jambangnya yang menggemaskan, juga kugambar dengan

goresan yang tegas. Ia mengucap terima kasih. Aku bisa

menebak wajahnya yang terharu ketika karya itu kuberi judul

Masa Depan.

Giliran aku yang membaca karya tulisnya. Awalnya,

kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku salah. Ia

menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang

hidup dalam masa lalu dan kenangannya. Hatiku teriris

membaca setiap paragraf dalam tulisannya; tak ada aku di

sana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok yang

dulu ia ceritakan dengan wajah sedih, sosok yang begitu

kubenci karena menyia-nyiakan orang yang kucintai saat ini.

Karya tulis itu ia beri judul Masa Lalu.

Page 39: Bisikan Hati

39

Aku mengulum bibirku. Usahaku masih terlalu

dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan ternyata belum

cukup menyentuh hatinya. Ia masih terpaut pada masa lalu

ketika aku sudah menganggap sosoknya sebagai masa depan.

Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku secara

perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.

Aku belum berhasil seutuhnya.

Ah, mungkin aku masih harus terus berjalan dan

berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai ia

juga menganggapku masa depan, seperti aku selalu

menganggap dia sebagai bagian masa depanku. Cinta butuh

waktu. Butuh waktu untuk membuat ia segera melupakan

masa lalunya kemudian mencintaiku. Butuh waktu untuk

membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk akal

untuk ia percayai. Cinta memang butuh waktu.

Page 40: Bisikan Hati

40

Setiap Minggu di Taman Budaya

Sempurna!

Foto ke seratus tiga puluh lima. Dias tersenyum

memandangi setiap lekuk sempurna di tubuh wanita itu.

Jemarinya menyentuh layar SLR yang ia genggam, dengan

pelan dan hati-hati. Seandainya, dengan tangannya, ia bisa

benar-benar menyentuh wanita itu. Wanita itu sempurna.

Keningnya, hidungnya, telinganya, bibirnya, seakan-akan

tanpa cela. Pahatan tangan Tuhan yang mahakarya. Dias tak

bicara banyak, ia hanya mampu tersenyum dan menatap,

tanpa berani menyentuh juga mengeluh.

Langkahnya melewati lorong tempat lukisan-lukisan

terpajang di dinding. Mulai menjauh dari wanita itu. Cahaya

terang dalam ruangan membiaskan bayang-bayang orang

yang berjalan dan mengamati benda-benda seni. Dias turut

masuk dalam keramaian yang ada, lalu-lalang penikmat seni

yang melihat dengan teliti kadang juga dengan langkah

terhenti. Mereka berfokus pada beberapa karya seni yang

menarik dan apik. Tapi, Dias tak terlalu tertarik. Ada sesuatu

Page 41: Bisikan Hati

41

yang lebih penting dari pameran ini. Wanita yang ia koleksi

potretnya. Sudah lama. Sejak enam bulan yang lalu.

Kakinya berjalan menuju area pameran perfilman,

dari sudut yang tak diketahui, Dias masih saja memerhatikan

wanita itu. Ia seperti terhipnotis, jemarinya kembali memotret

sosok manis, walau hanya punggung dan rambut panjangnya

saja yang tertangkap kamera. Dias bersandar di dinding

seakan-akan tak ingin wanita itu mengetahui kehadiran Dias.

Ia sedikit menggerakan kepalanya, wanita itu masih di sana,

mengagumi karya-karya yang tercipta.

Wanita itu telah menganggu hari-harinya, dengan

berbagai macam cara dan rupa. Dengan rindu yang memburu,

dengan kangen yang mengamit resah, dengan bayang-bayang

yang semakin menusuk asa. Semuanya! Dias tak pernah

melewatkan dan melupakan detail siluet tubuh wanita yang

hampir saja membuatnya gila.

Ia menghela napas panjang, dan kembali menatap ke

area perfilman. Wanita itu menghilang secara tiba-tiba. Raib

tak berbekas. Dias menyapu pandangan ke segala arah. Tetap

saja, tak ada. Ia berjalan cepat mengitari ruang pameran.

Page 42: Bisikan Hati

42

Berjibaku dengan keramaian yang ada, ia menatap setiap

wajah. Namun, wanita itu tak ada.

Selalu muncul dan lalu pergi secara mendadak, secara

tiba-tiba dan sulit diprediksi. Ia harus menunggu satu minggu

lagi, untuk bertemu dengan wanita itu. Padahal, perasaan

kangen yang melubangi hatinya belum juga tertutup rapat.

Dias tetap menunggu, setia untuk menunggu.

Apa salahnya menunggu? Meskipun membosankan,

meskipun menyakitkan, tapi Dias tetap ingin melakukan itu.

Memang tak ada alasan mengapa Dias harus menunggu, ia

hanya ingin menunggu dan terus menunggu. Sungguh, tak

ada alasan, karena menunggu kadang memang tak perlu

penjelasan juga alasan bukan? Menunggu seperti fase yang

harus dilewati seseorang, untuk bertemu dengan

kebahagiaannya. Begitu juga Dias. Entah sampai kapan, dan

berakhir dengan bahagia atau luka. Dias hanya tahu

menunggu, tanpa pernah tahu hal yang harus ia tuju. Hari

berganti, dan ia masih menunggu. Tanpa alasan, tanpa

keluhan, Dias tetap bertahan.

Dias percaya bahwa dirinya bukan pengecut, yang

hanya diam-diam mengagumi lalu sepenuhnya bersembunyi.

Page 43: Bisikan Hati

43

Ia juga yakin hal yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan,

apakah salahnya mengagumi seseorang dengan sangat

dalam? Itulah yang Dias rasakan. Awalnya, semua tak

merepotkan, namun ketika perasaan itu hadir dan terlihat

semakin nyata, Dias jadi merasa resah. Ia bahkan tak tahu

nama bidadari yang semakin hari semakin meresahkannya.

Sungguh, Dias percaya kalau dia bukan pengecut. Dia

hanya butuh waktu. Iya, waktu yang tepat. Semua akan indah

pada waktunya bukan? Tapi, Dias seakan-akan tak tahu

waktu yang tepat akan terjadi kapan. Wanita itu benar-benar

menggerogoti nalar dan akal sehatnya. Otak Dias sulit

bekerja secara maksimal saat wanita itu berjarak beberapa

meter dari pandangannya, walaupun masih jauh, bahkan

sangat jauh. Dias tak tahu sosok seperti apa yang dia cintai, ia

hanya tahu perasaan itu ada dan semakin hari semakin

membuatnya tersiksa.

Setiap minggu, di Taman Budaya, selalu ada pameran

yang berbeda. Dias ditugaskan sebagai fotografer yang

mendokumentasikan acara tersebut. Setiap minggu, di Taman

Budaya, Dias selalu menunggu-nunggu waktu itu. Karena

pasti hawa yang telah merenggut habis perhatiannya akan

Page 44: Bisikan Hati

44

muncul secara tiba-tiba. Seperti Cinderella yang tak jelas

kapan ia datang dan tak pernah diketahui kapan ia pulang. Di

balik kemisteriusannya, Dias tetap jatuh cinta. Ia tak banyak

bertanya, juga tak banyak mengeluh apalagi menuntut.

Dia tak tahu harus berbuat apa, sampai pada akhirnya

ia menatap seorang satpam yang menjadi pagar betis di pintu

masuk pameran.

“Jadi satpam?” lantang, suara Pak Karjo membahana,

nadanya terdengar tak percaya.

Pria bertubuh gempal itu berhenti menghisap

rokoknya. Beliau adalah penanggung jawab pameran yang

mengatur panita pelaksana pameran setiap minggu di Taman

Budaya. Agak keras namun seperti orang Yogya lainnya,

berhati lembut dan nyaman.

Tanpa ungkapan, Dias mengangguk mantap.

“Kenapa?” tatapan Pak Karjo tajam menusuk-nusuk

ke arah Dias.

“Saya butuh pekerjaan ini, Pak. Sangat butuh.”

“Seberapa pentingkah pekerjaan satpam hingga kamu

tak ingin lagi jadi fotografer?”

“Sangat penting. Ini soal takdir.”

Page 45: Bisikan Hati

45

“Takdir? Mbok yo kamu jangan becanda tho.”

“Saya serius, Pak.”

“Gaji fotografer lebih banyak daripada gaji seorang

satpam, Nak Dias.”

“Saya tidak mengejar gaji.” jelas Dias singkat, suara

renyahnya menenangkan perasaan Pak Karjo yang terkejut.

“Lantas, kamu mengejar apa?”

“Ada sesuatu yang lebih penting daripada gaji.”

“Apa?”

“Cinta.”

Malam itu langit Yogya terlihat cerah. Cahaya lampu

sorot turut membantu bulan menerangi gelapnya malam.

Musik perjuangan rakyat yang lirik lagunya bernilai seni

tinggi sudah terdengar sejak pukul tujuh malam tadi. Ada

penonton yang meramaikan panggung Taman Budaya juga

meramaikan ruang pameran Taman Budaya.

Dias berdiri tegak. Mantap. Ia membenarkan kerah

bajunya dan topi satpam yang ia kenakan. Pentungan yang

kaku berada di dekat saku celananya. Ia sangat bangga

dengan pakaian itu. Penikmat pameran yang ingin memasuki

Page 46: Bisikan Hati

46

ruang pameran mulai ramai, tugas Dias dan kawanan satpam

lainnya adalah membuat pagar betis agar antrean tak

berdesak-desakan dan ruangan di dalam pameran

berkapasitas pas, tidak terlalu penuh dan sesak.

Suasana di pintu masuk pameran memang cukup

ramai, maklum malam minggu. Penikmat seni yang datang

juga beragam. Ada yang berambut gimbal, bertatto, bertindik

anting, bercelana pendek, juga hadir dengan pakaian biasa

dan sederhana. Bermacam-macam penikmat seni

diperhatikan oleh Dias, satu peratu wajah mereka mampir

dalam tatapan mata Dias. Namun, wanita yang ia tunggu dan

ia cari tak ada.

Ia masih menunggu, hingga pukul sembilan malam,

ketika antrean mulai semakin ramai oleh orang-orang yang

habis menonton panggung musik tadi. Dias mulai bosan dan

lelah, tubuhnya telah lunglai karena berdiri terlalu lama. Ia

sempat didorong juga dikritik oleh beberapa penikmat seni

yang menunggu di pintu masuk pameran.

Dias masih bersabar, ia melempar pandangan ke

segala arah. Hingga pada suatu ketika, seorang wanita berdiri

di depannya. Mengantre dengan tenang dan santai.

Page 47: Bisikan Hati

47

Jantung Dias berdebar cepat. Wanita itu.

Jarak Dias memandangnya kini lebih dekat, hanya

beberapa sentimeter, tak lagi bermeter-meter. Sekitar

beberapa detik, mereka bertemu mata, dan Dias seakan-akan

tak bernapas.

“Pamerannya masih lama ya?” ucap wanita itu

dengan suara lembut, yang membuat Dias semakin tak

percaya pada apa yang ia lihat.

“Ma... ma... masih, Mbak.” jawab Dias terbata-bata.

“Antreannya ramai juga ya?”

“Iya, lumayan, Mbak.”

Dias tak bisa bicara banyak, ia hanya mematung dan

selebihnya tak tahu harus berbuat apa. Dias mengerti bahwa

debaran jantung yang begitu kencang ini disebabkan oleh

wanita yang berada di hadapannya.

“Kayaknya, aku pernah lihat kamu deh, tapi di dalam

gedung bukan di luar gedung.”

“Ah, Mbak salah lihat mungkin.” Dias mengelak.

“Iya, mungkin aku salah lihat ya.”

“Mbaknya dari mana?”

“Habis dari Malioboro.”

Page 48: Bisikan Hati

48

“Oh, sendirian?”

Pertanyaan Dias adalah pertanyaan pancingan,

kesempatan.

Wanita itu baru ingin membuka suara, namun tiba-

tiba seorang anak kecil mendekatinya. Perempuan kecil yang

menggemaskan itu membawa sebuah kunciran pada

pergelangan tangannya. Ia berusaha menerobos antrean di

belakang hingga ke depan, mendekati wanita itu.

“Mama, rambut Adek berantakan.” kata perempuan

kecil dengan suaranya yang manja.

Dias terbelalak, ia terdiam. Perasaannya mulai tak

enak. Seperti ada ribuan panah yang merasuk dalam

tubuhnya, ia semakin sulit bernapas. Detak jatungnya malah

pelan. Belum sempat ia merapikan jengkal napasnya, seorang

pria berkacamata tiba-tiba turut menerobos antrean, berdiri di

samping wanita itu, menyikut beberapa orang yang lebih dulu

berada di posisi itu.

Ia tak tahu harus berbuat apa. Ketika antrean dibuka

dan para penikmat seni dipersilakan masuk, wanita itu

tersenyum sambil menatap Dias, lalu kemudian

meninggalkannya. Tapi, Dias tak berhenti menatap, ia masih

Page 49: Bisikan Hati

49

terlalu asing dengan perasaan yang baru saja ia rasakan.

Mereka memasuki gedung pameran, Dias masih tak berhenti

memerhatikan. Perempuan kecil yang membawa kuncir

rambut digandeng lembut oleh wanita itu, sementara pria

berkacamata yang berdiri tepat di sampingnya merangkul

dengan mesra wanita yang telah Dias cintai selama berbulan-

bulan Helaan napas Dias terdengar berat, ia berjalan

terhuyung-huyung. Tak sempat memunguti hatinya yang

patah.

Page 50: Bisikan Hati

50

Setelah Kita Putus

“Aku bisa sendiri.” aku menghempaskan tangannya

dengan kasar ketika ia mencoba membersihkan ice cream di

bibirku.

Ia terdiam, aku sibuk menyesap benda manis yang

sejak tadi menggodaku.

“Kita udah beda, gak sama, semua gak bisa diubah

seperti dulu lagi.”

Tatapannya dingin, masih memojokkanku dengan

raut wajahnya yang menyebalkan.

“Kenapa ngajak ketemuan lagi?” tanyaku panas dan

sinis. “Belum cukup sama yang kamu lakukan selama ini?”

Ia menatapku dengan tatapan memelas, aku

menangkap sinyal kesalahan di matanya. Tapi, aku tak

peduli, rasa kasihanku telah habis untuknya. Aku muak

menatapnya, pertemuan ini tak akan terjadi jika dia tak

bersungut-sungut seperti di telepon tadi.

“Aku mau meminta maaf.” ucapnya lugu namun

penuh rayu. “Aku bersalah.”

“Baru sadar sekarang? Kemarin kemana aja, tolol!”

“Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.”

Page 51: Bisikan Hati

51

“Tiga kali ada kata menyesal.”

“Aku menyesal!”

“Empat kali.”

“Kesha…” ia memanggil namaku lembut, aku tak

bisa menahan tatapanku agar tak menyorot matanya.

“Apa?”

“Maafin aku.”

“Aku udah maafin kamu bahkan sebelum kamu minta

maaf.”

“Sungguh?”

Aku mengangguk tanpa pikir panjang, tak ingin

percakapan ini berlangsung dengan lamban. Aku ingin

semuanya berakhir. Dan, semoga wajah busuk ini tak lagi

kutatap.

“Aku menyesal, Kesha.”

“Lima kali, cukup. Aku bosan dengar kata menyesal

jika kamu sendiri tak pernah mencoba untuk berubah.”

“Aku harus berbuat apa agar kamu benar-benar ikhlas

memaafkanku?”

“Tidak perlu, semuanya sudah lewat, aku enggak

perlu ingat-ingat yang lalu. Semuanya sampah!”

Page 52: Bisikan Hati

52

Nada bicaraku mendiamkan gerak bibirnya, ia

menatapku dengan tatapan minta dikasihani.

“Jangan menatapku dengan tatapan tolol seperti itu,

rasa kasihanku sudah habis terhadapmu, bodoh!”

Ia tak banyak bicara, hanya mendengarkan aku yang

terus saja mengumpatnya dan memakinya. Tiba-tiba perasaan

kesal itu muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali

berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak

memikirkan peristiwa itu. Saat aku mendapati dirinya

berciuman dengan seorang gadis di sebuah prakiran trade

center daerah Jakarta Selatan. Aku ingin semuanya berlalu

dan hilang seperti angin. Sungguh, aku tak ingin mengingat

cara dia menyakiti dan mengkhianatiku, tapi aku terlalu

lemah.

Aku tak bisa menyangkal diri, bahwa aku benar-benar

mencintainya, dia sudah menjadi bagian dari napasku selama

beberapa tahun terakhir. Aku tak mungkin bisa melupakan

seseorang yang telah mengisi hari-hariku dengan begitu

cepat. Aku butuh waktu. Tapi, semua di luar prediksiku, saat

aku ingin melupakannya, dia malah hadir. Berkata maaf,

Page 53: Bisikan Hati

53

mengucap kata menyesal, dan segala kalimat yang mampu

mencairkan hatiku yang sudah sangat beku.

Aku hanya bisa membohongi diriku sendiri.

Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya dengan

kata-kata kasar, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa

menyakiti seseorang yang kucintai, aku lelah terus-menerus

menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan

pikiranku yang sempat goyah, kembali meletakkan akal

sehatku pada kenyataanyan yang ada. Aku tak mungkin lagi

menerimanya kembali, sekeras apapun dia memintaa maaf

padaku. Meskipun dia harus meradang, meronta, atau

berlutut di hadapanku.

Setelah lama kudiamkan, dia menangis. Seluruh mata

pengunjung restoran bergeser ke arah kami. Ini air mata

pertamanya yang pernah kulihat, bertahun-tahun ia tak

pernah menangis di hadapanku. Apakah ini juga bagian dari

kebohongan?

“Sudahlah, Kevin. Aku bukan gadis tolol yang bisa

kaupermainkan lagi. Jauh-jauh dari pandanganku, atau perlu

menghilanglah dari muka bumi ini!”

“Aku akan menghilang tanpa kauminta, Kesha.”

Page 54: Bisikan Hati

54

“Baguslah, sadar diri!”

“Dan, tidak akan pernah kembali.”

“Itu lebih bagus, selamanya kalau perlu!”

“Iya, selamanya.”

Dia mengulang kata ‘selamanya’ dengan tatapan yang

bodoh disertai mata yang sembab. Aku tak ingin membuang-

buang waktuku. Aku membayar ice cream dengan uangku

sendiri, meninggalkan Kevin yang masih menggigil karena

perkataanku.

Mampus kamu! Seruku dalam hati. Aku tertawa

senang. Aku berhasil menyakitinya. Aku tak menyesal

berpisah dengannya. Oh, Tuhan, jadi ini rasanya bahagia?

Sempurna!

Tak ada lagi komunikasi dengan Kevin. Aku tak

pernah mau tahu lagi kabarnya. Telingaku tak ingin lagi

mendengar namanya.

Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Aku bahkan

berprestasi dalam banyak hal, tak peduli pada masa lalu yang

sempat membayangiku selama ini. Tapi, aku memang tak

mampu menyangkal, wajah Kevin masih saja hadir dalam

malam-malam sepi ketika aku sedang mendengar lagu

Page 55: Bisikan Hati

55

favorite kita dulu. Have I Told You Lately That I Love You,

Rod Stewart selalu pandai membawakan lagu ini dengan

suara yang mendayu-dayu namun menggemaskan. Memang

benar, sebuah lagu mampu melempar seseorang kembali ke

masa lalunya, dan aku selalu mengalami hal itu, lagi dan lagi.

Entah mengapa, hari-hariku memang terasa lebih

sepi. Aku sering iri melihat teman-temanku berjalan dengan

kekasihnya, dan aku hanya berjalan sendirian. Yaaaaah,

belajar mandiri, itulah dua kata yang membuatku bertahan

sampai saat ini. Kevin, dulu, adalah pria yang baik, namun

setelah mengenal wanita jalang itu, dia berubah drastis. Aku

membencinya dan sepertinya perasaanku padanya berangsur-

angsur mulai hilang.

Siang ini, aku sudah bersiap-siap ke kampus. Belum

sempat membuka pintu kamar, ponselku berdering nyaring.

Aku menatap ke layar ponsel, nomor tak dikenal.

Sebenarnya, aku tak ingin mengangkat panggilan tersebut,

tapi entah mengapa, rasanya panggilan tersebut sangat

penting.

“Halo…”

“Halo… Kesha?”

Page 56: Bisikan Hati

56

Terdengar suara wanita yang rasa-rasanya akrab di

telinga.

“Ini, Tante, Nak.”

“Tante?”

“Ibunya Kevin.”

Deg. Aku lemas, rasanya sulit untuk membuka suara.

Aku berusaha keras untuk menahan emosiku dan perasaanku

yang mulai tak stabil.

“Iya, kenapa, Tante?”

“Mau nemenin Tante sebentar enggak?”

“Ke mana?”

“Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?”

Aku terdiam agak lama, berpikir dengan keras.

Namun satu kata meluncur dari bibirku, tanpa kuduga.

“Oke.”

“Sebenernya Tante udah lama pengin ajak kamu ke

sana.”

Aku masih bingung, tak mengerti arah tujuan. Di

mobil aku hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti

pada pembicaraannya yang ngalor-ngidul.

“Kita mau kemana, Tante?”

Page 57: Bisikan Hati

57

“Nanti, kamu juga tahu sendiri.”

Jawaban tersebut sama sekali tak membuat diriku

puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan rumput

yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang namun

untungnya cuaca hari itu tak begitu panas. Beberapa menit

kemudian, Ibu Kevin menggunakan kaca mata hitam dan

kerundung berwarna hitam. Ia mengeluarkan kembang tujuh

rupa. Aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?

Mobil berhenti, dan rasa ingin tahuku semakin

menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang gersang

tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa nisan yang

terlihat. Aku baru tahu di tempat seindah ini ada pemakaman.

Beliau menuntunku terus berjalan, kemudian berhenti

di sebuah nisan. Aku tak memerhatikan dengan jelas tulisan

di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita yang sejak tadi

genggaman tangannya semakin erat di jemariku.

Wanita itu sedikit berjongkok, aku ikut berjongkok.

“Sudah dua bulan, Kesha.”

Aku masih diam, dan mendengarkan, karena mungkin

saja mendengarkan bisa memberiku jawaban.

“Dia pergi, sesuai permintaanmu.”

Page 58: Bisikan Hati

58

Dia siapa? Aku tak mengerti, aku masih menyimak

perkataan wanita ini dengan santun dan tegas.

“Kevin sakit, dia selalu sembunyikan penyakitnya

darimu.”

Oh, jadi Kevin sakit? Dirawat di mana dia sekarang?

Baguslah, itu karma untuknya, karena telah menyakitiku.

“Kamu dan Kevin sudah pacaran beberapa tahun.”

Duh, sialan, mengungkit masa lalu. Masa yang tak

pernah ingin kuingat. Sialan.

“Kevin tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia

tak ingin kepergiannya menyakitimu.”

Aku terdiam. Masih tak paham.

“Ia menyewa seorang wanita, dan merencanakan

segalanya yang rumit, membuat semuanya seakan-akan

terjadi secara tidak sengaja.”

Merencanakan?

“Kevin mencium wanita itu dan kamu lewat di depan

mobilnya. Momentum yang pas. Semuanya terjadi sesuai

rencananya.”

Page 59: Bisikan Hati

59

Tatapanku tajam menyapu wajah wanita itu, matanya

tak terlalu terlihat, kacamata hitam memburamkan

tatapannya.

“Kevin sengaja menyakitimu agar kamu tak pernah

menyesal ketika dia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya,

bahwa dia tak ingin melihatmu terluka. Dia masih

mencintaimu.”

Omong kosong! Teriakku dalam hati.

“Dia baik sekali, Kesha. Dan kautak menyadari

bahwa pertemuan terakhir kalian adalah saat

kaumemakinya.”

Jutaan panah seperti melesat ke jantungku. Aku tak

bisa bernapas.

Aku menatap nisan itu. Ada namanya. Nama pria

yang selama ini sempat memutarbalikkan duniaku. Kevin.

“Perjuangannya memang tidak sia-sia, kautidak

terlihat terluka dan menyesal. Kevin berhasil menahan air

matamu, Kesha. Lihatlah, kamu tidak menangis.”

Aku terdiam, tak bisa berkomentar banyak. Bibirku

terlalu kelu. Aku tak menyangka perjuangan Kevin begitu

besar untukku.

Page 60: Bisikan Hati

60

Napasku masih tercekat, dan sekarang aku tahu

rasanya.

Page 61: Bisikan Hati

61

Aku tidak seperti Mantanmu

Bianca menatap jam tangannya berkali-kali. Detak dari jam yang melingkar manis dipergelangan tangannya sejak tadi terus menemani kesediriannya. Wajahnya cemas, bibirnya terkunci rapat, jemari tangan kirinya mengisi celah-celah kecil jemari tangan kanannya. Sesekali ia menyilangkan tangan di dadanya, ia merasa kedinginan. Bianca kembali menatap jarum jam, setelah itu ia memerhatikan awan yang semakin gelap dan rintik hujan yang semakin deras, wajahnya cemasnya semakin terlihat jelas. “Kevin belum juga pulang.” ucapnya perlahan dalam hati.

Disentuhnya plastik berisi dua bungkus nasi goreng yang ia beli di sebuah kedai makan mungil di ujung jalan, makanan itu sudah dingin, tak lagi hangat seperti awal ia datang ke tempat kost Kevin. Dua jam sudah ia menunggu, sementara Kevin tak kunjung pulang. Kevin juga tak membalas pesan singkat yang dikirim Bianca untuknya. Hujan semakin deras, Bianca semakin cemas. Bianca tetap saja melihat handphone-nya, meskipun tak ada satu pesan pun dari Kevin, meskipun Kevin tak kunjung memberi kabar.

Page 62: Bisikan Hati

62

Terdengar derap suara mobil dari luar pagar, seseorang keluar dari mobil itu. Pria itu berlari-lari kecil lalu membuka pagar, kini pria itu berdiri tepat di depan Bianca. Bianca tersenyum lega. “Kamu baru pulang? Sama siapa? Kehujanan ya?” tanya Bianca, masih dibalut wajah cemasnya. “Kamu ngapain di sini sih?!” ujar Kevin setengah membentak. “Aku mau bawain kamu nasi goreng. Kemarin, kamu sms ke aku katanya lagi pengen nasi goreng yang di ujung jalan itu, jadi aku beliin aja. Dimakan ya?” jelas Bianca dengan simpul senyum kecil bibirnya.

Kevin mengalihkan pandangannya, ia tak mau menatap Bianca, “Cewe bego! Pulang lo! Udah malem! Hujan juga kan!” bentaknya dengan nada tinggi. Bianca hanya menatap sosok Kevin dengan wajah bingung, bentakan keras Kevin membuatnya mundur satu langkah dari posisi ia berdiri diawal. “Tadi kamu pulang sama siapa?” tanya Bianca menahan rasa sedihnya. “Sama mantanku, kenapa? Eh, aku heran deh sama kamu, seneng banget nungguin aku, kayak mantanku dong, orangnya enggak suka nunggu, kecuali kalau diminta!” jawab

Page 63: Bisikan Hati

63

Kevin enteng, dengan wajah seakan-akan ia tak menyakiti hati Bianca. “Oh…” ungkap Bianca menahan amarah. “Syukurlah kalau kamu bisa pulang sama dia, kamu juga enggak terlalu kehujanan. Ini nasi gorengnya, kamu makan ya. Aku mau pulang dulu.” “Bawa aja nasi gorengnya, aku tadi udah makan kok sama dia.” tungkas Kevin dengan nada enteng. “Enggak usah, kamu bawa aja. Aku pulang ya. Nanti langsung mandi dan keramas habis itu minum teh hangat supaya kamu enggak kedinginan.” tegas Bianca sambil menatap wajah Kevin dengan penuh perhatian.

Kevin tetap membuang muka, sesekali Kevin menatap Bianca. Pandangannya mencuri-curi celah untuk menatap Bianca. Tapi, tetap saja dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa Kevin tak peduli dengan Bianca. Kevin tak peduli dan tak mau tahu rasa khawatir yang Bianca simpan dalam-dalam. Padahal, rasa khawatir adalah wujud dari rasa cinta dan perhatian. Perhatian yang diabaikan layaknya rasa sakit yang diam-diam menghujam. Itulah yang dirasakan Bianca. Ia pulang dengan rasa hampa. Ia pulang dengan gerimis kecil dimatanya, gerimis itu bernama air mata.

Suara mahasiswa yang berdengung membuat Bianca pusing tujuh keliling. Bianca adalah wanita plegmatis yang

Page 64: Bisikan Hati

64

kadang membenci keramaian. Ia hanya duduk sendirian, merasakan angin genit yang bermain dengan rambut hitamnya. Kevin berjalan di depannya namun Kevin peduli, tak mau menatap sosok Bianca yang menunggunya sejak tadi. Bianca terbangun dari bangkunya, ia berlari-lari kecil mengejar sosok Kevin, “Kamu kenapa akhir-akhir ini cuek banget?” Kevin mengarahkan pandangannya pada Bianca, “Emang kenapa? Kamu kan cuma pacarku bukan istriku, salahku kalau nyuekin kamu?”

Bianca mengehentikan langkahnya, ia tertunduk seusai mendengar ucapan yang terlontar begitu saja dari bibir Kevin, “Kapan kamu menghargai aku sebagai sosok yang penting dalam hidupmu?” “Kapan? Kenapa bertanya? Bukankah aku selalu menghargai kamu?” tanya Kevin dengan nada keheranan.

“Padahal, apa yang tidak kuketahui tentangmu? Semua hal tentangmu tak pernah kecil dimataku. Aku selalu menghargai kamu, menghormati posisimu, dan masih memperlakukanmu dengan baik meskipun kadang kautak menghargai aku.” jelas Bianca dengan matanya yang mulai berair. “Wanita bodoh! Jangan jadikan air matamu sebagai senjata pamungkasmu! Kamu cengeng, kamu berbeda dengan

Page 65: Bisikan Hati

65

mantanku. Dia jauh lebih kuat daripada kamu!” tungkas Kevin dengan nada tinggi.

Ya… aku memang tidak seperti mantanmu. Aku memang tidak secantik dan setegar dia. Aku memang tidak secerdas dan semandiri dia. Aku jelas-jelas tak luar biasa seperti dia. Tapi, dia hanya masa lalumu, sedangkan aku adalah masa kini yang mungkin akan kaubawa ke masa depanmu!” Bianca menatap Kevin dengan tatapan serius. Tak pernah Kevin melihat Bianca sekeras dan seberani itu. “Kamu memang tidak seperti mantanku.” ucap Kevin singkat.

“Aku memang tidak seperti mantanmu. Aku adalah aku, yang akan luar biasa dengan jalan dan pilihanku sendiri. Kenyataannya kamu memang tidak bisa melupakan mantanmu dan masa lalumu.” ujar Bianca memicingkan mata, tatapannya tajam menatap Kevin. “Bukan urusanmu!” “Dan, aku sangat kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu lupa pada masa lalumu.” “Masa lalu bukan untuk dilupakan, masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran.”

Mata Bianca memerah, cahayanya yang bening tak lagi bersinar dari bola matanya, “Aku juga kecewa pada

Page 66: Bisikan Hati

66

diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu jatuh cinta kepadaku lalu melupakan mantanmu?” Kevin tak tega menatap Bianca, naluri lelakinya keluar, selalu tak tega menatap wanita yang sedang menangis, “Sudahlah…” ucap Kevin perlahan. “Jangan menangis.” “Kita akhiri saja semua kalau memang kamu masih memikirkan masa lalumu. Kita akhiri saja semua kalau memang kaulebih merindukan masa lalumu. Kita cukupkan sampai di sini, kalau masa lalumu lebih mampu untuk membahagiakanmu.” “Maksudku bukan seperti itu, Sayang.” dengan nada sok manja, Kevin menarik lengan Bianca. “Maaf ya?” “Percuma ada kata maaf jika kau tak mau berubah. Percuma ada kata maaf jika kauterus mengulang kesalahan yang sama. Kembalilah pada masa lalumu, aku juga tak membutuhkan orang sepertimu dimasa depanku.” Cetus Bianca, meghempaskan lengan kevin dari lengannya.

Kevin tak menyangka bahwa wanita yang beberapa bulan ini disiksanya juga mampu menyiksanya dengan cara yang menyakitkan. Hukum karma ternyata berlaku, jika seseorang menyakiti hati orang, maka akan ada saatnya hatinya juga akan tersakiti. Kevin hanya mematung menatap Bianca, menatap punggungnya hilang dari pandangannya. Jam waker melakukan tugasnya dengan baik, celotehnya

Page 67: Bisikan Hati

67

yang berisik membangunkan Kevin yang masih saja terantuk di ujung kantuk. Dimatikannya jam waker itu, ditariknya lagi selimut yang sejak tadi malam menghangatkan tubuhnya. Matanya menatap jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Gerakan reflek, ia menatap handphone, tak ada pesan singkat dari Bianca.

Tak ada suara ketukan pintu dari luar. Tak ada lagi wanita yang menyiapkan bubur ayam sebagai sarapan kesukannya. Tak ada sosok wanita yang meletakkan teh hangat di dekat tempat tidurnya. Tak ada lagi Bianca yang memerhatikan sosoknya. Ia merasa kesepian. Rasa membutuhkan dan perasaan akan kehilangan baru ia rasakan ketika ia telah kehilangan.

Kevin menghela napas. Ia menarik selimut untuk menghangatkan dadanya. Tubuhnya masih menggigil, demamnya tak juga turun. Entah sudah berapa lama hujan menari-nari tadi malam, hingga dinginnya masih saja menusuk tulang. Sosok Bianca yang ia harapkan tergopoh-gopoh membawa obat dan segelas air putih, tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hanya detak jam dinding yang mendesah perlahan kala itu. Tak ada Bianca.

Page 68: Bisikan Hati

68

Tersirat

“Woy, Baju Merah! Woy!”

Dira berbalik badan dan menghentikan langkah, “Gue?”

“Iya! Elo yang namanya Dira ya?”

“Iya, kenapa?”

“Anu lho, Si Kevin....”

“Kevin?”

“Iya, anak yang sekelas sama elo!”

“Dih, elo bukannya sejurusan sama gue? Elo anak psikologi

juga kan? Mahasiswa baru juga?”

“Gue Rama, kita satu jurusan juga, kok, tapi beda kelas.

Sewaktu pertemuan pertama mahasiswa baru, elo lihat gue

kan?”

Dira memutar ingatannya, mencoba mencari-cari

wajah Rama dan mengingat kembali pertemuan pertama

mahasiswa baru, ketika ia temukan wajah Rama dalam

memorinya, Dira langsung mengangguk cepat, “Iya, gue

inget.”

“Bagus! Gue mau cerita mengenai Kevin nih.”

Page 69: Bisikan Hati

69

“Ada apa dengan Kevin? Enggak ada hujan dan enggak ada

angin kok elo tiba-tiba cerita tentang dia?”

“Kevin suka cerita tentang lo! Dia juga sering banget

bercerita tentang percakapan antara lo dan dia. Kayaknya, dia

suka banget deh sama elo, Dir.”

Pipi Dira memerah, “Kita cuma sering becanda di sms atau

bbm, kok, enggak lebih dari itu.”

Pria itu menatap wajah Dira sambil menghela napas

pelan dan panjang. Dira meneliti wajah pria itu dengan

cermat, nampaknya ia sangat bersemangat mengejar Dira

hingga napasnya terengah-engah seperti itu.

“Dia juga cerita kalau elo suka sms atau bbm dia

duluan. Katanya, elo lucu, ramah, dan supel. Dia nyaman

ngomong sama elo.”

“Wah, gue baru tahu kalau elo deket sama Kevin.”

“Dia sering main ke kosan gue, soalnya kosan dia

katanya sepi. Dia enggak terlalu suka tempat yang sepi.”

Dira mengangguk mengerti, “Terus, dia cerita

apalagi?”

“Elo penasaran? Mending kita ngobrol dekat danau

itu aja, lumayan anginnya sepoi-sepoi.”

Page 70: Bisikan Hati

70

Langkah mereka berayun menuju salah satu bangku

di dekat danau. Dalam keadaan seperti ini, sejauh mata

memandang terlihat Perpustakaan kampus berdiri megah.

Aliran danau yang tenang namun menggoda menciptakan

gemerisik yang merdu. Terpaan angin yang sejuk memainkan

rambut Rama dan Dira.

Dira tak terlalu mengenal Rama, mungkin inilah kali

pertama Dira bisa benar-benar bercakap dengan Rama. Hal

itulah yang juga dirasakan Rama, inilah kali pertama ia

bercakap dengan Dira.

“Kevin cerita banyak hal mengenai elo. Dia

memerhatikan setiap detail yang ada dalam diri lo.”

“Wah, tapi, kok elo malah cerita-cerita ke gue sih?

Harusnya, itu kan jadi rahasia antara elo dan Kevin.”

“Bagi gue, ini bukan rahasia. Enggak ada gunanya

disimpan diam-diam kalau dikatakan jauh lebih berarti.”

“Elo serius kalau Kevin sering cerita tentang gue ke

elo?”

“Iya, masa gue bohong sama elo? Elo suka sama

dia?”

Dira terdiam.

Page 71: Bisikan Hati

71

“Oke, diam lo cukup menjawab, kok.”

Senyum Dira melengkung sempurna, ia

membayangkan bagaimana Kevin, pria yang baru-baru ini

mengisi hatinya yang kosong, sangat berantusias bercerita

tentang dirinya kepada sahabat karib Kevin, Rama. Dira juga

mereka-reka bagaimana wajah Kevin yang sangat manis itu

mengucapkan nama Dira berkali-kali. Senyum Dira semakin

puas, ia merasa bahwa usahanya mendekati Kevin telah

mendapatkan respon. Kevin yang Dira kira adalah cowok

angkuh dan pelit respon ternyata menyimpan rahasia yang

mendalam. Bagi Dira, Kevin juga menyukai Dira sedalam

Dira menyukai sosok Kevin. Senyum Dira terlihat semakin

puas. Sangat puas.

“Tetap bikin dia tersenyum ya, kayaknya cuma elo

yang berhasil mengembalikan senyumnya.”

“Lho, kok segitunya sih, Rama? Emangnya ada apa

dengan Kevin?”

“Tadinya, dia udah lupa rasanya jatuh cinta,

kehadiran elo benar-benar mengubah dia.”

“Rama, thanks ya! Gue jadi tambah semangat nih

buat bikin Kevin terus tersenyum.”

Page 72: Bisikan Hati

72

“Bagus. Sekarang, udah sore banget, elo enggak

pulang?”

“Keasikan cerita jadi lupa kalau gue mau pulang!”

Rama tertawa geli. Dira segera pamit meninggalkan Rama.

Langkah Rama tak langsung beranjak, ia memerhatikan

punggung Dira yang semakin lama semakin menjauh.

Napasnya berembus dengan sangat berat, “Dira,

seandainya gue bisa jadi Kevin.”

Dira sejak tadi menatap pintu kelas, ia berharap sosok

Kevin datang sebelum mata kuliah dimulai. Tatapan Dira

masih begitu serius, hingga sosok Kevin yang diharapkan

terlihat muncul dari balik pintu.

“Kevin!”

Kevin menatap acuh tak acuh pada Dira, “Yo, Dir.”

Merasa diabaikan, Dira segera mendekati Kevin

menuju mejanya. “Pagi ini suntuk banget, udah sarapan?”

Kevin menggeleng lemah, matanya tak lepas dari

buku tebal yang berada di jemarinya.

“Dira masakin Kevin nasi goreng lho,” tangan Dira

mengulurkan sekotak makanan ke meja Kevin. “Enggak

terlalu enak sih, tapi dimakan ya, Kevin.”

Page 73: Bisikan Hati

73

Wajah menyebalkan Kevin tak luput dari pandangan

Dira, reaksi Kevin yang menyebalkan ternyata tak membuat

Dira jera. Ia masih terus berusaha mengajak Kevin bicara,

namun respon Kevin tetap sama; tersenyum setengah-

setengah.

Ketika percakapan berlangsung semakin hambar, Rama

mengagetkan mereka berdua dengan suara khasnya, “Woi!

Berdua aje!”

Senyum Dira melengkung malu-malu, “Eh, Rama, pagi-pagi

udah godain orang aja!”

“Woi, Bro, untungnya elo dateng, kelas elo belum

masuk emang?”

“Kelas B belum masuk kok, Vin.”

“Oh iya, gue mau cerita banyak nih!” ucap Kevin

dengan nada bersemangat ketika melihat sosok Rama berdiri

di samping mejanya.

Pasti mereka mau ngomongin gue. Dira tersenyum

tipis, ia sangat yakin dengan kata hatinya. “Kevin, nanti

balajar bareng di Perpustakaan Pusat UI mau enggak?”

Tatapan itu masih sama, tatapan tak peduli, “Jam

berapa? Sama siapa aja?”

Page 74: Bisikan Hati

74

“Habis kelas pagi ini, berdua aja, kalau kebanyakan

orang takut terlalu rame.”

“Oke, gue ngikut ajadeh!”

Senyum Dira terhapus, ia merasakan debaran aneh di

jantungnya. Ketika Kevin menatapnya, meskipun hanya

sekali lirik, tatapan itu benar-benar meruntuhkan logika dan

pikirannya. Dira masih beranggapan bahkan Kevin

sebenarnya juga menyukai Dira, namun Kevin masih

menunggu waktu yang tepat untuk memberi respon kemudian

mengungkapkan. Dira menutup hatinya rapat-rapat untuk

orang lain, karena kunci hatinya telah dimiliki oleh Kevin. Ia

sangat yakin bahwa pengabaian Kevin bukanlah hal yang

sebenarnya ingin ditunjukkan Kevin, ia punya pendapat

sendiri terhadap perasaan Kevin. Baginya, Kevin punya

perasaan yang sama, namun Kevin masih malu-malu untuk

menunjukkan perasannya.

Ketika kuliah pagi usai, Dira langsung melengos

pergi menuju Perpustakaan. Ia berlari menuju halte bis

kuning yang akan mengantarkan dia sampai di depan halte

bisa kuning Pondok Cina. Napasnya yang terengah-engah tak

meluruhkan semangatnya untuk segera sampai di

Page 75: Bisikan Hati

75

Perpustakaan . Sesampainya di sana, ia segera menaiki lift

menuju lantai tiga, dengan sigap mencari meja yang pas

untuk belajar bersama Kevin.

Rasa lelahya disandarkan pada bangku yang ia

duduki, dengan hati berdebar-debar ia menunggu kedatangan

Kevin. Kerjaannya sejak tadi hanya menatap jam tangan biru

yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu semakin

berlalu.

Satu jam.

Dua jam.

Tiga jam.

Kevin tak datang. Hanya untuk menunggu Kevin,

Dira bahkan meninggalkan jadwal mata kuliah siang. Wajah

Dira terlihat semakin kecut, hatinya bertanya-tanya. Apakah

Kevin memang punya perasaan yang mendalam seperti yang

diceritakan Rama? Apakah Kevin menyukai Dira seperti Dira

lebih dulu menyukai Kevin? Apakah semua perkataan Rama

tentang perasaan Kevin pada Dira harus benar-benar

dipercaya?

Dira melipat tangan, ia menundukkan kepala....

menangis dalam diam. Rama yang sejak tadi menatap Dira

Page 76: Bisikan Hati

76

dari kejauhan, tak bisa berbuat banyak. Rama ingin berada di

samping Dira, memeluknya dengan rapat, tapi rasanya tak

mungkin.

Ini bukan yang pertama kali bagi Dira. Ia menunggu

sendirian, berjam-jam, demi sosok Kevin. Satu kali masih

bisa dimaklumi, dua kali masih bisa ditolerir, tiga kali masih

bisa dimaafkan, tapi tujuh kali? Dira menghela napas berat,

apakah kehadiran Dira tak pernah Kevin anggap sama sekali?

Pengorbanan dari menunggu memang menyakitkan,

apalagi jika orang yang ditunggu tak pernah menampakan

diri. Itulah rasa sakit yang Dira pendam, tak pernah ia

ceritakan kepada siapapun. Ia masih menganggap Kevin

adalah dunianya. Dia masih menganggap Kevin adalah sebab

dari kebahagiaannya. Bisakah disebut kebahagiaan jika

Kevin selalu melanggar janjinya? Benarkan perkataan Rama

selama ini. Rama selalu bercerita kepada Dira bahwa Kevin

sangat menyukai Dira, bahkan tergila-gila, namun hal itu tak

benar-benar dirasakan Dira; justru pengabaianlah yang Dira

rasakan sehari-hari. Cintanya seakan-akan bertepuk sebelah

tangan. Pengakuan Rama mengenai perasaan Kevin, yang

Page 77: Bisikan Hati

77

katanya begitu mencintai Dira, ternyata berbeda dengan yang

Dira rasakan selama ini.

Inikah kesalahan Dira? Terlalu bodoh menanti

seseorang yang mungkin saja tak mencintainya? Nampaknya,

Dira sudah berikan segalanya. Perhatian, sikap manis, dan

tentu saja cinta. Balasan apa yang Dira terima dari Kevin?

Rasa sakit hati.

Pantaskah Dira menuntut balas dari Kevin? Bukankah

cinta tak pamrih? Bukankah cinta tak mengenal kata

menuntut untuk dicintai balik? Bukankah cinta lebih

mengenal ketulusan daripada imbalan? Iya, Dira paham,

sangat paham. Namun... Kevin... apakah dia tak punya mata

untuk melihat pengorbanan Dira? Apakah dia tak punya

telinga untuk mendengar kata-kata manis dari bibir dira?

Apakah Kevin tak lagi punya perasaan untuk merasakan

perhatian yang Dira berikan?

Dira hanya terdiam, tak bisa apa-apa, bahkan ketika

Kevin tak datang untuk kesekian kalinya. Janji diingkari lagi.

Ia menunggu Kevin di dekat danau hingga hujan deras.

Terpaksa, Dira berteduh di bawah lorong. Ia merapatkan

tangannya di depan dada, berusaha menemukan kehangatan

Page 78: Bisikan Hati

78

dengan memeluk tubuhnya sendiri. Hujan selalu berhasil

membuat seseorang mereka-reka kembali ingatan masa

lalunya, hal itu juga yang Dira lakukan ketika hujan semakin

deras dan udara semakin dingin.

Ia berpikir keras. Untuk apa ia berkorban demi

Kevin? Kevin yang terlihat tak merespon, memberi perhatian,

dan balik mencintainya. Dira tak ingin memikirkan Kevin

untuk saat-saat ini, karena saat memikirkan Kevin; ia tak lagi

temukan celah kebahagiaan.

Di bawah hujan yang semakin deras, Rama berlari-

lari kecil menghampiri Dira. Ia sudah tahu sebenarnya Kevin

tak akan datang dan Dira akan menunggu sendirian. Rama

tak tahan melihat Dira yang justru kehilangan senyumnya

ketika berusaha membuat Kevin tersenyum.

“Ngelamun terus lo!”

“Bukan ngelamun, ini lagi berteduh!”

“Nunggu siapa?”

Dira terdiam. Ia menatap Rama dengan tatapan sendu.

“Enggak usah dijawab, gue selalu bilang sama elo

kan, diam lo sudah cukup menjawab.” Rama menerangkan

dengan wajah kusut. “Kevin enggak datang lagi?”

Page 79: Bisikan Hati

79

Anggukan Dira berayun pelan. “Entah sudah yang

keberapa kali.”

“Masih mau menunggu?”

Dira tersenyum kecut.

“Buat apa menunggu yang jauh agar segera kembali

jika yang di dekat lo tak pernah memutuskan pergi?”

Tatapan Dira heran, “Maksud lo?”

“Buka mata lo.”

“Udah.”

“Bukan mata yang itu!” Rama menunjuk kelopak

mata Dira.

“Mata yang mana?”

“Yang ini.” ucap Rama sambil mengarahkan jari

telunjuk ke dadanya. “Gue enggak mau kalau senyum lo

malah pudar ketika lo ingin membuat orang lain tersenyum.”

“Gue enggak kehilangan senyum gue sendiri kok.”

“Elo enggak merasa, tapi orang di sekitar lo

merasakan. Ketika hati lo enggak peka, orang lainlah yang

bisa saja merasakan yang sebenarnya terjadi sama lo.”

“Rama.... tapi, kata elo, Kevin sayang sama gue.”

mata Dira berair.

Page 80: Bisikan Hati

80

“Bercerita tentang Kevin adalah satu-satunya cara

agar gue punya kesempatan ngobrol sama lo.” jelas Rama

dengan wajah menunduk. “Perasaan Kevin yang gue

ceritakan ke elo sebenarnya adalah perasaan gue, yang entah

harus bagaimana gue ungkapkan ke elo.”

“Jadi....”

“Jadi, kita pulang, sebelum elo menggigil

kedinginan.”

Dira berusaha mengundang senyum kembali ke

bibirnya, Rama merangkul Dira dengan debaran jantung

berirama cepat.

Jika bisa terus berjalan, haruskah kamu

menghentikan langkah untuk menunggu?

Jawabannya ada di dalam hatimu.

Page 81: Bisikan Hati

81

Kolaborasi

Kata

Page 82: Bisikan Hati

82

Lima Belas Minggu setelah Kepergian Kamu

Di tengah beberapa tugas yang meminta untuk segera

diselesaikan, di antara beberapa tulisan yang minta

dituntaskan. Seperti aku butuh sedikit udara bebas sambil

menghirup kenangan kita dulu. Dengan keisengan yang

sangat niat, aku kembali membaca pesan singkat kita dulu.

Tulisan-tulisan yang sengaja kusimpan agar bisa kubaca

ulang ketika aku merindukanmu. Ah, hal ini memang hanya

dilakukan oleh pengecut, aku tak pernah berani

menghubungimu lebih dulu, bahkan saat aku sedang sakit-

sakitnya merindukanmu.

Setelah lima belas minggu, sudah banyak yang

berubah. Dulu, saat mengenalmu, aku masih semester dua,

sekarang sudah menjelang semester tiga. Kamu pun juga

begitu. Semoga, kamu sudah lebih dewasa, tidak bersikap

kekanak-kanakan seperti dulu masih bersamaku. Ngomong-

ngomong soal kekanak-kanakan, akhir-akhir ini aku sering

merasa kesepian, entah karena aku terlalu berfokus pada

tugas-tugasku atau memang karena saat ini aku masih

Page 83: Bisikan Hati

83

sendirian. Dan, disaat sepi seperti ini, aku merindukan suara

manismu juga pesan singkatmu.

Percakapan di telepon, pembicaraan di pesan singkat,

ataupun genggaman tanganmu rasanya memang sederhana.

Tapi, semua terasa tak lagi sederhana ketika aku kehilangan

kamu. Semua jadi begitu rumit setelah kamu pergi. Aku

harus mengatasi malam-malam sepi, malam saat kamu tidak

lagi di sini. Aku sendiri membawa luka yang kupatri dengan

jemariku sendiri. Sudah tahu kamu begitu, tak pernah mau

tahu apalagi memahamiku, mengapa dulu aku masih juga

ingin memperjuangkanmu?

Lucu, ya, kalau diingat-ingat aku pernah begitu

bodoh. Pernah begitu tolol memercayai bahwa yang

kautunjukan dulu adalah cinta. Ah, dasar wanita, selalu

menilai yang manis, yang hangat, yang kuat berarti cinta.

Siapa yang tahu wujud cinta? Bahkan, cintapun, bisa

ditunjukan dalam diam, dalam bisu. Selama bersamamu, aku

ini sebenarnya bisu. Ingin saja kaubawa kemanapun tanpa

aku pernah mengeluh apalagi meminta. Kamu bawa aku ke

dalam perasaan yang sebenarnya sangat ingin kutolak. Aku

selalu takut jatuh cinta dengan yang berbeda, yang digembar-

Page 84: Bisikan Hati

84

gemborkan banyak orang akan berakhir dengan luka. Tapi,

waktu pertama kali mengenalimu, rasanya kamu tidak akan

melukaiku. Iya, wanita yang perasaannya kuat pun bisa juga

berpikiran salah bukan?

Aku terlalu asik mengitari planetmu, seperti bulan

yang mengelilingi tapi tak benar-benar merasuki. Aku ada di

sampingmu, mendoakanmu, memelukmu, merangkulmu; tapi

semua kosong. Aku mencintaimu, merindukanmu,

menjagamu; tapi, semua maya. Bisakah kaurasakan

kekosongan yang juga kurasakan dulu? Ketika kamu begitu

asik memanggilku dengan panggilan sayang, aku tak

melawan karena sudah merasa terlalu nyaman.

Saat kamu merangkulku seakan aku kekasihmu, aku

tak menghindar karena kurasakan sentuhan yang berbeda dari

jemarimu, yang kupikir akan seterusnya atau selamanya

menghangatkanku. Nyatanya, tidak begitu, semua hanya

sesaat, yang kupikir bertahan lama justru begitu cepat

kendas. Kamu ingat masa-masa manis itu terjadi berapa

lama? Hanya satu minggu namun kenangan yang melekat

masih terasa sampai sekarang, berminggu-minggu; lima belas

minggu.

Page 85: Bisikan Hati

85

Kudengar, kamu sudah punya yang baru. Ini begitu

lucu, kamu sudah bersama yang lain sementara aku masih

sibuk memikirkanmu, mendoakanmu, juga membaca pesan

singkatmu dahulu. Setiap orang memang berbeda dan aku tak

bisa memaksakan otak dan hatiku untuk melupakanmu. Ya,

izinkan aku berproses untuk bahagia dengan cara menikmati

luka. Namun, miris juga rasanya, mengingat kita pernah baik-

baik saja tapi sekarang tak lagi saling bersapa. Entah mau

Tuhan apa, sejak mengenalmu aku juga tak ingin hadirnya

cinta. Tapi, hati ini maunya berbeda, kita menjalani bersama.

Dengan janji-janjimu yang kupercayai akan menjadi nyata,

dengan kata-katamu yang manis namun penuh dusta.

Seandainya dulu kaubilang hanya ingin jadi teman,

mungkin aku tak akan ingin kaubawa melangkah sejauh ini.

Kalau dari awal kaumenyadarkanku dengan perbedaan kita,

pasti kita sudah saling berjauhan dari dulu, sudah saling

melupakan, eh, bukan, deh, kamu yang duluan melupakan,

aku tidak, tidak akan pernah mudah melupakan seseorang

yang sudah menjadi bagian dalam hari-hariku, meskipun

hanya satu minggu.

Page 86: Bisikan Hati

86

Aku merindukanmu

Page 87: Bisikan Hati

87

Kita (mungkin) Belum Benar-Benar Putus

Mungkin, dulu aku tak benar-benar mencintaimu,

ketika jantungmu berdetak lebih cepat saat bertemu

denganku, aku tak merasakan jantungku berdetak dengan

hebat ketika bersamamu. Perkenalan kita begitu singkat,

pertemuan kita cukup beberapa saat, lalu kaukatakan cinta,

lalu ka tunjukkan rasa, lalu kaubahagia dengan cinta "instan"

yang kita lalui berdua. Ya, aku bahagia, tapi tidak benar-

benar bahagia, karena (mungkin) aku tak merasakan perasaan

yang sama denganmu, karena (mungkin) aku asal menjawab

saja ketika ka memintaku menjadi saru-satunya dalam

hidupmu. Aku tak pernah mempedulikanmu! Aku tak pernah

mau tahu kabarmu! Aku hanya bertingkah seolah-olah

kaukekasihku, karena masih ada labirin-labirin kosong

dihatiku, yang tak mampu terisi olehmu. Ya, kita bertingkah

layaknya pasangan kekasih yang sangat bahagia, tapi apa

yang kurasakan? Genggaman tanganmu, kosong! Pelukanmu,

semu! Tutur katamu, tak penting bagiku! Senyummu, tak

mampu membuat jantungku menderu menggebu! Aku lebih

suka menghabiskan waktu dengan,mu Bermesraan denganmu

Page 88: Bisikan Hati

88

tanpa kautahu apa yang kulakukan dibelakangmu.

Sebenarnya, apa yang salah denganku? Sebenarnya, ini

salahku atau salahmu? Awalnya, semua berjalan biasa saja,

tapi aku mulai risih dengan tingkah bodoh dan keanehanmu!

Aku tak tahan dengan semua hal bodoh yang kauperlihatkan

padaku. Aku tak suka caramu mengatakan cinta dengan hal

setolol itu! Kenapa kaselalu membuatku marah? Kenapa

kautak pernah berusaha menumbuhkan cinta dalam hatiku?

Kenapa aku tak bisa mencintaimu walaupun kutahu kautelah

berkorban banyak untukku?

Tapi, Tuhan memang adil, Tuhan berikanku rasa sakit

untuk menyadarkanku dari kesalahanku. Kata putus yang

kulontarkan dengan begitu mudahnya, tanpa tangis tapi

penuh tawa ternyata tak selamanya menjadi tawa bagiku.

Selang beberapa hari memang semua berjalan normal, tapi

aku merasa ada mozaik yang hilang dalam hidupku; kamu

yang kutinggalkan dengan sengaja dan dengan kejamnya.

Pesan singkatmu, tawa renyahmu, senyummu, kata-kata

cintamu, tak ada ada lagi hal-hal manis yang dulu kuanggap

seperti sampah itu. Tak ada lagi kamu yang mengisi hari-

hariku dengan lelucon bodoh dan tampang tolol itu. Tak ada

Page 89: Bisikan Hati

89

lagi kamu yang diam-diam mencium pipiku ketika aku sibuk

dengan handphone dan laptopku. Aku merasa sendirian. Aku

benar-benar merasa kehilangan. Kini, aku semakin percaya

bahwa kita baru benar-benar mencintai seseorang ketika kita

kehilangan sosoknya, dan hal itu kini terjadi padaku.

Memang, setelah berpisah denganmu, aku dengan

begitu mudahnya mendapat seseorang lagi yang berusaha

mengisi hari-hariku, tapi dia tak sebodoh kamu, dia tak

setolol kamu, dia tak mampu menggantikan kamu. Dia hanya

berhasil mengganti statusku yang single menjadi in

relationship, dia tak benar-benar mampu menggantikan kamu

yang (tanpa kusadari) telah mengisi hatiku. Aku semakin

mengerti bahwa tak ada seorangpun yang mampu

menggantikan sosokmu.

Meskipun kini aku telah bersamanya, dan kaujuga

telah menemukan seseorang yang baru, tapi perasaanku tak

berubah sedikitpun. Aku justru sangat mencintaimu ketika

kini kautelah bersamanya. Saat melihat kaudengan dia, ada

rasa sakit yang menikamku dalam-dalam, ada kenangan yang

diam-diam mendesakku kembali ke masa lalu, sambil berkata

Page 90: Bisikan Hati

90

dalam hati: "Dulu aku pernah menggenggam tanganmu, tapi

sekarang dia yang mampu melakukan itu, kekasih barumu."

Hanya itu yang bisa kulakukan, MENYESAL!

Membiarkanmu mencintaiku tanpa mempedulikan

perasaanmu, membiarkanmu memberi kejutan tanpa pernah

memerhatikan usaha kerasmu, aku sadar bahwa ternyata dulu

kamu benar-benar mencintaiku. Cuma itu yang bisa

kulakukan, menangis diam-diam ketika kulihat barang-

barang pemberianmu masih kusimpan dengan rapi. Kita

memang telah berpisah, tapi perasaanku belum bisa lepas

darimu. Kita memang telah putus, tapi kenanganku

tentangmu belum benar-benar putus.

Aku takut kehilangan seseorang yang tak lagi kumiliki...

kamu.

Page 91: Bisikan Hati

91

Belajar Melepaskan

Kamu mengenalkan namamu begitu saja, uluran

tanganmu dan suara lembutmu berlalu tanpa pernah kuingat-

ingat. Awalnya, semua berjalan sederhana. Kita bercanda,

kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis; walaupun

segala percakapan itu hanya tercipta melalui pesan singkat—

BBM. Perhatian yang mengalir darimu dan pembicara manis

kala itu hanya kuanggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai

dengan luar biasa.

Kehadiranmu membawa perasaan lain. Hal berbeda

yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan hatiku

dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi

perasaan aneh. Ada yang hilang jika sehari saja kamu tak

menyapaku melalui dentingan chat BBM. Setiap hari ada saja

topik menarik yang kita bicarakan, sampai pada akhirnya kita

berbicara hal paling menyentuh cinta.

Kamu bercerita tentang mantan kekasihmu dan aku

bisa merasakan perasaan yang kaurasakan. Aku berusaha

memahami kerinduanmu akan perhatian seseorang.

Page 92: Bisikan Hati

92

Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian itu tanpa

kauketahui. Mungkinkah perhatianku yang sering kuberikan

tak benar-benar terasa olehmu? Aku mendengar ceritamu

lagi. Hatiku bertanya-tanya, seorang wanita hanya

menceritakan perasaannya pada pria yang dianggap dekat.

Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah kausudah

menganggap aku sebagai pria spesial meskipun kita tak

memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang

dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa

kusadari bahwa cinta mulai menyeretku ke arah yang

mungkin saja tak kuinginkan.

Saat bertemu, kita tak pernah bicara banyak. Hanya

sesekali menatap dan tersenyum penuh arti. Ketika berbicara

di BBM, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan

semangat itu melalui tulisanmu. Sungguh, aku masih tak

percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku

terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. Ini

hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang

baru dalam hadirmu. Aku berusaha memercayai bahwa

perhatianmu, candaanmu, dan caramu mengungkapkan

Page 93: Bisikan Hati

93

pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas

teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.

Aku tak pernah ingin mengingat kenangan sendirian.

Aku juga tak ingin merasakan sakit sendirian. Tapi,

nyatanya....

Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi

terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan?

Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada

orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak sepandai dan

secerdas itu. Aku hanya manusia biasa yang merasakan

kenyamanan dalam hadirmu. Aku hanya manusia yang takut

kehilangan seseorang yang tak pernah aku miliki.

Salahku memang jika mengartikan tindakanmu

sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan jika berharap

bahwa kamu juga punya perasaan yang sama? Kamu sudah

jadi sebab tawa dan senyumku, aku percaya kautak mungkin

membuatku sedih dan kamu tak akan jadi sebab air mataku.

Aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan

memberiku sinar paling terang. Aku sangat memercayaimu,

sangat! Dan, itulah kebodohan yang harus kusesali.

Page 94: Bisikan Hati

94

Ternyata, ketakutanku terjawab sudah, kamu

menjauhiku tanpa alasan yang jelas. Kamu pergi tanpa

ucapan pisah dan pamit. Aku terpukul dengan keputusan

yang tak kausampaikan padaku, tapi pantaskah aku marah?

Aku tak pernah jadi siapa-siapa bagimu, mungkin aku hanya

persinggahan; bukan tujuan. Kalau kauingin tahu, aku sudah

merancang berbagai mimpi indah yang ingin kuwujudkan

bersamamu. Mungkin, suatu saat nanti, jika Tuhan izinkan,

aku percaya kita pasti bisa saling membahagiakan.

Aku tak punya hak untuk memintamu kembali, juga

tak punya wewenang untuk memintamu segera pulang.

Masih adakah yang perlu kupaksakan jika bagimu aku tak

pernah jadi tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan.

Dulu, aku terbiasa dengan candaan dan perhatian kecilmu,

namun segalanya tiba-tiba hilang menguap, bagai asap rokok

yang hilang ditelan gelapnya malam.

Sesungguhnya, ini juga salahku, yang bertahan dalam

diam meskipun aku punya perasaan yang lebih dalam dan

kuat. Ini bukan salahmu, juga bukan kesalahannya. Tapi, tak

mungkin matamu terlalu buta dan hatimu terlalu cacat untuk

tahu bahwa aku mencintaimu.

Page 95: Bisikan Hati

95

Aku harus belajar tak peduli. Aku harus belajar memaafkan,

juga merelakan.

Page 96: Bisikan Hati

96