Upload
khaidarni
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tugas Individu
BISNIS SYARIAH
DISUSUN OLEH
Ahmad Chairullah
1310071531834
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI RIAU
PEKANBARU
2014/2015
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk membuat makalah sebagai tugas bisnis
syariah.Shalawat serta salam kami curahkan kepada baginda nabi muhammad saw
yang telah membawa kami untuk menuntut ilmu sebagai jjihad kami di jalan allah
yang semoga saja diridho oleh allah swt.
Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba memberi sedikit penjelasan
tentang bisnis syariah. Saya sadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak
menutup kemungkinan adanya kekurangan atau kesalahan,oleh karenanya saya
mohon maaf apabila ada salah maksud atau pengertian didalamnya.
Makalah ini saya susun dengan maksud dan tujuan dapat membantu teman-
teman mahasiswa/i dalam rangka pembelajaran/diskusi bersama.
Pekanbaru, 24 Desember 2014
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………………………. 2
Daftar Isi…………………………………………………………………………………….. 3
BAB I
Pendahuluan…………………………………………………………………………………. 4
BAB II
Bank Umum…………………………………………………………………………………. 6
Bank Syariah………………………………………………………………………………… 7
Sistem Keuangan Indonesia………………………………………………………………… 8
Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Islam…………………………………………………………. 12
Manajemen Bank Umum…………………………………………………………………… 13
Manajemen Bank Syariah…………………………………………………………………… 16
Membangun Kerangka Kerja Bagi Keuangan Syariah……………………………………… 18
Bisnis Bank Syariah…………………………………………………………………………. 22
Prinsip Dasar Etika Bisnis Syariah………………………………………………………….. 23
Etika Bisnis Bank Syariah…………………………………………………………………… 24
Ciri Khas Bisnis Syariah…………………………………………………………………….. 25
Akad dalam Bisnis Syariah………………………………………………………………….. 26
Kerjasama dalam Bisnis Syariah……………………………………………………………. 29
Lembaga Bisnis Syariah…………………………………………………………………….. 34
BABIII
Penutup……………………………………………………………………………………… 37
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………. 38
3
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam lima tahun terakhir perkembangan bisnis dengan latar belakang agama, yaitu
Islam kian marak dan menjamur. Meski baru sebatas dibidang perbankan, asuransi, micro
finance, hotel (baru ada satu), pendidikan, kesemuanya merupakan fenomena yang menarik
untuk dicermati. Perkembangan tersebut bahkan mendorong seorang Hermawan Kartajaya dan
M. Syakir menerbitkan sebuah buku berjudul Syariah Marketing. Hingga saat ini kita sudah tidak
asing lagi dengan istilah Bank Syariah sebagaimana yang pertama kali dilakukan oleh Bank
Muamalat Indonesia, Asuransi Syariah, TK-SD Islam Terpadu, dan lain sebagainya. Maka tidak
berlebihan kalau kemudian M. Syafi’i Antonio mengatakan “Spiritual is the Soul of Advance and
Integrated Marketing”.
Seiring dengan kesadaran masyarakat Indonesia–yang mayoritas penduduknya muslim—
terhadap keharusan menggunakan dan memanfaatkan produk (barang maupun jasa) yang halal
dan barokah, maka peran produsen atau perusahaan-perusahaan berbasis syariah menjadi sebuah
alternative masa depan yang sangat menjanjikan. Barangkali ini dianggap terlalu optimis. Tapi
itulah trend yang sekarang sedang menuju ke arah sana. Jika melihat perkembangan bisnis
syariah termasuk juga lembaga-lembaga syariah di negara-negara muslim lainnya seperti
Kuwait, Uni Emirat Arab, Malaysia, bahkan Singapura, Indonesia sudah tertinggal cukup jauh.
Tak kalah heboh, Negara-negara Eropa pun kini sedang berpikir untuk membuka unit-unit usaha
syariah.
Satu sisi tentang perkembangan itu kita semua patut bersyukur. Namun pada sisi yang
lain, kita juga patut waspada. Mengapa? Karena bukan tidak mungkin berbagai variasi produk
syariah yang bermunculan saat ini ternyata tidak lebih dari sekedar ‘berganti nama’. Secara
paradigmatic sebuah perusahaan bisa saja tetap berpijak pada konsep bisnis sekuler-kapitalistik,
tapi di poles dengan polesan syariah atau tepatnya etika Islami, seperti : jujur, amanah dan
sejenisnya. Al hasil, yang penting bagi perusahaan itu mendapatkan market share yang
menguntungkan di pasar syariah.
4
Religion brand sebagaimana produk syariah kini, meski mungkin pangsa pasarnya lebih
spesifik dan sangat segmented, sangat mungkin dalam waktu dekat akan menjadi produk yang
banyak dibutuhkan oleh semua orang, bukan saja umat Islam. Inilah tantangan kita, khususnya
bagi pengusaha muslim untuk membangun peradaban bisnis yang syar’iy. Bukan saja sekedar
polesan, tapi juga asas, konsep, manusia, implementasi dan hasil yang benar-benar menampilkan
sosok bisnis berbasis syariah yang utuh, unik dan barokah. Dalam konteks perkuliahan lembaga
keuangan syariah, judul makalah ini sebenarnya merupakan titik temu dari materi sebelumnya.
Karena bisnis syariah sejatinya berupa perbankan syari’ah, asuransi syariah, pegadaian syariah
pasar modal syariah, penjaminan syariah, hotel syariah dan lainnya (lembaga keuangan dan
bukan keuangan).
5
BABII
PEMBAHASAN
BANK UMUM
Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bank disebutkan sebagai badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Kegiatan usaha yang dapat dilaksanakan oleh Bank Umum:
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan kredit.
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya:
- Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-
surat dimaksud.
- Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud.
- Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
- Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
- Obligasi.
- Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu (1) tahun.
- Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan satu
(1) tahun
5. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
6
6. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain,
baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek
atau sarana lainnya.
7. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan
antar pihak ketiga.
8. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
9. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
10. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat
berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
11. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
12. Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
13. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BANK SYARIAH
Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam,
maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam,
khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Falsafah dasar beroperasinya
bank syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efesiensi, keadilan, dan
kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk
memperoleh keuntungan sebesar mungkin.
Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang
matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling
menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas.
Kegiatan bank syariah dalam hal penentuan harga produknya sangat berbeda dengan bank
konvensional.
Penentuan harga bagi bank syariah didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan
nasabah penyimpan dana sesuai dengan jenis simpanan dan jangka waktunya, yang akan
7
menentukan besar kecilnya porsi bagi hasil yang akan diterima penyimpan. Berikut ini prinsip-
prinsip yang berlaku pada bank syariah.
a) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).
b) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah).
c) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah).
d) Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah).
e) Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
Dalam rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah harus berlandaskan pada Alquran
dan hadis. Bank syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu.
Bagi bank syariah, bunga bank adalah riba. Dalam perkembangannya kehadiran bank syariah
ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, akan tetapi juga masyarakat nonmuslim.
Saat ini bank syariah sudah tersebar di berbagai negara-negara muslim dan nonmuslim, baik di
Benua Amerika, Australia, dan Eropa. Bahkan banyak perusahaan dunia yang telah membuka
cabang berdasarkan prinsip syariah. Contoh Bank Syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat
Indonesia, Bank Syariah Mandiri.
SISTEM KEUANGAN DI INDONESIA
Sistem Keuangan adalah kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-
peraturan, dan teknik-teknik dimana surat-surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga
ditetapkan,dan jasa-jasa keuangan (finansial service) dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh
bagian dunia (Peter S. Rose, 7th Edition, 2000)
Menurut Peter S. Rose, ada 7 fungsi pokok sistem keuangan :
1. Fungsi Tabungan (savings function)
Sistem keuangan menyediakan suatu mekanisme dan instrumen tabungan. Misalnya: obligasi,
saham, dan instrumen utang lain yang diperjualbelikan di pasar uang dan pasar modal yang
menjanjikan suatu pendapatan dengan resiko relatif rendah.
2. Fungsi Kekayaan (wealth function)
8
Instrumen keuangan yang diperjual belikan dalam pasar keuangan menyediakan cara terbaik
untuk menyimpan kekayaan, yaitu menahan asset yang dimiliki sampai dana tersebut dibutuhkan
untuk dibelanjakan
3. Fungsi Likuiditas (liquidity function)
Kekayaan yang disimpan dalam bentuk instrumen keuangan, dapat dikonversi menjadi kas
atau uang tunai dipasar keuangan dengan resiko kecil. Dengan demikian, pasar keuangan
menyediakan likuiditas bagi penabung pemilik instrumen keuangan yang sedang membutuhkan
uang tunai.
4. Fungsi Kredit (credit function)
Pasar keuangan menyediakan kredit untuk membiayai kebutuhan konsumsi dan investasi.
Kredit merupakan pinjaman yang disertai janji untuk membayar kembali dimasa yang akan
datang
5. Fungsi Pembayaran (payment fuction)
Sistem keuangan juga menyediakan mekanisme pembayaran atas transaksi barang dan jasa.
Instrumen yang dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan pembayaran (medium of
exchange) antara lain: cek,giro,kartu kredit, dan kartu debit
6. Fungsi Resiko (risk function)
Sistem keuangan dewasa ini secara luas menawarkan proteksi terhadap jiwa, kesehatan, harta,
dan resiko penghasilan/kerugian, kepada semua unit usaha dan konsumen termasuk pemerintah
7. Fungsi Kebijakan (policy function)
Pasar keuangan pada dekade terakhir ini telah menjadi suatu alat utama bagi otoritas untuk
melakukan kebijakan guna menstabilkan ekonomi dan mempengaruhi inflasi
Sistem keuangan di Indonesia, terdiri dari Otoritas keuangan (financial authorities), sistem
perbankan, dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam
perekonomian suatu Negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa
keuangan. Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk
pasar uang dan pasar modal
Otoritas Keuangan
Otoritas Keuangan memiliki peran dalam pengaturan dan pengawasan di bidang keuangan
dan perbankan terdiri dari:
9
a. Bank Indonesia
b. Departemen Keuangan
c. Lembaga Penjamin Simpanan
Bank Indonesia
Pengertian
BI adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang merupakan lembaga negara yang
independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lainnya sesuai UU NO.3
Tahun 2004
Tujuan
“mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”
Tugas Bank Indonesia
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
3. Mengatur dan mengawasi bank
Wewenang Bank Indonesia
1. Melaksanakan kebijakan nilai tukar bedasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan
2. Mengelola cadangan devisa untuk memenuhi kewajiban luar negeri
3. Memelihara keseimbangan neraca pembayaran
4. Menerima pinjaman luar negeri
Departemen Keuangan
Departemen keuangan adalah lembaga pemerintah yang melakukan pengaturan dan
pengawasan di bidang Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). LKBB adalah badan usaha
yang melakukan kegiatan di bidang keuangan, yang menghimpun dana dengan mengerluarkan
kertas berharga dan menyalurkannya untuk membiayai investasi perusahaan
Jenis-jenis Lembaga Keuangan Bukan Bank
a. Lembaga Pembiayaan (multifinance company)
b. Perusahaan Peransuransian (insurance companies)
c. Dana pensiun (pension fund)
d. Perusahaan Efek (securities company)
e. Reksa Dana
f. Perusahaan Modal Ventura
10
g. Pegadaian
Lembaga Penjamin Simpanan
LPS adalah lembaga keuangan yang berstatus independen yang tugas pokoknya memberi
jaminan atas simpanan kepada nasabah bank
Fungsi LPS
1. Menjamin simpanan nasabah penyimpanan
2. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan
Tugas LPS
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan
2. Melaksanakan penjaminan simpanan
3. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem
perbankan
4. Merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakkan penyelesaian bank gagal
5. Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik
Wewenang LPS
1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan
2. Menetapkan dan memungut konstribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta
3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS
4. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, laporan
hasil keuangan bank, sepanjang tidak melanggar kerahasian bank
5. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan konfirmasi
6. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim
7. Menunjuk, menguasakan, dan menugaskan pihak lain guna melaksanakan sebagian tugas
tertentu
8. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat
9. Menjatuhkan sanksi administrative
Jenis simpanan yang dijamin oleh LPS :
a. Giro
b. Deposito
c. Sertifikat Deposito
d. Tabungan
11
Nilai simpanan yang dijamin oleh LPS setiap nasabah pada satu bank max Rp.
100.000.000 . Nilai tersebut dapat berubah apabila:
a. Terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar
b. Terjadi inflasi yang cukup besar
c. Jumlah nasabah yang dijamin seluruh simpanannya menjadi kurang dari 90% dari jumlah
nasabah penyimpan seluruh kantor
PRINSIP BISNIS DALAM ISLAM
Prinsip dasar muamalah dan bisnis islam menegaskan bahwa segala sesuatu itu
dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Quran dan Hadits, sehingga dapat mengilhami dan
mendorong siapapun untuk melakukan inovasi dan kreatifitas (ijtihad) dalam memajukan bisnis.
Kebebasan bermuamalah tesebut wajib diikuti dengan identifikasi terhadap larangan yang tegas
mencakup haram terhadap objek bisnisnya (haram li dzatihi) maupun prosesnya. Keharaman
proses bisnis mencakup antara lain:
tadlis (penipuan), gharar (ketidakjelasan), ikhtikar atau hoarding (rekayasa pasar dengan
mengurangi pengadaan komoditas), ba‟i najasy (rekayasa pasar dengan menciptakan permintaan
palsu), riba, maysir (perjudian), risywah (penyuapan), serta tidak sahnya akad.
Kunci prinsip bisnis dimana setiap muslim wajib jalani adalah kode etik islam dan bagaimana
islam mendorong tanggung jawab individu dan akuntabilitas. Pedoman tersebut juga termasuk
1. kejujuran dan saling percaya;
2. memegang janji;
3. mencintai Allah melebihi cinta kepada jual beli;
4. mendukung perniagaan sesame muslim;
5. ber-rendah hati;
6. berpegang pada musyawarah dalam sengketa bisnis;
7. tidak terlibat kecurangan dan penyuapan; dan
8. bersikap adil.
12
Mendorong untuk tidak tergoda melakukan kebohongan tentang produk dan jasa saat penjualan
dan pemasaran; pentingnya kejujuran dan kebenaran juga disampaikan oleh baginda nabi saw:
Pedagang akan dibangkitkan saat hari kiamat termasuk golongan pelaku perbuatan jahat,
kecuali mereka yang takut kepada Allah, jujur dan menyampaikan kebenaran
MANAJEMEN BANK UMUM
Manajemen Bank memiliki sasaran dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya.
Sasaran tersebut pada prinsipnya dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu, yaitu sasaran
bersifat jangka pendek dan sasaran jangka panjang.
Sasaran Jangka Pendek
Sasaran jangka pendek ini berkaitan dengan penggunaan waktu dalam operasional bank untuk
mencapai tujuan yang bersifat jangka pendek. Sasaran manajemen bank jangka pendek antara
lain : pemenuhan likuditas, terutama untuk memenuhi likuiditas wajib minimum yang ditetapkan
oleh otoritas moneter disamping kebutuhan likuiditas untuk memenuhi penarikan dana oleh
nasabah sehari-hari, menyediakan jasa-jasa lalu lintas pembayaran, dan penanaman dana dalam
bentuk surat-surat berharga jangka pendek atau instrumen pasar uang.
Sasaran Jangka Panjang
Sasaran jangka panjang manajemen bank adalah bagaimana memeperoleh keuntungan dari
kegiatan bank untuk meningkatkan nilai perusahaan dan memaksimalkan kekayaan-kekayaan
pemilik bank. Untuk mencapai sasaran ini manajemen mempertimbangkan faktor-faktor risiko
yang dapat membahayakan kondisi usaha bank. Untuk mencapai sasaran jangka panjang ini,
bank tidak boleh mengorbankan sasaran jangka pendek dan mengabaikan praktik-praktik dan
prinsip-prinsip perbankan yang sehat.
Untuk mencapai sasaran tersebut, manajemen bank harus memperhatikan beberapa hal dalam
pengelolaan aktiva dan kewajiban sebagai berikut :
1. Mengelola likuiditasnya
2. Memperkecil risiko dengan mengalokasikan dananya pada aset yang berisiko rendah
atau melakukan diversifikasi
3. Memperoleh dana dengan biaya rendah
4. Menentukan jumlah modal yang harus dipertahankan dan meningkatkan modal sesuai
kebutuhan.
13
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Manajemen Bank
Kegiatan usaha bank sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang pada akhirnya
mempengaruhi pola manajemen bank. Faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam bank atau
faktor internal dan bisa pula bersumber dari luar bank itu sendiri atau faktor eksternal.
Faktor Internal
Faktor-faktor yang bersumber dari dalam bank yang mempengaruhi manajemen bank, antara lain
berkaitan dengan pengambilan kebijakan dan strategi operasional bank, yaitu :
1. Struktur organisasi bank yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, kebijakan,
atau perencanaan
2. Budaya kerja perusahaan
3. Filosofi dan gaya manajemen : konservatif atau agresif
4. Strategi segmentasi pasar dan jaringan kantor
5. Ketersediaan sumber daya manusia dan penggunaan teknologi
6. Komitmen pemilik terhadap pengembangan usaha bank.
Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi manajemen bank meliputi faktor di luar kendali
bank, yaitu :
a. Kebijakan moneter
b. Fluktuasi nilai tukar dan tingkat inflasi
c. Volatilitas tingkat bunga
d. Sekuritisasi
e. Treasury Management
f. Globalisasi
g. Persaingan antar bank maupun lembaga keuangan non bank
h. Perkembangan teknologi
Bentuk Manajemen Risiko
Manajemen risiko didefinisikan sebagai suatu metode logis dan sistematik dalam identifikasi,
kuantifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta melskuksn monitor dan pelaporan
risiko yang berlangsung pada setiap aktivitas atau proses. Hubungan antara risiko dan hasil
secara alami berkorelasi secara linear negatif. Semakin tinggi hasil yang diharapkan, dibutuhkan
risiko yang semakin besar untuk dihadapi. Untuk itu, diperlukan upaya yang serius agar
14
hubungan tersebut menjadi kebalikannnya, yaitu aktivitas yang meingkatkan hasil pada saat
risiko menurun. Manajemen risiko diperlukan untuk :
a. mendukung pencapaian tujuan
b. memungkinkan untuk melakukan aktivitas yang memberikan peluang yang jauh lebih
tinggi dengan mengambil risiko yang lebih tinggi, risiko yang lebih tinggi diambil
dengan dukungan sikap dan solusi yang sesuai terhadap risiko
c. mengurangi kemungkinan kesalahan fatal
d. menyadari bahwa risiko dapat terjadi pada setiap aktivitas dan tingkatan dalam organisasi
sehingga setiap individu harus mengambil dan mengelola risiko masing-masing sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawabnya.
Regulasi terhadap bank terkait dengan institusi perbankan serta produk-produk dan
pelayanan yang ditawarkan oleh bank. Tujuan regulasi pada industri perbankan adalah untuk
melindungi nasabah dan meningkatkan kepercayaan mereka terhadap produk-produk dari
industri perbankan tersebut.
Beberapa pertimbangan penting mengapa bank perlu diregulasi adalah sebagai berikut :
1. Komodita Uang Dan Sarat Perikatan
Aktivitas bank dalam memberikan layanan dan penawaran produk adalah uang.
Kepemilikikan uang, hak, dan kewajiban atas uang pada saat awal transaksi, serta hak, dan
kewajiban atas uang pada akhir transaksi merupakan kesepakatan antara bank dengan
nasabahnnya. Sifat dasar dari kepemilikan uang yang cenderung ingin dimiliki oleh
siapapun sangat rawan untuk menimbulkan persengketaan.
2. Rasio Utang Berbanding Modal
Bank adalah suatu institusi yang sebagian besar pasivanya adalah kewajiban atau utang.
Dengan posisi tersebut, berarti utang jauh lebih besar dibanding modal. Kondisi ini disebut
dengan highly gearing atau highly leverage, yang terjadi karena bank sangat bergantung
kepada utang (geared)
3. Ketidakmampuan bank dalam Menyelesaikan Kewajiban
Ketidakmampuan bank dalam menyelesaikan kewajiban ( insolvency) merupakan suatu
keadaan dimana bank tidak mampu membayar semua kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Dampak insolvency suatu bank secara sistemik dapat menimbulkan efek domino terhadap
15
bank lain hingga akhirnya menimbulkan dampak buruk pada perekonomian secara
keseluruhan.
4. Stabilitas Keuangan
Stabilitas keuangan didfenisikan sebagai pemeliharaan situasi yang terlkait dengan kapasitas
lembaga keuangan dan pasar untuk memobilisasi dana dari surplus spending unit secra
efisdien, menyediakan likuidasi, serta mengalokasikan investasi tanpa masalah
5. Stabilitas Moneter
Stabilitas moneter didefinisikan sebagai stabilitas dalam menjaga nilai uang yang dimaksud
digambarkan oleh tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Stabilitas moneter diperlukan
dalam suatu perekonomian dengan stabilitas moneter yang terjaga diharapkan memudahkan
pengelolaan ekonomi secara mikro oleh pihak swasta dan makro oleh pihak swasta.
6. Persaingan Antarbank
Perkembangan produk dalam layanan bank pada dua dekade terakhir telah menunjukan
perkembangan yang sangat pesat, perkembangan produk yang ditawarkan seperti produk
derivatif telah menjadi daya tarik tersendiri bagi nasabah untuk berinvestasi perkembangan
layanan bank terutama pada penggunaan teknologi telah memungkinkan nasabah untuk
melakukan transaksi secara virtual lintas batas negara.
MANAJEMEN BANK SYARIAH
Semua organisasi, baik yang berbentuk badan usaha swasta, badan yang bersifat publik
ataupun lembaga-lembaga social masyarakat tertentu mempunyai suatu tujuan sendiri-sendiri
yang merupakan motivasi dari pendiriannya. Manajemen di dalam suatu badan usaha, baik
industry, niaga dan jasa, tidak terkecuali jasa perbankan, didorong oleh motif mendapatkan
keuntungan. Untuk mendapat keuntungan yang besar manajemen haruslah diselenggarakan
dengan efisien. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap pengusaha dan manajer di manapun mereka
berada.
Strategi dan Kunci Sukses Manajemen Syari’ah
Tahun 2002 merupakan tahun ke sepuluh berdirinya Bank Syari’ah di Indonesia, utamanya
Bank Muamalat Indonesia ( BMI ). Dalam usia yang kesepuluh BMI ini tentunya dapat dijadikan
pijakan dalam mengevaluasi dan memposisikan keberadaan bank syari’ah.
16
Perkembangan Bank Syari’ah di Indonesia mulai membaik secara kuantitas sejak adanya
perubahan Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1992 menjadi Undang-undang No. 10 tahun
1998. Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, pokok-pokok ketentuan
tersebut memuat antara lain :
a. Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syari’ah
b. Pembentukan dan tugas pokok Dewan pengawas Syari’ah
c. Persyaratan bagi pembukaaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah
Memasuki tahun 2002 bank umum di Indonesia yang melakukan kegiatan operasional
dengan prinsip syari’ah, di antaranya: Bank Muamalah Indonesia, Bank IFI, Bank BNI Syari’ah,
Bank Mandiri Syari’ah, Bank BRI Syari’ah. Dan dimungkinkan akan bermunculan konversi
bank konvesional ke bank syari’ah.
Peranan perbankan syari’ah dalam mobilisasi dana dan penyaluran pembiayaan walaupun
masih kecil, namun mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan adanya peningkatan volume
penyaluran pembiayaan dari Rp 455 Milyar pada tahun 1998 menjadi Rp 472 miyar pada tahun
1999 dan pada saat bersamaan penyaluran kredit oleh perbankan konvensional menurun dari Rp
545 trilyun menjadi Rp 227 trilyun.
Memang tidak adil untuk membandingkan antara bank syari’ah dengan bank konvensional.
Sebab, bank konvensional telah berdiri sejak sebelum negeri Indonesia ini ada, sementara bank
syari’ah di Indonesia baru berawal pada tahun 1992. Pemberian fasilitas oleh pemerintah juga
menjadi faktor, terkait dengan situasi krisis, hampir semua bank konvensional pernah
mendapatkan dana rekapitalisasi dari pemerintah dalam hal penyehatan modalnya, sementara
bank syari’ah tidak pernah.
Strategi Pengembangan Bank Syari’ah
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan bank syari’ah dalam
memberdayakan ekonomi umat, yaitu :
a. Strategi Pengembangan: Islamic Full Branch
Di Indonesia dengan menggunakan sistem Islamic Full Branch, yaitu suatu cabang penuh
menerapkan sistem syari’ah. Dengan ciri-ciri sebagai berikut, cabang menerapkan sistem
17
syari’ah secara penuh.Pembukaannya secara terpisah dengan kantor induk Bank Induk
masih konvensional harus menyisihkan sejumlah modal untuk unit usaha syari’ah (UUS).
Sistem ini seperti yang diterapkan di Arab Saudi. Contoh Bank penerap Sistem Islamic Full
Branch: Bank IFI, Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah.
b. Strategi Pengelolaan: Pembiayaan
Para pengusaha kecil lebih mendambakan sistem pembiayaan dengan sistem bagi hasil,
karena dirasa leih sesuai dengan siklus bisnis usaha menengah kecil
c. Strategi Pengelolaan : Persepsi Masyarakat
Persepsi masyarakat tentang bank syari’ah masih keliru. Implikasi kekeliruan persepsi
pertama berdampak pada pemahaman bahwa :
Bank Syari’ah tidak boleh meminta jaminan dalam memberikan pembiayaan
Bank Syari’ah tidak mengenakan denda bila nasabah tidak membayar tepat pada
waktunya
Bank Syari’ah tidak boleh menyita jaminan
Kemudian implikasi dari kekeliruan persepsi kedua, memberikan efek atas
pandangan masyarakat tentang bank syari’ah sebagai berikut :
Bagi hasil yang diberikan bank kepada nasabah harus lebih besar jika dibandingkan
dengan bunga dari bank konvensional, sehingga bagi hasil nasabah pembiayaan harus
lebih kecil dari pada bunga
Bank akan turut memiliki perusahaan nasabah
Bank akan turut campur dalam manajemen perusahaan nasabah
Bagi hasil dibayar setahun sekali, seperti waktu pembayaran deviden
MEMBANGUN KERANGKA KERJA BAGI KEUANGAN SYARIAH
Dalam kerangka dasar ini menyajikan konsep yang mendasari penyusunan dan penyajian
laporan keuangan bagi para penggunanya. Kerangka ini berlaku untuk semua jenis transaksi
syariah yang dilaporkan oleh entitas syariah maupun entitas konvensional baik sektor publik
maupun sektor swasta. Tujuan kerangka dasar ini adalah untuk digunakan sebagai acuan bagi :
1. Penyusun standar akuntansi keuangan syariah, dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Penyusun laporan keuangan, untuk menanggulangi masalah akuntansi syariah yang belum
di atur dalam standar akuntansi keuangan syariah.
18
3. Auditor dalam memberikan pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun sesuai
dengan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum.
4. Para pemakai laporan keuangan, dalam menafsirkan informasi yang disajikan dalam
keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan syariah.
Sebagaimana diketahui proses melahirkan laporan keuangan ini dalam Akuntansi Barat
sudah jelas dan sangat sudah teratur. Karena bukan saja diatur oleh penyusunan laporan
keuangan (General Accepted Accounting Principe) juga system atau proses melahirkannya
(Accounting System). Bahkan dalam Akuntansi Barat hasil penyusunan laporan keuangan ini
tidak begitu saja diterima oleh masyarakat harus melalui verifikasi (audit) dari lembaga
independen yang juga memiliki disiplin dan aturan tersendiri. Profesi pemeriksa ini disebut
independent auditor. Untuk menjadi independen auditor ini diperlukan persyaratan antara lain
diperoleh dari General Accepted Accounting Principle :
a) Ia harus memiliki keahlian dalam bidang audit.
b) Ia harus bertindak objektif tidak memihak dan independen.
c) Dalam melaksanakan tugasnya ia harus menerapkan prinsip kehati-hatian.
d) Untuk berbagai Negara diatur lagi persyaratan pemberian izin praktek.
e) Profesi sendiri memiliki disiplin ilmu auditing ketat.
Asas Transaksi Syariah
Dalam penyusunan kerangka dasar dan penyajian laporan keuangan syariah terdapat asas-
asas transaksi syariah yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut :
1. Persaudaraan (ukhuwah), yang berarti bahwa transaksi syariah menjunjung tinggi dalam
memperoleh manfaat, sehingga seseorang tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas
kerugian orang lain. Prinsip ini didasarkan atas prinsip saling mengenal (ta’aruf), saling
memahami (tafahum), saling menolong (ta’awun), saling menjamin (tafakul), saling
bersinergi dan beraliansi (tahaluf).
2. Keadilan (‘adalah), yang berarti selalu menempatkan sesuatu hanya pada yang berhak dan
sesuai dengan posisinya.
3. Kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi
duniawi dan ukhwari, material dan spiritual, serta individual dan kolektif.
19
4. Keseimbangan (tawazun), yaitu keseimbangan antara aspek material dan spiritual, antara
aspek privat dan publik, antara sektor keuangan dan sektor riil, antara bisnis dan sosial
serta antara aspek pemanfaatan serta pelestarian.
5. Universalisme (syumuliyah), di mana esensinya dapat dilakukan oleh, dengan dan untuk
semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan
sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).
Karakteristik Transaksi Syariah
Ada beberapa implementasi transaksi yang sesuai dengan paradigma dan asas transaksi
syariah harus memenuhi karakteristik dan persyaratan antara lain :
1. Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling rida.
2. Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib).
3. Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai
komoditas.
4. Tidak mengandung unsur riba.
5. Tidak mengandung unsur kezaliman.
6. Tidak mengandung unsur maysir.
7. Tidak mengandung unsur gharar.
8. Tidak mengandung unsur haram.
Karakteristik tersebut dapat diterapkan pada transaksi bisnis yang bersifat komersial maupun
yang bersifat nonkomersial.
Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan utama laporan keuangan adalah menyediakan informasi, menyangkut
posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat
bagi sebagian besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Dalam rangka mencapai
tujuan tersebut, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas syari’ah yang
meliputi :
(a) Aset
(b) Kewajiban
(c) Dana syirkah temporer
(d) Ekuitas
(e) Pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian
20
(f) Arus kas
(g) Dana zakat dan
(h) Dana kebajikan.
Dan beberapa tujuan lainnya adalah:
1. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan
usaha.
2. Informasi kepatuhan entitas syariah tidak sesuai dengan prinsip syariah, serta informasi
aset, kewajiban pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bila ada
dan bagaimana perolehan dan penggunaannya.
3. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tangung jawab entitas syariah
terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikan pada tingkat keuntungan
yang layak.
4. Informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh penanam modal
dan pemilik dana syirkah temporer dan informasi mengenai pemenuhan kewajiban
(obligatio) fungsi social entitas termasuk pengelolaan dan penyaluran zakat, infak,
sedekah, dan wakaf.
Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, dan
arus kas entitas syariah dengan menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan secara
benar disertai pengungkapan yang diharuskan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dalam
Catatan atas Laporan Keuangan. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan
penyajian yang wajar walaupun pengungkapkan tersebut tidak diharuskan oleh Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan.
Laporan keuangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bersama sebagai pengguna
laporan keuangan, serta dapat digunakan sebagai bentuk laporan dan pertanggungjawaban
manajemen atas sumber daya yang dapat dipercayakan kepadanya.
Syarat-Syarat Laporan Keuangan
Salah satu untuk membuat laporan keuangan harus memenuhi beberapa syarat-syarat yang harus
dipenuhi, yaitu sebagai berikut :
1. Relevan merupakan data yang diolah ada kaitannya dengan transaksi.
21
2. Jelas dan dapat dipahami merupakan informasi yang disajikan harus ditampilkan
sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh semua pembaca laporan
keuangan.
3. Dapat diuji kebenarannya merupakan data dan informasi yang disajikan harus dapat
ditelusuri pada bukti asalnya.
4. Netral merupakan laporan keuangan yang disajikan dapat dipergunakan oleh semua pihak.
5. Tepat waktu merupakan laporan keuangan harus memiliki periode pelaporan
6. Dapat diperbandingkan merupakan laporan keuangan yang disajikan harus dapat
diperbandingkan dengan periode-periode sebelumnya.
7. Lengkap merupakan data yang disajikan dalam informasi akuntansi harus lengkap.
PENGERTIAN BISNIS SYARIAH
Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al istisqa) atau
jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang secara istilah Syariah bermakna perundang-undangan
yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia
baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah
(interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia
dan di akhirat.
Menurut Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak saja
komprehensif, tetapi juga universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam
setiap waktu dan tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial
(ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan non-Muslim. Dengan
mengacu pada pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi pengertian
bahwa Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan
penghormatan atas hak masing-masing. (Syariah Marketing, hal. 45). Pengertian yang hari lalu
cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini dapat dilihat dan dipraktikkan
dan akan menjadi trend bisnis masa depan.
22
PRINSIP DASAR DAN ETIKA DALAM BISNIS SYARI’AH
Ada empat prinsip (aksioma) dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis
syari’ah, yaitu: Tauhid (Unity/kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium),
Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab (Responsibility).[1]
Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam.
Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan
berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh
sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti
aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya
keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam
menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi
dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip
dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus
sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala
aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai
masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh
manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat,
tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun
hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
Sementara menurut Beekun terdapat 5 aksioma dalam ekonomi islam. Sebagai yang kelima
adalah benovelence atau dalam istilah lebih familiar dikenal dengan Ihsan. Ihsan adalah
kehendak untuk melakukan kebaikan hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan.
Kelima prinsip tersebut secara operasional perlu didukung dengan suatu etika bisnis yang akan
menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat terwujud.
23
ETIKA BISNIS SYARIAH
Etika dipahami sebagai seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of
principles which people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan
penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain adalah buruk. Ini
berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan rasional mengapa menipu itu buruk dan
apa alasan pikirnya, merupakan lapangan etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur
dan cendrung disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur
dan bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi masyarakat berupa
pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan
manusia. Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-
pilihan penggunaan factor produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan
pebisnis. Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi
tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak
terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah
mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat
dikorbankan, lingkungan rusak dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika bisnis syariah dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian
ekonomi terletak pada landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini
dipastikan lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan.
Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal yang
memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan tidak
diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal meliputi aspek trasparansi,
akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan perusahaan untuk
memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business Administration di Mankata State
Univeristy menambahkan cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan
dan keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah bisa
diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak hanya pada
keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya.
24
Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak diuntungkan sehingga tidak ada
praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang
rangkap dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan
bukan mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis
syariah juga bisa meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung
bagaimana kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan
syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme
cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan
mungkin dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya
berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan (survive) dalam
jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita. Apakah memilih keuntungan
jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih keuntungan jangka panjang dengan
komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam hal ini etika bisnis syariah-.
CIRI KHAS BISNIS SYARI’AH
Bisnis syariah merupakan implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah. Sebenarnya
bentuk bisnis syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis pada umumnya, yaitu upaya
memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen. Namun
aspek syariah inilah yang membedakannya dengan bisnis pada umumnya. Sehingga bisnis
syariah selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga menjalankan syariat dan perintah Allah
dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita
dapat mengetahuinya melalui ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan
ciri tersendiri. Beberapa cirri itu antara lain:
1. Selalu Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap manusia akan
eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu kontak dengan-Nya dalam
wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini
harus terwujud , yaitu pada aspek : (1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku
(personil).
25
2. Memiliki Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram. Seorang pelaku bisnis syariah
dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap praktek bisnis yang Sahih dan
yang salah. Disamping juga harus paham dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul
hukmi).
3. Benar Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada kesesuaian
antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di terapkan. Sehingga
pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara material.
4. Berorientasi Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat
keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam. Karena di
lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah madiyah). Dalam
konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan, memang berupa harta.
5. Namun, seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya.
Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh karenanya. Untuk
mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya itu sebagai ladang ibadah dan
menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan
selalu mendasarkan pada aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua hal diatas dimiliki oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu
memadukan antara realitas bisnis duniawi dengan ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi
kehidupannya di dunia maupun akhirat. Akhirnya, jadilah kaya yang dengannya kita bisa
beribadah di level yang lebih tinggi lagi.
AKAD DALAM BISNIS SYARIAH
Dalam setiap transaksi islami, akan memegang peranan yang sangat penting. Akad ibaratnya
sebuah dinding yang sangat tipis dan dengannya terpisah antara yang sah dan tidak. Secara
bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan untuk banyak arti, yang keseluruhannya kembali
kepada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah
adalah keterikatan keinginan diri dengan keinginan orang lain dengan cara yang memunculkan
adanya komitmen tertentu yang disyariatkan. Terkadang kata akad dalam istilah dipergunakan
dalam pe-ngertian umum, yakni sesuatu yang diikatkan seseorang bagi diri-nya sendiri atau bagi
orang lain dengan kata harus. Di antaranya adalah firman Allah : “Wahai orang-orang yang
26
beriman, penuhilah akad-akad kalian.” Jual beli dan sejenisnya adalah akad atau perjanjian dan
kesepakatan. Setiap hal yang diharuskan seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar,
sumpah dan sejenisnya, disebut sebagai akad.
Rukun-Rukun Akad/Perjanjian
Akad memiliki tiga rukun, yaitu: Adanya dua orang atau lebih yang saling terikat dengan akad,
adanya sesuatu yang diikat dengan akad, serta pengucapan akad/perjanjian tersebut.
1. Dua Pihak atau lebih yang Saling Terikat Dengan Akad
Dua orang atau lebih yang terikat dengan akad ini adalah dua orang atau lebih yang
secara langsung terlibat dalam per-janjian. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki
kemam-puan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad
tersebut dianggap sah. Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa hal berikut:
Pertama: Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak
tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena
dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
Kedua: Pilihan. Tidak sah akad yang dilakukan orang di bawah paksaan, kalau paksaan itu
terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya, atau orang yang
bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
Kemudian ketiga, akad itu dapat dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian
yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan),
khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya.
2. Sesuatu yang Diikat Dengan Akad
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad
sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut
dianggap sah, yakni sebagai berikut:
27
Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis, bisa dibersihkan. Oleh sebab itu,
akad usaha ini tidak bisa diber-lakukan pada benda najis secara dzati, seperti bangkai. Atau
benda yang terkena najis namun tidak mungkin dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu dan
benda cair sejenis yang terkena najis. Namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal
dari satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak
berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan. (Yang perlu diingat di
sini, bahwa satu barang dikatakan bermanfaat atau tidak, itu bisa berubah melalui perkembangan
zaman. Sampah misalnya, dahulu dianggap sebagai barang rongsokan yang tidak dapat
dimanfaatkan. Namun dalam kehidupan modern kita sekarang ini, sampah dapat digunakan
dalam produksi pupuk dan sejenisnya. Maka komoditi ini tidak lagi dianggap sebagai barang
rongsokan) Atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan
sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada
tapi tidak bisa diserahterimakan. Karena yang demikian itu termasuk menyamarkan harga, dan
itu dilarang.Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan
penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan
barang-barang yang dijual lang-sung. Dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila
barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada di lokasi transaksi. Bila barang-
barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya, seperti mobil tertentu atau rumah tertentu
dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli
sekarang ini dalam akad jual beli as-Salm, di mana seorang pelanggan membeli barang yang
diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan ha-rus diketahui ukuran, jenis
dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
� �ْو�ٍم َمْع�ُل َجٍل� َأ �َلى ِإ � �ْو�ٍم َمْع�ُل ٍن� َوَوْز� � �ْو�ٍم َمْع�ُل �ٍل� ْي َك فِي� ُل�ْم� �ْس� �ْي فُل ْم ُل ْس� َأ َمْن�
“Barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salm hendaknya ia memesannya dalam satu takaran
atau timbangan serta dalam batas waktu yang jelas.”
28
KERJASAMA (SYIRKAH) DALAM BISNIS SYARI’AH
Bisnis syari’ah sebagaimana bisnis pada umumnya yang dibangun atas kerjasama
berbagai pihak dalam mengembangkan usahanya. Namun kerjasama dalam bisnis syari’ah tidak
hanya dibangun atas dasar keuntungan dan pertimbangan aspek duniawiyah saja, namun juga
dibangun atas dasar keridhoan Allah. Keridhoan Allah diperoleh melalui implementasi prinsip-
prinsip syariah dalam melaksanakan kerjasama bisnis.
Kerjasama dalam Islam disebut dengan istilah syirkah. Kata syirkah dalam bahasa Arab
secara terminologis berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhari’),
syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat. Kata
dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam
Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Sedangkan secara
etimologis, syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak
dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah
adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha
dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Hukum Dan Rukun Syirkah
Syirkah hukumnya jaiz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat
itu telah bermuamalah dengan cara bersyirkah dan Nabi Saw membenarkannya. Nabi Saw
bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-
syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat,
Aku keluar dari keduanya. (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
Rukun syirkah yang pokok ada 3, yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2)
dua pihak yang berakad (‘aqidani), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan
tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad (mahal), disebut juga ma’qud ‘alayhi, yang
mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal). Adapun syarat sah akad ada 2, yaitu: (1)
29
obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad,
misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah
menjadi hak bersama di antara para syarik (mitra usaha).
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan
dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inan; (2) syirkah
abdan; (3) syirkah mudharabah; (4) syirkah wujuh; dan (5) syirkah mufawadhah. An-Nabhani
berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang
memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan
Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inan, abdan,
mudharabah, dan wujuh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah
inan, abdan, dan mudharabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah
hanya syirkah inan dan mudharabah.
Syirkah Inan
Syirkah inan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi
konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-
Sunnah dan Ijma Sahabat. Contoh syirkah inan: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat
menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing
memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam
syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqud); sedangkan barang
(‘urudh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang
itu dihitung nilainya (qimah al-‘urudh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-
masing mitra usaha (syarik) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya
30
50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq
dalam kitab Al-Jami’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas
besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang
bersyirkah).”[12]
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya
memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mal). Konstribusi kerja itu dapat
berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan
tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). Syirkah ini disebut juga
syirkah ‘amal. Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda
profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu.
Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak boleh
berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan. Keuntungan
yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama
di antara mitra-mitra usaha (syarik). Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-
Sunnah.[13]
Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan
Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa
dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” Hal itu diketahui
Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau. (HR. Abu Dawud dan al-
Atsram).
Syirkah Mudharabah
Syirkah mudharabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu
pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi
31
modal (mal). Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya
qiradh. Contoh: A sebagai pemodal (shahib al-mal / rabb al-mal) memberikan modalnya sebesar
Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘amil/ mudharib) dalam usaha
perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudharabah. Pertama, dua pihak (misalnya,
A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (sebut saja C)
memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi
modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi
modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudharabah.
Hukum syirkah mudharabah adalah ja’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrir Nabi
Saw) dan Ijma Sahabat. Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi
hak pengelola (mudharib/‘amil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun
demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola
modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku
hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau
kerugian dana yang diwakilkan kepadany. Namun demikian, pengelola turut menanggung
kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pemodal.
Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam. Disebut syirkah wujuh karena
didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat.
Syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan
konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal
(mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini menurut An
Nabhani termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah
mudharabah padanya.
32
Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah
dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. Misal: A dan B adalah tokoh yang
dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujuh, dengan cara membeli barang dari seorang
pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari
barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua,
sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujuh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan
berdasarkan kesepakatan. Menurut An Nabhani Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah ‘abdan.
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya
termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah
mudharabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam.
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud
dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan finansial (tsiqah maliyah), bukan semata-semata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi
janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-
biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah
maliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
Syirkah Mufawadhah
Syirkah mufawadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan
semua jenis syirkah di atas (syirkah inan, ‘abdan, mudharabah, dan wujuh). Syirkah mufâwadhah
dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah
ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
33
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi
modal (jika berupa syirkah inan), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudharabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik
sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C
juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C
sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A
memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah
mudharabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C
sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit
atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujuh antara B dan
C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang
ada, yang disebut syirkah mufawadhah.
LEMBAGA BISNIS SYARIAH
Secara umum lembaga bisnis syariah masih sebatas pada lembaga keuangan. Namun kini
lembaga bisnis syariah sudah mencakup pada perhotelan dan usaha sector riil. Lembaga bisnis
dapat dikategorikan dalam lembaga bisnis syariah apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memproduksi barang yang halal
2. Tidak melakukan transaksi yang bertentangan dengan syariat
3. Mendapatkan modal (kerjasama) dengan cara-cara yang sah menurut Islam.
4. Terdapat pengawas syariah pada perusahaan tersebut.
34
Berdasarkan data dari Dewan Syariah Nasional, hingga 08 Mei 2008 telah terdapat 10
lembaga pembiayaan syariah, 1 lembaga pegadaian syariah, 2 DPLK Syariah, 4 usaha syariah, 1
modal ventura syariah, dan 1 lembaga penjamin syariah.
1. Pembiayaan Syariah
PT Federal Internasional Finance
PT Semesta Citra Dana
PT Mandala Multifinance, Tbk
PT Wahana Ottomitra Multiartha, Tbk
PT Amanah Finance
PT Fortuna Multi Finance
PT Trust Finance Indonesia, Tbk
PT Capitalinc Finance
PT Al-Ijarah Indonesia Finance
PT Trimamas Finance
2. Pegadaian Syariah
Perum Pegadaian Syariah
3. DPLK Syariah
DPLK Manulife Indonesia
DPLK Muamalat
4. Bisnis Syariah
PT Sofyan Hotels
PT Ahad-Net Internasional
PT Usahajaya Ficooprasional
PT Exer Indonesia
5. Modal Ventura Syariah
PT Bahana Artha Ventura
Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah
untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan tersebut melakukan
divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.
6. Lembaga Penjaminan Syariah
35
Perum Sarana Pengembangan Usaha
Jika dilihat dari data MUI di atas, terlihat masih sangat minim pengembangan usaha
bisnis syariah kea rah sector riil. Lembaga-lembaga ekonomi syariah masih dimonopoli oleh
lembaga keuangan syariah. Hal ini tidak terlepas dari dua factor; factor sejarah munculnya
ekonomi syariah dan ketersediaan peraturan. Dari factor kesejarahan, memang sejak awal
lahirnya ekonomi islam lebih diarahkan untuk memberikan alternative bagi sector lembaga
pendanaan dan keuangan. Sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan
selanjutnya bagi sector usha lainnya dalam ekonomi islam seperti bisnis syariah.
Kedua karena factor belum tersedianya peraturan yang berkenaan dengan usaha bisnis
syariah. Bahkan yang berkenaan dengan pegadaian hanya diatur melalui fatwa MUI. Kendala-
kendala ini menyebabkan kurang bergairahnya sector usaha bisnis syariah jika dibandingkan
dengan lembaga keuangan syari’ah seperti Bank. Yang bahkan untuk perbankan telah tersedia
satu direktorat dalam BI tentang bank syariah dan perangkat undang-undang lainnya.
BAB III
36
PENUTUP
Demikian pembahasan dalam makalah ini, yang lebih penting dari ini semua adalah, sejauah
mana kesiapan kita untuk membut semakin banyak lagi usaha bisnis syariah. Dan tidak hanya
mampu merancang usaha bisnis syariah, namun juga mampu menjalankan usaha syariah
khususnya pada sector riil yang memproduksi baranga dan jasa.
37
Daftar Pustaka
Naqvi, Syed Nawab Haider, Islam, Economics And Society, London and New York: Kegan Paul
International, 1994.
Beekun, Rafik Isa, Islamic Business Ethics, Virginia: international institute of Islamic thought,
1997
M. Ridwan, Berbisnis dengan Etika Syari’ah, http://sahrazeida.wordpress.com/
2008/03/12/berbisnis-dengan-etika-syariah.
Laspriana, Bey, Bisnis Syari’ah antara Realita dan Idealita, http://wirausaha.com
Al-Mushlih, Abdullah & Shalah ash-Shawi, Hukum-hukum Umum dalam Perjanjian Usaha,
http://cindramataonline.blogspot.com/2007/02/html,
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul
Fikr, 1996.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham al-Iqtishadî fî al-Islam. Cetakan IV. Beirut: Darul
Ummah, 1990.
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul
Fikr, 1984.
Al-Khayyath, Abdul Aziz, Asy-Syatikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Wadh‘i.
Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah, 1982.
Http://Www.Mui.Or.Id/Mui_In/Product_2/Lks_Lbs.Php?Id=69.
Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics And Society, London and New York: Kegan Paul
International, 1994, hal 44-45
Rafik Isa Beekun, , Islamic business ethics, Virginia: international institute of Islamic thought,
1997.
38
M. Ridwan, berbisnis dengan etika syari’ah,
http://sahrazeida.wordpress.com/2008/03/12/berbisnis-dengan-etika-syariah.
Bey Laspriana, bisnis syari’ah antara realita dan idealita, http://wirausaha.com
Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, Hukum-hukum Umum dalam Perjanjian Usaha,
http://cindramataonline.blogspot.com/2007/02/html,
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul
Fikr, 1996. Hal 58.
Taqiyuddin An-Nabhani,. An-Nizham al-Iqtishadî fî al-Islam. Cetakan IV. Beirut: Darul
Ummah, 1990 Hal. 146
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul
Fikr, 1984. hal 479.
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syatikat fî asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-
Wadh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah, hal 66.
http://www.mui.or.id/mui_in/product_2/lks_lbs.php?id=69.
39