24
Edisi 18 April 2009 Menghalau Penyimpangan dan Kecurangan; FKPM Tetap Siaga Hingga Pasca Pemilu “A walnya saya heran, kenapa sejumlah warga yang sebelumnya tidak antusias untuk nyontreng, mereka malah terlihat bersemangat. Setelah sejumlah warga bercerita yang sebenarnya, saya baru faham ternyata malamnya ada serangan fajar. Dan memang partai yang diduga melakukan serangan fajar itu, di PPS kami mendapatkan suara terbanyak. Bahkan perbandingannya sangat jauh dengan partai di bawahnya,” ungkap sosok yang menolak menyebutkan namanya itu. Sementara itu beberapa hari sebelum penyontrengan, Ketua Panwaslu Kabupaten Cirebon, Diding A Karyadi SH MH, menyatakan jajarannya sudah mencatat nama-nama partai politik peserta Pemilu yang masih membiarkan atribut partai terpampang di pinggir jalan maupun fasilitas umum. Mereka dianggap telah melakukan pelanggaran pidana Pemilu. Tepatnya beberapa hari menjelang hari H Pemilu, Diding mengungkapkan hal tersebut kepada sejumlah media massa di Cirebon. Hal senada diungkapkan Kepala Satpol PP Kabupaten Cirebon, Drs M Sofyan, menyatakan dirinya sudah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penertiban atribut partai, termasuk melibatkan seluruh Kasi Trantib di tiap kecamatan. Sementara itu, bersambung ke hal. 3 DAFTAR ISI: FOKUS Menghalau Penyimpangan dan Kecurangan; FKPM Tetap Siaga Hingga Pasca Pemilu SALAM REDAKSI Kembali Menanti Janji-janji GERBANG Peran Lain FKPM dalam Pemilu 2009 FOKUS Penanganan Masalah dengan Analisis Gender bagi Akfis FKPM LAPORAN KHUSUS Kisah Perempuan Korban Trafiking: ”Saya selalu yakin, bisa keluar dari tempat itu...” WAWANCARA Gerakan Islam Baru dan Pemilu 2009 OPINI Pemilu 2009 dan Pendidikan Politik SOSOK Suhari: Redam Tawuran Melalui Radio SRIKANDI AKBP Sri Sudaryani, SH Lebih Memilih Mendengarkan Aspirasi Warga POTENSI Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon: Mengais Rupiah dari Barang Bekas FATWA Kewajiban Memenuhi Hak-hak Pekerja Perempuan INFO JARINGAN Nonton Bareng Film Pertaruhan Ketika Persoalan Perempuan Dibaca dari Perspektif Nurani buletin Risalah Kemanusiaan untuk Komunitas Vol. 18 th. 2009 April 2009 8 11 18 20 1 2 2 16 Meskipun serangan fajar tergolong pelanggaran pidana Pemilu yang cukup serius, namun ndak pidana ini tetap muncul menjelang dek-dek pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu). Seper diungkapkan salah satu Pania Pemungutan Suara (PPS) di Desa Kalimuk Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon. Malam sebelum digelar penyontrengan, sejumlah anggota partai tertentu membagi-bagikan uang senilai 10.000 rupiah ke rumah-rumah warga. 17 14 22 foto: hp://pemilu.okezone.com 5

Blakasuta Edisi 18 - 2009

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Risalah Kemanusiaan untuk Komunitas

Citation preview

Page 1: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

Menghalau Penyimpangan dan Kecurangan;FKPM Tetap Siaga Hingga Pasca Pemilu

“Awalnya saya heran, kenapa sejumlah warga yang sebelumnya tidak antusias

untuk nyontreng, mereka malah terlihat bersemangat. Setelah sejumlah warga bercerita yang sebenarnya, saya baru faham ternyata malamnya ada serangan fajar. Dan memang partai yang diduga melakukan serangan fajar itu, di PPS kami mendapatkan suara terbanyak. Bahkan perbandingannya sangat jauh dengan partai di bawahnya,” ungkap sosok yang menolak menyebutkan namanya itu.

Sementara itu beberapa hari sebelum penyontrengan, Ketua Panwaslu Kabupaten Cirebon, Diding A Karyadi SH MH, menyatakan jajarannya sudah

mencatat nama-nama partai politik peserta Pemilu yang masih membiarkan atribut partai terpampang di pinggir jalan maupun fasilitas umum. Mereka dianggap telah melakukan pelanggaran pidana Pemilu. Tepatnya beberapa hari menjelang hari H Pemilu, Diding mengungkapkan hal tersebut kepada sejumlah media massa di Cirebon.

Hal senada diungkapkan Kepala Satpol PP Kabupaten Cirebon, Drs M Sofyan, menyatakan dirinya sudah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penertiban atribut partai, termasuk melibatkan seluruh Kasi Trantib di tiap kecamatan. Sementara itu,

bersambung ke hal. 3

DAftAr IsI:

FOKUSMenghalau Penyimpangan dan Kecurangan;FKPM Tetap Siaga Hingga Pasca Pemilu

SALAM REDAKSIKembali Menanti Janji-janji

GERBANGPeran Lain FKPM dalam Pemilu 2009

FOKUSPenanganan Masalah dengan Analisis Gender bagi Aktifis FKPM

LAPORAN KHUSUSKisah Perempuan Korban Trafiking:”Saya selalu yakin, bisa keluar dari tempat itu...”

WAWANCARAGerakan Islam Baru dan Pemilu 2009

OPINIPemilu 2009 dan Pendidikan Politik

SOSOKSuhari:Redam Tawuran Melalui Radio

SRIKANDIAKBP Sri Sudaryani, SHLebih Memilih Mendengarkan Aspirasi Warga

POTENSIKecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon:Mengais Rupiah dari Barang Bekas

FATWAKewajiban Memenuhi Hak-hak Pekerja Perempuan

INFO JARINGANNonton Bareng Film PertaruhanKetika Persoalan Perempuan Dibaca dari Perspektif Nurani

buletin

Risalah Kemanusiaan untuk KomunitasVol. 1

8 th.

2009

Ap

ril

20

09

8

11

18

20

1

2

2

16

Meskipun serangan fajar tergolong pelanggaran pidana Pemilu yang cukup serius, namun tindak pidana ini tetap muncul menjelang detik-detik pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu). Seperti diungkapkan salah satu Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Desa Kalimukti Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon. Malam sebelum digelar penyontrengan, sejumlah anggota partai tertentu membagi-bagikan uang senilai 10.000 rupiah ke rumah-rumah warga.

17

14

22

foto: http://pemilu.okezone.com

5

Page 2: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

Kembali Menanti Janji-janji

Pemilu, lebih tepatnya pemilihan legislatif telah usai pada 9 April 2008 lalu. Sebagai sebuah hajatan besar negara, jelas telah melibatkan

banyak pihak. Dalam beberapa waktu terakhir sebagian besar mata dan hati kita tertuju kesana. Sebagai sebuah harapan, setiap Pemilu selalu ada harapan dan janji-janji. Kini tiba saatnya kita akan menagih janji, apakah yang mereka (para legislator yang jadi itu) janjikan sudah seharusnya diwujudkan?

Pemilu bukan sekedar pesta dan harapan. Pasca Pemilu, kita kembali bekerja dan apa yang akan kita isi dalam lima tahun kedepan? Akankah Pemilu kali ini, dimana banyak orang mengorbankan waktu, tenaga, dana dan pikirannya akan sia-sia begitu saja, tanpa membawa dampak perbaikan bagi masyarakat?

Di sudut-sudut jalan kita masih menyaksikan anak jalanan, di barak-barak penampungan masih banyak korban trafiking yang menunggu pertolongan, dirumah-rumah bordil masih banyak perempuan-perempuan kita yang terperangkap jerat prostitusi, mereka semua butuh bukti bukan janji lagi.

Ya, di edisi 18 ini, Blakasuta mencoba melihat apa yang telah disumbangkan sejumlah aktifis FKPM untuk menyukseskan pemilu. Sementara dalam rubrik laporan khusus, kita mengangkat jerit tangis dan perjuangan seorang gadis korban trafiking yang terjerat prostitusi. Dalam bulan April yang merupakan bulan kelahiran Kartini, fakta ini tentu menjadi sesuatu yang tragis.

Wawancara eklusif Blakasuta tentang gerakan Islam baru dalam Pemilu 2009 bersama peneliti asal Belanda Martin Van Bruinesen menambah teori-teori gerakan Islam politik di Indonesia. Sementara untuk menghormati hari Bumi pada 22 April ada ulasan betapa bisnis rongsokan bukan hanya bisa mendatangkan keuntungan tetapi juga mampu mengurangi limbah yang mengganggu keseimbangan alam....

Selanjutnya, selamat membaca!

Dalam rapat kabinet terbatas membahas situasi keamanan pasca Pemilu Legislatif di Cikeas 10 April 2009 lalu, Mendagri Mardiyanto memberikan pernyataan resmi bahwa belum ada

gangguan keamanan yang berarti dari pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009 kecuali gangguan keamanan yang dapat ditangani di Abepura, Papua. Pernyataan ini seakan menepis kekhawatiran sebelumnya akan kisruhnya pemilu kali ini. Walau dalam fakta lain, riak-riak konflik masih saja terjadi di sana-sini.

Seperti yang sudah diperkirakan, persoalan DPT, menjadi salah satu topik yang krusial, money politic, serangan Fajar, penggelembungan suara oleh petugas KPPS hingga KPUD, rekapitulasi yang dihujani protes dan sebagainya. Dari layar televisi, berulang-ulang kita disuguhkan betapa karut marutnya pemilu kali ini. Meski demikian, menyikapi hal tersebut, tampaknya secara relatif masyarakat mulai belajar menerima inilah konsekuensi dari sebuah proses demokrasi. Namun, hal itu tidak berarti pula masyarakat tidak mengkritisi betapa kinerja KPU kali ini patut untuk dipertanyakan.

Dari sisi keamanan, terlepas dari soal kekurangan, kerja keras yang dilakukan pihak kepolisian untuk mengawal pemilu kali ini sepatutnya mendapat apresiasi. Strategi-strategi anjuran pemilu damai, baik melalui iklan televisi, publikasi media, istighosah, yang dilakukan oleh pihak kepolisian didukung oleh berbagai lembaga dan lapisan masyarakat, menunjukan bahwa keterlibatan masyarakat dalam menjaga keamanan pemilu telah memberi kontribusi cukup signifikan

Keterlibatan masyarakat tidak hanya dalam memelihara keamanan. Ada kerja-kerja pemantauan, yang mana dalam sebuah pemilu sama pentingnya dengan sejauhmana pemilu itu terselenggara dengan baik. Pemantauan lazimnya dilakukan oleh lembaga-lembaga independent, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam pemilu legislatif lalu, tercatat ada 38 lembaga pemantau baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mendaftarkan diri ke KPU menjelang pemilu lalu. Kerja-kerja lembaga pemantauan, dengan

segala objektivitasnya, akan menjadi salah satu indikator kredibilitas sebuah pemilu oleh suatu Negara.

Keterlibatan masyarakat juga penting dalam dalam upaya pengawasan pemilu. Melalui Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), Panwaslu hingga Panwascam, yang mengawasi apakah aturan main Pemilu seperti yang diamanahkan dalam UU Pemilu No.10/2008

Peran Lain FKPM dalam Pemilu 2009Oleh Erlinus Thahar

salam redaksi

gerbang

susunan redaksi:Penanggung Jawab: KH. Husein Muhammad, Pemimpin Umum: Marzuki Wahid, Redaksi Ahli: Affandi Mochtar, Lies Marcoes-Natsir, Ahmad Suaedy, Kamala Chandrakirana, Debra Yatim, Faqihuddin Abdul Kodir, Maman Imanulhaq, Pemimpin Redaksi: Nurul Huda SA, Redaksi Pelaksana: Alimah, Tim Redaksi: Roziqoh, Erlinus Thahar, Satori, Ali Mursyid, Marzuki Rais, Rosidin, Obeng Nurosyid, Kontributor: Saptaguna, Setting Layout: an@nd, Printing: BMB Cirebon, Penerbit: fahmina-institute, Alamat Redaksi: Jl. Suratno No. 37 Cirebon, Jawa Barat 45124 Telp./Fax. (0231) 203789 website: www.fahmina.or.id Mail: [email protected] menerima sumbangan tulisan yang berkaitan dengan upaya penguatan masyarakat sipil dan proses kemandirian warga di pedesaan/kelurahan. Redaksi berhak mengedit tulisan tersebut dengan tidak mengubah substansi. Setiap tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dalam Rubrik Opini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis bersangkutan.

Page 3: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

sambungan hal. 1

fokus

Menghalau Penyimpangan dan Kecurangan;FKPM Tetap Siaga Hingga Pasca Pemilu

Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Cirebon sendiri telah menangani sebanyak 41 kasus pelanggaran Pemilu sejak awal Januari hingga 30 Maret 2009. Dari 41 kasus tersebut, lima kasus masih dalam proses karena merupakan sengketa dan pelanggaran pidana Pemilu.

Menghalau serangan fajar Di tempat yang berbeda, upaya siaga pasca penyontrengan terus dilakukan

aktivis Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) di tiga wilayah Cirebon. Secara serempak, sejumlah FKPM tersebut mempersiapkan diri melakukan pemantauan pasca penyontrengan. Pemantauan dimulai dari pra penyontrengan, hari H penyontrengan, hingga pasca penyontrengan. Pemantauan dilakukan di wilayah-wilayah yang rawan konflik antar Caleg, antar partai maupun antar pendukung Partai maupun Caleg.

Kegiatan serupa juga terus berlanjut sampai pada dropping logistik Pemilu ke TPS, seperti yang dilakukan FKPM Kemantren Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Selain aktif membantu kelancaran distribusi logistik Pemilu tersebut, pada malam menjelang pemungutan suara, FKPM Kemantren juga melakukan patroli keliling wilayah Kemantren untuk melihat persiapan TPS dan keamanan wilayah TPS setempat.

Menurut Ketua FKPM Kemantren, Bambang Surakonda, kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menjaga suasana tetap kondusif dan menjaga jangan sampai ada oknum tertentu yang merusak suasana tenang menjelang pemungutan suara. Pada hari H tanggal 9 April 2009 seluruh anggota FKPM disebar ke setiap TPS untuk ikut memantau dan menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), serta kelancaran proses pemungutan suara sampai pada penghitungan suara selesai.

“Kebetulan FKPM Kemantren sudah sangat dikenal masyarakat. Bahkan sekarang masyarakat sudah faham akan lari kemana jika ada persoalan, terutama persoalan Kamtibmas. Bahkan sekarang makin banyak masyarakat yang ingin secara resmi menjadi pengurus FKPM. Selain itu, hubungan kami juga sangat baik dengan Polsek Sumber,” ungkap Bambang kepada Blakasuta pada Selasa (14/4).

Hal senada diungkapkan Lurah Kemantren, Murbadi S. Baginya, peran FKPM di Kelurahan Kemantren sangat penting. Apalagi masyarakat sudah semakin lekat dengan masyarakat. ”FKPM di Kemantren selama ini benar-benar membantu kami selaku pemerintah desa. Bahkan partisipasi FKPM tidak hanya pada saat muncul kasus, sering ketika ada momen apapun, dengan sendirinya FKPM sudah mengerti apa yang harus dilakukan.”

Sejumlah FKPM lain seperti Forum Komunikasi Masyarakat Ciborelang (FKMC) di Kabupaten Majalengka dan FKPM Tri Daya di Kabupaten Cirebon, hampir semua pengurusnya ikut memantau sekaligus menjadi anggota KPPS, anggota Linmas, dan yang ada tidak bertugas pada TPS diberi tanggung jawab untuk membantu pengamanan di masing-masing TPS.

Pemantauan Pemilu di sejumlah Kabupaten CirebonDalam rangka turut mengawal pelaksanaan pesta demokrasi, Jaringan

Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil melakukan pemantauan Pemilu Legislatif di Kabupaten Cirebon. Dalm hal ini, Fahmina-Institute sebagai bagian dari JPPR, mengerahkan relawan di beberapa TPS untuk melakukan pemantauan di 7 kecamatan di Kabupaten Cirebon.

Menurut Koordinator Pemantauan di Kabupaten Cirebon, Abu Bakar, pemantauan JPPR terhadap Pemilu Legislatif di Kabupaten Cirebon ini dilakukan untuk memastikan proses pemilihan berjalan dengan jujur dan adil sehingga bisa terpilih wakil rakyat yang amanah, bersih dan terpercaya.

Untuk menyebarkan secara cepat informasi mengenai hasil-hasil pemantauan

benar-benar menjadi pegangan para peserta dan penyelenggara pemilu.

Dalam pemilu kali ini, peran-peran seperti inilah yang diambil oleh para ak-tifis FKPM. Keterlibatan secara langsung para penggiatnya dengan menjadi petu-gas KPPS, linmas, anggota panwascam dan petugas pemantau dalam pemilu lalu oleh aktifis FKPM Ciborelang Majalengka dan FKPM Tridaya Serang Wetan Kabupa-ten Cirebon, adalah peran “tidak resmi” yang dimainkan sebagian penggiat FKPM yang ditemui Blakasuta pasca pelaksana-an pemilu 9 April lalu. Bagaimanapun ak-tifis FKPM umumnya juga aktifis sosial di komunitasnya. Dari akar rumput, dalam komunitas desa masing-masing, mereka dengan penuh kesadaran telah menjadi regulator, pemantau, pengawas dan pen-jaga keamanan pemilu 2009 sekaligus.

Demikian juga apa yang dilakukan aktifis FKPM di Kemantren Kabupaten Cirebon, pada hari H pemilu, menurut Bambang Surakonda Ketua FKPM setempat, seluruh anggotanya disebar ke setiap TPS untuk memantau dan menjaga Kamtibmas, kelancaran proses pemungutan suara sampai penghitungan suara.

Apa yang dilakukan oleh para aktifis FKPM tersebut adalah upaya bagaimana FKPM bisa menjadi komunitas sosial yang bisa terlibat dalam pendidikan politik juga. Padahal, selain sebagai aktifis sosi-al, sebagian mereka juga tentu punya as-pirasi politik juga. Tidak mudah tentunya menjaga netralitas mereka ketika terlibat dalam serangkaian kegiatan pemilu, apa-lagi dengan dengan keterlibatan langsung seperti ini. Kita patut mensyukuri, sampai saat ini belum ada laporan adanya akti-fis FKPM yang terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran pemilu.

Peran-peran tersebut sebenarnya sangat sederhana, namun dalam hajatan besar seperti pemilu, mereka sebenarnya tulang punggung dari apapun keberhasil-an yang telah dicapai dalam pemilu kali ini. Baik dalam pelaksanaan pemilu, pe-mantauan, pengawasan, dan keamanan pemilu.

Bagi sebagian orang mungkin diang-gap peran figuran, namun sesungguhnya, mereka adalah aktor utama suksesnya pemilu 2009 ini.[]

Page 4: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

fokus

yang dilakukan oleh JPPR kepada masyarakat, Koordinator Kabupaten JPPR bersama Fahmina telah mewawancarai beberapa relawan yang tersebar di beberapa TPS yang ada di 7 kecamatan Kabupaten Cirebon.

“Dari 8 TPS yang tersebar di Kecamatan Gunung Jati, Kecamatan Lemah Abang, Kecamatan Weru, Kecamatan Arjawinagun, Kecamatan Talun, Kecamatan Ciwaringin dan Kecamatan Susukan tercatat ada 2.801 pemilih dalam DPT. Akan tetapi, hanya 1.799 orang (64,2%) yang menggunakan hak pilihnya. Berarti ada 35,8% (1.002 orang) yang tidak menggunakan hak pilih,” papar dia yang akrab disapa Abe.

Berdasarkan hasil interview dengan beberapa relawan yang ada di TPS 2 Desa Klayan, TPS 7 Desa Gunung Jati, TPS 7 Desa Gintung, TPS 4 Desa Sindang Laut, TPS 15 Desa Kaliwulu, TPS 2 Desa Arjawinangun, TPS 3 Desa Babakan, TPS 8 Desa Sampiran, partisipasi masyarakat dapat dikatakan meningkat dan antusiasme masyarakat cukup tinggi. Meskipun tergolong tinggi angka Golput (35,8%), tetapi apabila dibandingkan dengan Pilkada Gubernur Jawa Barat tahun lalu.

sosialisasi ContrengPerubahan dari “mencoblos”

ke “mencontreng” pada Pemilihan Umum Legislatif 2009 ini menyisakan

persoalan. Dari 8 TPS yang ada di 7 kecamatan, hanya TPS 2 Desa Klayan Kecamatan Gunung Jati dan TPS 2 Desa Arjawinangun Kecamatan Arjawinagun yang memahami betul mekanisme dan jenis pencontrengan. Sedangkan di TPS 7 Desa Gintung, banyak masyarakat saling bertanya bagaimana cara pencontrengan yang benar.

Belum lagi bagi Manula di beberapa TPS di Desa Babakan, Desa Gintung dan Desa Kaliwulu, banyak tidak memahami cara mencontreng, akibatnya memakan waktu lebih lama dari yang seharusnya. “Oleh karenanya, kami menilai sosialisasi KPU maupun KPUD mengenai proses dan mekanisme pencontrengan tidak dilakukan maksimal dalam Pemilu legislatif tahun ini,” ujar Abe.

Sementara itu persoalan perlengkapan Pemilu legislatif di sejumlah TPS relatif lengkap, seperti halnya ketersediaan jumlah kertas suara yang cukup memadai dan daftar calon tetap Legislatif yang terpampang hampir di setiap TPS pantauan Fahmina.

“Sedangkan untuk TPS 7 Desa Gintung, TPS 15 Desa Kaliwulu, TPS 3 Desa Babakan, masih ditemukan TPS yang tidak memasang Daftar Pemilih Tetap (DPT) di sekitar lokasi TPS. Sehingga hal ini bisa menimbulkan kesulitan bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi tentang DPT pada hari “H” pemungutan.”

Di sebagian besar TPS di 8 Desa, informasi dan cara pencontrengan tidak dipasang di sekitar TPS, hanya disosialisasikan melalui pengumuman pada awal TPS dibuka. Tidak adanya informasi dan cara pencontrengan ini menyebabkan masyarakat banyak yang kurang paham bagaimana cara dan mekanisme pencontrengan di TPS.

Keberadaan bilik suara di TPS 4 Desa Sindang Laut tidak menjamin kerahasiaan pemilih ketika melakukan pilihannya, hal ini dikarenakan ukuran bilik suara yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kertas suara yang terlampau besar. Hal ini dapat memicu kecurangan-kecurangan pada penghitungan suara di level berikutnya. Namun secara umum situasi dan kondisi proses pemilihan umum Legislatif sekarang berjalan aman dan lancar.

“Berdasarkan hasil pemantauan kami di lapangan, kami berharap tidak ada lagi kesalahan yang sama untuk berikutnya. Kami juga menghimbau KPU maupun KPUD beserta segenap elemen PPS, RT, RW dan tokoh masyarakat secara bersama-sama untuk segera melakukan updating dan pemutakhiran Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebelum Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) pada bulan Juli mendatang,” jelasnya.

Selain itu sosialisasi KPU dan KPUD semestinya lebih dioptimalkan mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, dan kelurahan. Dengan demikian diharapkan ke depan masyarakat sudah mengetahui prosedur dan mekanisme pemilihan Presiden mendatang. KPU dan KPUD, dalam persoalan logistik Pemilu juga harus lebih serius lagi.

“Guna memperbaiki kekurangan dan kerusakan kertas suara, keterlambatan pendistribusian, perlengkapan logistik TPS yang memadai sehingga menghindari pelanggaran administratif serupa yang terjadi di beberapa TPS.” (a5)

foto: http://pemilu.okezone.com

Page 5: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

fokus

Mendiskusikan persoalan seputar gender merupakan hal yang cukup menarik.

Terutama kaitannya dengan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) dalam menangani masalah dengan menggunakan analisis gender. Sebagai bagian penting dalam kehidupan masyarakat, tentunya penting untuk mengenal, memahami dan menerapkan analisis gender. Sebelum lebih jauh, saya juga ingin mengingatkan salah satu perbedaan antara gender dan seks. Dalam hal ini, seks adalah perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, khususnya pada fungsi organ reproduksi. Sedangkan gender adalah pembedaan perlakuan pada perempuan dan laki-laki yang berkaitan dengan peran, tanggung jawab, fungsi, dan ruang perempuan dan laki-laki yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, politik, hukum, ideologi, adat, dan lainnya.

Lalu kenapa gender menjadi penting? Karena dalam banyak hal, laki-laki dan perempuan memiliki lingkup pengetahuan yang berbeda. Laki-laki dan perempuan juga memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Hal ini berarti perempuan dan laki-laki memiliki cara dan penggunaan yang berbeda terhadap sumber daya lokal. Oleh karenanya, laki-laki dan perempuan mempunyai pandangan yang berbeda terhadap hal yang dianggap penting.

Hal ini perlu saya tegaskan karena berkaitan dengan pertanyaan yang ada di sekitar kita. Lalu, kenapa sih FKPM harus menggunakan analisis gender dalam penanganan masalah di masyarakat? Karena pengetahuan yang berbeda, maka mereka memiliki pemahaman yang juga berbeda. Termasuk, bagaimana kita diperlakukan dan bagaimana kita diinternalisasi oleh nilai-nilai dalam kepala kita. Semua itu harus menjadi kesadaran

bagi aktivis FKPM. Artinya bahwa, meskipun kasusnya sama, tapi karena latar belakangnya berbeda, maka penyelesainnya berbeda pula.

Begitupun ketika kita memandang orang lain yang juga memiliki kesamaan dengan kita. Laki-laki dan perempuan memiliki cara pandang yang berbeda. Hal ini juga akan berimplikasi dalam pandangan yang berbeda, baik sesuatu itu penting dan tidak penting. Itu artinya, karena pengalaman yang berbeda, cara penyelesaiannya pun berbeda. Terkadang, kita juga perlu mencoba memahami, bahwa hal yang dianggap penting menurut kita belum tentu dianggap penting bagi orang lain. Jadi lagi-lagi, kita tidak bisa begitu saja menganggap bahwa kita adalah orang yang paling tahu dalam penanganan masalah, karena itu berarti arogansi. Dan arogansi sangat dilarang oleh analisis gender. Dari sini, jangan samapai merasa bahwa kita serba bisa, ingat bahwa banyak hal yang belum kita ketahui, banyak hal yang juga akan kita temukan dalam setiap kasus di lapangan yang kita ketahui.

Hubungan Gender dan fKPMSeperti yang sudah saya bahas

di atas, FKPM adalah bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Persoalan-persoalan yang dihadapi FKPM adalah persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, kontributor utama kesuksesan peran FKPM di masyarakat adalah masyarakat itu sendiri. Selain itu, FKPM juga menjadi bagian dari strategi pembangunan (gender mainstreaming). Jadi FKPM juga merupakan jaringan yang ada di masyarakat. Lalu masyarakat itu siapa?. Ya, ada laki-laki dan perempuan di sana, ada tua maupun muda, dan seterusnya.

Sehingga lagi-lagi, jangan sampai kita men-generalisasi permasalahan. Dalam hal ini juga sudah jelas bahwa

persoalan sosial yang dihadapi di FKPM dalam penangannannya adalah persoalan sosial. Peran serta masyarakat menjadi kontribusi tersendiri dalam masyarakat. Sehingga arogansi aktivis harus ditekan, kita juga tidak mungkin dianggap memiliki peran jika masyarakat tidak mau menerima kita. Lalu, apakah masalahnya akan selesai? Ya, tapi dengan cara mereka sendiri.

Jadi setidaknya, kita mampu meminimalisir persoalan yang muncul. Lalu kenapa gender berhubungan dengan FKPM. Karena jaringan ini memiliki peran penting dalam pembangunan Indonesia. Dimana salah satu cara dalam menangani persoalannya, menggunakan gender-mindstreming. Oleh karena itu, maka penting bagi kita untuk mengetahui persoalan yang muncul di masyarakat. Ini hanya beberapa strategi yang mungkin bisa dikembangkan di lapangan. Pertama, bahwa FKPM merupakan bangunan jaringan yang terdiri dari beberapa elemen. Dimana dalam perspektif gender, di dalamnya harus mencakup komponen laki-laki dan perempuan. Contohnya tentang Polisi, apa yang bisa kita lakukan agar kita melibatkan LSM perempuan dan Polwan, jadi ini kalau bisa harus dilibatkan.

Kemudian ketika kita akan melibatkan tokoh agama di masyarakat, maka jangan hanya bapak Kyai-nya saja, tapi juga Ibu Nyai-nya kita libatkan. Agar kemudian pengalaman yang berbeda tadi, dapat diakomodir dalam upaya menguatkan problem solving. Dalam proses penyelesaian masalahnya, yang harus menjadi perspektif adalah pertama analisis sosial dan kedua analisis gender. Dua analisis itu menjadi sebuah keharusan dalam upaya penyelesaian masalah di masyarakat. Selain itu, kita juga perlu membangun rencana aksi menjadi sesuatu yang penting. Sehingga

Penanganan Masalah dengan Analisis Gender bagi Aktifis FKPM

Tulisan berikut adalah berdasarkan presentasi Iklilillah Muzayyanah, staff Fahmina-Institute Jakarta, dalam pelatihan Polmas Tahap III yang digelar Fahmina-Institute,

di Hotel Trias Kota Cirebon, pada 19 Maret 2009

Page 6: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

aktifitas ini tidak hanya berfikir ketika kita mendapat masalah. Jangan sampai kita hanya menunggu masalah datang.

Lalu apa rencana aksi FKPM agar persoalan sejenis tidak muncul lagi di masa yang akan datang? Mengapa ini perlu dipikirkan, karena ini menjadi penting untuk membangun rencana aksi itu tadi. Kemudian bagaimana agar pertahanan sosial itu menjadi semakin baik? Agar kita tidak sekadar menyelesaikan masalah, tapi juga menganalisis masalah untuk di kemudian hari. Jadi ada evaluasi. Dalam penyelesaian juga berhubungan erat dengan relasi gender. Lalu persoalan apa contohnya? Misalnya masalah perjudian. Judi merupakan persoalan laki-laki atau perempuan. Ya, judi juga berpengaruh pada perempuan. Ini berhubungan dengan relasi. Kemudian kenakalan remaja, ini tidak hanya bicara tentang anak-anak, tapi juga ibu.

Kemudian persoalan trafiking, yang lebih sering menjadi korbannya adalah perempuan. Kenapa? Apa yang dijual? Yang dijual adalah seksualitasnya. Dan ini menjadi hal yang harus kita hadapi di masayarakat. Contohnya daerah Indramayu yang terkenal dengan lokalisasinya.

Tetapi, apakah ada masalah yang tidak ada hubungannnya dengan gender? Tidak ada, segala sesuatu di dunia ini selalu berhubungan dengan gender. Contohnya ketika berbicara persoalan kemiskinan, siapakah yang mencari nafkah? Secara spontan, biasanya jawaban kita adalah laki-laki. Ini juga berhubungan dengan relasi gender. Laki-laki harus mencari nafkah, tetapi perempuan hanya di lingkungan domestik.

Jadi segala sesuatu di dunia ini selalu berhubungan dengan gender. Tidak akan kita temukan hal-hal apapun yang tidak ada hubungannya dengan gender. Jadi tidak ada alasan bahwa perspektif gender, tidak dibutuhkan dalam penyelesaian masalah dalam hidup ini. Termasuk aktifis, dalam hal ini kita harus memiliki skill analisis ini.

Hal Penting Apa Aaja yang Harus Dilakukan fKPM?

Dalam upaya sebagai mediator berbagai persoalan sosial yang bertujuan untuk problem solving, maka FKPM

perlu membangun jaringan dengan berbagai kelompok masyarakat. Baik dengan unsur kepolisian, Pemerintah Daerah (Pemda), Tokoh Masyarakat (Toma), Tokoh Agama (Toga), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Massa (Ormas), masyarakat sipil dan lain-lain. Di sini, FKPM perlu menggunakan analisis sosial dan analisis gender dalam menyelesaikan sebuah masalah. FKPM perlu mendesain rencana aksi yang bertujuan praktis dan strategis agar sistem pertahanan dan keamanan sosial terbangun dengan maksimal.

Lalu mengapa analisis gender menjadi penting? Karena persoalan sosial sering berhubungan dengan peran gender, relasi gender, tanggung jawab gender, ruang gender (terdiri dari domestik, publik, sosial). Apakah kesenjanagn gender di tempat yang kita dampingi akan menjadi catatan? Ya, kita perlu melihat latar belakang yang menyebabkan terjadinya persoalan gender atau kasus tersebut.

Dari sini, kita mencoba menghimpun rencana-rencana aksi strategis dalam jangka waktu tertentu untuk menyelesaikan masalah. Kita juga perlu memperhatikan, bahwa ada beban tanggungjawab yang harus dibebankan laki-laki, yang sebenarnya tidak semua bisa dijalankan oleh laki-laki. Ini adalah salah satu tekanan-tekanan sosial yang menyebabkan terjadinya kasus. Karena itu, penting dilakukan analisis gender. Di antaranya penting untuk mengidentifikasi kesenjangan gender, mengetahui latar belakang terjadinya kesenjangan gender, menghimpun masalah-masalah yang timbul dari kesenjangan gender dan upaya pemecahannya, serta merancang langkah-langkah intervensi atau tindakan yang diperlukan.

Kita juga harus melihat apakah masih ada pembedaannya? Apakah ini melahirkan dan menimbulkan bentuk-bentuk keadilan gender? Ini ada beberapa langkah yang lebih teknis lagi. Tahap awal yang perlu dimiliki oleh FKPM adalah data terpilahnya. Coba diperhatikan, misalnya jumlah masyarakat laki-laki dan perempuannya berapa? Kemudian tingkat ekonominya berapa? Misal bagi janda, berapa tingkat ekonominya yang rendah? Yang tinggi bagaimana? Yang tidak ada suami

bagaimana? Tidak ada isteri seperti apa?.Sehingga, dari pendataan itu bisa

menjadi kekuatan untuk beralih ke level yang lebih tinggi. Ini juga bisa memaksa kebijakan di tingkat nasional. Kemudian pembagian kerja di masyarakat yang ada di lingkungan kita seperti apa? Apa yang kira-kira ideal untuk aktifis di masyarakat?. Misalnya para petani, dalam proses di sawah, bagaimana posisi laki-laki dan perempuan? Ada tidak beban ganda di satu pihak? kemudian siapa yang memberi kontrol untuk hasilnya?

Jadi pengaturan boleh, tetapi kontrol terhadap penggunaan uang itu menjadi penting untuk dilihat. Karena dari uang, itu bisa menimbulkan hal kecil menjadi besar.

Pengambilan keputusan juga seringkali tidak melibatkan si anak. Kita lupa untuk menanyakan apa minat anak kita. Bimbingan juga harus memberikan dan mempersilahkan hak anak. Mendampingi anak, itu tidak sampai mengambil ototritas si anak itu sendiri. Misalnya, anak pengennya apa. Tanya kenapa? Ajak dia untuk berfikir, itu akan mengajak anak bertanggungjawab dalam mengambil keputusan yang diambil.

Sering kali anak tidak diajak untuk mengambil keputusan. Contoh penting, jika anak kita jatuh. Biasanya kita lebih banyak menanyakan “siapa yang nakal?”, yang pada akhirnya anak tidak diajak untuk menganalisis dari apa yang dilakukan oleh sang anak. Itu adalah contoh kecil tetapi implikasinya sangat kuat. Contoh lain ketika kita melihat kebutuhan anak laki-laki dan perempuan, ada tidak hubungannya dengan persoalan gender? Dalam perspektif gender, itu penting untuk melibatkan anak. Ini sama dengan kita mencoba memfasilitasi dalam persoalan sosial.

Lalu, bagaimana agar kita bisa saling memotivasi? Ini penting sekali agar kita sebagai aktifis FKPM tidak cape sendiri. Karena semangat manusia itu naik turun. Kita harus memikirkan rencana strateginya. Agar kita tidak cape sendiri. Jadi, itu adalah berkaitan dengan monitoringnya. Dalam penyelesaian ini perlu kunjungan atau tanyakan langsung pada orangnya. Dalam hal ini kita bisa menggunakan metode trianggulasi. Kita bisa menanyakan tidak hanya dari

fokus

Page 7: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

satu orang. Artinya, selain menanyakan langsung kepada korban, kita juga menanyakan kepada orang-orang sekitanya. Tapi jangan dibayangkan bahwa itu sebagai sesuatu yang rumit. Ini yang disebut sebagai trianggulasi data dalam sebuah penelitian. Ini untuk mengkaji kapasitas pengetahuan kita. Apakah kita sudah punya skill dalam mengatasi masalah? Seumpama kita dalam level tertentu, kita baru berapa persennya?

Kita juga jangan terlalu berambisi dalam menyelesaikan masalah. Kita dalam hal ini harus menyadari kemampuan kita dalam level mana. Jadi harus mawas diri. Kekurangan kita di mana? Setelah itu kita melakukan penguatan dan melakukan rencana aksi yang juga harus dipikirkan sejak awal. Terutama bagi kita sebagai aktifis FKPM. Kita harus punya tahapan dan target. Tahapan dalam beberapa tahun kemudian. Setelah itu kita evaluasi, bahwa ternyata, kemampuan kita hanya sampai sekian persen.

Kita juga menggunakan pendekatan partisipatif dalam menyelesaikan masalah, selain itu juga analisis gender dan analisis social. Dimana ketika melihat sesuatu dalam cara pandang yang berbeda. Masalahnya berbeda, tentu saja cara penyelesaiannya juga berbeda. Yang penting kita sadar bahwa kemampuan kita berbeda dan terbatas, maka kita harus memikirkan itu dengan cara mengukur kemampuan kita. Ini merupakan cara kita agar bisa memiliki kader yang kita pimpin. Kita harus tahu tentang ini. Ini baik untuk mengetahui bagaimana hasil dari apa yang akan kita kerjakan. Berhasil atau tidak.

Contohnya dalam persoalan nikah. Dalam Islam, nikah itu tujuannya apa? Ketika untuk tujuan agar sakinah mawaddah warahmah, dari sini pentingkah untuk mempersoalkan siapa yang lebih banyak berperan dan lebih banyak berjasa? Tidak. Karena yang penting adalah bagaimana menciptakan suasana sakinah itu tadi. Maka si isteri juga bisa menolak jika suami berlebihan. Artinya kedua belah pihak bisa saling mengingatkan satu sama lain.

Bagaiamana itu kemudian saling menghormati dan menghargai. Kita juga tidak bisa saling mengeneralisasi. Karena apa? ketidaksiapan laki-laki jika

disetarakan oleh perempuan. Selama ini dalam struktur sosial, laki-laki yang baik adalah laki-laki yang bisa mempengaruhi isterinya, menundukkan isterinya. Tapi dalam gender, itu tidak bisa. Dalam perspektif gender, kedua belah pihak harus saling menghargai. Karena pola lama itu, tidak akan menjadikan titik awal untuk saling menghargai.

Jadi dalam gender, tidak penting siapa yang lebih banyak berperan dan sebagainya. Yang penting adalah cara perlakuannya baik, ada kesepakatan, karena itulah tingkat keadilan itu tidak sama rasa. Dan yang paling tahu adil atau tidak, itu berdasarkan ukuran yang merasakan, bukan hanya yang memandang.

Pemerintah harus melihat keputusan rakyat. Dari sini juga kan berpengaruh pada apresiasi kerja masing-masing. Kemudian jika berhubungan dengan teks agama, FKPM itu kan jaringan yang juga punya jaringan dengan pa Kyai, maka silahkan untuk dibicarakan dan didiskusikan. Selama ini kita harus melakukan pengamalan gender, bukan hanya sekadar tahu dan faham. Mari kita praktikkan. []

Apa Faktor Penting dalamAnalisis Gender?

Dalam analisis gender, ada empat faktor penting dalam analisis gender. Yaitu akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat.

Akses. Apakah akses yang diberikan FKPM itu sama antara laki-laki dan perempuan? Lalu strateginya bagaimana? Banyak cara untuk tidak menutup akses peran laki-laki dan perempuan. Bagaimana pengambilan akses laki-laki dan perempuan. Contohnya dalam diskusi, jangan sampai menggabungkan orang yang tidak aktif dengan yang aktif, karena biasanya yang aktif selalu mendominasi yang tidak aktif. Partisipasi. Dalam hal ini partisipasi warga sangat diutamakan.Kontrol. Sesuatu yang diamanatkan kepada seseorang, maka seseorang itu mempunyai kewenangan untuk mengevaluasi, memonitoring, itu adalah salah satu teori analisis gender. Kontrol itu salah satu cara yang paling sinergi. Seumpama yang punya kontrol A, lalu bagaimana agar kontrol ini bisa dimiliki oleh semua pihak. Dalam hal ini, penolakan keputusan bukan dilakukan dengan suara terbanyak. Karena dalam analisis gender, hal tersebut dianggap tidak mengakomodir suara-suara kecil. Oleh karena itu, menurut analisis gender, penolakan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah. Ini sangat islami. Karena jika dengan menggunakan suara terbanyak, maka kelompok-kelompok minoritas tidak akan muncul dalam pengambilan keputusan. Padahal kelompok minoritas itu yang seharusnya diperjuangkan dan menjadi prioritasManfaat. Akan menjadi ideal jika semua bisa merasakan manfaatnya, karena itu harus ada tahapan-tahapan yang menjadi target. Harus ada skala prioritas yang pada akhirnya melahirkan tindakan adil. Ini agar keadilan bisa terbangun.

Apa Langkah-langkah yang bisa dilakukan FKPM?

Langkah-langkah yang harus dilakukan FKPM, di antaranya sebagai berikut:

Milikilah data terpilah, berdasarkan gender dan kelas. Pertimbangkan perbedaan peran dan status ekonomi, pendidikan dan kesehatan antara perempuan dengan laki-laki.Kumpulkan informasi mengenai pembagian kerja berdasarkan gender. Ini berkaitan dengan bagaimana tenggung jawab produksi, reproduksi, dan sosial dibagi? siapa mengerjakan apa, di mana, kapan, dan berapa lama? Kaji bedanya kebutuhan perempuan dan laki-laki yang terkait dengan persoalan. Analisa dan perhatikan, apakah perempuan dan laki-laki memiliki prioritas yang berbeda? dan bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi persoalan yang ada?Kaji kapasitas penyerapan dan dampak. Perhatikan bagaimana perempuan dan laki-laki dapat dan akan berpartisipasi sehingga dapat memotivasi, berbagi pengetahuan, ketrampilan dan sumber daya mereka dalam penyelesaian masalah.Kaji kapasitas institusional. Apakah FKPM memiliki kapasitas untuk memberikan pelayanan dalam penyelesaian masalah dengan skill analisis sosial dan analisis gender? Sampai batas apa kemampuan FKPM? Apakah FKPM memiliki jaringan dan pengurus perempuan dan laki-laki? Indentifikasi lembaga. Apakah FKPM memiliki jaringan lembaga dan organisasi pemerintah atau nonpemerintah yang kegiatanya berfokus pada isu sosial dan gender yang kemungkinan bisa berkontribusi pada FKPM?Pendekatan Partisipatif. Mintai saran dan libatkan kaum perempuan maupun laki-laki secara adil dalam setiap penyelesaian masalah, dalam perencanaan, desain, dan implementasi kegiatan FKPM.Gunakan Analisis Sosial dan Analisis Gender.Bagaimana akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat bagi laki-laki dan perempuan? Bagaimana laki-laki dan perempuan mendapatkan manfaat dari seluruh kerja dan peran FKPM?

fokus

Page 8: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

pada Selasa (31/3)Di usia belianya, Sri seakan dipaksa

untuk tidak menikmati kebahagiaannya. Ketika usianya baru tiga tahun, kedua orang tuanya bercerai. Ibunya memilih menjadi TKI, sedang bapaknya memilih menikah lagi. Mau tidak mau, Sri pun harus memilih hidup bersama saudara dari ibunya yang tengah merantau di Jakarta. Sayangnya, saudara ibunya malah memanfaatkan kepolosannya. Tepat di usia 15 tahun, dia ditarik dari sekolahnya untuk bekerja di pabrik roti dengan iming-iming gaji yang cukup menggiurkan.

Namun ada yang janggal, ketika tiba-tiba dia disuruh berdandan dan memakai baju yang bagus. Kecurigaannya semakin terasa setelah tiba di lokasi, karena yang ditemuinya bukanlah pabrik beserta suara bisingnya, melainkan sebuah diskotik di Cemara

laporan khusus

Kisah Perempuan Korban Trafiking:

”Saya selalu yakin, bisa keluar dari tempat itu...”

Demikian dia meyakinkan sejumlah temannya, bahwa kesempatan itu selalu ada. Seperti keyakinannya yang tak pernah redup untuk lepas dari jerat perdagangan orang (trafiking). Dia, sebut saja Sri (15), asal Indramayu. Detik-detik jelang pembuktian keyakinannya, tak henti-hentinya dia membujuk sejumlah teman senasib agar keluar bersama-sama dari tempat prostitusi itu. Namun entah rantai apa yang begitu kuat menahan meraka, hingga bujukan Sri sia-sia. Ya, mereka lebih memilih bertahan dalam sekapan. Hingga dengan berat hati, Sri (nama samaran) memilih kebebasan itu sendirian.

Kulon. Lebih terkejut lagi, Sri akan dijadikan sebagai pelacur.

“Akhirnya saya ditempatkan di asrama yang menyatu dengan gedung diskotik, katakanlah asrama bagi para mucikari. Diskotik itu ditutup dengan gerbang yang cukup besar, sehingga tidak sembarangan bisa keluar masuk. Apalagi dijaga ketat oleh para penjaga berbadan besar,” katanya dengan ekspresi wajah yang menampakkan kesedihan.

tak Gentar AncamanDi asrama tersebut, Sri dikurung

selama beberapa hari. Karena ketika mendengar akan dipekerjakan sebagai pelacur, Sri tak henti-hentinya memberontak dan berusaha kabur dari tempat itu. Meskipun lagi-lagi usahanya selalu gagal.

“Pernah ada teman perempuan

Tidak lama setelah kami menunggu sambil berharap cemas, akhirnya Sri pun datang menemui kami

dengan ditemani bibinya. Perawakannya kecil, tutur katanya tegas dan terkontrol. Awalnya, kami sempat ragu Sri mau berbagi pengalamannya. Namun tak disangka, dia begitu care menanggapi maksud kedatangan kami. Selama beberapa jam dan berdebar-debar menunggunya, akhirnya dengan suara pelan dia menuturkan kisahnya ketika terjebak trafiking. Dalam setiap tuturnya, kami menangkap ketegaran dan kemauan kuatnya untuk keluar dari jebakan perdagangan orang.

“Pada saat ditawarkan untuk bekerja, saya hanya diberitahu bahwa saya akan diantar bekerja di pabrik roti, tetapi tenyata saya akan dijual di sebuah tempat prostitusi,” tutur Sri ketika ditemui Blakasuta di rumah pamannya,

Gambar: http://www.beritabaru.com

Page 9: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Edisi 18 April 2009

laporan khusus

yang disapa teh Poppy, nasibnya sama seperti saya. Dan dia mengajak saya untuk kabur. Jika mau kabur, menurutnya ada jalan keluar di ruang bawah tanah. Semacam got, tapi itu juga percuma, karena akan semakin disiksa,” kenangnya.

Sehingga, lanjut Sri, mau tak mau Poppy terpaksa bekerja sebagai pelacur. Namun berbeda dengan Sri, dia bertekad untuk tetap keluar dari tempat prostitusi itu. Sri juga selalu menolak melayani tamu lelaki hidung belang. ”Ketika saya ditawar-tawarkan pada beberapa tamu, saya selalu menolak. Karena saya hanya ingin jadi pelayan diskotik, bukan perempuan yang melayani lelaki. Tetapi ditolak oleh mami dan saya dipukulin lagi.”

Pernah suatu ketika Sri mencoba kabur, dengan bantuan sejumlah tamu yang bersimpati padanya. Namun lagi-lagi gagal. Akhirnya Sri kembali lagi bekerja. ”Tetapi setiap ada tamu, saya tidak bisa melayani, melainkan mengajaknya mengobrol sehingga kebanyakan dari mereka simpati pada saya. Meski memang ada beberapa di antaranya malah menyiksa saya karena tidak mau diajak berhubungan badan,” ungkap Sri.

Kendati tidak ada pilihan untuk tidak melayani lelaki, bukan berarti niatnya untuk kabur menjadi redup. Upaya kabur terus dilakukannya, meskipun lagi-lagi dia harus menerima siksaan karena selalu tertangkap basah. Bahkan siksaan terakhir yang diterimanya, membuat matanya buta selama beberapa bulan.

”Di malam hari saat terakhir saya disiksa, saya kembali mencoba kabur setelah semua orang di tempat itu terlelap. Sebelum kabur, saya juga berusaha untuk membantu teman-teman yang senasib dengan saya. Bahkan sebagian uang saya diberikan untuk mereka agar mereka memiliki ongkos pulang. Namun, mereka semua tidak ada yang bersedia diajak kabur. Sehingga dengan berat hati dia harus kabur sendirian melewati ruang bawah tanah.

”Perjalanan ruang bawah tanah harus saya tempuh selama satu jam. Ruangan itu baunya seperti bau mayat-mayat,” ujar Sri yang saat itu hanya berbekal tang atas pemberian salah seorang pelayan mau membantunya.

Tepat pukul 07.00, Sri berhasil keluar dari gedung diskotik. Kantor Polisi terdekat pun menjadi sasaran tujuannya. Sayangnya, Sri malah dipertemukan dengan orang-orang yang telah menjualnya, yakni kerabat dari ibunya. Namun dia menolak untuk pulang. Akhirnya dia meminta diantarkan kepada orang tua angkatnya yang dainggap masih menyayanginya. Dari mereka, Sri pun dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Setelah sehat, Sri juga tak jarang diikutsertakan dalam bimbingan rohani dari satu gereja ke gereja lainnya.

”Ya, saya banyak mendapatkan bimbingan rohani. Saya merasa nyaman dan terlindungi di sana. Saya juga banyak mengambil nilai-nilai ajaran mereka (ajaran Kristiani). Saya juga rajin mengikuti ceramah Pendeta di sana. Bahkan saya sampai hapal lagu-lagu rohaninya,” ungkap Sri yang sejatinya muslim.

Kini dia telah kembali ke rumahnya, meski awalnya terasa berat untuk pulang, namun kini dia sadar, walau bagaimanapun Indramayu adalah asal kelahirannya. Dan di situlah dia harus pulang.

”Tapi kalau keinginan untuk kem-bali meminta bantuan dengan polisi, saya sudah tidak mau lagi. Saya sudah mencoba mengikhlaskan dan memaafkan semuanya. Apalagi saya punya pengala-man yang tidak menyenangkan dengan polisi,” ungkap Sri perihal kekecewaan-nya terhadap pelayanan polisi.

Sri juga mengaku telah berusaha mengadukan kasusnya kepada sejumlah Polsek, salah satunya ke Polres Indramayu. Namun, ketika mengadukan kasusnya, Sri malah diperlakukan tidak sepantasnya. Para petugas yang ketika itu menginterview tentang kasusnya, terkesan tidak serius. Mereka seakan menganggap enteng kasusnya.

”Mereka seperti menganggap enteng kasus saya. Bahkan ada yang dengan santai mengobrol seperti orang pacaran. Padahal, saat itu mereka sedang bertugas. Dan ketika saya mengkritik sikap mereka, mereka malah membentak saya dan tidak terima kritik saya. Saya sangat kecewa dengan pelayanan mereka. Begitu juga Polsek lainnya, sudah keluar biaya tapi kerja mereka tidak serius,” tandas Sri yang kini lebih

memilih menenangkan diri dan tidak ingin merepotkan siapapun untuk memproses kasus yang menimpanya.

Kritik terhadap Pelayanan PublikSementara itu ditemui di tempat

yang berbeda, salah satu petugas kepolisian di bagian Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Indramayu, mengaku tidak pernah menerima kasus trafiking atas nama Sri.

”Kalaupun ada, tidak mungkin kami biarkan begitu saja. Kami berusaha melayaninya dengan baik. Dan selama ini begitulah yang kami lakukan. Tetapi jika pun terbukti kami membiarkan kasusnya terlunta begitu saja, apalagi terkesan tidak menghargai kondisinya, maka dalam hal ini kami telah lalai. Dan ini merupakan kritik bagi pelayanan kami, sehingga kami perlu memperbaiki sikap dan pelayanan kami,” jelas perempuan petugas kepolisian itu, yang memilih untuk tidak disebutkan namanya.

Hal senada diungkapkan Kabag Bina Mitra Polres Indramayu, Suhiro. Sebagai sosok yang terus mensosialisasikan program perpolisian masyarakat (Polmas), Suhiro mengaku prihatin dan mendapatkan kritik tajam atas kasus trafiking tersebut.

”Karena secara tidak langsung, menunjukkan kegagalan kami dalam mensosialisasi dan menerapkan program Polmas ke seluruh jajaran Polri. Meskipun lagi-lagi, polisi juga manusia. Apalagi Polmas sendiri program baru. Masih membutuhkan banyak waktu agar seluruh jajaran polisi benar-benar mau mereformasi dirinya,” tegas Suhiro.

Kami berharap, lanjut Suhiro, korban bisa datang kembali untuk mengadukan kasusnya. ”Jika memang benar adanya salah satu petugas kami berlaku tidak sewajarnya petugas, maka saya mewakili segenap jajaran kepolisian memohon maaf atas apa yang telah dilakukan petugas kami. Bagi kami, ini benar-benar mencoreng nama Polri.”

Pendampingan Harus Mendapat Izin dari Korban

Sementara itu menurut Afandi, Aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perempuan As-Sakinah di Indramayu, kasus trafiking yang menimpa Sri benar-benar menampar semua pihak, terutama pemerintah dan

Page 10: Blakasuta Edisi 18 - 2009

10

Edisi 18 April 2009

laporan khusus

tokoh agama. Apalagi kasus ini sudah berbulan-bulan dibiarkan tanpa ada yang merespon secara serius. Bahkan hingga korban memilih untuk diam dan tidak memprosesnya lagi.

”Dari kami juga sulit untuk bisa membantu mendampingi kasus ini,

karena kami tidak ingin memaksa. Dan pendampingan itu bisa dilakukan, jika memang sudah ada ijin dari korban maupun keluarga korban. Jika dari korban sendiri menolak untuk didampingi, maka kami tidak bisa memaksakan. Karena kami bekerja untuk

kemanusiaan, dan kami menghargai keputusan korban. Jika kami memaksa untuk mendampingi, berarti kami meny-alahi prinsip kemanusiaan itu sendiri,” papar Afandi yang juga mengaku baru selesai mendampingi kasus buruh mi-gran beberapa pekan lalu. (a5)

KH. Husein Muhammad(Komisioner Komnas Perempuan sekaligus Ketua Dewan Kebijakan Fahmina-Institute Cirebon)

Persoalan ini merupakan sebuah fakta betapa banyak perempuan yang menjadi korban dalam kekerasan dan eksploitasi dalam bentuk trafiking. Seharusnya Negara memberikan perhatian yang sungguh-sungguh. Kita bersyukur negara telah membuat UU PTPPO, sehingga sekarang harus diimplementasikan secara serius.

Dari kami, lebih berbicara ke persoalan supremasi hukum. Ini juga harus menyadarkan para ahli dan tokoh agama, lem-baga keagamaan harus serius menangani persoalan ini. Bukan hanya melihat dari sisi moralitas saja dan keimanannya yang lemah. Karena bagi korban, hidup itu lebih penting dan lebih berharga. Sedangkan selama ini tokoh agama tidak memberi-kan perlindungan dan menyelesaikan akar permasalahannnya. Ini juga bukan soal lemahnya keyakinan seseorang, karena saat itu yang dibutuhkan dia adalah kehidupannya.

Kita sebagai pelaku agama, juga jangan hanya sibuk menasehati agar seseorang beribadah saja, tapi juga harus melakukan gerakan untuk perlindungan. Tidak cukup mereka kembali ke pesantren, tapi harus melakukan refleksi diri dan kontekstualisasi terhadap ajaran agama dan dekat dengan lingkungan komunitasnya.[]

KH. syakur Yasin(Tokoh masyarakat dan Pengasuh Pondok Pesantren Cadang Pinggan, Kertasmaya, Indramayu)

Kasus ini memberikan kritik tersendiri bagi semua pihak. Kenapa masyarakat kita banyak yang menjadi korban? Karena selama ini kita jarang melakukan pembelaan. Jadi ini persoalannya pada kekuasaan. Seperti mengapa terlalu banyak perempuan yang menderita di Saudi Arabia, di Batam, dan mengapa mereka yang berangkat bertahun-tahun malah kabur. Termasuk dalam persoalan trafiking, yang menjadi masalah adalah kenapa pelaku trafiking tidak dihukum seberat-beratnya. Padahal dalam hal ini, saya kira pelakunya jelas, ini bukan sesuatu yang sulit untuk diselidiki. Ataukah karena pelakunya adalah pejabat? Sehingga mereka begitu mudah berlindung pada payung hukum yang mudah dibelinya. Yang jelas, penikmatnya bukan seorang petani miskin.

Lalu kenapa tidak ada niat untuk mengungkap kasus trafiking secara serius? Bahkan untuk menyelidikinya,pun tak pernah serius. Padahal sudah jelas pelakunya dan tempatnya. Tapi selama ini kita hanya berkomentar. Mari kita bertindak bersama kalau kita sayang pada masyarakat.

Selama ini sistem negara kita yang tidak berhasil. Makan itu hak untuk warga negara. Tapi kenapa masih banyak ma-syarakat yang kelaparan. Jadi ujung-ujungnya penyelesainnya bukan hanya anjuran kepada para TKW, tapi juga memberikan

gaji tinggi. Selama ini semua aturan nonsens, karena intinya adalah kembali pada supremasi hukum, kembali pada cukong (calo)-nya, kembali pada pemilik prostitusinya, pemerintah desa yang membiarkannya begitu saja, Camatnya, dan semua lingkaran setan yang mendukung terjadinya trafiking itu.

Tetapi, di sini saya berbicara tentang supremasi hukum. Selain itu, saya kira definisi trafiking juga perlu dirumuskan kembali. Karena, suami yang menjual istrinya, dan istrinya menurut disuruh melayani tamu. Di Indramayu, tidak jarang anak tamatan SD dijual orang tuanya. Karena terpaksa orang tuanya ingin mengubah nasib, ingin memiliki rumah bagus. Jelas itu bukan ditipu, tetapi itu masuk trafiking. Ini kan termasuk tidak masuk akal di tengah abad muta’akhir. Kalau orang tuanya sadar menjual anaknya, apakah ini masuk trafiking. Lalau siapa pelakunya?. Jadi, di sini peran LSM seperti Fahmina-Institute bisa melakukan pembelaan atas kasus ini. Dan pemerintah harus lebih tegas lagi terhadap persoalan trafiking ini. Upaya penyelamatan negara seharusnya memberikan fokus utama pada penguatan posisi kelompok-kelompok rentan trafiking, dengan mengeluarkan instrumen hukum yang tegas, jelas, dan memihak, agar mereka terlindungi dari praktik pemaksaan dan penyalahgunaan wewenang para aparat terhadap posisi rentan mereka.[]

faqihuddin Abdul Kodir(Ketua Yayasan Fahmina dan dosen Fiqh Ahkam STAIN Cirebon)

Kasus ini merupakan tamparan bagi semua pihak, keluarga, masyarakat, terutama negara. Negara bukan hanya gagal melindungi warga dari kejahatan trafiking, tetapi sudah menjadi pelaku pasif karena membiarkan dan tidak menggunakan kekuasaan yang ada untuk memberikan pertolongan yang memadai. Tentu saja tidak sepenuhnya kesalahan negara, masyarakat juga memiliki andil dari unit yang paling kecil sampai yang paling besar.

Kita jangan hanya berhenti pada saling menyalahkan, kita mesti merefleksikan peran sosial kita, termasuk keimanan kita. Apakah keimanan kita menggerakkan kita untuk melakukan pencegahan kejahatan dan pertolongan pada korban? Jika korban-korban kejahatan tidak mendapatkan pertolongan, maka sesungguhnya kita sebagai umat akan sulit memperoleh pertolongan Allah Swt dalam setiap masalah yang kita hadapi. Bukankah Nabi menyatakan: ”Pertolongan Allah akan hadir pada saat hamba memberikan pertolongan pada saudaranya”.

Kasus semacam ini (kasus Sri) kembali menampar kita lebih keras lagi, karena korban sempat pindah keyakinan setelah frustasi tidak menemukan teman dan saudara seagamanya yang memberikan pertolongan padanya. Keimanan kita sedang diuji, apakah hanya terhenti pada ceramah-ceramah belaka atau hingar-bingar ritualitas yang terus membahana, atau teriak-teriak di jalan membusungkan dada.[]

Page 11: Blakasuta Edisi 18 - 2009

11

Edisi 18 April 2009

Blakasuta:Mengenai gerakan-gerakan Islam baru yang muncul di

Indonesia, kemudian tentang Pemilu, saya yakin pa Martin mengetahui banyak tentang situasi-situasi terakhir seputar itu. Kira-kira bagaimana gerakan-gerakan Islam baru itu kaitannya dengan Pemilu dan gerakan Islam yang telah ada sebelumnya.

MvB:Saya memang sudah lama mengamati Islam di Indonesia

terutama Islam di pesantren baik kitab kuningnya maupun gerakannya. Sekarang sudah lebih dari 10 tahun setelah orde baru, saya berencana membuat buku tentang perkembangan gerakan-gerakan tersebut. Di kampus, selama orde baru dan sebelumnya telah berubah secara drastis. Dulu sebelum orde baru, Islam NU dan Muhammadiyah mendominasi wacana Islam. Ada gerakan cendikiawan muslim yang menjadi ciri khas orde baru, seperti wacana pembaharuan Islam yang seperti yang dibawa Nurkholis Madjid, dulu hampir mendominasi. Tapi pasca orde baru, ada wacana lain yang lama direpresi, namun sudah mulai muncul. Dan yang menarik juga adalah lembaga-lembaga yang selama ini dianggap milik NU dan Muhammadiyah seperti masjid dan madrasah, tiba-tiba diambil alih dan berubah identitasnya.

Masjid yang dipakai orang NU untuk beribadah, kini di dalamnya mulai dikuasai untuk pengajian dan beribadah sejumlah gerakan Islam yang lain. Sekarang tiba-tiba berubah, khatib dan ibadahnya berubah. Sehingga orang merasa kehilangan ruh dari masjid mereka. Seperti ungkapan seperti: “Ini masjid saya, tapi tiba-tiba saya tidak bisa lagi beribadah seperti biasa.” Mereka merasa diambil alih. Padahal masjid itu dibangun oleh mereka. Sama dengan Muhammadiyah, itu namanya juga diubah. Sekolah Muhammadiyah menjadi Sekolah Dasar Islam Terpadu. Padahal bagi Muhammadiyah, identitas itu penting.

Kalau kita berfikir lebih teliti, mungkin orang Muhammadiyah itu yang merubah Muhammadiyahnya itu muncul dari orang mudanya. Jadi serangan itu muncul dari dalam. Sepertihalnya anak muda dari kalangan NU belajar di

kampus, tetapi setelah kembali ke nusantara, mereka datang dengan membawa pandangan dan ajaran yang berbeda. Jadi mereka dari kampus kembali ke masyarakat dan melakukan pembaharuan. Seperti anak dalam kalangan NU belajar dari kampus dan kembali dengan konsep-konsep keislaman yang berbeda. Jadi pembaharuan Islam, itu senantiasa begitu. Jadi Muhammadiyah dan NU, pada dasarnya mereka teranacam dengan gerakan trans-nasional yang mungkin lebih kuat dalam hal pola disiplinisasi dan pola ajarannnya.

Dengan mereka sekolah di Timur Tengah, setelah kembali ke Indonesia mereka melakukan pembaharuan. Mereka mempunyai amalan dan gerakan dan organisasi yang berbeda. Jadi banyak sekali yang berubah, ajaran berubah, gerakan berubah, dan organisasi berubah. Jadi lebih ke trans-nasional. Jadi wacana Islam dan hal-hal yang dianggap penting untuk dibicarakan, sekarang didominasi oleh orang-orang dari gerakan itu. Wacana sekarang sudah didominasi oleh mereka dari Islam harokah itu. Bukan mereka saja, yang jadi populer juga seperti mubaligh-mubaligh yang ‘berkaus’ sufi. Contohnya seperti Aa Gym, itu sudah satu corak yang sangat berbeda sekali dengan Nurkholis Madjid. Nurkolis dengan wacana pembaharuan yang dianggap cocok untuk masa kini, kalau Aa Gym lebih kepada amalannya.

Penerjemahan konsep-konsep tasawuf Aa Gym sudah terlebih kepada menenangkan hati orang, dari pada memberi sesuatu yang baru. Aa Gym tidak melakukan dan memberikan reintrepretasi, sehingga memang tidak ada reinterpretasi ajaran Islam. Kemudian juga Arifin Ilham, tidak ada lagi wacana intelektual dari ajarannya. Tidak ada lagi wacana intelektual bagi orang kota, yang ada seperti pengajian-pengajian di desa.

Blakasuta:Lalu kembali lagi tentang gerakan-gerakan Islam baru

yang sekarang lebih basar, ini sebenarnya hanya refleks saja atau bagaimana?

MvB:Ada yang lain. Ini ada efek penting. Selain itu juga faktor

wawancara

Gerakan Islam Baru dan Pemilu 2009

Beberapa pekan lalu, Martin Van Bruinessen (MvB) berkunjung ke Cirebon untuk keperluan penelitian terbarunya. Pak Martin, demikian kami menyapanya, adalah salah seorang peneliti senior asal Belanda. Ia belajar fisika teoritis dan matematika di Universitas Utrecht, Belanda (1964-1971). Pada 1978, ia berhasil mempertahankan disertasi Doktornya yang berjudul “Agha, Shaikh and State” yang membahas sejarah dan struktur sosial masyarakat Kurdi, juga di Universitas Utrecht. Setelah menyelesaikan tugasnya sebagai supervisor LIPI pada proyek penelitian mengenai ulama Indonesia, sejak 1 Mei 1991, ia ditunjuk INIS sebagai dosen tamu di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di kesempatan yang baik itu, kru Blakasuta, Nurul Huda SA dan Alifatul Arifiati, berkesempatan bincang-bincang bersama Pak Martin pada Rabu (8/4/09) lalu, di Hotel Bentani Kota Cirebon. Berikut wawancara kami dengan Pak Martin tentang pergolakan Parpol Islam di Pemilu 2009Martin Van Bruinessen

Page 12: Blakasuta Edisi 18 - 2009

1�

Edisi 18 April 2009

pendidikan juga sangat penting. Jaman orde baru, orang yang mencapai pendidikan S1, itu jumlahnya sangat meningkat. Jumlahnya naik luar biasa tinggi. Salah satunya termasuk IAIN. Lebih-lebih yang umum, cakrawalanya berubah. Jadi gerakan itu masuk melalui kampus. Semua Gerakan radikal dan nasional, itu semua gerakannya ke kampus. Seperti di Arab Saudi, mereka mendirikan LIPIA dan memberikan beasiswa dari tahun 1970-an, memberikan beasiswa kepada para santri pondok pesantren. Mereka juga menghasilkan alumni yang punya sikap yang keagamaannya berbeda.

Mereka sebagian besar dari NU. Tetapi selain bahasa arab, mereka juga belajar faham keagamaan yang lebih agak ke wahabi. Tapi mereka tidak selalu menjadi wahabi. Tidak. Karena seringkali mereka berbalik dari menjadi wahabinya. Contohnya seperti Ulil Absar Abdalah dan Ahmad Baso juga dari sana, tapi mereka malah berbalik dari wahabi. Tapi kesediaan pendidikan itu tentu saja mengubah cara penghormatan kepada Kiai.

Revolusi juga terjadi dalam masyrakat sosial dan status sosial, yang juga malah mengarah ke pendidikan. Tentu saja, ini karena pengaruh pendidikan itu. Kiai yang dulu dihormati malah sekarang tidak teralu dihormati. Tetapi yang ada, setelah revolusi pendidikan, mereka malah berusaha untuk lebih independen. Di mana-mana, revolusi pendidikan membuat revolusi status pada masyarakat tradisional. Dan sekarang itu pendidikan itu merata. Sehingga mereka yang statusnya penting karena kedudukannya sebagai Kiai dan anak Kiai, sekarang malah tidak lagi dihormati sepenuhnya seperti dulu. Jadi dulu yang statusnya penting karena pernah ke Makkah, sekarang malah tidak terlalu penting.

Blakasuta:Bagaimana dengan tahun 1998, di tahun itu dulu

sejumlah Kiai selalu menjadi acuan dalam pemilihan suara. Jadi secara tidak langsung ada semacam intervensi. Kalau sekarang, menurut pa Martin bagaimana?

MvB:Itu mungkin masih tergantung. Saya kira sampai

sekrang juga masih banyak desa yang hanya mengikuti Kiai saja. Jika Kiai bilang ke PDI saja, maka mereka pun mengikuti. Tahun ini juga orang masih banyak yang mengikuti. Saya kira itu masih ada. Contohnya petani yang merasa tidak faham politik, kini masih mengikuti kKiai. Tetapi memang petani sekarang semakin sedikit. Dan terkadang orang tua lebih memilih untuk mengikuti anaknya yang dianggap lebih pintar. Jadi kadang-kadang orang tua ikut anak saja.

Blakasuta:Kalau yang pa Martin amati, perubahan itu sebenarnya

maknanya apa? dari perubahan-perubahan besar yang terjadi pada NU dan Muhammadiyah dan kelompok-kelompok besar baru tersebut?

MvBKalau kita lihat NU, NU kan didirikan sebagai nahdhatul

’ulama. Wadah untuk para ulama. Sebagai wadah kebangkitan ulama. Dulu hanya Kiai-kiai saja yang ada di NU, kemudian

menjadi Parpol dan Ormas yang mencakup sebagian besar dari umat yang mengikuti diri sebagai kaum nahdhiyin. Dulu pernah ada yang berinisiatif untuk menjadikan wadah umat yang masuk ahlussunah wal jama’ah. Jadi bukan wadah para ulama lagi, tapi orang-yang mengikuti para ulama (nahdhatul ummah).

Yang sudah sering saya katakan dalam ceramah, saya sering mengungkapkan (yang kadang juga membuat orang tersinggung), bahwa NU sebetulnya dan kaum nahdiyin itu merupakan satu jam’iyah yang masih ada sistem kastanya. Ada trah-trah besar yang memiliki darah biru. Sehingga ada Kiai besar, ada Kiai kampung, ada anak pintar yang menjadi Kiai yang dikagumi karena ilmunya tetapi tidak ada trah-nya. Jadi ada tiga lapisan. Dan saya kira sedikit demi sedikit, kita akan melihat ada trah darah biru dari mereka yang berpengetahuan agama. Salah satu yang sangat menarik adalah otoritas politik dari mereka yang disebut berdarah biru.

Salah satu contoh yang sangat menarik adalah setelah orang NU melihat banyak masjid yang diambil alih, sekarang ada inisiatif untuk menguasai masjid. Jadi ada upaya meletakkan organisasi NU di masjid bukan hanya di pesantren. Tapi menurut Masdar, yang ada di masjid itu santri-santri. Sedangkan yang di masjid itu santri dan masyarakat selain dari pesantren. Dan santri sebenarnya diciptakan untuk ke beberapa masjid. Seperti sekarang sudah diupayakan ada ranting-ranting. Ada tanfidh dan syuriahnya. Itu untuk memperkokoh jamaah masjid, dan orang akan merasa terlibat dengan masjid, sehigga hubungan NU dan masjid juga menjadi kokoh. Karena ide ini juga langsung diambil alih oleh Kiai Hasyim. Tapi memang masih ada trah dari NU sendiri. Jadi pengambilalihan NU dari darah biru, untuk sebagian itu masih sulit. Karena tidak mungkin tidak, dari tanfidh itu pengambilalihannya masih dari darah biru.

Salah satu contoh yang sangat menarik menurut saya adalah setelah orang NU melihat masjid banyak yang diambil alih. Ada usaha yang inisiatif dari Masdar untuk meletakkan organisasi NU di masjid, pasti ada latar belakang politik juga. Tapi Masdar bilang, yang ada di pesantren adalah anak muda santri, tapi yang di masjid terdiri dari anak-anak muda dan juga masyarakat. Saya juga lihat sudah ada tersebar di sana. Jadi dewan masjid sekaligus juga sebagai pengurus. Jadi masjid itu ada tanfidz dan syuriahnya. Ini untuk memperko-koh ikatan masjid dan NU. Tapi saya lihat disana juga ada semacam revolusi kasta. Semacam sudah tidak ada trah. Jadi pengambilan NU dari darah biru, itu sulit. Karena pengaruh orang arab (darah biru) sepertinya masih kuat. Syuriah PBNU juga masih dikuasai oleh darah biru. Jadi masih ada proses, dimana orang dari akar rumput itu mengambil alih peran di pusat juga.

Blakasuta:Kalau di Muhammadiyah sendiri, itu juga sepertinya

hampir terjadi hal yang sama, tapi saya tidak tahu seberapa besar pergolakan itu.

MvB:Kalau di Muhammadiyah, itu terutama adalah sekolah.

Sekolah Muhammdiyah menjadi Sekolah Islam Terpadu.

wawancara

Page 13: Blakasuta Edisi 18 - 2009

1�

Edisi 18 April 2009

Dan Muhammadiyah juga sudah mengambil strategi untuk pengambilalihan berikutnya. Kalau tidak salah itu terjadi dua kali di Jawa. Dan itu banyak sekali dibicarakan oleh orang Muhammadiyah. Mereka merasa betul-betul harus melin-dungi lembaga-lembaga Muhammadiyah yang ada. Saya kira mereka hampir sama dengan NU. Orang Muhammadiyah itu juga bisa sangat berbeda. Orang Muhammadiyyah itu bisa ka-nan dan kiri, tetapi jika disentuh ke-Muhammadiyah-annya, mereka akan kembali ke Muhammadiyahnya. Jadi Muham-madiyah sebagai identitas itu saya kira penting bagi mereka.

Blakasuta:Kemudian tentang komite Ilyas, tentang nasihat Kiai

Hasyim untuk menjaga Islam Indonesia. Gerakan-gerakan Islam baru tersebut, kalau dilihat dari ruangnya, ini masuknya apa? Apakah NU sendiri terlalu sempit melihatnya seperti dalam kesadaran revolusi. Apakah hal seperti perubahan-perubahan seperti itu juga penting?

MvB:Saya rasa perubahan itu wajar saja, Kiai Hasyim Asy’ari

juga mereka pernah belajar di Makkah, mereka juga masuk bagian dari Islam trans-nasional. Mereka juga orang yang belajar di Makkah, tapi mereka juga membawa paham pemba-haruan, sehingga mereka membawa pembaharuan yang me-rubah situasi yang sudah ada. Dan setiap generasi mendatang, mereka juga membawa faham yang baru. Dan setelah mereka dikuasai oleh wahabi. Nah setelah Arab Saudi memberikan beasiswa, sekarang banyak orang NU yang diberi kesempatan belajar ke universitas seperti di Madinah, Jeddah, dan jelas ketika mereka kembali ke Indonesia, mereka membawa misi yang berbeda. Mereka kembali ke Islam murni.

Tentang pluralism, saya kira dulu NU itu menolak pluralism, NU dulu dianggap eksklusif, Muhammadiyah dianggap sebagai musuh. NU mulai membuka diri ketika tahun 70-an, dan dalam hal ini Gusdur mengambil peran yang sangat besar sekali. Justru Muhammadiyah yang kini lebih eksklusif. Aktifitas lintas agama, itu lebih mudah bagi orang NU, dari pada dengan Muhammadiyah. Jadi sekarang mereka sudah tdak dianggap eksklusif lagi.

Sekarang aktifitas lintas agama itu lebih mudah diterima orang NU daripada dengan orang Muhammadiyyah. Jadi eksklusifisme sudah tidak ada lagi. Jadi mereka sudah mau belajar dari keagamaanya yang berbeda. NU merasa, ukhuah islamiyah juga berarti minoritas harus dilindungi.

Blakasuta:Kira-kira menurut Pak Martin, pengaruh kelompok

gerakan baru Islam di Indonesia dengan Pemilu bagaimana?

MvB:Awalnya akan ada dampak besar, tapi saya merasa dam-

paknya agak sangat kecil, saya diilhami oleh survei-survei di media yang mungkin salah. Saya dulu sebelum kembali di Indonesia, mungkin mereka akan tumbuh lebih cepat, tetapi ternyata tidak. Tapi pasti mereka mnegkonsolidasi diri. Me-reka memiliki organsiasai yang cukup kokoh. Gerakan lain mungkin memiliki harapan yanga tidak terlalu besar. Seperti

NII, HTI dan MMI, tetapi jumlah mereka juga tidak terlalu besar. Sedangkan PKS, itu bagian dari sistem. Gerakan lain tidak berdampak sangat besar. Kalau HTI mendukung partai yang mensosialisasikan syari’ah, tetapi jumlah mereka juga tidak terlalu besar.

Blakasuta: Kalau ke depan kira-kira bagaimana perkembangannya?

MvB:Saya lebih tertarik meneliti sejarah, bukan masa depan.

Tapi saya kira kalau NU tidak berhasil untuk merumuskan satu konsep tetang apa sebetulnya satu jam’iyah ijtima’iyah, mungkin mereka akan kehilangan dukungan dari generasi muda. Saya kira banyak generasi muda tidak terlibat dalam gerakan organisasi NU. Jadi mungkin keterikatan dengan NU itu tidak terlalu cair. Apalagi saya lihat banyak orang kecewa dengan perkembangan NU sekarang. Mungkin sudah seharusnya ada mujadid baru. Kalau saya, menganggap bahwa Muhammad Sidik sebagai Mujaddid pertama, atau mungkin kedua setelah Wahid Hasyim.

Blakasuta:Sebenarnya, kelompok baru ini, apa kontrasnya

mereka dengan NU dan Muhammadiyah. Mungkin yang membedakan secara umum?

MvB:Saya kira ada beberapa hal yang membedakan. NU tidak

mengingkari budaya lokal, tapi menghargai budaya lokal. Dan dalam gerakan NU pun, unsur itu ada dan akan tetap ada. Sengaja gerakan trans-nasional itu untuk mengingkari dan menghindari budaya lokal. Meskipun baik HTI dan PKS telah diwarnai budaya lokal, tapi NU tetap paling kental bu-daya lokalnya. Seperti kalau di Cirebon, ada warna budaya Kiai dan Santri. Yang sekarang juga merupakan ciri khas NU, bahwa NU lebih toleran terhadap orang yang berpikir lain dan berbeda dengannnya. Sepertihalnya mereka yang beriba-dah lain, NU lebih membela, ini berbeda dengan mereka dari kelompok yang radikal dan cenderung eksklusif. Seperti hal-nya Ahmadiyah, NU cenderung menghargai hak mereka.

Tetapi dalam kasus Ahmadiyah, mereka juga mengakui hak-hak Ahmadiyah. Dan kalau mereka solat, itu hak mereka untuk mengaku muslim, itu juga diakui. Tapi kalau gerakan lainnya, komentar mereka malah mengatakan bahwa Ahmadiyah sebagai virus. Kalau NU, malah tidak, mereka punya pengertian yang mudah diterima. Jadi itu hal yang membedakan, pada toleransinya. Pluralisme dalam arti orang yang dari berbagai pengertian agama. Orang dari berbagai pengertian keislaman. Walaupun kita tidak setuju, tetapi kita menghargai orang itu. Toleransi berarti menunjukkan pluralism. Walaupun kita tidak setuju, kita tidak mengatakan bahwa orang itu sesat. Itulah NU.

Orang NU dari dulu memiliki toleransi, dan orang NU memiliki pengertian yang terkadang tidak diterima pihak lain. Walaupun tidak setuju dengan ajaran orang itu, tetapi NU menghargai mereka untuk beriadah, dan ini kekuatan NU. Yaitu pada toleransinya.[]

wawancara

Page 14: Blakasuta Edisi 18 - 2009

1�

Edisi 18 April 2009

Beberapa tahapan Pemilu telah usai, mulai dari penentuan partai yang masuk kualifikasi sebagai peserta

Pemilu, penentuan nomor urut partai, pendaftaran caleg, penentuan Daftar Pemilih Tetap (DPT), proses kampanye dan pemungutan suara. Dalam setiap tahapan tidak begitu saja mulus tanpa masalah. Hampir semua tahapan penuh dengan kelemahan, hingga menimbulkan banyak kritikan dan protes kepada penyelenggara Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada beberapa catatan substansial yang selalu dicermati secara kritis oleh banyak pihak, terutama dalam Pemilu pasca Orde Baru Pertama, soal pendidikan pemilih, kedua keterwakilan perempuan, dan ketiga penyelenggara Pemilu.

Dalam Pemilu 2009, partai politik (Parpol) dinilai belum mendidik masyarakat. Calon Legislatif (caleg) lebih banyak mempromosikan dan mengkampanyekan dirinya, ketimbang memberikan penyadaran politik kepada pemilih. Indonesia sudah beberapa kali mengalami pesta demokrasi, namun belum memberikan kontribusi besar bagi pemilih. Sebagian pengamat menilai, Pemilu yang demokrasi pertama sekali dilaksanakan pada tahun 1955, dimana pemilih tidak hanya memilih calon Legislatif, namun sebelumnya pemilih sudah lebih mengenal karakter caleg yang akan dipilih. Maka Pemilu perdana di Indonesia ini dinilai sebagai Pemilu paling aman dibandingkan dengan Pemilu selanjutnya. Dengan kata lain, Pemilu 1955 ternyata belum dijadikan rujukan atau referensi utama bagi pelaksanaan Pemilu berikutnya.

Pemilu sebagai sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasi aspirasi dan kepentingan warga negara. Setidaknya ada empat fungsi Pemilu yang terpenting; pertama, legitimasi politik, kedua terciptanya perwakilan politik, ketiga sirkulasi elit politik, dan

Pemilu 2009 dan Pendidikan Politik

keempat pendidikan Pemilu. Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah fungsi Pemilu sebagai pendidikan politik bagi warga negara. Pemilu adalah alat untuk pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya. Dengan terlibat dalam proses pelaksanaan Pemilu, diharapkan warga negara akan mendapatkan pengalaman langsung selayaknya seorang warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi. Rakyat diharapkan paham dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan negaranya.

Pada sisi lain, Pemilu sebagai sebuah pesta demokrasi besar yang berlangsung secara meriah dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, proses kemeriahan ini dapat dikatakan sarat dengan warna warni bendera, gambar atau simbol partai, dan slogan-slogan yang dikemas dalam ’satu paket’; ”memperjuangkan hak-hak rakyat”. Pola-pola yang dikemas sedemikian rupa dalam setiap pesta demokrasi hanya sebagai bentuk retorika politik sesaat para calon perwakilan masyarakat, hampir tidak pernah kita jumpai setiap proses Pemilu masyarakat selalu disajikan dengan berbagai janji-janji praktis para calon Legislatif.

Pesta demokrasi yang selama ini berlangsung ibarat perlombaan balapan, semua partai terus menyiapkan pe-

nguatan internal partai, menyiapkan tim pemenangan, menyiapkan isu yang bisa membuat pemilih jadi percaya terhadap calon Legislatif. Dari satu prosesi ke prosesi berikutnya terus dilakukan oleh setiap partai atau calon legislatif (Caleg). Prosesi tersebut dibungkus dengan tema-tema sosial dengan tujuan merebut hati pemilih dan tidak sedikit masyarakat ikut dalam prosesi politik yang dilakukan oleh calon wakil rakyat tersebut.

Ada tiga alasan utama mengapa masyarakat mau melibatkan diri dalam prosesi penyelenggaraan Pemilu; Pertama, masyarakat tertarik dengan agenda yang di usung oleh partai politik atau calegnya, karena menyentuh masalah utama yang dialami oleh masyarakat. Kedua, karena kampanye Pemilu hanya diselenggarakan hanya lima tahun sekali. Ketiga, kepentingan pragmatis, adanya pembagian sembako, alat olah raga, alat pertanian atau pun pemberian uang bagi masyarakat.

Keterwakilan perempuan, hampir semua partai peserta Pemilu tidak sungguh-sungguh memperjuangkan keterwakilan perempuan. Hal mendasar yang dihadapi oleh para Caleg perempuan adalah; Perempuan

o p i n i

Oleh Rosidin(Staf Program Islam dan Demokrasi fahmina institute)

Page 15: Blakasuta Edisi 18 - 2009

1�

Edisi 18 April 2009

opini

tidak mempunyai akses langsung ke sumber dana, kalau pun ada hanya sebagian Caleg perempuan yang mempunyai pekerjaan dalam bidang bisnis. Masyarakat sebagai pemilih masih melihat perempuan tidak siap menduduki susunan pengambil kebijakan, dan banyak Caleg yang melakukan pendekatan dengan konstituen dengan material. Pola ini telah memberi dampak bagi Caleg perempuan yang tidak cukup memiliki dana kampanye.

Disadari atau tidak, manajemen kampanye yang diterapkan sejak puluhan tahun telah memberikan pendidikan buruk bagi Caleg dan bagi rakyat sebagai pemilih. Seperti digambarkan diatas, berbagai kampanye dalam pemilihan umum menunjukkan partai politik (parpol) dinilai belum mendidik masyarakat. Caleg lebih banyak mempromosikan dan mengkampanyekan dirinya, ketimbang memberikan penyadaran politik kepada pemilih. Pada sisi lain, banyak sekali caleg yang masih kurang memahami UU Pemilu dan aturan-aturan Pemilu. Semestinya Parpol dan Caleg tidak hanya menyampaikan program kerja kepada masyarakat, tapi juga bagaimana melakukan proses pendidikan.

Sudah semestinya fungsi pendidikan politik yang mencerdaskan rakyat dalam program kampanye harus termuat. Misalnya tentang ajakan untuk terdaftar sebagai pemilih atau tata cara memilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sekarang ini malah cenderung caleg menonjolkan diri

sendiri, ketimbang melakukan proses pendidikan, apalagi proses Pemilu tahun 2009 ini mempunyai satu perbedaan dengan Pemilu sebelumnya, dengan sistem pemilihan suara terbanyak. Begitu banyak NGO baik lokal, nasional, dan internasional yang telibat dalam pembekalan Caleg. Maka terdapat sebuah tanggung jawab Caleg yang sudah mendapat pembekalan diri untuk mentranformasikan ilmu ke sesama Caleg dan juga mentranformasikan ilmu tersebut ke masing-masing daerah pemilihan.

Bila kita melihat metode kampanye yang dilakukan hampir seluruh Parpol di Indonesia cenderung dilakukan secara demonstratif melalui pawai massal dan pendekatan pemanfaatan media informasi elektronik. Sejumlah Pemilu yang pernah terlaksana di negara ini memperlihatkan secara nyata, bahwa sejumlah Parpol berlomba-lomba menghadirkan massa yang sangat besar, sehinga para Caleg harus memperhatikan logika dalam pemenangan Pemilu adalah “banyaknya massa belum menentukan banyaknya suara”. Sangat disayangkan, bila Parpol tidak menaruh kadernya yang menjadi calon yang paham mengenai politik pemerintahan, politik kepemimpinan dan manajemen pemerintahan, akhirnya hanya akan mengandalkan kuantitas massa. Maka tidak heran pada saat pemilihan akan timbul perbedaan pendapat diantara traditional voters dengan rational voters.

Ketidaktahuan rakyat atau masyarakat atas calon-calon,

menumbuhkan pemilihan “asal” atau anut grubyug. Situasi ini menjadikan sangan rawan terjadinya money politics.

Peran serta MasyarakatTerpilihnya wakil di parlemen

yang representatif, serta lahirnya kepala pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat dari rakyat adalah buah dari pelaksanaan Pemilu yang berlangsung. Sebagai pelaku utama dalam Pemilu, secara sah dan mutlak, rakyat jelas mempunyai otoritas tertinggi karena persoalan supremasi kekuasaan pun ada pada rakyat. Demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (democracy is government from people, by people and for people) tidak sekadar istilah. Pemaknaannya adalah, dengan supremasi (kedaulatan) ditangan rakyat mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan rakyat harus diberitahukan dan mendapat restu (persetujuan) rakyat.

Demokratisasi sangat bergandengan erat dengan peran serta (partisipasi) masyarakat dan prinsip keterbukaan serta akuntabilitas, niscaya penyelenggaraan pemerintahan/negara berdasarkan atas hukum. Keterwakilan rakyat melalui lembaga yang representatif tidak akan memunculkan gugatan baru berkenaan dengan adanya keraguan rakyat pada persoalan kapabilitas dan kredibilitas wakilnya. Maka tanggung jawab besar yang diemban oleh pemilih adalah mengawasi perwakilan yang telah terpilih, sehingga masyarakat tidak hanya sekadar memberi suara dalam pesta demokrasi.[]

Tertarik dengan isu-isu seputar perempuan dan Islam?

klik di:

www.fahmina.or.id

Page 16: Blakasuta Edisi 18 - 2009

1�

Edisi 18 April 2009

sosok

suhari:

Redam Tawuran Melalui Radio

Lima tahun berkecimpung mengelola radio, banyak pelajaran yang diperolehnya. Salah satunya, mempertahankan radio agar tetap mengudara. Bersama rekan-rekan pemuda lainnya, Suhari telah menorehkan kesan dan sejarah tersendiri. Terutama pada awal kemunculan Palem FM tahun 2003 silam. Tepatnya ketika kali pertama mengudarakan Palem FM. Tidak disangka-sangka, radio mereka mampu menyedot perhatian banyak orang. Apalagi dalam waktu relatif singkat, para penyiar menjadi terkenal mendadak. Dalam sehari, tidak kurang dari 300 atensi terjual. Satu lembar atensi dihargai senilai 250 rupiah. Dari atensi, Suhari juga mampu membayar listrik, bahkan masih ada sisa yang dialokasikan untuk honor para penyiar.

“Selain tersohor, kami juga sangat bangga ketika mampu meredam tawuran antar pemuda desa di wilayah Kecamatan Japara. Masa-masa itu adalah

masa rawan, sebab antar pemuda Desa Cengal, Cikeleng, Bunigeulis,

Suganangan, Salareuma, desa Pamulihan, dan desa-desa lain,

kerapkali ribut tawuran. Tapi sejak Palem FM berdiri,

lambat laun tawuran kian berkurang hingga

tidak ada sama sekali,” ungkapnya bangga.

Dengan seringnya

nongkrong bersama di studio, para pemuda tersebut berkirim sapa dan salam melalui atensi. “Sehingga ikatan emosional antar pemuda

pun terjalin kuat. Hubungan antar mereka terus membaik. Diantara mereka semakin akrab.”

Semula, kawasan mereka dikenal sebagai daerah keributan. Namun, sejak Palem FM ada, keributan itu tidak terdengar lagi. Melalui komunitas pendengarnya, secara tidak langsung Palem FM telah turut memperkuat jalinan ikatan keakraban dan persaudaraan di antara para pemuda. Sayangnya kejayaan Palem FM tidak mampu bertahan lama. Karena kurang dari dua tahun, persoalan pun terus mendera. Mulai dari studio radio yang kerapkali berpindah-pindah dari satu rumah warga ke rumah warga lain, hingga terbentur persoalan status radio gelap. Akhirnya dengan sangat menyesal pada Februari tahun 2005, Palem FM total berhenti beraktivitas. Selain itu juga pengelolanya disibukkan oleh aktivitas masing-masing. Kendati begitu, efek dari keberadaan Palem FM sebagai radio perdamaian antar pemuda desa, hingga kini masih terasa.

Sampai detik ini misalnya, tidak lagi terjadi tawuran. Dengan sisa-sisa personil dan kemampuan seadanya, kini Palem FM berupaya bangkit kembali didukung penuh oleh warga. Dan sejak Maret 2008 lalu, Palem FM dengan status legal, kembali mengudara pada frekuensi komunitas 107,7 FM. Program acaranyapun diformat ulang. Tidak hanya hiburan, radio memuat pula informasi dan pendidikan bagi warga. Sejalan dengan itu, upaya penguatan kelembagaan radio pun dilakukan.

Atas inisiatif warga setahun lalu, maka dibentuklah kelembagaan radio komunitas (Rakom). Di antaranya meliputi Dewan Penyiaran Komunitas (DPK) dan BPPK.

Kini Rakom Palem FM terus mengusung isu-isu seputar pertanian, kepemudaan, dan isu-isu sosial lain seputar di masyarakat. (AD)

Tidak terasa hampir satu tahun, Suhari (33) didaulat sebagai ketua Badan Penyelenggara Penyiaran

Komunitas (BPPK) Radio Komunitas (Rakom) Palem FM. Tepatnya sejak Maret 2008 lalu. Selama Kepemimpinannya, Rakom yang digagas oleh warga di Desa Cengal, Kecamatan Japara, Kabupaten Kuningan, ini diakuinya masih tergolong biasa saja. “Tapi keinginan dan harapan kami agar lebih baik lagi, terus menggelora. Apalagi Rakom benar-benar bermanfaat bagi warga,” ungkap Suhari ketika ditemui Blakasuta, pada Selasa, (31/04).

foto

dok

fahm

ina

Page 17: Blakasuta Edisi 18 - 2009

1�

Edisi 18 April 2009

srikandi

Lebih Memilih Mendengarkan Aspirasi WargaMenjadi seorang pendengar yang baik, memang terdengar mudah dan siapapun mampu melakukannya. Namun sejatinya, tidak semua orang

mampu menjadi pendengar yang baik, yang mampu merekam bermacam keluhan dan masukan. Hal inilah yang hingga kini terus dilakukan Sri

Sudaryani. Sosok yang telah empat tahun menjadi Kabag Bintibluh Bina Mitra Polda Jawa Barat (Jabar), ini lebih memilih berdiskusi, berbagi, dan

mendengarkan keluhan masyarakat.

pun saya siap melayani keluhan masyarakat. Jadi responsif dan transparansi itu perlu.”

fKPM Bukan untuk ArogansiTepat setelah penerapan Polmas dan pembentukan FKPM

di berbagai daerah, isu FKPM yang disalahfahami untuk sikap arogansi merupakan kegelisahan tersendiri. “Kami berusaha membentuk FKPM bukan untuk arogansi, namun persoalannya adalah dari forum itu sendiri. Penerapan dari masyarakat yang memang menggunakan FKPM sebagai arogansi. Dari kami tidak ada konsep berprilaku arogansi,” paparnya.

Jadi ini bukan kesalahan polisi, lanjut dia, tapi lebih kepada pemahaman Polmas yang sangat dangkal. Karena orang-orang diberi peranan tersebut tidak menggunakan wewenangnya. Polisi saja tidak mau menggunakan kesewenang-wenangan. Karena Polmas adalah filosofi dan strategi perpolisian yang mendorong kemitraan sejajar antara polisi dan masyarakat. Nah secara filosofi inilah, tugas polisi untuk menjadi pelindung harus ada prasyarat. Tidak otoriter dan tidak arogan. Jadi secara strategi, masyarakat itu sejajar, bukan sebagai objek. FKPM ini sepertihalnya majlis taklim, siapa yang memberikan Skep? Tidak ada. Begitu juga dengan FKPM, tidak ada. Karena ini kepentingan bersama.

“Jadi, kenapa kita mengikuti itu? Jika kita sadar, kita tidak akan terbawa dalam persepsi itu. Karena dasarnya dari Pamswakarsa (pasukan petugas swakarsa-red). Bahkan tidak perlu memakai Skep, pun tetap bisa berjalan. Karena itu tadi, dasarnya dari Pamswakarsa.”

Dalam setiap forum, Sri berusaha terbuka dan bersikap santai. Baginya, manusia itu tidak ada yang sempurna. Disamping tidak ada pemahaman dari Polrinya sendiri, masyarakat juga memiliki pemahaman sendiri.

“Masyarakat sering menyalahgunakan FKPM untuk mencari dana, itu salah, ada kesalahan juga dalam Skep 737 itu. Makanya saya juga selalu memberikan saran untuk memperbaiki 737 itu. Karena apa? Jerih payah saya, jerih payah Babinkamtibmas yang sudah pro dengan saya, sayang sekali jika dihentikan di tengah program ini,” tegas Sri.(a5)

AKBP sri sudaryani, sH

“Karena dalam konteks diskusi, secara langsung akan tereksplor apa yang

ada dalam pemikiran warga. Seperti-halnya sekarang saya lebih memilih datang ke Cirebon untuk berdiskusi dengan FKPM-FKPM. Padahal di Polda sendiri, sedang proses persiapan untuk Pemilu. Lalu kenapa? karena bagi saya, bertemu secara langsung dengan warga lebih penting, apalagi kesempatannya tidak selalu ada,” ungkap dia ketika ditemui Blakasuta di Hotel Trias Cire-

bon, pada Jumat (19/3/09) lalu. Dari tahun 1979, Sri, demikian

sapaan akrabnya, telah meniti karir di dunia kepolisian. Selama

30 tahun itu pula, Sri menyadari jabatannya pernah dianggap kurang potensial dan populer, terutama di kalangan kepolisian sendiri. Namun setelah muncul program Polmas, anggapan tersebut berubah drastis.

“Tapi tidak semua polisi menganggap jabatan Bina Mitra kurang potensial, karena dalam hal ini tetap tergantung orangnya, tergantung bagaimana dia mencintai pekerjaannya,” ujar dia.

Baginya, Polmas itu dinamis, tidak statis. Dia mendalami Polmas sejak tahun 2004. Sri juga menjadi observer Polmas dalam Master Trainer of TOT, selain itu juga diberdayakan oleh Mabes Polri sebagai trainer di seluruh Indonesia.

“Saya sosialisasi Polmas baik internal maupun eksternal. Dari situ ternyata masih ada pandangan, bahwa FKPM sebagai kepanjangan tangan dari polisi, sedangkan dulu polisi itu masih terkenal dengan arogansinya. Ini salah,” papar Sri, yang mengaku tidak berasal dari keturunan keluarga polisi.

Terkait persoalan komunikasi, bagi Ibu empat putra, ini tidak sekadar kewajiban. Namun sudah menjadi kebutuhan. ”Berkomunikasi dengan rakyat, bagi saya harus terbuka. Saya sangat menikmati kerja saya, bahkan sampai jam 12 malam

Page 18: Blakasuta Edisi 18 - 2009

1�

Edisi 18 April 2009

potensi

Kecamatan Panguragan Kabupaten Cirebon:

Mengais Rupiah dari Barang Bekas

Pertama kali mendengar Panguragan, mungkin yang

terlintas di pikiran kita adalah eksotisme. Namun, kini ada

kesan lain ketika mendengar nama Panguragan. Sejak era

1980-an hingga kini, mata pencaharian masyarakatnya pun

telah bergeser. Dari mayoritas petani, kini merambah ke sektor

usaha mikro. Ya, salah satu daerah yang pendapatan per

kapitanya tertinggi di Cirebon ini, 80% dari masyarakatnya

bergerak di bidang pengolahan limbah non organik menjadi

sesuatu yang bernilai. Di antaranya sampah dapur, kertas,

kaleng, plastik, kain, tulang, besi, karung, dan botol.

Awalnya kami sempat ragu kalau sebagian besar masyarakat Panguragan menekuni usaha pengolahan barang bekas. Kami berpikir, mungkin hanya beberapa orang saja yang menekuni

usaha tersebut. Namun perkiraan kami salah. Sepanjang pinggiran Jalan Raya Panguragan, geliat masyarakatnya kian terasa. Di kanan dan kiri jalan, kios-kios yang menampung barang bekas mulai menyambut kami. Lalu kami berhenti di salah satu rumah warga. Dari depan, yang terlihat hanya tumpukan kertas bekas beragam jenis. Kami mulai menyapa beberapa orang yang tengah sibuk memilah kertas-kertas bekas. Mereka adalah karyawan UD Bina Karya Sejahtera (BKS), yang bergerak di antara kertas dan boks. Ya, di Panguragan, sampah non organik selalu bisa dimanfaatkan. Demikian Edi Susanto Muchidin SE (28), salah satu pengelola UD BKS, meyakinkan kami. Selama empat tahun, Muchidin dibantu keluarganya mengelola kertas bekas.

“Awalnya saya sendirian mengelola usaha ini. Karena semakin berkembang dan saya merasa kerepotan, maka saya mulai mengikutsertakan keluarga. Seperti ibu, bapak, kakak dan adik saya. Sedangkan saya di bagian sellingnya,” ungkap Edi ketika ditemui Blakasuta pada Selasa (31/4). Kini jaringan usahanya kian bertambah, tidak hanya di Cirebon, tapi juga di Surabaya, Serang dan Bekasi.

Membangun sebuah family company, bukanlah hal mudah. Edi berusaha keras agar tidak bentrok, meski dalam satu usaha. Karena selama ini, sebagian besar usaha mikro tidak kuat dalam hal manajemen. “Sebagian besar, mereka melihat pengusaha yang sudah suksesnya. Tetapi setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda. Dalam hal ini, saya mencoba membangun sistem. Pertama, membangun kesadaran. Dan kedua, membangun education,” papar lulusan manajemen bisnis Gunadarma Jakarta ini.

Dalam mengelola sampah kertas, dia harus melalui beberapa proses sebelum akhirnya membuahkan hasil. Dimulai dari pembelian sampah

foto by a5/dok. fahmina

Page 19: Blakasuta Edisi 18 - 2009

1�

Edisi 18 April 2009

potensi

kertas, pembagian kertas menjadi tiga kelas, kertas sampul (mik), kertas jenis warna putih (SWR), dan kertas buram (ONP/CD), hingga mengelompokkan masing-masing varian kertas. Setelah semuanya siap, dia mulai memasarkan kertas tersebut ke Surabaya, Serang dan Jakarta. Sedangkan kertas-kertas bekas didapatnya dari orang perorang, lapak, perusahaan-perusahaan percetakan baik dari Jawa maupun luar Jawa.

“Rata-rata, dalam satu bulan terdapat 12 Ton. Sedangkan pendapatan per bulan, 12 ditambah 4 mik, 8 ton per minggu. Jadi dalam satu bulan ONP, total all item adalah 24 ton ditambah 46 Ton.”

Selama ini karyawan yang bekerja dengannya tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan. Terutama para ibu rumah tangga yang tidak memiliki aktifitas lain selain tugas rumah tangga. ”Karyawan kami terkadang mencapai 30 orang. Kalau karyawan tetap ada 8 orang. Lebih banyak para ibu dan pemuda putus sekolah. Karena kerja di sini, peraturan masalah waktu juga tidak terlalu ketat. Untuk perempuan, kami membayar senilai 25.000 rupiah per hari dan untuk laki-laki 30.000 rupiah per hari. Karena tanggungjawabnya juga beda, lelaki lebih berat,” ungkap Edi.

Muasal Merebaknya Pengolahan Limbah

Di era 1970-an, pemegang kapital di Panguragan didominasi oleh para warga pemilik sawah banyak dan luas. Sedangkan kaum proletar (pinggiran) lebih banyak memilih mengadu nasib ke luar Jawa, seperti ke Sulawesi.

”Karena bagi kaum pinggiran, mereka tidak bisa seperti orang-orang yang memiliki tanah banyak. Mereka merantau dan ketemuan dengan yang namanya limbah, baik organik maupun non-organik. Meskipun mereka memiliki tanah banyak karena warisan misalnya. Namun di era 1980-an, pemegang kapital mulai bergeser, proletar yang memilih merantau itu mulai menunjukkan eksistensinya,” jelas Edi.

Jadi, lanjut Edi, bergeser di sini maksudnya para proletar yang berhasil mulai menunjukkan eksistensinya. Setelah mereka sukses merantau, mereka kembali ke Cirebon sebagai barometer

usaha mereka. Mereka mulai menerapkan usaha pengolahan limbah di tempatnya masing-masing. Selain itu, mereka juga mulai membeli tanah dengan harga di atas rata-rata. Sehingga pemilik tanah, pun tidak bisa menolak karena harganya sangat tinggi.

”Sampai sekarang, pemegang di Panguragan bukan lagi mereka yang memiliki banyak tanah. Karena tanah-tanah mereka sudah mulai habis terjual. Maka sampai sekarang, kalau bicara tanah, harga tanah di sini lebih mahal. Bahkan di kota Cirebon, pun masih tergolong murah jika dibandingkan harga tanah di sini.”

Edi sendiri mengaku, orientasi usahanya bukan hanya pada mereka yang naik sepeda, tapi mereka yang punya lapak. ”Kita sebagai cover-areanya seluruh lapak.

Pemerintah Belum Peka Menangkap Potensi

Masyarakat Panguragan, dari dulu terkenal sangat mandiri. Bahkan me-nurut Edi, untuk membangun desanya, mereka lebih memilih menyibukkan diri mengembangkan usahanya dari pada mengemis dana dari pemerintah. Selama ini, dia mengaku belum pernah menda-pat bantuan dari pemerintah, termasuk pelatihan-pelatihan. Pemerintah hanya membantu membuat jalan raya. ”Malah

kalau skill, biasanya perusahaan sendiri yang melatihnya,” ungkapnya.

Kendati demikian, Edi tetap berharap pemerintah lebih peka lagi. Karena, meskipun usaha yang berkembang di Panguragan bukan termasuk sesuatu yang bernilai dan berpotensi menjadi khas Cirebon, namun masyarakat tetap butuh. Yaitu ketrampilan (skill) untuk membekali masyarakat menghadapi perkembangan zaman. Lebih-lebih jika pemerintah mau memberikan bantuan modal.(a5)

foto by a5/dok. fahmina

Suasana kesibukan di gudang UD BKS

Page 20: Blakasuta Edisi 18 - 2009

�0

Edisi 18 April 2009

fatwa

Jawaban:Saudari Aliyah yang baik, hak dan kewajiban muncul ketika ada

relasi timbal balik antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dalam relasi ini, pemenuhan hak satu pihak adalah kewajiban bagi pihak lain. Hak-hak pekerja berarti kewajiban majikan atau perusahaan untuk memenuhinya, karena majikan adalah pihak yang menjadi pasangan pekerja dalam relasi timbal balik ini. Jika hak-hak ini dipenuhi, maka besar kemungkinan persoalan antara buruh dan majikan dapat diminimalisir. Dalam konteks trafiking, pemenuhan hak buruh oleh majikan dapat memperkecil terjadinya aspek-aspek yang menjurus pada kejahatan trafiking. Dengan dipenuhinya hak-haknya, buruh atau pekerja berarti ditempatkan sebagai manusia utuh, yang memiliki hak-haknya sebagai manusia yang bermartabat.

Hak yang paling mendasar dari pekerja adalah hak atas upah. Hak ini tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan memperoleh hak yang sama tanpa diskriminasi dan pembedaan. Dalam teks-teks hadist tentang upah telah disebutkan betapa hak pekerja atas upah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditunda-tunda dan haram untuk disia-siakan. Pelakunya akan digolongkan sebagai musuh Allah Swt kelak di hari Kiamat.

Sebagai manusia, pekerja juga memiliki hak-hak asasi, yang diakui Islam dan undang-undang yang berlaku, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Contohnya adalah hak untuk tidak

Rubrik ‘fatwa’ ini diperuntukkan sebagai dialog anggota komunitas dengan para pegasuh pesantren di Cirebon, seputar isu sosial kemasyarakatan yang dihadapi oleh salah seorang pengasuh pesantren Arjawinangun, Kempek, Babakan dan Buntet. Untuk nomer ini, jawaban diberikan oleh KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.

Kewajiban Memenuhi Hak-hak Pekerja Perempuan

dieskploitasi, hak untuk tidak dipekerjakan di luar batas kemampuan, hak atas istirahat dan cuti, hak untuk tidak didiskriminasi dalam hal pekerjaan seperti promosi atau di luar pekerjaan seperti kasus-kasus hukum, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, hak untuk memperoleh informasi, hak untuk memperoleh peningkatan pendidikan, hak untuk berorganisasi, dan hak untuk bisa beribadah. Ini semua adalah hak dasar yang harus dinikmati setiap pekerja dan tidak boleh dicabut oleh siapapun dan atas nama apapun.

Dibanding dengan pekerja laki-laki, pekerja perempuan memiliki hak dasar lebih karena tanggung jawab reproduksi manusia yang harus diemban, terkait dengan organ biologis yang hanya dimiliki perempuan, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Ini adalah amanah kemanusiaan yang harus diemban bersama oleh seluruh komponen masyarakat. Karena itu, perempuan harus diberi kesempatan melakukan kerja-kerja reproduksi ini tanpa harus kehilangan hak-hak ekonomi ketika bekerja. Dalam Islam, perempuan yang sedang mengalami menstruasi, atau sedang hamil, melahirkan, dan menyusui memperoleh keringanan untuk tidak melakukan kewajiban-kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, dan tawaf.

Kewajiban adanya mahram untuk perempuan, dalam fiqh, semangatnya adalah memberikan perlindungan kepada perempuan agar tetap bisa melakukan kerja-kerja sosial dengan aman, tanpa gangguan. Semangat yang sama harus diimplementasikan pada wilayah sosial ekonomi, ketika perempuan bekerja atau menjadi

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr Wb,Nama saya Aliyah (22 tahun), saya pernah menjadi seorang TKW yang bekerja menjahit dan membordir di perusahaan

kecil—semacam home industry—di negari Jiran. Selama bekerja, saya mendapati majikan yang cukup baik, berbahasa santun, tidak pernah memarahi ketika terjadi hal-hal yang tidak disukai, dan sering memberi hadiah pada momen-momen tertentu. Gaji pun tidak pernah telat dan diberikan sesuai dengan surat perjanjian kerja, bahkan terkadang dilebihkan sedikit, antara RM20 sampai RM100 setiap bulannya. Tetapi sehari-hari, saya merasa tidak memperoleh kesempatan istirahat yang cukup, karena selalu diminta untuk mengejar target pelanggan, sekalipun majikan tidak pernah memaksa. Di hari Sabtu dan Minggu juga masih tetap dipekerjakan. Termasuk di hari ketika saya mengalami menstruasi. Saya terdaftar sebagai Pekerja Rumah Tangga, padahal saya menjahit dan membordir untuk usaha sang majikan.

Bagaimana sesungguhnya hak-hak pekerja perempuan, karena saya juga mendengar teman-teman saya yang menjadi Pekerja Rumah Tangga di Hongkong memperoleh hak cuti pada hari libur, dan teman-temannya yang bekerja di kilang (perusahaan) di negeri Jiran juga memperoleh cuti haid di setiap bulannya. Sementara saya tidak menikmati itu semua, bagaimana sesungguhnya hak-hak pekerja perempuan itu dibahas dalam fiqh dan undang-undang?

Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.Dari Aliyah, di Kabupaten Indramayu.

Page 21: Blakasuta Edisi 18 - 2009

�1

Edisi 18 April 2009

pekerja. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah sebagai berikut:

“…. Seseorang itu tidak (boleh) dibebani dengan sesuatu di atas kemampuannya….” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233).

Nabi Saw bersabda kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, “Jika datang haid (menstruasi), maka kamu bisa meninggalkan shalat, jika haid itu berhenti, maka kamu mandi dan shalat kembali.” (Hadist diriwayatkan Imam Bukhari).

Teks-teks di atas merupakan pernyataan tegas dari ajaran Islam untuk memberikan perhatian terhadap kerja-kerja reproduksi yang harus dilakukan kaum perempuan, termasuk saat mereka menjadi pekerja, baik sebagai pekerja rumah tangga atau sebagai pekerja perusahaan atau instansi-instansi tertentu.

Sebagai pekerja, dalam undang-undang yang berlaku, perempu-an berhak atas upah yang layak dan proporsional, berhak atas perlin-dungan jam kerja, mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya), jaminan sosial (seperti kesehatan, kecelakaan, kematian, dan hari tua), hak atas tunjangan, hak atas cuti, dan hak atas pesangon apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagai perempuan, pekerja pe-rempuan berhak atas cuti haid, cuti hamil, atau keguguran, perlindun-gan maksimal ketika harus bekerja pada malam hari. Pekerja perempuan juga memperoleh perlindungan untuk tidak diputus hubungan kerja (PHK) karena alasan menikah, hamil, atau melahirkan. Semua hak tersebut tercantum dan dijamin dalam Un-dang-Undang Ketenagakerjaan No-mor 13 Tahun 2003, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmi-grasi RI Nomor 224 Tahun 2003.

Hal penting yang perlu dipertegas dalam kasus Aliyah adalah soal waktu istirahat. Pada Pasal 77, 78, 79, dan 80 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, diatur beberapa hal penting tentang istirahat yang cukup bagi pekerja. Di samping keharusan perlindungan bagi pekerja, baik menyangkut kesehatan maupun kesejahteraan, pada Pasal 79 disebutkan: 1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. 2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: a) Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b) Istirahat mingguan 1 (hari) untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu, atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari jam kerja dalam 1 (satu) minggu. c) Cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; d) Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan, masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Pada Pasal 80, disebutkan: “Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.”

Sementara pasal-pasal khusus untuk pekerja perempuan dituangkan dalam Pasal 81, 82, dan 83. Dalam pasal tersebut diatur

fatwa

mengenai hak istirahat karena sakit haid, hak istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum melahirkan, dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah melahirkan, hak untuk sekali menyusui selama bekerja.

Hak-hak ini harus dipenuhi oleh majikan atau perusahaan agar buruh memiliki keleluasaan bekerja secara maksimal dan berdaya guna. Pemenuhan hak-hak dasar adalah imbalan wajib yang harus diterima seorang buruh.

Bekerja adalah kehormatan. Mempekerjakan orang dan memberikan upah adalah upaya untuk melestarikan kehormatan tersebut. Ibn Hazm pernah mengemukakan suatu pernyataan yang menarik: “Pekerjaan adalah suatu hal yang dihormati. Di dalam hal-hal yang dihormati ada imbalannya. Hak seorang buruh adalah mengambil imbalan itu sesuai dengan pekerjaannya.”

Sebagai konsekuensi dari hak yang diperoleh, buruh wajib melakukan sesuatu untuk kepentingan majikan atau perusahaan sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Kewajiban ini harus dipenuhi untuk melestarikan relasi timbal balik yang seimbang, adil, dan saling menguntungkan. Jika kepentingan majikan tidak dipenuhi, maka pada akhirnya hak-hak buruh pun tidak akan bisa dipenuhi. Keberadaan buruh bergantung kepada adanya pekerjaan

dan yang mempekerjakan (majikan atau perusahaan). Demikian juga sebaliknya, keberadaan majikan atau perusahaan bergantung pada buruh yang bekerja untuk kepentingannya.

Kepentingan buruh seharusnya dipenuhi pada saat kepentingan majikan dihadirkan. Kewajiban pekerja, atau buruh, yang paling mendasar adalah memenuhi pekerjaan yang diwajibkan sesuai

dengan kontrak yang telah disepakati. Dalam istilah fiqh, kewajiban ini merupakan amanah yang harus dipenuhi dan konsekuensi dari hak yang telah dipenuhi.

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk memenuhi amanat-amanat kepada para pemiliknya.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 58)

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah (hasil kesepakatan) akad-akad (kontrak)…” (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 1)

Dalam pernyataan Nabi Muhammad Saw bahwa seseorang ketika dipercaya untuk mengerjakan sesuatu, seharusnya ia mengerjakan dengan penuh semangat dan mempersembahkan yang terbaik, penuh ketelitian, dan sempurna. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi buruh atau pekerja merupakan kewajiban dalam menjaga amanah tersebut. Amanah itu bisa berbentuk pekerjaan, alat-alat produksi, waktu, atau jabatan. Semua ini harus dijaga untuk kepentingan kelestarian dan kemajuan pekerjaan itu sendiri. Jika amanah bisa berjalan tanpa ada kecurangan, maka pada akhirnya kebaikan perusahaan atau pekerjaan akan berdampak pada kesejahteraan buruh, begitu juga sebaliknya.

Dalam ungkapan Nabi Muhammad Saw bahwa setiap orang harus bertanggung jawab terhadap segala yang ada dalam lingkup tanggung jawabnya, sebagaimana hadist berikut: Dari Ibn Umar ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin (terhadap suatu hal), dan setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinannya tersebut.” (Hadist Riwayat Imam Bukhari).

Demikian saudari Aliyah, semoga ini bermanfaat bagi kita semua.[]

Page 22: Blakasuta Edisi 18 - 2009

��

Edisi 18 April 2009

info jaringan

Diskusi bersama KH. Husein Muhammad (Ketua Dewan Kabijakan Fahmina Institute)

dan Film Maker ”Pertaruhan” setelah pemutaran di Studio 21 Grage Mall Cirebon, film ini mengajak penonton untuk resah di lingkungan sekitarnya. Kian resah, kian peka, kian care, hingga berinisiatif melakukan pergerakan untuk kaum perempuan.

Film yang mengangkat sebuah wacana tentang perempuan dan hak atas tubuhnya adalah sesuatu yang berani dan jujur. Para subyek dalam film ini, juga membagi masalah kepada masyarakat untuk memahami apa yang terjadi pada tubuhnya dan bagaimana masyarakat memandang mereka.

Dalam Pertaruhan, dapat terlihat dan terasa bagaimana sebuah pertaruhan yang sebenarnya. Gambaran Pertaruhan yang biasanya selalu mencoba dibaca dari berbagai perspektif, namun film persembahan Kalyana Shira Films dan Kalyana Shira Foundation, ini mencoba mengajak penontonnya dari perspektif nurani. Demikian Nia Dinata, sang Produser, mencoba menjawab beragam

Nonton Film “Pertaruhan”:

Ketika Persoalan Perempuan Dibaca dari Perspektif Nurani

tanya dari penonton.”Kami sebagai movie maker, tentu

saja berharap film ini dapat ditonton orang sebanyak-banyaknya, terlepas dari mereka memiliki perspektif atau tidak. Karena dalam hal ini kami berusaha untuk tidak meremehkan penonton. Karena di film ini juga kita memotret berdasarkan perspektif manusiawi saja dan hati nurani,” papar Nia mencoba menjawab pertanyaan sejumlah penonton di Studio 21 Grage Mall Kota Cirebon, pada Senin (27/4).

Nia juga menyebutkan sejumlah reaksi dari mereka yang telah menonton film tersebut. Dia menyaksikan sendiri pengalaman sejumlah penonton di Jakarta, Bandung dan Bogor. Menurutnya, para penonton yang sebagian besar remaja, usai menonton mereka buru-buru ingin menyapa ibunya via telfon hanya untuk mengungkapkan betapa selama ini dia tidak terlalu memperhatikan pengorbanan ibunya.

”Mereka tidak punya perspektif, baik dari perspektif gender, sosial maupun agama, tapi mereka memberikan komentar. Artinya bahwa,

yang mereka pakai adalah perspektif hati nurani, bukan dari perspektif gender dan lainnya. So just use it, ” tandas Nia.

Sementara KH Husein Muhammad menyatakan, film ini merupakan potret realitas sosial dan realitas seksualitas perempuan yang terdiskriminasi dan tersubordinasi dihadapan laki-laki. Persoalan sunat perempuan misalnya, yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Tetapi kalau kita membaca dengan cermat, mayoritas madhab Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi tegas menghukumi sunat perempuan dengan makrumatun (penghormatan). Dalam film ini kata makrumatun dimaknai oleh Khuzaimah T Yango dengan hukum sunnah. Tetapi Yusuf Qardhawi memaknai makrumatun dengan yustahsanu ’urfan (dianggap baik oleh tradisi), ini berbeda dengan makna sunah dalam hukum fiqh, terangnya.

Pada bulan Juni 2007 ada kejadian yang menghebohkan di Mesir. Seorang perempuan di sunat oleh dokter, lalu meninggal dunia. Mufti Mesir Ali Jum’ah, Syaikh Al-Azhar Thantawi, dan Ikatan Dokter Mesir merespon secara

Fahmina-institute bekerja sama dengan Kalyana Shira Films dan Kalyana Shira

Foundation pada 27-30 April 2009 mempersembahkan film dokumenter

berjudul Pertaruhan. Film yang diputar di Grage 21 Cirebon ini pada launching

hari pertama (27/4) dilanjutkan dengan diskusi bersama Nia Dinata (produser),

Ani Ema Susanti, Ucu Agustin, Lucky Kuswandi (penulis dan sutradara)

dan KH. Husein Muhammad, dengan moderator Alifatul Arifiati dari Fahmina-

institute. Bincang-bincang dengan Nia Dinata dkk juga berlanjut dalam diskusi

terbatas bersama mahasiswa, dosen ISIF dan staf Fahmina-institute di teras

terbuka Fahmina. Berikut catatan Alimah dan Nurul Huda SA dari acara tersebut. foto by Agus/dok. fahmina

Page 23: Blakasuta Edisi 18 - 2009

��

Edisi 18 April 2009

info jaringan

progresif dengan menyatakan bahwa khitan perempuan hukumnya haram. Di Indonesia Ikatan Dokter saat ini juga telah memberikan hukum yang setara dengan Mesir.

Masalah Pekerja Seks Komersial, KH. Husein Muhammad juga menjelaskan bahwa langkah penetapan hukum secara fiqhiyah bukanlah penyelesaian. Ini adalah potret kemiskinan. Pemberangusan dan pengejaran bukanlah penyelesaian masalah. Karena para perempuan itu memperjuangkan kelangsungan hidup dan pendidikan bagi anak-anaknya. Agamawan mestinya kritis dalam melihat kasus-kasus semacam ini. Wilayah abu-abu tidak bisa dicermati secara hitam-putih. Fakta seperti ini merupakan tantangan bagi semua agamawan, sekaligus yang paling mendasar adalah kritik dan bukti nyata kegagalan pemerintah dalam memberikan jaminan kesejahteraan bagi warga negaranya. Yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan menyediakan ruang ekonomi yang menyejahterakan bagi kaum perempuan.

Perempuan Berbicara tentang tubuhnyaFilm dokumenter di Indonesia

masih berada di ranah pinggiran. Meski dari segi jumlah bisa jadi film documenter Indonesia lebih banyak dari film cerita, berbeda dengan film cerita yang telah mulai mendapatkan spot light, film dokumenter masih jauh dari berbagai segi seperti jumlah penonton yang dapat dijangkau, tempat eksebisinya yang sangat terbatas, coverage media dan perhatian publik yang minim.

“Hal ini terjadi karena salah satu alasannya, film dokumenter masih banyak diidentikkan dengan reportase investigatif. Memang kenyataannya banyak film dokumenter di Indonesia yang seperti itu, padahal cerita adalah unsur kekuatan dokumenter yang penting,” ujar Nia.

Melalui workshop film dokumenter Project Change! 2008, 24 pembuat film dokumenter diberikan pelatihan yang mengedepankan isu perempuan dan mengangkatnya dengan cara bercerita yang menarik. Empat pembuat film dokumenter yang terpilih lewat proses

pitching dari workshop yang menjadi kerjasama antara Kalyana Shira Foundation, Dewan Kesenian Jakarta, dan The Body Shop itu kemudian difasilitasi untuk merealisasikan film mereka lewat bendera Kalyana Shira Films.

Tentu saja, film dokumenter ini berbeda dengan film dokumenter yang pernah ada. Film ini berusaha memfokuskan pada sisi protogonisnya, bukan seperti berita yang selalu mencoba melihat dari berbagai sisi.

Seperti kisah suram tentang khitan perempuan. Dalam tayangan tersebut, diperlihatkan sebatang silet dan seorang bayi berusia beberapa bulan. Lalu apa yang terjadi? Bayi yang usianya baru beberapa bulan itu terbaring di atas kasur dengan wajah polos. Sebatang silet berkilat tajam itu kemudian melakukan ”pekerjaannya”. Tak lama, bayi itu menjerit kencang. Tak butuh waktu lama untuk melakukan khitan. Namun khitan ini bukan untuk bayi lelaki. Si bayi kecil adalah perempuan.

Kisah suram tentang khitan perempuan ini terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Sebuah tradisi yang dianggap biasa saja. Sebuah tugas yang dibebankan atas nama agama dan kepercayaan. ”Sunat pada perempuan ada beberapa manfaat, antara lain supaya ia tidak liar dan selingkuh,” ungkap seorang tokoh agama dari sebuah desa di Indramayu, Jawa Barat.

Lalu, apa tujuan dari film tersebut? karya Iwan Setiawan dan M. Ichsan menjadi salah satu bagian dari empat film dokumenter yang tergabung dalam kompilasi berjudul At Stake (pertaruhan). Soal sunat-menyunat perempuan selama ini dianggap hal yang ”biasa”, meski ucapan tokoh agama itu sungguh mengejutkan. Keempat film ini mengutarakan persoalan politik dan wacana tubuh perempuan di Indonesia. Kisah pertama tentang buruh migran Indonesia di Hongkong. Di sana ada cerita mengenai keperawanan dan lesbianisme. Film bertajuk Mengusahakan Cinta ini menampilkan pergulatan masalah Wati dan Ryan.

Kisah kedua adalah permasalahan khitan perempuan. Pendekatan berbeda dilakukan oleh Iwan dan Ichsan. Bagian ini menggunakan beberapa narasumber yang pernah mengalami khitan ataupun

para tokoh yang pro dan kontra mengenai tema ini. Ini juga dibuat dengan menggunakan banyak lapisan.

Kisah ketiga berjudul NonaNyonya karya Lucky Iswandi. Dalam kisah ini, ia menunjukkan bahwa diskriminasi dapat terjadi pada perempuan urban. Mereka yang masih memiliki status nona dan punya uang pun tak selalu mendapat akses untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya. Adapun kisah terakhir adalah tentang mereka yang kalah, perempuan miskin yang harus memecah batu pada siang hari dan melacur pada malam hari demi sedikit rupiah untuk buah hati. Film bertajuk Ragate Anak ini dibesut oleh Ucu Agustin.

Pertaruhan yang menjadi judul antologi dokumenter ini, bercerita tentang isu perempuan lewat wacana tubuh perempuan. “Lima sutradara yang terpilih ini, lewat tema-tema soal mitos keperawanan, sunat perempuan, pekerja seks komersial dan diskriminasi dalam hak kesehatan reproduksi perempuan tidak menikah, dengan jeli membedah wacana soal tubuh perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan lewat pendekatan dokumenter yang bercerita,” ujar Nia.

“Ucu Agustin, Lucky Kuswandi, Iwan Setiawan, M. Ichsan dan Ani Ema Susanti adalah para pembuat dokumenter yang sudah sewajarnya mendapat kesempatan agar karya mereka bisa diakses lebih luas. Oleh karena itu, kami melalui Kalyana Shira Foundation dan Kalyana Shira Films berupaya membawa hasil dokumenter ini ke tingkat yang berbeda dengan melakukan pemutaran perdana di JiFFest pada 8 Desember 2008, memutarkannya di bioskop layar lebar (meski karena keterbatasan dana, rilis film hanya dalam format digital), dan berbagai forum diskusi untuk membicarakan film dan isu film ini,” tambah Nia.

Sementara menurut penanggung-jawab acara, Rozikoh, Fahmina Institute juga memberi kesempatan kepada pe-nonton yang ingin memberikan sumban-gan untuk beasiswa. “Untuk beasiswa, kami memberikan amplop kosong untuk diisi, baru setelah itu dimasukkan ke ko-tak beasiswa yang sudah kami sediakan,” ujar Rozikoh. Selama empat hari itu, beasiswa berhasil terkumpul sebanyak 439.000 rupiah. (a5, NH SA)

Page 24: Blakasuta Edisi 18 - 2009

Bagi Mereka yang Siap MAJU, BERADAB dan BERMARTABAT bersama tradisi PESANTREN

Menerima Mahasiswa BaruTahun Akademik 2009-2010Fakultas Syari’ah

Ahwal Syakhshiyyah (Hukum Keluarga Islam)Ekonomi dan Perbankan Syari’ah

Fakultas UshuluddinTafsir HaditsPemikiran IslamTasawuf

Fakultas TarbiyahPendidikan Agama Islam

Institut Studi Islam Fahmina

BIAYA PENDIDIKAN:Sumbangan Pembangunan Rp. 1.000.000,-SPP Rp. 600.000,-/SemesterUTS dan UAS @ Rp. 75.000,-

1.2.3.

FASILITASPerpustakaanRuang DiskusiInternet Gratis (HotSpot Area)Laboratorium BahasaLaboratorium KomputerLapangan Olah Raga

METODE PEMBELAJARANAktif - Dialogis - Partisipatif

KEGIATAN EKSTRAKajian Kitab KuningPendalaman Bahasa (Arab/Inggris)Diskusi Rutin Ilmiah dan Praktik Penelitian

Rektor

ttd

Prof. Dr. KH. A. Chozin Nasuha, MA

Kontak Person: Marzuki Rais (08159829766)

Dede Wahyudin (085224966360)

Kampus: Jl. Swasembada No. 15 Majasem Cirebon Jawa Barat Telp. 0231-483005

Tempat PendaftaranJl. Suratno Gg. Sepakat No. 32 CirebonJawa Barat 45124 Telp./Fax. 0231-203789

SK. Dirjen Pendis Depag No. Dj. I/495/2007

ISIF Men

yediak

an

BeaSISwa ba

gi

Mahasi

swa yan

g

BerpreSta

SI

Website: http://isif.fahmina.or.id e-Mail: [email protected]

PERIODE PERTAMA:

15 April - 15 Juli 2009Ujian Tulis & Wawancara:

18 Juli 2009Pengumuman:

20 Juli 2009

WAKTU PENDAFTARANPERIODE KEDUA:

25 Juli - 02 Oktober 2009Ujian Tulis & Wawancara: 03 Oktober 2009Pengumuman: 05 Oktober 2009

SYARAT PENDAFTARANMengisi FormulirMenyerahkan Foto Copy Ijazah SMU,

MA, SMK atau sederajat yang dilegalisir 3 eksemplar

Menyerahkan pas photo 3x4 (2 lembar)Membayar biaya administrasi pendaftaran dan tes masuk Rp. 100.000,-Kuliah Ta’aruf Rp. 100.000,-