23
Pterygium pada Okuler Dextra Kiki Puspitasari Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 1151 Pendahuluan Gangguan pada mata sering tidak disadari pada sebagian orang karena menganggap mata tetap bekerja seperti biasa namun, gangguan mata perlu segera diketahui agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Mata merupakan panca indra yang memiliki tugas penting untuk menopang setiap aktivitas. Layaknya seseorang yang bekerja adakalanya sakit, hal ini juga terjadi pada mata yang mengalami gangguan. Anamnesis Identitas seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa . Keluhan utama yang dikeluhkan yaitu mata kanan sakit dan sedikit merah, didapatkan benjolan putih dekat limbus. Lalu, r iwayat penyakit sekaran g. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mat a hari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya. 1

Blok 23

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asdfhjkl

Citation preview

Pterygium pada Okuler DextraKiki Puspitasari

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 1151Pendahuluan

Gangguan pada mata sering tidak disadari pada sebagian orang karena menganggap mata tetap bekerja seperti biasa namun, gangguan mata perlu segera diketahui agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Mata merupakan panca indra yang memiliki tugas penting untuk menopang setiap aktivitas. Layaknya seseorang yang bekerja adakalanya sakit, hal ini juga terjadi pada mata yang mengalami gangguan.Anamnesis

Identitas seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa. Keluhan utama yang dikeluhkan yaitu mata kanan sakit dan sedikit merah, didapatkan benjolan putih dekat limbus. Lalu, riwayat penyakit sekarang.Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.

Riwayat lingkungan dan kebiasaan seperti lingkungan yang terpapar sinar UV dan kebiasaan hidup karena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang mengenainya.1Pemeriksaaan fisikPada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler danflat. Pterygium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.1Pemeriksaan penunjangPemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya degenerasi hialin pada stromanya.1Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 2Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya. Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi 2Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak 2

Gambar 1. Konjungtiva

Anatomi Kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

2. Membran Bowman

Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

3. Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 2

4. Membrane descement

merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.25. Endotel

berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. 2

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 2

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2

Working Diagnosis

Pterigium (pterygium) adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium sering mengenai kedua mata.2Epidemologi Pterigium

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.3Di Indonesia, hasil survei Departemen Kesehatan RI Tahun 1982 pterigium menempati urutan ketiga terbesar (8,79 %) dari penyakit mata. Hasil survei nasional tahun 1993-1996 tentang angka kesakitan mata di 8 propinsi di Indonesia menempatkan pterigium pada urutan kedua (13,9 %).3 Gizzard dkk dalam penelitian di Indonesia menemukan bahwa angka prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi Sumatra.4 Sedangkan dari survei kesehatan indra penglihatan dan pendengaran tahun 1995 prevalensi penyakit mata di Sulawesi Utara menempatkan pterigium pada urutan pertama (17,9 %).5 Mandang pada tahun 1970 menemukan 14,69 % pterigium khususnya di 19 desa dan 17,50 % pterigium di 3 ibukota kecamatan di Kabupaten Minahasa. Di Minahasa, pterigium merupakan penyakit mata nomor 3 sesudah kelainan refraksi dan penyakit infeksi luar. Mangindaan IAN, Bustani NM melaporkan 21,35 % pterigium di 2 desa di Kabupaten Minahasa Utara, hasil 12,92 % pada pria dan 8,43 % pada wanita, 9,55 % berusia di atas 50 tahun, dengan pekerjaan petani sebesar 10,11 % terbanyak adalah pterigium stadium 3 yaitu 42,11 % yang tumbuh di bagian nasal sebesar 55,26 %.3Etiologi Pterigium

Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari, lingkungan dengan angin yang banyak dan udara yang panas selain itu faktor genetik dicurigai sebagai faktor predisposisi.4,5Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.

1. Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dan proliferasi sel.

2. Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal.5Patofisiologi PterigiumEtiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.4Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 4,5Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 4Gejala dan Tanda PterigiumGejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan visus, serta masalah kosmetik.6Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai kornea, jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan, umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrate kecil-kecil yang disebut islet of Fuch. Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita.7,8,9Klasifikasi Pterigium dibagi menjadi dua, yaitu:1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.Pterigium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu pterigium progresif dan pterygium regresif: 8 Pterigium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium). Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya akan membentuk membran yang tidak hilang.

Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : 9 Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.

Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)

Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.Diagnosa Banding PterigiumPseudopterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.5,6

Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah 5 Tabel 1. Perbedaan Pterigium Dengan PseudopterigiumPerbedaan Pterigium dan Pseudopterigium

PterigiumPseudopterigium

EtiologiProses degenerasiProses inflamasi

UmurSering terjadi pada orang tuaTerjadi pada semua umur

LokasiPada konjungtiva nasal atau temporalDapat terjadi pada semua sisi dari konjungtiva

StadiumProgresif, regresif atau stationerBiasanya stasioner

Tes sondaseNegativePositif

Pinguekula

Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk segitiga dengan puncak di perifer dasar di limbus kornea, berwarna kuning keabu-abuan dan terletak di celah kelopak mata. Timbul akibat iritasi oleh angin, debu dan sinar matahari yang berlebihan. Biasanya pada orang dewasa yang berumur kurang lebih 20 tahun. Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan elastik kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang.1

Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat hanya dua lapis sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma berdegenerasi hialin yang amorf kadang-kadang terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus. Dapat terlihat penimbunan kalsium pada lapisan permukaan. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam Pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar. Tidak ada pengobatan yang khas, tetapi bila terdapat gangguan kosmetik dapat dilakukan pembedahan pengangkatan.1Penatalaksanaan PterigiumNon Farmakologi

Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.Farmakologi

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.BedahPada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.Indikasi Operasi Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus

Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6Teknik Pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel.Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.9Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi.Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.9Teknik Autograft Konjungtiva Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif.Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut.Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut.Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.9(a) Pterygium(b) Pterygium diangkat(c) daerah yang diangkat(d) Konjungtiva di daerah yang tidak terkena sinar UV (misal dibawah palpebra superior) diangkat(e) konjungtiva tersebut ditransplantGambar 8. Teknik autograft konjungtiva.8Cangkok Membran AmnionMencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium.Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarianbulbar konjungtiva.Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya.Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.9Terapi Tambahan

Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterigium.Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas.Efeknya mirip dengan iradiasi beta.Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan.Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi.Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia.Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.

2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

3. Sinar Beta

4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.6Komplikasi Pterigium

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

Gangguan penglihatan

Mata kemerahan

Iritasi Gangguan pergerakan bola mata.

Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea Dry Eye sindrom 32. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

Infeksi

Ulkus kornea

Graft konjungtiva yang terbuka

Diplopia

Adanya jaringan parut di kornea 3Pencegahan dan Prognosa PterigiumPada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.6Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. 6 Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi. 6Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata, sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.

Kesimpulan

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain rasa perih, terganjal, sensasi benda asing, silau, berair, gangguan visus, serta masalah kosmetik.Daftar pustaka 1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 117.2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya Medika. Jakarta. 2000;hal 120-25.3. Gazzard G, Pterygium in Indonesia : prevalence, severity and risk factors. Br. J Ophtalmol. 2002 ; 86 : 1341-46.

4. Ilyas S. Mata Merah dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003;hal 150-57.5. American Academy Of Ophthalmology. 2005-2006. Base and Clinical Science Course ,section 8, External Disease and Corne. p:344,403.6. Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology. Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age international Limited Publisher.p: 443-457

7. T H Tan Donald et All. 2005. Pterigium.Clinical Ophthalmology. An Asian Perspective Chapter 3.2. Saunder Elsevier.Singapore. p: 207-214

8. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya Medika. Jakarta. 2000.hal;76-9. 9. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Binarupa Aksara. Jakarta.2003;hal:80-9.1