110
1 BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG BANGUNAN GEDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT , Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan Bangunan Gedung harus dilaksanakan secara tertib, sesuai dengan fungsinya, dan memenuhi persyaratan administratif dan teknis Bangunan Gedung agar menjamin keselamatan penghuni dan lingkungannya; b. bahwa dalam rangka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 109 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, perlu menyusun Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung; Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4033); 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4268);

BPK Perwakilan Provinsi Bangka Belitung - BUPATI BANGKA … · 2016. 1. 8. · Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ... 10. Bangunan Gedung

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BUPATI BANGKA BARAT

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

    NOMOR 3 TAHUN 2014

    TENTANG

    BANGUNAN GEDUNG

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    BUPATI BANGKA BARAT ,

    Menimbang: a. bahwa penyelenggaraan Bangunan Gedung harus dilaksanakan

    secara tertib, sesuai dengan fungsinya, dan memenuhi persyaratan

    administratif dan teknis Bangunan Gedung agar menjamin

    keselamatan penghuni dan lingkungannya;

    b. bahwa dalam rangka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 109

    ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang

    Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002

    tentang Bangunan Gedung, perlu menyusun Peraturan Daerah

    tentang Bangunan Gedung;

    c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada

    huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang

    Bangunan Gedung;

    Mengingat: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945;

    2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan

    Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2000 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 4033);

    3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);

    4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan

    Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten

    Bangka Barat dan Kabupaten Belitung Timur di Provinsi Kepulauan

    Bangka Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

    2003 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 4268);

  • 2

    5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

    Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

    125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan

    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

    6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

    7. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan

    Pelaksana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

    Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

    83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532 );

    8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian

    Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah

    Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 82 & Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

    9. Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 2 Tahun 2008

    tentang Kewenangan Kabupaten Bangka Barat (Lembaran Daerah

    Kabupaten Bangka Barat Tahun 2008 Nomor 1 Seri D);

    10. Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 1 Tahun 2014

    tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka Barat

    Tahun 2014-2034 (Lembaran Daerah Kabupaten Bangka Barat

    Tahun 2014 Nomor 1 Seri E);

    Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

    dan

    BUPATI BANGKA BARAT

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG.

    BAB I

    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

    1. Daerah adalah Kabupaten Bangka Barat.

    2. Pemerintah Daerah adalah Kabupaten Bangka Barat dan Perangkat Daerah

    sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

    3. Bupati adalah Bupati Bangka Barat.

  • 3

    4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bangka Barat.

    5. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik

    Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

    sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945.

    6. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu

    dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas

    dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia

    melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan

    keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

    7. Bangunan Gedung Umum adalah Bangunan Gedung yang fungsinya untuk

    kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, fungsi usaha, maupun

    fungsi sosial dan budaya.

    8. Bangunan Gedung Tertentu adalah Bangunan Gedung yang digunakan untuk

    kepentingan umum dan Bangunan Gedung fungsi khusus, yang dalam

    pembangunan dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus

    dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak

    penting terhadap masyarakat dan lingkungannya.

    9. Bangunan Gedung adat merupakan Bangunan Gedung yang didirikan

    menggunakan kaidah/norma adat masyarakat setempat sesuai dengan budaya

    dan sistem nilai yang berlaku, untuk dimanfaatkan sebagai wadah kegiatan

    adat.

    10. Bangunan Gedung dengan gaya/langgam tradisional merupakan Bangunan

    Gedung yang didirikan menggunakan kaidah/norma tradisional masyarakat

    setempat sesuai dengan budaya yang diwariskan secara turun temurun, untuk

    dimanfaatkan sebagai wadah kegiatan masyarakat sehari-hari selain dari

    kegiatan adat.

    11. Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari fungsi Bangunan Gedung

    berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan

    teknisnya.

    12. Keterangan Rencana Kota adalah informasi tentang persyaratan tata bangunan

    dan lingkungan yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah pada lokasi

    tertentu.

    13. Izin Mendirikan Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat IMB adalah

    perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bangka Barat kepada

    Pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas,

    mengurangi dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan persyaratan

    administratif dan persyaratan teknis.

    14. Permohonan Izin Mendirikan Bangunan Gedung adalah permohonan yang

    dilakukan Pemilik Bangunan Gedung kepada Pemerintah Daerah untuk

    mendapatkan izin mendirikan Bangunan Gedung.

    15. Garis Sempadan Bangunan Gedung adalah garis maya pada persil atau tapak

    sebagai batas minimum diperkenankannya didirikan Bangunan Gedung,

    dihitung dari garis sempadan jalan, tepi sungai atau tepi pantai atau jaringan

    tegangan tinggi atau garis sempadan pagar atau batas persil atau tapak.

  • 4

    16. Koefisien Dasar Bangunan, yang selanjutnya disingkat KDB adalah angka

    persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar Bangunan Gedung

    dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai

    rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

    17. Koefisien Lantai Bangunan, yang selanjutnya disingkat KLB adalah angka

    persentase perbandingan antara luas seluruh lantai Bangunan Gedung dan

    luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata

    ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

    18. Koefisien Daerah Hijau, yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka

    persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar Bangunan

    Gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas tanah

    perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan

    rencana tata bangunan dan lingkungan.

    19. Koefisien Tapak Basemen, yang selanjutnya disingkat KTB adalah angka

    persentase perbandingan antara luas tapak basemen dan luas lahan/tanah

    perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan

    rencana tata bangunan dan lingkungan.

    20. Pedoman Teknis adalah acuan teknis yang merupakan penjabaran lebih lanjut

    dari peraturan pemerintah dalam bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan

    Bangunan Gedung.

    21. Standar Teknis adalah standar yang dibakukan sebagai standar tata cara,

    standar spesifikasi, dan standar metode uji baik berupa Standar Nasional

    Indonesia maupun standar internasional yang diberlakukan dalam

    penyelenggaraan Bangunan Gedung.

    22. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, yang selanjutnya disingkat RTRWK

    adalah perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten sebagaimana diatur dalam

    Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 1 Tahun 2014 tentang

    Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka Barat Tahun 2014-2034.

    23. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan, yang selanjutnya disebut

    RDTR adalah penjabaran dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota ke dalam

    rencana pemanfaatan kawasan perkotaan.

    24. Peraturan Zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan

    pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap

    blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.

    25. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan, yang selanjutnya disingkat RTBL

    adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk mengendalikan

    pemanfaatan ruang yang memuat rencana program bangunan dan lingkungan,

    rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan

    pengendalian rencana dan pedoman pengendalian pelaksanaan.

    26. Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pembangunan Bangunan

    Gedung yang meliputi proses Perencanaan Teknis dan pelaksanaan konstruksi

    serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran.

    27. Perencanaan Teknis adalah proses membuat gambar teknis Bangunan Gedung

    dan kelengkapannya yang mengikuti tahapan prarencana, pengembangan

    rencana dan penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana arsitektur,

    rencana struktur, rencana mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar,

  • 5

    rencana tata ruang-dalam/interior serta rencana spesifikasi teknis, rencana

    anggaran biaya, dan perhitungan teknis pendukung sesuai pedoman dan

    Standar Teknis yang berlaku.

    28. Pertimbangan Teknis adalah pertimbangan dari Tim Ahli Bangunan Gedung

    yang disusun secara tertulis dan profesional terkait dengan pemenuhan

    persyaratan teknis Bangunan Gedung baik dalam proses pembangunan,

    pemanfaatan, pelestarian, maupun pembongkaran Bangunan Gedung.

    29. Pemanfaatan Bangunan Gedung adalah kegiatan memanfaatkan Bangunan

    Gedung sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan, termasuk kegiatan

    pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.

    30. Pemeriksaan Berkala adalah kegiatan pemeriksaan keandalan seluruh atau

    sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana

    dan sarananya dalam tenggang waktu tertentu guna menyatakan kelaikan

    fungsi Bangunan Gedung.

    31. Laik Fungsi adalah suatu kondisi Bangunan Gedung yang memenuhi

    persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi

    Bangunan Gedung yang ditetapkan.

    32. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan Bangunan Gedung beserta

    prasarana dan sarananya agar selalu Laik Fungsi.

    33. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian Bangunan

    Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar

    Bangunan Gedung tetap Laik Fungsi.

    34. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta pemeliharaan

    Bangunan Gedung dan lingkungannya untuk mengembalikan keandalan

    bangunan tersebut sesuai dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut

    periode yang dikehendaki.

    35. Pemugaran Bangunan Gedung yang dilindungi dan dilestarikan adalah kegiatan

    memperbaiki, memulihkan kembali Bangunan Gedung ke bentuk aslinya.

    36. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh atau

    sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana

    dan sarananya.

    37. Penyelenggara Bangunan Gedung adalah pemilik, Penyedia Jasa Konstruksi,

    dan Pengguna Bangunan Gedung.

    38. Pemilik Bangunan Gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau

    perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai Pemilik Bangunan Gedung.

    39. Pengguna Bangunan Gedung adalah Pemilik Bangunan Gedung dan/atau

    bukan Pemilik Bangunan Gedung berdasarkan kesepakatan dengan Pemilik

    Bangunan Gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola Bangunan Gedung

    atau bagian Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

    40. Penyedia Jasa Konstruksi Bangunan Gedung adalah orang perorangan atau

    badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi bidang

    Bangunan Gedung, meliputi perencana teknis, pelaksana konstruksi,

    pengawas/manajemen konstruksi, termasuk Pengkaji Teknis Bangunan

    Gedung dan Penyedia Jasa Konstruksi lainnya.

    41. Tim Ahli Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat TABG adalah tim yang

    terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung

  • 6

    untuk memberikan Pertimbangan Teknis dalam proses penelitian dokumen

    rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan

    masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaraan Bangunan Gedung

    Tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus

    disesuaikan dengan kompleksitas Bangunan Gedung Tertentu tersebut.

    42. Pengkaji Teknis adalah orang perorangan, atau badan hukum yang mempunyai

    sertifikat keahlian untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi

    Bangunan Gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    43. Pengawas adalah orang yang mendapat tugas untuk mengawasi pelaksanaan

    mendirikan bangunan sesuai dengan IMB yang diangkat oleh Pemilik Bangunan

    Gedung.

    44. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha, dan

    lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang Bangunan Gedung,

    termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan

    dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung.

    45. Peran Masyarakat dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah berbagai

    kegiatan masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak dan keinginan

    masyarakat untuk memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan,

    menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta melakukan Gugatan

    Perwakilan berkaitan dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung.

    46. Dengar Pendapat Publik adalah forum dialog yang diadakan untuk

    mendengarkan dan menampung aspirasi masyarakat baik berupa pendapat,

    pertimbangan maupun usulan dari masyarakat umum sebagai masukan untuk

    menetapkan kebijakan Pemerintah/Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan

    Bangunan Gedung.

    47. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan

    Bangunan Gedung yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili

    kelompok dalam mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri dan

    sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang memiliki kesamaan fakta atau

    dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

    48. Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung adalah kegiatan pengaturan,

    pemberdayaan, dan pengawasan dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan

    yang baik sehingga setiap penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat

    berlangsung tertib dan tercapai keandalan Bangunan Gedung yang sesuai

    dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.

    49. Pengaturan adalah penyusunan dan pelembagaan peraturan perundang-

    undangan, pedoman, petunjuk, dan Standar Teknis Bangunan Gedung sampai

    di daerah dan operasionalisasinya di masyarakat.

    50. Pemberdayaan adalah kegiatan untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan

    hak, kewajiban, dan peran para Penyelenggara Bangunan Gedung dan aparat

    Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung.

    51. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan

    perundang-undangan bidang Bangunan Gedung dan upaya penegakan hukum.

  • 7

    BAB II

    MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

    Bagian Kesatu

    Maksud

    Pasal 2

    Peraturan Daerah ini dimaksudkan sebagai pemenuhan persyaratan administrasi

    dan teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung di daerah.

    Bagian Kedua

    Tujuan

    Pasal 3

    Peraturan Daerah ini bertujuan untuk:

    a. mewujudkan Bangunan Gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata

    Bangunan Gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya;

    b. mewujudkan tertib penyelenggaraan Bangunan Gedung yang menjamin

    keandalan teknis Bangunan Gedung dari segi keselamatan, kesehatan,

    kenyamanan, dan kemudahan;

    c. mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung.

    Bagian Ketiga

    Ruang Lingkup

    Pasal 4

    (1) Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi ketentuan mengenai fungsi dan

    Klasifikasi Bangunan Gedung, persyaratan Bangunan Gedung,

    penyelenggaraan Bangunan Gedung, TABG, Peran Masyarakat, pembinaan

    dalam penyelenggaraan Bangunan Gedung, sanksi administratif, penyidikan,

    pidana, dan peralihan.

    (2) Untuk Bangunan Gedung fungsi khusus, dalam hal persyaratan,

    penyelenggaraan dan pembinaan tidak diatur dalam Peraturan Daerah ini.

    BAB III

    FUNGSI DAN KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG

    Bagian Kesatu

    Fungsi Bangunan Gedung

    Pasal 5

    (1) Fungsi Bangunan Gedung merupakan ketetapan mengenai pemenuhan

    persyaratan teknis Bangunan Gedung ditinjau dari segi tata bangunan dan

    lingkungan maupun keandalannya serta sesuai dengan peruntukan lokasi yang

    diatur dalam RTRW, RDTR dan/atau RTBL.

  • 8

    (2) Fungsi Bangunan Gedung meliputi :

    a. fungsi hunian;

    b. fungsi keagamaan;

    c. fungsi usaha;

    d. fungsi sosial dan budaya;

    e. fungsi khusus dan lebih dari satu fungsi.

    Pasal 6

    (1) Bangunan Gedung fungsi hunian dengan fungsi utama sebagai tempat manusia

    tinggal dapat berbentuk:

    a. bangunan rumah tinggal tunggal;

    b. bangunan rumah tinggal deret;

    c. bangunan rumah tinggal susun; dan

    d. bangunan rumah tinggal sementara.

    (2) Bangunan Gedung fungsi keagamaan dengan fungsi utama sebagai tempat

    manusia melakukan ibadah keagamaan dapat berbentuk:

    a. bangunan masjid, mushalla, langgar, surau;

    b. bangunan gereja, kapel;

    c. bangunan pura;

    d. bangunan vihara;

    e. bangunan kelenteng; dan

    f. bangunan keagamaan dengan sebutan lainnya.

    (3) Bangunan Gedung fungsi usaha dengan fungsi utama sebagai tempat manusia

    melakukan kegiatan usaha dapat berbentuk:

    a. Bangunan Gedung perkantoran seperti bangunan perkantoran non-

    pemerintah dan sejenisnya;

    b. Bangunan Gedung perdagangan seperti bangunan pasar, pertokoan, pusat

    perbelanjaan, mal dan sejenisnya;

    c. Bangunan Gedung pabrik;

    d. Bangunan Gedung perhotelan seperti bangunan hotel, motel, hostel,

    penginapan dan sejenisnya;

    e. Bangunan Gedung wisata dan rekreasi seperti tempat rekreasi, bioskop

    dan sejenisnya;

    f. Bangunan Gedung terminal seperti bangunan stasiun kereta api, terminal

    bus angkutan umum, halte bus, terminal peti kemas, pelabuhan laut,

    pelabuhan sungai, pelabuhan perikanan, bandar udara;

    g. Bangunan Gedung tempat penyimpanan sementara seperti bangunan

    gudang, gedung parkir dan sejenisnya; dan

    h. Bangunan Gedung tempat penangkaran atau budidaya seperti bangunan

    sarang burung walet, bangunan peternakan sapi dan sejenisnya.

    (4) Bangunan Gedung sosial dan budaya dengan fungsi utama sebagai tempat

    manusia melakukan kegiatan sosial dan budaya dapat berbentuk:

    a. Bangunan Gedung pelayanan pendidikan seperti bangunan sekolah taman

    kanak kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi,

    kursus dan semacamnya;

  • 9

    b. Bangunan Gedung pelayanan kesehatan seperti bangunan puskesmas,

    poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit termasuk panti-panti dan

    sejenisnya;

    c. Bangunan Gedung kebudayaan seperti bangunan museum, gedung

    kesenian, Bangunan Gedung adat dan sejenisnya;

    d. Bangunan Gedung laboratorium seperti bangunan laboratorium fisika,

    laboratorium kimia, dan laboratorium lainnya, dan

    e. Bangunan Gedung pelayanan umum seperti bangunan stadion, gedung

    olah raga dan sejenisnya.

    (5) Bangunan fungsi khusus dengan fungsi utama yang memerlukan tingkat

    kerahasiaan tinggi untuk kepentingan nasional dan/atau yang mempunyai

    tingkat risiko bahaya yang tinggi.

    (6) Bangunan Gedung lebih dari satu fungsi dengan fungsi utama kombinasi lebih

    dari satu fungsi dapat berbentuk:

    a. bangunan rumah dengan toko (ruko);

    b. bangunan rumah dengan kantor (rukan);

    c. Bangunan Gedung mal-apartemen-perkantoran;

    d. Bangunan Gedung mal-apartemen-perkantoran-perhotelan;

    e. dan sejenisnya.

    Pasal 7

    (1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat

    dilengkapi prasarana bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan kinerja

    bangunan gedung.

    (2) Prasarana bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

    konstruksi yang berada menuju/pada lahan bangunan gedung atau kompleks

    bangunan gedung.

    (3) Prasarana bangunan gedung sesuai dengan SNI yang berlaku dan edisi baru.

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai prasarana bangunan gedung diatur dengan

    Peraturan Bupati.

    Bagian Kedua

    Klasifikasi Bangunan Gedung

    Pasal 8

    (1) Klasifikasi Bangunan Gedung menurut kelompok fungsi bangunan didasarkan

    pada pemenuhan syarat administrasi dan persyaratan teknis Bangunan

    Gedung.

    (2) Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

    diklasifikasikan berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat

    risiko kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan/atau kepemilikan.

    (3) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas meliputi:

    a. Bangunan Gedung sederhana, yaitu Bangunan Gedung dengan karakter

    sederhana serta memiliki kompleksitas dan teknologi sederhana dan/atau

    Bangunan Gedung yang sudah memiliki desain prototipe;

  • 10

    b. Bangunan Gedung tidak sederhana, yaitu Bangunan Gedung dengan

    karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan atau teknologi

    tidak sederhana; serta

    c. Bangunan Gedung khusus, yaitu Bangunan Gedung yang memiliki

    penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan

    pelaksanaannya memerlukan penyelesaian/teknologi khusus.

    (4) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi meliputi:

    a. Bangunan Gedung darurat atau sementara, yaitu Bangunan Gedung yang

    karena fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan sampai dengan 5

    (lima) tahun;

    b. Bangunan Gedung semi permanen, yaitu Bangunan Gedung yang karena

    fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan di atas 5 (lima) sampai

    dengan 10 (sepuluh) tahun; serta

    c. Bangunan Gedung permanen, yaitu Bangunan Gedung yang karena

    fungsinya direncanakan mempunyai umur layanan di atas 20 (dua puluh)

    tahun.

    (5) Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran meliputi:

    a. Tingkat risiko kebakaran rendah, yaitu Bangunan Gedung yang karena

    fungsinya, disain penggunaan bahan dan komponen unsur pembentuknya,

    serta kuantitas dan kualitas bahan yang ada di dalamnya tingkat mudah

    terbakarnya rendah.

    b. Tingkat risiko kebakaran sedang, yaitu Bangunan Gedung yang karena

    fungsinya, disain penggunaan bahan dan komponen unsur pembentuknya,

    serta kuantitas dan kualitas bahan yang ada di dalamnya tingkat mudah

    terbakarnya sedang; serta

    c. Tingkat risiko kebakaran tinggi, yaitu Bangunan Gedung yang karena

    fungsinya, dan disain penggunaan bahan dan komponen unsur

    pembentuknya, serta kuantitas dan kualitas bahan yang ada di dalamnya

    tingkat mudah terbakarnya sangat tinggi dan/atau tinggi,

    d. Ketentuan angka klasifikasi risiko bahaya kebakaran mengikuti ketentuan

    peraturan perundang-undangan.

    (6) Klasifikasi berdasarkan zonasi gempa meliputi tingkat zonasi gempa

    berdasarkan tingkat kerawanan bahaya gempa.

    (7) Klasifikasi berdasarkan lokasi meliputi:

    a. Bangunan Gedung di lokasi renggang, yaitu Bangunan Gedung yang pada

    umumnya terletak pada daerah pinggiran/luar kota atau daerah yang

    berfungsi sebagai resapan.

    b. Bangunan Gedung di lokasi sedang, yaitu Bangunan Gedung yang pada

    umumnya terletak di daerah permukiman

    c. Bangunan Gedung di lokasi padat, yaitu Bangunan Gedung yang pada

    umumnya terletak di daerah perdagangan/pusat kota.

    (8) Klasifikasi berdasarkan ketinggian Bangunan Gedung meliputi:

    a. Bangunan Gedung bertingkat rendah, yaitu Bangunan Gedung yang

    memiliki jumlah lantai sampai dengan 4 lantai;

    b. Bangunan Gedung bertingkat sedang, yaitu Bangunan Gedung yang

    memiliki jumlah lantai mulai dari 5 lantai sampai dengan 8 lantai; serta

  • 11

    c. Bangunan Gedung bertingkat tinggi, yaitu Bangunan Gedung yang memiliki

    jumlah lantai lebih dari 8 lantai.

    (9) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan meliputi:

    a. Bangunan Gedung milik negara, yaitu Bangunan Gedung untuk keperluan

    dinas yang menjadi/akan menjadi kekayaan milik negara dan diadakan

    dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana APBN, dan/atau APBD,

    dan/atau sumber pembiayaan lain, seperti: gedung kantor dinas, gedung

    sekolah, gedung rumah sakit, gudang, rumah negara, dan lain-lain;

    b. Bangunan Gedung milik perorangan, yaitu Bangunan Gedung yang

    merupakan kekayaan milik pribadi atau perorangan dan diadakan dengan

    sumber pembiayaan dari dana pribadi atau perorangan; serta

    c. Bangunan Gedung milik badan usaha, yaitu Bangunan Gedung yang

    merupakan kekayaan milik badan usaha non pemerintah dan diadakan

    dengan sumber pembiayaan dari dana badan usaha non pemerintah

    tersebut.

    Pasal 9

    (1) Penentuan Klasifikasi Bangunan Gedung atau bagian dari gedung ditentukan

    berdasarkan fungsi yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan atau

    perubahan yang diperlukan pada Bangunan Gedung.

    (2) Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung harus sesuai dengan peruntukan

    lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR, dan/atau RTBL.

    (3) Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung diusulkan oleh Pemilik Bangunan

    Gedung dalam bentuk rencana teknis Bangunan Gedung melalui pengajuan

    permohonan izin mendirikan Bangunan Gedung.

    (4) Penetapan fungsi Bangunan Gedung dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui

    penerbitan IMB berdasarkan RTRW, RDTR dan/atau RTBL, kecuali Bangunan

    Gedung fungsi khusus oleh Pemerintah.

    Pasal 10

    (1) Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung dapat diubah dengan mengajukan

    permohonan IMB baru.

    (2) Perubahan fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) diusulkan oleh pemilik dalam bentuk rencana teknis Bangunan

    Gedung sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW, RDTR

    dan/atau RTBL.

    (3) Perubahan fungsi dan/atau Klasifikasi Bangunan Gedung harus diikuti dengan

    pemenuhan persyaratan administratif dan persyaratan teknis Bangunan

    Gedung yang baru.

    (4) Perubahan fungsi dan/atau Klasifikasi Bangunan Gedung harus diikuti dengan

    perubahan data fungsi dan/atau Klasifikasi Bangunan Gedung.

    (5) Perubahan fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung ditetapkan oleh

    Pemerintah Daerah dalam izin mendirikan Bangunan Gedung, kecuali

    Bangunan Gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah.

  • 12

    BAB IV

    PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 11

    (1) Setiap Bangunan Gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan

    persyaratan teknis sesuai dengan fungsi Bangunan Gedung.

    (2) Persyaratan administratif Bangunan Gedung meliputi:

    a. status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas

    tanah;

    b. status kepemilikan Bangunan Gedung, serta

    c. IMB.

    (3) Persyaratan teknis Bangunan Gedung meliputi:

    a. persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang terdiri atas:

    1) persyaratan peruntukan lokasi;

    2) intensitas Bangunan Gedung;

    3) arsitektur Bangunan Gedung;

    4) pengendalian dampak lingkungan untuk Bangunan Gedung Tertentu;

    serta

    5) rencana tata bangunan dan lingkungan.

    b. persyaratan keandalan Bangunan Gedung terdiri atas:

    1) persyaratan keselamatan;

    2) persyaratan kesehatan;

    3) persyaratan kenyamanan; serta

    4) persyaratan kemudahan.

    Bagian Kedua

    Persyaratan Administratif

    Paragraf 1

    Status Hak Atas Tanah

    Pasal 12

    (1) Setiap Bangunan Gedung harus didirikan di atas tanah yang jelas

    kepemilikannya, baik milik sendiri atau milik pihak lain.

    (2) Status hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam

    bentuk dokumen sertifikat hak atas tanah atau bentuk dokumen keterangan

    status tanah lainnya yang sah.

    (3) Dalam hal tanahnya milik pihak lain, Bangunan Gedung hanya dapat didirikan

    dengan perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah

    dengan Pemilik Bangunan Gedung.

    (4) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit

    hak dan kewajiban para pihak, luas, letak, dan batas-batas tanah, serta fungsi

    Bangunan Gedung dan jangka waktu pemanfaatan tanah.

  • 13

    (5) Bangunan Gedung yang karena faktor budaya atau tradisi setempat harus

    dibangun di atas air sungai, air laut, air danau harus mendapatkan izin dari

    Bupati.

    (6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Bupati.

    (7) Bangunan Gedung yang akan dibangun di atas tanah milik sendiri atau di atas

    tanah milik orang lain yang terletak di kawasan rawan bencana alam harus

    mengikuti persyaratan yang diatur dalam RTRW.

    Paragraf 2

    Status Kepemilikan Bangunan Gedung

    Pasal 13

    (1) Status kepemilikan Bangunan Gedung dibuktikan dengan surat Bukti

    Kepemilikan Bangunan Gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah,

    kecuali Bangunan Gedung fungsi khusus oleh Pemerintah.

    (2) Penetapan status kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) dilakukan pada saat proses IMB dan/atau pada saat pendataan

    Bangunan Gedung, sebagai sarana tertib pembangunan, tertib pemanfaatan

    dan kepastian hukum atas kepemilikan Bangunan Gedung.

    (3) Status kepemilikan Bangunan Gedung adat pada masyarakat hukum adat

    ditetapkan oleh masyarakat hukum adat bersangkutan berdasarkan norma dan

    kearifan lokal yang berlaku di lingkungan masyarakatnya.

    (4) Kepemilikan Bangunan Gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.

    (5) Pengalihan hak kepemilikan Bangunan Gedung kepada pihak lain harus

    dilaporkan kepada Bupati untuk diterbitkan surat keterangan bukti kepemilikan

    baru.

    (6) Pengalihan hak kepemilikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada

    ayat (5) oleh Pemilik Bangunan Gedung yang bukan pemegang hak atas tanah,

    terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan pemegang hak atas tanah.

    (7) Tata cara pembuktian kepemilikan Bangunan Gedung kecuali sebagaimana

    yang dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Paragraf 3

    Izin Mendirikan Bangunan

    Pasal 14

    (1) Setiap orang atau badan wajib memiliki IMB dengan mengajukan permohonan

    IMB kepada Bupati untuk melakukan kegiatan:

    a. pembangunan Bangunan Gedung dan/atau prasarana Bangunan Gedung.

    b. rehabilitasi/renovasi Bangunan Gedung dan/atau prasarana Bangunan

    Gedung meliputi perbaikan/perawatan, perubahan,

    perluasan/pengurangan; dan

  • 14

    c. pemugaran/pelestarian dengan mendasarkan pada Rekomendasi Tata

    Ruang (advise planning) untuk lokasi yang bersangkutan.

    d. pembangunan bangunan gedung yang berdampak besar terhadap

    lingkungan, sosial, harus berdasarkan Rekomendasi Tata Ruang (advise

    planning) untuk lokasi yang bersangkutan.

    (2) Izin mendirikan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    diberikan oleh Pemerintah Daerah, kecuali Bangunan Gedung fungsi khusus

    oleh Pemerintah.

    (3) Pemerintah Daerah wajib memberikan secara cuma-cuma Rekomendasi Tata

    Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk lokasi yang bersangkutan

    kepada setiap orang yang akan mengajukan permohonan IMB sebagai dasar

    penyusunan rencana teknis Bangunan Gedung.

    (4) Rekomendasi Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan

    ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:

    a. fungsi Bangunan Gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;

    b. ketinggian maksimum Bangunan Gedung yang diizinkan;

    c. jumlah lantai/lapis Bangunan Gedung di bawah permukaan tanah dan

    KTB yang diizinkan;

    d. garis sempadan dan jarak bebas minimum Bangunan Gedung yang

    diizinkan;

    e. KDB maksimum yang diizinkan;

    f. KLB maksimum yang diizinkan;

    g. KDH minimum yang diwajibkan;

    h. KTB maksimum yang diizinkan; dan

    i. jaringan utilitas.

    (5) Dalam Rekomendasi Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat

    juga dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi

    yang bersangkutan.

    Paragraf 4

    IMB di Atas dan/atau di Bawah Tanah,

    Air dan/atau Prasarana/Sarana Umum

    Pasal 15

    (1) Permohonan IMB untuk Bangunan Gedung yang dibangun di atas dan/atau di

    bawah tanah, air, atau prasarana dan sarana umum harus mendapatkan

    persetujuan dari instansi terkait.

    (2) IMB untuk pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) wajib mendapat Pertimbangan Teknis TABG.

    (3) Pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

    mengikuti Standar Teknis dan pedoman yang terkait.

  • 15

    Paragraf 5

    Kelembagaan

    Pasal 16

    (1) Dokumen Permohonan IMB disampaikan/diajukan kepada instansi yang

    menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perizinan.

    (2) Pemeriksaan dokumen rencana teknis dan administratif dilaksanakan oleh

    instansi teknis pembina yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

    bidang Bangunan Gedung.

    (3) Bupati dapat melimpahkan sebagian kewenangan penerbitan IMB sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Camat.

    (4) Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

    mempertimbangkan faktor:

    a. efisiensi dan efektivitas;

    b. mendekatkan pelayanan pemberian IMB kepada masyarakat;

    c. fungsi bangunan, klasifikasi bangunan, luasan tanah dan/atau bangunan

    yang mampu diselenggaraan di kecamatan; dan

    d. kecepatan penanganan penanggulangan darurat dan rehabilitasi

    Bangunan Gedung pascabencana.

    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan sebagian kewenangan

    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.

    Bagian Ketiga

    Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

    Paragraf 1

    Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

    Pasal 17

    (1) Persyaratan teknis Bangunan Gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan

    lingkungan dan persyaratan keandalan bangunan.

    (2) Persyaratan tata bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas Bangunan Gedung,

    persyaratan arsitektur Bangunan Gedung dan persyaratan pengendalian

    dampak lingkungan.

    Paragraf 2

    Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan Gedung

    Pasal 18

    (1) Bangunan Gedung harus diselenggarakan sesuai dengan peruntukan lokasi

    yang telah ditetapkan dalam RTRW, RDTR dan/atau RTBL.

    (2) Pemerintah Daerah wajib memberikan informasi mengenai RTRW, RDTR

    dan/atau RTBL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat

    secara cuma-cuma.

  • 16

    (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi keterangan mengenai

    peruntukan lokasi, intensitas bangunan yang terdiri dari kepadatan bangunan,

    ketinggian bangunan, dan garis sempadan bangunan.

    (4) Bangunan Gedung yang dibangun:

    a. di atas prasarana dan sarana umum;

    b. di bawah prasarana dan sarana umum;

    c. di bawah atau di atas air;

    d. di daerah jaringan transmisi listrik tegangan tinggi;

    e. di daerah yang berpotensi bencana alam; dan

    f. di Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP).

    harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

    memperoleh pertimbangan serta persetujuan dari Pemerintah Daerah dan/atau

    instansi terkait lainnya.

    Pasal 19

    (1) Dalam hal terjadi perubahan RTRW, RDTR dan/atau RTBL yang

    mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi, fungsi Bangunan Gedung yang

    tidak sesuai dengan peruntukan yang baru dapat disesuaikan.

    (2) Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan peruntukan lokasi

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Daerah memberikan

    penggantian yang layak kepada Pemilik Bangunan Gedung sesuai dengan

    ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 20

    (1) Bangunan Gedung yang akan dibangun harus memenuhi persyaratan

    intensitas Bangunan Gedung yang meliputi persyaratan kepadatan, ketinggian

    dan jarak bebas Bangunan Gedung, berdasarkan ketentuan yang diatur dalam

    RTRW, RDTR, dan/atau RTBL.

    (2) Kepadatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan KDB dan

    Koefisien Daerah Hijau (KDH) pada tingkatan tinggi, sedang dan rendah.

    (3) Ketinggian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ketentuan tentang

    jumlah lantai bangunan, tinggi bangunan dan KLB pada tingkatan KLB tinggi,

    sedang dan rendah.

    (4) Ketinggian Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh

    mengganggu lalu lintas penerbangan.

    (5) Jarak bebas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

    ketentuan tentang Garis Sempadan Bangunan Gedung dan jarak antara

    Bangunan Gedung dengan batas persil, jarak antar bangunan, dan jarak

    antara as jalan dengan pagar halaman.

    (6) Dalam hal ketentuan mengenai persyaratan intensitas Bangunan Gedung

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, maka ketentuan

    mengenai persyaratan intensitas Bangunan Gedung dapat diatur sementara

    untuk suatu lokasi dalam Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan

    perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan pendapat TABG.

  • 17

    Pasal 21

    (1) KDB ditentukan atas dasar kepentingan daya dukung lingkungan, pencegahan

    terhadap bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi

    bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan.

    (2) Ketentuan besarnya KDB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan

    dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL dan/atau pengaturan sementara

    persyaratan intensitas Bangunan Gedung yang diatur dalam Peraturan Bupati.

    Pasal 22

    (1) KDH ditentukan atas dasar kepentingan daya dukung lingkungan, fungsi

    peruntukan, fungsi bangunan, kesehatan dan kenyamanan bangunan.

    (2) Ketentuan besarnya KDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan

    dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL dan/atau pengaturan sementara

    persyaratan intensitas Bangunan Gedung yang diatur dalam Peraturan Bupati.

    Pasal 23

    (1) KLB ditentukan atas dasar daya dukung lingkungan, pencegahan terhadap

    bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi bangunan,

    keselamatan dan kenyamanan bangunan, keselamatan dan kenyamanan

    umum.

    (2) Ketentuan besarnya KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan

    dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, RTBL dan/atau pengaturan sementara

    persyaratan intensitas Bangunan Gedung yang diatur dalam Peraturan Bupati.

    Pasal 24

    (1) Jumlah lantai Bangunan Gedung dan tinggi Bangunan Gedung ditentukan atas

    dasar pertimbangan lebar jalan, fungsi bangunan, keselamatan bangunan,

    keserasian dengan lingkungannya serta keselamatan lalu lintas penerbangan.

    (2) Bangunan Gedung dapat dibuat bertingkat ke bawah tanah sepanjang

    memungkinkan untuk itu dan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang

    undangan.

    (3) Ketentuan besarnya jumlah lantai Bangunan Gedung dan tinggi Bangunan

    Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan

    dalam RTRW, RDTR, RTBL dan/atau pengaturan sementara persyaratan

    intensitas Bangunan Gedung yang diatur dalam Peraturan Bupati.

    Pasal 25

    (1) Garis sempadan bangunan ditentukan atas pertimbangan keamanan,

    kesehatan, kenyamanan dan keserasian dengan lingkungan dan ketinggian

    bangunan.

  • 18

    (2) Garis Sempadan Bangunan Gedung meliputi ketentuan mengenai jarak

    Bangunan Gedung dengan tepi jalan, tepi sungai, tepi pantai, dan/atau

    jaringan listrik tegangan tinggi, dengan mempertimbangkan aspek keselamatan

    dan kesehatan.

    (3) Garis sempadan bangunan meliputi garis sempadan bangunan untuk bagian

    muka, samping, dan belakang.

    (4) Penetapan garis sempadan bangunan berlaku untuk bangunan di atas

    permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah (basement).

    (5) Ketentuan besarnya garis sempadan bangunan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR dan RTBL.

    Pasal 26

    (1) Jarak antara Bangunan Gedung dengan batas persil, jarak antar bangunan,

    dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman ditetapkan untuk setiap lokasi

    sesuai dengan peruntukannya atas pertimbangan keselamatan, kesehatan,

    kenyamanan, kemudahan, dan keserasian dengan lingkungan dan ketinggian

    bangunan.

    (2) Jarak antara Bangunan Gedung dengan batas persil, jarak antar bangunan,

    dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman yang diberlakukan per

    kapling/persil dan/atau per kawasan.

    (3) Penetapan jarak antara Bangunan Gedung dengan batas persil, jarak antar

    bangunan, dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman berlaku untuk di

    atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah (basement).

    (4) Penetapan jarak antara Bangunan Gedung dengan batas persil, jarak antar

    bangunan, dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman untuk di bawah

    permukaan tanah didasarkan pada pertimbangan keberadaan atau rencana

    jaringan pembangunan utilitas umum.

    (5) Ketentuan besarnya jarak antara Bangunan Gedung dengan batas persil, jarak

    antar bangunan, dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR dan

    RTBL.

    Paragraf 4

    Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

    Pasal 27

    Persyaratan arsitektur Bangunan Gedung meliputi persyaratan penampilan

    Bangunan Gedung, tata ruang dalam bangunan gedung, keseimbangan, keserasian,

    dan keselarasan Bangunan Gedung dengan lingkungannya, serta

    memperimbangkan adanya keseimbangan antara nilai-nilai adat/tradisional sosial

    budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan

    rekayasa.

  • 19

    Pasal 28

    (1) Persyaratan penampilan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 27 disesuaikan dengan penetapan tema arsitektur bangunan yang diatur

    dalam Peraturan Bupati.

    (2) Penampilan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memperhatikan kaidah estetika bentuk, karakteristik arsitektur, dan

    lingkungan yang ada di sekitarnya serta dengan mempertimbangkan kaidah

    pelestarian.

    (3) Penampilan Bangunan Gedung yang didirikan berdampingan dengan Bangunan

    Gedung yang dilestarikan, harus di rancang dengan mempertimbangkan kaidah

    estetika bentuk dan karakteristik dari arsitektur Bangunan Gedung yang

    dilestarikan.

    (4) Pemerintah Daerah dapat mengatur kaidah arsitektur tertentu pada suatu

    kawasan setelah mendengar pendapat TABG dan pendapat masyarakat yang

    diatur dalam Peraturan Bupati.

    Pasal 29

    (1) Bentuk denah Bangunan Gedung sedapat mungkin simetris dan sederhana

    guna mengantisipasi kerusakan akibat bencana alam gempa dan

    penempatannya tidak boleh mengganggu fungsi prasarana kota, lalu lintas dan

    ketertiban.

    (2) Bentuk Bangunan Gedung harus dirancang dengan memperhatikan bentuk dan

    karakteristik arsitektur di sekitarnya dengan mempertimbangkan terciptanya

    ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap lingkungannya.

    (3) Bentuk denah Bangunan Gedung adat atau tradisional harus memperhatikan

    sistem nilai dan kearifan lokal yang berlaku di lingkungan masyarakat adat

    bersangkutan.

    (4) Atap dan dinding Bangunan Gedung harus dibuat dari konstruksi dan bahan

    yang aman dari kerusakan akibat bencana alam.

    Pasal 30

    (1) Persyaratan tata ruang dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 27 harus memperhatikan fungsi ruang, arsitektur Bangunan Gedung, dan

    keandalan Bangunan Gedung.

    (2) Bentuk Bangunan Gedung harus dirancang agar setiap ruang dalam

    dimungkinkan menggunakan pencahayaan dan penghawaan alami, kecuali

    fungsi Bangunan Gedung diperlukan sistem pencahayaan dan penghawaan

    buatan.

    (3) Ruang dalam Bangunan Gedung harus mempunyai tinggi yang cukup sesuai

    dengan fungsinya dan arsitektur bangunannya.

  • 20

    (4) Perubahan fungsi dan penggunaan ruang Bangunan Gedung atau bagian

    Bangunan Gedung harus tetap memenuhi ketentuan penggunaan Bangunan

    Gedung dan dapat menjamin keamanan dan keselamatan bangunan dan

    penghuninya.

    (5) Pengaturan ketinggian pekarangan adalah apabila tinggi tanah pekarangan

    berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas banjir yang ditetapkan oleh Balai

    Sungai atau instansi berwenang setempat atau terdapat kemiringan yang

    curam atau perbedaan tinggi yang besar pada tanah asli suatu perpetakan,

    maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan tersendiri.

    (6) Apabila tinggi tanah pekarangan berada di bawah titik ketinggian (peil) bebas

    banjir atau terdapat kemiringan curam atau perbedaan tinggi yang besar pada

    suatu tanah perpetakan, maka tinggi maksimal lantai dasar ditetapkan

    tersendiri.

    Pasal 31

    (1) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan Bangunan Gedung

    dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus

    mempertimbangkan terciptanya ruang luar dan ruang terbuka hijau yang

    seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya yang diwujudkan dalam

    pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi

    kendaraan dan manusia serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana

    luar Bangunan Gedung.

    (2) Persyaratan keseimbangan, keserasian dan keselarasan Bangunan Gedung

    dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a. Persyaratan ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP);

    b. Persyaratan ruang sempadan Bangunan Gedung;

    c. Persyaratan tapak basement terhadap lingkungan;

    d. Ketinggian pekarangan dan lantai dasar bangunan;

    e. Daerah hijau pada bangunan;

    f. Tata tanaman;

    g. Sirkulasi dan fasilitas parkir;

    h. Pertandaan (Signage); serta

    i. Pencahayaan ruang luar Bangunan Gedung.

    Pasal 32

    (1) Ruang terbuka hijau pekarangan (RTHP) sebagaimana dimaksud pada Pasal 31

    ayat (2) huruf a sebagai ruang yang berhubungan langsung dengan dan terletak

    pada persil yang sama dengan Bangunan Gedung, berfungsi sebagai tempat

    tumbuhnya tanaman, peresapan air, sirkulasi, unsur estetika, sebagai ruang

    untuk kegiatan atau ruang fasilitas (amenitas).

    (2) Persyaratan RTHP ditetapkan dalam RTRW, RDTR dan/atau RTBL, secara

    langsung atau tidak langsung dalam bentuk Garis Sempadan Bangunan,

    Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Dasar Hijau, Koefisien Lantai Bangunan,

    sirkulasi dan fasilitas parkir dan ketetapan lainnya yang bersifat mengikat

    semua pihak berkepentingan.

  • 21

    (3) Dalam hal ketentuan mengenai persyaratan RTHP sebagaimana dimaksud pada

    ayat (2) belum ditetapkan, maka ketentuan mengenai persyaratan RTHP dapat

    diatur sementara untuk suatu lokasi dalam Peraturan Bupati sebagai acuan

    bagi penerbitan IMB.

    Pasal 33

    (1) Persyaratan ruang sempadan depan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b harus mengindahkan keserasian lansekap pada

    ruas jalan yang terkait sesuai dengan ketentuan dalam RTRW, RDTR, dan/atau

    RTBL, yang mencakup pagar dan gerbang, tanaman besar/pohon dan

    bangunan penunjang.

    (2) Terhadap persyaratan ruang sempadan depan bangunan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan karakteristik lansekap jalan atau ruas

    jalan dengan mempertimbangkan keserasian tampak depan bangunan, ruang

    sempadan depan bangunan, pagar, jalur pajalan kaki, jalur kendaraan dan

    jalur hijau median jalan dan sarana utilitas umum lainnya.

    Pasal 34

    (1) Persyaratan tapak basement terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c berupa kebutuhan basement dan besaran

    Koefisien Tapak basement (KTB) ditetapkan berdasarkan rencana peruntukan

    lahan, ketentuan teknis dan kebijakan daerah.

    (2) Untuk penyediaaan RTHP yang memadai, lantai basement pertama tidak

    dibenarkan keluar dari tapak bangunan di atas tanah dan atap besmen kedua

    harus berkedalaman sekurang kurangnya 2 (dua) meter dari permukaan tanah.

    Pasal 35

    (1) Daerah hijau bangunan (DHB) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)

    huruf e dapat berupa taman atap atau penanaman pada sisi bangunan.

    (2) DHB merupakan bagian dari kewajiban pemohonan IMB untuk menyediakan

    RTHP dengan luas maksimum 25% (dua puluh lima persen) dari RTHP.

    Pasal 36

    Tata Tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf f meliputi

    aspek pemilihan karakter tanaman dan penempatan tanaman dengan

    memperhitungkan tingkat kestabilan tanah/wadah tempat tanaman tumbuh dan

    tingkat bahaya yang ditimbulkannya.

    Pasal 37

    (1) Setiap bangunan bukan rumah tinggal wajib menyediakan fasilitas parkir

    kendaraan yang proporsional dengan jumlah luas lantai bangunan sesuai

    Standar Teknis yang telah ditetapkan.

  • 22

    (2) Fasilitas parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf g tidak

    boleh mengurangi daerah hijau yang telah ditetapkan dan harus berorientasi

    pada pejalan kaki, memudahkan aksesibilitas dan tidak terganggu oleh

    sirkulasi kendaraan.

    (3) Sistem sirkulasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (2) huruf g harus

    saling mendukung antara sirkulasi eksternal dan sirkulasi internal Bangunan

    Gedung serta antara individu pemakai bangunan dengan sarana

    transportasinya.

    Pasal 38

    (1) Pertandaan (Signage) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf h

    yang ditempatkan pada bangunan, pagar, kavling dan/atau ruang publik tidak

    boleh mengganggu karakter yang akan diciptakan/dipertahankan.

    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pertandaan (signage) Bangunan Gedung

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Bupati.

    Pasal 39

    (1) Pencahayaan ruang luar Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 32 ayat (2) huruf i harus disediakan dengan memperhatikan karakter

    lingkungan, fungsi dan arsitektur bangunan, estetika amenitas dan komponen

    promosi.

    (2) Pencahayaan yang dihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memenuhi keserasian dengan pencahayaan dari dalam bangunan dan

    pencahayaan dari penerangan jalan umum.

    Paragraf 5

    Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan

    Pasal 40

    (1) Setiap kegiatan dalam bangunan dan/atau lingkungannya yang mengganggu

    atau menimbulkan dampak besar dan penting harus dilengkapi dengan Analisis

    Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

    (2) Kegiatan dalam bangunan dan/atau lingkungannya yang tidak mengganggu

    atau tidak menimbulkan dampak besar dan penting tidak perlu dilengkapi

    dengan AMDAL tetapi dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya

    Pemantauan Lingkungan (UPL).

    (3) Kegiatan yang memerlukan AMDAL, UKL dan UPL disesuaikan dengan

    ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • 23

    Paragraf 6

    Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan

    Pasal 41

    (1) Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan atau RTBL memuat program

    bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana

    investasi dan ketentuan pengendalian rencana dan pedoman pengendalian

    pelaksanaan.

    (2) Program bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    memuat jenis, jumlah, besaran, dan luasan Bangunan Gedung, serta

    kebutuhan ruang terbuka hijau, fasilitas umum, fasilitas sosial, prasarana

    aksesibilitas, sarana pencahayaan, dan sarana penyehatan lingkungan, baik

    berupa penataan prasarana dan sarana yang sudah ada maupun baru.

    (3) Rencana umum dan panduan rancangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    merupakan ketentuan-ketentuan tata bangunan dan lingkungan pada suatu

    lingkungan/ kawasan yang memuat rencana peruntukan lahan makro dan

    mikro, rencana perpetakan, rencana tapak, rencana sistem pergerakan, rencana

    aksesibilitas lingkungan, rencana prasarana dan sarana lingkungan, rencana

    wujud visual bangunan, dan ruang terbuka hijau.

    (4) Rencana investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan arahan

    program investasi Bangunan Gedung dan lingkungannya yang disusun

    berdasarkan program bangunan dan lingkungan serta ketentuan rencana

    umum dan panduan rencana yang memperhitungkan kebutuhan nyata para

    pemangku kepentingan dalam proses pengendalian investasi dan pembiayaan

    dalam penataan lingkungan/kawasan, dan merupakan rujukan bagi para

    pemangku kepentingan untuk menghitung kelayakan investasi dan pembiayaan

    suatu penataan atau pun menghitung tolok ukur keberhasilan investasi,

    sehingga tercapai kesinambungan pentahapan pelaksanaan pembangunan.

    (5) Ketentuan pengendalian rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    merupakan alat mobilisasi peran masing-masing pemangku kepentingan pada

    masa pelaksanaan atau masa pemberlakuan RTBL sesuai dengan kapasitasnya

    dalam suatu sistem yang disepakati bersama, dan berlaku sebagai rujukan bagi

    para pemangku kepentingan untuk mengukur tingkat keberhasilan

    kesinambungan pentahapan pelaksanaan pembangunan.

    (6) Pedoman pengendalian pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    merupakan alat untuk mengarahkan perwujudan pelaksanaan penataan

    bangunan dan lingkungan/kawasan yang berdasarkan dokumen RTBL, dan

    memandu pengelolaan kawasan agar dapat berkualitas, meningkat, dan

    berkelanjutan.

    (7) RTBL disusun berdasarkan pada pola penataan Bangunan Gedung dan

    lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat

    serta dapat dilakukan melalui kemitraan Pemerintah Daerah dengan swasta

    dan/atau masyarakat sesuai dengan tingkat permasalahan pada

    lingkungan/kawasan bersangkutan dengan mempertimbangkan pendapat para

    ahli dan masyarakat.

  • 24

    (8) Pola penataan Bangunan Gedung dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (7) meliputi pembangunan baru, pembangunan sisipan parsial, peremajaan

    kota, pembangunan kembali wilayah perkotaan, pembangunan untuk

    menghidupkan kembali wilayah perkotaan, dan pelestarian kawasan.

    (9) RTBL yang didasarkan pada berbagai pola penataan Bangunan Gedung dan

    lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ini ditujukan bagi berbagai

    status kawasan seperti kawasan baru yang potensial berkembang, kawasan

    terbangun, kawasan yang dilindungi dan dilestarikan, atau kawasan yang

    bersifat gabungan atau campuran dari ketiga jenis kawasan pada ayat ini.

    (10) RTBL diaturkan dalam Peraturan Bupati.

    Paragraf 7

    Persyaratan Keandalan Bangunan Gedung

    Pasal 42

    Persyaratan keandalan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

    ayat (3) huruf b, meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan

    kemudahan.

    Paragraf 8

    Persyaratan Keselamatan Bangunan Gedung

    Pasal 43

    Persyaratan keandalan Bangunan Gedung terdiri dari persyaratan keselamatan

    Bangunan Gedung, persyaratan kesehatan Bangunan Gedung, persyaratan

    kenyamanan Bangunan Gedung dan persyaratan kemudahan Bangunan Gedung.

    Pasal 44

    Persyaratan keselamatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43

    meliputi persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap beban muatan,

    persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya kebakaran dan

    persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya petir.

    Pasal 45

    (1) Persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap beban muatan

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 meliputi persyaratan struktur

    Bangunan Gedung, pembebanan pada Bangunan Gedung, struktur atas

    Bangunan Gedung, struktur bawah Bangunan Gedung, pondasi langsung,

    pondasi dalam, keselamatan struktur, keruntuhan struktur dan persyaratan

    bahan.

    (2) Struktur Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    kuat/kokoh, stabil dalam memikul beban dan memenuhi persyaratan

    keselamatan, persyaratan kelayanan selama umur yang direncanakan dengan

    mempertimbangkan:

    a. fungsi Bangunan Gedung, lokasi, keawetan dan kemungkinan pelaksanaan

    konstruksi Bangunan Gedung;

  • 25

    b. pengaruh aksi sebagai akibat dari beban yang bekerja selama umur

    layanan struktur baik beban muatan tetap maupun sementara yang timbul

    akibat gempa, angin, korosi, jamur dan serangga perusak;

    c. pengaruh gempa terhadap substruktur maupun struktur Bangunan

    Gedung sesuai zona gempanya;

    d. struktur bangunan yang direncanakan secara detail pada kondisi

    pembebanan maksimum, sehingga pada saat terjadi keruntuhan, kondisi

    strukturnya masih memungkinkan penyelamatan diri penghuninya;

    e. struktur bawah Bangunan Gedung pada lokasi tanah yang dapat terjadi

    likulfaksi, dan;

    f. keandalan Bangunan Gedung.

    (3) Pembebanan pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    harus di analisis dengan memeriksa respon struktur terhadap beban tetap,

    beban sementara atau beban khusus yang mungkin bekerja selama umur

    pelayanan dengan menggunakan SNI yang berlaku; Tata cara perencanaan

    ketahanan gempa untuk rumah dan gedung, atau edisi terbaru; SNI yang

    berlaku Tata cara perencanaan pembebanan untuk rumah dan gedung; atau

    standar baku dan/atau Pedoman Teknis.

    (4) Struktur atas Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

    konstruksi beton, konstruksi baja, konstruksi kayu, konstruksi bambu,

    konstruksi dengan bahan dan teknologi khusus dilaksanakan dengan

    menggunakan standar SNI yang berlaku atau SNI edisi baru :

    (5) Struktur bawah Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    meliputi pondasi langsung dan pondasi dalam.

    (6) Pondasi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus direncanakan

    sehingga dasarnya terletak di atas lapisan tanah yang mantap dengan daya

    dukung tanah yang cukup kuat dan selama berfungsinya Bangunan Gedung

    tidak mengalami penurunan yang melampaui batas.

    (7) Pondasi dalam sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan dalam hal

    lapisan tanah dengan daya dukung yang terletak cukup jauh di bawah

    permukaan tanah sehingga pengguna pondasi langsung dapat menyebabkan

    penurunan yang berlebihan atau ketidakstabilan konstruksi.

    (8) Keselamatan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah

    satu penentuan tingkat keandalan struktur bangunan yang diperoleh dari hasil

    Pemeriksaan Berkala oleh tenaga ahli yang bersertifikat sesuai dengan

    ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Teknis

    Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung.

    (9) Keruntuhan struktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah

    satu kondisi yang harus dihindari dengan cara melakukan Pemeriksaan

    Berkala tingkat keandalan Bangunan Gedung sesuai dengan Peraturan Menteri

    Pekerjaan Umum tentang Pedoman Teknis Pemeriksaan Berkala Bangunan

    Gedung.

    (10) Persyaratan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi

    persyaratan keamanan, keselamatan lingkungan dan Pengguna Bangunan

    Gedung serta sesuai dengan SNI terkait.

  • 26

    Pasal 46

    (1) Bangunan gedung dengan struktur beton bertulang harus direncanakan

    kuat/kokoh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dengan:

    a. diameter besi tulangan sesuai dengan spesifikasi nomenklaturnya atau

    sesuai dengan SNI yang terbaru SNI edisi terakhir ;

    b. jumlah volume penulangan harus memenuhi persyaratan spesifikasi beton

    bertulang yang direncanakan;

    c. besi beton sesuai dengan nomenklaturnya;

    d. dimensi beton bertulang harus cukup;

    e. pondasi harus dapat menjamin tidak terjadinya penurunan konstruksi yang

    melampaui toleransi;

    f. campuran beton untuk bangunan gedung 2 lantai atau lebih harus

    dilakukan dengan mesin pengaduk beton atau menggunakan campuran

    beton ready mixed; dan

    g. sambungan-sambungan besi pada pertemuan antara kolom, balok, dan

    sambungan lainnya harus memenuhi persyaratan.

    (2) Bangunan gedung atau bagian bangunan gedung dengan dinding pemikul

    pasangan bata/blok beton dan sejenisnya harus direncanakan dengan:

    a. bidang dinding pemikul harus diikat dengan kolom beton bertulang praktis

    dengan lugs maksimum setiap bidang 12 (dua belas belts) m2;

    b. hubungan pasangan bata dengan kolom sloof, ringbalk beton bertulang

    harus dengan anker yang cukup jarak satu dengan lainnya sesuai dengan

    persyaratan;

    c. ketebalan adukan pasangan bata maksimal 1/3 (sepertiga) dari tebal bata;

    dan

    d. komposisi adukan harus mengikuti persyaratan sesuai dengan

    penggunaannya.

    (3) Bangunan gedung atau bagian bangunan gedung dengan konstruksi kayu

    termasuk kuda-kuda harus:

    a. dimensi kayu konstruksi sesuai dengan spesifikasi nomenklaturnya;

    b. hubungan dan/atau sambungan antara kayu harus mengikuti ketentuan

    standar konstruksi kayu;

    c. perkuatan kekakuan konstruksi harus cukup untuk menahan beban-beban;

    dan

    d. diberi perlindungan terhadap gangguan cuaca dan rayap.

    (4) Bangunan gedung atau bagian bangunan gedung dengan konstruksi baja harus

    direncanakan dengan:

    a. profit dan dimensi yang sesuai dengan spesifikasi nomenklaturnya; dan

    b. sambungan-sambungan atau hubungan dengan paku keling, las, baut atau

    media penghubung lainnya harus cukup untuk mengikat konstruksi sesuai

    dengan standar.

  • 27

    Pasal 47

    (1) Bangunan gedung dengan struktur beton bertulang harus direncanakan stabil

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf b direncanakan dengan:

    a. stabil dengan mengikuti peraturan dan standar teknis pembesian yang

    diperhitungkan terhadap gempa bumi di Zona 1 dan/atau sesuai dengan

    mikro zonasi di kecamatan setempat; dan

    b. kolom harus lebih kuat dari pada balok;

    c. adanya core berupa dinding beton bertulang.

    (2) Bangunan gedung atau bagian bangunan gedung dengan dinding pemikul

    pasangan bata/blok beton dan sejenisnya harus direncanakan dengan:

    a. bidang dinding pemikul harus ada di 2 (dua) arah bidang yang saling tegak

    lurus atau membentuk sudut atau Kotak; dan

    b. pembesian sloof harus dikonstruksikan dengan anker ke pondasi dengan

    ukuran dan jumlah yang cukup.

    (3) Bangunan gedung atau bagian bangunan gedung dengan konstruksi kayu

    harus direncanakan dengan:

    a. kolom kayu menumpu pada permukaan pondasi umpak beton bertulang

    atau konstruksi pasangan bata dengan sempurna;

    b. rangka kayu sebagai struktur utama yang terkonstruksi menjadi satu

    kesatuan dengan sambungan dan/atau hubungan yang mendistribusikan

    beban-beban gaya dengan balk; dan

    c. ikatan angin dan bracket/skur harus ada di 2 (dua) arah bidang yang saling

    tegak lurus atau membentuk sudut.

    (4) Bangunan gedung atau bagian bangunan gedung dengan konstruksi baja harus

    direncanakan:

    a. konstruksi portal yang menumpu pada pondasi harus sempurna sebagai

    sendi dan roll;,

    b. rangka baja sebagai struktur utama terkonstruksi menjadi satu kesatuan

    dengan sambungan dan/atau hubungan yang mendistribusikan beban-

    beban gaya dengan balk; dan

    c. ikatan angin atau trek stang dan bracket harus ada di 2 (dua) arah bidang

    yang saling tegak lurus atau membentuk sudut.

    Pasal 48

    (1) Bahan bangunan fabrikasi harus dirancang sedemikian rupa sesuai dengan

    standar mutu sehingga memiliki sistem hubungan yang baik dan mampu

    mengembangkan kekuatan bahan-bahan yang dihubungkan serta mampu

    bertahan terhadap gaya angkat pada saat pemasangan/pelaksanaan.

    (2) Bahan yang dibuat atau dicampurkan di lapangan, harus diproses sesuai

    dengan standar tata cara yang baku.

  • 28

    Pasal 49

    Persyaratan kelayakan dan keawetan selama umur layanan bangunan gedung harus

    dicapai dengan perencanaan teknis meliputi:

    a. karakteristik arsitektur dan lingkungan yang sesuai dengan iklim dan cuaca

    musim kemarau dan musim hujan dengan atap overstek atap dan/atau luifel;

    b. pelaksanaan konstruksi yang memenuhi spesifikasi teknis, bahan bangunan

    yang berstandar teknis, bahan finishing dan cara pelaksanaan; dan

    c. pemeliharaan dan perawatan.

    Pasal 50

    (1) Penghancuran struktur bangunan dilakukan, apabila:

    a. struktur bangunan sudah tidak andal karena faktor kerusakan struktur dan

    sudah tidak memungkinkan lagi untuk diperbaiki karena alasan teknis

    dan/atau kelayakan biaya;

    b. dapat membahayakan pengguna bangunan, masyarakat dan lingkungan;

    c. adanya perubahan peruntukan lokasi/fungsi bangunan dan secara struktur

    bangunan tidak dapat dimanfaatkan lagi.

    (2) Prosedur, metode dan rencana penghancuran struktur bangunan harus

    memenuhi persyaratan teknis untuk pencegahan korban manusia dan untuk

    mencegah kerusakan serta dampak lingkungan.

    (3) Penyusunan prosedur, metode dan rencana penghancuran struktur bangunan

    harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi yang

    sesuai.

    Pasal 51

    (1) Persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya kebakaran

    meliputi sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif, persyaratan jalan ke luar

    dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran, persyaratan pencahayaan

    darurat, tanda arah ke luar dan sistem peringatan bahaya, persyaratan

    komunikasi dalam Bangunan Gedung, persyaratan instalasi bahan bakar gas

    dan manajemen penanggulangan kebakaran.

    (2) Setiap Bangunan Gedung kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret

    sederhana harus dilindungi dari bahaya kebakaran dengan sistem proteksi aktif

    yang meliputi sistem pemadam kebakaran, sistem diteksi dan alarm kebakaran,

    sistem pengendali asap kebakaran dan pusat pengendali kebakaran.

    (3) Setiap Bangunan Gedung kecuali rumah tinggal tunggal dan rumah deret

    sederhana harus dilindungi dari bahaya kebakaran dengan sistem proteksi

    pasif dengan mengikuti SNI yang berlaku Tata cara perencanaan sistem

    proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran pada Bangunan Gedung,

    atau edisi terbaru dan SNI yang berlaku Tata cara perencanaan dan

    pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya

    kebakaran pada Bangunan Gedung, atau edisi terbaru.

  • 29

    (4) Persyaratan jalan ke luar dan aksesibilitas untuk pemadaman kebakaran

    meliputi perencanaan akses bangunan dan lingkungan untuk pencegahan

    bahaya kebakaran dan perencanaan dan pemasangan jalan keluar untuk

    penyelamatan sesuai dengan SNI yang berlaku Tata cara perencanaan

    bangunan dan lingkungan untuk pencegahan bahaya kebakaran pada

    bangunan rumah dan gedung, atau edisi terbaru, dan SNI yang berlaku Tata

    cara perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan bahaya kebakaran

    pada Bangunan Gedung, atau edisi terbaru.

    (5) Persyaratan pencahayaan darurat, tanda arah ke luar dan sistem peringatan

    bahaya dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi pengguna gedung dalam

    keadaaan darurat untuk menyelamatkan diri sesuai dengan SNI yang berlaku

    Tata cara perancangan pencahayaan darurat, tanda arah dan sistem peringatan

    bahaya pada Bangunan Gedung, atau edisi terbaru.

    (6) Persyaratan komunikasi dalam Bangunan Gedung sebagai penyediaan sistem

    komunikasi untuk keperluan internal maupun untuk hubungan ke luar pada

    saat terjadi kebakaran atau kondisi lainnya harus sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan mengenai telekomunikasi.

    (7) Persyaratan instalasi bahan bakar gas meliputi jenis bahan bakar gas dan

    instalasi gas yang dipergunakan baik dalam jaringan gas kota maupun gas

    tabung mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

    (8) Setiap Bangunan Gedung dengan fungsi, klasifikasi, luas, jumlah lantai

    dan/atau jumlah penghuni tertentu harus mempunyai unit manajemen

    proteksi kebakaran Bangunan Gedung.

    Pasal 52

    (1) Sistem proteksi pasif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) harus

    direncanakan dengan:

    a. rancangan ruangan dengan kompartemenisasi atau pemisahan ruang yang

    tidak memungkinkan penjalaran api baik horizontal dengan penghalang api,

    partisi/penahan penjalaran api maupun vertikal;

    b. rancangan bukaan-bukaan pintu dan jendela yang mencegah penjalaran api

    ke ruang lain dengan partisi; dan

    c. penggunaan bahan bangunan dan konstruksi tahan api.

    (2) Penghalang api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a direncanakan

    membentuk ruang tertutup, pemisah ruangan atau partisi.

    (3) Kaca tahan api diperbolehkan dipasang pada penghalang api yang memiliki

    tingkat ketahanan api 1 (satu) jam atau kurang.

    (4) Bukaan-bukaan meliputi ruang luncur lift, shaft vertikal termasuk tangga

    kebakaran, shaft eksit dan shaft saluran sampah, penghalang api, eksit

    horizontal, koridor akses ke eksit, penghalang asap, dan partisi asap.

  • 30

    Pasal 53

    (1) Penghalang api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a harus

    sesuai dengan klasifikasi tingkat ketahanan api meliputi:

    a. tingkat ketahanan api 3 (tiga) jam;

    b. tingkat ketahanan api 2 (dua) jam;

    c. tingkat ketahanan api 1 (satu) jam;

    d. tingkat ketahanan api 1/2 (setengah) jam;

    (2) kaca Tahan Api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) harus

    mencantumkan tingkat ketahanan api dalam menit.

    (3) Bukaan-bukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) harus

    mengikuti ketentuan tingkat proteksi kebakaran minimum untuk perlindungan

    bukaan sesuai dengan standar.

    Pasal 54

    (1) Sistem proteksi aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b

    harus direncanakan dengan:

    a. penyediaan peralatan pemadam kebakaran manual berupa alat pemadam api

    ringan (fire extinguisher);

    b. penyediaan peralatan pemadam kebakaran otomatis meliputi detektor, alarm

    kebakaran, sprinkler, hidran kebakaran di dalam dan di luar bangunan

    gedung, reservoir air pemadam kebakaran dan pipa tegak.

    (2) Rumah konstruksi kayu di atas tanah termasuk konstruksi panggung harus

    dilengkapi dengan persediaan bahan-bahan untuk pemadam api minimal

    berupa karung berisi pasir.

    Pasal 55

    (1) Sistem pipa tegak Kelas I harus dilengkapi pada bangunan gedung baru dengan

    tingkat/ketinggian:

    a. lebih dari 3 (tiga) tingkat/lantai di atas tanah,

    b. lebih dari 15 (lima betas) meter di atas tanah dan ada lantai antara atau

    balkon;

    c. lebih dari 1 (satu) tingkat di bawah tanah;

    d. lebih dari 6 (enam) meter di bawah tanah;

    (2) Bangunan gedung bertingkat lebih dari 8 (delapan) lantai harus dilengkapi

    Sistem pipa tegak Kelas I.

    Pasal 56

    (1) Persyaratan kemampuan Bangunan Gedung terhadap bahaya petir dan bahaya

    kelistrikan meliputi persyaratan instalasi proteksi petir dan persyaratan sistem

    kelistrikan.

    (2) Persyaratan instalasi proteksi petir harus memperhatikan perencanaan sistem

    proteksi petir, instalasi proteksi petir, pemeriksaan dan pemeliharaan serta

    memenuhi SNI yang berlaku Sistem proteksi petir pada Bangunan Gedung,

    atau edisi terbaru dan/atau Standar Teknis lainnya.

  • 31

    (3) Persyaratan sistem kelistrikan harus memperhatikan perencanaan instalasi

    listrik, jaringan distribusi listrik, beban listrik, sumber daya listrik,

    transformator distribusi, pemeriksaan, pengujian dan pemeliharaan dan

    memenuhi SNI yang berlaku Tegangan standar, atau edisi terbaru, SNI yang

    berlaku Persyaratan umum instalasi listrik, atau edisi terbaru, SNI yang

    berlaku Sistem pasokan daya listrik darurat dan siaga, atau edisi terbaru dan

    SNI yang berlaku Sistem pasokan daya listrik darurat menggunakan energi

    tersimpan, atau edisi terbaru dan/atau Standar Teknis lainnya.

    Pasal 57

    (1) Setiap bangunan gedung yang berdasarkan letak, sifat geografis, bentuk,

    ketinggian, dan penggunaannya berisiko terkena sambaran petir harus

    dilengkapi dengan instalasi penangkal petir.

    (2) Sistem instalasi penangkal petir harus dirancang dan dipasang dengan

    ketentuan dapat mengurangi secara nyata risiko kerusakan yang disebabkan

    sambaran petir terhadap bangunan gedung dan peralatan yang diproteksinya

    serta melindungi manusia.

    (3) Penggunaan berisiko sambaran petir sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    meliputi bangunan gedung atau ruangan yang berfungsi menggunakan

    peralatan elektronik dan/atau elektrik.

    (4) Instalasi penangkal petir dalam satu tapak kavling/persil harus dapat

    melindungi seluruh bangunan gedung dan prasarana bangunan gedung di

    dalam tapak tersebut.

    (5) Jenis instalasi penangkal petir harus mengikuti ketentuan persyaratan dari

    instansi yang berwenang.

    Pasal 58

    (1) Peralatan elektronik dan elektrik pada bangunan gedung atau ruangan

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) meliputi:

    a. peralatan komputer, televisi dan radio',

    b. peralatan kesehatan dan kedokteran; dan

    c. antena;

    (2) Instalasi penangkal petir yang menggunakan radio aktif tidak diizinkan.

    Pasal 59

    (1) Instalasi listrik pada bangunan gedung dan/atau sumber daya listriknya harus

    direncanakan memenuhi kebutuhan daya dan beban dengan penghitungan

    teknis tingkat keselamatan yang tinggi dan kemungkinan risiko yang sekecil-

    kecilnya.

    (2) Perencanaan dan penghitungan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dilakukan dengan sistem yang sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

    (3) Bangunan gedung untuk kepentingan umum harus menyediakan sumber daya

    cadangan yang dapat bekerja dengan selang waktu paling lama 1 (satu) menit

    setelah padamnya aliran listrik dari sumber daya utama.

  • 32

    (4) Sumber daya utama menggunakan listrik dari instansi resmi pemasok listrik

    (PLN).

    (5) Sumber daya listrik lainnya yang dihasilkan secara mandiri meliputi solar cell,

    kincir angin, dan kincir air harus mengikuti pedoman dan standar teknis yang

    berlaku.

    Pasal 60

    (1) Penambahan beban pada bangunan gedung pada tahap pemanfaatan harus

    dengan penambahan instalasi listrik secara teknis dan/atau daya sesuai

    dengan ketentuan dari PLN jika melebihi daya yang tersedia.

    (2) Penambahan bangunan gedung atau ruangan pada tahap pemanfaatan harus

    dengan penambahan instalasi listrik secara teknis dan/atau daya sesuai

    dengan ketentuan dari PLN jika melebihi daya yang tersedia.

    (3) Perubahan fungsi bangunan gedung harus diikuti dengan perencanaan dan

    penghitungan teknis sistem instalasi listrik sesuai dengan kebutuhan fungsi

    bangunan gedung yang baru.

    Pasal 61

    (1) Setiap Bangunan Gedung untuk kepentingan umum harus dilengkapi dengan

    sistem pengamanan yang memadai untuk mencegah terancamnya keselamatan

    penghuni dan harta benda akibat bencana bahan peledak.

    (2) Sistem pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan

    kelengkapan pengamanan Bangunan Gedung untuk kepentingan umum dari

    bahaya bahan peledak, yang meliputi prosedur, peralatan dan petugas

    pengamanan.

    (3) Prosedur pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan tata

    cara proses pemeriksanaan pengunjung Bangunan Gedung yang kemungkinan

    membawa benda atau bahan berbahaya yang dapat meledakkan dan/atau

    membakar Bangunan Gedung dan/atau pengunjung di dalamnya.

    (4) Peralatan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan

    peralatan detektor yang digunakan untuk memeriksa pengunjung Bangunan

    Gedung yang kemungkinan membawa benda atau bahan berbahaya yang dapat

    meledakkan dan/atau membakar Bangunan Gedung dan/atau pengunjung di

    dalamnya.

    (5) Petugas pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan orang

    yang diberikan tugas untuk memeriksa pengunjung Bangunan Gedung yang

    kemungkinan membawa benda atau bahan berbahaya yang dapat meledakkan

    dan/atau membakar Bangunan Gedung dan/atau pengunjung di dalamnya.

    (6) Persyaratan sistem pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang

    meliputi ketentuan mengenai tata cara perencanaan, pemasangan,

    pemeliharaan instalasi sistem pengamanan disesuaikan dengan pedoman dan

    Standar Teknis yang terkait.

  • 33

    Paragraf 9

    Persyaratan Kesehatan Bangunan Gedung

    Pasal 62

    Persyaratan kesehatan Bangunan Gedung meliputi persyaratan sistem penghawaan,

    pencahayaan, sanitasi dan penggunaan bahan bangunan.

    Pasal 63

    (1) Sistem penghawaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

    dapat berupa ventilasi alami dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan

    fungsinya.

    (2) Bangunan Gedung tempat tinggal dan Bangunan Gedung untuk pelayanan

    umum harus mempunyai bukaan permanen atau yang dapat dibuka untuk

    kepentingan ventilasi alami dan kisi-kisi pada pintu dan jendela.

    (3) Persyaratan teknis sistem dan kebutuhan ventilasi harus mengikuti SNI yang

    berlaku Konservasi energi sistem tata udara pada Bangunan Gedung, atau edisi

    terbaru, SNI yang berlaku Tata cara perancangan sistem ventilasi dan

    pengkondisian udara pada Bangunan Gedung, atau edisi terbaru, standar

    tentang tata cata perencanaan, pemasangan dan pemeliharaan sistem ventilasi

    dan/atau Standar Teknis terkait.

    Pasal 64

    (1) Sistem pencahayaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

    dapat berupa sistem pencahayaan alami dan/atau buatan dan/atau

    pencahayaan darurat sesuai dengan fungsinya.

    (2) Bangunan Gedung tempat tinggal dan Bangunan Gedung untuk pelayanan

    umum harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami yang optimal

    disesuaikan dengan fungsi Bangunan Gedung dan fungsi tiap-tiap ruangan

    dalam Bangunan Gedung.

    (3) Sistem pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memenuhi persyaratan:

    a. mempunyai tingkat iluminasi yang disyaratkan sesuai fungsi ruang dalam

    dan tidak menimbulkan efek silau/ pantulan;

    b. sistem pencahayaan darurat hanya dipakai pada Bangunan Gedung fungsi

    tertentu, dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat

    pencahayaan yang cukup untuk evakuasi;

    c. harus dilengkapi dengan pengendali manual/otomatis dan ditempatkan

    pada tempat yang mudah dicapai/dibaca oleh pengguna ruangan.

    (4) Persyaratan teknis sistem pencahayaan harus mengikuti SNI yang berlaku

    Konservasi energi sistem pencahayaan buatan pada Bangunan Gedung, atau

    edisi terbaru, SNI yang berlaku Tata cara perancangan sistem pencahayaan

    alami pada Bangunan Gedung, atau edisi terbaru, SNI yang berlaku Tata cara

    perancangan sistem pencahayaan buatan pada Bangunan Gedung, atau edisi

    terbaru dan/atau Standar Teknis terkait.

  • 34

    Pasal 65

    (1) Sistem sanitasi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62

    dapat berupa sistem air minum dalam Bangunan Gedung, sistem pengolahan

    dan pembuangan air limbah/kotor, persyaratan instalasi gas medik,

    persyaratan penyaluran air hujan, persyaratan fasilitasi sanitasi dalam

    Bangunan Gedung (saluran pembuangan air kotor, tempat sampah,

    penampungan sampah dan/atau pengolahan sampah).

    (2) Sistem air minum dalam Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) harus direncanakan dengan mempertimbangkan sumber air minum,

    kualitas air bersih, sistem distribusi dan penampungannya.

    (3) Persyaratan air minum dalam Bangunan Gedung harus mengikuti:

    a. kualitas air minum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

    undangan mengenai persyaratan kualitas air minum dan Pedoman Teknis

    mengenai sistem plambing;

    b. SNI yang berlaku Sistem Plambing 2000, atau edisi terbaru, dan

    c. Pedoman dan/atau Pedoman Teknis terkait.

    Pasal 66

    (1) Sistem pengolahan dan pembuangan air limbah/kotor sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 65 ayat (1) harus direncanakan dan dipasang dengan

    mempertimbangkan jenis dan tingkat bahayanya yang diwujudkan dalam

    bentuk pemilihan sistem pengaliran/pembuangan dan penggunaan peralatan

    yang dibutuhkan dan sistem pengolahan dan pembuangannya.

    (2) Air limbah beracun dan berbahaya tidak boleh digabung dengan air limbah

    rumah tangga, yang sebelum dibuang ke saluran terbuka harus diproses sesuai

    dengan pedoman dan Standar Teknis terkait.

    (3) Persyaratan teknis sistem air limbah harus mengikuti SNI Sistem Plambing

    2000, atau edisi terbaru, SNI yang berlaku Tata cara perencanaan tangki septik

    dengan sistem resapan, atau edisi terbaru, SNI yang berlaku Spesifikasi dan

    pemasangan perangkap bau, atau edisi terbaru dan/atau Standar Teknis

    terkait.

    Pasal 67

    (1) Persyaratan instalasi gas medik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1)

    wajib diberlakukan di fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, rumah

    perawatan, fasilitas hiperbank, klinik bersalin dan fasilitas kesehatan lainnya.

    (2) Potensi bahaya kebakaran dan ledakan yang berkaitan dengan sistem

    perpipaan gas medik dan sistem vacum gas medik harus dipertimbangkan pada

    saat perancangan, pemasangan, pengujian, pengoperasian dan

    pemeliharaannya.

    (3) Persyaratan instansi gas medik harus mengikuti SNI yang berlaku Keselamatan

    pada bangunan fasilitas pelayanan kesehatan, atau edisi terbaru dan/atau

    standar baku/ Pedoman Teknis terkait.

  • 35

    Pasal 68

    (1) Sistem penyaluran air hujan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1)

    harus direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan ketinggian

    permukaan air tanah, permeabilitas tanah dan ketersediaan jaringan drainase

    lingkungan/kota.

    (2) Setiap Bangunan Gedung dan pekarangannya harus dilengkapi dengan sistem

    penyaluran air hujan baik dengan sistem peresapan air ke dalam tanah

    pekarangan dan/atau dialirkan ke dalam sumur resapan sebelum dialirkan ke

    jaringan drainase lingkungan.

    (3) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk mencegah terjadinya

    endapan dan penyumbatan pada saluran.

    (4) Persyaratan penyaluran air hujan harus mengikuti ketentuan SNI yang berlaku

    Sistem plambing 2000, atau edisi terbaru, SNI yang berlaku Tata cara

    perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan, atau edisi

    terbaru, SNI yang berlaku Spesifikasi sumur resapan air hujan untuk lahan

    pekarangan, atau edisi terbaru, dan standar tentang tata cara perencanaan,

    pemasangan dan pemeliharaan sistem penyaluran air hujan pada Bangunan

    Gedung atau standar baku dan/atau pedoman terkait.

    Pasal 69

    (1) Sistem pembuangan kotoran, dan sampah dalam Bangunan Gedung

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) harus direncanakan dan

    dipasang dengan mempertimbangkan fasilitas penampungan dan jenisnya.

    (2) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam bentuk penyediaan

    tempat penampungan kotoran dan sampah pada Bangunan Gedung dengan

    memperhitungkan fungsi bangunan, jumlah penghuni dan volume kotoran dan

    sampah.

    (3) Pertimbangan jenis kotoran dan sampah diwujudkan dalam bentuk

    penempatan pewadahan dan/atau pengolahannya yang tidak mengganggu

    kesehatan penghuni, masyarakat dan lingkungannya.

    (4) Pengembang perumahan wajib menyediakan wadah sampah, alat pengumpul

    dan tempat pembuangan sampah sementara, sedangkan pengangkatan dan

    pembuangan akhir dapat bergabung dengan sistem yang sudah ada.

    (5) Potensi reduksi sampah dapat dilakukan dengan mendaur ulang dan/atau

    memanfaatkan kembali sampah bekas.

    (6) Sampah beracun dan sampah rumah sakit, laboratoriun dan pelayanan medis

    harus dibakar dengan insinerator yang tidak menggan