Upload
ashraf-ibrahim
View
236
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
BRAIN PROTECTION
Disusun oleh
ASHRAF BIN IBRAHIM (11-2009-102)
Dokter Pembimbing
Dr. Humisar Sibarani, SpAn
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDAKEPANITERAAN ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT IMANUELTG KARANG LAMPUNG
22 NOVEMBER 2010 – 25 DESEMBER 2010PENDAHULUAN
Salah satu komplikasi tindakan anestesi dan bedah yang paling ditakuti adalah terjadinya
iskemia cerebral dan cedera saraf. Meskipun insidensi terjadinya stroke selama tindakan pembedahan
boleh dikatakan rendah, namun selama beberapa tindakan tertentu risiko terjadinya stroke bisa tinggi.
Sebagai contoh, insidensi terjadinya komplikasi neurologis selama tindakan bedah jantung telah
dilaporkan berkisar 2-6%. Sebagian besar dari komplikasi ini terjadi selama periode intraoperatif. Risiko
terjadinya stroke selama periode perioperatif pada pasien yang akan menjalani tindakan carotid
enarterectomy dilaporkan berkisar setinggi 15% hingga yang lebih baru telah dilaporkan resiko sebanyak
2.1%. Tindakan neurosurgeri terutamanya aneurysm dan arteriovenous malformations (AVM)
membawakan resiko terjadinya iskemia yang signifikan. Mengingat besarnya jumlah pasien yang
menjalani tindakan ini, populasi yang ‘berisiko’ adalah substansial. Hal ini telah mendorong cukup
banyak minat untuk tidak hanya mengevaluasi langkah-langkah yang dirancang untuk mencegah iskemia
cerebral tetapi juga dalam mengidentifikasi alat anestesi yang mungkin bisa menurunkan kerentanan
otak terhadap iskemia.
Pada perbahasan ini, patofisiologi iskemia otak disajikan secara singkat dan kemudian diikuti
oleh ringkasan informasi mengenai keberhasilan alat anestesi yang tersedia di rumah sakit dalam
proteksi otak. Akhirnya, didiskusikan tentang pengaruh parameter fisiologis terhadap cedera otak
iskemia dan pengelolaan cedera otak.
PATOFISIOLOGI
Otak adalah suatu organ yang sangat aktif secara metabolik dan konsumsi oksigennya adalah 3.5
- 4.0 ml/100 g/min. Aktivitas listrik neuron (transient depolarization dan repolarization dengan
perubahan ion-ion yang menyertai) menggunakan kira-kira 50% daripada total energy yang diproduksi
oleh neuron. Dengan demikian, konsumsi energy dapat dikurangi secara signifikan oleh agen-agen yang
dapat menghasilkan EEG isoelektrik (cth; barbiturates). Sisa 50% lagi digunakan untuk mempertahankan
homeostasis selular basal. Meskipun porsi dari konsumsi energy total ini tidak dapat dipastikan bisa
dikurangi oleh agen-agen anestesi, hipotermi dapat menguranginya secara substansial.
Cerebral blood flow (CBF) normal pada manusia adalah sekitar 50 ml/100 g/min. Respon otak
terhadap iskemia telah dicirikan dengan baik. Dengan pengurangan CBF secara moderat, dapat diamati
EEG diperlambat. Ketika CBF mencapai sekitar 20 ml/100 g/min, terjadinya EEG isoelectricity. Pada aliran
sekitar 15 ml/100 g/min, sudah tidak terdapat lagi respon. Walaupun neuron tidak segera mati pada laju
aliran ini, pada akhirnya kematian akan terjadi jika laju aliran tidak dikembalikan. Dibawah laju aliran 10
ml/100 g/min, tingkat ATP menurun dengan cepat (dalam waktu 5 menit) dan neuron tidak dapat
mempertahankan homeostasis ionik. Pada titik ini, neuron mengalami depolarisasi (anoxic
depolarization) dan neuron-neuron terminal melepaskan neurotransmitter dengan kuantiti yang banyak.
Neurotransmitter ini (cth; glutamate) mengaktivasi reseptor-reseptor pasca-sinaps yang mengakibatkan
neuron dibanjiri oleh kalsium. Dengan mengaktivasi beberapa kaskade biokimia secara sembarangan,
kalsium akhirnya menyebabkan kematian neuron.
Iskemia cerebral secara luas diklasifikasikan menjadi dua kategori : Iskemia global dan Iskemia
fokal. Iskemia global ditandai oleh penghentian lengkap CBF (cth; cardiac arrest). Dalam situasi ini,
depolarisasi neuron terjadi dalam 5 menit. Secara selektif, neuron-neuron rentan di dalam hippocampus
dan korteks cerebri adalah yang pertama mati. Kesempatan untuk restorasi aliran adalah sangat kecil
kerana kematian neuron berlangsung sangat cepat. Iskemia fokal ditandai oleh daerah iskemia padat
(sering disebut “core”) yang dikelilingi oleh zona variabel yang lebih besar dan kurang iskemik
(penumbra). Di dalam core, penurunan aliran cukup parah untuk mengakibatkan kematian neuron
dengan cepat secara relatif. Penurunan aliran di penumbra cukup untuk menghasilkan EEG isoelektrik
tetapi tidak begitu parah untuk menyebabkan kematian neuron dengan cepat. Namun, jika aliran tidak
dikembalikan, kematian dan infark akan terjadi di penumbra meskipun pada kadar yang jauh lebih
lambat. Oleh kerana kadar kematian neuron yang perlahan ini, kesempatan untuk intervensi terapeutik
yang dirancang untuk menyelamatkan neuron secara garis besar lebih lama pada iskemia fokal. Sebagian
besar episode iskemia di dalam kamar operasi adalah fokal.
PENGARUH OBAT ANASTESI TERHADAP OTAK YANG ISKEMIK
A) Barbiturat
Pendekatan awal terhadap masalah iskemia serebral difokuskan pada pengurangan
kebutuhan energi otak. Alasannya adalah bahwa dengan mengurangi persyaratan ATP, otak
akan bisa mentoleransi iskemia untuk jangka waktu yang lebih lama. Konsep supply-demand ini
telah terbukti relevan dalam kasus iskemia jantung. Oleh karena itu, agen pertama yang
diselidiki adalah agen-agen yang dapat mengubah EEG isoelektrik (agen tersebut akan mampu
mengurangi persyaratan ATP sebesar 50%).
Barbiturat dapat menghasilkan isoelectricity dari EEG dan ia telah dipelajari secara
ekstensif. Pada iskemia global, barbiturat dalam dosis burst suppression dari EEG tidak akan
mengurangi cedera iskemia. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena EEG dengan cepat menjadi
isoelektrik setelah terjadinya iskemia global. Dalam situasi ini, barbiturat tidak diharapkan dapat
memberikan manfaat yang banyak. Barbiturat telah ditemukan berkhasiat dalam pengobatan
untuk iskemia fokal. Sejumlah peneliti telah menunjukkan bahwa barbiturat dapat mengurangi
tingkat cedera otak yang diakibatkan oleh oklusi arteri serebral media. Pada manusia, loading
thiopental telah terbukti untuk mengurangi defisit neurologis pada pasien post-cardiopulmonary
bypass. Oleh itu, barbiturat telah dianggap sebagai "gold standard" antara obat-obat anestesi
proteksi serebral. Kemanjuran efek proteksi yang dianggap ada pada barbiturat baru-baru ini
dipertanyakan lagi atas dasar bahwa pengurangan cedera yang didapatkan pada penggunaan
barbiturat mungkin datangnya dari anesthesia induced hypothermia bukan dari barbiturat
semata. Walaupun pada penelitian yang terbaru, di mana suhu otak dikontrol dengan ketat,
telah dibuktikan kebenaran kemanjuran efek proteksi barbiturat, perlu dicatat bahwa besarnya
keefektifan proteksi yang diberikan hanya sederhana. Selain itu, dosis yang menghasilkan burst
suppression dari EEG mungkin tidak perlu untuk mencapai efek proteksi; Warner dan rekan telah
menunjukkan bahwa sepertiga dari dosis barbiturat yang diperlukan untuk mencapai supresi
EEG dapat menghasilkan pengurangan cedera yang besarnya sama dengan yang dicapai dengan
dosis yang jauh lebih besar.
Keputusan untuk memberikan terapi dengan barbiturat untuk tujuan proteksi serebral
dibuat setelah dilakukan pertimbangan efek hemodinamik terhadap barbiturat, potensi
kebutuhan ventilasi mekanis berkepanjangan pasca-operasi pada pasien yang mulai sadar dari
anestesi, dan derajat proteksi yang dicapai adalah relatif sederhana.
B) Anestesi volatile
Seperti barbiturat, agen-agen yang volatile contohnya isoflurance, sevoflurane dan
desflurane dalam dosis tinggi (≈ 2 MAC) dapat mensupresi EEG burst. Namun, karena efeknya
pada cedera neuronal iskemik maka agen-agen ini menjadi pusat perhatian. Isoflurane telah
terbukti berfungsi sebagai agen neuroprotective pada iskemia hemisfera, iskemia fokal dan
iskemia near complete. Demikian juga, data yang tersedia menunjukkan bahwa kedua
sevoflurane dan desflurane dapat mengurangi cedera otak iskemik. Tidak tampaknya perbedaan
yang substansial antara agen-agen volatile ini sehubungan dengan keberhasilan sifat
neuroprotective nya.
Pada sebagian besar penelitian yang dikutip di atas, cedera baru mulai dievaluasi
beberapa hari setelah terjadinya iskemik. Data dari Du dan rekan menunjukkan bahwa cedera
pasca iskemia neuronal adalah suatu proses yang dinamis di mana neuron terus-terusan mati
untuk jangka waktu yang panjang setelah pertama terjadinya serangan iskemik. Peneliti ini
menyarankan bahwa strategi terapi yang bersifat neuroprotective dimana setelah terjadinya
periode pemulihan yang singkat, mungkin tidak memberikan hasil yang bagus dan bertahan
lama karena pada periode pasca iskemik terjadinya kehilangan neuron yang terjadi secara terus-
menerus. Anestesi volatile dapat bertindak sebagai neuroprotective setelah pemulihan yang
singkat. Namun, Kawaguchi dkk baru-baru ini menunjukkan bahwa khasiat neuroprotective dari
isoflurane tidak bisa dipertahankan jika periode pemulihan mencapai waktu selama 2 minggu.
Hal ini menunjukkan bahwa anestesi volatile hanya memperlambat tetapi tidak mencegah
terjadinya kematian neuronal. Perlu dicatat bahwa, dengan menunda kematian neuronal, agen
volatile bisa meningkatkan durasi peluang untuk administrasi agen lain yang memiliki khasiat
neuroprotective.
Penemuan yang lebih baru dari Werner, Engelhard dan rekan telah menunjukkan
bahwa, dalam kondisi tertentu, efek neuroproteksi yang berkepanjangan dapat dicapai dengan
agen volatile. Pada kasus iskemia hemisfera dengan hipotensi, sevoflurane menghasilkan efek
neuroproteksi yang jelas bahkan hingga empat minggu setelah iskemia. Dalam studi ini, harus
ditekankan bahwa binatang yang dibius tidak mengalami cedera sama sekali, bahkan, tidak ada
walau satu pun neuron yang ditemukan tercedera. Sebaliknya, jumlah yang mengalami
kecederaan sederhana ditemukan pada hewan kontrol. Data ini menunjukkan bahwa agen
volatile dapat menghasilkan neuroproteksi jangka panjang dengan syarat bahwa keparahan
cedera sangat ringan. Misalnya sekali terjadi cedera neuronal yang moderat, perluasan infark
yang terjadi akan menghalangi neuroproteksi jangka panjang.
C) Propofol
Propofol mempunyai sejumlah properti yang sama dengan barbiturat. Propofol sendiri
dapat menghasilkan supresi kepada EEG burst sehingga mengurangi CMRO2 sebesar 50%. Pada
iskemia fokal, propofol secara signifikan mengurangi tingkat infark cerebral. Bahkan,
kemampuan propofol untuk mengurangi cedera serupa dengan yang dicapai dengan
pentobarbital. Data yang lebih baru dari kelompok Gelb memberi kesan bahwa neuroproteksi
propofol, seperti juga pada isoflurane, tidak berkelanjutan melampaui jangka waktu satu
minggu. Sebaliknya, neuroproteksi dengan propofol dapat dicapai dengan ketentuan bahwa
tingkat keparahan cedera sangat ringan, dalam hal ini, kemanjuran propofol sebagai
neuroproteksi adalah serupa dengan agen-agen volatile.
D) Etomidate
Di atas kertas, etomidate tampaknya seperti agen neuroprotektif yang ideal. Etomidate
dapat mengurangi CMRO2 hingga 50% dengan cara mensupresi EEG burst. Selain itu, tidak
seperti barbiturat, etomidate dibersihkan dengan cepat dan tidak menyebabkan depresi
miokardial atau hipotensi. Studi awal pada iskemia global menunjukkan bahwa etomidate dapat
mengurangi cedera iskemik. Namun, perbaikan cedera ini relatif kecil dan itu terbatas pada
suatu struktur tunggal (hipokampus). Studi selanjutnya pada iskemia fokal mengungkapkan
sesuatu yang mengejutkan, bahwa sebenarnya etomidate itu meningkatkan volume infark pada
otak. Pengaruh ‘meningkatkan cedera’ oleh etomidate ini telah dikaitkan dengan
kemampuannya untuk mengurangi kadar nitric oxide dalam jaringan otak yang iskemik (baik
dengan cara menghambat sintase nitric oxide atau dengan scavenging nitric oxide secara
langsung). Karena nitric oxide dianggap penting dalam pemeliharaan aliran darah selama
iskemia, maka dapat dikatakan etomidate mungkin akan meningkatkan keparahan iskemia. Data
yang tersedia justru tidak mendukung penggunaan etomidate sebagai agen neuroprotektif.
Summary
Secara keseluruhan, data yang tersedia menunjukkan bahwa barbiturat dapat melindungi otak
dan dosis yang diperlukan untuk mencapai hal ini mungkin sangat kurang berbanding dosis untuk
menghasilkan supresi EEG burst. Hal ni mempunyai relevansi klinis yang dapat dipertimbangkan karena
efek neuroproteksinya dapat dicapai dengan dosis yang tidak menyebabkan pasien hilang kesadaran
untuk waktu yang lama. Demikian pula, proteksi juga bisa dicapai dengan konsentrasi klinis yang relevan
dari anestesi volatile (≈ 1 MAC) dan dengan propofol. Kesetaraan proteksi relatif yang mungkin dicapai
dengan agen-agen yang memiliki pengaruh yang berbeda terhadap CMRO2 menunjukkan bahwa
kemampuan agen-agen anestesi untuk mengurangi cedera neuronal iskemik memiliki pengaruh yang
sedikit terhadap pengurangan CMRO2, dan dimodulasi oleh kaskade patofisiologik yang diinisiasi oleh
iskemia.
ISKEMIA CEREBRAL – PENGARUH PARAMETER FISIOLOGIK
Parameter fisiologis, seperti MAP, PaCO2, gula darah dan suhu tubuh, memiliki pengaruh
signifikan pada hasil manajemen otak setelah terjadinya iskemia otak. Dalam bagian ini, informasi
mengenai dampak dari parameter ini pada otak yang iskemik telah diringkaskan. Bila memungkinkan,
rekomendasi manajemen spesifik telah diusulkan.
A) Temperatur tubuh
Pengaruh hipotermia dalam dan moderat sangat terkenal ke atas toleransi otak. Sebagai
contoh, sementara otak pada keadaan normotermia mengalami cedera otak setelah iskemia
selama 5 menit, otak dalam keadaan hipotermia yaitu dibuat sampai suhu 16 ° C dapat
mentoleransi iskemia selama 30 menit (dan lebih lama dalam situasi tertentu). Demikian
pula, cardiopulmonary bypass biasanya dilakukan pada suhu 28 ° C untuk mengurangi
potensi cedera otak iskemik. Oleh karena itu, induksi hipotermia dalam dan moderat untuk
operasi jantung telah mapan.
Apa yang telah ditemukan baru-baru ini adalah dengan hanya pengurangan suhu
beberapa derajat (≈ 33-34 ° C) kerentanan otak untuk cedera iskemik sudah dapat dikurangi.
Dalam model hewan dengan iskemia serebral global, hipotermia ringan intraiskemik (suhu
33 ° C) telah terbukti secara dramatis mengurangi cedera neuronal. Selain itu, penerapan
hipotermia ringan setelah serangan iskemik juga telah ditunjukkan untuk mengurangi
cedera apabila suhu dikurangi dalam waktu 30 menit serangan iskemik dan durasi
hipotermia ini diperpanjang untuk beberapa jam. Demikian pula, hipotermia ringan intra
dan post-iskemik dapat mengurangi cedera otak pada iskemia fokal. Efek protektif dari
hipotermia lebih besar dalam situasi di mana aliran dipulihkan setelah iskemia dan kurang
jelas dalam situasi di mana iskemia menetap (Misalnya, oklusi menetap pada pembuluh
darah cerebral yang tidak di recanalized).
Dalam terangnya dramatis dampak proteksi dari hipotermia ringan, penggunaannya
dalam pengaturan ruang operasi telah diadvokasi. Pendukung penggunaan metode ini
berpendapat bahwa hipotermia dapat dicapai kapanpun dan tidak disertai dengan depresi
miokard atau aritmia yang signifikan. Selain itu, pasien dapat segera dihangatkan kembali di
ruang operasi setelah resiko iskemia mereda. Keberhasilan tehnik hipotermia ringan dalam
mengurangi cedera otak pada manusia yang mengalami perdarahan subarachnoid
berterusan dan yang hadir ke dalam ruang operasi dengan aneurysm clipping telah
dievaluasi dalam uji coba klinis secara acak (IHAST-2). Induksi hipotermia ringan tidak
mengurangi kejadian kelainan neurologis baru pada periode pasca-operasi. Data ini tidak
mendukung penggunaan hipotermia intraoperatif untuk aneurysm clipping.
Walaubagaimanapun perlu dicatat bahwa hanya pasien dengan nilai SAH I-III atau
unruptured aneurysm yang termasuk dalam uji coba IHAST. Selain itu, jumlah pasien yang
diberikan klip sementara dalam waktu lama adalah terlalu kecil untuk menarik kesimpulan
yang berarti tentang kemanjuran hipotermia ringan dalam kondisi ini. Karena itu ada
pendapat menyatakan bahwa pada pasien dengan kelas IV dan V SAH dan aplikasi klip
sementara dalam waktu lama yang diantisipasi, induksi hipotermia ringan mungkin sebagian
besar belum terbukti bermanfaat.
Penerapan hipotermia ringan pada cedera kepala mengurangi intra cranial pressure
(ICP) dan memperbaiki hasil neurologis dalam percobaan perintis. Dari catatan, dilihat
bahwa atribusi komplikasi yang dapat menyebabkan hipotermia tidak diamati sama sekali.
Walaubagaimanapun, uji coba berikutnya yang berupa multi-center untuk melihat
hipotermia pada pasien cedera kepala, gagal memastikan penemuan pada studi perintis
tersebut. Induksi hipotermia ringan tidak meningkatkan hasil neurologis jangka panjang.
Harus dicatat bahwa, bagaimanapun, temuan post-hoc menyatakan hasil pada pasien lebih
muda dari 45 tahun yang hipotermia pada saat presentasi lebih buruk jika pasien tersebut
dihangatkan kembali; data ini menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi ini, tidak boleh
dihangatkan.
Data yang berkaitan tentang penerapan hipotermia ringan lebih positif pada pasien
serangan jantung. Dua percobaan terbaru telah menunjukkan bahwa induksi hipotermia
(32-34 °C) setelah berhasil meresusitasi cardiac arrest memberi hasil neurologis yang secara
signifikan lebih baik 6 bulan setelah cardiac arrest. Studi-studi ini menunjukkan kemanjuran
klinis dari hipotermia untuk tujuan mengurangi cedera otak iskemik dan memberikan
dukungan yang kuat untuk penggunaan hipotermia intraoperatif bagi pasien yang dianggap
berisiko tinggi.
Sebaliknya, kenaikan suhu otak selama dan setelah iskemia memperburuk cedera.
Kenaikan sesedikit 1 ° C secara dramatis dapat meningkatkan cedera. Iskemia yang biasanya
menghasilkan nekrosis neuron yang tersebar menghasilkan otak infark saat suhu tubuh
tinggi. Karena itu tampaknya bijaksana untuk menghindari hipertermia pada pasien yang
memiliki mengalami serangan iskemik atau mereka yang berisiko otak iskemia. Di ruang
operasi, hipertermia jarang memberi masalah. Salah satu situasi di mana suhu tubuh
diperboleh untuk ditingkatkan adalah selama rewarming setelah CPB hipotermia. Dalam
bahwa situasi, hipertermia (suhu tubuh inti yang melebihi 38 °C) tidak biasa. Saran bahwa
kenaikan suhu lebih dari 37-38 °C dihindari memiliki beberapa manfaat memberikan
informasi terbaru mengenai dampak merugikan hipertermia.
B) Tekanan perfusi cerebral (CPP)
Aliran darah cerebral yang normal diautoregulasi pada CPP dengan kisaran 60 hingga
150 mmHg. Pada pasien hipertensi, batas bawah autoregulasi mengalami shift to the right.
Di sebagian besar pasien yang sehat dan normotensif, pemeliharaan CBF dapat dipastikan
dengan CPP lebih dari 60 mmHg. Namun pertanyaannya adalah apakah CPP ini cukup untuk
mempertahankan perfusi di otak yang telah mengalami cedera iskemik. Di dalam dan di
sekitar jaringan otak yang mengalami cedera, autoregulasinya sama ada dilemahkan atau
dihapuskan. Perfusi cerebral di daerah otak adalah tekanan pasif dan tergantung pada CPP.
CPP yang ideal pada pasien ini belum pernah dipelajari secara menyeluruh; pedoman yang
tetap belum dibuat dan manajemen tekanan darah harus dilakukan secara individual.
Namun pada pasien cedera kepala, CPP yang diperlukan adalah lebih tinggi berbanding
normal dan diperlukan untuk mempertahankan CBF normal. Chan dan rekan telah
menunjukkan bahwa CPP sekitar 70 mmHg adalah cukup untuk pasien cedera kepala.
Dengan itu, CPP 70 mmHg adalah tujuan yang wajar pada pasien yang beresiko iskemia otak.
Pasien yang pernah mengalami cedera iskemia cerebral bisa mendapatkan manfaat dari
augmentasi aliran darah cerebral yang diinduksi oleh hipertensi. Induced hypertension,
dengan peningkatan mean arterial pressure sebanyak 20% di atas tekanan dasar, dapat
mengakibatkan perbaikan klinis dalam sebagian besar pasien dengan stroke akut dimana
trombolisis tidak feasible. Induced hypertension dapat ditoleransi pada pasien tersebut
selama beberapa jam yang akan berakhir dengan perbaikan klinis . Pada pasien ini, potensi
risiko untuk stroke hemorrhagik konversi akan meningkat. Oleh karena itu, tekanan darah
harus ditingkatkan dengan perlahan, sebuah kenaikan sekitar 10-15% di atas tekanan awal
pasien adalah tujuan yang wajar.
Sebaliknya, hipotensi telah terbukti cukup merusak terhadap otak yang cedera (iskemik
atau traumatik). Hipotensi dapat meningkatkan volume serebral yang mengalami infark
secara signifikan dan harus dihindari pada pasien yang telah menderita stroke. Demikian
pula, hipotensi telah terbukti menjadi salah satu kontributor yang paling penting kepada
hasil yang buruk pada pasien yang mengalami cedera kepala. Karena itu, pemeliharaan MAP
dan CPP yang adekuat adalah sangat penting. Peningkatan MAP oleh agonis alpha seperti
fenilefrin adalah sangat berguna (Dengan asumsi bahwa volume intravaskuler pasien
normal). Ada kekhawatiran bahwa vasokonstriktor ini mungkin menghasilkan vasokonstriksi
serebral, sehingga menghindarkan efek menguntungkan dari peningkatan MAP. Namun,
agonis alpha tidak mengurangi CBF.
C) Glukosa darah
Dalam otak normal yang diperfusi dengan cukup, glukosa dimetabolisme secara aerobik.
Produk akhir metabolisme aerobik glukosa adalah air, CO2 dan ATP. Ketika otak dalam
keadaan iskemik, oksigen tidak lagi tersedia dan metabolisme aerobik glukosa terhambat.
Glukosa ini kemudiannya dimetabolisme secara anaerobik melalui jalur glikolisis. Akhir
produk dari jalur ini adalah asam laktat dan ATP. Asam laktat yang dihasilkan memberikan
kontribusi terhadap asidosis yang terjadi di banyak jaringan iskemik.
Oleh karena otak tidak memiliki cadangan glukosa, asidosis laktat menjadi terbatas.
Namun, selama hiperglikemia, pasokan glukosa ke otak meningkat. Memang, dengan
hiperglikemia, cadangan glukosa di saraf menjadi lebih banyak. Dalam situasi ini, jumlah
asam laktat yang dihasilkan adalah cukup besar dan pH otak menurun. Asidosis ini
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap nekrosis neuronal. Pada iskemia global,
hiperglikemia meningkatkan cedera otak. Pada studi iskemia fokal, hiperglikemia akut atau
hiperglikemia diabetes berhubungan dengan peningkatan infark serebral; perawatan
hiperglikemia dengan administrasi insulin mengurangi peningkatan cedera ini. Hiperglikemia
meningkatkan cedera otak dan memperburuk hasil pada pasien dengan stroke. Dalam studi
hasil jangka panjang, hiperglikemia (diabetes dan non-diabetes) telah terbukti menjadi
prediktor independen dari hasil yang buruk. Dalam uji coba stroke NIH yang disponsori oleh
rt-PA, hiperglikemia secara signifikan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih rendah
untuk hasil klinis yang diinginkan dan peningkatan insidensi perdarahan intrakranial. Perlu
dicatat, walaubagaimanapun, manfaat kontrol dari nilai glukosa darah pada pasien dengan
mengalami cedera iskemik serebral belum ditunjukkan dalam uji coba klinis secara acak dan
prospektif. Meskipun demikian, banyak bukti menunjukkan bahwa pengobatan
hiperglikemia pada pasien harus dipertimbangkan dan dilaksanakan.
Sebaliknya, hipoglikemia juga dikaitkan dengan cedera otak. Dengan pengurangan
bertahap nilai glukosa darah sekitar 40 mg/dl, pergeseran frekuensi EEG dari alfa dan beta
kepada delta dan theta terjadi. Tingkat glukosa di bawah darah 20 mg/dl, dapat diamati
supressi EEG (flat). JIka kondisi hipoglokemi berlangsung lama, dapat terjadinya aktivitas
kejang dan cedera neuronal, khususnya ke hipokampus.
Dampak merugikan dari hipoglikemia pada otak telah mencetus pendekatan agresif
untuk mengendalikan hiperglikemia pada pasien yang berisiko iskemia otak. Dalam sebuah
studi besar pasien di ICU dimana konsentrasi glukosa darah dikawal dengan ‘ketat’ antara 80
dan 110 mg/dl, kejadian hipoglikemia adalah 5%, ini tidak menyebabkan peningkatan
morbiditas. Sebuah penyelidikan yang lebih baru di mana target kadar glukosanya antara
100 dan 140 mg/dl, kejadian hipoglikemia (kurang dari 60 mg/dl) adalah 0,2%. Data-data ini
konsisten dengan premis bahwa hiperglikemia bisa aman diobati dengan infus insulin-
glukosa. Apabila kontrol glukosa darah dilaksanakan, adalah sangat penting untuk sering
dipantau kadar glukosa darah dan dosis insulin disesuaikan untuk mencegah hipoglikemia.
Jika pemantauan secara sering tingkat glukosa darah tidak dapat dilakukan, maka kontrol
agresif hiperglikemia tidak dapat didukung.
Berdasarkan diskusi ini, adalah praktik penulis saat ini untuk mengontrol kadar glukosa
darah dengan infuse glukosa-insulin-kalium. Sasaran untuk tingkat glukosa relatif liberal:
antara 100 dan 180 mg/dl. Tinggi ‘liberal’ ini dibenarkan berdasarkan kurangnya bukti
keefektifan kontrol ketat kadar glukosa pada pasien dengan cedera SSP dan risiko nyata dari
cedera hipoglikemik. Ambang batas ini, walaupun sewenang-wenang, mirip dengan apa
telah diusulkan oleh Wass dan Lanier.
D) PaCO2
Manipulasi ketegangan karbon dioksida arteri adalah sarana potensial untuk meregulasi
efek aliran darah otak dan volume darah otak. Hipokapnia dapat mengurangi CBF, CBV dan
ICP. Oleh karena itu, hiperventilasi sering dilakukan pada pasien dengan lesi massa yang
memperluas, hipertensi intrakranial dan di ruang operasi untuk menghasilkan relaksasi otak.
Keuntungan penggunaan jangka pendek, hiperventilasi sementara adalah jelas. Keprihatinan
yang signifikan tentang hipokapnia pada pasien dengan iskemik atau trauma SSP cedera
adalah, apakah pengurangan aliran darah dapat meningkatkan tahap cedera. Hiperventilasi
profilaksis belum memperlihatkan manfaat pada pasien dengan stroke. Bahkan, data
laboratorium telah menunjukkan bahwa hipokapnia secara signifikan dapat menurunankan
CBF di otak yang iskemik, sedangkan hasil akhirnya adalah peningkatan jumlah jaringan otak
yang mengalami penurunan aliran yang parah (dan dalam apa yang dianggap menjadi
iskemia). Pada cedera kepala, aplikasi hiperventilasi profilaksis dikaitkan dengan hasil yang
buruk 3 dan 6 bulan setelah cedera. Pada pasien ini, jumlah daerah otak yang mengalami
iskemik bertambah secara dramatis dengan hipokapnia. Berdasarkan data tersebut, Brain
Trauma Foundation telah merekomendasikan bahwa hiperventilasi profilaksis dihindari
selama tahap awal cedera kepala.
Hiperventilasi tidak sepenuhnya berbahaya dan harus diperlakukan seperti intervensi
terapeutik lainnya. Perlu diterapkan dengan pemahaman tentang komplikasinya. Dalam
pengaturan cedera kepala dan iskemia serebral, hal ini memiliki potensi untuk
meningkatkan cedera. Jika diterapkan, hiperventilasi harus ditarik ketika tujuan dimaksud
telah dicapai atau tidak lagi diperlukan.
E) Profilaksis kejang
Kejang biasanya terjadi pada pasien dengan patologi intrakranial. Aktivitas kejang
dikaitkan dengan aktivitas neuron yang meningkat, peningkatan aliran darah otak, volume
darah otak (akibatnya peningkatan ICP) dan asidosis cerebral. Kejang tidak diobati dapat
menyebabkan nekrosis neuron walaupun dengan perfusi serebral normal. Oleh karena itu,
pencegahan dan pengobatan cepat kejang adalah tujuan yang penting. Kejang bisa cepat
diobati dengan benzodiazepin, barbiturat, etomidate dan propofol. Untuk aktivitas
antiepilepsi yang lebih tahan lama, phenytoin dan pentobarbital sering digunakan.
Variable fisiologis dan efeknya terhadap CBF
Variabel Efek terhadap CBF
PaCO2
PaCO2
PaO2 (< ~ 50 mmHg)
PaO2 atau
Blood viscosity
MAP (within MAP ~ 50 – 150 mmHg)
ICP Potentially
CVP Potentially
Cardiac output
MAP = Mean Arterial Pressure, CVP = Central Venous Pressure, ICP = Intra Cranial Pressure, PaO 2 =
Partial Pressure of Oxygen in Arterial Blood, PaCO2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide in Arterial Blood
Summary
Berdasarkan pembahasan di atas, pendekatan untuk ‘proteksi otak’ adalah sebagai berikut:
a. Otak yang dibius kurang rentan terhadap cedera iskemik berbanding otak yang sadar
sepenuhnya. Meskipun data manusia mengenai manfaat relatif dari obat-obat anestesi
masih sangat kurang, informasi yang tersedia adalah konsisten dengan premis bahwa
anestesi volatile memberikan beberapa proteksi walaupun sementara.
b. Barbiturat, meskipun telah lama dianggap gold standard, tidak digunakan secara rutin.
Dalam situasi di mana risiko cedera iskemik tinggi (yaitu aneurisma dan operasi AVM),
diberikan barbiturates. Praktek ini sebagian besar adalah empiris. Barbiturat tidak diberikan
selama endarterektomi karotid. Jika, setelah cross-clamping karotid, perubahan EEG sugestif
dari iskemia berat hadir, maka shunt dimasukkan.
c. Pasien yang menjalani operasi aneurisma dan AVM adalah secara rutin dibuat hipotermia ke
suhu tubuh inti dari 33-34 ° C. Praktek ini akan ditinjau kembali mengingat hasil negatif yang
didapatkan hasil uji coba IHAST. Pasien CEA tidak dibuat hipotermia karena risiko iskemi
miokard pada pasien ini saat dihangatkan kembali adalah signifikan. Hipertermia harus
dihindari.
d. Tekanan perfusi cerebral dijaga dalam ‘normal range’ untuk masing-masing pasien. Pada
pasien CEA, MAP (tanpa adanya shunt) dapat ditingkatkan dengan hingga 10%.
e. Pada pasien diabetes, insulin diberikan jika nilai glukosa melebihi 250 mg/dl. Pemantauan
ketat terhadap glukosa darah sangat disarankan untuk memastikan tidak terjadinya
hipoglikemia.
FOKUS UTAMA PROTEKSI OTAK
Fokus utama dalam proteksi otak adalah menurunkan tekanan intrakranial (ICP), mengekalkan
tekanan perfusi otak (CPP) dan menurunkan metabolisma otak.
Tekanan intracranial
ICP adalah suatu tekanan di dalam cranium yang dipengaruhi oleh volume LCS, darah dan
parenkim otak. ICP diukur dalam milimeter air raksa (mmHg). Pada istirahat, biasanya 7-15 mmHg untuk
orang dewasa yang terlentang. Di posisi vertikal, menjadi negatif (rata-rata -10 mmHg). Hubungan
tekanan-volume antara ICP, volume CSF, darah, dan jaringan otak, dan tekanan perfusi serebral (CPP)
dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie atau hipotesis Monro-Kellie. Menciptakan keadaan kesetimbangan
volume, sehingga setiap peningkatan volume salah satu unsur tengkorak harus dikompensasi oleh
penurunan volume lain
Cara menurunkan ICP antara lain ;
1. Hyperventilasi
2. Meninggikan kepala saat dirawat bed rest (15-30˚)
3. Mobilisasi leher
4. Pelumpuh otot
5. Extraventricular drain atau Lumbar puncture drain
6. Craniotomy evakuasi
7. Decompressive craniectomy
Tekanan perfusi otak (CPP)
CPP adalah gradien tekanan bersih menyebabkan aliran darah ke otak (perfusi otak). Ini harus
dipertahankan dalam batas-batas yang sempit karena tekanan terlalu sedikit dapat menyebabkan
jaringan otak menjadi iskemik (memiliki aliran darah tidak memadai), dan terlalu banyak dapat
meningkatkan tekanan intrakranial (ICP). CPP dapat didefinisikan sebagai gradien tekanan menyebabkan
aliran darah serebral (CBF) seperti;
CBF = CPP / CVR
Dimana
CVR adalah cerebrovascular resistance
Tiga tekanan yang dapat berkontribusi pada CPP adalah
1. Mean arterial pressure (MAP)
2. ICP
3. Jugular venous pressure (JVP)
Di jaringan, tekanan perfusi hanya perbedaan tekanan antara sisi arteri dan sisi vena. Dalam
beberapa jaringan ada tekanan ketiga : tekanan eksternal ke pembuluh darah. Jika tekanan ini tinggi,
dapat membatasi pengaliran melalui jaringan. Situasi ini dikenal sebagai resistor Starling. Situasi seperti
itu ada di otak mana tekanan eksternal adalah ICP. Akibatnya, definisi benar CPP adalah:
CPP = MAP − ICP (if ICP is higher than JVP)
Or
CPP = MAP − JVP (if JVP is higher than ICP)
Normal (MAP : 60-150 mmHg dan ICP : 10 mmHg) aliran darah otak relatif konstan karena
autoregulasi pelindung.
Di luar batas autoregulasi, meningkatkan MAP, CPP turut meningkat. Meningkatkan ICP,
menurunkan CPP. CPP biasanya antara 70 dan 90 mmHg pada manusia dewasa, dan tidak bisa di bawah
70 mmHg untuk periode berkelanjutan tanpa menyebabkan kerusakan otak iskemik. Meskipun
beberapa pihak menganggap 50-150 mmHg sebagai kisaran normal untuk orang dewasa. Anak-anak
membutuhkan tekanan minimal 60 mmHg.
MAP adalah istilah yang digunakan dalam pengobatan untuk menggambarkan tekanan darah
rata-rata dalam diri seseorang. MAP dapat ditentukan dari :
MAP = (CO x SVR) + CVP
Dimana
CO cardiac output
SVR systemic vascular resistence
CVP adalah tekanan vena sentral dan biasanya cukup kecil untuk diabaikan
Pada denyut jantung normal, istirahat MAP dapat didekati dengan menggunakan tekanan
sistolik dan diastolik lebih mudah diukur, SP dan DP.
MAP ~ DP + 1/3 (SP-DP)
MAP dianggap sebagai tekanan perfusi pada organ-organ dalam tubuh. Hal ini diyakini bahwa
MAP yang lebih besar dari 60 mmHg sudah cukup untuk mempertahankan organ-organ dari orang rata-
rata. Jika MAP jatuh jauh di bawah angka ini untuk waktu yang cukup, akhirnya organ tidak akan
mendapatkan aliran darah yang cukup, dan akan menjadi iskemik.
PROMISING DRUGS
Nootropics
Nootropics, juga disebut sebagai obat cerdas, enhancer memori, dan enhancer kognitif, adalah
obat, suplemen, nutraceuticals, dan makanan fungsional yang diakui untuk meningkatkan fungsi mental
seperti kognisi, memori, kecerdasan, motivasi, perhatian, dan konsentrasi.
Nootropics diperkirakan untuk bekerja dengan mengubah ketersediaan pasokan otak dari zat
kimia saraf (neurotransmiter, enzim, dan hormon), dengan meningkatkan suplai oksigen otak, atau
dengan merangsang pertumbuhan saraf. Namun kemanjuran zat nootropic, dalam banyak kasus, belum
ditentukan secara meyakinkan. Hal ini rumit oleh kesulitan mendefinisikan dan mengukur kognisi dan
kecerdasan.
Nootropic adalah enhancer kognitif yang bersifat neuroprotektif dan sangat non-toxic.
Nootropics secara definisi adalah enhancer kognitif, tapi enhancer kognitif belum tentu sebuah
nootropic. Sebuah enhancer kognitif adalah zat yang meningkatkan konsentrasi dan memori. Enhancer
kognisi sintetis pertama adalah amfetamin.
Dietary sources and supplements
B vitamins
Omega 3
Polyphenols
Anti-oxidant
Racetams
Piracetam
Stimulants
Amphetamines
Dopaminergics
Ritalin
Memory enhancement
Cholinergics
GABA blockers
Glutamate activators
cAMP
Serotonergics
Anti-depression, adaptogenic (antistress), and mood stabilization
Piracetam
Merupakan obat nootropic, derivat siklik dari GABA. Mekanisme aksi piracetam, pada
umumnya, tidak sepenuhnya dipahami, tetapi mempengaruhi fungsi neuron dan pembuluh
darah dan fungsi kognitif tanpa pengaruh bertindak sebagai obat penenang atau stimulan.
Piracetam meningkatkan fungsi neurotransmiter asetilkolin melalui receptor kolinergik
muscarinic (ACh) yang terlibat dalam proses memori. Mungkin memiliki efek pada glutamat
NMDA, yang terlibat dengan proses belajar dan memori. Piracetam ini diyakini akan
meningkatkan permeabilitas membran sel. Piracetam dapat menggunakan efek globalnya pada
neurotransmisi otak melalui modulasi saluran ion (yaitu, Na +, K +). Telah ditemukan untuk
meningkatkan konsumsi oksigen di otak, tampaknya yang berkaitan dengan metabolisme ATP,
dan meningkatkan aktivitas kinase siklase di otak tikus. Piracetam muncul untuk meningkatkan
sintesis dari sitokrom b5, yang merupakan bagian dari mekanisme transpor elektron di
mitokondria . Hal ini juga meningkatkan permeabilitas mitokondria dari beberapa perantara dari
siklus Krebs.
MONITORING SISTEM SARAF PUSAT
Beberapa system memonitor CNS yang baru dan lama telah digunakan selama operasi jantung.
Dibawah berikut adalah beberapa yang masih relevan.
Electrophysiologic : Electroencephalography (EEG)
Monitoring neurologis selama operasi CPB diibaratkan seumuran dengan sirkulasi
ekstrakorporeal. EEG intraoperatif telah terbukti sebagai nilai yang signifikan dalam bedah
cerebrovaskular, namun kegunaannya selama operasi CPB masih sangat kontroversial. Penurunan EEG
dikaitkan dengan kehilangan amplitude adalah patologis, tetapi adalah uji coba dengan banyaknya false
positive.
Metode analisis EEG
Untuk memfasilitasi analisis, beberapa percobaan dilakukan untuk memproses data EEG supaya
dihasilkan paparan yang berguna. Analisis spektrum power menkonversi informasi dari domain waktu
(frekuensi terhadap waktu) ke domain frekuensi (power terhadap frekuensi) untuk setiap segmen EEG
(epoch kepada waktu). Susunan spektrum yang dipadatkan ini memaparkan spektrum power bersiri
yang di plot secara berlapis-lapis sehingga menunjukkan representasi EEG dalam bentuk ‘gunung dan
lembah’. Komputer yang menggunakan Fast Fourier Transformation (FFT) dapat memplot spektrum
power untuk beberapa channel secara serentak.
Metode analisis yang terbaru menggabungkan analisis power dengan penetapan phase-coupling
atau harmonics terhadap komponen-komponen berbeda dari sinyal EEG. ‘Bispectral analysis’ ini
menyediakan ukuran terhadap sinkronisasi komponen-komponen ini dengan hasil awal, yang
menunjukkan korelasi lebih baik dengan kedalaman anestesi, namun tidak ada data yang tersedia
tentang tahap sensitivitasnya untuk iskemia CNS.
Signifikan monitoring EEG
Walaupun terdapat banyak peningkatan teknologi EEG, data terbaru menunjukkan bahwa tidak
ada korelasi yang bermakna antara abnormalitas EEG dan hasil neurofisiologik. Pada studi terbaru oleh
Edmond dan rekan, peningkatan frekuensi power relatif rendah yang terjadi lebih dari 5 menit selama
pemanasan balik adalah nilai prediktor signifikan untuk cerebral cortical dysfunction (disorienasi).
Pengobatan untuk abnormalitas ini dengan menaikkan tekanan perfusi, secara signifikan menurunkan
disorientasi setelah CPB fase II. Teknologi EEG yang semakin maju akan dapat melakukan monitoring
selama CPB dengan baik, tetapi rumitnya monitoring delapan, enam belas atau sembilan belas channel
EEG di dalam kamar operasi masih kekal sebagai daunting endeavor.
Cerebral Blood Flow (Xenon Clearence dan Kety- Schmidt)
Clearens Xenon dan pengukuran Kety- Schmidt untuk CBF adalah tehnik yang telah disahkan.
Tehnik ini telah memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap autoregulasi CBF selama CPB dan
kelompok yang berisiko kehilangan autoregulasi. Pengukuran CBF selama CPB bukanlah merupakan
prediktor untuk deficit neurologik dan kognitif selepas operasi CPB.
Transcranial atau Carotid Doppler
Pengukuran cerebral blood flow velocity (CBFV) pada medial cerebral artery (MCA) selama CPB
adalah teknologi non-invasif yang sangat berkembang sekarang. Tehnik ini dilakukan dengan memfokus
sinar ultrasound melalui jendela temporal pada Circle of Willis. Pembuluh darah ini diidentifikasi melalui
arah alirannya, relasi spatial terhadap tanda-tanda lain dan juga kompresi terhadap pembuluh darah
yang mengalir ke dalam. Alat ini membolehkan monitoring berterusan terhadap CBFV melalui MCA,
yang membawa presentase aliran cerebral yang besar. Tehnik ini juga dapat mendeteksi emboli di MCA
yang terjadi pada periode berisiko tinggi selama operasi jantung. Pungsly dan rekan menunjukkan
hubungan signifikan antara jumlah emboli dan hasil kognitif dalam satu studi yang mengevaluasi arterial
line filter pada pasien dengan bubble oxygenators. Walaubagaimanapun, saat ini terdapat inabilitas
untuk membedakan tipe emboli in vivo (udara vs partikel). Namun, walaupun terdapat kekurangan ini,
abilitas non-invasif untuk mengukur CBFV dan mendeteksi emboli cerebral selama periode perioperatif
adalah nilai potensi yang signifikan.
Transesophageal atau Epiaortic Echocardiography
Transesophageal atau Epiaortic Echocardiography telah diusulkan untuk mengevaluasi risiko
even neurologis selama perioperatif dan untuk menuntun potensi intervensi bedah. Walau bukan
monitor CNS yang sebenar, echocardiography telah terbukti dalam memberi informasi beharga dalam
menentukan pasien yang mana akan mengalami even neurologic fokal perioperatif. Atas dasar ini,
banyak peneliti telah merekomendasikan perlepasan radikal dari praktek normal untuk mengurangi
risiko neurologis ini, termasuk circulatory arrest dengan penyisihan terutamanya debri atheromatous.
Sehingga dilakukannya studi garis besar lain untuk mengevaluasi keberkesanan metode ini, kita hanya
boleh mengatakan bahwa dalam menentukan risiko even neurologis yang mayor, sanning epiaortic
adalah monitor yang beharga.
Jugular Bulb Saturation
Jugular venous saturation (SjVO2) diukur dengan pemasangan kateter secara retrograde melalui
vena jugularis interna kedalam jugular bulb. Darah ditarik keluar melalui kateter ini dan dianalisis pH,
pO2, dan saturasi hemoglobin. Teknologi oksimetrik turut membolehkan monitoring saturasi jugular
secara terus-menerus. Saturasi berhubungan dengan ektraksi oksigen dan kadar metabolism cerebral
dan secara teoritis dapat memprediksikan iskemia cerebral. Desaturasi vena jugularis terjadi dalam 23%
pasien selama rewarming dari CPB. Kita menemukan asosiasi antara denaturasi jugular pada rewarming
dan disfungsi kognitif post-operatif terhadap 225 pasien. Variabel berasosiasi secara signifikan (p<0.05)
dengan disfungsi kognitif post-operatif adalah skor psychometric garis dasar, C(a-v)O2 terbesar selama
rewarming dan tahun pendidikan. Jugular bulb hemoglobin saturation (SJvO2) adalah signifikan jika ia
menggantikan C(a-v)O2. Pengukuran secara kontinu SJvO2 akan memberikan korelasi yang lebih lengkap
antara SJvO2 dan hasil neurologic atau kognitif.
Cerebral Oximetry
Pengukuran non-invasif saturasi hemoglobin cerebral regional (rSO2) melalui spectroscopy
optikal dalam sinar infrared jarak dekat (NIR) adalah tehnik baru yang didesign sebagai monitor iskemia
cerebral. Oximeter ini mengukur kombinasi vena, arteri dan darah kapiler, mayoritas (70%) adalah darah
vena dengan membedakan spectroscopy dalam dan superficial. Tehnik ini membolehkan monitoring
secara kontinu saturasi oksigen regional yang berkolerasi dengan perubahan EEG yang terjadi pada
pasien dengan hipoksemia. Namun, tidak ada data tersedia yang menunjukkan korelasi antara
pengurangan saturasi regional selama CPB dan hasil neurologic atau neurofisiologik. Pengukuran satu
region turut berkongsi nilai-nilai menjatuhkan pada monitoring EEG karena iskemia pada region yang
tidak dimonitor dapat menyebabkan perubahan saturasi oksigen di region lain.