31
BRAIN PROTECTION Disusun oleh ASHRAF BIN IBRAHIM (11-2009-102) Dokter Pembimbing Dr. Humisar Sibarani, SpAn FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA KEPANITERAAN ANESTESIOLOGI RUMAH SAKIT IMANUEL

Brain Protection - The Clinical Reality

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Brain Protection - The Clinical Reality

BRAIN PROTECTION

Disusun oleh

ASHRAF BIN IBRAHIM (11-2009-102)

Dokter Pembimbing

Dr. Humisar Sibarani, SpAn

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDAKEPANITERAAN ANESTESIOLOGI

RUMAH SAKIT IMANUELTG KARANG LAMPUNG

22 NOVEMBER 2010 – 25 DESEMBER 2010PENDAHULUAN

Page 2: Brain Protection - The Clinical Reality

Salah satu komplikasi tindakan anestesi dan bedah yang paling ditakuti adalah terjadinya

iskemia cerebral dan cedera saraf. Meskipun insidensi terjadinya stroke selama tindakan pembedahan

boleh dikatakan rendah, namun selama beberapa tindakan tertentu risiko terjadinya stroke bisa tinggi.

Sebagai contoh, insidensi terjadinya komplikasi neurologis selama tindakan bedah jantung telah

dilaporkan berkisar 2-6%. Sebagian besar dari komplikasi ini terjadi selama periode intraoperatif. Risiko

terjadinya stroke selama periode perioperatif pada pasien yang akan menjalani tindakan carotid

enarterectomy dilaporkan berkisar setinggi 15% hingga yang lebih baru telah dilaporkan resiko sebanyak

2.1%. Tindakan neurosurgeri terutamanya aneurysm dan arteriovenous malformations (AVM)

membawakan resiko terjadinya iskemia yang signifikan. Mengingat besarnya jumlah pasien yang

menjalani tindakan ini, populasi yang ‘berisiko’ adalah substansial. Hal ini telah mendorong cukup

banyak minat untuk tidak hanya mengevaluasi langkah-langkah yang dirancang untuk mencegah iskemia

cerebral tetapi juga dalam mengidentifikasi alat anestesi yang mungkin bisa menurunkan kerentanan

otak terhadap iskemia.

Pada perbahasan ini, patofisiologi iskemia otak disajikan secara singkat dan kemudian diikuti

oleh ringkasan informasi mengenai keberhasilan alat anestesi yang tersedia di rumah sakit dalam

proteksi otak. Akhirnya, didiskusikan tentang pengaruh parameter fisiologis terhadap cedera otak

iskemia dan pengelolaan cedera otak.

PATOFISIOLOGI

Otak adalah suatu organ yang sangat aktif secara metabolik dan konsumsi oksigennya adalah 3.5

- 4.0 ml/100 g/min. Aktivitas listrik neuron (transient depolarization dan repolarization dengan

perubahan ion-ion yang menyertai) menggunakan kira-kira 50% daripada total energy yang diproduksi

oleh neuron. Dengan demikian, konsumsi energy dapat dikurangi secara signifikan oleh agen-agen yang

dapat menghasilkan EEG isoelektrik (cth; barbiturates). Sisa 50% lagi digunakan untuk mempertahankan

homeostasis selular basal. Meskipun porsi dari konsumsi energy total ini tidak dapat dipastikan bisa

dikurangi oleh agen-agen anestesi, hipotermi dapat menguranginya secara substansial.

Cerebral blood flow (CBF) normal pada manusia adalah sekitar 50 ml/100 g/min. Respon otak

terhadap iskemia telah dicirikan dengan baik. Dengan pengurangan CBF secara moderat, dapat diamati

EEG diperlambat. Ketika CBF mencapai sekitar 20 ml/100 g/min, terjadinya EEG isoelectricity. Pada aliran

sekitar 15 ml/100 g/min, sudah tidak terdapat lagi respon. Walaupun neuron tidak segera mati pada laju

Page 3: Brain Protection - The Clinical Reality

aliran ini, pada akhirnya kematian akan terjadi jika laju aliran tidak dikembalikan. Dibawah laju aliran 10

ml/100 g/min, tingkat ATP menurun dengan cepat (dalam waktu 5 menit) dan neuron tidak dapat

mempertahankan homeostasis ionik. Pada titik ini, neuron mengalami depolarisasi (anoxic

depolarization) dan neuron-neuron terminal melepaskan neurotransmitter dengan kuantiti yang banyak.

Neurotransmitter ini (cth; glutamate) mengaktivasi reseptor-reseptor pasca-sinaps yang mengakibatkan

neuron dibanjiri oleh kalsium. Dengan mengaktivasi beberapa kaskade biokimia secara sembarangan,

kalsium akhirnya menyebabkan kematian neuron.

Iskemia cerebral secara luas diklasifikasikan menjadi dua kategori : Iskemia global dan Iskemia

fokal. Iskemia global ditandai oleh penghentian lengkap CBF (cth; cardiac arrest). Dalam situasi ini,

depolarisasi neuron terjadi dalam 5 menit. Secara selektif, neuron-neuron rentan di dalam hippocampus

dan korteks cerebri adalah yang pertama mati. Kesempatan untuk restorasi aliran adalah sangat kecil

kerana kematian neuron berlangsung sangat cepat. Iskemia fokal ditandai oleh daerah iskemia padat

(sering disebut “core”) yang dikelilingi oleh zona variabel yang lebih besar dan kurang iskemik

(penumbra). Di dalam core, penurunan aliran cukup parah untuk mengakibatkan kematian neuron

dengan cepat secara relatif. Penurunan aliran di penumbra cukup untuk menghasilkan EEG isoelektrik

tetapi tidak begitu parah untuk menyebabkan kematian neuron dengan cepat. Namun, jika aliran tidak

dikembalikan, kematian dan infark akan terjadi di penumbra meskipun pada kadar yang jauh lebih

lambat. Oleh kerana kadar kematian neuron yang perlahan ini, kesempatan untuk intervensi terapeutik

yang dirancang untuk menyelamatkan neuron secara garis besar lebih lama pada iskemia fokal. Sebagian

besar episode iskemia di dalam kamar operasi adalah fokal.

PENGARUH OBAT ANASTESI TERHADAP OTAK YANG ISKEMIK

A) Barbiturat

Pendekatan awal terhadap masalah iskemia serebral difokuskan pada pengurangan

kebutuhan energi otak. Alasannya adalah bahwa dengan mengurangi persyaratan ATP, otak

akan bisa mentoleransi iskemia untuk jangka waktu yang lebih lama. Konsep supply-demand ini

telah terbukti relevan dalam kasus iskemia jantung. Oleh karena itu, agen pertama yang

diselidiki adalah agen-agen yang dapat mengubah EEG isoelektrik (agen tersebut akan mampu

mengurangi persyaratan ATP sebesar 50%).

Page 4: Brain Protection - The Clinical Reality

Barbiturat dapat menghasilkan isoelectricity dari EEG dan ia telah dipelajari secara

ekstensif. Pada iskemia global, barbiturat dalam dosis burst suppression dari EEG tidak akan

mengurangi cedera iskemia. Hal ini tidak terlalu mengejutkan karena EEG dengan cepat menjadi

isoelektrik setelah terjadinya iskemia global. Dalam situasi ini, barbiturat tidak diharapkan dapat

memberikan manfaat yang banyak. Barbiturat telah ditemukan berkhasiat dalam pengobatan

untuk iskemia fokal. Sejumlah peneliti telah menunjukkan bahwa barbiturat dapat mengurangi

tingkat cedera otak yang diakibatkan oleh oklusi arteri serebral media. Pada manusia, loading

thiopental telah terbukti untuk mengurangi defisit neurologis pada pasien post-cardiopulmonary

bypass. Oleh itu, barbiturat telah dianggap sebagai "gold standard" antara obat-obat anestesi

proteksi serebral. Kemanjuran efek proteksi yang dianggap ada pada barbiturat baru-baru ini

dipertanyakan lagi atas dasar bahwa pengurangan cedera yang didapatkan pada penggunaan

barbiturat mungkin datangnya dari anesthesia induced hypothermia bukan dari barbiturat

semata. Walaupun pada penelitian yang terbaru, di mana suhu otak dikontrol dengan ketat,

telah dibuktikan kebenaran kemanjuran efek proteksi barbiturat, perlu dicatat bahwa besarnya

keefektifan proteksi yang diberikan hanya sederhana. Selain itu, dosis yang menghasilkan burst

suppression dari EEG mungkin tidak perlu untuk mencapai efek proteksi; Warner dan rekan telah

menunjukkan bahwa sepertiga dari dosis barbiturat yang diperlukan untuk mencapai supresi

EEG dapat menghasilkan pengurangan cedera yang besarnya sama dengan yang dicapai dengan

dosis yang jauh lebih besar.

Keputusan untuk memberikan terapi dengan barbiturat untuk tujuan proteksi serebral

dibuat setelah dilakukan pertimbangan efek hemodinamik terhadap barbiturat, potensi

kebutuhan ventilasi mekanis berkepanjangan pasca-operasi pada pasien yang mulai sadar dari

anestesi, dan derajat proteksi yang dicapai adalah relatif sederhana.

B) Anestesi volatile

Seperti barbiturat, agen-agen yang volatile contohnya isoflurance, sevoflurane dan

desflurane dalam dosis tinggi (≈ 2 MAC) dapat mensupresi EEG burst. Namun, karena efeknya

pada cedera neuronal iskemik maka agen-agen ini menjadi pusat perhatian. Isoflurane telah

terbukti berfungsi sebagai agen neuroprotective pada iskemia hemisfera, iskemia fokal dan

iskemia near complete. Demikian juga, data yang tersedia menunjukkan bahwa kedua

sevoflurane dan desflurane dapat mengurangi cedera otak iskemik. Tidak tampaknya perbedaan

Page 5: Brain Protection - The Clinical Reality

yang substansial antara agen-agen volatile ini sehubungan dengan keberhasilan sifat

neuroprotective nya.

Pada sebagian besar penelitian yang dikutip di atas, cedera baru mulai dievaluasi

beberapa hari setelah terjadinya iskemik. Data dari Du dan rekan menunjukkan bahwa cedera

pasca iskemia neuronal adalah suatu proses yang dinamis di mana neuron terus-terusan mati

untuk jangka waktu yang panjang setelah pertama terjadinya serangan iskemik. Peneliti ini

menyarankan bahwa strategi terapi yang bersifat neuroprotective dimana setelah terjadinya

periode pemulihan yang singkat, mungkin tidak memberikan hasil yang bagus dan bertahan

lama karena pada periode pasca iskemik terjadinya kehilangan neuron yang terjadi secara terus-

menerus. Anestesi volatile dapat bertindak sebagai neuroprotective setelah pemulihan yang

singkat. Namun, Kawaguchi dkk baru-baru ini menunjukkan bahwa khasiat neuroprotective dari

isoflurane tidak bisa dipertahankan jika periode pemulihan mencapai waktu selama 2 minggu.

Hal ini menunjukkan bahwa anestesi volatile hanya memperlambat tetapi tidak mencegah

terjadinya kematian neuronal. Perlu dicatat bahwa, dengan menunda kematian neuronal, agen

volatile bisa meningkatkan durasi peluang untuk administrasi agen lain yang memiliki khasiat

neuroprotective.

Penemuan yang lebih baru dari Werner, Engelhard dan rekan telah menunjukkan

bahwa, dalam kondisi tertentu, efek neuroproteksi yang berkepanjangan dapat dicapai dengan

agen volatile. Pada kasus iskemia hemisfera dengan hipotensi, sevoflurane menghasilkan efek

neuroproteksi yang jelas bahkan hingga empat minggu setelah iskemia. Dalam studi ini, harus

ditekankan bahwa binatang yang dibius tidak mengalami cedera sama sekali, bahkan, tidak ada

walau satu pun neuron yang ditemukan tercedera. Sebaliknya, jumlah yang mengalami

kecederaan sederhana ditemukan pada hewan kontrol. Data ini menunjukkan bahwa agen

volatile dapat menghasilkan neuroproteksi jangka panjang dengan syarat bahwa keparahan

cedera sangat ringan. Misalnya sekali terjadi cedera neuronal yang moderat, perluasan infark

yang terjadi akan menghalangi neuroproteksi jangka panjang.

Page 6: Brain Protection - The Clinical Reality

C) Propofol

Propofol mempunyai sejumlah properti yang sama dengan barbiturat. Propofol sendiri

dapat menghasilkan supresi kepada EEG burst sehingga mengurangi CMRO2 sebesar 50%. Pada

iskemia fokal, propofol secara signifikan mengurangi tingkat infark cerebral. Bahkan,

kemampuan propofol untuk mengurangi cedera serupa dengan yang dicapai dengan

pentobarbital. Data yang lebih baru dari kelompok Gelb memberi kesan bahwa neuroproteksi

propofol, seperti juga pada isoflurane, tidak berkelanjutan melampaui jangka waktu satu

minggu. Sebaliknya, neuroproteksi dengan propofol dapat dicapai dengan ketentuan bahwa

tingkat keparahan cedera sangat ringan, dalam hal ini, kemanjuran propofol sebagai

neuroproteksi adalah serupa dengan agen-agen volatile.

D) Etomidate

Di atas kertas, etomidate tampaknya seperti agen neuroprotektif yang ideal. Etomidate

dapat mengurangi CMRO2 hingga 50% dengan cara mensupresi EEG burst. Selain itu, tidak

seperti barbiturat, etomidate dibersihkan dengan cepat dan tidak menyebabkan depresi

miokardial atau hipotensi. Studi awal pada iskemia global menunjukkan bahwa etomidate dapat

mengurangi cedera iskemik. Namun, perbaikan cedera ini relatif kecil dan itu terbatas pada

suatu struktur tunggal (hipokampus). Studi selanjutnya pada iskemia fokal mengungkapkan

sesuatu yang mengejutkan, bahwa sebenarnya etomidate itu meningkatkan volume infark pada

otak. Pengaruh ‘meningkatkan cedera’ oleh etomidate ini telah dikaitkan dengan

kemampuannya untuk mengurangi kadar nitric oxide dalam jaringan otak yang iskemik (baik

dengan cara menghambat sintase nitric oxide atau dengan scavenging nitric oxide secara

langsung). Karena nitric oxide dianggap penting dalam pemeliharaan aliran darah selama

iskemia, maka dapat dikatakan etomidate mungkin akan meningkatkan keparahan iskemia. Data

yang tersedia justru tidak mendukung penggunaan etomidate sebagai agen neuroprotektif.

Page 7: Brain Protection - The Clinical Reality

Summary

Secara keseluruhan, data yang tersedia menunjukkan bahwa barbiturat dapat melindungi otak

dan dosis yang diperlukan untuk mencapai hal ini mungkin sangat kurang berbanding dosis untuk

menghasilkan supresi EEG burst. Hal ni mempunyai relevansi klinis yang dapat dipertimbangkan karena

efek neuroproteksinya dapat dicapai dengan dosis yang tidak menyebabkan pasien hilang kesadaran

untuk waktu yang lama. Demikian pula, proteksi juga bisa dicapai dengan konsentrasi klinis yang relevan

dari anestesi volatile (≈ 1 MAC) dan dengan propofol. Kesetaraan proteksi relatif yang mungkin dicapai

dengan agen-agen yang memiliki pengaruh yang berbeda terhadap CMRO2 menunjukkan bahwa

kemampuan agen-agen anestesi untuk mengurangi cedera neuronal iskemik memiliki pengaruh yang

sedikit terhadap pengurangan CMRO2, dan dimodulasi oleh kaskade patofisiologik yang diinisiasi oleh

iskemia.

ISKEMIA CEREBRAL – PENGARUH PARAMETER FISIOLOGIK

Parameter fisiologis, seperti MAP, PaCO2, gula darah dan suhu tubuh, memiliki pengaruh

signifikan pada hasil manajemen otak setelah terjadinya iskemia otak. Dalam bagian ini, informasi

mengenai dampak dari parameter ini pada otak yang iskemik telah diringkaskan. Bila memungkinkan,

rekomendasi manajemen spesifik telah diusulkan.

A) Temperatur tubuh

Pengaruh hipotermia dalam dan moderat sangat terkenal ke atas toleransi otak. Sebagai

contoh, sementara otak pada keadaan normotermia mengalami cedera otak setelah iskemia

selama 5 menit, otak dalam keadaan hipotermia yaitu dibuat sampai suhu 16 ° C dapat

mentoleransi iskemia selama 30 menit (dan lebih lama dalam situasi tertentu). Demikian

pula, cardiopulmonary bypass biasanya dilakukan pada suhu 28 ° C untuk mengurangi

potensi cedera otak iskemik. Oleh karena itu, induksi hipotermia dalam dan moderat untuk

operasi jantung telah mapan.

Apa yang telah ditemukan baru-baru ini adalah dengan hanya pengurangan suhu

beberapa derajat (≈ 33-34 ° C) kerentanan otak untuk cedera iskemik sudah dapat dikurangi.

Dalam model hewan dengan iskemia serebral global, hipotermia ringan intraiskemik (suhu

Page 8: Brain Protection - The Clinical Reality

33 ° C) telah terbukti secara dramatis mengurangi cedera neuronal. Selain itu, penerapan

hipotermia ringan setelah serangan iskemik juga telah ditunjukkan untuk mengurangi

cedera apabila suhu dikurangi dalam waktu 30 menit serangan iskemik dan durasi

hipotermia ini diperpanjang untuk beberapa jam. Demikian pula, hipotermia ringan intra

dan post-iskemik dapat mengurangi cedera otak pada iskemia fokal. Efek protektif dari

hipotermia lebih besar dalam situasi di mana aliran dipulihkan setelah iskemia dan kurang

jelas dalam situasi di mana iskemia menetap (Misalnya, oklusi menetap pada pembuluh

darah cerebral yang tidak di recanalized).

Dalam terangnya dramatis dampak proteksi dari hipotermia ringan, penggunaannya

dalam pengaturan ruang operasi telah diadvokasi. Pendukung penggunaan metode ini

berpendapat bahwa hipotermia dapat dicapai kapanpun dan tidak disertai dengan depresi

miokard atau aritmia yang signifikan. Selain itu, pasien dapat segera dihangatkan kembali di

ruang operasi setelah resiko iskemia mereda. Keberhasilan tehnik hipotermia ringan dalam

mengurangi cedera otak pada manusia yang mengalami perdarahan subarachnoid

berterusan dan yang hadir ke dalam ruang operasi dengan aneurysm clipping telah

dievaluasi dalam uji coba klinis secara acak (IHAST-2). Induksi hipotermia ringan tidak

mengurangi kejadian kelainan neurologis baru pada periode pasca-operasi. Data ini tidak

mendukung penggunaan hipotermia intraoperatif untuk aneurysm clipping.

Walaubagaimanapun perlu dicatat bahwa hanya pasien dengan nilai SAH I-III atau

unruptured aneurysm yang termasuk dalam uji coba IHAST. Selain itu, jumlah pasien yang

diberikan klip sementara dalam waktu lama adalah terlalu kecil untuk menarik kesimpulan

yang berarti tentang kemanjuran hipotermia ringan dalam kondisi ini. Karena itu ada

pendapat menyatakan bahwa pada pasien dengan kelas IV dan V SAH dan aplikasi klip

sementara dalam waktu lama yang diantisipasi, induksi hipotermia ringan mungkin sebagian

besar belum terbukti bermanfaat.

Penerapan hipotermia ringan pada cedera kepala mengurangi intra cranial pressure

(ICP) dan memperbaiki hasil neurologis dalam percobaan perintis. Dari catatan, dilihat

bahwa atribusi komplikasi yang dapat menyebabkan hipotermia tidak diamati sama sekali.

Walaubagaimanapun, uji coba berikutnya yang berupa multi-center untuk melihat

hipotermia pada pasien cedera kepala, gagal memastikan penemuan pada studi perintis

tersebut. Induksi hipotermia ringan tidak meningkatkan hasil neurologis jangka panjang.

Harus dicatat bahwa, bagaimanapun, temuan post-hoc menyatakan hasil pada pasien lebih

Page 9: Brain Protection - The Clinical Reality

muda dari 45 tahun yang hipotermia pada saat presentasi lebih buruk jika pasien tersebut

dihangatkan kembali; data ini menunjukkan bahwa pasien dalam kondisi ini, tidak boleh

dihangatkan.

Data yang berkaitan tentang penerapan hipotermia ringan lebih positif pada pasien

serangan jantung. Dua percobaan terbaru telah menunjukkan bahwa induksi hipotermia

(32-34 °C) setelah berhasil meresusitasi cardiac arrest memberi hasil neurologis yang secara

signifikan lebih baik 6 bulan setelah cardiac arrest. Studi-studi ini menunjukkan kemanjuran

klinis dari hipotermia untuk tujuan mengurangi cedera otak iskemik dan memberikan

dukungan yang kuat untuk penggunaan hipotermia intraoperatif bagi pasien yang dianggap

berisiko tinggi.

Sebaliknya, kenaikan suhu otak selama dan setelah iskemia memperburuk cedera.

Kenaikan sesedikit 1 ° C secara dramatis dapat meningkatkan cedera. Iskemia yang biasanya

menghasilkan nekrosis neuron yang tersebar menghasilkan otak infark saat suhu tubuh

tinggi. Karena itu tampaknya bijaksana untuk menghindari hipertermia pada pasien yang

memiliki mengalami serangan iskemik atau mereka yang berisiko otak iskemia. Di ruang

operasi, hipertermia jarang memberi masalah. Salah satu situasi di mana suhu tubuh

diperboleh untuk ditingkatkan adalah selama rewarming setelah CPB hipotermia. Dalam

bahwa situasi, hipertermia (suhu tubuh inti yang melebihi 38 °C) tidak biasa. Saran bahwa

kenaikan suhu lebih dari 37-38 °C dihindari memiliki beberapa manfaat memberikan

informasi terbaru mengenai dampak merugikan hipertermia.

B) Tekanan perfusi cerebral (CPP)

Aliran darah cerebral yang normal diautoregulasi pada CPP dengan kisaran 60 hingga

150 mmHg. Pada pasien hipertensi, batas bawah autoregulasi mengalami shift to the right.

Di sebagian besar pasien yang sehat dan normotensif, pemeliharaan CBF dapat dipastikan

dengan CPP lebih dari 60 mmHg. Namun pertanyaannya adalah apakah CPP ini cukup untuk

mempertahankan perfusi di otak yang telah mengalami cedera iskemik. Di dalam dan di

sekitar jaringan otak yang mengalami cedera, autoregulasinya sama ada dilemahkan atau

dihapuskan. Perfusi cerebral di daerah otak adalah tekanan pasif dan tergantung pada CPP.

CPP yang ideal pada pasien ini belum pernah dipelajari secara menyeluruh; pedoman yang

tetap belum dibuat dan manajemen tekanan darah harus dilakukan secara individual.

Page 10: Brain Protection - The Clinical Reality

Namun pada pasien cedera kepala, CPP yang diperlukan adalah lebih tinggi berbanding

normal dan diperlukan untuk mempertahankan CBF normal. Chan dan rekan telah

menunjukkan bahwa CPP sekitar 70 mmHg adalah cukup untuk pasien cedera kepala.

Dengan itu, CPP 70 mmHg adalah tujuan yang wajar pada pasien yang beresiko iskemia otak.

Pasien yang pernah mengalami cedera iskemia cerebral bisa mendapatkan manfaat dari

augmentasi aliran darah cerebral yang diinduksi oleh hipertensi. Induced hypertension,

dengan peningkatan mean arterial pressure sebanyak 20% di atas tekanan dasar, dapat

mengakibatkan perbaikan klinis dalam sebagian besar pasien dengan stroke akut dimana

trombolisis tidak feasible. Induced hypertension dapat ditoleransi pada pasien tersebut

selama beberapa jam yang akan berakhir dengan perbaikan klinis . Pada pasien ini, potensi

risiko untuk stroke hemorrhagik konversi akan meningkat. Oleh karena itu, tekanan darah

harus ditingkatkan dengan perlahan, sebuah kenaikan sekitar 10-15% di atas tekanan awal

pasien adalah tujuan yang wajar.

Sebaliknya, hipotensi telah terbukti cukup merusak terhadap otak yang cedera (iskemik

atau traumatik). Hipotensi dapat meningkatkan volume serebral yang mengalami infark

secara signifikan dan harus dihindari pada pasien yang telah menderita stroke. Demikian

pula, hipotensi telah terbukti menjadi salah satu kontributor yang paling penting kepada

hasil yang buruk pada pasien yang mengalami cedera kepala. Karena itu, pemeliharaan MAP

dan CPP yang adekuat adalah sangat penting. Peningkatan MAP oleh agonis alpha seperti

fenilefrin adalah sangat berguna (Dengan asumsi bahwa volume intravaskuler pasien

normal). Ada kekhawatiran bahwa vasokonstriktor ini mungkin menghasilkan vasokonstriksi

serebral, sehingga menghindarkan efek menguntungkan dari peningkatan MAP. Namun,

agonis alpha tidak mengurangi CBF.

C) Glukosa darah

Dalam otak normal yang diperfusi dengan cukup, glukosa dimetabolisme secara aerobik.

Produk akhir metabolisme aerobik glukosa adalah air, CO2 dan ATP. Ketika otak dalam

keadaan iskemik, oksigen tidak lagi tersedia dan metabolisme aerobik glukosa terhambat.

Glukosa ini kemudiannya dimetabolisme secara anaerobik melalui jalur glikolisis. Akhir

produk dari jalur ini adalah asam laktat dan ATP. Asam laktat yang dihasilkan memberikan

kontribusi terhadap asidosis yang terjadi di banyak jaringan iskemik.

Page 11: Brain Protection - The Clinical Reality

Oleh karena otak tidak memiliki cadangan glukosa, asidosis laktat menjadi terbatas.

Namun, selama hiperglikemia, pasokan glukosa ke otak meningkat. Memang, dengan

hiperglikemia, cadangan glukosa di saraf menjadi lebih banyak. Dalam situasi ini, jumlah

asam laktat yang dihasilkan adalah cukup besar dan pH otak menurun. Asidosis ini

memberikan kontribusi yang signifikan terhadap nekrosis neuronal. Pada iskemia global,

hiperglikemia meningkatkan cedera otak. Pada studi iskemia fokal, hiperglikemia akut atau

hiperglikemia diabetes berhubungan dengan peningkatan infark serebral; perawatan

hiperglikemia dengan administrasi insulin mengurangi peningkatan cedera ini. Hiperglikemia

meningkatkan cedera otak dan memperburuk hasil pada pasien dengan stroke. Dalam studi

hasil jangka panjang, hiperglikemia (diabetes dan non-diabetes) telah terbukti menjadi

prediktor independen dari hasil yang buruk. Dalam uji coba stroke NIH yang disponsori oleh

rt-PA, hiperglikemia secara signifikan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih rendah

untuk hasil klinis yang diinginkan dan peningkatan insidensi perdarahan intrakranial. Perlu

dicatat, walaubagaimanapun, manfaat kontrol dari nilai glukosa darah pada pasien dengan

mengalami cedera iskemik serebral belum ditunjukkan dalam uji coba klinis secara acak dan

prospektif. Meskipun demikian, banyak bukti menunjukkan bahwa pengobatan

hiperglikemia pada pasien harus dipertimbangkan dan dilaksanakan.

Sebaliknya, hipoglikemia juga dikaitkan dengan cedera otak. Dengan pengurangan

bertahap nilai glukosa darah sekitar 40 mg/dl, pergeseran frekuensi EEG dari alfa dan beta

kepada delta dan theta terjadi. Tingkat glukosa di bawah darah 20 mg/dl, dapat diamati

supressi EEG (flat). JIka kondisi hipoglokemi berlangsung lama, dapat terjadinya aktivitas

kejang dan cedera neuronal, khususnya ke hipokampus.

Dampak merugikan dari hipoglikemia pada otak telah mencetus pendekatan agresif

untuk mengendalikan hiperglikemia pada pasien yang berisiko iskemia otak. Dalam sebuah

studi besar pasien di ICU dimana konsentrasi glukosa darah dikawal dengan ‘ketat’ antara 80

dan 110 mg/dl, kejadian hipoglikemia adalah 5%, ini tidak menyebabkan peningkatan

morbiditas. Sebuah penyelidikan yang lebih baru di mana target kadar glukosanya antara

100 dan 140 mg/dl, kejadian hipoglikemia (kurang dari 60 mg/dl) adalah 0,2%. Data-data ini

konsisten dengan premis bahwa hiperglikemia bisa aman diobati dengan infus insulin-

glukosa. Apabila kontrol glukosa darah dilaksanakan, adalah sangat penting untuk sering

dipantau kadar glukosa darah dan dosis insulin disesuaikan untuk mencegah hipoglikemia.

Page 12: Brain Protection - The Clinical Reality

Jika pemantauan secara sering tingkat glukosa darah tidak dapat dilakukan, maka kontrol

agresif hiperglikemia tidak dapat didukung.

Berdasarkan diskusi ini, adalah praktik penulis saat ini untuk mengontrol kadar glukosa

darah dengan infuse glukosa-insulin-kalium. Sasaran untuk tingkat glukosa relatif liberal:

antara 100 dan 180 mg/dl. Tinggi ‘liberal’ ini dibenarkan berdasarkan kurangnya bukti

keefektifan kontrol ketat kadar glukosa pada pasien dengan cedera SSP dan risiko nyata dari

cedera hipoglikemik. Ambang batas ini, walaupun sewenang-wenang, mirip dengan apa

telah diusulkan oleh Wass dan Lanier.

D) PaCO2

Manipulasi ketegangan karbon dioksida arteri adalah sarana potensial untuk meregulasi

efek aliran darah otak dan volume darah otak. Hipokapnia dapat mengurangi CBF, CBV dan

ICP. Oleh karena itu, hiperventilasi sering dilakukan pada pasien dengan lesi massa yang

memperluas, hipertensi intrakranial dan di ruang operasi untuk menghasilkan relaksasi otak.

Keuntungan penggunaan jangka pendek, hiperventilasi sementara adalah jelas. Keprihatinan

yang signifikan tentang hipokapnia pada pasien dengan iskemik atau trauma SSP cedera

adalah, apakah pengurangan aliran darah dapat meningkatkan tahap cedera. Hiperventilasi

profilaksis belum memperlihatkan manfaat pada pasien dengan stroke. Bahkan, data

laboratorium telah menunjukkan bahwa hipokapnia secara signifikan dapat menurunankan

CBF di otak yang iskemik, sedangkan hasil akhirnya adalah peningkatan jumlah jaringan otak

yang mengalami penurunan aliran yang parah (dan dalam apa yang dianggap menjadi

iskemia). Pada cedera kepala, aplikasi hiperventilasi profilaksis dikaitkan dengan hasil yang

buruk 3 dan 6 bulan setelah cedera. Pada pasien ini, jumlah daerah otak yang mengalami

iskemik bertambah secara dramatis dengan hipokapnia. Berdasarkan data tersebut, Brain

Trauma Foundation telah merekomendasikan bahwa hiperventilasi profilaksis dihindari

selama tahap awal cedera kepala.

Hiperventilasi tidak sepenuhnya berbahaya dan harus diperlakukan seperti intervensi

terapeutik lainnya. Perlu diterapkan dengan pemahaman tentang komplikasinya. Dalam

pengaturan cedera kepala dan iskemia serebral, hal ini memiliki potensi untuk

meningkatkan cedera. Jika diterapkan, hiperventilasi harus ditarik ketika tujuan dimaksud

telah dicapai atau tidak lagi diperlukan.

Page 13: Brain Protection - The Clinical Reality

E) Profilaksis kejang

Kejang biasanya terjadi pada pasien dengan patologi intrakranial. Aktivitas kejang

dikaitkan dengan aktivitas neuron yang meningkat, peningkatan aliran darah otak, volume

darah otak (akibatnya peningkatan ICP) dan asidosis cerebral. Kejang tidak diobati dapat

menyebabkan nekrosis neuron walaupun dengan perfusi serebral normal. Oleh karena itu,

pencegahan dan pengobatan cepat kejang adalah tujuan yang penting. Kejang bisa cepat

diobati dengan benzodiazepin, barbiturat, etomidate dan propofol. Untuk aktivitas

antiepilepsi yang lebih tahan lama, phenytoin dan pentobarbital sering digunakan.

Variable fisiologis dan efeknya terhadap CBF

Variabel Efek terhadap CBF

PaCO2

PaCO2

PaO2 (< ~ 50 mmHg)

PaO2 atau

Blood viscosity

MAP (within MAP ~ 50 – 150 mmHg)

ICP Potentially

CVP Potentially

Cardiac output

MAP = Mean Arterial Pressure, CVP = Central Venous Pressure, ICP = Intra Cranial Pressure, PaO 2 =

Partial Pressure of Oxygen in Arterial Blood, PaCO2 = Partial Pressure of Carbon Dioxide in Arterial Blood

Page 14: Brain Protection - The Clinical Reality

Summary

Berdasarkan pembahasan di atas, pendekatan untuk ‘proteksi otak’ adalah sebagai berikut:

a. Otak yang dibius kurang rentan terhadap cedera iskemik berbanding otak yang sadar

sepenuhnya. Meskipun data manusia mengenai manfaat relatif dari obat-obat anestesi

masih sangat kurang, informasi yang tersedia adalah konsisten dengan premis bahwa

anestesi volatile memberikan beberapa proteksi walaupun sementara.

b. Barbiturat, meskipun telah lama dianggap gold standard, tidak digunakan secara rutin.

Dalam situasi di mana risiko cedera iskemik tinggi (yaitu aneurisma dan operasi AVM),

diberikan barbiturates. Praktek ini sebagian besar adalah empiris. Barbiturat tidak diberikan

selama endarterektomi karotid. Jika, setelah cross-clamping karotid, perubahan EEG sugestif

dari iskemia berat hadir, maka shunt dimasukkan.

c. Pasien yang menjalani operasi aneurisma dan AVM adalah secara rutin dibuat hipotermia ke

suhu tubuh inti dari 33-34 ° C. Praktek ini akan ditinjau kembali mengingat hasil negatif yang

didapatkan hasil uji coba IHAST. Pasien CEA tidak dibuat hipotermia karena risiko iskemi

miokard pada pasien ini saat dihangatkan kembali adalah signifikan. Hipertermia harus

dihindari.

d. Tekanan perfusi cerebral dijaga dalam ‘normal range’ untuk masing-masing pasien. Pada

pasien CEA, MAP (tanpa adanya shunt) dapat ditingkatkan dengan hingga 10%.

e. Pada pasien diabetes, insulin diberikan jika nilai glukosa melebihi 250 mg/dl. Pemantauan

ketat terhadap glukosa darah sangat disarankan untuk memastikan tidak terjadinya

hipoglikemia.

Page 15: Brain Protection - The Clinical Reality

FOKUS UTAMA PROTEKSI OTAK

Fokus utama dalam proteksi otak adalah menurunkan tekanan intrakranial (ICP), mengekalkan

tekanan perfusi otak (CPP) dan menurunkan metabolisma otak.

Tekanan intracranial

ICP adalah suatu tekanan di dalam cranium yang dipengaruhi oleh volume LCS, darah dan

parenkim otak. ICP diukur dalam milimeter air raksa (mmHg). Pada istirahat, biasanya 7-15 mmHg untuk

orang dewasa yang terlentang. Di posisi vertikal, menjadi negatif (rata-rata -10 mmHg). Hubungan

tekanan-volume antara ICP, volume CSF, darah, dan jaringan otak, dan tekanan perfusi serebral (CPP)

dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie atau hipotesis Monro-Kellie. Menciptakan keadaan kesetimbangan

volume, sehingga setiap peningkatan volume salah satu unsur tengkorak harus dikompensasi oleh

penurunan volume lain

Cara menurunkan ICP antara lain ;

1. Hyperventilasi

2. Meninggikan kepala saat dirawat bed rest (15-30˚)

3. Mobilisasi leher

4. Pelumpuh otot

5. Extraventricular drain atau Lumbar puncture drain

6. Craniotomy evakuasi

7. Decompressive craniectomy

Tekanan perfusi otak (CPP)

CPP adalah gradien tekanan bersih menyebabkan aliran darah ke otak (perfusi otak). Ini harus

dipertahankan dalam batas-batas yang sempit karena tekanan terlalu sedikit dapat menyebabkan

jaringan otak menjadi iskemik (memiliki aliran darah tidak memadai), dan terlalu banyak dapat

meningkatkan tekanan intrakranial (ICP). CPP dapat didefinisikan sebagai gradien tekanan menyebabkan

aliran darah serebral (CBF) seperti;

Page 16: Brain Protection - The Clinical Reality

CBF = CPP / CVR

Dimana

CVR adalah cerebrovascular resistance

Tiga tekanan yang dapat berkontribusi pada CPP adalah

1. Mean arterial pressure (MAP)

2. ICP

3. Jugular venous pressure (JVP)

Di jaringan, tekanan perfusi hanya perbedaan tekanan antara sisi arteri dan sisi vena. Dalam

beberapa jaringan ada tekanan ketiga : tekanan eksternal ke pembuluh darah. Jika tekanan ini tinggi,

dapat membatasi pengaliran melalui jaringan. Situasi ini dikenal sebagai resistor Starling. Situasi seperti

itu ada di otak mana tekanan eksternal adalah ICP. Akibatnya, definisi benar CPP adalah:

CPP = MAP − ICP (if ICP is higher than JVP)

Or

CPP = MAP − JVP (if JVP is higher than ICP)

Normal (MAP : 60-150 mmHg dan ICP : 10 mmHg) aliran darah otak relatif konstan karena

autoregulasi pelindung.

Di luar batas autoregulasi, meningkatkan MAP, CPP turut meningkat. Meningkatkan ICP,

menurunkan CPP. CPP biasanya antara 70 dan 90 mmHg pada manusia dewasa, dan tidak bisa di bawah

70 mmHg untuk periode berkelanjutan tanpa menyebabkan kerusakan otak iskemik. Meskipun

beberapa pihak menganggap 50-150 mmHg sebagai kisaran normal untuk orang dewasa. Anak-anak

membutuhkan tekanan minimal 60 mmHg.

Page 17: Brain Protection - The Clinical Reality

MAP adalah istilah yang digunakan dalam pengobatan untuk menggambarkan tekanan darah

rata-rata dalam diri seseorang. MAP dapat ditentukan dari :

MAP = (CO x SVR) + CVP

Dimana

CO cardiac output

SVR systemic vascular resistence

CVP adalah tekanan vena sentral dan biasanya cukup kecil untuk diabaikan

Pada denyut jantung normal, istirahat MAP dapat didekati dengan menggunakan tekanan

sistolik dan diastolik lebih mudah diukur, SP dan DP.

MAP ~ DP + 1/3 (SP-DP)

MAP dianggap sebagai tekanan perfusi pada organ-organ dalam tubuh. Hal ini diyakini bahwa

MAP yang lebih besar dari 60 mmHg sudah cukup untuk mempertahankan organ-organ dari orang rata-

rata. Jika MAP jatuh jauh di bawah angka ini untuk waktu yang cukup, akhirnya organ tidak akan

mendapatkan aliran darah yang cukup, dan akan menjadi iskemik.

PROMISING DRUGS

Nootropics

Nootropics, juga disebut sebagai obat cerdas, enhancer memori, dan enhancer kognitif, adalah

obat, suplemen, nutraceuticals, dan makanan fungsional yang diakui untuk meningkatkan fungsi mental

seperti kognisi, memori, kecerdasan, motivasi, perhatian, dan konsentrasi.

Nootropics diperkirakan untuk bekerja dengan mengubah ketersediaan pasokan otak dari zat

kimia saraf (neurotransmiter, enzim, dan hormon), dengan meningkatkan suplai oksigen otak, atau

dengan merangsang pertumbuhan saraf. Namun kemanjuran zat nootropic, dalam banyak kasus, belum

Page 18: Brain Protection - The Clinical Reality

ditentukan secara meyakinkan. Hal ini rumit oleh kesulitan mendefinisikan dan mengukur kognisi dan

kecerdasan.

Nootropic adalah enhancer kognitif yang bersifat neuroprotektif dan sangat non-toxic.

Nootropics secara definisi adalah enhancer kognitif, tapi enhancer kognitif belum tentu sebuah

nootropic. Sebuah enhancer kognitif adalah zat yang meningkatkan konsentrasi dan memori. Enhancer

kognisi sintetis pertama adalah amfetamin.

Dietary sources and supplements

B vitamins

Omega 3

Polyphenols

Anti-oxidant

Racetams

Piracetam

Stimulants

Amphetamines

Dopaminergics

Ritalin

Memory enhancement

Cholinergics

GABA blockers

Glutamate activators

cAMP

Serotonergics

Anti-depression, adaptogenic (antistress), and mood stabilization

Page 19: Brain Protection - The Clinical Reality

Piracetam

Merupakan obat nootropic, derivat siklik dari GABA. Mekanisme aksi piracetam, pada

umumnya, tidak sepenuhnya dipahami, tetapi mempengaruhi fungsi neuron dan pembuluh

darah dan fungsi kognitif tanpa pengaruh bertindak sebagai obat penenang atau stimulan.

Piracetam meningkatkan fungsi neurotransmiter asetilkolin melalui receptor kolinergik

muscarinic (ACh) yang terlibat dalam proses memori. Mungkin memiliki efek pada glutamat

NMDA, yang terlibat dengan proses belajar dan memori. Piracetam ini diyakini akan

meningkatkan permeabilitas membran sel. Piracetam dapat menggunakan efek globalnya pada

neurotransmisi otak melalui modulasi saluran ion (yaitu, Na +, K +). Telah ditemukan untuk

meningkatkan konsumsi oksigen di otak, tampaknya yang berkaitan dengan metabolisme ATP,

dan meningkatkan aktivitas kinase siklase di otak tikus. Piracetam muncul untuk meningkatkan

sintesis dari sitokrom b5, yang merupakan bagian dari mekanisme transpor elektron di

mitokondria . Hal ini juga meningkatkan permeabilitas mitokondria dari beberapa perantara dari

siklus Krebs.

MONITORING SISTEM SARAF PUSAT

Beberapa system memonitor CNS yang baru dan lama telah digunakan selama operasi jantung.

Dibawah berikut adalah beberapa yang masih relevan.

Electrophysiologic : Electroencephalography (EEG)

Monitoring neurologis selama operasi CPB diibaratkan seumuran dengan sirkulasi

ekstrakorporeal. EEG intraoperatif telah terbukti sebagai nilai yang signifikan dalam bedah

cerebrovaskular, namun kegunaannya selama operasi CPB masih sangat kontroversial. Penurunan EEG

dikaitkan dengan kehilangan amplitude adalah patologis, tetapi adalah uji coba dengan banyaknya false

positive.

Page 20: Brain Protection - The Clinical Reality

Metode analisis EEG

Untuk memfasilitasi analisis, beberapa percobaan dilakukan untuk memproses data EEG supaya

dihasilkan paparan yang berguna. Analisis spektrum power menkonversi informasi dari domain waktu

(frekuensi terhadap waktu) ke domain frekuensi (power terhadap frekuensi) untuk setiap segmen EEG

(epoch kepada waktu). Susunan spektrum yang dipadatkan ini memaparkan spektrum power bersiri

yang di plot secara berlapis-lapis sehingga menunjukkan representasi EEG dalam bentuk ‘gunung dan

lembah’. Komputer yang menggunakan Fast Fourier Transformation (FFT) dapat memplot spektrum

power untuk beberapa channel secara serentak.

Metode analisis yang terbaru menggabungkan analisis power dengan penetapan phase-coupling

atau harmonics terhadap komponen-komponen berbeda dari sinyal EEG. ‘Bispectral analysis’ ini

menyediakan ukuran terhadap sinkronisasi komponen-komponen ini dengan hasil awal, yang

menunjukkan korelasi lebih baik dengan kedalaman anestesi, namun tidak ada data yang tersedia

tentang tahap sensitivitasnya untuk iskemia CNS.

Signifikan monitoring EEG

Walaupun terdapat banyak peningkatan teknologi EEG, data terbaru menunjukkan bahwa tidak

ada korelasi yang bermakna antara abnormalitas EEG dan hasil neurofisiologik. Pada studi terbaru oleh

Edmond dan rekan, peningkatan frekuensi power relatif rendah yang terjadi lebih dari 5 menit selama

pemanasan balik adalah nilai prediktor signifikan untuk cerebral cortical dysfunction (disorienasi).

Pengobatan untuk abnormalitas ini dengan menaikkan tekanan perfusi, secara signifikan menurunkan

disorientasi setelah CPB fase II. Teknologi EEG yang semakin maju akan dapat melakukan monitoring

selama CPB dengan baik, tetapi rumitnya monitoring delapan, enam belas atau sembilan belas channel

EEG di dalam kamar operasi masih kekal sebagai daunting endeavor.

Page 21: Brain Protection - The Clinical Reality

Cerebral Blood Flow (Xenon Clearence dan Kety- Schmidt)

Clearens Xenon dan pengukuran Kety- Schmidt untuk CBF adalah tehnik yang telah disahkan.

Tehnik ini telah memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap autoregulasi CBF selama CPB dan

kelompok yang berisiko kehilangan autoregulasi. Pengukuran CBF selama CPB bukanlah merupakan

prediktor untuk deficit neurologik dan kognitif selepas operasi CPB.

Transcranial atau Carotid Doppler

Pengukuran cerebral blood flow velocity (CBFV) pada medial cerebral artery (MCA) selama CPB

adalah teknologi non-invasif yang sangat berkembang sekarang. Tehnik ini dilakukan dengan memfokus

sinar ultrasound melalui jendela temporal pada Circle of Willis. Pembuluh darah ini diidentifikasi melalui

arah alirannya, relasi spatial terhadap tanda-tanda lain dan juga kompresi terhadap pembuluh darah

yang mengalir ke dalam. Alat ini membolehkan monitoring berterusan terhadap CBFV melalui MCA,

yang membawa presentase aliran cerebral yang besar. Tehnik ini juga dapat mendeteksi emboli di MCA

yang terjadi pada periode berisiko tinggi selama operasi jantung. Pungsly dan rekan menunjukkan

hubungan signifikan antara jumlah emboli dan hasil kognitif dalam satu studi yang mengevaluasi arterial

line filter pada pasien dengan bubble oxygenators. Walaubagaimanapun, saat ini terdapat inabilitas

untuk membedakan tipe emboli in vivo (udara vs partikel). Namun, walaupun terdapat kekurangan ini,

abilitas non-invasif untuk mengukur CBFV dan mendeteksi emboli cerebral selama periode perioperatif

adalah nilai potensi yang signifikan.

Transesophageal atau Epiaortic Echocardiography

Transesophageal atau Epiaortic Echocardiography telah diusulkan untuk mengevaluasi risiko

even neurologis selama perioperatif dan untuk menuntun potensi intervensi bedah. Walau bukan

monitor CNS yang sebenar, echocardiography telah terbukti dalam memberi informasi beharga dalam

menentukan pasien yang mana akan mengalami even neurologic fokal perioperatif. Atas dasar ini,

banyak peneliti telah merekomendasikan perlepasan radikal dari praktek normal untuk mengurangi

risiko neurologis ini, termasuk circulatory arrest dengan penyisihan terutamanya debri atheromatous.

Sehingga dilakukannya studi garis besar lain untuk mengevaluasi keberkesanan metode ini, kita hanya

Page 22: Brain Protection - The Clinical Reality

boleh mengatakan bahwa dalam menentukan risiko even neurologis yang mayor, sanning epiaortic

adalah monitor yang beharga.

Jugular Bulb Saturation

Jugular venous saturation (SjVO2) diukur dengan pemasangan kateter secara retrograde melalui

vena jugularis interna kedalam jugular bulb. Darah ditarik keluar melalui kateter ini dan dianalisis pH,

pO2, dan saturasi hemoglobin. Teknologi oksimetrik turut membolehkan monitoring saturasi jugular

secara terus-menerus. Saturasi berhubungan dengan ektraksi oksigen dan kadar metabolism cerebral

dan secara teoritis dapat memprediksikan iskemia cerebral. Desaturasi vena jugularis terjadi dalam 23%

pasien selama rewarming dari CPB. Kita menemukan asosiasi antara denaturasi jugular pada rewarming

dan disfungsi kognitif post-operatif terhadap 225 pasien. Variabel berasosiasi secara signifikan (p<0.05)

dengan disfungsi kognitif post-operatif adalah skor psychometric garis dasar, C(a-v)O2 terbesar selama

rewarming dan tahun pendidikan. Jugular bulb hemoglobin saturation (SJvO2) adalah signifikan jika ia

menggantikan C(a-v)O2. Pengukuran secara kontinu SJvO2 akan memberikan korelasi yang lebih lengkap

antara SJvO2 dan hasil neurologic atau kognitif.

Cerebral Oximetry

Pengukuran non-invasif saturasi hemoglobin cerebral regional (rSO2) melalui spectroscopy

optikal dalam sinar infrared jarak dekat (NIR) adalah tehnik baru yang didesign sebagai monitor iskemia

cerebral. Oximeter ini mengukur kombinasi vena, arteri dan darah kapiler, mayoritas (70%) adalah darah

vena dengan membedakan spectroscopy dalam dan superficial. Tehnik ini membolehkan monitoring

secara kontinu saturasi oksigen regional yang berkolerasi dengan perubahan EEG yang terjadi pada

pasien dengan hipoksemia. Namun, tidak ada data tersedia yang menunjukkan korelasi antara

pengurangan saturasi regional selama CPB dan hasil neurologic atau neurofisiologik. Pengukuran satu

region turut berkongsi nilai-nilai menjatuhkan pada monitoring EEG karena iskemia pada region yang

tidak dimonitor dapat menyebabkan perubahan saturasi oksigen di region lain.