Upload
rozsy-fakhrur
View
82
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mantap
Citation preview
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus
pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non
infeksi yang perlu dipertimbangkan.
Anak-anak sangat rentan terhadap berbagai penyakit yang bisa disebabkan oleh
kuman, virus, dan mikroorganisme lain seperti Bronkupneumonia ini. Faktor lingkungan
merupakan salah satu penyebabnya. Anak sangat suka bermain di dalam ataupun di luar
rumah sehingga perlu memperhatikan lingkungan di sekitar anak. Penyakit yang sering
tejadi pada anak yaitu penyakit pada saluran pernafasan. Salah satu penyakit saluran
pernafasan pada anak adalah bronkopneumonia. Di negara maju penyakit ini banyak
ditemukan. Selain itu, di negara berkembang juga banyak ditemukan dan penyakit ini
merupakan penyakit yang menyebabkan kematian pada anak usia 0 sampai 6 tahun.
Penyakit Bronkopneumonia di Indonesia berada di posisi kedelapan dari sepuluh
penyakit yang dirawat di Rumah Sakit di seluruh Indonesia setelah diare, demam berdarah
dengue, tipoid, demam peyebabnya tidak diketahui, dsypepsia, hipertensi, ISPA. Peran
perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumonia
meliputi usaha promotif yaitu dengan selalu menjaga kebersihan baik fisik maupun
lingkungan, upaya preventif dilakukan dengan cara memberikan obat sesuai dengan
indikasi yang di anjurkan oleh dokter, dan upaya kuratif perawat dalam memulihkan
kondisi klien dengan menganjurkan orang tua klien unutk membawa ke rumah sakit. Hal
ini dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan klien.
1
1.2 Tujuan
1.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan bronkopneumonia.
1.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi dan etiologi bronkopneumonia.
1.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala serta patofisiologi
bronkopneumonia.
1.2.4 Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis bronkopneumonia.
1.2.5 Mahasiswa mampu menjelaskan pengobatan, pencegahan, dan pemeriksaan
penunjang bronkopneumonia.
1.2.6 Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan
bronkopneumonia.
1.3 Implikasi Keperawatan
1.3.1 Perawat sebagai care giver, memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada
pasien dengan kelaian bronkupneumonia.
1.3.2 Perawat sebagai konselor , menjelaskan tentang kelainan yang terjadi pada pasien
kepada keluarga pasien
1.3.3 Perawat memberikan penjelasan tentang penatalaksanaan dan pengobatan kepada
keluarga klien
2
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Peneumonia merupakan infeksi akut pada jaringan paru yang disebabkan
mikroorganisme, dan sebagian besar diakibatkan oleh bakteri seperti Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa. Pneumonia
merupakan infeksi saluran napas bagian bawah (Corwin, 2009).
Peradangan akibat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga alveoli oleh
eksudat, sehingga pertukaran gas tidak dapat terjadi. Bronkopneumonia adalah pneumonia
yang menyerang satu atau lebih lobus ditandai dengan bercak berdiameter 3-4 cm
mengelilingi dan mengenai bronkhus (Soemantri, 2007).
Kesimpulannya bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah
peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa
distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat
disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral.
Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau
bronkiolitis.
2.2 Epidemiologi
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Laporan
WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di
dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi
pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan
penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian
akibat pneumonia di Amerika adalah 10%. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab
pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan
3
waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia
diberikan antibiotika secara empiris.
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang terbesar
penyebab kematian anak usia di balita (Depkes RI, 2008). Pneumonia membunuh anak
lebih banyak daripada penyakit lain apapun, mencakup hampir 1 dari 5 kematian balita,
membunuh lebih dari 2 juta balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara
berkembang. Oleh karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak nomor satu. Di
negara berkembang pneumonia merupakan penyakit yang terabaikan atau penyakit yang
terlupakan karena begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia, namun sangat
sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia (Kemenkes RI, 2010).
2.3 Etiologi
Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa,
mikrobakteri, mikoplasma, dan riketsia.
a) Bakteri : Streptococcus, Staphylococus, H. Influenza, Klebsiella.
b) Virus : Legionella pneumonia
c) Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans
Selain faktor infeksi bronkopneumonia dapat terjadi akibat :
a) Bronkopneumonia hidrokarbon dapat terjadi oleh karena aspirasi selama
penelanan muntah atau pemasangan selang NGT (zat hidrokarbon seperti pelitur,
minyak tanah dan bensin).
b) Bronkopneumonia lipoid dapat terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung
minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang
mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan
dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak
ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis
minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak
tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.
4
Sebab lain dari pneumonia adalah akibat flora normal yang terjadi pada pasien yang
daya tahannya terganggu, atau terjadi aspirasi flora normal yang terdapat dalam mulut
dank arena adanya pneumocystis crania (Smeltzer, 2002).
2.4 Tanda dan Gejala
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktusrespiratoris bagian atas,
kemudian ditandai dengan:
1) Suhu tubuh meningkat selama beberapa hari (39,5-40,5 derajat Celcius) yang
disertai kejang.
2) Gelisah dan malaise
3) Nafsu makan berkurang dan nyeri dada yang terasa ditusuk-tusuk.
4) Takhipnea (25 sampai 45 kali/menit).
5) Dispenia pernafasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung.
6) Sianosis disekitar hidung dan mulut.
7) Kadang disertai muntah dan diare.
8) Pada permulaan penyakit jarang ditemukan penyakit, tapi setelah beberapa hari
akan muncul kering, kemudian menjadi produktif (sputum hijau dan prulen)
9) Terdengar suara ronchi basah nyaring halus dan sedang ketika di auskultasi.
(Ngastiyah, 2005 dan Mansjoer, 2000)
2.5 Patofisiologi
Bronkopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang
disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophilus influenza atau karena aspirasi
makanan dan minuman. Bakteri masuk ke dalam jarinagn paru-paru melalui saluran
pernafasan dari atas untuk mencapai bronkiolus dan kemudian alveolus sekitarnya.
Kelainan yang timbul berupa bercak konsolidasi yang tersebar pada kedua paru-paru, lebih
banyak pada bagian basal. Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang
ada di udara, aspirasi organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen dari fokus
5
infeksi yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas masuk ke bronkhioli
dan alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang
kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial.
Kuman pnemukokus dapat meluas melalui porus kohn dari alveoli ke seluruh segmen
atau lobus. Eritrosit mengalami pembesaran dan beberapa lekosit dari kapiler paru-paru.
Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin dan
serta relative sedikit lekosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Paru menjadi tidak
berisi udara lagi, kenyal dan berwarna merah. Pada tingkat lebih lanjut, aliran darah
menurun, alveoli penuh dengan leukosit dan relative lebih sedikit eritrosit. Kuman
pnemukokus di fagositosis oleh leukosit dan sewaktu resolusi berlangsung, makrofag
masuk ke dalam alveoli dan menelan leukosit bersama kuman pnemokokus di dalamnya.
Paru masuk dalam tahap hepatisasi abu-abu dan tampak abu-abu kekuning-kuningan.
Secara perlahan sel darah merah yang mati dan eksudat fibrin di buang dari alveoli
sehingga terjadi resolusi sempurna, paru menjadi normal kembali tanpa kehilangan
kemampuan dalam pertukaran gas. Akan tetapi apabila proses konsolidasi tidak dapat
berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya eksudat pada alveolus maka
membrane dari alveolus akan mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan gangguan
proses difusi osmosis oksigen pada alveolus. Perubahan tersebut akan berdampak pada
penurunan jumlah oksigen yang di bawa oleh darah. Penurunan itu yang secara klinis
penderita mengalami pucat sampai sianosis.
Terdapatnya cairan purulen pada alveolus juga dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan pada paru sehingga dapat mengakibatkan penurunan kemampuan mengambil
oksigen dari luar dan berkurangnya kapasitas paru. Selain itu organisasi eksudat dapat
terjadi karena absorsi yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh,
mengandung banyak kuman penyebab (strepkokus, virus dan lain-lain). Selanjutnya
eksudat berubah menjadi purulen, dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus.
Sumbatan tersebut dapat mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita
mengalami sesak nafas. Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan
mengakibatkan peningkatan produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia pada lumen
bronkus sehingga timbul peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus sehingga timbul
peningkatan reflek batuk. Perjalanan patofisiologi di atas bias berlangsung sebaliknya
6
yaitu didahului dulu dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang menjadi infeksi
pada paru.
Di alveoli akan terjadi respon yang khas yang terdiri dari 4 tahap yang berurutan,
yaitu:
1) Kongesti (4 s/d 12 jam pertama). Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui
pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2) Hepatisasi merah (48 jam berikutnya). Paru-paru tampak merah dan bergranula
karena sel-sel darah merah, fibrin dan lekosit polimorfonuklear mengisi alveoli.
3) Hepatisasi kelabu (3 s/d 8 hari). Paru-paru tampak kelabu karena lekosit dan fibrin
mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.
4) Resolusi (7 s/d 11 hari). Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula. Bercak-bercak infiltrat yang
terbentuk adalah bercak-bercak yang difus, mengikuti pembagian dan penyebaran
bronkus dan ditandai dengan adanya daerah-daerah konsolidasi terbatas yang
mengelilingi saluran-saluran nafas yang lebih kecil.
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang timbul dari bronkopneumonia antara lain:
1. Empiema, yaitu penumpukan nanah di ruang antara paru-paru dan permukaan bagian
dalam dari dinding dada (rongga pleura).
2. Otitis media akut adalah peradangan pada sebagian atau seluruh dari selaput
permukaan telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid akibat
infeksi bakteri atau virus.
3. Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat
dangkal.
4. Emfisema adalah Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
5. Meningitis adalah peradangan serius dari meninges, membran tipis penutup otak dan
sumsum tulang belakang. Disebabkan oleh infeksi bakteri, virus atau jamur. 7
6. Efusi pleura adalah koleksi abnormal cairan di ruang antara lapisan tipis yang
menyelubungi paru dan melapisi dinding rongga dada (pleura).
7. Abses paru adalah lesi paru berupa supurasi dan nekrosis jaringan.
8. Pneumothoraks
9. Gagal napas dan sepsis.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1) Bronkoscopy. Pengambilan sekret secara broncoscopy untuk preparasi langsung,
biakan dan test resistensi dapat menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini
tidak rutin dilakukan karena sukar.
2) Secara laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000-40.000 / m dengan pergeseran
LED meninggi.
3) Pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan hipoksemia (karena ventilation
perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung
kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik, dan gagal nafas.
4) Pemeriksaan kultur darah jarang memberikan hasil yang positif tetapi dapat
membantu pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap penanganan awal.
5) Pada foto torax terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di seluruh lapangan
paru. Luasnya kelainan pada gambaran radiologis biasanya sebanding dengan derajat
klinis penyakitnya, kecuali pada infeksi mikoplasma yang gambaran radiologisnya
lebih berat daripada keadaan klinisnya. Gambaran lain yang dapat dijumpai :
a. Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris
b. Penebalan pleura pada pleuritis
c. Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum,
pneumotoraks, abses, pneumatokel
2.8 Penatalaksanaan
1. Menjaga kelancaran pernafasan
8
2. Memenuhi kebutuhan istirahat. Pasien sering mengalami hiperpireksia, sehingga
semua kebutuhan pasien harus ditolong di tempat tidur.
3. Kebutuhan nutrisi dan cairan. Pasien dengan bronkopneumonia hampir selalu
mengalami masukan makanan yang kurang. Suhu tubuh yang tinggi selama
beberapa hari dan masukan cairan yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi.
Untuk mencegah dehidrasi dan kekurangan kalori dipasang infus dengan cairan
glukosa 5% dan NaCl 0,9%.
4. Mengontrol suhu tubuh
5. Pengobatan dengan pemberian sesuai dengan etiologi dan uji resisten. Jika pasien
membutuhkan terapi secepatnya maka diberikan Penisilin ditambah
Cloramfenikal atau antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti Amphisilin.
Pengobatan diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari. Karena sebagian besar
pasien jatuh ke dalam asidosis metabolik akibat kurang nutrisi dan hipoksia.
Dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis gas darah arteri.
Berikut dosis obat yang diberikan sesuai usia:
1. Umur kurang dari 3 bulan, biasanya disebabkan oleh : Streptokokus pneumonia,
Stafilokokus atau Entero bacteriaceae. Kombinasi : Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/kg/24jam IM, 1-2 kali sehari, dan Gentamisin 5-7 mg/kg/24 jam, 2-3 kali sehari atau
kombinasi: Kloksasilin 50 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari dan Gentamisin 5-7
mg/kg/24 jam, 2-3 kali sehari. Kombinasi ini juga diberikan pada anak-anak lebih 3 bulan
dengan malnutrisi berat atau penderita immunocompromized.
2. Umur 3 bulan sampai 5 tahun, bila toksis mungkin disebabkan oleh Streptokokus
pneumonia, Hemofilus influenza atau Stafilokokus. Pada umumnya tidak dapat diketahui
kuman penyebabnya, maka secara praktis dipakai kombinasi: Penisilin prokain 50.000-
100.000 KI/kg/24jam IM, 1-2 kali sehari, dan Kloramfenikol 50-100 mg/kg/24 jam
IV/oral, 4 kali sehari atau kombinasi: Ampisilin 50-100 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali
sehari dan Kloksasilin 50 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari atau kombinasi: Eritromisin
50 mg/kg/24 jam, oral, 4 kali sehari dan Kloramfenikol (dosis sda).
3. Anak-anak lebih dari 5 tahun yang non toksis, biasanya disebabkan oleh Streptokokus
pneumonia, maka gunakan:
a. Penisilin prokain IM; 9
b. Fenoksimetilpenisilin 25.000-50.000 KI/kg/24 jam oral, 4 kali sehari;
c. Eritromisin 25.000-50.000 KI/kg/24 jam oral, 4 kali sehari;
d. Kotrimoksazol 6/30 mg/kg/24 jam, oral 2 kali sehari;
e. Mikoplasma pneumonia : Eritromisin 6/30 mg/kg/24 jam, oral 2 kali sehari.
Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukose 5% dan Nacl
0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus.
2.9 Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan
terjadinya bronkopneumonia. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan daya tahan tubuh kaitan terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti:
cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, beristirahat yang cukup. Untuk proteksi tubuh pada anak dapat dilakukan
vaksinasi seperti:
1. Vaksinasi Pneumokokus
2. Vaksinasi H. Influenza
3. Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
4. Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak
10
BAB 3. PATHWAYS
11
Bakteri, Virus, Jamur, dan Protozoa
Mukus Jalan Napas
Saluran pernapasan atas
Saluran pernapasan bawah
Bakteri berlebih
Inflamasi Bronkus
Gravitasi Bumi
Peradangan alveoli dan kapiler
Mukosilia tdk adekuat
Penumpukan Sekret (eksudat akibat
inflamasi bronkus)
Iritan PMN, eritrosit pecah
Pengerasan dinding paru
Ketidakefektifan bersihan jalan napas Penurunan
Compliance
Suplai O2 menurun
Mulut dan napas terasa tidak
nyaman (bau)
Anoreksia
12
Hipoksemia Hiperventilasi
Dyspnea
Gx. Pertukaran gas
Infeksi (pelepasan endogenus pirogen)
Hipotalamus
Aliran darah
Suhu tubuh
Metabolisme
Panas dan Takhipnea
Kehilangan cairan tubuh Dehidrasi
Akumulasi As. Laktat
Fatique
Kekurangan Volume Cairan
Intoleransi Aktivitas
Ketidakseimbangan nutrisi
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
4.1.1 Identitas Pasien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin anak. Selain itu pelu juga
diketahui identitas orang tua yang meliputi: nama, suku, agama, bahasa, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, dan alamat.
4.1.2 Riwayat Keperawatan.
A. Keluhan utama.
Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan cepat dan dangkal, diserai pernapasan
cuping hidung, serta sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang disertai muntah
dan diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia.
B. Riwayat penyakit sekarang.
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas
selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40oC dan
kadang disertai kejang karena demam yang tinggi.
C. Riwayat penyakit dahulu
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.
D. Riwayat kesehatan keluarga
Anggota keluarga lain yang menderita penyakit infeksi saluran pernapasan dapat
menularkan kepada anggota keluarga yang lainnya.
4.1.3 Lingkungan
Lingkungan rumah yang sempit, lembab, kurangnya radiasi sinar matahari dan kotor
sehingga mejadi tempat perkembangbiakan virus dan bakteri penyebab
bronkopneumonia.
13
4.1.4 Pola Fungsi Kesehatan
a. Persepsi kesehatan
Berdasarkan pola persepsi kesehatan biasanya orang tua cenderung meremehkan
tanda dan gejala yang dialami anak sebagai manifestasi klinis dari
bronkopneumonia. Pada awalnya orang tua menganggap bahwa anaknya belum
mengalami gangguan serius. Namun, seiring bertambahnya gejala dan anak
megeluhkan sesak napas yang hebat orang tua baru akan menyadari bahwa
anaknya dalam keadaaan sakit.
b. Pola metabolik nutrisi
Anak dengan gangguan pneumonia akan mengalami anorexia, mual dan muntah.
c. Pola eliminasi
Penderita sering mengalamai penurunan pengeluaran urin karena perpindahan
cairan melalui proses avaporasi akibat demam.
d. Pola istirahat dan tidur
Anak mengalami kesulitan tidur karena sesak napas. Biasanya anak juga seringkali
bangun pada malam hari karena sesaknya yang hebat, selain itu juga tampak
kondisi lemah pada anak yang mengalami bronkopneumonia.
e. Pola aktifitas-latihan
Anak tampak mudah lelah dan tidak mampu melakukan aktvitas yang sedikit berat.
Aktivitas yang dianggap normal bagi orang lain dapat terasa begit berat bagi anak,
misal aktivitas berjalan. Anak juga terlihat menurun aktifitas dan latihannya
sebagai dampak kelemahan fisik.
f. Pola kognitif persepsi
Anak dengan bronkopneumonia biasanya mengalami penurunan asupan nutrisi.
Hal ini mengakibatkan anak mengalami penurunan kognitif untuk mengingat apa
yang telah dikatakan sesaat setelah terjadi penurunan nutrisi.
g. Pola persepsi diri konsep diri
Anak tampak diam, kurang bersahabat, dan tidak suka berkomunikasi dengan
orang lain termasuk tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit maupun
orangtuanya sendiri.
h. Pola peran hubungan
Anak terlihat malas jika diajak bicara baik oleh teman sebaya maupun dengan
orang yang lebih dewasa.
14
i. Pola seksualitas reproduksi
Pada anak sakit yang masih kecil sedikit sulit dikaji mengenai reproduksi, namun
pada anak dalam masa pubertas biasanya terjadi gangguan silus menstruasi pada
wanita yang bersifat sementara.
j. Pola stres koping
Hal yang sering tampak adalah anak sering menangis jika merasakan stres yang
dirasa berat. Pada anak yang memasuki remaja, biasanya menunjukkan perilaku
mudah tersinggung.
k. Pola nilai keyakinan
Anak yang sakit biasanya cenderung mengalami peningkatan keyakinan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa berkaitan dengan harapan anak mendapatkn kesembuhan
yang bersumber dari Tuhan.
4.1.5 Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik
1. Kepala dan rambut
Inspeksi: Bentuk kepala simetris, rambut berwarna hitam, merata, rambut tidak
mudah dicabut, tidak ada lesi, keadaan rambut bersih.
2. Mata
Inspeksi: Letak simetris, warna konjungtiva merah muda, sklera putih, air mata
tidak ada, reflek pupil terhadap (mengecil ketika diberi rangsangan cahaya).
3. Telinga
Inspeksi: Bentuk simetris ( antara kiri dan kanan ), keadaan bersih, letak pina
sejajar ujung mata.
Palpasi: Kartilago teraba fleksibel
4. Hidung
Inspeksi: Keadaan bersih, bentuk simetris, PCH ada, warna mukosa merah
muda, septum nasi berada di tengah, terpasang O2 Nasal kanule untuk
2 liter permenit, pernapasan cuping hidung.
Palpasi: Tidak ada nyeri tekan
5. Mulut
Inspeksi: Mukosa mulut kering, pergerakan lidah bebas , palatum utuh, tonsil
dan uvula ada, warna tonsil dan uvula merah muda, sekret tidak
keluar pada saat batuk, gigi lengkap.
15
6. Leher
Inspeksi: Keadaan bersih dan utuh
Palpasi: Pulsasi vena juguralis teraba brdenyut, pembesaran kelenjar tiroid
tidak terjadi, Reflek menelan baik.
7. Dada
Paru-paru
Inspeksi : Irama nafas tidak teratur, pernapasan dangkal,
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara paru ronchi.
Jantung
Inspeksi : Tidak ada pembesaran pada dada sebelah kiri
Perkusi : Suara jantung terdengar redup
Auskultasi : Nada S1 S2 dan lub dup
b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah. Pada kasus bronkopneumonia oleh bakteri akan terjadi
leukositosis (meningkatnya jumlah neutrofil).
b. Pemeriksaan sputum. Bahan pemeriksaan diperoleh dari batuk yang spontan
dan dalam. Digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis dan untuk kultur serta
tes sensifitas untuk mendeteksi agen infeksius.
c. Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam basa.
d. Kultur darah untuk mendeteksi bakterimia. Sampel darah, sputum, dan urin
untuk tes imunologi untuk mendeteksi antigen mikroba.
Pemeriksaan radiologi
a. Rontgenogram thoraks. Menunujukan konsolidasi lobar yang seringkali
dijumpai pada infeksi pneumokokal atau klebsiella. Infilrate multiple seringkali
dijumpai pada infeksi stafilokokus dan haemofilus.
4.2 Diagnosa Keperawatan
4.2.1 Ketidakefektifan jalan napas b.d inflamasi bronkus, peningkatan produksi
sekret (eksudat).
16
4.2.2 Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus kapiler, gangguan
kapasitas pembawa oksigen darah, gangguan transport oksigen.
4.2.3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kebutuhan
metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia b.dtoksis
bakteri (bau dan rasa), distensi abdomen atau gas.
4.2.4 Intoleransi aktivitas b.d insufisiensi oksigen (kekurangan suplai oksigen ke
jaringan) untuk aktivitas sehari-hari.
4.2.5 Kekuranagan volume cairan tubuh b.d peningkatan suhu tubuh, dan
metabolisme dalam tubuh.
4.3 Intervensi dan Implementasi
No Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
1. Ketidakefektifan jalan
napas b.d inflamasi
bronkus, peningkatan
produksi sekret
(eksudat)
Setelah dilakukan
perawatan 2 x 24 jam
pasien menunjukkan
keefektifan jalan napas
dengan kriteria hasil:
1. Pasien bisa
mendemostrasikan
batuk efektif dan
suara napas bersih,
tidak sianosis dan
dyspneu (mampu
mengeluarkan
sputum, mampu
bernapas dengan
mudah).
2. Irama dan frekuensi
pernapasan dbn
1. Auskultasi suara napas
sebelum melakukan
suction.
2. Informasikan pada
klien dan keluarga
tentang suction.
3. Minta pasien untuk
melakukan napas
dalam sebelum suction
dilakukan.
4. Berikan O2 dengan
nasal.
5. Monitor status O2
pasien.
6. Posisikan pasien
semaksimal mungkin
untuk ventilasi.
7. Atur intake cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
8. Auskultasi suara
17
napas, catat adanya
suara tambahan.
2. Gangguan pertukaran
gas b.d perubahan
membran alveolus
kapiler, gangguan
kapasitas pembawa
oksigen darah,
gangguan transport
oksigen.
Setelah dilakukan
perawatan 2 x 24 jam
pasien menunjukkan
keadekuatan pertukaran
gas:
1. Pasien mampu
mendemonstrasikan
peningkatan
ventilasi dan
oksigenasi yang
adekuat.
2. Memelihara
kebersihan paru-
paru dan bebas dari
tanda-tanda distress
pernapasan.
3. Mendemonstrasikan
batuk efektif dan
suara napas yang
bersih.
4. TTV dbn
1. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan
ventilasi.
2. Auskultasi suara
napas, catat adanya
suara tambahan.
3. Monitor respirasi dan
status oksigen.
4. Catat pergerakan
dada, kesimetrisan,
penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular, & IC.
5. Auskultasi suara napas
tambahan, catat area
penurunan/tidak ada
ventilasi.
6. Tentukan kebutuhan
suction dengan
mengauskultasi
crakles dan ronchi
pada jalan napas
utama.
3. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d
kebutuhan metabolik
sekunder terhadap
demam dan proses
infeksi, anoreksia b.d
Setelah dilakukan
perawatan 3 x 24 jam
kebutuhan nutrisi pada
pasien dapat terpenuhi
dengan kriteria hasil:
1. Adanya peningkatan
BB dalam batas
1. Monitor kalori dan
intake nutrisi.
2. Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi.
3. Monitoring BB dbn
4. Monitor adanya
18
toksis bakteri (bau dan
rasa), distensi
abdomen atau gas.
ideal.
2. Tidak ada tanda-
tanda malnutrisi.
3. Menunjukkan
peningkatan fungsi
pengecapan dari
menelan.
4. Tidak terjadi
penurunan BB yang
berarti.
penurunan BB.
5. Monitor mual muntah.
6. Monitor kadar
albumin, Ht, Hb,
protein.
4. Intoleransi aktivitas
b.d insufisiensi
oksigen (kekurangan
suplai oksigen ke
jaringan) untuk
aktivitas sehari-hari
Setelah dilakukan
perawatan 3 x 24 jam
klien mampu
beraktivitas dengan
normal kembali dengan
kriteria hasil:
1. Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik tanpa
disertai peningktan
TD, nadi, & RR.
2. Mampu melakukan
aktivitas sehari-hari
secara mandiri.
3. TTV dbn
4. Status sirkulasi baik.
5. Status respirasi:
pertukaran gas dan
ventilasi adekuat.
1. Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang mampu
dilakukan.
2. Bantu untuk
mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk
aktivitas yang
dibutuhkan.
3. Bantu klien untuk
membuat jadwal
latihan di waktu luang.
4. Bantu pasien/keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas.
5. Bantu pasien untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan.
5. Kekuranagan volume
cairan tubuh b.d
Setelah dilakukan
perawatan 2 x 24 jam
1. Pertahankan catatan
intake dan output yang
19
peningkatan suhu
tubuh, dan
metabolisme dalam
tubuh.
kebutuhan cairan tubuh
pasien dapat terpenuhi
dengan kriteria hasil:
1. TD, nadi, dan Suhu
tubuh dbn
2. Tidak ada tanda-
tanda dehidrasi,
elastisitas turgor
kulit baik, membran
mukosa lembab,
tidak ada rasa haus
yang berlebihan.
akurat.
2. Monitor status
dehidrasi pasien.
3. Monitor masukan
makanan/cairan dan
hitung intake cairan.
4. Kolaborasi pemberian
cairan IV.
5. Monitor status nutrisi.
6. Berikan caira IV pada
suhu ruang.
7. Berikan keadaan
lingkungan pasien
senyaman mungkin
untuk menurunkan
suhu tubuh pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
20
Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan
NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.
Soemantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes RI. 2010. Bronkopneumonia. Lampung. On line:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=122491&val=5502
Smeltzer. 2002. On line:
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/126/jtptunimus-gdl-ruffaedahg-6294-2-babii.pdf
Ngastiyah. 2005. On line:
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/126/jtptunimus-gdl-ruffaedahg-6294-2-babii.pdf
21