188
BAGIAN I URBANISASI, KESEMPATAN KERJA DAN KEBIJAKAN EKONOMI TERPADU Asep Ahmad Saefuloh 1 1 Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.

Buku Lintas Tim 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ekonomi

Citation preview

Page 1: Buku Lintas Tim 2

BAGIAN I

URBANISASI, KESEMPATAN KERJA DAN KEBIJAKAN EKONOMI TERPADU

Asep Ahmad Saefuloh1

1 Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI.

Page 2: Buku Lintas Tim 2
Page 3: Buku Lintas Tim 2

3

BAB IPeNdAhuluAN

latar BelakangA.

Migrasi menurut Schyrock and Siegel (1976:373) merupakan salah satu faktor penyebab perubahan penduduk, dan juga menjadi faktor utama dalam redistribusi penduduk di antara wilayah geografis dan tempat tinggal, sehingga mempunyai pengaruh terhadap besar dan komposisi penduduk di suatu wilayah. Migrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu migrasi internal dan internasional, dan dalam dalam migrasi internal termasuk didalamnya urbanisasi (Young, et al, 1980 :115-126).

Urbanisasi sebagai fenomena migrasi internal telah terjadi di seluruh belahan dunia. Sejarah memperlihatkan bahwa pada abad pertengahan manusia awalnya tinggal di pedesaan dan tergantung pada sektor pertanian dan perburuan, tetapi sebagai akibat dari perdagangan terjadi arus urbanisasi. Meskipun awalnya menunjukkan perkembangan yang lambat, tetapi menyebabkan timbulnya kota-kota baru (Heilbroner, 1982:63). Jika pada 1800 terdapat 3 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan, maka pada 1900 hampir 14 persen daerah perkotaan telah memiliki penduduk 1 juta, dan pada 1950 penduduk dunia 30 persennya bertempat tinggal di perkotaan. Bahkan jumlah kota dengan penduduk di atas satu juta penduduk telah tumbuh sampai 83 kota (United Nation, 1999).

Perkembangan berikutnya, pada 2009 terdapat 47 persen dari penduduk dunia tinggal di perkotaan atau mencapai 3,42 miliar. Kemudian menurut perkiraan pada 2050 terdapat 60 persen penduduk dunia atau 6,29 miliar yang akan tinggal di perkotaan dan paling banyak terjadi di negara berkembang (United Nation, 2010).

Page 4: Buku Lintas Tim 2

4

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Gambar.1 Penduduk Perkotaan dan Perdesaan dunia 1950-2050

Sumber: United Nation, 2010.

Penjelasan lebih lanjut dari laporan State of World Population, pada 2008 sekitar 3,3 miliar warga dunia menjadi bagian dalam proses urbanisasi, atau lebih dari separuh penduduk dunia, dan menurut UNFPA diperkirakan menjadi lima miliar pada 2030. Perkiraan UNES-CAP urbanisasi di kawasan Asia Pasifik mencapai tingkat tertinggi di dunia. Bahkan menurut Hugo (2003), penduduk perkotaan sebesar 56,5 persen dari kawasan Asia tersebut akan berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Masalah urbanisasi di Asia Pasifik didorong oleh fakta bahwa kemajuan ekonomi umumnya terjadi di kota, sementara aspek pertanian di perdesaan tidak tergarap secara optimal.

Urbanisasi di Indonesia diperkirakan mulai terjadi pada 1930. Perkiraan ini diperoleh dengan menghitung besar rasio antara penduduk perkotaan tahun 1961 dengan penduduk perkotaan 1930, dan terjadi 3,6 kali pelipatan antara 1930-1961 (Rahardjo, 1985:179). Pelipatan ini menurut Hugo seperti dikutip Rahardjo (1985) terjadi sebagai akibat adanya kebutuhan mendesak untuk tenaga administrasi di perkotaan. Menurut Kitamura dan Rustiadi (tanpa tahun), serta Rustandi dan Panuju (2000), urbanisasi di tahun 1930 didasarkan dari terdapatnya penduduk sebesar 7,5 persen dari total penduduk yang tinggal di kota. Tetapi, menurut Soegijoko dan Bulkin seperti dikutip Firman (1996:66) urbanisasi mulai terjadi pada 1920 di mana proporsi penduduk perkotaan baru mencapai 5,8 persen.

Page 5: Buku Lintas Tim 2

5

Asep Ahmad Saefuloh

Dalam perkembangannya, pertumbuhan urbanisasi di Indonesia menjadi cepat setelah perang dunia kedua, dan penyebab utamanya adalah ketidakamanan di area pedesaan. Pada 1961, terjadi peningkatan menjadi 15 persen penduduk yang tinggal di perkotaan. Kemudian pada 1980 tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 22,3 persen, dan pada 1990 meningkat lagi menjadi 30,9 persen. Kemudian angka ini meningkat kembali menjadi 35,9 persen pada 1995 (Chotib, 1997). Pada periode tersebut, pengukuran tingkat urbanisasi didasarkan sensus penduduk 1980 dan 1990, di mana suatu lokalitas dikategorikan sebagai urban bila memenuhi syarat kepadatan penduduk 5.000 orang atau lebih per kilometer persegi, jumlah rumahtangga pertanian 25 persen atau lebih kecil, memiliki delapan atau lebih jenis fasilitas perkotaan (Firman, 1996:66). Sementara pengukuran urbanisasi pada sensus penduduk 2000 terdapat dua variabel yang dipakai yaitu kepadatan penduduk mulai kurang dari 500 orang sampai 8.500 orang atau lebih per km2, dan tingkat persentase rumah tangga pertanian antara 70 persen atau lebih sampai di bawah 5 persen (Setiawan, tanpa tahun).

Perkembangan terakhir urbanisasi di Indonesia, berdasarkan sensus 2010 telah mencapai 44,3 persen, dan diproyeksikan akan mencapai 56,2 persen pada tahun 2025 (lihat tabel.1). Berdasarkan hal di atas menarik untuk dilakukan analisis lebih lanjut terhadap persoalan urbanisasi, terutama dikaitkan dengan masalah ketenagakerjaan dan perekonomiannya.

PermasalahanB.

Berdasarkan latarbelakang di atas, hal yang akan dibahas mengenai persoalan urbanisasi di Indonesia, yaitu:

Bagaimana perkembangan urbanisasi di Indonesia, yang secara khusus 1. dilihat pada perkembangan di tingkat nasional, dan perkembangan urbanisasi di Jakarta yang sudah mencapai tingkat urbanisasi 100 persen? Bagaimana permasalahan kesempatan kerja yang muncul terkait dengan 2. urbanisasi? Bagaimana kebijakan ekonomi terpadu yang harus dilakukan dalam rangka 3. mendukung keseimbangan perkotaan perdesaan?

Page 6: Buku Lintas Tim 2
Page 7: Buku Lintas Tim 2

7

BAB IIKerANGKA PemIKIrAN

Hal pertama yang perlu dipahami tentang urbanisasi, adalah pemahaman terhadap definisi urbanisasi. Meskipun, selama ini definisi urbanisasi masih menjadi perdebatan, dan mencapai puncaknya pada tahun 1978. Pada waktu itu, dalam sebuah simposium yang hasil perdebatannya tidak dapat diringkas menjadi deskripsi pendek, tetapi disepakati bahwa perlu dicari teori umum untuk perkotaan dan urbanisasi. Teori umum tersebut bukan gejala-gejala umum yang mengakibatkan urbanisasi secara semesta sebagai perkembangan yang berjalan dengan sendirinya sesuai dengan kemajuan manusia, melainkan dianggap sebagai gejala-gejala yang mengandung bermacam-macam unsur rakyat dalam suatu negara (Koyano, 1996:4). Namun demikian, pengertian urbanisasi dalam literatur juga merujuk pada perpindahan penduduk dari desa ke kota (Bintarto,1986 :27). Pengertian lebih lanjut selalu dikaitkan dengan bertambahnya proporsi penduduk kota disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan akibat perluasan daerah kota (Munir, 1981 :199).

Menurut Firman (1996: 63), urbanisasi juga mempunyai makna lebih luas, yaitu tingkat keurbanan (perkotaan) dalam suatu negara atau suatu wilayah. Urbanisasi juga mengandung makna proses perubahan, yaitu proses perubahan dari bersifat pedesaan (rural) menuju perkotaan (urban). Perubahan ini dapat diindikasikan dari perubahan pola penggunaan tanah, dari yang bersifat pertanian atau ciri pedesaan lain menjadi penggunaan tanah industri, jasa atau ciri penggunaan tanah perkotaan lainnya. Perubahan juga dapat dilihat dari mental dan gaya hidup penduduknya yang berperilaku pedesaan menjadi perkotaan (Chotib, 1997: 989). Hal ini pula yang selalu dihubungkan antara urbanisasi dengan urbanisme. Urbanisme menurut Koyano (1996:5) adalah motivasi manusia untuk berpindah ke kota, dan menurut Acharya (2003: 5) motivasinya adalah kesadaran untuk mencari kehidupan yang lebih baik, dan untuk mempertahankan hidup (Broek, 1996).

Page 8: Buku Lintas Tim 2

8

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Berdasarkan pengertian di atas, terdapat pembedaan urbanisasi dalam pengertian luas dan sempit, yang sekaligus juga memperlihatkan dua perspektif pendekatan dalam analisis urbanisasi. Dalam pengertian sempit, urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota, sedangkan dalam pengertian luas urbanisasi adalah pertambahan penduduk perkotaan dan segala implikasinya. Pertambahan penduduk sendiri dapat disebabkan karena pertambahan alamiah (pertumbuhan penduduk kota) dan pertambahan karena adanya migrasi perpindahan penduduk dari desa ke kota. Implikasi pertambahan penduduk perkotaan adalah meluasnya daerah perkotaan beserta segala dimensinya, misalnya perubahan pola hidup menjadi perkotaan.

Dalam menganalisis urbanisasi tidak dapat dilepaskan dari teori migrasi, di mana salah satunya adalah teori push and pull factor. Berdasarkan teori ini, migrasi terjadi karena adanya perbedaan karakteristik di mana perkotaan mempunyai daya tarik bagi pendatang (pull factor), misalnya kesempatan mendapatkan pendapatan lebih tinggi, kesempatan pendidikan lebih tinggi, fasilitas yang lebih lengkap dan sebagainya. Sedangkan pedesaan, mempunyai faktor pendorong (push factor) misalnya berkurangnya sumber-sumber alam, menyempitnya lapangan pekerjaan, bencana alam dan sebagainya (Munir, 1981; Cox and Hemson, 2004; Roberts and Kannaley, tanpa tahun). Meskipun ada demografer yang mengemukakan pendapat lain, tetapi dapat dikategorikan kepada teori push and pull factor, misalnya Herr (1985:55-56) mengemukakan bahwa urbanisasi terjadi karena sebagai akibat meningkatnya taraf kesejahteraan suatu bangsa sehingga penduduknya berkeinginan untuk membelanjakan barang dan jasa yang diproduksi di kota, dan terjadinya perubahan sifat dari produksi makanan, yang diproduksi di urban.

Analisis urbanisasi yang sampai sekarang masih menjadi rujukan, yaitu penjelasan dari Todaro. Meskipun teori ini dikenal sebagai teori migrasi tetapi pada dasarnya bagian teori urbanisasi karena analisisnya melihat perpindahan penduduk dari desa ke kota (pengertian urbanisasi sempit), di mana desa dengan sektor pertanian yang memiliki surplus tenaga kerja dan kota dengan sektor industri yang kekurangan tenaga kerja (Zhang, 2009). Kemudian perpindahan akan terjadi jika upah sebagai daya tarik di kota lebih tinggi dibandingkan di desa (anonim.a, tanpa tahun). Begitu juga tingkat pengangguran yang tinggi di daerah asal akan mendorong tenaga kerja pindah ke kota. Karena itu, kesempatan memperoleh pekerjaan baru di kota telah mengerakan perpindahan penduduk secara masal dari daerah (United Nation, 1999). Berdasarkan studi empiris diketahui bahwa keluarga yang dikepalai oleh

Page 9: Buku Lintas Tim 2

9

Asep Ahmad Saefuloh

pengganggur akan lebih memutuskan untuk melakukan migrasi dibandingkan yang lainnya, dan rata-rata pengangguran di daerah asal berpengaruh terhadap migrasi keluar (anonim.b, tanpa tahun). Konsep ini banyak menjelaskan kasus empirik urbanisasi di negara-negara miskin (Herrmann and Khan, 2008).

Lebih lanjut, meningkatnya migrasi desa-kota, berakibat jumlah orang yang mencari pekerjaan di sektor industri semakin meningkat sedangkan jumlah pekerja yang dibutuhkan semakin sedikit sehingga menghasilkan pengangguran di perkotaan. seperti yang dijelaskan oleh Passay (1988), Boiroch (1991), Hugo (1991), Forbes (1991), Steele (1991), Todaro and Stilkind (1991) dan Todaro (1997). Ini berarti perkembangan industri tidak secepat perkembangan tenaga kerja. Bahkan menurut Comola and Mello (2010), tingkat urbanisasi yang tinggi menjadi faktor pendorong kenaikan upah.

Dalam pengertian yang luas, urbanisasi akan terkait dengan kontek pembentukan kota. Pembentukan kota terjadi karena perubahan sistem politik (Joszef, 2006; Parysek, 2010), bertujuan untuk pembangunan dan pola aglomerasi termasuk memperbaiki ketidakseimbangan desa-kota (Hugo, 2004; Meijers and Burger, 2009; Quigley, 2009). Dalam pendekatan tersebut, analisisnya melihat pada dampak urbanisasi, misalnya implikasi bagi ekonomi perkotaan.2 Implikasi urbanisasi menurut Bintarto (1986: 36-45) akan memberikan dampak positif berupa bervariasinya sektor ekonomi dan berkembangnya wirausaha. Namun, dalam konteks ketenagakerjaan, urbanisasi menciptakan pengangguran, seperti yang dijelaskan sebelumnya sehingga akan melahirkan kebijakan ketenagakerjaan tersendiri (Petsimeris, 2004).

2 Terdapat dua teori perkotaan (mainstream) yang dikenal saat ini yaitu the Chicago School of Urban Sociology dan the Los Angeles School of Urban Geography yang didasarkan pada fenomena perkotaan yang terjadi pada kota-kota di negara maju (Chicago dan Los Angeles). Kedua mainstream perkotaan tersebut telah mendominasi wacana dalam perkotaan dan urbanisasi, bukan hanya di Amerika Serikat dan Eropa tapi juga di negara-negara berkembang. The Chicago School of Urban Sociology yang dikembangkan pada awal tahun 1920-an menjelaskan perkembangan perkotaan dikendalikan oleh migrasi yang menghasilkan pola-pola ekologis. Sementara The Los Angeles School of Urban Geography digagas pada akhir tahun 1990-an untuk menjelaskan perkembangan metropolitan Los Angeles di era postmodern yang menekankan pentingnya peran ekonomi kapitalis dan globalisasi ekonomi politis.

Page 10: Buku Lintas Tim 2
Page 11: Buku Lintas Tim 2

11

BAB IIIPemBAhAsAN

Perkembangan urbanisasi di Indonesia A.

Selama kurun 1980-1990 pola spasial urbanisasi di Indonesia memperlihatkan konsistensi, artinya tidak terjadi pergeseran karena selama 10 tahun tersebut tidak ada perubahan dalam wilayah-wilayah yang memperlihatkan tinggi rendahnya tingkat urbanisasi. Tingkat urbanisasi semua propinsi di Indonesia menunjukan peningkatan. Lima propinsi yang urbanisasinya di atas angka nasional, yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Utara dan Jawa Barat. Hal ini sangat beralasan karena lima propinsi tersebut memiliki daya tarik ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi-propinsi lainnya di Indonesia (Chotib, 1997).

Tabel.1. Tingkat Urbanisasi di Indonesia, 1990-2025

Provinsi 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025

Nanggroe Aceh Darussalam 15,8 20,5 23,6 28,8 34,3 39,7 44,9 49,9

Sumatera Utara 35,5 41,1 42,4 46,1 50,1 54,4 58,8 63,5

Sumatera Barart 20,2 25,1 29,0 34,3 39,8 45,3 50,6 55,6

Riau 31,7 34,4 43,7 50,4 56,6 62,1 66,9 71,1

Jambi 21,5 27,2 28,3 32,4 36,5 40,6 44,5 48,4

Sumatera Selatan 29,3 30,3 34,4 38,7 42,9 47,0 50,9 54,6

Bengkulu 20,4 25,7 29,4 35,2 41,0 46,5 51,7 56,5

Lampung 12,5 15,7 21,0 27,0 33,3 39,8 46,2 52,2

Kepulauan Bangka Belitung - - 43,0 47,8 52,2 56,5 60,3 63,9

DKI Jakarta 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Jawa Barat 34,5 42,7 50,3 58,8 66,2 72,4 77,4 81,4

Jawa Tengah 27,0 31,9 40,4 48,6 56,2 63,1 68,9 73,8

Yogyakarta 44,4 58,1 57,6 64,3 70,2 75,2 79,3 82,8

Jawa Timur 27,5 32,1 40,9 48,9 56,5 63,1 68,9 73,7

Banten - - 52,2 60,2 67,2 73,0 77,7 81,5

Bali 26,4 34,3 49,7 57,7 64,7 70,7 75,6 79,6

Page 12: Buku Lintas Tim 2

12

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Nusa Tenggara Barat 17,3 18,9 34,8 41,9 48,8 55,2 61,0 66,0

Nusa Tenggaran Timur 11,4 13,9 15,4 18,0 20,7 23,5 26,4 29,3

Timor Timur 7,8 9,5 - - - - - -

Kalimantan Barat 20,0 21,7 24,9 27,8 31,1 34,8 39,0 43,7

Kalimantan Tengah 17,6 22,5 27,5 34,0 40,7 47,2 53,3 58,8

Kalimantan Selatan 27,1 30,0 36,2 41,5 46,7 51,6 56,3 60,6

Kalimantan Timur 48,8 50,2 57,7 62,2 66,2 69,9 73,1 75,9

Sulawesi Utara 22,8 26,3 36,6 43,4 49,8 55,7 61,1 65,7

Sulawesi Tengah 16,4 21,9 19,3 21,0 22,9 24,9 27,3 29,9

Sulawesi Selatan 24,2 28,3 29,4 32,2 35,3 38,8 42,6 46,7

Sulawesi Tenggara 17,0 22,4 20,8 23,0 25,6 28,5 31,8 35,5

Gorontalo - - 25,4 31,3 37,0 42,8 48,2 53,2

Maluku 19,1 24,6 25,3 26,1 26,9 27,9 28,8 29,9

Maluku Utara - - 28,9 29,7 30,6 31,5 32,5 33,6

Irian Jaya/Papua 24,2 25,8 22,2 22,8 23,5 24,3 25,1 26,0

Total Rata-Rata 30,4 35,9 35,2 39,8 44,3 48,6 52,6 56,23

Sumber: Sensus Penduduk 1990, 2000, 2010, dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, 2005

Urbanisasi sendiri dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pertumbuhan alami penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi desa perdesaan menjadi desa perkotaan. Proyeksi penduduk daerah perkotaan pada proyeksi ini tidak dilakukan dengan membuat asumsi untuk ketiga faktor tersebut, tetapi berdasarkan perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan daerah perdesaan (Urban Rural Growth Difference/URGD). Namun begitu, dengan membuat asumsi URGD untuk masa yang akan datang, berarti proyeksi secara tidak langsung juga sudah mempertimbangkan ketiga faktor tersebut.

Tabel.1 menyajikan tingkat urbanisasi per provinsi dari 1990 sampai dengan 2025, dan menunjukan peningkatan terus menerus. Kemudian Gambar 2 menunjukkan bahwa di tahun 2025 diperkirakan 65% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada 2025 sudah di atas 80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Jika dibandingkan di Asia, seperti yang dijelaskan dalam Gambar.2, Indonesia selama kurun 1970-2010 mengalami perkembangan urbanisasi yang lebih tinggi dibandingkan Cina, India, Filipina, Tailand dan Vietnam.

Page 13: Buku Lintas Tim 2

13

Asep Ahmad Saefuloh

Gambar.2. Pertumbuhan Penduduk Asia 1970-2010

sumber: United Nation World Urbanization Prospect 2009 (Ellis, tanpa tahun)

Menurut Firman (tanpa tahun; 25), pola urbanisasi kurun 1980-2010 memiliki pola yang tetap, namun ke depan akan terjadi perubahan pola urbanisasi di mana akan tingkat urbanisasi tercepat akan terjadi pada daerah-daerah kaya.

Analisis penduduk yang dikaitkan dengan urbanisasi dapat dilihat pendekatan transisi mobilitas, menurut Skeldon seperti dikutip Chotib dan Wongkaren (1996:153-156), transisi mobiltas penduduk di negara-negara berkembang dibagi dalam tujuh tahap, yaitu: pertama, masyarakat pratransisi (pre-transitional society) di mana sebagian besar mobilitas penduduk non-permanen; kedua, masyarakat transisi awal (early transitional society) di mana penduduk mulai mobil dari daerah perkotaan yang satu ke perkotaan yang lain dengan kota besar sebagai tujuan utama migrasi dari penduduk kota kecil dan menengah; ketiga, masyarakat transisi menengah (intermediate transitional society) di mana penduduk migrasi dari daerah yang berdekatan dengan kota besar ke kota besar tersebut; keempat, masyarakat transisi akhir (late transitional society) di mana penduduk kebanyakan penduduk pindah tempat tinggal dari pedesaan ke kota besar, dan ditandai dengan munculnya kota raya atau megacity; kelima, masyarakat mulai maju (early advanced society) di mana terjadi suburbanisasi dan dekonsentrasi penduduk perkotaan; keenam, masyarakat maju lanjut (late advanced society) di mana urbanisasi sudah sangat tinggi dan penduduk menyebar ke kota-kota kecil; ketujuh, masyarakat super maju, di mana mobilitas permanen berkurang dan digantikan oleh mobilitas non permanen sekaligus komunikasi elektronik.

Page 14: Buku Lintas Tim 2

14

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Secara nasional sampai tahun 1995 menurut Chotib dan Wongkaren (1996 :170-171), Indonesia baru memasuki tahap keempat transisi mobilitas, tetapi ada beberapa propinsi yang sudah berada pada tahap kelima, dengan ciri utamanya urbanisasi sudah mencapai 50 persen, dan mobilitas dari pedesaan ke perkotaan sudah menurun. Pada tahap ini sudah dimulai dekonsentrasi penduduk perkotaan, atau terjadinya peningkatan mobilitas penduduk dari kota besar ke daerah pinggiran dan penyebaran penduduk perkotaan yang semakin meluas. Dari perspektif ini sampai dengan 2010 tidak menunjukkan perubahan, tetapi untuk Jakarta sudah mulai memasuki tahap keenam di mana urbanisasi sudah sangat tinggi dan penduduk menyebar ke kota-kota kecil. Hal ini terlihat dari perbedaan penduduk siang dan malam. Di tahun 2011, jumlah penduduk Jakarta yang malam hari 9,6 juta jiwa, pada siang hari meningkat hingga 15 juta. Ada sekitar 5,4 juta komuter dari luar Jakarta yang bekerja di DKI Jakarta.3

Bila dilihat dari faktor penyebab urbanisasi di Indonesia, menurut Tjiptoherijanto seperti dikutip Chotib (1997) belum ada penelitian khusus, tetapi para demografer yakin bahwa 50 persen tingkat urbanisasi di suatu wilayah dikontribusikan oleh pertumbuhan alamiah penduduknya. Migrasi dari pedesaan ke perkotaan memberikan kontribusi sebesar 40 persen dan reklasifikasi wilayah sebesar 10 persen. Urbanisasi seperti halnya migrasi sendiri, terjadi karena reaksi atas peluang-peluang ekonomi di suatu wilayah, dan ini merupakan usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan mendapatkan pekerjaan di daerah tujuan atau untuk memperoleh peluang hidup yang lebih baik. Meskipun begitu diduga faktor terpenting dari urbanisasi menurut Kitamura dan Rustiadi (tanpa tahun), adalah sejalan dengan pergeseran dalam struktur perekonomian dari pertanian menuju industrialisasi sehingga akan mendorong perpindahan dari tenaga kerja dan pendapatan dari sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder (industri dan jasa). Hal ini sejalan dengan pemikiran Kitagawa (1996 :306) bahwa urbanisasi di Indonesia terlihat dari pemusatan penduduk di kota yang berasal dari desa pertanian, di mana di kota terdapat daya tarik karena adanya pengembangan industri, dan gejala ini nampak jelas terjadi di Pulau Jawa. Terutama di saat sekarang ini, di mana pengaruh ekonomi global bagi wajah ekonomi perkotaan (contoh DKI Jakarta), peningkatan masuknya arus modal dan FDI akan membutuhkan

3 Lebih lanjut lihat dalam, “Mewujudkan Greater Jakarta,” 9 Maret 2011 (http://www.suarapembaruan.com/ tajukrencana/mewujudkan-greater-jakarta/4364, diakses 29 Mei 2011).

Page 15: Buku Lintas Tim 2

15

Asep Ahmad Saefuloh

tenaga kerja pada sektor-sektor padat karya, yang kemudian mendorong kenaikan laju urbanisasi itu sendiri (Rahmat, tanpa tahun).

Perkembangan Kota Jakarta: Kasus urbanisasi seratus Persen B.

Jakarta termasuk kota yang mengalami perkembangan dalam kepadatan penduduknya. Pada 1930 adalah sebesar 435 ribu orang (May dalam Usman, 1979), maka pada 1941 jumlahnya meningkat menjadi 544,8 ribu jiwa, kemudian meningkat lagi menjadi 2,911 jiwa pada 1960 dan menjadi 6,603 juta jiwa pada 1980 (TOSS, tanpa tahun), dan terakhir di tahun Maret 2011 penduduk Jakarta meningkat lagi menjadi 8.525.062 jiwa (BPS, 2011). Jika pada 1950, Jakarta belum masuk kedalam 15 kota terpadat di dunia, tetapi dalam jangka 45 tahun sudah menduduki peringkat ke 10 (Todaro, 1997: 5). Richard L Forstall dalam peringkat tahun 2001 menempatkan Jakarta di urutan ketiga kota terbesar di dunia, sementara demographia.com menempatkan di urutan keempat, world-gazetteer menempatkan di urutan keenam, dan mongabay.com menempatkan di urutan ketujuh, dan citypopulation.de menempatkan di urutan kesepuluh (Samiadji, 2007).

Bertambah padatnya penduduk Jakarta tidak terlepas dari meningkatnya proses urbanisasi, di mana prosesnya meningkat setelah era 1980-an (Evers, 2005). Jika pada 1980, urbanisasi ke Jakarta mencapai 93,69 persen, kemudian meningkat menjadi 100 persen pada 1990 dan stabil 100 persen pada 1995. Tingkat urbanisasi yang mencapai 100 persen berarti seluruh wilayah DKI Jakarta merupakan daerah yang tergolong perkotaan. Berdasarkan hasil penelitian LP3ES pada tahun 1976 hanya 14 persen penduduk asli Jakarta sedangkan selebihnya adalah penduduk migran, dan para migran itu berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan dari pulau-pulau di luar Jawa yaitu 14 persen (Papanek dan Siliban dalam Usman, 1979). Pada 2000 orang Betawi hanya 30 persen dari seluruh jumlah warga Ibu Kota.4 Dan sekarang diperkirakan, jumlah orang Betawi hanya 10% dari seluruh Penduduk DKI Jakarta.5

Namun demikian dilihat dari arus migrasi secara netto, atau selisih antara migrasi masuk dan keluar sudah terjadi negatif sejak tahun 1990. Migrasi netto ini dihitung berdasarkan migrasi risen yaitu migrasi dimana tempat tinggal seseorang pada saat pencacahan berbeda dengan tempat tinggal 5 tahun yang

4 Analisis lebih lanjut lihat dalam, “Menjadi Asing di Rumah Sendiri,” (http://www.facebook.com /topic.php?uid=1070 23765987154&topic=3, diakses 29 Mei 2011).

5 Lebih lanjut lihat dalam, “Melayu Betawi,” (http://www.kapasitor.net/community/post/639, diakses 29 Mei 2011).

Page 16: Buku Lintas Tim 2

16

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

lalu. Tetapi jika dilihat dari jumlah penduduk yang terus meningkat maka ini memperlihatkan pertumbuhan alamiah penduduk lebih besar.

Untuk meredam laju urbanisasi ke Jakarta, pada 1970 Pemerintah DKI telah menempuh kebijakan untuk menanggulangi urbanisasi termasuk migran dengan mengeluarkan SK Gubernur yang bermaksud menutup Jakarta bagi pendatang baru. Sejalan dengan itu dilaksanakan usaha-usaha seperti penentuan daerah bebas becak, penertiban pedagang kaki lima, pembongkaran gubuk-gubuk liar dan pembatasan penerimaan pegawai yang bukan pegawai DKI Jakarta dan penyebaran industri kepinggiran kota (Usman, 1979 :9). Tetapi kebijakan ini tidak dapat mengerem laju urbanisasi sehingga urbanisasi terus meningkat dan mencapai 100 persen sejak tahun 1990 (sampai sekarang), sehingga penduduk Jakarta semakin padat. Menurut Ananta (1995), menghalangi orang untuk datang ke Jakarta bukanlah hal yang efisien, karena DKI Jakarta memberikan suatu harapan hidup yang lebih baik dari daerah lain, orang akan selalu datang ke Jakarta. Saat ini kebijakan Pemerintah DKI dalam rangka menahan laju urbanisasi adalah melakukan operasi yustisia.6

Menurut Papanek seperti dikutip Usman (1979), Jakarta menarik bagi kaum pendatang terutama dari pedesaan karena alasan sosial ekonomi serta alasan lainnya, atau menurut Hugo dkk seperti dikutip Sasaki (1996 :499), disebabkan karena ketidakseimbangan masyarakat dan ekonomi di antara daerah-daerah di Indonesia menurut kemajuan urbanisasi. Sedangkan menurut Nasution (1979: 27-30), Jakarta menarik perhatian bagi kaum pendatang karena terdapat daya penarik, yaitu Jakarta sebagai pusat administrasi pemerintahan, sistem politik pembangunan pemerintah, Jakarta sebagai pusat perekonomian, Jakarta sebagai pusat kegiatan sosial, Jakarta sebagai pusat kebudayaan, sistem komunikasi, fasilitas pendidikan dan alasan lainnya. Alasan tersebut tidak banyak berubah untuk kondisi saat ini. Alasan utama mengapa orang tertarik untuk bekerja di sektor formal perkotaan adalah tingkat upahnya relatif lebih tinggi dibandingkan sektor formal di pedesaan atau di kota kecil, serta pola pekerjaannya yang memberikan kondisi kerja yang relatif lebih baik. Juga didukung dengan fasilitas modern yang lebih baik dan juga hubungan dengan pusat kekuasaan atau pusat bisnis membuat daya tarik Jakarta menjadi jauh lebih kuat serta peluang untuk pengembangan diri juga relatif lebih besar di Jakarta (Samiadji, 2007).

6 Penjelasan lebih lanjut lihat dala, “Pemprov DKI Anggarkan Rp900 Juta Operasi Yustisi,” 7 Oktober 2008 (http://www.antaranews.com/ view/?i=1223323464&c=NAS&s=, diakses 29 Mei 2011).

Page 17: Buku Lintas Tim 2

17

Asep Ahmad Saefuloh

Berdasarkan studi oleh TOSS (tanpa tahun), terdapat dua tipe dari para pendatang ke Jakarta. Pertama, orientasi karir di mana Jakarta sebagai pusat karir dilandasi dengan percepatan yang tinggi pada struktur birokrasi. Ini terjadi ketika pendapatan dari minyak mencapai 60 persen dari pendapatan pemerintah. Akibatnya pemerintah mempunyai kelebihan dana sehingga mampu mengembangkan struktur birokrasi dalam pemerintah pusat dan lokal, sehingga pendatang bertujuan menjadi pegawai negeri dan membangun karirnya di kota. Kedua, pendatang dengan tujuan mendapatkan penghidupan. Motivasi dan lingkungan dari tipe pendatang bermacam-macam, mulai dari bukan pedagang, pedagang dan penganggur. Tipe seperti ini tidak berorientasi untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dan umumnya memiliki level pendidikan yang lebih rendah dari para pendatang dengan tujuan karir. Pendatang dengan tujuan mencari penghidupan ini terbagi dua yaitu mereka yang bekerja di sektor formal dan mereka yang bekerja di sektor informal.

Pekerja di sektor informal, umumnya mereka yang gagal mendapatkan pekerjaan di sektor formal, sehingga terpaksa bekerja di sektor informal, misalnya menjadi pedagang kaki lima, penjual jasa dan penarik becak dan pekerjaan sektor informal lainnya. Kelompok pekerja sektor informal juga biasanya menghasilkan barang-barang yang murah dan juga menyediakan jasa seperti transportasi jarak pendek, input untuk industri menengah kecil. Pasar untuk jenis barang-barang seperti ini selalu eksis karena kelompok yang berpendapatan relatif rendah di kota juga membutuhkan barang-barang seperti ini. Oleh karena itu, walaupun Jakarta penuh sesak dengan berbagai rintangan dan kesulitan, arus pendatang tetap mengalir (Samiadji, 2007).

Namun demikian faktor ekonomi, bukan satu-satunya faktor yang menentukan mengapa terjadi urbanisasi ke Jakarta, karena beberapa studi di kota besar lain menunjukkan bahwa jarak dan hubungan sosial antarpekerja yang tinggal di kota juga memengaruhi meningkatnya urbanisasi. Migran yang datang ke kota besar banyak yang sudah memiliki keluarga atau kenalan yang sudah menetap di kota besar (Samiadji, 2011). Tetapi, menurut Kitagawa (1996: 306), pendatang yang datang ke Jakarta lalu menetap merupakan tujuan akhir migrasinya.

Hal menarik dari fenomena urbanisasi dengan tujuan utama Jakarta, telah memasuki “masyarakat transisi akhir (late transitional society)“, yang mengakibatkan terjadi perpindahan penduduk dari Jakarta ke daerah-daerah penyangga (sub urban), yaitu daerah-daerah pinggiran di Bogor, Tanggerang dan Bekasi (Botabek). Penduduk dari Jakarta Selatan merupakan yang paling

Page 18: Buku Lintas Tim 2

18

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

banyak melakukan perpindahan ke daerah sub urban. Terjadinya perpindahan penduduk dari Jakarta ke daerah sub urban ini bisa disebabkan karena beberapa faktor, antara lain terjadi pengusuran karena daerah asal telah dirubah menjadi daerah bisnis, perkantoran dan perlebaran dan penambahan jalan. Faktor lainnya karena alasan keluarga, terutama mereka keluarga muda, yang telah memisahkan diri dari keluarga orang tuanya, dan mencari tempat tinggal di daerah tersebut (TOSS, tanpa tahun).

Fenomena perpindahan penduduk dari Jakarta ke daerah-daerah penyangga, menurut Spreitzhofer dan Heintel (1998 :106), tidak terlepas dari faktor demografi dan ekonomi, sebagai akibat konsekuensi politik pro barat semenjak akhir 1960-an. Pemerintah Orde Baru dengan memperkenalkan kebijakan liberalisasi dan deregulasi yang mentransportasikan latarbelakang spasial dan sosial ekonomi dan mempercepat perubahan sektoral dengan menggunakan tenaga kerja lokal. Akibat kebijakan ini, Jakarta menjadi pusat bagi perkembangan bisnis dan perkantoran sehingga lahirlah kebijakan ruang strategis dengan merelokasi perumahan penduduk kota ke daerah penyangga (Botabek). Begitu juga dengan membangun kawasan industri dengan menggunakan tenaga kerja dari Jakarta dan penduduk lokal. Tetapi karena pertumbuhan industrialisasi sangat cepat, maka terjadi kekurangan tenaga kerja, lalu diisi oleh pendatang. Tetapi pendatang pertumbuhannya lebih cepat dari pertumbuhan industrialisasi sehingga berdampak kepada pertumbuhan sektor informal dan pengangguran.

Permasalahan Kesempatan KerjaC.

Cepatnya pertumbuhan tenaga kerja di perkotaan disebabkan pertumbuhan alami tenaga kerja di kota dibarengi dengan peningkatan tenaga kerja dari pendatang. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi menurunnya sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian, dikarenakan tenaga kerja sektor pertanian di desa pindah ke kota dan lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan yang tidak produktif. Begitu juga urbanisasi karena dorongan mencari pekerjaan sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan di perdesaan. Berdasarkan Sakernas 2008, tingkat setengah pengangguran daerah perdesaan tercatat dua kali lipat dari daerah perkotaan (41 persen dibanding 21 persen).

Perkembangan Pengangguran dan Kemiskinan 1.

Dalam konteks kesempatan kerja, urbanisasi menyumbang terhadap peningkatan pengangguran di perkotaan. Pada 1999, Jakarta dengan

Page 19: Buku Lintas Tim 2

19

Asep Ahmad Saefuloh

tingkat urbanisasi yang tinggi merupakan kota yang paling tinggi tingkat penganggurannya, yaitu mencapai 13,2 persen, begitu juga dengan kota sub urban-nya seperti Bekasi yang mencapai 13,5 persen, Tanggerang 9,2 persen dan Bogor 12,4 persen. Pengangguran yang tinggi juga terjadi di kota-kota besar lainnya, misalnya Bandung yang mencapai 13,4 persen, Surabaya 9,7 persen dan Medan 14,4 persen (UNDP, 2001). Secara umum, berdasarkan data Sakernas 2006 tingkat pengangguran terbuka (TPT) pemuda di perkotaan lebih besar dibandingkan pemuda di perdesaan, yaitu 20,83 persen dan 15,16 persen, sedangkan berdasarkan data Sakernas 2007 TPT pemuda di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan TPT pemuda di perdesaan yaitu 19,70 persen dan 11,71 persen.

Tabel. 2. Penduduk Jakarta Berusia 15 Tahun Keatas dan Jenis Kegiatan, 2009

Kota AdministrasiBekerja

mencari Pekerjaan

Bukan Akan Kerja Total

Kepulauan Seribu 7. 391 967 5 .281 13. 639

Jakarta Selatan 961. 864 127. 679 549 .770 1 .639. 313

Jakarta Timur 1. 025. 141 175. 437 697 .559 1 .898. 137

Jakarta Pusat 421. 117 59. 539 244 .558 725. 214

Jakarta Barat 1. 020. 289 109. 144 505 .990 1 .635. 423

Jakarta Utara 682. 588 96. 571 348 .196 1 .127. 355

Jumlah / Total 4. 118. 390 569. 337 2. 351 .354 7 .039. 081

2008 4. 191. 966 580. 511 2. 176 .604 6 .949. 081

2007 3. 842. 944 552. 380 2. 371 .599 6 .766. 923

2006 3. 531. 799 590. 022 2. 449 .913 6 .571. 734

2005 3. 565. 331 615. 917 2. 447 .567 6 .628. 815

2004 3. 497. 359 602. 741 2. 520 .129 6 .620. 229sumber : BPS, 2009.

Pengangguran di perkotaan dikarenakan pertumbuhan industrialisasi di kota pertumbuhannya tidak setinggi pertumbuhan tenaga kerja. Akibatnya daya serap menjadi terbatas, dan tingkat kompetisinya tinggi. Hanya tenaga kerja yang terampil yang dapat masuk sektor industri, terutama untuk industri jasa. Sedangkan tenaga kerja yang tidak terdidik yang tidak terserap tidaklah semata dilatarbelakangi dengan masalah kurangnya keterampilan, tetapi memang karena daya serap yang terbatas. Pada akhirnya pendatang jenis ini akan masuk ke dalam kegiatan sektor informal, tetapi bagi pendatang yang tidak siap terjun ke sektor tersebut menjadi penganggur.

Page 20: Buku Lintas Tim 2

20

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Dalam studi yang dilakukan oleh Jones dan Supratilah (1991: 322-324) yang dilakukan di Jakarta, Surabaya dan Bandung pada tahun 1990, memperlihatkan bahwa penganggur ini sebagian besar berusia muda, dan tingkat pengangguran lulusan sekolah menengah dua kali daripada yang berpendidikan rendah dan kelompok ini cenderung menganggur relatif lama. Ini timbul karena penganggur yang berlulusan sekolah menengah cenderung tidak mau/segan untuk bekerja di sektor informal, dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Secara khusus, perkembangan jumlah penganggur di Jakarta dijelaskan dalam Tabel.2.

Tabel.3. Penduduk miskin 2010

Provinsi Perkotaan Perdesaan Total

Nangroe Aceh Darussalam 173.400 688.500 861.900

Sumatera Utara 689.000 801.900 1.490.900

Sumatera Barat 106.200 323.800 430.000

Riau 208.900 291.300 500.300

Jambi 110.800 130.800 241.600

Sumatera Selatan 471.200 654.500 1.125.700

Bengkulu 117.200 207.700 324.900

Lampung 301.700 1.178.200 1.479.900

Bangka Belitung 21.900 45.900 67.800

Kepulauan Riau 67.100 62.600 129.700

DKI Jakarta 312.200 - 312.200

Jawa Barat 2.350.500 2.423.200 4.773.700

Jawa Tengah 2.258.900 3110.200 5.369.200

DI Yogyakarta 308.400 268.900 577.300

Jawa Timur 1.873.500 3.655.800 5.529.300

Banten 318.300 439.900 758.200

Bali 83.600 91.300 174.900

Nusa Tenggara Barat 552.600 456.700 1.009.400

Nusa Tenggara Timur 107.400 906.700 1.014.100

Kalimantan Barat 83.400 345.300 428.800

Kalimantan Tengah 33.200 131.000 164.200

Kalimantan selatan 65.800 116.200 182.000

Kalimantan Timur 79.200 163.800 243.000

Sulawesi Utara 76.400 130.300 206.700

Sulawesi Tengah 54.200 420.800 475.000

Sulawesi Selatan 119.200 794.200 913.400

Sulawesi Tenggara 22.200 378.500 400.700

Gorontalo 17.800 192.000 209.900

Page 21: Buku Lintas Tim 2

21

Asep Ahmad Saefuloh

Sulawesi Barat 33.700 107.600 141.300

Maluku 36.300 342.300 378.600

Maluku Utara 7.600 83.400 91.100

Papua Barat 9.600 246.700 256.300

Papua 26.200 735.400 761.600

Indonesia 11.097.800 19.925.600 31.023.400sumber: BPS, 2011.

Urbanisasi tidak hanya berdampak pada meningkatnya pengangguran di perkotaan, tetapi juga berdampak pada persoalan kemiskinan perkotaan. Hal ini terlihat dari beberapa provinsi yang perbandingan kemiskinan perkotaan dan perdesaan mendekati seimbang, seperti Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Bali. Bahkan Jogjakarta dan Nusa Tenggara Barat, kemiskinan perkotaannya melebihi kemiskinan perdesaannya (lihat tabel.3).

Terkait dengan kemiskinan perkotaan maka memiliki keeratan dengan kemiskinan pedesaan. Pendatang yang di daerah asalnya miskin, kemudian pindah ke kota tetapi di tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang baik sehingga mereka masuk ke dalam rantai kemiskinan perkotaan. Mereka menjadi penghuni kawasan kumuh dan mencari nafkah di sektor informal, misalnya menjadi pemulung atau pengemis. Dalam kondisi seperti banyak penelitian atau studi yang mengaitkan kemiskinan dengan status pekerjaan sektor informal atau sebaliknya. Fenomena kemiskinan perkotaan juga banyak dikaitkan dengan kemiskinan struktural dan kebudayaan kemiskinan. Pandangan ini diilhami oleh penelitian Oscar Lewis terhadap penduduk miskin di kota Mexico City, Puerto Rico, dan penduduk Puerto Rico di New York City. Menurutnya kemiskinan akan menciptakan budayanya sendiri dan elemen-elemennya sama saja bagi kaum miskin dimanapun. Meskipun begitu untuk kasus kemiskinan kota di Indonesia dengan pendekatan ini belum didukung dengan hasil penelitian.

Kemiskinan secara struktural pada umumnya justeru terjadi di daerah yang pertumbuhan ekonominya tinggi. Ini memperlihatkan telah terjadi ketimpangan dalam akses terhadap sumberdaya ekonomi, di mana akses tersebut dikuasai oleh orang-orang kaya, sehingga akhirnya bagi kaum miskin akan melahirkan pelanggengan kemiskinannya. Sedangkan kebudayaan kemiskinan diartikan bahwa kemiskinan menjadi bagian dari hidup kaum miskin, dan mereka tidak dapat lepas dari jerat kemiskinannya, karena budaya miskin tetap mereka pelihara, misalnya tinggal di daerah kumuh dan bermatapencaharian di sektor informal, kemudian budaya miskin tersebut juga dilakukan oleh seluruh

Page 22: Buku Lintas Tim 2

22

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

anggota keluarga mereka, saudara dan keturunannya. Dalam banyak kasus kemiskinan adalah suatu profesi, mereka datang ke kota (misalnya Jakarta) dengan berpenampilan sebagai orang miskin, dan berprofesi sebagai pengemis, padahal di kampung asalnya tidak tergolong miskin. Terkait dengan kemiskinan perkotaan ini, Jakarta merupakan salah satu contohnya. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Jakarta dijelaskan dalam Tabel.4.

Tabel.4. Penduduk miskin 2010 (000)

Kota Administrasi 2005 2006 2007 2008 2009

Kepulauan Seribu 3,4 3,2 3,4 2,6 2,9

Jakarta Selatan 64 76,3 64 71,1 76,3

Jakarta Timur 71,2 85,1 71,2 79,8 94,6

Jakarta Pusat 28,5 43,6 28,5 31 34,5

Jakarta Barat 57,4 89,5 57,4 72,9 85,2

Jakarta Utara 91,7 109,4 91,7 85,2 112,2

DKI Jakarta 316,2 407,1 316,2 342,5 405,7sumber: BPS, 2009

Pertumbuhan sektor Informal2.

Terdapat pandangan yang memperlihatkan pertentangan tentang kebudayaan kemiskinan, bahwa kemiskinan bagi pendatang hanya bersifat sementara. Misalnya penelitian Abu Hamid dan Menno, khususnya di Kampung Pisang, membuktikan bahwa kaum miskin di lokasi tersebut bukan disebabkan oleh adanya suatu kebudayaan kemiskinan dan bukan pula oleh struktur sosial. Mereka tetap bercita-cita dan tetap berusaha agar suatu kelak, bila telah berhasil dan cukup modal, akan beralih ke rumah atau lokasi pemukiman yang lebih layak dan membentuk usaha yang memberikan penghasilan yang cukup serta memperoleh status usaha yang baik (Menno dan Alwi, 1992:62).

Menurut Adriani (tanpa tahun), ditinjau dari sisi kesempatan kerja, jumlah pengangguran di perkotaan lebih disebabkan karena penurunan kesempatan kerja sektor industri di wilayah tersebut. Sebaliknya jumlah pengangguran di pedesaan lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah kesempatan kerja sektor pertanian. Selanjutnya sesuai dengan penjelasan dari Petsimeris (2004) kebijakan ketenagakerjaan di perkotaan harus melakukan pendekatan community base development. Dalam konsep tersebut, termasuk adalah menggerak ekonomi sektor informal. Seperti di Cina dengan mengembangkan produk budaya yang berhasil menyerap industri informal (Hu, 2009).

Page 23: Buku Lintas Tim 2

23

Asep Ahmad Saefuloh

Konsep informalitas perkotaan ini tidak terlepas dari dikotomi sektor formal dan sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970-an. Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara-negara berkembang. Persentase sektor informal di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Sub-sahara Afrika, Timur Tengah dan Afrika Utara dan Asia Selatan berkisar antara 30-70 persen dari total tenaga kerja (Rukmana, 2008).

Hugo (1991) dan Kundu (2009) menerangkan bahwa sektor informal dalam ekonomi kota banyak menyerap kaum migran. Hal ini sangat beralasan karena pertumbuhan sektor informal ini dipengaruhi oleh keadaan pendatang sendiri. Tidak semua pendatang mampu mendapatkan pekerjaan di sektor formal, terutama pendatang yang tidak memiliki keterampilan yang digunakan di sektor formal. Karena umumnya pendatang dilatarbelakangi oleh faktor pendorong di desa yang tidak memberikan jaminan hidup yang lebih baik, sehingga memutuskan untuk pindah ke kota.

Hal ini sejalan dengan penjelasan Todaro (1997), bahwa sektor informal perkotaan mempunyai keterkaitan dengan sektor pedesaan, yaitu mereka yang bermatapencaharian di sektor informal perkotaan merupakan imbas dari tenaga kerja tidak terampil yang datang dari pedesaan, sebagai akibat dari usaha mereka untuk melepaskan diri dari kemiskinan di desa dan pengangguran. Meskipun jaminan bahwa kehidupan dan kondisi pekerjaan serta pendapatan di kota tidak lebih baik dibandingkan yang mereka miliki sebelum berpindah. Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi penggolongan tenaga kerja pendatang, di mana tenaga terdidik masuk dalam jalur informal, yang terkait dengan industrialisasi dan tenaga tidak terdidik di sektor informal. Hal ini sejalan dengan kasus pada urbanisasi ke Jakarta, di mana terdapat dua golongan pendatang yaitu orientasi karir dan pencari penghidupan, dimana tingkat pendidikan orientasi karir lebih tinggi (terdidik), dan sebaliknya pencari kehidupan umumnya berpendidikan rendah dan terjun ke sektor informal.

Dengan latarbelakang tersebut menjadikan sektor informal di perkotaan mengalami pertumbuhan yang pesat. Dan bila dikaitkan dengan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota, sebenarnya memperlihatkan mobilitas pekerjaan, yaitu dari pertanian menuju sektor informal. Karena itu Amstrong dan McGee seperti dikutip Hugo (1991) menyebutkan bahwa sektor informal perkotaan dipengaruhi atau didasarkan atas mekanisme involusi yang sama dengan sistem pertanian di Jawa. Hal ini sejalan dengan perubahan peranan pertanian terhadap perekonomian, di mana sumbangannya semakin menurun dibandingkan

Page 24: Buku Lintas Tim 2

24

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

dengan peranan sektor industri. Selama lima dekade, pembangunan ekonomi telah menunjukkan adanya transformasi struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini diperlihatkan oleh penurunan sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan pada saat yang sama terjadi peningkatan sumbangan sektor industri. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB sebesar 49,3% pada 1969 menjadi 26,1% pada 1983, sedangkan sektor industri meningkat dari 9,2% menjadi 13,2% untuk periode yang sama (Soedjito 1990). Penurunan sumbangan sektor pertanian terus terjadi hingga mencapai 10,7% pada 2003, dan mencapai dibawah 10% pada 2007 (Budiman, 2010).

Pertumbuhan sektor informal ini juga tidak terlepas dari perkembangan sektor formal (sektor modern) yang perkembangannya lebih lambat dari pertumbuhan tenaga kerja, sehingga di pasar kerja dihadapkan pada kondisi kelebihan tenaga kerja, misalnya di kota seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung (Jones dan Supratilah, 1991). Dan menurut studi Forbes (1991:348) di Ujungpandang memperlihatkan bahwa perekonomian kota menyerap pendatang sebagai pedagang kecil dan penjaja, karena lahan pekerjaan disektor industri terbatas, karena para penjaja ini merupakan korban urbanisasi tanpa industrialisasi. Memang secara teoritis urbanisasi harus diiringi dengan industrialisasi, meskipun dalam kenyataannya sektor industri berkembang tetapi pertumbuhannya tidak mampu mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja.

Menurut Soewarna seperti dikutip Tantu (1979:38), sektor informal perkotaan dibagi dalam lima jenis: pertama, angkutan, yaitu penarik becak, delman dan gerobak; kedua, perdagangan, yaitu pedagang kaki lima, makanan dan minuman, pakaian, alat tulis menulis, barang bekas keperluan rumah tangga; ketiga, pengolahan, yaitu membuat makan dan minuman, industri kayu dan bahan makanan; keempat, bangunan, yaitu tukang teraso, tukang besi, tukang batu dan tukang kayu; kelima, jasa-jasa, yaitu tukang jahit reparasi arloji, radio, motor, kaca mata, berbagai jenis calo, tukang pijit, tukang lukis, tukang sepuh, sol sepatu, dan sebagainya. Jones dan Supratilah (1991: 322-324) mendefinisikan sektor informal yang menyerap kaum migran adalah kegiatan distribusi komoditi skala kecil, dan kegiatan primer dan sekunder lainnya di kota-kota, seperti penjahit, tukang reparasi sepatu dan barang bekas, tukang becak, sekelompok kecil pelacur dan pengemis. Sedangkan menurut Stelle (1991:392), sektor informal mencakup pendatang-pendatang baru yang berusaha sendiri atau bekerja dalam keluarga. Selanjutnya Hugo (1991:342)

Page 25: Buku Lintas Tim 2

25

Asep Ahmad Saefuloh

menerangkan bahwa sektor informal di Jakarta dapat menunjukan asal daerah dari seseorang (stereotype). Misalnya kelompok-kelompok sopir bus dan kondektur berasal dari Sumatera, pedagang kaki lima dari Sumatera Barat, pekerja galangan kapal dari Banten, dan tukang becak dari pantai utara Jawa.

Pendatang yang semakin besar juga membawa implikasi semakin ketatnya pasar persaingan tenaga kerja formal. Mereka yang tersingkir dari pasar tenaga kerja formal akhirnya harus masuk ke sektor informal. Studi yang pernah dilakukan Centre for Policy and Implementation Study (CPIS) menunjukkan pekerja sektor informal di Jakarta ternyata memperoleh pendapatan yang cukup sebanding dengan pekerja di sektor formal (Samiadji, 2007).

Sampai saat ini memang belum ada kebijakan ataupun aturan yang mengatur langsung secara khusus mengenai sektor informal, akan tetapi Pemerintah sesungguhnya telah mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, bahwa sektor informal, termasuk pedagang kaki lima (PKL), harus masuk dalam rencana tata ruang wilayah. Sebelum adanya undang-undang tersebut, sebagai contoh untuk Jakarta Selatan, keberadaan PKL di diakomodasi oleh Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2002. Dalam Perda itu, PKL memiliki tempat di pasar-pasar tradisional dan pusat perbelanjaan modern. Dalam Perda tersebut dijelaskan kewajiban pengelola mal untuk menyediakan 20 persen lahannya bagi PKL (Seftiani, tanpa tahun).

Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara Dunia Ketiga yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal.

Kebijakan ekonomi Terpadu3.

Urbanisasi menjadi fenomena penting bagi Indonesia karena diperkirakan pada tahun 2025 jumlah penduduk yang akan tinggal di perkotaan mencapai 65% (lihat Gambar.3). Perkembangan proses urbanisasi sebenarnya tidak terlepas dari kebijakan pembangunan perkotaan, khususnya pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh Pemerintah. Sebagaimana diketahui peningkatan jumlah penduduk akan berkorelasi positif dengan meningkatnya urbanisasi di suatu wilayah. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa aktivitas perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memiliki tingkat konsentrasi penduduk yang cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi

Page 26: Buku Lintas Tim 2

26

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan.

Gambar.3 Tingkat urbanisasi di Indonesia 1975-2025

sumber: MP3EI, 2011.

Perkembangan kota-kota di dunia yang begitu cepat dengan segala permasalahannya memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah (Eric et al, 2010). Begitu juga kasus di Indonesia, terutama perkembangan Jabotabek, menurut Spreitzhofer (2005) terjadi karena tanpa kontrol. Di satu sisi, hal ini memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah provinsi dan kota, yang sekaligus memperlihatkan begitu dominasi swasta (Dieleman, 2011) terutama pengembang internasional. Sedangkan di sisi lain perkembangan urbanisasi juga sejalan dengan penerapan sistem desentralisasi tetapi kurang didukung dengan kapasitas kelembagaan. Begitu juga disumbang dengan rendahnya kompetensi SDM pada organisasi pemerintah daerah, serta lambatnya berbagai pengaturan yang terkait dengan aspek-aspek desentralisasi dan pengembangan manajemen perkotaan (Sarosa, tanpa tahun; Bappenas dan PU, 2010). Kasus ini juga dihadapi oleh Cina, di mana perkembangan sistem desentralisasi dan reformasi ekonomi telah menimbulkan ketimpangan regional dan masalah manajemen perkotaan (Akhmat and Bochun, 2010).

Namun demikian kebijakan pintu tertutup bagi pendatang sangat tidak memungkinkan, karena berhadapan dengan kecepatan pertumbuhan penduduk di pedesaan. Saat ini terdapat dua kebijakan utama yang dianut di negara-negara berkembang, dan sekaligus melakukan pendekatan keduanya (Alaci, 2010). Kebijakan pertama adalah mengembangkan daerah-daerah

Page 27: Buku Lintas Tim 2

27

Asep Ahmad Saefuloh

pedesaan agar memiliki ciri-ciri sebagai daerah perkotaan atau urbanisasi pedesaan (Hutagaol, 2001), seperti yang dikembangkan di Cina (Wang and Han, 2009). Kebijakan ini merupakan upaya untuk mempercepat tingkat urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan melakukan beberapa terobosan yang bersifat non-ekonomi. Bahkan perubahan tingkat urbanisasi tersebut diharapkan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu perlu didorong pertumbuhan daerah pedesaan agar memiliki ciri-ciri perkotaan, namun tetap pada nuansa pedesaan. Beberapa cara yang sedang dikembangkan untuk mempercepat tingkat urbanisasi tersebut antara lain dengan memodernisasi daerah pedesaan sehingga memiliki sifat-sifat daerah perkotaan. Pengertian modernisasi daerah pedesaan tidak semata-mata dalam arti fisik, seperti membangun fasilitas perkotaan, namun membangun penduduk pedesaan sehingga memiliki ciri-ciri modern penduduk perkotaan. Dalam hubungan inilah lahir konsep urbanisasi pedesaan.

Melalui kebijakan di atas, daerah pedesaan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan. Untuk itu diperlukan sistem perekonomian yang cocok dengan potensi daerah pedesaan. Jika konsep urbanisasi pedesaan seperti di atas dapat dikembangkan dan disepakati, maka tingkat urbanisasi di Indonesia dapat dipercepat perkembangannya tanpa merusak suasana tradisional yang ada di daerah pedesaan dan tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi yang sedemikian tinggi. Kebijakan ini pada dasarnya kebijakan untuk mereduksi faktor pendorong (push factor).

Kebijakan kedua, mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, atau dikenal dengan istilah daerah penyangga pusat pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, khususnya pasal 33 ayat (3) huruf (c) yang mengatur bahwa mobilitas penduduk internal meliputi pengarahan mobilitas penduduk dan persebaran penduduk ke daerah penyangga dan ke pusat pertumbuhan ekonomi baru dalam rangka pemerataan pembangunan antar provinsi. Kebijakan ini merupakan upaya untuk mengembangkan kota-kota kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan.

Sebagai contoh untuk Jakarta dapat mengembangkan konsep Greater Jakarta adalah perluasan Jakarta tanpa penyatuan wilayah administratif atau wewenang pemerintahan di bawah Pemprov DKI. Selain Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Debotabek), Cianjur, Cikampek, Subang, serta Purwakarta adalah bagian dari Greater Jakarta. Greater Jakarta bukanlah konsep pencaplokan

Page 28: Buku Lintas Tim 2

28

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

wilayah oleh Jakarta, melainkan sebuah upaya koordinasi penataan wilayah. Lewat konsep Greater Jakarta, beban Jakarta dibagi ke wilayah penyangga.

Kebijakan pengembangan perkotaan diklasifikasikan ke dalam tiga bagian. Hal pertama, adalah kebijakan ekonomi makro yang ditujukan terutama untuk menciptakan lingkungan atau iklim yang merangsang bagi pengembangan kegiatan ekonomi perkotaan. Hal ini antara lain meliputi penyempurnaan peraturan dan prosedur investasi (Zao and Liu, 2010), penyesuaian kebijakan moneter dan fiskal, serta reformasi ketenagakerjaan (Lu and Gao, 2009).

Hal kedua adalah pola pengembangan kota yang mendukung pola kebijakan pembangunan nasional menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang secara operasional dituangkan dalam kebijakan tata ruang kota dan penanganan masalah kinerja masing-masing kota.

Hal ketiga adalah kebijakan pengembangan perkotaan dilandasi konsepsi yang meliputi pengaturan mengenai sistem kota-kota, terpadu, berwawasan lingkungan, serta peningkatan peran masyarakat dan swasta. Peran serta masyarakat melakukan pendekatan community base development berarti juga akan menciptakan kesempatan kerja melalui pengembangan sektor informal (Petsimeris, 2004). Dengan makin terpadunya sistem-sistem perkotaan yang ada di Indonesia, akan terbentuk suatu hierarki kota besar, menengah, dan kecil yang baik sehingga tidak terjadi dominasi salah satu kota terhadap kota-kota lainnya.

Page 29: Buku Lintas Tim 2

29

BAB IVPeNuTuP

KesimpulanA.

Urbanisasi di Indonesia, merupakan suatu proses alamiah dari kegiatan mobilitas penduduk dan memperlihatkan perkembangan yang semakin meningkat. Dalam analisis ini urbanisasi dilihat dalam dua konteks. Pada konteks pertama di mana perpindahan penduduk dari desa ke kota. faktor yang secara umum dapat menjelaskan mengapa terjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota adalah motivasi. Motivasi penduduk untuk berpindah ke kota merupakan reaksi atas pengharapan hidup yang lebih baik. Dalam kasus urbanisasi ke Jabotabek, Jakarta menjadi tujuan urbanisasi sebagai tempat mendapatkan pekerjaan, tetapi karena perkembangan perkotaan yang berdampak pada keterbatasan lahan untuk tempat perumahan telah menjadikan daerah sub urban menjadi tempat tinggal.

Urbanisasi yang dibiarkan terjadi terus menerus pada suatu wilayah tertentu saja akan berhadapan dengan batas daya tampung perkotaan. Sebagai contoh Jakarta, dengan tingkat urbanisasi yang tinggi telah menimbulkan permasalahan ekonomi perkotaan, yaitu tingginya tingkat pengangguran. Meningkatnya pengangguran ini menunjukan bahwa perkembangan sektor formal tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja sehingga urbanisasi dengan sendirinya mendorong pertumbuhan sektor informal.

Pertumbuhan sektor informal yang muncul di perkotaan di Indonesia seharusnya dipahami dalam konteks transformasi perkotaan. Pergeseran sistem ekonomi dari yang berbasis pertanian ke industri dan jasa menyebabkan terjadinya urbanisasi seiring dengan intensitas sektor informal. Pemahaman informalitas perkotaan dalam mencermati masalah sektor informal akan menempatkan sektor informal sebagai bagian terintegral dalam sistem ekonomi perkotaan. Salah satu wujud pemahaman ini adalah menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan sektor informasi seperti keberadaan pedagang kak lima.

Page 30: Buku Lintas Tim 2

30

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Proses urbanisasi tidak dapat dihentikan, misalnya untuk kasus urbanisasi di Jakarta, maka selama Jakarta masih memberikan harapan yang baik, berupa potensi pertumbuhan ekonomi maka pendatang akan tetap menjadikan daerah favorit tujuan migrasinya. Ukuran untuk menilai terkendali atau tidaknya suatu proses urbanisasi; biasanya disebut sebagai primacy rate. Primacy rate ini diartikan sebagai kekuatan daya tarik suatu Kota terhadap kota-kota di sekitarnya. Sehingga semakin besar tingkat primacy menunjukkan keadaan yang kurang baik dalam proses urbanisasi. Karena itu untuk mengurangi tingkat urbanisasi di Jakarta, maka primacy rate Jakarta harus diturunkan atau disebarkan ke daerah lain. Dengan demikian kebijakan pembangunan ekonomi harus memberikan keseimbangan pertumbuhan ekonomi kepada daerah lain. Hal ini juga sejalan dengan konsep pembangunan dengan sistem desentralisasi.

rekomendasiB.

Problematika perkotaan yang muncul pada kota-kota besar di Indonesia menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola perkotaan. Kebijakan terkait dengan urbanisasi, pada dasarnya kebijakan yang terkait dengan mobilitas penduduk dan pembangunan perkotaan. Terkait dengan mobilitas penduduk dan pembangunan perkotaan, secara konseptual perlu memadukan dua kebijakan, yaitu pengembangan urbanisasi perdesaan dan pertumbuhan pusat-pusat ekonomi baru. Terkait dengan itu, maka perlu adanya dukungan dari berbagai pemangku kepentingan. Terpenting dari hal tersebut adalah perlunya kemauan politik yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, serta didukung dengan peran serta dari legislatif sebagai pengawas atas implementasi dari kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Page 31: Buku Lintas Tim 2

31

dAFTAr PusTAKA

Buku

Bintarto, R. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Boiroch, Paul. “Tingkat dan Ciri Pengangguran di Kota Negara Sedang Berkembang.” Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.60-74.

Broek, Julien Van den. The Economics of Labor Migration. UK-Brookfield, USA: Edward Elgar, Cheltenham, 1996.

Chotib. “Dinamika Mobilitas Internal Dan Urbanisasi Di Indonesia: Kajian Data Sensus Penduduk 1980, 1990 dan SUPAS 1995.” Moh. Arsjad Anwar, dkk (ed.), Widjojo Nitisastro 70 Tahun, Pembangunan Nasional: Teori, Kebijakan dan Pelaksanaan. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1997, pp.889-907.

Chotib dan Turro S.Wongkaren. “Pemercepatan Transisi Mobilitas.” Aris Ananta dan Chotib (ed.), Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan BKKBN, 1996, pp.167-179

Firman, Tommy.1996. “Pola Urbanisasi di Indonesia: Kajian Data Sensus Penduduk 1980 dan 1990.” Aris Ananta dan Chotib (ed.), Mobilitas Penduduk di Indonesia. Jakarta: Lembaga Demografi FEUI dan BKKBN, 1996, pp.68-86.

Forbes, Dean. “Penjaja di Ujungpandang.” Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.348-378.

Heilbroner, Robert L. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, pp.63-64.

Page 32: Buku Lintas Tim 2

32

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Herr, Davis M. Masalah Kependudukan Di Negara Berkembang. Bina Aksara, Jakarta, 1985, pp.54-59.

Hugo, Graeme J. “Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat.” Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.318-348.

Indonesia, Republik. “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2010-2025,” Kementerian Bidang Perekonomian, 2011.

Jones, Gavin dan Bondan Supratilah. “Underutilization Tenaga Kerja di Palembang dan Ujungpandang.” Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.293-318.

Koyano, Shogo. “Pendahuluan: Tema Can Cara Penelitian Urbanisasi Di Asia Tenggara.” Shogo Koyano (ed.), Pengkajian Urbanisasi Di Asia Tenggara. Yogyakarta: Gadjah Masa University Press, 1996, pp.1-23.

Mazumdar, Dipak. “Masalah Pengangguran di Semenanjung Malasyia.” Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.187-211.

Menno, S dan Mustamin Alwi. “Kota dan Kemiskinan.” dalam Antropologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali Pers, 1992, pp.59-68.

Munir, Rozi. 1981. “Migrasi.” Dasar-Dasar Demografi. Edisi 2000, Jakarta: Lembaga Demografi dan LP FE-UI, pp.115-143.

Nasution, Agusfidar. “Daya Tarik dan Daya Dorong Migrasi.” Mulyanto Sumardi dan Hans-Dieter Evers (ed.), Urbanisasi Masalah Kota Jakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan Sumber-Daya Manusia (PPSM), 1979, pp.25-36.

Quigley, John M. “Urbanization, Aglomeration and Economic Development,” Spence et al (ed.), Urbanization and Growth. Washington, DC: The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank, 2009, pp.115-132.

Page 33: Buku Lintas Tim 2

33

Asep Ahmad Saefuloh

Rahardjo, Sri Pamoedjo. “Urbanisasi dan Implikasi Kebijaksanaan Perkotaan.” Hendra Esmara (ed.), Memelihara Momentum Pembangunan. Jakarta: PT.Gramedia Indonesia, 1985, pp.178-194.

Sasaki, Toshiro. “Struktur Kota Besar Jakarta Dan Gerakan Jumlah Penduduk: Struktur Industri dan Pemasukan Penduduk.” Shogo Koyano (ed.), Pengkajian Urbanisasi Di Asia Tenggara. Yogyakarta: Gadjah Masa University Press, 1996, pp.489-511.

Shyrock, Henry S, and Jacob S. Siegel. The Methods and Materials of Demography. London: Academics Press, 1976, pp.373-405.

Steele, Ross. “Mobilitas Pekerjaan dan Penghasilan Migran di Surabaya.” Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.378- 411.

Todaro, Michael P dan Jerry Stilkind. “Dilema Urbanisasi.” Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi (ed.), Urbanisasi, Pengangguran Dan Sektor Informal Di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991, pp.4-33.

Tantu, Hammado. “Sektor Informal di Jakarta.” Mulyanto Sumardi dan Hans-Dieter Evers (ed.), Urbanisasi Masalah Kota Jakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan Sumber-Daya Manusia (PPSM), 1971, pp.36-42.

Usman, M. Kasim. “Migrasi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.” Mulyanto Sumardi dan Hans-Dieter Evers (ed.), Urbanisasi Masalah Kota Jakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan Sumber-Daya Manusia (PPSM), 1979, pp.9-17.

Young, Elspeth. “Migration.” David Lucas (ed.), Beginning Population Studies. Canberra: The Australian National University, 1980, pp.133-129.

Jurnal

Akhmat, Ghulam and Yu Bochun. “Rapidly Changing Dynamics of Urbanization in China; Escalating Regional Inequalities and Urban Management Problems,” Journal of Sustainable Development, Vol.3, No.2, 2010, pp.153-158.

Page 34: Buku Lintas Tim 2

34

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Alaci, Davidson Sunday Ashemi. “Regulating Urbanisation in Subsaharan Africa through Cluster Settlements: Lesson for Urban Mangers in Ethiopia,” Theoretical and Empirical Researches in Urban Management, Vol.5, No.14, 2010, pp. 20-34.

Benedek, Joszef. “Urban Policy and Urbanisation in the Transititon Romania,” Romanian Review of Regional Studies, Vol.2, No.1, 2006, pp.51-64.

Dieleman, Marleen. “New Town Development in Indonesia: Renegotiating, Shaping and Replacing Institutions,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 167, No. 1, 2011, pp. 60-85 (http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv).

Eric, Misilu Mia, et al. “Sustainable Urbanization’s Challenge in Democratic Republic of Congo,” Journal of Sustainable Development, Vol.3, No.2, 2010, pp.242-254.

Hu, Fang. “Development of Cultural Industries to Promote Urban Economic Development,” International Journal of Business and Management, Vol.4, No.10, 2009, pp.184-186.

Hutagaol, Parulian. “Paradigma Baru Pengembangan Perdesaan Menuju Masyarakat dan Kawasan Perdesaan yang Mandiri dalam Era Otonomi Daerah,” Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 3, No. 1, 2001, pp.15-36.

Parysek, Jerzy J. “Urban Polcy inthe Context of Contemporary Urbanisation Process and Development Issues of Polish Cities,” Journal of Urban and Regional Analysis, Vol.2, No.2, 2010, pp.33-44.

Petsimeris, Susan Ball. “Urban Policy Under New Labour: a New Dawn?” Journal of Dela, No.21, 2004, pp.171-181.

Soedjito, Bambang B. “Perkembangan Kawasan Industri Di Indonesia.” Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol1, No.1 September 1990, hal. 44-48.

Spreitzhofer, Gunter dan Martin Heintel. “Urbanization in West Java in the New Order Era: Demografic and Socio-economic Trends in Jabotabek Region.” Journal of Population, Vol.4, No.1, 1998, pp.89-111.

Page 35: Buku Lintas Tim 2

35

Asep Ahmad Saefuloh

Spreitzhofer, Günter. “Post-Suharto’s Jabotabek Region: New Issues of Demographic and Socio-economic Change in Western Java,” Malaysian Journal of Society and Space, Vol.1, No.1, 2005, pp. 1-10.

Wang, Hongxiang and Zhijun Han. “Study on the County-level City in China,” Journal of Politics and Law, Vol.2, No.1, 2009, pp.50-54.

Zhao, Bing and Jinpeng Liu. “Research on Pushing Effect of Urbanization on China Western Investment,” International Journal of Economics and Finance, Vol.2, No.1, 2010, pp.182-185.

Zhang, Wei-bin. “A Two-Sector Growth Model with Endogenous Human Capital and Amenities,” Interdisciplinary Description of Complex Systems, Vol.6, No.2, 2009, pp.95-116.

Working Paper/laporan/makalah

Acharya, Sarthi. “Labour Migration in The Transtitonal Economies in the South-East Asia,” Working Paper on Migration and Urbanization, Economic and Social Commision for Asia and the Pacific, December 2003, pp.1-25.

Ananta, Aris. “Transisi Kependudukan di Indonesia: Beberapa Masalah dan Prospek Perekonomian.” Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 24 Mei 1995.

Anonim.a. “Mobility, Migration and Efficiency,” pp. 379-402.

Anonim.b. “In Search of A General Framework For Migration Analysis,” pp.15-45.

Direktorat Pembangunan Perdesaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Direktorat Program Cipta Karya Pekerjaan Umum (Bappenas dan PU). “Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perkotaan Nasional (KSPN) 2010-2025,” Revisi 5 Desember 2010.

Comola, Margherita and Luiz de Mello. “Fiscal Decentralization and Urbanization in Indonesia,” Working Paper No. 2010/58, May 2010, UNU-WIDER, pp. 1-19.

Page 36: Buku Lintas Tim 2

36

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Evers, Hans-Dieter. “The End of Urban Involution and the Cultural Construction of Urbanism in Indonesia,” Paper read at a conference: Asian Horizons: Cities, States and Societies, Singapore 1-3 August 2005, pp.1-12.

Hugo, Graeme. “Urbanization in Asia: An Overview,” Paper prepared for Conference on African Migration in Comparative Perspective, Johannesburg, South Africa, 4-7 June, 2003, pp.1-34.

Hugo, Graeme. “Forced Migration in Indonesia: Historical Perspectives,” Revised paper presented to International Conference on Toward New Perspectives on Forced Migration In Southeast Asia, organised by Research Centre for Society and Culture (PMB) at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) and Refugee Studies Centre (RSC) at the University of Oxford, Jakarta, 25-26 November 2004.

Herrmann, Michael and Haider A. Khan. “Rapid Urbanization, Employment Crisis and Poverty in African LDCs: A New Development Strategy and Aid Policy,” MPRA Paper No. 9499, July 2008.

Kundu, Amitabh. “Urbanisation and Migration: An Analysis of Trend, Pattern and Policies in Asia,” Human Development Research Paper 2009/16, United Nations Development Programme, June 2009.

Lu, Ming and Hu Gao. “When Globalization Meets Urbanization: Labor Market Reform, Income Inequality, and Economic Growth in the People’s Republic of China,” ADBI Working Paper Series, No. 162, November 2009, November 2009.

Meijers E.J. (Evert) and M.J. (Martijn) Burger. “ Urban Spatial Structure and Labor Productivity in U.S. Metropolitan Areas,” Paper presented at the 2009 Regional Studies Association annual conference ‘Understanding and Shaping Regions: Spatial, Social and Economic Futures’, Leuven, Belgium, April 6-8, 2009.

Passay N. Haidy A. “Growth, Technical Progress, Migration and Unemployment: An Empirical Study of Wage Rigidity Model of Labor Market in Indonesia.” Desertation. University of Pittsburgh, 1988.

Page 37: Buku Lintas Tim 2

37

Asep Ahmad Saefuloh

Rustandi, Ernan and Dyah Retno Panuju. “A Study Spatial Pattern of Suburbanization Process: A Case Study in Jakarta Suburb,” Paper presented in IGU-LCC Pre-Congress Meeting in Tsukuba, 8 August 2000.

Todaro, Michael P. Urbanization, Unemployment, and Migration in Africa: Theory and Policy. Working Paper, No.104. 1997.

UNDP. “Towards A New Consensus, Democracy and Human Development in Indonesia,” Indonesia Human Development Report 2001.

United Nation. “Human Population: Fundamentals of Growth Patterns of World Urbanization,” World Urbanization Prospects, 1999.

United Nation. “World Urbanization Prospects: The 2009 Revision,” Economic and Social Affairs, 2010.

Internet Karya Individual

Adriani, Dessy. “Keragaan Pasar Kerja Pertanian-NoPertanian dan Migrasi Desa-Kota: Telaah Periode Krisis Ekonomi,” (http://ejournal.unud.ac.id/ abstrak/%281% 29%20soca-dessy%20adriani-pasar%20kerja%20ind%28 1 %29.pdf diakses 15 Mei 2011).

Brian, Roberts and Trevor Kannely . “Chapter 2: Urbanization and Suistainability in Asia,” (http://www.unescap.org/esd/environment/soe/2000/documents/ CH07. PDF, diakses 15 Mei 2011).

Cox, Kevin R. (with David Hemson and Alison Todes), “Urbanization in South Africa and the Changing Character of Migrant Labor,” Department of Geography, The Ohio State University, August 9, 2005, at: http://geog-www.sbs.ohiostate.edu/faculty/kcox/cox1.pdf, this paper was also published in South African Geographical Journal 86:1 (2004), 7-16.

Ellis, Peter D. “Indonesia’s Urban Development: Toward Inclusive and Suistainable Economic Growth,” (http://siteresources.worldbank.org/ INTURBANDEVELOPMENT/Resources/336387-1296405826983/Ellis.pdf, diakses 15 Mei 2011).

Firman, Tommy. “The Dynamics of Indonesia’s Urbanization, 1980-2006,” (http:// paa2008.princeton.edu/download.aspx?submissionId=80063, diakses 15 Mei 2011).

Page 38: Buku Lintas Tim 2

38

Urbanisasi, Kesempatan Kerja dan Kebijakan Ekonomi Terpadu

Laboratory of Land Resources and Regional Planning (LLRRP). “A Studi of Spatial Patern of Suburbanization.” Ernan Rustiadi’s Personal Page. (http://www.hdp-ina.net/eman/sta-spt/j.htm, diakses 2 Mei 2002).

Kitamura, Teitaro dan Ernan Rustiadi. “Basic Trends in Land Use/Cover Change in Indonesia.” (http:www.cger.nies.go.jp/lenGEC-1/19-Kitoerni.pdf, diakses 2 Mei 2002).

Panjaitan, Budiman. “Prorural dan Petani (yang) Bermartabat.” 6 Okt 2010 (http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2010/10/06/2684/prorural_dan_petani_yang_bermartabat/, diakses 8 Januari 2011).

Rahmat, Adipati. “Evaluasi Urbanisasi Kota-kota di Indonesia dari perspektif Ekonomi Perkotaan (Studi Kasus Kota DKI Jakarta),” (http://adipatirahmat. wordpress.Com/2009/11/10/evaluasi-urbanisasi-kota-kota-di-indonesia-da ri-perspektif-ekonomi-perkotaan-studi-kasus-kota-dki-jakarta/, diakses 29 Mei 2011).

Rukmana, Deden. “Pedagang Kakilima Dan Informalitas Perkotaan,” 3 April 2008 (http://www.jakartabutuhrevolusibudaya.com/2008/04/03/pedagang-kakilima-dan-informalitas-perkotaan/, diakses 29 Mei 2011).

Samiadji, Bambang Tata, “70-80% Uang Nasional Berputar-putar di Jakarta,” 18 Oktober 2007 (http://www.mail-archive.com/[email protected]/ msg00598.html, diakses 29 Mei 2011).

Seftiani, Sari. “Kontribusi Migran Terhadao Pertumbuhan sektor Informal di Perkotaan (Kasus di Jakarta Selatan),” (http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/ 1%284%29.pdf, diakses 29 Mei 2011).

Setiawan, Nugraha. “Perubahan Konsep Perkotaan di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Analisis Urbanisasi,” (http://pustaka.unpad.ac.id/ w p-content/uploads/2009/03/perubahan_konsep_perkotaan_di_indonesia. pdf, diakses 6 Mei 2011).

Silas, Johan. “Indonesia 1997-1999, Post Crisis and the Need for Intervention.” Urban Poor Asia, Asian Coalition for Housing Rights, 2001. (http://www. achs.net/sup_indon.htm, diakses 2 Mei 2002).

Page 39: Buku Lintas Tim 2

39

Asep Ahmad Saefuloh

Team for Overseas Scientific Surveys (TOSS). “The Migrant in Jakarta.” Sociological Study in Southest Asia, International Joint. (http://www. annaiwate-u.ac.jp/~betsurt/articlemigrant.htm, diakses 6 Mei 2002).

Wicaksono, Sarosa. “Chapter 7: Indonesia,” Urbanization and Sustainability in Asia, pp.155-186 (www.adb.org/Documents/Books/Urbanization.../ chapter 07.pdf, diakses 15 Mei 2011).

Internet Karya non-Individual

“Melayu Betawi,” (http://www.kapasitor.net/community/post/639, diakses 29 Mei 2011).

“Menjadi Asing di Rumah Sendiri,” (http://www.facebook.com/topic.php?uid=1070 23765987154&topic=3, diakses 29 Mei 2011).

“Mewujudkan Greater Jakarta,” 9 Maret 2011 (http://www.suarapembaruan.com/ tajukrencana/mewujudkan-greater-jakarta/4364, diakses 29 Mei 2011).

“Pemprov DKI Anggarkan Rp900 Juta Operasi Yustisi,” 7 Oktober 2008 (http:// www.antaranews.com/view/?i=1223323464&c=NAS&s=, diakses 29 Mei 2011).

Page 40: Buku Lintas Tim 2
Page 41: Buku Lintas Tim 2

BAGIAN II

NIlAI KerJA dAN PeNINGKATAN KuAlITAs TeNAGA KerJA WANITA PeKerJA rumAh TANGGA

Dinar Wahyuni1

1 Penulis adalah peneliti xxxxxxxxxx……………………??????????????

Page 42: Buku Lintas Tim 2
Page 43: Buku Lintas Tim 2

43

BAB IPeNdAhuluAN

latar BelakangA.

Bekerja merupakan hak asasi setiap orang. Fungsi pekerjaan adalah pertama, meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, baik untuk dirinya sendiri dan keluarganya dan kedua, fungsi status. Seseorang yang memiliki pekerjaan yang layak mempunyai status sosial lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak memiliki pekerjaan.2 Dari bekerja, individu akan memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk bertahan hidup, baik secara ekonomi maupun sosial dan memperoleh status sosial dalam masyarakat. Begitu pentingnya arti bekerja, Universal Declaration of Human Rights 1948 article 23 (1) menyatakan “everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment. Dari pernyataan tersebut tampak bahwa setipa orang berhak atas pekerjaan yang layak bagi diri dan keluarganya. Bekerja merupakan hak asasi setiap orang. Dan jaminan atas pekerjaan yang layak diberikan oleh negara.

Dalam tataran internasional, isu pekerjaan sebagai hak asasi juga berkumandang dalam International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights. Konvenan ini mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial dan budaya termasuk hak atas pekerjaan dalam pasal 6. Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi konvenan tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights. UUD 1945 sebenarnya telah mengatur pasal mengenai hak atas pekerjaan bagi setiap warga dimana negara berkewajiban menjamin pekerjaan bagi setiap warga negara. Pasal 27 ayat (2) menyatakan dengan tegas bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti negara wajib menjamin setiap

2 Ujianto Singgih Prayitno, 2009, Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial : Pemenuhan Hak Dasar Manusia Dalam Didiet Widiowati (Ed.), Tantangan Pembangunan Sosial Di Indonesia, Jakarta : Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, h.16.

Page 44: Buku Lintas Tim 2

44

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

warga negara untuk mendapat pekerjaan yang layak tanpa kecuali. Namun kenyataannya, negara belum mampu menjamin pekerjaan bagi setiap warganya. Lapangan pekerjaan masih terbatas sedangkan angkatan kerja terus meningkat dan hal ini merupakan masalah utama dalam pembangunan di Indonesia. Akibatnya, kelompok dengan pendidikan terbatas termarginalkan dan bekerja di luar negeri merupakan pilihan untuk tetap dapat bertahan hidup secara ekonomi. Pemerintah kemudian melegalkan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sejak tahun 1980-an dengan mengeluarkan berbagai kebijakan.

Indonesia merupakan salah satu negara pengirim tenaga kerja terbesar. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sampai Februari 2010 total tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri mencapai 2.670.536 orang. Malaysia masih menjadi tujuan utama TKI dengan jumlah 1,2 juta orang disusul Arab Saudi 927.500 orang. Sementara di Taiwan, TKI mencapai 130.000 orang, Hongkong 120.000 orang, Singapura berjumlah 80.150 orang, Brunei Darussalam 40.450 orang, Bahrain sebanyak 6.500 orang, Kuwait 61.000 orang, UEA 51.350 orang dan Qatar 24.586 orang.3

Migrasi tenaga kerja ke luar negeri cenderung meningkat setiap tahunnya. Trend yang terjadi saat ini adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) lebih didominasi perempuan dan pekerjaan yang ditekuni sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Menurut Dewi Novirianti, peneliti Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia yang disampaikan dalam acara diskusi publik “akses terhadap keadilan di Indonesia” di Jakarta, kaum perempuan masih mendominasi TKI yang bekerja di luar negeri dengan presantase TKI perempuan atau biasa disebut tenaga kerja wanita (TKW) sekitar 78% dan 76% di antaranya bekerja di sektor rumah tangga.4 Kecenderungan peningkatan jumlah TKW akan terus berlanjut sejalan dengan globalisasi kerja dan terbatasnya peluang kerja di dalam negeri. Selain membuka peluang baru, terbukanya kesempatan kerja bagi wanita di luar negeri membuka resiko tertentu bagi perempuan.

Penelitian Roxanne dan Jane menyatakan bahwa menjadi TKW dapat menjadi cara yang jitu bagi perempuan miskin di pedesaan untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan pendapatan, meskipun resiko diskriminasi, kekerasan, eksploitasi dan masalah perbedaan budaya di tempat kerja harus

3 Ade Irawan, BPS: Jumlah TKI Arab Saudi Capai 1,5 Juta Orang, http://finance.detik.com/read/2011/06/28/ 195709/1670973/4/bps-jumlah-tki-arab-saudi-capai-15-juta-orang, diakses 4 November 2011.

4 TKI Masih Didominasi Kaum Perempuan, http://kampungtki.com/baca/27581,diakses 4 November 2011.

Page 45: Buku Lintas Tim 2

45

Dinar Wahyuni

mereka terima.5 Terlepas dari resiko menjadi TKW, tidak sedikit TKW yang berhasil membawa uang kembali ke kampung halamannya dan merupakan suatu keberhasilan bagi mereka jika mampu berangkat menjadi TKI. Dengan demikian, faktor ekonomi menjadi alasan utama perempuan bermigrasi ke luar negeri.

Fenomena migrasi ke luar negeri sebenarnya bukan hal baru. Sejak jaman penjajahan Belanda, kebijakan pemerintah Kolonial Belanda menempatkan warga negara Indonesia ke Suriname dan Kaledonia Baru untuk menjadi kuli kontrak. Dalam perkembangannya, lonjakan harga minyak dunia menyebabkan lahirnya masyarakat kelas menengah di Saudi Arabia, dampaknya muncul kebutuhan akan PRT yang menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kelas tersebut.6 Memasuki tahun 1990-an terjadi peningkatan arus migrasi ke luar negeri. Peningkatan drastis jumlah TKI kel luar negeri terjadi tahun 1997 bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dunia. TKI berasal dari kantong-kantong TKI seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar dari TKI adalah perempuan yang tidak memiliki keahlian khusus dengan tingkat pendidikan rendah. Bagi sebagian perempuan khususnya di pedesaan, menjadi TKW PRT lebih menjanjikan upah yang tinggi dibandingkan bekerja di kota-kota besar di Indonesia. Mereka kurang menyadari resiko yang akan dialami TKW di luar negeri.

Perempuan lebih rentan kekerasan, karena di banyak negara perempuan masih dianggap sebagai kelompok kelas dua yang harus tunduk dan patuh terhadap kelompok kelas satu, yakni laki-laki. Bahkan di tingkat peraturan pun diskriminatif gender, seperti visa akan diperoleh setelah calon TKW menjalani serangkaian tes. Keadaan ini menyulitkan TKW mengingat pendidikan mereka yang umumnya rendah. Di samping itu akan berdampak pada akses TKW ke informasi tentang keuntungan dan kerugian bermigrasi, persyaratan dan kondisi kerja, prosedur dan klaim-klaim hukum. 7

Pekerjaan PRT sering dikategorikan sebagai sektor informal dan berada di ruang privat sehingga seringkali tidak ternaungi oleh hukum tenaga kerja di negara penempatannya. Di Singapura, Malaysia bahkan Amerika Serikat,

5 Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TKI : Strategi Pemberdayaan Buruh Migran, Jakarta : RMBOOKS, h. 34.

6 Naovalitha, Tita, 2007, Kompleksitas Mekanisme Penempatan BMP Ke Luar Negeri : Beberapa Permasalahan dan Alternatif Solusinya, Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan World Bank.

7 Martin Sirait, George dkk, 2006, Hak Asasi Manusia Bagi Semua : Peran Institusional Nasional Hak Asasi Manusia Dalam Melindungi Hak Asasi Buruh Migran Tidak Berdokumen dan Buruh Migran Perempuan, Jakarta : Komnas Perempuan, h. 38.

Page 46: Buku Lintas Tim 2

46

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

Undang-Undang Setempat tidak memasukkan PRT dalam wilayah hukumnya, akibatnya terjadi pembiaran terhadap kondisi eksploitatif. 8

PRT tidak jauh dari persoalan kekerasan, subordinasi dan diskriminasi. Pekerjaan PRT lebih rentan terhadap kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual karena didominasi oleh perempuan dengan pendidikan rendah, pengetahuan dan ketrampilan yang kurang sehingga mereka tidak tahu cara membela diri. BNP2TKI mencatat sepanjang tahun 2010, 5.495 TKW PRT menjadi korban kekerasan. Dari jumlah tersebut, 1.097 orang mengalami penganiayaan, 3.500 sakit akibat kondisi kerja tak layak dan 898 mengalami kekerasan seksual dan tidak digaji.9 Kasus terbaru menimpa TKW asal Bekasi, Ruyati. Ruyati sudah bekerja selama 10 tahun sebagai PRT di Arab Saudi harus menerima hukuman pancung karena tuduhan membunuh ibu majikannya. Sepanjang tahun 2009-2011 terdapat tiga TKW yang telah dieksekusi mati. Sebelumnya kasus Darsem dan Sumiyati juga menjadi perbincangan berbagai media. Darsem harus membayar denda sebesar 4,7 milyar agar lolos dari hukuman pancung sedangkan Sumiyati mengalami kekerasan fisik dari majikannya.

PermasalahanB.

Kasus-kasus yang dialami TKW PRT merupakan cerminan masih lemahnya perlindungan negara terhadap warga negaranya. Ironis memang mengingat remitansi yang disumbangkan TKW setiap tahunnya ke devisa negara. Bank Indonesia mencatat remitansi TKI dari luar negeri mencapai US$ 73 milyar. Untuk tahun 2011, pengiriman uang dari TKI selama kuartal pertama mencapai US$ 1,6 milyar. Sehingga rata-rata TKI mengirimkan uang US$ 500 milyar per bulan ke Indonesia.10 Di satu sisi TKW membantu perekonomian melalui remintansi yang masuk ke devisa negara, di sisi lain resiko yang harus ditanggung TKW kadang tidak sebanding dengan sebutannya sebagai pahlawan devisa.

Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan PRT akan berpengaruh pada cara mereka membela diri. Selama ini negara tujuan penempatan memandang rendah TKW PRT sehingga muncul stereotipe negatif terhadap TKW. Hal ini berhubungan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki. Rendahnya pendidikan TKW berpengaruh pada rendahnya kualitas TKW

8 Ibid, h. 41.

9 Sepanjang 2010, Tercatat 5.495 TKI Korban Kekerasan, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/3483-sepanjang-2010-tercatat-5495-tki-korban-kekerasan.html, diakses 4 November 2011.

10 Muhammad Iqbal, Menimbang Moratorium TKI PRT Ke Arab Saudi, http://hukum.kompasiana.com/ 2011/06/25/menimbang-moratorium-tki-prt-ke-arab-saudi/, diakses 4 November 2011.

Page 47: Buku Lintas Tim 2

47

Dinar Wahyuni

PRT dan berkolerasi dengan rendahnya kesadaran mereka tentang hak-haknya. Tinggi rendahnya kualitas TKW PRT ditentukan pendidikan, dalam hal ini pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Berdasarkan uraian tersebut, terdapat permasalahan yang perlu dikaji lebih lanjut agar diperoleh solusi terbaik. Terlebih lagi semakin meningkatnya jumlah TKW PRT, dimana TKW lebih rentan terhadap kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi, tentu harus ada upaya untuk mencegah kasus-kasus tersebut tidak terulang lagi. Selanjutnya dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis, yaitu :

Bagaimana nilai kerja PRT dan pengaruhnya terhadap stereotipe TKW 1. PRT?Bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas TKW PRT?2.

Page 48: Buku Lintas Tim 2
Page 49: Buku Lintas Tim 2

49

BAB IIKerANGKA PemIKIrAN

Konsep TKW PrT A.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (2), istilah tenaga kerja didefinisikan setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/ jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Lebih lanjut pasal 3 menyebutkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan bentuk lain.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 pasal 1 ayat (1), pengertian TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Dari pengertian tersebut, TKI mencakup pekerja laki-laki dan perempuan. TKI perempuan selanjutnya disebut dengan istilah TKW.

Dalam Raperda Kota Yogyakarta tentang Perlindungan PRT dan Raperda Pemprov DKI Jakarta tentang Libur Mingguan bagi PRT, PRT merupakan orang yang tidak termasuk anggota keluarga yang bekerja pada seseorang atau beberapa orang dalam rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dengan memperoleh upah.11 Dengan dalam pengertian PRT terkandung empat elemen, yaitu : pertama, orang yang bekerja, dalam hal ini PRT; kedua, orang yang mempekerjakan PRT, yang kemudian disebut majikan; ketiga melakukan pekerjaan kerumahtanggan; dan keempat, memperoleh upah.

Istilah “pekerja” dari PRT merupakan sebuah wacana baru yang dikembangkan LSM dan ILO untuk mengganti kata ‘pembantu”. Dengan perubahan ini diharapkan pekerjaan domestik diakui sebagai sebuah pekerjaan yang bersifat formal dan dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan.

11 Pekerja Rumah Tangga, http://jurnalperempuan.com/2011/05/pekerja-rumah-tangga-domestic-workers/, diakses 5 November 2011.

Page 50: Buku Lintas Tim 2

50

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

Dari pengertian TKW dan PRT, dapat disimpulkan bahwa TKW PRT merupakan TKI perempuan yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu, melakukan pekerjaan kerumahtanggan dan memperoleh upah. Secara umum terdapat tiga kelompok besar mobilitas TKW ke luar negeri, yaitu TKW pemburu ringgit, TKW pemburu real dan TKW pemburu dollar.12

Keinginan perempuan bekerja ke luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor. Stalker menjelaskan motivasi perempuan melakukan migrasi ke luar negeri menggunakan perspektif individual dan struktural. Persepktif individual memandang migrasi sebagai keputusan rasional, karena setiap individu mempunyai berbagai macam pengetahuan dan pilihan dalam mencapai dan memperbaiki kesejahteraan. Dalam hal individu berusaha mendapatkan kombinasi dengan mempertimbangkan upah dan jaminan pekerjaan. Sedangkan teori struktural memandang migrasi sebagai keputusan yang berkaitan dengan adanya tekanan kondisi eksternal yang dihadapi migran. Tekanan keterbatasan peluang kerja dengan upah sesuai dengan kebutuhan hidup dan kebutuhan ekonomi keluarga yang mendorong perempuan kemudian memutuskan bekerja ke luar negeri.13

Trend perempuan bermigrasi ke luar negeri berkaitan dengan rendahnya income di daerah asal, sementara beban keluarga semakin tinggi. Terbukanya kesempatan kerja yang luas di luar negeri akan dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang besar. Dengan persyaratan yang lebih mudah dan tidak membutuhkan keahlian khusus mendorong perempuan tampil kembali dalam kegiatan ekonomi. Ada kecenderungan pekerja perempuan hanya beralih dari pekerjaan domestik dalam rumah tangga tanpa upah ke pekerjaan domestik luar rumah dengan mendapat upah.14 Hal itu disebabkan karakteristik TKW asal Indonesia sebagian besar memiliki pendidikan yang relatif rendah.

12 Abdullah, Irwan, 2003, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 191.

13 Nasution, Arif. 1999, Globalisasi dan Migrasi antar Negara, Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI, h. 43.

14 Ibid, h. 108.

Page 51: Buku Lintas Tim 2

51

Dinar Wahyuni

Nilai Kerja PrTB.

Selama ini, pekerjaan PRT dianggap sebagai pekerjaan domestik yang tidak memerlukan keahlian dan ketrampilan khusus sehingga seringkali muncul stereotipe yang mengakibatkan PRT mengalami inferioritas. Dalam masyarakat, pembagian kerja seksual dibedakan menjadi dua, yaitu : 15

Teori 1. nature menyatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat. Sifat psikologis yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh faktor biologis. Perempuan lebih lemah daripada laki-laki karena fungsi reproduksi yang dimiliki. Akibatnya perempuan hanya layak bekerja di sektor domestik atau rumah tangga, sementara laki-laki di ruang publik.Teori 2. nurture menyatakan bahwa faktor sosiokultural membentuk paradigma masyarakat dalam melihat perbedaan status perempuan dan laki-laki dalam pembagian kerja. Perbedaan itu yang membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Dari sinilah kemudian muncul stereotipe bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan sehingga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bekerja di ruang publik.

Dalam masyarakat patriarki, perempuan ditempatkan sebagai makhluk domestik (pekerja rumah tangga) sejak masa kanak-kanak hingga dewasa (peran sebagai istri/ibu rumah tangga), sebaliknya laki-laki lebih diposisikan berperan di dunia publik.16

Pekerjaan domestik cenderung diidentifikasikan sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian khusus dan perempuan dianggap lebih pantas bekerja di ruang domestik. Pekerjaan itu mencakup pekerjaan yang dilakukan di dalam rumah tangga seperti memasak, mencuci, menjaga kebersihan rumah tangga sampai mengurus anak, tetapi ada juga pekerjaan domestik yang memerlukan keahlian khusus seperti perawat lansia, babysitter dan sopir. Karena tidak memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi secara signifikan maka pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bernilai dan tidak produktif.

15 Budiman, Arief, 1985, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita Dalam Masyarakat, Jakarta : Gramedia, h. 4.

16 Ibid.

Page 52: Buku Lintas Tim 2

52

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

stereotypeC. TKW PrT

Rex Verona menyebut kondisi kerja TKW sebagai perilous, yakni powerless (politically and socially), excluded (discriminated against), risky/vulnerable situations, insecure future (especially upon return), large numbers, obligations (debts, dependent), unprotected (legal protections, rights, social security), social and family problems/family breakdown, image in society.17 Pandangan ini muncul dari kenyataan bahwa mayoritas TKW bekerja di sektor informal sebagai PRT. Pekerjaan yang dianggap rendah dan rentan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran oleh majikan. Stereotipe yang melekat pada TKW PRT seringkali berpengaruh pada perlakuan yang mereka terima.

Banyak stereotipe yang menggambarkan TKW PRT asal Indonesia rendah, mudah diakali, “gampangan”, bodoh, terbelakang, dan sebagainya. Di tempat tertentu TKW mendapat cap sebagai wanita murahan, pelacur, pemalas, menggunakan magic dan guna-guna. Bahkan ada penelitian yang menunjukkan terjadinya penghinaan TKW yang didasarkan pada negara, gender, kelas sosial kewarganegaraan dan etnicity yang dilakukan majikan. 18

Di negara Arab Saudi, PRT diperlakukan seperti budak. Karena majikan merasa sudah membeli sehingga PRT harus mau melakukan pekerjaan apa saja yang diinginkan majikan. Seringkali TKW harus melakukan pekerjaan yang tidak ada dalam perjanjian kerja. Jam kerja yang panjang melebihi perjanjian kerja juga sering dialami TKW PRT. Tidak jarang ada majikan tidak memberikan kesempatan pada TKW untuk melakukan ibadah karena dianggap akan mengurangi jam kerja mereka. Ada juga majikan yang melarang TKW keluar rumah, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi TKW. Akibatnya mereka tidak bisa bersosialisasi dengan teman sesama TKW. Waktunya habis untuk mengerjakan pekerjaan di dalam rumah majikan. Hal ini yang sering menghambat akses informasi ke TKW. Di kawasan Timur Tengah seperti Taiwan juga berkembang stereotipe terhadap TKW Indonesia. Orang Taiwan mempersepsikan TKW asal Indonesia setia dan pekerja keras tetapi bodoh.19 TKW cocok dalam pekerjaan yang sederhana, tidak memerlukan pengetahuan yang tinggi dan dilakukan berulang-ulang, seperti mencuci, memasak, merawat anak, membersihkan rumah atau dengan kata lain menjadi PRT. Berbeda lagi

17 Verona Rex, 1998, “Situation of Asian Migrant Workers,” dalam Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TKI : Strategi Pemberdayaan Buruh Migran, Jakarta : RMBOOKS, h. 96.

18 Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TK: Strategi Pemberdayaan Buruh Migran, Jakarta: RMBOOKS, h. 99.

19 Ibid.

Page 53: Buku Lintas Tim 2

53

Dinar Wahyuni

dengan stereotipe di Malaysia. Orang Malaysia memandang bangsa kita sebagai kelas pembantu sehingga PRT kita lebih dikenal dengan sebutan “indon”.

Munculnya stereotype negatif pada TKW PRT tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Rendahnya pendidikan akan mempengaruhi kualitas dari TKW tersebut. Lebih lanjut kualitas TKW berkorelasi dengan pemahaman mereka terhadap hak-haknya sehingga ketika ditimpa suatu masalah hukum, mereka lebih banyak berdiam diri bahkan ada TKW yang kemudian bunuh diri karena tidak tahan dengan perlakukan majikan. Selama ini TKW PRT kita sangat rentan dengan kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi di tempat kerja, seperti upah rendah dan tidak dibayar, jam kerja yang panjang, penganiayaan, dan kerja ganda.

Stereotype terhadap TKW PRT akan mempengaruhi posisi tawarnya. Di beberapa negara, TKW kita memiliki posisi tawar yang lemah karena karakter mereka yang sebagian besar berpendidikan rendah, kurang pengalaman, ketrampilan serta minimnya informasi yang didapat. Posisi tawar TKW semakin rendah ketika mereka tidak memiliki dokumen resmi, terutama saat mereka mendapat masalah berkaitan dengan hukum. Namun di luar stereotipe yang disandang TKW PRT, tidak menyurutkan niat calon perempuan khususnya di pedesaan untuk bermigrasi ke luar negeri. Terbukti saat ini terjadi perubahan trend dimana perempuan lebih mendominasi migrasi ke luar negeri.

Page 54: Buku Lintas Tim 2
Page 55: Buku Lintas Tim 2

55

BAB IIIuPAyA PeNINGKATAN KuAlITAs TKW PrT

Pendidikan dan Pelatihan Kerja A.

Pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu jalur pendidikan yang berbentuk non formal seperti tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat (3). Sedangkan pendidikan dan pelatihan calon TKI menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.23/MEN/IX/2009 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja Bagi Calon TKI Di Luar Negeri pasal 1 adalah proses pelatihan kerja untuk memberi, memperoleh, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian tertantu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.

Setiap calon TKW yang akan dikirim ke luar negeri harus mendapat pendidikan dan pelatihan kerja terlebih dulu. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri pasal 42, pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI dimaksudkan untuk :

Membekali, meingkatkan dan mengambangkan kompetensi kerja calon 1. TKI;Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat 2. istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja di luar negeri;Membekali kemampuan komunikasi dalam bahasa negara tujuan;3. Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon 4. TKI/TKI.

Pendidikan dan pelatihan kerja mencakup penguasaan bahasa, sikap dan perilaku, ketrampilan dan hal-hal lain terkait dengan pekerjaan TKW di negara penempatan. Pendidikan dan pelatihan kerja akan bermanfaat ketika mereka tertimpa kasus hukum, karena yang selama ini terjadi, kurangnya

Page 56: Buku Lintas Tim 2

56

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

pengetahuan TKW tentang hak dan kewajibannya menyebabkan mereka tidak tahu cara membela diri. Dengan adanya pendidikan dan pelatihan kerja akan meningkatkan kualitas TKW khususnya PRT sehingga kasus-kasus yang sering menimpa dapat diminimalkan.

Setiap calon TKW berhak untuk mendapatkan dan meningkatkan kompetensi kerja tersebut melalui pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Kompetensi kerja merupakan kunci dalam meningkatkan daya saing. Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah, swasta, perusahaan maupun lembaga pelatihan kerja milik PPTKIS yang memiliki ijin atau terdaftar dan terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja.

Materi dalam pendidikan dan pelatihan kerja meliputi pembinaan mental kerohanian, pembinaan fisik, disiplin dan kepribadian, sosial budaya, adat istiadat dan kondisi negara tujuan, peraturan perundangan di negera tujuan, tata cara pemberangkatan dan kepulangan, informasi yang berkaitan dengan perwakilan RI, kelengkapan dokumen TKW, isi perjanjian kerja dan hak kewajiban TKW.20 Selain itu calon TKI juga harus mendapatkan jaminan perlindungan hak keselamatan dan kesejahteraan selama bekerja di luar negeri. Dengan demikian, penyelenggaraan penempatan TKI ke luar negeri harus sesuai dengan arah pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2000, dimana pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk :

Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimum.1. Menciptakan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja 2. yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional.Memberikan perlindungan bagi tenaga kerja dalam mewujudkan 3. kesejahteraannya.Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.4.

Dalam pendidikan dan pelatihan kerja, materi pelajaran telah ditentukan secara garis besar oleh Kemenakertrans. Untuk bidang PRT, standar kualifikasi ketrampilan (SKK) digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan kurikulum materi pelatihan kerja untuk penempatan dalam maupun luar negeri. Dalam

20 Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 104/A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Pasal 49.

Page 57: Buku Lintas Tim 2

57

Dinar Wahyuni

SKK, calon TKW harus memiliki dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan kerja sebagai berikut :21

Tabel 1. sKK PrT

No. Indeks Pengetahuan dan Ketrampilan yang Dipersyaratkan

1. 2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.

Pembersihan ruangan dan perlengkapanPenataan perlengkapan ruanganPenggunaan peralatan dapur, makan dan minumPerawatan peralatan dapur, makan dan minumPenyiapan bahan makananPengolahan masakan keluargaPenghidangan makanan dan minumanPencucian pakaian dan lena rumah tanggaPenyeterikaan pakaian dan lena rumah tanggaPerawatan pakaianPengasuhan bayiPerawatan bayiPengasuhan anak pra sekolahPerawatan anak usia pra sekolahPenggunaan teleponBahasa asing sesuai negara penempatanBudaya negara penempatanPengetahuan hak dan kewajiban TKW

sumber: diolah dari Dinas Kependudukan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karanganyar.

Materi yang diutamakan dalam pendidikan dan pelatihan kerja calon TKW adalah penguasaan bahasa asing, karena bahasa merupakan kunci utama TKW dalam melakukan komunikasi dengan majikan. Banyak kasus yang terjadi karena kurangnya penguasaan TKW terhadap bahasa majikan. Selain itu, pengetahuan akan hak dan kewajiban calon TKW/TKW juga penting diberikan saat pendidikan dan pelatihan kerja sehingga calon TKW/TKW mengetahui hak dan kewajibannya.

Selama ini pelatihan kerja calon TKW pra penempatan dilaksanakan 200 jam. Dan hasilnya calon TKW kurang menguasai materi yang diberikan sehingga kualitas TKW masih kurang memadai. Karena itu waktu pendidikan dan pelatihan kerja harus disesuaikan dengan kebutuhan agar calon TKW benar-benar menguasai seluruh materi dan dapat diterapkan ketika berada di negara penempatan.

Paradigma baru peningkatan kualitas TKW bertumpu pada tiga pilar, yakni standar kompetensi kerja, pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi

21 Dermatoto, Argyo dan Atik Catur Budiati, 2007, Kajian Mengenai Pembekalan TKW yang akan Dikirim Ke Luar Negeri dalam rangka Penyusunan Kebijakan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar, Laporan Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Page 58: Buku Lintas Tim 2

58

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

kompetensi oleh lembaga yang independen.22 Standar kompetensi akan menjadi acuan dalam mengembangkan program pelatihan kerja sehingga disusun sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja. Standar kompetensi kerja dapat menggunakan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), standar internasional maupun standar khusus.

Guna memperbaiki pelatihan berbasis kompetensi, pemerintah membuat sistem pengawasan terpadu yang terbagi dua pihak, yakni pemerintah dan asosiasi BLK luar negeri serta asosiasi BLK luar negeri dengan asosiasi pengguna, PPTKIS (dulu PJTKI). Setelah mengikuti pelatihan berbasis kompetensi, calon TKW mengikuti sertifikasi kompetensi melalui uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi profesi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

revitalisasi Balai latihan Kerja (BlK)B.

Berdasarkan data Kemenakertrans 2011, jumlah BLK yang sedang beroperasi ada 237 BLK milik Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota terdiri 195 BLK industri, 18 Balai Latihan Ketransmigrasian dan 24 Balai Pengembangan Balai Pengembangan Produktivitas. Sedangkan Kemenakertrans mengelola 18 BLK yang terdiri dari 11 BLK Industri, 6 Balai Latihan Ketransmigrasian dan 1 Balai Pengembangan Balai Pengembangan Produktivitas. Sementara 58 BLK sedang dibangun dan belum beroperasi.23

Peran BLK dalam meningkatkan kualitas TKW sangat besar, karena itu BLK harus menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi, tempat uji kompetensi dan ISO serta menjadi balai layanan umum. Namun dalam pelaksanaannya, banyak BLK yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, baik dari segi kondisi bangunan, kelengkapan peralatan, serta jumlah dan kualitas instruktur. Karena itu perlu dilakukan revitalisasi BLK agar mampu meningkatkan kompetensi TKW. Ada tiga komponen dalam revitalisasi BLK, yaitu peningkatan profesionalisme tenaga pengajar dan jumlah instruktur pelatihan, peningkatan dan perbaikan peralatan pelatihan, serta perbaikan sarana dan prasarana pelatihan.24 Tenaga pelatihan berperan penting karena mempengaruhi penguasaan calon TKW terhadap materi yang diberikan. Karena itu kualitas tenaga pelatihan dan instruktur harus benar-benar

22 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Nasional bagian penjelasan.

23 Lima Komponen Utama Revitalisasi Balai Latihan Kerja, http://economy.okezone.com/read/2011/03/ 24/320/438299/320/5-komponen-utama-revitalisasi-balai-latihan-kerja, diakses 6 November 2011.

24 Ibid.

Page 59: Buku Lintas Tim 2

59

Dinar Wahyuni

berkualitas dan profesional. Sasaran revitalisasi BLK dilakukan dengan cara peningkatan kualitas program pelatihan berbasis kompetensi dan peningkatan kualitas manajemen BLK.25 Guna mendukung program revitalisasi BLK, Kemenakertrans mengalokasikan dana sebesar Rp 10 triliun. Dana tersebut dipergunakan untuk memperbaiki fasilitas pelatihan, sarana prasarana serta penataan kurikulum dan sumberdaya manusia tenaga instruktur.

Selain direvitalisasi, BLK juga perlu dilakukan reposisi, dengan cara pemetaan dan pembangunan BLK sesuai kebutuhan. BLK Unit Pelaksana Tingkat Pusat mempersiapkan kebutuhan tenaga kerja di dalam negeri dan luar negeri sedangkan BLK Unit Pelaksana Tingkat Daerah mempersiapkan tenaga kerja bagi perusahaan swasta di daerah. Melalui reposisi, BLK harus menjadi lembaga pelatihan internasional yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar, khususnya luar negeri.26

Program Kredit usaha rakyat (Kur) C.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas TKW, dilaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja yang memadai. Untuk keperluan itu, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Seringkali biaya menjadi hambatan bagi TKW untuk berangkat ke luar negeri. Karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan program KUR. Program KUR bertujuan membantu TKW dalam pembiayaan proses penempatan kerja di luar negeri terutama pendidikan dan pelatihan, memastikan TKW mendapatkan kontrak kerja yang jelas, mendorong TKW untuk bekerja produktif dan mematuhi ikatan kontrak kerja dengan transparansi pembayaran gaji melalui jasa perbankan.27 Anggaran program KUR berasal dari APBN yang secara kumulatif mulai 2010-2014 sebesar Rp 10 triliun.

Adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan dana KUR tersebut adalah sebagai berikut :28

Berusia sekurang-kurangnya 18 tahun, dibuktikan dengan KTP atau akte 1. kelahiran/surat kenal lahir dari instansi berwenang.Surat ijin suami/istri/orang tua/wali untuk bekerja di luar negeri.2. Surat hasil 3. medical check-up yang menyatakan fit untuk bekerja dari rumah sakit/medical centre yang ditunjuk pemerintah.

25 Ibid.

26 Fungsi BLK, http://debuh.com/berita-berita-terbaru/fungsi-blk/55132/, diakses 6 November 2011.

27 TKI Dapat Kucuran Bantuan Kredit, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/ketenagakerjaan/227-tki-dapat-kucuran-bantuan-kredit, diakses 5 November 2011.

28 Ibid.

Page 60: Buku Lintas Tim 2

60

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus SLTP atau sederajat, dengan 4. bukti melampirkan salinan ijazah pendidikan terakhir.Memiliki perjanjian penempatan dengan PPTKIS.5. Memiliki perjanjian kerja dengan pengguna bagi TKI yang ditempatkan 6. oelh PPTKIS, pemerintah dan TKI yang bekerja secara perseorangan.

Penyaluran KUR dilakukan oleh TKW dibantu PPTKIS dengan mengajukan aplikasi KUR kepada bank atau lembaga keuangan yang bekerjasama dengan bank. Jangka waktu KUR maksimal sesuai dengan kontrak kerja dan tidak melebihi 3 tahun. Tetapi TKI dapat mengajukan KUR untuk penempatan kedua dan seterusnya selama masih bankable. Besarnya plafon kredit sampai Rp 20 juta dengan bunga 22% per tahun, sedangkan plafon di atas 20 juta mendapat bunga maksimal setara 14% per tahun.29

Program KUR harus dilaksanakan secara optimal guna peningkatan kualitas kerja TKW di luar negeri. Kendala-kendala yang sering ditemui di lapangan harus segera dicari solusinya. Selama ini bank kesulitan mengumpulkan angsuran yang ditagihkan kepada TKW di luar negeri. Karena itu, perlu diadakan kerja sama dengan perbankan di negara-negara penempatan TKW dan saat ini sedang diupayakan oleh pemerintah. Kemudian penyaluran KUR sekarang boleh dilakukan oleh lembaga keuangan dengan bekerjasama dengan bank. Selain itu, mekanisme angsuran pinjaman bisa dibayarkan pihak kelaurga TKW di daerah asal.

29 Ibid.

Page 61: Buku Lintas Tim 2

61

BAB IVKesImPulAN

Pekerjaan PRT dianggap sebagai pekerjaan domestik yang tidak memerlukan keahlian dan ketrampilan khusus dan pantas dilakukan perempuan. Karena tidak memberikan kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi secara signifikan maka pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bernilai dan tidak produktif. Nilai kerja PRT yang masih dipandang rendah, menyebabkan muncul stereotipe negatif terhadap PRT. TKW PRT asal Indonesia digambarkan rendah, mudah diakali, “gampangan”, bodoh, pemalas, menggunakan magic dan guna-guna. Karena stereotipe yang disandang, TKW PRT kita seringkali diperlakukan seperti budak.

Munculnya stereotipe negatif pada TKW PRT tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Rendahnya pendidikan akan mempengaruhi kualitas dari TKW tersebut. Dampak selanjutnya adalah posisi tawar TKW PRT menjadi lemah. Posisi tawar TKW semakin rendah ketika mereka tidak memiliki dokumen resmi, terutama saat mereka mendapat masalah berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas TWK PRT.

Paradigma baru peningkatan kualitas TKW bertumpu pada tiga pilar, yakni standar kompetensi kerja, pelatihan berbasis kompetensi dan sertifikasi kompetensi oleh lembaga independen, yang diwujudkan melalui pendidikan dan pelatihan kerja. Untuk bidang PRT, telah ditetapkan SKK sesuai kebutuhan di negara penempatan.

Peran BLK dalam meningkatkan kualitas TKW sangat besar, karena itu BLK harus menjadi lembaga pelatihan berbasis kompetensi, tempat uji kompetensi dan ISO serta menjadi balai layanan umum. Salah satunya melalui revitalisasi BLK yang mencakup peningkatan profesionalisme tenaga pengajar dan jumlah instruktur pelatihan, peningkatan dan perbaikan peralatan pelatihan, serta perbaikan sarana dan prasarana pelatihan. Selain direvitalisasi, BLK juga perlu

Page 62: Buku Lintas Tim 2

62

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

dilakukan reposisi, dengan cara pemetaan dan pembangunan BLK sesuai kebutuhan.

Program KUR yang diluncurkan sejak 2010 harus dilaksanakan secara optimal guna peningkatan kualitas kerja TKW di luar negeri. TKW dapat memanfaatkan KUR guna pembiayaan proses penempatan TKW ke luar negeri, terutama pendidikan dan pelatihan kerja. Kendala-kendala yang sering ditemui di lapangan harus segera dicari solusinya.

Keberhasilan upaya peningkatan kualitas TKW PRT memerlukan komitmen dan kerja keras dari berbagai pihak yang terkait, tidak terkecuali DPR. DPR dapat terus memaksimalkan fungsinya dalam mendukung upaya peningkatan kualitas TKW PRT. Dalam fungsi pengawasan, dilakukan monitoring secara berkala terhadap kebijakan-kebijakan peningkatan kualitas TKW PRT. Dengan demikian akan dihasilkan TKW yang mampu bersaing di pasar kerja luar negeri.

Page 63: Buku Lintas Tim 2

63

dAFTAr PusTAKA

Buku

Abdullah, Irwan, 2003, Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiman, Arief, 1985, Pembagian Kerja Secara Seksual : Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita Dalam Masyarakat, Jakarta : Gramedia.

Dermatoto, Argyo dan Atik Catur Budiati, 2007, Kajian Mengenai Pembekalan TKW yang akan Dikirim Ke Luar Negeri dalam rangka Penyusunan Kebijakan Responsif Gender di Kabupaten Karanganyar, Laporan Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Martin Sirait, George dkk, 2006, Hak Asasi Manusia Bagi Semua : Peran Institusional Nasional Hak Asasi Manusia Dalam Melindungi Hak Asasi Buruh Migran Tidak Berdokumen dan Buruh Migran Perempuan, Jakarta : Komnas Perempuan.

Naovalitha, Tita, 2007, Kompleksitas Mekanisme Penempatan BMP Ke Luar Negeri : Beberapa Permasalahan dan Alternatif Solusinya, Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan World Bank.

Nasution, Arif. 1999, Globalisasi dan Migrasi antar Negara, Bandung: Kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI.

Sudjana, Eggi, 2009, Melepas Ranjau TKI : Strategi Pemberdayaan Buruh Migran, Jakarta: RMBOOKS.

Ujianto Singgih Prayitno, 2009, Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial: Pemenuhan Hak Dasar Manusia Dalam Didiet Widiowati (Ed.), Tantangan Pembangunan Sosial Di Indonesia, Jakarta : Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.

Page 64: Buku Lintas Tim 2

64

Nilai Kerja dan Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Wanita Pekerja Rumah Tangga

Peraturan Perundang-undangan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 104/A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri Pasal 49.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Nasional bagian penjelasan.

Internet

Ade Irawan, BPS: Jumlah TKI Arab Saudi Capai 1,5 Juta Orang, http://finance.detik.com/read/2011/06/28/195709/1670973/4/bps-jumlah-tki-arab saudi-capai-15-juta-orang, diakses 4 November 2011.

Fungsi BLK, http://debuh.com/berita-berita-terbaru/fungsi-blk/55132/, diakses 6 November 2011.

Muhammad Iqbal, Menimbang Moratorium TKI PRT Ke Arab Saudi, http://hukum.kompasiana.com/2011/06/25/menimbang-moratorium-tki-prt-ke-arab-saudi/, diakses 4 November 2011.

Lima Komponen Utama Revitalisasi Balai Latihan Kerja, http://economy.okezone.com/read/2011/03/24/320/438299/320/5-komponen-utama-revitalisasi-balai-latihan-kerja, diakses 6 November 2011.

Pekerja Rumah Tangga, http://jurnalperempuan.com/2011/05/pekerja-rumah-tangga-domestic-workers/, diakses 5 November 2011.

Sepanjang 2010, Tercatat 5.495 TKI Korban Kekerasan, http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/3483-sepanjang-2010-tercatat-5495-tki-korban-kekerasan.html, diakses 4 November 2011.

TKI Dapat Kucuran Bantuan Kredit, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/ ketenagakerjaan/ 227-tki-dapat-kucuran-bantuan-kredit, diakses 5 November 2011.

TKI Masih Didominasi Kaum Perempuan, http://kampungtki.com/baca/27581, diakses 4 November 2011.

Page 65: Buku Lintas Tim 2

BAGIAN III

PEMBATALAN SYARAT PENDIDIKAN MINIMUM BAGI CALON TENAGA KERJA INDONESIA OLEH

MAHKAMAH KONSTITUSI

Luthvi Febryka Nola1

1 Penulis adalah calon peneliti Bidang Hukum pada Pusat Pengkajian, Pelayanan Data, dan Informasi (P3DI)Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail: [email protected].

Page 66: Buku Lintas Tim 2
Page 67: Buku Lintas Tim 2

67

BAB IPeNdAhuluAN

latar BelakangA.

Amandemen ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) yang disyahkan pada tanggal 9 November 2011 telah menghasilkan lembaga baru dalam tata kenegaraan di Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Pembentukan MK bertujuan untuk memperkuat rumusan Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Albert Van Dicey,2 ada 3 unsur utama dari negara hukum yaitu supremasi hukum, persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga negara dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). UUD Negara RI Tahun 1945 sebelum amandemen telah mengandung 3 unsur negara hukum ini, akan tetapi karena tidak adanya pengawasan mengakibatkan banyak produk peraturan perundang-undangan dibawah UUD Tahun 1945 yang bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945. Sehingga akhirnya konsep negara hukum menjadi tidak tercapai karena banyak hak-hak warga negara yang dilanggar.

Belajar dari kondisi ini akhirnya dibentuklah MK yang bertugas mengawasi konstitusi melalui salah satu kewenangannya menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.3 Ketika suatu UU dimintakan pengujian maka MK akan mempertimbangkan faktor pembentukannya, materi dan muatan UU yang dianggap bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.4 Faktor-faktor inilah kemudian yang mendasari keputusan MK untuk membatalkan UU secara keseluruhan atau hanya beberapa bagian dari UU itu saja.

2 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008, hal.15.

3 Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4 Efik yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Bandung: CV Lubuk Agung, 2010, hal.94.

Page 68: Buku Lintas Tim 2

68

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Semenjak dibentuk, MK telah menerima banyak perkara pengujian UU termasuk permohonan pengujian terhadap UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UUTKI). Setidaknya terdapat 2 putusan penting MK berkenaan dengan persyaratan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Putusan pertama tentang pembatalan persyaratan pendidikan minimum, sedangkan putusan kedua penetapan persyaratan usia calon TKI. Putusan kedua bukan pembatalan seperti putusan pertama melainkan penetapan karena dianggap persyaratan usia calon TKI tidak bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.

Putusan MK tentang pembatalan syarat pendidikan calon TKI menarik untuk dicermati karena banyak yang beranggapan bahwa putusan ini tidak berpihak terhadap calon TKI/TKI akan tetapi lebih menguntungkan bagi Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Sebelum dibatalkannya persyaratan minimum pendidikan bagi calon TKI oleh MK, PPTKIS kesulitan untuk memberangkatkan calon TKI yang berpendidikan dibawah SLTP. Namun semenjak tidak adanya pembatasan pendidikan, 50% TKI berpendidikan Sekolah Dasar (SD).5 Bahkan pada tahun 2009, Jumlah TKI yang berpendidikan SD mencapai 70% dari jumlah TKI secara keseluruhan.6 Kelonggaran pengaturan ini didukung oleh kondisi ekonomi Indonesia yang tidak kunjung membaik, kurangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri dan meningkatnya permintaan luar negeri terhadap TKI. Sehingga meningkatkan minat Warga Negara Indonesia (WNI) untuk bekerja di luar negeri.

Orang yang buta huruf pun akhirnya dapat menjadi TKI. Data tahun 2009 yang diberikan oleh Migran Research International menyatakan bahwa 23%-24% buruh migran asal Indonesia yang rata-rata dikirim per bulan ke Malaysia, ternyata buta huruf dan sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).7 Kondisi tidak bisa baca tulis tentu sangat berbahaya bagi diri pribadi mereka karena mereka harus melewati proses yang cukup panjang untuk menjadi seorang TKI belum lagi harus terbang lintas negara dan harus berhadapan dengan majikan serta aturan negara penempatan yang masih asing. Sumiati, TKI yang disiksa majikannya di Arab Saudi pada bulan November 2010,

5 Ita Lismawati F. Malau & Luqman Rimadi, Kemenakertrans Disorot, Ini Kata Muhaimin, http://nasional.vivanews.com/news/read/249494-kemenakertrans-disorot--ini-kata-muhaimin, diakses 12 Oktober 2011.

6 Marumpa, Tidak Ada Alasan Melarang TKI ke Luar Negeri, http://marumpa.wordpress.com/2009/06/ diakses 12 Oktober 2011.

7 24% TKI ke Malaysia Buta Huruf, http://matanews.com/2009/06/22/24-tki-ke-malaysia-buta-huruf/, diakses 12 Oktober 2011.

Page 69: Buku Lintas Tim 2

69

Luthvi Febryka Nola

merupakan salah satu contoh TKI buta huruf yang mengalami penyiksaan.8 Calon TKI/TKI yang bisa baca tulis tetapi belum menamatkan pendidikan SLTP juga rawan terhadap tindak kekerasan. Seperti kasus penyiksaan dan gaji tidak dibayar yang menimpa Tuti, TKI asal Banten yang lulusan SD.9 Sehingga kemungkinan adanya hubungan tingkat pendidikan dengan kemampuan sesorang dalam melindungi diri sangat besar. Kemungkinan ini sepertinya tidak menjadi salah satu pertimbangan bagi MK dalam memutuskan pembatalan persyaratan pendidikan bagi calon TKI.

PermasalahanB.

Fenomena-fenomena yang terjadi pasca putusan MK tentang pembatalan syarat pendidikan minimum bagi calon TKI membuat penulis tertarik untuk memperdalam permasalahan TKI melalui pertanyaan sebagai berikut:

Apakah perlindungan terhadap TKI menjadi salah satu pertimbangan MK 1. dalam membatalkan syarat pendidikan minimum bagi calon TKI?Bagaimanakah pengaruh negatif pembatalan syarat pendidikan minimum 2. oleh MK bagi perlindungan terhadap TKI dewasa ini?

Tujuan dan manfaat PenulisanC.

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa:Pertimbangan MK dalam membatalkan syarat pendidikan minimum bagi 1. calon TKI.Pengaruh negatif pembatalan syarat pendidikan minimum oleh MK bagi 2. perlindungan terhadap TKI.

Penulis berharap mampu memberi masukan dalam rangka revisi UUTKI. Selain itu hasil penulisan ini diharapkan menjadi masukan akademis dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi tambahan terkait masalah TKI.

8 Oryza A. Wirawan, Kadisnakertrans Tantangan Data Konkrit TKI Hadir, http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2011-06-28/104532/Kadisnakertrans_Tantang_Data_Kongrit_TKI_Dihadirkan, diakses 12 Oktober 2011.

9 Tak Kapok, TKI Korban Penganiayaan Majikan Kembali Berangkat ke Arab Saudi, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/12/ll2j29-tak-kapok-tki-korban-penganiayaan-majikan-kembali-berangkat-ke-arab-saudi, diakses 12 Oktober 2011.

Page 70: Buku Lintas Tim 2

70

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

metodologi Penulisan d.

Penulisan ini merupakan penulisan deskriptif yang akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang situasi sosial,10 termasuk mengenai dampak putusan MK tentang pembatalan syarat pendidikan minimum calon TKI. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi kepustakaan dengan cara mengkaji atau mengutip berbagai teori, pendapat, data dari sejumlah buku dan bahan-bahan rujukan lainnya yang dianggap relevan.11 Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil studi perpustakaan.

Dalam menganalisa data yang tidak secara jelas dan tegas dianut dalam suatu peraturan perundang-undangan, penulis memperhatikan beberapa penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim dan para ahli hukum. Penafsiran tersebut adalah:12

Penafsiran substantif adalah mencocokkan fakta kasus dengan ketentuan 1. UU yang dilanggar.Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan 2. sosial dalam masyarakat.Penafsiran historis berdasarkan sejarah dari pembentukan UU yang 3. bersangkutan atau sejarah hukum.

10 Mohammad Mulyadi, Penelitian Kuantitatif & Kualitatif serta Praktek Kombinasinya dalam Penelitian Sosial, Jakarta: Publica Institute, 2010, hal. 53.

11 Ibid., hal. 161.

12 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 141-144.

Page 71: Buku Lintas Tim 2

71

BAB IIKerANGKA PemIKIrAN

Putusan mK No. 019-020/Puu-III/2005A.

Putusan MK No. 019-020/PUU-III/2005 menyangkut 2 perkara, perkara pertama adalah perkara No.019/PUU-III/2005 (perkara No.19) dan perkara No. 020/PUU-III/2005 (perkara No. 20). Pemohon dalam perkara No.19 adalah asosiasi PPTKIS seperti: Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) dan Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasific (AJASPAC). Sedangkan pemohon untuk perkara No. 20 adalah yayasan Indonesia Manpower Watch (IMW) yang diwakili oleh Soekitjoe J.G (Ketua Umum); Dicky R. Hidayat (Wakil Ketua Umum) dan Kevin Givanni Abay (Sekretaris Umum). Perwakilan dari IMW ini menyatakan bahwa mereka bertindak atas nama Yayasan IMW, TKI serta PPTKIS.

Uji materil yang dimintakan oleh pemohon pada perkara No. 19 dan No. 20 meliputi beberapa pasal dalam UUTKI. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 35 huruf d UUTKI, kedua pemohon sepakat bahwa ketentuan tersebut dianggap telah bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal 35 huruf d UUTKI yang berbunyi, “Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan ... d) berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat”. Sedangkan Pasal 28H ayat (2) UUD Negara RI Tahun1945 berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Pemohon juga berpendapat bahwa ketentuan Pasal 35 huruf d UUTKI telah mengakibatkan seseorang yang telah cukup dewasa tidak dapat bekerja di luar negeri karena tidak memenuhi syarat pendidikan minimal SLTP. Ketentuan ini secara tidak langsung merugikan pemohon karena 62% angkatan kerja di Indonesia hanya lulusan SD atau sederajat.

Page 72: Buku Lintas Tim 2

72

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Sedangkan pandangan MK terhadap ketentuan Pasal 35 huruf d UUTKI berkaitan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 mengenai hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Menurut MK, pelaksanaan hak untuk hidup tersebut harus didukung oleh jaminan terhadap hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Jaminan terhadap hak untuk bekerja akan membantu manusia untuk bertahan hidup dan mendapat perlindungan terhadap hak-hak lainnya.

Selain itu MK juga berpandangan bahwa ketentuan tentang syarat tingkat pendidikan bagi seseorang yang akan bekerja di luar negeri, sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf d UUTKI, harus juga dilihat dari sudut pandang adanya jaminan hak untuk bekerja. Hak untuk bekerja dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berkait erat dengan Pasal 28A UUD Negara RI Tahun 1945, terutama hak atas kehidupan, Pasal 28H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 hak atas hidup sejahtera lahir batin dan Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 tentang pembatasan hak dan kebebasan.

Untuk ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan UU dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Lebih lanjut MK berpendapat bahwa batasan tingkat pendidikan (SLTP) hanya dapat dibenarkan apabila persyaratan pekerjaan memang memerlukan hal tersebut. Pembatasan tingkat pendidikan di luar persyaratan yang ditentukan oleh pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf d UUTKI justru tidak mempunyai dasar alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) menurut Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945.

Lagi pula, syarat pendidikan dalam Pasal 35 huruf d UUTKI menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan kewajiban konstitusional Pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Seandainya ketentuan tentang pendidikan dasar ini telah dipenuhi oleh Pemerintah, dengan sendirinya angkatan kerja Indonesia sudah mencapai tingkat pendidikan minimal SLTP.

Page 73: Buku Lintas Tim 2

73

Luthvi Febryka Nola

Berkenaan dengan legalitas pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat bahwa sesungguhnya tidak terdapat hak atau kepentingan konstitusional pemohon dalam perkara ini karena syarat pendidikan dibebankan kepada calon TKI. Sehingga, seandainya pun dianggap ada inkonstitusionalitas pada ketentuan tersebut, maka yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian syarat pendidikan adalah calon TKI/TKI, bukan pemohon. Oleh karena itu, dalil para pemohon sepanjang menyangkut hal tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Akhirnya MK memutuskan perkara No. 20 tidak dapat diterima dengan alasan legal standing pemohon. Sedangkan untuk perkara No.19 dikabulkan terkait pengujian Pasal 35 huruf d UUTKI karena MK menganggap bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.

Teori Pengujian uu terhadap uudB.

Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dikenal sebagai judicial review. Pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 menyerahkan kewenangan melakukan judicial review UU terhadap UUD kepada MK. Putusan judicial review MK ini bersifat final dan mengikat. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan dikelompokkan pada 2 jenis yaitu pengujian formal (formele toetsingrecht) dan pengujian materill (materiele toetsingrecht). Pengujian formal adalah menguji masalah prosedural berkenaan dengan legalitas kopetensi institusi yang membuatnya, sedangkan pengujian materiil merupakan pengujian isi dari peratuan perundang-undangan apakah bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi dan/atau apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.13

Proses pengujian UU terhadap UUD sangat dipengaruhi oleh penafsiran terhadap UUD itu sendiri. Perbedaan aliran penafsiranlah yang melahirkan adanya permohonan pengujian UU terhadap UUD. Menurut Jimly Asshiddiqie,14 terdapat 2 teori mengenai penafsiran UUD, yaitu:

Aliran orisinalisme, yang memahami teks konstitusi dengan mengandalkan 1. kekuatan bahasa atau kadang-kadang cenderung menafsirkan teks konstitusi hanya secara harfiahnya saja.

13 Efik Yusdiansyah, Ibid., hal. 76.

14 Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind Hill Co., 1998, hal. 37-45.

Page 74: Buku Lintas Tim 2

74

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Aliran konstektualisme adalah pandangan yang lebih mengutamakan 2. nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam teks konstitusi dan menghubungkannya dengan moralitas konvensional sekarang.

Menurut Efik Yusdiansyah putusan MK akan berdampak pada proses pembentukan hukum oleh eksekutif dan legislatif.15 Adapun implikasi terhadap legislatif adalah:16

Mengukuhkan konstitusionalitas suatu UU, sehingga keabsahan UU 1. tersebut semakin kuat. Faktor konstitusionalitas adalah keharusan materi muatan UU tidak menyimpang dari materi UUD. Dampaknya adalah ketaatan terhadap UU oleh masyarakat dan pemerintah akan tinggi karena menganggap putusan MK tersebut telah sejalan dengan amanat dari UUD Negara RI Tahun 1945. Ketaatan yang tinggi ini akan melahirkan tertib hukum yang baik dalam masyarakat dan pemerintah. Putusan pemerintah yang sesuai dengan putusan MK ini akan dianggap sebagai sikap yang baik dan adil. Meningkatkan kehati-hatian lembaga legislatif dalam membuat UU 2. supaya tidak terlalu banyak memperdebatkan masalah kepentingan fraksi masing-masing dengan mengabaikan konstitusionalitas dari UU. Selain itu pembuat UU agar selalu memperhatikan nilai-nilai dasar dalam hukum berupa kesamaan, kebebasan dan solidaritas dalam setiap pembentukan UU.

Sedangkan implikasi terhadap pembentukan hukum oleh lembaga eksekutif dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.17 Implikasi langsung berhubungan dengan diadobsinya penggunaan metode penafsiran konstitusi MK oleh eksekutif dalam membuat peraturan pelaksana dari suatu UU.18 Sedangkan implikasi tidak langsung berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki eksekutif dalam pembentukan materi muatan peraturan perudang-undangan yang merupakan pendelegasian dari UU yang dibuat oleh lembaga legislatif.19 Pembentukan peratuan perundang-undangan oleh eksekutif bergantung kepada UU, sehingga apabila: 20

15 Efik Yusdiansyah, Op.Cit., hal. 156.

16 Ibid., hal. 165-168.

17 Ibid., hal. 171-173.

18 Ibid.

19 Ibid.

20 Ibid.

Page 75: Buku Lintas Tim 2

75

Luthvi Febryka Nola

UU dibatalkan seluruhnya oleh MK maka eksekutif harus mencabut semua 1. peraturan pelaksana dari UU tersebut.Hanya pasal tertentu yang dibatalkan dan peraturan pelaksananya 2. melaksanakan pasal yang dibatalkan itu, konsekwensinya adalah eksekutif harus mencabut peraturan pelaksana yang melaksanakan pasal dari UU yang dinyatakan tidak berlaku.Pasal tertentu yang dibatalkan sementara peraturan pelaksananya 3. melaksanakan pasal yang lain maka aturan pelaksana itu masih tetap berlaku.

Perlindungan TKIC.

Pasal 1 angka 4 UU TKI telah memberikan definisi tentang perlindungan TKI yaitu segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Namun berdasarkan pengkajian terhadap UUTKI yang dilakukan oleh tim peneliti ECOSOC menyatakan bahwa UUTKI tidak mengatur secara jelas kerangka perlindungan sebagaimana dimaksud dalam judul dan ketentuan umum sehingga mengisyaratkan tidak adanya perlindungan yang memadai, komprehensif dan koheren.21 Lebih lanjut hasil penelitian tersebut menyatakan jika perlindungan tidak ada, maka yang terjadi adalah dominasi urusan pemerintah dengan pihak pebisnis swasta.22

Secara hukum, perlindungan meliputi perlindungan akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap HAM yang dimiliki oleh subjek hukum di dalam suatu negara berdasarkan perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan.23 Menurut Umu Hilmy, Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan landasan dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia.24 Konsep perlindungan HAM banyak tertuang dalam UUD Negara RI Tahun 1945 terutama pada Pasal 28 huruf A sampai dengan J. Tindakan pemerintah harus bertumpu dan bersumber dari konsep perlindungan dan pengakuan terhadap HAM.25 Perlindungan hukum ada dua macam, yaitu:

21 Sri Palupi dkk., Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI antara Indonesia-Singapura-Malaysia, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2010, hal. 390.

22 Ibid.

23 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hal. 205.

24 Umu Hilmy, Urgensi Perubahan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX pada tanggal 14 Desember 2010, hal. 6-9.

25 Ibid., hal. 9.

Page 76: Buku Lintas Tim 2

76

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Perlindungan hukum preventif yang memberikan kesempatan untuk 1. mengajukan keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang devinitif, tujuan dari perlindungan ini adalah untuk mencegah munculnya sengketa antara pemerintah dengan rakyat.Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan yang bertujuan untuk 2. menyelesaikan sengketa. Perlindungan ini dilakukan oleh lembaga peradilan, yaitu peradilan umum dan peradilan administrasi di Indonesia.26

Adapun permasalahan pokok dalam perlindungan TKI menurut Sri Palupi ada sepuluh macam, yaitu:27

Perekrutan terkait masalah percaloan, perekrutan ilegal, pemalsuan 1. dokumen dan perdagangan orang.Rendahnya kualitas pendidikan dan pelatihan.2. Lemahnya pendataan dan pengawasan perlindungan TKI.3. Lemahnya transparansi dan akuntabilitas manajemen migrasi kerja serta 4. pengawasan oleh masyarakat.Minimnya akses TKI untuk mendapatkan keadilan.5. Ketiadaan sistem pembiayaan penempatan.6. Sistim asuransi dan jaminan sosial yang tidak berpihak terhadap TKI.7. Lemahnya kelembagaan perlindungan TKI.8. Sistem pemulangan yang tidak menguntungkan bagi TKI.9. Ketiadaan layanan pendampingan pengelolaan hasil kerja dan peningkatan 10. keterampilan (reintegrasi).

Pendidikan Kemasyarakatand.

Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.28 Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan, pendidikan bukan

26 Ibid.

27 Sri Palupi, Arah Perubahan UU 39/2004 untuk Efektifitas Perlindungan TKI Sesuai Standar, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hal. 14-15.

28 Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hal. 2.

Page 77: Buku Lintas Tim 2

77

Luthvi Febryka Nola

semata-mata sarana untuk persiapan hidup yang akan datang akan tetapi untuk kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju tingkat kedewasaan.29

Dewasa ialah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri baik secara biologis, phisikologis, pedagogis dan sosiologis. Biologis berarti seseorang tersebut telah akil baliq. Phisikologis berarti bermacam-macam fungsi kejiwaannya telah berkembang sepenuhnya, matang secara sosial dan moral. Pedagogis artinya apabila seseorang telah menyadari dan mengenal diri sendiri atas tanggung jawab sendiri. Sosiologis artinya memenuhi syarat untuk hidup bersama yang telah ditentukan oleh masyarakat, misalnya telah bisa saling menghormati, tenggang rasa, harmonis dan mau membela kepentingan bersama.30

Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. 31 Oleh sebab itu saat ini tengah dikembangkan konsep pendidikan kemasyarakatan yaitu usaha sadar mengembangkan kemampuan sosial, kultural keagamaan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keterampilan, keahlian (profesi), yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk mengembangkan dirinya dan membangun masyarakat.

Pendidikan kemasyarakatan dapat dilaksanakan oleh berbagai lembaga dengan berbagai program pendidikan, baik oleh pemerintah, pribadi, keluarga, organisasi dan himpunan dalam masyarakat.32 Jalur pendidikan kemasyarakatan ini tidak terikat dengan formalitas akademik.33 Secara konkret pendidikan kemasyarakatan dapat memberikan:34

Kemampuan profesional untuk mengembangkan karier melalui kursus 1. penyegaran, penataran, lokakarya, seminar, konferensi ilmiah dan sebagainya.Kemampuan teknis akademis dalam suatu sistim pendidikan nasional, 2. seperti, sekolah terbuka, kursus tertulis, pendidikan melalui radio dan televisi.Kemampuan mengembangkan kehidupan beragama melalui pesantren, 3. pengajian, pendidikan agama di mesjid, gereja, sekolah minggu dan sebagainya

29 Ibid., hal. 5.

30 Ibid., hal. 6.

31 Ibid., hal. 2.

32 Ibid., hal. 34.

33 Ibid., hal. 33.

34 Ibid., hal. 34-35.

Page 78: Buku Lintas Tim 2

78

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Kemampuan mengembangkan kehidupan sosial budaya melalui sanggar 4. seni, teater, olah raga, bela diri, lembaga pendidikan spiritual dan sebagainyaKeahlian dan keterampilan melalui sistem magang untuk menjadi ahli 5. bangunan dan sebagainya.

Pendidikan kemasyarakatan termasuk juga pendidikan formil. Jhon Vaizey menganggap penting pendidikan formil karena kepandaian yang dimiliki oleh seseorang adalah hasil dari pendidikan dan latihan formil yang biasanya diberikan oleh sekolah dan perguruan tinggi.35 Walaupun dia tidak membantah bahwa sebagian besar dipelajari pada waktu bekerja. Di negara-negara dengan tingkat pendidikan formil yang tinggi ada suatu kesediaan untuk menerima perubahan dan kesediaan untuk mengembangkan perubahan tersebut, hal mana sangat berlawanan dengan konservatisme tradisionil dari masyarakat lainnya.36

35 Jhon Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern, diterjemahkan oleh L.P. Murtini, Jakarta: Gunung Agung 1987, hal. 33.

36 Ibid.

Page 79: Buku Lintas Tim 2

79

BAB IIIPemBAhAsAN

Pertimbangan Pembatalan syarat Pendidikan minimum Calon TKI A. oleh mK

Pengajukan judicial review terhadap Pasal 35 huruf d UUTKI tentang persyaratan pendidikan minimum bagi calon TKI diajukan oleh asosiasi PPTKIS. Mereka beranggapan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan beberapa pasal tentang HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Oleh MK, permohonan tersebut dilakukan pengujian secara materil sesuai dengan permintaan pemohon. Pertimbangan materil yang diberikan MK terhadap Pasal 35 huruf d UUTKI adalah:37

Keberadaan Pasal 35 huruf d UUTKI secara tidak langsung bertentangan 1. dengan konsep hak hidup yang dirumuskan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945. Hak hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan harus didukung oleh jaminan terhadap hak untuk bekerja. Pemberlakuan Pasal 35 huruf d UUTKI juga bertentangan dengan konsep 2. keadilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 28D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Pemberlakukan Pasal ini hanya akan menutup kesempatan bagi sekelompok warga negara untuk mendapatkan pekerjaan karena tidak memenuhi syarat yang dibebankan oleh UU. Ketentuan Pasal 35 huruf d juga bertentangan dengan jaminan hak untuk 3. bekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2); Pasal 28A hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan dan Pasal 28H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 hak atas hidup sejahtera lahir batin. Pembatasan syarat pendidikan minimum membuat penduduk yang tidak memenuhi syarat pendidikan tidak dapat kesempatan untuk bekerja di luar negeri. Padahal tidak semua pekerjaan mengharuskan syarat pendidikan tertentu.

37 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 019-020/PUU-III/2005

Page 80: Buku Lintas Tim 2

80

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Menurut Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 pembatasan oleh 4. UU hanya dapat dilakukan dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan pendidikan minimum dalam Pasal 35 huruf d UUTKI bukanlah bagian dari pembatasan yang dimaksudkan Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa batasan tingkat pendidikan (SLTP) hanya dapat dibenarkan apabila persyaratan pekerjaan memang memerlukan hal tersebut.Pasal 35 huruf d UUTKI menjadi tidak relevan apabila dikaitkan dengan 5. kewajiban konstitusional Pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. MK berpendapat, seandainya program pendidikan dasar 9 tahun telah berhasil dijalankan oleh Pemerintah, dengan sendirinya angkatan kerja Indonesia sudah mencapai tingkat pendidikan minimal SLTP.

Kelima pertimbangan MK ini sangat perpedoman pada pasal-pasal perlindungan HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945. MK berusaha menafsirkan Pasal 35 huruf d UUTKI menggunakan teori penafsiran kontekstualisme dengan mengutamakan nilai-nilai fundamental yang terkadung dalam UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu berkaitan dengan hak hidup, perlakuan yang adil, pekerjaan yang layak, teori pembatasan hak dan hak memperoleh pendidikan dasar. Selain itu MK juga berusaha menginterpretasikan UUTKI dan nilai-nilai fundamental tersebut secara sosiologis dengan mempertimbangkan aspek keadilan dalam masyarakat.

Adapun pertimbangan pertama, mengenai perumusan hak untuk hidup. Pertimbangan ini kurang sesuai dengan kondisi Indonesia saat putusan MK dibuat karena Indonesia bukan berada dalam posisi wabah kelaparan yang membuat orang kehilangan hak hidup ketika tidak diberikan kesempatan untuk bekerja ke luar negeri. Justu ketika warga negara yang tidak atau kurang berpendidikan dikirimkan ke luar negeri akan membahayakan hak hidup dari TKI itu sendiri. Hal ini terbukti dengan banyaknya TKI yang pulang ke tanah air dalam kondisi tidak bernyawa.

Pertimbangan kedua, berhubungan dengan pembatasan syarat usia yang dianggap bertentangan dengan konsep keadilan dalam mendapatkan pekerjaan. Konsep keadilan memang terabaikan karena tidak semua pekerjaan

Page 81: Buku Lintas Tim 2

81

Luthvi Febryka Nola

mempersyaratkan pendidikan minimal SLTP. Sehingga pembatasan pendidikan tidak akan adil bagi orang yang akan bekerja pada pekerjaan yang tidak mempersyaratkan pendidikan dibawah SLTP.

Pertimbangan ketiga, bahwa pembatasan minimum pendidikan akan membatasi hak orang untuk bekerja. Pertimbangan ini sejalan dengan kondisi dalam negeri yang minim lapangan pekerjaan dan rendahnya upah, sedangkan penawaran kerja dari luar negeri sangat tinggi dan menjanjikan upah yang lebih baik. Kondisi ini tentu membuat orang yang tidak dapat bekerja di luar negeri karena tidak memenuhi persyaratan pendidikan, akan merasa dirugikan karena kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Pertimbangan keempat, berkaitan dengan tidak terpenuhinya syarat pembatasan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal tersebut hanya memperbolehkan pemberlakuan pembatasan dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pembatasan persyaratan pendidikan dianggap MK tidak memenuhi pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum sehingga menjadi sesuatu yang harus dibatasi. Alasan ini sangat tepat karena secara moral dan agama, manusia justru dianjurkan untuk bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan masalah keamanan adalah merupakan tanggung jawab negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana dinyatakan dalam Alinea keempat UUD Negara RI Tahun 1945. Perlindungan itu tidak dibatasi apakah warga negara tersebut ada di dalam negeri atau di luar negeri. Ketertiban umum juga tidak bisa dijadikan alasan karena persyaratan pendidikan justru membatasi penduduk untuk bekerja. Sedangkan negara tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan pembiayaan khusus bagi penduduk yang tidak bekerja. Akibatnya pengangguran akan meningkat dan berbahaya bagi ketertiban umum.

Pertimbangan kelima adalah pembatasan persyaratan pendidikan tidak dapat dilakukan karena pemerintah belum berhasil dengan program pendidikan dasar sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Pembatasan usia benar-benar tidak berpihak pada masyarakat kecil karena disatu sisi mereka kesulitan sekolah karena belum berhasilnya pemerintah namun disisi lain mereka dilarang bekerja keluar negeri karena tidak memenuhi persyaratan pendidikan.

Dari kelima pertimbangan yang diberikan oleh MK terlihat bahwa kecuali pertimbangan pertama, telah memenuhi unsur perlindungan terhadap HAM

Page 82: Buku Lintas Tim 2

82

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

dalam UUD Negara RI Tahun 1945. MK melihat perlindungan itu dilihat dari sisi pekerjaan, keadilan, pendidikan dan pembatasan. Berdasarkan hakikat konstitusional dari suatu negara hukum maka konsep perlindungan membuat kekuasaan pemerintahan menjadi terbatas. Pemerintahan tidak dapat sewenang-wenang dalam melanggar HAM warga negara. Penetapan syarat minimum pendidikan bagi TKI disaat pemerintah belum mampu memberikan pendidikan yang layak bagi setiap warga negara dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang. Oleh sebab itu sebagai bentuk perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang terhadap warga negara maka MK berwenang memutus pembatalan syarat pendidikan minimum bagi TKI.

Putusan MK berkaitan dengan pembatalan persyaratan pembatasan pendidikan bagi TKI merupakan usaha untuk melakukan perlindungan hukum secara represif yaitu untuk menyelesaikan perkara yang diajukan oleh PPTKIS. Umu Hilmy, menyatakan bahwa perlindungan ini diberikan oleh peradilan, MK pada dasarnya adalah sebuah lembaga yudikatif dengan sifat putusan final dan mengikat. Namun aliran kontektualitas yang digunakan oleh MK dalam menafsirkan UU TKI benar-benar menggunakan moralitas konvensional. Akibatnya konsep perlindungan menjadi kurang futuristik dan dampaknya baru terasa saat ini disaat mem-booming-nya pengiriman TKI yang kurang terdidik diiringi dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap TKI.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Jhon Vaizey, pada dasarnya pendidikan formal itu penting karena berpengaruh kepada kesediaan seseorang untuk menerima perubahan dan mengembangkannnya. Bekerja di luar negeri tentu membawa perubahan besar bagi seseorang terutama untuk yang baru pertama kali menjadi TKI. Tiap-tiap negara memiliki kebudayaan, bahasa, kebiasaan dan teknologi yang berbeda, perbedaan inilah yang merupakan faktor “perubahan” bagi TKI. Otomatis diperlukan kemampuan untuk menghadapinya dan salah satunya dengan pendidikan. Pendapat ini memberi gambaran bahwa yang penting itu adalah TKI siap menghadapi perubahan. Namun, untuk meningkatkan kemampuan TKI dalam menghadapi perubahan tidak hanya melalui pendidikan formal akan tetapi juga dapat melalui pendidikan informal berbasis kopetensi seperti kursus dan pelatihan kerja.

Pendidikan kemasyarakatan adalah suatu cara untuk meningkatkan kemampuan TKI. Konsep pendidikan kemasyarakatan sangat cocok dengan kondisi Indonesia saat ini yang sistim pendidikan formalnya belum tertata baik, penggunaan anggara pendidikan yang tidak jelas dan program-program pendidikan yang kurang berhasil. Pendidikan kemasyarakatan akan sangat

Page 83: Buku Lintas Tim 2

83

Luthvi Febryka Nola

membantu pemerintah karena melibatkan semua unsur mulai dari pribadi, organisasi masyarakat, LSM, badan hukum yang perduli dengan dunia pendidikan di Indonesia. Konsep ini dapat dijadikan sebagai suatu program reintegrasi sosial TKI yang dimulai sebelum TKI diberangkatkan, di negara penempatan dan ketika kembali ke tanah air. Pendidikan kemasyarakatan ini juga dapat ditujukan kepada keluarga TKI.

Sehingga seharusnya dalam memberikan pertimbangan, MK memberikan rekomendasi tentang adanya suatu konsep perlindungan dengan cara memperkuat ketentuan pendidikan dan pelatihan berbasis kopetensi dalam UUTKI. Pembatalan begitu saja tanpa rekomendasi menjadikan banyaknya penduduk berpendidikan rendah yang dikirim untuk menjadi TKI bahkan para peneliti ECOSOC menganggap bahwa pengiriman TKI dari Indonesia merupakan bentuk legalisasi perbudakan zaman modern.

Rekomendasi MK diluar hal yang dimohonkan oleh para pihak terdapat pada putusan MK tentang Pasal 53 ayat (1) dan ayat (4) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengenai BHP. Putusan MK pada kasus BHP tersebut adalah memperkuat pasal yang ada dengan memberikan batasan-batasan pengaturan. Keputusan seperti ini nantinya akan bersifat ultra petita yaitu tindakan hakim yang memutus melebihi apa yang diminta oleh penggugat atau pemohon.38 Kelebihan dari adanya ultra petita adalah terpenuhinya rasa keadilan substantif.39

Berdasarkan Pasal 45 A UU No. 8 tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK dilarang melakukan ultra petita. Namun hingga saat ini larangan tentang ultra petita menimbulkan pro dan kontra dikalangan para praktisi dan ahli hukum. Belajar dari kasus persyaratan TKI ini maka putusan ultra petita dari MK justru sangat diperlukan. Terutama berkaitan dengan masalah perlindungan dan HAM yang konteknya akan saling berkaitan. Permasalahan pembatalan persyaratan Pendidikan Minimum TKI saja akan berkaitan dengan masalah pendidikan pelatihan, reintegrasi sosial dan peran masyarakat dalam menegakkan sebuah peraturan. Sehingga pada UU yang sifat pasalnya saling berkaitan satu sama lain maka ultra petita sangat dibutuhkan.

38 Ultra Petita, http://hukumpedia.com/index.php?title=Ultra_petita, diakses 14 Oktober 2011.

39 Larangan Ultra Petita, DPR Abaikan Sejarah, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4dfa00f5241e8/larang-ultra-petita-dpr-abaikan-sejarah, diakses 14 Oktober 2011.

Page 84: Buku Lintas Tim 2

84

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Ketakutan dengan adanya ultra petita akan membuat MK menjadi super body sebenarnya dapat diatasi apabila peranan Komisi Yudisial (KY) dalam pengawasan para hakim termasuk hakim konstitusi diperkuat. Sehingga para hakim termasuk hakim konstitusi akan berhati-hati dalam mengeluarkan putusan. Permasalahannya adalah berdasarkan putusan MK No. 005/PUU-IV/2006, KY tidak dapat lagi melakukan penilaian terhadap hakim konstitusi.

Menurut Mahfud MD,40 MK tidak boleh melakukan ultra petita karena melewati kewengannya sebagai lembaga yudikatif, sedangkan kewenangan membentuk UU berada ditangan legislatif. Lebih lanjut Mahfud MD memberikan masukan, apabila suatu pasal dari UU terkait dengan pasal lainnya, maka MK hanya dapat membatalkan pasal yang diajukan oleh pemohon sedangakan untuk pasal terkait lainnya diserahkan kepada legislative untuk melakukan review.41

Namun masukan Mahfud ini sesuai untuk pasal yang berkaitan yang jika salah satu pasal dibatalkan maka pasal lainnya ikut batal, namun untuk kasus pasal-pasal yang saling melengkapi pendapat ini mengandung kelemahan. Kelemahannya adalah ketidakberlakuan pasal ini tidak membuat pasal lainnya batal akan tetapi membuat konsep dari adanya pasal-pasal tersebut menjadi tidak berlaku sempurna. Untuk itu diperlukan aturan tambahan untuk melengkapi konsep aturan tersebut secara keseluruhan. Keuntungan dari sistim seperti ini adalah UU akan diterapkan secara sempurna sesuai dengan tujuan pembentukannya dan masukan dari MK juga akan dapat menjadi pedoman legislatif dalam melakukan review serta menghindari produk hukum yang nantinya dihasilkan oleh legislative di judicial review kembali oleh MK.

Selanjutnya hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam perkara No. 019-020/PUU-III/2005, berpendapat bahwa sesungguhnya tidak terdapat hak atau kepentingan konstitusional para pemohon dalam hubungan ini karena syarat pendidikan dibebankan kepada calon TKI. Sehingga, seandainya pun dianggap ada inkonstitusionalitas pada ketentuan tersebut, maka yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian syarat pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal a quo adalah calon TKI, bukan para pemohon. Oleh karena itu, dalil para Pemohon sepanjang menyangkut hal tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

40 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hal.281.

41 Ibid., hal.282.

Page 85: Buku Lintas Tim 2

85

Luthvi Febryka Nola

Akhirnya MK memutuskan Perkara No. 20 tidak dapat diterima dengan pertimbangan bahwa pemohon tidak memiliki legal standing dan Perkara No.19 dikabulkan untuk sebagian yaitu terkait Pasal 35 huruf d UUTKI karena bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945. Permasalahan legal standing ini seharusnya sudah dapat diminimalisasi sejak awal oleh MK. Sehingga MK tidak perlu membuang waktu untuk masuk kedalam pokok perkara karena kesalahan legal standing sejak awal dapat menyebabkan suatu kasus menjadi tidak dapat diterima.

Pengaruh Negatif Pembatalan syarat Pendidikan minimum bagi B. Perlindungan TKI

Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 telah mengatur bahwa Putusan MK bersifat final. Sehingga terhadap putusan MK tidak dapat dimintakan upaya hukum lainnya. Akibatnya beberapa keputusan MK disinyalir bertentangan dengan azas hukum tidak dapat dimintakan upaya hukum lanjutan seperti putusan MK terhadap penghapusan kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi yang bertentangan dengan nemo judex in causa sua yaitu memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri.42 Untuk itu telah dilakukan revisi terhadap UU MK dan Mahfud MD juga telah mengeluarkan sepuluh teori yang harus dijadikan rambu-rambu bagi MK dalam melakukan pengujian UU terhadap UU.

Selain itu sifat legal standing dalam permohonan yang diajukan kepada MK juga berdampak luas karena jika permohonan dikabulkan maka putusan berlaku juga bagi orang lain meskipun yang bersangkutan tidak disebut dalam permohonan.43 Permasalahannya adalah hukum akan selalu berkembang mungkin pada satu masa suatu ketentuan dianggap tidak tepat akan tetapi dimasa depan ternyata ketentuan tersebut menjadi tepat maka akan sulit mekanisme penyadurannya dalam UU apabila sudah pernah di judicial review oleh MK. Mekanismenya tentu harus melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.

Dua permasalahan diatas adalah bentuk implikasi putuasan MK secara umum. Sedangkan dampak putusan MK untuk permasalahan pembatalan syarat pendidikan minimum bagi calon TKI maka perlu dianalisa dari sisi pihak-pihak yang terkait dengan pasal ini. Adapun pihak-pihak yang terlibat

42 Ibid., hal. 283

43 Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: UII Press, 2009, hal.33.

Page 86: Buku Lintas Tim 2

86

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

adalah pemerintah sebagai pelaksana peraturan; DPR sebagai legislatif yang membentuk UU; TKI dan PPTKIS sebagai objek dari peraturan.

Dampak tidak langsung dari pembatasan syarat minimum pendidikan calon TKI terhadap pemerintah adalah kementerian tenaga kerja dan transmigrasi sebagai instansi yang bertanggung jawab mengurusi permasalahan TKI, tidak dapat memasukkan persyaratan pendidikan bagi calon TKI dalam merumuskan peraturan pelaksana dari UUTKI. Ketiadaan pembatasan soal pendidikan ini mengakibatkan saat ini lebih dari 50% TKI lulusan SD. Rendahnya tingkat pendidikan TKI ini meningkatkan tuntutan terhadap pemerintah untuk meningkatkan pendidikan TKI khususnya dan masyarakat umumnya karena rendahnya tingkat pendidikan dituding sebagai salah satu penyebab banyaknya TKI yang bekerja disektor informal. Sektor informal ini memiliki banyak kelemahan yaitu gaji yang rendah dan minimnya perlindungan misalnya: tentang batas waktu kerja. Selain itu TKI di sektor informal juga rentan terhadap kekerasan. Terhadap kondisi ini bahkan ada yang mengusulkan agar pengiriman TKI hanya dilakukan pada sektor formal saja.

Dampak negatif dari pembatalan syarat pendidikan ini dapat ditekan oleh pemerintah dengan memperketat persyaratan pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan kopetensi TKI. Untuk menghindari ketentuan yang bersifat ultra vires dapat disiasati dengan mengaturnya dalam rangka meningkatkan pengawasan, koordinasi dan pembinaan terhadap sistem pendidikan dan pelatihan TKI. Ultra vires adalah perbuatan penguasa otoritas publik atau privat yang melampaui kekuasaan yang dimilikinya.44 Pengawasan dilakukan terhadap pemberlakukan syarat minimum jam pelatihan yang harus ditempuh TKI; koordinasi dapat dilakukan dalam pemberian sertifikasi kopetensi dan akreditasi lembaga pelatihan bagi TKI; sedangkan pembinaan dapat dilakukan dengan atau membuat modul yang standar dalam pendidikan dan pelatihan terhadap TKI.

Berkaitan dengan teori dampak secara langsung putusan MK pada eksekutif sebagiamana diungkapkan oleh Efik Yusdiansyah, maka dalam kasus pembatalan persyaratan pendidikan ini justru dampaknya berkebalikan dari teori yang diungkapkan oleh Efik. Pemerintah diwakili oleh Kemenakertrans dalam rapat dengar pendapat dengan komisi IX DPR RI menuding bahwa putusan MK ini telah berdampak buruk bagi perlindungan TKI karena mengakibatkan meningkatnya pengiriman TKI yang berpendidikan rendah.

44 Apa itu Ultra Vires dalam hukum?, http://rangforjustice.blogspot.com/2011/08/apa-itu-ultra-vires-dalam-hukum.html, diakses 17 Oktober 2011.

Page 87: Buku Lintas Tim 2

87

Luthvi Febryka Nola

Pembatalan syarat pendidikan bagi TKI tidak hanya berdampak negatif pada pemerintah akan tetapi terhadap DPR sebagai lembaga legislatif. Saat ini DPR sedang melakukan revisi terhadap UUTKI. Meski fakta dilapangan memperlihatkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan merugikan perlindungan terhadap TKI, namun DPR tidak dapat mengatur persyaratan ini lagi dalam UU hasil revisi karena putusan MK bersifat final dan mengikat.

DPR hanya bisa mengatur persyaratan pendidikan apabila pemerintah telah berhasil mendidik semua warga negara. Untuk itu dalam rangka revisi, DPR dapat memperkuat aturan tentang pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI/TKI. Masalah pengawasan, koordinasi dan pembinaan harus diatur secara detail dalam UU hasil revisi. Permasalahannya adalah pengaturan yang terlalu rinci akan membuat peraturan perundang-undangan tersebut rentan terhadap perubahan-perubahan.

Sedangkan dampak negatif pembatalan syarat pendidikan bagi calon TKI/ TKI adalah mereka sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Bekerja di sektor informal memiliki banyak kelemahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Perlindungan terhadap TKI berpendidikan rendah sulit dilakukan, apalagi bila buta huruf. Para TKI tidak akan mengerti kontak kerja yang ditandatangani, tidak mengetahui hak dan kewajiban sebagaimana terdapat dalam kontrak. Sehingga majikan dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap TKI.

Ilmu pendidikan juga menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh pada tingkat kedewasaan seseorang sehingga lebih matang secara biologis, phisikologis, pedagogis dan sosiologis. Kematangan dari 4 unsur ini akan membuat TKI dapat melindungi dirinya sendiri karena lebih tahan terhadap tekanan dan dapat mencari jalan keluar apabila menghadapi permasalahan dengan majikan.

Satu satunya pihak yang diuntungkan dengan penetapan syarat minimum ini adalah PPTKIS. Sebelum pembatalan, TKI yang bisa direkrut oleh PPTKIS sangat terbatas sedangkan sesudah pembatalan mereka dapat merekrut banyak TKI tanpa terkendala masalah pendidikan. Berarti permohonan pembatalan syarat pendidikan bagi TKI ini membawa keuntungan bagi PPTKIS dan pendapat Sri Palupi yang menyatakan bahwa dominasi swasta menunjukkan bahwa tidak ada perlindungan bagi TKI ada benarnya.

Page 88: Buku Lintas Tim 2
Page 89: Buku Lintas Tim 2

89

BAB IVPeNuTuP

KesimpulanA.

Pertimbangan MK dalam membatalkan syarat pendidikan minimum bagi calon TKI telah didasarkan pada pasal-pasal perlindungan HAM dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Akan tetapi terdapat pertimbangan yang kurang tepat dengan kondisi saat putusan tersebut dikeluarkan yaitu terkait dengan penggunaan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 tentang hak hidup. Analisa terhadap pertimbangan MK telah memperlihatkan ultra petita dapat dilakukan MK dalam rangka perlindungan terhadap TKI dengan cara memberikan rekomendasi untuk menghindari dampak negatif dari pembatalan persyaratan pendidikan minimum bagi calon TKI dalam UU. Selain itu diketahui juga bahwa hendaknya dari awal MK telah memperhatikan legal standing dari pemohon sehingga tidak membuang-buang waktu untuk memeriksa materi.

Putusan MK No. 019-020/PUU-III/2005 berdampak negatif terhadap pemerintah, DPR dan TKI. Satu-satunya yang diuntungkan dengan putusan ini hanyalah PPTKIS. Hal ini berpengaruh terhadap konsep perlindungan TKI secara umum.

rekomendasiB.

MK dalam menguji suatu perkara hendaknya menggunakan penafsiran futuristik atau melihat jauh ke depan. Selain itu sebelum memeriksa suatu perkara hendaknya terlebih dahulu memperhatikan legal standing dari pemohon. Sedangkan masukan untuk DPR terkait dengan akan dilakukannya revisi terhadap UUTKI adalah:

Memperinci dan memperketat persyaratan kompetensi bagi calon TKI.1. Meningkatkan mekanisme pengawasan, koordinasi dan pembinaan dalam 2. rangka pelaksanaan peraturan.

Page 90: Buku Lintas Tim 2

90

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

Penandatanganan kontrak kerja oleh TKI harus melibatkan aparat 3. pemerintahan dan aparat tersebut harus memastikan bahwa TKI benar-benar memahami hak dan kewajibannya yang tercantum dalam kontrak kerja. Pendidikan dan pelatihan bagi para calon TKI/TKI menggunakan 4. pendekatan pendidikan kemasyarakatan.

Page 91: Buku Lintas Tim 2

91

dAFTAr PusTAKA

Buku

Bambang Sutiyoso, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta: UII Press, 2009.

Efik yusdiansyah. Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Bandung: CV Lubuk Agung, 2010.

Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008.

Jhon Vaizey, Pendidikan di Dunia Modern, diterjemahkan oleh L.P. Murtini, Jakarta: Gunung Agung 1987.

Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind Hill Co., 1998.

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.

Mohammad Mulyadi, Penelitian Kuantitatif & Kualitatif serta Praktek Kombinasinya dalam Penelitian Sosial, Jakarta: Publica Institute, 2010.

Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Sri Palupi dkk., Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI antara Indonesia-Singapura-Malaysia, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2010.

Page 92: Buku Lintas Tim 2

92

Pembatalan Syarat Pendidikan Minimum Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia oleh Mahkamah Konstitusi

makalah

Sri Palupi, Arah Perubahan UU 39/2004 untuk Efektifitas Perlindungan TKI Sesuai Standar, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Umu Hilmy, Urgensi Perubahan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Makalah dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX pada tanggal 14 Desember 2010.

Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Lembaran Negara No.133 Tahun 2004. Tambahan Lembaran Negara No. 4445.

_____,UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara No. 78 Tahun 2003. Tambahan Lembaran Negara No. 4301.

_____,UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaran Negara No.70 Tahun 2011. Tambahan Lembaran Negara No. 5226.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019-020/PUU-III/2005.

Internet

24% TKI ke Malaysia Buta Huruf, http://matanews.com/2009/06/22/24-tki-ke-malaysia-buta-huruf/, diakses 12 Oktober 2011.

Apa itu Ultra Vires dalam hukum?, http://rangforjustice.blogspot.com/2011/08/apa-itu-ultra-vires-dalam-hukum.html, diakses 17 Oktober 2011.

Ita Lismawati F. Malau & Luqman Rimadi, Kemenakertrans Disorot, Ini Kata Muhaimin, http://nasional.vivanews.com/news/read/249494-kemenakertrans-disorot--ini-kata-muhaimin, diakses 12 Oktober 2011.

Larangan Ultra Petita, DPR Abaikan Sejarah, http://hukumonline.com/berita/baca/lt4dfa00f5241e8/larang-ultra-petita-dpr-abaikan-sejarah, diakses 14 Oktober 2011.

Page 93: Buku Lintas Tim 2

93

Luthvi Febryka Nola

Marumpa, Tidak Ada Alasan Melarang TKI ke Luar Negeri, http://marumpa.wordpress.com/2009/06/ diakses 12 Oktober 2011.

Oryza A. Wirawan, Kadisnakertrans Tantangan Data Konkrit TKI Hadir, http://www.beritajatim.com/detailnews.php/8/Peristiwa/2011-06 28/104532/Kadisnakertrans_Tantang_Data_Kongrit_TKI_Dihadirkan, diakses 12 Oktober 2011.

Tak Kapok, TKI Korban Penganiayaan Majikan Kembali Berangkat ke Arab Saudi, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/12/ll2j29-tak-kapok-tki-korban-penganiayaan-majikan-kembali-berangkat-ke-arab-saudi, diakses 12 Oktober 2011.

Tingkat Kualitas Pekerja, http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/tingkatkan-kualitas-pekerja/5173 diakses 13 Oktober 2011.

TKI Masih Bekerja di 3D, http://www.globalfmlombok.com/content/tki-masih-bekerja-di-3d, diakses 17 Oktober 2011.

Ultra Petita, http://hukumpedia.com/index.php?title=Ultra_petita, diakses 14 Oktober 2011.

Page 94: Buku Lintas Tim 2
Page 95: Buku Lintas Tim 2

BAGIAN IV

PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN PEREMPUAN

Sali Susiana1

1 Peneliti Madya Bidang Studi Kemasyarakatan Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat e-mail: [email protected].

Page 96: Buku Lintas Tim 2
Page 97: Buku Lintas Tim 2

97

BAB IPeNdAhuluAN

Kebijakan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri telah berlangsung sejak pemerintahan Orde Baru, namun hingga saat ini masih banyak permasalahan yang dihadapi, baik dari aspek penempatan maupun aspek perlindungan. Masalah yang terkait dengan dua aspek tersebut dapat terjadi pada setiap tahapan penempatan, mulai dari proses rekrutmen di dalam negeri yang masih sarat dengan penyimpangan dan pelanggaran, masalah yang dihadapi oleh TKI pada saat bekerja di negara tujuan, hingga masalah yang muncul pasca-bekerja pada saat TKI telah kembali ke tanah air.

Selain itu, TKI yang bekerja di luar negeri juga rentan terhadap bahaya penularan HIV/AIDS. Sebagai kelompok yang tersebar cukup besar di berbagai negara, TKI juga tergolong warga negara yang sering bepergian ke luar negeri dan bergaul dengan bermacam-macam kelompok orang, sehingga membuat TKI rentan terhadap penularan virus HIV/AIDS. 2

Masalah yang terjadi pada saat TKI bekerja di negara tujuan bermacam-macam, baik yang berkaitan dengan masalah hubungan kerja seperti pelanggaran kontrak atau perjanjian kerja (misalnya gaji tidak dibayar atau dibayar tetapi jumlahnya tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya, jumlah jam kerja yang melebihi batas, jenis pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak, dan pemutusan hubungan kerja), hingga kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti penganiayaan, perlakuan majikan yang tidak manusiawi, tindak pelecehan seksual, hingga pembunuhan.

Salah satu kasus yang pernah mendapat perhatian masyarakat luas adalah eksekusi terhadap Ruyati, seorang TKI yang dihukum pancung karena terbukti membunuh majikannya dengan alasan untuk membela diri.3 Kasus lain yang dihadapi oleh TKI yang pernah menjadi pemberitaan di media massa sebelum

2 “TKI Rentan Penularan HIV/AIDS,” http://www.pikiran-rakyat.com/node/164515, 7 November 2011, diakses 9 November 2011.

3 “Indonesia Harus Segera Hapus Hukuman Mati,” Kompas, 23 Juni 2011 halaman 3.

Page 98: Buku Lintas Tim 2

98

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

kasus Ruyati terjadi adalah kasus penganiayaan oleh majikan terhadap TKI bernama Sumiati binti Salam Mustapa asal Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Dua kasus tersebut hanyalah sebagian dari potret buram yang dialami oleh perempuan yang bekerja ke luar negeri sebagai pekerja migran atau tenaga kerja wanita (TKW). Di samping kasus Ruyati dan Sumiati, sebenarnya masih banyak kasus lainnya. Salah satu TKW yang mengalami nasib tragis adalah Kikim Komalasari, yang diduga dianiaya dan dibunuh oleh majikannya.4 Jenazah Kikim ditemukan di sebuah tempat sampah dalam kondisi leher terluka dan baru dapat dipulangkan ke Indonesia selama berbulan-bulan kemudian setelah berbagai upaya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.5

Kasus terbaru yang banyak diberitakan menyangkut TKW adalah ancaman hukuman mati yang menimpa Tuti Tursilawati, TKW asal Cikeusik, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Tuti Tursilawati terancam hukuman pancung setelah dituduh membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utaibi, pada 11 Mei 2010 di Kota Thaif.6 Tuti memukul Suud dengan kayu hingga tewas karena melindungi diri dari pelecehan seksual yang dilakukan majikannya.7

Di samping Tuti Tursilawati, masih ada puluhan TKI, terutama TKW yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Begitu pula di beberapa negara penempatan TKI lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Saat ini warga negara Indonesia (WNI), termasuk TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri berjumlah 218 orang.8 Jumlah WNI/TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri secara lebih rinci dapat dilihat dalam tabel berikut:

4 “TKI Tewas Dibunuh di Saudi,” Media Indonesia, 19 November 2010 halaman 16.

5 Kikim ditemukan dalam kondisi tewas di Kota Abha, Arab Saudi. Pemerintah melalui Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI) berhasil memulangkan jenazah Kikim Komalasari, yang tiba di Jakarta pada tanggal 29 September 2011. Sebenarnya bulan Juli 2011 jenazah Kikim sudah dapat dibawa ke Indonesia, tetapi terhambat karena kepolisian Arab menghilangkan paspor Kikim. Diduga pelakunya adalah oknum kepolisian Saudi yang masih memiliki hubungan keluarga dengan majikan yang membunuh Kikim. Tujuan penghilangan paspor itu agar apabila jenazah Kikim dipulangkan dengan surat perjalanan biasa, maka di persidangan pengacara majikan yang membunuh Kikim dapat berdalih bahwa Kikim sengaja kabur. Lihat “Jenazah Kikim Gagal Dipulangkan,” Republika, 12 Juli 2011 halaman 5, dan “Paspor Mendiang TKI DIhilangkan Aparat,” Media Indonesia, 12 Juli 2011 halaman 4.

6 TKI Terancam Hukuman Mati Mundur Saja kalau Tak Mampu Selamatkan TKI! Ary Wibowo | Inggried Dwi Wedhaswary | Jumat, 14 Oktober 2011 | 13:47 WIB http://nasional.kompas.com/read/2011/10/14/13470656/Mundur.Saja.kalau.Tak.Mampu.Selamatkan.TKI., diakses 20 Oktober 2011.

7 Permohonan Ampunan Dikirim ke Saudi, http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/435759/ diakses 14 Oktober 2011.

8 Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI) pada tanggal 10 Oktober 2011.

Page 99: Buku Lintas Tim 2

99

Sali Susiana

Tabel 1Jumlah WNI/TKI yang Terancam Hukuman Mati di Negara Penempatan TKI

No Negara Jumlah

1. Malaysia 151 orang

2. Arab Saudi 43 orang

3. China 22 orang

4. Singapura 2 orangsumber: Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI), 10 Oktober 2011.

Dari 43 orang WNI/TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, 5 orang di antaranya telah mendapatkan putusan kasasi final (critical).9 Kelima orang TKI tersebut berjenis kelamin perempuan, yaitu: (1) Tuti Tursilawati; (2) Satinah binti Jumadi Ahmad; (3) Darmawati binti Tarjani; (4) Aminah binti Haji Budi; dan (5) Siti Zaenab binti Duhri Rupa. Dari kelima orang tersebut, kasus Tuti Tursilawati merupakan kasus yang paling berat, karena keputusan pengadilan telah final. Keputusan penjatuhan hukuman mati/eksekusi telah turun dari Raja Arab Saudi.10

Banyaknya permasalahan yang terjadi pada TKI, terutama TKW yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) menjadi salah satu alasan Pemerintah untuk melakukan moratorium (penghentian sementara) penempatan TKI yang bekerja sebagai PRT ke negara-negara penerima TKI. Untuk negara Arab Saudi, moratorium mulai diberlakukan pada tanggal 1 Agustus 2011,11 tidak lama berselang setelah terjadi kasus eksekusi hukuman mati terhadap Ruyati. Tindakan ini merupakan respons Pemerintah terhadap desakan untuk melakukan moratorium yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berbagai pihak lainnya, terutama organisasi masyarakat sipil dan aktivis pekerja migran.

Sebelumnya Pemerintah juga telah melakukan moratorium dengan Malaysia (25 Juni 2009),12 Kuwait (1 September 2009), dan Yordania (30

9 Menurut Juru Bicara Satgas TKI, per 5 November 2011 jumlah TKI yang terancam hukuman mati berjumlah 44 orang. Lihat “Masih Ada 44 TKI yang Terancam Hukuman Mati” http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/11/05/brk,20111105-365055,id.html, 5 November 2011, diakses 9 November 2011.

10 Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI), op.cit.

11 “Moratorium TKI: Layanan Ke Arab Saudi Distop,” Kompas, 28 Juni 2011 halaman 1.

12 Moratorium dengan Malaysia secara resmi telah berakhir pada tanggal 30 Mei 2011 ketika Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Perlindungan TKI Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Malaysia dengan pihak Pemerintah Malaysia (melalui Menteri Sumber Manusia) di Bandung, Jawa Barat.

Page 100: Buku Lintas Tim 2

100

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Juli 2010). Selain tindakan moratorium, untuk melindungi TKI, Pemerintah melalui Satgas TKI juga menunjuk kuasa hukum tetap secara jangka panjang untuk ditempatkan di di Arab Saudi dan di Malaysia. Dengan demikian setiap saat ada pengacara yang siap mendampingi TKI yang bermasalah di kedua negara tersebut.13

Untuk melindungi TKI, Pemerintah juga mengambil langkah untuk memulangkan TKI yang bermasalah dengan ijin tinggal di negara penempatan TKI atau sering disebut dengan TKI overstayers. Dari Januari hingga akhir Oktober 2011, berdasarkan data dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah, Pemerintah telah memulangkan 17.254 orang warga negara Indonesia/WNI dan TKI overstayers.14

Apakah langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah tersebut telah cukup untuk melindungi TKI yang bekerja di luar negeri? Apabila dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar TKI yang bekerja di luar negeri adalah perempuan, apakah perlindungan TKI selama ini telah memperhitungkan pengalaman perempuan dan berperspektif gender? Tulisan ini akan berusaha memaparkan bagaimana peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia mengatur mengenai perlindungan terhadap pekerja migran, terutama pekerja migran perempuan atau lebih dikenal dengan TKW dan berbagai permasalahan yang selama ini mereka hadapi.

13 Pemerintah menyiapkan 4 orang pengacara, masing-masing 1 orang di Malaysia, 1 orang di Riyadh, dan 2 orang di Jeddah. Arab Saudi dan Malaysia menjadi prioritas mengingat 80% kasus TKI terjadi di dua negara tersebut. Baca “Moratorium TKI: Layanan Ke Arab Saudi Distop,” Kompas, op.cit.

14 “Buruh Migran: Setelah Pulang, Lalu?” Kompas, 5 November 2011 halaman 17.

Page 101: Buku Lintas Tim 2

101

BAB IIPerATurAN PeruNdANG-uNdANGAN TeNTANG

PerlINduNGAN PeKerJA mIGrAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menjamin hak asasi setiap warga negara, termasuk perempuan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Hal itu terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

UUD NRI 1945 sangat menjunjung tinggi HAM. Pengakuan atas HAM manusia dalam UUD NRI 1945 bahkan diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Dari beberapa pasal yang terdapat dalam Bab XA, Pasal 28D ayat (2) secara khusus memberikan jaminan atas hak asasi manusia yang terkait dengan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Secara khusus, jaminan atas hak asasi perempuan sebagai bagian dari HAM terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) yang diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tanggal 24 Juli 1984. Sebelumnya Pemerintah Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 pada saat mengikuti Konperensi Perempuan se-Dunia ke II di Kopenhagen.

Pasal 11 Konvensi CEDAW mengatur tentang hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam ketengakerjaan, meliputi hak bekerja sebagai hak asasi manusia, hak atas kesempatan kerja yang sama, secara bebas memilih profesi dan pekerjaan, upah yang sama termasuk tunjangan dan perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan yang sama nilainya, maupun hak

Page 102: Buku Lintas Tim 2

102

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

atas jaminan sosial, perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja, dan perlindungan fungsi reproduksi.15

Secara nasional, kebijakan penempatan dan perlindungan terhadap pekerja migran, termasuk pekerja migran perempuan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN).

Secara keseluruhan, UU PPTKILN terdiri dari 16 bab dan 109 pasal. Dari keseluruhan pasal tersebut, terdapat 10 pasal yang mengatur mengenai perlindungan calon TKI/TKI, terdiri dari 8 pasal yang terdapat dalam bab khusus mengenai perlindungan TKI (Pasal 77 sampai dengan Pasal 84) dan 2 pasal yang terdapat dalam bab pembinaan (Pasal 87 dan Pasal 90). Apabila dihitung secara kuantitas dengan persentase, maka dari 109 pasal yang ada, hanya 10 pasal yang secara eksplisit mengatur mengenai perlindungan calon TKI/TKI atau sekitar 9%.

Dalam UU PPTKILN, selain terdapat pasal yang mengatur mengenai hak calon TKI dan TKI, juga terdapat bab yang khusus mengatur mengenai perlindungan TKI. Hak calon TKI/TKI diatur dalam Pasal 8, yang menyatakan bahwa:

Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:Bekerja di luar negeri;1. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan 2. prosedur penempatan TKI di luar negeri;Memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di 3. luar negeri;Memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta 4. kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya;Memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di Negara 5. tujuan;Memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh 6. tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;Memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan 7. perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan

15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Page 103: Buku Lintas Tim 2

103

Sali Susiana

martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan seuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri;Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan 8. kepulangan TKI ke tempat asal;Memperoleh naskah perjanjian yang asli.9.

Adapun masalah perlindungan TKI diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab VI, mulai Pasal 77 sampai dengan Pasal 84. Dalam Pasal 77 dinyatakan bahwa setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang diberikan mulai dari pra-penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna-penempatan.

Dalam UU PPTKILN perlindungan terhadap TKI di luar negeri dilaksanakan oleh Perwakilan Republik Indonesia (Pasal 78 ayat 1). Bahkan, untuk memaksimalkan perlindungan tersebut, Pemerintah dapat menetapkan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tertentu (Pasal 78 ayat 2). Selain itu, Perwakilan Republik Indonesia juga berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) dan TKI yang ditempatkan di luar negeri (Pasal 79).

Adapun bentuk perlindungan terhadap TKI selama masa penempatan diatur dalam Pasal 80, yang berupa:

Pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-1. undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional;Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/2. atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.

Selain Perwakilan Republik Indonesia, PPTKIS juga bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI sesuai dengan perjanjian penempatan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 82 UU PPTKILN.

Di samping diatur dalam bab tersendiri mengenai perlindungan (Bab VI), perlindungan TKI juga diatur dalam Pasal 87. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa perlindungan TKI merupakan salah satu bidang pembinaan yang menjadi kewajiban Pemerintah untuk melaksanakannya, selain pembinaan dalam bidang informasi dan bidang sumber daya manusia.

Page 104: Buku Lintas Tim 2

104

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Bentuk pembinaan dalam bidang perlindungan TKI tersebut selanjutnya diatur secara lebih terinci dalam Pasal 90, yang menyatakan bahwa pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang perlindungan TKI dilakukan dengan:

Memberikan bimbingan dan advokasi bagi TKI mulai dari pra-penempatan, 1. masa penempatan, dan purna-penempatan;Memfasilitasi penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI 2. dengan pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI;Menyusun dan mengumumkan daftar mitra usaha dan pengguna 3. bermasalah secara berkala;Melakukan kerja sama internasional dalam rangka perlindungan TKI.4.

Kebijakan tentang perlindungan TKI juga diatur dengan Peraturan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PERMEN 14/MEN/X/2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (Permenakertrans) yang ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 2010. Dalam Permenakertrans ini terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai perlindungan TKI.

Dalam Bab II Bagian Kedua tentang Pendaftaran, Rekrut, dan Seleksi, Paragraf 1 mengenai Pendaftaran, Pasal 8 ayat (1) ditegaskan bahwa “pencari kerja yang berminat bekerja di luar negeri harus mendaftarkan dirii pada dinas kabupaten/kota dengan tidak dipungut biaya.” Pembebasan biaya untuk calon TKI ini juga berlaku pada proses selanjutnya, yaitu rekrutmen. Pasal 13 menyatakan bahwa “Petugas PPTKIS dilarang memungut biaya rekrut kepada calon TKI.”

Calon TKI yang akan bekerja di luar negeri wajib mengikutii pembekalan akhir pemberangkatan (PAP). Kegiatan ini menjadi tanggung jawab PPTKIS, seperti diatur dalam Pasal 31 yang menegaskan bahwa “PPTKIS wajib mengikutsertakan calon TKI dalam Program PAP. Biaya pelaksanaan PAP ini dibebankan kepada anggaran pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 32 ayat (2) Permenakertrans).

Meskipun demikian, terdapat beberapa komponen biaya yang dapat dibebankan kepada calon TKI yang diatur dalam Pasal 45 Permenakertrans. Komponen tersebut meliputi:

Pengurusan dokumen jati diri;1. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi;2. Pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja;3. Visa kerja;4.

Page 105: Buku Lintas Tim 2

105

Sali Susiana

Akomodasi dan konsumsi selama masa penampungan;5. Tiket pemberangkatan dan retribusi jasa pelayanan bandara/6. airport tax;Transportasi lokal sesuai jarak asal TKI ke tempat pelatihan/7. penampungan;Jasa perusahaan; dan8. Premi asuransi.9.

Akan tetapi, untuk calon TKI yang telah ditanggung pengguna, PPTKIS dilarang membebankan komponen biaya penempatan tersebut kepada calon TKI (Pasal 45 ayat (2) Permenakertrans). Selain itu, PPTKIS juga wajib mencantumkan besarnya biaya penempatan yang akan dibebankan kepada calon TKI dalam Perjanjian Penempatan yang besarnya tidak boleh melebihii biaya yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Hal inii diatur dalam Pasal 47 Permenakertrans.

Ketika calon TKI telah bekerja di negara penempatan, PPTKIS wajib memantau keberadaan dan kondisi TKI selama masa penempatan. Pemantauan tersebut meliputi:

Nama dan alamat pengguna;1. Kesesuaian jabatan dan tempat kerja;2. Pemenuhan hak-hak TKI; dan3. Kondisi dan permasalahan yang dihadapi oleh TKI.4.

Kegiatan pemantauan tersebut dapat dilakukan secara langsung oleh PPTKIS maupun berkoordinasi dengan mitra usaha dan/atau pengguna di negara penempatan. Kewajiban PPTKIS ini diatur dalam Pasal 55 Permenakertrans.

Tanggung jawab PPTKIS berlanjut hingga TKI pulang ke Indonesia. Pasal 56 Permenakertrans mengatur bahwa kepulangan TKI dari negara penempatan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab PPTKIS. Untuk memastikan kepulangan TKI, PPTKIS harus menghubungi TKI dan/atau pengguna/mitra usaha selambat-lambatnya 3 bulan sebelum berakhirnya perjanjian kerja. PPTKIS juga wajib melaporkan jadwall kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara penempatan secara tertulis melalui mitra usaha dan/atau perwakilan PPTKIS dengan tembusan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala BNP2TKI.

Khusus terkait dengan kepulangan TKI, terdapat Peraturan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Nomor PER.01/KA/SU/I/2008 tentang Pelayanan Kepulangan Tenaga Kerja

Page 106: Buku Lintas Tim 2

106

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Indonesia dari Luar Negeri di Lingkungan Bandar Udara Soekarno Hatta (Perkap BNP2TKI) yang ditetapkan pada tanggal 23 Januari 2008. Dalam diktum pertama peraturan ini dinyatakan bahwa pelayanan TKI yang pulang dari luar negeri melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta dimulai sejak TKI turun dari pesawat/garbarata, lounge TKI Terminal 2 D, Gedung Pendataan Kepulangan TKI (GPKTKI) di Selapajang, hingga ke tempat tinggal TKI di daerah asal.

Pelayanan kepulangan TKI tersebut dilakukan berdasarkan filosofi dan semangat perlindungan kepada TKI yang dilaksanakan dengan prinsip keterbukaan, keamanan, kenyamanan, kemudahan, cepat, koordinatif, dan bebas dari pungutan yang tidak resmi sebagaimana dinyatakan dalam diktum kedua Perkap BNP2TKI. Adapun ruang lingkup pelayanan kepulangan TKI terdapat dalam diktum ketiga, yang meliputi:

Pemanduan keimigrasian;1. Pelayanan barang bawaan TKI;2. Pelayanan di 3. lounge TKI;Penyediaan transportasi menuju GPKTKI di Selapajang;4. Pelayanan pendataan;5. Pelayanan tiketing dan penjaluran;6. Penyediaan jasa transportasi kepulangan TKI ke tempat tinggal TKI;7. Penanganan TKI bermasalah;8. Pelayanan kesehatan;9. Pelayanan keamanan;10. Pemanfaatan fasilitas gedung dan area bisnis;11. Pelayanan TKI transit; dan12. Pelayanan informasi dan pengaduan.13.

Untuk melaksanakan berbagai bentuk pelayanan tersebut, dibentuk Satuan Pelayanan Kepulangan TKI yang dibantu tenaga honorer yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala BNP2TKI seperti ditetapkan dalam diktum keempat Perkap BNP2TKI. Bahkan untuk menjamin efektivitas pelaksanaan pelayanan kepulangan TKI, dibentuk Tim Pengawas. Hal ini terdapat dalam diktum ketujuh Perkap BNP2TKI.

Perkap BNP2TKI juga dilengkapi petunjuk pelaksanaan yang terdapat dalam Lampiran Perkap BNP2TKI. Dari tiga lampiran Perkap BNP2TKI, dua lampiran di antaranya terkait dengan perlindungan terhadap TKI yang pulang dari negara penempatan, yaitu:

Page 107: Buku Lintas Tim 2

107

Sali Susiana

Lampiran tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Kepulangan Tenaga 1. Kerja Indonesia dari Luar Negeri di Lingkungan Bandar Udara Soekarno Hatta;Lampiran tentang Kriteria Perusahaan Angkutan, Pemberian Sanksi dan 2. Pengecekan Kendaraan, Rumah Makan, Angkutan Pemulangan TKI.

Berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan TKI yang terdapat dalam UU PPTKILN, Permenakertrans, dan Perkap BNP2TKI, maka bila dilihat dari aspek waktu, perlindungan calon TKI/TKI meliputi tiga tahap, yaitu:

Tahap pra-penempatan;1. Tahap penempatan; dan2. Tahap purna-penempatan/reintegrasi.3.

Adapun bila dilihat dari aktor yang bertanggung jawab untuk melaksanakan perlindungan TKI, terdapat beberapa pihak, yaitu:

Pemerintah;1. Perwakilan Republik Indonesia; dan2. PPTKIS.3.

Keterkaitan antara berbagai pihak yang bertanggung jawab terhadap perlindungan TKI, tahapan TKI ditempatkan, dan bentuk perlindungan yang diatur dalam ketiga peraturan tersebut dapat disederhanakan dalam matriks berikut:

Page 108: Buku Lintas Tim 2

108

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

matriks 1Bentuk Perlindungan terhadap TKI Berdasarkan Tahap Penempatan dan Penanggung Jawab

TAHAP PENANGGUNG JAWAB BENTUK PERLINDUNGAN

Pra-penempatan Pemerintah Pemberian bimbingan dan advokasi1. Fasilitasi penyelesaian perselisihan atau 2. sengketa calon TKI/TKI dengan pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI

Penempatan Pemerintah Pemberian bimbingan dan advokasi

PPTKIS Perlindungan sesuai perjanjian penempatan

Perwakilan Republik Indonesia

Pemberian bantuan hukum;1. Pembelaan atas pemenuhan hak-hak TKI2.

TAHAP PENANGGUNG JAWAB BENTUK PERLINDUNGAN

Purna-penempatan/reintegrasi

Pemerintah Pemberian bimbingan dan advokasi

PPTKIS Pemanduan keimigrasian;1. Pelayanan barang bawaan;2. Pelayanan di 3. lounge TKI;Penyediaan transportasi menuju GPKTKI di 4. Selapajang;Pelayanan pendataan;5. Pelayanan tiketing dan penjaluran;6. Penyediaan jasa transportasi kepulangan TKI 7. ke tempat tinggal TKI;Penanganan TKI bermasalah;8. Pelayanan kesehatan;9. Pelayanan keamanan;10. Pelayanan TKI transit; dan11. Pelayanan informasi dan pengaduan.12.

Adapun di tingkat daerah, berdasarkan data dari Komnas Perempuan, terdapat 3 peraturan daerah (perda) yang mengatur mengenai pekerja migran, yaitu:16

Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Perlindungan Tenaga 1. Kerja Indonesia Kabupaten Cianjur ke Luar Negeri; Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2005 tentang Pengerahan Calon 2. Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Kabupaten Asal Sukabumi; danPeraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2006 tentang Penempatan, 3. Perlindungan, dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Kabupaten Lombok Timur.

16 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Pemantauan Komnas Perempuan tentang Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, halaman 48.

Page 109: Buku Lintas Tim 2

109

BAB IIImAsAlAh yANG dIhAdAPI PeKerJA mIGrAN

PeremPuAN

Dari total 4,3 juta orang TKI yang bekerja di 41 negara, sekitar 65% di antaranya memang masih didominasi oleh pekerja sektor informal. Mereka berprofesi sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan, dan PRT.17 Bagi banyak perempuan miskin, bekerja di luar negeri sebagai TKW telah menjadi salah satu alternatif yang dapat dipilih di tengah segala keterbatasan yang mereka hadapi. Tidak mengherankan jika setiap tahun terjadi peningkatan jumlah TKW yang bekerja ke luar negeri.

Setidaknya terdapat empat faktor yang dapat menjelaskan hal ini. Pertama, adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang telah menyebabkan banyak perempuan kehilangan pekerjaan. Kedua, adanya peningkatan permintaan terhadap pekerja perempuan di satu sisi dan terbatasnya kesempatan kerja bagi pekerja tidak terlatih dengan upah yang memadai di sisi yang lain. Ketiga, kebijakan pemerintah (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) yang mendorong perempuan untuk bekerja ke luar negeri melalui Perusahaan Penempatan TKI Swasta (PPTKIS). Dan keempat, peran aktif dari para calo yang membuat perempuan tergiur dan berani untuk bekerja ke luar negeri.18

Sejak krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998, terdapat sekitar 400.000 orang yang secara resmi tercatat sebagai TKI setiap tahunnya.19 Data Bank Dunia menunjukkan, pada tahun 2004, sekitar 80% dari TKI adalah TKW, dan 95% di antaranya bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga atau profesi lain yang sejenis. Seperti perawat bayi (babysitter) atau orang

17 Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI) pada tanggal 10 Oktober 2011, op.cit.

18 “Country Gender Assessment: Indonesia, op.cit., page 72-73.

19 Fact Sheet: “Migration, Remittance, and Female Migrant Workers,” Female Migrant Workers Research Team Bank Dunia (World Bank), Januari 2006, page 1.

Page 110: Buku Lintas Tim 2

110

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

lanjut usia (pramurukti).20 Data lain dari Bank Dunia menunjukkan, pada tahun yang sama jumlah TKI yang terdaftar mencapai 380.688 orang, dan 83% di antaranya adalah perempuan (TKW). Dari jumlah tersebut, lebih dari 90% TKW bekerja di sektor informal sebagai PRT.21

Hingga tahun 2008 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) memperkirakan jumlah pekerja migran telah mencapai 4.056.536 orang, yang tersebar di seluruh negara penempatan TKI.22 Sebagian besar di antaranya bekerja di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab, sedangkan sebagian lainnya ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong.23 Pada tahun 2010 angka ini bertambah menjadi sekitar 4,31 juta orang dan tersebar di 41 negara.24

Permasalahan yang dihadapi oleh perempuan yang bekerja sebagai TKW tidak hanya terjadi ketika mereka sedang bekerja di rumah majikan. Sebagaimana TKI pada umumnya, sebagian TKW juga menghadapi masalah yang berkaitan dengan ijin tinggal (TKI overstayers). Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh BNP2TKI, terlihat bahwa jumlah TKI overstayers yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan TKI laki-laki, seperti terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 2Jumlah WNI/TKI Overstayers yang Dipulangkan dengan KM Labobar 22 April 2011

Kategori Jumlah

Perempuan dewasa 2.132 orang

Laki-laki dewasa 31 orang

Anak-anak 93 orang

Bayi dan Balita 93 orangsumber: BNP2TKI

Permasalahan menjadi lebih rumit, karena sebagian TKW perempuan yang mengalami masalah dengan ijin tinggal tersebut sedang berada dalam kondisi

20 Country Gender Assessment: Indonesia, op.cit.,page 72.

21 Fact Sheet: “Migration, Remittance, and Female Migrant Workers,” op.cit., page 1.

22 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia (HAM) Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, halaman 14.

23 Ibid.

24 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan: Hilangnya Kendali Negara, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010, Jakarta: Komnas Perempuan, 2010, halaman 29.

Page 111: Buku Lintas Tim 2

111

Sali Susiana

hamil. Berdasarkan data yang diperoleh dari petugas di Madinatul Hujjaj25 per 13 April 2011, dari 1.588 orang TKI yang berada di tempat tersebut, 87 orang di antaranya sedang berada dalam kondisi hamil. Usia kehamilan mereka bervariasi, mulai 1 bulan hingga 8 bulan. Berikut data rinci mengenai usia kehamilan tersebut:

Tabel 3Usia Kehamilan TKI/WNI Overstayers di Madinatul Hujjaj Jeddah Per 13 April 2011

Usia Kehamilan Jumlah

1 bulan 1 orang

2 bulan 6 orang

3 bulan 17 orang

4 bulan 22 orang

5 bulan 20 orang

6 bulan 12 orang

7 bulan 6 orang

8 bulan 3 orang

Jumlah: 87 orangsumber: Madinatul Hujjaj, Jeddah, Arab Saudi.

Menurut Irianto, masalah yang dihadapi pekerja migran secara umum dapat diidentifikasi dalam beberapa tahapan, yaitu pada saat proses rekrutmen, pra-pemberangkatan, penempatan di negara tujuan, dan pada saat pulang ke kampung halaman.26 Pada saat proses rekrutmen, terdapat banyak penipuan (informasi menyesatkan mengenai jenis dan kondisi pekerjaan), penjeratan hutang, pemalsuan dokumen, dan tidak adanya kontrak yang ditandatangani.27

Dalam tahap pra-pemberangkatan, masalah yang sering terjadi adalah calon TKI terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan makan dan akomodasi selama di tempat penampungan, masalah kesehatan, pemalsuan dokumen resmi dan penahanan yang tidak sah.28 Kondisi fisik fasilitas akomodasi di penampungan juga tidak memenuhi standar kesehatan.29 Selain itu, calon TKI juga rawan terhadap tindak pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan

25 Madinatul Hujjaj yang berada di Jeddah, Arab Saudi merupakan tempat penampungan sementara bagi WNI/TKI overstayers yang akan dipulangkan ke Indonesia.

26 Sulistyowati Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global, Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, halaman 12.

27 Misra dan Rosenberg, dalam Sulistyowati Irianto, ibid.

28 Country Report 2006, dalam Sulistyowati Irianto, ibid.

29 ibid.

Page 112: Buku Lintas Tim 2

112

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

transportasi yang berbahaya.30 Adapun masalah yang dihadapi di negara tujuan adalah pelanggaran hak pekerja, situasi kerja yang tidak aman, kekerasan fisik, psikologis dan seksual, dikurung, terjerat hutang, tidak dibayar, pemotongan gaji, dipenjara, identitas, dan dokumen perjalanan yang ditahan.31

Masalah yang dihadapi oleh pekerja migran perempuan lebih banyak lagi. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pekerja migran perempuan, terutama yang bekerja di sektor domestik sebagai PRT dan pekerja yang tidak berdokumen (undocumented) memiliki kerentanan yang tinggi untuk mengalami tindak pelanggaran HAM yang disebabkan oleh jenis kelamin, karakter, tempat (locus) pekerjaan, dan status hukum.32

Data dari BNP2TKI menunjukkan, pada tahun 2008 terdapat 3.470 kasus penganiayaan, 1.889 kasus pelecehan seksual, 3.797 kasus gaji tidak dibayar, 1.547 kasus yang terkait dengan ketidaklengkapan dokumen, 8.742 kasus TKI yang sakit akibat kerja, dan 633 kasus kecelakaan kerja.33 Walaupun kasus-kasus tersebut tidak diperinci berdasarkan jenis kelamin dan jenis pekerjaan, namun mengingat 90% TKI adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dari TKI yang mengalami kasus pelanggaran HAM adalah pekerja migran perempuan yang bekerja di sektor tersebut.

Data yang dipaparkan oleh BNP2TKI tersebut belum termasuk kasus yang dialami oleh pekerja migran tidak berdokumen (undocumented) yang sering mengalami kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Setiap tahun terdapat sekitar 30.000 orang pekerja migran yang dideportasi karena tidak berdokumen.34 Pekerja migran yang dideportasi menghadapi perlakuan yang tidak manusiawi sejak di tempat mereka bekerja hingga kepulangan ke tanah air.

Masalah tersebut dapat terjadi di setiap negara tujuan TKI. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pekerja Migran Indonesia terhadap 1.085 TKI yang bekerja di Hongkong menunjukkan temuan berikut:35

30 ibid.

31 Sulistyowati Irianto, ibid, halaman 13.

32 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia (HAM) Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, op.cit.

33 ibid.

34 Data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tahun 2009 dalam Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, ibid.

35 Komnas Perempuan sebagaimana dikutip Sulistyowati Irianto, op.cit., halaman 13.

Page 113: Buku Lintas Tim 2

113

Sali Susiana

Setidaknya 51% TKI dibayar lebih rendah dari upah minimum yang 1. ditetapkan pemerintah;47% TKI bekerja lebih dari 8 jam sehari;2. 25% melakukan pekerjaan ilegal;3. 16% tidak memiliki akomodasi yang layak.4.

Adapun data dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi tentang kasus TKI menunjukkan, dari tahun 1994 hingga 1997 terdapat 12.534 kasus yang ditangani, 32% di antaranya berkaitan dengan pelanggaran hak pekerja, seperti gaji yang tidak dibayar, pemotongan gaji, jam kerja yang panjang, beban kerja yang berat, dan pelanggaran kontrak.36

Kasus yang dihadapi oleh TKI, terutama pekerja migran perempuan tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran hak pekerja, melainkan juga tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan tentang survei pekerja domestik Indonesia di Hongkong yang dilaksanakan pada Juli 2001, 60% (67 orang perempuan) dari responden mengalami penyerangan seksual.37 Demikian pula dengan yang terjadi Arab Saudi. Data dari KBRI di Arab Saudi menunjukkan selama tahun 1994-1997 terdapat 1.105 pekerja migran yang mengalami kekerasan fisik, 2.182 orang mengalami kekerasan psikologis, dan 612 orang mengalami kekerasan seksual.38

Komnas Perempuan mengelompokkan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dialami oleh pekerja migran menjadi beberapa kategori seperti terlihat dalam tabel berikut:

36 Ibid.

37 Ibid.

38 Ibid.

Page 114: Buku Lintas Tim 2

114

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Tabel 4Tindak Pelanggaran HAM terhadap Pekerja Migran

No KategoriHak yang DIlindungi

Tindak Pelanggaran yang Mungkin Terjadi

1 Hak atas pekerjaan dan sumber penghidupan

Terjerat hutang;1. Mengalami penipuan, tidak jadi berangkat ke negara tujuan;2. Menunggu keberangkatan terlalu lama;3. Diselundupkan tanpa dokumen yang sah;4. Dipalsukan identitas diri untuk kepentingan kerja;5. Gaji tidak dibayar;6. Gaji dibayar setengah/tidak sesuai perjanjian;7. Pemotongan gaji di luar prosedur;8. Over charging9. ;Bekerja melebihi masa kontrak;10. Tempat bekerja tidak sesuai perjanjian;11. Bekerja melebihi jam kerja;12. Pelarangan berkumpul dan mendirikan serikat pekerja;13. Penolakan untuk ijin cuti, istirahat mingguan, dan pembayaran biaya 14. lembur;Kondisi kerja yang tidak layak, buruk, atau berbahaya;15. Tidak ada upaya hukum terhadap pelanggaran hak pekerja;16. Pemberian paspor, visa, dan dokumen lain yang merupakan 17. dokumen untuk menjadi pekerja migran;Paspor dan dokumen lain dihilangkan/diambil/dipegang pihak lain;18. Pembatasan kebebasan untuk berpindah dari satu pekerjaan ke 19. pekerjaan lain.

2 Hak atas kesehatan reproduksi

Pemeriksaan kesehatan tanpa ijin yang bersangkutan;1. Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi;2. Pemaksaan aborsi;3. Dipaksa bekerja dalam keadaan sakit;4. Tidak mendapatkan layanan kesehatan ketika sakit;5. Tidak ada jaminan keselamatan kerja.6.

Hak atas hidup, kemerdekaan, kesetaraan, integritas diri, dan bebas dari kekerasan

Dijual kepada perusahaan penyalur tenaga kerja yang lain;1. Perkosaan;2. Pelecehan seksual;3. Penyiksaan;4. Penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan 5. martabat;Pembunuhan;6. Perbudakan/tindakan setara perbudakan;7. Penyekapan;8. Perdagangan perempuan;9. Dijual/dipekerjakan ke beberapa majikan;10. Mendapat ancaman/intimidasi.11.

Page 115: Buku Lintas Tim 2

115

Sali Susiana

Hak atas kesetaraan di depan hukum

Penolakan atas asas praduga tak bersalah;1. Tidak mendapatkan waktu dan fasilitas yang memadai selama proses 2. peradilan dan di penjara;Peradilan yang tidak bebas dan berpihak;3. Penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang;4. Tidak memperoleh pengadilan yang secepatnya;5. Tidak mendapatkan akses ke pengadilan;6. Tidak mendapatkan bantuan pembela;7. Pelanggaran hak-hak narapidana.8.

Hak atas standar hidup dan jaminan sosial

Asuransi tidak dibayarkan, tidak dapat diklaim;1. Pembatasan akses terhadap layanan kesehatan;2. Tindakan yang melanggar hak-hak atas makanan yang sehat;3. Pembatasan akses terhadap lingkungan yang sehat.4.

Hak sipil politik Keluarga tidak mendapat informasi memadai tentang keberadaan 1. perempuan pekerja migran;Larangan berkomunikasi dengan keluarga/teman;2. Hilang kontak;3. Pembatasan terhadap akses mendapatkan informasi;4. Pembatasan/larangan hak untuk berkumpul, berserikat, atau 5. berorganisasi;Larangan/pembatasan untuk mengenakan pakaian tertentu;6. Larangan/pembatasan hak untuk kembali/pulang ke tempat/negara 7. asal;Deportasi;8. Larangan beribadah. 9.

Hak atas budaya Pembatasan penggunaan bahasa tertentu;1. Pembatasan praktik budaya tertentu.2.

sumber: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia (HAM) Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas Perempuan, 2009, halaman 15-16.

Selain itu, hasil pemantauan Komnas Perempuan terhadap tiga perda yang mengatur mengenai pekerja migran di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat) serta Kabupaten Lombok Timur (Provinsi Nusa Tenggara barat) menyimpulkan bahwa telah terjadi pelembagaan pengabaian hak atas perlindungan dalam kebijakan pekerja migran.39 Pengabaian terhadap hak atas perlindungan tersebut merupakan pelanggaran hak konstitusional perempuan, yang secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

39 Ibid.

Page 116: Buku Lintas Tim 2

116

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Tabel 5Pelanggaran Hak Konstitusional Pekerja Migran Perempuan

Pengalaman Perempuan Hak yang Dilanggar Jaminan Hak dalam Konstitusi

Tidak ada perlindungan, khususnya dari kerentanan kekerasan seksual

Hak atas perlindungan dari 1. kekerasan dan diskriminasiHak atas perlakuan khusus2. Hak atas penghidupan yang layak3.

Pasal 28B ayat (2)1. Pasal 28H ayat (2)2. Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat 3. (2) dan pasal 28I ayat (1)

sumber: diolah dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Pemantauan Komnas Perempuan tentang Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, Jakarta: Komnas Perempuan, 2009.

Dari tabel tersebut jelas bahwa selain masalah yang dihadapi oleh TKI pada umumnya, pekerja migran perempuan atau TKW juga menghadapi masalah yang berkaitan dengan seksualitasnya. Pekerja migran perempuan lebih rentan terhadap tindak kekerasan seksual daripada pekerja migran laki-laki.

Berdasarkan hasil pemantauan dari Komnas Perempuan terhadap tiga perda yang mengatur mengenai pekerja migran, hanya satu perda yang sudah berperspektif gender, yaitu perda Kabupaten Lombok Timur.40 Dalam perda ini diatur mengenai batas usia minimum TKI adalah 18 tahun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini dimaksudkan agar perempuan pekerja migran telah memiliki kematangan emosional.41 Sebaliknya, dua perda lainnya tentang pekerja migran lebih mengutamakan masalah prapenempatan yang berkaitan dengan perijinan, retribusi, dan biaya pembinaan.42

Permasalahan yang dihadapi TKI tidak hanya terjadi pada masa pra-penempatan maupun pada saat penempatan. Ketika kembali ke tanah air, mereka juga masih menghadapi berbagai persoalan, tidak terkecuali pekerja migran perempuan. Studi yang dilakukan oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2011 menemukan adanya berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada saat TKI telah berada di GPKTKI di Selapajang, Bandar Udara Soekarno-Hatta, yaitu:43

Mekanisme seleksi TKW berdasarkan penampilan fisik;1. Ketidakjelasan jadwal TKI ke kampung halaman;2. Pembatasan hak TKI (tidak boleh dijemput pihak keluarga);3.

40 Ibid.

41 Ibid.

42 Ibid.

43 Iva Kusuma dkk, Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal Khusus TKI, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011 halaman 42-43.

Page 117: Buku Lintas Tim 2

117

Sali Susiana

Keterbatasan pengetahuan petugas mengenai 4. trafficking;Minimnya fasilitas yang berkaitan dengan fungsi reproduksi TKW;5. Pemerasan oleh porter;6. Pemerasan berkedok bisnis;7. Pelecehan seksual;8. Pemerasan di atas angkutan dalam perjalanan pulang ke kemapung 9. halaman.

Secara lebih rinci modus berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut dapat dilihat pada matriks berikut:

Matriks 2Modus Kekerasan dan Pelanggaran terhadap TKI di Terminal 4 GPKTKI

Bentuk Kekerasan Lokasi Uraian Pelaku

Mekanisme seleksi TKW berdasarkan penampilan fisik

Terminal 2 Mencirikan TKW dengan penampilan/pakaian tertentu (berpenampilan lugu dan berjilbab, atau TKW dari Hongkong berpenampilan seronok)

Petugas PelayananKeimigrasian

Ketidakjelasan jadwal kepulangan TKI ke kampung halalman

Terminal 4 Transportasi darat:Armada pengantar harus terisi penuh (berisi 10 kursi) dengan TKI lain yang sama daerah tujuannyaTransportasi udara:TKI baru dapat pulang bila petugas BNP2TKI mendapatkan tiket dengan harga murah

Petugas Pelayanan Tiketing

Pembatasan hak (tidak boleh dijemput keluarga)

Terminal 2Terminal 4

Beralasan untuk menyelamatkan TKI dari pemerasan dan penipuan, meskipun telah dijelaskan bahwa keluarga sudah menunggu di terminal 2

Petugas Pelayanan Pemulangan

Pengetahuan petugas terhadap trafficking minim

Terminal 4 Petugas pendataan tidak cermat mengklasifikasikan pengaduan atas kasus kekerasan yang dilaporkan dan menganggapnya sebagai persoalan biasa/imigrasi serta tidak segera menghubungi pihak kepolisian/satgas trafficking

Petugas Pendataan,Petugas Penanganan TKI Bermasalah

Minimnya fasilitas kebutuhan khusus TKW berkaitan dengan fungsi reproduksi

Terminal 4 Toilet tidak terawat;Tidak tersedia ruang khusus untuk TKW hamil, menyusui, dan membawa anak;Ruang menginap di lantai 2 tidak aksesibel;Ruang pelayanan psikologi tidak memadai;Terbatasnya petugas.

Page 118: Buku Lintas Tim 2

118

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Pemerasan oleh porter

Bus menuju Terminal 4

Mengancam akan membuang kopor jika tidak membayar jasa porter;Memaksa TKW untuk membayar “seikhlasnya”;Meminta paksa barang berharga TKW (misalnya telepon genggam).

PorterPetugas Pelayanan Barang Bawaan TKI

Pemerasan berkedok bisnis

Terminal 4 Kurs valuta asing di gerai penukaran uang di atas rata-rata jharga pasar;Memaksa dan mengintimidasi TKI untuk menukarkan uang di tempat penukaran uang;Harga pulsa dan makanan jauh di atas rata-rata harga jual;

Pegawai penukaran uang, pegawai toko handphone, penjaga kantin

Pelecehan seksual Terminal 4 Menyebut TKW dengan panggilan “sayang” Petugas penukaran uang

Pemerasan di angkutan pemulangan

perjalanan Radius 2 km sebelum tiba di kampung halaman, TKW satu persatu dipanggil ke bangku sebelah pengemudi, kemudian diminta memberikan uang tips secara paksa (hingga Rp 1 juta)

Petugas penyediaan jasa transportasi (pengemudi, kernet, dan oknum polisi yang mengawal)

sumber: Iva Kusuma dkk, Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal Khusus TKI, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011 halaman 42-43.

Page 119: Buku Lintas Tim 2

119

BAB IVPeNuTuP

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh TKI, termasuk di dalamnya pekerja migran perempuan, terlihat bahwa pekerja migran perempuan memiliki permasalahan yang lebih kompleks dibanding TKI laki-laki. Hal ini tidak terlepas dari budaya patriarki yang masih berlaku pada sebagian masyarakat dan terkait erat dengan seksualitas perempuan.

Pada saat bekerja di negara penempatan, perempuan masih dipandang tidak lebih dari sekedar objek seksual, Hal ini membuat posisi perempuan rentan terhadap berbagai tindak kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual hingga perkosaan. Kondisi tersebut masih berlanjut ketika pekerja migran perempuan tiba di tanah air, dimana mereka sering mengalami pelecehan seksual dan berbagai bentuk diskriminasi maupun pelanggaran HAM dari petugas yang seharusnya melindungi mereka.

Hak atas perlindungan fungsi reproduksi perempuan juga belum diperhitungkan dalam kebijakan penempatan dan perlindungan TKI. Kebutuhan dan pengalaman perempuan yang berbeda dengan laki-laki tidak digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan, sehingga kebijakan yang dihasilkan belum berperspektif gender. Contoh paling sederhana adalah kebutuhan akan pembalut bagi pekerja migran perempuan yang sedang mendapat menstruasi. Demikian pula dengan pekerja migran perempuan yang pulang dalam kondisi hamil, menyusui atau membawa anak karena berbagai sebab.

Apabila melihat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan TKI, terlihat bahwa aspek perlindungan masih belum menjadi fokus utama dalam kebijakan penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri. Sebagai contoh, UU PPTKILN lebih banyak mengatur mengenai mekanisme penempatan daripada perlindungan TKI. Pada tingkatan yang lebih rendah, Permenakertrans dan Perkap BNP2TKI yang mengatur kepulangan TKI

Page 120: Buku Lintas Tim 2

120

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

sebenarnya lebih memperhatikan aspek perlindungan terhadap TKI dibanding UU PTKILN, namun implementasi di lapangan masih menunjukkan banyaknya pelanggaran terhadap kedua aturan tersebut.

Mengingat hak TKI termasuk di dalamnya pekerja migran perempuan telah dijamin dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan, maka sudah saatnya kebutuhan dan pengalaman perempuan diperhitungkan dalam penyusunan kebijakan yang berkaitan dengan penempatan dan perlindungan TKI. Oleh karena itu, perspektif gender perlu diintegrasikan ke dalam seluruh kebijakan yang berkaitan dengan penempatan dan perlindungan TKI, sehingga diskriminasi dan pelanggaran HAM terhadap pekerja migran perempuan yang selama ini masih terus berlangsung dapat diminimalisasi.

Page 121: Buku Lintas Tim 2

121

dAFTAr PusTAKA

“Country Gender Assessment: Indonesia,” Southeast Asia Regional Department, Regional and Sustainable Development Departement, Asia Development Bank, Manila, Philippines, July 2006.

Fact Sheet: “Migration, Remittance, and Female Migrant Workers,” Female Migrant Workers Research Team Bank Dunia (World Bank), Januari 2006.

Iva Kusuma dkk, Sambutlah Kepulangan Kami: Studi Efektivitas dan Dampak Perlindungan Terminal Khusus TKI, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2011.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Laporan Pemantauan Komnas Perempuan tentang Kondisi Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di 16 Kabupaten/Kota pada 7 Provinsi, Jakarta: Komnas Perempuan, 2009.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Instrumen Pemantauan Hak Asasi Manusia (HAM) Pekerja Migran dan Mekanisme Penanganan Korban Pelanggaran HAM, Jakarta: Komnas Perempuan, 2009.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Teror dan Kekerasan terhadap Perempuan: Hilangnya Kendali Negara, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2010, Jakarta: Komnas Perempuan, 2010.

Liza Hadiz dan Sri Wiyanti Eddyono, Pembakuan Peran Gender dalam Kebijakan-kebijakan di Indonesia, Jakarta: LBH-APIK, 2005.

Sulistyowati Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global, Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.

Page 122: Buku Lintas Tim 2

122

Perlindungan Pekerja Migran Perempuan

Tim Peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI, Jakarta: The Institute for Ecosoc Rights, 2010.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

surat Kabar:

“Buruh Migran: Setelah Pulang, Lalu?” Kompas, 5 November 2011.

“Indonesia Harus Segera Hapus Hukuman Mati,” Kompas, 23 Juni 2011.

“TKI Tewas Dibunuh di Saudi,” Media Indonesia, 19 November 2010.

“Jenazah Kikim Gagal Dipulangkan,” Republika, 12 Juli 2011.

“Paspor Mendiang TKI DIhilangkan Aparat,” Media Indonesia, 12 Juli 2011.

“Moratorium TKI: Layanan Ke Arab Saudi Distop,” Kompas, 28 Juni 2011.

dokumen resmi:

Bahan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia (Timsus TKI DPR RI) dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati (Satgas TKI), 10 Oktober 2011.

Internet:

Permohonan Ampunan Dikirim ke Saudi, http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/435759/ diakses 14 Oktober 2011.

Page 123: Buku Lintas Tim 2

123

Sali Susiana

TKI Terancam Hukuman Mati Mundur Saja kalau Tak Mampu Selamatkan TKI! Ary Wibowo | Inggried Dwi Wedhaswary | Jumat, 14 Oktober 2011 | 13:47 WIB http://nasional.kompas.com/read/2011/10/14/13470656/Mundur.Saja.kalau.Tak.Mampu.Selamatkan.TKI., diakses 20 Oktober 2011.

http://id.mg6.mail.yahoo.com/neo/launch?.rand=0s9fneik6sjr4 diakses 25 Oktober 2011.

“Masih Ada 44 TKI yang Terancam Hukuman Mati” http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/11/05/brk,20111105-365055,id.html, 5 November 2011, diakses 9 November 2011.

TKI Rentan Penularan HIV/AIDS,” http://www.pikiran-rakyat.com/node/ 164515, 7 November 2011, diakses 9 November 2011.

Page 124: Buku Lintas Tim 2
Page 125: Buku Lintas Tim 2

BAGIAN V

DIPLOMASI PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN INDONESIA

Humphrey Wangke1

1 Penulis adalah peneliti Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR-RI.

Page 126: Buku Lintas Tim 2
Page 127: Buku Lintas Tim 2

127

BAB IPeNdAhuluAN

latar Belakang A.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 menyebutkan bahwa peningkatan, pembinaan, dan perlindungan pekerja migran2 Indonesia merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional bidang ekonomi. Sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010-2014 menyebutkan, peningkatan pelayanan dan perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) merupakan salah satu dari 8 sasaran Pembangunan Nasional bidang Politik Luar Negeri dengan target pelayanan bagi 14.998 WNI bermasalah sampai dengan tahun 2014. Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan ini antara lain adalah:3

Peningkatan jumlah pelayanan warga yang diperkuat; 1. Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas penampungan di Perwakilan RI 2. di luar negeri; Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas repatriasi; 3. Jumlah WNI yang difasilitasi dalam proses deportasi; 4. Jumlah WNI yang mendapatkan fasilitas bantuan hukum; 5. Terbentuknya 6. data base WNI dan BHI di tiap Perwakilan RI di luar negeri.

Karena pekerja migran Indonesia merupakan bagian dari WNI yang berada di luar negeri, maka dapat dipastikan bahwa pekerja migran Indonesia merupakan bagian dari target pelayanan dan perlindungan yang diberikan dalam kerangka RPJMN, dan isu perlindungan pekerja migran Indonesia

2 Secara internasional, pengertian pekerja migran adalah “a person who is to be engaged, is engaged or has been engaged in a remunerated activity in a State of which he or she is not a national”, lihat pasal 2 International Convention of the Rights of All Migrant Workers and Their Family.

3 Teguh Wardoyo, SH., “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 59-60.

Page 128: Buku Lintas Tim 2

128

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

adalah salah satu prioritas tidak hanya dalam diplomasi namun juga politik luar negeri Indonesia. Dengan kata lain perlindungan kepentingan warga negara merupakan misi primer dalam konteks hubungan diplomatik dan konsuler. Karena mayoritas WNI yang berada di luar negeri merupakan pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor-sektor informal dan rentan mengalami berbagai permasalahan pelik pada masa penempatannya, maka diplomasi yang bertujuan untuk perlindungan pekerja migran Indonesia serta pelayanan dan perlindungan oleh diplomat Indonesia merupakan hal mutlak untuk dilaksanakan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri berada kurang lebih di 17 negara yang tersebar di wilayah Asia Tenggara dan Timur seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Hong Kong; wilayah Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Qatar dan Yordania, serta negara-negara di wilayah Eropa.

Dalam catatan Migrant Care, jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri mencapai 6 juta orang.4 Dari jumlah tersebut hampir 80% adalah perempuan yang mayoritas bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, menurut data dari Organisasi Migrasi Internasioal (International Organization for Migration), terdapat 5 juta pekerja migran.5 Dari jumlah tersebut, sebagian terbesar didominasi oleh pekerja migran Indonesia. Seperti menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pada tahun 2010, jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia tercatat 2.679.536 orang dengan jumlah remitansi mencapai 6,6 milyar dolar AS. Jumlah tersebut merupakan 65 persen dari total pekerja migran yang bekerja di Malaysia. Kondisi yang sama juga terlihat di Singapura. Dari 198.000 pekerja migran yang bekerja di Singapura, jumlah pekerja migran Indonesia mencapai 80.150 orang. Sedangkan di Brunei Darussalam, dari 148.00 tenaga kerja yang bekerja di sana, jumlah pekerja migran Indonesia mencapai 40.500 orang.

Meskipun jumlah pekerja migran Indonesia sangat besar, akan tetapi perlindungan terhadap mereka selama ini sangat lemah. Berbagai aksi kekerasan atau pelecehan terhadap pekerja migran Indonesia praktis terjadi di hampir semua negara penempatan. Di Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan, para pekerja migran Indonesia mendapatkan perlakuan yang buruk. Sepanjang tahun 2009, menurut catatan Migrant Care, angka

4 Anis Hidayah, “Wajah Diplomasi Perlindungan Perlindungan Buruh Migran Indonesia”, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 104.

5 “Titik Temu Masih Jauh”, Kompas 15 April 2011, hal. 17.

Page 129: Buku Lintas Tim 2

129

Humphrey Wangke

kematian terhadap pekerja migran Indonesia mencapai 1.018 orang di seluruh negara penempatan.6 Dari jumlah tersebut, 683 pekerja migran Indonesia atau 67% meninggal di Malaysia. Dari seluruh kematian tersebut, 54% diantaranya adalah laki-laki, 39% adalah perempuan dan 7% tidak teridentifikasi. Dari jumlah kematian tersebut, diketahui ada beberapa macam penyebab kematian, diantaranya karena sakit, aksi kekerasan, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, kebakaran, bencana alam, bunuh diri dan lain-lain. Karena itu sangat ironis bahwa ditengah-tengah besar remitansi yang diterima negara terdapat angka kematian yang jumlahnya signifikan.

Untuk mencegah resiko semakin meningkatnya jumlah pekerja migran Indonesia yang menjadi korban kekerasan di negara penempatan, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberlakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman tenaga kerja. Seperti pada bulan Mei 2009, pemerintah Indonesia menghentikan sementara (moratorium) pengiriman pekerja migran ke Malaysia. Demikian pula ke Arab Saudi, pemerintah menghentikan sementara pengiriman pekerja migrannya sejak 1 Agustus 2011. Penghentian ini dilakukan sebagai upaya untuk memaksa pemerintah Malaysia dan Arab Saudi melakukan perlindungan terhadap para pekerja migran Indonesia yang bekerja di negara tersebut. Selama MoU antara Indonesia-Malaysia belum selesai diperbaharui, pemerintah Indonesia tidak akan mengirim tenaga kerja ke negara tersebut.7

Namun masalahnya, perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri tidaklah berdiri sendiri. Sebab, jika pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan alternatif di dalam negeri maka para pekerja migran Indonesia tersebut akan mencari pekerjaan di luar negeri dengan segala resiko yang harus diterima. Faktanya, moratorium yang diberlakukan pemerintah tidak mampu membendung keinginan para pekerja migran Indonesia untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi mencatat mencatat tidak kurang dari 11.000 orang pekerja migran Indonesia yang telah bekerja di Malaysia sejak moratorium diberlakukan. Dapat dipastikan bahwa mereka berangkat melalui jalur ilegal. Dengan kata lain dapat dipastikan bahwa tidak mudah membendung arus pekerja migran Indonesia ke Malaysia tersebut. Ada tiga kendala yang menjadi penyebabnya, yaitu:8 pertama, kebijakan

6 Anis Hidayah, ibid, hal. 106.

7 Pada bulan Mei 2011, di Bandung, kedua negara telah menandatangani MoU yang diperbaharui.

8 “Pemerintah Kembali Kirim TKI ke Malaysia”, dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/, diakses tanggal 15 April 2011.

Page 130: Buku Lintas Tim 2

130

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

bebas visa berkunjung ke Malaysia. Kedua, penegakan hukum yang masih lemah. Ketiga, terbukanya daerah perbatasan membuat pemerintah kesulitan mendeteksi lalu lintas migrasi penduduk.

PermasalahanB.

Hingga saat ini belum ada kerangka hukum internasional yang mengatur tentang migrasi pekerja migran. Kebijakan tentang migrasi umumnya dilakukan oleh pemerintah pada tingkat nasional tanpa melakukan konsultasi dengan pemerintah negara lainnya sejak hak untuk menentukan seseorang boleh memasuki wilayah suatu negara atau tidak, apa tujuan, dan berapa lama seseorang boleh tinggal, menjadi masalah kedaulatan negara. Dalam banyak kasus, kebijakan semacam itu selanjutnya diimplementasikan melalui persetujuan bilateral. Juga ada beberapa konvensi internasional terkait dengan hak-hak pekerja migran dan keluarganya yang mempunyai peran penting dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran di seluruh dunia namun sayangnya tidak dikuti dengan mekanisme penegakan atau kerangka pengaturan migrasi internasional yang bersifat mengikat. Karenanya, banyak negara pengirim yang mengembangkan kebijakan tentang pekerja migran tanpa secara khusus mengacu pada hak-hak para pekerja migran. Terbatasnya komitmen baik oleh negara pengirim maupun oleh negara penerima dalam melindungi pekerja migran menjadikannya sangat rawan terhadap pelanggaran-pelanggaran didalam semua tahapan proses migrasi. Memperhatikan kondisi yang demikian itu, maka yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah apa respon Indonesia terhadap pekerja migrannya yang sering mengalami perlakuan yang tidak semestinya?

Tujuan PenulisanC.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Bagaimana perlakuan buruk yang dialami oleh para pekerja migran pada umumnya; 2. Apa pentingnya pengaturan secara resmi pengiriman dan penempatan tenaga kerja migran; 3. Bagaimana diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap para pekerja migrannya.

Page 131: Buku Lintas Tim 2

131

BAB IIKerANGKA PemIKIrAN

Menteri Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim suatu ketika pernah mengatakan “politik luar negeri adalah apa yang kita mau sedangkan diplomasi adalah apa yang kita dapat”. Diplomasi pada dasarnya merupakan diskusi atau proses perundingan yang dilakukan secara verbal dengan tujuan untuk mempengaruhi atau mengubah posisi lawan bicara. Diplomasi juga dapat berarti sebagai sebuah perundingan tentang suatu masalah yang sedang dihadapi dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang dapat diterima oleh semua pihak. Karena itu, diplomasi sering disebut sebagai seni karena setiap situasi yang dihadapi memerlukan kemampuan dalam hal membujuk atau mempengaruhi namun pada saat yang bersamaan juga harus bersikap tegas.9 Lebih luas lagi, diplomasi seringkali digunakan sebagai upaya untuk memelihara komunikasi terbuka diantara pihak-pihak yang memiliki berkepentingan yang berbeda dengan harapan bahwa perbedaan pandangan ataupun perselisihan diantara kedua belah pihak dapat diselesaikan secara damai.

Didalam ilmu hubungan internasional, pemahaman tentang diplomasi salah satunya dapat kita ketahui dari pendapat yang dikemukakan oleh Ernest Satow yang mengatakan “diplomacy is the application of intellegent and tact to the conduct of officials relation between the governements of independents states”.10 Dari pemahaman yang dikemukakan itu terlihat bahwa implementasi diplomasi tidak dapat dipisahkan dari wewenang, fungsi dan tugas Kementerian Luar Negeri. Namun seiring dengan berkembanganya globalisasi dan demokratisasi di seluruh dunia, batas-batas profesional diplomasi telah meluas bukan lagi menjadi wilayah yang secara tradisional milik para diplomat yang berada di

9 Lihat, Jennifer Aiken and Eric Brahm, “Diplomacy”, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), Beyond Intractability, Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Januari 2005.

10 Lihat Lord Gore-Booth, (ed), Satow’s Guide to Diplomatic Practice, 5th edition, Longman Group Limited, New York, 1979, hal. 3.

Page 132: Buku Lintas Tim 2

132

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Kementerian Luar Negeri.11 Aktor-aktor diplomatik alternatif telah muncul didalam dan di luar negara dan seringkali bertindak secara independen diluar Kementerian Luar Negeri. Diplomasi sebagai profesi telah mengalami perubahan definisi, kualifikasi dan ekspektasi dari apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang diplomat.

Diplomasi publik yang ditandai oleh partisipasi aktor-aktor bukan negara dalam politik luar negeri dan hubungan internasional telah berkembang menjadi fenomena baru yang banyak terjadi di negara-negara maju dan mulai diikuti oleh negara-negara berkembang. Perbedaan antara masalah-masalah dalam negeri dengan kebijakan luar negeri secara perlahan menjadi kabur berkat adanya partisipasi multi aktor dalam diplomasi publik. Perkembangan penting dalam kegiatan diplomatik yang tidak lagi dilakukan oleh pelaku tradisional seperti Kementerian Luar Negeri pada akhirnya mengundang pertanyaan tentang definisi diplomasi, peran dan tugas Kementerian Luar Negeri. Diplomat yang berada di Kementerian Luar Negeri kini harus berhadapan dengan aktor-aktor baru dan agenda-agenda baru, yang menuntut mereka harus melakukan adaptasi terhadap perkembangan yang sedemikian cepat ini.

Di dalam proses adaptasi itu, ada Kementerian Luar Negeri yang berupaya menghalangi masuknya aktor-aktor non tradisional tersebut ke dalam arena internasional, atau ada Kementerian Luar Negeri yang secara bertahap menerima peran pelengkap dalam pertemuan internasional. Ada pula Kementerian Luar Negeri yang berhasil mengubah perannya dari yang semula sebagai pelaku utama dalam kebijakan luar negeri menjadi koordinator antar departemen dalam proses perumusan kebijakan luar negeri. Ada pula Kementerian Luar Negeri yang berperan sebagai lembaga konsultasi dalam pengambilan keputusan mengenai politik luar negeri dengan mendudukkan diplomatnya sebagai anggota delegasi dalam perundingan internasional. Semua perubahan ini mengindikasikan bahwa didalam era globalisasi saat ini, peran dan fungsi negara telah semakin terbatas. Implementasi “first track diplomacy” harus menyesuaikan dengan perkembangan globalisasi dunia saat ini.

Kecenderungan terhadap desentralisasi kekuasaan atau pengalihan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi telah meningkat secara dramatis.12 Melalui pendekatan semacam ini, petugas keamanan dan masyarakat yang berada di daerah akan lebih dilibatkan

11 Untuk lengkapnya lihat, Raymond Sayner and Lichia Yiu, “International Economics Diplomacy: Mutations in Post-modern Times”, Netherlands Institute on International Relations Clingendael, 2001, hal. 3.

12 Ibid.

Page 133: Buku Lintas Tim 2

133

Humphrey Wangke

dalam mengatasi masalah kejahatan transnasional yang secara tradisional selalu dimonopoli oleh pemerintah pusat. Sebagai ganti dari negosiasi antar-negara, maka pemerintah lokal diberi kewenangan untuk menjalin kerjasama yang bersifat sektoral dengan pihak luar negeri. Partisipasi dari aktor-aktor subnasional dalam hubungan antar negara telah membawa implikasi bagi Kementerian Luar Negeri untuk lebih meningkatkan kapasitas diplomasi dan diplomatnya.

Didalam perkembangannya, sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi dibidang informasi dan komunikasi, diplomasi tidak hanya digunakan sebagai ujung tombak perundingan dengan negara lain tetapi juga sebagai sarana untuk menjelaskan kepentingan nasional ke luar negeri. Di samping itu, diplomasi juga berfungsi untuk mengkomunikasikan apa yang terjadi di luar negeri ke dalam negeri. Seperti masalah perubahan iklim dan korupsi yang bukan hanya menjadi isu internasional tetapi juga telah menjadi ikon baru kebijakan Indonesia untuk memperbaiki managemen kehutanan dan birokrasi di Indonesia agar bebas dari korupsi. Pendekatan yang bersifat intermistik semacam ini menuntut diplomasi harus mampu menjelaskan kepada masyarakat tentang isu-isu yang berkembang di dalam negeri maupun yang di luar negeri secara seimbang sebab baik isu yang berkembang di dalam negeri maupun isu internasional mempunyai saling keterkaitan.

Sebagai sebuah proses perundingan yang bersifat formal, diplomasi yang dilakukan pemerintah dapat berlangsung secara bilateral antara dua negara atau multilateral melibatkan banyak negara, dan dapat berlangsung secara regional atau global melalui organisasi internasional antar-pemerintah (IGO). Diplomasi yang dilakukan pemerintah, pada dasarnya merupakan proses komunikasi yang dilakukan secara resmi dalam mengambil keputusan dengan lawan bicara.13 Namun sejalan dengan kompleksnya permasalahan yang dihadapi negara-negara di dunia, diplomasi saat ini tidak hanya melibatkan pemerintah saja tetapi juga kalangan non pemerintah.14 Oleh karena itu menurut Melissen, diplomasi juga berarti “the mechanism of representation, communication and negotiation through which states and other international actors conduct their business”.15 Definisi yang diberikan oleh Melissen ini memperlihatkan bahwa pelaku diplomasi bukan hanya monopoli negara atau pemerintah saja tetapi juga bisa dilakukan oleh aktor-aktor non-negara.

13 Susan Allen. “Track I Diplomacy”, dalam Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), op. cit.

14 Raymond Saner and Lichia Yiu, op. cit., hal.3

15 Jan Melissen, ed., Innovation in Diplomatic Practice, MacMillan, London, 1999, hal. xvi-xvii.

Page 134: Buku Lintas Tim 2

134

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Pelibatan kalangan informal ini dibutuhkan karena tidak selalu perundingan yang dilakukan oleh pemerintah berlangsung secara efektif. Tidak jarang perundingan yang dilakukan pemerintah mengalami deadlock karena masing-masing pihak tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dalam kondisi seperti ini, dialog tidak resmi yang dilakukan kalangan informal akan sangat membantu terutama untuk memelihara suasana dialogis diantara para pihak. Namun semakin luasnya representasi dan partisipasi kelompok kepentingan yang berbeda juga membawa resiko.16 Di satu sisi akan mendorong terjadinya demokratisasi proses politik pada tingkat nasional dan global namun di lain sisi juga akan membuat diplomasi dan hubungan internasional menjadi rawan terfragmentasi dan menjadi konflik terbuka karena terlalu banyak negara dan aktor bukan negara yang harus berhadapan karena memiliki tujuan yang berbeda.

Dalam masalah perlindungan pekerja migran Indonesia, kata diplomasi ternyata bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri, tetapi juga terkait dengan aktor atau pelaku, misi, pesan, argumentasi serta momentum.17 Momentum mempunyai peran penting karena kebijakan pemerintah untuk melakukan moratorium pengiriman pekerja migran di sektor informal karena ada satu peristiwa kekerasan atau penganiyaan seperti kasus Siti Hajar di Malaysia dan kasus Ruyati binti Satibi di Arab Saudi. Dari kejadian-kejadian seperti itu pemerintah Indonesia kemudian melakukan evaluasi terhadap pengiriman tenaga kerja ke Malaysia dan Arab Saudi dengan kebijakan moratorium.

16 Raymond Saner and Lichia Yiu, op. cit.

17 Lihat, Da’i Bachtiar, “Diplomasi Perlindungan WNI/TKI”, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Maret 2010, hal. 2.

Page 135: Buku Lintas Tim 2

135

BAB IIIPemBAhAsAN

Perlakuan Buruk terhadap Pekerja migranA.

Salah satu tantangan terbesar yang kini dihadapi negara-negara di dunia adalah lemahnya perlindungan terhadap hak-hak para pekerja migran. Belum pernah terjadi sebelumnya begitu banyak orang yang bergerak meninggalkan negara asal menuju ke segala penjuru dunia untuk mencari pekerjaan.18 Laju pertumbuhan ekonomi global telah menciptakan lebih banyak pekerja migran daripada sebelumnya. Pengangguran dan meningkatnya kemiskinan telah mendorong banyak pekerja di negara-negara berkembang untuk mencari pekerjaan di tempat lain, sementara negara-negara maju telah meningkatkan permintaan mereka untuk tenaga kerja, khususnya tenaga kerja terampil. Akibatnya, jutaan pekerja dan keluarga mereka melakukan perjalanan ke negara-negara selain negara mereka sendiri untuk mencari pekerjaan. Saat ini diperkirakan terdapat 175 juta migran di seluruh dunia, sekitar setengahnya adalah pekerja migran dan 15% diantaranya memiliki status yang tidak teratur.19 Dalam perkiraan itu, tentu saja, tenaga kerja migran dari Asia termasuk didalamnya. Jumlah ini akan terus berkembang seiring dengan semakin terbukanya hubungan antar-negara dewasa ini yang menandai babak baru era globalisasi. Salah satu masalah serius yang dihadapi oleh para tenaga kerja migran ini adalah pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan fundamental mereka.

Sungguh ironis, kemajuan ekonomi negara-negara di kawasan Asia yang sangat luar biasa seperti yang dipublikasikan oleh Organisasi Buruh Internasional tahun 2004 ternyata tidak diimbangi dengan perbaikan kondisi

18 Jumlah orang yang meninggalkan tanah kelahirannya meningkat pesat dari 76 juta orang pada tahun 1960-an menjadi 175 juta orang pada tahun 2000 dan 190,6 orang pada tahun 2005. Lihat, Graeme Hugo, “Internasional Migration and Development in Asia”, makalah yang dipresentasikan dalam Konperensi ke-8 International Conference of the Asia Pacific Migration Research Network , Fushou, Cina, 25-29 Mei 2007, hal. 2.

19 Untuk lengkapnya lihat, http://www.ilo.org/global/standards/subjects-covered-by-international-labour-standards/migrant-workers/, diakses 19 September 2011.

Page 136: Buku Lintas Tim 2

136

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

sosial, ekonomi dan keamanan para pekerja migran.20 Di seluruh Asia, jutaan tenaga kerja yang berasal dari Indonesia, Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Langka, Philipina, Vietnam dan Cina, bermigrasi mencari pekerjaaan di negara lain. Migrasi tenaga kerja ini memiliki dampak positif maupun negatif.21 Secara positif, banyak kemajuan perekonomian negara-negara di kawasan Asia yang terjadi karena “kehadiran” para pekerja migran itu. Bagi pekerja migran, migrasi menawarkan kesempatan untuk mendapatkan upah yang lebih baik daripada di negaranya sendiri. Sementara bagi negara pengirim, migrasi merupakan peluang untuk menawarkan pekerjaan bagi warganya di luar negeri sekaligus sebagai sumber devisa melalui remitan.22 Sedangkan bagi negara penerima, migrasi tenaga kerja merupakan peluang untuk mendapatkan tenaga kerja murah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.23

Sementara dari sisi negatif, bagi negara asal, masalah akan muncul sejak dari perekrutan, persiapan pemberangkatan, sampai dengan penempatan. Tingginya akan pengangguran, putus sekolah serta kemiskinan telah menciptakan tenaga kerja dengan kualitas rendah dalam jumlah besar. Mereka akan mudah tertarik bekerja di luar negeri karena gaji yang diterima lebih tinggi dibandingkan pekerjaan yang sama di negara asalnya. Praktek-praktek perekrutan secara illegal serta tingginya biaya perekrutan telah membawa para pekerja terjebak dalam utang ketika hidup di luar negeri. Pekerja migran yang tidak cukup terlatih seringkali tidak mengetahui tentang hak-hak yang dimilikinya sehingga sangat mudah dieksploitasi. Sementara bagi negara-negara transit dan tujuan akan menghadapi masalah-masalah yang terkait dengan migrasi secara illegal, jaringan organisasi kejahatan perdagangan dan penyelundupan orang serta masalah-masalah sosial lainnya.

Meskipun terlihat saling membutuhkan dan saling menguntungkan, akan tetapi para pekerja migran seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Ketidakadilan yang dialami buruh migran ini sangat beragam mencakup pengupahan yang dibawah standar gaji pada umumnya, jam kerja yang

20 Untuk lengkapnya lihat Laporan ILO, Towards a fair deal for migrant workers in the global economy, Genewa, 2004.

21 Graeme Hugo, “International Migration and Development in Asia”, makalah yang disampaikan dalam Konperensi Internasional ke-8 International Conference of the Asia Pacific Migration Research Network di Fuzhou, China, 25-29 May 2007, hal. 1.

22 IMF mendefinisikan remitan sebagai “current private transfers from migrant workers who are considered residents of the host country to recipients in the workers’ country of origin”. Lihat, World Bank, Migration and Remittances Factbook 2011, Second Edition, Washington DC, 2011, hal. xvi.

23 Siuaji Raja, “An Analysis on Indonesia Migrant Workers From the Perspective of Human Rights”, Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 133.

Page 137: Buku Lintas Tim 2

137

Humphrey Wangke

berlebihan, keselamatan yang terabaikan, perlakuan yang tidak manusiawi sampai dengan menjadi korban trafficking.24 Mereka praktis tidak mendapatkan kesempatan untuk berkeluh kesah dan selalu berada dalam ancaman di deportasi jika kehadiran mereka tidak dilakukan secara resmi. Dari sinilah kemudian muncul masalah hak asasi pekerja migran. Karena itu, tiba saatnya bagi semua pihak untuk mencari cara atau mekanisme yang tepat dalam melindungi dan memajukan hak-hak para pekerja migran, baik di negara asal maupun di negara tujuan.

Kecenderungan terpenting dari migrasi tenaga kerja di Asia adalah kepedulian pemerintah terhadap fenomena ini, termasuk didalamnya adalah upaya untuk mengendalikan dan memperbesar keuntungan yang diperoleh dari pergerakan tenaga kerja ini.25 Karena itu negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki tenaga kerja informal dalam jumlah besar kemudian mendirikan lembaga-lembaga yang bertugas memfasilitasi atau mempermudah pengiriman tenaga kerja migran ke luar negeri dengan tujuan untuk memperbesar penerimaan negara melalui remitan yang dikirim oleh pekerja migrannya serta dalam memberikan perlindungan.26 Keberadaan lembaga Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tidak terlepas dari keinginan pemerintah Indonesia untuk melindungi tenaga kerja migran Indonesia yang tereksploitasi di luar negeri. Demikian pula dengan di Filipina terdapat Philippine Overseas Employment Administration (POEA) yang dibentuk sejak tahun 1982 dengan tujuan untuk mengatur pola-pola perekrutan dan penempatan pekerja migran Filipina di luar negeri.27

Buruknya perlindungan terhadap para pekerja migran bukan hanya menjadi perhatian pengamat ataupun pemerintah saja tetapi juga parlemen. Seperti dalam pertemuan Asia Pacific Parlementarians Forum yang berlangsung di Ulan Bator, Mongolia, tanggal 23-27 Januari 2011, masalah pekerja migran telah mendapat perhatian serius. Pertemuan tersebut berhasil membahas dan menyepakati Resolution on Protection of the Rights of the Migrant Workers yang

24 Jacqueline Joudo Larsen, “Migration and people trafficking in southeast Asia”, Trends & Issues in crime and criminal justice, Vol. 401, Australian Institute of Crimonology, November 2010, hal. 3.

25 Lihat, Dr. Manuel Orozco, “Regional Integration? Trends and Patterns of Remittance flows within South East Asia”, terutama Bab II Migration Trends in Southeast Asia, August 2005, dalam http://www.adb.org/Documents/Reports/Workers-Remittance/chap2.pdf, diakses tanggal 19 september 2011, hal. 3-4.

26 Thailand, Filipina dan Indonesia merupakan contoh negara yang telah mendirikan lembaga pemerintah baik di dalam negeri maupun di negara penempatan untuk melindungi tenaga kerja migrannya. Lihat, Jacqueline Joudo Larsen, op cit.

27 Dovelyn Rannveig Agunias and Neil G. Ruiz, “Protecting Overseas Workers: Lessons and Cautions from the Philippines”, dalam Migration Policy Institute, September 2007, hal. 6.

Page 138: Buku Lintas Tim 2

138

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

disponsori oleh Indonesia. Lahirnya resolusi itu tidak terlepas dari keprihatinan Indonesia dan negara-negara peserta lainnya terhadap perlakuan buruk yang seringkali dialami oleh para pekerja migran, terutama yang berhubungan dengan hak-hak asasi mereka, seperti perlakuan diskriminasi, gaji yang rendah, keselamatan yang terabaikan, serta menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan.

Dalam forum yang lebih luas seperti pertemuan Asian Parlementary Assembly (APA) yang berlangsung di Solo, tanggal 28-29 September 2011, masalah perlindungan pekerja migran kembali menjadi perdebatan hangat. Dalam pertemuan tersebut, negara-negara peserta menyepakati Resolution on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers in Asia. Resolusi yang diusulkan Delegasi DPRRI ini pada intinya menghendaki agar, baik negara pengirim maupun negara penerima mempunyai persepsi dan komitmen yang sama dalam menjamin dan meningkatkan perlindungan terhadap hak-hak dan martabat para pekerja migran. Ini berarti bahwa baik negara pengirim maupun negara penerima sama-sama membutuhkan adanya figur pekerja migran. Karena itu perlu kerja sama untuk memndapatkan pemahaman dalam perlindungan hak-hak asasi pekerja migran. Dalam kaitan ini, aspek perlindungan HAM telah menjadi landasan utama dalam manajemen migrasi internasional sebab bagaimanapun juga para pekerja migran ini telah memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembangunan ekonomi di negara penempatan maupun negara pengirim.

Demikian pula di tingkat Asia Tenggara, anggota-anggota parlemen dari negara-negara ASEAN telah menyelenggarakan sebuah seminar di ibukota Kamboja, Pnom Penh, tentang peran parlemen dalam melindungi dan memajukan hak-hak para pekerja migran di antara negara-negara anggota ASEAN. Seminar yang berlangsung selama tiga hari pada bulan April 2011 pada intinya bertujuan untuk meningkatkan kemitraan di antara parlemen negara-negara anggota ASEAN dalam memberikan perlindungan dan memajukan hak-hak para pekerja migran. Migrasi penduduk yang bertujuan untuk mencari pekerjaan ini telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat sebab tidak jarang mereka menjadi korban dari kejahatan transnasional. Banyak tenaga kerja wanita dan anak-anak menjadi korban eksploitasi dan perdagangan orang.

Besarnya perhatian seperti di atas tidak terlepas dari posisi Asia yang telah menjadi kawasan dengan tingkat migrasi pekerja migran yang tinggi, bukan hanya dalam jangka pendek tetapi juga untuk jangka panjang. Kebanyakan

Page 139: Buku Lintas Tim 2

139

Humphrey Wangke

dari pekerja migran itu bukan hanya bekerja secara legal di negara tujuan berdasarkan kontrak kerja jangka pendek, tetapi migrasi pekerja yang tidak berdokumen juga telah berkembang pesat. Kecenderungan lainnya yang perlu dicatat adalah meningkatnya jumlah pekerja migran wanita khususnya yang berangkat secara perseorangan. Beberapa negara seperti Jepang dan Singapura merupakan negara penerima pekerja migran. Sementara negara seperti Indonesia dan Filipina merupakan negara pengirim tenaga kerja. Sedangkan Malaysia sebenarnya bukan hanya negara penerima pekerja migran tetapi juga pengirim.

Pergerakan manusia yang melibatkan pekerja migran secara ekonomi sangat penting terutama bagi negara pengirim karena akan memberikan pemasukan devisa dalam jumlah yang besar. Bagi negara yang mengalami surplus tenaga kerja, remitan menjadi faktor utama migrasi tenaga kerja. Seperti Indonesia yang pada tahun 2010 menurut Bank Dunia menerima remitan sebesar 7,1 milyar dolar Amerika Serikat28, dengan pendapatan terbesar dari Malaysia yaitu 2,3 milyar dolar Amerika Serikat (35 persen) diikuti dengan Arab Saudi sebesar 2,2 milyar dolar Amerika Serikat (32 persen), Hong Kong 425 juta dolar Amerika Serikat (6,6 persen), Taiwan 425 juta dolar Amerika Serikat (6,4 persen), Singapora 425 juta dolar Amerika Serikat (6,4 persen), Uni Emirat Arab 179 juta dolar AS (2,7 persen), dan Jepang 142 juta AS (2.1 persen). Jumlah 7,1 milyar dolar AS tersebut sama artinya dengan 1,6 persen dari GDP Indonesia dan sekitar sepertiga dari total investasi langsung (FDI) di Indonesia.29 Dengan jumlah yang demikian besar, remitan menjadi salah satu sumber pemasukan devisa bagi Indonesia. Akan tetapi, kebanyakan pekerja migran Indonesia berasal dari Pulau Jawa dan Nusa Tenggara Timur sehingga praktis hanya kedua provinsi itu yang paling diuntungkan sementara provinsi lainnya tidak.

Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pekerja migran bukan hanya membuat mereka menderita tetapi juga menciptakan kesulitan baru bagi keluarga mereka dan masyarakat pada umumnya. Beragamnya persoalan yang dihadapi oleh para pekerja migran pada akhirnya mengajak kita semua untuk senantiasa mendiskusikan dan mencari solusi yang tepat atas permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja migran. Tentu saja, guna mengatasi masalah seperti ini bukanlah dengan mencegah mereka melakukan migrasi, tetapi

28 Lihat, World Bank, op. cit., hal. 13.

29 International Organization for Migration (IOM) Indonesia, “Remittances and Indonesia”, Factsheets, IOM, 2010, hal. 3.

Page 140: Buku Lintas Tim 2

140

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

bagaimana mencari cara yang tepat untuk melindungi mereka. Sudah tiba saatnya untuk menilai para pekerja migran dari sisi kemanusiaan. Mereka harus dilindungi karena keberadaan mereka di negara penempatan menyangkut citra bangsa, baik bagi negara pengirim maupun negara penerima. Sudah waktunya untuk memikirkan langkah-langkah strategis bagi keselamatan dan keamanan para pekerja migran tersebut. Melalui dialog yang konstruktif antara negara pengirim dan penerima diharapkan akan menemukan pemahaman yang sama dan solusi dalam menangani masalah pekerja migran.

Bila dilihat dari perkembangannya, sudah pasti, jalan terbaik yang perlu didahulukan adalah kerja sama secara formal antara negara pengirim dengan negara penerima untuk memaksimalkan keuntungan yang didapat serta mengurangi dampak negatif dari migrasi tenaga kerja. Menurut Wakil Presiden Boediono, peningkatan kerjasama antara negara merupakan salah satu solusi yang efektif untuk mengatasi celah hukum dan kelonggaran ketertiban antara negara yang satu dengan lainnya.30 Komitmen dari kedua negara yaitu antara negara pengirim dan penerima menjadi sangat penting dalam upaya melindungi hak-hak asasi para pekerja migran. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan kerja sama diantara negara-negara di Asia terutama untuk mendapatkan kesamaan pandangan dalam perlindungan hak-hak asasi para pekerja migran. Melalui kesamaan pandangan ini diharapkan dapat ditemukan solusi bagi perlindungan terhadap hak-hak asasi para tenaga kerja migran. Dalam jangka panjang, hal ini berarti akan mengurangi keberagaman sistem dan standar penegakan hukum dan ketertiban pengiriman dan penerimaan pekerja migran diantara negara yang berkepentingan.

urgensi Pengaturan secara resmi B.

Para pekerja migran Indonesia menjadi korban perdagangan dan penyelundupan orang atau bentuk-bentuk penyiksaan lainnya karena pemerintah Indonesia belum menganggap penting pengaturan secara resmi. Untuk mencegahnya, solusi yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan pengiriman tenaga kerja keluar negeri secara resmi, melalui pengaturan yang dilakukan oleh negara pengirim dengan negara penerima, sehingga setiap pengiriman pekerja migran semuanya serba tercatat. Jika terjadi masalah maka pemerintah kedua negara dengan mudah dapat segera mengatasinya. Pengaturan secara resmi ini bukan hanya melibatkan pemerintahan di tingkat pusat saja, tetapi di tingkat provinsi juga harus mempunyai satu devisi khusus

30 Lihat, “Boediono: Kerja Sama Perkecil Celah Hukum”, dalam Kompas, 12 Oktober 2011, hal. 3.

Page 141: Buku Lintas Tim 2

141

Humphrey Wangke

yang menangani dan mencegah masalah pengiriman pekerja migran secara illegal.

Pengaturan secara resmi ini bisa dilakukan dengan membuat MoU antara pemerintah RI dengan negara penempatan atau antara PPTKIS di Indonesia dengan lembaga serupa di negara penempatan. Prinsipnya pengiriman dan penempatan tenaga kerja di luar negeri harus dilakukan atas dasar Government to Government atau Business to Business. Melalui pengaturan secara resmi ini, akan lebih mudah untuk menyelesaikan masalah jika terjadi penyimpangan-penyimpangan didalam pelaksanaannya. Sebab akan lebih mudah ditelusuri siapa yang bertanggung jawab jika ada pekerja migran Indonesia yang mengalami mistreatment. Pengiriman tenaga kerja terjadi karena adanya faktor supply and demand. Karena itu negara-negara yang menjadi tujuan penempatan harus diajak berdialog untuk menyelesaikan masalah penyiksaan terhadap pekerja migran Indonesia yang jelas-jelas sangat merendahkan martabat bangsa. Semua negara tujuan penempatan hendaknya dapat memahami bahwa kesepakatan melalui MoU yang mengatur tentang pengiriman dan penempatan tenaga kerja akan memudahkan melakukan perlindungan terhadap para pekerja migran. Karena itu, Indonesia harus berani menegosiasikan perjanjian bilateral dengan negara penerima untuk meminimalkan terjadinya kekerasan terhadap para pekerja migran Indonesia.

Pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal hanya menguntungkan pihak yang mengirim dan yang menerima tetapi tidak untuk yang dikirim, sebab ia tidak mempunyai kepastian apapun tentang masa depannya. Ia hanya akan menjadi korban eksploitasi sebab harus bekerja tanpa ada jaminan berapa dan kapan gaji akan diterima sebab ketika bekerja majikan harus membayar sejumlah uang kepada PPTKIS setempat sebagai dana kompensasi dari pengiriman dan pembinaan pekerja migran Indonesia tersebut. Ketika bekerja, passport mereka ditahan. Jika dikirim secara resmi maka akan mudah diketahui ijin kerja mereka, gaji, tempat kerja dan lainnya. Pemerintah daerah yang menjadi tempat transit juga akan lebih mudah mengatasi masalah jika kondisinya telah teratur sejak awal. Jika tidak resmi, pemerintah daerah akan kesulitan mengawasi adanya praktek-praktek trafiking.

Akan tetapi untuk melakukan pengiriman secara resmi, Indonesia juga harus mampu mempersiapkan para pekerja migrannya secara secara baik. Kualitas pekerja tetap harus menjadi pertimbangan utama serta telah memiliki pengalaman yang mencukupi. Karena itu, Indonesia seharusnya sudah siap dengan apa yang dilakukan Singapura yaitu memberlakukan tes masuk bagi

Page 142: Buku Lintas Tim 2

142

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

calon pekerja migran yang hendak bekerja di sana seperti tes bahasa Inggris. Melalui mekanisme semacam ini berarti semua pekerja migran termasuk yang berasal dari Indonesia bukan hanya harus mampu bekerja secara baik dibidangnya tetapi juga harus mampu berkomunikasi secara baik dalam bahasa Inggris.31 Persyaratan semacam ini sangat wajar bagi negara seperti Singapura mengingat dari sisi upah dan perlindungan terhadap pekerja migran, Singapura tergolong baik. Gaji pekerja migran di Singapura sekitar 3 juta rupiah sementara di malaysia sekitar 2 juta rupiah lebih. Karenanya, persyaratan semacam itu menjadi tantangan bagi Indonesia dan negara lainnya yang ingin menempatkan pekerja migrannya di Singapura.

Selama ini, banyak pekerja migran Indonesia yang dikirim ke luar negeri dalam kondisi yang “belum siap pakai”. Usia mereka umumnya belum mencukupi serta tidak berpengalaman karena tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang urusan rumah tangga sehingga ketika sampai di tempat tujuan mereka “tidak siap pakai”. Karenanya, tidak jarang diantara mereka ditempatkan tidak seperti yang dijanjikan. Penyimpangan-penyimpangan seperti ini dilakukan melalui jalur resmi artinya jumlah korban akan bertambah banyak jika kita menghitung yang melalui jalur-jalur tidak resmi. Melihat kondisi yang menimpa pekerja migran Indonesia di luar negeri maka salah satu solusi yang paling efektif adalah mengirim tenaga kerja secara resmi. Sebab dengan demikian ada kepastian bagi para pekerja migran Indonesia tentang jenis pekerjaan, dimana ditempatkan, berapa gaji yang diterima, serta adanya jaminan sosial seperti kesehatan. Dengan cara seperti ini, akan lebih mudah bagi pemerintah untuk melacak bila terjadi penyimpangan terhadap para pekerja migran Indonesia. Akan mudah bagi pemerintah untuk menanyakan kepada negara penerima jika terjadi mistreatment terhadap pekerja migran Indonesia.

Pemerintah Indonesia tetap harus terlibat dalam penyiapan pekerja migran yang hendak dikirim ke luar negeri untuk meyakinkan bahwa pekerja migran Indonesia yang dikirim benar-benar terlatih dan “siap pakai”. Hal ini perlu dilakukan sebab, pertama, meskipun cara-cara seperti ini dihindari oleh PPTKIS maupun para calon pekerja migran sendiri karena membutuhkan biaya yang tidak kecil, namun proses penyiapan ini sangat penting karena akan menentukan daya saing pekerja migran itu sendiri serta menyangkut citra Indonesia. Bangsa Indonesia menjadi dilecehkan karena terlalu banyak pekerja migran tidak berkualitas yang dikirim ke luar negeri. Kedua, banyak pekerja migran Indoensia yang dikirim secara ilegal tetapi ketika muncul masalah

31 “RI Minta Singapura Ubah Kebijakan”, Kompas, 25 Oktober 2011, hal. 19.

Page 143: Buku Lintas Tim 2

143

Humphrey Wangke

harus diselesaikan secara resmi melalui jalur diplomatik karena menyangkut hubungan antar-negara. Ketiga, pengiriman pekerja migran Indonesia yang dilakukan PPTKIS ijinnya dikeluarkan di Jakarta.

Pengiriman secara resmi hanyalah salah satu cara yang bisa ditempuh untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan terjadinya penyiksaan terhadap para pekerja migran Indonesia di luar negeri. Cara lainnya yang bisa ditempuh pemerintah adalah dengan melakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman pekerja migran. Namun jika hendak melakukan moratorium, pemerintah harus menyiapkan terlebih dahulu perangkat pengamanannya agar tujuan moratorium itu bisa tercapai. Perangkat itu antara lain merumuskan strategi pengamanan dengan bekerja sama dengan aparat kepolisian dan intelijen untuk mencegah pengiriman menetapkan secara tegas jangka waktu moratorium dengan target pencapaian strategi.32 Moratorium bukan hanya berarti penghentian sementara pengiriman pekerja migran ke negara penempatan tetapi juga sebagai cerminan sikap tegas pemerintah Indonesia terhadap negara-negara penempatan yang terbukti tak menghormati hak-hak pekerja migran Indonesia.33 Sebaliknya, moratorium juga berarti momentum bagi Indonesia untuk mengevaluasi secara menyeluruh hingga terjadi perubahan dan perbaikan terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia di negara penempatan.

Namun jika melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat, moratorium atau penghentian pengiriman pekerja migran Indonesia bukanlah solusi yang tepat untuk Indonesia saat ini. Sebab jika itu dilakukan, bisa dipastikan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia akan meningkat sebab pemerintah masih sulit menyediakan lapangan pekerjaan. Keberangkatan para pekerja migran Indonesia yang bermasalah ke luar negeri, baik yang resmi maupun tidak resmi, tidak terlepas dari kondisi ekonomi masyarakat. Mereka membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan guna mencukupi kebutuhan keluarga. Kegagalan implementasi moratorium antara Indonesia dengan Malaysia dan Jordania tidak terlepas dari faktor kemiskinan ini. Karena itu, pemberlakuan moratorium seharusnya dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk membenahi beberapa persoalan di sekitar pekerja migran

32 Lihat, Agus Pratiwi, Maids: From transnational exploitation to transnational strategy, dalam The Jakarta Post, 13 Oktober 2011.

33 Hal ini bisa dilihat dari sikap Indonesia yang meminta Malaysia untuk membuat regulasi yang mendorong pengguna TKI memenuhi hak-hak TKI antara lain hari libur, jam kerja dan passport yang dipegang oleh TKI. Sebaliknya, Indonesia juga akan berupaya memperbaiki ketrampilan Tki yang akan dikirim ke Malaysia. Lihat, “1 Desember, Moratorium Dicabut”, dalam Kompas, 21 Oktober 2011.

Page 144: Buku Lintas Tim 2

144

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Indonesia mulai dari perekrutan, pengiriman dan penempatan. Pemerintah harus mengantisipasi terjadinya perdagangan orang, penempatan pekerja migran tak berdokumen, atau pemberangkatan secara ilegal pekerja migran Indonesia, pasca moratorium.

Opsi lainnya yang mungkin dapat dilakukan pemerintah adalah memperbaiki sarana transportasi di perbatasan yang menjadi daerah transit pengiriman pekerja migran. Buruknya kualitas transportasi di perbatasan turut menyumbang terhadap buruknya kondisi perekonomian rakyat di perbatasan. Padahal terjadinya trafiking dan penyelundupan orang tidak terlepas dari kemiskinan yang terjadi di perbatasan. Karena buruknya transportasi di perbatasan, lebih banyak orang yang menjual produk pertaniannya ke negara tetangga, seperti yang terjadi di perbatasan Kalimantan Barat. Padahal perbatasan darat tidak boleh dijadikan sebagai jalur perdagangan dengan negara tetangga. Karena itu jika transportasi di perbatasan tertata rapi, bukan hanya trafiking dan penyelundupan orang yang bisa dicegah tetapi juga akan memajukan ekonomi dan sektor sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Tidak ada gunanya Indonesia menjadikan perbatasan sebagai beranda depan jika kondisi sosial ekonomi masyarakat di perbatasan masih sangat terbelakang. Namun dana yang dimilik pemerintah untuk membangun perbatasan masih sangat terbatas, sehingga peluang terjadinya penyelundupan dan perdagangan orang di kawasan perbatasan masih sangat terbuka seiring dengan terbatasnya pembangunan di daerah perbatasan.

Upaya lainnya yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Keluarga. Ratifikasi dapat menjadi landasan dasar yang memperkuat pemerintah membuat perjanjian bilateral dengan negara penerima mengenai perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia. Ratifikasi ini sebenarnya mempunyai momentum yang tepat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan dukungannya terhadap konvensi ILO 189 tentang disetujuinya pembantu rumah tangga masuk ke tenaga kerja formal pada bulan Juni 2011. Namun sayangnya hingga saat ini belum ada upaya dari pemerintah untuk meratifikasinya.

meningkatkan Kerjasama regionalC.

Indonesia sangat menyadari posisinya sebagai negara yang mengandalkan pekerja migran sebagai salah satu sumber devisa negara. Karena itu berbagai

Page 145: Buku Lintas Tim 2

145

Humphrey Wangke

langkah antisipasi dilakukan, baik kedalam maupun keluar, agar kemungkinan terjadinya perlakuan buruk terhadap para pekerja migran Indonesia dapat dihindari. Jika kedalam Indonesia harus memperbaiki manajemen penyiapan, pemberangkatan dan penempatan maka ke luar Indonesia dapat menggalang kerja sama dengan negara-negara pengirim lainnya maupun dengan negara penerima pekerja migran Indonesia. Dengan kata lain, komitmen Indonesia untuk melindungi para pekerja migran dapat dilakukan mulai dari peningkatan mekanisme pola-pola perekrutan dan pengiriman ke negara tujuan sampai kegiatan diplomasi dan negosiasi ketika muncul masalah. Disamping itu, Indonesia juga telah menandatangani berbagai kesepakatan internasional yang terkait dengan kepentingan nasional dibidang ketenagakerjaan seperti dengan meratifikasi Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children (Palermo Protocol) sebagai bentuk komitmen menolak segala bentuk eksploitasi kemanusiaan. Lebih jauh lagi, Indonesia juga telah menandatangani tetapi belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.

Secara regional, Indonesia telah menggalang kerjasama dengan berbagai negara, baik dengan sesama negara pengirim maupun dengan negara penerima pekerja migran Indonesia. Namun pendekatan regional yang dilakukan Indonesia selama ini lebih pada bentuk mekanisme konsultasi antar-negara belum sampai pada satu kesepakatan yang bersifat mengikat. Dalam beberapa tahun terakhir ini mekanisme semacam ini telah terbentuk dan Indonesia terlibat aktif didalamnya. Mekanisme konsultasi ini antara lain Global Forum for Migration and Development (GFMD), Ministerial Consultations for Asian Labour Sending Countries (Colombo Process), Abu Dhabi Dialogue dan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Banyak negara, termasuk Indonesia, yang telah berupaya mengintegrasikan masalah pekerja migran kedalam kebijakan luar negerinya, sehingga secara perlahan negara-negara yang terlibat didalamnya dapat saling mengetahui apa yang harus dilakukan dalam melakukan perlindungan terhadap pekerja migran walaupun belum dalam bentuk kesepakatan yang mengikat.

Colombo Process34 merupakan respon sekaligus upaya konkrit dari negara-negara pengirim dalam melindungi pekerja migrannya dari kemungkinan praktek eksploitasi mulai dari tingkat perekrutan hingga penempatan, termasuk menyediakan informasi dan orientasi sejak sebelum pemberangkatan serta

34 Negara-negara anggota Colombo Process adalah Bangladesh, China, India, Indonesia, Nepal, Pakistan, Philippines, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.

Page 146: Buku Lintas Tim 2

146

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

bantuan yang dibutuhkan ketika sudah bekerja. Bantuan ataupun dukungan semacam ini penting bagi pekerja migran karena posisi mereka yang sangat rawan. Namun lebih dari itu, upaya ini dilakukan untuk mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh dari migrasi pekerja dengan memanfaatkan jalur formal agar remitan yang diperoleh meningkat. Namun Colombo Process ini hanya beranggotakan negara-negara pengirim pekerja migran, karena itu dalam berbagai kesempatan mereka senantiasa menyerukan perlunya dialog antara negara pengirim dengan negara penerima agar perlindungan terhadap para pekerja migran dapat lebih efektif. Dalam pertemuan di Bali, September 2005, Colombo Process berhasil mengundang negara-negara penerima seperti Bahrain, Itali, Kuwait, Malaysia, Qatar, Korea Selatan, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab untuk berdialog mencari titik temu dalam perlindungan pekerja migran. Walaupun tidak menghasilkan kesepakatan, akan tetapi dialog semacam ini tetapi penting dalam upaya mencari kesamaan pandangan tentang perlindungan pekerja migran.

Keikutsertaan negara-negara penerima dalam pertemuan konsultasi ke-3 di Bali tahun 2005 tersebut telah menginisiasi pengembangan lebih lanjut dialog antara negara pengirim dengan negara penerima. Pada bulan Januari 2008, Uni Emirat Arab menjadi tuan rumah pertemuan konsultasi tingkat menteri antara negara penerima dengan negara-negara anggota Colombo Process di Abu Dhabi. Pertemuan konsultasi tingkat menteri yang kemudian dikenal dengan sebutan Abu Dhabi Dialogue, untuk pertama kalinya berhasil mempertemukan negara-negara anggota Colombo Process dengan negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council), Yaman, dan dua negara penerima lainnya yaitu Malaysia dan Singapura. Pertemuan ini bertujuan untuk menemukan forum yang tepat untuk mendiskusikan gagasan-gagasan baru tentang perkembangan manajemen mobilitas pekerja migran di Asia, meningkatkan penghasilan pekerja migran, serta menciptakan kerjasama yang lebih besar diantara negara-negara yang berkepentingan.

Dalam pertemuan konsultatif ke-IV di Dhaka, Bangladesh, tahun 2010, Indonesia mengusulkan kepada negara-negara Colombo Process agar pekerja migran diberi kemudahan dalam mengakses komunikasi, khususnya pekerja perempuan dan pekerja di sektor informal.35 Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko kerja di rumah majikan. Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa resiko perempuan pekerja migran di sektor informal relatif lebih tinggi, terutama di sejumlah negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan negara-

35 “RI Usulkan Pekerja Migran Dilindungi”, Suara Pembaruan, 23 April 2011, hal. 11.

Page 147: Buku Lintas Tim 2

147

Humphrey Wangke

negara teluk. Selama ini perempuan pekerja migran tidak memiliki akses komunikasi, tidak boleh keluar rumah tanpa ijin, dan paspor ditahan oleh majikan. Ini dilakukan dengan resiko kerja mengalami kekerasan, pelecehan seksual dan bekerja lebih lama.

Di tingkat Asia Tenggara, ketika berlangsung KTT ke-12 negara-negara ASEAN di Cebu, Filipina, pada tanggal 13 Januari 2007, para kepala negara telah menandatangani Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Dalam deklarasi tersebut, negara-negara anggota ASEAN yang merupakan kombinasi antara negara pengirim dengan negara penerima menyatakan bahwa mereka akan melakukan upaya untuk melindungi dan memajukan hak-hak para pekerja migran. Sesuai dengan hukum dan kebijakan nasionalnya, negara-negara anggota ASEAN mengambil langkah-langah yang menguntungkan bagi para pekerja migran. Tetapi lebih dari itu, negara-negara ASEAN perlu meningkatkan kerjasamanya terutama dalam mencegah dan mengatasi terjadinya penyelundupan dan perdagangan orang yang berlatarbelakang pengiriman pekerja migran. Namun, hingga tahun keempat setelah dokumen itu dilahirkan, tidak ada kemajuan berarti dari proses pembahasan instrumen pekerja migran ASEAN yang dilakukan oleh ASEAN Committee on Migrant Worker.36 Karena itu, Kelompok Kerja Indonesia dan Gugus Tugas untuk Buruh Migran ASEAN mendesak agar Komite Implementasi Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan Promosi Hak-hak Buruh Migran (ASEAN Committee on the Implementation of the ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Worker) segera mengadopsi instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran di ASEAN yang sifatnya mengikat secara hukum.

Kerjasama Bilaterald.

Pasal 11 UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri telah memberi mandat kepada pemerintah untuk menempatkan pekerja migran kerja Indonesia di negara penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara pengguna pekerja migran Indonesia atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan. Persetujuan bilateral tentang tenaga kerja sangat penting bukan hanya berguna untuk mengatur kemudahan bagi tenaga kerja dalam mencari pekerjaan tetapi juga dalam melakukan penempatan dan

36 Wahyu Susilo, “ASEAN Bukan untuk Buruh Migran?”, Kompas, 10 Mei 2011, hal. 6.

Page 148: Buku Lintas Tim 2

148

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

perlindungan.37 Tetapi sayangnya, negara-negara penerima pekerja migran seringkali menghindari adanya persetujuan bilateral yang bersifat mengikat mengingat kewajiban-kewajiban yang harus dijalaninya. Karena itu yang dipilih biasanya kesepakatan dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) karena dapat diubah sewaktu-waktu tergantung pada kondisi ekonomi ataupun pasar.

Meskipun lebih lunak, tetapi MoU tetap merupakan langkah penting dalam mengatur masalah-masalah yang terkait dengan pekerja migran, terutama dari sisi perlindungan. Bagi negara pengirim pekerja migran seperti Indonesia, ada beberapa keuntungan yang didapat dari adanya MoU tentang pekerja migran, yaitu:38

Meningkatkan akses ke pasar internasional bagi para pekerjanya;1. Dapat merundingkan masalah gaji, kondisi tempat tinggal, ataupun 2. jaminan keamanan bagi pekerja migrannya terutama yang terkait dengan dokumen keimigrasian;Dapat meningkatkan kemampuan pekerjanya terutama melalui peluang 3. pelatihan yang disediakan negara penerima;Kesempatan memperoleh peningkatan kemampuan penguasaan teknologi;4. Dapat mengirim remitan secara berkala; 5.

Tapi sayangnya, hingga saat ini Indonesia tercatat baru mempunyai 9 MoU (lihat tabel) dengan negara-negara penerima pekerja migran Indonesia. Padahal menurut Anis Hidayah dari Migrant Care, pekerja migran Indonesia memerlukan payung hukum untuk melindungi mereka dari penyiksaan.39 MoU merupakan salah satu pilihan dalam memberikan perlindungan terhadap para pekerja migran Indonesia karena dapat dengan mudah mengatur supply and demand pekerja migran, arus perpindahan pekerja migran secara tertib dan memajukan niat baik dan kerjasama secara bilateral. Persetujuan bilateral juga dapat mengatur tentang masalah-masalah yang terkait dengan privacy pekerja migran seperti hari libur, gaji, akses komunikasi, passport, jangka waktu bekerja dan prosedur pemulangan, ataupun pengaturan visa jika pekerja tersebut tinggal lebih lama. Meskipun jumlah pekerja migran yang diatur dalam

37 IOM, International Migration and Migrant Workers’ Remittances in Indonesia, IOM, Filipina, 2010, hal. 19.

38 International Organization for Migration, Migration and Development:Achieving Policy Coherence, Genewa, 2008, hal. 91.

39 Lihat, http://www.thejakartapost.com/news/2010/11/29/diplomacy-key-protecting-migrant-workers-commission.html, diakses tanggal 17 Februari 2011.

Page 149: Buku Lintas Tim 2

149

Humphrey Wangke

MoU sangat terbatas bila dibandingkan dengan total arus pekerja migran internasional, akan tetapi persetujuan bilateral antara negara pengirim dengan negara penerima dapat secara efektif mengatur proses perekrutan, pengiriman, penempatan sampai dengan pemulangan pekerja migran. Secara tradisional, persetujuan bilateral mengenai pekerja migran dikenal sebagai persetujuan tentang akses pasar pekerja migran, tetapi pada era globalisasi seperti saat ini, persetujuan bilateral lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi, politik dan tujuan pembangunan.

TabelMoU antara Indonesia dengan negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia

No. Negara Tahun Keterangan

1 Malaysia 20042006

Untuk sektor infomalUntuk sektor formal

2 Korea Selatan 9 September 2008 Kesepakatan antar-pemerintah. Berlaku selama 2 tahun setelah itu dapat di perbaharui

3 Taiwan 17 Desember 2004 Karena tidak mempunyai hubungan diplomatik, penandatanganan dilakukan oleh perwakilan perdagangan kedua negara

4 Jepang 19 Mei 2004 Kesekapatan antar-pemerintah. Berlaku selama 4 tahun dan dapat diperbaharui

5 Jordan 2 Mei 2001 Berlaku selama 5 tahun dan diperpanjang secara otomatis

6 Kuwait 30 Mei 1996 Berlaku selama 4 tahun dan diperpanjang secara otomatis

7 Uni Emirat Arab 18 Desember 2007 Berlaku selama 4 tahun dan diperpanjang secara otomatis

8 Qatar 7 Januari 2008

9 Australia 11 Agustus 2005 Kesepakatan antara pemerintah dan swasta. Berlaku selama 5 tahun, dan diperpanjang secara otomatis

Sumber: International Migration and Migrant Workers’ Remittances in Indonesia, IOM, Filipina, 2010, hal. 120

Bila mengacu pada negara Filipina yang juga banyak menghasilkan pekerja migran, negara ini memberikan perlindungan dengan melakukan sebanyak mungkin perjanjian bilateral. Kesepakatan bilateral ini dilakukan untuk memastikan bahwa pekerja migrannya memperoleh perlindungan dan gaji yang semestinya. Tidak semua perundingan yang dilakukannya berlangsung dengan lancar. Filipina juga terlibat dalam perundingan yang sulit dengan Arab Saudi dalam mencari kesepakatan mengenai perlindungan terhadap para pekerja migrannya yang tergolong unskilled labour. Karena itu sangat tepat jika Indonesia juga mendesak Arab Saudi agar segera merundingkan kesepakatan

Page 150: Buku Lintas Tim 2

150

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

baru tentang pekerja migran dari Indonesia dengan tujuan agar para pekerja migran Indonesia terlindungi.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia dan Arab Saudi telah terlibat dalam pembahasan memorandum of understanding (MoU) tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia yang diharapkan selesai pada akhir tahun 2011. Untuk itu, pada tanggal 11-15 Juli 2011, pemerintah Indonesia dan Arab Saudi telah mengadakan Joint Working Committee (JWC) I yang merupakan perundingan tahap awal untuk membahas pembuatan MoU. Pertemuan JWC I ini dimaksudkan untuk meletakkan kerangka dasar kerja sama Indonesia - Arab Saudi yang lebih kongkrit. Pertemuan ini menindaklanjuti hasil dari statement of intent yang telah ditandatangani pada 28 Mei 2011, yang mengamanatkan adanya MoU. JWC I ini langkah awal penyusunan MoU yang diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak, memberikan keuntungan bagi kedua negara, dan mampu meminimalisir permasalahan terkait penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia.

Kekosongan kesepahaman bilateral tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia dengan Arab Saudi, menurut Anis Hidayah, sering menciptakan “ladang pembantaian bagi pekerja migran Indonesia”.40 Hanya masalahnya, perangkat hukum di Arab Saudi tidak mengatur tentang pekerja migran yang tergolong unskillled labour. Karena itu, sejak tanggal 2 Juli 2011 pemerintah Arab Saudi memilih menghentikan pengeluaran visa kerja bagi pekerja rumah tangga yang berasal dari Indonesia dan Filipina dengan alasan pemerintah kedua negara memberlakukan persyaratan yang ketat dan tidak adil. Keputusan pemerintah Arab Saudi itu mendahului keputusan pemerintah Indonesia yang akan melakukan moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi mulai 1 Agustus 2011. Keputusan Indonesia melakukan moratorium muncul setelah adanya eksekusi hukuman pancung terhadap pekerja migran Indonesia asal Bekasi, Jawa Barat, Ruyati.41 Selain ke Arab Saudi, Moratorium atau penghentian sementara pengiriman pekerja migran Indonesia sektor informal khususnya PLRT saat ini juga berlaku ke Kuwait dan Yordania.

40 Anis Hidayah, “Perlindungan Tanpa Evaluasi”, Kompas, 23 April 2011, hal. 7.

41 Di samping Ruyati, banyak korban kekerasan majikan terhadap PLRT asal Indonesia seperti Sumiati binti Salan Mustapha, seorang pekerja migran asal Dompu, NTB, yang harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit Jeddah setelah disiksa oleh majikannya. Atau pembunuhan terhadap Kikim Komalasari, seorang pekerja migran dari Cianjur, yang mayatnya ditemukan ditempat pembuangan sampah di Abha, Arab Saudi.

Page 151: Buku Lintas Tim 2

151

Humphrey Wangke

Sikap pemerintah Indonesia ini merupakan langkah maju karena tidak lagi mempertimbangkan faktor untung rugi ketika memutuskan melakukan moratorium. Pertimbangan kemanusiaan terutama mengenai perlindungan terhadap hak-hak pekerja migran menjadi dasar keputusan itu. Artinya, pekerja migran tidak lahgi dianggap sebagai barang komoditas. Karena itu pemerintah Indonesia bertekad tidak akan mencabut moratorium hingga terwujud MoU dengan Arab Saudi yang melindungi pekerja migran Indonesia. Tanpa regulasi yang ketat, pekerja migran Indonesia hanya akan menjadi tumbal kemajuan ekonomi Arab Saudi, apalagi kalau penempatannya tidak diimbangi dengan perlindungan keselamatan. Melihat kondisi yang demikian, sudah saatnya bagi pemerintah Arab Saudi untuk menempatkan masalah pekerja migran sebagai salah satu fokus dalam kebijakan luar negerinya.

Perubahan sikap Indonesia terhadap pekerja migran juga nampak ketika diketahui ada pekerja migran Indonesia di sektor informal yang menjadi korban kekerasan di Malaysia. Indonesia segera memutuskan memberlakukan moratorium terhadap Malaysia sejak Mei 2009. Indonesia berhasil menekan Malaysia untuk merevisi MoU kedua negara tahun 2006 yang dianggap tidak lagi memadai terhadap perlindungan pekerja migran Indonesia. Setelah melalui perundingan yang sulit, akhirnya Indonesia dan Malaysia mendatangani MoU terkait penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia di Malaysia pada 30 Mei 2011. Melalui penandatanganan ini kedua pemerintah bertekad untuk melakukan perbaikan-perbaikan substansial pada aspek penempatan dan meningkatkan bentuk-bentuk perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia. Penandatanganan MoU ini akan diikuti dengan pembukaan kembali pengiriman pekerja migran Indonesia ke Malaysia, khususnya sektor informal, pada tanggal 1 Desember 2011. Namun sebelum itu, Pemerintah Indonesia dan Malaysia akan mendapat laporan terlebih dahulu apakah amandemen terhadap MoU tentang penempatan dan perlindungan TKI sudah dilaksanakan dengan baik atau tidak.42

Belajar dari pengalaman yang terjadi di Malaysia dan Arab Saudi, Pemerintah Indonesia harus melakukan diplomasi secara aktif dan konsisten dalam melindungi dan mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap para pekerja migran Indonesia. Terus berlanjutnya pelanggaran-pelanggaran terhadap para pekerja migran Indonesia lebih banyak terjadi karena pemerintah

42 Malaysia nampaknya sangat membutuhkan pekerja informal dari Indonesia karena Kamboja yang selama ini termasuk pemasok pekerja migran ke Malaysia memutuskan menghentikan pengiriman pekerja migran karena banyaknya informasi negatif menyangkut lingkungan kerja para pembantu rumah tangga. Lihat, “Kamboja Stop Kirim Tenaga PRT ke Malaysia”, Kompas, 18 Oktober 2011, hal. 8.

Page 152: Buku Lintas Tim 2

152

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

tidak serius memberikan perlindungan terhadap para pekerja migrannya sehingga baik pemerintah maupun masyarakat penerima dengan mudah dapat memperlakukan para pekerja migran Indonesia tidak sewajarnya. Lebih dari itu, didalam negeri Indonesia harus berani memutus mata rantai pengiriman pekerja migran Indonesia secara ilegal sebab masalah yang dihadapi pekerja migran hanyalah muara dari berbagai permasalahan mulai dari penyiapan, pengiriman dan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang 80-90 persen terjadi di Indonesia.

Page 153: Buku Lintas Tim 2

153

BAB IVKesImPulAN

Globalisasi telah membantu mempercepat pergerakan manusia dari satu negara ke negara lainnya secara legal maupun illegal. Migrasi ini, terutama yang illegal, telah memberikan sejumlah masalah bagi pemerintah dalam mengeluarkan berbagai kebijakan terkait dengan aspek hukum, politik dan ekonomi. Sadar bahwa jumlah tenaga kerja Indonesia terus meningkat sementara di dalam negeri pemerintah masih kesulitan untuk menciptakan lapangan pekerjaan maka pengiriman pekerja migran ke luar negeri masih merupakan pilihan yang paling menarik. Karena itu, menjaga dan memelihara kerjasama bilateral dengan negara penempatan menjadi salah satu solusi yang dilakukan pemerintah. Untuk sementara ini langkah yang diambil pemerintah untuk melindungi para pekerja migran Indonesia yang berada di luar negeri adalah:

memperbaiki nota kesepahaman (MoU) dengan negara penempatan, 1. menghentikan sementara (moratorium) pengiriman pekerja migran 2. Indonesia ke negara penempatan yang bermasalah, serta meningkatkan pelatihan dan pembekalan TKI didalam negeri. 3.

Pasal 11 UU No 39/2004 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri menyatakan bahwa pekerja migran Indonesia hanya dapat dikirim ke negara-negara yang telah memiliki persetujuan tertulis. Namun implementasi dari pasal ini masih belum berjalan seperti yang diharapkan sebab sejauh ini Indonesia baru memiliki persetujuan tertulis dengan 9 negara. Seharusnya persetujuan semacam ini dilakukan terhadap semua negara yang menjadi tujuan pekerja migran Indonesia. Indonesia bisa belajar dari pemerintah Filipina bahwa persetujuan bilateral merupakan sarana lainnya yang sangat efektif dalam memberikan perlindungan kepada para pekerja migran.

Page 154: Buku Lintas Tim 2

154

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan proses ratifikasi Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and the Members of Their Families. Konvensi yang mulai efektif berlaku pada tanggal 1 Juli 2003, telah diratifikasi oleh lebih dari 30 negara yang sebagian besar adalah negara-negara penyedia jasa tenaga kerja. Urgensi dari ratifikasi konvensi ini sangat jelas yaitu kondisi para pekerja migran Indonesia yang secara konstan selalu terancam hak-hak asasinya. Melalui ratifikasi ini berarti Indonesia telah turut secara internasional membangun dasar hukum bagi perlindungan pekerja migran di luar negeri, termasuk pekerja Indonesia.

Page 155: Buku Lintas Tim 2

155

dAFTAr PusTAKA

Anis Hidayah, “Perlindungan Tanpa Evaluasi”, Kompas, 23 April 2011.

Anis Hidayah, “Wajah Diplomasi Perlindungan Perlindungan Buruh Migran Indonesia”, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010, hal. 104.

Da’i Bachtiar, “Diplomasi Perlindungan WNI/TKI”, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Maret 2010.

Dovelyn Rannveig Agunias and Neil G. Ruiz, “Protecting Overseas Workers: Lessons and Cautions from the Philippines”, dalam Migration Policy Institute, September 2007.

Graeme Hugo, “Internasional Migration and Development in Asia”, makalah yang dipresentasikan dalam Konperensi ke-8 International Conference of the Asia Pacific Migration Research Network , Fushou, Cina, 25-29 Mei 2007.

Jacqueline Joudo Larsen, “Migration and people trafficking in southeast Asia”, Trends & Issues in crime and criminal justice, Vol. 401, Australian Institute of Crimonology, November 2010.

ILO, Towards a fair deal for migrant workers in the global economy, IOM, Genewa, 2004.

Jan Melissen, ed., Innovation in Diplomatic Practice, MacMillan, London, 1999.

IOM, International Migration and Migrant Workers’ Remittances in Indonesia, IOM, Filipina, 2010.

IOM, Migration and Development:Achieving Policy Coherence, IOM, Genewa, 2008.

IOM Indonesia, “Remittances and Indonesia: Factsheets”, IOM, Genewa, 2010.

Page 156: Buku Lintas Tim 2

156

Diplomasi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Jennifer Aiken and Eric Brahm. “Diplomacy”, Beyond Intractability, Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.). Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Januari 2005.

Lord Gore-Booth, (ed), “Satow’s Guide to Diplomatic Practice, 5th edition, Longman Group Limited, New York, 1979.

Dr. Manuel Orozco, “Regional Integration? Trends and Patterns of Remittance flows within South East Asia”, dalam http://www.adb.org/Documents/Reports/Workers-Remittance/chap2.pdf, diakses tanggal 19 September 2011.

“Pemerintah Kembali Kirim TKI ke Malaysia”, dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/, diakses tanggal 15 April 2011.

Raymond Sayner and Lichia Yiu, “International Economics Diplomacy: Mutations in Post-modern Times”, Netherlands Institute on International Relations Clingendael, 2001.

“RI Usulkan Pekerja Migran Dilindungi”, Suara Pembaruan, 23 April 2011.

Siuaji Raja, “An Analysis on Indonesia Migrant Workers From the Perspective of Human Rights”, Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010.

Susan Allen. “Track I Diplomacy”, dalam Guy Burgess and Heidi Burgess (eds.), Beyond Intractability , Conflict Research Consortium, University of Colorado, Boulder, Juni 2003.

Teguh Wardoyo, SH., “Diplomasi Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”, dalam Jurnal Diplomasi, Vol. 2, No. 1, Tahun 2010.

“Titik Temu Masih Jauh”, Kompas, 15 April 2011.

Wahyu Susilo, “ASEAN Bukan untuk Buruh Migran?”, Kompas, 10 Mei 2011.

World Bank, Migration and Remittances Factbook 2011, Second Edition, Washington DC, 2011.

Page 157: Buku Lintas Tim 2

BAGIAN VI

BATAS USIA TENAGA KERJA INDONESIA (Studi tentang Implementasi Pasal 35 Huruf a UU No. 39

Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

Dian Cahyaningrum1

1 Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI), Sekretariat Jenderal DPR RI, alamat e-mail: [email protected].

Page 158: Buku Lintas Tim 2
Page 159: Buku Lintas Tim 2

159

BAB IPeNdAhuluAN

latar BelakangA.

Tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) Alinea Keempat adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pencapaian tujuan tersebut, khususnya perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia sampai saat ini masih perlu dipertanyakan sehubungan dengan masih banyaknya kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.

Di Provinsi Jawa Timur (Jatim), sebagaimana dikemukakan oleh Staf Divisi Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, jumlah kasus TKI di Indonesia pada 2009 sekitar 4.750 kasus. Jatim menempati posisi kedua dengan jumlah sekitar 1.400 kasus, setelah Jawa Barat yaitu sebanyak 1.900 kasus.2 Terjadinya kasus yang menimpa TKI dari Jatim juga dikemukakan oleh Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Mochamad Cholily bahwa Kabupaten Jember, Madiun, dan Sampang menduduki peringkat terbanyak untuk kasus TKI asal Jatim yang meninggal di luar negeri sejak Januari hingga Mei 2010. Di Jember telah terjadi 7 kasus TKI meninggal di luar negeri, sedangkan di Madiun dan Sampang masing-masing ada 6 kasus TKI yang meninggal dunia di luar negeri dengan berbagai penyebab, diantaranya penganiayaan, kecelakaan kerja, dan musibah di luar jam kerja.3

2 ”Jabar, Terbanyak TKI Bermasalah. TKI Jatim Terbanyak, Tetapi Sedikit Kasus”, 5 March 2010, http://www.yipd.or.id/main/readnews/15741, diakses tanggal 21 Februari 2011.

3 ”Jawa Timur Duduki Peringkat Terbanyak TKI yang Meninggal”, 27 Mei 2010, http://www.berita8.com/news.php?cat=2&id=22678, diakses tanggal 21 Februari 2011

Page 160: Buku Lintas Tim 2

160

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

Sementara itu berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tahun 2010, ada sebanyak 4.385 kasus yang menimpa TKI. Dari jumlah tersebut, hanya sebanyak 1.776 kasus yang telah selesai diproses. Sisanya, yaitu sebanyak 2.609 kasus masih dalam proses penanganan. Kasus-kasus tersebut adalah gaji tidak dibayar: 582 kasus, majikan tidak sesuai: 208 kasus, tidak betah/ingin kembali ke Indonesia: 30 kasus, berselisih paham: 5 kasus, jam kerja tidak sesuai: 2 kasus, tindak kekerasan: 127 kasus, sakit: 146 kasus, beban pekerjaan tidak sesuai: 128 kasus, pelecehan seksual: 51 kasus, dan lain-lain: 1.330 kasus.4

Dari hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan Tenaga Kerja Indonesia di Saudi Arabia dengan Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati pada tanggal 10 Oktober 2011, diperoleh informasi ada 218 orang WNI/TKI yang terancam hukuman mati di berbagai negara, termasuk di negara penempatan TKI. Adapun perincian WNI/TKI yang terancam hukuman mati tersebut adalah di Malaysia: 151 orang, Arab Saudi: 43 orang, China: 22 orang, dan Singapura: 2 orang. Khusus di Arab Saudi, dari 43 orang WNI/TKI yang terancam hukuman mati, 5 orang di antaranya telah mendapatkan putusan kasasi final (critical). Kelima kasus tersebut adalah: kasus Tuti Tursilawati, Satinah binti Jumadi Ahmad, Darmawati binti Tarjani dan Aminah binti Haji Budi, dan Siti Zaenab binti Duhri Rupa.5

Berbagai permasalahan yang menimpa TKI tersebut mendorong pemerintah mengambil kebijakan menghentikan sementara (moratorium) penempatan TKI ke Arab Saudi per 1 Agustus 2011. Sebelumnya pemerintah juga telah melakukan moratorium dengan Malaysia per 25 Juni 2009, Kuwait per 1 September 2009, dan Yordania per 30 Juli 2010. Namun moratorium dengan Malaysia secara resmi telah berakhir pada tanggal 30 Mei 2011 pada waktu pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Perlindungan TKI Pekerja Rumah Tangga di Malaysia dengan pihak Pemerintah Malaysia melalui Menteri Sumber Manusia di Bandung, Jawa Barat.6

4 Sumber: Database Direktorat Perlindungan WNI dan BHI 2010.

5 Data WNI/TKI yang terancam hukuman mati berasal dari Satuan Tugas Penanganan Kasus WNI/TKI di Luar Negeri yang Terancam Hukuman Mati, yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Arab Saudi.

6 Sali Susiana, Kebijakan Penempatan TKI Pasca-Moratorium, Parlementaria, Edisi 85 TH. XLII, 2011, hal. 16.

Page 161: Buku Lintas Tim 2

161

Dian Cahyaningrum

Jika dikaitkan dengan upaya untuk melindungi TKI, kebijakan pemerintah tersebut dapat dipahami. Namun moratorium tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan justru menimbulkan masalah lainnya. Sebagaimana dikemukakan Anggota DPR Djamal Aziz dari Fraksi Hati Nurani Rakyat, ada 20 ribu orang tiap bulan yang menggantungkan nasibnya sebagai TKI dan sektor lain. Selain itu juga ada 300 perusahaan penyedia jasa TKI, disamping juga ada Balai Latihan Kerja (BLK). Dengan demikian moratorium dapat mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaannya. Di samping itu, bekerja merupakan hak warga negara yang dilindungi oleh undang-undang (UU). Oleh karena itu Pemerintah tidak boleh melarang warga negara untuk bekerja karena larangan tersebut akan melanggar UU.7 Moratorium dikhawatirkan juga akan mengakibatkan terjadinya TKI ilegal karena berangkat ke luar negeri untuk bekerja melalui jalur tidak resmi.

Langkah yang dianggap tepat oleh sebagian kalangan8 untuk menangani berbagai kasus yang menimpa TKI adalah melakukan pembenahan terhadap sistem penempatan dan perlindungan terhadap TKI di luar negeri. Langkah ini perlu dilakukan karena diyakini persoalan TKI sebenarnya 80 persen persoalan terjadi bukan di negara penerima melainkan pada proses rekruitmen yang belum baik di dalam negeri. Oleh karena itu agar tidak terjadi lagi kasus yang menimpa TKI, perlu dilakukan pembenahan terutama menyangkut proses pengiriman TKI.9

Terkait dengan perlindungan TKI, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang mulai berlaku pada tanggal 18 Oktober 2004. Salah satu upaya untuk memberikan perlindungan kepada TKI adalah dengan memberlakukan syarat bagi calon TKI yang akan bekerja di luar negeri. Syarat tersebut diantaranya adalah berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun, kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu)

7 ”Benahi Perangkat Sistem Rekruitment dan Perlindungan TKI”, Parlementaria, Ibid, hal. 14.

8 Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dari Rapat Kerja (Raker) antara Timsus DPR RI dengan Menteri Luar Negeri (Menlu), Kepala BNP2TKI, Dirjen Imigrasi kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 18 Januari 2011 adalah “Permasalahan TKI telah terjadi sejak proses rekrutmen, pada saat penempatan, saat bekerja, hingga kepulangan TKI kembali ke tanah air. Untuk itu Timsus Penanganan TKI di Saudi Arabia mendesak Kemenakertrans, Kemenlu, BNP2TKI, Kemenhukham untuk melakukan pembenahan menyeluruh dan konseptual terhadap sistem pengiriman dan pemulangan TKI ke luar negeri. Perlu dilakukan audit kebijakan disetiap tahapan sehingga diperoleh diagnosa tepat untuk perbaikan kebijakan maupun regulasi” (Sekretariat Komisi IX DPR RI, Lapsing Timsus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Arab Saudi, Jakarta: 18 Januari 2011).

9 ”Mengurai Persoalan TKI yang Carut Marut”, Parlementaria, op.cit, hal. 9

Page 162: Buku Lintas Tim 2

162

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

tahun (Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004). Sehubungan dengan hal ini sangatlah menarik untuk mengkaji batas usia tenaga kerja Indonesia.

Perumusan masalahB.

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang banyak menempatkan TKI untuk bekerja di luar negeri. Penempatan TKI ke luar negeri tersebut telah mendatangkan banyak manfaat baik bagi TKI itu sendiri maupun untuk Provinsi Jatim. Manfaat yang dirasakan oleh TKI adalah meningkatnya perekonomian TKI beserta keluarganya. Sementara itu manfaat bagi Provinsi Jatim adalah banyaknya remittance yang dihasilkan dari penempatan TKI ke luar negeri, selain juga berkurangnya masalah pengangguran.

Meskipun penempatan TKI mendatangkan banyak manfaat, namun tidak semua calon TKI diterima menjadi TKI untuk bekerja di luar negeri. Ini disebabkan adanya syarat usia untuk menjadi TKI sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004. Sehubungan dengan hal ini maka permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan syarat usia yang terdapat dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004? Dan bagaimanakah implementasi dari syarat usia khususnya bagi TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan yang diatur dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tersebut di Provinsi Jatim?

Tujuan dan KegunaanC.

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan syarat usia yang terdapat dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 dan implementasi dari Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tersebut di Provinsi Jatim.

Adapun kegunaan dari kajian ini adalah sebagai bahan masukan bagi Anggota DPR RI dalam melaksanakan fungsi legislasi, yaitu dalam merevisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang saat ini sedang dibahas di Komisi IX DPR RI. Kajian ini juga berguna untuk mendukung Dewan dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan UU No. 39 Tahun 2004.

Page 163: Buku Lintas Tim 2

163

BAB IIKerANGKA PemIKIrAN

Tenaga Kerja IndonesiaA.

Dalam UU No. 39 Tahun 2004 yang disebut dengan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah (Pasal 1 angka 1). Sedangkan yang dimaksud dengan calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (Pasal 1 angka 2).

Ketertarikan TKI untuk bekerja di luar negeri erat kaitannya dengan teori klasik push-pull dari Everett Lee yang menjelaskan bahwa karena daya tarik di negara tujuan, dan daya dorong di negara asal menyebabkan mobilitas penduduk untuk mencapai tujuannya.10 Sehubungan dengan teori tersebut, faktor utama yang mengakibatkan terjadinya mobilitas tenaga kerja termasuk TKI untuk bekerja di luar negeri adalah faktor ekonomi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aris Ananta bahwa kondisi perekonomian yang kurang menarik di negara sendiri dan penghasilan yang cukup besar dan yang tampak lebih menarik di negara tujuan menjadi pemicu terjadinya mobilitas tenaga kerja secara internasional. Pendapatan yang meningkat di negara yang sedang berkembang memungkinkan penduduk di negara berkembang untuk pergi melintas batas negara, informasi yang sudah mendunia dan kemudahan transportasi juga berperan meningkatkan mobilitas tenaga kerja secara internasional.11

10 Everett Lee dalam Rianto Adi, Warta Demografi, No. 3 Tahun ke-28, Tahun 1998, hal. 17 dalam Sali Susiana, ”Permasalahan Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri”, Kajian, Vol. 5, No. 4, Desember 2000.

11 Aris Ananta, “Liberalisasi Ekspor dan Impor Tenaga Kerja Suatu Pemikiran Awal”, dalam I Dewa Rai Astawa, Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Program Studi Ilmu Hukum, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2006, hal. 2.

Page 164: Buku Lintas Tim 2

164

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

Pada mulanya bekerja di luar negeri merupakan inisiatif dari masing-masing pribadi TKI secara perorangan atau melalui Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Adapun yang dimaksud dengan PPTKIS (dulu disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia atau PJTKI) dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 2004 adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri. Mengingat jumlah TKI terus meningkat dan bekerja di luar negeri membawa dampak positif maka sejak Pelita I (1969-1974) penempatan TKI ke luar negeri telah menjadi program dari pemerintah.12

Meskipun kuantitas TKI terus meningkat, kualitas TKI masih perlu dipertanyakan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aris Ananta bahwa saat ini negara lain cenderung menawarkan kepada TKI pekerjaan yang sering disebut dengan pekerjaan 3-D (Dirty, Difficult, and Dangerous). Ini disebabkan penduduk negara maju cenderung enggan atau “jual mahal” terhadap pekerjaan tersebut. Sementara itu Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja tidak terampil yang berlebih dengan upah/penghasilan yang rendah. Di sisi lain, banyak negara yang lebih maju dari Indonesia telah mencapai tahap pengimpor tenaga kerja tidak terampil. Dengan demikian penawaran tenaga kerja tidak terampil dari Indonesia mendapatkan permintaan tenaga kerja tidak terampil dari negara yang lebih maju. Pasar tenaga kerja tidak terampil memang ada dan diduga amat besar. Dalam bahasa yang lebih teknis, dikatakan bahwa terdapat latent demand and supply untuk tenaga kerja tidak terampil dan murah dari Indonesia.13

Pengujian undang-undang oleh mahkamah KonstitusiB.

Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) telah membawa banyak perubahan pada sistem ketatanegaraan Indonesia, di antaranya hadirnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

12 Warta Demografi, No. 3 Tahun ke-28 Tahun 1998.

13 Aris Ananta, “Liberalisasi Ekspor dan Impor Tenaga Kerja Suatu Pemikiran Awal Penelitian Lembaga Demografi”, dalam I Dewa Rai Astawa, op.cit. hal.8-9.

Page 165: Buku Lintas Tim 2

165

Dian Cahyaningrum

Berpijak pada Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945, nampak bahwa MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung (MA). Ini berarti MK terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MK memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945, yaitu: a) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, c) memutuskan pembubaran partai politik, d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan e) memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Lebih lanjut MK diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang diundangkan dan mulai berlaku pada tanggal 13 Agustus 2003.

Terkait dengan kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003, jika MK berpendapat permohonan pemohon beralasan maka amar putusan MK menyatakan permohonan dikabulkan (Pasal 56 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003). Sebaliknya jika tidak beralasan maka amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima (Pasal 56 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003). Terhadap permohonan yang dikabulkan, MK melakukan pemeriksaan untuk kemudian memutuskan bertentangan atau tidaknya suatu UU, baik karena pembentukan UU yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan UUD maupun mengenai materi ayat, pasal, dan/atau bagian suatu UU (Pasal 51 jo Pasal 56 UU No. 24 Tahun 2003). Hal ini mempunyai relevansi terhadap keberlakuan suatu materi UU atau suatu UU, dengan implikasi yaitu kekuatan hukum sebagian substansi atau seluruh materi UU (Pasal 57 ayat (1) dan (2) jo Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003).14

Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas suatu UU maka MK melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu UU tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan UUD. Begitu pula terhadap suatu UU, MK dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasarkan UUD. Melalui

14 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Rineka Cipta, April 2006, hal. 31.

Page 166: Buku Lintas Tim 2

166

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

penafsiran/interpretasi terhadap UUD 1945, MK berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi UU yang dihasilkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian UU yang dihasilkan oleh legislatif (DPR bersama Presiden) diimbangi oleh adanya pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial yaitu MK.15

Perkara pengujian UU terhadap UUD merupakan perkara yang paling banyak diterima oleh MK sejak MK dibentuk pada tanggal 13 Agustus 2003. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu: a) perorangan warga negara Indonesia; b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; c) badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara.

Berdasarkan data dari MK, secara keseluruhan, dari awal pembentukan MK hingga 15 Agustus 2008, MK telah menerima 152 perkara PUU dan telah diputus sebanyak 150 perkara. Dari jumlah tersebut, MK telah menguji sebanyak 73 UU dengan perincian pada tahun 2003 terdapat 16 UU, tahun 2004 sejumlah 14 UU, dan di tahun 2005 terdapat 12 UU, tahun 2006 ada 9 UU, tahun 2007 sebanyak 12 UU, dan pada tahun 2008 terdapat 10 UU yang diuji. Dari 73 UU yang diuji oleh MK tersebut, terdapat 4 UU yang dibatalkan secara keseluruhan dan 25 UU yang dibatalkan sebagian.16

15 Ibid.

16 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Lima Tahun Menegakkan Konstitusi, Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nopember 2008, hal. 19-23.

Page 167: Buku Lintas Tim 2

167

BAB IIImeTode PeNelITIAN

Waktu dan TempatA.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, khususnya UU No. 39 Tahun 2004.

Penelitian hukum ini dilakukan di Provinsi Jatim pada tanggal 7-13 November 2010. Alasan dipilihnya Provinsi Jatim karena provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang cukup besar dalam menempatkan TKI di luar negeri. Hampir semua kabupaten/kota di Jatim menjadi daerah asal TKI, dengan “kantong-kantong TKI” (daerah yang paling banyak dimana TKI berasal) di antaranya Madura, Tulungagung, dan Trenggalek. Seiring dengan banyak TKI, banyak pula kasus yang menimpa TKI dari Jatim.

Adapun instansi di daerah yang menjadi obyek penelitian adalah Pemerintah Daerah Provinsi Jatim, Dinas Tenaga Kerja, Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan (UPTP3TKI) Provinsi Jatim, DPRD Provinsi Jatim, Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS), Kepolisian, dan perusahaan asuransi (PT Paladin).

Cara Pengumpulan data B.

Sesuai dengan jenis penelitian ini, maka data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh lembaga/pihak yang berwenang, meliputi antara lain, peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan konvensi. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, seperti: buku-buku, artikel, makalah, laporan penelitian, dan berbagai karya

Page 168: Buku Lintas Tim 2

168

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

tulis ilmiah lainnya.17 Data sekunder tersebut diperoleh dari perpustakaan, internet, surat kabar, seminar, dan sebagainya.

Untuk mendukung data sekunder diperlukan data primer yang diperoleh melalui wawancara secara mendalam dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun para pihak yang diwawancara adalah para pejabat/pegawai Pemda Provinsi Jatim, Anggota DPRD Komisi E Provinsi Jatim, para pejabat/pegawai di UPTP3TKI, polisi, pejabat/pegawai Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS), para pejabat/pegawai Dinas Tenaga Kerja, dan pegawai asuransi.

metode Analisis dataC.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian adalah metode analisis kualitatif. Metode ini dilakukan dengan menginterpretasikan, menguraikan, menjabarkan, dan menyusun data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder secara sistematis logis sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan.

17 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta,1998, hal.103-104.

Page 169: Buku Lintas Tim 2

169

BAB IVhAsIl PeNelITIAN dAN PemBAhAsAN

syarat usia TKI dalam Pasal 35 huruf a uu No. 39 Tahun 2004A.

Bekerja merupakan hak asasi manusia yang dijamin dan dilindungi dalam konstitusi. Jaminan dan perlindungan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Jaminan dan perlindungan hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 38 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan ”setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.”

Dalam tataran internasional, Indonesia juga telah meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), yang mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 2005. Pasal 6 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights mengakui hak setiap orang atas pekerjaan. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi tersebut maka Indonesia harus melaksanakan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dengan baik, yaitu dengan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk bekerja.

Berpijak pada landasan yuridis tersebut maka setiap warga negara Indonesia berhak untuk bekerja, baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan menjadi TKI. Untuk memberikan perlindungan terhadap TKI, Indonesia telah membentuk UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan

Page 170: Buku Lintas Tim 2

170

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun UU No. 39 Tahun 2004 tersebut dianggap oleh sebagian kalangan kurang memberikan perlindungan terhadap TKI. Sebagaimana dikemukakan Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU No. 39 Tahun 2004 yang sekaligus juga Wakil Ketua Komisi IX, Supriyatno bahwa substansi UU No. 39 Tahun 2004 lebih banyak mengatur tata niaga penempatan daripada tentang pengaturannya. Pasal yang mengatur penempatan ada 66 pasal atau 38 persen dari 109 pasal, sedangkan yang mengatur perlindungan hanya 8 pasal atau 7 persen. Oleh karena itu wajar jika banyak kalangan yang berpendapat paradigma pengaturan tersebut adalah komoditasasi TKI.18

Jika dicermati, pengaturan penempatan dalam UU No. 39 Tahun 2004 seharusnya tidak dianggap sebagai komoditasasi TKI karena pengaturan penempatan yang baik pada akhirnya akan bermanfaat untuk melindungi TKI itu sendiri. Penempatan yang baik dan sesuai prosedur dengan sendirinya akan meminimalisasi terjadinya berbagai kasus yang menimpa TKI. Selain itu, mengingat bekerja di luar negeri juga memiliki risiko tinggi maka diperlukan kesiapan baik fisik dan mental dari TKI. Oleh karena itulah Pasal 35 UU No. 39 Tahun 2004 mempersyaratkan calon TKI sebagai berikut:

Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon 1. TKI yang akan dipekerjakan pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;Sehat jasmani dan rohani;2. Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan3. Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Pertama 4. (SLTP) atau yang sederajat.

Syarat calon TKI tersebut, khususnya syarat usia calon TKI dimaksudkan untuk melindungi TKI. Hal ini dapat dilihat dari Penjelasan Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 yang menyebutkan sebagai berikut:

“Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada pengguna Perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu, maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek

18 “Revisi UU No. 39/2004 Kedepankan Perlindungan Penempatan TKI”, Parlementaria, op.cit. hal. 13

Page 171: Buku Lintas Tim 2

171

Dian Cahyaningrum

kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi.”

Namun Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 khususnya pada anak kalimat”…kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun” telah diajukan uji materiil (judicial review) ke MK karena dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945.

Pemohon judicial review tersebut adalah para calon TKI yang belum berumur 21 tahun sehingga tidak dapat menjadi TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan. Adapun alasan pengajuan judicial review tersebut intinya adalah bahwa Konstitusi telah menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan imbalan yang layak bagi kemanusiaan dalam suatu hubungan kerja. Hak tersebut harus diberikan pada semua orang dewasa, yang berdasarkan konsepsi International Labour Organisation (ILO) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang telah berusia di atas 18 tahun. Dengan demikian, syarat usia sekurang-kurangnya 21 tahun bagi TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan mencerminkan inkonsistensi sikap pemerintah dan pembuat UU. Syarat tersebut dapat mengakibatkan tertutupnya kesempatan bagi sekelompok warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan hilangnya hak konstitusional seseorang untuk bekerja. Alasan pembatasan usia tersebut untuk perlindungan TKI sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 juga tidak tepat dan mengesampingkan fakta bahwa semua TKI pada dasarnya rawan terhadap pelecehan seksual. Selain itu kematangan pribadi dan emosi yang dijadikan dasar/alasan adanya persyaratan usia juga bersifat relatif dan tidak terpaku pada usia, selain juga tidak konsisten dengan diberlakukannya prosedur wajib pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang harus dilalui TKI. Berpijak pada alasan/argumen tersebut maka Pemohon memohon kepada Majelis Hakim MK untuk menerima permohonan mereka dan menyatakan Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 pada anak kalimat yang berbunyi “…kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun” bertentangan dengan UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.19

Sehubungan dengan permohonan uji materi (judicial review) tersebut, pembuat UU yaitu Pemerintah dan DPR pada dasarnya memberikan

19 Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 028-029/PUU-IV/2006.

Page 172: Buku Lintas Tim 2

172

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

keterangan yang senada yaitu bahwa pembatasan syarat usia untuk TKI yang bekerja pada pengguna perorangan tidak dimaksudkan untuk melanggar hak TKI untuk bekerja melainkan untuk memberikan perlindungan kepada TKI. Perlindungan diperlukan karena ada kemungkinan tempat dan kondisi kerja di negara tujuan tidak sesuai dengan harapan TKI. Selain itu TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan juga rentan terhadap perlakuan-perlakuan yang dapat merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya karena memiliki hubungan yang intens dengan pengguna. Berbagai kondisi tersebut menghendaki adanya kesiapan fisik dan mental dari TKI untuk dapat melindungi dirinya sendiri. Oleh karena itu TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan disyaratkan berusia sekurang-kurangnya 21 tahun karena di usia tersebut TKI memiliki kematangan dari segi emosi dan kepribadian. Selain itu, menurut DPR pembatasan usia tersebut juga diperlukan untuk menjamin kesejahteraan anak baik dari segi lahir maupun batin sebagaimana diamanatkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang memberikan batasan umur anak yang dijamin kesejahteraannya sampai dengan usia 21 tahun.20

Setelah mendengar dan membaca keterangan dari berbagai pihak, sebelum memberikan keputusan, MK memberikan pertimbangan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negara dan kepentingannya. Namun dalam menjalankan kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada warga negara yang berada di luar yurisdiksi teritorialnya, terdapat pembatasan-pembatasan dan/atau larangan yang ditentukan oleh hukum internasional yang berlaku umum (general international law) yang membatasi keleluasaan suatu negara untuk melaksanakan kewajibannya tersebut. Akibatnya negara tidak mungkin melakukan tindakan langsung dan seketika terhadap pelanggaran hukum yang menimpa TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan. Ini berarti pada tahap permulaan, langkah yang perlu diambil akan sangat bergantung pada TKI itu sendiri dan ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut. Sehubungan dengan hal ini, faktor kematangan kepribadian dan emosi TKI yang bersangkutan sangat berperan. Oleh karena itu pembatasan usia 21 tahun untuk TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 tidak dapat dikatakan sebagai ketentuan yang menghalangi hak seseorang untuk bekerja, apalagi hak hidup.

Selain itu berpijak pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 12 Tahun

20 Ibid

Page 173: Buku Lintas Tim 2

173

Dian Cahyaningrum

2005, tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 mengandung sifat diskriminatif. Berpijak pada argumen ini maka MK menyatakan permohonan Pemohon yang mendalilkan Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan sehingga permohonan para pemohon harus dinyatakan ditolak.21

Berpijak pada Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum yang tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka putusan MK yang menguatkan ketentuan pembatasan usia TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya 21 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian semua pihak harus melaksanakan keputusan MK tersebut dengan sebaik-baiknya.

Implementasi Pasal 35 huruf a uu No. 39 Tahun 2004 B.

Provinsi Jatim merupakan salah satu provinsi pengirim TKI ke luar negeri yang besar. Berdasarkan Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2008-2010 Dirinci Menurut Kabupaten/Kota Daerah Asal TKI Provinsi Jatim, banyaknya TKI yang ditempatkan untuk bekerja di luar negeri pada Januari-Desember 2008 mencapai 59525 orang; pada Januari-Desember 2009 sebanyak 46418 orang; dan pada Januari-Oktober 2010 sebanyak 45711 orang. Hampir semua kabupaten/kota di Jatim menjadi daerah asal TKI, dengan “kantong-kantong TKI” (daerah asal yang besar mengirim TKI) diantaranya Gresik, Kabupaten Malang, Kabupaten Kediri, Kabupaten Madiun, Tulungagung, Kabupaten Blitar, Ponorogo, Banyuwangi, Jember, Lamongan, dan Magetan.22

Berdasarkan Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2008-2010 Dirinci Menurut Negara Tujuan dan Remittance Provinsi Jatim, nampak bahwa negara-negara tujuan yang menjadi tempat TKI bekerja tersebar baik di kawasan Asia, Timur Tengah dan Afrika yaitu Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Macau, Brunai Darusalam, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Abu Dhabi, Yaman, Rumania, Maldives, Yordania, New

21 Ibid.

22 “Rekapitulasi Data Penempatan TKI Ke Luar Negeri Kurun Waktu: Tanggal 1 Januari s/d 31 Desember 2008; 1 Januari s/d 31 Desember 2009; dan 1 Januari s/d 31 Oktober 2010 Dirinci Menurut Kabupaten/Kota Daerah Asal TKI Jawa Timur”, data berasal dari Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPTP3TKI) Provinsi Jawa Timur.

Page 174: Buku Lintas Tim 2

174

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

Zealand, Sychelles, dan Kuwait. Di antara kawasan tersebut, kawasan yang paling banyak menjadi tujuan TKI bekerja adalah kawasan Asia, khususnya Malaysia dan Hongkong. Namun tidak satu pun TKI yang bekerja di kawasan Amerika atau pun kawasan Uni Eropa.23

Menurut Bapak A dan Bapak B, tidak adanya TKI yang bekerja di kawasan Amerika dan Uni Eropa disebabkan peluang kerja di kawasan tersebut lebih banyak membutuhkan tenaga kerja ahli (expert). Berbeda dengan kawasan Asia yang banyak membutuhkan tenaga kerja informal seperti penata laksana rumah tangga (PLRT).24 Penjelasan kedua orang tersebut dapat dipahami. Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (UPTP3TKI) Provinsi Jatim mengenai penempatan TKI formal-informal, dilihat dari strukturnya, TKI lebih banyak yang bekerja di sektor informal jika dibandingkan sektor formal. Pada bulan Desember 2008, TKI yang bekerja di sektor informal ada 2.415 orang, sedangkan di sektor formal ada 1.952 orang. Pada 1 Januari–31 Desember 2009, jumlah TKI yang bekerja di sektor informal sebanyak 31.593 orang, sedangkan di sektor formal sebanyak 14.825 orang. Begitu pula pada Oktober 2010, TKI yang bekerja di sektor informal lebih banyak yaitu 2.359 orang, sedangkan yang bekerja di sektor formal hanya 1.894 orang.25

Salah satu sektor informal yang diminati TKI untuk bekerja adalah menjadi PLRT. Ini ditunjukkan Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2009 Kurun Waktu Tanggal 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 2000 Dirinci Menurut Jabatan di Provinsi Jatim, dimana jumlah keseluruhan TKI yang menjadi PLRT menempati urutan paling atas, yaitu sebanyak 21.318 orang, selanjutnya worker sebanyak 14.942 orang; caretaker ada 9.338 orang; tukang mekanik/operator ada 621 orang; tukang perkebunan sebanyak 105 orang; penjahit ada 51 orang; elektronik ada 29 orang; konstruksi ada 13 orang; dan pengemudi ada 1 orang.26

23 “Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2008-2010 Dirinci Menurut Negara Tujuan dan Remittance Provinsi Jawa Timur”, data berasal dari Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UPTP3TKI) Provinsi Jawa Timur.

24 Bapak B (Kepala Pengelola Keuangan UPTP3TKI Provinsi Jatim) dan Bapak A (Pegawai UPTP3TKI Provinsi Jatim), wawancara dilakukan pada tanggal 7 November 2010.

25 Disarikan dari data mengenai penempatan TKI formal-informal yang berasal dari UPTP3TKI Provinsi Jatim.

26 Rekapitulasi Data Penempatan TKI ke Luar Negeri Tahun 2009 Kurun Waktu Tanggal 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 2009 Dirinci Menurut Jabatan Provinsi Jawa Timur, data berasal dari UPTP3TKI Provinsi Jatim.

Page 175: Buku Lintas Tim 2

175

Dian Cahyaningrum

Sehubungan dengan dikuatkannya Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka calon TKI yang hendak bekerja pada pengguna perseorangan sebagai PLRT harus berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun. Namun pada prakteknya umur TKI banyak yang dipalsukan. Berdasarkan data “Jumlah TKI Terminasi yang Datang di Bandara Juanda Sidoarjo pada tahun 2010 (dirinci berdasarkan jenis permasalahan TKI dan negara tujuan penempatan TKI),” sampai dengan Oktober 2010 ada 7 kasus TKI dipulangkan karena usia TKI belum memenuhi syarat.27

Tidak tertutup kemungkinan pemalsuan umur inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai kasus yang menimpa TKI. Ini disebabkan TKI berada pada posisi rentan dan kurang memiliki kematangan psikis. Berdasarkan data “Kepulangan TKI yang Bermasalah di Provinsi Jatim” tahun 2008, 2009, dan Oktober 2010, kasus-kasus yang menimpa TKI diantaranya adalah dianiaya, dilecehkan, belum mendapatkan gaji, dan diputuskan hubungan kerjanya secara sepihak. Pada tahun 2008, jumlah kepulangan TKI yang bermasalah di Provinsi Jatim ada sebanyak 6.732 orang. Jumlah ini meningkat pada tahun 2009 menjadi 7.914. Sedangkan pada tahun 2010, sampai dengan Oktober 2010, jumlah kepulangan TKI yang bermasalah ada sebanyak 5.672 orang.28

Meskipun pemalsuan umur dapat menimbulkan terjadinya berbagai masalah/kasus yang menimpa TKI, penegakan hukum terhadap kasus tersebut belum cukup baik. Pemalsuan umur masih terus terjadi, bahkan sebagaimana diungkapkan oleh narasumber yang bekerja sebagai PPTKIS, pernah terjadi aparat penegak hukum (polisi) melakukan pemerasan terhadap dirinya yang diduga melakukan pemalsuan umur TKI.29 Hal ini patut disayangkan mengingat polisi yang seharusnya menangani masalah pemalsuan umur dengan baik, justru memanfaatkan kasus tersebut untuk kepentingannya.

Jika dianalisa, kasus pemalsuan umur terjadi karena seseorang terdorong untuk menjadi TKI baik atas kemauan sendiri maupun atas desakan atau disuruh orang tuanya. Berpijak pada teori push-pull dari Everett Lee, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa narasumber, faktor utama yang mendorong seseorang menjadi TKI tersebut adalah kemiskinan dan adanya

27 Data mengenai “Jumlah TKI Terminasi yang Datang di Bandara Juanda Sidoarja pada tahun 2010 Dirinci Berdasarkan Jenis Permasalahan TKI dan Negara Tujuan Penempatan TKI”, data berasal dari UPTP3TKI Provinsi Jatim.

28 Data “Kepulangan TKI yang Bermasalah di Provinsi Jatim” tahun 2008, 2009, dan Oktober 2010, yang berasal dari UPTP3TKI.

29 Pemilik PPTKIS PT Orientasari Mahkota, wawancara dilakukan di PT. Orientasari Mahkota di Provinsi Jatim, pada tanggal 9 November 2010.

Page 176: Buku Lintas Tim 2

176

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara kesempatan kerja di dalam negeri sangat terbatas sedangkan di luar negeri cukup banyak dengan penghasilan (gaji) yang cukup tinggi.30 Berbagai faktor tersebut menyebabkan TKI melakukan berbagai upaya untuk menjadi TKI meskipun harus melanggar aturan diantaranya dengan memalsukan umur agar memenuhi syarat Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004. Ironisnya kasus pemalsuan umur tersebut kurang bisa dikontrol dengan baik karena ada kerjasama dengan aparat (Ketua RT dan/atau kelurahan) dalam pembuatan identitas TKI.31

Sedangkan dari sisi pengusaha (PPTKIS), kasus pemalsuan umur terjadi karena pengusaha terdorong untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan agar bisnisnya di bidang penempatan TKI dapat berjalan dengan baik. Dorongan atau motivasi tersebut dapat dipahami karena Pasal 14 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2004 mengatur bahwa perpanjangan Surat ijin Pelaksana Penempatan TKI (SIPPTKI) dapat diberikan kepada PPTKIS jika PPTKIS memenuhi syarat, diantaranya telah melaksanakan penempatan sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari rencana penempatan pada waktu memperoleh SIPPTKI dan memiliki neraca keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir tidak mengalami kerugian yang diaudit akuntan publik.

Dorongan tersebut menyebabkan PPTKIS tidak melakukan pemeriksaan kembali atau bahkan justru melakukan pemalsuan identitas termasuk umur TKI yang ditempatkannya. Sehubungan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PPTKIS maka wajar jika ada sebagian pihak yang menghendaki agar pemerintahlah yang sebaiknya melakukan penempatan TKI ke luar negeri. Selain untuk keamanan dan perlindungan TKI, penempatan TKI ke luar negeri oleh pemerintah juga didasarkan pada pertimbangan Pemerintahlah yang dikenai kewajiban untuk memenuhi hak tiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945. Alasan lainnya, penempatan TKI ke luar negeri merupakan urusan negara (pemerintah) karena berkaitan dengan hubungan antar negara.

Namun, langkah tersebut kurang tepat karena pemerintah memiliki keterbatasan kapasitas untuk melakukan penempatan TKI ke luar negeri yang jumlahnya terus meningkat. Selain itu, menurut narasumber, hal tersebut juga

30 Salah satu Anggota Komisi E, DPRD Provinsi Jatim, wawancara dilakukan di DPRD Provinsi Jatim pada tanggal 11 November 2010. Faktor utama ini juga dikemukakan oleh Kepala Pengelola Keuangan UPTP3TKI Provinsi Jatim, wawancara dilakukan pada tanggal 7 November 2010. Data ini juga diperoleh dari jawaban tertulis yang berasal dari Disnaker Pemprov Jatim atas pertanyaan penelitian yang dikirim sebelum Peneliti ke lapangan.

31 Bapak A (Pegawai UPTP3TKI Provinsi Jatim), wawancara dilakukan pada tanggal 7 November 2010.

Page 177: Buku Lintas Tim 2

177

Dian Cahyaningrum

dikhawatirkan akan menimbulkan protes dari PPTKIS jika PPTKIS dilarang untuk menempatkan TKI ke luar negeri karena dianggap pemerintah tidak memberdayakan PPTKIS.32 Pendapat narasumber tersebut dapat dibenarkan karena tidak semua PPTKIS melakukan pemalsuan umur TKI bahkan justru ada PPTKIS yang berupaya mencegah terjadinya pemalsuan umur yang dilakukan oleh TKI itu sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh PPTKIS PT Surya Pasifik Jaya. Sebagaimana diungkapkan oleh pegawai PPTKIS PT Surya Pasifik Jaya, upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya pemalsuan umur dan agar perusahaannya tidak dipersalahkan atas pemalsuan umur adalah calon TKI diminta untuk membuat pernyataan bahwa data yang diberikannya benar.33

Faktor lain yang juga menjadi penyebab terjadinya pemalsuan umur TKI adalah tidak adanya data yang akurat mengenai calon TKI dan TKI di daerah asal. Ini disebabkan Pasal 54 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2004 mengatur “PPTKIS wajib melaporkan setiap perjanjian penempatan TKI kepada instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.” Aturan tersebut cukup rancu dan dapat disalahgunakan karena PPTKIS dapat melaporkan perjanjian penempatan kepada instansi pemerintah Kabupaten/Kota di mana saja yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, bukan di daerah asal TKI. Akibatnya, instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota mengalami kesulitan melakukan pendataan TKI yang berasal dari daerahnya. Bahkan, menurut narasumber, kabupaten/kota yang seharusnya memiliki data akurat justru meminta data dari UPTP3TKI Provinsi Jatim.34

Hal yang sama juga terjadi dengan rekom paspor. Sebagaimana dikemukakan oleh salah satu pegawai UPTP3TKI Provinsi Jatim, rekom paspor yang selama ini diatur dalam Peraturan Menteri hanya menyebutkan bahwa rekom paspor dikeluarkan oleh dinas tenaga kerja (disnaker) kabupaten/kota. Ketentuan seperti itu menyebabkan PPTKIS dapat meminta rekom paspor dari disnaker kabupaten/kota mana pun yang bersedia memberikannya. Ironisnya, pihak imigrasi mengeluarkan paspor selama ada rekom paspor tanpa peduli darimana rekom paspor berasal. Akibatnya tidak ada kejelasan/keakuratan data TKI.35 Tidak dimilikinya data calon TKI dan TKI yang akurat menyebabkan daerah

32 Kepala UPTP3TKI Provinsi Jatim, wawancara dilakukan di UPTP3TKI Provinsi Jatim pada tanggal 8 November 2010.

33 Pegawai PPTKIS PT Surya Pasifik Jaya, wawancara dilakukan di PT Surya Pasifik Jaya pada tanggal 9 November 2010.

34 Ibid.

35 Bapak B (Pegawai UPTP3TKI Provinsi Jatim), wawancara dilakukan di UPTP3TKI Provinsi Jatim pada tanggal 11 November 2010.

Page 178: Buku Lintas Tim 2

178

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

tidak dapat mengontrol dan melakukan pemeriksaan atas kebenaran identitas TKI, termasuk umur TKI. Masalah ini diperparah dengan belum selesainya proses administrasi kependudukan melalui pembuatan Kartu Tanpa Penduduk (KTP) secara elektronik sehingga pemalsuan umur TKI makin terbuka lebar, apalagi jika aparat terkait mau diajak bekerjasama untuk memalsukan umur TKI.

Dengan melihat berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya pemalsuan umur sebagaimana dipaparkan maka upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi atau bahkan jika memungkinkan menghilangkan sama sekali masalah pemalsuan umur adalah dengan segera menyelenggarakan dan mengelola administrasi kependudukan yang baik sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan yang mulai berlaku pada tanggal 29 Desember 2006. Dengan adanya administrasi kependudukan tersebut, TKI memiliki dokumen kependudukan (meliputi biodata penduduk, kartu keluarga, KTP, surat keterangan kependudukan, dan akta pencatatan sipil) yang benar sehingga umur TKI sulit dipalsukan karena beberapa alasan sebagai berikut:

Instansi pelaksana telah melakukan verifikasi dan validasi data dan 1. informasi yang disampaikan oleh penduduk dalam pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.Setiap penduduk memiliki nomor kependudukan (NIK) yaitu nomor 2. identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia.KTP berlaku secara nasional dan setiap penduduk hanya diperbolehkan 3. memiliki 1 KTP. Selain itu dalam KTP juga disediakan ruang untuk memuat kode keamanan dan rekaman elektronik pencatatan peristiwa penting.Adanya ancaman pidana bagi setiap penduduk yang dengan sengaja 4. memalsukan surat dan/atau dokumen kepada instansi pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting (Pasal 93 UU No. 23 Tahun 2006)Adanya ancaman pidana bagi setiap orang yang tanpa hak dengan sengaja 5. mengubah, menambah, atau mengurangi isi elemen data pada dokumen kependudukan (Pasal 94 UU No. 23 Tahun 2006)

Page 179: Buku Lintas Tim 2

179

Dian Cahyaningrum

Upaya lainnya yang juga penting untuk dilakukan adalah menciptakan lapangan kerja khususnya di kabupaten/kota yang menjadi “kantong-kantong TKI.” Dengan adanya upaya ini diharapkan seseorang tidak perlu lagi mencari kerja di luar negeri dengan menjadi TKI. Penciptaan lapangan kerja ini juga harus diiringi dengan upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Jika laju pertumbuhan penduduk tidak ditekan, dikhawatirkan lapangan kerja yang tersedia tidak mampu mengakomodasi laju pertumbuhan penduduk usia produktif sehingga terjadilah pengangguran yang pada akhirnya akan mendorong seseorang menjadi TKI meskipun belum cukup umur sebagaimana disyarakatkan dalam Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004.

Penciptaan lapangan kerja di dalam negeri juga diharapkan dapat membawa dampak positif lainnya yaitu mengentaskan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Jatim masih cukup tinggi meskipun telah mengalami penurunan. Berdasarkan data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jatim, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (penduduk miskin) di Jawa Timur pada bulan Maret 2011 sebanyak 5,356 juta orang (14,23 persen), turun dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2010 yang sebesar 5,529 juta orang (15,26 persen).36 Penurunan jumlah penduduk miskin ini perlu terus dilakukan karena salah satu faktor pendorong TKI yang belum cukup umur bekerja ke luar negeri adalah masalah kemisikinan, sementara kebutuhan hidup TKI dan keluarganya makin meningkat dan harus segera dipenuhi.

Peningkatan kualitas TKI juga perlu terus dilakukan agar terjadi pergeseran struktur TKI di Jatim, yaitu TKI yang bekerja pada sektor formal lebih banyak jika dibandingkan dengan yang bekerja pada sektor informal misalnya dengan menjadi PLRT. Dengan bekerja di sektor formal misalnya di perusahaan maka TKI yang berusia 18 tahun sudah diperbolehkan untuk bekerja. Selain itu bekerja pada sektor formal juga lebih terjamin perlindungan hukumnya karena di beberapa negara misalnya Arab, tidak memasukkan PLRT sebagai tenaga kerja formal sehingga kurang terjamin perlindungan hukumnya.

Selain upaya-upaya di atas, penegakan hukum juga perlu dilakukan secara tegas kepada siapa saja yang melakukan pemalsuan umur TKI dan menempatkan TKI yang tidak memenuhi syarat Pasal 35 UU No. 39 Tahun 2004. Dalam hal ini pelaku pemalsuan umur dapat dijerat dengan Pasal 93 ataupun Pasal 94 UU No. 23 Tahun 2006. Khusus bagi aparat kepolisian yang tidak melaksanakan

36 Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Profil Kemiskinan di Jawa Timur Maret 2011, http://jatim.bps.go.id/?cat=54, diakses tanggal 14 November 2011.

Page 180: Buku Lintas Tim 2

180

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

tugasnya menegakkan hukum dengan baik, bahkan melakukan tindakan pemerasan atau pun pemalsuan umur TKI hendaknya dikenakan pidana yang lebih berat dari pada pelaku orang biasa. Melalui berbagai upaya sebagaimana telah dipaparkan diharapkan kasus pemalsuan umur TKI di Jatim tidak terulang kembali. TKI diharapkan dapat bekerja dengan baik, aman, nyaman, dan terlindungi.

Page 181: Buku Lintas Tim 2

181

BAB VPeNuTuP

KesimpulanA.

Hukum menjamin hak setiap orang untuk bekerja baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan menjadi TKI. Mengingat bekerja di luar negeri memiliki resiko yang tinggi dan rentan terhadap terjadinya berbagai permasalahan yang mengancam harkat dan martabat manusia, sementara negara memiliki keterbatasan dalam melakukan perlindungan karena di luar wilayah teritorial maka Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 mempersyaratkan TKI khususnya yang bekerja pada pengguna perseorangan berusia sekurang-kurangnya 21 tahun. Syarat usia ini tidak dimaksudkan untuk melanggar hak warga negara untuk bekerja dan membatasi kesempatan seseorang untuk bekerja, melainkan untuk memberikan perlindungan agar TKI memiliki kesiapan fisik dan mental pada saat bekerja di luar negeri. Syarat usia TKI tersebut telah dikuatkan oleh putusan MK yang telah menolak uji materi (judicial review) pemohon atas Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004. Oleh karena itu ketentuan tersebut harus dilaksanakan dengan baik oleh semua pihak.

Dalam tataran implementasi atau pelaksanaan Pasal 35 huruf a UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jatim, ditemukan adanya pelanggaran yaitu pemalsuan usia TKI. Faktor pendorong yang menyebabkan pelanggaran tersebut adalah kemiskinan TKI, sementara kesempatan kerja di dalam negeri terbatas; adanya ambisi PPTKIS untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya; dan penegakan hukum yang belum cukup baik oleh aparat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi atau mengatasi masalah pemalsuan usia TKI adalah menyelenggarakan dan mengelola administrasi kependudukan yang baik sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2006, menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kualitas TKI, dan menegakkan hukum dengan baik.

Page 182: Buku Lintas Tim 2

182

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

saranB.

Pemalsuan usia TKI menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai kasus yang menimpa TKI. Oleh karena itu semua pihak harus melakukan segala upaya untuk mencegah dan menangani masalah pemalsuan umur TKI, yaitu:

Pemerintah harus segera menyelesaikan proses administrasi kependudukan 1. berdasarkan UU No. 23 Tahun 2006, menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan kualitas TKI. Aparat penegak hukum harus melaksanakan tugasnya secara profesional 2. dalam menangani masalah pemalsuan umur dengan baik dan menindak secara tegas pelaku pemalsuan umur.Semua pihak, khususnya orang tua/suami/istri hendaknya tidak 3. melakukan pemaksaan dan memerintahkan anggota keluarganya yang belum memenuhi syarat usia untuk menjadi TKI.PPTKIS hendaknya mentaati dan melaksanakan semua peraturan perundang-4. undangan yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI dengan baik dan mengupayakan data TKI yang diterimanya adalah benar.

Page 183: Buku Lintas Tim 2

183

dAFTAr PusTAKA

Buku/majalah/Jurnal:

Burhan Ashshofa. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:Rineka Cipta,1998.

I Dewa Rai Astawa. Aspek Perlindungan Hukum Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Program Studi Ilmu Hukum. Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2006.

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay. Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta, April 2006.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Lima Tahun Menegakkan Konstitusi, Gambaran Singkat Pelaksanaan Tugas Mahkamah Konstitusi 2003-2008. Cetakan Pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nopember 2008.

Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara No. 028-029/PUU-IV/2006.

Sali Susiana, ”Permasalahan Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri”, Jurnal Kajian, Vol. 5, No. 4, Desember 2000.

Sali Susiana, ”Kebijakan Penempatan TKI Pasca-Moratorium,” Parlementaria, Edisi 85 TH. XLII, 2011.

Warta Demografi, No. 3 Tahun ke-28 Tahun 1998.

Internet:

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, “Profil Kemiskinan di Jawa Timur Maret 2011”, http://jatim.bps.go.id/?cat=54, diakses tanggal 14 November 2011.

Page 184: Buku Lintas Tim 2

184

Batas Usia Tenaga Kerja Indonesia (Studi Tentang Implementasi Pasal 35 Huruf A UU No. 39 Tahun 2004 di Provinsi Jawa Timur)

”Jabar, Terbanyak TKI Bermasalah. TKI Jatim Terbanyak, Tetapi Sedikit Kasus”, 5 March 2010, http://www.yipd.or.id/main/readnews/15741, diakses tanggal 21 Februari 2011.

”Jawa Timur Duduki Peringkat Terbanyak TKI yang Meninggal”, 27 Mei 2010, http://www.berita8.com/news.php?cat=2&id=22678, diakses tanggal 21 Februari 2011.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Page 185: Buku Lintas Tim 2

185

TeNTANG PArA PeNulIs

Asep Ahmad saefuloh, se, m.si, lahir di Tasikmalaya 1 September 1971, menjadi peneliti Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI sejak tahun 1997. Jenjang kepangkatan Peneliti Madya (IVb) bidang Kebijakan Publik. Latar belakang pendidikan adalah Sarjana Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP), Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surakarta/Sebelas Maret Surakarta dan lulus tahun 1996. Kemudian melanjutkan studi pada Program Magister Kajian Kependudukan dan Ekonomi Sumber Daya Manusia, Universitas Indonesia (lulus tahun 2003). Saat ini sedang menempuh Program S3 Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia di Universitas Negeri Jakarta.

dian Cahyaningrum, sh. mh., lahir di Demak, Mei 1973. Pendidikan S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 1996 kemudian menempuh Magister Ilmu Hukum di Universitas Indonesia dengan program kekhususan Hukum Ekonomi (lulus tahun 2004). Bekerja pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI mulai tahun 1999 sebagai peneliti bidang hukum ekonomi. Jabatan saat ini adalah Peneliti Madya IVa. Ditugaskan sebagai anggota Tim Asistensi dan/atau Tim Pendamping pembahasan beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), antara lain RUU Daerah Perbatasan, RUU Perubahan tentang UU Perbankan, dan RUU Perubahan tentang UU Perjanjian Internasional. Selain itu juga ditugaskan sebagai Tim Pendamping dalam Tim Pemantau DPR RI tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Arab Saudi, dan Tim Pengawasan DPR RI terhadap Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi DPR RI tentang Pengusutan Kasus Bank Century. Beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya bertema privatisasi sumber daya air, membangun good corporate governance (GCG) pada BUMN, pengelolaan investasi di wilayah perbatasan, penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, dan pemanfaatan tanah adat untuk penanaman modal.

Page 186: Buku Lintas Tim 2

186

Tentang Para Penulis

dinar Wahyuni, m.si adalah calon peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI sejak Februari 2010. Menyelesaikan studi S1 Jurusan Ilmu Sosiatri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) tahun 2004. Kemudian melanjutkan studi S2 Jurusan Sosiologi Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial FISIPOL UGM dan lulus tahun 2007.

humphrey Wangke, msi, adalah Peneliti Madya (IVc) bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Ditempatkan di P3DI sejak tahun 1990 saat pertama lembaga ini dibentuk. Menyelesaikan studi S1 di FISIP Universitas Jember tahun 1987. Selanjutnya menyelesaikan studi S2 di Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia tahun 1998. Pada tahun 2011 menerbitkan buku Mencari Solusi Atas Perubahan Iklim.luthvi Febryka Nola, sh., mKn., lahir di Padang 29 Februari 1980. Pendidikan S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tahun 2003. Magister Kenotariatan diselesaikan di Universitas Indonesia pada tahun 2009. Bekerja di Sekretariat Jendral DPR RI mulai tahun 2010 sebagai calon peneliti Bidang Hukum di Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI).

sali susiana, m.si adalah Peneliti Madya (IVc) Bidang Studi Kemasyarakatan Studi Khusus Gender pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Menjadi peneliti P3DI sejak tahun 1996. Pendidikan sarjana dari Jurusan Sosiologi FISIPOL Universitas Gadjah Mada (1995) dan Magister dari Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2005). Menjadi Anggota Tim Asistensi untuk Tim Khusus DPR RI terhadap Penanganan TKI di Saudi Arabia (2011) dan beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU), antara lain RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (2011) dan RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (2011). Melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan isu gender dan perempuan, antara lain: Akses Perempuan terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan Reproduksi: Studi di Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara (2011) dan Implementasi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah: Studi di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali (2010); dan Pengarusutamaan Gender (Gender Mainstreaming) dalam Proses Legislasi dan Penyusunan Anggaran atas biaya United Nations Development Program (2008). Menjadi editor

Page 187: Buku Lintas Tim 2

187

Tentang Para Penulis

dan kontributor dari beberapa buku yang diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR RI dan menulis beberapa artikel mengenai isu perempuan dan gender pada jurnal ilmiah dan surat kabar, antara lain “Urgensi Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Perspektif Feminis” (Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7, No. 2 Agustus 2010); “Kebijakan Penempatan TKI Pasca-Moratorium” (Majalah Parlementaria, Edisi 85 Th XLII, 2011); “Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri” (Majalah Parlementaria, Edisi 80 Th XLI, 2010); dan “Nasib UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga” (Kompas, 11 Agustus 2010). Terakhir menulis buku Perda Diskriminatif dan Kekerasan terhadap Perempuan (2011).

Page 188: Buku Lintas Tim 2