32
PERTALIAN BARU: Kekuasaan, Rakyat & Politik ISSN 1858-0807 BerGERAK Vol 1, No.2, Juni 2006 Berita PERGERAKAN

Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bulletin pergerakan edisi 2

Citation preview

Page 1: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

PERTALIAN BARU:Kekuasaan, Rakyat & Politik

ISSN 1858-0807BerGERAKVol 1, No.2, Juni 2006

Berita PERGERAKAN

Page 2: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

2

Kawan-kawan,Pada edisi kedua ini, BERGERAK akan mengangkat topik Pertalian baru atas kekuasaan, rakyat dan politik, yang menguraikan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman sejumlah Organisasi rakyat dalam arena politik formal. Untuk itu dalam BERGERAK, kami mencoba membaginya dalam tiga topik utama yaitu: evaluasi PILKADA Langsung di beberapa daerah, dan Sekolah Politik. Dalam edisi ini kami juga memasukkan topik model penguatan advokasi rakyat. Kami berharap, semoga edisi kedua ini memberikan informasi baru yang dapat menjadi referensi dan memenuhi kebutuhan pembacanya.

Segala kritik dan saran kawan-kawan tetap kami butuhkan.

Salam pergerakan!

Daftar isi:Berita Utama:

Front Politik Rakyat..............3 Upaya Besar-besaran............5 Dinamika Politisasi Gerakan Sosial di Bengkulu.........8 Community Organizer = Political Organizer........10 Mengapa Sekolah Politik.............14

Menemukan Rakyat Terkonsolidasi.......15

Berita Khusus Menyeimbangkan Penguatan Ekonomi dan Penguatan

Politik Rakyat......25

Kalender Kegiatan Proses Pelatihan Pembuatan Film........28 Kalender Kegiatan PERGERAKAN.........31

Cara mendapatkan Bulletin BERGERAK Kirimkan identitas dan nama organisasi anda, akan kami kirimkan secara gratis. Informasi di Bergerak dapat dikutip tanpa ijin asal menyebut sumber. Apabila anda memiliki informasi tentang organisasi rakyat dan advokasi kerakyatan yang layak untuk disebarkan kepada masyarakat silakan kirim dan akan kami muat. Anda dapat menghubungi kami melalui alamat: PERGERAKAN Jl. Cigadung Selatan I No.31 Bandung 40191 Indonesia; Ph/Fax: 62-22-2505531 email: [email protected] dan website http://www.pergerakan.com

Buletin ini di terBitkan atas kerjasama PerGerakan denGan FOrd FOundatiOn: Grant nO. 1030-1823

Dewan RedaksiPenanggung Jawab : Sapei Rusin

Pemimpin Redaksi : Hilma Safitri

Redaksi : Hilma Safitri, Fajar Irawan, Dewi Rachma, Daus, Mulyadi,

tata letak : Tri Agung

ilustrasi sampul muka diolah dari karikatur karya Yayak berjudul “Bersatu”

Page 3: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

3

Berita utama

Sejak bangsa ini dibawah pimpinan Soekarno dengan panji-panji Revolusi Sosial-Politiknya sampai masa silih bergantinya kepimpimpinan dalam periode -yang disebut-sebut sebagai- transisi demokrasi pasca jatunya pemerintahan otoritarian Soeharto pada tahun 1998. Puncak keburaman potret hubungan rakyat, kekuataan dan politik terjadi semasa Rezim Orde Baru berkuasa. Seperti yang digambarkan oleh Dianto Bachriadi dalam salah satu tulisannya1 bahwa pemerintahan otoritarian Soeharto telah mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan rakyat yang menghasilkan sejumlah penderitaan bagi sebagian besar rakyat di negeri ini dan hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang saja. Berbagai ragam bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan, pengkebirian dan pelanggaran-pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan oleh aparatus negara atas nama penciptaan “stabilitas sosial” nyaris menjadi suguhan sehari-hari. Kita pun menyaksikan dan mengalami sejumlah

1 Bagian pengantar LPJ Ketua Badan Pelaksana pada Kongres I PERGERAKAN

Front Politik rakyat:Merintis Pertalian Baru antara rakyat, kekuasaan dan Politik

Serentetan potret buram mengenai

hubungan rakyat, kekuasaan dan politik

telah sama-sama kita saksikan hampir

sepanjang sejarah selepas Bangsa ini menyatakan

kemerdekaannya

Sapei rusinDirektur PErGErakan

perampasan, penghisapan, dan penipuan-penipuan yang dilakukan oleh aparatus negara untuk keuntungan segelintir pengusaha dan diri mereka sendiri untuk dan atas nama “pembangunan” dan penciptaan “kesejahteraan”. Kita telah menyaksikan dan mengalami sejumlah tindak pembodohan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya atas nama “pengukuhan ideologi negara” dan pengembangan “kebudayaan nasional”.

Lebih lanjut Dianto menambahkan bahwa selama 30 tahun lebih sebagian besar anggota masyarakat-bangsa ini hidup dalam kungkungan dan ketertindasan. Jangan kan bisa terlibat aktif dan pertisipatif di dalam pembentukan berbagai kebijakan publik yang jelas akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka. Rezim Orde Baru justru melakukan banyak hal yang menjadi kebalikannya secara ekstrem. Hak-hak dan akses sebagian besar warga terhadap sumber-sumber kehidupan dibatasi, bahkan dirampas. Hak-hak atas kemerdekaan dan kebebasan sebagai bangsa dari negara yang telah memerdekaan diri bertahun-tahun sebelumnya dipasung. Bahkan ada yang hak-haknya atas kehidupan ini dicabut dengan begitu saja agar negara ini bersih dari para “pembangkang”, “dissidents”, atau “penghianat negara”.

Tumbangnya pemerintahan otoritatian Soeharto pada tahun 1998 yang diikuti oleh silih bergantinya pemegang tampuk kekuasaan ternyata belum benar-benar dapat menghadirkan sebuah potret dimana rakyat benar-benar memiliki kontrol yang kuat terhadap kekuasaan dan politik. Krisis ekonomi dan disintegrasi sosial yang tidak kunjung selesai mulai mengembalikan peranan ekonom yang pro kapitalis dan militer ke barisan terdepan. Berbagai kebijakan dan lembaga yang bernuansa demokratik masih sangat disangsikan kinerjanya. Dalam situasi seperti ini tidak mengherankan jika muncul kekhawatiran akan kembalinya rezim otoritarian menguasai berbagai aspek kehidupan rakyat. Kekhawatiran ini sepertinya cukup beralasan jika membandingkan antara fakat-fakta yang terjadi dengan indikasi yang sampaikan oleh Sorensen (1993) seperti dikutip Dianto dalam tulisannya yang sama. Menurutnya, munculnya kembali rezim-rezim otoritarian akan dimulai dengan suatu keadaan yang disebut sebagai frozen democracies atau demokrasi yang membeku. Yakni suatu keadaan dimana arus perubahan menuju masyarakat

Page 4: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

4

Berita utama

demokratik tiba di satu titik balik atau mengalami pembusukan. Titik balik itu dapat terjadi manakala: (a) pemerintahan (atau pemerintahan-pemerintahan) baru yang berkuasa tidak mampu melakukan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan masyarakat – khususnya yang menyangkut kepentingan kaum miskin; (b) pemerintah yang baru gagal untuk menuntaskan sejumlah warisan permasalahan yang akut yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, seperti kasus-kasus korupsi dan pelanggaran-pelanggaran HAM; (c) tata tertib dan iklim yang kondusif bagi kelangsungan proses demokratisasi gagal untuk diciptakan; dan (d) konsolidasi demokrasi itu sendiri tidak terjadi – yakni praktek-praktek demokrasi tidak bekembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik

Pada arus yang lain, pasca 1998 kerja-kerja pengorganisasian rakyat yang dilakukan oleh berbagai organ gerakan sosial di berbagai daerah juga semakin meningkat baik intensitas maupun kualitasnya. Meskipun demikian, kerja-kerja pengorganisasian rakyat tersebut masih berwatak campuran antara kerja-kerja “pengorganisasian kasus ala LSM”, kerja-kerja “pengorganisasian politik”, dan kerja-kerja “pengorganisasian untuk gerakan sosial yang lebih luas”. Tidak sedikit dari kalangan aktivis ‘pendamping’ yang menuai keuntungan dari kerja-kerja pengorganisasian ini, terutama pada masa Pemilu 1999, sehingga berhasil duduk dalam arena politik formal . Tetapi ironinya, tetap saja aspirasi-apirasi mengenai perubahan sosial-politik lebih mendasar yang diperjuangkan oleh organisasi-organisasi rakyat marjinal tidak tersalurkan dengan baik ke dalam arena politik formal tersebut. Selidik punya selidik ternyata keterlibatan mereka di dalam arus politik formal ini bukan lah satu proses kerja mandatoris dari kelompok-kelompok rakyat marjinal yang terorganisir tersebut.

Situasi diatas telah memberikan tantangan yang semakin besar bagi upaya meningkatkan kualitas kerja-kerja pengorganisasian. Konsistensi gerakan yang dilancarkan oleh sejumlah organisasi rakyat seolah-olah menjadi penyegar dalam perjalanan yang masih panjang untuk membangun kuasa Rakyat dalam pentas politik dan kekuasaan. Sejalan dengan itu, upaya berbagai elemen gerakan sosial harus diarahkan pada (1) bagaimana mengembalikan kerja-kerja organisasi masyarakat sipil (pengorganisasian, pendidikan, dst) ke dalam rel kehidupan politik yang sesungguhnya; dan (2) sebagai implikasinya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas

berpolitik dari rakyat dan kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan. Jadi, berbagai upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil tidak lagi sekedar diletakkan sebagai upaya untuk mendorong perubahan kebijakan publik atau sekedar terlibat di dalam proses pembentukan kebijakan publik, tetapi lebih dari itu menjadi bagian dari manuver-manuver politik kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan di dalam ruang-ruang politik untuk menggeser kekuasaan atau tegasnya dapat disebut sebagai ruang-ruang perebutan kekuasaan politik.

Misi seperti itulah yang kemudian mendorong terbangunnya Front Politik yang dimotori oleh berbagai organ gerakan sosial di Indonesia. Kehadirannya diposisi sebagai ruang konsolidasi kekuaatan untuk mengakselerasi berbagai agenda transformasi gerakan sosial menuju gerakan politik kerakyatan. Sejak dirintis pada pertengahan tahun 2004 dalam format ‘forum politik’ yang kemudian semakin mengental menjadi ‘front politik’ pada Juli 2005, sampai saat ini telah tergabung diantaranya: PERGERAKAN (Perhimpunan Penggerak Advokasi Kerakyatan), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), PPR (Partai Perserikatan Rakyat), PPR (Perhimpunan Rakyat Pekerja), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), KARSA, ICW, DEMOS dan PI (Pergerakan Indonesia). Penyelenggaraan pertemuan reguler untuk saling mengkomunikasikan berbagai ‘agenda politik’masing-masing organ merupakan menu utama kegiatan Front Politik guna membangun keselarasan dan meminimalkan ketegangan atau fragmentasi antar kalangan gerakan sosial. Berbagai agenda yang mengkerucut pada kehendak untuk membangun tatanan kehidupan yang mencerminkan pertalian baru antara Rakyat, Politik dan Kekuasaan secara intensif dirumuskan. Selain itu, untuk membangun konsolidasi dan proses re-politisasi gerakan rakyat secara lebih berkelanjutan, dirintis proses kaderisasi bersama untuk menjawab kebutuhan jaringan kader politik yang tangguh dari kalangan gerakan rakyat melalui agenda pengembangan Sekolah Politik Kerakyatan. Sadar akan besarnya tantangan dan serba sulitnya situasi yang dihadapi untuk menjalankan misinya tersebut, Front Politik secara intensif berupaya memperlebar jaringan kerjanya. Belum banyak yang dihasilkan oleh front ini, tapi upaya rintisan untuk membangun kuasa Rakyat atas politik dan kekuasaan sesungguhnya telah dimulai.

Page 5: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

5

Berita utama

Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, dan yang paling berat adalah dinamika politik nasional dan regional yang terus berubah. Seiring dengan era otonomi daerah yang dikeluarkan pada tahun 1999, maka setelah sekian puluh tahun rakyat Indonesia hampir tidak memperdulikan lagi keterlibatannya didalam arena politik formal, bisa dikatakan bahwa strategi untuk memasuki arena politik formal bagi organ-organ rakyat dan organ yang mengatasnamakan rakyat baru bisa dimulai pada era tersebut.

Maka tidak heran jika didalam perjalanannya pun proses yang dilalui masih disertai dengan belum bulatnya diantara organ rakyat yang ada untuk menempuh strategi memasuki ajang Pilkada, karena pada umumnya mereka masih belum bisa melepaskan (jika bisa dikatakan trauma) praktek-praktek yang menyebabkan ketidakpercayaan rakyat terhadap birokrasi yang dijalankan pada era Orde Baru. Hal ini teridentifikasi didalam pertemuan untuk mendiskusikan dan merefleksikan kerja-kerja politik organisasi rakyat didalam ajang Pilkada Juni 2005 yaitu diantaranya adalah yang menjadi hambatan dalam proses Pilkada Juni 2005 adalah aliansi rakyat yang pro perubahan masih dikatakan belum solid. Tetapi walau bagaimanapun beberapa organ rakyat tetap menempuh jalur ini dengan segala keterbatasannya.

Secara disadari, bagi mereka yang menempuh jalur ini, bahwa menggunakan arena Pilkada yang dimulai tahun 2005 ini merupakan tonggak awal bagi kerja-kerja jangka panjang selanjutnya. Dengan kata lain dinamika ini, suka atau tidak suka harus dihadapi untuk tujuan perjuangan bergesernya kekuasaan ke tangan rakyat. Faktor-faktor pendukung yang ada dipergunakan semaksimal mungkin walaupun masih banyak faktor menentang yang akan terus menghadang.

Strategi Dalam memaSuki ruang Politik.Di beberapa wilayah menunjukkan bagaimana arena

Pilkada 2005 banyak meresap seluruh energi yang ada di lingkaran gerakan sosial di satu kabupaten bahkan ada seluruh elemen gerakan pada satu masa menjelang Pilkada relatif tidak bisa mengerjakan aktivitas yang sudah dirancang secara sistematis. Hal ini bisa dikatakan sebagai hambatan karena jika dihubungkan dengan pola pengorganisasian politik, karena ini menunjukkan bahwa sesungguhnya elemen gerakan rakyat belum melakukan pengorganisasian politik secara merata dan sistematis.

Walaupun demikian upaya-upaya yang dilakukan belum mampu menepis faktor-faktor eksternal yang masih sangat kuat mempengaruhi kerja-kerja politik, seperti misalnya media publik yang belum bisa menjadi bagian integral dalam mendukung gerakan rakyat dalam Pilkada serta dukungan publik yang masih lemah, dan yang terpenting dan terberat adalah faktor administratif didalam memasuki arena Pilkada dimana ‘kepemilikan’ ‘perahu politik’ adalah syarat utama bagi siapa pun yang terlibat didalam Pilkada.

Untuk mendapatkan ‘perahu politik’, SPBL meminta salah satu partai untuk menjadi ‘perahu politik’ bagi pasangan yang didukungnya. Namun partai yang diasumsikan dapat mendukung gerakan rakyat (sekalipun), didalam prosesnya juga menentukan harga untuk penggunaan partainya. Harga yang dimintakan adalah Rp. 2 Milliar, dan angka tersebut adalah angka yang tidak kecil bagi organ rakyat pada umumnya. Pada awal penawarannya, pihak partai dengan sedikit memaksa mengatakan bahwa “ tawar menawar bisa dilakukan kemudian, asalkan bisa diselesaikan segera uang mukanya sebagai tanda dimulainya kerjasama…”. Menangapi penawaran dan dipadukan dengan ketidasanggupan tim SPBL, maka akhirnya SPBL menyatakan ketidaksanggupan memenuhi permintaan partai tersebut dan akan menyatakan permohonan maaf kepada publik yang

UPAYA BESAR-BESARAN, YANG LAIN LEBIH KUAT!!Refleksi Pengalaman Pilkada di Beberapa Wilayah

Hilma Safitri(Deputi of Research Center PERGERAKAN)

menemukan Jamur Di muSim HuJan.Minimal dari 5 pengalaman wilayah yang mempergunakan momen Pilkada Juni 2005, disadari tidak menempatkan momen Pilkada Juni 2005 didalam kerangka perjuangan jangka panjang.

Page 6: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

6

akan mendukungnya melalui gelar Konferensi Pers. Ternyata tanggapan SPBL membuat pihak partai gusar, dan kemudian mendatangi kembali SPBL dengan memberikan solusi lain, yaitu SPBL bisa menggunakan partainya sebagai ‘perahu politik’ namun tidak dengan mesin-mesin partai. Dan jalan tengah itu diterima oleh tim SPBL.(Disarikan dari uraian peserta dari Binjai – Sumut dalam Workshop Refleksi Pengalaman Pilkada, bulan Juli 2005 di Bandung)

Belum lagi jika kita tengok proses yang berlangsung pada saat pelaksanaan Pilkada, banyak pelanggaran aturan yang ada yang dilakukan, dan terlebih-lebih juga terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh elemen pelaksana Pilkada, yang pada akhirnya publik mempertanyakan keabsahan hasil dari Pilkada yang sudah berlangsung.

Keabsahan hasil Pilkada di Kota Binjai dipertanyakan oleh elemen gerakan rakyat, hal ini diawali dengan dikeluarkannya 2 SK KPU dalam rentang waktu kurang dari 4 jam. Kedua SK tersebut terkait dengan penundaan pelaksanaan Pilkada di Kota Binjai. SK yang pertama diterbitkan pada jam 24.00 tepat pada penggantian hari menuju pelaksanaan Pilkada di Kota Binjai pada tanggal 27 Juni 2005. Isi SK pertama sempat diumumkan kepada publik melalui media TV sehingga walaupun diumumkan pada tengah malam, kebanyakan warga bisa mengetahui pengumumam penundaan waktu pelaksanaan Pilkada di Kota Binjai. Berbeda halnya dengan SK kedua yang berisi pengumuman pembatalan penundaan pelaksanaan Pilkada di Kota Binjai. SK ini tidak tersosialisasi dengan baik, sehingga kebanyakan orang berpikir bahwa pelaksanaan Pilkada benar-benar ditunda.(Disarikan dari uraian peserta dari Binjai – Sumut dalam Workshop Refleksi Pengalaman Pilkada, bulan Juli 2005 di Bandung)

Beberapa faktor lain yang tidak kalah mengecohkan adalah cerita lama tentang kelicikan-kelicikan yang dilakukan oleh pihak lawan, misalnya permainan bagi-bagi uang untuk menjaring massa pemilih, manipulasi daftar pemilih, mobilisasi masa pemilih dan sebagainya. Hal ini diperlukan satu strategi tertentu yang terkadang harus juga meniadakan pikiran-pikiran dengan didasarkan hati nurani.

Untuk menanggapi manuver pihak saingan yang melakukan upaya mobilisasi pemilih dengan

menggunakan cara bagi-bagi uang, maka organ rakyat pun melakukan kampanye dengan menyebarkan selebaran yang berbunyi “Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya..”.

(Disarikan dari uraian peserta dari Manggarai – NTT dalam Workshop Refleksi Pengalaman Pilkada, bulan Juli 2005 di Bandung)

menDorong Dan memPerbanyak aktor-aktor yang terlibat DiDalam gerakan rakyat Di ruang Politik.Walaupun demikian bagi organ rakyat, momen Pilkada, dijadikan salah satu ajang untuk menuju terciptanya iklim demokrasi sebagai tujuan utama perjuangan rakyat, dan secara khusus Pilkada juga dijadikan ajang untuk menguji kemampuan organ rakyat didalam ajang politik formal. Dengan segala keterbatasan dan ketidakmampuannya organ rakyat memanfaatkan dengan sekuat tenaga. Setidaknya dari forum refleksi teridentifikasi hal-hal yang perlu dipersiapkan lebih baik khususnya dalam rangka memasuki ajang Pilkada atau arena politik formal lainnya, yaitu:

1. Di tataran kerja-kerja pengorganisasian; (a) bagaimana mengubah community organizer menjadi political organizer, keduanya mensyaratkan watak yang berbeda satu sama lain, (b) diperlukan strategi penggalangan dukungan dari publik yang lebih luas dengan media-media yang sudah tersedia atau menciptakan media tersendiri, (c) membangun posisi tawar organ rakyat agar menjadi siap untuk memasuki arena politik formal khususnya agar bisa duduk bersama dengan partai politik, hal ini sangat terkait dengan bagaimana mengubah budaya sosial menjadi budaya politik.

2. Di tataran dalam rangka kerja-kerja langsung di arena politik formal; (a) terpikirkan perlunya pembentukan “partai sendiri”, (b) relatif terkuasainya seluruh elemen-elemen didalam pelaksanaan Pilkada oleh jaringan rakyat.

3. Di tataran advokasi kebijakan yang mendukung pelaksanaan Pilkada, diperlukan satu upaya khusus untuk menjadikan semua peraturan yang sudah ada dijalankan sebenar-benarnya oleh semua pihak.

Untuk kebutuhan 3 tataran tersebut, tampaknya kerja-kerja ekslusif menjadi perlu dipertimbangkan, mengingat banyak skill yang harus bermain didalam rangka kerja-kerja di arena politik formal. Dengan kata lain, organ rakyat sudah waktunya harus memikirkan banyak hal dan aspek untuk melengkapi kerja-kerja di basis.

Berita utama

Page 7: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

7

Berita utama

Didalam kerangka tindaklanjut dan untuk mengantisipasi Pilkada-Pilkada selanjutnya, maka forum refleksi juga merumuskan diperlukannya pembentukan front politik dan sebagai turunannya adalah dibentuknya komite politik. Front politik melalui komite politik yang dibentuk bertugas untuk mengakselerasi kerja-kerja (1) komunikasi politik serta pengumpulan hasil asesment

tentang kebutuhan pembentukan “partai sendiri”; (2) mendinamisasi proses transformasi gerakan sosial; (3) merumuskan langkah-langkah konsolidasi untuk unifikasi; (4) merumuskan ideologi dan tujuan bersama yang mengusung agenda kerakyatan; (5) melakukan kaderisasi politik dan (6) memperluas basis politik. []

Page 8: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

8

Sontak ungkapan Ketua Umum Serikat Tani Bengkulu (STAB) ini diamini oleh teriakan tidak kurang

7.5000 petani peserta kongres yang memadati Stadion Sawah Lebar Bengkulu dengan diiringi kepalan tangan dan sahutan takbir. Namun semangat yang bergelora pada kongres tersebut masih menyisakan sejumlah keraguan pada gerakan petani seiring bubarnya mereka dari kongres tersebut. Keraguan yang melekat pada sebagian petani tumbuh karena kekuasaan selalu identik dengan uang untuk menyogok dan trah (keturunan raja-raja pada zaman dahulu) . Seolah fitrah untuk berkuasa hanya untuk mereka yang memiliki uang dan latar belakang tersebut, bukan untuk petani yang aktifitas sehari-harinya ada disawah dan kebun. ”Apa iya kita bisa berkuasa, sementara kita tak punya uang?”, tanya Pak Gabe, petani asal Medan yang tergabung dalam kelompok Tani Kecamatan Muko-Muko Selatan Kabupaten Bengkulu Utara, diselimuti keraguan dalam sebuah perbincangan di kebun karet. “Padahal kalau mau jadi bupati, gubernur atau wakil rakyat selalu ada uang sogokan untuk menyuap”, sambung dia menambahkan kebimbangannya.

Antara semangat yang bergelora untuk merebut kekuasaan dan keraguan yang dimiliki para petani anggota STAB sama-sama memiliki dasar empiris yang kuat. Tingkat kekecewaan yang sangat tinggi yang dialami oleh kelompok rakyat petani di Bengkulu terhadap negara adalah alasan mendasar mengapa pilihan masuk dalam ruang politik menjadi begitu

penting. Kegagalan demi kegagalan dalam perjuangan untuk menuntut dan mempertahankan hak-hak tanah mereka melalui berbagai cara bisa dilihat dari sejumlah kasus, seperti: kasus konflik Tanah antara Petani Sukaraja dengan PTPN VII, Petani Talo dengan PT. Agri Andalas, serta petani karet dengan TCSSP dan Departemen Pertanian terkait masalah proyek karet tidak bergetah Begitu juga ungkapan yang disampiakan Pak Gabe diatas begitu nyata prakteknya. Setiap para pemegang kekuasaan selalu identik dengan mereka yang punya modal uang dan kedudukan dalam struktur sosial.

Situasi seperti ini disikapi oleh STAB dengan cukup baik. Semangat untuk merebut kekuasaan diletakkan sebagai modal untuk meraih cita-cita dan keraguan diposisikan sebagai tantangan yang harus dijawab. Berbagai diskusi kelompok secara informal intensif dilakukan di sawah, ladang dan kebun untuk membahas persoalan serta memperdalam strategi penguatan posisi petani. Perluasan wilayah organisasi juga secara intensif dilakukan. Begitu juga dengan berbagai rangkaian pendidikan kader yang diperuntukkan bagi akselerasi kerja-kerja pengorganisasian dan penyadaran politik.

Derasnya keinginan untuk memperkuat STAB sebagai langkah awal persiapan menuju kekuatan politik sudah tak bisa ditawar lagi. Langkah awal yang juga menjadi mandat kongres adalah pembentukan lembaga pendamping STAB yaitu P-KBHB (Perkumpulan Kantor Bantuan Hukum Bengkulu) dan STAB di tingkat Kabupaten. Pembentukan ini untuk menjaga ikatan emosional dan memperlancar pelayanan kepada anggota STAB yang sebelumnya harus ke ibu kota propinsi dalam menyampaikan permasalahannya. Pembentukan dimulai pada Februari 2002 dengan pendirian kantor cabang P-KBHB dan Badan Pengurus Daerah (BPD) STAB di Kabupaten Bengkulu Selatan dan Bengkulu Utara. Pembentukan BPD STAB dilakukan melalui pergelaran Musyawarah daerah (Musda), yang melibatkan semua kelompok yang telah dibentuk. Antusias kelompok petani mensukseskan Musda sangat tinggi. Hal ini terlihat karena selama Musda kebutuhan pokok seperti beras, gula, kopi di bawa sendiri oleh peserta.

Dinamika Politisasi Gerakan Sosial di Bengkulu1

1 Bagian ini dicuplik (setelah dilakukan pengeditan) dari tu-lisan refleksi Dediyanto sebagai salah satu bab dalam buku refleksi gerakan sosial di beberapa daerah yang difasilitasi dan (akan) diterbitkan oleh PERGERAKAN

“Semua upaya udah kita lakukan tapi mereka tetap tidak mau tau, sepertinya orang kita yang harus berkuasa”, tandas Amri Jausa dengan mimik yang sangat serius dalam pidatonya pada Kongres Serikat Tani Bengkulu (STAB) ke-2 pada bulan September 2001.

Page 9: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

9

Pagelaran Musda dijadikan tempat bagi anggota STAB untuk berdiskusi banyak tentang perebutan kekuasaan. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, STAB memandang serius peningkatan sumber daya manusia. Pelaksanaan pendidikan kader pada bulan puasa di tahun 2002 adalah salah satu aktivitas yang dilakukan dalam hal peningkatan SDM tersebut. Pendidikan ini dilaksanakan pada tiap kabupaten yang pesertanya direkrut berdasarkan rekomendasi kelompok. Pendidikan kader dilakukan dengan selektif, hanya orang-orang yang telah bersama-sama berjuang sebagai anggota serikat di wilayahnya yang dapat mengikutinya. Sehingga rata-rata peserta tiap pendidikan kader berjumlah 10 orang. Untuk menghindari pendidikan hanya ajang formalitas maka disepakati ada pemantauan yang dilakukan oleh kader senior. Pemantauan tersebut dilaporkan tiap tiga bulanan. Salah satu tugas kader STAB adalah sebagai penggiat aktifitas positip di tingkat komunitas, seperti memajukan Remaja Islam Masjid (Risma), karang taruna, termasuk kelompok tani tempat dia berasal. Hingga saat ini pendidikan kader telah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali di tiga kabupaten yaitu Bengkulu Utara, Rejang lebong dan Bengkulu Selatan. .

Proses perluasan wilayah dan keanggotaan STAB dilakukan sejalan dengan organisasi rakyat lainnya, yaitu Serikat Nelayanan Bengkulu (SNeB) dan Himpunan Pedagang Mandiri Bengkulu (HPMB). Keterikatan antara tiga organisais rakyat ini terletak pada peranan para aktivis PKBHB yang secara intensif melakukan upaya-upaya pengorganisasian dan pembelaan hukum pada kasus-kasus yang dihadapi komunitas petani, nelayan dan pedadang di wilayah kota. Pola perluasan yang dilakukan sangat mencerminkan pola pengorganisasi politik yang tidak lagi sekedar berbasiskan wilayah atau kelompok berkasus. Pembentukkan kepengurusan dilakukan hampir diseluruh wilayah pada semua tingkatan dari desa, kecamatan sampai kabupaten. Pilihan atas pendekatan ini disadari sejak awal sebagai konsekuensi masuknya ke ruang politik sehingga struktur partai-partai politik pun harus dapat ditandingi.

Percobaan kerja-kerja politik dimulai dari tingkat desa. Lebih berpihaknya kades pada penguasa birokrasi di atasnya dan pengusaha lokal dalam suatu kasus, serta ditambah adanya praktek korupsi terhadap bantuan-bantuan yang diterima desa, membuat anggota kelompok tani anggota STAB berkeinginan untuk merebut posisi pemerintahan desa baik kades atau BPD. Pada perjalanannya, banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi. Salah satu persoalan yang dihadapi

adalah rendahanya tingkat pendidikan anggota-anggota STAB. Banyak kader-kader potensial terhegal persyaratan administratif karena persoalan ini. Pada gilirannya, salah satu faktor yang menyebabkan kekalahan di beberapa tempat disebabkan oleh terlalu dipaksakannya anggota yang kapasitasnya kurang memadai tapi memenuhi persyaratan tingkat pendidikan. Di Sukasari Kabupaten Seluma misalnya. Anggota organisasi menjadi tidak solid karena rendahnya kepercayaan pada anggota yang diputuskan untuk ikut pemilihan kepala desa. Meskipun demikian, beberapa kemenangan beberapa kader STAB pun diperoleh. Sebut saja Asep yang menjadi Kepala Desa Sukamakmur Kecamatan Putri Hijau, Burmansyah yang menjadi kades Cahaya Negeri dan Munarman yang menjadi ketua BPD Desa Rigangan III Kabupaten Bengkulu Selatan.

Peristiwa perebutan kekuasaan di desa menjadi miniatur organsisasi bergerak. Melaului proses ini dapat dilihat sejauhmana organisasi diperhitungkan dan dipandang. Begitu juga kebutuhan terhadap peningkatan sumberdaya manusia menjadi semakin tegas. Disamping itu, keberhasilan suatu kelompok untuk memperjuangkan kadernya sampai berhasil terpilih menjadi kepalda desa atau BPD telah membangkitkan proses pembelajaran bersama antar kelompok menyangkut strategi-strategi yang dilakukan. Lebih jauh dari itu, refleksi atas proses perebutan kekuasaan di tingkat desa telah mengilhami para anggota untuk mendorong agar keluarga besar STAB mulai merintis proses uji perebetuan kekuasaan di tingkat kabupaten, propinsi bahkan sampai pusat.

Hasil refleksi tersebut itulah yang melatarbelakangi disepakatinya agenda untuk memperjuangkan Muspani2 dalam pemilihan DPD Bengkulu pada Rapat Pimpinan STAB dan Pelantikan Kader Tani di Asrama Haji Kota Bengkulu. Pilihan ini merupakan respon atas peluang melalui UU Pemilu baru. Pilihan terhadap Muspani didasarkan pada pertimbangan bahwa yang bersangkutan tidak diragukan lagi loyalitasnya kepada organisasi rakyat, baik petani, nelayan ataupun pedagang, selain termasuk orang yang turut membantu pendirian STAB.

Pada proses ini, tantangan yang dihadapi STAB semakin besar. Persoalan cakupan wilayah organisasi yang masih terbatas semakin memperberat langkah. Tapi tantangan ini dihadapi dengan kerja kerja keras para kader serikat tani, nelayan, pedagang dan PKBHB. Perjalanan pemenangan hanyalah berbekal kalender bergambar Muspani. Tim pemenangan terus bergerak dari Desa ke

Page 10: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

10

desa. Sering terjadi karena keterbatasan dana, para tim pemenangan tersebut bergerak dengan tanpa bekal. Makan terkadang dilakukan ditempat-tempat basis yang kebetulan berdekatan dengan wilayah exspansi. Peristiwa Habis bensin ditengah jalan dan pecah ban di hutan adalah teman yang setia menemani dalam perjalanan pemenangan. Kesedihan ini tidak terasa lagi ketika terbayang ejekan karena sang kandidat mengalami kekalahan.

Tak jarang dalam pertemuan-pertemuan dimintai bantuan nyata berupa uang atau batu koral atau pasir untuk masjid jika ingin menang. Dengan berat disampaikan bahwa itu tidak dimiliki. Yang dimiliki adalah akan memperjuangkan hak-hak mereka dikemudian hari khusus untuk daerah yang belum tergabung dengan STAB. Tumpukan proposal ke Posko mengalir tiap hari meminta bantuan. Namun proposal tersebut dijawab dengan surat yang berisikan permintaan maaf. Terkadang timbul rasa khawatir jangan-jangan atas sikap tersebut dalam pemilihan kandidat STAB tidak dipilih. Perusakan-perusakan gambar yang ditempel menjadi menu sehari-hari. Tambal sulam penempelan terus dilakukan pada periode kampanye. Menghadapai kondisi ini terkadang membuat emosi anggota STAB.

Upaya-upaya untuk menjaili kandidat lain sering terlintas di anggota STAB ketika menyaksikan bahwa tanda gambar kandidat STAB di robek-robek oleh orang tak dikenal. Ketegangan masa kampanye juga terjadi antara STAB dengan anggota masyarakat yang menjadi Tim sukses kandidat lain. Bahkan terkadang enggan untuk bertegur sapa jika bertemu dijalanan.

Perjuangan pemenangan akhir membuahkan hasil. Muspani terpilih menjadi DPD dari Propinsi Bengkulu pada uruta ketiga. Semua kader sampai di tingkat kampung bersorak gembira. Waktu terus berlalu. Setelah berhasil mendudukan calonnya di kursi kekuasaan ternyata perjuangan tidak lah langsung menjadi ringan. Justru tantangan terbesar adalah terletak pada konsistensi untuk terus-menerus memperkuat organisasi sebagai basis utama perjuangan. Pemimpin dan kader barus harus terus dilahirkan. Pengokohan wilayah organisasi dan perluasan harus terus-menerus diperjuangkan. Soliditas dan kapasitas anggota harus tersu ditingkatkan. Karena tanpa itu semua, politisasi gerakan sosial hanya akan menjadi ajang ‘bunuh diri’. []

2 Muspani, 42 Tahun adalah salah satu pendiri Perkumpulan kantor bantuan hukum bengkulu(P-KBHB) yang secara tegas menjadi kuasa dan penasehat hukum atas Organisasi rakyat (STAB), yang menjadi korban kekerasan struktural. Dia tercatat sebagai Dewan pakar STAB hingga saat ini.

Page 11: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

11

Pendampingan dan Penguatan Anggota, (3) Kampanye dan (4) Penguatan Kapasitas Kelembagaan. Dengan keanggotaan yang keseluruhannya merupakan organisasi rakyat, pengembangan program pokoknya didedikasikan untuk organisasi rakyat anggotanya. Begitu juga dengan pendidikan dan penguatan politik organisasi rakyat, dikembangkan mekanisme aksi dijalankannya mandapt program pokok tersebut sesuai dengan redaksinya yaitu dengan mengembangkan dan mendorong dilakukannya pendidikan kader di basis-basis anggota organisasi rakyat yang bersangkutan dan bagi organisasi yang melingkupi organisasi di tingkat propinsi mengembangkan pendidikan politik kader organisasi rakyat.Pada bagian ini akan diuraikan aksi-aksi sebagai pengembangan program pokok pendidikan kader yang dikembangkan di basis anggota Serikat Nelayan Merdeka (SNM) dan Serikat Buruh Perkebunan (SerBuk) Indonesia, dan satu pola pendidikan politik kader organisasi rakyat yang diselenggarakan oleh Hapsari.

Dalam Rangka Membangun Kekuatan Politik RakyatDidalam praktek-praktek pendidikan yang dilaksanakan oleh jaringan ORI sumut, bisa dikatakan merupakan sebuah upaya besar yang dilakukan secara terintegrasi untuk mendorong terbangunnya kekuatan politik rakyat. Sebut saja pendidikan kader yang dilakukan oleh Serikat Buruh Kebun (Serbuk) Sumatera Utara, Serikat Nelayan Merdeka (SNM) Sumatera Utara dan secara khusus juga dilakukan pendidikan kader politik rakyat bagi kader Hapsari. Didalam skema yang dikembangkan tampak bahwa sangat ingin membangun inisiatif-inisiatif dari “bawah” (atau rakyat) untuk mengisi kekuatan politik khususnya di Sumatera Utara. Walaupun cakupan wilayah yang tercakup baru sebatas beberapa kabupaten saja di

Pada tanggal 10 Desember 2001, dengan momentum peringatan hari HAM sedunia, sebanyak 21 organisasi rakyat dari berbagai wilayah se-Sumatera berkumpul di Bengkulu untuk memberikan dukungan solidaritas terhadap masalah pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, dan dari sinilai dimulainya kesadaran organisasi rakyat untuk memperkuat kesadaran politik dari masyarakat akar rumput untuk membangun kekuatan sosial politik untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan politik rakyat. Maka dideklarasikankah Organisasi Rakyat Independen (ORI) Sumatera1.ORI Sumut, pada periode 2004-2006 beranggotakan 10 organisasi rakyat di tingkat kabupaten dan 1 organisasi gederasi tingkat propinsi, yaitu:

1. ASTANUSA (Asosiasi Petani Nusantara)2. HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan

Indonesia)3. Serikat Perempuan Indonesia (SPI) Deli Serdang4. Serikat Perempuan Indonesia (SPI) Simalungun5. Serikat Perempuan Indonesia (SPI) Labuhan Batu6. Serikat Perempuan Petani dan Nelayan (SPPN)

Serdang Bedagai7. Solidaritas Perempuan (SP) Deli Serdang8. Serikat Buruh Kebun (SerBuK) Indonesia9. Serikat Nelayan Merdeka (SNM) Serdang

BedagaiORI Sumut didalam kepengurusannya dimandatkan untuk menjalankan program pokok yang terdiri dari (1) Pendidikan dan Penguatan Politik Organisasi Rakyat, (2)

Community Organizer = Political Organizer ??Proses Akumulasi Pengalaman Rakyat untuk Penguatan Organisasi Rakyat

–Catatan Pendidikan Kader dan Pendidikan Politik Organisasi Rakyat di Deli Serdang–

Jaringan organisasi rakyat di Sumatera Utara, salah satunya tergabung dalam Organisasi Rakyat Independen (ORI) – Sumatera Utara. Merupakan jaringan yang dikoordinasikan oleh satu Sekretariat Bersama ORI yang berdomisili di Deli Serdang – Sumatera Utara, dengan strategi mengembangkan pola pengorganisasian rakyat sebagai cikal bakal didirikannya serikat-serikat rakyat dengan berbagai sektor, yaitu tani, nelayan, perempuan, buruh dan miskin kota.

1. Lihat dokumen “Sekretariat Bersama Organisasi Rakyat Inde-penden”, ORI – Sumut.

Page 12: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

12

Sumatera Utara namun sebagai sebuah gerakan rakyat akan menjadi satu pola yang bisa diandalkan.Setidaknya ada 2 tipe pendidikan yang dilakukan di wilayah Deli Serdang, yaitu pendidikan yang dilakukan secara khusus bagi kader-kader di basis dan pendidikan politik bagi calon-calon pelaku advokasi kebijakan di wilayah. Keduanya mempunyai perbedaan dalam pemilihan materi-materi yang disampaikan dan peserta yang ditargetkan terkait dengan tujuan masing-masing pendidikan yang dirancang. Didalam pelaksanaannya, walaupun jika dilihat dari peserta dan materi yang dipilih tampak sekali sangat menekankan kewilayah, namun secara sadar praktek-praktek yang dilakukan di Deli Serdang bisa diadopsi di wilayah-wilayah atau kelompok lain yang serupa. Kedua jenis pendidikan ini merupakan satu rangkaian yang saling kait mengkait sejak pendidikan yang dimulai dari basis hingga pendidikan yang dilakukan di tingkat wilayah. Pengalaman di Deli Serdang, yang dimotori oleh Sekber ORI menunjukkan bahwa pendidikan dimulai dari tingkat basis yang ditandai dengan masing-masing karakter pendidikan berdasarkan karakter organisasi rakyat yang bersangkutan. Pendidikan yang dilakukan di tingkat basis yang dilakukan sepanjang tahun 2005 (yang terekam oleh Pergerakan) adalah pendidikan untuk organisasi nelayan yaitu Serikat Nelayan Merdeka (SNM) dan organisasi buruh kebun yaitu Serikat Buruh Kebun (Serbuk). Dan salah satu jenjang berikutnya yang dilakukan untuk kader-kader politisi wilayah adalah pendidikan politik lokal rakyat yang (saat ini masih) diperuntukkan bagi anggota Hapsari.Sejumlah organisasi di Deli Serdang merupakan anggota dari Organisasi Rakyat Independen (ORI), dan didalam praktek menjalankan pendidikannya pun mempunyai koordinasi yang kuat dengan Sekber ORI. Didalam banyak dokumen yang merupakan catatan dilaksanakannya pendidikan kader di Deli Serdang, tampak bahwa masing-masing melaksanakan pendidikan dengan pola yang sama dalam karakter yang berbeda.Pengalaman di Deli Serdang ini hendaknya dipertautkan dengan beberapa refleksi terhadap kegiatan rakyat didalam keterlibatannya didalam arena politik formal Pilkada (yang tentunya masih akan terus berlangsung sepanjang tahun 2006 di banyak kabupaten), khususnya tentang bagaimana mengkerangkakan dinamika politik yang ada (yaitu Pilkada) didalam kerja-kerja pengorganisasian rakyat. Agar tidak lagi menjadi satu tindakan responsive melainkan menjadi satu agenda sistematis didalam rangka menggeser kekuatan politik ke tangan rakyat. Mari kita lihat beberapa praktek yang sudah dilakukan dimana pendidikan kader yang dilakukan di banyak komunitas dengan sector yang berbeda telah memberikan satu amunisi untuk menggali

kebutuhan rakyat selain untuk memperbanyak kader-kader politik lokal yang diharapkan menjadi motor penggerak di tingkat komunitas. Dengan menggali aspek social, politik, ekonomi dan budaya secara bersama-sama menjadi segala sesuatunya menjadi pengetahuan bersama yang menjadi alas perjuangan dari tingkat komunitas.Ciri khas dari gerakan rakyat di Deli Serdang ini adalah adanya kekuatan gerakan perempuan yang tergabung didalam Hapsari (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia). Ini menjadi satu kelebihan khusus dari gerakan di Deliserdang, karena kemudian akan meleburkan berbegai dikotomi dari gerakan-gerakan yang berbasis sector di Deli Serdang, seperti nelayan, buruh, dan petani. Karakter gerakan perempuan sebenarnya akan menghabiskan semua energy di gerakan-gerakan berbasis sector, karena kaum perempuan akan selalu ada didalam bagian gerakan berbasis sector manapun. Didalam prakteknya, Hapsari secara sadar menjalankan perannya dengan melakukan satu skema pendidikan kader politik rakyat. Walaupun didalam praktekya baru melibatkan anggota Hapsari saja, namun pola yang dibangun merupakan satu kelanjutan beberapa praktek yang sudah dipaparkan sebelumnya, dengan catatan bahwa gerakan perempuan merupakan satu gerakan yang akan mengikat banyak sektor didalam elemen gerakan rakyat marginal di Deli Serdang.Tampak sekali didalam muatan materi yang dicoba dipaparkan didalam proses pendidikan ini, tidak melulu membicarakan tentang bagaimana gerakan perempuan dibangun melainkan bagaimana kekuatan politik local dibangun melalui adanya gerakan perempuan yang tergabung dalam anggota Hapsari. Kajiannya berkisar pada bagaimana memahami politik local dan nasional yang sekaligus merupakan tujuan dilakukannya pendidikan selain juga bagaimana kemudian mengubah pola pikir yang pragmatis menjad pola piker yang politis serta bagaimana membangun dan mengembangkan secara bersama-sama gerakan rakyat di bawah untuk bersama-sama menggeser kekuatan politik ke tangan rakyat.

Community Organizer menjadi Political Organizer??Membentuk Community Organizer dan membentuk Political Organizer merupakan dua pekerjaan yang berbeda. Seperti halnya pengalaman di Deli Serdang, untuk kebutuhan pembentukan Community Organizer, praktek pendidikannya menggunakan materi yang lebih kepada kebutuhan penguatan organisasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Serikat Buruh Kebun (Serbuk) dan Serikat Nelayan Merdeka (SNM), dalam rangka mencetak kader lokal pokok bahasan

Page 13: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

13

yang dipakai meliputi pemahaman peserta pendidikan kader tentang:1. Pemetaan kondisi eksternal yang meliputi aspek

Sosial, aspek Hukum, aspek Politik, aspek Ekonomi dan aspek Budaya.

2. Pemetaan Kondisi (internal) organisasi dan personal organisasi yang meliputi penilaian terhadap struktur organisasi, penilaian terhadap ketersediaan perangkat-perangkat organisasi, pelaksanaan misi organisasi serta tuntutan untuk memberikan masukan atas penilaian-penilaian tersebut.

Sedangkan dalam kerangka pembentukan political organizer, muatan materinya lebih banyak untuk pembekalan orang-orang dalam rangka perebutan arena-arena politik maupun untuk mempengaruhi agenda-agenda politik formal. Hapsari sebagai federasi organisasi perempuan mempunyai kerangka pendidikan kader politik lokal dengan memberikan muatan kepada peserta dengan menggunakan 2 pertanyaan kunci, yaitu (1) Apakah yang disebut dengan Politik Nasional dan Politik Lokal ? dan (2) Apakah permasalahan yang ada dalam politik lokal dihubungkan dengan organisasi rakyat ? Turunan dari 2 pertanyaan kunci tersebut adalah pemetaan secara kritis tentang 2 pertanyaan kunci tersebut dalam rentang waktu 5 tahun terakhir. Pada akhirnya, peserta kemudian merumuskan alternatif perjuangan untuk 5 tahu kedepan. Hal ini meliputi rumusan tentang (1) Alat (kendaraan) politik apa yang baik untuk dipakai oleh organisasi rakyat agar agenda-agenda perjuangan rakyat ke depan bisa tercapai, dan apa argumentasinya; (2) Peran politik apa yang harus diambil oleh organisasi rakyat ke depan dalam memenangkan agenda-agenda rakyat, dan apa argumentasinya; dan (3) Posisi kekuasaan seperti apa yang sebaiknya diduduki oleh organisasi-organisasi rakyat agar agenda-agenda politik rakyat bisa tercapai, dan apa argumentasinya.Pengalaman di Deli Serdang ini cukup memberikan gambaran tentang tangga-tangga kaderisasi dalam rangka mengisi arena kekuasaan formal, kaderisasi dilakukan secara berjenjang dari tingkat organisasi lokal (dari catatan pengalaman Serbuk dan SNM) sampai kepada organisasi regional (Hapsari). Gambaran muatan-muatan materi yang diterapkan didalam jenjang pendidikan kader menunjukkan output yang diharapkan, apakah sebagai Community Organizer atau Political Organizer. Substansi ini harus juga dimanifestasikan pada struktur organisasi dan struktur berjaringan yang dibangun bersama dalam satu cakupan wilayah. Hal yang perlu diperhatikan adalah proses yang dilakukan ini bukan merupakan proses sekolah seperti halnya sekolah formal, dimana setiap siswa akan mengalami

kenaikan kelas berdasarkan nilai-nilai tertentu. Proses ini adalah proses yang syarat dengan kepekaan baik dari peserta kaderisasi maupun dari organisasi untuk menempatkan orang-orang pada ruang-ruang gerakan. Jadi tidak serta merta seorang kader akan selalu dimulai dari Community Organizer dan mencapai puncaknya di Political Organizer, didalam proses ini mengandung proses pembagian peran masing-masing peserta, dimana penempatannya merupakan proses pemahaman dan kesepahaman bersama dalam kerangka kemajuan gerakan rakyat.

000

Sumber:

1. Dokumen Rangkuman Hasil Pendidikan Politik Organisasi Rakyat Anggota Hapsari, Juli-Agustus 2005, Deli Serdang

2. Dokumen Ringkasan Hasil Pelatihan Calon Fasilitator untuk Pendidikan Buruh Perkebunan, Serbuk Indonesia-Seber ORI-Pergerakan Bandung, Perbaungan, 23-24 Juli 2005.

3. Dokumen Ringkasan Hasil Pendidikan Kader Serikat Nelayan Merdeka (SNM) Serdang Bedagai, Lubuk Pakam, 12-14 Juni 2005.

4. Dokumen Ringkasan Hasil Workshop Pembuatan Modul Pendidikan Bagi Buruh Perkebunan, Serbuk Indonesia, 16-17 Juli 2005.

5. Dokumen Sekretariat Bersama Organisasi Rakyat Independen (ORI) Sumatera Utara.

Page 14: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

14

Berita utama

Sementara di sisi yang sama, di tengah-tengah perdebatan tafsir advokasi serta politik tersebut, kondisi politik indonesia terus berubah, dan di tengah perubahan tersebut ternyata antibodi negara perlahan ringkih, lantas siapa yang agresif memanfaatkannya? Tentu saja aliansi pemodal yang lebih mapan dan berinisatif bekerja memasuki sistem kekuasaan politik dan mengatur terlampau jauh proses pengambilan keputusan politik maupun hukum.

Perbedaan cara pandang itu terlihat sangat mempengaruhi pengelolaan pengembangan kapasitas organisasi dan advokasi. Organisasi gerakan umumnya tidak memiliki umur panjang, karena capaiannya lebih berorientasi taktis, penyelesaian kasus atau mempromosikan isu tertentu. Sekalipun memang harus dipahami karena sumber nilai-nilai yang dikembangkan oleh masing-masing elemen direalisasikan secara ekslusif, namun lambat laun perbedaan cara pandang tersebut harus mulai secara terbuka dipertautkan. Sekarang !

Diakui atau tindak, situasi dan kondisi serta perkembangan gerakan advokasi yang seiring dengan perubahan etos demokrasi, di satu sisi menunjukkan betapa pentingnya perihal politik dan advokasi bagi pembaruan tata kelola rakyat, namun di sisi lain masih menyisakan pertanyaan, bagaimana menyambungkan proses-proses penumbuhan advokasi kerakyatan (politik: menggeser kekuasaan) dengan penyelesaian konflik atau sengketa sektoral. Bagaimana pula prakarsa-prakarsa ini dapat dipelajari bersama? Tentunya pendidikan yang dilembagakan dapat membantu menyangga dan memperbesar pengaruh penumbuhan advokasi kerakyatan (politik: menggeser kekuasaan).

Suatu pelembagaan pendidikan atau sekolah hakekatnya adalah wahana pemulihan, peningkatan dan pendewasaan kerangka pikir serta tindakan. Sebagai wahana, maka sekolah poiltik selain merangkum pandangan-pandangan politik sejalan dengan prinsip perubahan sosial, dirancang untuk memperbaharui titik-pijak bersama (common ground) tidak hanya untuk meninjau kembali posisi kita, tetapi juga untuk merengkuh berbagai kepentingan politik masyarakat sipil yang sementara ini dipecah-pecah oleh persoalan sektoral yang melanda rakyat Indonesia. perlu dilakukan antar waktu.

Sekolah politik akan bertanggungjawab untuk mengintegrasikan gerakan-gerakan sosial sektoral dalam kesatuan masyarakat sipil yang demokratis dan partisipatif. Pertama, memastikan terjadinya revitalisasi yakni, penguatan komitmen untuk berbagai peran dan kerja bersama antar berbagai organisasi guna menjalankan tugas-tugas layanan pengembangan kapasitas dalam rangka memperkuat keterwakilan politik rakyat yang kuat sesuai dengan situasi dan kondisi politik lokal-nasional. Kedua, renewal, pembaharuan sikap serta mindset mengenai urgensi dari perjuangan politik rakyat dalam medan pergeseran kekuasaan politik dengan tetap memperhatikan amanat rakyat. Ketiga, penemuan format dan basis kemitraan sebagai bentuk kerjasama sejajar antara OR dan Ornop untuk mengukuhkan posisi kekuatan dan atau kelembagaan politiknya di tingkat lokal dan nasional.[]

Mengapa sekolah politik?

Fajar Irawan(Deputi of Capacity Building PERGERAKAN)

Bila ada beberapa

kelompok gerakan

sosial memandang

politik mampu

mengelola

kemampuan advokasi

lebih dahsyat lagi,

masih ada pula

beberapa kelompok

gerakan sosial

yang berpendapat

bahwa politik itu

sendiri merupakan

wilayah perambahan

kekuasaan yang harus

dihindari, karena sarat

pragmatisme dan

oportunitas.

Page 15: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

15

Kali ini pembelajaran reflektif dilakukan melalui sejumlah pengamatan pada agenda dan kerja politik organisasi-organisasi rakyat yang melibatkan diri dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sekadau, Propinsi Kalimantan Barat pada Bulan Juni Tahun 2005 lalu.

Memang seyogyanya perspektif praksis tidak terlalu digiring ke wilayah teoritis, cukup dipahami dalam konteks dan koridor empiris sehingga memudahkan kita memahami kemampuan organisasional masyarakat sipil, tingkat keeratan (kohesifitas) relasi atau menguraikan sebab-akibat berkembangnya konsolidasi maupun aksi-aksi kolektif organisasi-organisasi rakyat yang masih dapat “dikalahkan” mesin politik Orde Baru melalui jalan pemenangan eks-eks politisi Orde Baru maupun kroni-kroninya yang mampu menyesuaikan diri dengan logika reformasi yang dicatutnya dari literatur gerakan sosial.

Amatan ini tidak sedang mendalami konsolidasi politik organisasi-organisasi rakyat pada kerangka transisi menuju demokrasi. Selain karena pada dasarnya teori tersebut merupakan varian dari teori modernisasi dan teori struktural-fungsional, yang umumnya memahami perubahan dengan penekanan yang kuat terhadap peran aktor. Pada penjelasan transisional, fakta politik ditemukan sebagai fenomena keseimbangan. Dengan demikian, perspektif yang digunakan dalam amatan ini diarahkan untuk membingkai proses politik yang terjadi di Kabupaten Sekadau dari sudut pandang konflik atau perbenturan kepentingan dan pembentukan relasional antarpihak. Penjelasan bersandar pada model analisis yang menekankan pada pola serta kapasitas desakan atau tekanan dan relasi antar kekuatan sosial serta argumentasi kesejarahan gerakannya.

Melalui sudut pandang konfliktual, amatan mengikuti

Menemukan Rakyat TerkonsolidasiPergulatan Politik dalam Pilkada 2006 di Kabupaten Sekadau

situasi dan kondisi empiris lokal, bahkan nasional yang ditandai dengan liberalisasi yang melanda Indonesia pasca reformasi. Sudut pandang konflik ini pula yang akan membantu menemukan relasi-relasi kekuasaan secara signifikan, mana yang berubah, menyesuaikan diri dan mapan baik sistematis-formal maupun kultural. Hal ini terutama agar dapat menggali lebih jauh persoalan yang dihadapi kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini berada di lapisan paling bawah struktur piramida sosial di Kabupaten Sekadau. Kelompok-kelompok masyarakat marjinal semacam petani, buruh, kaum adat, perempuan dan kaum miskin kota, kenyataannya masih sulit untuk mengartikulasikan kepentingannya, sekalipun terdapat ruang politik yang relatif lebih terbuka dibandingkan di era Soeharto. Pertanyaannya tentu saja, mengapa demikian dan bagaimana hal itu bisa terjadi ?

Secara ideal, massifnya gerakan reformasi yang diusung mahasiswa sudah tentu mendorong pembukaan ruang publik, perluasan semangat pembaruan dan menciptakan kesempatan politik. Tentu idealnya situasi tersebut akan memberikan peluang bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk mengambil posisi strategis, hingga tidak hanya dapat mendesakkan, tapi dapat mengajukan kepentingannya menjadi alas kebijakan negara. Namun, asumsi semacam ini terbukti keliru. Fakta memperlihatkan bahwa proses-proses ekonomi-politik yang terjadi umumnya tidak berada pada posisi yang berpihak kepada kelompok-kelompok lapis bawah. Sebaliknya kelompok-kelompok eks Orde Baru - yang dengan baik memerankan diri sebagai komprador-petualang politik -yang awalnya diperkirakan akan mengalami peminggiran sebagai akibat dari gerakan reformasi, terbukti mampu menyesuaikan diri, bahkan mengendalikan situasi dan

Menemukan Gangguan Soliditas Gerakan Rakyat

Pertimbangan para aktivis manakala merefleksikan langkah-langkah penguasaan serta pemanfaatan peluang politik melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, tentu berhubungan dengan persfektif praksis yang kerap digunakan sebagai panduan bagi kerja pemajuan serta perkuatan agenda maupun kerja-kerja politik organisasi-organisasi rakyat.

Page 16: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

16

kondisi ekonomi-politik lokal maupun nasional.

Lebih dari itu, pembentukan institusi-institusi politik-demokratik, dan pada saat yang sama pembangunan ekonomi-politik yang diimbuhi berbasis rakyat–ditandai dengan menjamurnya LSM dan organisasi rakyat tidak serta-merta membentuk konsepsi perubahan sosial berkeadilan dan menumbuhkan kohesifitas gerakan rakyat. Bahkan institusi-institusi demokratik tersebut tidak mampu mengembangkan politik etis yang menjamin keberpihakan kepada rakyat termajinalisasi. Kehadiran pelbagai institusi politik tersebut malah menyuburkan politik elitis melalui kapitalisasi politik atau praktek politik uang, eksploitasi simbol-simbol agama maupun kedaerahan serta kriminalisasi sebagai bagian dari praktek premanisme politik.

Tak pelak lagi, politik elitis yang ditandai dengan pembesaran peran dan perluasan pengaruh kelompok-kelompok eks Orde Baru dalam proses ekonomi-politik pasca-Soeharto, di satu sisi sedang menjelaskan lemahnya atau mungkin pelemahan kelompok-kelompok masyarakat marjinal. Kelompok-kelompok masyarakat marjinal tetap terbelenggu dalam situasi disorganisasi dan deideologisasi sistematik yang dialaminya pada masa di bawah kaki Soeharto yang berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa. Disorganisasi dan deideologisasi memiliki konsekuensi politik yang akut, depolitisasi. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila berbagai kelompok masyarakat sipil, terutama kelompok-kelompok sektoral dan kelompok isu yang dimarjinalisasi tidak terlampau siap dengan agenda-agenda politik-transformatif kendati pun peluang politik jauh semakin terbuka dan keleluasaan untuk menyuarakan kepentingannya dan kebebasan berinteraksi dengan berbagai kelompok semakin mungkin dilakukan.

Lantas, masih niscayakah transformasi perubahan sosial diusung oleh pelbagai kelompok masyarakat marjinal tatkala perubahan ekonomi-politik di negara ini masih menyisakan ruang bagi komprador dan politisi Orde Baru. Masihkah organisasi-organisasi-organisasi rakyat (Ornop, OR maupun forum-forum kewargaan) dalam iklim demokrasi pasar bebas dapat melanjutkan pelebaran gerakan perubahan sosial, terlebih lagi kemampuan para komprador dan politisi Orde Baru ini compatible atau adaptif dengan institusi dan prosedur demokrasi. Pada sisi ini, maka realitas politik negeri ini ternyata menjabarkan gejala perubahan sebatas pada tingkat kelembagaan dan bentuk demokrasi. Parlemen, partai politik, pemilihan umum dan kepala daerah serta

otonomi belum berujud pada konsepsi, tatanan serta budaya maupun perilaku demokrasi yang mendorong keadilan sosial.

Dalam setiap sistem politik lokal maupun nasional, entah dinamakan desentralisasi ataupun otonomi maupun federalisasi, individu dan berbagai kelompok berusaha mempengaruhi pemerintah di wilayah jangkauannya dan kemudian menterjemahkan kepentingan mereka ke dalam keputusan maupun tindakan politik. Salah satu syarat yang sangat diperlukan agar keputusan dan tindakan politik dapat berfungsi efisien adalah penerimaan yang terbuka dan meluas terhadap proses pengambilan keputusan dan tindakan melalui proses yang kita kenal dengan sebutan “konsensus”. Bila konsensus semacam itu ada, maka keputusan dan tindakan yang diambil akan memiliki kekuatan legitimitas yang mampu menopang pembentukan legalitas dalam pemerintahan daerahnya.

Legitimitas dan konsensus merupakan penanda kunci berkenaan dengan efektivitas dan pemajuan sistem politik lokal di daerah, sebaliknya jika tidak legitimitas maupun konsensus maka dapat juga ditafsirkan adanya ketidakstabilan mendasar yang dapat merusak sistem politik. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah “fakta politik”, yakni masalah kehendak dan kekuatan terkait dengan hubungan politik yang dikehendaki.

Pembangunan konsensus merupakan tatanan paling strategik, karena ia lebih dari sekedar persetujuan. Konsensus bertendensi pada penerimaan akan suatu keputusan dan tindakan politik yang mendorong penggalangan sumberdaya rakyat. Konsensus dimaksudkan untuk menentukan, membatasi dan menyalurkan kekuatan politik yakni pada keputusan dan tindakan politik. Melalui konsensus, fakta politik mentransformasikan kekuasaan menjadi wewenang atau legalitas. Jadi substansi tatanan politik ialah konsensus atau kesepakatan mengenai hal-hal fundamental yang mengikat seluruh individu serta kelompok ke dalam suatu kekuatan politik yang umum dan terorganisasi.

Tidak kalah pentingnya bahwa substansi fakta politik sendiri terpenuhi apabila organisasi-organisasi-organisasi rakyat menakar penguatan kapasitasnya secara khusus berdasar pada fakta politik yang berkembang. Fakta politik itulah realitas obyektif yang selanjutnya memperkuat kapasitas terpasang para aktor yang berkemampuan mengorganisir kesempatan-kesempatan politik dalam ranah sosial, ekonomi maupun budaya. Selain tentunya dapat menghasilkan

Page 17: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

17

usulan kontra-kebijakan, kemampuan menggalang dukungan dan mendesakkan usulannya, kemampuan melakukan kampanye melalui lobby, dialog, sebagai bagian dari perluasan ruang politiknya. Dalam konteks ini organisasi-organisasi tersebut, sadar tidak sadar sedang memperlebar partisipasi politik anggota/basis massa.

Lantas bagaimana mengubah kesadaran yang berpijak pada fakta politik, dari kesadaran massa –yang cenderung mengambang menuju kesadaran kader yang cerdas dan militan. Bagaimana menjamin kader yang dapat bekerja membangun perubahan yang memadai bagi penataan hidup bersama yang sejahtera dan adil. Kabupaten Sekadau, Juni 2005 lalu menjadi ladang pembelajaran bagi kita semua, untuk menemukan kohesifitas sosial. Rakyat mengkonsolidasi dirinya sendiri.

Kabupaten Sekadau Pasca PemekaranKabupaten Sekadau merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Sanggau berdasarkan Keputusan DPRD Propinsi Kalimantan Barat Nomor 15 Tahun 2002 tertanggal 25 September 2002 Tentang Persetujuan DPRD Propinsi Kalimantan Barat terhadap pemekaran wilayah Kabupaten Sanggau dan berdasarkan Keputusan DPRD Kabupaten Sanggau Nomor 10 Tahun 2002 Tanggal 22 Agustus 2002 Tentang Persetujuan DPRD Kabupaten Sanggau mengenai Pemekaran Kabupaten Sanggau, untuk selanjutnya diperkuat melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau di Propinsi Kalimantan Barat.

Peraturan-peraturan di atas menempatkan Sekadau sebagai wilayah kabupaten pemekaran baru, dengan memperhatikan kriteria kemampuan ekonomi, potensi sumberdaya alam maupun manusia di daerah, kondisi sosial-budaya, kondisi sosial-politik, sebaran jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lainnya, maka pemekaran dianggap perlu. Tentu turut pula ditimbang peningkatan pelayanan kepada masyarakat di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Kabupaten Sekadau berasal dari sebagian wilayah Kab. Sanggau yang terdiri atas, kecamatan Belitang Hulu; Kecamatan Belitang; Kecamatan Belitang Hilir; Kecamatan Sekadau Hilir; Kecamatan Sekadau Hulu; Kecamatan Nanga Mahap dan Kecamatan Nanga Taman. Jika dipetakan, maka kecamatan terluas adalah Kecamatan Belitang Hulu dengan luas 1.162.70 km² atau sekitar 21,36 % dari luas kabupaten. Sedangkan

kecamatan terkecil adalah Kecamatan Belitang dengan luas 281.00 km² atau 5.16%. Pada dua wilayah ini, tersebar cukup banyak lahan perkebunan sawit, karet dan industri pengolahan kayu. Lalu tahun 2003, desa pusat pengembangan (desa definitif ) serta kelurahan berjumlah 76 desa/kelurahan.

Sedangkan jika diamati dari sisi sebaran penduduk, maka Kec. Sekadau Hilir yang juga didudukkan sebagai ibukota kabupaten menduduki urutan pertama terbesar dengan jumlah penduduk 47.381 jiwa (28,86%). Di Sekadau Hilir, selain terdapat banyak pabrik pengolahan kayu maupun karet, juga tersedia pusat layanan jasa transportasi, keuangan dan perdagangan umum. Sedangkan Kec. Belitang adalah kecamatan yang jumlah penduduknya paling sedikit yakni sebanyak 10.342 (6,30%).

Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2003, populasi di Sekadau berjumlah 164.164 jiwa, dengan rincian penduduk laki-laki 84.083 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 80.081 jiwa yang menyebar di 7 kecamatan dengan kepadatan penduduk 30 jiwa per km². Penyebaran ini tidak merata antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Pertumbuhan penduduk tahun 2003 menurun relatif lebih besar yakni sebesar 2.21 % dibanding dengan tahun sebelumnya. Sedangkan perbandingan penduduk laki-laki terhadap perempuan (sex ratio) sebesar 105.00. Nilai ini berarti bahwa setiap 105 jiwa laki-laki terdapat 100 jiwa perempuan.

Sedangkan topografi Kabupaten Sekadau tergolong daerah dataran tinggi yang berbukit dan berawa-rawa yang dialiri oleh beberapa sungai diantaranya Sungai Kapuas, Sungai Belitang dan Sungai Sekadau. Sungai kapuas merupakan sungai terpanjang di Kalimantan Barat yang mengalir dari Kab. Kapuas Hulu melintasi Kab. Sintang, Sanggau dan Sekadau hingga bermuara di Kab. Pontianak.

Pada tahun 2003 luas lahan sawah adalah 29.389 Ha atau seluas 5,40% dari total lahan seluruhnya. Pada tahun itu produksi kelapa sawit sebesar 269.895 ton dengan luas tanaman yang menghasilkan sebesar 31.030 Ha. Dengan demikian rata-rata produksi kelapa sawit per hektar adalah sekitar 8,67 ton. Rata-rata produksi tersebut mengabaikan situasi konfliktual berkenaan dengan dampak ekologi serta penguasaan lahan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat di sekitar perkebunan. Sedangkan untuk tanaman kopi sebesar 0,3 ton, tanaman lada 0,76 ton, karet sebesar 0,75 ton, kelapa hibrida sebesar 0,63 ton dan untuk komoditi aneka tanaman sebesar 0,48 ton per-hektar.

Page 18: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

18

Pada saat ini pengembangan subsektor perkebunan terutama pengembangan produksi dan perluasan lahan perkebunan sawit mendapat perhatian lebih serius untuk menunjang program pembangunan ekonomi regional sebagai konsekuensi adanya kebijakan pemerintah. Bahkan untuk menunjang peningkatan tersebut didorong usaha-usaha peningkatan produksi baik melalui usaha pemanfaatan sentra-sentra produksi yang telah ada maupun pengembangan sentra-sentra produksi di daerah-daerah baru melalui lahan sejuta hektar bagi perkebunan sawit. Sekalipun menangguk tindakan pro dan kontra dalam masyarakat, proyek tersebut oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat dijadikan sebagai prioritas yang diharapkan dapat mendongkrak investasi di daerahnya. Pada banyak kawasan di Kabupaten Sekadau, proyek perluasan lahan perkebunan sawit mulai mengundang keresahan dalam masyarakat, karena membuka peluang terjadinya okupasi tanah-tanah dibawah penguasaan adat oleh pengusaha perkebunan yang didukung oleh kebijakan pemerintah daerah.

Membuka Kerja Politik yang TertutupMasalah utama di belahan bumi Kalimantan Barat adalah perubahan mendasar yang terjadi dalam bidang politik, sosial dan budaya lokal semenjak negara mengeluarkan kebijakan yang menyeragamkan pemerintahan desa melalui UU Pemerintahan Desa No.5 tahun 1979, yang diikuti peraturan pelaksanaanya berupa kebijakan regrouping / penggabungan ketujuh. Pada masa itu, perubahan nama dan sistem pemerintahan kampung menjadi sistem pemerintahan desa secara langsung meniadakan hak-hak historis masyarakat adat pada wilayah-wilayah yang saat itu sudah mereka kelola turun-temurun.

Dampak perubahan tersebut benar-benar mempengaruhi nilai, prinsip dan hak-hak masyarakat untuk memaknai sendiri otonomi, demokrasi dan partisipasi. Tatanan sosial yang bersendikan adat terabaikan bahkan dimatikan. Nyata jelas perubahan sistim dan nama pemerintahan kampung memaksa masyarakat untuk mengadopsi model kepemimpinan yang tidak biasa dijalani, memilih pemimpin tidak berdasarkan kesepakatan bersama, bahkan bukan berasal dari komunitasnya. Jadi bukan sekedar perubahan pada nama dan atau sistim kelembagaan / struktur adat dari tingkat wilayah hukum adat (bonua).

Pemaksaan ini mengakibatkan rakyat kurang percaya

kepada pemimpin dan perangkat adat pilihan atau versi pemerintah, Sebaliknya pemimpin pun tidak peduli kepada masyarakat. Kepemimpinan lokal memang dikondisikan untuk tergantung kepada pemerintah di atasnya (kecamatan dan kabupaten) maupun dengan pihak luar (baca investor), bukan untuk tunduk dan patuh pada rakyatnya. Pada masa itulah krisis kepemimpinan rakyat berawal. Lalu hukum adat, nilai-nilai/norma maupun budaya lokal digambarkan menjadi tari-tarian, bahkan asesoris rumah semata.

Krisis selanjutnya terkait dengan pengurusan pengurusan sumberdaya alam. Di Kalimantan Barat, mencakup Kabupaten Sekadau, banyak lahan yang dimiliki masyarakat adat diambilalih oleh investor besar yang bekerjasama dengan inverstor luar negeri, terutama yang berhubungan dengan perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu. Untuk mempermudah pembebasan lahan, elit lokal desa dan adat diperalat pemerintah dan perusahaan, umumnya, keduanya diposisikan sebagai satuan tugas dan satuan pelaksana. Akibatnya, kebersamaan masyarakat terpecah sehingga menimbulkan potensi konflik baik vertikal maupun horisontal. Misal, perselisihan yang berujung dengan saling hukum antara orang kampung (kelompok yang menyerahkan lahan dan yang tidak).

Krisis terakhir ialah kemampuan menggalang aksi-aksi kolektif, masih terkait dengan kedua masalah utama sebelumnya, kolektifitas semestinya menjadi pokok bagaimana akses dan kontrol dalam proses pengambilan keputusan dikelola secara bertanggung gugat/bertali mandat dan memastikan peranserta semua pihak dalam organisasi berada dalam kondisi kesetaraan. Pengelolaan organisasi dan sumberdaya yang dibentuk tanpa hubungan-hubungan demokratis akan menimbulkan ketimpangan peran. Terlebih lagi dengan peranserta perempuan dalam organisasi. Perempuan belum banyak berperan dalam lembaga kemasyarakatan. Jumlah perempuan dalam lembaga kemasyarakatan masih sedikit kecuali pada kelompok-kelompok tertentu yang spesifik seperti, kelompok kerajinan, usaha sembako dan pengurus credit union.

Begitulah inti perlawanan, pengorganisiran rakyat dan penataan organisasi-organisasi masyarakat adat yang terjalin dalam gerakan rakyat marjinal yang telah tercederai semangatnya dan diabaikan keberadaannya.. Pada kurun tahun 2003-2004 melalui Kelompok Kerja Masyarakat Adat atau KKMA hingga akhirnya untuk Gerakan Rakyat untuk Pemberdayaan Kampung atau

Page 19: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

19

GRPK. Melalui gerakan ini, rakyat marjinal mengkaitkan berbagai ketimpangan sosial dan ekonomi poltik yang dihadapi basis massanya dengan identitas dan kekuatan asal mereka, masyarakat adat. GRPK1, meneratas jalan menuju perubahan, sekalipun tidak lempang namun setidaknya onak berduri itu sudah diterabas. GRPK bersama para komunitas-komunitasnya, berulang-kali mengupayakan konsolidasi dengan mengintensifkan pertemuan-pertemuan yang sekaligus digunkana untuk menggali informasi, berbagi pengetahuan dan semangat untuk mengutuhkan identitas asalnya.

Pada proses tersebut organisasi-organisasi rakyat menyusun agenda yang mengukuhkan strategi intervensi dari “Atas” melalui intervensi kebijakan lokal dan membangun kontak untuk mengembangkan “persekutuan”2 dengan pemutus kebijakan, yang tidak lain sasarannya ialah menetapkan legalitas identitas ke-adat-an untuk membangun dasar penataan ulang kehidupan kampung dan menyusun kembali sistem hidup bersama yang dibentuk hingga tingkat kabupaten lewat penetapan Perda Kampung. Sedangkan intervensi dari “Bawah” dikembangkan melalui penyebaran kontak-kontak komunitas di perkampungan dan antarkampung, perluasan dan pemerataan informasi kebijakan, menyambung kebutuhan dan sumber pemenuhan dan meneruskan pengukuhan status kampung berdasarkan adat Dayak.

Kedua strategi, baik yang melalui wilayah “atas” maupun wilayah “bawah” dikelola bertahap dan dijalankan secara terbuka, artinya memang disengaja untuk diikuti orang banyak sehingga memiliki legitimitas dari masyarakat umum. Rute ini juga dimaksudkan agar mudah dipahami dan kemudian mendorong komunitas-komunitas lainnya terlibat dalam gerakan kembali menuju penguatan kampung, fase ini masuk pada pembentukan legalitas. Dibalik tahapan tersebut yakni, penghidupan elemen adat atau legitimitas yang akan diikat oleh ketemenggongan maupun penegakan hukum atau legalitas. Keduanya pula memperkaya berbagai pendekatan yang diambil untuk memperluas

penguatan masyarakat sipil dan wilayah kelola komunitas-komunitasnya.

Pasca kebijakan otonomi daerah dicanangkan dan pemilihan langsung mulai diterapkan, maka partai-partai politik maupun organisasi non pemerintah mulai melihat masyarakat adat maupun masyarakat ataupun komunitas-komunitas lain yang telah diberi hak langsung untuk memberikan suara dalam Pilkada sebagai blok suara yang berarti dan bisa mempengaruhi hasil pemilihan. Dan untuk pertama kalinya dalam konteks pembangunan politik lokal, masyarakat adat bisa menggunakan suatu bentuk kontrol politik dan kekuasaan atas hidup keseharian mereka. Namun tanpa didasari pendidikan politik yang kuat3, maka hal tersebut dapat menggiring basis-basis massa organisasi rakyat terilusi dengan berbagai praktek-praktek politik uang maupun political claiming oleh mesin-mesin politik dan komprador Orde Baru. Pelemahan gerakan rakyat mengelola organisasi, bahkan logistik yang dikelola bagi pelebaran gerakan sosial akan terus berlanjut.

Dalam latar belakang tersebut, maka pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Sekadau memiliki catatan khusus bagi kalangan aktivis Ornop maupun aktivis-aktivis gerakan rakyat pedesaan terutama di Kalimantan Barat. Selain karena salah satu pasangan calon kepala daerah tersebut adalah Stefanus Masiun yang dikenal sebagai seorang aktivis yang telah lama menggeluti isu-isu pemberdayaan dan gerakan sosial, terutama yang berkaitan langsung dengan demokratisasi pemerintahan dan peningkatan kemampuan ekonomi lokal. Petrus Lansang, pasangan Masiun pun dikenal sebagai seorang penggerak credit union serta Ketua Dewan Masyarakat Adat Dayak di Kab. Sekadau.

Kendati Masiun dan Petrus Lansang sejak 1993 telah melakukan pemberdayaan masyarakat berupa, pemberdayaan ekonomi rakyat lewat CU, menyelenggarakan dan memfasilitasi pendidikan hukum kritis, mendukung pemetaan partisipatif

1. Notulensi pertemuan di Tirta Ria, 2 Desember 2003 dan Notu-lensi Pertemuan Bandung, 26 April 2004

2. Persekutuan ini menggambarkan kepentingan KKMA untuk masuk lebih jauh dalam struktur dan mekanisme pengambilan keputusan formal. Persekutuan itupun lebih memperlihatkan upaya taktis KKMA dalam menguasai arena perubahan di Kabu-paten Sanggau-Sekadau.

3. Kecenderungan politik massa rakyat di Sekadau sulit diukur karena rata-rata warga masyarakat lebih melihat kepentingan jangka pendek, daripada kepentingan mereka di masa yang akan datang. Kondisi itulah yang akan benar-benar dimanfaat-kan oleh partai-partai eks Orba dan para petualang politik. Ter-lebih lagi pola pengorganisiran yang dibangun melalui CU lebih menekankan pada upaya pemenuhan ekonomi semata, bukan memahami Cu sebagai modal sosial. Diskusi dengan Masiun dan Mina serta Petrus Lansang dalam waktu dan tempat yang ber-beda.

Page 20: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

20

untuk memperjelas wilayah kelola masyarakat adat dan ketersediaan sumberdaya alamnya, memastikan revitalisasi lembaga dan kepemrintahan adat, mendukung pembentukan organisasi-organisasi rakyat hingga mendorong pendidikan politik yang mampu menunjang kesadaran masyarakat adat atas hak-haknya sebagai warga negara yang dilindungi konstitusi.

Tapi seerat apapun hubungan-hubungan personal (Karisma maupun kepemimpinan) yang terjalin dengan konstituennya, baik yang terbangun melalui interaksi pribadi masing-masing ataupun lewat dukungan programatik maupun organisasional, keduanya berhadapan dengan kompetitor yang secara politik memiliki potensi kepemimpinan yang sama, dan yang pasti punya peluang yang sama untuk menang. Memang begitu adanya, terlebih jika membandingkan keduanya dengan para calon bupati Sekadau lainnya. Di luar yang dipasangkan “gerakan sosial”, yang lain memiliki kemampuan mesin-mesin politik yang jauh lebih berpengalaman dalam mendulang suara melalui kecanggihan (trick or treat) mereka dalam mengelola komunikasi politik dengan massa rakyat. Apalagi ketersediaan sumberdayanya yang relatif tak terbatas, ditambah dukungan partai-partai politik yang mendapat suara lebih banyak dalam pemilihan umum legislatif.

Di luar bacaan eskalasi politik lokal, patut diperhitungkan pula sebaran populasi di Kabupaten Sekadau sebagai wilayah pemekaran baru dari Kab. Sanggau yang terbagi dalam varian yang beragam, secara etnis terdiri dari etnis Dayak sebesar 60% (belum lagi dipilah kembali oleh pengklasifikasian berdasar sub-sub suku yang daya ikat domestiknya lebih kuat lagi), etnis Melayu sebesar 30% dan lain-lain (termasuk jawa, sunda, sekitar 10% dari total penduduk sebesar 180.00 ribu jiwa (populasi berikut merupakan hasil sensus Tahun 2004). Dari jumlah tersebut sebanyak 104.000 orang tercatat sebagai pemilih.

Memang pasangan Masiun dan Petrus Lansang sendiri, didukung langsung oleh tak kurang dari 12 organisasi gerakan sosial yang, diantaranya terdiri dari 3 credit union, Aliansi MA RTM (Masyarakat Adat Rawak Taman Mahap), Pusaka, Stades, SSMKA, Segerak, Pancur Kasih, Gemawan, Sawit Wacht, KPSHK, Karsa, JKPP, Pergerakan dan Walhi. 12 eksponen ini memang bekerja pada sebaran yang variatif dilihat dari etnis maupun wilayah kerjanya. Dan dijalinnya aliansi “penggerakan basis massa/suara” melalui organisasi-organisasi di atas digolongkan sebagai pembentukan identitas “representasi gerakan sosial”, yang memudahkan dilakukannya pengkotak-

kotakkan suara. Artinyam penyetaraan pandangan atau kepentingan politik lebih leluasa dilakukan, karena organisasi-organisasi tersebut di atas memiliki irisan-irisan wilayah kerja dan jejaring yang sama, melalui jaringan Walhi, AMA Kalbar, Pancur Kasih, Jaring Pedal dan Pergerakan. Sekalipun penyatuan atau aliansi kerja politik ini tidak secara langsung mempengaruhi penyediaan logistik kerja pengorganisiran politiknya4.

Tapi penemuan kerja politik semi kolektif semacam ini hanya dimungkinkan bisa dilakukan setelah semua pihak mempertautkan berbagai kombinasi dan eksponen gerakan melawan penindasan, memperjuangkan keswadayaan ekonomi, pemanfaatan kesempatan politik, pembaruan agraria dan gerakan lingkungan yang pada tingkat lokal. Beberapa organisasi rakyat setempat telah menjembatani diri -mengalihkan isu-isu sektornya pada kepentingan politik masyarakat adat, sebagai leading sector. Namun memasuki arena pertarungan kekuasaan yang amat rumit, konversi kekuatan massa rakyat dan para Ornop beserta dampingannya masing-masing menjadi “suara” belum tentu terselesaikan dengan penggerakan isu dan massa sektoral, terlebih lagi kesemuanya dilakukan dalam waktu singkat, dalam kisaran satu tahunan.

konversi kekuatan massa rakyat dan para Ornop beserta dampingannya masing-masing, walaupun memiliki posisi sebagai blok suara yang sangat berpengaruh, memiliki banyak jaringan gerakan rakyat, bahkan memiliki relasi yang lebih memadai dengan basis atau komunitas-komunitas pedesaan dibandingkan calon pasangan lainnya, tetapi riil politik di lapangan masih bergantung pada elit politik lokalnya, jadi belum tersentralisasi pada masyarakat adat yang menjadi basis mereka. Penyederhanaan normatifnya ialah hal tersebut bisa terjadi karena peraturan perundang-undangan tidak mengenal calon pasangan independen yang dianggap sunguh-sungguh mewakili massa rakyat.

Paling tidak pelibatan diri organisasi-organisasi rakyat maupun Ornop melalui dukungannya terhadap Masiun

4. Dukungan logistik atau dana yang dapat digunakan untuk mem-biayai kerja-kerja pemenangan Masiun dari Ornop umumnya sangat terbatas karena dua hal mendasar, pertama kerja Ornop sangat diwarnai oleh situasi programatik hingga pembiayaan mesti mengalami banyak penyesuaian dengan anggaran pro-gram masing-masing Ornop. Dan kedua, situasi programatik yang dihadapi Ornop mengakibatkan beberapa pelaksanaan agenda-agenda pengorganisiran massa kehilangan banyak mo-mentum.

Page 21: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

21

dan Lansang dalam pilkada di Kabupaten Sekadau ini dipandang sedang menerapkan proses artikulasi-taktis sebagai suatu proses penegasan kerja advokasi dan uji coba pengamanan basis yang menampilkan visi dan misi politik yang terbuka. Sekaligus dapat diklasifikasikan sebagai bentuk tanggung gugat organisasi-organisasi rakyat dan Ornop menanggapi penggalangan massa oleh partai politik, yang sehari-harinya didampingi organisasi-organisasi rakyat dan Ornop. Pengamanan basis semacam itu dapat dibilang modus baru, kendati sebagai suatu pola tanggap atas perubahan sosial-politik, sudah sering dilakukan. Namun kali ini pengamanan basis dilakukana dalam wilayah dan kapasitas politik yang terbuka. Bahkan dapat menjadi preseden bagi penegasan arah dan kehendak politik bersama atau kolektif massa rakyat.

Boleh jadi bentuk dan proses artikulasi-taktis yang dijabarkan di Sekadau tidaklah ditentukan sebelumnya oleh struktur-struktur kerja dan posisi-posisi objektif Ornop, melainkan muncul melalui proses reaksi dan terkesan cenderung manpower atau digerakkan kekuatan individual5 seorang Masiun dan Petrus Lansang yang rata-rata terbentuk oleh kondisi programatik melalui organisasinya (semisal lewat program CU, Pendidikan Kritis maupun Pertemuan-pertemuan komunitas), sejarah ketokohan atau kuasa yang diambil dari tatanan. Pandangan manpower ini sangat terlihat dari hasil mapping out6 yang dilakukan oleh Jaring pedal sebagai salah satu eksponen gerakan rakyat menunjukkan dari beberapa calon, masyarakat diperhitungkan akan mendukung Drs. Stefanus Masiun-Drs. Petrus Lansang dengan perkiraan suara sekitar 66,6% suara atau 70.400 suara dari 106.331 suara atau pemilih di Kab. Sekadau.

Selanjutnya seperti yang telah diungkap dibagian sebelumnya, bahwa Sekadau merupakan salah satu wilayah pengembangan program perkebunan sawit satu juta hektar di Kalimantan Barat yang kontroversial hingga menarik sikap pro-kontra yang cukup keras. Proyek ini menjadi tarikan politis tersendiri yang mengubah konfigurasi tegangan sosial-politik menjelang Pilkada. Bukan hanya karena 20% penduduk Sekadau adalah petani sawit, namun memang proyek perkebunan sawit

satu juta hektar berpeluang mengganggu relasi antar etnis, karena petani sawit umumnya beretnis Jawa, sedangkan etnis Dayak hampir 70% merupakan petani karet yang lahannya banyak tergusur oleh proyek tersebut.

Menyikapi situasi menjelang Pilkada Juni 2005 tersebut, melalui tim sukses dan sejumlah operator lapangannya, Masiun lalu diposisikan seolah-olah berjarak (dicitrakan tidak lagi bekerja sama, terutama secara personal tidak lagi digunakan kawan-kawan tersebut untuk kepentingan kampanye anti sawit) dengan kawan-kawan Ornopnya, terutama yang bergiat mengangkat isu-isu anti sawit7. Pencitraan kembali ini diupayakan untuk menanggapi pendiskreditan atau stigmatisasi dari lawan-lawan politiknya, bahwa jika Masiun menang, maka seluruh lahan-lahan perkebunan sawit akan diberikan kepada komunitas-komunitas adat. Perusahaan-perusahaan sawit dan pengolahannya akan dibekukan. Apakah stigma semacam itu dapat dikategorikan sebagai black campaign atau tidak, namun efeknya cukup mempengaruhi pilihan politik komunitas-komunitas yang hidupnya bergantung pada perkebunan dan perusahaan sawit. Pada beberapa kawasan perkebunan sawit, Tim sukses Masiun mendapatkan tanggapan masyarakat yang tidak begitu apresiatif.

Boleh jadi setelah memahami kondisi faktual di atas, untuk memperkuat daya konversi basis massa agar menjadi suara dukungan dalam Pilkada. Jaring Pedal (Jaring Pesisir dan Pedalaman) Kalimantan Barat Wilayah Sekadau, kemudian mencoba memeriksa kecenderungan politik massa rakyat di Kabupaten Sekadau. Peta kecenderungan politik mendasarkan pada data sensus yang dilakukan pada tahun 2004, bukan pada hasil pemilihan umum legislatif8. Data sensus tersebut selanjutnya diurai kembali mendasarkan pada fakta dan animo masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan

5. Kekuatan individual dipahami sebagai kewenangan yang dimilikinya atau otorisasi dan ketokohan dalam organisasinya dan ujud karisma atau leadership yang dibentuk dan diberikan lingkungan kepada keduanya.

6. Sebayan Post Edisi I, Hal 3-4, 3 Juni 2005.

7. Diskusi dengan Mina S. Susetra, tanggal 17 Mei 2005.

8. Penulis kesulitan untuk memahami pilihan Jaring Pedal yang terkesan hanya menggunakan data sensus penduduk serta pan-dangan atau penilaian (asumtif ) atas karakter dan ketokohan Masiun dan Petrus Lansang semata sebagai dasar pemetaan. Na-mun begitu, penulis berkeyakinan bahwa Jaring Pedal terutama Tim Sukses Masiun sudah pasti menggunakan data hasil pe-milu legislatif maupun Pemilihan Presiden sebagai data primer pemetaan kecenderungan politik. Namun karena keterbatasan akses informasi, yang diketahui penulis hanya data mapping out Jaring Pedal yang memakai dokumen-dokumen sensus pen-duduk tahun 2004.

Page 22: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

22

yang digerakkan Masiun maupun Petrus Lansang pada wilayah dan situasi yang berbeda. Mapping out itu kemudian digunakan sebagai titik tolak Tim Sukses untuk mengembangkan sejumlah pendekatan dan penguasaan institusi dan momentum lain yang tersedia atau yang akan diadakan, agar dapat memenangkan Masiun bertarung dalam Pilkada yang berlangsung pada bulan Juni 2005.

Sebagai ilustrasi yang akan membantu memahami cara pandang para eksponen gerakan rakyat di Sekadau saat itu dalam mengurai berbagai dimensi penguatan dan pelemahan, mencari dan menerapkan tindakan untuk mengatasi hambatan yang dihadapi sehingga menghasilkan ekspektasi suara yang akan mereka peroleh untuk memenangkan Masiun, berikut dijelaskan beberapa variabel mapping out politik lokal Sekadau.

Pertama, bahwa Masiun adalah penggerak Credit Union, tercatat pula sekitar 12.000 orang telah menjadi anggota CU, lembaga keuangan mikro yang selama ini menjadi mitra kerja Masiun dan kawan-kawan. Angka potensial atau bloking voter bagi Masiun dan Petrus Lansang berasal dari dua Credit Union yang berbeda dan apabila digabungkan akan memiliki anggota terbanyak di Sekadau. Kedua, Drs. Stefanus Masiun sendiri merupakan pendiri CU Keling Kumang sejak 1993 yang sekarang memiliki anggota 6.000 orang di Sekadau. Sementara Drs. Petrus Lansang berasal dari CU Manteare yang memiliki anggota 1.500 orang. Artinya berdasarkan perhitungan Jaring Pedal maka akan ada 7.500 orang kepala keluarga x 3 orang = 29.500 orang berpotensi mendukung pasangan Masiun. Karena setiap kepala keluarga diasumsikan memiliki seorang istri dan dua orang anak.

Kedua, bahwa Petrus Lansang juga merupakan tokoh pendidik, mantan guru dan perintis berdirinya SMU Santo Gabriel di Sekadau. Diperkirakan akan ada kalangan orangtua yang telah berjasa memajukan dan memperjuangkan pendidikan di Kab. Sekadau bersama Petrus Lansang dari tahun 1973-1978 akan mendukung penuh perjuangan pasangan tersebut untuk memimpin Kab. Sekadau. Diperkirakan pasangan Masiun dan Petrus Lansang akan memperoleh 80% dari 10.000 orang tua dan pekerja keras yang merupakan alumni Santo Gabriel, dengan kata lain Tim Sukses akan mendulang 8.000 potensi suara.

Ketiga, kedudukan Petrus Lansang sebagai Ketua Dewan Adat Dayak Kabupaten Sekadau diperkirakan akan menjaring dukungan masyarakat dari etnis Dayak

yang menginginkan pengakuan dan penghormatan terhadap budaya dan adat istiadatnya. Untuk bagian ini, Jaring Pedal memperkirakan dari 16.000 orang yang masih menjalankan adat istiadatnya, maka diperkirakan Tim Sukses akan mendulang suara mencapai 10.000 suara.

Keempat, bahwa pasangan Masiun dan Petrus Lansang merupakan satu-satunya pasangan yang memang telah melakukan pemberdayaan dan berbagai kegiatan dari kampung ke kampung dalam 10 tahun terakhir. Pemberdayaan yang telah dilakukan mencapai 30 desa dari 76 desa di Kec. Sekadau. Diperkirakan ada 35 ribu suara dari 30 desa yang telah dilakukan pemberdayaan. Jaring Pedal memperkirakan dukungan masyarakat kepada pasangan M-L dari masyarakat yang telah merasakan manfaat pemberdayaan ekonomi, sosial-budaya, politik dan lingkungan mencapai 60% dari jumlah pemilih di 30 desa. Itu artinya suara untuk M-L telah mencapai 21.000 suara.

Kelima, bahwa Masiun dan Lansang didukung oleh Partai PNBK dan Partai Demokrat beserta simpatisan partai lain. Suara legislatif dua partai ini di Sekadau mencapai 12-an ribu suara. Jika mesin politik organisasi berjalan sesuai dengan skenario, maka dukungan kedua partai ini diperkirakan menyumbang 20% atau 2.400 suara kepada Masiun dan Petrus Lansang. Dari analisa ini, Jaring Pedal memperkirakan keduanya akan memenangkan pertarungan di Kab. Sekadau dengan perolehan suara 70.400 suara atau 66,6% dari seluruh pemilih di Kab. Sekadau

Menjelang pilkada di Kab. Sekadau, pengembangan konsensus dilakukan oleh Masiun dan Petrus Lansang melalui pembentukan P3R Center atau Pusat Penyadaran Pendidikan Politik Rakyat. Struktur ini tidak lagi berbicara sektoral, tapi langsung pada penguasaan teritorial. Badan inilah yang membentuk Koordinator kabupaten, koordinator kecamatan, koordinator jalur atau lintasan yang bisa dilalui dalam kerja pengorganisasian yang dilakukan rutin hingga membentuk koordinator desa. Struktur dibentuk agar yang bekerja dimudahkan untuk berkoordinasi sesuai fungsinya. Struktur kerja yang dibangun melalui P3R menekankan agar semua orang harus turun ke lapangan, sehingga upaya pembangunan komunikasi menjadi lancar.Badan ini menyiapkan Tim kampanye resmi untuk menyebarluaskan visi, misi dan program kerja melalui pertemuan, media cetak, radio, stiker dan pamflet. Lalu mengadakan kampanye terbuka untuk Melakukan komunikasi bahkan menyusun kontrak politik..

Page 23: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

23

Tapi sayang, fakta, ekspektasi dan tindakan strategis maupun taktis yang telah terpetakan tetap terpatahkan oleh kontradiksi yang menghidupkan gerakan sosial di negeri ini, manakala kerja politik masih dipilah berdasarkan kelompok partisan dan non-partisan. Begitulah, proses pengorganisiran rakyat memang harus diakui belum meluas ke wilayah politik. Hal itu yang mengakibatkan orientasi penggeseran kuasa politik kepada rakyat masih milik imajinasi sejumlah orang yang tersebar pada basis-basis massa tertentu. Sejumlah orang yang berusaha keluar dari aktivisme, lalu mencoba membangun tali mandat gerakan yang lebih terang merepresentasikan akar sosial-politiknya. Sejumlah orang yang bukan saja sedang menyuarakan revolusi dalam versi lain, tetapi juga menggunakan retorika demokrasi formal yang diakui pemerintah dan tak bisa ditolak para pemilik modal. Retorika yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mengukuhkan identitas budaya, partisipasi, kemanusiaan dan keadilan yang menghormati kolektifitas sosial.

Kontradiksi yang paling terasa dan mudah untuk diperiksa adalah menjelaskan pada kita semua bahwa ketidaktegasan arah, kehendak dan tindakan yang dibangun gerakan sosial menyebabkan basis-basis massa organisasi rakyat masih mudah terilusi dengan berbagai praktek-praktek yang cenderung mencederai gerakan konsolidasi demokrasi, misalnya melalui politik uang maupun political claiming oleh mesin-mesin politik dan komprador Orde Baru. Pada tataran organisasional, klaim-klaim tersebut akhirnya mengusik penataan gerak maju gerakan rakyat yang memang memiliki kelemahan dalam mengelola organisasi, bahkan ketersediaan basis produksi bagi pelebaran gerakan sosial.

20 Juni 2005, kelimpahan dukungan ternyata belum cukup mengantar pasangan ini ke kursi Bupati dan wakil bupati Sekadau. Ekspektasi awal yang disusun mendudukkan pasangan ini, yang menurut data dari Tim Suksesnya menempati peringkat kedua dengan perkiraan raihan pada kisaran 22.000 suara. Sedangkan berdasarkan data KPU, pasangan ini meraih 19.212 suara atau 21,5% dengan kemenangan mutlak di dua kecamatan. Mendapatkan ranking kedua, dan menang di dua kecamatan. Terlepas ada perbedaan hasil akhir dari estimasi suara tersebut, dan terlepas ada sinyelemen

yang menunjukkan indikasi adanya praktek kecurangan9 yang dilakukan pihak-pihak tertentu.

Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Melalui Sekadau, istilah “memperkuat” dan “mengembangkan diri” secara kolektif telah menjadi bahasa sehari-hari. Bahasa politik sudah mulai bergulir dalam obrolan keluarga di rumah-rumah warga. Dengan kata lain perajutan aktivitas kerja advokasi, penggalangan dana masyarakat maupun pembentukan kolektif-kolektif adat (kepemimpinan masyarakat adat) tak lagi dipandang sebagai upaya gerakan sosial dalam menyelesaikan satu demi satu persoalah ekonomi, politik, sosial dan budaya. Perbedaan sektoral maupun isu semestinya sudah bisa menyatu, perbedaan mesti dipandang sebagai suatu variasi strategi penguatan gerakan yang bersendikan kedaulatan rakyat10.

Apa yang terjadi di Sekadau telah memberikan pelajaran penting bagi eksponen gerakan sosial. Sebagai arena uji coba kekuatan massa rakyat dalam proses pengorganisasian ekonomi-politik dan pemberdayaan rakyat, majunya masiun dalam kancah pilkada sebagai calon bupati menyumbang perluasan pengaruh demokrasi berkeadilan sosial dalam wilayah politik, bahkan juga melebihi domain tersebut. Majunya masiun sebagai calon bupati Sekadau sekaligus juga memperluas demokratisasi ke dalam dinamika gerakan sosial, menawarkan masalah konflik yang berakar pada sektor maupun isu melalui tindakan mengambilalih kekuasaan politik secara terbuka

Pelajaran lain yang juga sama pentingnya adalah menjaga agar massa rakyat jangan sampai terjebak dengan ilusi kesempatan politik, dengan mempercayakan diri sepenuhnya pada proses legal formal11. Pertarungan di level prosedur demokrasi merupakan pertarungan alat politik, yang mesti diimbangi dengan mengorganisir

9. Mengutip Press Release Tim Sukses Masiun dan lansang yang menyatakan bahwa telah Terjadi money politic yang dilakukan pasangan calon nomor 1 yakni Simon Petrus dan Abun Ediyanto, Terjadi pencoblosan atau pemungutan suara sebelum tanggal

20 Juni 2005, intimidasi terhadap para pemilih yang dilakukan oleh seorang anggota TNI / Babinsa, pemilih yang tidak diberi-kan hak pilih karena tidak mendapatkan kartu undangan untuk memilih dari KPUD Kab. Sekadau, pengunaan tinta palsu sebagai tanda pencoblosan dan pelaksanaan kampanye pada masa ten-ang tanggal 17 -19 Juni 2005 yang dilakukan oleh Tim Sukses pasangan calon nomor 1 Simon Petrus dan Abun Ediyanto.

10. Mulai tahun 2004, para pegiat CU Manteare di Rawak sudah memeriksa dan menata ulang kerja pengorganisasian rakyat me-lalui CU yang dapat ditransformasikan kepada ruang-ruang poli-tik lokal melalui perbaikan metode pendidikan, kurikulum dan materi pendidikan dasar CU serta menyisihkan dana CU untuk biaya politik. Diskusi dengan Petrus Lansang pada 27 Agustus 2005.

11. Pancur Kasih, khususnya POR sudah melakukan evaluasi kerja

Page 24: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

24

perlawanan dan menata kerja kolektif sebagai alat pengamanan basis. Selanjutnya logika dalam proses transformasi dari gerakan sosial ke gerakan politik harus pula mengubah community organiser menjadi political organiser, artinya mengubah cara kerja, mentalitas dan struktur kerja.

Sebab, memasuki wilayah politik harus dipandang sebagai modal politik untuk mendorong basis-basis yang telah “merdeka” menuju ke arah gerakan politik yang memperluas basis untuk melakukan perubahan-perubahan di tingkat basis, penyatuan persamaan

politik dalam Pilkada di Sekadau, terutama berkaitan dengan pola pengorganisasian masyarakat yang dilakukan melalui CU. Dalam kon-treks gerakan sosial, pengembangan social-ekonomi yang berporos pada penyerapan dana-dana masyarakat tanpa diimbangi transfor-masi politik memang riskan karena masih membuat basis massa mengambang secara politik. Bahkan tidak memiliki atau tidak tertarik untuk mengembangkan kesadaran politiknya menjadi tindakan politik karena dikhawatirkan mengganggu perputaran uang yang dike-lola melalui CU. Bahkan Politik sebagai wacana dan materi sudah banyak digulirkan kelompok PK diberbagai pertemuan, pendidikan dan kerja pengorganisasiannnya. Namun, kurang mengemuka disebabkan kuatnya poros ekonomi yang bekerja melalui CU. Hasil diskusi dengan Masiun pada tanggal 13 Desember 2005.

untuk merumuskan program yang baik agar dapat memastikan pengorganisiran dan penataan perlawanan tetap terus laju. Ada kesadaran di massa bahwa kita butuh alat politik bersama, untuk mendapatkan ruang politik. Dan perubahan-perubahan massa hanya bisa dilakukan kalau kita punya panggung politik.[]

Page 25: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

25

PendahuluanPersoalan yang seringkali menjadi bahan pemikiran para aktivis Ornop dan Organisasi Rakyat selama bertahun-tahun adalah persoalan mengenai bagaimana menjaga keberlangsungan organisasi. Disamping faktor sumberdaya manusia, faktor pendanaan merupakan satu yang tidak dapat dikesampingkan. Pendanaan dimaksud adalah dana operasional kelembagaan dan programatik.Selama ini pada umumnya ornop di Indonesia memiliki kesamaan dalam menggalang sumber dana, yakni kebanyakan masih menggantungkan kepada lembaga donor terutama yang berasal dari luar negeri.

Cara ini makin disadari memiliki banyak keterbatasan, selain dibatasi tenggang waktu yang paling buruk adalah kemungkinan terjadinya benturan kepentingan antara organisasi dengan lembaga donor sangat terbuka. Ada beberapa contoh lembaga yang “colapse” atau paling tidak harus mengendurkan aktivitas advokasinya secara drastis akibat dari putusnya aliran dana dari lembaga donor dengan alasan lembaga donor tersebut sudah tidak fokus lagi kepada issu yang selama ini digarap oleh organisasi dimaksud.

Penggalangan dana model diatas juga beresiko kepada pilihan program organisasi, seringkali organisasi terjebak oleh pilihan program yang semata-mata mengikuti trend issu dari lembaga donor, ada situasi ketika lembaga donor hanya akan mengucurkan dana kepada organisasi yang menggarap issu tertentu. Dan pada saat organisasi demi menjaga kesinambungan program, walaupun harus keluar dari fokus utama mereka selama ini mengajukan proposal untuk terlibat, maka kemungkinan terjadi disorientasi organisasi terbuka disini, padahal orientasi program menunjukkan kredibelitas organisasi tersebut.

Melihat kenyataan seperti itu, belakangan memaksa ornop untuk lebih kreatif dalam menggalang sumber-sumber pendanaan organisasi. “Fund raising” menjadi topik yang mengedepan dikalangan ornop, berbagai pelatihan dilakukan sampai kepada upaya mengembangkan “sayap ekonomi” (topik ini jadi diskusi tersendiri di banyak organisasi). Semua dalam rangka mencapai format organisasi yang benar-benar mandiri dalam berbagai hal, terutama pendanaan. Sehingga keberlangsungan organisasi tidak lagi menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.

Situasi dan kondisi yang kurang lebih sama terjadi di organisasi rakyat. Organisasi rakyat justeru sepertinya disadari atau tidak meniru pola ornop dalam hal menggalang dana, yakni lebih bergantung kepada bantuan dana dari luar dan melupakan potensi yang ada dalam internal organisasinya. Walaupun kebanyakan mereka tidak berhubungan dengan lembaga donor dari luar, namun pola relasi yang mereka bangun dengan ornop adalah hampir tidak jauh berbeda. Intinya banyak organisasi rakyat yang dalam menjalankan organisasi dan program-programnya masih bergantung kepada dana yang dikucurkan oleh ornop dalam hal ini dan itu terjadi lewat ajuan proposal. Pola penggalangan dana lewat proposal ini lah yang banyak dikritisi banyak pihak. Dari sekian banyak komentar, kritik dan berbagai masukan, pada dasarnya adalah berangkat dari sebuah keinginan ideal untuk bagaimana menciptakan organisasi yang benar-benar mandiri.

Pengalaman Adalah Guru yang Paling BijaksanaBelajar dari pengalaman seringkali lebih efektif ketimbang melulu bergelut dengan bermacam teori dan konsep. Bukan berarti bahwa teori dan konsep tidak penting, artinya akan menjadi sebuah pengetahuan

MEnyEiMBanGkan PEnGuatan EkonoMi Dan PEnGuatan Politik rakyat:Sebuah Perbandingan Cu keling kumang dengan Cu ManteareOleh: Mulyadi

Berita Khusus

Page 26: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

26

yang komprehensif tatkala terjadi akumulasi teori, konsep dengan praktek di pengalaman. Di Indonesia, bukan tidak ada ornop atau organisasi rakyat yang telah memulai upaya-upaya penggalangan dana secara swadaya dengan berbagai skala. Beberapa ornop misalnya diluar dana utama “tradisional” nya, juga mengembangkan usaha seperti penjualan kaus, emblem dan buku. Lainnya ornop yang bergerak di advokasi hukum dan HAM coba mengembangkan “firma” hukum yang itu memberikan sebagian profitnya bagi organisasi induknya, bahkan ada yang sudah lebih luas mencakup usaha-usaha komersial seperti travel dan lain sebagainya.

Apapun bentuk usahanya, sebetulnya yang menarik adalah proses diskusi sampai kepada pilihan-pilihan usaha tersebut beserta segala turutannya. Barangkali ini salah satunya yang mendorong untuk Pergerakan dalam hal ini diwakili oleh sekretariat, FSBKU (Tangerang), Hapsari (Deli Serdang dan Serdang Bedagai), STAB (Bengkulu) dan Perekat Ombara (Lombok) untuk melakukan kegiatan magang di sebuah lembaga keuangan yang dikenal dengan Credit Union (CU). CU yang banyak muncul di Kalimantan dinilai berhasil –paling tidak- dalam upaya menggalang dana yang berasal dari anggotanya sendiri.

Credit Union: Berangkat dari Niat SosialCredit Union (CU) yang sejarahnya berasal dari Jerman, diawal berdirinya sekitar abad pertengahan memiliki nilai-nilai humanitas dan kedermawanan yang tinggi. Yakni berangkat dari niat dan keinginan seorang walikota untuk membantu warganya yang miskin keluar dari jurang kemelaratan. Namun disadari oleh pencetusnya, bahwa pola charity bukannya menuntaskan masalah. Maka setelah melewati beberapa proses, ternyata CU dianggap model yang paling tepat untuk masyarakat keluar dari himpitan persoalan ekonomi, daripada sekedar bantuan yang bersifat karitatif, yang insidental dan tidak menuntaskan masalah. Di Indonesia sendiri CU pertama kali dibawa oleh para misionaris kristen, dan dalam perkembangannya banyak tumbuh di Kalimantan.

CU Keling Kumang: “Menjadi Kaya dan Sukses”CU Keling Kumang yang kantornya terletak di Dusun Tapang Sambas-Tapang Kemayau, Sekadau berdiri tahun 1993 sampai saat ini telah menggalang dana sejumlah kurang lebih 54 Milyar dengan anggota tidak kurang dari 10.000 orang. Dana ini berasal dari tabungan, bunga pinjaman yang terakumulasi dalam berbagai bentuk layanan mereka, seperti Peridi (Deposito), Siska (Tabungan Pensiun), Simpar (Simpanan Harian), juga ada pelayanan non simpan pinjam seperti Solkes (Santunan Kesehatan), SRI (Santunan Rawat Inap), SDA (Santunan Kematian), Dana Solidaritas dan Program Bea Siswa

Dari pengamatan selama dua hari nampak bahwa dari sisi manajerial, CU Keling Kumang sudah menerapkan manajemen profesional. Dan dalam diskusi-diskusi dengan para pengurus serta melihat cara kerja staff CU Keling Kumang, lembaga ini didorong untuk menjadi makin besar dari sisi aset. Artinya, saat bicara soal CU Keling Kumang kita bicara pemberdayaan ekonomi,

sangat minim muatan pemberdayaan politik, jika pun ada didalam “Poljak” (Pola Kebijakan), pemberdayaan politik dibaca hanya sebagai sebuah kegiatan dari satu divisi yang bernama Divisi Pelatihan dan Perlindungan.

Terdapat satu hal yang menarik untuk jadi bahan diskusi, yaitu CU Keling Kumang menerapkan satu sistem yang bernama “Kapitalisasi”, ialah mendorong anggota untuk meminjam sejumlah uang (sesuai dengan batasan-batasan yang ada), namun nasabah tidak akan mendapatkan uangnya secara riil (hanya diatas kertas), akan tetapi nasabah tersebut tetap harus mengangsur pinjaman itu secara riil. Upaya ini dilakukan untuk memperbesar kapital CU dan bagi nasabah hal itu merupakan saham. Disini ukuran keberhasilan, kesuksesan orang diukur dari seberapa banyak mereka berinvestasi (dalam bentuk uang), tidak heran kemudian misi dari lembaga CU Keling Kumang sebagaimana tercantum didalam AD/ART nya adalah “Menjadi Kaya dan Sukses”.Secara manajemen, CU Keling Kumang sekali lagi dapat dikatakan sedang menuju sebuah lembaga keuangan profesional yang tidak kalah dari lembaga semacam

Berita Khusus

Walaupun kebanyakan mereka tidak berhubungan dengan lembaga donor dari luar, namun pola relasi yang mereka bangun dengan ornop adalah hampir tidak jauh berbeda. Intinya banyak organisasi rakyat yang dalam menjalankan organisasi dan program-programnya masih bergantung kepada dana yang dikucurkan oleh ornop dalam hal ini dan itu terjadi lewat ajuan proposal.

Page 27: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

27

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dari sisi aset misalnya.

CU Manteare: “Masyarakat Berdaya Secara Ekonomi dan Politik” Situasi yang berbeda ditemui di CU Manteare yang berkantor di Kecamatan Rawak, Sekadau. Disini berdasarkan pengamatan, dari sisi manajerial tidak atau belum seperti CU Keling Kumang. CU Manteare yang berdiri tahun 1997 masih jauh tertinggal dalam hal penggalangan dana yang merupakan aset lembaga. Namun disisi lain nampak jelas bahwa nuansa politis jauh lebih kental ketimbang di CU Keling Kumang.

Dalam diskusi dengan ketuanya, bapak Stephanus Lansang dan beberapa pengurus lainnya, persoalan yang terkait dengan penguatan hak-hak politik masyarakat khususnya anggota CU Manteare menjadi hal yang tidak ditinggalkan disamping tentunya upaya pemberdayaan ekonomi yang merupakan bagian tidak terpisah dari keberadaan CU. Barangkali ini tidak lepas dari sosok Stephanus Lansang yang mantan birokrat dan baru-baru ini terlibat langsung dalam proses Pilkada, (sebagai calon Wakil Bupati Sekadau) walaupun belum berhasil. Sikap politik ini yang tidak muncul di CU Keling Kumang.

Menggabungkan dua kekuatan Sebagai basis ekonomi politik, menilik dari sejarahnya kedua CU ini (dan antar semua CU) semestinya merupakan sebuah potensi yang luar biasa besarnya. Relasi mereka dengan ornop seperti GRPK (Gerakan Rakyat Pembaruan Kampung) dan beberapa lainnya di Kalimantan Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya yang mengusung issu pemberdayaan masyarakat yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi memang tidak serta merta mewarnai gerak langkah CU, semua berpulang kepada bagaimana para pengurus CU menjabarkan itu di lapangan.

Artinya setiap CU akan bergerak sesuai dengan dinamika dan kemampuan mereka merespon persoalan sosial disekitar, bisa jadi satu CU sangat economic heavy dan lainnya political heavy. Suatu variasi yang tidak persoalan jika dipandang dari sudut pilihan, namun jika dipandang secara lebih strategis dalam konteks pembangunan masyarakat yang bergerak menuju terciptanya civil

society dan lebih jauh merebut ruang-ruang politik dan ekonomi dalam arti luas, maka sebetulnya CU merupakan wadah yang komplet bagi upaya menjawab pertanyaan persoalan sosial, politik dan ekonomi rakyat. Sebab jika melihat relitas, yang banyak terjadi di berbagai ornop dan organisasi rakyat sekarang adalah belum optimalnya upaya-upaya kearah penggalangan dana yang bersumber dari dalam organisasinya sendiri. Yang memungkinkan terjaganya keberlangsungan organisasi dalam waktu yang panjang.

Dengan pola yang dikembangkan CU sebenarnya sedikit banyak telah menjawab persoalan sosial ekonomi, yang perlu lebih dipertegas kemudian memang adalah komitmen setiap CU untuk turut terlibat di dalam upaya-upaya penguatan basis sosial politik. Karena dengan demikian diharapkan kedepannya setiap agenda politik dalam berbagai tingkat dan cakupan yang pada dasarnya akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka dapat merek “rebut” lewat bermacam saluran politik formal maupun non formal. Sebagai sebuah gerakan sosial, CU yang kuat dalam mobilisasi resource semestinya mampu mempengaruhi konstalasi sosial politik, minimal ditingkat lokal mereka. []

Berita Khusus

Page 28: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

28

Penyebarluasan gagasan-gagasan dan cerita pengalaman mengenai gerakan advokasi kerakyatan dan gerakan sosial untuk perubahan dan keadilan sosial merupakan satu hal yang amat penting dalam upaya untuk membangun sebuh gerakan yang solid. Sebab pertukaran gagasan dan informasi yang mampu menjangkau publik yang lebih luas pada akhirnya dapat menumbuhkan sebuah kerangka gerakan advokasi baru yang lebih baik.

Untuk itu diperlukan beragam media kampanye yang dapat diakses secara terbuka dan mampu menjangkau pihak-pihak yang tidak secara langsung bersentuhan dengan gagasan dan gerakan advokasi kerakyatan ini. Bentuk dan pilihan media kampanye juga akan sangat menentukan sejauh mana jangkauan yang ingin di capai oleh gerakan. Mulai dari publikasi cetak hingga visual. Media visual menjadi pilihan yang menarik untuk diambil karena jangkauannya yang cukup luas, dalam arti bahwa ia dapat menjadi media yang sangat mudah diterima dan dimengerti. Bahkan oleh mereka yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan gagasan gerakan advokasi kerakyatan. Meskipun, tentu saja masih banyak pula media lain yang juga memiliki karakteristik yang sama. Jika mengambil pilihan media visual, tentu saja pilihannya adalah film dokumenter. Sebab sebuah film dokumenter tidak hanya memberi gambaran visual yang sesuai dengan realitas yang ada, namun ia juga dapat menjadi sumber data yang kuat bagi sebuah studi lanjutan. Sesuatu yang memang harus terus dilakukan oleh sebuah organisasi yang terus menerus berkutat dalam upaya membangun gerakan advokasi kerakyatan.

Namun demikian penggunaan media visual sebagai media penyebarluasan gagasan masih cukup minim diambil, terutama bagi mereka yang bergerak di lokal-lokal kecil. Hal ini berkaitan dengan sedikitnya ketersediaan orang-orang yang mampu untuk menggunakannnya. Dengan dasar itulah maka pada bulan Agustus –September 2005, sekretariat PERGERAKAN memfasilitasi sebuah proses pelatihan pembuatan film yang diikuti oleh perwakilan SPP (Jawa Barat), Yayasan An Nissa (Aceh) dan Yayasan Papan (Aceh). Dan untuk lebih menguatkan proses pertukaran informasi anata anggota, maka pengajar yang diambil pun berasal dari anggota PERGERAKAN yaitu Tomy dari STAB dan Mateu dari YP2AS.

Proses Pelatihan pembuatan FilmDalam kegiatan pelatihan itu, materi yang diberikan dibagi dalam dalam dua tahap, yaitu: (a) pengenalan alat dan teknik pengambilan gambar, (b) proses produksi film. Tahapan ini dilakukan dengan asumsi bahwa peserta

yang mengikuti pelatihan memang masih sangat awam dengan berbagai hal yang berkaitan dengan pembuatan film, baik itu pengetahuannya mengenai alat-alat yang dibutuhkan, penggunaan alat-alat tersebut , dan bentuk alur kerja yang harus dilakukan dalam sebuah produksi film.

Pengenalan alat dan teknik pengambilan gambarDengan asumsi bahwa peserta masih awam, maka pelatihan pada tahap ini dimulai dari hal-hal yang sangat dasar. Tujuan utamanya adalah peserta mengetahui dan dapat menggunakan dengan baik peralatan yang digunakan dalam membuat sebuah film. Pengenalan alat berlangsung selama tiga hari dan dilakukan dalam kelas . Peserta diberikan materi-materi dasar tentang penggunaan kamera dan aspek-aspek lainnya yang dapat mendukung penggunaan kamera.

Teori dalam kelas kemudian diikuti dengan praktek pengambilan gambar. Pada tahap ini para peserta dituntut untuk mampu mempraktekkan materi yang telah didapat. Hasil yang diharapkan adalah mereka mampu mengambil gambar hidup dari berbagai sudut dan kondisi dengan memperhitungkan pencahayaan dan kestabilan gambar.

Proses produksi FilmSetelah materi tahap pertama selesai diberikan, peserta kemudian masuk dalam materi produksi film. Mereka diperkenalkan dengan alur kerja sebuah produksi film. Mulai dari penyusunan tim kerja dan pembagian tugas, penyusunan ide cerita, penyusunan materi film, pengambilan gambar, pengolahan gambar hingga proses editing film.

Untuk mendukung hal itu, peserta kemudian dijadikan sebuah tim kerja dengan tugas akhir membuat sebuah film dokumenter yang sederhana pada tahap ini para pengajar juga dimasukkan kedalam tim yang dibentuk tersebut dengn tugas mengawal proses kerja yang dilakukan oleh peserta.

Setelah melakukan diskusi mengenai tema cerita yang akan diangkat oleh tim kerja tersebut adalah “Sekolah Komunitas SPP”. Tema cerita itu diambil setelah mempertimbangkan lokasi dan berbagai kendala yang mungkin harus dihadapi oleh tim kerja yang baru tersebut. Dalam perjalanan pembuatan skenario dan pengumpulan materi film, ternyata tim menghadapi kendala dengan terbatasnya peralatan dan jarak yang cukup jauh antara satu lokasi yang menjadi objek pengambilan gambar dengan lokasi lainnya. Oleh karena itu maka diputuskan untuk mempersempit tema cerita dengan terfokus hanya pada satu lokasi saja. Tema yang kemudian diambil adalah SMP Plus Pasawahan yang

Proses Pelatihan Pembuatan Film

Kalender Kegiatan

Page 29: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

29

dikeloal oleh SPP kabupaten Ciamis.

Berdasarkan materi awal yang berhasil dikumpulkan, kemudian tim mulai melakukan penyusunan skenario. Skenario sengaja dibuat sederhana, agar bisa dikembangkan dengan temuan dilapangan saat mengambil gambar. Hal ini dilakukan karena keterbatasan materi yang tersedia. Proses inilah yang pada akhirnmya membuat jalannya produksi film sempat tertunda-tunda.

Pengambilan gambar sendiri baru dilakukan pada akhir Agustus. Pada tahap ini seluruh peserta bekerja sebagai tim teknis lapangan. Mereka diharuskan mampu mengejar tenggat waktu yang diberikan untuk menyelesaikan pengambilan gambar dan beberapa wawancara dengan sejumlah narasumber untuk melengkapi gambar.

Setelah pengambilan gambar selesai dan materi yang didapat dianggap telah mencukupi, peserta kemudian dilakukan proses editing film untuk merajut gambar-gambar yang didapat menjadi sebuah cerita yang tersusun sesuai dengan skenario yang dibuat. Proses editing ini sndiri berjalan cukup lama , hingga pertengahan September. Hal itu karena perkembangan cerita, seperti yang telah disinggung, yang mnembuat mereka harus kembali mengambil sejumlah gambar untuk melengkapi film tersebut.

EvaluasiSecara umum dapat dikatakan bahwa pelatihan yang difasilitasi oleh PERGERAKAN cukup memberi banyak pengetahuan tambahan bagi peserta, khusunya kemampuan teknis. Namun ternyata berdasarkan laporan yang dibuat oleh masing-masing peserta, terlihat bahwa transformasi pengetahuan tidak mencapai hasil maksimal seperti yang diharapkan. Tidak adanya parameter yang mengukur keberhasilan peserta membuat sulit untuk mengetahui apakah transformasi pengetahuan telah berjalan baik atau tidak. Keterbatasan alat-alat yang digunakan, juga menjadi salah satu kendala. Sebagai contoh, saat pengambilan gambar tidak semua peserta mendapatkan kesempatan untuk menggunakan kamera karena terbatasnya jumlah alat. Sebagian peserta mengeluhkan padatnya jadwal dan sempitnya waktu yang diberikan membuat mereka tidak mampu menyerap beberapa pengetahuan tambahan, terutama berkaitan dengan pengetahuan teknis, yang diberikan para pengajar dilapangan. Modal pengetahuan awal yang dimiliki masing-masing peserta yang beragam juga menjadi kendala dalam melakukan proses transformasi pengetahuan.[]

Peserta Pelatihan:

-Arief (SPP, Ciamis-Jawa Barat)

- Rizal Setiawan (SPP, Garut-Jawa Barat)

- Ari Hardana (Yayasan An Nissa, Aceh)

- Zahrial fami (Yayasan Papan, Aceh)

Kalender Kegiatan

Program Pelatihan magang Film rC Sekretariat Pergerakan

Tahun 2006 ini RC Sekretariat PERGERAKAN lebih memfokuskan diri pada program Pelatihan Editing Film. Program ini hanya terbuka bagi anggota PERGERAKAN. Program Pelatihan dijadwalkan 2 kali yaitu Bulan Juli dan Oktober 2006

Kriteria:a. Anggota Pergerakanb. Anggota yang berminat harus mengajukan permohonan disertai abstraksi film yang akan di

proses. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan peralatan yang dimiliki sehingga membutuhkan penjadwalan yang ketat.

c. Peserta yang akan mengikuti pelatihan diharuskan sudah memiliki pengetahuan penggunaan komputer yang cukup

d. Tema yang ditawarkan berkaitan dengan dinamika di wilayah masing-masinge. Keseluruhan proses Pra Produksi dan proses pengumpulan gambar dan informasi dalam tahap

Produksi telah dilakukan sebelum peserta pembuatan film tiba di Bandung untuk melanjutkan ke proses penyusunan skenario dalam proses Pra Produksi dan editing film serta proses perbanyakan dalam proses Produksi

Page 30: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

30

Produk-produk film yang dihasilkan PERGERAKAN

Judul : Sekolah itu HarusDurasi : 36’39’”Produksi : Pergerakan, Yayasan Papan, Yayasan

AN Nissa, STAB, SPP, YP2ASTahun : September, 2005

Judul : Menyongsong Fajar “KEBEBASAN FINANSIAL”

Durasi : 28’51’”Produksi : Aliansi Masyarakat Adat (AMA)

Kalimantan Barat, POR Pancur Kasih, Pergerakan

Tahun : November, 2005

Kalender Kegiatan

Judul : Silaturahmi SPP den BPN PusatDurasi : -Produksi : SPP dan PergerakanTahun : Desember, 2005

Judul : Aliyah BingkatDurasi : 15’20”Produksi : Sekber ORI dan PergerakanTahun : Maret, 2006

Page 31: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

31

Kegiatan Lembaga Tanggal Pelaksanaan

Training Community Organizer (CO)

Forum Pemuda mahasiswa untuyk Rakyat (FPPMR)

dan Serikat Petani Pasundan (SPP)

16-27 Juli 2005 Hotel Mangkubumi dan Desa Cipatujah Tasikmalaya

Konsultasi Publik Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 dan Evaluasi-Refleksi Gerakan Sosial

Serikat Petani Pasundan (SPP) 28 Juni 2005, Dangiang Cilawu Garut-Jawa Barat

Worskhop Refleksi Strategi dan Kerja Politik Masyarakat

Sipil dalam Pilkada Langsung tahun 2005.

Pergerakan28-29 Juli 2005, Hotel Permata Bidakara, Bandung

Workshop Pengembangan Sekolah Politik untuk

Memperkuat Kepemimpinan Politik Rakyat

Pergerakan 30 - 31 Juli 2005, Bandung

Magang Credit Union GRPK 24 Agustus-5 September 2005, Kalimantan Barat

Workshop System Labour market Fleksibelity

Federasi Serikat Burh Karya Utama (FSBKU)

3-4 September 2005, Wisma Nusa Bangs Parung

Bogor-Jawa Barat

Pelatihan Produksi Film PERGERAKAN22 Agustus-22 September

2005, Sekretariat PERGERAKAN Bandung

kegiatan Pelatihan Pertanian Unit PengembanganEkonomi (UPE) Serikat Petani Pasundan

5-6 September, Sekretariat Bersama UPE/LBH Serikat

Petani Pasundan (SPP)

Pendidikan IKR Semester 3 Institut Kepemimpinan Rakyat SPP26-27 September 2005, Pusat Pendidikan SPP

Garut-Jawa Barat

Kampanye dan Kursus Politik III Fungsionaris Organisasi Rakyat

Himpunan SErikat Perempuan Indonesia (Hapsari) 16-19 September 2005,

Pendidikan Kepemimpinan Serikat Nelayan Merdeka Serdang Bedagai 15-17 Oktober 2005

Pertemuan kelompok Ornop dan Organisasi masyarakat sipil Nasional menjelang KTM ke-6

WTO di Hongkong

Institute for Global Justice

- 25 November 2005, Kantor IGJ Jakarta

- 5 desember 2005, Hotel Maharani Jakarta

Kongres Serikat Tani Bengkulu (STAB) Serikat Tani Bengkulu 7-10 Desember 2005,

Bengkulu

Evaluasi kerja, GRPK, Organisasi Rakyat dan Lembaga Pendukung

Gerakan Rakyat Pemberdayaan Kampung 11-14 Desember 2005

Renstra STAb, HPMB dan Perkumpulan KBH Serikat Tani Bengkulu (STAB)

13-15 Januari 2006, Gedung Balai Kesehatan

Bengkulu

Kalender Kegiatan PERGERAKAN

Peiode Juni- Desember 2005

Kalender Kegiatan

Page 32: Buletin BERGERAK Vol 1, No. 2, Juni 2006

32

barcode

Judul : Membangun Lembaga Pengembangan KapasitasTebal : 35 hlm; 210 mmPenerbit : PERGERAKAN, 2006

Info terbitan

Judul : AKu BANGGA JAdi ANAK dEsA, Kumpulan tulisan siswa sMP Plus Pasawahan

Tebal : 287 hlm; 180 mmPenerbit : PERGERAKAN, 2006

Judul : seri Panduan Pemetaan Partisipatif, Modul 1-10Tebal : 181 hlm; 210 mmPenerbit : JKPP dan PERGERAKAN, 2006

Judul : Pertalian Baru atas Kekuasaan, Rakyat dan Politik

Tebal : 346 hlm; 210 mmPenerbit : Garis PERGERAKANKeterangan : Masih dalam proses Finalisasi