Upload
vef-ra-uleaniy
View
21
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
KAJIAN TEKNOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI USAHA MI SAGU
DI SUKABUMI
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
ABSTRAK
Kajian teknologi dan sosial ekonomi mengenai industri pengolahan mi sagu di Kotamadya Sukabumidilakukan pada tahun 2003. Kajian ini dilakukan melalui survei terhadap para pengrajin mi sagudengan tujuan untuk memperoleh informasi aspek sosial ekonomi usaha pengolahan mi sagu. Datadikumpulkan melalui wawancara secara langsung dan pengisisan kuesioner yang telah dipersiapkan,sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait. Dari hasil kajian dapat disimpulkanbahwa di Sukabumi terdapat sembilan pengrajin mi sagu. Usaha ini pada umumnya merupakanusaha keluarga yang bersifat turun-temurun. Tenaga kerja diambil dari keluarga dan dari luar keluargadengan upah bersih masing-masing rata-rata Rp 11.875,- dan Rp 14.500,-/hari dengan jam kerja 6jam/hari dan disediakan makan siang. Usaha pengolahan mi sagu ini mampu menyerap tenagakerja keluarga sebanyak 43 orang dan tenaga kerja dari luar keluarga 20 orang (rata-rata 7 orang)dengan tingkat pendidikan 7 dan 8 tahun. Kapasitas produksi 600 kg/hari, rendemen 350%, hargasagu Rp 2.200,-/kg, harga mi di tingkat pengrajin Rp 950,-/kg. Struktur modal yang digunakan yaitumodal tetap Rp 40.615.000,- modal kerja Rp 51.145.500,- biaya tetap Rp 4.450.005,-/bulan, danbiaya variabel Rp 52.052.550,-/bulan. Indeks keuntungan yaitu BEP Rp 34.156.397,-/bulan ataupada tingkat produksi 340,92 kg/hari dengan waktu pengembalian modal 12,1 bulan, B/C ratio 1,06dan nilai tambah sagu Rp 186/kg mi sagu yang dihasilkan.Hasil analisis pengembangan usahamenunjukkan adanya kenaikan indeks keuntungan yaitu B/C ratio 1,65, BEP 1,3 bulan dan nilaitambah sagu Rp 3.162,-/kg sehingga usaha ini layak dikembangkan.
Kata kunci: mi sagu,analisis tekno-sosial-ekonomi.
ABSTRACT. Hadi Setiyanto, Widaningrum and Heti Herawati. 2006. Technological, socialand economic study of sago noodle processing industries in Sukabumi. Technological, socialand economic study of sago noodle processing industries in Sukabumi was conducted in 2003.This study was conducted through survey to sago noodle’s entrepreneurs and aimed to collect andanalyse information about social economic aspects from small-scale industries of sago noodleprocessing. There were 9 sago noodle’s entrepreneurs in Sukabumi. Those enterprises generallymanaged as family enterprises and passed on from one generation to the others. The workers weretaken from internal and external family with daily wages average value as much as Rp 11,875 andRp 14,500 for each worker respectively with working time 6 hour a day and lunch provided. Thoseenterprise could absorb intern family workers about 43 persons (average 7 persons) and externalfamily workers about 20 persons with education level between 7 and 8 years. Production capacitywas 600 kg/day with yield 350%, price of sago Rp 2,200,-/kg. Sago noodle prices in entrepreneurlevel was Rp 950/kg. Capital structure which were used were: fixed capital Rp 40,615;000,- capitalwork Rp 51,145,500,- fixed cost Rp 4,450,005,-/month, and variable cost Rp 52,052,550,-/month.Benefit index (BEP) was Rp 34,156,397,-/month and production level was 340 kg/day with time ofcapital return was about 12.1 month. B/C ratio was 1.06 and value added of sago was Rp 186,-/kgsago noodle. The analysis of development effort shows the increase of benefit index was B/C ratio1.65,BEP 1.3 months and value added of sago was Rp 3,162,-/kg.
Keywords: sago starch noodle,techno socio-economicanalysis.
Hadi Setiyanto, Widaningrum dan Heti Herawati
PENDAHULUAN
Sagu (Metroxylon sp) merupakan komoditas sumberkarbohidrat penting di Indonesia yang mendudukiurutan keempat setelah ubi kayu, jagung dan ubi jalar.Tanaman sagu banyak dijumpai di Indonesia (Papua,Maluku, Sulawesi, Kepulauan Riau, KepulauanMentawai), Papua Nugini (Sepik dan Gulf), Malaysia
(Sabah, Serawak dan Malaysia Barat), Thailand(Bagian Selatan) dan Philipina (Mindanao). Luas arealpertanaman sagu dunia diperkirakan mencapai 2,25juta ha yang berupa tegakan liar dan 0,2 juta haberupa tegakan semi budidaya (Flach, 1997).Indonesia memiliki areal pertanaman paling luasdiikuti oleh Papua Nugini, Malaysia, Thailand danPhilipina (Akuba, 2003).
Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006
50 Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol.2 2006
Hasil utama tanaman sagu berupa pati yang diekstrakdari empulur batang. Miftahorrachman et al. (1996)dikutip oleh Kanro et al. (2003) menyatakan bahwaproduksi pati sagu basah dari 16 tipe sagu yangditanam di Sentani Papua bervariasi dari 27 kg/pohonhingga 207,5 kg/pohon setelah berumur 8-10 tahun.Flach (1997) menyatakan bahwa pohon sagu dapatmenghasilkan 15-25 ton pati kering per ha.
Masyarakat di Kawasan Timur Indonesia yaitu Papua,
Maluku dan Sulawesi secara tradisional mengonsumsi
sagu sebagai makanan pokok dalam bentuk Papeda,
Kapurung, Colo-colo, Senole, dan sebagainya. Oleh
karena itu sebenarnya sagu dapat berperan dalam
menunjang kebutuhan pangan. Namun, peranan sagu
sebagai pangan pokok mulai digeser oleh beras
seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan
masyarakat (Hutapea et al., 2003). Hal ini terjadi
karena ada kesan inferior pada sagu sebagai makanan
pokok. Agar hal tersebut tidak terjadi dengan laju
yang cukup tinggi, produk olahan sagu harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan tuntutan konsumen.
Salah satu bentuk pangan olahan yang saat ini
banyak diminati oleh masyarakat adalah mi. Mi dapat
dikonsumsi secara fleksibel tanpa menimbulkan
kesan inferior. Di Jawa Barat khususnya daerah Bogor,
Sukabumi dan Cianjur, terdapat jenis mi yang berasal
dari pati sagu dan dikenal dengan nama mi sagu, mi
gleser, mi leor atau mi pentil. Mi sagu umumnya
berwarna kuning transparan. Karena bahan bakunya
berupa pati sagu, maka teknologi pembuatannya pun
berbeda dengan pembuatan mi yang umumnya
berasal dari terigu.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian
teknis dan sosial ekonomi usaha mi sagu yang
berlokasi di kota Sukabumi, Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan dengan mewawancarai
sembilan produsen/pengrajin mi sagu yang berada
di Kota Sukabumi Jawa Barat, pada tahun 2003.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan
wawancara dan pengisian kuesioner yang telah
disiapkan serta pengambilan mi dari masing-masing
responden sebagai sampel. Data sekunder diperoleh
dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Sukabumi.
Analisis mengenai karakteristik mi sagu meliputi
warna, kekerasan, kelengketan, kadar air, protein,
lemak dan uji organoleptik dilakukan di Laboratorium
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian, Bogor.
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kondisi
usaha para pengrajin kemudian dilakukan analisis
pengembangan usaha. Perhitungan yang dilakukan
mengacu pada rumus yang digunakan oleh Weston
dan Copeland (1992) yaitu:
a. Break Even Point (BEP) :
BEP (%) = %100XBVR
BT
�
BEP (Rp) = R
BV
BT
�1
Keterangan :
BT = jumlah biaya tetap periode operasi
R = hasil penjualan
BV = jumlah biaya variabel
b. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C ) :
Net B/C = �� �
�n
t ti
CTBT
1 )1(
Keterangan :
Bt = penerimaan kotor pada tahun ke-t
Ct = total biaya pada tahun ke-t
i = tingkat suku bunga
t = periode investasi
n = umur ekonomi proyek
c. Pay Back Period (PBP)
PBP = Nilai investasi awal X 1 tahun
Kas Bersih
Data yang diperoleh kemudian diolah secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Keragaan Industri Mi Sagu Di Kota
Sukabumi
Di Kota Sukabumi terdapat sekitar sembilan perajin/produsen mi sagu yang semuanya termasuk dalamkategori industri rumah tangga/kecil. Usaha tersebutmerupakan usaha pokok yang telah berlangsungselama puluhan tahun, namun ada juga yang barudimulai. Hampir semua perajin mengaku bahwapengetahuan produksi mi sagu diperoleh secara turun-temurun atau sebagian mendapatkannya setelahmagang/bekerja di tempat usaha serupa sebelumnya.Tidak ada perajin mi sagu yang memulai usahanya
Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006 51
berdasarkan pengetahuan yang didapat secara formal.Meskipun demikian beberapa perajin menyatakanpernah mendapat pengetahuan lain (terutama yangberkaitan dengan aspek keamanan pangan) dariinstansi pemerintah melalui pelatihan.
Tenaga kerja umumnya berasal dari lingkungankeluarga sendiri maupun tenaga kerja luar keluargayang tinggal di sekitar lokasi dan tergolong dalamusia produktif dengan latar belakang pendidikan relatifrendah. Rendahnya tingkat pendidikan para perajintentunya kurang menguntungkan karena merekacenderung kurang responsif terhadap perubahan danmungkin juga dapat menyulitkan terjadinya transferteknologi. Upah yang diterima oleh tenaga kerjakeluarga dan luar keluarga masing-masing sebesarRp 11.875,- dan Rp 14.500,- per orang per hari setelahbekerja rata-rata 6 jam per hari pada kondisi normal(Tabel 1). Upah yang mereka terima sudah bersihkarena pemilik usaha menyediakan makan bagi parapekerjanya. Perbedaan upah antara tenaga kerjakeluarga dengan luar keluarga disebabkan tenagakerja keluarga biasanya melakukan pekerjaan lebih“ringan” dibanding tenaga kerja dari luar. Tenaga kerjakeluarga biasanya melakukan pekerjaan pada saatpencampuran bahan, pengemasan dan pemasaran,atau hanya berfungsi sebagai pendukung danpengawas tenaga kerja dari luar, meski sebenarnyatanggung jawab/risiko yang ditanggung lebih besar.Standar upah sesuai Upah Minimum Regional (UMR)tampaknya belum dapat diterapkan pada usaha
diatas. Sedangkan unit proses yang relatif “berat”seperti pengadukan adonan, pencetakan maupunpemasakan biasanya dikerjakan oleh tenaga kerja luarkeluarga.
2. Proses Pengolahan Mi Sagu
Pembuatan mi sagu terdiri dari beberapa tahap yaitupembuatan binder, pembentukan adonan, pencetakan,pemasakan, perendaman dan penirisan. Hasilpenelitian Purwani (2004) menyatakan bahwa urutanproses pengolahan mi sagu diuraikan secaraterperinci seperti terlihat pada Gambar 1.
Binder disiapkan dengan cara menambahkan airmendidih ke dalam suspensi pati sagu yang telahditambah dengan pewarna dan bahan pengeras hinggaterbentuk gel. Selanjutnya ke dalam binder ditambahsagu sambil terus diaduk secara manual atau secaramekanis dengan alat pengaduk “molen” hinggaadonan homogen dan siap dicetak. Cetakan mi yangdigunakan oleh pengrajin beroperasi secara manualmaupun secara mekanis. Setelah dicetak, mi direbus
Tabel 1.Tenaga kerja pada usaha mi sagu di KotaSukabumi
Table 1.The workers of sago noodle processingindustries in Sukabumi
Gambar1.Diagram alir pembuatan mi sagu
Figure 1.Processing Diagram of sago noodle
keterangan/remarks:
- Angka yang disajikan adalah data rata-rata + standar
deviasi/The numbers presented are the mean data +
standard deviation
- Angka di dalam kurung merupakan kisaran nilai minimum –
maksimum/The numbers in parentheses are minimum-
maximum values
Suspensi pati sagu/
Sago starch
Gelatinisasi/Gelatinisation
Gel/Binder
Pengadukan hingga adonan
kalis/Dough shifting
Pencetakan/Molding
Pemasakan/Cooking
Perendaman/Soaking
Penirisan/Straining
Mi Sagu/
Sago noodle
Pati sagu/
Sago
Jenis tenaga kerja The kind of workers
Uraian Description
Keluarga (n = 20 )
Intern family (n=20)
Luar Keluarga (n =43 )
Extern family (n=43)
Umur/Age (tahun/years)
Pendidikan/ Education (tahun/years)
Upah/Wages (Rp/hariRp/day)
Alokasi waktu / Time allocation (jam/hari/ hour/day)
33 + 9 (22-50)
8 + 3 (6-12)
11.875+3.000 (7.000 – 7.500)
6 + 3 (4 – 11)
29 + 10 (16-55)
7 + 3 (6-12)
14.500 + 3.900 (8.000 – 20.000)
6 + 3 (4-8)
52 Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol.2 2006
dalam air mendidih sampai terapung, diangkat dandirendam dalam air mengalir selama beberapa jam.Perendaman dimaksudkan untuk mendapatkantekstur yang diinginkan. Mi diangkat, ditiriskan dandiberi minyak agar tidak lengket dan dibiarkanbeberapa saat sampai mi siap dikemas untukdipasarkan.
Pada masa istirahat helaian mi akan mengembang.Menurut perajin, pengembangan volume mi(rendemen) berkisar antara 300-400%. Mi sagutermasuk dalam kelompok makanan basah. Kadarair mi berkisar antara 72,86-89,16%, protein 0,5%,lemak relatif tinggi (3-5%) karena pada akhir prosesmi dilumuri minyak kacang agar tidak lengket. Ujiorganoleptik dari warna,tekstur dan aromamenunjukkan penerimaan agak suka. Purwani et al.(2004) melaporkan bahwa hingga saat ini belum adaacuan standar mutu yang berlaku untuk mi sagu,Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ada saat inimasih terbatas untuk mi terigu, bihun dan sounsehingga mutu mi yang dihasilkan sangat bervariasidengan mutu rata-rata seperti pada Tabel 2.
3. Masalah Yang Dihadapi Oleh Industri Mi
Sagu
Perajin mi sagu menghadapi beberapa kendala.
Masalah utama yang dihadapi diantaranya adalah:
Bahan baku, penerapan teknologi, sanitasi, dukungan
penelitian dan pengembangan, mutu dan masalah
lainnya.
a) Nilai Organoleptik/Organoleptic Score :
1 =Sangat tidak suka/ very much dislike
2 =Tidak suka/Dislike
3 = Agak tidak suka/ less dislike
4 = Netral/Neutral
5 = Agak suka/ less like
6 =Suka/Like
Tabel 2. Karakteristik mi saguTable 2. The characteristics of sago noodle
Karakteristik Characteristics
Nilai rata-rata Mean values
Warna /Color : Nilai L Value L a a b b
77,33 11,29 -30,17
Kekerasan /Hardness (kg) 24,63 Kelengketan/Stickiness (g.cm) 233,21 Air/Water (%) 79,00 Protein /Protein (%) 0,51 Lemak /Fat (%) 3,87 Uji organoleptik/ Organoleptic test
a)
Warna (Color) Tekstur (Texture)
Aroma (Aroma) 4,9 5,2 4,5
Bahan baku
Permasalahan bahan baku sudah mulai dirasakan
oleh perajin yang ada di Sukabumi dan sekitarnya.
Meskipun ekstraksi pati sagu dilakukan di Sukabumi,
namun batang sagu harus didatangkan dari daerah
lain di luar Sukabumi antara lain dari propinsi Banten.
Selain untuk mi, sagu juga diperlukan untuk campuran
bakso, tepung hunkwe, kerupuk dan sebagainya.
Informasi yang diperoleh dari perajin di Sukabumi
menyebutkan bahwa dari satu ton batang sagu (setara
15 batang pohon sagu) menghasilkan 300 kg sagu
kering. Dengan asumsi bahwa kapasitas normal
perajin mi adalah 300 kg sagu sebagai bahan baku
dan dengan jumlah pengrajin lima orang, maka pohon
sagu yang harus tersedia adalah 75 batang.
Diperlukan waktu 8–10 tahun untuk menanam sagu
hingga waktu panennya. Dalam mengantisipasi
kelangkaan bahan baku Thahir et al.(2005) melakukan
studi simulasi sistem dinamis yang menunjukkan
bahwa dengan budidaya sagu yang cukup baik, sagu
hanya mampu memenuhi kebutuhan hingga tahun
2033.
Berdasarkan asumsi dan kenyataan yang ada,
kelangkaan sagu harus diantisipasi sejak dini seiring
dengan perkembangan teknologi pengolahan sagu.
Sagu umumnya diperoleh melalui eksploitasi hutan
sagu. Oleh karena itu, konsep natural sago forest
perlu diubah menjadi sustainable sago plantation.
Penerapan teknologi
Tingkat aplikasi teknologi pada produksi mi sagu
masih relatif rendah. Hal ini tercermin dari berbagai
peralatan produksi yang digunakan. Meskipun alat
pencetak mi sudah dapat dirancang secara mekanis
namun kenyataannya sebagian besar perajin hanya
mampu menggunakan alat pencetak manual. Hal ini
disebabkan harga mesin pencetak mi mekanis lebih
mahal dibanding yang manual. Pada tahun 2003,
harga mesin pencetak mi mekanis mencapai 20 juta
rupiah, sedangkan mesin serupa yang beroperasi
secara manual hanya berharga 1,2 juta rupiah.
Keterbatasan modal atau informasi teknis
mengakibatkan perajin tidak mampu menyediakan
sarana produksi seperti mesin pengemas, pengaduk/
molen dan pencetak yang memadai. Pengemasan
mi sagu belum dilakukan oleh para perajin. Walaupun
akan menambah biaya produksi, namun cara tersebut
sangat diperlukan untuk memasuki pangsa pasar
yang lebih luas seperti pasar swalayan.
Sanitasi
Produksi mi sagu memerlukan air dalam jumlah
banyak. Air tersebut digunakan pada proses
perendaman. Hasil kajian oleh Balai Besar Penelitian
Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006 53
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
menunjukkan bahwa para perajin menggunakan air
seadanya untuk merendam mi. Ada perajin yang
memanfaatkan air dari sumber mata air tertentu yang
dialirkan ke lokasi pabrik kemudian ditampung
kedalam bak perendam. Perajin lain memanfaatkan
air permukaan yang ditampung di balong/kolam
kemudian mengalirkannya ke bak perendam. Hingga
saat observasi berlangsung, air tidak mengandung
unsur yang membahayakan.
Pengadaan air bersih sesuai dengan persyaratan
industri pangan perlu mendapat perhatian serius,
misalnya dengan membangun instalasi air bersih.
Subsidi berupa instalasi utilitas air bersih patut
dipertimbangkan agar tidak menambah beban/ongkos
produksi. Secara bertahap subsidi dapat dikurangi
setelah pengrajin menyadari pentingnya penggunaan
air bersih. Isu kebersihan selanjutnya dapat
digunakan sebagai sarana promosi yang diharapkan
dapat memperluas segmen pasar mi sagu.
Dukungan Penelitian dan Pengembangan
Saat ini, riset terhadap mi sagu di Indonesia masihsangat terbatas. Untuk meningkatkan daya saing misagu perlu bantuan riset lebih intensif. Keterlibatanperan peneliti dari lembaga pemerintahan baik negerimaupun swasta sangat diperlukan dalam kaitanpenelitian dan pengembangan produk mi sagu.Misalnya mi sagu dapat diformulasikan dengan bumbukacang instan, dengan kuah tom yum, dengan bumbukecap, dan lain sebagainya yang memerlukanbantuan riset.
Saat ini segmen pasar mi sagu relatif terbatas untuk
kalangan bawah. Keunggulan mi sagu dibanding
produk lain perlu dieksplorasi secara maksimal.
Proses perendaman (retrogradasi) pada pembuatan
mi sagu diduga akan memicu terbentuknya pati tak
tercerna (Resistant Starch/RS). Beberapa peneliti
melaporkan bahwa RS memiliki efek fisiologis seperti
serat makanan yang bermanfaat bagi kesehatan usus
(Croghan, 2002). Apabila keunggulan tersebut dapat
dibuktikan pada mi sagu, maka mi sagu memiliki nilai
tambah berupa kadar RS yang berguna bagi
kesehatan. Nilai tambah tersebut bisa dijadikan selling
point dalam promosi yang diharapkan dapat
memperluas pangsa pasar produk.
Masalah Mutu
Mi sagu yang dihasilkan perajin seringkali mutunyatidak konsisten. Keragaman mutu antar perajin dapatdipahami karena setiap perajin memiliki formulamasing-masing. Namun ketidak konsistenan mutumi yang dihasilkan dari setiap batch process olehperajin yang sama perlu dihindari. Hal ini bisa sajaterjadi karena standar baku produksi (SOP/Standar
Operation Procedure) untuk mi sagu memang belumtersedia.
Tidak Adanya Asosiasi
Berbeda dengan perajin tahu/tempe yang sudah
memiliki wadah KOPTI (Koperasi Tahu Tempe
Indonesia), perajin mi sagu belum memiliki organisasi/
asosiasi yang mewadahinya. Tidak jarang terjadi
persaingan kurang sehat diantara para perajin dengan
cara menurunkan harga produk secara sepihak.
Kejadian serupa dapat dihindari melalui pembentukan
asosiasi pengrajin mi sagu.
Latar Belakang Pendidikan
Tingkat pendidikan para perajin rata-rata adalah rendah
yaitu 7-8 tahun atau setara sampai kelas 1-2 SMP,
sehingga kurang mampu menerima teknologi baru
dibandingkan mereka yang lulus sekolah menengah
atas/SLA. Ini menyebabkan sulitnya mentransfer
teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas dan
efisiensi usaha.
Kekurangan Tempat Industri
Kebanyakan lokasi pengolahan beroperasi denganmemanfaatkan sebagian ruang bangunan yangmenjadi tempat tinggal para perajin dan berada ditengah pemukiman sehingga sulit untuk menata layout pabrik yang bagus. Idealnya, mi sagu diproduksidi suatu lokasi industri (kecil) yang dirancang dengandrainase dan sistem pembuangan limbah yang baik.Namun lokasi ideal seperti di atas tidak tersedia atauterlalu mahal.
Kurangnya Dana/Sumber Keuangan
Masalah keuangan merupakan masalah klasik yangdihadapi oleh pengrajin skala kecil. Pengrajin tidakmemiliki akses pada lembaga keuangan yang tersediaseperti bank karena kecilnya jaminan yang dimiliki.Seandainya ada lembaga yang tidak memerlukanjaminan, kelompok ini juga tidak mampumengaksesnya. Keterbatasan sumber dayamengakibatkan mereka tidak mampu menyiapkanproposal yang dikehendaki oleh lembaga keuanganuntuk menilai kelayakan usaha. Programpendampingan diharapkan dapat membantumengatasinya.
Manajemen Produksi
Seperti usaha kecil lain, umumnya usaha mi sagubelum dikelola secara profesional. Manajemenmodern seperti manajemen produksi dan pemasaranbelum diterapkan, kebanyakan dikelola olehpemiliknya sendiri. Mereka tidak inovatif dan dantermotivasi. Para perajin tampaknya sudah cukuppuas dengan apa yang telah dicapai.
54 Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol.2 2006
Tabel 3. Struktur modal dan biaya usahapengolahan mi sagu
Table 3. The capital and cost stucture in sagonoodle processing
· Tidak ada pinjaman modal komersial dari pihaklain
Struktur modal dan biaya pengolahan mi sagu dapat
dilihat dalam Tabel 3. Usaha mi sagu memerlukan
modal tetap sekitar 40 juta rupiah untuk pengadaan
sarana produksi. Berdasarkan besarnya modal yang
diperlukan, usaha pengolahan mi sagu dikategorikan
sebagai usaha kecil. Modal kerja yang diperlukan
sekitar 51 juta rupiah. Biaya tetap dan biaya variabel
5. Analisis Pengembangan Usaha
Analisis Pengembangan Usaha
Hasil kajian menunjukkan bahwa ada peluang untukmemaksimalkan keuntungan ekonomis. Kapasitasproduksi masih bisa ditingkatkan apabila kendala bahanbaku dapat diatasi dan tingkat aplikasi teknologidiperbaiki antara lain dengan menggunakan peralatanmekanis. Berdasarkan pengalaman perajin mi diSukabumi, kapasitas produksi dapat ditingkatkanhingga mencapai 1000 kg mi/hari dengan bantuanmesin pencetak mi mekanis. Kapasitas produksiseperti di atas biasanya terjadi pada bulan puasa.
Saat ini segmen pasar mi sagu relatif terbatas untukkalangan bawah. Keunggulan mi sagu dibandingproduk lain perlu dieksplorasi secara maksimal.Proses perendaman (retrogradasi) pada pembuatan misagu diduga akan memicu terbentuknya pati taktercerna (Resistant Starch/RS). Beberapa penelitimelaporkan bahwa RS memiliki efek fisiologis sepertiserat makanan yang bermanfaat bagi kesehatan usus(Croghan, 2002). Apabila keunggulan tersebut dapatdibuktikan pada mi sagu, maka mi sagu memiliki nilaitambah berupa kadar RS yang berguna bagi kesehatan.Nilai tambah tersebut bisa dijadikan selling point yangdiharapkan dapat memperluas pangsa pasar produk.
Aplikasi teknologi pengemasan juga masih minimal.
Mi sagu dijual di pasar tradisional dalam bentuk curah.
Pengemasan mi sagu seraca aseptis dankomersialisasinya perlu dikaji lebih lanjut. Aplikasi
teknologi pengemasan tentu akan meningkatkanbiaya produksi yang berdampak pada meningkatnyaharga jual produk.
Berdasarkan kondisi di atas disusun model usahami sagu berbasis teknologi untuk memaksimalkankeuntungan ekonomisnya. Meskipun binderdisiapkan secara manual, namun adonan diaduksecara mekanis dengan molen. Mi dicetak secaramekanis kemudian dimasak. Selanjutnya midirendam dalam bak perendam yang dilengkapidengan heat exchanger untuk mempertahankansuhu air perendam tetap dingin. Air di dalam bakperendam diusahakan mengalir dengan caramengatur sirkulasi di dalamnya.
KESIMPULAN
1. Usaha produksi mi sagu merupakan usahapokok keluarga yang dilakukan secara turuntemurun dan dikelola secara tradisional yangmelibatkan tenaga kerja keluarga dan dariluar keluarga di sekitar pabrik, dengan umurrata-rata 33 tahun dan 29 tahun, tingkatpendidikan 8 dan 7 tahun, upah Rp11.875,- danRp 14.5000,-/hari
2. Kapasitas produksi rata-rata 600 kg mi sagu,harga jual Rp 950,- /kg, diperoleh indekkeuntungan B/C ratio 1,06, BEP 12,1 bulandan nilai tambah sagu Rp 186,-/kg. Keuntunganlain yang diperoleh adalah dapat membukalapangan kerja keluarga dan masyarakatsekitar pabrik.
3. Hasil analisis pengembangan usahamenunjukkan adanya peningkatan indeks
4. Kajian Sosial Ekonomi
Usaha mi sagu pada umumnya merupakan usahakeluarga yang diturunkan dari satu generasi ke generasiberikutnya. Lokasi usaha menyatu dengan tempattinggal pemilik usaha. Kajian ekonomi usaha mi sagudisusun dengan asumsi:
· Kapasitas produksi normal yaitu sekitar 600 kgmi sagu/hari
· Rendemen 350%t· Tenaga kerja 8 orang per hari kerja· Jam kerja 6 jam/hari, 30 hari per bulan· Produksi dilakukan di tempat yang disewa dengan
biaya Rp 1.500.000,-/tahun· Suspend· Harga mi di tingkat perajin Rp 950,-/kg· Tidak ada beban pajak
Uraian Description
Jumlah Amount
� Modal tetap /Fixed capital (Rp)
� Modal kerja /Capital work (Rp)
� Biaya tetap /Fixed cost (Rp/bulan Rp/month)
� Biaya variabel/Variabel cost (Rp/bulan Rp/month)
� Indeks keuntungan/Benefit index :
� Titik impas/BEP/Break Even Point/BEP (Rp/bulan Rp/month)
� Kapasitas titik impas/The capacity of Break Even Point (Kg/hari Kg/day)
� Persen titik impas/The Percentage of Break Even Point
� Waktu pengembalian modal (bulan)/Time of capital returned bulan/(month)
� B/C rasio/B/C ratio
� Nilai tambah/Value added (Rp/Kg sagu Rp/Kg sago)
40.615.000 51.145.500 4.450.005
52.052.550
34.156.397
340,92
57,07
12,1
1,06 186
Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006 55
keuntungan B/C ratio 1,65, BEP 1,3 bulan dannilai tambah sagu Rp 3.162,-/Kg, sehingga
usaha mi sagu layak untuk dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Akuba, H.R. 2003. Sago Palm (Metroxylon saguRottb.) Genetic Conservation in Indonesia:Status, Problems and Prospects. Di dalamAkuba, R.H. (Eds). Prosiding Seminar NasionalSagu untuk Ketahanan Pangan. Manado, 6Oktober 2003. Pusat Penelitian danPerkebunan Bogor.
Croghan. 2002. Resistant Starch as a FunctionalIngredient in Food System. Business BriefingFood Tech.http://www.wmrc.com/businessbriefing/pdf/foodtech 2002/reference/refs.pdf. Diakses pada tgl 11 Juni 2003.
Flach. 1997. Sago Palm. Metroxylon sago Rottb.Promoting the Conversation and Use ofUnderutilized and Neglected crops. 13.Institute of Plant Genetics and Crop PlantResearch, Gatersleben/International PlantGenetic Resources Institute, Rome, Italy.
Hutapea, R.T.P.,P.M.Pasang, D.J.Toror dan A.Lay.2003. Keragaan Sagu Menunjang DiversifikasiPangan. Di dalam Akuba, R.H. (Eds). ProsidingSeminar Nasional Sagu untuk KetahananPangan. Menado, 6 Oktober 2003. PusatPenelitian dan Pengembangan Perkebunan.Bogor.
Kanro, M.Z., A.Rouw, A.Widjono, Syamsudin,Amisnaipa, dan Atekan. 2003. Tanaman Sagudan Pemanfaatannya di Propinsi Papua. JurnalLitbang Pertanian 22 (3), Jayapura.
Purwani, E.Y., Y. Setiawati, H. Setianto, J.S. Munarso,N. Richana and Widaningrum. 2004.Utilization of Sago Starch for TransparentNoodle in Indonesia. Prosiding SeminarNasional Peningkatan Daya Saing PanganTradisional, Bogor 6 Agustus 2004.
Thahir, R., A. Supriatna dan E.Y. Purwani. 2004.Simulasi Model Dinamik Ketersediaan Sagusebagai Sumber Ketahanan Pangan: KasusPapua. Makalah tidak dipublikasikan.
Weston J.F dan T.E. Copeland. 1992. ManajemenKeuangan. Penerbit Erlangga Jaka