7
KAJIAN TEKNOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI USAHA MI SAGU DI SUKABUMI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian ABSTRAK Kajian teknologi dan sosial ekonomi mengenai industri pengolahan mi sagu di Kotamadya Sukabumi dilakukan pada tahun 2003. Kajian ini dilakukan melalui survei terhadap para pengrajin mi sagu dengan tujuan untuk memperoleh informasi aspek sosial ekonomi usaha pengolahan mi sagu. Data dikumpulkan melalui wawancara secara langsung dan pengisisan kuesioner yang telah dipersiapkan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait. Dari hasil kajian dapat disimpulkan bahwa di Sukabumi terdapat sembilan pengrajin mi sagu. Usaha ini pada umumnya merupakan usaha keluarga yang bersifat turun-temurun. Tenaga kerja diambil dari keluarga dan dari luar keluarga dengan upah bersih masing-masing rata-rata Rp 11.875,- dan Rp 14.500,-/hari dengan jam kerja 6 jam/hari dan disediakan makan siang. Usaha pengolahan mi sagu ini mampu menyerap tenaga kerja keluarga sebanyak 43 orang dan tenaga kerja dari luar keluarga 20 orang (rata-rata 7 orang) dengan tingkat pendidikan 7 dan 8 tahun. Kapasitas produksi 600 kg/hari, rendemen 350%, harga sagu Rp 2.200,-/kg, harga mi di tingkat pengrajin Rp 950,-/kg. Struktur modal yang digunakan yaitu modal tetap Rp 40.615.000,- modal kerja Rp 51.145.500,- biaya tetap Rp 4.450.005,-/bulan, dan biaya variabel Rp 52.052.550,-/bulan. Indeks keuntungan yaitu BEP Rp 34.156.397,-/bulan atau pada tingkat produksi 340,92 kg/hari dengan waktu pengembalian modal 12,1 bulan, B/C ratio 1,06 dan nilai tambah sagu Rp 186/kg mi sagu yang dihasilkan.Hasil analisis pengembangan usaha menunjukkan adanya kenaikan indeks keuntungan yaitu B/C ratio 1,65, BEP 1,3 bulan dan nilai tambah sagu Rp 3.162,-/kg sehingga usaha ini layak dikembangkan. Kata kunci: mi sagu,analisis tekno-sosial-ekonomi. ABSTRACT. Hadi Setiyanto, Widaningrum and Heti Herawati. 2006. Technological, social and economic study of sago noodle processing industries in Sukabumi. Technological, social and economic study of sago noodle processing industries in Sukabumi was conducted in 2003. This study was conducted through survey to sago noodle’s entrepreneurs and aimed to collect and analyse information about social economic aspects from small-scale industries of sago noodle processing. There were 9 sago noodle’s entrepreneurs in Sukabumi. Those enterprises generally managed as family enterprises and passed on from one generation to the others. The workers were taken from internal and external family with daily wages average value as much as Rp 11,875 and Rp 14,500 for each worker respectively with working time 6 hour a day and lunch provided. Those enterprise could absorb intern family workers about 43 persons (average 7 persons) and external family workers about 20 persons with education level between 7 and 8 years. Production capacity was 600 kg/day with yield 350%, price of sago Rp 2,200,-/kg. Sago noodle prices in entrepreneur level was Rp 950/kg. Capital structure which were used were: fixed capital Rp 40,615;000,- capital work Rp 51,145,500,- fixed cost Rp 4,450,005,-/month, and variable cost Rp 52,052,550,-/month. Benefit index (BEP) was Rp 34,156,397,-/month and production level was 340 kg/day with time of capital return was about 12.1 month. B/C ratio was 1.06 and value added of sago was Rp 186,-/kg sago noodle. The analysis of development effort shows the increase of benefit index was B/C ratio 1.65,BEP 1.3 months and value added of sago was Rp 3,162,-/kg. Keywords: sago starch noodle,techno socio-economicanalysis. Hadi Setiyanto, Widaningrum dan Heti Herawati PENDAHULUAN Sagu (Metroxylon sp) merupakan komoditas sumber karbohidrat penting di Indonesia yang menduduki urutan keempat setelah ubi kayu, jagung dan ubi jalar. Tanaman sagu banyak dijumpai di Indonesia (Papua, Maluku, Sulawesi, Kepulauan Riau, Kepulauan Mentawai), Papua Nugini (Sepik dan Gulf), Malaysia (Sabah, Serawak dan Malaysia Barat), Thailand (Bagian Selatan) dan Philipina (Mindanao). Luas areal pertanaman sagu dunia diperkirakan mencapai 2,25 juta ha yang berupa tegakan liar dan 0,2 juta ha berupa tegakan semi budidaya (Flach, 1997). Indonesia memiliki areal pertanaman paling luas diikuti oleh Papua Nugini, Malaysia, Thailand dan Philipina (Akuba, 2003). Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006

Bulletin.pascapanen .2006 7 (1)

Embed Size (px)

Citation preview

KAJIAN TEKNOLOGI DAN SOSIAL EKONOMI USAHA MI SAGU

DI SUKABUMI

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

ABSTRAK

Kajian teknologi dan sosial ekonomi mengenai industri pengolahan mi sagu di Kotamadya Sukabumidilakukan pada tahun 2003. Kajian ini dilakukan melalui survei terhadap para pengrajin mi sagudengan tujuan untuk memperoleh informasi aspek sosial ekonomi usaha pengolahan mi sagu. Datadikumpulkan melalui wawancara secara langsung dan pengisisan kuesioner yang telah dipersiapkan,sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait. Dari hasil kajian dapat disimpulkanbahwa di Sukabumi terdapat sembilan pengrajin mi sagu. Usaha ini pada umumnya merupakanusaha keluarga yang bersifat turun-temurun. Tenaga kerja diambil dari keluarga dan dari luar keluargadengan upah bersih masing-masing rata-rata Rp 11.875,- dan Rp 14.500,-/hari dengan jam kerja 6jam/hari dan disediakan makan siang. Usaha pengolahan mi sagu ini mampu menyerap tenagakerja keluarga sebanyak 43 orang dan tenaga kerja dari luar keluarga 20 orang (rata-rata 7 orang)dengan tingkat pendidikan 7 dan 8 tahun. Kapasitas produksi 600 kg/hari, rendemen 350%, hargasagu Rp 2.200,-/kg, harga mi di tingkat pengrajin Rp 950,-/kg. Struktur modal yang digunakan yaitumodal tetap Rp 40.615.000,- modal kerja Rp 51.145.500,- biaya tetap Rp 4.450.005,-/bulan, danbiaya variabel Rp 52.052.550,-/bulan. Indeks keuntungan yaitu BEP Rp 34.156.397,-/bulan ataupada tingkat produksi 340,92 kg/hari dengan waktu pengembalian modal 12,1 bulan, B/C ratio 1,06dan nilai tambah sagu Rp 186/kg mi sagu yang dihasilkan.Hasil analisis pengembangan usahamenunjukkan adanya kenaikan indeks keuntungan yaitu B/C ratio 1,65, BEP 1,3 bulan dan nilaitambah sagu Rp 3.162,-/kg sehingga usaha ini layak dikembangkan.

Kata kunci: mi sagu,analisis tekno-sosial-ekonomi.

ABSTRACT. Hadi Setiyanto, Widaningrum and Heti Herawati. 2006. Technological, socialand economic study of sago noodle processing industries in Sukabumi. Technological, socialand economic study of sago noodle processing industries in Sukabumi was conducted in 2003.This study was conducted through survey to sago noodle’s entrepreneurs and aimed to collect andanalyse information about social economic aspects from small-scale industries of sago noodleprocessing. There were 9 sago noodle’s entrepreneurs in Sukabumi. Those enterprises generallymanaged as family enterprises and passed on from one generation to the others. The workers weretaken from internal and external family with daily wages average value as much as Rp 11,875 andRp 14,500 for each worker respectively with working time 6 hour a day and lunch provided. Thoseenterprise could absorb intern family workers about 43 persons (average 7 persons) and externalfamily workers about 20 persons with education level between 7 and 8 years. Production capacitywas 600 kg/day with yield 350%, price of sago Rp 2,200,-/kg. Sago noodle prices in entrepreneurlevel was Rp 950/kg. Capital structure which were used were: fixed capital Rp 40,615;000,- capitalwork Rp 51,145,500,- fixed cost Rp 4,450,005,-/month, and variable cost Rp 52,052,550,-/month.Benefit index (BEP) was Rp 34,156,397,-/month and production level was 340 kg/day with time ofcapital return was about 12.1 month. B/C ratio was 1.06 and value added of sago was Rp 186,-/kgsago noodle. The analysis of development effort shows the increase of benefit index was B/C ratio1.65,BEP 1.3 months and value added of sago was Rp 3,162,-/kg.

Keywords: sago starch noodle,techno socio-economicanalysis.

Hadi Setiyanto, Widaningrum dan Heti Herawati

PENDAHULUAN

Sagu (Metroxylon sp) merupakan komoditas sumberkarbohidrat penting di Indonesia yang mendudukiurutan keempat setelah ubi kayu, jagung dan ubi jalar.Tanaman sagu banyak dijumpai di Indonesia (Papua,Maluku, Sulawesi, Kepulauan Riau, KepulauanMentawai), Papua Nugini (Sepik dan Gulf), Malaysia

(Sabah, Serawak dan Malaysia Barat), Thailand(Bagian Selatan) dan Philipina (Mindanao). Luas arealpertanaman sagu dunia diperkirakan mencapai 2,25juta ha yang berupa tegakan liar dan 0,2 juta haberupa tegakan semi budidaya (Flach, 1997).Indonesia memiliki areal pertanaman paling luasdiikuti oleh Papua Nugini, Malaysia, Thailand danPhilipina (Akuba, 2003).

Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006

50 Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol.2 2006

Hasil utama tanaman sagu berupa pati yang diekstrakdari empulur batang. Miftahorrachman et al. (1996)dikutip oleh Kanro et al. (2003) menyatakan bahwaproduksi pati sagu basah dari 16 tipe sagu yangditanam di Sentani Papua bervariasi dari 27 kg/pohonhingga 207,5 kg/pohon setelah berumur 8-10 tahun.Flach (1997) menyatakan bahwa pohon sagu dapatmenghasilkan 15-25 ton pati kering per ha.

Masyarakat di Kawasan Timur Indonesia yaitu Papua,

Maluku dan Sulawesi secara tradisional mengonsumsi

sagu sebagai makanan pokok dalam bentuk Papeda,

Kapurung, Colo-colo, Senole, dan sebagainya. Oleh

karena itu sebenarnya sagu dapat berperan dalam

menunjang kebutuhan pangan. Namun, peranan sagu

sebagai pangan pokok mulai digeser oleh beras

seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan

masyarakat (Hutapea et al., 2003). Hal ini terjadi

karena ada kesan inferior pada sagu sebagai makanan

pokok. Agar hal tersebut tidak terjadi dengan laju

yang cukup tinggi, produk olahan sagu harus

dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai

dengan tuntutan konsumen.

Salah satu bentuk pangan olahan yang saat ini

banyak diminati oleh masyarakat adalah mi. Mi dapat

dikonsumsi secara fleksibel tanpa menimbulkan

kesan inferior. Di Jawa Barat khususnya daerah Bogor,

Sukabumi dan Cianjur, terdapat jenis mi yang berasal

dari pati sagu dan dikenal dengan nama mi sagu, mi

gleser, mi leor atau mi pentil. Mi sagu umumnya

berwarna kuning transparan. Karena bahan bakunya

berupa pati sagu, maka teknologi pembuatannya pun

berbeda dengan pembuatan mi yang umumnya

berasal dari terigu.

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian

teknis dan sosial ekonomi usaha mi sagu yang

berlokasi di kota Sukabumi, Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dengan mewawancarai

sembilan produsen/pengrajin mi sagu yang berada

di Kota Sukabumi Jawa Barat, pada tahun 2003.

Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan

wawancara dan pengisian kuesioner yang telah

disiapkan serta pengambilan mi dari masing-masing

responden sebagai sampel. Data sekunder diperoleh

dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota

Sukabumi.

Analisis mengenai karakteristik mi sagu meliputi

warna, kekerasan, kelengketan, kadar air, protein,

lemak dan uji organoleptik dilakukan di Laboratorium

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Pascapanen Pertanian, Bogor.

Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kondisi

usaha para pengrajin kemudian dilakukan analisis

pengembangan usaha. Perhitungan yang dilakukan

mengacu pada rumus yang digunakan oleh Weston

dan Copeland (1992) yaitu:

a. Break Even Point (BEP) :

BEP (%) = %100XBVR

BT

BEP (Rp) = R

BV

BT

�1

Keterangan :

BT = jumlah biaya tetap periode operasi

R = hasil penjualan

BV = jumlah biaya variabel

b. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C ) :

Net B/C = �� �

�n

t ti

CTBT

1 )1(

Keterangan :

Bt = penerimaan kotor pada tahun ke-t

Ct = total biaya pada tahun ke-t

i = tingkat suku bunga

t = periode investasi

n = umur ekonomi proyek

c. Pay Back Period (PBP)

PBP = Nilai investasi awal X 1 tahun

Kas Bersih

Data yang diperoleh kemudian diolah secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keragaan Industri Mi Sagu Di Kota

Sukabumi

Di Kota Sukabumi terdapat sekitar sembilan perajin/produsen mi sagu yang semuanya termasuk dalamkategori industri rumah tangga/kecil. Usaha tersebutmerupakan usaha pokok yang telah berlangsungselama puluhan tahun, namun ada juga yang barudimulai. Hampir semua perajin mengaku bahwapengetahuan produksi mi sagu diperoleh secara turun-temurun atau sebagian mendapatkannya setelahmagang/bekerja di tempat usaha serupa sebelumnya.Tidak ada perajin mi sagu yang memulai usahanya

Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006 51

berdasarkan pengetahuan yang didapat secara formal.Meskipun demikian beberapa perajin menyatakanpernah mendapat pengetahuan lain (terutama yangberkaitan dengan aspek keamanan pangan) dariinstansi pemerintah melalui pelatihan.

Tenaga kerja umumnya berasal dari lingkungankeluarga sendiri maupun tenaga kerja luar keluargayang tinggal di sekitar lokasi dan tergolong dalamusia produktif dengan latar belakang pendidikan relatifrendah. Rendahnya tingkat pendidikan para perajintentunya kurang menguntungkan karena merekacenderung kurang responsif terhadap perubahan danmungkin juga dapat menyulitkan terjadinya transferteknologi. Upah yang diterima oleh tenaga kerjakeluarga dan luar keluarga masing-masing sebesarRp 11.875,- dan Rp 14.500,- per orang per hari setelahbekerja rata-rata 6 jam per hari pada kondisi normal(Tabel 1). Upah yang mereka terima sudah bersihkarena pemilik usaha menyediakan makan bagi parapekerjanya. Perbedaan upah antara tenaga kerjakeluarga dengan luar keluarga disebabkan tenagakerja keluarga biasanya melakukan pekerjaan lebih“ringan” dibanding tenaga kerja dari luar. Tenaga kerjakeluarga biasanya melakukan pekerjaan pada saatpencampuran bahan, pengemasan dan pemasaran,atau hanya berfungsi sebagai pendukung danpengawas tenaga kerja dari luar, meski sebenarnyatanggung jawab/risiko yang ditanggung lebih besar.Standar upah sesuai Upah Minimum Regional (UMR)tampaknya belum dapat diterapkan pada usaha

diatas. Sedangkan unit proses yang relatif “berat”seperti pengadukan adonan, pencetakan maupunpemasakan biasanya dikerjakan oleh tenaga kerja luarkeluarga.

2. Proses Pengolahan Mi Sagu

Pembuatan mi sagu terdiri dari beberapa tahap yaitupembuatan binder, pembentukan adonan, pencetakan,pemasakan, perendaman dan penirisan. Hasilpenelitian Purwani (2004) menyatakan bahwa urutanproses pengolahan mi sagu diuraikan secaraterperinci seperti terlihat pada Gambar 1.

Binder disiapkan dengan cara menambahkan airmendidih ke dalam suspensi pati sagu yang telahditambah dengan pewarna dan bahan pengeras hinggaterbentuk gel. Selanjutnya ke dalam binder ditambahsagu sambil terus diaduk secara manual atau secaramekanis dengan alat pengaduk “molen” hinggaadonan homogen dan siap dicetak. Cetakan mi yangdigunakan oleh pengrajin beroperasi secara manualmaupun secara mekanis. Setelah dicetak, mi direbus

Tabel 1.Tenaga kerja pada usaha mi sagu di KotaSukabumi

Table 1.The workers of sago noodle processingindustries in Sukabumi

Gambar1.Diagram alir pembuatan mi sagu

Figure 1.Processing Diagram of sago noodle

keterangan/remarks:

- Angka yang disajikan adalah data rata-rata + standar

deviasi/The numbers presented are the mean data +

standard deviation

- Angka di dalam kurung merupakan kisaran nilai minimum –

maksimum/The numbers in parentheses are minimum-

maximum values

Suspensi pati sagu/

Sago starch

Gelatinisasi/Gelatinisation

Gel/Binder

Pengadukan hingga adonan

kalis/Dough shifting

Pencetakan/Molding

Pemasakan/Cooking

Perendaman/Soaking

Penirisan/Straining

Mi Sagu/

Sago noodle

Pati sagu/

Sago

Jenis tenaga kerja The kind of workers

Uraian Description

Keluarga (n = 20 )

Intern family (n=20)

Luar Keluarga (n =43 )

Extern family (n=43)

Umur/Age (tahun/years)

Pendidikan/ Education (tahun/years)

Upah/Wages (Rp/hariRp/day)

Alokasi waktu / Time allocation (jam/hari/ hour/day)

33 + 9 (22-50)

8 + 3 (6-12)

11.875+3.000 (7.000 – 7.500)

6 + 3 (4 – 11)

29 + 10 (16-55)

7 + 3 (6-12)

14.500 + 3.900 (8.000 – 20.000)

6 + 3 (4-8)

52 Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol.2 2006

dalam air mendidih sampai terapung, diangkat dandirendam dalam air mengalir selama beberapa jam.Perendaman dimaksudkan untuk mendapatkantekstur yang diinginkan. Mi diangkat, ditiriskan dandiberi minyak agar tidak lengket dan dibiarkanbeberapa saat sampai mi siap dikemas untukdipasarkan.

Pada masa istirahat helaian mi akan mengembang.Menurut perajin, pengembangan volume mi(rendemen) berkisar antara 300-400%. Mi sagutermasuk dalam kelompok makanan basah. Kadarair mi berkisar antara 72,86-89,16%, protein 0,5%,lemak relatif tinggi (3-5%) karena pada akhir prosesmi dilumuri minyak kacang agar tidak lengket. Ujiorganoleptik dari warna,tekstur dan aromamenunjukkan penerimaan agak suka. Purwani et al.(2004) melaporkan bahwa hingga saat ini belum adaacuan standar mutu yang berlaku untuk mi sagu,Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ada saat inimasih terbatas untuk mi terigu, bihun dan sounsehingga mutu mi yang dihasilkan sangat bervariasidengan mutu rata-rata seperti pada Tabel 2.

3. Masalah Yang Dihadapi Oleh Industri Mi

Sagu

Perajin mi sagu menghadapi beberapa kendala.

Masalah utama yang dihadapi diantaranya adalah:

Bahan baku, penerapan teknologi, sanitasi, dukungan

penelitian dan pengembangan, mutu dan masalah

lainnya.

a) Nilai Organoleptik/Organoleptic Score :

1 =Sangat tidak suka/ very much dislike

2 =Tidak suka/Dislike

3 = Agak tidak suka/ less dislike

4 = Netral/Neutral

5 = Agak suka/ less like

6 =Suka/Like

Tabel 2. Karakteristik mi saguTable 2. The characteristics of sago noodle

Karakteristik Characteristics

Nilai rata-rata Mean values

Warna /Color : Nilai L Value L a a b b

77,33 11,29 -30,17

Kekerasan /Hardness (kg) 24,63 Kelengketan/Stickiness (g.cm) 233,21 Air/Water (%) 79,00 Protein /Protein (%) 0,51 Lemak /Fat (%) 3,87 Uji organoleptik/ Organoleptic test

a)

Warna (Color) Tekstur (Texture)

Aroma (Aroma) 4,9 5,2 4,5

Bahan baku

Permasalahan bahan baku sudah mulai dirasakan

oleh perajin yang ada di Sukabumi dan sekitarnya.

Meskipun ekstraksi pati sagu dilakukan di Sukabumi,

namun batang sagu harus didatangkan dari daerah

lain di luar Sukabumi antara lain dari propinsi Banten.

Selain untuk mi, sagu juga diperlukan untuk campuran

bakso, tepung hunkwe, kerupuk dan sebagainya.

Informasi yang diperoleh dari perajin di Sukabumi

menyebutkan bahwa dari satu ton batang sagu (setara

15 batang pohon sagu) menghasilkan 300 kg sagu

kering. Dengan asumsi bahwa kapasitas normal

perajin mi adalah 300 kg sagu sebagai bahan baku

dan dengan jumlah pengrajin lima orang, maka pohon

sagu yang harus tersedia adalah 75 batang.

Diperlukan waktu 8–10 tahun untuk menanam sagu

hingga waktu panennya. Dalam mengantisipasi

kelangkaan bahan baku Thahir et al.(2005) melakukan

studi simulasi sistem dinamis yang menunjukkan

bahwa dengan budidaya sagu yang cukup baik, sagu

hanya mampu memenuhi kebutuhan hingga tahun

2033.

Berdasarkan asumsi dan kenyataan yang ada,

kelangkaan sagu harus diantisipasi sejak dini seiring

dengan perkembangan teknologi pengolahan sagu.

Sagu umumnya diperoleh melalui eksploitasi hutan

sagu. Oleh karena itu, konsep natural sago forest

perlu diubah menjadi sustainable sago plantation.

Penerapan teknologi

Tingkat aplikasi teknologi pada produksi mi sagu

masih relatif rendah. Hal ini tercermin dari berbagai

peralatan produksi yang digunakan. Meskipun alat

pencetak mi sudah dapat dirancang secara mekanis

namun kenyataannya sebagian besar perajin hanya

mampu menggunakan alat pencetak manual. Hal ini

disebabkan harga mesin pencetak mi mekanis lebih

mahal dibanding yang manual. Pada tahun 2003,

harga mesin pencetak mi mekanis mencapai 20 juta

rupiah, sedangkan mesin serupa yang beroperasi

secara manual hanya berharga 1,2 juta rupiah.

Keterbatasan modal atau informasi teknis

mengakibatkan perajin tidak mampu menyediakan

sarana produksi seperti mesin pengemas, pengaduk/

molen dan pencetak yang memadai. Pengemasan

mi sagu belum dilakukan oleh para perajin. Walaupun

akan menambah biaya produksi, namun cara tersebut

sangat diperlukan untuk memasuki pangsa pasar

yang lebih luas seperti pasar swalayan.

Sanitasi

Produksi mi sagu memerlukan air dalam jumlah

banyak. Air tersebut digunakan pada proses

perendaman. Hasil kajian oleh Balai Besar Penelitian

Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006 53

dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

menunjukkan bahwa para perajin menggunakan air

seadanya untuk merendam mi. Ada perajin yang

memanfaatkan air dari sumber mata air tertentu yang

dialirkan ke lokasi pabrik kemudian ditampung

kedalam bak perendam. Perajin lain memanfaatkan

air permukaan yang ditampung di balong/kolam

kemudian mengalirkannya ke bak perendam. Hingga

saat observasi berlangsung, air tidak mengandung

unsur yang membahayakan.

Pengadaan air bersih sesuai dengan persyaratan

industri pangan perlu mendapat perhatian serius,

misalnya dengan membangun instalasi air bersih.

Subsidi berupa instalasi utilitas air bersih patut

dipertimbangkan agar tidak menambah beban/ongkos

produksi. Secara bertahap subsidi dapat dikurangi

setelah pengrajin menyadari pentingnya penggunaan

air bersih. Isu kebersihan selanjutnya dapat

digunakan sebagai sarana promosi yang diharapkan

dapat memperluas segmen pasar mi sagu.

Dukungan Penelitian dan Pengembangan

Saat ini, riset terhadap mi sagu di Indonesia masihsangat terbatas. Untuk meningkatkan daya saing misagu perlu bantuan riset lebih intensif. Keterlibatanperan peneliti dari lembaga pemerintahan baik negerimaupun swasta sangat diperlukan dalam kaitanpenelitian dan pengembangan produk mi sagu.Misalnya mi sagu dapat diformulasikan dengan bumbukacang instan, dengan kuah tom yum, dengan bumbukecap, dan lain sebagainya yang memerlukanbantuan riset.

Saat ini segmen pasar mi sagu relatif terbatas untuk

kalangan bawah. Keunggulan mi sagu dibanding

produk lain perlu dieksplorasi secara maksimal.

Proses perendaman (retrogradasi) pada pembuatan

mi sagu diduga akan memicu terbentuknya pati tak

tercerna (Resistant Starch/RS). Beberapa peneliti

melaporkan bahwa RS memiliki efek fisiologis seperti

serat makanan yang bermanfaat bagi kesehatan usus

(Croghan, 2002). Apabila keunggulan tersebut dapat

dibuktikan pada mi sagu, maka mi sagu memiliki nilai

tambah berupa kadar RS yang berguna bagi

kesehatan. Nilai tambah tersebut bisa dijadikan selling

point dalam promosi yang diharapkan dapat

memperluas pangsa pasar produk.

Masalah Mutu

Mi sagu yang dihasilkan perajin seringkali mutunyatidak konsisten. Keragaman mutu antar perajin dapatdipahami karena setiap perajin memiliki formulamasing-masing. Namun ketidak konsistenan mutumi yang dihasilkan dari setiap batch process olehperajin yang sama perlu dihindari. Hal ini bisa sajaterjadi karena standar baku produksi (SOP/Standar

Operation Procedure) untuk mi sagu memang belumtersedia.

Tidak Adanya Asosiasi

Berbeda dengan perajin tahu/tempe yang sudah

memiliki wadah KOPTI (Koperasi Tahu Tempe

Indonesia), perajin mi sagu belum memiliki organisasi/

asosiasi yang mewadahinya. Tidak jarang terjadi

persaingan kurang sehat diantara para perajin dengan

cara menurunkan harga produk secara sepihak.

Kejadian serupa dapat dihindari melalui pembentukan

asosiasi pengrajin mi sagu.

Latar Belakang Pendidikan

Tingkat pendidikan para perajin rata-rata adalah rendah

yaitu 7-8 tahun atau setara sampai kelas 1-2 SMP,

sehingga kurang mampu menerima teknologi baru

dibandingkan mereka yang lulus sekolah menengah

atas/SLA. Ini menyebabkan sulitnya mentransfer

teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas dan

efisiensi usaha.

Kekurangan Tempat Industri

Kebanyakan lokasi pengolahan beroperasi denganmemanfaatkan sebagian ruang bangunan yangmenjadi tempat tinggal para perajin dan berada ditengah pemukiman sehingga sulit untuk menata layout pabrik yang bagus. Idealnya, mi sagu diproduksidi suatu lokasi industri (kecil) yang dirancang dengandrainase dan sistem pembuangan limbah yang baik.Namun lokasi ideal seperti di atas tidak tersedia atauterlalu mahal.

Kurangnya Dana/Sumber Keuangan

Masalah keuangan merupakan masalah klasik yangdihadapi oleh pengrajin skala kecil. Pengrajin tidakmemiliki akses pada lembaga keuangan yang tersediaseperti bank karena kecilnya jaminan yang dimiliki.Seandainya ada lembaga yang tidak memerlukanjaminan, kelompok ini juga tidak mampumengaksesnya. Keterbatasan sumber dayamengakibatkan mereka tidak mampu menyiapkanproposal yang dikehendaki oleh lembaga keuanganuntuk menilai kelayakan usaha. Programpendampingan diharapkan dapat membantumengatasinya.

Manajemen Produksi

Seperti usaha kecil lain, umumnya usaha mi sagubelum dikelola secara profesional. Manajemenmodern seperti manajemen produksi dan pemasaranbelum diterapkan, kebanyakan dikelola olehpemiliknya sendiri. Mereka tidak inovatif dan dantermotivasi. Para perajin tampaknya sudah cukuppuas dengan apa yang telah dicapai.

54 Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol.2 2006

Tabel 3. Struktur modal dan biaya usahapengolahan mi sagu

Table 3. The capital and cost stucture in sagonoodle processing

· Tidak ada pinjaman modal komersial dari pihaklain

Struktur modal dan biaya pengolahan mi sagu dapat

dilihat dalam Tabel 3. Usaha mi sagu memerlukan

modal tetap sekitar 40 juta rupiah untuk pengadaan

sarana produksi. Berdasarkan besarnya modal yang

diperlukan, usaha pengolahan mi sagu dikategorikan

sebagai usaha kecil. Modal kerja yang diperlukan

sekitar 51 juta rupiah. Biaya tetap dan biaya variabel

5. Analisis Pengembangan Usaha

Analisis Pengembangan Usaha

Hasil kajian menunjukkan bahwa ada peluang untukmemaksimalkan keuntungan ekonomis. Kapasitasproduksi masih bisa ditingkatkan apabila kendala bahanbaku dapat diatasi dan tingkat aplikasi teknologidiperbaiki antara lain dengan menggunakan peralatanmekanis. Berdasarkan pengalaman perajin mi diSukabumi, kapasitas produksi dapat ditingkatkanhingga mencapai 1000 kg mi/hari dengan bantuanmesin pencetak mi mekanis. Kapasitas produksiseperti di atas biasanya terjadi pada bulan puasa.

Saat ini segmen pasar mi sagu relatif terbatas untukkalangan bawah. Keunggulan mi sagu dibandingproduk lain perlu dieksplorasi secara maksimal.Proses perendaman (retrogradasi) pada pembuatan misagu diduga akan memicu terbentuknya pati taktercerna (Resistant Starch/RS). Beberapa penelitimelaporkan bahwa RS memiliki efek fisiologis sepertiserat makanan yang bermanfaat bagi kesehatan usus(Croghan, 2002). Apabila keunggulan tersebut dapatdibuktikan pada mi sagu, maka mi sagu memiliki nilaitambah berupa kadar RS yang berguna bagi kesehatan.Nilai tambah tersebut bisa dijadikan selling point yangdiharapkan dapat memperluas pangsa pasar produk.

Aplikasi teknologi pengemasan juga masih minimal.

Mi sagu dijual di pasar tradisional dalam bentuk curah.

Pengemasan mi sagu seraca aseptis dankomersialisasinya perlu dikaji lebih lanjut. Aplikasi

teknologi pengemasan tentu akan meningkatkanbiaya produksi yang berdampak pada meningkatnyaharga jual produk.

Berdasarkan kondisi di atas disusun model usahami sagu berbasis teknologi untuk memaksimalkankeuntungan ekonomisnya. Meskipun binderdisiapkan secara manual, namun adonan diaduksecara mekanis dengan molen. Mi dicetak secaramekanis kemudian dimasak. Selanjutnya midirendam dalam bak perendam yang dilengkapidengan heat exchanger untuk mempertahankansuhu air perendam tetap dingin. Air di dalam bakperendam diusahakan mengalir dengan caramengatur sirkulasi di dalamnya.

KESIMPULAN

1. Usaha produksi mi sagu merupakan usahapokok keluarga yang dilakukan secara turuntemurun dan dikelola secara tradisional yangmelibatkan tenaga kerja keluarga dan dariluar keluarga di sekitar pabrik, dengan umurrata-rata 33 tahun dan 29 tahun, tingkatpendidikan 8 dan 7 tahun, upah Rp11.875,- danRp 14.5000,-/hari

2. Kapasitas produksi rata-rata 600 kg mi sagu,harga jual Rp 950,- /kg, diperoleh indekkeuntungan B/C ratio 1,06, BEP 12,1 bulandan nilai tambah sagu Rp 186,-/kg. Keuntunganlain yang diperoleh adalah dapat membukalapangan kerja keluarga dan masyarakatsekitar pabrik.

3. Hasil analisis pengembangan usahamenunjukkan adanya peningkatan indeks

4. Kajian Sosial Ekonomi

Usaha mi sagu pada umumnya merupakan usahakeluarga yang diturunkan dari satu generasi ke generasiberikutnya. Lokasi usaha menyatu dengan tempattinggal pemilik usaha. Kajian ekonomi usaha mi sagudisusun dengan asumsi:

· Kapasitas produksi normal yaitu sekitar 600 kgmi sagu/hari

· Rendemen 350%t· Tenaga kerja 8 orang per hari kerja· Jam kerja 6 jam/hari, 30 hari per bulan· Produksi dilakukan di tempat yang disewa dengan

biaya Rp 1.500.000,-/tahun· Suspend· Harga mi di tingkat perajin Rp 950,-/kg· Tidak ada beban pajak

Uraian Description

Jumlah Amount

� Modal tetap /Fixed capital (Rp)

� Modal kerja /Capital work (Rp)

� Biaya tetap /Fixed cost (Rp/bulan Rp/month)

� Biaya variabel/Variabel cost (Rp/bulan Rp/month)

� Indeks keuntungan/Benefit index :

� Titik impas/BEP/Break Even Point/BEP (Rp/bulan Rp/month)

� Kapasitas titik impas/The capacity of Break Even Point (Kg/hari Kg/day)

� Persen titik impas/The Percentage of Break Even Point

� Waktu pengembalian modal (bulan)/Time of capital returned bulan/(month)

� B/C rasio/B/C ratio

� Nilai tambah/Value added (Rp/Kg sagu Rp/Kg sago)

40.615.000 51.145.500 4.450.005

52.052.550

34.156.397

340,92

57,07

12,1

1,06 186

Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol. 2 2006 55

keuntungan B/C ratio 1,65, BEP 1,3 bulan dannilai tambah sagu Rp 3.162,-/Kg, sehingga

usaha mi sagu layak untuk dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Akuba, H.R. 2003. Sago Palm (Metroxylon saguRottb.) Genetic Conservation in Indonesia:Status, Problems and Prospects. Di dalamAkuba, R.H. (Eds). Prosiding Seminar NasionalSagu untuk Ketahanan Pangan. Manado, 6Oktober 2003. Pusat Penelitian danPerkebunan Bogor.

Croghan. 2002. Resistant Starch as a FunctionalIngredient in Food System. Business BriefingFood Tech.http://www.wmrc.com/businessbriefing/pdf/foodtech 2002/reference/refs.pdf. Diakses pada tgl 11 Juni 2003.

Flach. 1997. Sago Palm. Metroxylon sago Rottb.Promoting the Conversation and Use ofUnderutilized and Neglected crops. 13.Institute of Plant Genetics and Crop PlantResearch, Gatersleben/International PlantGenetic Resources Institute, Rome, Italy.

Hutapea, R.T.P.,P.M.Pasang, D.J.Toror dan A.Lay.2003. Keragaan Sagu Menunjang DiversifikasiPangan. Di dalam Akuba, R.H. (Eds). ProsidingSeminar Nasional Sagu untuk KetahananPangan. Menado, 6 Oktober 2003. PusatPenelitian dan Pengembangan Perkebunan.Bogor.

Kanro, M.Z., A.Rouw, A.Widjono, Syamsudin,Amisnaipa, dan Atekan. 2003. Tanaman Sagudan Pemanfaatannya di Propinsi Papua. JurnalLitbang Pertanian 22 (3), Jayapura.

Purwani, E.Y., Y. Setiawati, H. Setianto, J.S. Munarso,N. Richana and Widaningrum. 2004.Utilization of Sago Starch for TransparentNoodle in Indonesia. Prosiding SeminarNasional Peningkatan Daya Saing PanganTradisional, Bogor 6 Agustus 2004.

Thahir, R., A. Supriatna dan E.Y. Purwani. 2004.Simulasi Model Dinamik Ketersediaan Sagusebagai Sumber Ketahanan Pangan: KasusPapua. Makalah tidak dipublikasikan.

Weston J.F dan T.E. Copeland. 1992. ManajemenKeuangan. Penerbit Erlangga Jaka