17
Mata Kuliah Kajian Prosa Dosen Pengampu Rosida Erowati, M.Hum. Ketokohan Marsiti dalam Bunga Roos dari Cikembang Karya Kwee Tek Hoay Oleh Kelompok Pertama 1 Pendahuluan Karya sastra pada umumnya merupakan perwujudan dari zaman di mana karya itu dibuat. Hal ini dapat dipahami, setidaknya, dari kenyataan bahwa seorang sastrawan adalah dia yang selalu memotret keadaan di mana dia hidup ke dalam karya yang sedang dibuatnya. Entah itu untuk tujuan kritik, dukungan, atau keprihatinan si pengarang terhadap kondisi alam, sosial, dan kemerosotan akhlak yang tercermin dari pudarnya nilai-nilai dan pelbagai norma yang seharusnya berlaku pada masyarakat tertentu. Lagi pula, menurut Wellek & Warren (1989: 109), sastra itu “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Statemen tersebut diperkuat oleh De Donald yang mengungkapkan secara tegas bahwa literature is an expression of society. 2 Dalam hal ini, kita akan mengaitkannya dengan satu karya sastra berjenis prosa berjudul Bunga Roos dari Cikembang (BRDC) yang ditulis Kwee Tek Hoay (KTH). Prosa ini pertama kali terbit di Batavia (kini Jakarta) pada 1927. Penerbitnya adalah Drukkerij Hoa Siang In Hok. Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah setiap tokoh dalam sebuah karya sastra melukiskan lingkungan masyarakat pada waktu itu? Dan dalam tulisan ini, analisis akan ditekankan pada ketokohan Marsiti dari sudut pandang tokoh lain yang terdapat dalam cerita. Sebut saja Oh Ay Tjeng (tuan atau majikan Marsiti), Gwat Nio (saudara Marsiti, seayah), Oh Pin Lo (ayah 1 Hariyadi (108013000045), Eko Junianto (108013000071), dan Vivi Irfiani (108013000050) 2 Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 110. Yang artinya “sastra adalah ungkapan masyarakat.” 1

Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bunga Roos dari Cikembang merupakan salah satu karya sastra Melayu-Tionghoa yang menjadi bakal kesusastraan Indonesia modern. Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay ini juga cukup memukau menggambarkan situasi pada zamannya.

Citation preview

Page 1: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

Ketokohan Marsiti dalam Bunga Roos dari Cikembang Karya Kwee Tek Hoay

Oleh Kelompok Pertama1

PendahuluanKarya sastra pada umumnya merupakan perwujudan dari zaman di mana karya itu dibuat. Hal ini dapat dipahami, setidaknya, dari kenyataan bahwa seorang sastrawan adalah dia yang selalu memotret keadaan di mana dia hidup ke dalam karya yang sedang dibuatnya. Entah itu untuk tujuan kritik, dukungan, atau keprihatinan si pengarang terhadap kondisi alam, sosial, dan kemerosotan akhlak yang tercermin dari pudarnya nilai-nilai dan pelbagai norma yang seharusnya berlaku pada masyarakat tertentu. Lagi pula, menurut Wellek & Warren (1989: 109), sastra itu “menyajikan kehidupan” dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Statemen tersebut diperkuat oleh De Donald yang mengungkapkan secara tegas bahwa literature is an expression of society.2

Dalam hal ini, kita akan mengaitkannya dengan satu karya sastra berjenis prosa berjudul Bunga Roos dari Cikembang (BRDC) yang ditulis Kwee Tek Hoay (KTH). Prosa ini pertama kali terbit di Batavia (kini Jakarta) pada 1927. Penerbitnya adalah Drukkerij Hoa Siang In Hok. Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah setiap tokoh dalam sebuah karya sastra melukiskan lingkungan masyarakat pada waktu itu?

Dan dalam tulisan ini, analisis akan ditekankan pada ketokohan Marsiti dari sudut pandang tokoh lain yang terdapat dalam cerita. Sebut saja Oh Ay Tjeng (tuan atau majikan Marsiti), Gwat Nio (saudara Marsiti, seayah), Oh Pin Lo (ayah Ay Tjeng), Liok Keng Djim (ayah Marsiti dan Gwat Nio), dan Tirta (pembantu keluarga Oh Pin Lo).

Rumusan MasalahMasalah yang diajukan dalam analisis ini adalah bagaimanakah ketokohan Marsiti dalam Bunga Roos dari Cikembang?

Landasan teoriAda beberapa model pendekatan atau teori kritik tertentu yang dapat diterapkan dalam rangka penelitian sastra, dan penerapan modelnya itu sesuai dengan konsep serta tata kerjanya masing-masing. Abrams (1979), seperti dikutip dari Tirto Suwondo, menguraikan bahwa model pendekatan yang menonjolkan kajiannya terhadap peran pengarang sebagai pencipta karya sastra disebut ekspresif; yang lebih menitikberatkan sorotannya terhadap peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat sastra disebut pragmatik; yang lebih berorientasi pada aspek referensial dalam kaitannya dengan dunia nyata disebut mimetik; sedangkan yang memberi 1 Hariyadi (108013000045), Eko Junianto (108013000071), dan Vivi Irfiani (108013000050)2 Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 110. Yang artinya

“sastra adalah ungkapan masyarakat.”

1

Page 2: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik disebut pendekatan objektif.3

Dewasa ini, keempat pendekatan kritik sastra tersebut telah mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan ilmu sastra. Dan seperti yang telah disebutkan mengenai pendekatan objektif, maka dapat dikatakan bahwa pendekatan tersebut merupakan pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai sebuah struktur. Oleh karena itu pembicaraan ini mengarah pada strukturalisme. Akan tetapi perlu diketahui bahwa strukturalisme yang dibicarakan ini bukan strukturalisme yang telah mengalami perkembangan, misalnya strukturalisme formal sebagaimana dianut oleh kelompok New Criticism sebagai gerakan otonomi.

Pendekatan objektif, dengan kata lain merupakan pendekatan yang terpenting sekaligus memiliki kaitan yang paling erat dengan teori sastra modern, khususnya teori-teori yang menggunakan konsep dasar struktur. Sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik. Seperti plot, tokoh, latar, kejadian, sudut pandang, dan sebagainya.

Dalam hal ini, BRDC akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan objektif dengan menitikberatkan pada ketokohan seorang nyai bernama Marsiti. Ketokohan di sini, sama halnya dengan karakter si tokoh tersebut. Dalam hal ini, Robert Stanton mengemukakan, bahwa karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu seperti yang tampak implisit pada pertanyaan, “Menurutmu, bagaimanakah karakter dalam cerita itu?”4 Dan dalam tulisan ini, karakter yang dipertanyakan adalah karakter Marsiti. Sehingga pertanyaan tersebut menjadi, “Bagaimanakah karakter Marsiti dalam prosa Bunga Roos dari Cikembang?” Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan diuraikan dalam analisis ini.

Biografi PengarangSastrawan Tionghoa ini bernama lengkap Kwee Tek Hoay atau sering disingkat KTH. Dia lahir pada 31 Juli 1886, dan merupakan anak bungsu dari Kwee Tjdiam Hong, pedagang obat-obatan dari Tiongkok. Saat masih duduk di bangku sekolah, dia terpaksa sering membolos. Pria kelahiran kota hujan, Bogor ini membolos bukan karena malas belajar tapi karena dia tak memahami bahasa Hokkian yang digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolahnya. Hal itu membuat dia merasa kesulitan untuk memahami materi yang disampaikan gurunya.

Oleh sebab itu, KTH kecil lebih memilih membantu bisnis tekstil ayahnya. Di sela-sela kesibukannya membantu sang ayah berjualan, KTH gemar mengisi waktunya dengan membaca buku. Agar tidak diganggu ayahnya, dia membaca secara sembunyi-

3 Tirto Suwondo, “Analisis Struktural: Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian Sastra”, dalam Jabrohim dan Ari Wulandari, ed., Metodologi Penelitian Sastra (Jogjakarta: Hanindita Graha Widya, 2002), hlm. 53.

4 Robert Stanton, Teori Fiksi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 33.

2

Page 3: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

sembunyi. Di kemudian hari, hobi membacanya itu menjadi sangat berguna bagi masa depannya.

Beranjak dewasa, KTH memulai karirnya sebagai seorang wartawan. Awalnya dia menjadi anggota redaksi majalah surat kabar Ho Po dan Li Po yang berkedudukan di kota kelahirannya, Bogor. Setelah itu dia hijrah ke Batavia (Jakarta) dan bekerja di majalah Sin Po.

Tahun 1926, berbekal pengalamannya sebagai kuli tinta di berbagai media, KTH memberanikan diri membuat majalahnya sendiri yang diberi nama Panorama. Majalah itu dimanfaatkannya untuk mengaspirasikan pandangan politiknya yang kerap ddianggap kontroversial oleh para pemimpin terbitan lain yang menjadi pesaingnya. Karena dianggap terlalu vokal, dia pun diseret ke pengadilan. Namun hal itu tidak menciutkan nyalinya untuk terus menyuarakan kebenaran. KTH memahami benar risikonya sebagai wartawan.

KTH bekerja keras membesarkan majalah yang diasuhnya. Selain sebagai penulis, dia juga mengurus distribusi dan periklanan. Lima tahun berselang, yakni pada 1931, Panorama berganti pemilik setelah KTH menjualnya kepada Phoa Liong Gie. Namun tak berarti karirnya sebagai wartawan terhenti. Menulis bagi KTH bukan hanya sebagai alat untuk mencari nafkah tapi juga panggilan hati. Maka dari itu, dia pun kembali menerbitkan berbagai majalah mulai dari yang cakupan bidangnya umum (Mustika Panorama), sastra (Mustika Romans), hingga yang sifatnya keagamaan (Mustika Darma dan Sam Kauw Gwat Po).

Di majalah sastra terbitannya, Mustika Romans, dia banyak mengungkapkan keterlibatannya dalam politik. Karyanya yang paling terkenal berjudul Asal Mulanya Timbul Pergerakan Tionghoa di Indonesia. Karya tulis yang bercerita tentang sejarah dan latar belakang berdirinya perkumpulan THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) itu dimuat secara berseri mulai Agustus 1936 hingga Januari 1939 dan diterjemahkan oleh sinolog terkemuka Lea Willdiams ke dalam bahasa Inggris lalu diterbitkan oleh Cornell University Modern Indonesia Project dengan judul The Origin of the Modern Chinese Movement in Indonesia pada 1969.

KTH dikenal sebagai penulis dengan wawasan yang sangat luas. Selain cakap menuangkan gagasannya dalam bidang politik, dia juga apik menuliskan pemikirannya mengenai pendidikan. Keluasan pikirannya tentang pendidikan dituangkan dalam buku Rumah Sekolah yang Saya Impikan. Dalam buku itu, KTH menitikberatkan pendidikan pada kebudayaan leluhur, kesenian, musik, dan peranan praktik dalam pelajaran. Bagi KTH, praktik jauh lebih penting daripada teori. Dengan mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya, seorang murid menurutnya akan lebih mudah meresapi, lalu mengamalkannya di kemudian hari.

Selain itu, dia juga mengemukakan pendapatnya mengenai sekolah ideal yang harus mempunyai pemondokan. Hal itu dimaksudkan agar para pelajar dapat lebih berkonsentrasi dalam menimba ilmu. Di luar jam belajar, mereka bisa mengisi waktu dengan membaca buku di perpustakaan.

3

Page 4: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

KTH dikenal sebagai penulis dengan wawasan yang sangat luas. Selain cakap menuangkan gagasannya dalam bidang politik, dia juga apik menuliskan pemikirannya mengenai pendidikan.

Ide-idenya tentang pendidikan tak hanya mengenai pendidikan dalam lingkungan sekolah tapi juga luar sekolah. Misalnya pendidikan untuk kaum perempuan. Di masa itu perempuan belum memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan seluas-luasnya seperti sekarang. Mereka masih dibelenggu dengan norma dan aturan yang menempatkan posisi mereka di bawah pria. Tidak boleh bersekolah, menjalani masa pingitan, hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga, hingga seorang laki-laki datang melamar mereka. Untuk hal yang paling pribadi seperti itu saja, mereka tak diberi kesempatan untuk memilih, semua bergantung pada keputusan orangtua.

Dengan pola seperti itu, KTH merasa sangat prihatin. Karena para gadis itu kelak akan melahirkan generasi penerus namun memiliki ilmu yang terbatas untuk mengemban tanggung jawab sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya. Sebagai wadah bagi kaum perempuan dalam menuangkan kreativitasnya terutama dalam bidang tulis-menulis, KTH kemudian membuat rubrik Halaman Perempuan. Sesuai dengan namanya, rubrik tersebut ditujukan khusus bagi penyair perempuan, mereka lalu diberikan bimbingan untuk mengembangkan bakatnya.

Rubrik itu semakin hari semakin berkembang seiring bertambahnya jumlah penyair wanita yang memuat karyanya. Animo juga berdatangan dari luar Jawa. KTH pun menyarankan mereka untuk membentuk organisasi perkumpulan penyair perempuan. Itulah sejarah awal berdirinya Orgaan Persatuan Journaliste. Sejak saat itu, mereka mulai mendapat kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dengan bekerja sebagai wartawan di berbagai harian seperti Sin Po, Keng Po, dan Star Weekly. Keberhasilan mereka tak terlepas dari tangan dingin seorang KTH yang peduli pada perubahan nasib kaum hawa dengan mendidik mereka agar menjadi orang terpelajar dan berpikiran modern.

Meskipun karirnya sebagai wartawan sudah cukup bagus, kesuksesan besar baru diraihnya sebagai penulis novel dan drama. Cerita drama yang pertama kali ditulisnya berjudul “Allah yang Palsu”. Cerita yang ditulis pada tahun 1919 itu ditujukan untuk mengecam orang yang gila harta, termasuk orang yang menikah demi kekayaan dan mereka yang gemar mengundi peruntungannya di meja judi. Sejak itu, KTH semakin rajin menelurkan karya-karyanya.

Selain berasal dari idenya sendiri, karya-karyanya juga diilhami oleh karya sastrawan lain. Salah satunya pujangga ternama Willdiam Shakespare. Karya Shakespare yang berjudul A Midsummer’s Night Dream menginspirasi KTH dalam penulisan drama berjudul Bunga Roos dari Cikembang. Agar lebih mudah diterima, cerita itu digubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan latar belakang Indonesia.

Sementara untuk drama ciptaannya sendiri berjudul Korbannya Yi Yong Toan. Drama enam babak ini dibuat pada tahun 1928 yang mengkritik mereka yang mengumpulkan pemuda-pemuda untuk dikirim ke Tiongkok menjadi tentara melawan Jepang. Drama ini kemudian dipentaskan di mana dia membimbing sendiri para pemain. Seiring berjalannya waktu, keakraban KTH dengan para bintang pentas

4

Page 5: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

itu mulai terjalin. Pengalaman, cerita menarik, serta suka duka para pemain kemudian dimuat dalam buku berjudul Penghidupan Seorang Sri Panggung. Terbitnya buku itu dimaksudkan untuk memperbaiki citra para pemain teater yang pada masa itu disamakan dengan pelacur.

Karya-karyanya juga banyak terinspirasi dari kisah nyata. Seperti dari peristiwa pemberontakan PKI terhadap pemerintah Belanda yang dituangkan dalam cerita berjudul Drama di Boven Digul. Drama di Boven Digoel berkisah tentang kehidupan seorang pemimpin PKI dan putrinya. Lewat karya ini, dia berhasil membuat cerita yang memukau dan realistis namun sarat nilai kebatinan. Awalnya cerita ini dimuat secara berseri dalam majalah Panorama, kemudian dicetak dalam bentuk buku karena respon yang positif dari pembaca.

Peristiwa alam seperti bencana juga memberikannya ide dalam menulis. Seperti Drama dari Merapi, novel yang berkisah seputar meletusnya Gunung Merapi tahun 1930. Karyanya yang sejenis adalah Drama dari Krakatau. Bedanya, novel yang bercerita tentang peristiwa meletusnya Gunung Krakatau ini turut diilhami dari novel The Last Days of Pompei yang memuat kisah meletusnya Gunung Vesuvius di Itali. Baik Drama dari Merapi maupun Drama dari Krakatau sama-sama dikaitkan dengan reinkarnasi, suatu konsep ajaran Buddha yang mempercayai kehidupan kembali manusia setelah meninggal.

Penyair yang rajin menulis catatan harian ini juga dikenal sebagai sosok yang religius. Kemampuan menulisnya digunakan untuk menerjemahkan buku-buku agama terkenal. Seperti Rubayat Omar Khayyam, Hikayat Khong Hu Cu, Agama Buddha di Jawa pada Zaman Kuno, Bhagawad Gita, Keterangan Ringkas tentang Agama Islam, dan lain lain.

Dari buku-buku di atas, memang tidak secara jelas menggambarkan kepercayaan yang dianutnya. Dia lebih cenderung mengadakan pendekatan komparatif, humanistis dan historis. Boleh dibilang, orientasi spiritualnya adalah teosofi, suatu gerakan yang diprakarsai oleh Madame Blavatsky pada 1875. Prinsip utama kaum teofis adalah kesatuan segala agama. Semua berasal dari sumber yang sama dan mengungkapkan kebenaran yang pada dasarnya sama. Hanya “bentuk” dan sifat lahiriahnya yang berbeda sebagai akibat adaptasi agama-agama itu terhadap zaman serta kebudayaan tempat dia belajar dan berkembang.

Perkembangan zaman yang mempengaruhi masyarakat peranakan Tionghoa membuat mereka mengalami krisis identitas kebudayaan dan agama. KTH kemudian berusaha mengembalikan kebudayaan leluhurnya dengan menulis tentang “Agama Tionghoa” yang merupakan gabungan dari tiga agama yakni Konfusianisme, Buddisme, dan Daoisme (Taoisme). Pemikirannya tentang tiga agama itu kemuddian dimuat dalam majalah Sam Kauw Gwat Po.

Sebagai akibat dari perkembangan zaman kala itu, banyak dari peranakan Tionghoa yang menjadi pemeluk Kristen. Kritikan pedasnya kepada mereka yang berpindah keyakinan itu dituangkan dalam sebentuk novel berjudul Pengalaman sebuah Bunga Anyelir. Hal itu sangat dia sayangkan karena mereka tak hanya meninggalkan agama tapi juga kebudayaan orang Tionghoa. Misalnya dengan

5

Page 6: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

membuang meja abu yang sering disalahartikan sebagai sarana untuk memuja dewa-dewi.

Arus modernisasi juga kerap berdampak buruk, salah satunya bagi kaum perempuan yang meniru gaya wanita Barat. Mulai dari cara berpakaian, belajar dansa hingga beberapa dari mereka tak sungkan menjadi istri muda orang kaya. Tapi harapan untuk kembali bangkit setelah terjatuh selalu terbuka. KTH dengan senang hati memberikan bantuan sekecil apapun bagi mereka yang telah menyadari kekhilafannya. Seperti dalam bukunya yang berjudul Surat-surat dari Pauline. Dalam buku itu, KTH membela seorang mantan pelacur yang telah insaf. Tak hanya berhenti menjajakan tubuhnya, dia juga mengajak rekan-rekan seprofesinya untuk meninggalkan pekerjaan hina itu dengan membekali diri. Bekal diri yang dimaksudnya adalah keterampilan atau skill yang dapat dipergunakan untuk mencari nafkah yang halal.

Pelacuran adalah salah satu konsep tentang keperempuanan yang dia tulis dalam buku itu. Pandangan KTH sebenarnya tergolong konservatif. Misalnya dia memperingatkan para wanita tua agar menerima takdir saat rambut sudah beruban, kulit sudah keriput dan perubahan fisik lainnya. Jangan memaksakan diri untuk tampil muda kembali dengan meniru gaya dan penampilan anak-anak muda.

Novel yang terakhir dia tulis berjudul Itu Nona yang Bertopeng Biru. Novel yang dimuat secara berseri di majalah Mustika Roman mulai dari tahun 1940 hingga 1941 itu bercerita tentang seorang yang tak mau lagi merayakan Cap Go Meh yang merupakan hari raya Tionghoa.

Pascaperang Dunia kedua, dia lebih banyak menulis buku filsafat dan agama baik terjemahan maupun karya asli. Sesudah itu, dia lebih banyak berkutat pada kegiatan keagamaan terutama Buddha Tridarma, yang menurutnya adalah agama Tionghoa murni yang terdiri atas Konghucu, Lao Tse (Tao), dan Buddha. Beragam pembaruan pun dilakukan untuk menarik minat calon penganut. Mulai dari mengubah tata cara peribadatan dengan mengadakan kebaktian hingga menyanyikan lagu di sela-sela acara ibadah.

Konon dia lebih mendalami agama setelah diramalkan akan meninggal pada 1949 di usia 64 tahun. Sejak saat itu, dia bekerja tanpa lelah demi menuntaskan tugasnya sebelum ajal menjemput. Di sela kesibukannya menulis, dia juga masih menyempatkan diri untuk mengurus percetakan dan penjilidan buku miliknya. Namun karena usahanya itu tidak terlalu memberikan keuntungan, dia pun membuka pabrik tapioka sebagai tambahan penghasilan.

Pada 1940, Cicurug, tempat di mana dia tinggal sedang tidak aman karena diganggu gerombolan Kartosuwiryo. Meski demikian, KTH tak mau meninggalkan daerah yang sejuk itu karena di sana dia merasa lebih produktif. Sesekali dia pergi ke Batavia untuk memasarkan majalah dan buku serta menghadiri rapat perkumpulan keagamaan.

Seiring bertambanya usia, KTH menyadari bahwa dirinya semakin dekat dengan kematian. Dia pun aktif di perkumpulan kematian Sham San Bumi yang bertujuan ingin menerapkan tradisi Buddhis di Indonesia yang padat penduduknya yaitu

6

Page 7: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

mengkremasi jenazah untuk menghemat tanah. Pendirian Krematorium di Pluit Muara Karang adalah hasil gagasannya.

Pada 4 Juli 1951, KTH menghembuskan napas terakhir setelah dianiaya perampok yang menyatroni rumahnya. Dia sekaligus menjadi orang pertama yang dikremasi di krematorium yang didirikan atas inisiatifnya itu. Keesokan harinya, abu sastrawan besar peranakan Tionghoa itu ditaburkan di Teluk Jakarta.

Latar Belakang Lahirnya KaryaPada mulanya KTH ingin membuat sebuah cerita atau lakon komedi yang sedih, tetapi niatan itu selalu tertunda. Sampai pada bulan Februari, dimininta oleh tuan Ong Tjoei Hong untuk dibuatkan sebuah cerita yang akan dimainkan oleh Union Dalio Opera.

Karena waktunya yang singkat, ia menolaknya. Akhirnya tuan Ong Tjoei Hong meminta izin untuk memainkan lakon Allah yang Palsu. Namun dia mengetahui bahwa itu adalah yang tidak gampang untuk dimainkan. Maka ia terpaksa meringkas cerita yang sudah ada di dalam angan-angannya dengan memakai judul Bunga Roos dari Cikembang yang terinspirasi oleh karyanya Shakespare yang berjudul Midsummer’s Night.

Ringkasan CeritaNovel Bunga Roos dari Cikembang karya KTH menceritakan seorang pemuda bernama Ay Tjeng yang berstatus sebagai administrator di perkebunann karet daerah Sukabumi. Di daerah itu Ay Tjeng tinggal bersama seorang gundik bernama Marsiti. Mereka tinggal bersama selama tiga tahun dan saling mencintai, dan dalam waktu yang lama itu, tiba-tiba semuanya berakhir begitu saja. Bermula dari keinginan Oh Pin Lo, bapaknya Ay Tjeng yang menginginkan dirinya menikah dengan anaknya juragan perkebunan Liok Keng Djim yang bernama Gwat Nio. Mendengar keputusan bapaknya, mulanya Ay Tjeng tidak setuju, tetapi akhirnya Ay Tjeng menyanggupi permintaan tersebut, itu pun bukan hanya permintaan ayahnya, melainkan persetujuan dan bujukan dari Marsiti, gundik yang sangat dia cintai. Dengan hati yang sedih, akhirnya Marsiti pun pergi meninggalkan Ay Tjeng.

Singkat cerita pernikahan Ay Tjeng dan Gwat Nio berlangsung dengan meriah, dan lambat laun Ay Tjeng mulai melupakan Marsiti karena sifat yang dimiliki Gwat Nio mirip dengan Marsiti. Yang kemudian setelah menikah mereka berdua dikaruniai seorang anak perempuan bernama Lily. Mereka bertiga pun hidup bahagia, tapi kebahagian itu tidak berlangsung lama lantaran Ay Tjeng mendapat kabar bahwa Keng Djim sakit keras dan ingin menceritakan suatu rahasia kepadanya dan Gwat Nio, anaknya. Keng Djim menceritakan bahwa Marsiti itu sebenarnya adalah buah percintaannya dengan seorang gundik, namanya Minah, dan dia pun mendapatkan kabar bahwa Marsiti sudah meninggal. Belum sempat menceritakan semua, akhirnya Keng Djim pun menghembuskan napas yang terakhir, lalu disusul dengan kematian Oh Pin Lo. Ay Tjeng sangat sedih dengan kejadian itu.

Tahun demi tahun telah berlalu, Lily sudah beranjak dewasa. Dia akan dinikahkan dengan Bian Koen anak dari Tjoan Hoe. Tetapi pernikahan tersebut tidak terjadi

7

Page 8: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

karena Lily sakit keras hingga dia meninggal. Karena kejadian itu ayah dan ibunya sangat sedih bahkan ibunya hampir sakit jiwa dan Bian Koen berniat untuk mengakhiri hidupnya.

Sebelum pergi, Bian Koen menyempatkan dirinya untuk keliling perkebunan. Perjalanannya terhenti ketika melihat sebuah pemakaman. Di tempat itu dia melihat Lily dan mengejarnya, namun tidak bisa karena dia jatuh dan pingsan. Kemudian dia dibawa ke rumahnya oleh masyarakat setempat. Setelah itu dia jatuh sakit karena terus teringat Lily. Kemudian orang tua Bian memanggil seorang dukun yang terkenal di Cikembang. Lalu dukun itu melihat foto Lily yang sangat mirip dengan Roosminah, salah satu warga kampungnya. Dukun itu memberitahukan orangtua Bian bahwa di kampungnya ada perempuan yang bernama Roosminah, yang biasa dipanggil “Bunga Roos dari Cikembang”. Kemudian orangtua Bian menemui perempuan tersebut, ternyata benar apa yang dikatakan dukun itu. Roosmina pun dibawa ke rumah mereka dan berencana ingin menikahkan Roosminah dengan Bian. Setelah melihat Roosminah, Bian sembuh dari penyakitnya.

Orangtua Bian memberitahukan kepada Ay Tjeng bahwa Bian sudah sembuh dan berencana untuk menikah dengan seorang perempuan yang bisa menggantikan Lily di hatinya. Tetapi mereka tidak memberitahukan siapa perempuan tersebut. Dan mereka berharap agar Ay Tjeng dan istrinya segera datang menemui mereka.

Sesampainya Ay Tjeng dan istrinya di Cikembang, mereka terkejut melihat Roosminah yang mirip Lily. Kemudian Tjoan Hoe menceritakan semua apa yang telah terjadi. Selanjutnya Tjoan Ho dan Ay Tjeng sepakat untuk menikahkan Roosminah dengan Bian Koen. Ketika resepsi pernikahan, seluruh warga setempat dan anggota keluarga mereka terkejut karena melihat Roosminah mirip Lily, mereka menyangka bahwa Lily hidup kembali. Lalu Ay Tjeng memberitahukan kepada mereka semua bahwa Roosminah adalah anak dari gundiknya yaitu Marsiti yang menjadi pengganti Lily.

Akhirnya setelah lima tahun membina rumah tangga, Roosminah dan Bian Koen dikaruniai dua orang anak. Mereka pun hidup bahagia dengan Ay Tjeng dan Gwat Nio di Gunung Mulia dengan menikmati peninggalan dari Marsiti berupa bunga cempaka dan kemuning yang harum mewangi.

Pembahasan: Ketokohan Marsiti dalam Bunga Roos dari Cikembang Marsiti merupakan salah satu tokoh yang terdapat dalam BRDC. Perannya, tak lain adalah sebagai gundik dari seorang administrator sebuah perkebunan karet bernama Oh Ay Tjeng. Sosoknya yang lembut, hemat, dan sabar telah membuat hati tuannya tak bisa jauh, apalagi lepas darinya. Marsiti berhasil menjadi sosok yang penurut. Ketokohan Marsiti ini, lebih lanjut, dapat dilihat dari penuturan Ay Tjeng saat dirinya dipojokkan oleh ayahnya, Pin Lo. Katanya, “Owe ambil nyaie padanya waktu ia masih prawan, dan sampe sekarang ia blon perna unjuk satu kalakuan yang musti dicela, dan

8

Page 9: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

blon perna minta apa-apa yang menjadikan owe punya keberatan, kerna ia punya tabeat ada himat, menurut, dan denger kata.”5

Sosok Ay Tjeng sendiri, sebagai “pemilik” Marsiti, adalah seorang pemuda yang pekerja keras. Pekerjaan dia dimulai dari seorang juru tulis, kemudian pengawas dan sekarang administrator. Hal ini, seperti diceritakan dalam BRDC sebagai berikut. “Lima taon lamanya Ay Tjeng telah bekerja di Onderneming; bermula seperti juru tulis dengan gaji f 5o sabulan, kemudian seperti opziener, dan sekarang seperti administratuer dengan gaji f 300, dapet persenan besar saban taon, sangat disayang dan dipercaya oleh tauwkenya, tuan Liok Keng Djim yang hartawan besar dan mempunyai harta bilang miliun.”6

Sedangkan Oh Pin Lo, sebagai ayah Ay Tjeng, menilai Marsiti tidak lebih dari perempuan jalang yang hanya cinta dan setia pada lelaki karena harta, ketika lelaki tersebut tidak mempunyai uang lagi untuk memenuhi keinginannya atau ada lelaki yang lebih royal, maka ia akan tinggalkan lelaki yang sudah tidak punya uang itu. Dan karena Marsiti orang Sunda maka Oh Pin Lo beranggapan bahwa perempuan Sunda terkenal paling tidak setia diseluruh Indonesia. Berikut kutipannya. “Maka janganlah kau kasih hatimu karna dijebak oleh prampuan begitu, apalagi prampuan Sunda memang dari dulu pande kongtauw dan mengeret, dan tersohor sebagai prampuan yang paling tida setia di saantero Indonesia.”7

Oh Pin Lo juga menganggap Marsiti sebagi penghalang rencana pernikahan Ay Tjeng dengan Gwat Nio, putri Liok Keng Djim. Tetapi ada sisi baik juga yang dinilai oleh Pin Lo bahwa Marsiti adalah perempuan yang rela berkorban karena dia menuruti kemauan Pin Lo dan membujuk At Tjeng untuk segera menikah dengan Gwat Nio. Gambaran tersebut, seperti dicuplik di bawah ini.

Marsiti dengan suara gumetar berkata: “Saya rasa juragan musti turut kainginannya orang tua, sebab anak yang tida menurut pada orang tua, jadi berdosa pada Allah, dan Saya pun jadi turut berdosa kalu musti halangin Juragan Sepuh punya kahendak. Saya sedia aken balik ka kampong, dari hal juragan punya kasian dan uwang blanja, dikasih baek, tida pun sudah, sebab saya bisa cari sendiri dengan berkuli.”8

Sama halnya dengan Pin Lo, Liok Keng Djim juga memandang Marsiti sebagai penghalang pernikahan Ay Tjeng dan Gwat Nio. Keng Djim terpaksa menjauhi Marsiti dari Ay Tjeng agar pernikahan Gwat Nio dan Ay Tjeng berjalan sebagaimana yang telah direncanakan bersama Pin Lo. Rencana ini, dapat kita temukan dalam narasi berikut ini. “Bukan begitu,” saut Liok Keng Djim; aku yang sudah paksa supaya itu nyaie lekas lalu, dan aku yang sudah singkirken ia ka tempat jau supaya kau, yang masih taro cinta padanya, tida bisa bertemu kombali pada Marsiti……sekarang itu nyaie sudah meninggal….. Allah! Dadaku merasa sesak….. Gwat…. Aer.”9

5 Kwee Tek Hoay, “Bunga Roos dari Cikembang” dalam Marcus A.S. dan Pax Benedanto, ed., Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2001), h. 313.

6 KTH, … hlm. 304.7 KTH, … hlm. 313.8 KTH, … hlm. 315.9 KTH, … hlm. 334.

9

Page 10: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

Gwat Nio sendiri melihat sosok Marsiti sebagai seorang perempuan yang begitu baik karena mau merelakan Ay Tjeng untuk menikah dengan Gwat Nio. Mungkin tak ada satu pun di dunia ini yang mempunyai sifat seperti Marsiti yang merelakan orang yang dicintainya untuk menikahi perempuan lain lantaran disuruh orangtua lelaki tersebut. Hal ini didapati dari perkataannya sendiri, yaitu “Ya, dan itu hikayat ada sedih sekali, hingga aku pun turut kasian padamu dan pada itu nyaie yang begitu baek, yang sudah rawatin kau tiga taon lamanya dengan setia, dan lantes undurkan diri dari tempat tatkala dapet tau kau bakal menikah, kerna ia tida mau halangin kau punya nkabruntungan, dan malah sudah bantu membujuk aken lulusken keingininannya kau punya papa.”10

Marsiti juga perempuan sederhana, walaupun Gwat Nio tidak pernah bertemu langsung melainkan hanya melihat foto Marsiti, Gwat Nio menafsirkan bahwa Marsiti perempuan yang tidak suka berdandan, penampilannya sangat sederhana. Pandangan Gwat Nio ini seperti tertulis dalam novel tersebut sebagai berikut. “Nanti dulu aku blon bicara abis. Marsiti tidak suka berdandan bagus dan rebo, barang perhiasan yang ia pake semua dari perak. Setiap hari ia cumah pake satu cincin blarotan dan gelang rante disepu emas penitinya dari burung-burungan, kondenya dirias oleh satu priut tanduk besar, lehernya pake rante dengan satu madalion yang tergantung di dadanya, yang disablahnya terias oleh potretnya ‘juragan Ay Tjeng’ dan disablah lagi dengan potretnya sendiri. Betulkah atawa tida?”11

Selain perempuan sederhana, Marsiti rajin, tidak sombong, dan tidak royal. Walaupun Marsiti tahu bahwa Ay Tjeng sangat mencintainya, Marsiti selalu melayani Ay Tjeng selayaknya abdi. “Marsiti punya tingkah laku ada terlalu baek dan alus, hingga semua bujang-bujang taro cinta padanya. Maski pun jadi nyaie dari ‘juragan kwasa’ ia tidak sombong, tabeatnya tida royal, dalem segala hal berlaku himat, hingga blanja yang kau kasih, f 15 sabulan, ia pake masih kelebian. Kerjanya pun ada rajin sekali, rumah tangga ia urus beres, jubin dari kau punya rumah saban tiga hari ia pel sendiri, kau punya pakean ia yang cuci dan strika, serta ia bantu juga masak di dapur, dan kalu sore ia selalu menjait atawa tambalin kau punya pakean yang peca atawa copot kancingnya, bikini kau rook kaung, sedeng waktu siang kalu sempet ia sring pergi ka kebon aken tanem atawa petik sayuran dan kembang-kembang.”12

Beda dengan Gwat Nio, Tirta, jongos keluarga Pin Lo yang kemudian menjadi pembantu di rumah Ay Tjeng, merasa kasihan pada Marsiti karena dipisahkan dengan lelaki yang dicintainya. Padahal Marsiti sangatlah baik dan setia pada Ay Tjeng. Tirta pun yang terus menjaga dan menemani Marsiti dalam kesedihannya. “Kau punya bujang yang setia, Tirta, yang kasian pada Marsiti, sudah turut pada itu nyaie aken jaga padanya….. aku kasih banyak uwang buat iaorang punya pengidupan, bli sawah dank ebon,,,, ini hal kau punya ayah pun sampe tau, Tjeng…. Kita berdua yang atur supaya Marsiti nyinmgkir jau, jangan kombali lagi. Aku punya niat supaya ia ikut laen orang, tapi Marsiti tida mau…… enam bulan yang lalu aku dapet kabar ia meninggal.”13

10 KTH, … hlm. 328. 11 Ibid.12 KTH, … hlm. 329.13 KTH, … hlm. 334.

10

Page 11: Bunga Roos Dari Cikembang EDIT.doceee

Mata KuliahKajian Prosa

Dosen PengampuRosida Erowati, M.Hum.

Demikianlah pelbagai pandangan terhadap Marsiti dari pelbagai tokoh yang terdapat dalam BRDC. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada yang memandang positif, ada pula yang memandangnya negatif. Ketokohan Marsiti, di mata Ay Tjeng misalnya tergolong baik, atau positif. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Gwat Nio dan Tirta. Sedangkan Pin Lo menganggap Marsiti sebagai dia yang negatif. Berbeda dengan Pin Lo, Keng Djim, mulanya dia menganggap bahwa Marsiti itu kurang baik, tetapi pada akhirnya, setelah dia mengetahui kedudukan Marsiti itu siapa, dia baru menyadari sesungguhnya sosok Marsiti itu sangat baik.

SimpulanKetokohan Marsiti dalam Bunga Roos dari Cikembang adalah positif. Karena itu, patut diapresiasi. Hal tersebut disebabkan oleh sosoknya sebagai perempuan yang sabar, ikhlas, dan rela berkorban. Walau rintangan hidupnya sangat berat, tetapi Marsiti menunjukkan sikap dan kekokohan seorang perempuan pada zamannya.

Daftar IstilahKongtauw = guna-gunaAbdi = budakOwe = sayaHimat = hematOpziener = pengawas

Pustaka AcuanHoay, Kwee Tek. “Bunga Roos dari Cikembang” dalam Marcus A.S. dan Pax Benedanto

(ed.) Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2001.

Stanton, Robert. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.Suwondo, Tirto. “Analisis Struktural: Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian

Sastra” dalam Jabrohim dan Ari Wulandari (ed.) Metodologi Penelitian Sastra. Jogjakarta: Hanindita Graha Widya, 2002.

Wellek, Rene & Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 1989.

11