40
BUSETPPIS Buletin Riset Persatuan Pelajar Indonesia Sendai 夏秋 Terima Kasih · Logistik Bencana Smart Antenna · Rupture Gempa Gambar 3D · Penginderaan Jauh Tuberkulosis · Tsunami 素晴らしい秋を!

BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Buletin Riset Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang, Komisariat Miyagi, (PPI-Sendai) Edisi 5, Musim Gugur, November 2014: 素晴らしい秋を!

Citation preview

Page 1: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

BUSETPPIS Buletin Riset Persatuan Pelajar Indonesia Sendai

夏秋

Terima Kasih · Logistik Bencana

Smart Antenna · Rupture Gempa

Gambar 3D · Penginderaan Jauh

Tuberkulosis · Tsunami

素晴らしい秋を!

Page 2: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Dari Redaksi

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014 i

Lega sekali rasanya, setelah melalui proses yang lumayan panjang, akhirnya Buletin Riset (BUSET) PPI-Sendai dapat kami hadirkan ke tengah-tengah pembaca. Buletin PPIS ini merupakan impian dan wujud dari harapan kami akan adanya sebuah media yang dapat menjadi sumber informasi akan hasil-hasil riset warga Indonesia khususnya di kota Sendai. Riset yang akan dibahas pada buletin ini pun sangat beragam. Mulai dari bidang kesehatan, artikel berjudul “Kadar Protein dalam Plasma Penderita Tuberkulosis” akan membuka wawasan tentang penyakit tuberkulosis yang menjadi masalah kesehatan Indonesia sejak lama. Adapun di bidang teknologi, bahasan tentang rekonstruksi 3D dari gambar serta teknologi terbaru smart antenna juga akan menjadi sajian menarik pada buletin kali ini. Dalam bidang lingkungan, bahasan remote sensing untuk utilisasi pangan oleh “Sang Pendongeng PPIS”, Fatwa Ramdani, juga akan menjadi kilasan unik. Tak lupa, riset di bidang sosial yang diwakili oleh riset mengenai etika terima kasih warga Jepang dan Indonesia akan melengkapi buletin ini. Tak hanya itu, banyak isu-isu lain yang tentunya up-to-date dan greget dapat pembaca nikmati dalam untaian-untaian kalimat pada terbitan musim ini. Pada kesempatan ini, tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan sehingga penerbitan Buletin Riset PPIS ini dapat terealisasi. Kami sangat menyadari buletin ini tentunya juga masih mempunyai banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sekalian sangat kami harapkan untuk perbaikan kami di edisi mendatang. Akhir kata, kami berharap semoga kehadiran majalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Tentunya, dengan buletin ini, diharapkan dapat menjembatani komunikasi antara pelajar & peneliti Indonesia di Sendai dengan pelajar dan masyarakat Indonesia di luar sana, khususnya di negara Indonesia tercinta sendiri.

Salam, Tim Redaksi

Tim Redaksi Mohammad Samy Baladram Muhammad Salman Al Farisi

Kontributor

Fakhrial Mirwan Hasibuan Fatwa Ramdani

Peter Kolbert Hutapea Sarastomo Ari Saptoto

Vicky Sintunata Vira Rahayu

Yan Fahmi Swastiraras Yuliana Hanami

Penanggung Jawab

Ketua PPIS 2014-2015 Fuad Ikhwanda

BUSET PPIS edisi 5, 夏秋2014 ini diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang, Korda Tohoku, Komisariat Miyagi (Sendai), Divisi Informasi dan Media. Silakan memperbanyak, mengutip sebagian, ataupun menyebarkan seluruh isi BUSET PPIS ini dengan mencantumkan sumbernya tanpa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada pihak editor. Akan tetapi, untuk memodifikasi sebagian atau keseluruhan isi buletin ini tanpa izin penulis serta editor adalah terlarang sehingga segala akibat yang ditimbulkan dari hal tersebut bukan menjadi tanggung jawab penulis, editor, maupun organisasi PPI Jepang Komsat Miyagi.

Page 3: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Dari Redaksi

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014 ii

1

4

11

15

18

20

24

29

Yuliana Hanami Budaya Terima Kasih Mahasiswa Jepang dan Indonesia

Sarastomo Ari Saptoto Logistik Pangan pada Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010

Vira Rahayu Smart Antenna, How Does it Work?

Yan Fahmi Swastiraras Perambatan Rupture Gempa Sumatra Andaman 2004 Berdasar Analisis Gelombang Seismik Periode Panjang

Vicky Sintunata Rekonstruksi 3D dari Sebuah Gambar

Fatwa Ramdani Penginderaan Jauh untuk Menghidupi 9 Miliar Jiwa pada 2050

Fakhrial Mirwan Hasibuan Kadar Protein Matrisellular dalam Plasma Penderita Tuberkulosis dan TB Laten

Peter Kolbert Hutapea Pemodelan Aliran Air untuk Memeriksa Efek dari Penanggulangan pada Tanggul (Dinding Laut) yang Diakibatkan oleh Tsunami yang Memicu Penggerusan

Page 4: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Yuliana Hanami, International Graduate School of Language Science, Graduate School of International Cultural Studies, Tohoku University

Kebiasaan berterima kasih yang sudah ditanamkan kepada anak sejak kecil, terutama sejak SD (tercantum dalam kurikulum), membuka kesadaran masyarakat Jepang secara individu untuk sebisa mungkin membantu sesama dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan yang diberikan orang lain.

Page 5: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Budaya Terima Kasih Mahasiswa Jepang dan Indonesia

2

Ucapan ‘Terima kasih’ lumrah disampaikan ketika kita mendapatkan bantuan atau kebaikan dari orang lain. Ungkapan ini merupakan salah satu bentuk ekspresi rutin yang biasa kita pakai sehari-hari. Meskipun secara umum ungkapan terima kasih didefinisikan hampir sama di seluruh budaya, ekspresi tersebut muncul sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berbeda dan berlaku di masyarakat, juga kapan, bagaimana, mengapa dan kepada siapa ungkapan itu digunakan. Penggunaan ungkapan terima kasih sangat erat kaitannya dengan norma budaya yang merupakan bagian dari kesopanan di masyarakat. Pada budaya tertentu, misalnya, seseorang bisa saja dinilai tidak sopan atau kurang ajar jika tidak mengucapkan terima kasih dengan semestinya pada situasi tertentu kepada orang lain. Dengan kata lain, ketika rasa terima kasih tidak diucapkan secara verbal, keharmonisan suatu hubungan dapat terganggu.

Menarik untuk dibahas lebih dalam mengenai bagaimana dinamika penggunaan ungkapan terima kasih pada dua budaya yang berbeda, yakni Jepang dan Indonesia. Orang Jepang yang sudah dikenal memiliki kebiasaan untuk tidak pelit mengungkapkan terima kasih dan orang Indonesia sebagai masyarakat yang seringkali masih malu-malu dalam berterima kasih secara eksplisit kepada orang lain, menjadi fenomena antarbudaya yang menarik untuk diperhatikan. Kebiasaan berterima kasih pada setiap budaya dapat berbeda-beda tergantung pada bagaimana masyarakat pada budaya tersebut memandang suatu situasi tertentu sebagai situasi yang memunculkan rasa terima kasih.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 283 mahasiswa S1 yang terdiri dari 103 mahasiswa Tohoku University (Jepang) dan 180 mahasiswa Universitas Padjadjaran (Indonesia), diperoleh data bahwa mahasiswa Jepang cenderung lebih intens dalam mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang lain ketimbang mahasiswa Indonesia. Kebiasaan berterima kasih yang sudah ditanamkan kepada anak sejak kecil, terutama sejak SD (tercantum dalam kurikulum), membuka kesadaran masyarakat Jepang secara individu untuk sebisa mungkin membantu sesama dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan yang

diberikan orang lain. Hal ini terus terbawa dan terpatri dalam diri setiap orang Jepang hingga mereka tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang besar. Meski begitu, tidak bisa juga orang Indonesia dicap sebagai masyarakat yang tidak tahu berterima kasih. Dibandingkan dengan orang Jepang, orang Indonesia cenderung menganggap bahwa ada situasi-situasi tertentu dimana tidak perlu untuk mengucapkan terima kasih. Kebaikan atau bantuan seseorang dapat direspon dengan ekspresi nonverbal (gesture atau senyuman) atau ungkapan verbal lain yang berisi ungkapan verbal yang tidak mengandung makna terima kasih (misal: celetukan berisi humor) dimana ungkapan tersebut dianggap wajar dan sah-sah saja.

Selain itu, melalui penelitian ini didapatkan klasifikasi ungkapan terima kasih yang biasa dipakai oleh generasi muda di kedua budaya tersebut. Ada 11 macam ungkapan terima kasih yang digunakan orang Jepang: (1) arigatou, (2) arigatougozaimasu, (3) arigatougozaimashita, (4) sumimasen, (5) sumanai, (6) doumo, (7) gomen, (8) sankyuu, (9) azzasu, (10) kombinasi ekspresi maaf dan terima kasih (contoh: sumimasen arigatougozaimashita), dan (11) ekspresi lain-lain (contoh: tasukarimashita, un, aa). Diantara banyak macam ekspresi, arigatou merupakan ungkapan terima kasih yang paling sering digunakan. Pada data orang Indonesia, terklasifikasi sebanyak 8 jenis ungkapan terima kasih (1) terima kasih, (2) makasih, (3) thanks, (4) thank you, (5) maaf, (6) nuhun, (7) kombinasi ekspresi maaf dan terima kasih (maaf ya makasih), dan (8) ekspresi lain-lain (contoh: respon pujian dan humor). Makasih menjadi ungkapan terima kasih yang paling banyak digunakan oleh orang Indonesia. Dikaitkan dengan gender, untuk orang Jepang, laki-laki dan perempuan sama-sama mengungkapkan rasa terima kasihnya tanpa membedakan perlakuan sedikitpun, baik kepada sesama jenis maupun lawan jenis. Sedangkan untuk orang Indonesia, laki-laki cenderung tidak mengucapkan terima kasih kepada sesama laki-laki dan hampir selalu mengungkapkan rasa terima kasihnya secara verbal kepada lawan jenis. Uniknya, diantara sekian banyak ekspresi terima kasih, di Jepang, ekspresi sumanai dan sankyuu, dan ekspresi terima kasih dalam bahasa Sunda, nuhun, muncul

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 6: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Budaya Terima Kasih Mahasiswa Jepang dan Indonesia

3

sebagai ekspresi yang digunakan oleh laki-laki.

Berdasarkan data, kesamaan antara kedua budaya lebih kentara dibandingkan perbedaannya jika dilihat dari segi bagaimana orang Jepang dan Indonesia merespon terhadap situasi yang menimbulkan rasa terima kasih. Kedua budaya cenderung menggunakan dominasi ungkapan

informal dan santai seperti arigatou dan makasih. Kemudian, penggunaan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris pada kedua budaya tersebut muncul sebagai ungkapan terima kasih, yakni serapan kata thank you menjadi sankyuu di bahasa Jepang, dan penggunaan thanks dan thank you oleh orang Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 7: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Logistik Pangan pada Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010

4

Dalam satu dekade, Indonesia dilanda beberapa bencana, seperti gempa dan tsunami di Aceh (2004), gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa bumi di Padang (2007), dan letusan Gunung Merapi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (2010).

Gunung Merapi terletak di bagian utara Kabupaten Sleman yang terletak pada koordinat 7° 32'50 " Lintang Selatan dan 110° 26'50" Bujur Timur dan memiliki ketinggian 2.980 meter di atas permukaan laut. Sejarah mencatat bahwa antar tahun 1672-2010 Gunung Merapi telah meletus 80 kali atau sekitar sekali dalam 4 tahun. Letusan 2010 adalah letusan terbesar dibandingkan lima letusan terakhir pada tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006. Kejadian tersebut menguji kesiapsiagaan dan koordinasi.

Dalam situasi bencana, koordinasi sangat penting. Mengkoordinasikan kegiatan dan peran masing-masing pihak dengan latar belakang, prioritas dan organisasi yang berbeda adalah tugas yang sangat kompleks. (Holguin-Veras et.al, 2007, p.3) Berdasarkan Undang-Undang Nomor. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pada pasal 3 ayat 2c disebutkan bahwa koordinasi dan keterpaduan adalah salah satu prinsip penanggulangan bencana.

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No 13/2008 tentang Pedoman Manajemen Logistik Dan Peralatan Penanggulangan Bencana disebutkan saat terjadi bencana, kabupaten / kota ditugaskan untuk mengelola dan mengkoordinasikan seluruh aktifitas manajemen logistik dan peralatan, terutama pada masa siaga darurat, tanggap darurat dan pemulihan. Untuk meningkatkan pengelolaan logistik pangan, maka studi tentang koordinasi logistik pangan pada keadaan bencana sangat dibutuhkan.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meninjau koordinasi logistik pangan dalam kasus letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 dan mengekstrak pelajaran untuk meningkatkan pengelolaan logistik pangan. Kemudian, tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1) menjelaskan stok pangan, transportasi dan sumber daya manusia sebagai faktor yang mempengaruhi dalam logistik pangan, 2) menunjukkan masalah koordinasi logistik pangan pada bencana letusan Gunung Merapi 2010, dan 3) memperoleh implikasi kebijakan berdasarkan studi banding.

Dalam bencana, kesiapsiagaan dan respon adalah salah satu kunci yang penting.

Sarastomo Ari Saptoto, International Post-Graduate Program in Human Security, Graduate School of Agriculture, Tohoku University

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 8: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Logistik Pangan pada Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010

5

Sekilas Tentang Kabupaten Sleman Dan Bencana Letusan Gunung Merapi 2010

Pada 26 Oktober 2010, Gunung Merapi meletus. Letusan pertama menyebabkan 40 orang tewas. Sebagian besar korban tewas adalah masyarakat yang tinggal di Kinahrejo, Desa Umbulharjo. Semua warga yang masih tinggal di zona rawan letusan diungsikan di kamp-kamp pengungsi. Selanjutnya letusan besar yang terjadi pada 5 November 2010 menyebabkan 222 orang meninggal. Sebagian besar korban meninggal tinggal di sepanjang Sungai Gendol. Setelah kejadian tersebut, zona aman bagi masyarakat berubah dari radius 15 kilometer menjadi 20 kilometer dari puncak gunung. Karena itu, jumlah pengungsi menjadi meningkat. Perubahan situasi tersebut menyebabkan jumlah pengungsi meningkat. Dalam kejadian awal di 25-26 Oktober 2010, jumlah pengungsi kurang lebih 12.000 orang. Sejak 5 November 2010 jumlah pengungsi mencapai kurang lebih 150.000 orang. Sekitar 120.000 mengungsi di wilayah Kabupaten Sleman, dan sisanya mengungsi di luar Kabupaten Sleman.

Lokasi Dan Data Penelitian

Wawancara dan survei yang dilakukan dari 19 Maret - 7 April 2014 di Kabupaten Sleman. Jumlah responden yang diwawancarai adalah 16 responden terdiri dari tiga aparat Pemerintah Kabupaten Sleman dan 13 responden dari tujuh desa. Tujuh desa lokasi penelitian dibagi menjadi tiga desa yang terkena dampak langsung (Kepuharjo, Hargobinangun, Wonokerto) dan empat desa yang terkena dampak tidak langsung (Caturharjo, Margoagung, Tlogoadi, Tegaltirto). Semua responden secara aktif terlibat dalam bidang logistik pangan di instansi dan desa mereka. Beberapa responden juga mengungsi selama letusan Gunung Merapi pada tahun 2010.

Logistik Pangan Bencana Letusan Gunung Merapi

Stok Pangan

Pada saat bencana, ketersediaan stok pangan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terkena dampak bencana. Salah satu komponen penting dalam stok pangan adalah gudang untuk menyimpan pangan dan barang

sebelum didistribusikan. Pemerintah Kabupaten Sleman menyiapkan gudang utama yang terletak di Desa Tridadi, Kecamatan Sleman. Bangunan yang digunakan sebagai gudang utama sebelumnya adalah sebuah sekolah. Namun, kondisinya yang lembab, atap bocor, dan kapasitas terbatas menjadi masalah tersendiri. Menurut USAID dan COMPETE (2011), sebuah gudang yang baik harus memiliki persyaratan minimum seperti kapasitas besar, lantai anti retak, dinding diplester, bebas atap bocor. Kapasitas gudang utama ini pun tidak memadai jika dibandingkan dengan jumlah pengungsi yang dilayani dan jumlah bantuan yang diterima dari beberapa sumber. Gudang utama Kabupaten Sleman terdiri dari sembilan ruangan dengan kapasitas setiap ruangan sekitar 40-50 ton.

Stok pangan yang disediakan hanya untuk kurang lebih 12.660 orang dari tujuh desa rawan letusan. Ketika letusan besar terjadi, jumlah pengungsi meningkat lebih dari sepuluh kali lipat mencapai lebih dari 150.000 orang. Oleh karena itu, diawal kejadian Pemerintah Kabupaten Sleman mengalami kekurangan stok pangan, khususnya stok pangan untuk kelompok rentan. Hal ini juga didukung oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dalam laporan Kegiatan Penanganan Bencana Letusan Merapi 2010. Disampaikan bahwa paket pangan untuk anak balita, wanita hamil dan lanjut usia sangat terbatas.

Di tingkat desa, pada awal kejadian, masalah pertama yang muncul adalah sebagian besar desa-desa mengalami keterbatasa stok pangan. Untuk mengatasi hal tersebut, desa berinisiatif memobilisasi masyarakat untuk membuat nasi bungkus di setiap dusun. Selain itu, banyak desa tidak memiliki fasilitas permanen yang cocok untuk menjadi penyimpanan. Ketika Gunung Merapi meletus, mereka menggunakan tenda atau ruang kantor untuk menyimpan bantuan pangan dan barang.

Transportasi

Sebelum letusan besar terjadi pada 5 November 2010, tidak ada masalah yang berkaitan dengan ketersediaan kendaraan yang dialami oleh tingkat kabupaten karena hanya harus mendistribusikan bantuan ke tujuh desa di daerah yang terkena langsung. Tapi, setelah letusan besar, jumlah

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 9: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Logistik Pangan pada Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010

6

pengungsi meningkat, sehingga menyebabkan peningkatan jumlah titik distribusi. Ditingkat kabupaten mengalami keterbatasan jumlah kendaraan dan terbatasnya kapasitas kendaraan. Di tingkat desa, untuk distribusi pangan sebagian besar desa bergantung pada sepeda motor sebagai transportasi.

Aliran lava panas dan lahar dingin menyebabkan beberapa jalan dan jembatan di daerah yang terkena dampak langsung rusak. Kondisi itu menyebabkan masalah lain dalam hal logistik pangan di Kabupaten Sleman. Pada Desember 2010, status Gunung Merapi turun sehingga sebagian besar pengungsi telah kembali ke desa asal. Tapi masih banyak penduduk yang tidak bisa langsung kembali ke rumah mereka sendiri, karena telah hancur oleh letusan. Jadi, mereka harus tetap tinggal di kamp pengungsi di desa. Sejak itu, petugas Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman harus mendistribusikan bantuan pangan dan barang dengan kondisi jalan dan jembatan yang rusak sehingga distribusi pangan membutuhkan waktu lebih lama dan jalur yang lebih jauh.

Sumber Daya Manusia

Dalam bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010, manajemen logistik pangan di tingkat kabupaten mengandalkan petugas Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, khususnya dalam pengelolaan gudang dan distribusi bantuan. Ketidakcukupan personil di tingkat Kabupaten Sleman itu terjadi ketika letusan besar yang terjadi pada 5 November 2010.

Di tingkat desa, personil yang terlibat cenderung bergantung pada dukungan dari sumber daya lokal, seperti petugas desa dan anggota lembaga desa. Sebagian besar desa memiliki pengalaman pelatihan dapur umum, khususnya di daerah rawan bencana Gunung Merapi. Masalah lain yang terjadi adalah kurangnya keterampilan manajemen gudang.

Beberapa masalah logistik pangan di letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 menyebabkan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Kondisi gudang tidak memadai dan kurangnya

keterampilan manajemen gudang menyebabkan banyak pangan dan barang yang rusak dan kadaluarsa. Selain itu, karena jumlah personil terbatas, bongkar muat pangan dan barang dari gudang ke truk atau sebaliknya dibutuhkan waktu yang lebih lama.

2. Terbatasnya kapasitas gudang utama menyebabkan penimbunan. Hal ini juga dapat menyebabkan penurunan kualitas pangan dan barang.

3. Jumlah dan kapasitas kendaraan yang terbatas dan diperparah oleh terbatasnya jumlah personil menyebabkan beban kerja petugas dalam mendistribusikan pangan dan barang ke titik distribusi berlebihan, terutama ketika jumlah pengungsi mencapai puncaknya pada minggu pertama November 2010.

Koordinasi

Dalam bencana, kesiapsiagaan dan respon adalah salah satu kunci yang penting (Carafano, 2011). Dalam beberapa hari sejak status Gunung Merapi meningkat dalam status Waspada, Pemerintah Kabupaten Sleman telah siap untuk mengantisipasi peristiwa bencana. Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman, sebagai instansi yang ditugasi untuk mengelola bantuan bencana, telah melakukan berbagai persiapan, salah satunya adalah membentuk tim koordinasi untuk manajemen pangan. Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman, Tim Tanggap Bencana dibentuk. Tim ini terdiri dari petugas dari Dinas Tenaga Kerja dan Sosial.

Selain pemerintah, keterlibatan pihak lain dalam logistik pangan sangat penting. . Holguin-Veras et al (2007, p.3) mengatakan bahwa secara umum, ada empat kelompok respon bencana: (a) instansi pemerintah; (b) organisasi relawan; (c) sektor swasta; dan (d) warga individual.

Di tingkat kabupaten, distribusi pangan dan barang dari gudang utama ke titik distribusi di desa, kecamatan atau kamp pengungsi dilaksanakan oleh petugas Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Kabupaten Sleman.

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 10: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Logistik Pangan pada Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010

7

Pada sejumlah desa, pengungsi tidak hanya sebagai penerima pasif, tetapi juga mereka yang terlibat dalam logistik pangan, seperti persiapan makanan dan distribusi pangan. Keterlibatan pengungsi setidaknya bisa membantu kebutuhan personil di tingkat desa.

Sebelum letusan besar pada tanggal 5 November 2010, koordinasi antara Pemerintah Kabupaten Sleman dan tujuh desa yang terletak di Kawasan Rawan Bencana Merapi III diadakan secara rutin. Untuk memfasilitasi koordinasi logistik pangan, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial menugaskan 2-3 petugas sebagai fasilitator di setiap desa rawan letusan. Tugas fasilitator adalah memantau stok pangan dan barang-barang di desa, berkoordinasi dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan ketersediaan kebutuhan, menerima bantuan dari pihak lain dan membantu pangan dan distribusi barang ke pengungsi.

Setelah letusan besar pada tanggal 5 November 2010, petugas fasilitator tidak efektif lagi. Keterbatasan jumlah personel yang terlibat adalah alasan utama mengapa petugas fasilitator tidak efektif lagi. Meningkatnya jumlah pengungsi dan lokasi evakuasi diikuti oleh meningkatnya jumlah pangan dan barang-barang bantuan menyebabkan semua petugas Dinas Tenaga Kerja dan Sosial untuk fokus dalam mengelola bantuan di gudang utama tingkat kabupaten.

Studi Banding Logistik Pangan

Ketersediaan Pangan dan Kondisi Gudang

Badai Katrina pada tahun 2005 adalah salah satu bencana yang menimbulkan dampak dan kerusakan besar. Salah satu masalah yang terjadi sulit adalah distribusi bantuan kepada para korban bencana.

Sebagai salah satu orang yang rentan, kebutuhan orang tua perlu lebih banyak perhatian. Selama bencana Katrina, Departemen Urusan Lanjut Usia Florida bekerja sama dengan pusat operasi darurat nasional dan juga menjalin komunikasi yang rutin dengan lembaga pelayanan lansia untuk menentukan apakah mereka membutuhkan bantuan. Mereka menggunakan pemetaan dan sensus data geografis untuk mengatur pangan dan

distribusi air di daerah di mana lansia hidup. Hal ini mengurangi waktu distribusi dan memberikan relawan dan kelompok layanan lebih banyak waktu untuk berkomunikasi serta mengidentifikasi kebutuhan mereka. (Benson, 2007, p.13) Pelajaran yang dapat diperoleh dari kasus Badai Katrina adalah bahwa data detail dan informasi berkaitan dengan pengungsi dan kebutuhan pengungsi dari kelompok rentan adalah penting. Informasi dan data digunakan oleh pemerintah untuk mengatur jenis dan jumlah kebutuhan sebagai dasar pengadaan pangan dan barang. Berdasarkan data itu, pemerintah dapat memberikan bantuan pangan yang sesuai dengan kebutuhan orang-orang kelompok rentan.

Sementara itu, gempa Jepang yang disusul tsunami besar tahun 2011 menghancurkan banyak infrastruktur, termasuk bangunan, gudang swasta dan lain-lain. Untuk mengatasi kekurangan tempat untuk menjaga bantuan, mereka menggunakan ruang bawah stadion atletik dan gedung olah raga indoor sebagai depot. (Okumura, 2012, p.6) Untuk menyimpan bantuan terutama bantuan pangan dibutuhkan tempat yang teduh dan terjaga dari hujan. Pelajaran dari gempa Jepang adalah bahwa Pemerintah Kabupaten Sleman dapat mengoptimalkan balai desa dan gedung olahraga sebagai gudang / depot. Dengan ini, penyimpanan bantuan pangan dan barang-barang di tingkat desa dapat lebih luas, lebih aman dan dapat menjamin kualitas bantuan lebih awet daripada menggunakan tenda atau ruang kantor.

Kendaraan dan Jalan

Setelah gempa Jepang 2011, ada beberapa tantangan, salah satunya adalah untuk memberikan beberapa jenis pangan dan barang terutama dalam beberapa minggu pertama. Pada puncak jumlah pengungsi, ada lebih dari 470.000 orang harus meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke lebih dari 2.400 tempat penampungan. (Okumura, 2012, p.5) Pada akhir Juni 2011, tidak kurang dari 1.800, 1.400, dan 2.400 truk yang didedikasikan untuk mengangkut barang dari depot ke depot di Iwate, Miyagi, dan Fukushima. (Okumura, 2012, p.5). Bencana gempa Jepang menunjukkan pentingnya kecukupan jumlah dan kapasitas kendaraan untuk menghasilkan jaminan tepat waktu dan kualitas

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 11: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Logistik Pangan pada Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010

8

dalam distribusi.

Selain itu, karena jalan-jalan utama di daerah bencana rusak akibat gempa bumi Japan Self Defense Force (JSDF) kesulitan mendisrtibusikan peralatan, dan pasokan bantuan dalam jumlah besar pada 48 jam pertama. Japan Ground Self Defense Force (JGSDF) akhirnya bisa mulai bergerak asetnya ke lokasi target ketika jalan raya utama yang dibuka untuk kendaraan darurat pada 13 Maret. (Tatsumi, 2012, p.25) Jalur yang aman untuk distribusi darurat diperlukan. Jaminan tepat waktu dalam bidang logistik pangan tidak hanya tergantung pada ketersediaan kendaraan, kondisi jalan dan jembatan di daerah yang terkena dampak juga penting. Dalam bencana letusan Gunung Merapi, ketika banyak jalan dan jembatan rusak, petugas distribusi harus mengambil jalan lain untuk menghindari jembatan dan jalan yang rusak. Tapi kadang-kadang distribusi terganggu oleh kendaraan lain yang melintas di rute yang sama, terutama truk yang akan menambang pasir dan batu di Sungai Gendol. Untuk mencapai titik distribusi, tim distribusi kadang-kadang harus berjalan di belakang truk pengangkut pasir.

Personil dan Pengalaman

Berdasarkan sistem pengiriman barang-barang bantuan di Jepang, tanggung jawab adalah di gubernur prefektur dengan memenuhi permintaan dari kota. Selama bencana gempa dan tsunami Jepang 2011, diperlukan keterlibatan banyak pihak. Japan Self Defense Force (JSDF) adalah salah satu pihak yang terlibat di gempa dan tsunami Jepang. Dengan total 106.000 personil, mereka sangat membantu setelah terjadinya bencana. Penyebaran JSDF di gempa dan tsunami Jepang adalah mobilisasi JSDF terbesar sejak secara resmi didirikan pada tahun 1954. (Tatsumi, 2012, p.21) Keterlibatan JSDF hampir di setiap bidang kegiatan tanggap darurat, seperti memberikan bantuan dan menyiapkan pangan untuk pengungsi. (EERI, 2011, p.8)

Keterbatasan personil, yang dialami oleh tim logistik pangan di tingkat Kabupaten Sleman terjadi ketika letusan besar. Bantuan pangan dan barang-barang yang datang dan harus segera didistribusikan ke seluruh titik distribusi

diperlukan personil yang banyak. Beban dan tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan respon terhadap kejadian ekstrem terberat biasanya berada di instansi pemerintah (termasuk militer) di tingkat lokal, negara bagian, dan federal. (Holguin-Veras et al, 2007, p.3) Dalam bencana letusan Gunung Merapi, tanggung jawab penanggulangan bencana berada di Pemerintah Kabupaten Sleman. Dalam hal logistik pangan, tanggung jawab ada di Dinas Tenaga Kerja dan Sosial. Dalam pelaksanaan di masa depan, terutama ketika bencana menjadi jauh lebih besar dan lebih luas, logistik pangan di tingkat kabupaten tidak bisa lagi bergantung pada petugas Dinas Tenaga Kerja dan Sosial saja. Ini harus melibatkan pihak lain yang memiliki lebih banyak personil dan peralatan untuk meminimalkan keterbatasan personil dan peralatan pendukung.

Bencana gempa dan tsunami Jepang dan badai Katrina mengalami masalah yang berhubungan dengan keterampilan personil. Petugas di bagian pengiriman pangan dan barang tidak memiliki cukup pengetahuan atau pengalaman dengan manajemen logistik. Untuk mengatasi keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, dukungan profesional bidang logistik begitu efektif dalam mengurangi kemacetan di gudang. (Okumura, 2012, p.3) Mirip dengan kasus gempa dan tsunami Jepang, dalam kasus badai Katrina juga terlibat dukungan profesional dalam hal bantuan pangan dan barang-barang logistik. Selama bencana, sektor swasta menyediakan layanan profesional di bidang yang sangat khusus, seperti logistik dan manajemen informasi. (Holguin-Veras et al, 2007, p.3)

Pemerintah Kabupaten Sleman, sebagai penanggung jawab dalam penanggulangan bencana selama letusan Gunung Merapi 2010, mempunyai keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan gudang. Keterlibatan profesional di bidang logistik selama bencana terutama dalam bencana besar sangatlah diperlukan sehingga distribusi logistik pangan bencana di tingkat kabupaten dapat berjalan lancar. Keterlibatan profesional ini juga dapat mentransfer pengetahuan dan pengalaman kepada petugas pemerintah.

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 12: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Logistik Pangan pada Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010

9

Data dan Informasi Pengungsi Kebutuhan

Tiga minggu setelah gempa dan tsunami Jepang, masih ada sekitar 73.000 orang yang tinggal di beberapa pusat evakuasi. Selama tinggal di pusat evakuasi, mereka hanya mengkonsumsi dua "Onigiri" sebanyak dua kali per hari. Berdasarkan hal tersebut, di tingkat nasional, Pemerintah Jepang membentuk "pertemuan empat pihak" terdiri dari pemerintah pusat, Self Defense Force (SDF), Pemerintah Provinsi Miyagi, dan LSM / NPO. Di tingkat lokal, agar koordinasi praktis, beberapa pemerintah daerah mendirikan "pertemuan tiga pihak" (SDF, pemerintah kota, LSM / NPO) untuk koordinasi penyediaan makanan hangat serta koordinasi informasi logistik pangan. (Sakamoto, 2012, p.32)

Pada saat terjadi bencana, LSM / NPO penting bagi melengkapi keterbatasan pemerintah dalam bidang logistik pangan. Di bencana letusan Gunung Merapi 2010, di tingkat kabupaten, logistik pangan masih mengandalkan petugas Pemerintah Kabupaten Sleman sehingga ketika letusan menjadi semakin besar, petugas mengalami kesulitan di beberapa sektor. Keterlibatan pihak lain sebagai fasilitator sebagai penghubung antara tim manajemen pangan bencana dan kecamatan / desa / camp dalam memperoleh data dan informasi sangat diperlukan.

Kesimpulan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meninjau koordinasi logistik pangan dalam kasus letusan Gunung Merapi pada tahun 2010. Beberapa masalah dalam stok pangan, transportasi dan sumber daya manusia pada logistik pangan letusan Gunung Merapi tahun 2010 mengalami kesulitan untuk mencapai

ketepatan waktu, mutu, jumlah dan kebutuhan.

Koordinasi logistik pangan di letusan Gunung Merapi setelah letusan besar pada tanggal 5 November 2010, keberadaan fasilitator tidak efektif. Maka sulit untuk memantau dan mengawasi perubahan situasi di desa / camp dan ketidakpastian dan keterlambatan ketersediaan data dan informasi yang berkaitan dengan pengungsi dan kebutuhan dari kecamatan / desa / kamp.

Berdasarkan studi banding dari kasus bencana lainnya, implikasi kebijakan untuk meningkatkan pengelolaan logistik pangan adalah (1) Data dan informasi dari pengungsi harus dikumpulkan sebagai dasar untuk pengadaan pangan dan barang untuk menghindari kekurangan stok pangan dan barang, terutama bagi orang-orang kelompok rentan; (2) mengumpulkan data dan peta gedung olahraga dari tiap kecamatan / desa sebagai persiapan digunakan sebagai depot bantuan pangan dan barang, serta meningkatkan kondisi gudang utama di tingkat kabupaten untuk menghindari kelebihan kapasitas dan pangan dan barang yang rusak; (3) bekerja sama dengan pihak lain dalam distribusi, seperti militer, untuk menyediakan kendaraan dan personil dengan kapasitas dan kemampuan yang lebih baik yang diperlukan untuk menghindari keterbatasan jumlah personil dan kendaraan di masa depan; (4) bekerjasama dengan profesional bidang logistic dalam pengelolaan gudang bencana untuk memaksimalkan manajemen bantuan barang dan untuk menularkan pengetahuan dan keterampilan kepada petugas pemerintah; dan terakhir (5) melibatkan dan mengoptimalkan lembaga masyarakat / pekerja sosial sebagai fasilitator antara Dinas Tenaga Kerja dan Sosial dan desa / camp sebagai upaya mengantisipasi keterbatasan jumlah personil di tingkat kabupaten.

***

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 13: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Logistik Pangan pada Bencana Letusan Gunung Merapi Tahun 2010

10

Referensi

Bappeda Sleman. (2011). Laporan Penyusunan Rencana Pembangunan Sumber Daya Manusia di Kawasan Bencana Merapi. Sleman, Bappeda.

Bappenas and BNPB. (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011-2013. Jakarta.

Benson, W.F. (2007). CDC’s Disaster Planning Goal: Protect Vulnerable Older Adults. Retrieved from: http://www.cdc.gov/aging/pdf/disaster_planning_goal.pdf

BPS Sleman. (2013). Sleman in Figures 2012. Sleman. BPS.

Carafano, J.J. (2011). The Great Eastern Japan Earthquake: Assessing Disaster Response and Lessons for the U.S. Retrieved from: http://www.heritage.org/research/reports/2011/05/the-great-eastern-japan-earthquake-assessing-disaster-response-and-lessons-for-the-us

EERI (Earthquake Engineering Research Institute). (2011). Learning from Earthquakes the March 11, 2011, Great East Japan (Tohoku) Earthquake and Tsunami: Societal Dimensions. EERI Special Earthquake Report Retrieved from: http://www.eqclearinghouse.org/2011-03-11-sendai/files/2011/03/Japan-SocSci-Rpt-hirez-rev.pdf

Health Agency of Sleman District. (2010). Kegiatan Penanganan Bencana Erupsi Merapi. Sleman District. Program Gizi. Retrieved from: http://prbdiy.net/wp-content/uploads/2010/11/dokumen-rencana-kontijensi-sleman-2009.pdf

Holguin-Veras, J. et al. (2007). Emergency Logistics Issues Affecting the Response to Katrina: A Synthesis and Preliminary Suggestions for Improvement, Transportation Research Record: Journal of the Transportation Research Board, Research Board of the National Academies, Volume 2022 / 2007 Transportation Security; Emergency Response and Recovery Security p. 76-82 10.3141/2022-09 Retrieved from: https://trb.metapress.com/content/xg2g8588147k8437/resource-secured/?target=fulltext.pdf

Okumura, M. (2012). Knowledge Note 3-3 Cluster 3: Emergency Response Logistics Chain Management for Emergency Supplies. The Great East Japan Earthquake Learning From Mega Disasters Knowledge Notes. Washington: World Bank.

Sadisun, I.A. (2008). Pemahaman Karakteristik Bencana: Aspek Fundamental dalam Upaya Mitigasi dan Penanganan Tanggap Darurat Bencana. Pusat Mitigasi Bencana ITB, Bandung. Retrieved from: http://www.sadisun.enggeol.org/pdf/2008_Paper_Gladian_Panji_Bencana.pdf.

Sakamoto, M. (2012). The Rise of NGOs/NPOs in Emergency Relief in the Great East Japan Earthquake. Japan Social Innovation Journal. Volume 2 No. 1.

Tatsumi, Y. (2012). Great Eastern Japan Earthquake: “Lessons Learned” for Japanese Defense Policy. Washington DC. Stimson

USAID and COMPETE. (2011). Minimum Warehouse Requirements Feed the Future Regional Meeting - Focus on Structured Trade Dar es Salaam December 2011 Retrieved from: http://www.competeafrica.org/Files/Minimum_warehouse_requirements_for_web.pdf https://trb.metapress.com/content/xg2g8588147k8437/resource-secured/?target=fulltext.pdf

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 14: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Smart Antenna, How Does It Work?

11

Komunikasi merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan masyarakat, baik komunikasi jarak dekat ataupun komunikasi jarak jauh. Komunikasi jarak jauh membutuhkan piranti yang mampu mendukung keperluan tersebut. Bentuk dari komunikasi jarak jauh dapat dilakukan melalui panggilan telepon (nirkabel atau berkabel) atau menggunakan koneksi internet (email, jejaring sosial dan chat). Menyadari pentingnya komunikasi di masyarakat serta banyaknya pengguna piranti komunikasi mengharuskan adanya sistem yang mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dapat menggangu proses komunikasi.

Smart antenna merupakan teknologi baru yang menjanjikan kinerja yang canggih untuk sistem komunikasi. Teknologi ini menggunakan algoritma pengolahan sinyal. Berbeda dengan teknologi antena tradisional, pada antena tradisional tidak mempunyai sistem tersebut. Algoritma pengolahan sinyal pada smart antenna mempunyai prinsip kerja yang memungkinkan antena mampu mengenali sinyal yang diinginkan (signal of interest) dan sinyal yang tidak diinginkan (signal not of interest). Interferensi sinyal merupakan salah satu bentuk signal not of interest (SNOI). Antena tanpa algoritma pengolahan sinyal tidak dapat mengenali SOI dan SNOI. Karena alasan ini, sistem smart antenna dibuat dan algoritma pengolahan sinyal menjadi hal terpenting pada penerapan sistem smart antenna.

Sebuah antenna yang tersusun atas beberapa elemen yang sama disebut sebagai array antenna (antena larik). Tiap elemen penyusun antena larik memberikan informasi arah sinyal datang berupa

gain dan perubahan fase. Karakteristik dari antena larik ini yang selanjutnya digunakan pada smart antenna yang tujuannya adalah dapat mendeteksi arah dari SOI. Pada sistem smart antenna, hal ini disebut dengan estimasi direction of arrival (DOA).

DOA merupakan salah satu hal terpenting dalam aplikasi sistem smart antenna. Banyak algoritma estimasi DOA yang dapat digunakan, contohnya: ESPIRIT, MUSIC, Root-MUSIC dan masih banyak yang lain. Multiple signal classification (MUSIC) merupakan salah satu algoritma estimasi DOA yang banyak digunakan dan merupakan algoritma yang mempunyai tingkat akurasi estimasi tinggi. Penerapan algoritma MUSIC umumnya tidak mempertimbangkan efek dari mutual coupling dari elemen penyusun array antenna. Mutual coupling merupakan interaksi elektromagnet antara elemen penyusun antena array. sedangkan dalam kondisi sebenarnya, efek mutual coupling sendiri tidak dapat diabaikan.

Banyak studi fokus pada metode untuk kompensasi efek mutual coupling pada antena array. Pada penelitian Gupta (1983) efek mutual coupling pada antena array didekati dengan teori sirkuit. Pada penelitian baru-baru ini, efek mutual coupling dianalisis mengunakan pendekatan interaksi elektromagnetik dan metode kalibrasi. metode kompensasi yang digunakan pada penelitian Gupta hanya dapat digunakan dan valid untuk antena dipole kecil sehingga estimasi DOA akan sulit dilakukan apabila menggunakan struktur antena yang rumit.

Pada penelitian (Yuan et al, 2005) efek mutual coupling dikompensasi melalui steering vector.

Smart Antenna, How Does it Work?

Vira Rahayu Chen laboratory,

Electrical, Communication, Electronic, and Information Engineering (ECEI), Department of Electrical and Communication Engineering,

Graduate School of Engineering, Tohoku University

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 15: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Smart Antenna, How Does It Work?

12

Metode ini disebut universal steering vector (USV). Dengan metode ini, steering vector dianalisis mengunakan methods of momen (MoM), sehingga dapat digunakan untuk menganalisis struktur antena dengan bentuk sembarang. Penelitian ini menjadi dasar untuk mengestimasi DOA pada microstrip patch antenna array.

Algoritma MUSIC pada kondisi ideal

Point penting dari algoritma MUSIC terdapat pada signal eigenvector dan noise eigenvector. Kedua komponen dapat dihitung melalui matrik kovarian dari teganggan terima pada terminal elemen-elemen antena. Properti orthogonal antara signal eigenvector dan noise eigenvector ini yang nantinya digunakan untuk estimasi DOA melalui pencarian puncak pada spektrum MUSIC. Spektrum puncak itulah yang nanti menunjukkan arah kedatangan sinyal yang mampu diestimasi oleh algoritma MUSIC.

Algoritma MUSIC pada kondisi real

Pada kondisi sebenarnya, pada setiap elemen penyusun antena array terdapat efek yang tidak dapat diabaikan, yaitu efek mutual coupling. Mutual coupling merupakan efek yang ditimbulkan akibat interaksi elektromagnetik di antara elemen-elemen antena array yang saling berdekatan. Hal ini yang menyebabkan tegangan incident wave tidak sama dengan tegangan terima pada terminal elemen antena, sehingga estimasi sudut kedatangan yang terjadi akan mengalami pergeseran atau dengan kata lain estimasi menjadi tidak akurat. Gambar di bawah ini menunjukkan hasil estimasi oleh algoritma MUSIC pada kondisi ideal dan real. Pada kondisi ideal, terlihat arah

sudut kedatangan yang akurat, sedangkan pada kondisi real estimasi yang tidak memperhitungkan efek mutual coupling mengalami pergeseran estimasi sudut kedatangan.

Teori Pendekatan Gupta VS metode univesal steering vector (USV)

Teori pendekatan Gupta untuk mengkompensasi efek dari mutual coupling dilakukan dengan menggunakan matrik impedansi yang dimensi matriknya berdasarkan jumlah dari elemen array antena. Matrik impedansi ini nanti selanjutnya digunakan untuk mendapatkan steering vector yang sudah membawa efek mutual coupling.

Teori pendekatan Gupta menjadi dasar dari metode USV. Pada teori Gupta, matrik impedansi hanya bergantung pada banyaknya jumlah elemen. Pada metode USV, tiap elemen dibagi menjadi beberapa segmen. Impedansi matrik pada metode ini berukuran N x N dimana N merupakan jumlah dari segmen penyusun array antena. Selanjutnya impedansi matrik ini digunakan untuk mengkompensasi efek dari mutual coupling melalui steering vector.

Estimasi DOA

Microstrip patch antenna digunakan sebagai elemen penyusun antena. Pada studi ini, digunakan dua geometri dari array yaitu geometri linear dan circular array. Linear array hanya mampu mengestimasi DOA untuk satu dimensi saja, sedangkan circular geometri dapat digunakan untuk mengestimasi sudut kedatangan 2D (azimut dan elevation). Pada estimasi ini dibandingkan antara 2 hasil yaitu antara USV dan conventional

q0

MUP

q0

MUP

(a) Estimasi kondisi Ideal (b) Estimasi kondisi real (tanpa memperhitungkan

efek mutual coupling)

Gambar 1. Estimasi DOA

V1

E1

V2

E2

V3

E3

lZ lZ lZ

Gambar 2. Elemen penyusun antenna

11

23

12 13

21 22

31 32 33

l

l

l

Z Z Z Z

Z Z Z Z Z

Z Z Z Z

Matix

: Array element number

M M

M

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 16: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

steering vector (CSV), dimana USV sudah memperhitugkan efek mutual copling dari elemen array antena, sedangkan CSV tidak.

Gambar 4. menunjukkan hasil estimasi untuk satu dimensi(1D) dan dua dimensi(2D). Untuk mengestimasi 1D pada study ini digunakan geometri linear, dan pada 2D digunakan geometri circular array. Gambar 4 (a) menunjukkan hasil estimasi algoritma MUSIC dengan membandingkan anta CSV dan USV. Elemen yang digunakan pada array sebanyak 6 elemen patch antena, USV mampu memberikan hasil estimasi 5 arah sudut kedatangan secara tepat yaitu pada sudut 70⁰, -30⁰, 0⁰, 20⁰, dan 50⁰, sedangkan CSV hanya mampu mengestimasi 4 sudut kedatangan dengan terdapat error yang besar. Pada Gambar 4 (b) dan (c) menunjukkan estimasi 2D dari sudut kedatangan. Baik USV maupun CSV mampu

mengestimasi 7 arah sudut kedatangan dengan elemen penyusun array adalah 10 elemen antena patch, namun pada CSV mengalami pergeseran dari estimasi. Tabel estimasi 2 dapat dilihat pada tabel 1.

Dari tabel 1. Terlihat adanya error pada estimasi menggunakan CSV yaitu pada sudut kedatangan [30⁰,50⁰] dan [110⁰,50⁰]. Estimasi menggunakan USV menunjukkan hasil yang lebih akurat, hal ini ditunjukkan dari nilai spectrum yang ditunjukkan pada table 1. Baik estimasi pada 1D maupun 2D, USV menunjukkan hasil lebih akurat jika dibandingkan dengan CSV. Hasil-hasil tersebut menunjukkan kinerja dari smart antenna, yang jika dibandingkan dengan system antenna tradisional, smart antenna memiliki kemampuan untuk mendeteksi dimana arah kedatangan dari suatu sinyal.

Smart Antenna, How Does It Work?

13

q

lZ lZ lZ1 )(V q 2 )(V q 3 )(V q

M M N N

Z Z

M Element,N Segment,N>M

Gupta Present

Gambar 3. Pembagian elemen menjadi beberapa segmen

(a) 1D

(b) 2D CSV

(c) 2D USV

Gambar 4. Estimasi DOA 1D dan 2D

[60⁰,70⁰] [60⁰,40⁰] [80⁰,40⁰] [30⁰,50⁰] [20⁰,10⁰] [110⁰,20⁰] [110⁰,50⁰]

CSV 78.94 64.62 49.51 29.12* 72.43 31.19 21.42*

USV 131.9 136.4 127.1 128.7 125.2 129.8 128.9

Tabel 1. Pebandingan Spektrum MUSIC USV dan CSV

***

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 17: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Smart Antenna, How Does It Work?

14

Referensi

Q. Yuan, Q. Chen, and K. Sawaya, “Accurate DOA estimation using array antenna with arbitrary geometry,” IEEE Transactions on Antennas and Propagation, vol. 53, no. 4, pp. 1352–1357, Apr. 2005.

M. M. Abdalla, M. B. Abuitbel, and M. A. Hassan, “Performance evaluation of direction of arrival estimation using MUSIC and ESPRIT algorithms for mobile communication systems,” in Wireless and Mobile Networking Conference (WMNC), 2013 6th Joint IFIP, 2013, pp. 1–7.

R. Goossens and H. Rogier, “A Hybrid UCA-RARE/Root-MUSIC Approach for 2-D Direction of Arrival Estimation in Uniform Circular Arrays in the Presence of Mutual Coupling,” IEEE Transactions on Antennas and Propagation, vol. 55, no. 3, pp. 841–849, Mar. 2007.

F. Gao and A. B. Gershman, “A generalized ESPRIT approach to direction-of-arrival estimation,” IEEE Signal Processing Letters, vol. 12, no. 3, pp. 254–257, Mar. 2005.

Q. Huang, H. Zhou, J. Bao, and X. Shi, “Accurate DOA Estimations Using Microstrip Adaptive Arrays in the Presence of Mutual Coupling Effect,” International Journal of Antennas and Propagation, vol. 2013, p. e919545, Nov. 2013.

Q. Bao, C. C. Ko, and W. Zhi, “DOA estimation in the presence of unknown mutual coupling and multipath propagation in a frequency hopping system,” in 2004 IEEE International Conference on Communications, 2004, vol. 5, pp. 2502–2506 Vol.5.

H. S. Lui and H. T. Hui, “Mutual Coupling Compensation for Direction-of-Arrival Estimations Using the Receiving-Mutual-Impedance Method,” International Journal of Antennas and Propagation, vol. 2010, p. e373061, Mar. 2010.

I. J. Gupta and A. A. Ksienski, “Effect of mutual coupling on the performance of adaptive arrays,” IEEE Transactions on Antennas and Propagation, vol. 31, no. 5, pp. 785–791, Sep. 1983.

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 18: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Masih ingatkah dengan gempa besar yang melanda Aceh tahun 2004? Gempa pada 26 Desember ini adalah gempa terbesar ketiga (magnitudo 9,1) setelah gempa Chili tahun 1960 (magnitudo 9,5) dan gempa Alaska tahun 1964 (magnitudo 9,2). Selain guncangan yang sangat hebat, dalam selang beberapa menit tsunami menerjang dan memporakporandakan pesisir Aceh dan beberapa negara di sekitar Samudera Hindia.

Bagaimana gempa ini bisa terjadi? Untuk mengetahui penyebabnya, kita perlu sedikit membahas tentang teori tektonik lempeng (plate tectonics). Dalam tektonik lempeng dipelajari bahwa permukaan bumi tediri dari lempeng batuan dengan berbagai ukuran. Lempeng lempeng bergerak dengan kecepatan berbeda dan saling mendorong (gambar 1). Di sekitar barat laut Sumatra hingga Kepulauan Andaman, terdapat Lempeng Indo Australia yang mendorong

Lempeng Eurasia ke arah timur laut. Dorongan ini terjadi terus menerus dan ketika lempeng tidak mampu lagi menahan tekanan, lempeng akan patah di sekitar area pertemuan lempeng. Rupture atau patahan ini adalah sumber gelombang seismik yang menyebabkan guncangan di permukaan bumi, yang kita kenal dengan gempa bumi. Gelombang seismik yang timbul terdiri dari berbagai periode.

Sebelumnya, Ishii et al. (2007) meneliti gempa Sumatra Andaman 2004 menggunakan gelombang seismik periode pendek (1 detik). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rupture gempa merambat dari barat laut Pulau Sumatra ke utara hingga kepulauan Andaman sepanjang 1300 km. Pada umumnya, gelombang berperiode pendek dan panjang berasal dari rupture yang sama. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada gempa Maule (Chili) tahun 2010 (magnitudo 8,8) dan gempa Tohoku (magnitudo 9,0)

Perambatan Rupture Gempa Sumatra Andaman 2004 Berdasar Analisis Gelombang Seismik Periode Panjang

15

Perambatan Rupture Gempa Sumatra

Andaman 2004 Berdasar Analisis

Gelombang Seismik Periode Panjang

Yan Fahmi Swastiraras Solid Earth Physics Lab, Geophysics Department, Tohoku University

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 19: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Perambatan Rupture Gempa Sumatra Andaman 2004 Berdasar Analisis Gelombang Seismik Periode Panjang

16

gelombang seismik periode panjang dan pendek berasal dari rupture yang berbeda (Wang dan Mori, 2011). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perambatan rupture gempa Sumatra Andaman 2004 dari gelombang seismik periode lebih panjang menggunakan seismic array. Secara sederhana seismic array adalah kumpulan sensor seismik dengan konfigurasi dan dalam area tertentu. Perambatan rupture dilihat dari perubahan back azimuth

dengan waktu. Back azimuth adalah arah dari seismic array ke sumber gempa diukur dari arah utara.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari jaringan seismik F-net di Jepang. Jaringan ini terdiri dari sensor sensor yang mampu merekam gelombang seismik (waveform) dengan rentang periode lebar (broadband).

Gambar 1. Lempeng tektonik dunia beserta arah pergerakannya

Gambar 2. Di bawah Pulau Sumatra hingga Kepulauan Andaman, Lempeng Indo Australia mendorong Lempeng Eurasia ke arah timur laut. Ujung Lempeng Indo Australia menunjam ke bawah lempeng Eurasia hingga ratusan meter di bawah

permukaan bumi. (http://www.earthobservatory.sg/files/resources/images/sumatra_iteration_4_with_north.png, diakses 2 Agustus 2014)

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 20: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Dua belas titik yang mungkin menjadi rupture diasumsikan di sekitar batas Lempeng Indo Australia dan Lempeng Eurasia, dengan titik nomor 1 terletak tepat di atas hypocenter (gambar 4). Back azimuth pada masing masing titik dihitung, yang kemudian disebut dengan back azimuth asumsi. Lalu back azimuth asumsi dicocokkan dengan back azimuth observasi. Berdasar pencocokan tersebut, secara kasar diketahui letak rupture yang sebenarnya, yaitu pada titik nomor 1, 5, 6, 7, dan 11. Jarak kumulatif terhadap waktu diplot dalam grafik untuk mengetahui pergerakan rupture gempa. Terlihat

pada grafik (gambar 4) dari 0 detik hingga 200 detik back azimuth hanya mengalami sedikit perubahan dalam waktu relatif panjang, yang berarti rupture merambat dengan kecepatan pendek (0.6 km/s).

Pada akhirnya, disimpulkan bahwa berdasar gelombang seismik periode panjang rupture merambat dari selatan ke utara. Selain itu, perbedaan perambatan rupture dengan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa gelombang seismik periode panjang dan pendek tidak terjadi pada saat yang bersamaan.

Perambatan Rupture Gempa Sumatra Andaman 2004 Berdasar Analisis Gelombang Seismik Periode Panjang

17

Gambar 3. Perambatan rupture berdasar hasil penelitian Ishii et al. (2007)

Gambar 4. Titik titik rupture

***

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 21: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Reakonstruksi 3D dari Sebuah Gambar

18

Membuat sebuah objek 3D dengan bantuan komputer tidaklah semudah yang kita bayangkan. Berbeda dengan menggambar di atas kertas, “menggambar” dengan bantuan komputer membutuhkan keahlian khusus yang belum tentu semua orang bisa lakukan. Terlebih lagi ketika kita harus membuat sebuah objek 3D. Apakah ada yang bisa dilakukan untuk mempermudah pembuatan objek 3D? Jawabannya: Ada! Salah satunya adalah dengan menggunakan rekonstruksi 3D lewat gambar atau foto.

Terdapat dua jenis rekonstruksi yang bisa dilakukan yaitu rekonstruksi menggunakan lebih dari satu gambar (multiple images) atau hanya dengan menggunakan sebuah gambar (single image). Tentunya setiap jenis dari proses rekonstruksi mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kali ini penulis akan mencoba memperkenalkan salah satu

metode rekonstruksi dengan menggunakan hanya sebuah gambar.

Coba perhatikan gambar 1. Apakah objek di gambar 1 merupakan objek yang datar? Sebagian dari kita mungkin mengatakan bahwa objek di gambar 1 merupakan objek yang tidak datar. Dari mana kita bisa menyimpulkan bahwa objek di gambar 1 tidak datar? Mungkin pembaca masih ingat dengan pelajaran seni lukis di sekolah dulu. Untuk membuat sebuah gambar terlihat lebih nyata, sejak dahulu kala, pelukis-pelukis menggunakan sebuah teknik yang dinamakan shading, yaitu membuat beberapa bagian dari objek terlihat lebih gelap dibandingkan dengan bagian lainnya. Dengan memanfaatkan informasi ini, muncullah sebuah metode yang dinamakan shape from shading (SFS) yang pertama kali dikembangkan oleh Horn pada awal tahun 1970.

Rekonstruksi 3D dari Sebuah Gambar Vicky Sintunata Digital Content, Aoki Laboratory, Department of Information Science, Graduate School of Engineering, Tohoku University

Normal

directionθ

Camera

Gambar 1. Shading Sebuah Objek Merepresentasikan Bentuk Gambar 2. Model Permukaan Lambertian

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 22: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Untuk lebih memahami metode ini, kita perlu memahami beberapa hal. Pertama, proses pembentukan sebuah gambar (image). Ketika cahaya dari sebuah sumber datang mengenai sebuah permukaan, maka sebagian energi dari cahaya tersebut akan dipantulkan. Dalam SFS, seringkali para peneliti menggunakan sebuah model yang dinamakan model Lambertian untuk merepresentasikan permukaan dari objek yang diteliti. Apa itu model Lambertian? Secara sederhana, model Lambertian menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipantulkan oleh sebuah permukaan sebanding dengan kosinus sudut yang dibentuk dari arah normal (normal direction) permukaan tersebut dan arah datangnya sumber cahaya (Gambar 2). Bila perbedaan sudut tersebut mendekati nol, maka permukaan akan memantulkan intensitas yang sama dengan intensitas yang datang menyentuh permukaan tersebut.

Kedua, foreshortening effect. Apa itu foreshortening? Bayangkan sebuah pintu yang tertutup. Ketika pintu tersebut dibuka, luas permukaan yang terlihat akan semakin mengecil bukan? Hal inilah yang disebut dengan foreshortening. Foreshortening menyebabkan intensitas cahaya yang diterima oleh sebuah permukaan berbeda satu dengan yang lainnya,

sehingga ketika kita bisa mengaproksimasi bentuk sebuah objek lewat perbedaan intensitas yang dihasilkan oleh permukaan objek tersebut.

Hasil dari metode SFS ini bisa dilihat pada gambar 3. Perlu diperhatikan bahwa metode ini sangat bergantung dari asumsi yang digunakan, terutama asumsi mengenai posisi sumber cahaya. Beberapa penelitian juga menambahkan asumsi-asumsi lain pada model permukaan yang digunakan, seperti specular model ( bagian yang memantulkan cahaya sangat terang dibandingkan bagian lainnya seperti pada bahan yang terbuat dari metal), smoothness constraint, dan lain-lain, untuk memperoleh hasil yang lebih dapat merepresentasikan objek yang sebenarnya.

Referensi:

R. Zhang, P.S. Tsai, J.E. Cryer, and M.Shah. 1999. “Shape from Shading: A Survey”. In IEEE Trans. On Pattern Analysis and Machine Intelligence, Vol.21, Issue 8, pp.690 – 706, 1999.

J.D.Durou, M.Falcone, M.Sagona. “Numerical Methods for Shape-from-shading: a New Survey with Benchmarks”. Computer Vision and Image Understanding. Vol.109, Issue 1, pp.22-43, 2008.

Reakonstruksi 3D dari Sebuah Gambar

19

Gambar 3. Contoh Hasil dari Metode SFS

***

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 23: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Penginderaan Jauh untuk Menghidupi 9 Juta Jiwa pada 2050

20

Kini, planet bumi ini tengah dihuni oleh sekitar 7.2 miliar jiwa, dan diproyeksikan akan mencapai angka 9 miliar pada tahun 2050 (PBB, 2013). Kelak, sebagian besar penduduk dunia akan terkonsentrasi di negara-negara berkembang dengan lebih dari setengahnya akan berada di benua Afrika. (Sumber : http://esa.un.org/unpd/wpp/index.htm.) Hasil ini didapat dari tinjauan komprehensif data demografi yang tersedia dari 233 negara dan daerah di seluruh dunia.

Dengan lebih banyaknya kebutuhan pangan pada 2050, kebutuhan makanan untuk 9 miliar jiwa tersebut pun akan meningkat, dan tantangan lingkungan pun tak terhindarkan. Diperkirakan, untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia pada tahun 2050, peningkatan produksi pangan secara keseluruhan perlu ditingkatkan sekitar 70 persen antara 2005/07 dan 2050. Bahkan, produksi di negara-negara berkembang perlu hampir dua kali lipat angka tersebut. Ini mengakibatkan peningkatan yang signifikan dalam produksi beberapa komoditas utama. Produksi sereal tahunan, misalnya, harus mencapai angka satu miliar ton. Kebutuhan produksi daging, dari angka 200 juta ton, akan menjadi 470 juta ton pada tahun 2050 (Sumber : FAO, 2009).

Pada tahun 2050, peningkatan lahan untuk bercocok tanam dan beternak pun tak terelakkan, guna memenuhi kebutuhan pangan 9 miliar orang di bumi ini. Tak hanya itu, keanekaragaman hayati juga akan terancam jika perluasan bidang pertanian masih menggunakan metode lama. Konversi hutan tak seharusnya menjadi opsi lagi untuk cocok tanam dan beternak. Diperlukan cara yang lebih tepat untuk pengelolaan pertanian lahan tersebut, terutama pada daerah yang terdegradasi, tentunya dengan memanfaatkan managemen peternakan yang berteknologi tinggi.

Penginderaan jauh dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas serta untuk mengatasi masalah pemanasan global.

Penginderaan jauh secara luas digunakan untuk memantau, menilai, dan mengevaluasi planet bumi. Kita memiliki begitu banyak kesempatan untuk mengatasi mismanagement yang terlanjur terjadi, juga pemanasan global dan isu pangan untuk 9 miliar orang tersebut. Penelitian berikut adalah salah satu penelitian terkini yang memanfaatkan citra jarak jauh untuk "memberi makan" 9 miliar orang pada tahun 2050.

Penginderaan Jauh untuk Menghidupi 9 Miliar Jiwa pada 2050

Fatwa Ramdani, Geo-Environmental Sciences, Department of Earth Science,

Graduate School of Science, Tohoku University

Semua penelitian tidak akan bermanfaat jika hanya orang-orang tertentu yang dapat mengakses dan memahami hasilnya. Perlu adanya kolaborasi, terutama bagi

masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih rendah, seperti petani, dengan menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti.

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 24: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Penginderaan Jauh untuk Menghidupi 9 Juta Jiwa pada 2050

21

Pemantauan ekspansi pertanian

Ekspansi pertanian menjadi ancaman utama bagi manusia dan lingkungan. Hal ini dapat dihindari jika perluasan dilakukan dengan metode yang berkelanjutan, yang juga akan memberikan manfaat kepada masyarakat dan lingkungan.

Salah satu isu utama ekspansi pertanian adalah dari perkebunan kelapa sawit. Jenis pertanian ini membutuhkan konversi hutan dalam skala besar. Penelitian oleh Ramdani dan Hino (2013) mengungkapkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit meledak pada periode 2000—2010 dan menduduki tidak hanya hutan tropis tetapi juga lahan gambut (Koh, dkk. 2011). Ramdani & Hino (2013) dan Koh, dkk (2011) memanfaatkan remotely-sensed data guna memantau fenomena ekspansi tersebut. Metode ini tentu dapat menguntungkan petani jika mudahnya akses informasi Geo-spasial dan adanya bantuan ahli untuk memahami situasi tersebut. Dengan demikian, mereka akan memahami bagaimana mengelola perkebunan dengan cara yang lebih berkelanjutan.

Minyak sawit mentah (CPO) banyak digunakan dalam industri makanan untuk menghasilkan biskuit, kerupuk, mie, atau bahkan yogurts. Di masa depan, terkait dengan pertumbuhan penduduk, permintaan CPO juga akan meningkat. Penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau ekspansi perkebunan kelapa sawit yang juga akan mencegah terjadinya bencana membahayakan (konflik sosial, masalah lingkungan, dan lain-lain) dan memberikan solusi yang berkelanjutan.

Pertanian dan Alat pemantau berteknologi tinggi untuk pertanian berpresisi tinggi

Kini, UAV (Unmanned Aerial Vehicle) menjadi bagian penting dari bidang pertanian berskala kecil. Cara tradisional untuk pemantauan dan pemetaan bidang menggunakan pesawat tradisional atau satelit memiliki biaya operasional serta memiliki resolusi spasial dan temporal yang lebih rendah. Dengan alasan tersebut, UAV adalah alat yang lebih tepat; biaya operasional lebih rendah dan memiliki resolusi spasial dan temporal yang lebih tinggi. Hal ini telah dicoba oleh Torres-

Sánchez, dkk (2014) yang memanfaatkan UAV berkamera komersil (spektrum tampak) untuk akuisisi citra resolusi ultra-tinggi di atas ladang gandum pada periode awal musim. Studi mereka menggunakan enam indeks terlihat spektral (Cive, ExG, ExGR, Woebbecke Index, NGRDI, VEG) dan dua kombinasi indeks ini dihitung dan dievaluasi untuk pemetaan fraksi vegetasi. Indeks-indeks ini juga konsisten baik secara spasial maupun temporal. Hal ini memungkinkan pemetaan vegetasi yang akurat atas ladang gandum seluruh pada berbagai musim. Studi ini memberikan bukti bahwa indeks spektral terlihat yang berasal dari gambar yang diperoleh dengan menggunakan kamera biasa pada UAV di ketinggian rendah cocok digunakan untuk membedakan vegetasi di ladang gandum di awal musim.

Penelitian ini menjadi gerbang untuk pemanfaatan teknologi remote sensing guna menanggulangi masalah pertanian seperti penyebaran pertumbuhan gulma dan lain-lain.

Meningkatkan efisiensi dengan penampungan air

Zarco-Tejada, González-Dugo, & Berni (2012) memanfaatkan UAV untuk mendeteksi penyebaran konsentrasi air menggunakan micro-hyperspectral imager dan kamera termal. Lebih jauh lagi, Link, Senner, & Claupein (2013) mengembangkan dan mengevaluasi platform sensor udara (ASP) untuk mengumpulkan data multispektral guna menetapkan kebijakan dalam bidang pertanian.

Dua penelitian tersebut semakin meyakinkan bahwa UAV dapat digunakan untuk menurunkan kebijakan manajemen pertanian yang lebih presisi dan efisien. Namun, kebijakan untuk pemanfaatan UAV untuk keperluan umum masih dalam perdebatan. Diperlukan lebih banyak dukungan dari pemerintah untuk praktek pertanian yang lebih baik untuk kebutuhan pangan untuk 9 miliar orang ini pada tahun 2050 ini.

Pemetaan lahan yang kurang produktif dan lahan kritis

SReeves dan Bagget (2014) meneliti produktivitas tanaman menggunakan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dari platform satelit

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 25: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Penginderaan Jauh untuk Menghidupi 9 Juta Jiwa pada 2050

22

MODIS. Studi mereka menunjukkan bahwa degradasi yang terkait dengan peristiwa masa lalu mungkin memiliki dampak yang lebih besar pada produksi vegetasi dari praktek pengelolaan lahan ini. Penggundulan hutan secara berlebihan serta pemanfaatan kayu bakar sebagai bahan bakar biasanya berhubungan dengan tekanan pada faktor sosial ekonomi.

Kondisi ini mengakibatkan degradasi besar-besaran di sejumlah area yang sebenarnya ideal untuk penilaian nilai degradasi menggunakan skala kasar pada teknik penginderaan jauh seperti penggunaan curah hujan sebagai variabel pendukung.

Metode ini juga akan berguna untuk prediksi hasil panen. Petani akan menerima manfaat lebih melalui monitor berkelanjutan produktivitas vegetasi. Mereka akan dapat mengoptimalkan waktu untuk menghasilkan lebih dari komoditas pertanian.

Masalah Kekeringan

Zhou dkk (2014) menemukan bahwa kekeringan mengungkapkan pola konsisten berkurang kehijauan vegetasi di Lembah Kongo. Hal ini konsisten dengan penurunan curah hujan, penyimpanan air terestrial, kadar air di atas kayu tanah dan biomassa daun. Penelitian ini menggunakan data vegetasi dari sensor satelit resolusi Moderate Imaging Spectroradiometer (MODIS) Index (EVI). Studi ini dapat membantu daerah lain di Afrika dan bagian lain dunia untuk terus memantau dan menilai lingkungan mereka dan menemukan jawaban bagaimana menghadapi fenomena kekeringan.

Namun, dampak kekeringan jangka panjang pada vegetasi yang lebih kompleks daripada kekeringan jangka pendek dan produk satelit mengukur sifat yang berbeda yang berbeda dari vegetasi dan kelembaban. Itu berarti kita harus bekerja sama dan menggabungkan banyak jenis sensor satelit untuk mengatasi kekeringan jangka panjang pada komoditas pertanian.

Peningkatan ketepatan ramalan cuaca

Wittenberg dkk (2014) membuktikan bahwa

kegiatan multi-dekade ini dapat meningkatkan dan memacu aktifitas osilasi El Niño / El Niño Southern Oscillation (ENSO). Penelitian ini menghasilkan hasil yang cukup realistis, sinyal iklim lintang-tinggi yang dapat diprediksi per dekade, serta sinyal tropis dan luar-tropis per dekade yang terkait dengan ENSO.

Penelitian ini membuktikan bahwa ramalan cuaca akan lebih akurat kelak, seperti kapan dan di mana El Niño akan terjadi beserta tingkat kekuatannya. Dengan ini, petani dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi perubahan iklim dan dapat meminimalkan terjadinya gagal panen.

Rekomendasi

Pertumbuhan pesat diperkirakan akan terus berlanjut selama beberapa dekade mendatang di negara-negara dengan tingkat kesuburan yang tinggi seperti Nigeria, Niger, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia dan Uganda, Afghanistan dan Timor-Leste. India diperkirakan akan menjadi negara terbesar di dunia, melewati Cina pada sekitar 2028, saat kedua negara akan mencapai populasi 1,45 miliar. Setelah itu, penduduk India akan terus tumbuh dan penduduk China diperkirakan akan mulai menurun. Sementara itu, jumlah penduduk Nigeria diperkirakan akan melampaui Amerika Serikat sebelum 2050 (UN, 2013).

Informasi ini menjadi alasan yang jelas perlunya tindakan dan kerja sama masyarakat untuk memberikan informasi geospasial sehingga dapat diakses gratis bagi penduduk negara-negara berkembang. Semua penelitian yang telah disebutkan tidak akan bermanfaat jika hanya orang-orang tertentu yang dapat mengakses dan memahami hasil riset ini. Perlu adanya kolaborasi, terutama bagi masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih rendah, seperti petani, dengan menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti.

Alih pengetahuan dan teknologi in dapat dilakukan melalui;

1. Pertukaran pelajar antar universitas terkemuka di Asia, Afrika dan mahasiswa terbaik dari negara-negara berkembang

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 26: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Penginderaan Jauh untuk Menghidupi 9 Juta Jiwa pada 2050

23

2. Pertukaran peneliti antar universitas terkemuka di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Serikat, sebagaimana telah diketahui bahwa sebagian besar peneliti berasal dari wilayah Amerika Serikat, Jerman, Spanyol, Jepang

Pemerintah dan ilmuwan-ilmuan perlu berdiskusi bersama guna mengatasi isu-isu tersebut dan berusaha memberikan solusi terbaik pada masyarakat. Selain itu, kebijakan tersebut harus dikompilasi dengan hasil riset yang ada dan dilaksanakan dengan cara yang tepat untuk mendukung para pekerja lahan.

Referensi

FAO (2009) High Level Expert Forum - How to Feed the World in 2050. Available at http://www.fao.org/fileadmin/templates/wsfs/docs/Issues_papers/HLEF2050_Global_Agriculture.pdf

Koh LP, Miettinen J, Liew SC, Ghazoul J (2011) Remotely sensed evidence of tropical peatland conversion to oil palm. Proceedings of the National Academy of Sciences 108: 5127–5132. DOI: 10.1073/pnas.1018776108

Link, J., Senner, D., & Claupein, W. (2013). Developing and evaluating an aerial sensor platform (ASP) to collect multispectral data for deriving management decisions in precision farming. Computers and Electronics in Agriculture, 94, 20–28. doi:10.1016/j.compag.2013.03.003

Ramdani, F., & Hino, M. (2013). Land Use Changes and GHG Emissions from Tropical Forest Conversion by Oil Palm Plantations in Riau Province, Indonesia. PLoS ONE, 8(7) DOI: 10.1371/journal.pone.0070323

Reeves, M.C and Bagget, L.S (2014) A remote sensing protocol for identifying rangelands with degraded productive capacity. Ecological Indicators, 43, 172-182. doi: 10.1016/j.ecolind.2014.02.009

Torres-Sánchez, J., Peña, J. M., de Castro, A. I., & López-Granados, F. (2014). Multi-temporal mapping of the vegetation fraction in early-season wheat fields using images from UAV. Computers and Electronics in Agriculture, 103, 104–113. doi:10.1016/j.compag.2014.02.009

United Nations (2013) World Population Prospects: The 2012 Revision. Available at http://esa.un.org/unpd/wpp/index.htm

Wittenberg, A. T., Rosati, A., Delworth, T. L., Vecchi, G. A. & Zeng, F (2014) ENSO Modulation: Is It Decadally Predictable?. Journal of Climate, 27, 2667-2681. doi: http://dx.doi.org/10.1175/JCLI-D-13-00577.1

Zarco-Tejada, P. J., González-Dugo, V., & Berni, J. A. J. (2012). Fluorescence, temperature and narrow-band indices acquired from a UAV platform for water stress detection using a micro-hyperspectral imager and a thermal camera. Remote Sensing of Environment, 117, 322–337. doi:10.1016/j.rse.2011.10.007

Zhou et al (2014) Widespread decline of Congo rainforest greenness in the past decade. Nature, 509, 86-90. doi:10.1038/nature13265

***

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 27: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Kadar Protein Matriselular dalam Plasma Penderita Tuberkulosis dan TB Laten

24

Tuberkulosis (TB) masih menjadi kondisi darurat kesehatan masyarakat global. Penyakit ini menyebabkan tingginya angka kematian dan kesakitan bagi jutaan penduduk dunia setiap tahunnya. Pada tahun 2012, terdapat sekitar 1.3 juta kematian, dimana 940.000 diantaranya terjadi pada HIV-negatif. Selain itu, terdapat 8.6 juta kasus baru, setara dengan 122 kasus per 100.000 penduduk. TB masih menjadi momok menakutkan di Indonesia, negara dengan jumlah kasus baru TB terbesar keempat di dunia setelah India, China, dan Afrika Selatan. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 400.000 – 500.000 kasus baru, setara dengan 185 kasus per 100.000 penduduk. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara dengan beban penyakit TB yang tinggi, yang bersama dengan dengan 21 negara lainnya berkontribusi lebih dari 80% kasus TB dunia.

Mycobacterium tuberculosis (M.tb), kuman penyebab TB, diyakini telah menginfeksi hampir sepertiga penduduk dunia. Sekitar 5-20% dari mereka yang terinfeksi rentan untuk menderita TB aktif, sedang yang lainnya akan tetap sehat, kecuali bila sistem kekebalan tubuh mereka terganggu (immunocompromised). Orang yang terinfeksi kuman M.tb disebut dengan TB laten (LTBI), yaitu orang yang terinfeksi tetapi tidak memiliki gejala sakit dan tidak pula memiliki

kemampuan untuk menularkan kuman M.tb. Karena kuman tersebut bersemayam dalam tubuh mereka, TB laten berpeluang menjadi reservoir yang besar bagi kelangsungan penyakit TB.

Studi tentang beban TB pada populasi yang terkena dampak krisis menggambarkan bahwa krisis dapat meningkatkan risiko terhadap TB sebesar 20 kali lipat, dan diperoleh hubungan antara konflik bersenjata (baik intensitas tinggi dan maupun rendah) dengan penurunan pelaporan kasus. Gempa yang terjadi di Jepang pada tahun 2011 menunjukkan bahwa pengungsi yang tinggal di tempat penampungan rentan untuk terpapar TB. Oleh karena itu, pengawasan yang lebih baik terhadap penyakit TB dan TB laten sangat dibutuhkan. Individu dengan TB laten dapat berfungsi sebagai reservoir untuk kasus baru TB aktif. Untuk mengurangi risiko dimaksud (TB laten menjadi TB aktif), pemberian profilaksis dapat menjadi salah satu alternatif. Pengobatan TB laten adalah komponen kunci dalam strategi pengendalian TB global, meski banyak tantangan yang mungkin akan dijumpai dalam penerapannya.

Namun, saat ini, alat diagnostik yang ada belum cukup mampu membedakan TB laten dari TB aktif. Pemeriksaan mikroskopis, kultur, maupun radiografi, yang banyak digunakan di negara-

KADAR PROTEIN MATRISELLULAR

DALAM PLASMA PENDERITA

TUBERKULOSIS DAN TB LATEN

Fakhrial Mirwan Hasibuan Division of Emerging Infectious Diseases, Graduate School of Medicine, Tohoku University

TB merupakan ancaman bagi kesehatan manusia. TB mengancam kehidupan dan mata pencaharian jutaan orang di seluruh dunia dan

menjadi salah satu epidemi kesehatan global.

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 28: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Kadar Protein Matriselular dalam Plasma Penderita Tuberkulosis dan TB Laten

25

negara dengan kasus TB yang tinggi, tidak memiliki sensitivitas atau spesifisitas yang memadai, membutuhkan waktu yang lama, atau tidak tersedia di fasilitas kesehatan perifer. Selain itu, meski tes mantoux (TST) dapat memberikan informasi tentang adanya infeksi oleh kuman M.tb, tes tersebut tidak dapat mengidentifikasi mereka yang sudah TB aktif, dan cenderung terjadi reaksi silang dengan kuman non-TB (Non Tuberculous Mycobacteria) dan vaksinasi BCG (basil Calmette-Guerin). Penggunaan tes imunologis, seperti interferon-gamma release assay (IGRA) (QFT-GIT dan T-SPOT.TB), meski memiliki spesifisitas yang lebih baik dari TST serta tidak dipengaruhi oleh status vaksinasi BCG dan kuman non-TB, tetap juga tidak mampu membedakan TB laten dari TB aktif.

Meski banyak biomarker potensial untuk mendiagnosa TB aktif dan TB laten, masih sedikit perhatian yang diberikan untuk menjelaskan peran protein matrisellular dalam diagnosis TB dan TB laten. Karenanya, dilakukan penelitian terkait protein matrisellular dimaksud.

Protein matrisellular (Osteopontin, Tenascin-C, dan Galectin-9)

Protein matrisellular merupakan bagian dari protein ECM (extracellular matrix) non-struktural yang memiliki fungsi regulatif. Pada jaringan tubuh orang dewasa normal, protein matrisellular dijumpai dalam kadar yang rendah, tetapi meningkat dengan cepat bila terjadi infeksi, peradangan, maupun selama proses penyembuhan luka dan pembentukan jaringan. Penelitian terhadap protein matrisellular diharapkan memberi kontribusi dalam diagnosis TB laten, yang akan bermanfaat dalam membantu mengembangkan alat diagnostik yang cepat dan dapat diandalkan dalam upaya intervensi dan eliminasi TB.

Osteopontin (OPN), merupakan gliko-protein yang dihasilkan oleh beragam jaringan dan sel, seperti sel-sel T aktif, sel dendritik, makrofag, dan Natural Killer sel. OPN diyakini memainkan peran dalam berbagai proses fisiologis dan patologis. OPN dijumpai dalam granuloma TB dan juga pada penyakit dengan granuloma lainnya, seperti silikosis, sarkoidosis, dan penyakit Crohn.

Tenascin-C (TN-C) merupakan gliko-protein matrisellular pro-inflamasi (24). TN-C dijumpai dalam berbagai jaringan tubuh, dan kadarnya meningkat bila terjadi kondisi patologis yang disebabkan oleh infeksi, peradangan, atau pembentukan tumor (25). Satu studi mengungkap keberadaan TN-C di granuloma TB, baik granuloma yang nekrotik dan non-nekrotik. Namun, studi ini tidak memberikan informasi yang cukup tentang kadar TN-C dalam plasma.

Galectin-9 (Gal-9) adalah protein yang berikatan dengan β-galactoside, yang ditemukan dalam berbagai jaringan tubuh.

Epidemiologi H. pylori dan Ko-infeksi dengan kuman M. tuberculosis

Seperti halnya TB, infeksi oleh bakteri H. pylori juga merupakan infeksi yang paling umum dijumpai di seluruh dunia, dengan lebih dari 50% populasi manusia terinfeksi H. pylori. Ko-infeksi dengan kuman M.tb diperkirakan terjadi pada 80% populasi daerah-daerah yang endemik TB. Infeksi H. pylori diduga memberikan proteksi terhadap TB laten untuk tidak menjadi TB aktif dengan cara menginduksi bystander efek yang dapat memodifikasi risiko TB aktif melalui respons tipe Th1.

PENELITIAN

Subyek penelitian

Tiga kelompok subjek (dewasa, usia ≥ 18-56 tahun) yang berbeda dilibatkan dalam studi : TB aktif, individu dengan TB laten, dan individu sehat (kontrol). Kelompok TB aktif terdiri dari 16 pasien TB paru, sedangkan kelompok TB laten terdiri dari 66 orang, dan kelompok kontrol terdiri dari 35 orang. Penelitian dilakukan dari Juni hingga September 2013. Pasien TB aktif adalah mereka yang didiagnosa memiliki gejala, rontgen dada positif (CXR), BTA mikroskopis positif, serta masih dalam 2 (dua) minggu pertama pengobatan. Infeksi kuman M.tb untuk TB laten ditentukan oleh hasil TST (≥ 10 mm) dan/atau IGRA yang positif dengan hasil rontgen yang normal (atau abnormal namun bukan TB). Adapun mereka yang mengalami defisiensi sistem immune, atau mengalami penyakit vaskular kolagen tidak

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 29: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

26

diikutsertakan dalam studi. Darah masing-masing peserta diambil untuk pemeriksaan IGRA dan biomarker lainnya. Plasma EDTA dipisahkan dengan cara sentrifugasi, dimasukkan pada tabung aliquot, dan disimpan pada suhu minus 80oC untuk aplikasi lebih lanjut. Etik untuk pelaksanaan studi telah disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Indonesia, dan Tohoku University, Sendai, Jepang. Persetujuan tertulis telah diperoleh dari semua partisipan, dan keseluruhan prosedur dilakukan sesuai dengan Deklarasi Helsinki.

Data klinis dan pemeriksaan biomarker

Rekam medis dan parameter hematologis diperoleh dari Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia. Kadar protein matrisellular, antibodi anti-H. pylori IgG, anti-TBGL IgG, serta kadar cytokine/chemokine diperoleh dari hasil pengukuran di laboratorium di Tohoku University.

Analisis statistik

Perbedaan kadar protein matrisellular dalam plasma dan biomarker lainnya antar kelompok (TB, LTBI, dan kontrol sehat) diuji dengan menggunakan uji nonparametrik Kruskal Wallis dan data disajikan dalam bentuk median dan range. Uji Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan data antara dua kelompok, dan uji korelasi Spearman untuk menentukan korelasi. Nilai signifikansi adalah sebesar p <0,05. Analisis statistik dilakukan menggunakan software Prism 6 (GraphPad Software, Inc, CA, USA).

Hasil & Pembahasan

Kadar OPN ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada TB aktif, diikuti berturut-turut oleh TB laten dan kontrol sehat. Hal ini sejalan dengan studi sebelumnya yang melaporkan konsentrasi tinggi plasma OPN pada infeksi M.tb, dan konsentrasinya meningkat seiring dengan meningkatnya keparahan penyakit. Korelasi yang signifikan antara kadar OPN dengan sel darah putih dan korelasi negatif dengan limfosit pada kelompok TB aktif, tetapi tidak pada TB laten, dapat menggambarkan hubungannya dengan aktivitas penyakit. Studi oleh Ridruechai et al. menunjukkan bahwa kadar plasma OPN berkurang

secara signifikan setelah diberikannya obat anti-TB. Kadar OPN dalam jumlah besar pada saat infeksi dikaitkan dengan outcome klinis yang lebih baik, dan berkontribusi pada resistensi terhadap infeksi bakteri. Studi yang lain menunjukkan bahwa OPN berkorelasi dengan respon immun pada saat inflamasi yang ditimbulkan oleh pemberian vaksin BCG dan inokulasi M. avium-intracellulare. Selain itu, studi pada tikus yang terinfeksi BCG dilaporkan mengalami infeksi yang berat pada saat tidak ada OPN dalam tubuh.

Konsentrasi OPN ditemukan meningkat dengan adanya ko-infeksi penyakit lain. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa pasien NTM dengan ko-infeksi M.tb memiliki kadar OPN lebih tinggi daripada mereka yang bukan TB laten. Dengan demikian, kami berhipotesa apakah ko-infeksi dengan H. pylori dapat juga meningkatkan konsentrasi OPN. Studi oleh Chang et al. melaporkan bahwa pada infeksi H. pylori kadar gastric OPN meningkat, namun, kami tidak menemukan peningkatan kadar OPN disebabkan oleh infeksi H. pylori pada masing-masing kelompok. Infeksi H. pylori sepertinya tidak memiliki pengaruh pada sifat diskriminatif OPN antar kelompok. Tingginya kadar OPN lambung pada studi Chang et al. mungkin mencerminkan respon imun lokal.

Kami juga menemukan bahwa plasma OPN TB aktif berkorelasi signifikan dengan IL-6 dan IP-10. Pada kelompok TB aktif, kadar IL-6 ditemukan meningkat dan berkorelasi dengan OPN, tetapi gambaran dimaksud tidak ditemukan pada TB laten, sehingga mencerminkan kondisi berbeda antara kedua kelompok. Korelasi OPN dengan IL-6 ditemukan di berbagai kondisi inflamasi, seperti pada kejadian SIRS (Systemic Inflammation Respons Syndrome) dan sepsis, serta osteoartritis lutut. Sifat OPN yang anti-TB sepertinya ditimbulkan oleh peningkatan kadar IL-6, karena IL-6 ditemukan berperan penting terhadap resistensi TB. Selain itu, pasien TB aktif memiliki konsentrasi IP-10 yang lebih tinggi dari TB laten dan kontrol sehat, namun tidak berkorelasi dengan OPN. Meski peningkatan kadar IP-10 dapat mencerminkan keparahan infeksi TB, dan dapat mengonfirmasi potensi diagnostik, kami lebih memil ih OPN sebagai biomarker karena

Kadar Protein Matriselular dalam Plasma Penderita Tuberkulosis dan TB Laten

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 30: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

27

konsentrasi OPN tidak hanya berbeda antara TB aktif dan TB laten, tetapi juga antara TB laten dan kontrol sehat.

Kami juga menemukan kadar plasma TN-C pada TB aktif lebih tinggi dibandingkan dengan TB laten dan kontrol sehat, namun, namun tidak ditemukan perbedaan statistik antara kadar plasma TN-C TB laten dan kontrol sehat. Hal ini dapat menunjukkan bahwa kadar plasma TN-C menggambarkan keadaan inflamasi akut. Selain itu, TB aktif dengan ko-infeksi H. pylori memiliki kadar plasma TN-C lebih tinggi daripada TB aktif yang tidak terinfeksi H. pylori. Kami menduga peningkatan kadar TN-C berhubungan dengan kejadian ko-infeksi, namun kami tidak dapat memastikan apakah H. pylori meningkatkan kadar TN-C, karena hanya ada satu kontrol sehat yang terinfeksi H. pylori. Seperti halnya OPN, studi ini juga menemukan hubungan yang signifikan antara TN-C dengan jumlah sel darah putih dan limfosit pada TB aktif, tetapi tidak pada TB laten, yang berhubungan dengan aktivitas TB. Ditemukan juga korelasi antara TN-C dan IL-6 pada TB aktif. Studi mengenai penyakit rematik sendi pada manusia menunjukkan bahwa TN-C memengaruhi produksi IL-6 dalam makrofag dan sintesa IL-6 dalam synovial fibroblast melalui aktivasi TLR-4.

Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam kadar plasma Gal-9 antar kelompok, meski ditemukan bahwa kadar Gal-9 pada kelompok TB aktif lebih tinggi dari mereka yang berada di kelompok TB laten dan kontrol sehat. Alasan yang mungkin mendasarinya adalah bahwa jumlah subjek pada kelompok TB aktif sangat sedikit. Alasan lainnya adalah bahwa Gal-9 ditemukan berhubungan dengan variabel umur pada kelompok TB aktif. Median usia TB aktif lebih rendah dari TB laten dan kontrol sehat, menunjukkan bahwa kelompok TB aktif terdiri dari individu-individu yang (lebih) muda. Kami berasumsi bahwa konsentrasi Gal-9 dalam kelompok TB aktif akan lebih tinggi seandainya kelompok tersebut diisi oleh subjek yang lebih tua. Selain itu, Gal-9 diduga terkonsentrasi di tempat terjadinya infeksi (granuloma), dan hanya sedikit sekali ditemukan dalam sirkulasi.

Studi ini menunjukkan bahwa kadar plasma Gal-9 dalam kelompok TB berkorelasi secara signifikan

dengan OPN dan TN-C. Korelasi antara masing-masing protein matricellular dalam kelompok TB diduga berhubungan dengan status patologis infeksi TB, karena tidak ditemukan pola yang sama pada TB laten dan kontrol sehat. Meski OPN dan TN-C menjadi biomarker yang umum digunakan dalam prognosis dan klinis penyakit neoplasma, kami menduga bahwa keduanya dapat juga digunakan sebagai biomarker potensial untuk mendeteksi aktivasi TB laten menjadi TB aktif.

Studi ini juga menunjukkan terjadinya ko-infeksi antara H. pylori dengan M.tb. Meski H. pylori sangat menular dan lazim di seluruh dunia, hanya sebagian kecil dari subjek studi yang terinfeksi. Hal ini dapat menggambarkan rendahnya prevalensi infeksi H. pylori, atau jumlah subjek penelitian yang terlalu kecil. Hasil yang berbeda dari studi lain kami peroleh, bahwa ko-infeksi dengan H. pylori tidak meningkatkan respon produksi IFN-γ dan sitokin tipe Th1 pada subjek TB laten dibandingkan dengan TB laten lain tanpa infeksi H. pylori. Studi ini juga menemukan bahwa kadar antibodi anti-IgG TBGL dan jumlah monosit secara signifikan lebih tinggi pada TB laten yang H. pylori-positif dibandingkan yang H. pylori-negatif. Studi ini menggambarkan bahwa infeksi H. pylori dikaitkan dengan tingginya kadar plasma TN-C, tetapi tidak OPN dan Gal-9. Studi dilakukan dengan jumlah sampel yang kecil, karenanya, sampel yang lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasi hasil dimaksud.

TB merupakan ancaman bagi kesehatan manusia. TB mengancam kehidupan dan mata pencaharian jutaan orang di seluruh dunia dan menjadi salah satu epidemi kesehatan global. Penyakit ini telah dan tetap menjadi penyakit orang miskin dan mereka yang rentan secara sosial. Migrasi dari dan ke Negara lain dapat terus menjadi sumber penyebaran penyakit. Kondisi tidak aman (insecurities) yang disebabkan oleh bencana alam maupun buatan manusia dapat meningkatkan paparan terhadap TB. Studi tentang beban TB pada populasi yang terkena dampak krisis menggambarkan bahwa krisis dapat meningkatkan risiko terhadap TB sebesar 20 kali lipat, dan diperoleh hubungan antara konflik bersenjata (baik intensitas tinggi dan maupun rendah) dengan penurunan pelaporan kasus. Gempa yang terjadi

Kadar Protein Matriselular dalam Plasma Penderita Tuberkulosis dan TB Laten

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 31: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

28

di Jepang pada tahun 2011 menunjukkan bahwa pengungsi yang tinggal di tempat penampungan rentan untuk terpapar TB. Oleh karena itu, pengawasan yang lebih baik terhadap penyakit TB dan TB laten sangat dibutuhkan. Individu dengan TB laten dapat berfungsi sebagai reservoir untuk kasus baru TB aktif. Untuk mengurangi risiko dimaksud (TB laten menjadi TB aktif), pemberian profilaksis dapat menjadi salah satu alternatif. Pengobatan TB laten adalah komponen kunci dalam strategi pengendalian TB global, meski banyak tantangan yang mungkin akan dijumpai dalam penerapannya.

Referensi:

(WHO) WHO. Global tuberculosis report 2013. World Health Organization, Geneva2013. Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/.

Dye C, Scheele S, Dolin P, Pathania V, Raviglione MC. Consensus statement. Global burden of tuberculosis: estimated incidence, prevalence, and mortality by country. WHO Global Surveillance and Monitoring Project. JAMA : the journal of the American Medical Association. 1999;282(7):677-86.

Dheda K, Schwander SK, Zhu B, van Zyl-Smit RN, Zhang Y. The immunology of tuberculosis: from bench to bedside. Respirology. 2010;15(3):433-50.

Flynn JL, Chan J, Lin PL. Macrophages and control of granulomatous inflammation in tuberculosis. Mucosal immunology. 2011;4(3):271-8.

Schwander S, Dheda K. Human lung immunity against Mycobacterium tuberculosis: insights into pathogenesis and protection. American journal of respiratory and critical care medicine. 2011;183(6):696-707.

Tufariello JM, Chan J, Flynn JL. Latent tuberculosis: mechanisms of host and bacillus that contribute to persistent infection. The Lancet infectious diseases. 2003;3(9):578-90.

Lawn SD, Mwaba P, Bates M, Piatek A, Alexander H, Marais BJ, et al. Advances in tuberculosis diagnostics: the Xpert MTB/RIF assay and future prospects for a point-of-care test. The Lancet infectious diseases. 2013;13(4):349-61.

Diel R, Goletti D, Ferrara G, Bothamley G, Cirillo D, Kampmann B, et al. Interferon-gamma release assays for the diagnosis of latent Mycobacterium tuberculosis infection: a systematic review and meta-analysis. The European respiratory journal. 2011;37(1):88-99.

Diel R, Loddenkemper R, Nienhaus A. Predictive value of interferon-gamma release assays and tuberculin skin testing for progression from latent TB infection to disease state: a meta-analysis. Chest. 2012;142(1):63-75.

Sangaletti S, Colombo MP. Matricellular proteins at the crossroad of inflammation and cancer. Cancer letters. 2008;267(2):245-53.

Sodek J, Ganss B, McKee MD. Osteopontin. Critical reviews in oral biology and medicine : an official publication of the American Association of Oral Biologists. 2000;11(3):279-303.

Uede T, Katagiri Y, Iizuka J, Murakami M. Osteopontin, a coordinator of host defense system: a cytokine or an extracellular adhesive protein? Microbiology and immunology. 1997;41(9):641-8.

van der Windt GJ, Wieland CW, Wiersinga WJ, Florquin S, van der Poll T. Osteopontin is not crucial to protective immunity during murine tuberculosis. Immunology. 2009;128(1 Suppl):e766-76.

Standal T, Borset M, Sundan A. Role of osteopontin in adhesion, migration, cell survival and bone remodeling. Experimental oncology. 2004;26(3):179-84.

Lund SA, Giachelli CM, Scatena M. The role of osteopontin in inflammatory processes. Journal of cell communication and signaling. 2009;3(3-4):311-22.

Kadar Protein Matriselular dalam Plasma Penderita Tuberkulosis dan TB Laten

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 32: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

29

Pada 11 Maret 2011, terjadi bencana besar di bagian utara Jepang yaitu gempa bumi berkekuatan skala 8,9, diikuti tsunami setinggi 4 meter yang menghanyutkan mobil dan merobek bangunan di sepanjang pantai yang dekat dengan pusat gempa.

Aliran tsunami mampu menghancurkan dinding-dinding laut (tide embankment) yang dirancang sebagai penahan air laut apabila tsunami menerjang. Walaupun dinding-dinding ini sudah di desain dengan cukup tinggi, tetapi tsunami tetap mampu menghancurkan dinding tersebut.

Setelah kejadian tersebut pemerintah Jepang ingin mendesain dan membangun ulang dinding-dinding laut yang lebih aman daripada sebelumnya. Ketika tide embankment yang mengalami kerusakan dari gempa besar dan tsunami 2011 dipulihkan, struktur keras yang dapat menahan gigih diharapkan, bahkan ketika dirancang ketinggian Tsunami terlampaui. NILIM (National Institute for Land and Infrastructure Management, Japan) berencana membangun dinding laut pelindung dan pintu air setinggi 14,5 meter serta

membangun taman dengan pohon yang rimbun di tepi pantai untuk menghadang jika gelombang tsunami terjadi. Dari hasil penelitian, NILIM juga menunjukkan bahwa struktur dari dinding laut pasang dengan menggunakan tumpukan tanah masih memiliki kelemahan terutama pada kaki lereng belakang tumpukan tersebut (Kato et al 2012, 2013).

Untuk mencegah hal tersebut sering digunakan sistem “memaku tanah” sebagai metode alternatif dalam memperkuat bidang tanah sehingga tidak terjadi erosi pada struktur tanah tersebut.

Dalam penelitian ini, digunakan model kanal dan dinding laut dengan perbandingan 1:25 yang terbuat dari tanah yang sama persis dengan tanah yang akan digunakan pada dinding laut khusunya daerah Tohoku. Tanah yang digunakan adalah Watari sand dengan kepadatan 1,59 g/cm3 (kepadatan relatif adalah 63,3% dan tingkat pemadatan adalah 93,5%). Watari sand merupakan tanah yang berada di daerah Watari yang pernah dilanda tsunami pada 2011 silam. Kemudian digunakan pile (tiang) sepanjang 18cm

Penanggulangan pada Tanggul akibat Tsunami

Peter Kolbert Hutapea Department of Civil and Enviromental Engineering, School of Engineering, Tohoku University

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 33: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

30

sebagai pemaku tanah. Pile ini digunakan untuk memperkuat struktur tanah pada bagian belakang kanal dan menghindari erosi pada saat air mengalir melewati kanal (dinding laut).

Kedalaman aliran model Tsunami ditetapkan sebesar 8,6 cm dari bagian permukaan di sisi ujung tanggul. Kecepatan rata-rata aliran air digunakan selama percobaan adalah 1.62 m / s. Sebanyak 9 kasus percobaan dilakukan dengan perubahan

jenis tanggul dan penanaman pile. Diagram model setiap kasus percobaan ditunjukkan pada Gambar 3.

Hasil Percobaan

Situasi gesekan oleh air pada saat 100 detik setelah memulai aliran ditunjukkan pada Gambar. 4a, 4b dan 4c.

Penanggulangan pada Tanggul akibat Tsunami

Gambar 1. Miyako, Iwate prefecture sebelum dan saat tsunami 2011

Gambar 2. Ukuran model tanggul, tanah, dan kanal

Gambar 3. Diagram model setiap percobaan

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 34: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

31

Dalam percobaan 1-a dengan non-penanggulangan, terjadi gerusan (erosi) yang besar, dan gesekan di depan tanggul mencapai ke bagian bawah model kanal. Dalam kasus 1-b dengan perbaikan tanah, arah aliran air yang mengalir menuruni lereng tanggul kembali berubah menjadi horisontal akibat tanah yang telah diperbaiki sebelumnya. Kedalaman gerusan lebih kecil dibandingkan dengan kasus 1-a. Dalam kasus 1-c dengan tumpukan dan panel beton (4 baris), besar penggerusan hampir sama dengan kasus 1-b, tetapi tanah berada di bawah tanggul dan panel beton terkena oleh air secara terus menerus sehingga semakin lama semakin runtuh. Namun, aliran balik air tersebut tetap berada di daerah tersebut dan tidak kembali melewati tanggul dan panel beton.

Dalam percobaan 2-a, 2-b dan 2-c, di mana tanggul adalah fiksasi dan memiliki blok kaki (pile), arah aliran air yang mengalir menuruni lereng tanggul kembali berubah menjadi horizontal. Meskipun lebar blok kaki hanya 2 cm, pengaruh perubahan arah aliran air lebih besar. Kedalaman gerusan dalam kasus 2-a (dengan blok kaki) sangat menurun dibandingkan dalam kasus 1-a (tanpa

blok kaki). Dalam kasus 2-b dengan tiang dan panel beton (1 baris), kecenderungan aliran air horisontal meningkat, dan kedalaman gerusan menurun sementara luasan gerusan meningkat. Dalam kasus 2-c dengan tiang dan panel beton (3 baris), aliran air yang paling rendah menjadi hampir horizontal, kisaran gerusan adalah sama dengan kasus 1-c. Namun, gerusan di bawah panel beton tidak terjadi karena arah aliran air berubah horizontal dan proses kembalinya air menjadi sulit karena jarak antara panel beton. Hasil ini menunjukkan bahwa blok kaki (pile) berpengaruh besar untuk mengurangi kerusakan gerusan dengan mengubah arah aliran air.

Dari dua perbandingan tersebut, dapat disimpulkan : (1) Kedalaman erosi dan luasnya tanah tanah-sisi tanggul pasang menurun tajam karena menempatkan penanggulangan pada kaki tanah-sisi tanggul pasang. (2) Panel beton dengan memaku dan tanah pembangunan semen sebagai balasan yang memiliki kinerja anti-erosi yang sama. (3) Collapse tanggul pasang karena luapan Tsunami disebabkan oleh erosi dasar tanah-sisi dan perembesan air ke bagian dalam tanggul pasang dari sisi laut.

Penanggulangan pada Tanggul akibat Tsunami

Gambar 4a. (kiri atas) Situasi gerusan pada saat 100 detik setelah memulai aliran air (percobaan 1-a, 1-b, dan 1-c)

Gambar 4b. (kanan atas) Situasi gerusan pada saat 100 detik setelah memulai aliran air (percobaan 2-a, 2-b, dan 2-c)

Gambar 4c. (kiri bawah) Situasi gerusan pada saat 100 detik setelah memulai aliran air (percobaan 3-a, 3-b, dan 3-c)

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 35: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

32

Situasi penggesekan sesuai dengan penanggulangan (tanggul tanah)

Dalam percobaan 3-a, 3-b dan 3-c, di mana tanggul terbuat dari Watari sand dan ditutupi oleh panel beton, tanggul runtuh pada saat detik ke 80 dalam percobaan 3-a, ada detik ke 1160 dalam kasus 3-b, dan pada saat ke 1960 dalam kasus 3-c. Bahkan jika tanggul itu tetap dan terbuat dari Watari sand, situasi gerusan model tanah hampir sama atau bahkan kondisinya lebih baik. Situasi penggerusan menjadi serupa dalam percobaan 2-a dan 3-a, dan juga dalam percobaan 2-c dan 3-c

karena kesamaan bentuk penanggulangan. Runtuhnya tanggul dalam kasus 3-a dipicu oleh masuknya air dari celah antara panel-panel beton di bagian atas kemiringan sisi tanggul (lihat Gambar 5a).

Aliran air sedang mengerus pasir di batas antara tanggul dan panel beton yang meliputi wilayah gosok berkembang dari atas lereng dari sisi hulu dengan kemiringan sisi hilir. Ketika wilayah gesekan sampai ke kaki lereng belakang, panel beton menjadi terangkat, dan pasir yang di bawah panel tersedot keluar dengan cepat dari celah antara panel beton, dan tanggul pun runtuh.

Kemudian, untuk pemotongan dari aliran air digunakan lembar poliuretan di antara celah-celah antar panel beton. Akibatnya, aliran air yang masuk dari atas lereng sisi hulu berhenti, dan gerusan tanggul berkembang dari sisi hilir seperti dalam percobaan 3-b, 3-c. Gerusan tanggul dipicu oleh penghisapan pasir di bawah kaki lereng (lihat Gambar 9 dan 10). Gerusan di depan berkembang dari kaki lereng dengan kemiringan sisi hilir, dan setelah beberapa saat, masuknya air dari lereng sisi hulu dimulai. Ketika bagian depan gerusan dari

Penanggulangan pada Tanggul akibat Tsunami

Gambar 5a. (kiri atas) Proses gerusan dalam percobaan 3-a

Gambar 5b. (kanan atas) Proses gerusan dalam percobaan 3-b

Gambar 5c. (kiri bawah) Proses gerusan dalam percobaan 3-c

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 36: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

33

Penanggulangan pada Tanggul akibat Tsunami

sisi hulu dan sisi hilir terhubung, rute aliran air dari sisi hulu ke sisi hilir tercipta. Setelah itu kecepatan gerusan tanggul dipercepat dan tanggul runtuh dengan cepat.

Dari hasil percobaan, pengetahuan berikut diperoleh.

(1) Wilayah gerusan berbeda sesuai dengan arah aliran air setelah mengalir menuruni lereng kembali. Memasang penanggulangan di kaki lereng dan mengubah aliran air secara horizontal mampu membuat kedalaman gerusan menjadi lebih kecil. Sementara, pengerusan akan berkembang ke arah hilir.

(2) perbaikan tanah dan tumpukan dan panel beton sebagai aliran balik di kaki lereng menunjukkan efek hampir setara. Namun, dalam kasus memasang tumpukan dan panel beton, perlu memperhatikan bahwa aliran air yang tidak masuk dari celah antara panel-panel beton yang digunakan sebagai pencegahan gerusan di sekitar

tumpukan dan panel beton. Ketika blok kaki dipasang di kaki lereng, arah aliran air diubah horizontal oleh blok kaki, dan gerusan di sekitar tumpukan beton dan panel tidak terjadi.

(3) Dua jenis mekanisme keruntuhan tanggul diamati dalam percobaan ini. Salah satunya adalah masuknya air dari tanggul di sisi hulu. Yang lainnya adalah mengisap dari tanggul di sisi hilir. Jika pemotongan aliran air dari kesenjangan antara panel beton yang meliputi tidak cukup, air masuk akan dari tanggul di sisi hulu, dan tanggul runtuh dengan waktu yang singkat. Di sisi lain, jika pemotongan aliran air dari kesenjangan antara panel beton meliputi sudah cukup, tanggul disedot dari sisi hilir, dan tanggul akan mempertahankan kondisi yang baik dalam waktu yang lama.

Hal ini menjelaskan bahwa pencegahan masuknya air ke bagian dalam tanggul serta menginstal blok kaki (pile) sebagai penanggulangan anti-gerusan di kaki lereng sangat penting untuk mencegah runtuhnya tanggul oleh aliran tsunami.

***

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 37: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

34

Mari bergabung dengan BUSET PPIS! Ditunggu kiriman artikelnya ke alamat redaksi di:

[email protected]

-Divisi Informasi dan Media PPIS 2014-2015-

BULETIN RISET PPIS | EDISI 5 | 2014

Page 38: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

Foto: Fuad Ikhwanda, 面白山・山寺 2013 Foto Sampul: Fuad Ikhwanda, 愛子 2014 Foto Daftar Isi: Diptarama, 愛子 2014

Page 39: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014
Page 40: BUSET PPIS Edisi 5, Musim Gugur November 2014

http://sendai.ppijepang.org/ /ppisendaimiyagitohoku

@PPISendai