12
1 BUTIR-BUTIR POKOK HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA Antonio Pradjasto 1 1. Pengantar Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak-hak asasi yang telah dikenal secara luas akan tetapi pada saat yang sama dilanggar secara sistematis. Kita tengok saja hak atas tempat tinggal yang layak. Statistik resmi PBB, mengungkapkan bahwa lebih dari 1 milyar orang di seluruh dunia menghuni tempat tinggal yang tidak layak dan seratus juta di antaranya sama sekali tidak memiliki rumah. 2 Kalaupun kebenaran angka statistic diragukan, kecenderungan menunjukan bahwa gambaran itu tidak jauh dari realitas. Salah satu faktor untuk melihat kecenderungan itu adalah besaran penggusuran, yang hingga kini semakin meningkat di berbagai kota. Di Jakarta sendiri, sebuah ornop mencatat pada tahun 2000-2001 terjadi penggusuran lebih dari 25 kali dengan puluhan ribu manusia harus pindah menjadi pengungsi di dalam negeri sendiri. 3 Pemaparan di atas sekedar ingin menggambarkan deficit hak atas tempat tinggal yang layak. Keadaan yang serupa terjadi pada hak-hak asasi ekonomi, sosial dan budaya lainnya seperti hak-hak untuk mendapat upah yang layak, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan dan lain sebagainya. Ribuan orang telah meninggal karena penyakit epidemic seperti Demam Berdarah, Flu Burung atau HIV. Lebih dari itu, banyak diantara mereka yang meninggal karena buruknya pelayanan kesehatan dasar. Pada 7 Februari 2005 Kompas memberitakan dua kakak beradik, M Pradipta Audrio (9) dan I Dewangga Adrian (2), yang mengidap penyakit DBD meninggal hanya dalam selisih waktu 16 jam karena buruknya pelayanan kesehatan dasar. Sebab utamanya adalah dikotomi yang keliru antara hak-hak sipil/politik dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dikotomi yang membuat hak-hak ekososbud tidak dilihat sebagai hak asasi melainkan sekedar pernyataan aspiratif. Hanya hak-hak sipil dan politiklah yang merupakan hak asasi. Padahal hak ini sudah dijamin dalam Konstitusi Negara kita [misalnya 1 Paper ini pernah disampaikan pada dan dikembangkan dari Workshop Monitoring dan Advokasi HAM, CHRF-CIDA, April-Mei 2002, Makasar. 2 Global Strategy for Shelter to the year 2000. UN Doc. A/43/8/Add.1 3 Dalam Hukum Internasional dikenal adanya Internally Displaced Persons yang juga mencakup mereka yang harus mengungsi karena kebijakan pembangunan.

BUTIR-BUTIR POKOK HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA · Amandemen IV UUD 1945 pasal 34 (3) yang mengakui hak atas kesehatan]. Lebih lanjut, dalam tataran praktis (politis) persoalan ini

  • Upload
    ledieu

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BUTIR-BUTIR POKOK

HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

Antonio Pradjasto1

1. Pengantar

Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak-hak asasi yang telah dikenal secara

luas akan tetapi pada saat yang sama dilanggar secara sistematis. Kita tengok saja hak atas tempat

tinggal yang layak. Statistik resmi PBB, mengungkapkan bahwa lebih dari 1 milyar orang di

seluruh dunia menghuni tempat tinggal yang tidak layak dan seratus juta di antaranya sama sekali

tidak memiliki rumah.2

Kalaupun kebenaran angka statistic diragukan, kecenderungan

menunjukan bahwa gambaran itu tidak jauh dari realitas. Salah satu faktor untuk melihat

kecenderungan itu adalah besaran penggusuran, yang hingga kini semakin meningkat di berbagai

kota. Di Jakarta sendiri, sebuah ornop mencatat pada tahun 2000-2001 terjadi penggusuran lebih

dari 25 kali dengan puluhan ribu manusia harus pindah menjadi pengungsi di dalam negeri

sendiri.3

Pemaparan di atas sekedar ingin menggambarkan deficit hak atas tempat tinggal yang

layak. Keadaan yang serupa terjadi pada hak-hak asasi ekonomi, sosial dan budaya lainnya

seperti hak-hak untuk mendapat upah yang layak, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak

atas pangan dan lain sebagainya. Ribuan orang telah meninggal karena penyakit epidemic seperti

Demam Berdarah, Flu Burung atau HIV. Lebih dari itu, banyak diantara mereka yang meninggal

karena buruknya pelayanan kesehatan dasar. Pada 7 Februari 2005 Kompas memberitakan dua

kakak beradik, M Pradipta Audrio (9) dan I Dewangga Adrian (2), yang mengidap penyakit DBD

meninggal hanya dalam selisih waktu 16 jam karena buruknya pelayanan kesehatan dasar.

Sebab utamanya adalah dikotomi yang keliru antara hak-hak sipil/politik dengan hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya; dikotomi yang membuat hak-hak ekososbud tidak dilihat sebagai

hak asasi melainkan sekedar pernyataan aspiratif. Hanya hak-hak sipil dan politiklah yang

merupakan hak asasi. Padahal hak ini sudah dijamin dalam Konstitusi Negara kita [misalnya

1 Paper ini pernah disampaikan pada dan dikembangkan dari Workshop Monitoring dan Advokasi HAM,

CHRF-CIDA, April-Mei 2002, Makasar. 2

Global Strategy for Shelter to the year 2000. UN Doc. A/43/8/Add.1 3

Dalam Hukum Internasional dikenal adanya Internally Displaced Persons yang juga mencakup mereka

yang harus mengungsi karena kebijakan pembangunan.

2

Amandemen IV UUD 1945 pasal 34 (3) yang mengakui hak atas kesehatan]. Lebih lanjut, dalam

tataran praktis (politis) persoalan ini terjebak dalam klaim ‘nasi atau kebebasan’ dan klaim

mengedepankan hak ekososbud terlebih dahulu daripada hak-hak sipol untuk membenarkan

tindakan represif.

Paparan ini mencoba melihat persoalan realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya

dengan pertama-pertama hendak menunjukan bahwa hak-hak yang diklaim adalah hak-hak asasi

manusia. Kemudian, mencoba melihat artinya bagi gerakan hak asasi manusia. Terakhir, melihat

sejauh mana hak-hak itu tertampung dalam standar hukum internasional

2. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak asasi manusia

Jaminan utama hak-hak asasi ekonomi, sosial dan budaya adalah DUHAM dan Kovenan

Internasional Hak-hak Ekososbud, yang telah ditandatangani oleh 142 negara.4

Konvensi ini telah

berlaku dan mengikat Indonesia sejak ratifikasi dan diundangkan dalam UU No…. Bersama

Kovenan mengenai hak-hak sipol, kovenan yang terdiri atas pasal menjadi acuan utama

instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya, seperti misalnya Konvensi mengenai Hak Anak

maupun Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Konvensi

mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Salah satu

persoalannya seperti dikemukakan di atas adalah cara pandang keliru mengenai hak ekososbud,

yaitu lebih dilihat sebagai aspirasi daripada hak yang bisa dituntut.

Cara pandang inilah yang pertama harus dirubah dahulu. Pertama, secara legal formal cara

pandang itu tidak relevan lagi, terutama di Indonesia, karena bukan saja Indonesia tunduk pada

DUHAM (melalui pasal 55-56 Statuta PBB), juga pada Kovenan Hak Ekonomi, Sosial Budaya

dan telah menjamin hak-hak ini dalam Konstitusi (pasal-pasal)

Kedua, seperti hak-hak asasi lain, hak-hak ekososbud merupakan buah dari gerakan sosial.

Yang secara konsisten dilindungi oleh hak asasi manusia dari waktu ke waktu adalah martabat

setiap umat manusia – terutama dari kesemena-menaan. Oleh karena itu hak-hak ekososbud yang

dijamin dalam DUHAM, Kovenan maupun konvensi hak asasi lainnya merupakan “standard

4

Millenium Summit Treaty Framework

3

bersama bagi semua orang dan semua bangsa…” [paragraph 8]5

Dan, setiap terjadi deprivasi

standar hak asasi menjadi dasar perlawanan bagi mereka yang mengalaminya.

Ketiga, pendekatan dikotomis ini juga sesat karena ada sejumlah hak yang tidak begitu saja

dapat ‘dikamarkan’ dalam hak ekososbud ataupun sipol. Lihat saja hak atas pendidikan. Di dalam

sistem HAM Eropa yang dikenal merupakan instrumen HAM regional untuk sipol, hak atas

pendidikan dianggap sebagai bagian darinya dan bukan bagian daripada hak ekososbud (yang di

Eropa banyak diatur dalam European Social Charter). Pendekatan ini terbalik dengan system

global dimana hak atas pendidikan merupakan bagian dari Konvensi Hak Ekonomi Sosial

Budaya. Demikian pula kiranya kebebasan berorganisasi para buruh6

yang sangat dijamin dalam

hak ekososbud.

Keraguan yang lain didasarkan pada anggapan bahwa hak-hak sipol merupakan ‘negative

rights’ sedangkan hak ekososbud sebagai ‘positive rights’. Pembedaan demikian bukan

menunjukan baik/buruknya hak melainkan pada derajat keterlibatan negara di dalamnya. Hak-hak

negatif menunjuk pada kewajiban negara untuk mencegah dari keterlibatan (refrain from

interference) atau hak-hak asasi yang bebas dari campur tangan pemerintah. Sifat demikian

dirumuskan dalam bentuk ‘freedom from’. Sedangkan hak-hak ekososbud dianggap positif karena

menuntut keterlibatan negara yang tinggi. Hak-hak ini dirumuskan dalam bentuk ‘freedom for’.

Oleh karenanya hak sipol dianggap bisa langsung dipenuhi (immediate) dan murah. Sebaliknya

hak ekososbud hanya bisa dipenuhi secara bertahap (progressive realization) dan mensyaratkan

tindakan afirmatif dari negara dan hanya bisa dilakukan oleh negara yang kaya.

Pembedaan secara ‘positif’ dan ‘negatif’ demikian tidak seluruhnya benar. Hak-hak sipol pun

membutuhkan keterlibatan negara. Sebagai contoh, hak atas rasa aman mensyaratkan keterlibatan

dan tindakan afirmatif dari negara seperti sistem hukum pidana dan aparat hukum termasuk

fasilitas-fasilitasnya (kantor kepolisian, kejaksaan, ruang pengadilan-penjara). Sebaliknya

pemenuhan hak-hak ekososbud (hak-hak subsisten) justru dapat menuntut negara untuk tidak

melakukan sesuatu, sebagai contoh tidak melakukan penggusuran paksa atau menahan diri dari

penggusuran juga demi kepentingan modal. Persoalannya, oleh karena itu bukan pada kewajiban

positif atau negatif dari negara, melainkan pada bagaimana tata cara penyelenggaraan kekuasaan

governance dilakukan. Dalam praktik, Komite HAM, yang bertanggung jawab menilai laporan

5

DUHAM memuat baik hak-hak sipol maupun ekososbud. Lihat pula Deklarasi Wina para. 8, 1993 6

Hak berorganisasi dijamin dalam ICCPR (kovenan untuk hak-hak sipol)

4

negara-negara pihak Kovenena Hak-hak SIPOL membuat general comment7

mengenai hak itu

sebagai berikut:

“the right to life has been too often narrowly interpreted…. The protection of this right requires that states adopt positive measures. In this context, … states [shall] take all possible measures to reduce infant mortality and to increase life expectancy, especially in

adopting measures to eliminate malnutrition and epidemics.8

Ide bahwa hak-hak ekonomi hanya bisa dicapai secara bertahap berangkat dari gagasan bahwa

pemenuhan hak itu sangat tergantung pada ketersediaan sumber-sumber daya. Anggapan ini

seringkali digunakan dengan merujuk pada pasal 2 Kovenen hak ekososbud yang pada intinya

mengatakan:

“setiap negara pihak… berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan kerjasama internasional, …., untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini, … termasuk dengan

pengambilan langkah-langkah legislatif”.9

Dengan rumusan demikian hak-hak ekonomi sosial dianggap tidak memiliki efek kesegeraan

(immediate effect). Pandangan ini tidak seluruhnya tepat pertama karena secara konseptual harus

dibedakan antara cara pemenuhan hak dengan keharusan hak itu dilindungi. Cara pemenuhan

tidak merubah sifat hukum dan kemanusiaan dari hak ekososbud. Karenanya, tidak merubah

status sebagai hak asasi manusia. Lebih dari itu, hak-hak ini tidak tergantung pada ketersediaan

sumber-sumber daya melainkan pada akses yang sama terhadap sumber-sumber tersebut.10

Pemerintah-pemerintah negara-negara kaya dianggap melanggar kewajibannya jika mencegah

akses yang sama terhadap sumber-sumber daya.11

Sebaliknya pemerintah-pemerintah dari negara-

negara miskin yang memiliki sumber daya yang terbatas sekalipun juga dapat memenuhinya

misalnya melalui perangkat perundang-undangan.

7

General Comment adalah interpertasi legal yang dilakukan oleh Komite HAM atau Komite Hak-hak

Ekososbud terhadap pasal-pasal yang terdapat pada Kovenan Hak Sipol (oleh Komite HAM) dan Kovenan

Hak Ekososbud (oleh Komite Hak Ekososbud). 8

General Comment 6 para. 16 HRC (1982), UN Doc. A/37/4-, hal. 93 9

Lihat pasal 2 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UNGA Res. 2200 A

(XXI), 16 Des. 1966 10

Pandangan demikian antara lain diungkapkan oleh “Justiciability of Economic, Social and Cultural

Rights” 55 International Commission of Jurists Review hl.207 (Dec. 1995) 11

Tomsevski, Katarina., ‘Justiciability of Economic, Social and Cultural Rights’ 55 International

Commission of Jurists Review (December, 1995), 207, including its footnote no.12 and Gledhill John.,

‘Liberalism, Socio-Economic Rights and the Politics of Identity: From Moral Economy to Indigenous Rights’, in Wilson R. A., (ed.), ibid.

5

Disamping itu, sesunguhnya banyak hak-hak yang dimasukan dalam hak ekososbud yang dapat

memiliki efek kesegeraan dan tidak melulu dipenuhi secara progresif. Sebagai contoh adalah

larangan melakukan diskriminasi (pasal 3), hak atas kondisi kerja yang adil (pasal 7 [a]), hak

mendirikan serikat buruh (pasal 8), hak anak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi dan sosial (10

[3]), bahkan juga hak atas tempat tinggal yang layak (pasal 11) yang saat ini termasuk bebas dari

penggusuran paksa.

Demikian pula jika pemenuhan secara progresif berarti meletakan kewajiban negara didasarkan

pada obligation by result (hasil) sedangkan pemenuhan langsung mensyaratkan kewajiban negara

didasarkan pada pelaksaan obligation by conduct (pelaksanaan). Sudah diinterpertasikan pula

secara legal bahwa Hak ekososbud mengandung kewajiban didasarkan pada pelaksaan maupun

didasarkan pada hasil. Hal ini ditegaskan pula dalam Limburg Prinnciples12

yang merupakan

kumpulan prinsip yang disusun para ahli hukum internasional sebagai pedoman implementasi

ICESCR. Disamping itu general comment 3 dari Komite Hak Ekososbud13

juga menjelaskan

bahwa pemenuhan secara progresif bukan berati tidak dapat dipenuhi secara langsung, seperti

larangan melakukan diskriminasi. Dari kedua sumber ini jelas menunjukan bahwa sekalipun

terdapat keterbatasan sumber-sumber daya, negara tetap harus melakukan langkah-langkah yang

dapat memberi efek langsung pada pemenuhan hak.14

Keenam, turunan dari keraguan-keraguan di atas yang lain adalah bahwa hak ekonomi

tidak memiliki kemungkinan diajukan ke pengadilan jika hak ini dilanggar (non justiciability).

Pemahaman ini juga keliru. Sebab banyak hak itu secara konseptual maupun praktis

pemenuhannya dapat dituntut melalui pengadilan. Sebagai contoh adalah hak berorganisasi dan

hak atas tempat tinggal yang layak15

termasuk gugatan class action atas situasi yang menunjukan

peningkatan secara signifikan jumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal.

Sebagai sebuah hak (asasi), yang dimiliki semua manusia karena ia adalah manusia, hak

bukan sebuah pemberian dari siapapun apalagi belas kasih. Oleh karena itu menciptakan

12 Prinsip-prinsip Limburg yang dikembangkan oleh masyarakat warga ini juga telah diadop secara resmi

oleh PBB (UN Doc.E/CN.4/1987/17. Annex) 13

General Comment 3, 1990 (E/1991/23) . 14

General Comment para. 1 dan Prnsip-prinsip Limburg para.16 15

Lihat Laporan Akhir Pelapor Khusus Rajindrar Sachar, July 1995 (E/CN.4.Sub.2/1995/12). Komisi

HAM Eropa dalam kasus Turki vs. Siprus (6780/74 dan 6950/75), 1981 beranggapan bahwa penghancuran rumah dari masyarakat Yunani Siprus sebagai pelanggaran hak asasi manusia dengan mengkaitkan pada pasal 3 Kovenan HAM Eropa mengenai kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.

6

pertanggungjawaban (akuntabilitas) pada pihak lain (pemerintah) untuk menghormatinya dan

melaksanakannya.

Meskipun banyak kasus membuktikan bahwa pelanggaran atas hak-hak ekososbud dapat

dituntut di hadapan pengadilan penerapan hak-hak asasi manusia tidak selalu harus didasarkan

pada kemungkinan untuk dituntut melalui pengadilan. Kasus pengembangan pemukiman di kali

code (dengan lobby dan pengakuan sosial dan politik) memungkinkan penuntutan pemenuhan

hak-hak ekososbud tidak melalui pengadilan. Penuntutan pemenuhan dapat pula dilakukan

dengan misalnya mewajibkan negara menganggarkan sejumlah uang untuk perlindungan dan

pemenuhan hak tersebut atau mewajibkan investor (atau institusi keuangan seperi Bank Dunia)

untuk menghormati hak-hak ini ketika mereka sedang melakukan investasi atau sedang

beroperasi. Artinya hak-hak asasi ekososbud bagaimanapun dapat dipaksakan untuk berlaku

(enforceable), sekalipun tidak dengan cara penuntutan ke pengadilan.

Terakhir, ketujuh namun paling mendasar adalah bahwa hak ini merupakan hak asasi

karena pemenuhan hak-hak itu sangat penting bagi martabat manusia. Tidak terpenuhinya hak-

hak asasi ini mengakibatkan korban semakin jauh dari sumber-sumber daya ekonomi, sosial dan

politik yang merupakan syarat bagi pemenuhan kemanusiaan mereka. Sebagai contoh, para

penghuni pemukiman miskin di perkotaan, mereka justru sering mendapat label kriminal atau

jorok atas pendirian pemukiman mereka secara mandiri. Di sana harapan akan pengakuan dari

pemerintah, masyarakat apalagi hukum lebih merupakan fantasi daripada kenyataan. Pada

gilirannya semakin sulit pulalah upaya warga untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar

mereka. Artinya justru dengan memberi perlindungan hak-hak ekososbud korban semakin

berdaya untuk menjadi warga masyarakat yang aktif – partisipatif.

Uraian panjang di atas tidak mengatakan bahwa tidak ada perbedaan di antar kedua ‘kelompok’

hak tersebut. Hanya perbedaan itu tidak serta merta membuat yang lain terhapus ‘statusnya’

sebagai hak asasi atau mengakibatkan disangkalnya hak ekososbud sebagai hak asai. Kalaupun

ada perbedaan, perbedaan itu terletak pada penekanan tanggung jawab Negara.

Tentu ada cara pandang lain dalam melihat hak asasi manusia daripada pendekatan dikotomis,

yaitu bahwa hak asasi manusia secara konseptual maupun praktis bersifat saling tergantung

(interdependent) dan tidak dapat dibagikan (indivisibility). Pendekatan yang telah lama digunakan

dan disepakati secara internasional.

7

Doktrin tak terpisahkan dan saling tergantung

Perdebatan mengenai hak ekososbud sebagai hak asasi manusia dalam praktek diletakan dalam

perdebatan antara ‘nasi atau kebebasan’. Perdebatan ini berlangsung antara negara maju dan

negara sedang berkembang.

Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak negara memperoleh kemerdekaan. Sejarah yang dilalui

oleh negara-negara Selatan memang berbeda dengan sejarah kelahiran hak-hak asasi manusia

negara-negara di belahan bumi utara. Sejumlah akademisi berpandangan bahwa hak asasi

manusia yang ada saat ini tidak dapat berlaku karena apa yang dianggap ‘alamiah’ di negara barat

belum tentu ‘alamiah’ di negara selatan.16

Pandangan ini ‘diambil alih’ oleh pemerintahan,

termasuk pemerintah Indonesia kala itu, untuk menekankan bahwa pembangunan ekonomi lah

yang harus didahulukan daripada penerapan hak asasi manusia. Pembatasan-pembatasan hak

asasi manusia, khususnya hak-hak sipil dan politik dianggap merupakan sebuah kebutuhan untuk

tercapainya pembangunan (baca:pertumbuhan). Pembatasan hak asasi merupakan trade off dari

pembangunan.

Meskipun luasnya kemiskinan dan multi etnisnya masyarakat di Indonesia mengandung

kebenaran, namun penyangkalan hak asasi manusia berdasarkan kebutuhan prioritas

(pembangunan) tidak terbukti. Demikian pula dengan alasan mendahulukan hak ekonomi, sosial

dan budaya daripada hak sipol.

Pengejaran pertumbuhan ekonomi justru menghasilkan kesenjangan ekonomi yang lebih dalam.

Berbagai studi menunjukan bahwa dengan penundaan penerapan hak asasi dalam hal ini terutama

hak sipol justru bukan hanya hak asasi yang tidak tercapai tapi juga pembangunan itu sendiri,

sebagaimana kemudian terbukti dengan krisis ekonomi tahun 1997. Di banyak negara, termasuk

Indonesia, slogan ini justru digunakan untuk mengabsahkan kebijakan-kebijakan represif negara

terhadap warganya. Kebebasan disembunyikan dalam nama ‘pertumbuhan’. Secara konseptual

maupun praktis penghormatan/perlindungan hak sipol membantu proses distribusi sumber-

sumber daya (kesejahteraan) dan sebaliknya penghormatan/perlindungan hak-hak ekososbud

memperkuat pelaksaan hak sipol. Penghormatan hak-hak sipol dapat memperkuat masyarakat

dalam mengontrol dan menentukan negara untuk memenuhi tugas-tugasnya dalam

16

Pollis dan Scwab, “ Human Rights: A Western Construct with Limited Applicability” dalam Pollis, A. dan

Scwab (eds.) “Human Rights, Cultural and Ideological Perspectices” (Proeger 1980).

8

mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, pemenuhan hak ekososbud dapat meningkatkan partisipasi

masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.

Kesalingan ini tampak pula dalam realitas. Contoh klasik adalah seorang tahanan politik tidak

saja kehilangan hak untuk bebas dari pemenjaraan yang semena-mena tapi juga kehilangan hak

atas kerja maupun hak untuk menikmati hidup keluarga. Hak-hak buruh pabrik untuk memiliki

upah yang layak akan sangat sulit terpenuhi tanpa pengakuan atas hak-hak politik mereka untuk

membentuk organisasi buruh, melakukan pemogokan, termasuk hak untuk menyatakan pendapat

dan untuk iktu menentukan kebijakan-kebijakan publik.. Di pihak lain, realisasi hak berorganisasi

akan sangat sulit dilakukan ketika buruh tidak memiliki penghasilan yang cukup. Mereka bahkan

harus lembur untuk mengisi kekurangan penghasilan, harus bermukim di tempat-tempat yang

tidak sehat dengan fasilitas yang sangat terbatas. Akibatnya waktu yang disisihkan untuk

berorganisasi juga menjadi terbatas. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, kebebasan

berorganisasi, hak atas informasi, dan kebebasan dari penyiksaan dan kehidupan yang tidak

manusiawi merupakan hak-hak yang berkaitan erat dengan pemenuhan hak atas tempat tinggal

layak.

Kesaling-terkaitan dan ketergantungan antara hak sipol dan ekososbud juga diperkuat dengan

berbagai studi. Amartya Sen, seorang pemenang hadiah nobel, menunjukan bahwa dinikmatinya

hak-hak ekonomi meningkatkan kebebasan individu-individu dengan meningkatnya kemampuan

hidup mereka. Dari pendapat beliau dapat dikatakan bahwa bukan untuk memilih ‘nasi’ atau

‘kebebasan’ atau mendahulukan salah satu hak, tapi bahwa pemenuhan hak asasi manusia,

khususnya di negara-negara miskin, memerlukan penerapan kedua hak tersebut.

Kalau realita saat ini terdapat dua kovenan yang membedakan hak sipol dan ekososbud,

kenyataan itu sebenarnya merupakan ‘keterpaksaan sejarah’. Sebab, pada mulanya dirancang satu

perjanjian internasional yang mengikat (bukan semata deklaratif) yang mengelaborasi hak-hak

yang tertuang dalam DUHAM. Namun, karena saat itu penuh dengan tarik-tarikan politik akibat

perang dingin maka lahirlah dua kovenan hak asasi manusia ICCPR (kovenan hak sipol) dan

ICESCR (kovenan hak ekososbud).17

17

Lihat Craven, Matthew “The International Convention on Economic, Social and Cultural Rights” di Raija H dan Markku S. (ed.) “An Introduction to the International of Human Rights: A Textbook” hl 21 (1997) dan Eide, Asbjorn “Strategies for the Realisation of the Right to Food” dalam Mahorney K,

Mahoney P., (ed.) “Human Rights in the 21st

Century: A Global Challenge” 460 (1993)

9

Kemungkinan yang lain dari kaburnya pemisahan demikian adalah anggapan yang keliru bahwa

persoalan ekonomi bukan persoalan yang melibatkan penyelenggaraan kekuasaan -- yang seperti

kekuasaan lainnya sanggup menindas martabat manusia.18

Dalam hal ini adalah kekuasaan modal;

yang seringkali justru lebih besar dan berbahaya dari kekuasaan negara.19

Dalam persepsi tersebut

kekuasaan modal ‘dikamarkan’ dalam ranah privat dan tidak bukan ’ranah publik’.

Doktrin fundamental indvisibility dan interdependent ini juga telah mendapat pengakuan

internasional sebagaimana ditegaskan dalam berbagai konvensi. Bukan saja ia tercermin dalam

DUHAM, tapi juga dalam Deklarasi Wina, Proklamasi Teheran (pasal 3), Deklarasi Hak atas

Pembangunan. Sejumlah instrumen hak asasi manusia, seperti Konvensi mengenai hak-hak Anak

(CRC), Konvensi mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

(CEDAW), mengenai penghapusan segala bentuk diskriminas (CERD) mengintegrasikan kedua

‘jenis’ hak asasi tersebut dalam satu konvensi. Seperti disinggung di atas hak membentuk serikat

buruh (pasal 8 ICESCR) memiliki bahasa yang sama dalam ICCPR (pasal 22). Pengakuan yang

begitu luas atas doktrin kesaling-tergantungan dari hak-hak asasi manusia berarti bahwa hak-hak

yang satu (sipol/ekososbud) tidak dapat didahulukan oleh hak (ekososbud/sipol) yang lain.

Bisa disimpulkan bahwa hak asasi manusia meski bersifat dinamis senantiasa membela

kepentingan martabat manusia. Ciri utama hak asasi manusia bersifat indivisibility dan

interdependent. Sehubungan dengan hal ini, hak-hak ekososbud sebagaimana hak-hak sipil dan

politik merupakan hak-hak asasi manusia yang universal, yang dapat dimintai

pertanggungjawaban, dapat dipaksakan keberlakuannya (enforceable), dan pemenuhannya sangat

berarti bagi pemenuhan hak-hak asasi yang lain (sipol maupun hak ekososbud lainnya).

3. Sistem internasional untuk perlindungan hak ekososbud

Perlindungan Hukum HAM internasional dalam masa damai didasarkan pada pengakuan

bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara ia berasal, memiliki hak-hak dasar semata-mata

karena dia adalah manusia. Sistem perlindungan hak asasi manusia melalui perjanjian-perjanjian

internasional yang tumbuh pesat sejak PD II bukan sebuah kebetulan. Akan tetapi merupakan

reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak kuat untuk

18 Herry Priyono, Kompas 5/3/2002

19 Secara tradisional hak asasi manusia ada untuk menghadapi kekuasaan ‘negara’ yang memiliki monopoli

otoritas untuk memaksa. Oleh karena itu ‘negara’ memikul (3) tanggung jawab penegekan HAM.

10

mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Dasar dari perlindungan

internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan

tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang,

dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental”.20

Selanjutnya

pasal-pasal 1(3)21

, 55 dan 56 dari Piagam memberi landasan utama bagi perumusan standar hak

asasi manusia dan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia sebagaimana terlihat

dalam konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Artinya persoalan hak asasi manusia

merupakan kepedulian yang sah dari masyarakat dunia. Aturan-aturan tersebut menjadi dasar bagi

sistem perlindungan hak asasi manusia universal. Dari sini dirumuskan substansi HAM dan

diciptakan mekanisme-mekanisme untuk melindunginya oleh organ-organ PBB.

Sumber yang paling eksplisit dan utama dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah

DUHAM (Universal Declaration of Human Rights)22

yang kemudian dielaborasi lebih lanjut

dalam ICESR.23

Sebagai kovenan yang memberi daging (substansi) dan efek dari DUHAM, hak-

hak dan batasan-batasannya terformulasi secara lebih terinci di dalamnya. Disamping itu adalah

konvensi-konvensi HAM lain seperti Konvensi HAK Anak (CRC), Konvensi Pneghapusan

Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan kovensi-kovensi ILO serta instrumen HAM

regional seperti Social Charter Eropa. Instrumen-instrumen hak asasi manusia yang mengambil

semangatnya dari DUHAM ini dapat menjadi jurisprudence yang kuat untuk interpertasi dan

implementasi dari hak-hak tersebut.24

Perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia adalah salah satu instrumen

perlindungan sekaligus sumber hukum hak asasi manusia yang utama. Bahkan secara teoritis

maupun praktis, perjanjian-perjanjian internasional mendapat bobot yang besar dalam

20 Pasal 1 Paragraf 3 Piagam PBB. Penebalan oleh penulis. Basic Documents in International Law (4

th Ed.),

Ian Brownlie (ed.), 1995 hal. 3 21

dijelaskan maksud dari berdirinya PBB antara lain adalah: “to achieve international co-operation in ..

promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without

distinction as to race, sex, language or religion”. 22

UN General Assembly Res. 217 A (III) of December 1948 23

UN General Assembly Res. 2200 A (XXI), 16 December 1966. 24

DUHAM, meski dalam bentuk ‘soft law’ telah memperoleh otoritas yang kuat untuk disebut sebagai

hokum kebiasaan internasional. Lihat, Advisory Opinion on the Legal Consequences for the States of the

Continued Presence of South Africa in Namibia (Namibia Opinion) ICJ Rep. 1971, pp.16,67,76; and in USA v. Iran ICJ Rep. 1980, 3, 42, para.91 (selanjutny disebut Hostage Case).

11

perlindungan hak asasi manusia.25

Di dalamnya terumus norma-norma hak asasi manusia yang

menjadi standar universal.26

Melalui ratifikasi perjanjian internasional terbuka proses integrasi

norma-norma hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Disamping itu terdapat berbagai

bentuk mekanisme lain. Di PBB (tingkat global) mekanisme itu didasarkan atas perjanjian

internasional (treaty based) dan pada Piagam PBB (charter based).27

Di tingkat regional untuk

hak ekonomi, kita mengenal Social Charter28

negara-negara persatuan Eropa dan African Charter

on Human Rights and Peoples’. Di tingkat nasional hak-hak ini dijamin dalam Konstitusi, seperti

hak bekerja, hak atas tempat tinggal dan social security dijamin dalam UUD 1945.29

Kovenan mengenai hak ekososbud terdiri dari tiga puluh satu (31) pasal yang diatur

dalam 6 bagian, yang bagian pertamanya sama dengan saudaranya ICCPR. Jantung dari Kovenan

ini berada pada Bagian III (pasal 6-15) yang menguraikan hak-hak yang dilindungi, yaitu:

a. Hak atas kerja (right to work)

b. Hak atas kondisi kerja yang layak (pasal 7)

c. Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8)

d. Hak atas jaminan sosial (pasal 9)

e. Hak atas perlindungan bagi keluarga (pasal 10)

f. Hak atas standar hiudp yang layak, termasuk hak atas pangan, pakain dan tempat tinggal

(pasal 11)

g. Hak atas kesehatan (pasal 12)

h. Hak atas pendidiakan (pasal 13)

i. Hak atas kebudayaan (pasal 15)

Lingkup dan penapsiran hak-hak ini terus berkembang. Lembaga-lembaga HAM

internasional seperti Committee on Economic, Social and Cultural Rights atau Komisi HAM dan

Sub Komisi HAM PBB serta lembaga-lembaga HAM yang dibentuk oleh perjanjian-perjanjian

HAM internasional di atas, mengembangkan kandungan dari hak-hak tersebut.30

Dapat dikatakan

25 Chaloka Beyani, “The Legal Prmises for the International Protection of Human Rights” di Guy S.

Goodwin-Gill and S.Talmon (ed.) The Reality of International Law Essays in Honour of Ian Brownlie. hal.

21-35 26

Saat ini terdapat 6 Konvensi HAM utama yaitu ICCPR, ICESCR, CAT, CEDAW,CERD dan CRC 27

Lihat H Hannum (ed), ‘Guide to International Human Rights Practice’ hal. 44-59 dan 61-84. 28

European Social Charter, 529 UNTS 89, berlaku sejak 26 Feb. 1965 29

Afrika Selatan disebut-sebut sebagai negara yang memberi jaminan perlindungan hak ekososbud di

dalamnya. 30

Berbeda dengan ICCPR yang memiliki organ untuk memantau pelaksanaan HAM dari konvensi bersangkuta (biasa dikenal dengan treaty based organs) untuk hak-hak ekososbud tidak demikian. Organ itu

12

bahwa keputusan-keputusan dan prinsip-prinsip yang dibentuk melalui badan-badan ini seperti

general comment pada dasarnya berakar pada DUHAM. Yurispruden-yurispruden di tingkat

nasional31

, regional dan internasional yang menawarkan batasan dari hak-hak tersebut juga

membentuk standar hukum hak asasi manusia dan dapat digunakan sebagai perbandingan.

Sebagai contoh Komite misalnya telah secara konsisten menyatakan bahwa penggusuran

merupakan pelanggaran dari hak atas tempat tinggal, Republik Dominik (1990), Panama (1992),

Kenya (1993) dan Filipina (1993) telah dinyatakan melakukan pelanggaran HAM. Sikap-sikap

demikian dapat dikatakan memiliki fungsi lebih dari sekedar saran dan quasi legal.32

Melalui

putusan-putusan demikian, yang mengembangkan kandungan dari hak-hak bersangkutan serta

kewajiban yang behubungan dengannya, perlawanan kelompok masyarakat yang dirugikan

memperoleh landasan (hukum) yang lebih kuat.

Walaupun masih banyak yang harus dikembangkan untuk menentukan isi dari hak bersangkutan

telah banyak putusan institusi internasional hak asasi manusia yang bisa dipakai untuk

menentukan kandungan hak bersangkutan. Upaya yang paling menonjol adalah apa yang dikenal

dengan Prinsip-prinsip Limburg dan Pedoman Maastrich untuk pelanggaran hak-hak ekososbud

dan berbagai general comment yang dihasilkan komite hak ekososbud. 33

Prinsip-prinsip ini dapat

digunakan sebagai ‘pisau’ untuk menentukan derajat pemenuhan hak-hak asasi ekonomi, sosial

dan budaya.

merupakan bagian dari ECOSOC namun hasil-hasil keputusannya diakui secara internasional memiliki otoritas yang sama. 31

Banyak kasus di berbagai negara yang menghukum pelanggaran hak-hak EKOSOSBUD. Lihat Michael

K Addo “Justiciability Re-examined” hl. 9. 32

Lihat Craven M. “Toward an Unoficial Petition Porcedure: A review of the role of the UN Committee on

Economic, Social, and Cultural Rights”, dalam K Drzewiki and Rosas (ed.) “Social Rights as Human

Rights: A European Challenge”, hal.91-113 (1994). 33

Prinsip-prinsip ini memang tidak mengikat secara hukum namun diakui bermanfaat dalam mengefek- tifkan dan memonitor pelaksanaan hak-hak asasi tersebut.