Upload
muhammadlinggaprimananda
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
1/34
Case Report Session
PREEKLAMPSIA BERAT
Oleh:
Rahmi Dina Indra 1110312004
Muhammad Lingga Primananda 1110312008
Adelina Damar Fitri 1110313083
Preseptor:
dr. H. Muslim Nur, SpOG(K)
dr. Alam Patria, SpOG
dr. Susanti Apriani, SpOG
dr. Alhadi Arlym, SpOG, M.Kes
BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI
RSUP DR. M. ZEIN PAINAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2016
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
2/34
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1
Definisi
Hipertensi dalam kehamilan digunakan untuk menggambarkan suatu
spektrum dari ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah ringan atau berat
dengan berbagai disfungsi organ. (Roeshadi, 2004) Hipertensi dalam kehamilan jika
pemeriksaan tekanan darah ditemukan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau
tekanan darah diastolik >90 mmHg. National High Blood Pressure Education
Program-NHBPEP (2000) telah membagi hipertensi dalam kehamilan menjadi 4
klasifikasi yaitu 1). Hipertensi dalam kehamilan, 2). Sindrom Preeklampsia dan
Eklampsia, 3). Hipertensi kronik dengan etiologi apapun dan 4). Superimposed
preeklampsia pada hipertensi kronik. (Cunningham et al, 2014)
Berdasarkan klasifikasi diatas, preeklampsia digambarkan sebagai sindroma
spesifik pada kehamilan yang dapat mempengaruhi setiap sistem organ secara nyata.
Preeklampsia merupakan hipertensi dalam kehamilan dengan proteinuria sebagai
kriteria diagnostik, dimana terjadi kebocoran pada endotel.1 Ekskresi protein dalam
urin dikatakan abnormal jika kadar urin 24 jam lebih dari 300 mg, rasio
protein/kreatinin urin ≥ 0.3, atau kadar protein urin sewaktu 30 mg/dL (+1 dipstick).
(Cunningham et al, 2014)
Baru-baru ini proteinuria bukan menjadi ciri pada beberapa wanita hamil
dengan sindrom preeklampsia. Maka dari itu, Task Force (2013) menyarankan
adanya kriteria diagnostik lainnya yang terlihat pada tabel di bawah ini. Adanya bukti
gangguan multiorgan seperti trombositopenia, disfungsi renal, nekrosis hepatoselular
(disfungsi hepar), gangguan sistem saraf pusat, atau edema pulmonal.1 Selain itu juga
harus diperhatikan tanda-tanda awal dari eklampsia yaitu sakit kepala atau pandangan
kabur (skotoma), nyeri perut kanan atas atau nyeri epigastrium dan trombositopenia.
(Cunningham et al, 2014)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
3/34
Tabel 1.1 Kriteria Diagnosis Hipertensi yang Berkaitan dengan Kehamilan.
(Cunningham et al, 2014)
1.2 Epidemiologi
Hipertensi kehamilan insidennya berkisar antara 5-10% dari seluruh
kehamilan dan merupakan salah satu dari trias penyakit yang memberikan kontribusi
besar pada angka morbiditas dan mortalitas ibu. Preeklampsia atau preeklampsia yang
menyertai hipertensi kronik (superimposed) adalah yang paling membahayakan,
diperkirakan terjadi sebanyak 3,9 % dari seluruh kehamilan. (Cunningham et al,
2014)
Preeklampsia sering terjadi pada ibu hamil berusia muda dan nullipara.
Sementara itu, wanita hamil yang berusia tua lebih sering mengalami preeklampsia
yang menyertai hipertensi kronik ( superimposed ). Faktor-faktor risiko yang sering
dikaitkan dengan preeklampsia antara lain; obesitas, kehamilan kembar, usia ibu >35
tahun. (Cunningham et al, 2014)
1.3 Etiologi
Semua teori yang menjelaskan tentang preeklampsia harus dapat menjelaskan
jika hipertensi pada kehamilan lebih besar kemungkinannya timbul pada wanita yang:
1. Terpapar oleh villus korion pertama kali
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
4/34
2. Terpapar oleh villus korion dalam ukuran yang besar seperti pada kehamilan
kembar, mola hidatidosa
3. Memiliki kelainan endotel pembuluh darah seperti penyakit diabetes, ginjal
atau jantung
4. Secara genetik rentan terhadap hipertensi yang timbul saat kehamilan.
(Cunningham et al, 2014)
Menurut penelitian lain terdapat beberapa penyebab potensial, yaitu
(Cunningham et al, 2014):
1. Invasi abnormal trofoblas
Implantasi yang normal ditandai dengan remodeling ekstensif arteriola secara
spiral pada desidual basalis. Endovascular trofoblas mengganti endotel pembuluh
darah dan lapisan otot untuk memperbesar diameter pembuluh darah. Pada
beberapa kasus preeklampsia terjadi invasi trofoblas inkomplit.
2. Faktor imunologis
Resiko gangguan hipertensi meningkat cukup besar pada keadaan-keadaan
ketika pembentukan antibodi menjadi penghambat terhadap tempat-tempat
antigen di plasenta mungkin terganggu.
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular dan peradangan
dari kehamilan normal
Dalam berbagai cara diperlihatkan bahwa peradangan akan diikuti oleh
lepasnya mediator/agen yang dapat memicu kerusakan endotel
4. Faktor nutrisi
Sejumlah defisiensi atau berlebihnya kandungan dalam diet seperti protein
dan lemak dianggap berperan pada terjadinya preeklampsia.
5. Faktor genetik
Kecenderungan mengidap preeklampsia-eklampsia. Cooper dan Liston (1979)
meneliti adanya kerentanan preeklampsia. Bergantung pada sebuah gen resesif.
6.
Faktor Psikologi
Ibu yang berada dalam tekanan psikologi (stress) memiliki risiko
berkembangnya penyakit hipertensi dalam kehamilan.
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
5/34
1.4 Klasifikasi
Berdasarkan The National High Blood Pressure Education Program
(NHBPEP) maka kelainan hipertensi dalam kehamilan dapat diklasifikasikan menjadi
(Cunningham et al, 2014):
1. Hipertensi dalam Kehamilan
Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali setelah
pertengahan kehamilan (midpregnancy)
Tidak ada proteinuria
Tekanan darah kembali ke normal dalam 12 minggu postpartum
Mungkin memperlihatkan tanda-tanda lain preeklampsia, misalnya sakit kepala,
nyeri epigastrium, proteinuria ataupun trombositopenia. Kenaikan tekanan darahmerupakan tanda awal ibu dan bayi dalam risiko mortalitas perinatal. Bahkan
disebutkan bahwa 10% kejang dapat terjadi pada pasien hipertensi dalam
kehamilan sebelum terdapatnya proteinuria. (Cunningham et al, 2014)
2. Preeklampsia
Diketahui dengan timbulnya hipertensi, proteinuria, dan atau edema pada
seorang gravida yang tadinya normal. Penyakit ini timbul sesudah minggu ke 20
dan paling sering terjadi pada primigravida muda < 20 tahun ataupun > 35 tahun.
Jika tidak diatasi atau tidak terjadi pengakhiran kehamilan, dapat menjadi
eklampsia. Kejadian preeklampsia pada populasi nulipara sekitar 3-10 %
sedangkan pada multipara lebih sedikit terjadi. Faktor risiko preeklampsia seperti
obesitas, kehamilan gnada, usia ibu, hiperhomosisteinemia dan sindroma
metabolik. (Cunningham et al, 2014)
Preeklampsia digambarkan sebagai sindroma spesifik pada kehamilan yang
dapat mempengaruhi setiap sistem organ secara nyata. Preeklampsia merupakan
hipertensi dalam kehamilan dengan proteinuria sebagai kriteria diagnostik,
dimana terjadi kebocoran pada endotel.1 Ekskresi protein dalam urin dikatakan
abnormal jika kadar urin 24 jam lebih dari 300 mg, rasio protein/kreatinin urin ≥
0.3, atau kadar protein urin sewaktu 30 mg/dL (+1 dipstick). (Cunningham et al,
2014)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
6/34
3. Eklampsia
Kejang yang tidak disebabkan oleh adanya kelainan lain pada wanita hamil
yang menderita preeklampsia. Kejang dapat timbul sebelum, selama atau setelah
persalinan. (Cunningham et al, 2014)
4. Superimposed Preeklampsia pada hipertensi kronik
Tanpa memperhatikan apa penyebabnya, semua wanita yang mempunyai
penyakit hipertensi kronik memiliki predisposisi untuk terkena superimposed
preeklampsia. Hiperteni kronik pada ibu hamil dapat ditegakkan jika tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum usia kehamilan 20
minggu atau keduanya. (Cunningham et al, 2014)
1.5 Patofisiologi
Mekanisme patofisologi yang mendasari terjadinya preeklampsia sampai saat
ini masih belum jelas. Namun demikian, bukti yang menunjukkan preeklampsia
muncul akibat interaksi antara jaringan maternal, paternal, maupun janin yang
abnormal telah menumbuhkan hipotesis bahwa penyakit ini adalah suatu sindroma
yang muncul dalam 2 tahap (two-stage disorder ) (Gambar 1.1). Menurut Redman, et
al (2009), tahap pertama disebabkan oleh kegagalan trofoblas endovaskuler pada
proses remodelling arteri spiralis. Kegagalan ini selanjutnya akan mengakibatkan
munculnya gejala-gejala klinik pada tahapan berikutnya. Salah satu fenomena
terpenting dari perkembangan plasenta manusia adalah terjadinya modifikasi
pembuluh darah maternal oleh trofoblas yang merupakan jaringan janin. Proses ini
terjadi selama paruh pertama kehamilan dan berperan penting terhadap terbentuknya
aliran darah uteroplasenta. Selain itu, gangguan pada tahapan ini juga berpengaruh
terhadap terjadinya berbagai macam kondisi patologis, termasuk pre-eklampsia.
(Cunningham et al, 2010)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
7/34
Gambar 1.1 Patofisiologi Preeklampsia (2-Stage Disorder ).
(Cunningham, et al. 2010)
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa
pada kehamilan normal, sel trofoblas yang melakukan invasi mengalami suatu
pergeseran antigenik (antigenic shift ) sehingga lebih menyerupai antigen sel endotel
arteri spiralis. Oleh sebab itu, sel-sel trofoblas tersebut tidak dapat dikenali oleh sel-
sel natural killer desidua sehingga tidak mengalami penolakan. Sebaliknya pada
preeklampsia, proses pergeseran antigenik tersebut mengalami kegagalan sehingga
sel-sel trofoblas dapat dikenali oleh sel natural killer desidua dan menyebabkan
gangguan proses invasi trofoblas. (Cunningham et al, 2010)
Faktor maternal dominan lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan
patofisiologi preeklampsia adalah adanya disfungsi imun pada sel trofoblas,
khususnya yang berkaitan dengan sel-sel makrofag. Sel makrofag maternal adalah
unsur normal dari daerah implantasi plasenta. Sel-sel ini sebagian besar ditemukan di
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
8/34
daerah desidua basalis sedangkan sisanya terdapat di daerah desidua paritealis,
dimana kejadian proses invasi trofoblas sangat terbatas. (Kaufmann, Black dan
Huppertz, 2003)
Perbedaan distribusi makrofag tersebut menggambarkan adanya suatu
interaksi antara sel-sel makrofag dengan trofoblas. Makrofag memiliki kemampuan
untuk memproduksi dan berespon terhadap berbagai macam sitokin. Sel makrofag
yang teraktivasi akan menghasilkan tumor necrosis factor-α (TNFα) dalam jumlah
yang besar. Sementara itu, salah satu golongan reseptor TNFα, yaitu TNF receptor-1
(TNF-R1), dihasilkan oleh sel-sel trofoblas. Interaksi antara TNFα dengan reseptor
ini secara in vitro akan menginduksi proses apoptosis sel-sel trofoblas. (Kaufmann,
Black dan Huppertz, 2003)
Proses apoptosis sel trofoblas oleh makrofag yang telah teraktivasi terjadi
melalui dua mekanisme, yaitu: (1) sekresi TNFα yang berikatan dengan TNF-R1 sel
trofoblas, dan (2) sekresi indolamine 2,3-dioxygenase (IDO) yang menghancurkan
dan menurunkan kadar asam amino tryptophan lokal. Proses apoptosis sel trofoblas
yang diinduksi oleh makrofag menyebabkan tertariknya dan teraktivasinya sel-sel
makrofag lain sehingga membentuk suatu lingkaran setan (vicious cycle). Sebagian
besar dinding arteri uteroplasenta pada kehamilan normal sama sekali tidak
mengandung sel-sel makrofag sehingga dapat diinvasi oleh sel trofoblas. Sebaliknya,
pada preeklampsia terjadi peningkatan apoptosis sel trofoblas interstisial oleh sel-sel
makrofag maternal. (Kaufmann, Black dan Huppertz, 2003)
Kegagalan invasi dan peningkatan proses apoptosis akhirnya akan
menyebabkan invasi sel trofoblas endovakuler pada preeklampsia hanya bersifat
dangkal ( shallow invasion). Pada keadaan seperti ini, trofoblas endovaskuler hanya
terdapat di sepanjang arteri spiralis desidua namun tidak sampai ke dalam pembuluh
miometrium. Akibatnya, sel-sel endotel dan jaringan otot polos arteri spiralis di
daerah miometrium tidak mengalami proses remodelling (Gambar 2.2). Menurut
Fisher, et.al, (2009), rata-rata panjang diameter arteri spiralis pada preeklampsia
hanya setengah dari diameter pada kehamilan normal. (Cunningham et al, 2010)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
9/34
Gambar 1.2 Perbedaan Arteri Spiralis pada Kehamilan Normal dengan
Preeklampsia. (Lam, et al., 2005)
1.6 Diagnosis
Diagnosis preeklampsia menurut Cunningham et al tahun 2014 :
Hipertensi, preeklamsia ringan < 160 mmHg sistolik dan < 110 mmHg
diastolik, preeklamsia berat ≥ 160 mmHg sistolik dan ≥ 110 mmHg diastolik
Edema, penambahan berat badan >1,3 kg seminggu pada orang hamil
dianggap abnormal. Jika > 5 kg dalam sebulan dapat dicurigai adanya
preeklampsia
Proteinuria, terjadi karena vasospasme pembuluh darah ginjal
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
10/34
Gejala impending eklampsia yaitu: sakit kepala atau pandangan kabur
(skotoma), nyeri perut kanan atas atau nyeri epigastrium dan trombositopenia.
Tabel 1.2 Klasifikasi Preeklampsia Ringan dan Berat. (Cunningham et al, 2014)
Kelainan Ringan Berat
Tekanan darah sistolik < 160 mmHg ≥ 160 mmHg
Tekanan darah diastolic < 110 mmHg ≥ 110 mmHg
Proteinuria Tidak ada sampai positif Tidak ada samapi positif
Nyeri Kepala Tidak ada Ada
Gangguan Penglihatan Tidak ada Ada
Nyeri Abdomen atas Tidak ada AdaOliguria Tidak ada Ada
Kejang (Eklampsia) Tidak ada Ada
Kreatitin serum Normal Meningkat
Trombositopenia
(< 100.000/µL)
Tidak ada Ada
Peningkatan Enzim Hati Minimal Nyata
Pertumbuhan janin terhambat Tidak ada Jelas
Edema Paru Tidak ada Ada
Diagnosis preeklampsia menurut Dinas Kesehatan RI tahun 2013:
Preeklampsia ringan
- Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg usia kehamilan > 20 minggu
- Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil > 300 mg/24 jam
Preeklampsia berat
- Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
- Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥ 2+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >5g/24jam
- Atau disertai keterlibatan organ lain:
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
11/34
o Trombositopenia (
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
12/34
Persalinan Cesarea elektif
Ketika seseorang telah didiagnosis dengan preeklampsia berat, maka
persalinan dengan induksi secara pervaginam merupakan pilihan yang ideal. Namun
dengan memperhatikan dari urgensi karena keparahan dari preeklampsia, dan perlu
koordinasi NICU, maka perlu dipertimbangkan untuk persalinan dengan cesarean.
(Cunningham et al, 2014)
Penundaan persalinan
Pada tahun 1990, semua wanita dengan preeklampsia berat dilakukan
persalinan segera tanpa ditunda. Namun, sekarang telah dikembangkan pendekatan
“konservatif” dan “ekspektasi” dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
janin tanpa mengurangi keamanan ibu. (Cunningham et al, 2014)
Manajemen ekspektatif atau aktif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran
perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan
kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio
sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta
mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing
enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat
lahir bayi rata – rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden
pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid
mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular, infeksi
neonatal serta kematian neonatal. (Baha dan Sibai, 2007)
Rekomendasi :
1. Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus preeklampsia pada usia
kehamilan 26 - 34 minggu yang bertujuan untuk memperbaiki luaran perinatal.
2. Pemberian kortikosteroid berguna untuk mengurangi morbiditas (sindrom gawat
napas, perdarahan intraventrikular dan infeksi) serta mortalitas perinatal. (POGI,
2010)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
13/34
Pemberian Magnesium sulfat untuk mencegah kejang
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g
selama 5 – 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam
post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi urin, refleks patella,
frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan saat memberikan magnesium
sulfat. Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang.
Pada penelitian Magpie, membandingkan pemberian magnesium sulfat regimen
intravena, dosis loading 4-6 g, dan pemeliharaan 1-2 g/jam, dengan dosis loading
intravena dan pemeliharaan intramuskular. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil
yang lebih tinggi bermakna kejadian efek samping pada pemberian intramuskular
(28% vs 5%) sehingga kebanyakan wanita menghentikan obat lebih awal. (RCOG,
2011)
Eklampsia
Preeklampsia dengan komplikasi kejang tonik klonik umum meningkatkan
resiko ibu dan bayi. Komplikasi bagi ibu yang tersering adalah solusio plasenta 10%,
deficit neurologis 7%, pneumonia aspirasi 7%, edema pulmonal 5%,
cardiopulmonary arrest 4%, gagal ginjal akut 4%, kematian 1%. (Cunningham et al,
2014)
Tatalaksana Segera Eklampsia
Kejang eklampsia bisa terjadi dengan parah dan pasien harus dilindungi
terutama jalan napasnya. Pernapasan setelah terjadinya kejang biasanya meningkat
frekuensinya hingga mencapai 50 kali per menit sebagai respon hiperkarbia, lactic
academia and hipoksia sementara. (Cunningham et al, 2014)
Pada kasus preeklampsia berat, peningkatan produksi urin setelah melahirkan
merupakan tanda awal dari perbaikan. Jika ada kerusakan apada ginjal, maka
kreatinin serum harus di monitoring. Proteinuria dan edema biasanya menghilang
setelah seminggu postpartum. Pada beberapa kasus, tekanan darah akan kembali
normal dalam bebera[a hari hingga 2 minggu setelah persalinan. Semakin lama
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
14/34
hipertensi postpartum menetap maka semakin parah keadaannya, dan semakin
mungkin wanita tersebut mempunyai kelianan vascular kronis. (Cunningham et al,
2014)
Pada eklampsia antepartum, persalinan bisa dimulai segera setelah terjadinya
kejang. Apabila kejang terjadi pada saat persalinan, maka frekuensi dan intensitas
kontrasi bisa meningkat dan lama persalinan akan semakin singkat. Karena iu yang
mengalami hipoksema dan lactic academia yang diakibatkan oleh kejang, makan
sering terjadi bradikardi pada janin. Bradikardi biasanya akan normal setelah 3
sampai 5 menit. Tetapi terjadinya solusio plasenta dan ancaman persalinan harus
dipertimbangkan. (Cunningham et al, 2014)
Tatalaksana dari Eklampsia 1. Kontrol kejang dengan magnesium sulfat dosis awal intravena kemudian
dilanjutkan dengan dosis maintenance.
2. Pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah jika dianggap tekanan
darah sangat tinggi.
3. Hindari pemberian diuretik kecuali terdapat udem pulmonal, pembatasan
pemberian cairan secara intravena kecuali terdapat kehilangan cairan yang
berlebihan, hindari pemberian agen hiperosmotik.
4.
Melahirkan janin untuk remisi preeklampsia.
Magnesium Sulfat untuk Mengontrol Kejang
Pada kasus preeklampsia berat dan eklampsia, magnesium sulfat lebih yang
diberikan secara parenteral adalah anti keang yang efektif untuk mencegah depresi
system saraf pusat pada ibu maupun janin. Pemberian bisa melalui infus intravena
ataupun injeksi intramuscular. Dosis untuk preeklampsia berat dan eklampsia sama.
Pemberian magnesium sulfat biasanya dilakukan saat persalinan dan 24 jam
postpartum, karena saat itulah biasanya kejang timbul. (Cunningham et al, 2014)
Pemberian kalsium glukonas atau kalsium klorida bersamaan dengan
magnesium sulfat akan mengembalikan efek depresi napas ringan dan sedang. Salah
satu dari sediaan ini harus tersedia kapanpun magnesium sulfat diberikan.
(Cunningham et al, 2014)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
15/34
Tatalaksana untuk Hipertensi Berat
Pilihan obat :
1. Hydralazine : diberikan secara intravena dengan dosis inisial 5 mg, dan diikuti 5-
10 mg pada interval 15-20 menit sampai dicapai respon yang diinginkan.
2. Nifedipine : obat golongan calcium chanel blocker. Diberikan dengan dosis
inisial 10 mg per oral dan diulangi stelah 30 menit.
3. Labetalol : dosis inisial 10 mg intravena. Jika dalam 10 menit, tekanan darah
yang diinginkan belum tercapai, maka diberikan dengan dosis 20 mg. jika masih
belum bisa dinaikkan menjadi 40 mg sampai 80 mg dengan dosis maksimal 220
mg setiap siklusnya.
4. Metildopa : agonis reseptor alfa yang bekerja di system saraf pusat. Dosis inisial
250-500mg per oral 2-3 kali sehari dengan dosis maksimal 3 gram per hari
(RCOG, 2011 dan Cunningham et al, 2014)
Kortikosteroid pada Sindrom HELLP
1.
Pemberian kortikosteroid pada sindrom HELLP dapat memperbaiki kadar
trombosit, SGOT, SGPT, LDH, tekanan darah arteri rata – rata dan produksi
urin.
2. Pemberian kortikosteroroid post partum tidak berpengaruh pada kadar
trombosit.
3. Pemberian kortikosteroid tidak berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas
maternal serta perinatal/neonatal.
4. Deksametason lebih cepat meningkatkan kadar trombosit dibandingkan
betametason.
Kortikosteroid diberikan sebelum persalinan pada pasien sindrom HELLP.
Pemberian kortikosteroid antenatal berhubungan dengan penurunan mortalitas janin
dan neonatal, RDS, kebutuhan ventilasi mekanik/CPAP, kebutuhan surfaktan dan
perdarahan serebrovaskular, necrotizing enterocolitis serta gangguan pekembangan
neurologis. Pemberian kortikosteroid tidak berhubungan dengan infeksi, sepsis
puerpuralis dan hipertensi pada ibu. (POGI, 2010)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
16/34
Penurunan bermakna RDS didapatkan dari pemberian kortikosteroid pada usia
kehamilan 28 – 36 minggu, dan diberikan 48 jam – 7 hari sebelum persalinan.
Pemberian deksametason maupun betametason menurunkan bermakna kematian janin
dan neonatal, kematian neonatal, RDS dan perdarahan serebrovaskular. Pemberian
betametason memberikan penurunan RDS yang lebih besar dibandingkan
deksametason. Pemberian kortikosteroid ulangan (jarak 1 minggu atau lebih)
berhubungan dengan penurunan bermakna RDS, penyakit paru berat, morbiditas berat
pada janin. (POGI, 2010)
Profilaksis
Pemberian magnesium sulfat kepada wanita yang tidak menderita hipertensi
gestasional berat sebagai profilaksis masih menjadi perdebatan. Dari beberapa
penelitian, maka diberikanlah beberapa kriteria wanita yang akan diberikan selektif
profilaksis, yaitu tekanan darah systole ≥160 atau diastole ≥110 mmHg, Proteinuria
≥+2, kreatinin serum ≥1,2 mg/dL, trombosit < 100.000/µL, kadar Aspartat
aminotransferase (AST) meningkat dua kali lipat dari normal, sakit kepala atau
skotoma yang menetap, nyeri pada midepigastrik atau nyeri kuadran kanan atas yang
menetap (Cunningham et al, 2014).
1.8 Prognosis
Wanita yang pernah mengalami hipertensi gestasional atau preeklampsia
mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipertensi pada kehamilan
berikutnya. Wanita dengan sindrom HELLP mempunyai risiko rekurensi pada
kehamilan selanjutnya. Walaupun beberapa kejadian sindrom ini tidak rekuren,
namun akan meningkatkan kejadian lain seperti persalinan preterm, fetal growth-
restriction, solusio plasenta dan persalinan secara cesarean (Cunningham et al, 2014).
Pada wanita yang pernah mengalami preeklampsia meningkatkan risiko untuk
dirinya mengalami morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Oleh karena
itu, wanita yang mengalami hipertensi gestasional harus dievaluasi selama beberapa
bulan setelah meahirkan (Cunningham et al, 2014).
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
17/34
BAB 2
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. MH
No. MR : 169519
Umur : 32 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru (non-PNS)
Alamat : Lubuk Anau, Pasar Baru
Agama : Islam
Suku : Minang
Status Menikah : Menikah
Pendidikan Terakhir : S1
Tanggal Masuk RS : 20 Mei 2016
Jam Masuk RS : 22.30 WIB
Anamnesis
Seorang pasien wanita umur 32 tahun datang ke IGD RSUD Dr. M. Zein
Painan tanggal 20 Mei 2016 pukul 22.30 WIB, dengan keluhan nyeri pinggang
menjalar ke ari-ari sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Utama
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri semakin lama semakin meningkat.
Keluar lendir campur darah dari kemaluan sejak 6 jam sebelum masuk rumah
sakit.
Keluar air-air banyak dari kemaluan (-)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
18/34
Keluar darah banyak dari kemaluan (-)
Nyeri ulu hati (+), nyeri kepala (-),pandangan mata kabur (-),gerakan anak (+)
Ini merupakan kehamilan ke-3 dengan riwayat kuret 1 kali
Tidak haid sejak ± 9 bulan yang lalu
HPHT: 13/09/15 TP: 20/06/16
Riwayat hamil muda : mual (+), muntah (+), perdarahan (+)
ANC kontrol ke SpOG 2 kali, kontrol ke RSUD 3 kali selama kehamilan
Riwayat hamil tua : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Riwayat menstruasi : menarche umur 13 tahun, siklus haid teratur 1x 28 hari,
lamanya 5-7 hari, banyaknya 2-3 kali ganti pembalut, nyeri (-).
Riwayat Kehamilan/Abortus/Persalinan: 3/1/1
1. 2014 / laki-laki / 1600 gr / kurang bulan 29 minggu / SC a.i. eklampsia /
SpOG di RS Swasta / mati
2. 2015 / keguguran usia kehamilan 11 minggu / kuretase
3. Sekarang
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, diabetes
mellitus, dan hipertensi.Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu kandung, nenek, dan paman pasien menderita penyakit hipertensi.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan & Kebiasaan
Riwayat Perkawinan : 1 kali tahun 2013
Riwayat Imunisasi : TT 1 x di puskesmas pada usia kehamilan 7 bulan
Riwayat Kontrasepsi : tidak ada
Riwayat Pendidikan : tamat S1
Riwayat Pekerjaan : Guru (non-PNS)
Riwayat Kebiasaan : minum alkohol (-), narkoba (-), merokok (-)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
19/34
Pemeriksaan Fisik (20 Mei 2016)
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis kooperatif
Vital Sign
TD : 180/100 mmHg
HR : 92 x/i
RR : 27 x/i
T : 37,2 oC
Berat Badan (sebelum hamil) : 65 kg
Berat Badan (setelah hamil) : 90 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 25, 39
Status Generalisata
Kepala : bentuk simetris
Rambut : tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor ka=ki, refleks cahaya (+/+)
Hidung : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher : JVP 5-2 cm H2O
Kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Thorax
Paru
I : paru simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Pa : fremitus kiri = kanan
Per: sonor
Au : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
I : iktus kordis tidak terlihat
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
20/34
Pa : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Per : batas jantung atas: RIC II, kanan: LSD, kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Au : irama teratur, bising (-), murmur (-)
Aksila : tidak ada pembesaran KGB
Abdomen : Status Obsetrikus
Genitalia : Status Obsetrikus
Anus : tenang
Inguinal : tidak ada pembesaran KGB
Ekstremitas : akral hangat, CRT
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
21/34
Tumor (-), varikosis (-), lividae (-), luka bekas episiotomi (+)
VT : Pembukaan 5-6 cm
Ketuban (+)
Teraba kepala UUK kiri depan HII-III
Pemeriksaan Penunjang (20 Mei 2016)
Hematologi
Hb : 12,6 g/dl
Hematokrit : 37%
Trombosit : 303.000/mm3
Leukosit : 7.400/mm3
Kimia Klinik
Ureum : 10 mg/dl
Kreatinin : 0,6 mg/dl
Urine
Mikroskopis
Leukosit : 1-2
Eritrosit : (+)
Silinder : (-)
Kristal : (-)
Epitel : 2-5
Kimia
Protein : (+++)
Glukosa : (-)
Bilirubin : (-)
Urobilin : normal
Benda Keton : (-)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
22/34
USG
Janin hidup tunggal intrauterin
CRL : (+)
FHM : (+)
Diagnosa Kerja
G3P1A1H0 Parturien Aterm 37-38 minggu Kala 1 Fase Aktif + PEB Impending
Eklampsia
Janin Hidup Tunggal Intrauterin Letak Lintang Kepala Kanan Dorsosuperior
Penatalaksanaan
- Kontrol KU, VS, DJJ, His, balance cairan, reflek patella
- Informed Consent
- Regimen MgSO4 dosis inisial
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
23/34
- Metildopa tab 3 x 500 mg (po)
- Nifedipine 1 x 30 mg (po)
- Partus SC
-
Cek laboratorium : darah lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT
Follow up
21 Mei 2016 (00.15 WIB)
Dimulai prosedur SCTPP
21 Mei 2016 (01.15 WIB)
Lahir seorang bayi laki-laki
BB : 2600 gr, PB : 47 cm, A/S : 8/9
Plasenta lahir spontan lengkap 1 buah
A/ P2A1H1 post partus SCTPP a.i. Impending Eklampsia
Ibu dan anak dalam perawatan
P/ - kontrol KU, VS, TFU, PPV, kontraksi uteri, balance cairan, reflek patella
- Amoxicilin tab 3 x 500 mg (po)
- Asam mefenamat tab 3 x 500 mg (po)
-
Vitamin C tab 1 x 50 mg (po)
- Sulfas Ferosus tab 1 x 300 mg (po)
21 Mei 2016 (07.00 WIB)
S/ - Demam (-), BAB (-) dan BAK (-)
- PPV (-), ASI (+/+)
- Nyeri ulu hati (-), nyeri kepala (-), pandangan kabur (-)
O/ KU : sedang Nadi : 84 x/i
Kes : CMC Nafas : 22 x/i
TD : 190/100 mmHg Suhu : 36,9 oC
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
- Abdomen : Luka post op tertutup perban, rembesan darah (-),
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
24/34
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik,
nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskular (-)
- Genitalia : I : v/u tenang, perdarahan pervaginam (-), lokia rubra (+)
A/ P2A1H1 post partus SCTPP a.i. Impending Eklampsia
Ibu dan anak dalam perawatan
P/ - kontrol KU, VS, TFU, PPV, kontraksi uteri, balance cairan, reflek patella
- Regimen MgSO4 dosis maintenance
- Metildopa tab 3 x 500 mg (po)
- Nifedipine tab 1 x 30 mg (po)
- Amoxicilin tab 3 x 500 mg (po)
- Asam mefenamat tab 3 x 500 mg (po)
- Vitamin C tab 1 x 50 mg (po)
- Sulfas Ferosus tab 1 x 300 mg (po)
22 Mei 2016 (07.00 WIB)
S/ - Demam (-), BAB (-) dan BAK (+)
- PPV (-), ASI (+/+)
- Nyeri ulu hati (-), nyeri kepala (-), pandangan kabur (-)
O/ KU : sedang Nadi : 82 x/i
Kes : CMC Nafas : 22 x/i
TD : 110/80 mmHg Suhu : 36,5 oC
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
- Abdomen : Luka post op tertutup perban, rembesan darah (-),
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik,
nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskular (-)
-
Genitalia : I : v/u tenang, perdarahan pervaginam (-), lokia rubra (+)
A/ P2A1H1 post partus SCTPP a.i. Impending Eklampsia
Ibu dan anak dalam perawatan
P/ - kontrol KU, VS, TFU, PPV, kontraksi uteri
- Metildopa tab 3 x 500 mg (po)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
25/34
- Nifedipine tab 1 x 30 mg (po)
- Amoxicilin tab 3 x 500 mg (po)
- Asam mefenamat tab 3 x 500 mg (po)
-
Vitamin C tab 1 x 50 mg (po)
- Sulfas Ferosus tab 1 x 300 mg (po)
23 Mei 2016 (07.00 WIB)
S/ - Demam (-), BAB (-) dan BAK (+)
- PPV (-), ASI (+/+)
- Nyeri ulu hati (-), nyeri kepala (-), pandangan kabur (-)
O/ KU : sedang Nadi : 84 x/i
Kes : CMC Nafas : 22 x/i
TD : 190/100 mmHg Suhu : 36,9 oC
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
-
Abdomen : Luka post op tertutup perban, rembesan darah (-),
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik,
nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskular (-)
- Genitalia : I : v/u tenang, perdarahan pervaginam (-), lokia rubra (+)
A/ P2A1H1 post partus SCTPP a.i. Impending Eklampsia
Ibu dan anak dalam perawatan
P/ - kontrol KU, VS, TFU, PPV, kontraksi uteri
- Metildopa tab 3 x 250 mg (po)
- Amoxicilin tab 3 x 500 mg (po)
- Asam mefenamat tab 3 x 500 mg (po)
- Vitamin C tab 1 x 50 mg (po)
-
Sulfas Ferosus tab 1 x 300 mg (po)
- Boleh pulang
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
26/34
BAB 3
DISKUSI
Seorang pasien, Ny. MH, perempuan, umur 32 tahun datang ke IGD RSUD
Dr. M. Zein Painan tanggal 20 Mei 2016 pukul 22.30 WIB, dengan keluhan nyeri
pinggang menjalar ke ari-ari sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Setelah
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diagnosis pasien
menjadi G3P1A1H0 parturien aterm 37-38 minggu Kala 1 Fase Aktif dengan PEB
Impending Eklampsia, janin hidup tunggal intrauterin letak lintang kepala kanan
dorsosuperior.
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien datang ke IGD dalam keadaan
inpartu dengan tanda-tanda yaitu nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 6 jam
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri semakin lama semakin meningkat. Keluar lendir
campur darah dari kemaluan sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit.
Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan pada status obsetrik abdomen yaitu :
Inspeksi : perut tampak membuncit sesuai dengan kehamilan aterm
Striae gravidarum (+), hiperpigmentasi linea mediana (+), sikatrik (-)
Palpasi : TFU = 30 cm TBJ = 2945 gram
Leopold 1 : FUT teraba 3 jari bawah processus xyphoideus
Teraba masa besar, lunak dan noduler
Leopold 2 : Teraba tahanan terbesar disebelah kiri ibu
Teraba bagian-bagian kecil disebelah kanan ibu
Leopold 3 : Teraba massa keras, terfiksir
Leopold 4 : Divergen
His : 3-4x/40”/K
Auskultasi : DJJ 134-137 kali per menit
Dari pemeriksaan genitalia dari VT (Vaginal Toucher ) didapatkan pembukaan 5-6
cm, ketuban masih utuh, teraba kepala UUK kiri depan pada Hodge II-III.
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
27/34
Berdasarkan data di atas pada pasien dapat disimpulkan saat masuk IGD pasien
dalam keadaan inpartu pada kala 1 fase aktif.
Pada pasien didapatkan adanya hipertensi dengan tekanan darah 180/100
mmHg. Pasien belum pernah menderita penyakit hipertensi sebelumnya. Berdasarkan
literatur hal ini merupakan hipertensi gestasional karena terjadi lebih dari usia
kehamilan 20 minggu. Pada pemeriksaan penunjang telah didapatkan adanya protein
(+++) pada pemeriksaan urine. Adanya hipertensi gestasional yang disertai
proteinuria (+++) menegakkan diagnosis pre-eklampsia berat (PEB). Pada PEB
cenderung terjadi eklampsia yang ditandai dengan kejang. Komplikasi PEB terutama
terjadi pada otak, ginjal, hati, dan mata sehingga perlu adanya anamnesis dan
pemeriksaan lebih lanjut mengenai gejala yang mungkin terjadi pada organ tersebut.
Pada anamnesis pasien didapatkan adanya nyeri ulu hati, hal ini mengarahkan pada
impending eclampsia. Pemeriksaan penunjang seperti elektrolit, ureum, kreatinin,
SGOT, dan SGPT perlu disertakan dalam pemeriksaan pasien dengan PEB untuk
mendeteksi kemungkinan telah terjadinya komplikasi.
Menurut literatur tatalaksana PEB adalah dengan Calcium Channel Blocker
dengan obat pilihan yaitu MgSO4 dengan regimen dosis inisial dan dosis
pemeliharaan (maintenance), serta terminasi kehamilan dengan menggunakan
vacuum atau forcep, sedangkan tatalaksana PEM dengan impending eclampsia harus
dengan tindakan operatif berupa section secaeria untuk mencegah terjadinya
eklampsia.
Regimen MgSO4 yang dipakai adalah dosis inisial 40 mg yang diberikan
secara intramuscular pada bokong, diberikan 20 mg pada bokong kanan dan 20 mg
pada bokong kiri. Untuk melanjutkan regimen MgSO4 dosis maintenance perlu
dilakukan pemeriksaan balance cairan dan reflek patella. Dosis maintenance
diberikan dalam 3 dosis secara intramuscular dalam 24 jam dengan sekali pemberian
sebanyak 20 mg.
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
28/34
Pemberian oban anti hipertensi lain dibutuhkan dalam perwatan untuk
menurunkan tekanan darah, dalam kasus ini digunakan metildopa dan nifedipine.
Pemberian analgetik, antibiotik, zat besi, dan vitamin C perlu diberikan pada seorang
wanita setelah melahirkan.
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
29/34
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
30/34
Lampiran 2
Kriteria Manajemen Konservatif atau Terminasi Kehamilan pada Preeklampsia
Berat. (POGI, 2010)
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
31/34
Lampiran 3
Algoritma Manajemen Klinis Sistematik pada Suspek Preeklampsia Berat pada
Kehamilan
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
32/34
Lampiran 4
Indikasi Persalinan pada Wanita dengan Usia Gestasi
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
33/34
Lampiran 5
Dosis Magnesium sulfat pada Preeklampsia berat dan Eklampsia.
8/16/2019 Case PEB Lingga, Ade, Dina
34/34
DAFTAR PUSTAKA
Baha M. Sibai JRB. 2007. Expectant management of severe preeclampsia remote
from term: patient selection, treatment, and delivery indications : Am J Obstet
Gynecol.
Cunningham FG, et al. 2014. Pregnancy Hypertension. dalam: Williams Obstetrics
24rd Edition, USA : The McGraw Hill Companies.
Cunningham FG, et al. 2010. Pregnancy Hypertension. dalam: Williams Obstetrics
23rd Edition, USA : The McGraw Hill Companies.
Kaufman P, Black S, Huppertz B. 2003. Endovascular Trophoblast Invasion:
Implication for the Pathogenesis Intrauterine Growth Retardation and
Preeclampsia : Biology of Reproduction.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, Jakarta : WHO Indonesia.
Lam, et al. 2005. Circulating Angiogenic Factors in the Pathogenesis and Prediction
of Preeclampsia, USA : American Heart Association.
POGI. 2010. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tatalaksana
Preeklampsia, Jakarta : Kemenkes RI.
RCOG. 2011. Hypertension in Pregnancy: The Management of Hypertensive
Disorders during Pregnancy. United Kingdom : NHS Evidence.
Roeshadi RH. 2004. Hipertensi dalam Kehamilan, dalam Ilmu Kedokteran
fetomaternal , Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan
Kedokteran Obstetri dan Ginekologi.