50
PHARMACOLOGICAL PROPERTIES Drug Salbutamol acetaminophen Class of drug Adregenic agonist Non opioid / non- narkotik Mechanism of action Salbutamol merupakan obat simpatomimetik yang menstimulasi produksi mediator rangsang (cyclic AMP) dengan mengaktifkan enzim adenil siklase. Salbutamol menstimulasi secara kuat reseptor beta-adregenik pada bronkus, sehingga akan terjadi relaksasi otot polos bronkus dan dilatasi bronkus. Disamping itu salbutamol berefek menghambat pelepasan histamine sehingga mencegahterjadinya serangan asma Analgesic : bekerja meningkatkan ambang rasa sakit Antipiretik : menghambat heat regulating center di hipotalamus efek bronchodilator Analgesic, antipiretik Side effect Relative jarang terjadi, seperti aritmia, palpitasi, termor, mual, muntah, anoreksia, dipepsia, pusing dan vertigo Penggunaan jangka panjang dan dosis besar dapat menyebabkan kerusakan hati Reaksi hipersensitivitas 1 | Page

Case Terakhir(2)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case ujian tentang masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia. case tutorial pada sistem pembelajaran ppsk

Citation preview

PHARMACOLOGICAL PROPERTIES

Drug Salbutamol acetaminophen

Class of drug Adregenic agonist Non opioid / non-narkotik

Mechanism of

action

Salbutamol merupakan obat

simpatomimetik yang menstimulasi produksi

mediator rangsang (cyclic AMP) dengan

mengaktifkan enzim adenil siklase.

Salbutamol menstimulasi secara kuat

reseptor beta-adregenik pada bronkus,

sehingga akan terjadi relaksasi otot polos

bronkus dan dilatasi bronkus. Disamping itu

salbutamol berefek menghambat pelepasan

histamine sehingga mencegahterjadinya

serangan asma

Analgesic : bekerja meningkatkan

ambang rasa sakit

Antipiretik : menghambat heat

regulating center di hipotalamus

efek bronchodilator Analgesic, antipiretik

Side effect Relative jarang terjadi, seperti aritmia,

palpitasi, termor, mual, muntah, anoreksia,

dipepsia, pusing dan vertigo

Penggunaan jangka panjang dan

dosis besar dapat menyebabkan

kerusakan hati

Reaksi hipersensitivitas

indication Untuk meringankan gejala sesak nafas pada

penderita asma bronchial, bronchitis kronis

dan emfisema

Analgesic dan antipiretik

contraindication Penderita yang hipersensitif terhadap

salbutamol

Hipersensitifitas terhadap

acetaminophen

pharmacokinetik Efektif dalam pemberian oral

Absorbsi dengan baik dalam pemberian

aerosol (inhalasi)

Secara cepat di absorbs di GI tract.

Terjadi first-pass metabolism di sel

lumen didalam usus dan pada

hepatosit

posology Anak 2-6 tahun : 1-2 mg, 3-4 kali sehari

Anak 6-12 tahun : 2 mg, 3-4 kali sehari

Dewasa dan anak diatas 2 tahun :2-4 mg ,3-4

Dewasa 300mg- 1g perkali,

dengan dosis maksimum 4 gr/hari

Anak 6-12 tahun, 150-300mg/

1 | P a g e

k kali sehari kali, dosis maksimum 1,2 gr / hari

Anak 1-6 th, 60-120 mg/kali, bayi

< 1 tahun 60 mg /kali , untuk anak

maks diberikan 6x sehari

Dexamethasone Ambroxol

Class of drug antiimflamasi mucolitic

Mechanism of action Kortikosteroid mempunyai efek supresif terhadap imflamatory cytokines dan chemokines, jenis obat kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein, molekul hormon memasuki sel jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma, membentuk kompleks reseptor-steroid.

Kompleks ini mengalami konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin.

Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan protein spesifik

Merangsang aksi mucocilliary, mengganggu struktur dari benang-benang asam mucopolysaccaride yang ada pada sputum, sehingga sputum menjadi lebih encer

Efek MengurangiManifestasi inflamasi, menekan imunitas ( imunosupressan )

Expectorants

Side efek Insomnia, peptic ulcer ( dosis tinggi pada glukokortikoid merangsang asam lambung

Efek samping pada GIT, sakit kepala, vertigo, sweating, reaksi alergi

2 | P a g e

dan produksi pepsin dan dapat eksaserbasi ulcus ), facemoon, mudah terkena penyakit

indikasi Bronchial asthma, alergi Asthma, productive coughKontra indikasi Peptic Ulcer, heart desease,

hypertensiPada orang-orang yang mempunyai hypersensitivitas tinggi terhadap bromhexine hydrochloride yang terkandung dalam obat ini

Pharmacokinetic Pemberian secara oral, injeksi dan topical di absorpsi secara cepat dan lengkap90% berikatan dengan protein plasma, dimetabolisme di hati dan di ekskresi di urin

Ambroxol sangat sepat diabsorpsi di GIT distribusi luas ke jaringan tubuh dan sangat besar di plasma protein, di ekskresi di urin sebagai metabolit

Dosage Regimen - Oral : 0,5 mg/kg per hari

- Parenteral : 4 ml- Topical : 0,01 – 0,1%

Pada mata 0,1 %

Untuk dewasa >12 th...10 ml 2x sehari..

3 | P a g e

Penggunaan obat yang rasional : criteria dan proses

Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan dokter terhadap pasiennya

berdasarkan temuan-temuan yang diperolehnya. Upaya tersebut ditempuh melalui suatu tahapan

prosedur tertentu yang disebut Standard Operating Procedure (SOP), yaitu dari anamnesis,

pemeriksaan, penegakan diagnosis, pengobatan dan tindakan selanjutnya.

Rasional adalah suatu proses penalaran ilmiah yang didasarkan pada metoda berpikir secara

deduktif , yaitu dengan menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari temuan-temuan yang bersifat

umum.

Dengan demikian, secara filosofis, pengobatan yang rasional adalah suatu prosedur pengobatan

yang didasarkan pada penalaran yang bersifat ilmiah dengan menggunakan metode deduktif.

Pengobatan yang rasional menghasilkan reproducibility dan predictibilty yang tertinggi dibandingkan

pengobatan yang rasional.

Berikut criteria penggunaan obat yang rasional menurut WHO:

1. Diagnosis yang tepat, merupakan landasan yang penting. Karena menentukan langkah

selanjutnya.

2. Indikasi yang tepat, alas an peresepan semata-mata harus didasarkan pada pertimbangan

medis serta kepastian bahwa farmako terapi terbukti memberikan alternative terapi yang baik.

3. obat yang tepat, dasar pertimbangannya adalah efektifitas, keamanan, kecocokan dan harga

4. dosis, pemberian dan lamanya yang tepat, kegagalan dalam mempertimbangkan criteria ini

akan berakibat terapi menjadi tidak efektif, merugikan dan tidak ekonomis.

5. penderita yang tepat, obat yang dipilih tidak merupakan kontraindikasi pada penderita tersebut

kemungkinan efeksampingnya minimal.

6. Informasi yang tepat, ketepatan informasi pada penderita merupakan baian integral dari proses

peresepan. Criteria ini diperlukan untuk menjamin ketepatan dan keamanan penggunaan obat

serta akan meningkatkan kepatuhan penderita.

7. evaluasi serta tindak lanjut yang tepat; kepentingan dan keperluan monitoring yang cermat

sering kali terabaikan , sehingga dapat mengakibatkan kegagalan terapi atau terjadinya masalah

akibat obat (drug jused problems).

4 | P a g e

Criteria menurut Herxheimer berpendapat bahwa untuk memenuhi criteria pemberian obat yang

rasional, perlu ditempuh beberapa tahap, yaitu:

Tahap -1 : pastikan bahwa obat betul-betul diperlukan

Tahap -2 : pastikan efek obat yang diperlukan

Tahap -3 : pilihlah obat dan sediaan obat sesuai dengan kondisi klinis yang dihadapi, dengan

mempertimbangkan efektifitas, keamanan, kemudahan dan harganya.

Tahap- 4 : tentukan dengan tepat dosis , interval dan lamanya pemberian obat.

Tahap-5 : tetapkan keputusan pemilihan sediaan obat atas dasar hasil dialo dengan pasien.

Proses pengobatan rasional

Proses pengobatan rasional terdiri dari enam tahap, yaitu :

1. tentukan masalah yang dihadapi penderita (define the patient’s problem)

2. tentukan tujuan terapi (specify the therapeutic objective)

3. evaluasi kecocokan pengobatan secara individual (verify the suitability of your personal

treatment)

4. mulailah pengobatan (start the treatment)

5. berikan informasi, instruksi dan kewaspadaan (give information, instruction and warnings)

6. monitor/ hentikan pengobatan (monitor/stop treatment)

criteria pengobatan yang tidak rasional

Penggunaan obat yang tidak rasional telah lama dikenal, dan merupakan masalah yang cukp

serius dalam pelayanan kesehatan dan terjadi universal disemua negara, oleh karena kemungkinan dan

terjadinya universal disemua negara, dan kemungkinan dampak nya sangat luas.

5 | P a g e

Penggunaan obat yang tidak rasional pada dasarnya adalah tidak tepat secara medic, yaitu tidak

tepat indikasi, tidak tepat dosis, cara dan lama pemberian, serta tidak tepat nya informasi yang

disampaikan sehubungan dengan pengobatan yang diberikan

Quick membuat klasifikasi penggunaan obat yang tidak rasional, sebagai berikut :

1. extravagant prescribing (peresepan yang boros)

keadaan ini ditemukan pada pemberian obat yang harganya mahal (biasanya obat baru),

padahal masih ada obat lama yang harganya lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang

sama. Misalnya pemberian tiamfenikol pada kasus tifoid.

2. Over prescribing (peresepan yang berlebihan )

Keadaan ini ditemukan pada pemberian obat yang tidak diperlukan, manfaat nya diragukan,

diberikan dalam dosis yang berlebihan atau dalam jangka pemberian terlalu lama. Misalnya

pemberian antibiotika pada kasus ISPA karena virus atau penggunaan papase sebagai anti-

inflamasi.

3. Incorrect prescribing (peresepan yang salah)

Keadaan ini ditemukan pada pemberian obat untuk diagnosis yang salah, indikasi yang salah

atau tidak mempertimbangkan pengaruh factor genetic maupun lingkungan.

4. Multiple prescribing (peresepan majemuk)

keadaan ini ditemukan pada pemberian banyak obat untuk satu indikasi yang sama atau

pemberian banyak obat untuk penyakit yang berkaitan dengan penyakit prmernya.

5. Under Prescribing (persepan kurang)

Keadaan ini ditentukan bila obat yang tidak dibutuhkan tidak diresepkan atau pemberian obat

dengan dosis yang kurang atau jangka waktu yang kurang.

Penggunaan obat yang tidak rasional mempunyai dampak negative sebagai berikut:

1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, yaitu menghambat upaya penurunan

morbiditas dan mortalitas penyakit, serta mencerminkan bahwa mutu pengobatan masih

kurang. Misalnya kurangnya penggunaan obat oralit pada diare yang akut dapat menyebabkan

gagalnya tujuan terapi.

2. Dampak terhadap biaya pengobatan, yaitu bahwa pemberian obat tanpa indikasi, pada

keadaan tidak memerlukannobat atau penggunaan obat yang mahal, menyebabkan

6 | P a g e

pemborosan biaya obat. Penggunaan obat yang kurang dan tidak tepat pada tahap awal

penyakit, juga akan meningkatkan biaya akibat peningkatan resiko perpanjangan penyakit dan

perawatan di rumah sakit.

3. Dampak terhadap efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan,yaitu makin banyak obat

yang digunakan makin besar resiko terjadinya efewk samping, peningkatan resistensi pada

pemberian obat antibiotika secara under dan over. Prescribing atau kemungkinan penularan

penyakit/ terjadinya syok anafilaktik

4. Dampak psikososial, yaitu ketergantungan pasien terhadap intervensi obat atau persepsi yang

keliru terhadap pengobatan, misalnya kebiasaan menyuntik atau pemberian obat nafsu makan.

Ketidakrasionalan penulisan resep mempunyai banyak sebab dan sifatnya kompleks. Akan tetapi

sebab utamanya adalah :

1. Kurangnya bekal pengetahuan dan keterampilan di bidang farmakologi klinik

2. Kurang mendapatkan pendidikan berkelanjutan dan penyegaran

3. Pertimbangan prestige yang keliru dan para praktisi, yaitu bahwa dokter yang baik adalah yang

menggunakan banyak obat atau obat baru

4. Aktifitas promosi yang berlebihan, mendorong penggunaan obat secara berlebihan.

5. Keterbatasan waktu yang dimiliki dokter dalam melayani pasien

6. Tekanan pasien agar dokter memenuhi permintaannya

7. Kekurang yakinan dokter akan diagnosis yang ditegak-kannya

8. Generalisasi yang keliru mengenai efek obat atas dasar pengalaman yang terbatas daripada atas

bukti ilmiah, mendorong kearah peresepan yang berlebih atau kurang .

Beberapa factor telah di indikasikan sebagai penyebab ketidakrasionalan penggunaan obat, yaitu:

1. Sistem kesehatan (health system)

Pasokan obat yang tidak tepat

Keterbatasan obat

Obat yang sudah kadaluarsa

Obat yang salah

2. Pembuat resep (prescriber)

Kurang pelatihan

Kurang contoh penanggulangan

7 | P a g e

Kurang informasi

Kepentingan financial

3. Pemberian obat (dispenser)

Kurang pelatihan

Tidak adanya supervise

Keterbatasan sarana dan prasarana

Jumlah pasien yang sangat banyak

4. Pasien dan masyarakat (patient community)

Kurang informasi tertulis

Perilaku pembuat resep

Terbatasnya waktu konsultasi

Budaya dan kepercayaan

Berdasarkan kemungkinan factor-faktor penyebabnya, dapat dikemukakan beberapa strategi

perbaikan penggunaan obat, yaitu:

1. Strategi pendidikan

a. Pelatihan pembuat resep

Pendidikan formal dan berkelanjutan

Kunjungan supervisi

Diskusi kelompok / seminar/ lokarya

b. Materi informasi tertulis

Literature dan bulletin klinik

Pedoman terapi dan formularium obat

c. Kontak langsung

Jangkauan pendidikan

Pendidikan pasien

Mempengaruhi opinion leaders

2. Strategi manajerial

a. Perbaikan seleksi dan distribusi

Daftar obat terbatas

Review penggunaan obat serta umpan-baliknya dan informasi harga

Komite farmasi rumah sakit dan regional

8 | P a g e

b. Pendekatan peresepan dan dispensing

Formulir permintaan obat yang terstruktur

Pedoman diagnosis dan terapi

Paket lamanya terapi

c. Financial (penetapan harga, biaya perkapita)

3. Strategi regulasi

Regristasi obat

Daftar obat terbatas

Pembatasan peresepan

Pembatasan dispensing

4. Informasi obat

Buletin informasi

Sistem pemberian obat

Penggunaan Antibiotik yang Rasional

9 | P a g e

Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh mikroba ( bakteri, fungi,actynomycetes)

dan mampu menekan atau membasmi pertumbuhan mikroba lain.

Antibiotika ideal mempunai beberapa criteria tertentu :

1. Bersifat paling efektif dan selektif terhadap bakteri penyebab

2. Lebih bersifat bakterisida pada tempat nfeksi

3. Efek antibakterinya tidak dipengaruhi oleh cairan tubuh, eksudat, protein plasma atau enzim

dan dapat dipertahankan dalam darah untuk waktu yang cukup lama

4. Efek toksiknya minimal

5. Resistensi timbul secara lambat

6. Dapat diberikan melalui cara yang diinginkan

7. Harganya terjangkau

Klasifikasi antibiotic

a. Secara in vitro, antibiotika dibagi menjadi dua bagian :

1. Yang secara primer bersifat bakteriostatik, yaitu yang pada dosis biasa berefek utama

menghambat pertumbuhan dan multiplikasi. Misalnya sulfonamide, tetrasiklin,

kloramfenikol, eritromisin ( konsentrasi rendah), linkomisin,klindamisin, dan asam fusidat.

2. Yang secara primer bersifat bakterisida, yaitu yang pada dosis biasa berefek membunuh

bakteri. Misalnya penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, eritromisin (konsentrasi tinggi ),

kotrimoksazol, rifampisin dan vankomisin.

Pembagian ini tidak mutlak karena beberapa obat dapat bersifat bakteriostatik atau

bakterisida tergantung konsentrasinya misalnya kotrimoksazol, eritromisin, novobiosin,

nitrofurantoin, linkomisin dan klindamisin.

b. Berdasarkan spectrum bakterinya, antibiotika dibagi atas :

10 | P a g e

1. Antibiotika berspektrum sempit

Efek utamanya hanya pada bakteri gram positive coccus dan basil seperti penisili G, penisilin

semisintetik yang tahan penisilinase, basitrasin, golongan makrolid, linkomisin dan vankomisin,

atau yang efek utamanya hanya pada bakteri gram negative aerob seperti aminoglikosida dan

polimiksin.

2. Antibiotika berspektrum luas

Efek utamanya adalah pada bakteri gram positive dan gram negative seperti penisilin

spectrum luas ( ampisilin, amoksilin ) sefalosporin, tetrasiklin, kloramfenikol, trimetoprim dan

sulfanomida.

c. Berdasarkan kesamaan struktur kimianya, misalnya golongan penisilin, sefalosporin,

aminoglikosida,sulfonamide, makrolid, tetrasiklin dan lain-lain.

d. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi atas :

1. Antibiotika yang menghambat sintesis dinding sel atau mengaktivasi enzim yang merusak

dinding sel, misalnya penisilin, sefalosporin, sikloserin, vankomisin, basitrasin dan antifungi

golongan imidazol.

2. Antibiotik yang bekerja langsung pada membrane sel mikroba, mempengaruhi

permeabilitasnya sehingga terjadi kebocoran komponen intraselulernya, misalnya

detergen,polimiksin,kolistimetat, antifungi polien, nistatin, dan amfoterisin.

3. Antibotika yang mempengaruhi fungsi ribosom bakteri sehingga terjadi penghambatan

sintesis protein yang reversible, misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, dan

klimdamisin.

4. Antibiotika yang mengikat ribosom subunit 30-S dan mengubah sintesis protein sehingga

terjadi kematian sel, misalnya aminoglikosida.

11 | P a g e

5. Antibiotika yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat, misalnya rifamisin

( menghambat polymerase RNA yang tergantung DNA) dan kolinolon ( menghambat

superkoilisasi DNA dan sintesis DNA )

6. Antimetabolit, termasuk trimetropim dan sulfonamide yang menghambat tahapan

metabolisme yang spesifik dan esensial bagi mikroba.

7. Analog asam nukleat, seperti zidovudin, gansiklovir, vidarabin, dan asiklovir yang mengikat

enzim virus yang esensial untuk sintesis DNA sehingga relikasi virus terhenti.

Tujuan penggunaan antibiotic :

1. Tujuan profilaksis

Pemberian antibiotic profilaksis pada dasarnya dilakukan dalam keadaan belum terkena infeksi

akan tetapi beresiko tinggi untuk terkena infeksi, dan bila terkena infeksi akan berdampak

buruk. Pemberian antibiotic profilaksis dibedakan menjadi :

a. Antibiotik profilaksis bedah

Pemberian antibiotika profilaksis bedah sebetulnya hanya dibenarkan untuk jenis operasi

terkontaminasi dan operasi bersih tertentu yang meskipun resikonya rendah tetapi bisa

membahayakan jiwa. Cara, saat dan lama pemberian antibiotika profilaksis ditujukan untuk

mencapai kadar efektif dalam darah atau jaringan yan melebihi kadar hambat minimal bakteri.

b. Antibiotik profilaksis non-bedah

Pemberian antibiotic profilaksis non-bedah antara lain untuk :

- Mencegah infeksi komunitas, pada orang telah terpapar ( kontak erat tetapi belum

kebal). Misalnya pada kasus tuberkulosa, meningitis akibat H. influenza tipe B atau

N.meningitidis.

- Mencegah infeksi nosokomial, pada penderita dengan imunitas rendah

(immunocompromised).Misalnya pada penderita yang sedang diberi kemoterapi

intensif.

12 | P a g e

- Mencegah kekambuhan penyakit, misalnya pada penyakit demam rematik.

- Mencegah endokarditis, pada penderita dengan kerusakan katup jantung bila dilakukan

tindakan pada gigi.

2. Tujuan terapi

Pemberian antibiotic untuk tujuan terapi dapat dilakukan secara :

a. Empirik ( educated guess) atau secara definitive, dengan menggunakan antibiotika yang

efektif, aman dan berspektrum sempit.

b. Antibiotika kombinasi

Bila betul-betul perlu boleh diberikan, akan tetapi criteria indikasinya harus dipenuhi, yaitu

untuk infeksi bakteri campuran ( memperlebar spectrum ), infeksi berat yang penyebab

spesifiknya belum diketahui ( memperlebar spketrum), meningkatkan aktivitas antibiotika pada

terapi infeksi yang spesifik (meningkatkan sinergisme )dan mencegah/memperlambat

terjadinya resistensi bakteri ( pada kasus tuberkulosa).

Langkah-langkah

Langkah-langkah dalam mendapatkan antibiotika terpilih yang rasional, adalah :

1. Menegakkan diagnosa klinis.

2. Identifikasi bakteri penyebab infeksi.

- Pendekatan educated guess, yaitu mengenali bakteri penyebab tersering dari suatu

infeksi.

- Pengecatan gram dari secret atau cairan tubuh, dengan maksud untuk mempersempit

kemungkinan bakteri penyebab, sebelum dilakukan inisial.

- Kultur bakteri.

3. Tes sensitivitas bakteri terhadap antibiotika

- Kualitatif/semikuantitatif, misalnya dengan tenik difusi agar.

13 | P a g e

- Kuantitatif, misalnya dengan teknik pengenceran sehingga bisa didapatkan kadar

hambat minimal atau kadar bunuh maksimal. Teknik ini dipakai bila dibutuhkan

pengetahuan yang tepat seperti pada terapi endokarditis bakterialis.

Kadang-kadang tes sensitivitas tidak diperlukan, karena berdasarkan pengalaman suatu

bakteri masih tetap mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap antibiotika tertentu,

misalnya streptokokus beta-hemolitikus group A terhadap penicillin G.

4. Pertimbangkan factor pharmakodinamik, farmakokinetik serta factor hospes yang

mempengaruhi efek antibiotika tersebut, begitu pula cara pemberiannya tepat.

Faktor-faktor pharmakodinamik yang perlu diperhatikan, misalnya :

1. Spektrum antibiotika. Penggunaan antibiotika spectrum luas untuk sementara bisa

dipertimbangkan selama belum ada kepastian hasil isolasi dan identifikasi bakteri.

2. Mekanisme kerja. Antibiotika bakterisida lebih disukai pada keadaan daya tubuh menurun.

3. Efek samping.

Faktor-faktor pharmakokinetik yang mempengaruhi aktivitas antibiotika adalah :

1. Absorpsi

Faktor ini berkaitan erat dengan cara pemberian yang paling tepat demi tercapainya tujuan

terapi antibiotika yaitu untuk menghasilkan konsentrasi suprainhibisi atau bakterisida di tempat

kerjanya. Pertimbangan cara pemberian tergantung pada lokasi dan beratnya infeksi serta

perbandingan konsentrasi obat dalam jaringan setelah pemberian per oral dan parenteral.

2. Distribusi

Sekali obat berada dalam darah, maka kemampuan antibiotika untuk mencapai tempat infeksi

tergantng pada :

a. Konsentrasi obat dalam darah

b. Besar molekul

14 | P a g e

c. Ikatan dengan protein plasma

d. Kelarutan dalam lemak

e. Muatan ion

f. Ikatan dengan jaringan

g. Ada/tidaknya inflamasi

h. Mekanisme transport aktif

i. Cara ekskresi

Aktifitas biologis suatu antibiotika sangat erat hubungannya dengan konsentrasi obat bebas

dalam darah. Antibiotika yang terikat luas pada protein plasma akan mengurangi aktifitas

biologisnya, distribusinya ke dalam jaringan, penetrasinya ke dalam rongga interstitial dan

inflamasi, serta sekresinya melalui filtrasi glomerolus.

3. Eliminasi

Mekanisme eliminasi antibiotika kadang-kadang menjadi esensial terutama bila konsentrasi

obat dalam darah tinggi sehingga menimbulkan efek toksik. Obat-obat yang dieliminasi

terutama melalui ginjal memerlukan penyesuaian dosis pemberian ( besar dosisnya atau

interval dosisnya) pada keadaan gangguan fungsi ginjal, karena terjadinya toksisitas berkaitan

langsung dengan konsentrasi obat dalam darah.Misalnya pada aminoglikosida,polimiksin,

vankomisin dan flusitosin.Obat-obat yang dielimiasi melalui hepar ( misalnya eritromisin,

kloramfenikol, linkomisin, dan klindamisin) dosisnya harus diturunka pada keadaan gangguan

fungsi hepar.

4. Cara pemberian, dosis dan lamanya terapi.

Rencana terapi ini perlu ditetapkan lebih dulu pada permulaan pemberian obat agar

konsentrasi obat pada tempat infeksi cukup adekuat dalam waktu yang dibutuhkan untuk

15 | P a g e

penyembuhan. Pada infeksi berat yang mengancam kehidupan atau pada keadaan dimana

dibutuhkan konsentrasi tinggi dari obat pada tempat infeksi, cara parenteral lebih dipilih.

Pada infeksi ringan yang disebabkan oleh bakteri yang sangat peka terhadap pengobatan dan

lokasi infeksi mudah dicapaioleh obat, dapat digunakan cara pemberian per oral.

Besarnya dosis tergantung sekali pada tempat infeksi. Lamanya terapi antibiotika ditentukan

oleh berapa jumlah antibiotika yang harus diberikan dalam wakt tertentu, untuk mendapatkan

hasil terapi yang efektif dan mencegah timbulnya relaps.

Pertimbangan berapa lama terapi harus diberikan berkisar pada :

- Kesanggupan bakteri dalam melawan/mengurangi pertahanan tubuh yang normal.

- Lokasi infeksi dan sensitivitas bakteri terhadap antibiotika

- Aktivitas primer terhadap bakteri

- Mekanisme terjadinya resistensi

Factor-faktor hospes yang mempengaruhi seleksi antibiotika adalah :

1. Mekanisme pertahanan tubuh.

Khasiat antibiotika yang paling efektif sekalipun, mesih memerlukan campur tangan sistem

pertahanan tubuh baik yang bersifat humoral maupun seluler.Pada keadaan-keadaan dimana

mekanisme pertahanan tubuh menurun ( misalnya pada debilitas, agranulositosis, anemia

aplastic, atau pasien-pasien yang sedang diobati obat-obat immunosupresan ), antibiotika akan

bakterisida lebih bermanfaat

2. Faktor local. Aktifitas antibiotika bisa dipengaruhi factor local di tempat infeksi, misalnya :

- Pus akan meningkatkan aminoglikosida, polimiksin, dan vankomisin sehingga

aktivitasnya menurun.

- Akumulasi Hb ditempat hematom yang mengalami infeksi akan mengikat penicillin dan

tetrasiklin, sehingga efektifitasnya menurun.

16 | P a g e

- Ph rendah akan menurunkan aktivitas antibiotika aminoglikosida, golgam makrolid, dan

linkomisin, sedangkan klortetrasiklin akan lebih aktif.

- Keadaan anarerobakan mengganggu aktifitas aminoglikosida

- Benda asing di tempat infeksi akan menrunkan efek antibiotika.

3. Lain-lain

- Umur : pada anak-anak terutama bayi premature fungsi pharmakokinetik belum

sempurna, sedangkan pada orang tua fungsinya sudah menurun, misalnya pemberian

tetrasiklin pada anak-anak menimbulkan pewarnaan gigi, sulfonamide menimbulkan

Kern ikterus.

- Faktor genetic : pada penderita dengan defisiensi enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenase

bila diberikan obat sulfonamide, nitrofurantoin akan timbul hemolisis.

- Kehamilan : Resiko pemberian antibiotika pada ibu dan anak meningkat, misalnya

tetrasiklin pada ibunya menimbulkan pancreatitis sedangkan pada anaknya

menyebabkan pewarnaan gigi. Disamping itu kehamilan akan mempengaruhi

farmakokinetik beberapa antibiotika, misalnya konsentrasi penisilin plasma menurun.

- Alergi obat : Penisilin dan derivatnya terkenal dalam menimbulksn reaksi alergi.

- Gangguan sistem saraf : Penderita yang mempunyai bakat timulnya kejang, cenderung

untuk mendapat serangan pada pengguanaan penicillin G dosis tinggi.

Efek samping

Penggunaan antibiotika dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada tubuh manusia

yaitu :

1. Reaksi alergi. Reaksi ini dapat timbul pada semua golongan antibiotika, denga manifestasi

gejalan yang dapat ringan sampai berat seperti syok anafilaktik.

2. Reaksi toksik. Reaksi ini juga dapat timbul pada semua antibiotic dan dapat timbul akibat satu

atau dua mekanisme tersebut dibawah ini :

17 | P a g e

- Reaksi toksik yang timbul sebagai efek langsung penggunaan dosis yang tidak tepat,

misalnya pada aminoglikosida dan kloramfeikol.

- Reaksi toksik yang tidak dapat diramalkan, mungkin karena reaksi alergi atau idiosinkrasi

dan biasanya tidak tergantung pada dosis yang diberikan, misalnya pada penicillin atau

sefalosporin.

3. Superinfeksi

Keadaan ini merupakan infeksi baru yang disebabkan oleh mikroba pathogen atau jamur pada

pengobatan infeksi primernya dengan antibiotka. Keadaan ini relative sering dan berbahaya,

karenan mikroba penyebabnya yang biasanya suatu Enterobacter, Pseudomonas, dan Kandidia

atau jamur lainnya, sulit dibasmi dengan antiinfeksi yang tersedia sampai kini.

Superinfeksisering terjadi pada anak-anak berumur kurang dari tiga tahun, diberi antibiotika

berspektrum luas, jangka panjag dan ada penurunan daya tahan tubuh.

Untuk mengatasi superinfeksi perlu diambil tindakan sebagai berikut :

- Menghentikan terapi antibiotika yang sedang digunakan

- Melakukan pembiakan mikroba penyebab superinfeksi

- Mengobati dengan antibiotika yang sesuai atas dasar pemeriksaan bakteriologi dan tes

sensitivitas.

Pencegahan superinfeksi dapat dilakukan dengan pemeriksaaan biakan dari feses dan secret

saluran nafas bagaian atas, selama pengobatan dengan antibiotika. Bila kemudian mikroba

tersebut berpotensi pathogen menjadi dominan atau merupakan satu-satunya unsur

mikroflora, langsung diberikan pengobatan dengan antibiotika yag efektif terhadapnya.

INTERAKSI OBAT

18 | P a g e

Interaksi obat terjadi apabila efek farmakologik suatu obat dirubah oleh obat atau zat lain.

Pemberian obat lebih dari satu macam merupakan kejadian yang sering ditemukan sehingga

peluang untuk terjadinya interaksi obat meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah obat-

obatan yang diterima penderita.

Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi obat

1. Patient factor

Umur, genetic, penyakit, liver function, konsentrasi protein darah, pH urine dan makanan

2. Drug factor

Dosis, poly pharmacy ( pemberian obat pada waktu yang sama), bentuk obat, durasi terapi,

drug administration.

Secatra klinis ada titik –titik waktu tertentu yang penting diperhatikan selama

berlangsungnya interaksi obat.

1. Saat timbulnya ( pertama kali terdeteksi)

2. Saat efek farmakokinetik /farmakodinamik interaksi maksimal.

3. Saat efek samping dialami penderita.

4. Saat yang tepat untuk menghentikan interaksi.

KLASIFIKASI INTERAKSI

19 | P a g e

a) Berdasarkan tempat terjadinya

1. Terjadi selama formulasi dan pencampuran obat

a. Interaksi farmasetika

Bisa berakibat rusaknya sediaan obat atau terpisahnya bahan-bahan obat.

b. Interaksi kimia ( incompatibilitas)

Obat-obat umumnya merupakan asam/basa organic lemah dan sering tidak larut, sehingga

untuk melarutkannya perlu bentuk garam. Proses pencampuran mengakibatkan prespitasi

atau ketidak stabilan obat. Perubahan pH merupakan factor utama terjadinya interaksi

kimia.

2. Interaksi di tempat masuknya obat ( proses absorbsi).

3. interaksi di dalam tubuh ( pada proses distribusi, metabolism, ekskresi dan farmakodinamik).

b) Berdasarkan perubahan yang terjadi

1. Interaksi farmakokinetik

Suatu obat merubah farmakokinetik obat lain sehingga merubah kadar satu atau semua

obat tersebut dalam plasma atau erseoptor.

2. interaksi farmakodinamik

Suatu obat tidak merubah farmakokinetik obat lain, tapi terjadi perubahan respon

terhadap satu atau semua obat atau terjadi perubahan efek yang dihasilkan oleh kadar

suatu obat dalam plasma.

1.Interaksi farmakokinetik

20 | P a g e

Interaksi pada pemberian obat secara sistemik

a. Interaksi obat invitro

Beberapa obat bersifat incompatible ( tidak tercampurkan ) dengan cairan infuse intarvena.

b.Interaksi obat pada proses absorbsi ( in vivo)

Keadaan ini terjadi akibat dari mekanisme:

I. Pembentukan ikatan kompleks ( langsung)

Tetrasiklin dan kation seperti kalsium akan membentuk ikatan garam yang tidak larut

sehingga kadar tetrasiklin plasma menurun.

II. Perubahan Motilitas usus

Pemberian antikholinergik ( atropin ) atau opioid akan memperlambat kecepatan

pengosongan lambung dan memperlambat absorbsi beberapa obat tertentu seperti

asetaminofen yang absorbsinya terutama di usus.

III. Penghambatan absorbi

Kolkishin mengakibatkan malabsorbsi vitamin B

IV. Perubahan absorbsi karena factor diet

Makanan berlemak akan meningkatkan absorbs obat-obatan yang larut dalam lemak

( misalnya griseofulvin ).

V. Perubahan flora usus

Anti mikroba akan menyebabkan potensiasi efek antikoagulan oral dengan cara

mengurangi sintesis vitamin K oleh bakteri usus.

VI. Perubahan pH lambung

21 | P a g e

Salisilat ( asam lemah ) tidak akan diabsorbsi secara baik apabila pH lambung meningkat

( akibat antacid ).

Interaksi pada proses distribusi

A) Pergeseran sebagai akibat kpmpetisi pada tempat ikatan protein plasma

Terjadi persaingan antara obat yang bersifat asam maupun basa untuk berikatan dengan

albumin.

B) Pergeseran sebagai akibat kompetisi pada tempat ikatan protein jaringan

Kinidin akan menggeser digoksin dari tempat ikatan di jaringan sehingga toksisitas

digoksin meningkat.

C) Penghambatan pada system transport aktif

Antidepresan trisiklik dan fenotiazin akan menghambat sintesis guanidinium sehingga

mencegah obat tersebut sampai ke tempat kerjanya.

1. Interaksi pada proses Metabolisme

Sebagian besar obat yang mengalami inaktivasi melalui proses biotransformasi, efeknya

bias memanjang bila metabolismenya dihambat oleh obat lain.

2. Interaksi pada proses Eksresi

Interaksi pada proses ekskresi melalui mekanisme:

a. Pengaruh pada transport aktif

Persaingan system transport oleh asam lemah akan menurunkan eliminasi obat obat tertentu.

22 | P a g e

b. Perubahan pH urine

Obat-obat yang menyebabkan alkalinisasi urin akan meningkatkan ekskresi asam lemah.

c. Penurunan eliminasi obat melalui simulasi sekresi bilier

Fenobarbital akan meningkatkan ekskresi bilier beberapa obat dengan cara

meningkatkan aliran empedu dan sintesis protein yang berperan di dalam mekanisme

ekskresi konjugasi bilier.

3. Interaksi farmakodinamik

Interaksi pada target organ yang sama

Interaksi pada reseptor yang sama

Interaksi pada reseprot yang berbeda

Interaksi pada target organ yang berbeda

Potensiasi efek antihipertensi diuretika ( berefek langsung vasodilatasi ) terhadap reserpin

( penurunan tonus simpatis ).

Hal-hal yang harus diwaspadai oleh para dokter praktek dan klinisi

Yang penting adalah kejadian interaksi yang berkaitan dengan obat-obat tertentu;

1. Obat-obatan yang mempunyai indeks terapi yang sempit,misalnya glikosida jantung

2. Obat-obatan yang efek farmakoliginya berkaitan erat dengan kadarnya dalam plasma

3. Obat-obatan yang hasil akhir efek terapinya sukar ditentukan secara pasti,misalnya

antipsikotika.

Untuk membuat ramalan terjadinya interaksi obat,membuat suatu kriteria kemungkinan

interaksi obat yang penting :

23 | P a g e

1. Higly predictable= terjadi pada semua penderita yang menerima kombinasi obat

2. Predictable=terjadi pada sebagian besar penderita yang menerima kombinasi obat

3. Not predictable=hanya terjadi pada beberapa penderita yang menerima kombinasi obat

4. Not established=data untuk meramalkan kejadian interaksi tidak cukup.

Penggolongan Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan

hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara

24 | P a g e

turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional

Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu dan

fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, telah diciptakan peralatan

berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga industri jamu maupun industri

farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun, sayang pembuatan sediaan

yang lebih praktis ini belum diiringi dengan perkembangan penelitian sampai dengan uji klinik.

Saat ini obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu jamu, obat ekstrak alam, dan

fitofarmaka.

1.Jamu (Empirical based herbal medicine)

Logo Jamu :

Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk

seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu

tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu

pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya

cukup banyak, berkisar antara 5 – 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan

pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah

digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan

tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan

tertentu. Obat bahan alam yang dikelompokkan dalam kategori jamu/obat tradisional Indonesia

harus mencantumkan logo dan tulisan ”JAMU”.

2. Obat Herbal Terstandar (Scientific based herbal medicine)

Logo Obat Herbal terstandar :

Adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat

berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini

25 | P a g e

membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan tenaga

kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan pembuatan ekstrak. Selain

proses produksi dengan tehnologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan

pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik seperti standart kandungan bahan

berkhasiat, standart pembuatan ekstrak tanaman obat, standart pembuatan obat tradisional

yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis. Obat bahan alam yang dikelompokkan

dalam kategori Obat Herbal Terstandar harus mencantumkan logo dan tulisan ”OBAT HERBAL

TERSTANDAR”

3.Fitofarmaka (Clinical based herbal medicine)

Logo Fitofarmaka :

Fitofarmaka adalah obat tradisional dari bahan alam yang dapat disetarakan dengan obat

modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah

sampai dengan uji klinik pada manusia dengan kriteria memenuhi syarati lmiah, protokol uji

yang telah disetujui, pelaksana yang kompeten, memenuhi prinsip etika, tempat pelaksanaan

uji memenuhi syarat. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk

menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk

menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilimiah.

Produsennya harus mencantumkan logo dan tulisan ‘FITOFARMAKA’ di setiap kemasan.

EFEK SAMPING TANAMAN OBAT

Saat ini banyak dipromosikan berbagai suplemen kesehatan yang dikatakan tidak ada efek samping karena bersifat alami . Namun dari beberapa penelitian ternyata beberapa tanaman pun dapat menimbulkan reaksi alergi dari mulai gejala yang ringan sampai dengan syok

26 | P a g e

anafilaktik. Royal jelly yang sering digunakan sebagai suplemen kesehatan dapat pula menimbulkan reaksi bronkospasme pada individu yang sensitif.

Beberapa tanaman obat China yang diklaim bisa menguruskan badan telah dilaporkan mengakibatkan gangguan ginjal. Jamur Shiitake yang banyak digunakan sebagai tanaman obat telah pula dilaporkan berhubungan dengan dermatitis pada beberapa kasus. Kombucha, tanaman obat yang saat ini dikenal dengan berbagai khasiatnya mulai dari penyembuhan kanker sampai dengan mengatasi alopesia dilaporkan pula telah menimbulkan efek toksik pada dua kasus.

Ginseng merupakan tanaman obat yang sangat popular penggunaannya dan telah digunakan lebih dari 2000 tahun. Ginseng banyak digunakan untuk mencegah penuaan, meningkatkan stamina dan konsentrasi, namun penggunaan ginseng yang berlebihan dapat pula menimbulkan efek samping yang cukup berat seperti arteritis serebri.

Efek samping obat ada dua macam tergantung dosis atau tidak tergantung dosis ( reaksi alergi/idiosinkrasi). Minimnya data penelitian tanaman obat sebelum dipakai oleh masyarakat memungkinkan penggunaannya terjadi kelebihan dosis yang menimbulkan efek samping ataupun pada beberapa individu yang hipersensitif mengakibatkan reaksi alergi.

Pada penggunaan suplemen tinggi serat pun perlu mendapat perhatian khusus karena adanya serat yang berfermentasi dapat menstimulasi proliferasi pada usus besar.

Saat ini banyak pula tanaman obat yang telah terbukti aman dibandingkan obat kimiawi seperti misalnya bawang putih yang digunakan untuk menurunkan kholesterol darah dan jahe yang banyak digunakan untuk mengobati rematik.

Jadi penggunaan tanaman obat tidak selamanya aman. Pada beberapa kasus dapat menimbulkan efek samping. Memang beberapa tanaman obat telah terbukti secara empiris dengan perjalanan waktu yang lama untuk mengobati berbagai macam penyakit Namun sebaiknya sama seperti obat lain alangkah baiknya dilakukan penelitian yang lebih mendetil mengenai efek samping tanaman obat ini. Sebaiknya pula berhati-hati penggunaan tanaman obat dalam dosis yang besar maupun penggunaan yang terus menerus tanpa pemantauan efek sampingnya. Publikasi dan promosi mengenai kemanjuran tanaman obat sebaiknya pula disertai dengan efek sampingnya sehingga masyarakat bisa menimbang –nimbang untung rugi dari tanaman obat yang dikonsumsinya.

Tanaman Obat Keluarga (TOGA)

Pengertian TOGA

27 | P a g e

Toga adalah singkatan dari tanaman obat keluarga. Tanaman obat keluarga pada hakekatnya sebidang tanah baik di halaman rumah, kebun ataupun ladang yang digunakan untuk membudidayakan tanaman yang berkhasiat sebagai obat dalam rangka memenuhi keperluan keluarga akan obat-obatan. Kebun tanaman obat atau bahan obat dan selanjutnya dapat disalurkan kepada masyarakat , khususnya obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pemanfaatan Tanaman Obat Sejak terciptanya manusia di permukaan bumi, telah diciptakan pula alam sekitarnya mulai dari sejak itu pula manusia mulai mencoba memanfaatkan alam sekitarnya untuk memenuhi keperluan alam bagi kehidupannya, termasuk keperluan obat-obatan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan. Kenyataan menunjukkan bahwa dengan bantuan obat-obatan asal bahan alam tersebut, masyarakat dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa obat yang berasal dari sumber bahan alam khususnya tanaman telah memperlihatkan peranannya dalam penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan masyarakat. Pemanfaatan TOGA yang digunakan untuk pengobatan gangguan kesehatan keluarga menurut gejala umum adalah:1. Demam panas2. Batuk3. Sakit perut4. Gatal-gatal Jenis-jenis Tanaman Untuk TOGA Jenis tanaman yang harus dibudidayakan untuk tanaman obat keluarga adalah jenis-jenis tanaman yang memenuhi kriteria sebagai berikut:a. Jenis tanaman disebutkan dalam buku pemanfaatan tanaman obat.b. Jenis tanaman yang lazim digunakan sebagai obat didaerah pemukiman.c. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan hidup dengan baik di daerah pemukiman.d. Jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain misalnya: buah-buahan dan bumbu masake. Jenis tanaman yang hampir punahf. Jenis tanaman yang masih liarg. Jenis tanaman obat yang disebutkan dalam buku pemanfaatan tanaman adalah tanaman yang sudah lazim di tanam di pekarangan rumah atau tumbuh di daerah pemukiman. Fungsi Toga

28 | P a g e

Salah satu fungsi Toga adalah sebagai sarana untuk mendekatkan tanaman obat kepada upaya-upaya kesehatan masyarakat yang antara lain meliputi:1. Upaya preventif (pencegahan)2. Upaya promotif (meniungkatkan derajat kesehatan)3. Upaya kuratif (penyembuhan penyakit) Selain fungsi diatas ada juga fungsi lainnya yaitu:1. Sarana untuk memperbaiki status gizi masyarakat, sebab banyak tanaman obat yang dikenal sebagai tanaman penghasil buah-buahan atau sayur-sayuran misalnya lobak, saledri, pepaya dan lain-lain.2. Sarana untuk pelestarian alam.3. Apabila pembuatan tanaman obat alam tidak diikuti dengan upaya-upaya pembudidayaannya kembali, maka sumber bahan obat alam itu terutama tumbuh-tumbuhan akan mengalami kepunahan.4. Sarana penyebaran gerakan penghijauan.5. Untuk menghijaukan bukit-bukit yang saat ini mengalami penggundulan, dapat dianjurkan penyebarluasan penanaman tanaman obat yang berbentuk pohon-pahon misalnya pohon asam, pohon kedaung, pohon trengguli dan lain-lain.6. Sarana untuk pemertaan pendapatan.7. Toga disamping berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan bahan obat bagi keluarga dapat pula berfungsi sebagai sumber penghasilan bagi keluarga tersebut.8. Sarana keindahan. Dengan adanya Toga dan bila di tata dengan baik maka hal ini akan menghasilkan keindahan bagi orang/masyarakat yang ada disekitarnya. Untuk menghasilkan keindahan diperlukan perawatan terhadap tanaman yang di tanam terutama yang ditanam di pekarangan rumah.

DOSIS29 | P a g e

Definisi dosis (takaran) suatu obat ialah banyaknya suatu obat yang dapat dipergunakan atau

diberikan kepada seorang penderita baik untuk dipakai sebagai obat dalam maupun luar

(Anonim, 2003).

Macam-macam dosis , antara lain:

a. Dosis terapi adalah sejumlah dosis yang memberikan efek terapetik pada penderita dewasa

(Joenoes, 2004).

b. Dosis maksimum adalah dosis(takaran) yang terbesar yang dapat diberikan kepada orang

dewasa untuk pemakaian sekali dan sehari tanpa membahayakan (Anonim, 2003 ).

c. Dosis toksik adalah dosis obat yang diberikan melebihi dosis terapi, terutama obat yang

tergolong racun dan ada kemungkinan terjadi keracunan.

d. Dosis letal adalah dosis toksik yang sampai mengakibatkan kematian (Joenoes,2004).

Dosis obat yang diberikan kepada penderita dipengaruhi oleh beberapa faktor,meliputi:

factor obat, cara pemberian obat tersebut, dan penderita. Terutama faktorpenderita seringkali

kompleks sekali, karena perbedaan individual terhadap responobat tidak selalu dapat

diprakirakan (Joenoes, 2004).Di bidang pediatrik dalam menentukan dosis obat untuk terapi

seringditemukan kesulitan, alasannya ialah karena organ-organnya masih belum sempurna,

antara lain hepar, ginjal, dan susunan saraf pusat (Joenoes, 2004).

Memilih dan menetapkan dosis untuk pediatrik memang tidaklah mudah,banyak faktor

yang harus diperhatikan. Diantaranya keadaan pasien, kasus sakit, jenis obat, toleransi tubuh

dan lainnya. Berbagai mekanisme metabolik yang terdapat pada bayi, terutama bayi prematur

dan bayi baru lahir memang belum dikembangkansecara sempurna. Hal ini menyebabkan

biotransformasi terhadap obat menjadi terganggu, sehingga obat akan terakumulasi ke arah

konsentrasi letalnya dalam darah. Tidak ada aturan pokok untuk memperhitungkan dosis

pasien pediatrik,karena itu beberapa tokoh mencoba untuk membuat perhitungan berdasarkan

umur,

30 | P a g e

bobot badan dan luas permukaan (body surface). Sebagai patokan dapat kita ambilsalah satu

cara (Anonim, 2003). Dosis obat untuk pediatrik akan diperoleh darisebuah “Pediatric Dosage

Handbook” dan mungkin juga dari dosis dewasa (Walker dan Edward, 2003).

Perhitungan dosis bayi dan anak terhadap dosis dewasa dapat dilakukanberdasarkan

usia, bobot badan, atau luas permukaan badan. Saat ini perhitungan dosis bayi dan anak

berdasarkan usia orang dewasa jarang dilakukan. Yang saat ini dipakai adalah perhitungan dosis

anak terhadap orang dewasa berdasarkan luas permukaanbadan sebenarnya, perhitungan

inilah yang dianggap paling baik untuk saat ini,karena perhitungan luas permukaan telah

memperhitungkan bobot badan dan tinggitubuh. Dikatakan dosis kurang atau dosis terlalu

rendah adalah apabila dosis yangditerima pasien adalah berada di bawah 20% rentang dosis

terapi pada pasienpediatrik dari buku standar yang digunakan. Dan dapat disebut dosis lebih

atau dosis terlalu tinggi apabila dosis obat yang diterima pasien 20% diatas dosis yang tertulis

pada buku standar yang digunakan (Anonim, 2004).Perhitungan dosis pediatrik berdasarkan

berat badan, umur, dan luaspermukaan tubuh terhadap dosis dewasa adalah sebagai berikut :

a. Perhitungan berdasarkan berat badan :

Rumus Clark :

1. Weight ( pound)

X adult dose

150

2. Weight (kg)

X adult dose

68

b. berdasarkan umur

31 | P a g e

1. umur <1 thn

Rumus fried : age (month)

X adult dose

150

2. umur <8 thn

rumus young : age (year)

X adult dose

Age + 12

3. umur >8 thn

rumus dilling : age (year)

X adult dose

20

c. berdasarkan luas permukaan tubuh

rumus crowford’s and Terry Roube’s

Luas Permukaan Tubuh

X adult dose

1,73

Kasus

32 | P a g e

Patrick, anak laki-laki berusia 4 tahun datang dengan keluhan :

Suara napas tidak biasa / mengi (wheezing)

Batuk produktif dengan sputum jernih hingga putih

Respiratory rate meningkat hingga 42x/menit

Suhu badan sedikit meningkat hingga 38oC

Dua hari sebelumnya, Patrick mengalami demam tinggi dan batuk, oleh karena itu ibunya

memberi acetaminophen dan ambroxol. Setelah pemberian obat, demam Patrick membaik,

namun gejala diatas timbul, dimungkinkan karena efek samping acethaminophen salah satunya

adalah hipersensitivitas. Dokter mendiagnosis Patrick mengalami asma bronkial dan

memberikan Patrick dexamethasone, acethaminophen, salbutamol dan ambroxol.

Asma

Asma terjadi secara periodik, ditandai dengan bronkospasme reversibel yang diakibatkan oleh

adanya respon bronkokontriksi terhadap beragam stimulus. Asma bronkial umumnya terjadi

akibat inflamasi bronkial persisten yang menghambat jalan napas, terlihat dari gejala susah

bernapas (dyspnea), batuk, and mengi (wheezing). Karena pemicu asma beragam dan sangat

banyak jenisnya, maka tidak ada pengklasifikasian khusus. Namun, secara garis besar, asma

dapat dikategorikan menjadi :

Asma ekstrinsik, terjadi karena diinisiasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang

diinduksi oleh adanya antigen intrinsik. Pada asma ekstrinsik ini juga terjadi respon imun

terutama antibodi immunoglobulin E [IgE] antibodies. Terjadi pada anggota keluarga lain

penderita asma. Asma ini juga terjadi akibat sensitivitas dari sel CD4+ tipe TH2.

Asma intrinsik, terpicu reaksi nonimun. Faktor-faktor pemicunya antara lain aspirin,

infeksi pulmonar terutama oleh virus, kedinginan, stres fisiologis, latihan berat, dan

inhalasi iritan seperti ozon dan sulfur dioksida. Biasanya tidak ada alergi pada keluarga

dan serum IgE level normal. Pasien bisa disebut mengalami asthmatic diathesis.

33 | P a g e

Patogenesis asma

Berbagai faktor penyebab asma menstimulasi respon bronkokonstriktor yang juga disebut

hiperresponsif jalan napas. Biasanya diperantarai oleh mediator yang dikeluarkan sel mast

seperti histamin dan methacholine. Biasanya alergen atau iritan akan terikat pada reseptor IgE

pada permukaan sel mast, terutama karena IgE spesifik terhadap agen alergi, dengan adanya

agen alergi, jumlah reseptor IgE meningkat peningkatan ini juga memacu aktivasi sel mast.

34 | P a g e

Sel mast disini akan mengeluarkan berbagai mediator yang memiliki beberapa efek, secara garis

besar mediatornya terbagi menjadi 2 fase, yaitu :

1. Mediator fase awal

Leukotrienes C4, D4, dan E4: mediator potensial untuk bronkokontriksi, peningkatan

permeabilitas vaskular dan peningkatan sekresi mukus.

Prostaglandins D2, E2 dan F2α, menyebabkan bronkokonstriksi dan vasodilatasi

Histamine menyebabkan bronkospasme dan peningkatan permeabilitas vaskular

Platelet-activating factor menyebabkan agregasi platelet dan pengeluaran histamin dari

granula sel mast

Mast-cell tryptase inaktivasi peptida bronkodilatori normal

2. Mediator fase lanjut

Mediator ini didominasi oleh inisiasi dari leukosit, antara lain basofil, neutrofil dan

terutama eosinofil

Eosinophilic and neutrophilic chemotactic factors and leukotriene B4 : merekrut dan

mengaktivasi eosinofil dan neutrofil

IL-4 and IL-5 : augmentasi respon TH2 sel CD4+ T dengan meningkatkan sintesis IgE dan

proliferasi juga kemotaksis eosinofil

Platelet-activating factor : kemotaksis untuk eosinofil dengan adanya IL-5

Tumor necrosis factor : meningkatkan regulasi molekul adesi pada endotel vaskular dan

juga pada sel-sel inflamasi

Adanya leukosit pada tempat degranulasi sel mast menyebabkan 2 efek, yaitu :

1. Sel-sel menghasilkan mediator yang mengaktifkan sel mast dan mengintensifkan respon

inisial

2. Menyebabkan kerusakan sel epitel

35 | P a g e

36 | P a g e

Lotion

Lotion adalah Sediaan cair berupa suspensi atau dispersi yang digunakan sebagai obat

luar dapat berbentuk suspensi zat padat dalam serbuk halus dengan bahan pensuspensi yang

cocok , emulsi tipe o/w dengan surfaktan yang cocok.

Kegunaan : membersihkan make-up (rias wajah) dan lemak dari wajah dan leher.

Ciri-ciri Lotion :

v Lebih mudah digunakan (penyebaran losio lebih merata daripada krim)

v Lebih ekonoms (Lotio menyebar dalam lapisan tipis)

v Ada 2 jenis Lotion :

- Larutan detergen dalam air

- Emulsi tipe M/A

37 | P a g e