Cdk 030 Diagnosis Laboratorium

Embed Size (px)

Citation preview

Cermin Dunia Kedokteran

30. Diagnosis Laboratorium

Cermin Dunia KedokteranInternational Standard Serial Number : 0125 913X Diterbitkan oleh : Pusat Pene/itian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma

ARTIKEL 3 Menafsirkan Hasil Tes Laboratorium 7 Peranan Laboratorium sebagai Penunjang Klinik (Beberapa segi) 10 Apa yang Harus Dilakukan Sebelum Mendapat Hasil Resistensi 14 Diagnosa Laboratorium Kelainan Lemak Darah 19 Pemeriksaan Faal Hati 23 Hemoglobin Glikosilat : Tolok Ukur Baru untuk Diabetes Mellitus 25 Pemeriksaan Laboratorium pada Diabetes Mellitus 28 Penilaian Hasil Pemeriksaan Hematologi Rutin 32 Penilaian Hasil Pemeriksaan Tinja 35 Penilaian Hasil Pemeriksaan Urin 39 Tes Faal Ginjal dan Manfaatnya di Klinik 45 Pemeriksaan Laboratorium untuk Menilai Faal Kelen ja r Gondok 48 Pemeriksaan Pap Smear 51 Analisis Semen Manusia

59 Perkembangan : Takdir Kriminil ; Antasida untuk Ulkus Duodeni ; Keluarga di Flat-flat Bertingkat

W i n n dalam majalah ini merupakan pandangdapat masing-masing penulis dan tidak u marupakan pandangan atau kebijakan /lembagajbaglan tempat kerja si penulis.

Hukum & Etika : Tepatkah Tindakan Saudara 64 Catatan Singkat 65 Humor Ilmu Kedokteran 67 Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran 68 A bstrak - abstrak62

Bagaimana menafsirkan tes-tes laboratorium yang makin lama makin bertambah jumlahnya itu? Tes apa saja yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit? Hal-hal inilah yang akan dibicarakan dalam CDK kali ini. Tes laboratorium memang tidak selalu diperlukan untuk diagnosis penyakit atau pengelolaan penyakit. Sering dengan mengamati gejala klinik dan perkembangannya saja sudah cukup. Justru karena inilah seorang dokter harus mengetahui dengan tepat tes apa yang diperlukan dan apa yang tidak diperlukan; mengetahui bagaimana menafsirkan hasil-hasil tes tersebut setelah kita terima hasilnya; dan menyadari faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi hasil-hasil tadi. Masalah-masalah inilah yang dibahas dalam artikel-artikel pendahuluan nomor ini oleh Prof. Jeanne Latu dan Prof. Gandasoebrata. Banyak hal yang dapat menyegarkan pengetahuan dan mengubah pandangan kita terhadap hasil-hasil tes laboratorium dalam artikel ini. Misalnya, masih ingatkah kita bahwa minum satu galas air saja dapat menurunkan kadar glukosa dan trigliserida, dan meningkatkan kadar bilirubin darah? Apakah hasil tes yang di dalam "batas normal" itu selalu normal? Artikel berikutnya oleh Prof Sujudi menelaah "Apa yang harus kita lakukan sebelum mendapat hasil tes resistensi". Pemeriksaan bakteriologik dan resistensi memerlukan waktu paling cepat 3 hari, bahkan sampai 7 hari. Sementara itu pasien dengan penyakit infeksi tentu memerlukan pengobatan segera. Untuk ini diperlukan pengetahuan akan penyakit tersebut, sifat kuman yang diduga menjadi penyebabnya, dan obat apa menurut kepustakaan yang cocok untuknya. Dengan mengingat hal-hal ini kita akan dapat membuat dugaan yang rasional atau educated guess. Dengan makin majunya suatu masyarakat tampak makin banyak penyakit jantung koroner menyerang anggota masyarakat. Maka pengetahuan kita akan kelainan lemak darah faktor risiko utama dalam penyakit ini akan sangat berguna. Kini pengetahuan tentang kadar kolesterol total dan trigliserida darah saja kadang kala tidak cukup untuk menegakkan diagnosis maupun prognosis. Masih perlu kita ketahui tentang kadar kolesterol HDL dan LDL, karena masing-masing punya sifat yang berbeda, yang satu antiaterogenik, yang lainjustru sebaliknya. Masalah pemeriksaan tes faal hati juga kita turunkan dalam nomor ini. Ini mengingat begitu banyaknya, lebih dari 100 tes, yang dipakai untuk menentukan faal hati. Meminta serangkaian tes faal hati secara membabi buta tentu tidak tepat, karena kini diketahui bahwa sebagian tes tersebut telah kuno dan obsolete. Untuk dokter umum mungkin yang paling panting ialah : tes apa saja yang diperlukan untuk skrining ikterus? Apa yang diperlukan untuk mengetahui kemajuan pengobatan? Ini dapat kita baca dalam artikel ini. Masalah-masalah pemeriksaan lab lain, seperti pemeriksaan untuk diabetes, tiroid, nematologi rutin dan lain-lain, jugs kita sajikan. Tak ketinggalan ialah artiikel tentang Pap Smear dan analisis semen, yang semakin banyak diminta oleh pasien dalam praktek umum sehari-hari. Selamat membaca.

artikel

Menafsirkan Hasil Tes LaboratoriumProf. dr. Jeanne Latu

Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

Pendahuluan Tujuan pemeriksaan laboratorium untuk seorang dokter pada umumnya adalah untuk: (a) membantu menegakkan diagnosa, (b) mengikuti jalannya penyakit selama pengobatan,(c) membantu meramalkan prognosa, dan (d) menafsirkan sampai seberapa jauh adanya gangguan faal satu organ sebagai akibat dari penyakit. Kelainan pada basil pemeriksaan laboratorium kadang-kadang telah dapat dilihat sebelum ada gejala-gejala klinik. Sebagian besar dari test-test laboratorium bukan merupakan test-test yang khas untuk suatu penyakit; kadangkadang dari sejumlah test yang dilakukan ada beberapa yang menunjukkan basil abnormal, tapi tidak menuju ke arah adanya kelainan pada satu orang atau satu penyakit. Tapi pada umumnya beratnya kelainan basil test laboratorium dapat mencerminkan beratnya penyakit dan untuk mengikuti jalannya penyakit dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium secara berkala selama beberapa waktu. Selain itu akibat buruk (toxic side effect) dari pengobatan juga dapat diketahui dengan melakukan beberapa test laboratorium yang bersifat menguji faal organ-organ tertentu. Masih banyak keadaan lain yang sedikit banyak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap penderita atau salah satu bahan yang berasal dari penderita. Tapi kita harus selalu ingat bahwa diagnosa tidak dapat dibuat dari hanya pemeriksaan laboratorium melainkan harus dihubungkan dengan cara-cara pemeriksaan lain seperti anamnesa, pemeriksaan fisik dan bila perlu pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan radiologi, peritoneoskopi dan sebagainya. Di sini letaknya kunci untuk dapat menafsirkan basil laboratorium sebaik-baiknya. Seorang dokter harus mengetahui test-test laboratorium apa yang akan diminta dan bagaimanamenafsirkan basil yang diterima dari laboratorium. Untuk ini diperlukan pengetahuan tentang (a) untuk apa test laboratorium tertentu diminta(b)bagai

mana basil test tersebut pada orang normal/tidak sakit, (c) faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi basil pemeriksaan laboratorium. Dalam tinjauan kepustakaan ini penulis akan mencoba untuk mengemukakan beberapa jenis faktor yang dapat menyebabkan kelainan pada basil pemeriksaan laboratorium. Faktor-faktor ini merupakan faktor-faktor yang dilihat dari sudut klinik dan penulis tidak akan menyinggung pengaruh-pengaruh tehnik cara melakukan test-test laboratorium. Tadi telah saya sebut bahwa pemeriksaan laboratorium hanya merupakan satu faset dari rangkaian pemeriksaan yang harus dilakukan untuk mencapai satu diagnosa, sehingga pasien dapat diberi terapi. Oleh sebab itu sukar untuk menafsirkan basil test laboratorium bila tidak mempunyai pengetahuan klinik. Di lain fihak seorang dokter klinik juga harus mengetahui bagaimana menggunakan jasa-jasa laboratorium klinik sebaik-baiknya, sehingga dapat memilih test-test yang paling tepat untuk keadaan tertentu dan dapat menafsirkan basil yang diperoleh dari laboratorium. Untuk ini tentunya harus diketahui angka-angka normal dari test-test tertentu.. Biasanya angkaangka normal ini ditulis di belakang basil test yang bersangkutan. paling baik tentunya kalau tiap-tiap laboratorium menentukan sendiri angka-angka normal/angka referan dari berbagai jenis test laboratorium. Tapi ini dalam praktek tak selalu mungkin, sehingga sering hanya dipakai angka normal yang tertera di lembaran intruksi dari kit-kit pemeriksaan laboratorium atau dari buku-buku referen tertentu. Dalam hal ini yang selalu harus diingat dan yang sering tak disad2ri ialah adanya beberapa jenis faktor yang juga dapat mempengaruhi basil pemeriksaan laboratorium. Young dkk yang banyak menulis tentang ini menggolongkan faktor-faktor ini dalam beberapa kelompok seperti : pengaruh fisiologik jangka panjang, pengaruh fisiologik jangka pendek, pengaruh pemberian obat, dan pengaruh zat-zat lain.1

Cermin Dunia Kedokteran No. 30

3

Pengaruh fisiologik jangka panjang. Yang termasuk golongan faktor-faktor ini ialah yang berhubungan dengan jenis kelamin, umur, suku bangsa, daerah tempat hidup, kebiasaan cara makan, kehamilan dan lain-lain. Untuk beberapa jenis test adanya perbedaan antara kedua jenis kelamin mungkin nyata. Ini disebabkan karena pengaruh hormon atau jumlah otot pada pria dan wanita, yang tentunya baru nampak jelas pada anak remaja sampai dewasa. Disini angka normal pada pria dan wanita harus disebut bila melaporkan basil test laboratorium. Dalam hal faktor umur ada empat periode pada pertumbuhan manusia yang mungkin menunjukkan perbedaan pada hasil test laboratorium yaitu : (I) pada waktu lahir, (II) pada masa kanak-kanak hingga remaja, (III) pada masa remaja hingga setengah' baya (menopause), dan (IV) pada orang tua. Pada waktu lahir berbagai zat dalam badan mempunyai kadar tertentu yang dapat berubah setelah bayi bertambah besar dan mempunyai metabolisme sendiri. Kadar beberapa jenis zat menurun karena sistem endokrin belum berhasil betul seperti kadar glukose; pada waktu lahir sama seperti dalam darah ibu, kemudian menurun. Baru setelah bayi berumur dua minggu kadar glukose mulai naik sampai mencapai kadar pada orang dewasa. Kadar kalsium juga menurun pada hari pertama karena kelenjar paratiroid belum berfungsi. Begitupun konsentrasi hormon pertumbuhan dan gastrin tinggi dibandingkan dengan pada orang dewasa dan tanda-tanda hipertiroid fisiologik dapat dijumpai yang lambat laun menurun sampai anak berumur satu tahun. Kadar fraksi imunoglobulin berubah karena sistem imunologik pada anak mulai berkembang. Aktivitas fosfatase alkalis meningkat sampai masa remaja dimana aktivitas osteoblast dan pertumbuhan tulang memuncak. Antara masa remaja dan umur dewasa tidak banyak perubahan dijumpai pada kadar berbagai zat, hanya pada setengah baya kadar ureum meningkat pada pria dan wanita sedangkan asam urat hanya pada wanita. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor makanan dan fungsi ginjal yang agak mengurang. Perubahan yang nampak pada orang setengah baya berupa peningkatan kadar urea, asam urat, fosfor, kalsium, kolesterol, lemak total dan aktivitas fosfatase alkalis. Selain itu kadar zatzat dalam darah yang dipengaruhi oleh hormon mungkin meningkat karena sekresi hormon mulai berkurang. Ini dapat dilihat pada kadar glukose dan toleransi terhadap pemberian glukose yang berkurang. Pada orang tua (diatas 70 tahun) kadar renin dalam darah menurun, clearance berbagai jenis zat menurun dan kadar kalsium meningkat karena sekresi hormon paratiroid berkurang Perbedaan kadar berbagai jenis zat dalam darah juga dilihat pada suku bangsa yang berlain-lainan. Beberapa penulis dari Amerika mengemukakan bahwa ada perbedaan pada kadar fraksi-fraksi protein antara orang kulit putih dah orang Negro. Pada umumnya imunoglobulin G dan A kadarnya lebih tinggi pada orang Negro, sedangkan kadar albumin lebih tinggi pada orang kulit putih. Penulis juga mendapatkan hal yang sama pada orang Indonesia dewasa muda, yaitu kadar albumin lebih4 Cermin Dunia Kedokteran No. 30

rendah dan kadar imunoglabulin G lebih tinggi daripada angka-angka yang didapatkan di USA dan Australia.2 Selain fraksi-fraksi protein, di USA juga didapatkan kadar kolesterol, trigliseride dan kalium dalam eritrosit lebih rendah dan aktivitas beberapa enzim lebih tinggi pada orang Negro bila dibandingkan dengan orang kulit putih. Hidup di tempat dengan cuaca yang berlainan juga dapat mempengaruhi berbagai jenis zat dalam darah. Seperti orang yang tinggal di daerah pegunungan yang tinggi (high altitude) dimana tekanan udara lebih rendah, biasanya setelah melewati masa adaptasi, mempunyai kadar hemoglobin lebih tinggi dan jumlah eritrosit yang lebih besar daripada orang yang hidup di dataran rendah. Sebagai akibat dari polisitemia ini metabolisme nukleoprotein meningkat dengan ekskresi asam urat yang bertambah. Orang yang tinggal di sekitar tempat-tempat peleburan Cu (tembaga) mungkin kadar Cu dalam plasma lebih tinggi daripada orang yang tinggal jauh dari tempat-tempat tersebut. Pada obesitas kadar berbagai zat dalam badan juga mungkin berubah seperti kadar berbagai jenis lemak, aktivitas enzim CPK, SGOT, SGPT dan retensi bromsulphonphtalein. Semuanya ini mungkin lebih tinggi daripada orang kurus. Pengaruh lain adalah pengaruh jenis makanan. Orang yang makan banyak protein kadar urea dan asam urat mungkin meningkat, sedangkan orang yang banyak makan lemak dan terutama yang berasal dari hewan kadar kolesterolnya mungkin lebih tinggi daripada orang yang tidak banyak makan lemak. Pada malnutrisi kronik kadar protein total dan fraksi-fraksinya menurun, begitupun aktivitas berbagai jenis enzim. Pada orang hamil volume darah/plasma meningkat dan kadar beberapa jenis zat dalam darah menurun seperti kadar glukose, besi, vitamin, tapi kadar hormon agak meningkat karena kadar thyroxin-binding-globulin meningkat. Juga aktivitas fosfatase alkalis dalam darah bertambah dengan bertumbuhnya placenta. Pada orang buta sekresi adrenalin dan aldosteron berkurang yang dapat menyebabkan turunnya kadar gula darah, natrium dan khlorida. Fungsi ginjal juga berkurang dan kadar urea dan asam urat mungkin meningkat. Pengaruh fisiologik jangka pendek Sekresi berbagai jenis hormon tidak sama selama 24 jam dan juga dipengaruhi oleh kebutuhan badan. Oleh sebab itu penetapan kadar hormon dalam darah juga harus dilakukan pada waktu yang sama jika ingin membandingkan hasil yang satu dengan yang lain. Kadar besi, hemoglobin, bilirubin darah paling tinggi dijumpai pada waktu pagi hari. Selama haid kadar beberapa jenis hormon dalam darah berubah, kadar asam amino menurun dan kadar fibrinogen meningkat yang mungkin menyebabkan naiknya laju endap darah. Pengaruh makanan terhadap konsentrasi berbagai zat dalam darah dapat berlangsung selama 12 jam. Makan protein banyak pada malam hari dapat menyebabkan kadar urea, asam urat, fosfat masih lebih tinggi dari sebelum makan pada keesokan harinya. Pengaruh makanan terhadap kadar glukose dan bilirubin maximal dapat dilihat dalam 2 jam setelah makan. Dikatakan bahwa juga minum air satu gelas dapat menye-

babkan menurunnya kadar glukose, trigliserida, NaCl, urea dan meningkatny kadar bilirubin, asam lemak bebas, kalsium, protein 2 jam kemudian. Minum kopi 2 cangkir ( 200 mg kafein) dapat memberi pengaruh besar terhadap sekresi adrenalin, kortisol dan sekresi HC1 dan pepsin dalam lambung. Pengaruh rokok (nikotin) merangsang kelenjar adrenal dan dapat meningkatkan kadar glukose sampai 0,6 nmol/l atau 10 mg/dl dalam 10 menit setelah merokok satu batang. Toleransi terhadap glukose menurun dan kadar kolesterol, betalipoprotein, trigliseride, asam lemak bebas meningkat. Kadar hemoglobin pada orang merokok lebih tinggi daripada orang tidak merokok tapi sebagian dari Hb merupakan carboxyhemoglobin yang diketahui mempunyai daya untuk mentransport zat asam (0 2) kurang dari oxyhemoglobin. Selain itu dikemukakan juga oleh Young bahwa pada orang yang merokok kadar Vit. C dan Vit. B 12 dalam darah berkurang. Penggantian posisi badan dari berbaring ke posisi berdiri dapat menyebabkan volume darah berkurang dan kadar protein, kalsium, kolesterol, trigliseride meningkat. Sebaiknya bila orang itu berbaring dari posisi berdiri volume darah membesar dan konsentrasi zat-zat tadi menurun. Perubahan ini dapat mencapai 10-15% dan akan nampak lebih jelas pada orang dengan hipertensi, atau hipoalbuminemia. Perbedaan kadar berbagai jenis zat dalam darah juga dijumpai antara penderita poliklinik dan penderita yang dirawat. Pada umumnya kadar kalsium, protein total, albumin, kolesterol lebih tinggi pada penderita polildinik. Bila orang tidak sakit harus berbaring di ranjang selama beberapa waktu (agak lama) volume darah akan berkurang, kalsium dari tulang-tulang di-reabsorpsi dan ekskresi dalam urin meningkat. Akibat lain ialah menurunnya toleransi terhadap glukose dan meningkatnya ekskresi nitrogen ke dalam urin. Pembendungan vena pada pengambilan darah menyebabkan keluarnya cairan dari pembuluh darah. Pembendungan selama 30 detik dapat meningkatkan kadar albumin dan kolesterol sampai 6% dan kalsium sampai 3%. Bila pembendungan dilakukan lebih lama dapat menyebabkan perubahan dalam susunan darah yang lebih besar. Juga gerakan yang bersifat memompa dengan mengepalkan tangan dapat meningkatkan kadar kalium plasma. Latihan dapat meningkatkan aktivitas berbagai jenis enzim yang berhubungan dengan otot-otot. Latihan yang intensif dapat mengurangi sirkulasi darah ke hati dan ginjal dan dapat menyebabkan fungsi hati dan ginjal berkurang. Di lain pihak l t i a n secara teratur dapat menurunkan kadar kolesterol dan asam urat dan meningkatkan kolesterol HDL yang semuanya merupakan penurunan faktor resiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner. Pengaruh obat-obatan terhadap basil test laboratorium. Bahwa obat-obatan dan zat-zat lain dapat mempengaruhi has~7 test laboratorium telah lama dikenal. Nama-nama seperti Young dkk, Caraway dkk, Neumann O'Kell, Sing van Peenen, Siest,,Galteau dkk banyak dilubungkan dengan .penyelidikan tentang hal ini. Menurut Young,l penderita yang dirawat di rumah sakit rata-rata makan 9 jenis obat. Banyak di antara obatobat ini dapat mempengaruhi kadar berbagai jenis zat

dalam badan atau cara-cara pemeriksaan laboratorium. Dengan berkembangnya berbagai cars penentuan yang main spesifik pengaruh ini dapat dikurangi, tapi ada kalanya hal ini masih memberi kesukaran untuk penanggung jawab laboratorium untuk mencari penyebab kelainan bila dijumpai. Juga pengaruh antar obat in vivo harus difikirkan pada penafsiran hasil laboratorium bila pada penderita diberikan beberapa jenis obat sekaligus. Banyak dokter laboratorium/klinik yang tidak/belum mengetahui semuanya tentang pengaruh obatobat terhadap test-test laboratorium, tapi hal ini memang tidak mungkin dlarapkan dari siapa pun karena begitu banyaknya jenis pengaruh-pengaruh ini. Young dkk3 mengemukakan sebagai contoh bahan kontraseptif oral yang dapat mempengaruhi 100 jenis test laboratorium. Bahkan kontraseptif oral ini dapat menyebabkan kadar protein serum meningkat, untuk transferrin sampai 20%, thyroxine binding-globulin sampai 200%, ceruloplasmin sampai 200% dan aktivitas dan konsentrasi antitrombin III menu-ru n. Retensi bromsulphonphthalein bisa meningkat sampai 40% pada wanita dengan pil. Pemberian Vit. B6 dapat meningkatkan aktivitas SGPT (Vit. B 6 = coenzim untuk SGPT). Vit. C menurunkan kadar kolesterol tapi dapat mempengaruhi berbagai cara pemeriksaan karena sifat mereduksinya. Barbiturat mempengaruhi metabolisme dalam hati dan aktivitas gama-glutarnyltransferase dan GPT dapat meningkat sarnpai 200% dan 40% masingmasing. Juga fosfatase alkalis sering meningkat pada pemberian barbiturat yang agak lama, sedangkan kalsium dalam se-rum dapat berkurang. Alkohol dapat mempengaruhi kadar berbagai zat dalam darah terutama gama-glutamyl-transferase. Caraway juga membuat ringkasan dari beberapa tulisan tentang pengaruh obat dan zat lain terhadap test-test laboratorium. Pengaruh ini dapat bersifat farmakologik atau kimiawi. Untuk interpretasi test laboratorium tentunya pengaruh ke-2 yang lebih penting dan yang dikemukakan disini. Cara-way membuat satu tabulasi menurut abjad dari berbagai jenis pemeriksaan laboratorium dengan zat-zat yang dapat mempengaruhi hasil. Tulisan ini akan menjadi terlalu panjang bila semuanya saya kutip disini. Selain itu mungkin juga hasil-hasil yang dikumpulkan oleh Caraway agak berlainan dari daftardaftar yang dikemukakan oleh Young dkk. Young tidak hanya menerbitkan kompilasi dari pengaruh berbagai jenis obat atau zat-zat lain terhadap test-test laboratorium tapi juga mengumpulkan dan mengolah data tersebut dengan komputer sehingga informasi tersebut dapat diperoleh semua orang yang memerlukan dalam waktu yang singkat. Guelfi dan Brauns mengemukakan pengaruh berbagai jenis obat terhadap sel netrofil yang dapat mempengaruhi produksi, maturasi, destruksi, fungsi dan enzim-enzim dalam sel sehingga jumlah sel yang beredar juga berubah. Sebagai contoh diambil pemberian obat glukokortikoid. Menurut Siest6 obat-obat yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium sekarang telah banyak diketahui dan harus disebarluaskan kepada mereka yang berkecimpungan dalam laboratorium 1dinik. Juga Galteau dkk' berpendapat bahwa sudah banyak faktor-faktor yang dikenal mempenga-

Cermin Dania Kedokteran No. 30

5

ruhi hasil test-test laboratorium sehingga adanya tempat pe. pulan data tentang hal ini dan disebarluaskan kepada mereka ngumpulan data tentang hal ini akan sangat berguna dan pen- yang membutuhkan. dapat ini disokong oleh Tryding.8 Dalam kesempatan ini saya juga menghimbau kepada pemeKEPUSTAKAAN rintah (cq. Departemen Kesehatan Direktorat Laboratorium) untuk dapat membentuk satu panitia yang dapat memulai 1. Young DS. Interpretation of Clinical chemical test. Clinical Biochemistry : Principles and practice. First South East Asian & Pasific memikirkan dan menangani pengumpulan data tentang apa Congres of Clinical Biochemistry. Singapore : 1979 ; p. 119. yang saya kemukakan diatas sehingga semua laboratorium da- 2. Latu J, Kresno SE, Gandasoebrata R. Nilai normal elektroforesis protein serum dengan selulose asetat pada orang Indonesia dewasa. pat meminta informasi jika diperlukan; sebab obat-obat yang Buku naskah lengkap Kongres IAPI 1975 masuk di Indonesia dan yang digunakan sudah cukup banyak.3.

Ringkasan Dalam tulisan ini dicoba untuk mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan pada penafsiran hasil test laboratorium. Faktor-faktor yang dikemukakan adalah pengaruh fisiologik jangka panjang, pengaruh fisiologik jangka pendek dan pengaruh obat-obat. Pengaruh yang disebabkan keadaan patologik tidak disinggung. Juga disarankan kepada pemeaintah untuk memulai memikirkan pembentukan satu panitia yang dapat menangani pengum4.

5. 6. 7.

8.

Young DS, Pestaner LG, Gibberman VG. Effect of drugs on Clinical Laboratory test. Clin Chem 1975 ; 21 : 1D - 432 D. Caraway WT, Kammeyer CW. Chemical interference by drugs and other substance with clinical laboratory test procedures. Clin Chem Acts 1972 ; 41 : 395. Guelf JF, Broun JP. Influence of drugs on neutrophils : Example of flucocorticoid. J Clin Chem, Clin Biochem 1981 ;19: 513 - 900 Siest G. Drug effect in clinical chemistry. Information and adecation. J Clin Chem, Clin Biochem 1981 ;19 : 513 - 900. Galteau MM, Notter D, Gaspart E, G. Laboratory tests and drug effects : Usefulness of a data bank. J Clin Chem, Clin Biochem 1981;19:513-900. Tryding N. Data bank on drug effects in clinical chemistry. J Clin Chem, Clin Biochem 1981 ;19 : 513 - 900.

6 Cermin Dunia Kedokteran No. 30

Peranan Laboratorium sebagai Penunjang Klinik ( Beberapa Segi )Prof. dr. RatwitaGandasoebrata dan Prof. dr. Jeanne Latu Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

Kegunaan laboratorium sebagai penunjang klinik telah la-ma dikenal. Ilmu Patologi Klinik atau Ilmu Kedokteran Laboratorium sebagai bagian dari Ilmu Kedokteran Klinik di Indonesia telah dirintis sejak 1955. Ilmu Patologi Klinik yang dimaksud adalah sebagian dari Ilmu Kedokteran Klinik yang ikut mempelajari masalah diagnostik dan terapi dan yang ikut serta meneliti wujud dan jalannya penyakit dengan menggunakan cara pemeriksaan hematologik, makroskopik, kimia klinik, mikrobiologik, serologik/ imunologik dan pemeriksaan laboratorium lain terhadap penderita atau salah satu bahan yang berasal dari penderita. Jadi Kimia Klinik merupakan sebagian dari pelayanan laboratorium klinik. Walaupun menurut prosedur pemeriksaan jenisjenis pemeriksaan dalam laboratorium klinik dapat dipecahpecah seperti diatas tapi antara jenis yang satu dan yang lain tidak ada batas yang tegas. Dalam menghadapi keadaan tertentu seorang dokter klinik sering merasa tidak cukup dengan hanya melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik dan perlu dibantu dengan berbagai pemeriksaan khusus seperti pemeriksaan : rontgen, elektrokardiografi, spirometri, ultrasonografi, laboratorium klinik daft, lain lain. Tujuan dari pemeriksaan tambahan tadi diperlukan oleh dokter klinik untuk : membuat diagnosa pasti, membenarkan (atau mengesampingkan) diagnosa sangkaan, mengadakan diagnosa banding, menentukan terapi, mengetahui basil terapi, menimbang beratnya penyakit pada keadaan akut, menilai stadium penyakit pada keadaan yang kronik dan kadang-kadang untuk mendapat petunjuk tentang penyakit yang tersembunyi. Disini dapat (Mat jelas eratnya hubungan antara laboratorium dan klindc.

Tentunya hubungan ini hendaknya hubungan timbal balik. Dari laboratorium diharapkan adanya pengertian tentang masalahmasalah klinik sedangkan dari pihak klinik pengetahuan tentang masalah-masalah laboratorium diperlukan untuk dapat menggunakan basil laboratorium sebaik-baiknya. Bila tidak ada sating pengertian tentunya tidak dapat saling menghargai dan akibatnya ialah Wing menuduh. Seorang dokter laboratorium hendaknya mengetahui ten-tang fisiologi, patofisiologi, patologi dan patogenesis dari berbagai keadaan. Selain itu pada keadaan tertentu perlu juga pengetahuan tentang diagnosa, diagnosa banding dan terapi untuk dapat mengikuti pengaruh proses patologik dan pengaruh tindakan-tindakan terapeutik atas susunan cairan tubuh sehingga dapat bertindak sebagai konsulen untuk klinik dan mempertinggi mutu klinik. Sebaliknya dari seorang dokter klin&c perlu adanya pengetahuan tentang : adanya ndai rujukan dan tafsiran atas basil pemeriksaan laboratorium, pengaruh tindakan-tindakan diluar laboratorium atas basil pemeriksaan laboratorium, pengaruh proses-proses patologis dan pengaruh tindakan terapeutik atas susunan cairan tubuh, sehingga dapat bertindak sebagai konsulen laboratorium dan mempertinggi mutu laboratorium. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi dan mutu basil pemeriksaan laboratorium. Faktor-faktor ini mungkin terletak di laboratorium sendiri, mungkin juga diluar laboratorium. Dari sudut laboratorium hal-hal seperti : kekurangan pegawai, tempat kerja yang tidak memadai, alat laboratorium yang kurang memenuhi syarat dan reagen yang kurang baik dapat menyebabkan basil yang dikeluarkan oleh laboratorium tidak memenuhi harapan seorang dokter klinik. Faktor-faktor dari luar laboratorium yang mungkin mempengaruhi basil laboratoriurn juga banyak seperti umpamanya: cara pengambil-

Cermin Dunia Kedokteran No. 30 7

ruhi hasil test-test laboratorium sehingga adanya tempat pe. pulan data tentang hal ini dan disebarluaskan kepada mereka ngumpulan data tentang hal ini akan sangat berguna dan pen- yang membutuhkan. dapat ini disokong oleh Tryding.8 Dalam kesempatan ini saya juga menghimbau kepada pemeKEPUSTAKAAN rintah (cq. Departemen Kesehatan Direktorat Laboratorium) untuk dapat membentuk satu panitia yang dapat memulai 1. Young DS. Interpretation of Clinical chemical test. Clinical Biochemistry : Principles and practice. First South East Asian & Pasific memikirkan dan menangani pengumpulan data tentang apa Congres of Clinical Biochemistry. Singapore : 1979 ; p. 119. yang saya kemukakan diatas sehingga semua laboratorium da- 2. Latu J, Kresno SE, Gandasoebrata R. Nilai normal elektroforesis protein serum dengan selulose asetat pada orang Indonesia dewasa. pat meminta informasi jika diperlukan; sebab obat-obat yang Buku naskah lengkap Kongres IAPI 1975 masuk di Indonesia dan yang digunakan sudah cukup banyak.3.

Ringkasan Dalam tulisan ini dicoba untuk mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan pada penafsiran hasil test laboratorium. Faktor-faktor yang dikemukakan adalah pengaruh fisiologik jangka panjang, pengaruh fisiologik jangka pendek dan pengaruh obat-obat. Pengaruh yang disebabkan keadaan patologik tidak disinggung. Juga disarankan kepada pemeaintah untuk memulai memikirkan pembentukan satu panitia yang dapat menangani pengum4.

5. 6. 7.

8.

Young DS, Pestaner LG, Gibberman VG. Effect of drugs on Clinical Laboratory test. Clin Chem 1975 ; 21 : 1D - 432 D. Caraway WT, Kammeyer CW. Chemical interference by drugs and other substance with clinical laboratory test procedures. Clin Chem Acts 1972 ; 41 : 395. Guelf JF, Broun JP. Influence of drugs on neutrophils : Example of flucocorticoid. J Clin Chem, Clin Biochem 1981 ;19: 513 - 900 Siest G. Drug effect in clinical chemistry. Information and adecation. J Clin Chem, Clin Biochem 1981 ;19 : 513 - 900. Galteau MM, Notter D, Gaspart E, G. Laboratory tests and drug effects : Usefulness of a data bank. J Clin Chem, Clin Biochem 1981;19:513-900. Tryding N. Data bank on drug effects in clinical chemistry. J Clin Chem, Clin Biochem 1981 ;19 : 513 - 900.

6

Cermin Dunia Kedokteran No. 30

nya pemeriksaan sendiri (methodical errors). Tentunya kesa- ngapura pada tahun 1980 tentang "The Prudent Utilization and

lahan ini selalu harus dijaga hingga terjadinya seminim mungkin. Walaupun dengan berkembangnya teknologi kedokteran dan teknologi pada umumnya pada waktu ini ada sistem analisa yang beraneka-ragam seperti sistem manual, sistem semiotomatis, sistem otomatis, quality assessment selalu perlu dan dengan quality assurance yang baik, hasil yang diberikan kepada klinik tentunya dapat dipercaya. Selain itu biarpun satu laboratorium itu fully automated, keahlian dari seorang pemimpin laboratorium selalu perlu. Perkembangan pelayanan laboratorium dalam klinik. Selama lima belas tahun terakhir perkembangan mengenai jumlah dan jenis pemeriksaan laboratorium serta jumlah alat laboratorium pesat sekali. Kami tidak tahu apakah pada waktu ini sudah perlu untuk mengadakan penilaian di Indonesia. Tapi dari angka-angka yang dapat kami kumpulkan dari kepustakaan Amerika, Eropa dan Singapura kenaikan jumlah jenis dan biaya pemeriksaan laboratorium meningkat dengan cepat. Griner pada tahun 1971 mengadakah penyelidikan tentang adanya kenaikan dalam jumlah dan biaya pemeriksaan laboratorium yang sangat meningkat bila dibandingkan dengan jumlah orang sakit, uang makan dan uang obat. Penyelidikan ini diadakan di beberapa rumah sakit di USA. Ringkasan hasil penyelidikan dapat dilihat di Gambar II dan Tabel II 3229

Control of Radiological and Laboratory Services in Clinical Practice". Gambaran tentang pola kenaikan permintaan test lab oratorium dapat dilihat di Gambar III dan agaknya Indonesia cenderung mempunyai pola serupa.Tabel II: Janis test yang diminta + biaya test Jumlah M 38 18 64 Test Max. 620 209 125 $ M 198 47 39 Biaya Max. 2773 590 705

Laboratorium Kimia Klinik Hematologi Bakteriologi

855 pasien, rata-rata 14 hari Biaya total 14 hari Biaya lab. / per pasien Jumlah test per pasien

$ 1880 $ 468 69

Pasien ICU >Test Sumber : P. Griner cs. Ann. int. Med. 1975.7 5 : 157 Tabel III : Biaya pemeriksaan laboratorium (2 tahun) Biaya/Test Hb / Leko LED Urin Urin + Elektrolit Glukosa darah Rii thorax EKG 1.64 1,64 0.99 1.04 1.04 1,26 2,18 Jumlah Negatif Test / Bulan 625 621 598 603 605 538 510 Biaya Negatif Test 1025 1018 592 627 629 677 1111

.5681Sumber G. Sandler Brit. Med. J. 1979. Tambahan B

758

046

--.1236 450 (scala lain)

Gambar II. Kenaikan biaya RS + LAB. 1966 - 1970 -------> 1965 (5 T I )

Oleh Sandler pada tahun 1979 juga diadakan penyelidikan tentang biaya pemeriksaan laboratorium perbulan yang menurut angket yang dibagikan tidak menunjang keadaan yang dihadapi. Survey ini diadakan disalah satu rumah sakit di London selama 2 tahun dan salah satu hasil yang didapat ialah jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk berbagai test yang sebetulnya tidak usah diminta (Tabel III) Contoh terakhir yang juga dapat dipakai sebagai bahan pemikiran saya ambil dari Seamic Publication No. 31 (1982) yang mengemukakan hasil diskusi panel yang diadakan di Si-

216 736

year 74 78 79 Gambar III. Data dari Singapore. Indonesia cenderung poly serupa. Daftar Kepustakaan dapat diminta pada penulis/redaksi Cermin Dunia K e d o k t e r a n No. 30 9 1970

Apa yang Harus Dilakukan Sebelum Mendapat Hasil ResistensiProf. Sujudi Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Pendahuluan

Sejak digunakan preparat sulfonamida pada tahun1930 dan kemudian preparat penisilin pada tahun 1940, memang banyak diantara penyakit infeksi yang sebelumnya sangat prevalen dan sangat fatal telah menghilang. Pada saat itu sangat terkenal istilah the wonder drug atau the magic bullet. Dalam 25 tahun kemudian banyak jenis antibiotika yang ditemukan, yang pada mulanya diasingkandaripada filtrat biakan jamur, tetapi belakangan ini banyak pula yang dibuat secara sintetis. Namun hingga kini infeksi kuman masih menjadi masalah kesehatan sebagai penyebab daripada penyakit dan kematian, walaupun sudah jauh berkurang jika dibandingkan dengan sebelum era penggunaan pengobatan khemoterapeutika dan antibiotika. Ketika sulfonamida pertama kali dipakai untuk pengobatan gonorhae, praktis semua strain gonokok adalah sensitif. Enam tahun kemudian sebagian besar strain\ gonokok tadi menjadi resisten, tetapi sensitif terhadap penisilin. Sekitar tahun 1944 hampir seluruh stafilokok yang diasingkan di rumah sakit sensitif terhadap penisilin, tetapi pada tahun 1948 kurang lebih 65% - 85% menjadi resisten, karena banyaknya pemakaian preparat penisilin di rumah sakit. Sebetulnya sejak digunakan preparat sulfa dan penisilin Penentuan resistensi kuman : dalam pengobatan penyakit infeksi, para ahli bakteriologi dan Cara menentukan sifat resisten atau sensitif sejenis mikpara dokter telah menyadari akan terjadinya resistensi pada roorganisme terhadp sejenis atau beberapa jenis obat pada beberapa jenis kuman terhadap beberapa jenis obat. dasarnya ialah ada 2 (dua), yaitu : Resistensi terhadap obat 1. Cara penipisan (dilution method) yaitu dengan melakukan suatu seri pengenceran obat didalam tabung reaksi, kemuSekedar sedikit teori atau dasar-dasar mengenai sifat resisdian dimasukkan kuman yang akan diperiksa dengan dosis tensi kuman terhadap obat-obat antara lain karena adanya tertentu, lalu ditentukan batas atau dosis obat terkecil yang mekanisme : masih dapat menghambat tumbuhnya kuman yang disebut 1. Mikroorganisme dapat membuat enzim yang mempunyai MIC (Minimum Inhibition Concentration) = KHM sifat menghancurkan aktivitas obat. (Konsentrasi Hambatan Minimum). 2. Mikroorganisme mengubah sifat permeabilitasnya terhadap 2. Cara cakram (disc method), yaitu dengan menggunakan obat.10 Cermin Dania Kedokteran No. 30

3. Mikroorganisme mengubah struktur interennya, sehingga bagian yang akan dirusak oleh obat tidak ada. 4. Mikroorganisme mengubah sifat metabolismenya dengan cara membuat cara atau jalan atau reaksi yang tidak dapat dihambat oleh obat. 5-. Mikroorganisme mengeluarkan enzim untuk metabolismenya sehingga masih bisa berjalan walaupun ada gangguan dari obat. Adanya sifat resistensi terhadap obat daripada mikroorganisme tadi dapat berasal dari genetik atau non-genetik. Sifat non-genetik berhubungan dengan fase pertumbuhan daripada kuman. Kuman yang sedang tidak aktif metabolismenya, biasanya resisten terhadap obat jika dibandingkan dengan kuman yang muda yang sedang aktif berkembang biak. Sedangkan sifat genetik dapat berhubungan dengan khromosomnya atau dengan genetik ekstrakkhromosom yang disebut palsmid atau episone. R faktor adalah plasmid yang membawa sifat resisten terhadap satu jenis obat atau beberapa jenis obat. Baik bahan genetik maupun plasmid dapat dipindahkan dari satu jenis spesies kuman kepada spesies lainnya dengan cara transduksi, transformasi dan konjugasi.

cakram yang sudah dibubuhi obat dengan dosis tertentu yang ditempelkan pada pelat petri yang telah ditumbuhi oleh kuman yang akan diperiksa. Kemudian adanya zona hambatan merupakan pegangan untuk menentukan ada tidaknya sifat resisten atau sensitif. Cara cakram merupakan cara yang praktis digunakan sehari-hari untuk membantu para klinisi mendapatkan gambaran resistensi kuman penyebab penyakit yang diasingkan dari penderita. Yang perlu diperhatikan daripada cara ini ialah fak tor-faktor yang akan mempengaruhi tes tadi yaitu faktor pH, jenis medium, stabilitas obat, dosis obat dan besarnya inokulum kuman yang diperiksa. Atas dasar perkembangan dan perubahan sifat yang terjadi baik pada kumannya terhadap obat, maupun perubahan ekologi daripada penyebab infeksi, terutama pada peradangan yang menahun, yaitu terjadi pergeseran penyebab daripada penyakit misalkan lebih menonjolnya peranan kuman Gram negatif pada penyakit radang tenggorok dan lebih menonjolnya peranan kuman Gram positif pada infeksi saluran kemih, maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium bakteriologik yang akan membantu diagnosa dan tindakan pengobatan dengan dimungkinkan diasingkannya penyebab penyakit dan gambaran resistensi daripada kuman penyebab terhadap pelbagai jenis obat. Sehingga akan dapat dipilih obat yang mungkin akan lebih tepat karena masih sensitif. Pemeriksaan bakteriologik dan resistensi memerlukan waktu, yaitu hasil pemeriksaan paling cepat diperoleh dalam waktu 3 hari dan jika kebetulan agak lambat pertumbuhannya dapat sampai 7 hari. Maka timbul pertanyaan apa yang harus dilakukan oleh para dokter jika menghadapi penderita dengan penyakit infeksi.

ngobatan yang sempuma atau yang berhasil baik terhadap penyakit-penyakit infeksi tadi. Keberhasilan pengobatan penyakit infeksi ditentukan antara lain oleh obat antibiotika atau khemoterapeutika yang tepat dan penggunaannnya sesuai dengan dosisnya serta lamanya pengobatan. Pemilihan obat antibiotika yang akan dipakai terhadap beberapa jenis penyakit atau kuman penyebabnya ditentukan antara lain : 1. Pengetahuan mengenai sifat kuman penyebabnya berdasarkan teori kepustakaan, yang menentukan bahwa spesies kuman tertentu dapat diobati- oleh jenis obat tertentu, sehingga pemberian obat. sudah dapat diperkirakan sebelumnya.

2. Pengalaman penggunaan jenis obat tertentu terhadap jenis penyakit infeksi tertentu. Biasanya terdapat pelbagai jenis obat yang dapat dipakai, ternyata pengalaman memberikan basil yang baik dengan memilih obat tertentu. 3. Berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologik yang memberikan gambaran baik jenis kumannya maupun jenis-jenis obat yang masih sensitif. Mengingat hasil pemeriksaan bakteriologik memerlukan waktu sedangkan pengobatan perlu segera diberikan, maka pengobatan serta pemilihan obat didasarkan kepada pengetahuan dan pengalaman. Sekedar untuk pegangan dalam memilih obat sebelum hasil laboratorium diperoleh, mungkin dapat dipakai seperti yang tercantum pada tabel I. Pada tabel II dan III, kemungkinan pilihan obat terhadap penderita septikemia dengan kemungkinan penyebabnya maupun sumber infeksinya. Sedangkan kemungkinan pemilihan obat pada penderita pneumonia dapat dilihat pada tabel IV. Mengingat bahwa keberhasiian pengobatan penyakit infeksi harus ditujukan terhadap kuman penyebabnya, bukan terhadap Tindakan pengobatan pendahuluan penyakit, maka basil pemeriksaan bakteriologik akan lebih Salah satu tujuan usaha kesehatan ialah mencegah terjadinya mendekatkan kepada kepastian diagnosanya dan kepastian penyakit infeksi, tetapi program ini hingga sekarang belum kepada pemakaian jenis obatnya. semuanya dapat dilaksanakan, maka usahanya ialah pe-

Tabel I. Antimicrobial Chemotherapy * Drug selections, 1979 1980 Suspected or Proved Etiologic AgentGram-negative cocci Gonococcus Meningococcus Gram-positive cocci Pneumacoccus Streptococcus, hemolytic groups A, B, C, G Streptococcus viridans Staphylococcus, nonpenicillinase-producing Staphylococcus, penicillinase-producing Streptococcus faecalis (enterococcus) Gram-negative rods Acinetobacter (Mime-Herelleal Bacteroides (except B fragilis) Bacteroides fragilis Bruce/la Penicillin 1 , ampicillin Penicillin 1 Penicillin1 Penicillin 1 Penicillin 1 plus aminoglycoside (?) Penicillin1 Penicilinase-resistant penicillin5 Ampicillin plus aminoglycoside Tetracycline2, spectinomycin Chloramphenicol, sulfonamide Eryth romycin 3, cephalosporin 4 Erythromycin 3 Cephalosporin, vancomycin Cephalosporin, vancomycin Vancomycin, cephalosporin Vancomycin

Drug(s) of First Choice

Alternative Drug(s)

Gentamicin Penicillin 1 or chloramphenicol Clindamycin Tetracycline plus streptomycin

Minocycline, amikacin Clindamycin Chloramphenicol Streptomycin plus sulfonamide6

Cermin Dania Kedokteran No. 30

11

Suspected or Proved Etiologic Agent Gram-negative rods

Drug(s) of First Choice

Alternative Drug(s)

Enterobacter Escherichia Escherichia coil sepsis Escherichia coil tract infection / (first attack) Haemophilus (meningitis, respiratory infections) Klebsiella Leg/one/la pneumophila (pneumonia) Pasteurella (Yersinia) (plague, tularemia) Proteus Proteus mirabilis Proteus vulgaris and other species Pseudomonas Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas pseudomallei (melioidosis) Pseudomonas mallei (glanders) Salmonella Serratia, Providencia Shigella Vibrio (cholera)

Gentamicin or amikacin Kanamycin or gentamicin Sulfonamide7 or co-trimoxazole Chloramphenicol Cephalosporin or gentamicin Erythromycin Streptomycin or tetracycline Penicillin or ampicillin Gentamicin or amikacin Gentamicin plus carbenicillin Tetracycline Streptomycin plus tetracycline Chloramphenicol or ampicillin Gentamicin, amikacin Ampicillin or chloramphenicol Tetracycline

Chloramphenicol Cephalosporin, ampicillin Ampicillin, cephalexin4 Ampicillin, co-trimoxazole Chloramphenicol Sulfonamide6, chloramphenicol Kanamycin, gentamicin Chloramphenicol, tobramycin Polymyxin, amikacin Chloramphenicol Chloramphenicol Co-trimoxazole8 Co-trimoxazole8 plus polymyxin Tetracycline, co-trimoxazole Co-trimoxazole

Gram-positive rods

Actinomyces Bacillus (eg, anthrax) Clostridium (eg, gas gangrene, tetanus) Corynebacterium ListeriaAcid-fast rods Mycobacterium tuberculosis Mycobac terium /eprae Mycobacteria, atypical Nocardia

Penicillin1 Penicillin1 Penecillin1 Erythromycin Ampicillin plus aminoglycoside

Tetracycline, sulfonamide Erythromycin Tetracycline, erythromycin Penicillin, cephalosporin Tetracycline

INH plus ethambutol, rifampin9 Dapsone or sulfoxone Ethambutol plus rifampin Sulfonamide6

Other antituberculosis drugs Rifampin, amithiozone Rifampin plus INH Minocycline

Spirochetes Borrelia (relapsing fever) Leptospira Treponema (syphilis, yaws) Mycoplasma Ch/amydia trachomatis, ch/amydia psittaci Rickettsiae

Tetracycline Penicillin Penicillin Tetracycline Tetracycline, sulfonamide6 Tetracycline

Penicillin Tetracycline Erythromycin, tetracycline Erythromycin Erythromycin, chloramphenicol Chloramphenicol

1 Penicillin G is preferred for parenteral injection; penicillin V for oral administration. Only highly sensitive microorganisms should be treated with oral penicillin. 2 All tetracyclines have similar activity against microorganisms and comparable therapeutic activity and toxicity. Dosage is deter mined by the rates of absorption and excretion of different preparations. 3 Erythromycin estolate and troleandomycin are the best absorbed oral forms. 4 Cefazolin, cephapirin, cephalothin, and cefoxitin are among parenteral cephalosporins; cephalexin or cephradine the best oral forms. 5 Parenteralnafcillin, oxacillin, or methicillin. Oral dicloxacillin, cloxacillin, or oxacillin. 6 Trisulfapyrimidines have the advantage of greater solubility in urin over sulfadiazine for oral administration; sodium sulfadiazine is suitable for intravenous injection in severely ill persons. 7 For previously untreated urinary tract infection, a highly soluble sufonamide such as sulfisoxazole or trisulfapyrimidines is the first choice. Co-trimoxazole is acceptable. 8 Co-trimoxazole is a mixture of 1 part trimethoprim plus 5 parts sulfamethoxazole. 9 Either or both.*) Dari Review of Medical Microbiology 14th edition, 1980.

12

Cermin Dunia Kedokteran No. 30

Table II. Initial Treatment of Septicaemia

Table IV. Chemotherapy of Pneumonia of Know Cause

When early clinical/microbiological information indicates probable cause Organism First choice Second choice Presumed cause Treatment Erythromycin Strep. pneumoniae Penicillin Meningococcus Benzyl Penicillin Mycoplasma pneumoniae Erythromycin Tetracycline Gonococcus Benzyl Penicillin Staph. aureus Flucloxacillin + Penicillin Sensitivity testing Pneumococcus Benzyl Penicillin H. influenzae Ampicillin/Amoxycillin Chloramphenicol Str. pyogenes Benzyl Penicillin Klebsiella Gentamicin Sensitivity testing Staph. aureus Benzyl Penicillin + (flu) cloxacillin Pseudomonas Gentamicin + Carbenicillin Sensitivity testing (but see also bact. endocarditis) Anaerobes Penicillin Clindamycin Enterobacteria Gentamicin Metronidazole Pseudomonas Gentamicin or Tobramycin + Carbenicillin or Conxiella burneti Tetracycline Ticarcillin Chlamydia psittaci Tetracycline Benzyl Penicillin Clostridium Legionella pneumophila Erythromycin Metronidazole Bacteroides, other nonsporing anaerobes *) Dari : Antibiotic and Chemotherapy Fifth Edition 1981. *) Dari Antibiotic and Chemotherapy Fifth Edition, 1981. Table 111.1nitial Treatment of Septicaemia KEPUSTAKAAN Best guess policies when early clinical/microbiological information does 1. Bauer AW, Kirby WMM, Sherris JC, Turck M. Antibiotic suscepnot indicate cause tibility testing by a standardized single disc method. AM J Clin Probable source and/or associated disease Treatment Pathol. 1966 ;45 : 493. Antibiotic and Chemotherapy, 2. Garrod LP, Lambert HP, O'Grady. Lower gut, pelvis Penicillin + Gentamicin +Metronidazole or 5th edition. 1981 Gentamicin + CI indamycin 3. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. Review of Medidal MicrobioUrinary tract Ampicillin (Amocycillin) + Gentamicin logy, 14th edition, 1980. Biliary tract Ampicillin (Amoxycillin) + Gentamicin 4. Performance standards for antibiotic disc susceptibility tests. NCCI, Neutropenia Gentamicin + Carbenicillin or Ticarcillin 1981;voi1No6. Intravenous catheters Cloxacillin + Gentamicin 5. Sujudi, Utji R, Santoso AUS, Retno Iswari, Karsinah, Hutabarat T. Neonate See Chapter 20 Pola resistensi kuman-kuman yang diasingkan dari pelbagai jenis bahan pemeriksaan selam 6 bulan (1976) di Bagian Mikrobiologi *) Dari : Antibiotic and Chemotherapy Fifth Edition, 1981. FKUI. Simposium Antibiotika, Jakarta 1976.

Cermin Dunia Kedokteran No. 30

13

Diagnosa Laboratorium Kelainan Lemak Darahdr. Marzuki Suryaatmadja dan dr. Erwin Silman Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta.

Pendahuluan Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama di Amerika Serikat, Jerman Barat dan banyak negara Barat lain yang tergolong negara industri yang maju. Untuk menurunkan angka kematian dan angka kesakitan PJK telah banyak dilakukan penelitian terhadap berbagai faktor risiko dari timbulnya atherosklerosis, perubahan pembuluh darah koroner, dengan maksud agar dapat diketahui secara dini dan dengan demikian dapat dicegah. Berdasarkan berbagai penelitian epidemiologik dinyatakan bahwa zat lemak darah adalah faktor risiko utama timbulnya atherosklerosis/ PJK. Di negara-negara berkembang khususnya di kota-kota besar juga dijumpai kecenderunganmeningkatnya PJK. Demikian pula kadar lemak darah yang mengarah ke pola yang dijumpai di negara maju sehingga perlu pula diketahui dan diterapkan diagnosa laboratorium terhadap adanya kelainan zat lemak darah. Biokimia danfaal zat lemak darah Telah lama dikenal ada 3 jenis lipida yaitu kolesterol,trigliserida dan fosfolipida. Untuk dapat diangkut dengan sirkulasi darah maka lipida, yang bersifat tidak larut di dalam air, berikatan dahulu dengan protein khusus, apoprotein, sedemikian rupa sehingga bentuk ikatan tersebut yang dikenal sebagai lipoprotein dapat larut di dalam air. Berdasarkan beberapa cara pemeriksaan dapat dibedakan beberapa jenis lipoprotein (LP) yaitu kilomikron, VLDL (very lowdensitylipoprotein), LDL (lowdensity-lipoprotein) dan HDL (highdensitylipoprotein) dengan ciri-ciri seperti dapat dilihat pada tabel l 1,2,3 Pengangkutan lipida/lipoprotein dapat dibedakan antara jalur eksogen dan endogen. Pada jalur eksogen mula-mula dibentuk kilomikron di sel epitel usus dari trigliserida dan kolesterol makanan. Melalui saluran limfe kilomikron masuk ke sirkulasi amum dan sampai ke kapiler jaringan adiposa dan otot14 Cermin Dunia Kedokteran No. 30

rangka dimana enzim lipase lipoprotein (LL) memecah trigliserida dan melepaskan monogliserida dan asam lemak bebas (free fatty acid = FFA). Partikel sisa kembali ke sirkulasi umum. Setelah mengalami perubahan lalu diambil oleh hati. Hal ini berarti bahwa dengan cara tersebut trigliserida makanan diangkut ke jaringan adiposa sedangkan kolesterol makanan ke hati. Sebagian kolesterol ini akan diubah menjadi asam empedu, sebagian lagi diekskresi ke empedu tanpa diubah lagi dan sebagian lagi disebarkan ke jaringan lain. Pada jalur endogen trigliserida disintesa di hati bila diit mengandung asam lemak yang dengan gliserol membentuk trigliserida yang disekresi ke sirkulasi sebagai inti dari VLDL. Di kapiler jaringan terjadi penguraian trigliserida oleh LL dan penggantian trigliserida oleh ester kolesterol sehingga VLDL berubah menjadi LDL melalui IDL(intermediate- density-lipoprotein). LDL berfungsi untuk mengirimkan kolesterol ke jaringan ekstrahepatik seperti sel-sel korteks adrenal, ginjal, otot dan limfosit. Sel-sel tersebut mempunyai reseptor-LDL di permukaannya. Di dalam. sel LDL melepaskan kolesterol untuk pembentukan hormon steroid dan sintesa dinding sel. Selain itu ada pula sel-sel fagosit dari sistem retikuloendotel yang menangkap dan memecah LDL. Bila sel-sel mati maka kolesterol terlepas lagi dan diikat oleh HDL. Dengan bantuan enzim Lesitinkolesterol asiltranferase (LCAT) kolesterol berikatan dengan asam lemak dan dikembalikan ke VLDL dan LDL. Sebagian lagi diangkut ke hati untuk diekskresi ke empedu. Gambar 1 memperlihatkan bagan metabolisme LP sedangkan pada gambar 2 terlihat interaksi antara LDL dengan sel perifer.2,3 Ada 2 teori yang menerangkan peranan LDL dan HDL dalam mengatur kadar kolesterol di dalam sel perifer. Yang pertama mengemukakan mekanisme kebalikan dari pengangkutan kolesterol dimana HDL bekerja mengangkut kolesterol dari sel perifer ke hati berlawanan dengan kerja L.DL. Yang kedua menyebutkan adanya hambatan bersaing antara HDL dan LDL pada reseptor dari sel perifer. Tingginya kadar

Tabel 1. Klasifikasi lipoprotein ultracentrifuge : 1) densitas hidrasi (g/ml ) 2) kecepatan flotasi (Sf) 3) elektroforesa 4) diameter Chylomicron < 0.95 > 400 tidak bergerak 800 - 5000 85 4 2 7 1-2 VLDL 0.95 - 1.006 20 - 400 pre - beta 300 - 800 52 17 7 15 9 beta 180 - 280 10 37 8 23 22 LDL 1.019 1.063 0 20 alfa 50 - 120 4 18 2 25 51 HDL 1.063 1.21

(A)

5) susunan : % trigliserida % cholesterol ester % cholesterol % phospholipida % protein

6) apoprotein utama 7) asal

A, B, C, usus

B, C, E usus, hati

B hasil akhir metabolisme VLDL transport cholesterol dan phospholipids ke sel perifer

A, E usus, hati

8) fungsi

transport trigliserida eksogen

transport trigliserida endogen

transport cholesterol dari sel perifer ke hati ( ? )

liver

glycerol

free tatty acids

peripheral cell

arairi)oproteins frr5if erides phasphollpids

Gambar 1.

Metabolisme Lipoprotein.

\km.

IDL

,-''-1 LDL

HDL

Dikutip dari Brewer et

al1 monoglycende

cellfatty acids

liverapolipoproteins triglycerides phospholipids

racid lipase cholestero ester hydrolyase

lipoprotein lipase

VLDL IDL LDL

Bagan interaksi antara LDL dengan sel perifer. Dikutip dari Brewer et al1 Gambar 2. Cermin Dunia Kedokteran No. 30 15

LP yang satu akan menghalangi uptake dari LP yang lain. Kedua teori itu dapat dilihat pada gambar 3.4

~~C

97{4,

qr1

tersebut dilakukan dengan melihat kadar kolesterol, trigliserida plasma/serum, "standing plasma/serum" atau nefelometri ( StoneThorp's SML profile). Keenam fenotipe dapat dilihat pada tabel 2 4,s,6 Kelemahan fenotipe di atas adalah tidak dapatnya memberi keterangan mengenai faktor genetika atau kekurangan (defek) biokimia yang mendasarinya. Karena itu pada 1973 Goldstein dan kawankawan mengemukakan klasifi7casi hiperlipoproteinemia berdasarkan genotipe, yaitu pola penurunannya dan kelainan lipid yang predominan pada pedigree tersendiri. Dapat dilihat adanya beberapa fenotipe pada satu pedigree. Lihat tabel3 4,s,7,s

~

,

~

~

111at

i

4

"'\'

11'l

l

~

Reverse "~`

Cholesterol Transport

~

eobp,19*4' +

Competitive Binding

"

Kedua sistem ldasifikasi tersebut masih berlaku sampai sekarang dan masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Berbagai keadaan dan penyakit tertentu dapat menyebabkan terjadinya hiperlipoproteinemia yang disebut sekunder. Dapat ditemukan fenotipe I sampai dengan V. Li-hat tabel 4.s Diperkirakan hiperlipoproteinemia sekunder 40% dari kasus hiperlipoproteinemia. Pemeriksaan laboratorium

VLDL

000LDL HDL

Gambar 3. Kedua teori mengenai peranan HDL dan LDL dalam pengaturan kadar cholesterol di dalam sel perifer. Dilautip dari Brewer, Bronzert4

Klasifikasi kelainan lemak darah Berdasarkan kadar-lemak darah dibedakan antara hipolipidemia atau hipolipoproteinemia dan hiperlipidemia atau hiperlipoproteinemia. Kelainan dapat bersifat primer dimana kelainan lemak darah tersebut merupakan manifestasi utama; biasanya familial. Dapat pula bersifat sekunder yaitu disebabkan adanya penyakit dasar. Hipolipidemia umumnya bersifat primer dan berkaitan dengan kadar kolesterol yang rendah. Beberapa jenis yang telah diikenal adalah defisiensi alfalipoprotein ( penyakit Tangier), hipobetalipoproteinemia dan abetalipoproteinemia (sindroma BassenKornzweig). Pada 1967 Fredrickson, Levy dan Lees mengemukakan klasifikasi hiperlipoproteinemia primer berdasarkan kadar kolesterol dan trigliserida plasma, ultrasentrifugasi dan elektroforesa lipoprotein. Dibaginya menjadi 5 tipe, yaitu I, II, III, IV dan V. Komisi WHO pada 1970 mengambil alih Idasifikasi tersebut dan membedakan tipe II menjadi tipe IIa dan IIb. Dengan pembagian hiperlipoproteinemia primer menjadi 6 fenotipe tersebut pengertian dan pemahaman kelainan lipida menjadi lebth mudah dan juga bermakna praktis dalam mengikuti pengaruh diit dan pengobatan. Karena metode pemeriksaan yang digunakan tidak selalu tersedia di semua laboratorium maka selanjutnya klasif kasi

Ada beberapapersyaratanuntuk pengambilan bahan (darah) agar hasilnya mencerminkan keadaan yang sebenarnya dan dapat dibandingkan dari waktu ke waktu (pada pengobatan). Pasien harus puasa 1216 jam sebelumnya. Dianjurkan selama 2 minggu sebelumnya chit biasa, tidak makan obat yang mempengaruhi kadar lipida, tidak ada perubahan berat badan dan sekurang kurangnya 3 bulan sebelumnya tidak sakit berat, infark miokard atau operasi. Stasis vena dihindarkan sedapat mungkin dan penderita duduk sekurangnya jam. Serum segera dipisahkan atau bila dipakai plasma maka antikoagulan yang baik adalah EDTA.9,10 Pemeriksaan yang sudah dapat dilakukan disini meliputi : standing plasma/serum, kolesterol total, kolesterolHDL, kolesterolLDL (cara tidak langsung), lipida total, trigliserida, betalipoprotein yang sudah agak umum dikerjakan. Fosfolipida, kolesterolLDL (cara langsung), elektroforesis lipoprotein, prof-11 SML dan apoprotein B dilakukan di beberapa laboratorium saja. Sedangkan ultrasentrifugasi belum dikerjakan di Indonesia. Nilai normal Nilai ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti usia, jenis kelamin, ras, keadaan sosioekonomi, jenis makanan, keaktifan fisik dan sebagainya. Kadar lemak dan lipoprotein umumnya lebih tinggi pada jenis kelamin laid-laid, usia lebih tua, keaktifan fisik kurang, penduduk daerah urban, kecuali kadar kolesterol HDL yang sebaliknya. Nilai yang normal untuk usia tua mungkin sudah tidak normal untuk usia muda. Karena itu dianjurkan untuk tidak menggunakan kata "normal" tetapi sebatknya "rujukan". Lagipula sukar sekali menarik batas antara saldt dan tidak, terlebih lagi untuk mengetahui sudah adanya atherosklerosis atau belum.

16 Cermin Dunia Kedokteran No. 30

Tabel 2. Klasifikasi fenotipe hiperlipoproteinemia menurut Fredrickson et al dan Komisi WHO dengan ciri-cirinya.

Dikutip dari Assmann5, ICI

6

1000mg/di

T y p e III

350-500

mg/dl

350-500 tng/dl

=1IINIF/3 200-1000 mg/dl

pre-fi T

Type IV

190

Kompleks genetik : Disbetalipoproteinemia Familial (AR) Hiperkolesterolemia Poligenik

Tipe IIl Tipe Ila, lib (IV, V) KolesterolHDL : pria wanita

Prognosa baik

Risiko normal (standar)

Risiko meningkat

AR = autosomal recessive inheritance AD = autosomal dominant inheritance Heterogenitas fenotipi k terbukti di dalam kelas menurut genetik

> >

55 65

3555 45 65

< 35 < 45

(satuan dalam mg/dl) Tabel 4. Klasifikasi hiperlipoproteinemia sekunder berdasarkan fenotipe lipoprotein. TIPE Ila/lib Diabetes mellitus (insulindependent, asidosis diabetik) Obesitas Penya kit hati obstruktif Insufisiensi ginjal Al koholism Hi poti raid"Disproteinemia"

an ini sekunder. Bila tanpa penyakit dasar, berarti primer, perlu dilakukan pemeriksaan famili. Lihat tabel 6.5,7,1 Pengobatan ditujukan kepada penyakit dasarnya dan melihat pola kelainan hiperlipoproteinemianya (tidak dibicarakan disini) .+ + Tabel 6. Pendekatan rasional terhadap deteksi dan diagnosis hiperl ipidemia/hi perlipoproteinemia.

III

IV

+

+

+ +

+ + + + + + + +

+ + + + + + + + + + + +

Lupus ertitematosus Mieloma Porfiria Sindroma Werner

Pendekatan rasional terhadap deteksi dan diagnosis hiperlipidemia Untuk mengetahui adanya hiperlipidemia/hiperlipoproteinemia dengan pemeriksaan kadar kolesterol total, trigliserida dan standing plasma/serum sudah dapat diketahui sebagian besar kasus. Juga dapat dikenal fenotipenya, kecuali untuk fenotipe III yang memerlukan rujukan. Pemeriksaan profit SML membantu mengenali fenotipe hiperlipoproteinemia. Untuk membuat prognosa risiko atherosklerosis dan PJK perlu ditetapkan kadar kolesterolHDL dan kolesterolLDL baik secara langsung atau dengan rumus Friedewald. Selanjutnya mencari penyakit dasarnya yang bila ada berarti kelainDaftar Kepustakaan dapat diminta pada penulis / redaksi.

18 Cermin Dunia Kedokteran No. 30

Pemeriksaan Faal Hatidr. Frans

Sardi Satyawirawan dan dr. Marzuki Suryaatmadja

Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

Banyak faal metabolik yang dilakukan oleh jaringan hati, maka ada banyak pula, lebih dari 100, jenis test yang mengukur reaksi faal hati.' Semuanya, disebut sebagai "tes faal hati". Sebenarnya hanya beberapa yang- benar-benar mengukur faal hati.1-3 Diantara berbagai tes tersebut tidak ada tes tunggal yang efektif mengukur faal hati secara keseluruhan. Beberapa tes terlalu peka sehingga tidak khas, sebagian lagi dipengaruhi pula oleh faktor- faktor di luar hati, sebagian lagi sudah obsolete. 4 Sebaliknya makin banyak tes yang diminta maka makin besar pula kemungkinannya mendapatkan defisiensi biokimia. Cara pemeriksaan shotgun semacam itu akan menimbulkan kebingungan. Sebaiknya memilih beberapa tes saja.5 Beberapa kriteria yang dapat dipakai adalah, antara lain, dapatnya dikerjakan tes tersebut secara baik dengan sarana yang memadai, segi kepraktisan, biaya, stress yang dibebankan kepada penderita, kemampuan diagnostik dari tes tersebut, dan lain-lain. Pada pengujian kerusakan hati, gangguan biokimia yang terlihat adalah peningkatan permeabilitas dinding sel, berkurangnya kapasitas sintesa, terganggunya faal ekskresi, berkurangnya kapasitas penyimpanan, terganggunya faal detoksifikasi peningkatan reaksi mesenkimal dan imunologi yang abnormal. Dengan melihat gangguan faal biokimia mana yang ingin diketahui dan mempertimbangkan kriteria di atas maka testes yang ada dapat dikelompokkan menurut suatu program bertahap seperti yang terlihat pada Tabel-I .6 Di bawah ini akan diuraikan secara lebih mendalam tes-tes tersebut diatas. I. INTEGRITAS SEL

kat lebih tinggi daripada ALT pada kerusakan hati yang lebih dalam dari sitoplasma sel. Keadaan ini ditemukan pada kerusakan sel hati yang menahun.2,5,7 Adanya perbedaan peningkatan enzim AST dan ALT pada penyakit hati ini mendorong para peneliti untuk menyelidiki ratio AST & ALT ini. De Ritis et al mendapatkan ratio AST/ALT =0,7 sebagaibatas penyakit hati akut dan kronis. Ratio lni yang terkenal dengan narna ratio De Ritis memberikan hasil < 0,7 pada penyakit hati akut dan > 0,7 pada penyakit hati kronis. Batas 0,7 ini dipakai apabila pemeriksaan enzim-enzim tersebut dilakukan secara optimized, sedangkan apabila pemeriksaan dilakukan dengan cara kolorimetrik batas ini adalah 1.7 Istilah "optimized" yang dipakai perkumpulan ahli kimia di Jerman ini mengandung arti bahwa cara pemeriksaan ini telah distandardisasi secara optimum baik substrat, koenzim maupun lingkungannya. Enzim GLDH bersifat unikoluker dan terletak di dalam mitochondria. Enzim ini peka dan karena itu baik untuk deteksi dini dari kerusakan sel hati terutama yang disebabkan oleh alkohol, selain itu juga berguna untuk diagnosa banding ikterus. Perlu diketahui bahwa cortison dan sulfonil urea pada dosis terapi dapat menurunkan kadar GLDH. Pemeriksaan enzim LDH total akan lebih bermakna apabila dapat dilakukan pemeriksaan isoenzimnya yaitu LDH 5. Dalam hubungannya dengan metabolisme besi, sel hati rnembentuk transferin sebagai pengangkut Fe dan juga menyimpannya dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Cu terdapat di dalam enzim seruloplasmin yang dibentuk oleh hati. Kelebihan Cu akan segera diekskeresi oleh hati.2 Perubahan kadar Fe dan / atau Cu pada beberapa penyakit hati dapat dilihat pada Tabel II.6

II. FAAL METABOLISME/EKSKRESI Enzim-enzim AST, ALT & GLDH akan meningkat bila terjadi kerusakan sel hati. Biasanya peningkatan ALT lebih tinggi dari Tes BSP (bromsulfonftalein), suatu zat warna, merupakan tes pada AST pada kerusakan hati yang akut, mengingat ALT yang peka terhadap adanya kerusakan hati. Diukur retensinya di merupakan enzim yang hanya terdapat dalam sitoplasma sel dalam darah beberapa waktu setelah disuntikkan intravena. hati (unilokuler). Sebaliknya AST yang terdapat baik dalam sitoplasma maupun mitochondria (bilokuler) akan meningCermin Dunia Kedokteran No. 30 19

Tabel I :

Fungsi

Tingkat 1ALT('= SGPT), AST

Tingkat 2 LDH Amonia, ICG Asam empedu

Tingkat 3F. (ratio Fe/Cu)

Test yang kuratg panting

Integritas sal Metabolisme/ekskresi Ekskresi

SDH. OCT, ICDH, GUD, MDH, F-1P' ASE

(=SGOT), GLDH Retensi BSP

Toleransi galaktosa

Asam hipuratCholesterol, Toleransi Rose Bengal

Bilirubin (darah & urin), urobilinogen (urin)

Cu (ratio Fe/Cu)

SintesaProses reaktif

Albumin, ChEGGT, AP TTT, Globulin (elektro forese)

Imunologi (kecuali seromarker hepatitis virus)

Masa protrombin 5NT, LAP IgA, IgG, IgM

LCAT, Lipoprotein

Lymphocyte transformation, leucocyte miigration, CEA, AFP, antibodi thd. otot polos, mitochondria, dll.

Tabel II :Keiainan hati ikterus parenkim ikterus obstruktif sirosis dan hepatitis kronik sirosis bilier primer karsinoma hemokromatosis Penyakit Wilson (degenerasi hepatolenti kuler) Fe meningkat normal normal sampai sedi kit meningkat normal biasanya rendah meningkat normal Cu normal meningkat normal sampai sedikit meningkat meningkat meningkat normal rendah

Di dalam darah ia diikat oleh albumin dan di "uptake" oleh sel-sel hati, dikonyugasi dan diekskresi melalui empedu. Pada penyuntikan 5 mg/kg berat badan maka setelah 45 menit retensinya kurang dari 5% pada keadaan normal. Korelasinya baik dengan kelainan histopatologik. Tes ini berguna pada hepatitis anikterus, mengetahui kerusakan setelah sembuh dari hepatitis, sirosis hati, semua tingkat hepatitis kronik, tersangka perlemakan hati dan keracunan hati.5,6 Namun tes ini kurang disenangi karena dapat timbul efek samping, walaupun jarang, yang fatal seperti renjatan anafilaktis. Akhir-akhir ini makin banyak dikerjakan pemeriksaan kadar asam empedu dalam darah. Tes ini mempunyai makna seperti tes retensi BSP dan juga amat peka terutama kadarnya 2 jam setelah makan. Kadar amonia mengukur faal detoksifikasi hati yang merubahnya menjadi ureum. Faal ini baru terganggu pada kerusakan hati berat karena itu tes ini baru berguna untuk mengikuti perkembangan sirosis hati yang tidak terkompensir atau koma hepatikum.6 Kadarnya juga akan meningkat bila ada shunt portokaval yang mem"by-pass" hati.

III. FAAL EKSKRESI Pemeriksaan kadar bilirubin serum terutama panting untuk membedakan jenis-jenis ikterus. Pemeriksaan ini yang umumnya memakai metodik Jendrassik dan Grof (1938) dapat di pengaruhi oleh kerja fisik dan makanan tertentu seperti karoten, oleh karena itu pengambilan sampel sebaiknya pagi hari sesudah puasa. Pada ikterus prahepatik yang dapat disebabkan oleh proses hemolisis ataupun kelainan metabolisme seperti sindroma Dubin-Johnson, ditemukan peningkatan dari bilirubin bebas. Ikterus hepatik sebagai akibat kerusakan sel hati akan meningkatkan baik bilirubin babas maupun bilirubin (diglukuronida) dalam darah serta ditemukannya bilirubin (diglukuronida) didalam urin. Sedangkan ikterus obstruktif, baik intra maupun ekstra hepatik, akan meningkatkan terutama bilirubin diglukuronida di dalam darah dan urin. Kadar urobilinogen dalam urin akan meningkat pada ikterus hepatik, sebaliknya ia akan menurun atau tidak ada sama sekali pada ikterus obstruktif sesuai dengan derajat obstruksinya.

Seperti telah disinggung sebelumnya pemeriksaan asam empedu makin banyak dipakai sebagai tes faal hati. Pemeriksaan ini dimungkinkan untuk dipakai di dalam klinik Tes toleransi galaktosa menguji kemampuan faal hati meng- sejak ditemukannya metodik onzimatik yang relatif sederhana ubah galaktosa menjadi glukosa. Tes ini sudah jarang dilaku- dibandingkan metodik-metodik sebelumnya. Dalam keadaan kan.8 normal hanya sebagian kecil saja asam empedu terdapat di da20

Cermin bunia Kedokteran No. 30

lam darah sedangkan sebagian besar di- up take oleh sel hati. Pada kerusakan sel hati, hati gagal mengambil asam empedu, sehingga jumlahnya meningkat dalam darah. Pemeriksaan ini seperti pemeriksaan BSP dapat mendeteksi kelainan hati yang ri ngan disamping untuk follow up dan menguji adanya shunt port caval.2

lain oleh sel tumor hati, AFP juga adakalanya dibentuk oleh sel tumor pada saluran pencernaan. Denaan cara radioimmunoassay atau enzyme immunoassay kadarnya hanya 20 mg/ml dalam darah orang normal. Masih belum diketahui dengan jelas mekanisme peningkatannya pada sel-sel tumor diatas.2 Bila kadarnya melebihi 3000 ng/ml hampir dapat dipastikan diagnosa hepatoma. Kadar yang kurang dari itu dapat juga diIV. FAAL SINTESA jumpai pada sirosis hati, hepatitis, kehamilan trimester ketiga, teratoma, dll. Pemeriksaan AFP ini terutama dipakai untuk Albumin disintesa oleh hati. Pada gangguan faal hati kadarnya memonitor terapi bedah ataupun khemoterapi karsinoma hati. di dalam darah akan menurun. Ada pula beberapa antibodi yang berhubungan dengan peCara pemeriksaan yang banyak dipakai sekarang adalah cara nyakit hati. Antibodi-antibodi yang ditetapkan secara immubromcresylgreen. Selain dengan cara di atas, penurunan kadar albumin juga dapat diukur secara elektroforesa dengan per- nofluorescence ini antara lain antinuclear antibody (ANA) alatan khusus yang lebih mahal. Selain dengan pemeriksaan ditemukan pada hepatitis kronik aktif, anti micochandrial albumin, pemeriksaan enzim cholinesterase(ChE) juga dipakai antibody (AMA) dapat ditemukan pada hepatitis kronik aktif, sebagai tolok ukur dari faal sintesa hati. Penurunan aktivitas sirosis bilier dan cholestasis dan smooth muscle antibody 5,6 ChE ternyata lebih spesifik dari pemeriksaan albumin, karena (SMA) yang ditemukan pada hepatitis virus akut. " virus hepatitis A dan Telah diketahui beberapa "seromarker aktivitas ChE kurang dipengaruhi faktor-faktor di luar hati diB. Untuk virus hepatitis A dikenl HA Ag dan anti-HA. Untuk bandingkan dengan pemeriksaan kadar albumin. virus hepatits B dikenal HBsAg, HBcAg, HBeAg, anti-HBc dan Penetapan masa protrombin plasma berguna untuk menguji anti-HBe. Pertanda serologik ini bermakna untuk menentukan sintesa faktor-faktor pembekuan II, VII, IX dan X. etiologi, mekanisme penularan, daya tular, tahap penyakit Semua pemeriksaan tersebut lebih berguna untuk menilai atau hepatitis dan penyakit hati lainnya yang berkaitan serta prognomembuat prognosa dari pada mendeteksi penyakit hati kronis. sanya. PENGGUNAAN DALAM KLINIK V. PROSES REAKTIF Di klink pemeriksaan "faal" hati diperlukan untuk diagnosa Baik enzim GGT, AP, 5-NT maupun. LAP akan meningkat pada adanya dan jenis penyakit hati, diagnosa banding (ikterus, 4,6 Enzim-enzim cholestasis ini juga ak kelainan saluran empedu an meningkat dalam kadar yang lebih rendah pada kerusakan hepatomegali, asites, perdarahan saluran pencernaan), menilai sel parenkin hati. Pemeriksaan GGT pada saat ini merupakan beratnya penyakit, menilai prognosa dan mengikuti hasil pemeriksaan yang paling populer dari ketiga pemeriksaan pengobatan. lainnya. Peningkatan aktivitas enzim ini sering merupakan tan- Juga diperlukan untuk penilaian prabedah serta pada keracunan da pertama keracunan sel hati akibat alkohol. Disamping itu obat-obatan. Sebagai pedoman umum dapat dilakukan menurut beberapa mengingat half-life nya yang panjang peningkatan enzim ini prinsip praktis seperti pemilihan tes haruslah menggambarkan sering merupakan abnormalitas terakhir yang dijumpai pada berbagai macam tolok ukur dari faal-faal hati, tes faal hati proses penyembuhan kerusakan hati. dilakukan secara serial untuk menilai perkembangan penyakit VI. IMUNOLOGI dan juga semua tes tersebut harus ditafsirkan di dalam keseluPemeriksaan TTT (tes turbiditas timol) merupakan salah satu ruhan konteks klinik. Juga harus dipahami bahwa tiap tes laborates labilitas yang telah lama dikenal (sejak 1944). Mekanisme torium dapat saja tidak bebas dari kesalahan.4.5 fisikakimia dari tes ini belum jelas.s Diketahui globulin akan Pengertian menyeluruh diartikan mulai dari anamnesa, mempermudah pembentukan presipitasi, sedangkan albumin pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorik sampai pemeriksaan menghambat proses ini. Disamping itu trigliserida dan khilo- khusus. Pentingnya anamnesa misalnya pada diagnosa drugmikron dapat menyebabkan tes TTT positip. Peningkatan dari induced hepatitis. TTT kadang-kadang ditemukan sebelum terjadi kelainan pada Dengan makin banyaknya pemakaian biopsi jarum, endoshasil pemeriksaan elektroforesa dan albumin. Tes labilitas yang kopi, ultrasonografi, scanning, arteriografi dan lain-lain untuk lain adalah tes turbiditas zink sulfat (Kunkel), Takata Ara, dan diagnosis tepat peranan diagnostik dari tes-tes faal hati sekalain-lain. Sebenarnya tes-tes labilitas ini bukan berdasarkan rang ini sudah banyak berkurang. Walaupun demikian tes-tes reaksi antigen antibodi, tetapi menggambarkan fraksi-fraksi ini masih berguna untuk menyaring adanya penyakit hepatobili protein. er, mengetahui beratnya dan mengikuti kemajuannya.5 Peningkatan dari globulin yang merupakan respon imunitas Sherlock mengusulkan pola tes-tes faal hati yang paling berini biasanya baru ditemukan pada kerusakan hati yang kronis.6 guna pada beberapa jenis kelainan hepatobilier. Untuk diagnoPada penyakit hati kronik biasanya ditemukan peningkatan IgG. sa ikterus diusulkannya fosfatase alkali, elektroforesa protein Peningkatan IgM menyolok pada hepatitis type A, sedangkan serum dan enzim aminotransferase (AST, ALT), warna feses untuk hepatitis type B yang menyolok biasanya IgG. dari hari-kehari. Penilaian beratnya kerusakan sel hati dilaPemeriksaan AFP pada mulanya disangka adalah spesifik kukan dengan memeriksa secara serial bilirubin serum, albuuntuk karsinoma hati primer (hepatoma), namun ternyata semin, aminotransferase dan masa protrombin setelah pemberi-

Cermin Dunia Kedokteran No. 30

21

an vitamin K. Kerusakan sel hati yang minimal didiagnosa dengan mengamati kenaikan kadar bilirubin serum dan aktivitas aminotransferase yang minimal. Bila disebabkan oleh alkohol dilakukan dengan GGT. Infiltrasi hati dipikirkan bila ada kenaikan aktivitas fosfatase alkali tanpa ikterus.5 Sebagai pemeriksaan penyaring Schmidt dan Schmidt mengusulkan pemeriksaan 3 macam enzim, yaitu ALT untuk kerusakan sel hati, GGT untuk kolestasis dan cholinesterase untuk faal sintesa hati. 7 Pemilihan macam tes faal hati apa saja yang diperlukan untuk setiap keadaan dan jenis penyakit hepatobilier ini masih belum ada kesepakatan, Bermacam-macam algoritme yang diusulkan dan penggunaan komputer telah dilakukan pula. Untuk itu terlebih dahulu perlu dibakukan klasifikasi penyakit, metode pemeriksaan laboratorium dan diagnostik lainnya kemudian diterapkan untuk mendapatkan data asupan.

KEPUSTAKAAN 1. Raphael SS. Lynch's Medical Laboratory Technology, 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Company, 1976 ; 212 - 236. 2. Bauer JD, Ackermann PG, Toro G. Clinical Laboratory Methods, 8th ed, Saint Louis. The CV Mosby Company, 1974 ; 434 - 447. 3. Henry JB. Todd - Sanford - Davidson.Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods, 6th ed, Philadelphia : WB Saunders Company 1979; 305-383. 4. Isselbacher KJ, LaMont IT. Diagnostic procedures in liver disease. 1n: Isselbacher, Adams, Braunwald, Petersdorf, Wilson eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 9th ed. Tokyo : Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd., 1980 ; 1450. 5. Sherlock S.Diseases of the Liver and Biliary System, 6th ed. Frome dan London : Butler & Tanner Ltd. 1981 ; 14 - 27. 6. Gotz W. Diagnosis of Hepatic Diseases, 1 st ed. Darmstadt : G-I-T Verlag Ernst Giebeler, 1980 ; 19 - 44. 7. Schmidt E, Schmidt FW. Brief Guide to Practical Enzyme Diagnosis. 2nd ed Mannheim : Boehringer Mannheim GmBH, 1976 ; 7 3 - 7 6 . 8. Henry RJ, Cannon DC, Winkelman JW. Clinical Chemistry, Principles and Technics, 2nd ed. Hagerstown : Harper and Row, 1974 ; 1009 1019.

TAHUKAH ANDA ?

Vaksinasi cacar tidak diharuskan Vaksinasi cacar masih diharuskan. 1 0 1.11.

STATUS KEHARUSAN VAKSINASI CACAR (Maret 1982)

22 Cermin Dunia Kedokteran No. 30

Hemoglobin Glikosilat : Tolok Ukur Baru untuk Diabetes Mellitusdr.

Marzuki Suryaatmadja

Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

Beberapa tahun terakhir ini mulai banyak diperiksa kadar hemoglobin glikosilat (glycosylated haemoglobin) sebagai suatau tolok ukur barn yang memberikan pengertian lebih baik tentang status kontrol metabolisme glukosa dan kemungkinan terjadinya penyulit pada penderita diabetes mellitus. Pada seorang sehat non-diabetes kadarnya berkisar antara 59 % dari kadar hemoglobin total.1 Angka rujukan sementara yang telah diperoleh oleh Bagian Patologi Klinik FKUI/RSCM adalah 49 % dari 30 orang sedangkan di Bagian Patologi Klinik FK UNAIR didapatkan angka 5 8,3%.2,3 Hemoglobin glikosilat atau HbA1 terdiri dari 3 fraksi yaitu HbAla,HbAlb dan HbAlc. HbAlc merupakan fraksi yang terpenting dan terbanyak yaitu 45% dari hemoglobin total.

HbAlc inilah yang merupakan ikatan antara glukosa dengan hemoglobin sedangkan fraksi- fraksi yang lain merupakan ikatan antara hemoglobin dengan heksosa yang lain.4 Karena HbAlc dan HbA1 total erat hubungannya dan kenaikannya juga dapat dianggap sejajar maka yang lebih sering di periksa adalah HbAl total yang secara teknis lebih mudah. Dari berbagai cara yang telah dikenal maka cara yang terbanyak dilakukan adalah cara kromatografi dengan kolom mikro dimana HbA1 dipisahkan dari HbA berdasarkan perbedaan afmitas ikatannya dengan resin bermuatan negatif. Kedua angka rujukan yang diperoleh di FKUI dan FKUNAIR di gas juga didapat dengan cara tersebut. Hemoglobin glikosilat terbentuk secara pasca- translasi yang berlangsung lambat, terus menerus dan tidak dipengaruhi

Gambar : 1Certain Dunia Kedokteran No: 30 23

Aldimine

Ketamine

Amadori rearrangement

Gambar : 2 oleh enzim sepanjang masa hidup eritrosit. Karena itu pada eritrosit yang lebih tua kadarnya lebih tinggi daripada eritrosit yang lebih muda.5 HbAlc terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada asam amino valin di ujung rantai beta dari globulin Hb dewasa normal. (Gb 1 ) . Pengikatan ini terjadi 2 tahap. Tahap pertama terjadi ikatan kovalen aldimin berupa basa Schiff yang bersifat labil. Tahap kedua terjadi penyusunan kembali secara Amadori menjadi bentuk ketamin yang stabil ( Gb 2 ) Dari percobaan diketahui bahwa bentuk labil sudah naik dalam jangka waktu 2 jam setelah pemberian 100 grain glukosa per oral. Apabila kadar glukosa kembali merendah maka ikatan labil ini akan terurai kembali (reversibel). Bentuk stabil akan meningkat bila kadar glukosa melampaui 160180 mg/dl selama lebih dari 12 jam. Berdasarkan biomatematika diperhitungkan bahwa kira-kira 28% dari HbAl yang stabil mencerminkan keadaan kadar glukosa darah selama 2 minggu terakhir, kira-kira 50% dan 86% mencerminkan keadaan 1 dan 2 bulan yang baru lewat.8 Pada seorang penderita diabetes kadar HbAl meningkat, seringkali 2 3 x dibandingkan bukan penderita.' Kadar 10% dianggap batas atas dari status kontrol yang adekuat dan kadar lebth tinggi dari 15% menggambarkan status kontrol yang kurang.8,9 Bila keadaan penderita membaik maka kadar HbAl akan menurun dalam jangka waktu 36 minggu.10 Kadar HbA1 mempunyai korelasi yang baik dengan kadar glukosa darah rata-rata baik puasa, harian maupun puncaknya, selama 12 minggu yang telah lewat ; tidak ada perbedaan antara yang tergantung insulin dan yang tidak tergantung insulin, juga tidak dipengaruhi perbedaan jenis kelamin.l0,11 Sebagai pemeriksaan yang dianggap obyektif, stabil dan integral dengan indeks status glikemia dari penderita, tes ini berguna untuk diagnosa, untuk melengkapi tes yang sudah dikenal seperti kadar gula darah, tes toleransi glukosa dan gula/reduksi urin, juga untuk memonitor nasib metabolik dan kemungkinan timbulnya penyulit pada penderita diabetes.6,7,8 Walaupun pemeriksaan kadar HbAI tidak dapat menggantikan penetapan kadar gula darah ia memberikan informasi tambahan yang penting. Misalnya bila kadar gula darah dan urin tinggi sedangkan kadar HbAl tidak meninggi maka hal ini berarti peningkatan kadar gula darah tersebut baru saja terjadi yang mungkin karena stress. Sebaliknya bila kadar gula darah tidak (berapa) meninggi dan kadar HbAl masih tinggi maka berarti kontrol belum baik yang kemungkinannya antara lain karena penderita tersebut baru taat mengikuti dnt yang ketat hanya beberapa hari sebelum diperiksa (takut dimarahi dokternya !)8,11

Status kontrol yang baik adalah bila baik kadar gula darah maupun HbAg berada di dalam batas-batas normal. Glikosilasi hemoglobin mengurangi kecepatan disosiasi oksigen dari hemoglobin sehingga faktor ini sebagai sumber dari hipoksia jaringan mungkin ikut berperan dalam terjadinya penyulit berupa retinopati, neuropati, nefropati dan kelainan makro dan mikroangiopati.6-9 Pada kehamilan dengan diabetes diduga bahwa peningkatan kadar HbAl pada sekitar awal kehamilan merupakan petunjuk meningkatnya risiko timbulnya kelainan janin dan peningkatan HbAl pada akhir kehamilan berhubungan dengan peningkatan berat badan bayi pada saat lahir.8 Untuk menafsirkan hasil pemeriksaan kadar HbA I dengan baik selain perlu memisahkan dahulu bentuk labilnya, maka perlu juga memperhatikan keadaan-keadaan yang akan mempengaruhi kadarnya yaitu hemoglobinopati, keadaan yang disertai dengan peningkatan retikulosit/eritrosit muda (perdarahan, hemolisa), splenektomi dan kegagalan ginjal.6-9 Pengaruh obat-obatan terhadap HbAl sampai sekarang belum diketahui/belum ada laporan. Mengenai penggunaan tes ini secara rutin dan berapa seringnya harus dilakukan masih belum ada persetujuan umum. Di beberapa Idinik tes ini dikerjakan tiap minggu pada kehamilan dengan diabetes, tiap 24 minggu atau tiap 13 bulan tergantung jenis dan keadaan kontrol diabetes dari penderita yang berobat jalan.7,8Daftar Kepustakaan dapat diminta pada penulis/redaksi

24 Cermin Dania Kedokteran No. 30

Pemeriksaan Laboratorium pada Diabetes Mellitusdr. Simon Kusnandar. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta

Pendapat bahwa diabetes mellitus (DM) merupakan satu penyakit akhir-akhir ini mulai ditinggalkan. Para akhii cenderung berpendapat DM merupakan keadaan hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik ini mungkin saja disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Honnon insulin yang disintesa dan disekresi oleh sel B pulau Langerhans di pankreas adalah pengatur utama kadar gula darah. Hiperglikemi dapat terjadi kalau terdapat kekurangan insulin atau kelebihan faktor-faktor yang melawan kerja insulin. Ketidakseimbangan ini selain mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, juga mengganggu metabolisme protein dan lemak dengan akibat-akibatnya, seperti ketoasidosis, kelainan-kelainan kapiler (ginjal dan retina), gangguan saraf tepi dan proses aterosklerosis yang berlebihan. Klasifikasi yang dianjurkan oleh WHO adalah klasifikasi yang disusun oleh "Diabetes Data Group of the National Institutes of Health, USA" yang disederhanakan (Tabel 1). Tujuan pemeriksaan laboratorium pada DM adalah : menetapkan diagnosa, mengikuti perjalanan penyakit, kontrol terapi dan deteksi dini adanya kelainan akibat DM. Pemeriksaan kadar gula darah. Cara yang dianjurkan adalah cara enzimatik, dan yang banyak digunakan dalam laboratorium adalah cara glukosa oksidase. Cara lain adalah cara o-toluidine. Kedua cara ini dianggap memberi hasil yang mendekati kadar glukosa sesungguhnya. Cara-cara seperti Somogyi-Nelson, ferricyanida dan neoc roine dapat pula memberi hasil yang setara dengan cara-cara enzimatik jika diterapkan pada autoanalyser atau alat sejenis. Bahan yang diperiksa dapat berupa darah lengkap atau plasma, jika pemeriksaan dilakukan secara enzimatik untuk mendapatkan darah lengkap tidak boleh digunakan NaF sebagai antikoagulan. Nilai-nilai yang diperoleh dengan menggunakan darah lengkap 15% lebih rendah daripada plasma kecuali pada anemia. Harus pula diperhatikan asal pengambi-

lan bahan. Darah kepiler memberi nilai yang 7% lebih tinggi dari darah vena pada keadaan puasa, sedangkan 2 jam pp perbedaan ini mencapai 8%. Pemeriksaan menggunakan tes strip (glucose oxidase) boleh digunakan untuk bed side test, tetapi pemakai strip harus hati-hati akan kemungkinan hasil yang kurang tepat karena penyimpanan strip yang kurang baik. Cara ini umumnya dinilai secara semikuantitatif, tetapi dapat pula dinilai dengan menggunakan alat pengukur yang khusus.Tabel 1. Classification of diabetes mellitus and other categories of glucose intolerance A. CLINICAL CLASSES Diabetes mellitus Insulindependent type-type 1 Non-insulin-dependent type-type 2 (a) non-obese (b) obese Other types including diabetes mellitus associated with certain conditions and syndromes : (1) pancreatic disease, (2) disease of hormonal etiology, (3) drug or chemical-induced conditions, (4) insulin receptor abnormalities, (5) certain genetic sydromes (6) miscellaneous. Impaired glucose tolerance (a) non-obese (b) obese (c) impaired glucose tolerance associated with certain conditions and syndromes. Gestational diabetes B. STATISTICAL RISK CLASSES (subjects with normal glucose tolerance but substantially increased risk of developing diabetes) Previous abnormality of glucose tolerance Potential abnormality of glucose tolerance

Tes toleransi glukosa (TTG). Untuk percobaan ini umumnya tidak diperlukan persiapan khusus, kecuali jika penderita sedang menjalani diet rendah karbohidrat yang sangat ketat. Pada mereka yang menjalani diet 125 g karbohidrat atau kurang, dianjurkan agar 3 hari25Cermin Dunia Kedokteran No. 30

sebelum percobaan dilakukan, menggunakan paling kurang 150 g karbohidrat. Percobaan dimulai setelah puasa selama 1014 jam dengan pengambilan darah puasa, setelah itu penderita diberi 75 g glukosa dalam 250350 ml air untuk diminum dalam 515 menit. Jumlah glukosa yang diberikan pada beberapa laboratorium 50 g, ada pula yang memberi 100 g. Perbedaan ini memberi selisih hasil kira-kira 0.15 g/l pada nilai gula darah pp. 2 jam. dibandingkan dengan pemberian gula 75 g. Dua jam setelah pemberian glukosa, dilakukan pengambilan sample pp. Ada pula lab oratorium yang menguji kadar gula 1 jam pp disamping 2 jam pp. Harus diperhatikan bahwa selama percobaan dilangsungkan penderita tidak boleh merokok dan bahwa obat-obat serta faktor-faktor lain dapat mempengaruhi hasil TTG.

Kontrol DM secara keseluruhan dapat dinilai dari penetapan kadar glycosylated hemoglobin (HbA1 c) yang dalam keadaan normal jumlahnya tidak lebih dari 7% dari Hb total. Pada penderita DM yang kurang terkontrol jumlahnya akan melipat 23 kali.Kadar insulin Penetapan kadar insulin dapat mendeteksi adanya resistensi terhadap insulin pada penderita. Pada penderita-penderita ini didapat hiperglikemia walaupun kadar insulin darah tinggi.Kadar C-peptide

Untuk menentukan jumlah insulin endogen dapat dilakukan penetapan kadar C-peptide. Penetapan kadar C-peptide menguji faal sel-sel B pulau Langerhans. Pada keadaan normal kadar Cpeptide darah puasa adalah 0.9-3.9 ng/ml. Setelah pemberian Pemeriksaan gula urin. glukosa (75 g) kadarnya akan meningkat 5-6 kali. Pada kegaPada penderita insulin-dependent diabetes mellitus, urin dipegalan sel B pulau Langerhans kadar C-peptide rendah atau tidak riksa tiap kali sebelum makan dan sebelum tidur untuk memada. bantu kontrol penggunaan insulin. Penderita dengan kadar gula yang stabil cukup melakukannya 2 hari dalam satu minggu, Kriteria diagnostik DM. sedangkan pada hari hari lainnya diperiksa urin puasa. Kriteria diagnostik yang dianjurkan WHO (Tabel 2) sangat Pemeriksaan urin pagi dan malam sudah cukup untuk penderita non-insulin dependent diabetes mellitus, bahkan jika terkontrol mirip dengan kriteria yang diajukan oleh "Diabetes Epidemicukup diperiksa sekali sehari. Penggunaan tes strip sangat ology Study Group of the European Association for the Study of Diabetes" dan "National Institutes of Health Diabetes Data membantu penderita untuk melakukan pemeriksaanGroup, USA". Secara umum diagnosa tidak dapat ditegakkan pemeriksaan tersebut di rumah. dengan hanya satu hasil kadar gula darah yang abnormal. Penetapan bends keton urin. Langkah-langkah penentuan kriteria diagnostik adalah sebagai Pada umumnya cara-cara yang dipakai tidak menguji adanya 3berikut : hidroksi butirat. Pemeriksaan terhadap benda keton diperlukan 1. Jika ada gejala klinik DM, tetapkan kadar gula darah sewaktu secara berkala pada penderita yang unstable. Selain itu juga atau puasa. Pada orang dewasa kadar gula plasma vena diperlukan pada penderita IDDM yang sedang menderita sewaktu 11 mmol/1 (2.0 g/1) atau kadar gula plasma puasa 8 penyakit lain dan pada glukosuria persisten dengan kadar gula mmol/1 (1.4 g/1) memastikan diagnosa, Kadar sewaktu yang urin lebih dari 2% (+++ ). 8mmol/l (1.4 g/1) dan kadar puasa 6 mmol/1 (1.0 g/1) Penetapan albumin urin meniadakan diagnosa. Penetapan ini dilakukan sekali atau dua kali setahun, cukup 2. Jika hasil meragukan, tetapkan kadar gula darah 2 jam setelah dengan menggunakan strip atau memasak urin hingga mendidih, pemberian glukosa (setelah penderita puasa semalam) Jika jika tidak dapat diperiksa dengan cara sulfosalisil. kadarnya dalam plasma 11 mmol/l (0.2g/1), diagnosa dapat dipastikan. Nilai sebesar 8 mmol/l (1.4 g/l) diang Pemeriksaan-pemeriksaan lain : Glycosylated hemoglobin.

Tabel 2. Nilai-nilai TTG oral dalam tabel ini didapat pada keadaan standar (75 g) glukosa/250-350 air untuk orang dewasa dan 1.75 g/Kg berat badan dengan maksimum 75 g glukesa untuk anak-anak, dengan cara enzimatik. Kadar glukosa Darah vena Diabetes mellitus Puasa dan/atau 2 jam setelah glukosa Gangguan toleransi glukosa Puasa dan 2 jam setelah glukosa Darah kapiler Plasma vena 8.0 mmol/1 (1.4 g/l ) 11.0 mmol/1 (2.Og/1) 8.0 mmol/1 (1.4el) 8.0 11.0 mmol/1 (1.42.Og/1)

7.0 mmol/1 ( 1. 2 g/1) 10.0 mmol/1 (1.8el) 7.0 mmol/1 (1.2g/1) 7.0 10.0 mmol/1 (1.21.8el)

7.0 mmol/1 ( 1 . 2 g/1) 11.0 mmol/1 (2.Og/1) 7.0 mmol/1 (1.2g/1) 8.0 11.0 mmol/1 (1.42.Og/l)

26 Cermin Dunia Kedokteran No. 30

gap normal dan antara 8-11 mmol/l (1.4-2.0 g/1) digolongkan sebagai : toleransi glukosa terganggu. 3. Jika tidak ada gejala DM diperlukan paling sedikit 2 nilai kadar gula darah yang abnormal untuk dapat menetapkan diagnosa klinik. Misalnya kadar gula 1 jam setelah glukosa 11 mmol/ 1 (2.0 g/l) bersama kadar gula 2 jam setelah glukosa yang meningkat. Kriteria diatas dapat pula diterapkan pada wanita hamil.

2. Kryston LJ. Endocrine Disorders Focus on Clinical Diagnosis. 2 nded.Singapore : Toppan Co Pte. Ltd., 1981; pp. 258-293. 3. Thomas L, Plischke W, Storz G. Evaluation of a q