CDK-Neurologi

Embed Size (px)

Citation preview

2007

http://www.kalbe.co.id/cdk

ISSN : 0125-913X

Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular Imaging in Ischemic Stroke Ensefalopati Flu Burung Dampak Epilepsi Gangguan Tidur Lanjut Usia Obat Antiparkinson dan Kantuk Tumbuhan Narkotik : Wati Proses dalam UCB Banking

Neurologivol.34 no.4/157Juli - Agustus 2007

2007

http://www.kalbe.co.id/cdkInternational Standard Serial Number: 0125 913X

vol. 34 no. 4 /157

Neurologi Daftar isi :170. Editorial 172. English Summary

Artikel173. Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular Edi Sugiyanto 181. Imaging in Ischemic Stroke State of the Art N. Venketasubramanian, Myrna Justina 186. Ensefalitis/Ensefalopati akibat Flu Burung (Infeksi Virus Influenza Tipe A) Kiki MK Samsi 192. Dampak Epilepsi pada Aspek Kehidupan Penyandangnya Rizaldy Pinzon 196. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia - Diagnosis dan Penatalaksanaan Nurmiati Amir 207. Efek Episode Kantuk di Siang Hari Obat-obat Antiparkinson pada Pasien Parkinsons Disease Lili Indrawati, Mila Maidarti, Masfar Salim 211. Komponen Tumbuhan Narkotik : Wati (Piper methysticum) Andria Agusta, Yuliasri Jamal 217. Proses dalam Umbilical Cord Blood Banking Maria Teresa Wijaya, Ferry Sandra 191. 221. 223. 224. Kalender Kegiatan Ilmiah Kegiatan Ilmiah Kapsul RPPIK

Astrosit dilihat dengan pewarnaan imunofluoresen Nancy Kedersha spl

Cermin Dunia Kedokteran

EDITORIALMasalah gangguan peredaran darah otak menjadi artikel pembuka di edisi ini; masalah ini memang merupakan masalah utama di bidang neurologi, bahkan juga di bidang kesehatan/kedokteran; bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini berisi berbagai masalah di bidang neurologi ; termasuk yang membahas komplikasi flu burung yang bisa menyerang susunan saraf pusat. Selain itu juga ada artikel hasil penelitian komponen tumbuhan yang bersifat narkotik. Artikel mengenai stem cell akan kami usahakan selalu ada di tiap penerbitan agar selalu dapat mengikuti perkembangan atas bidang yang sedang berkembang pesat ini Redaksi selalu berharap agar artikel yang diterbitkan dapat berguna menambah wawasan sejawat terhadap masalah tertentu dan dapat dimanfaatkan dalam praktek sehari-hari. Selamat membaca, komentar sejawat selalu kami harapkan guna perbaikan mutu majalah ini

Redaksi

170 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

2007

International Standard Serial Number: 0125 - 913X KETUA PENGARAHDr. Boenjamin Setiawan Ph.D

REDAKSI KEHORMATAN- Prof. DR. Sumarmo Poorwo SoedarmoGuru Besar Purnabakti Infeksi Tropik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

PEMIMPIN UMUMDr. Erik Tapan

- Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

KETUA PENYUNTINGDr. Budi Riyanto W.

TATA USAHADodi Sumarna

- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - Prof. DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi MScD, PhD.Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

ALAMAT REDAKSIMajalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung KALBE Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : [email protected] http: //www.kalbe.co.id/cdk

DEWAN REDAKSIProf. Dr. Sjahbanar Zahir MSc. Soebianto Dr. Karta Sadana Dr. Sujitno Fadli

NOMOR IJIN151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBITGrup PT. Kalbe Farma Tbk.

PENCETAKPT. Temprint

http://www.kalbe.co.id/cdk

PETUNJUK UNTUK PENULISCermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung KALBE, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected] Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

English SummaryIMAGING IN ISCHEMIC STROKE: STATE OF THE ART N. Venketasubramanian*, Myrna Justina** *Senior Consultant of Neurosonology, National Neuroscience Institute (NNI), Singapore **Medical Officer, Mitra Keluarga Bekasi Hospital, Indonesia Exciting advances in anatomical imaging have greatly improved our capacity to detect pathologic process in nervous system , localize these processes in the nervous system precisely, and predict the type of disease. The rapid evolution of techniques of anatomical imaging has occurred in parallel with developments in physiological imaging.Cermin Dunia Kedokt.2007;34(4):181-5 nv, mj

mental disability, epilepsy often results in serious psychosocial consequences for the individual and the family. The stigma attached to epilepsy prevents individuals with epilepsy from normal daily life, including education, marriage, work and sports.Cermin Dunia Kedokt.2007;34(4):192-5 rp

PROCESS IN UMBILICAL CORD BLOOD BANKING Maria Teresa Sandra Wijaya, Ferry

Stem Cell and Cancer Institute, Kalbe Farma Pharmaceutical Company, Jakarta, Indonesia Since its first application in allogeneic transplantation in 1988, umbilical cord blood has been mentioned in literatures as an alternative source of stem cells to bone marrow. And given all the advantages that it has to offer, umbilical cord blood is slowly gaining its position to replace bone marrow as the main source of stem cells for therapy. As its significance in the clinical setting increases, ideas start to emerge to build UCB banks to store the stem cells for future use. The processes in UCB banking can generally be divided into three steps: isolation of UCB, processing and screening, and the long-term storage. In each of these processes, there are many factors that could affect the quality of the UCB obtained. Since the quality of the transplanted unit plays a very crucial role in determining the success of UCB transplantation, it is imperative to maximize the outcome of each of the steps in UCB banking.Cermin Dunia Kedokt.2007;34(4):217-20 mtw, fsa

CHEMICAL COMPONENTS PIPER METHYSTICUM Andria Agusta, Yuliasri Jamal

OF

Treub Laboratory, Botanical Research and Development, Center for Biological Research and Development, Indonesian Institute of Science, Bogor, Indonesia Wati (P. methysticum) has been known as a narcotic plant. Sixty-one components consisted of alkanes, oxygenated hydrocarbons, fatty acids, steroids and alkaloids were detected from stem extract using GCMS analysis. Ten major components were identified as 4,11,11-trimethyl-8methylen bicyclo-7,2,0- unec-4ena; 1-(2-methoxy-benzoil)-2(methoxy-methyl) pirolidina; pundecyl anisol; dihydro-kawain; dihydromethystisin;yangonin; 2,3dihydro-3,5-dihydro-xy-6-methyl4H-pyran-4-on, levulinic acid and 2 unknown components; the other fifty-one are minor components.Cermin Dunia Kedokt.2007;34(4):211-6 aa, yj

EFFECTS OF EPILEPSY PATIENTS DAILY LIFE Rizaldy Pinzon

ON

Dept. of Neurology, Dr. M. Haulussy Regional Hospital, Ambon, Indonesia Epilepsy is one of the most common neurological disorders with complex problem. Epilepsy places a significant burden on communities, especially in developing countries where it may remain largely untreated. This review showed that injury rate and mortality rate were higher among epilepsy sufferers than in normal population. In addition to physical and

172 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular

TINJAUAN PUSTAKA

Hipertensi dan Komplikasi SerebrovaskularEdi SugiyantoPeserta didik Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RS Dr Kariadi Semarang

PENDAHULUAN Hipertensi merupakan kelainan kardiovaskular yang masih banyak dijumpai dalam masyarakat. Prevalensi hipertensi dalam masyarakat Indonesia cukup tinggi meskipun tidak setinggi di negara-negara yang sudah maju yaitu sekitar 10%. Penanganan penderita hipertensi di Indonesia masih belum baik dan drop out terapi masih cukup tinggi, sehingga tidak mengherankan bila komplikasi hipertensi masih sering dijumpai dalam praktek sehari-hari(1). Komplikasi hipertensi dapat mengenai target organ jantung, otak (serebrovaskular), mata dan ginjal. Komplikasi hipertensi pada otak dapat berupa ensefalopati hipertensi, hipertensi maligna, stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (iskemik)(1,2). Penanganan penderita hipertensi dengan komplikasi otak dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu keadaan bukan krisis hipertensi yang terjadi pada stroke non hemoragik, dan keadaan krisis hipertensi yang didapatkan pada ensefalopati hipertensi, stroke hemoragik dan hipertensi maligna(1,3). HIPERTENSI Definisi The Sixth Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (1997) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140 mgHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih atau sedang dalam pengobatan anti hipertensi(4). Klasifikasi JNC VI membuat klasifikasi hipertensi sbb:

Tabel 1.

Klasifikasi tekanan darah tinggi pada orang dewasa 18 tahun ke atas (JNC VI). Systolic (mmHg) < 120 140 mmHg diastolic Hemorrhages, exudates, papilledema Headache, confusion, somnolence, stupor, vision loss, local deficits, seizure, coma Oliguria, azotemia Nausea, vomiting

HIPERTENSI MALIGNA Hipertensi maligna (HM) merupakan keadaan klinik yang berhubungan dengan terjadinya necrotizing arteriolitis (fibrinoid necrosis) akibat tekanan tinggi (biasanya > 200/130 mmHg).

Blood Pressure

Failure of auto regulation

Forced vasodilatation

Endothelial permeability

-

hyperperfusion capillary hydrostatic pressure

Cerebral Edema

Hypertensive Encephalopathy (headache, nausea, vomiting, altered mental status, convulsions)

Gambar 4. Teori Breakthrough pada Ensefalopati hipertensi(6).

Fibrinoid necrosis terutama terjadi di otak dan ginjal menyebabkan retinopati hebat (Keith-Wagener III atau IV), nefrosklerosis maligna disertai keadaan klinik yang cepat memburuk; dapat disertai dengan payah jantung kiri akut dan ensefalopati. Kadang-kadang penderita HM ditemukan pertama kali dengan gejala transient ischemic attack (TIA), stroke atau payah jantung kiri akut(1,2) Mekanisme kerusakan pembuluh darah dan iskemi jaringan pada hipertensi maligna dilukiskan pada gambar 5. Hipertensi berat baik primer atau sekunder dalam jangka lama akan menyebabkan penebalan dan remodeling dinding pembuluh darah sebagai adaptasi terhadap stres mekanik oleh tekanan darah yang tinggi. Bila tekanan darah terus tinggi maka akhirnya menyebabkan vasodilatasi yang merusak pembuluh darah. Meningkatnya beberapa hormon lain (katekolamin, vasopresin dan lain-lain) akibat deplesi volume secara sinergis menyebabkan kerusakan pembuluh darah.

Pengobatan HM tergantung keadaan kliniknya, tekanan darah perlu segera diturunkan dalam beberapa jam atau dalam beberapa hari. Untuk itu perlu obat anti hipertensi parenteral, meskipun pada kasus-kasus tertentu cukup dengan pemberian obat antihipertensi peroral. Obat-obat antihipertensi yang dianjurkan: diazoxide, nitroprussid, trimetaphan dan clonidin(1,2). GANGGUAN PEREDARAN DARAH OTAK Tekanan darah yang sangat tinggi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak/stroke hemoragik ; yang dapat dibedakan atas 2 jenis yaitu: perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral(3,8). PERDARAHAN SUBARACHNOID (PSA) Pada perdarahan subarachnoid, darah keluar dari dinding pembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebar

176 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular dengan cepat melalui aliran cairan otak (LCS) ke dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan seringkali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak (pada sirkulasi Willisii). Umumnya PSA timbul spontan, 10% disebabkan karena tekanan darah yang naik dan terjadi saat aktivitas(8). Gejala PSA(8,9) 1) Serangan mendadak dengan nyeri kepala hebat didahului suatu perasaan ringan atau ada sesuatu yang meletus di dalam kepala. 2) Kaku kuduk merupakan gejala spesifik yang timbul beberapa saat kemudian. 3) Kesadaran dan fungsi motorik jarang terganggu 4) CSS berwarna merah yang menunjukkan perdarahan dengan jumlah eritrosit lebih dari 1000 /mm3 PERDARAHAN INTRASEREBRAL (PIS) Istilah perdarahan intraserebral melukiskan perdarahan yang langsung masuk ke substansi otak. Sekitar 70-90 % kasus PIS disebabkan oleh hipertensi. Perdarahan akibat pecahnya arteri perforata subkortikal yaitu : a. lentikulostriata dan a. perforata thalamika (ciri anatomis khas untuk PIS akibat hipertensi)(8). Patogenesis PIS adalah akibat rusakya struktur vaskuler yang sudah lemah akibat aneurisma, yang disebabkan oleh kenaikan tekanan darah, atau pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah yang melebihi toleransi (Yatsu dkk.) Tole dan Utterback mengatakan bahwa penyebab PIS adalah pecahnya mikroaneurisma Charcot-Bouchard akibat kenaikan tekanan darah(1,3,8). Gejala dan tanda klinis berkaitan dengan lokasi, kecepatan perdarahan dan besarnya hematom. Serangan selalu terjadi mendadak, saat aktif baik aktivitas fisik maupun emosi, jarang saat istirahat. Gejala awal merupakan manifestasi kenaikan tekanan darah seperti : nyeri kepala, mual dan muntah, epistaksis, penurunan daya ingat. Penurunan kesadaran sampai koma akibat kegagalan otoregulasi atau kenaikan tekanan intrakranial akibat adanya hematom. Hematom >3 cm dapat menyebabkan penurunan kesadaran(8,9). Kejang didapatkan pada 7-11% kasus. Kaku kuduk dapat dijumpai jika perdarahan mencapai ruang subarachnoid. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan/kelumpuhan separuh badan kontralateral terhadap sisi lesi dengan refleks Babinski positif. Defisit motorik ini berkembang dalam beberapa menit sampai beberapa jam(8). Di sekitar tempat perdarahan biasanya terjadi reaksi spasme pembuluh darah; penurunan tekanan darah dapat menghilangkan spasme yang bahkan akan memperbanyak perdarahan. Dalam hal ini sebaiknya tekanan darah diturunkan hati-hati dengan selalu mengevaluasi keadaan neurologiknya(1,8). Prognosis tergantung dari luas kerusakan jaringan otak dan lokasi perdarahannya(1). Pengobatan sebaiknya menggunakan antihipertensi parenteral yang dapat dititrasi efeknya seperti nitroprusid(1,3). STROKE NON HEMORAGIK (SNH) Stroke Non Hemoragik (SNH) akibat hipertensi, terjadi akibat proses tromboemboli sebagai komplikasi arteriosklerosis nodular pembuluh darah otak. Hipertensi hanya merupakan salah satu faktor risiko arteriosklerosis di samping faktor risiko lain seperti hiperlipidemi dan diabetes melitus. Hipertensi dapat meningkatkan risiko aterotrombosis sampai 4 kali(3,8). Menurut hipotesis response to injury, aliran darah dapat menyebabkan denudasi /kerusakan sel endotel di tempat tertentu. Adanya faktor-faktor sistemik lain seperti dislipidemi, hipertensi, merokok, hiperglikemi dan lain-lain akan menyebabkan kaskade terjadinya atherosklerosis. Sekarang diketahui bahwa bukan denudasi endothel melainkan disfungsi endotellah yang merupakan salah satu manifestasi dini atherosklerosis. Disfungsi endotel yang disebabkan oleh faktor-faktor risiko tradisional tersebut dapat terjadi secara lokal, akut dengan perubahan kronik yang menngkatkan permeabilitas plasma lipoprotein, pengurangan bioavailabilitas NO, hiperadhesi lekosit, gangguan keseimbangan zat vasoaktif, zat perangsang dan penghambat pertumbuhan, zat pro dan antithrombotik. Hal ini merupakan permulaan proses proliferatif di dinding arteri yang akan berkembang menjadi plak atherosklerosis. (Gb. 6)(2,10,11). PENANGANAN PENDERITA HIPERTENSI DENGAN KOMPLIKASI SEREBROVASKULER Dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu: a. Keadaan bukan krisis hipertensi pada stroke nonhemoragik. Pada keadaan tidak terjadi krisis hipertensi, pengendalian tekanan darah pada prinsipnya sama seperti pada penderita hipertensi biasa dengan mengingat beberapa hal yang khas; adalah dengan modifikasi gaya hidup dan obat anti hipertensi sesuai dengan komplikasi yang ada, dalam hal ini stroke; maka pilihannya adalah diuretik dan ACE inhibitor(1,5,12). b. Keadaan krisis hipertensi pada ensefalopati hipertensi, hipertensi maligna dan stroke hemoragik. Dibedakan menjadi 2 keadaan berdasar pengelolaannya : hipertensi emergensi yaitu keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera untuk Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 177

Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular mencegah kerusakan organ target dan hipertensi urgensi yang memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam(7,13). Yang termasuk hipertensi emergensi adalah hipertensi ensefalopati dan hipertensi maligna dengan komplikasi stroke hemoragik. Sedang yang termasuk hipertensi urgensi adalah hipertensi maligna(13). adalah pemeriksaan kadar hematokrit dan pemeriksaan darah hapus, urinalisis, pemeriksaan kimia darah yang meliputi kadar kreatinin, glukosa dan elektrolit. Di samping itu juga pemeriksaan foto thorax dan elektrokardiogram(13). Obat anti hipertensi parenteral digunakan pada keadaan hipertensi emergensi (tabel 5) ; antara lain: (2,7,13) Sodium Nitroprusid, vasodilator yang dianggap terbaik untuk krisis hipertensi karena efeknya mudah dikendalikan. Sebaiknya tidak digunakan pada penderita hamil. Trimetafan etamsilat, suatu penyekat ganglion ; digunakan terutama pada diseksi aneurisma aorta. Labetalol, terutama digunakan pada kegawatan perioperatif, tirotoksikosis dan faeokromositoma. Nitrogliserin digunakan terutama pada sebelum, saat dan sesudah operasi pintas koroner dan jantung. Hidralasin, sering digunakan pada kehamilan. Metildopa, sering digunakan pada kehamilan. Diazoksid, tidak mempengaruhi aliran darah otak. Enalaprilat, digunakan pada penyakit jantung kongestif Nikardipin dan nimodipin, digunakan pada perdarahan subarakhnoid. Reserpin, jarang digunakan karena efek antihipertensinya sukar diduga dan membutuhkan dosis besar. Klonidin, meskipun tidak disebut sebagai obat untuk krisis hipertensi, sering digunakan karena mudah didapat di Indonesia. Obat ini dapat digunakan secara bolus intravena, jika perlu dapat diulang sampai tiga kali pemberian. Selain itu dapat juga digunakan secara infus drip dengan dosis 0,9-1,05 mg. dalam larutan dekstrosa. Pemberian intramuskulerpun cukup efektif (1,13). Selain klonidin parenteral, obat antihipertensi lain yang dapat digunakan adalah diltiazem intravena meskipun belum banyak pengalaman penggunaannya. Cara ini dapat menurunkan tekanan darah dalam 5-10 menit dan bermanfaat untuk proteksi vaskuler otak, jantung dan ginjal(13). Jika pemberian parenteral tidak mungkin, dapat digunakan preparat peroral yang juga telah terbukti menurunkan tekanan darah secara cepat; yaitu: klonidin, kaptopril, labetalol dan nifedipin dengan dosis sama seperti yang digunakan pada hipertensi urgensi(2,13). Joint National Committee on Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure merekomendasikan empat obat antihipertensi peroral untuk keadaan hipertensi urgensi yaitu klonidin, nifedipin, kaptopril dan labetalol. Klonidin dapat diberikan secara loading dose 0,1-0,2 mg dan dapat ditambah tiap jam sampai total dosis 0,6 mg. Selain itu

Gambar 6. Diagram efek hipertensi pada dinding arteri(2)

Tujuan pengelolaan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah secara cepat dan seaman mungkin untuk menyelamatkan jiwa penderita. Akan tetapi tetap harus diingat bahwa tekanan darah yang terlalu rendah akan menyebabkan hipoperfusi otak maupun jantung. Untuk menghindari hal ini sebaiknya tekanan darah diastolik tidak lebih rendah dari 100 mmHg atau penurunan mean arterial blood pressure (MAP) tidak lebih dari 25% dalam waktu antara beberapa menit sampai 6 jam. Diperlukan perawatan di rumah sakit karena menggunakan obat anti hipertensi secara parenteral(7,13). Khusus untuk hipertensi dengan komplikasi stroke hemoragik dipakai konsensus bahwa tekanan darah harus diturunkan untuk menurunkan risiko pembesaran hematom dan perdarahan ulang. Dianjurkan tekanan darah turun < 20%, sedangkan JNC VI menganjurkan kontrol tekanan darah 160/100 mgHg(14). Termasuk dalam pengelolaan ini adalah anamnesis riwayat hipertensi, penggunaan obat antihipertensi ataupun obat-obat lain, gejala serebral, kardiovaskular dan gangguan visus, pemeriksan fisik yang meliputi tekanan darah, funduskopi, status neurologi, status kardiopulmoner, dan status hidrasinya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan

178 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

Hipertensi dan Komplikasi Serebrovaskular dapat juga diberikan klonidin dosis awal 0,3 mg., diikuti 0,1 mg/jam sampai 0,7 mg. Kaptopril dapat diberikan dengan dosis 25-50 mg, efeknya akan terlihat setelah 30 menit, optimal setelah 50-90 menit dan bertahan selama 6 jam(4,13).Report of the Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. JAMA 2003; 289: 2561-2726 Nolan CR, Linas SL. Malignant hypertension and other hypertensive crises. In Schrier RW, Schalk CW eds. Disease of the Kidney. 5 th ed. Boston: Little Brown and Co. 1992. p. 1555-1606

6.

Tabel 5. Obat parenteral untuk hipertensi emergensi(4) Obat Sodium nitroprusid Nikardipin HCl Fenoldepam Nitrogliserin Enaprilat Hidralazin HCl Diazoksid Labetalol Esmolol HCl Fentamin Dosis 0,25-10 g/kgbb/mnt 5-15 mg/jam 0,1-0,3 g/kgbb/mnt 5-100 g/mnt 1,25-5 mg tiap 6 jam 10-20 mg IV, 10-50 mg IM 50-100 mg IV 20-80 mg IV bolus/10mnt 250-500 g/kgbb/mnt 5-15 mg IV Onset segera 5-10 mnt 185 mmHg or Diastolic > 110 mmHg (on 3 occasions, 10 minutes apart). Seizure preceding or during current stroke. Active internal bleeding. Coagulopathy with abnormal prothrombin or partial thromboplastin time, or platelet count < 100,000 per microliter. Rapidly improving or minor symptoms. Coma or stupor. Major surgery or invasive procedures within the past 2 weeks. Gastrointestinal or genitourinary hemorrhage within the past 3 weeks. Noncompressible arterial puncture or biopsy within the past week Glucose < 50 mg/ dl or > 400 mg/ dl. Evidence of active pericarditis, endocarditis, septic emboli, recent pregnancy, lactation, or inflammatory bowel disease, Active alcohol or drug abuse.

Local intraarterial thrombolysis performed with a microcatheter that is placed into, beyond, and proximal to an arterial occlusion is in use worldwide. In the past, the agent most commonly studied was urokinase; intraarterial t-PA and prourokinase have mainly been used in recent investigational studies. Approximately 40 percent of the patients who undergo this treatment have complete arterial recanalization, and approximately 35 percent have partial recanalization. These rates of recanalization are higher than those that have been reported for patients who undergo intravenous thrombolytic therapy.23 For patients who have a nondisabling stroke (or TIAs) resulting from high-grade extracranial carotid artery disease, Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 183

Imaging in Ischemic Strokecarotid endarterectomy (CEA) is recommended, assuming the patient is a good surgical candidate. CEA in these patients decreases the occurrence of ipsilateral stroke or death from 26% to 9% at 2 years. The efficacy of CEA in patients with moderate stenosis (50-69%) is less than in patients with highgrade disease. The benefits of CEA require a low rate of perioperative complications. Complication rates of no more than 5% to 6% are desirable. Studies have evaluated the safety and efficacy of carotid artery angioplasty and stenting in these patients.24REFERENCES Stroke 1992; 23: 341-6.

17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

Patel MR, Kuntz KM, Klufas RA, et al. Preoperative assessment of the carotid bifurcation. Can magnetic resonance angiography and duplex ultrasonography replace contrast arteriography? Stroke 1995;26:1753-8. Caplan LR, Brass LM, DeWitt LD et al. Transcranial Doppler ultrasound: present status. Neurology 1990; 40: 696-700. Babikian VL, Feldmann E, Wechsler LR, et al. Transcranial Doppler Ultrasonography: Year 2000 Update. J. Neuroimaging 2000; 10: 101-15 Wolpert SM, Caplan LR. Current role of cerebral angiography in the diagnosis of cerebrovascular disease.Am J Roentgenol 1992; 159: 191-7. Stringaris K, Liberopoulos K, Giaka E, Kokkinis K. Three-dimensional time-of-flight MR angiography and MR imaging versus conventional angiography in carotid artery dissections. Int Angiol 1996; 15: 20-25. Sellar RJ. Imaging blood vessels of the head and neck. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1995; 59: 225-37. Brott T, Bogousslavsky J. Treatment of acute ischemic stroke. N Engl J Med 2000; 343: 710-22. Albert MJ. Diagnosis and treatment of ischemic stroke. Am.J.Med. 1999; 106: 211-21.

1. 2. 3. 4. 5.

Clarke CRA. Neurological disease. In: Kumar P, Clark M. Clinical Medicine. 5th ed. Edinburgh,Toronto. WB Saunders; 2002: p.1123-224. Caplan LR. Diagnosis and treatment of acute ischemic stroke. JAMA 1991; 266: 2413-18. The National Institute of Neurological Disorders and Stroke rt-PA Stroke Study Group. Tissue plasminogen activator for acute ischemic stroke. N Engl J Med 1995; 333: 1581-87. Gilman Sid. Imaging the brain. N Engl J Med 1998; 338: 812-20. Meltzer CC, Zubieta JK, Brandt J, Tune LE, Mayberg HS, Frost JJ. Regional hypometabolism in Alzheimers disease as measured by positron emission tomography after correction for effects of partial volume averaging. Neurology 1996; 47: 454-61. Bottini G, Corcoran R, Sterzi R, et al. The role of the right hemisphere in the interpretation of figurative aspects of language: a positron emission tomography activation study. Brain 1994; 117: 1241-53. Adams HP Jr, Brott TG, Crowell RM et al. Guidelines for the management of patients with acute ischemic stroke: A statement for healthcare professionals from a Special Writing Group of the Stroke Council, American Heart Association. Stroke 1994; 25: 1901-14. Moulin T, Cattin F, Crepin-Leblond T et al. Early CT signs in acute middle cerebral artery infarction: predictive value for subsequent infarct locations and outcome. Neurology 1996; 47: 366-75. Sasiadek M, Wasik A, Marciniak R. CT appearance of bilateral, acute thrombosis of the main cerebral arteries. Comput Med Imaging Graph 1990; 14: 89-90. Warach S, Gaa J, Siewert B, Wielopolski P, Edelman RR. Acute human stroke studied by whole brain echo planar diffusion-weighed magnetic resonance imaging. Ann Neurol 1995; 37: 231-41. Lutsep HL, Albers GW, DeCrespigny A, Kamat GN, Marks MP, Moseley ME. Clinical utility of diffusion weighted magnetic resonance imaging in the assessment of ischemic stroke. Ann Neurol 1997; 41: 574-80. Kertesz A, Black S, Nicholson L, Carr T. The sensitivity and specificity of MRI in stroke. Neurology 1987; 37: 1580-85. Riles TS, Eidelman EM, Litt AW et al. Comparison of magnetic resonance angiography, conventional angiography, and duplex scanning. Stroke 1996; 23: 341-6. Fisher M, Prichard JW, Warach S. New magnetic resonance techniques for acute ischemic stroke. JAMA 1995; 274: 908-11. Carroll BA. Carotid Sonography. Radiology 1991; 178: 303-13. Riles TS, Eidelman EM, Litt AW et al. Comparison of magnetic resonance angiography, conventional angiography, and duplex scanning.

6. 7.

8. 9. 10. 11.

Figure 1. A CT Scan shows a large, subacute, nonhemorrhagic infarction in the territory of the left middle cerebral artery (arrowheads). Reprint request was permitted by Dr. Gilman at the Department of Neurology, University of Michigan, Ann Arbor, MI 48109-0316. E-mail: [email protected]

12. 13. 14. 15. 16.

Figure 2. An axial T2-weighted MRI shows a 1-cm lacunar infarction (arrow) in the region of the left internal capsule. Reprint request was permitted by Dr. Gilman at the Department of Neurology, University of Michigan, Ann Arbor, MI 481090316. E-mail: [email protected]

184 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

Imaging in Ischemic Stroke

Figure 3. Early focal atherosclerotic changes (arrows) are seen at the carotid bifurcation. The normal vessel wall configuration is seen proximally (arrowhead) on this longitudinal scan. Permission is granted by The Radiology Society of North America (RSNA). E-mail: [email protected]

Figure 5. Low velocity and pulsatility in the Middle Cerebral Artery (MCA) at 48 mm ipsilateral to an occluded Internal Carotid Artery (ICA). Reprint request was permitted by Dr. Ramani at the National Neuroscience Institute, Singapore. E-mail: [email protected]

Figure 4. Stenosis of the left Middle Cerebral Artery (MCA) at 64 mm, with V = 225 cm/s. Reprint request was permitted by Dr. Ramani at the National Neuroscience Institute, Singapore. Email: [email protected]

Figure 6. Cerebral arteriogram in a patient with dysphasia and right hemiplegia shows the embolic occlusion in the trunk of the left middle cerebral artery (arrow). Reprint request was permitted by Dr. Brott at the Department of Neurology, Mayo Clinic, 4500 San Pablo Road, Jacksonville, FL. 32224. E-mail: [email protected]

Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 185

Ensefalopati Flu Burung

TINJAUAN PUSTAKA

Ensefalitis/Ensefalopati Akibat Flu Burung (Infeksi Virus Influenza Tipe A)Kiki MK SamsiBagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara/ Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta, Indonesia

PENDAHULUAN Flu burung, atau yang dikenal dengan Avian Flu, saat ini merupakan penyakit infeksi pada manusia yang menjadi perhatian di dunia termasuk Indonesia. Luasnya negara yang mengalami outbreak dan mortalitas yang tinggi membuat WHO menetapkan kewaspadaan atas risiko pandemi avian influenza.1 Upaya deteksi dini merupakan salah satu hal penting dalam mencegah pandemi dalam kaitannya terhadap temuan kasus baru, pola penyebaran, dan keberhasilan membatasi penyebaran avian influenza pada manusia. Deteksi dini dimulai dengan temuan kasus influenza like illnesses (ILI) yang disertai dengan riwayat kontak dengan unggas mati atau dengan korban flu burung di sekitar penderita.2 Hal ini didasari atas pemahaman bahwa gejala flu burung didahului oleh demam, batuk, dan pilek yang diikuti dengan perburukan progresif berupa sesak. Pada tahun 2005, di Vietnam Selatan, dilaporkan kasus seorang anak laki-laki berusia 4 tahun yang dirawat karena diare berat yang diikuti dengan kejang, koma, dan akhirnya meninggal dunia. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan jumlah sel 1/mm3, kadar glukosa normal, dan peningkatan kadar protein (0,81 g/L). Pada kasus ini, virus Avian Influenza A tipe H5N1 berhasil diisolasi dari cairan serebrospinal, feses, apus tenggorok, dan serum penderita. Kakak perempuan penderita yang berusia 9 tahun baru saja meninggal dunia (2 minggu sebelumnya) dengan gejala yang sama. Baik penderita maupun kakak penderita tidak menunjukkan adanya angguan respirasi. Kedua kasus ini menunjukkan kemungkinan infeksi influenza tipe A subtipe H5N1 memiliki spektrum klinis yang lebih luas dan skrining penderita flu burung harus diperluas tidak hanya mencurigai 186 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

kasus demam, batuk, pilek. 3 Kasus manifestasi neurologis pada flu burung H5N1 hingga saat ini belum banyak dilaporkan; sehingga untuk menilai apakah manifestasi neurologis ini merupakan kelainan yang lazim pada infeksi flu burung atau hanya insidentil, perlu ditelaah kasus ensefalitis yang berhubungan dengan flu burung akibat virus influenza tipe A subtipe selain H5N1 seperti yang banyak dipublikasi di Jepang atau beberapa kasus di Eropa dan Amerika Serikat.4,5,6 VIRUS PENYEBAB FLU BURUNG Flu burung atau avian influenza adalah infeksi pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Virus Influenza tipe A merupakan salah satu tipe dari 2 tipe lain yaitu tipe B dan C. Virus Influenza tipe A dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan variasi protein Haemaglutinin

Gambar 1.

Distribusi Subtipe Haemaglutinin dan Neuroaminidase Virus Influenza A

Ensefalopati Flu Burung

(H) dengan Neuroaminidase (N) yang terdapat pada envelope. Sejauh ini diketahui 15 jenis H dan 9 jenis N yang semuanya terdapat pada unggas dan beberapa kombinasi di antaranya telah dapat menyerang mamalia termasuk manusia (gb. 1). Beberapa subtipe Influenza A ini kemudian berubah (bermutasi) menjadi virus manusia misalnya H1N1, H2N2, dan H3N2 (gambar 1). Influenza tipe A subtipe H1N1 pernah menyebabkan pandemi yang menelan korban jutaan manusia di seluruh dunia (1918-1919). Dua pandemi lainnya dengan jumlah korban yang lebih sedikit yaitu Influenza tipe A subtipe H2N2 (1957) dan H3N2 (1968). Subtipe Influenza A penyebab flu burung saat ini adalah subtipe H5N1.7 Apakah kasus flu burung di Vietnam dengan gangguan neurologis tanpa gangguan respirasi merupakan kebetulan? Apakah kasus demikian insidensnya jarang pada flu burung akibat infeksi Influenza A ? Sejauh ini baru 1 kejadian ensefalitis/ensefalopati akibat flu burung H5N1 dilaporkan dalam New England Medical Journal(2005). Sedikitnya laporan ensefalitis/ensefalopati akibat H5N1 ini mungkin akibat rendahnya insidens atau lolosnya perhatian klinisi dalam mendiagnosis penderita ensefalitis/ensefalopati akibat virus Influenza H5N1, mengingat protokol skrining hanya mencantumkan Influenza Like Illness (ILI) yaitu: demam, batuk, dan pilek sebagai gejala awal dari flu burung.2 Di Jepang, selama musim dingin tahun 1998-1999, terjadi outbreak ensefalitis/ensefalopati. Berdasarkan pemeriksaan virologi, dari total 202 kasus ensefalitis/ensefalopati, 148 kasus dinyatakan sebagai influenza associated encephalitis/ encephalopathy yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A (130 kasus, 87,8%) dan tipe B (17 kasus).4 Di Hokkaido Jepang sepanjang tahun 1994-1995 terdapat 12 kasus acute onset brain dysfunction yang secara klinis didiagnosis sebagai ensefalitis atau ensefalopati8. Tidak ada satupun dari ke 12 kasus ini yang memiliki riwayat penyakit kronis yang dapat memicu komplikasi infeksi virus Influenza.8 Togashi melanjutkan penelitiannya selama kurun 1995 2002 dan mendapatkan 89 penderita Influenza-associated acute encephalopathy (51 laki-laki, 38 perempuan). Usia ratarata penderita 3,8 tahun (rentang usia 9 bulan 12 tahun) ; 78,7% terjadi pada usia 9 bulan hingga 5 tahun. Penyebab terbanyak adalah virus Influenza tipe A subtipe H3N2. Seperti tampak pada gambar 2, insidens tertinggi acute onset brain dysfunction memiliki pola yang sama dengan insidens tertinggi virus Influenza yang diisolasi dari pasien di Sapporo City General Hospital dan kasus Influenza Like Illnesses yang dilaporkan di Hokkaido.8Gambar 2. Epidemi Influenza, isolasi virus, dan ensefalopati selama kurun waktu 1994/1995 di Hokkaido.8

Dari data epidemiologi ini dikhawatirkan bahwa bila subtipe lain dari tipe virus yang sama (influenza A) dapat menyebabkan ensefalitis/ensefalopati, maka gangguan kesadaran mungkin dapat menjadi tanda awal dari flu burung Influenza tipe A subtype H5N1. Adakah gambaran klinis yang mirip antar kasus ensefalitis/ensefalopati akibat influenza tipe A ? Sesuai dengan laporan kasus flu burung dengan koma dan diare tanpa sesak nafas di Vietnam akibat virus H5N1, ternyata kasus-kasus ensefalitis/ensefalopati akibat virus Influenza tipe A subtipe selain H5N1 memiliki manifestasi klinis serupa yaitu demam, penurunan kesadaran, gangguan sistem pencernaan tanpa gangguan respirasi (Tabel 1).3,8

Tabel 1.

Temuan Klinis dan Laboratoris Penderita Influenza-associated acute encephalopathy 8

Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 187

Ensefalopati Flu Burung

Bagaimana patogenesisnya? Mengapa ensefalitis/ ensefalopati bisa terjadi tanpa didahului sesak atau gejala sistemik lain ? Patogenesis gangguan neurologis akibat infeksi virus Influenza pada manusia masih belum jelas diketahui, mengingat virus Influenza secara alami lebih sering bermultiplikasi di paru dan sangat jarang dapat diisolasi di otak. Namun, terdeteksinya virus Influenza atau RNA virus dalam cairan serebrospinal merupakan bukti adanya penetrasi virus ke dalam susunan saraf pusat (SSP). Para ahli meragukan penyebaran secara hematogen ke SSP mengingat virus Influenza sangat jarang dapat diisolasi dalam darah dan viremia pada infeksi virus influenza hanya singkat yaitu selama masa inkubasi dan awal gejala penyakit.9 Tanaka (2002), menemukan bahwa virus Influenza A H5N1 yang diisolasi dari penderita flu burung di Hongkong tahun 1997 (A/Hongkong/156/97 dan A/Hongkong/483/97) mampu menginfeksi tikus transgenik BABc. Virus berhasil dideteksi dengan pewarnaan antibodi monoklonal di paru, otak, ganglia trigeminal, dan ganglia vagus tetapi tidak ditemukan di darah. Temuan ini mengundang pendapat bahwa virus influenza mungkin menyebar ke SSP melalui jalur axon misalnya nervus vagus seperti jalur yang dilalui oleh virus rabies. Jalur penyebaran ini dikenal dengan istilah invasi transneural (transneural invasion).10 Untuk membuktikan adanya invasi transneural, Matsuda (2004) melakukan penelitian dengan cara inokulasi virus Influenza tipe A/Whistling swan/Shimane/499/83 (H5N3) strain 24a5b secara intranasal kepada tikus transgenik BALB/cA Jcl. Pada tikus ini kemudian salah satu n.vagusnya dipotong (vagektomi unilateral) untuk menilai adanya hambatan penyebaran virus di SSP (gb. 2).11 (a) (b) (c)

Ket.: Huruf tebal, titik, dan garis terputus menunjukan jalur aferen ke ganglion vagal (VG), nucleus dari traktur soliter (NTS), dan nervus ambiguus (NA). Gambar 2. Diagram transmisi virus dari mukosa sistem respirasi ke batang otak melalui nervus vagus11.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam SSP tampak perubahan histologi di batang otak dan thoracic spinal cord. Lesi histologi di batang otak mulai tampak setelah 5 hari paska inokulasi (pi) terutama di nucleus traktur soliter (NTS), dan nervus ambiguus (NA) (gb. 3).11

Gambar 3.

Potongan batang otak tikus 5 hari paska inokulasi (Matsuda, 2004).11

Gambar 4.

Gambaran mikroskop Confocal sel neuron yang terinfeksi virus Influenza strain 24a5b (a dan b) dan kontrol neuron (c) pada 36 jam paska inokulasi. Dilakukan immunostaining antigen virus (a,b ; merah) dan tubulin (b, c ; hijau). Warna kuning-orange menunjukkan virus ada di dalam nucleus dan tubulin (b). Bars menunjukkan ukuran 50 mm (a, b);100 mm (c). 12

Kelainan histologi yang ditemukan adalah piknosis nukleus oligodendrosit dan peningkatan jumlah sel mikroglia. Lesi lebih lanjut berupa cuffing perivaskular sel mononuclear, nekrosis sel saraf, dan neuronofagia. Lesi histologi ini selalu bersamaan dengan ditemukannya antigen virus dalam nukleus dan terkadang dalam sitoplasma saraf atau sel glia (warna coklat pada gambar 3).11 Antigen virus yang ditemukan pada tikus yang tidak

188 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

Ensefalopati Flu Burung lingkaran (cincin) di talamus (gb. 5).5,8 Kasus anak laki-laki, usia 10 tahun, mengalami demam, kejang umum tonik-klonik, penurunan kesadaran, spastik sisi kanan tubuh tanpa kaku kuduk ataupun peningkatan reflek fisiologis. Beberapa hari setelah dirawat, penderita mengalami hemiparesis nervus fasialis kanan. Hari ke 4 sakit, MRI menunjukkan lesi bilateral di pons dan talamus (gb. 5). Pemeriksaan antibodi virus Influenza tipe A menunjukkan peningkatan titer 4 kali dalam periode 2 minggu pemeriksaan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pemeriksaan CT/MRI dapat lebih cepat membantu menegakkan diagnosis dibandingkan pemeriksaan antibodi spesifik.5

divagektomi terdistribusi simetrik dalam ganglion di kedua sisi. Sedangkan pada tikus yang divagektomi, antigen virus tampak lebih dahulu (hari ke 3 pi) di sisi yang tidak divagektomi (sisi kiri) kemudian baru tampak di sisi vagektomi (sisi kanan) pada hari ke 5 pi. Tidak tampaknya distribusi antigen virus di sisi yang vagektomi hingga hari ke 5 pi menunjukkan bahwa virus tidak dapat menyebar melalui vagus yang dipotong. Setelah hari ke 5 pi, ditemukannya antigen virus di sisi vagektomi menunjukan bahwa virus mampu menyebar melalui akson-akson di dalam batang otak (gb. 2 dan 3).11 Tahun 2005, Matsuda melaporkan hasil penelitian yang memperkuat bukti kemampuan virus avian Influenza tipe A menyebar melalui akson. Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa virus avian Influenza tipe A subtipe H5N3 strain 24a5b dapat menyebar melalui sitoskeleton dan berada dalam nukleus dari kultur sel saraf tikus BALB/c (gb. 4). Lebih lanjut diketahui bahwa bagian jaringan sitoskeleton yang dilalui virus adalah intermediate filament dan mungkin melalui bagian lain selain sitoskeleton seperti glia.12

Pemeriksaan yang tepat untuk membuktikan adanya ensefalitis/ensefalopati akibat influenza adalah pemeriksaan virus di cairan serebrospinal.Adakah pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis ensefalitis/ensefalopati akibat virus Influenza ? Pemeriksaan yang tepat untuk membuktikan adanya ensefalitis/ensefalopati akibat influenza adalah pemeriksaan virus di cairan serebrospinal. Pemeriksaan yang dapat mendeteksi adanya virus influenza adalah serologi dan PCR. Pemeriksaan tambahan lain yang dapat membantu diagnosis adalah CT-scan dan MRI (tabel 1).8 Meskipun biasanya CT-scan dan MRI pada kasus ensefalitis akut tidak selalu dapat memberikan gambaran khas etiologi, namun pada ensefalitis akibat virus Influenza tipe A, CT-scan dan MRI dapat memberikan gambaran khas yang terletak di pons dan talamus. Kelainan khas yang tampak dalam CT otak adalah gambaran densitas rendah simetris di talamus, pons, dan batang otak. Pada pemeriksaan MRI dengan kontras didapatkan gambaran kelainan berbentuk

Gambar 5.

Axial T2-MRI otak pada hari ke 4 sakit menunjukkan lesi simetris di kedua talamus dengan gambaran signal kuat dan bentuk seperti cincin.5

Outcome ensefalitis/ensefalopati berhubungan dengan usia penderita dan temuan CT/MRI. Sekuele berat dan kematian lebih banyak pada anak-anak dengan kelainan patologi yang tampak pada CT/MRI. Meskipun demikian pada beberapa kasus dengan CT/MRI normal dapat juga mengalami sekuele berat seperti choreoatetosis, perubahan perilaku, quadriparesis spastik, dan vegetative state yang menetap.9 Bagaimana perjalanan penyakit dan prognosis penderita ensefalitis/ensefalopati influenza A ? Perjalanan penyakit penderita ensefalitis/ensefalopati akibat Influenza sulit dinilai akibat tingginya mortalitas dan cepatnya proses penyakit. Interval rata-rata antara timbulnya demam hingga timbulnya gejala neurologis adalah 1,7 hari (rentang 0-10 hari).8 Nakai (2003), melaporkan interval antara timbulnya demam hingga kematian adalah 1,5-5 hari sedangkan interval antara timbulnya gejala neurologis hingga Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 189

Ensefalopati Flu Burung kematian hanya 1,5 jam-2 hari.12 Toghasi melaporkan bahwa selama kurun waktu 1995-2002 di Jepang, tanpa perawatan intensif, 33 (37.1%) dari 89 penderita Influenza-associated acute encephalopathy meninggal, 17 (19,1%) menderita sekuele neurologis, dan 39 (43,8%) sembuh sempurna (gb.6).8

ensefalopati akibat influenza A masih diragukan. Meskipun amantadine dan oseltamivir dapat mengatasi flu burung dan mencegah komplikasi, namun efektifitasnya dalam mencegah terjadinya komplikasi ensefalitis/ensefalopati masih belum dapat diketahui. Penggunaan antiviral belum dapat menurunkan morbiditas ataupun mortalitas ensefalitis/ ensefalopati akibat influenza tipe A. Tatalaksana utama untuk ensefalitis/ensefalopati akibat influenza A adalah terapi suportif yang meliputi observasi penurunan kesadaran, pengendalian tekanan tinggi intrakranial, mengatasi kejang, pengobatan edema otak.9,14

Ket: Bujur sangkar - laki-laki dan lingkaran - wanita. Hitam untuk kasus fatal dan arsiran menunjukkan sequele neurologis Gambar 6. Distribusi Umur dan Outcome Influenza-associated Acute Encephalopathy.8

Kasus Flu Burung dengan penurunan kesadaran tanpa batuk, pilek dan sesak nafas telah terjadiPENUTUP Kasus Flu Burung (virus Influenza tipe A subtipe) H5N1 dengan penurunan kesadaran tanpa didahului batuk, pilek, dan sesak nafas telah terjadi di Vietnam. Virus Influenza tipe A memiliki kemampuan menginvasi SSP melalui jalur akson sehingga dapat terjadi tanpa didahului batuk, pilek, ataupun sesak nafas seperti beberapa kasus ensefalitis/ ensefalopati akibat virus Influenza tipe A subtipe selain H5N1 yang dilaporkan di Jepang. Perlu dipertimbangkan untuk memperluas skrining kasus flu burung, tidak saja pada penderita ILI dan sesak tetapi juga pada kasus demam disertai penurunan kesadaran walaupun tanpa disertai batuk, pilek, dan sesak.KEPUSTAKAAN 1. WHO. Avian Influenza, including Influenza A (H5N1), in Humans: WHO Interim Infection Control Guideline for Health-care Facilities. Available at http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/guidelines/ infectioncontrol1/en/index.html. 2006 IDAI. Flu burung (avian influenza, bird flu): Gambaran umum, deteksi, dan penanganan awal. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005. Jong MD, Cam BV, Qui PT, Hien VM, Thanh TT, Hue NB, et al. Fatal avian influenza A (H5N1) in a child presenting with diarrhea followed by coma. N Engl J Med 2005;352 :686-91. Morishima T, Toghasi T, Yokota S, Okuna Y, Miyazaki C, Tashiro M, Okabe N. Encephalitis and encephalopaty assosiated with an influenza epidemic in Japan. Clin Infect Dis 2002;35:512-7. Voudris KA, Skaardoutsou A, Haronitis I, Vagiakou EA, Zeis PM. Brain MRI findings in influenza A-assosiated acute necrotizing encephalopathy of childhood. Eur J Paed Neurol, 2001;5:199-202. doi:

Apa faktor risiko terjadinya ensefalitis/ensefalopati akibat infeksi virus Influenza tipe A ? Sampai saat ini belum cukup penelitian epidemiologi yang mampu mengungkapkan faktor risiko, namun tampak bahwa insidens ensefalitis/ensefalopati akibat influenza tipe A pada anak usia di bawah 5 tahun lebih tinggi (gb. 6).8 Faktor lain yang berperan dalam terjadinya ensefalitis/ensefalopati akibat virus influenza tipe A adalah polimorfisme dari virus yang disebabkan adanya mutasi. Mori (1999) mendapatkan telah terjadi mutasi di receptor binding site protein hemaglutinin (HA) pada keenam virus influenza tipe A subtipe H3N2 yang diisolasi dari enam penderita ensefalopati. Mutasi terjadi di asam amino ke 137 hemaglutinin (HA). Virus Influenza A H3N2 yang diisolasi dari penderita ensefalopati memiliki asam amino phenylalanine pada urutan 137 HA, sedangkan virus influenza H3N2 yang diisolasi dari penderita nonensefalopati memiliki asam amino tyrosine pada urutan 137 HA dicatat dalam bentuk: 137 (tyr phe). Adanya perbedaan asam amino ini diduga kuat berhubungan dengan kemampuan virus menginvasi SSP.13 Tatalaksana Ensefalitis/ensefalopati akibat flu burung (Influenza tipe A) Penderita ensefalitis akibat influenza A perlu dirawat di ICU. Peranan antiviral dalam tatalaksana ensefalitis/ 190 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

2. 3.

4.

5.

Ensefalopati Flu Burung

6.

10.1053/ejpn.2000.0511 available online at http://www.idealibrary.com Weitkamp, Hendrik J, Spring MD, Brogan T, Moses H, Bloch KC, Wright PF. Influenza A virus-associated acute necrotizing encephalopathy in the United States. Ped Infect Dis J, 2004; 23(3):259-563 7. WHO. Avian influenza: assessing the pandemic threat. WHO/CDC 2005; 29. 8. Togashi T, Matsuzono Y, Narita M, Morishima T. Influenza-associated acute encephalopathy in Japanese children in 19942002. Virus Res. 2004;103:758 9. Studahl M. Influenza virus and CNS manifestations. J Clin Virol 2003;28:225-32 10. Tanaka H, Park CH, Ninomiya A, Ozaki H,Takada A, Umemura T, Kida H. Neurotropism of the 1997 Hong Kong H5N1 influenza virus in mice. Vet. Microbiol. 2003;95;113 11. Matsuda K, Park CH, Sunden Y, Kimura T, Ochiai K, Kida H,

Umemura T. The vagus nerve is one route of transneural invasion for intranasally inoculated influenza A virus in mice. Vet Pathol 2004;41:1017. 12. Matsuda K, Shibata T, Sakoda Y, Kida H, Kimura T, Ochiai K, UmemuraT. In vitro demonstration of neural transmission of Avian Influenza A virus. J General Virol, 2005;86:11319. 13. Nakai Y, Itoh M, Mizuguchi M, Ozawa H, Okazaki E, Kobayashi Y, et al. Apoptosis and microglial activation in influenza encephalopathy. Acta Neuropathol 2003; 105:2339. 14. Mori SI, Nagashima M, Sasaki Y, Mori K, Tabei Y, Yoshida Y, etal. A novel amino acid substitution at the receptor-binding site on the hemagglutinin of H3N2 influenza A viruses isolated from 6 cases with acute encephalopathy during the 19971998 season in Tokyo. Arch Virol. 1999;144:14755.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE AGUSTUS SEPTEMBER 2007Bulan Tanggal 23 25 Kegiatan International Meeting of Urology 2007 FFFCMPA The 1st China-Indonesia Joint Symposium on Hepatobiliary Medicine and Surgery 25th International Congress of Pediatrics Tempat dan Informasi Sheraton Hotel, Porto Alegre, Brazil Ph. : +51 30 28 38 78 ; Facs.: +51 30 28 38 79 E-mail : [email protected] Website : www.ccmeventos.com.br Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali Tlp.: 021-30041026 ; Fax.: 30041027, 4535833 E-mail : [email protected] The Athene Congress Hall, Athena, Greece Ph. : +30 2106889100 ; Facs.:+30 2106844777 E-mail : [email protected] Website : www.icp2007.gr Brussels Expo, Belgieplein 1, Brussels, Belgium Ph. : +41 22 908 0488 ; Facs.: +41 22 732 2850 E-mail : [email protected] Website : www.efns.org/efns2007 Manado Convention Center, Manado, Sulawesi Utara Tlp.: +62-21-31908614, +62-21-55960180 Fax.: +62-21-31908614, +62-21-55960179 E-mail: [email protected] Website : www.pharma-pro.com Hotel Horison, Bandung, Jawa Barat Tlp.: 022-70820078 ; Fax. : 022-2040151 E-mail : [email protected] Hotel Borobudur, Jakarta Tlp.: 021-3004 1026 ; 391 6241 Fax.: 021-3004 1027 ; 3141 850 E-mail : [email protected] Website : www.pasti.or.id Seoul, Korea Ph. : +1 604 681 2153 ; Facs.: +1 604 681 1049 E-mail : [email protected] Website : 2007worldlungcancer.org Merak Room Plennary Hall JCC, Jakarta Tlp.: 021-021-739-4993 ; 53677981 Fax.: 021-739-4993 ; 53677983 E-mail : [email protected] Nusa Dua Resort, Bali Ph. : 62-361-773 565 ; Facs.: 0361-755 699 E-mail : [email protected] Website : www.asiaantiaging.net

24 26

25 30 AGUSTUS 25 28

11th Congress of The European Federation of Neurological Societies (EFNS 2007) 7th Nat. Congress and Annual Scientific Meeting of Indonesian Physical Medicine and Rehabilitation Association (PERDOSRI) in Conjunction with the 4th Congress of the ASEAN Rehabilitation Medicine Association (ARMA) KONAS Bersama PETRI/PERAPI/PKWI: Infectious Disease The 2nd Jakarta International Meeting on Anti Aging Medicine & Expo 2007

30 01/09

30 02/09

01 02

02 06 SEPTEMBER 06 08

12th Wold Conference on Lung Cancer

Seminar Nasional PERKAPI 2007

07 09

The 6th Asia Pacific Conference on Anti-Aging Medicine : Connecting Science to Clinical Practise

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadual acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/calendar

Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 191

Dampak Epilepsi

TINJAUAN PUSTAKA

Dampak Epilepsi pada Aspek Kehidupan PenyandangnyaRizaldy PinzonSMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia

ABSTRAK Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama dengan permasalahan yang kompleks. Epilepsi memiliki beban sakit yang signifikan, terutama di negara-negara berkembang. Telaah pustaka ini menunjukkan bahwa tingkat cedera dan kematian lebih tinggi pada penyandang epilepsi dibanding populasi normal. Epilepsi juga dihubungkan dengan konsekuensi psikososial yang lebih berat bagi para penyandangnya. Stigma sosial yang melekat pada epilepsi juga menghambat penyandangnya untuk terlibat dalam kegiatan olahraga, pekerjaan, pendidikan, dan pernikahan. Keywords: epilepsy injury death - quality of life - social stigma

PENDAHULUAN Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak(1,2). Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang(1,2). Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang(3). Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, 192 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik(4). Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks. Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal(5). Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsi(3). Permasalahan yang muncul adalah: Bagaimana dampak epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya. Tujuan penulisan makalah adalah mengkaji berbagai hasil penelitian terkini tentang dampak epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan. Pelacakan kepustakaan dilakukan melalui fasilitas internet dan perpustakaan FK UGM. Kata kunci yang digunakan adalah epilepsy - impact - quality of life - injury death.

Dampak Epilepsi

PEMBAHASAN Epilepsi merupakan penyakit kronis yang paling sering menimbulkan permasalahan medik dan kualitas hidup yang buruk bagi penyandangnya(6). Epilepsi berpengaruh luas pada aspek kehidupan penyandang, keluarga, dan lingkungan sosialnya(7). Lokasi fokus, tipe bangkitan, dan frekuensi bangkitan merupakan hal-hal yang berpengaruh terhadap dampak epilepsi pada aspek kehidupan penyandangnya(4). Kajian dampak epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya akan difokuskan pada 4 hal yaitu : (1) cedera akibat epilepsi, (2) kualitas hidup (Disability Adjusted Life Years), (3) stigma sosial, dan (4) risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi pembanding. Cedera akibat bangkitan epilepsi Penyandang epilepsi (terutama yang bangkitannya belum terkendali dengan baik) memiliki risiko besar untuk menderita cedera akibat bangkitan epilepsi. Cedera akibat bangkitan epilepsi didefinisikan sebagai cedera yang terjadi sebagai akibat langsung dari bangkitan epilepsi, dan terjadi saat timbulnya bangkitan(6). Berbagai penelitian terdahulu yang menunjukkan cedera yang dialami penyandang akibat bangkitan epilepsi dapat dilihat pada tabel 1 :Tabel 1. Kejadian cedera akibat bangkitan penelitian (6,8,9) epilepsi dari berbagai

Hasil ketiga penelitian di atas menunjukkan bahwa cedera kepala menempati urutan pertama cedera pada penyandang epilepsi(6,8,9). Penelitian Buck dkk(8) menunjukkan bahwa faktor prediktor yang paling berperan untuk terjadinya cedera adalah tipe bangkitan tonik klonik umum dengan OR 2,7 (95% CI 1,3-5,5). Faktor prediktor lain yang ikut berperan adalah jumlah bangkitan yang lebih dari 1 kali per bulannya dengan nilai OR 2,0 (95% CI 1,3-3,3). Kualitas hidup penyandang epilepsi Penyandang epilepsi memiliki kualitas hidup yang lebih rendah daripada populasi normal. Beberapa penelitian terdahulu menggunakan Disablity Adjusted Life Years (DALY) untuk menilai kualitas hidup penyandang epilepsi; hasilnya dapat dilihat pada tabel 2 : Disablity Adjusted Life Years (DALY) didefinisikan sebagai jumlah tahun yang hilang akibat kematian dini atau hidup dalam disabilitas(11,13). Penelitian tentang Disability Adjusted Life Years (DALY) yang paling menarik adalah penelitian Been, dkk (1999). Penelitian ini menggunakan pendekatan penilaian kuantitatif terhadap berbagai literatur penelitian dari tahun 1980-1999 di negara berkembang dengan populasi penyandang anak-anak (usia 16 tahun (49% laki-laki; 51% perempuan), median umur 35 tahun

- Cedera kepala (43/199) - Cedera mulut (8/184) - Luka bakar (14/184) - Fraktur (11/185) - Cedera kepala - Cedera gigimulut - Luka bakar - Lainnya

22,5% 4,3% 7,6% 5,9% 27% 13% 8% 52%

Peneliti (tahun) ABDI Australian Burden of Disease and Injury Study (1996) Deen, dkk (1999) Clich, dkk (2001)

Tempat dan pengambilan data Pengukuran beban sakit di seluruh Australia berdasar jenis kelamin, umur, dan sebab sakit Studi kuantitatif literatur 1980-1999 di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan Kajian terhadap data Medical Research Council of Canada tentang beban sakit (burden of disease)

DALY - DALY lakilaki: 6.668 (000) - DALY perempuan : 4.851 (000) - DALY (000) pada anak < 15 tahun : 1717 - DALY (000) : 505

Urutan DALY 43 48

Baker, dkk (1999)

- Kuesioner diisi sendiri oleh penyandang - 248 (9,5%) mengalami cedera dalam 1 tahun terakhir

20

-

20

Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 193

Dampak Epilepsi

Kematian akibat epilepsi Penyandang epilepsi memiliki risiko kematian yang relatif lebih tinggi dibanding populasi normal. Berbagai penelitian terdahulu menggunakan Standarized Mortality Ratio (SMR). Standarized Mortality Ratio (SMR) merupakan rasio antara jumlah kematian pada penyandang epilepsi dalam suatu waktu tertentu dibanding kematian pada populasi normal/reference population(14). Penyandang epilepsi juga memiliki risiko kematian mendadak yang tidak terjelaskan/ SUDEP (Sudden Unexplained Death in Epilepsy)(15). Gambaran Standardized Mortality Ratio (SMR) epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 3 . Di antara berbagai penelitian di atas, penelitian Shackleton dkk (1999) dan Camfield dkk (2002) yang paling menarik untuk disimak(14,17). Penelitian ini menggunakan jumlah subyek yang besar dengan pengamatan prospektif jangka panjang. Hasil penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang (17). Sementara hasil penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang(20). Penelitian Shackleton dkk (1999) menyimpulkan bahwa risiko kematian meningkat pada penyandang yang berumur kurang dari 20 tahun (RR 7,6, 95% CI 6,5-8,7). Standardized Mortality Ratio (SMR) pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan - 3,6 (95% CI 3,1-4,0) berbanding 2,6 (95% CI 2,2-3,0). Penelitian Camfield dkk (2002) menunjukkan bahwa prediktor utama terjadinya kematian pada penyandang epilepsi anak-anak adalah adanya defisit neurologis yang menyertai epilepsi (RR : 22,03, 95% CI 6,97-69,65)(17).

Stigma sosial akibat epilepsiTabel 4. Stigma sosial akibat epilepsi dari berbagai penelitian(6,9) Peneliti (tahun) Mills, dkk (1997) Tempat, karakteristik subyek, metode pengambilan data, dan instrumen penelitian - Bristol, 394 penyandang epilepsi berusia 16 tahun dari 14 buah pusat pelayanan kesehatan - Studi potong lintang, tiga pertanyaan tentang stigma sosial - Orang lain tidak nyaman dengan saya - Akibat epilepsi saya diperlakukan rendah - Akibat epilepsi orang lain menghindari saya - 15 negara Eropa - 5211 penyandang epilepsi berusia > 16 tahun (49% laki-laki; 51% perempuan), median 35 tahun - Kuesioner, tiga pertanyaan tentang stigma sosial - Orang lain tidak nyaman dengan saya - Akibat epilepsi saya diperlakukan rendah - Akibat epilepsi orang lain menghindari saya

Stigma sosial Jawaban ya untuk masing-masing pertanyaan :

- 26,2% - 18,3% - 16,5%

Baker, dkk (1999)

2563/ 5211 (49%) merasakan stigma sosial akibat epilepsi.

40,1 % menjawab ya untuk 1 pertanyaan, 24% untuk 2 pertanyaan, dan 35,9% untuk ketiga pertanyaan

Tabel 3. Standardized Mortality Ratio (SMR) epilepsi (14,16,17,18,19) Tempat sumber data dan karakteristik subyek Inggris, 792 pasien Belanda, 38665 orang-tahun, follow up lengkap pada 1355 penderita Glamorgan, Inggris, 2943 subyek Inggris, 792 pasien Kanada, 692 pasien epilepsi anak

Peneliti (tahun) Cockerel, dkk (1997) Shackleton, dkk (1999)

Metode pengambilan data Prospektif dengan median follow up 7,1 tahun Prospektif dengan rata-rata waktu follow up 28 tahun

SMR

95% CI 2,5-3,7

3,0

Kualitas hidup penyandang epilepsi yang rendah tidak dapat dilepaskan dari stigma sosial yang melekat pada penyandang epilepsi. Beberapa penelitian tentang stigma akibat epilepsi dapat dilihat pada tabel 4. Permasalahan epilepsi di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) menjadi lebih kompleks akibat prevalensi yang relatif lebih tinggi, proporsi penyandang yang tidak berobat secara adekuat (treatment gap) yang lebih tinggi, dan tingginya kasus-kasus epilepsi simptomatik(21). Permasalahan utama yang terkait dengan penatalaksanaan epilepsi di Indonesia adalah : (1) tidak ada data epidemiologi yang jelas, (2) stigma sosial yang tinggi, (3) tingkat pengetahuan penyandang terhadap terapi yang rendah (jumlah treatment gap tinggi), dan (4) kemiskinan dan kurangnya akses sistem asuransi kesehatan untuk penyediaan obat(22).

3,2

2,9-3,5

Morgan, dkk (2000) Lhatoo, dkk (2001) Camfield, dkk (2002)

Kajian retrospektif data klinik RS Prospektif dengan median follow up 11,8 tahun Prospektif, median follow up 13,9 tahun

1,25

1,2-1,3

2,1

1,8-2,4

Epilepsi dihubungkan pula dengan risiko morbiditas, mortalitas dan stigma sosial yang tinggi di masyarakat

5,3

2,298,32

194 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

Dampak Epilepsi

SIMPULAN Berdasarkan kajian terhadap berbagai penelitian terdahulu di atas terlihat bahwa epilepsi memiliki berbagai masalah medis, psikososial, dan kualitas hidup sangat kompleks. Penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang menghambat kehidupan normal. Epilepsi dihubungkan pula dengan risiko morbiditas, mortalitas, dan stigma sosial yang tinggi di masyarakat.KEPUSTAKAAN

11.

12.

13. 14. 15.

1. 2. 3. 4. 5. 6.

7. 8.

9. 10.

WHO. Epilepsy : Epidemiology, Etiology, and Prognosis, WHO Fact Sheet No. 165, 2001 WHO. Epilepsy : Social Consequences and Economic Aspects, WHO Fact Sheet No. 166, 2001 WHR. Epilepsy in The World. Health Report: Mental Health : New Understanding, New Hope, WHO , 2001 Shafer PO. Improving the Quality of Life in Epilepsy: Non Medical Issues Too Often Overlooked. Postgrad. Med. January 2002. Smith PE, The Teenagers with Epilepsy. Editorial, BMJ 1998; 317; 96061. Mills N, Bachmann M, Harvey I, McGrowen M, Hine I, Patients Experience of Epilepsy and Health Care. Family Practice 1997; 14(2): 117-123. Gilliam F. Epilepsy Outcomes : Prognosis and Predictive Factors, Epilepsy Quarterly 2001; 9 (2) Buck D, Baker GA, Jacoby A, Smith DF, Chadwick DW, Patients Experiences of Injury as a Result of Epilepsy. Epilepsia 1997; 38 (4) : 439-44. Baker GA. Quality of Life of People with Epilepsy; A European Study, Epilepsia 1999; 38(3): 353-62 ABDI. Burden of Disease and Injury. Australian Burden of Disease and

16.

17.

18.

19.

20. 21. 22.

Injury Study. Australia, 1996 Deen JL, Vos T, Huttly SRA, Tulloch J. Injuries and Non Communicable Diseases: Emerging Health Problems of Children in Developing Countries. Bull. WHO 1999; 77 (6); 518-24 Clich ML, Castilloux AM, Le Lourier J, Association Between The Burden of Disease and Research Funding by The Medical Research Council of Canada and The National Institutes of Health : A Cross Sectional Study. Clin Invest Med 2001;24(2): 83-9 Desai NG, Issac M. Mental Health in South East Asia : Reaching Out to The Community. Regional Health Forum 2001; 5(1): 6-13 Camfield CS, Camfield PR, Veugelers PJ. Death in children with epilepsy: a population-based study. Lancet 2002, April Sperling MR, Bucurescu G, Kim B. Epilepsy Management : Issues in Medical and Surgical Treatment. Postgrad. Med. 1997; 102(1) Cockerell OC, Johnson AL, Sander JWAS, Shorvon SD. Prognosis of Epilepsy: A Review and Further Analysis of The First Nine Years of The British National General Practice Study of Epilepsy. A Prospective Population Based Study. Epilepsia 1997; 38(1): 31-46 Shackleton DR, Westendrop RGJ, Trenite KN, Vandenbrouke JP, Mortality in Patients with Epilepsy: 40 Years Follow Up in A Dutch Cohort Study. J. Neurol Neurosurg Psychiatr 1999; 66: 636-640 Morgan CL, Ahmed Z, Kerr MP, Social Deprivation and Prevalence of Epilepsy and Associated Health Usage J. Neurol Neurosurg Psychiatr., 2000; 69: 13-7 Lhatoo SD, Johnson AL, Goodridge DM, MacDonald BK, Sander JW, Shorvon SD. Mortality in Epilepsy in the First 11 to 14 Years after Diagnosis: Multivariate Analysis of a Long-term, Prospective, Population-Based Cohort. Ann Neurol. 2001; 49: 336344 Silanpaa M, Jalava M, Kaleva O, Shinnar S. Long Term Prognosis of Epilepsy with Onset in Childhood. N Engl J Med. 1998; 338: 1715-22 Tan CT. Epidemiology of Epilepsy. Teaching Course on Epilepsy. MayJune, Bandung, 2001 Gunawan D, Dikot Y. Epilepsy Management in Indonesia. Teaching Course on Epilepsy. May-June, Bandung, 2001.

Informasi Topik Utama Cermin Dunia Kedokteran Mendatang Untuk edisi mendatang, Redaksi Cermin Dunia Kedokteran akan memilih topik-topik : kebidanan dan penyakit kandungan masalah anak informatika kedokteran reumatologi sebagai topik utama. Redaksi selalu mengharapkan kesediaan sejawat untuk mengirimkan naskah/hasil penelitian sejawat sekalian agar diterbitkan/ dipublikasikan sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam praktek dunia kedokteran.

Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 195

Gangguan Tidur Lanjut Usia

TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Tidur pada Lanjut UsiaDiagnosis dan PenatalaksanaanNurmiati AmirBagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik. Masyarakat awam belum begitu mengenal gangguan tidur sehingga jarang mencari pertolongan. Pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada orang yang meninggal karena tidak tidur adalah tidak benar. Beberapa gangguan tidur dapat mengancam jiwa baik secara langsung (misalnya insomnia yang bersifat keturunan dan fatal dan apnea tidur obstruktif) atau secara tidak langsung misalnya kecelakaan akibat gangguan tidur. Di Amerika Serikat, biaya kecelakaan yang berhubungan dengan gangguan tidur per tahun sekitar seratus juta dolar. Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67 %. Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter.1 Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes, artritis, atau hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya buruk dan durasi tidurnya kurang bila dibandingkan dengan lansia yang sehat. Gangguan tidur dapat meningkatkan biaya penyakit secara keseluruhan. Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan. Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan 196 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari. Berdasarkan dugaan etiologinya, gangguan tidur dibagi menjadi empat kelompok yaitu, gangguan tidur primer, gangguan tidur akibat gangguan mental lain, gangguan tidur akibat kondisi medik umum, dan gangguan tidur yang diinduksi oleh zat. Gangguan tidur-bangun dapat disebabkan oleh perubahan fisiologis misalnya pada proses penuaan normal. Riwayat tentang masalah tidur, higiene tidur saat ini, riwayat obat yang digunakan, laporan pasangan, catatan tidur, serta polisomnogram malam hari perlu dievaluasi pada lansia yang mengeluh gangguan tidur. Keluhan gangguan tidur yang sering diutarakan oleh lansia yaitu insomnia, gangguan ritme tidur,dan apnea tidur2. Makalah ini akan membahas tentang diagnosis gangguan tidur tersebut serta cara penatalaksanaannya. KLASIFIKASI GANGGUAN TIDUR I. Gangguan tidur primer Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan disebabkan oleh gangguan mental lain, kondisi medik umum, atau zat. Gangguan tidur ini dibagi dua yaitu disomnia dan parasomnia. Disomnia ditandai dengan gangguan pada jumlah, kualitas, dan waktu tidur. Parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur atau peristiwa fisiologis yang dikaitkan dengan tidur, stadium tidur tertentu atau perpindahan tidur-bangun. Disomnia terdiri dari insomnia primer, hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritmik sirkadian tidur, dan disomnia yang tidak dapat diklasifikasikan. Parasomnia terdiri dari gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur, berjalan saat tidur, dan parasomnia yang tidak dapat diklasifikasikan.

Gangguan Tidur Lanjut Usia

II. Gangguan tidur terkait gangguan mental lain Gangguan tidur terkait gangguan mental lain yaitu terdapatnya keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh gangguan mental lain (sering karena gangguan mood) tetapi tidak memenuhi syarat untuk ditegakkan sebagai gangguan tidur tersendiri. Ada dugaan bahwa mekanisme patofisiologik yang mendasari gangguan mental juga mempengaruhi terjadinya gangguan tidur-bangun. Gangguan tidur ini terdiri dari: Insomnia terkait aksis I atau II dan Hipersomnia terkait aksis I atau II. III. Gangguan tidur akibat kondisi medik umum Gangguan akibat kondisi medik umum yaitu adanya keluhan gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum terhadap siklus tidur-bangun. IV. Gangguan tidur akibat zat Yaitu adanya keluhan tidur yang menonjol akibat sedang menggunakan atau menghentikan penggunaan zat (termasuk medikasi). Penilaian sistematik terhadap seseorang yang mengalami keluhan tidur seperti evaluasi bentuk gangguan tidur yang spesifik, gangguan mental saat ini, kondisi medik umum, dan zat atau medikasi yang digunakan, perlu dilakukan3. FISIOLOGI TIDUR NORMAL Rata-rata dewasa sehat membutuhkan waktu 7 jam untuk tidur setiap malam. Walaupun demikian, ada beberapa orang yang membutuhkan tidur lebih atau kurang. Tidur normal dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya usia. Seseorang yang berusia muda cenderung tidur lebih banyak bila dibandingkan dengan lansia. Waktu tidur lansia berkurang berkaitan dengan faktor ketuaan. Fisiologi tidur dapat dilihat melalui gambaran ekektrofisiologik sel-sel otak selama tidur. Polisomnografi merupakan alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak selama tidur. Pemeriksaan polisomnografi sering dilakukan saat tidur malam hari. Alat tersebut dapat mencatat aktivitas EEG, elektrookulografi, dan elektromiografi. Elektromiografi perifer berguna untuk menilai gerakan abnormal saat tidur. Stadium tidur - diukur dengan polisomnografi - terdiri dari tidur rapid eye movement (REM) dan tidur non-rapid eye movement (NREM). Tidur REM disebut juga tidur D atau bermimpi karena dihubungkan dengan bermimpi atau tidur paradoks karena EEG aktif selama fase ini. Tidur NREM disebut juga tidur ortodoks atau tidur gelombang lambat atau tidur S. Kedua stadia ini bergantian dalam satu siklus yang

berlangsung antara 70 120 menit. Secara umum ada 4-6 siklus NREM-REM yang terjadi setiap malam. Periode tidur REM I berlangsung antara 5-10 menit. Makin larut malam, periode REM makin panjang. Tidur NREM terdiri dari empat stadium yaitu stadium 1,2,3,4. STADIUM TIDUR NORMAL PADA DEWASA Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran. Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur. Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur. Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata. Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 197

Gangguan Tidur Lanjut Usia

atau hilang. Tekanan darah dan nafas meningkat. Pada pria terjadi ereksi penis. Pada tidur REM terdapat mimpi-mimpi. Fase ini menggunakan sekitar 20%-25% waktu tidur. Latensi REM sekitar 70-100 menit pada subyek normal tetapi pada penderita depresi, gangguan makan, skizofrenia, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan penggunaan alkohol durasinya lebih pendek. Sebagian tidur delta (NREM) terjadi pada separuh awal malam dan tidur REM pada separuh malam menjelang pagi. Tidur REM dan NREM berbeda dalam hal dimensi psikologik dan fisiologik. Tidur REM dikaitkan dengan mimpi-mimpi sedangkan tidur NREM dengan pikiran abstrak. Fungsi otonom bervariasi pada tidur REM tetapi lambat atau menetap pada tidur NREM. Jadi, tidur dimulai pada stadium 1, masuk ke stadium 2, 3, dan 4. Kemudian kembali ke stadium 2 dan akhirnya masuk ke periode REM 1, biasanya berlangsung 70-90 menit setelah onset. Pergantian siklus dari NREM ke siklus REM biasanya berlangsung 90 menit. Durasi periode REM meningkat menjelang pagi 2. Kondisi tidur siang hari dapat dinilai dengan multiple sleep latency test (MSLT). Subyek diminta untuk berbaring di ruangan gelap dan tidak boleh menahan kantuknya. Tes ini diulang beberapa kali (lima kali pada siang hari). Latensi tidur yaitu waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur.Waktu ini diukur untuk masing-masing tes dan digunakan sebagai indeks fisiologik tidur. Kebalikan dari MSLT yaitu maintenance of wakefulness test (MWT). Subyek ditempatkan di dalam ruangan yang tenang, lampu suram, dan diinstruksikan untuk tetap terbangun. Tes ini juga diulang beberapa kali. Latensi tidur diukur sebagai indeks kemampuan individu untuk mempertahankan tetap bangun. Beberapa terminologi standar ukuran polisomnografi 1. Kontinuitas tidur yaitu keseimbangan antara tidur dengan bangun selama satu malam. Kontinuitas tidur dikatakan baik bila tidur lebih banyak daripada bangun dan dikatakan buruk bila tidur sering terinterupsi atau terbangun. Ukuran kontinuitas tidur yang spesifik adalah latensi tidur (jumlah waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur, biasanya dihitung dalam menit). Terbangun intermiten yaitu jumlah waktu terbangun setelah onset tidur (dalam menit). 2. Efisiensi tidur yaitu rasio antara waktu sebenarnya yang digunakan untuk tidur dengan waktu yang dihabiskan di tempat tidur - diukur dalam persentase. Angka tinggi menunjukkan efisiensi tidur baik. 3. Arsitektur tidur yaitu jumlah dan distribusi stadium tidur. Ukurannya adalah jumlah absolut tidur REM dan masing198 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

masing tidur NREM, dihitung dalam menit. 3 Tidur manusia bervariasi sepanjang kehidupannya. Pada anak-anak dan remaja awal, jumlah tidur gelombang lambat relatif stabil. Kontinuitas dan dalamnya tidur berkurang setelah dewasa. Pengurangan tersebut ditandai dengan peningkatan frekuensi bangun, tidur stadium 1, serta penurunan stadium 3 dan 4. Oleh karena itu, usia harus dipertimbangkan dalam mendiagnosis gangguan tidur. Siklus sirkadian tidur-bangun dapat mempengaruhi fungsi neuroendokrin misalnya sekresi kortisol, melatonin, dan hormon pertumbuhan. Pada dewasa normal, temperatur tubuh juga mengikuti ritme sirkadian; puncaknya pada sore hari dan paling rendah pada malam hari. Gangguan siklus temperatur dikaitkan dengan insomnia.

Siklus sirkadian tidur-bangun dapat mempengaruhi fungsi neuroendokrinUmur, pola tidur premorbid, dan status kesehatan secara umum mempengaruhi tidur. Apabila dibandingkan dengan tidur subyek dengan usia muda, tidur lansia kurang dalam, lebih sering terbangun, tidur delta berkurang, dan tidurnya tidak efektif. Mengantuk di siang hari sering terjadi pada lansia. Keadaan ini dapat mempengaruhi jadual tidur-bangunnya di malam hari. Walaupun demikian, beberapa individu memang mempunyai durasi tidur lebih pendek atau kebutuhan tidurnya lebih sedikit. Individu ini tidak mempunyai keluhan susah masuk tidur dan tidak ada tanda-tanda khas insomnia seperti sering terbangun, letih, susah konsentrasi, dan iritabilitas. Fungsi siang harinya tidak terganggu meskipun ia tidur kurang dari tujuh jam4. PERUBAHAN TIDUR PADA LANSIA NORMAL Pola tidur-bangun berubah sesuai dengan bertambahnya umur. Pada masa neonatus sekitar 50% waktu tidur total adalah tidur REM. Lama tidur sekitar 18 jam. Pada usia satu tahun lama tidur sekitar 13 jam dan 30 % adalah tidur REM. Waktu tidur menurun dengan tajam setelah itu. Dewasa muda membutuhkan waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25%. Kebutuhan ini menetap sampai batas lansia. Lansia menghabiskan waktunya lebih banyak di tempat tidur, mudah jatuh tidur, tetapi juga mudah terbangun dari

Gangguan Tidur Lanjut Usia

tidurnya. Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang lambat, terutama stadium 4, gelombang alfa menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena seringnya terbangun. Gangguan juga terjadi pada dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan. Selama tidur malam, seorang dewasa muda normal akan terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur total lansia hampir sama dengan dewasa muda. Ritmik sirkadian tidur-bangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju. Seringnya terbangun pada malam hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari. Dengan perkataan lain, bertambahnya umur juga dikaitkan dengan kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi terhadap fase atau jadual tidur-bangun menurun, misalnya sangat rentan dengan perpindahan jam kerja. Adanya gangguan ritmik sirkadian tidur juga berpengaruh terhadap kadar hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon pertumbuhan, prolaktin, tiroid, dan kortisol pada lansia. Hormon-hormon ini dikeluarkan selama tidur dalam. Sekresi melatonin juga berkurang. Melatonin berfungsi mengontrol sirkadian tidur. Sekresinya terutama pada malam hari. Apabila terpajan dengan cahaya terang, sekresi melatonin akan berkurang 2. HIGIENE TIDUR PADA LANSIA Gangguan tidur dapat berbentuk buruknya higiene tidur dan gangguan tidur spesifik. Evaluasi keluhan tidur lansia hendaklah selalu dilakukan. Keluhan tidur hendaknya jangan diabaikan meskipun mereka sudah tua. Buruknya higiene tidur dapat disebabkan oleh harapan yang berlebihan terhadap tidur atau jadual tidur. Akibatnya, lansia sering menghabiskan waktunya di tempat tidur atau sebentar-sebantar tertidur di siang hari. CHECKLIST HIGIENE TIDUR Tidur bangun Waktu tidur yang tidak teratur menunjukkan adanya gangguan ritmik sirkadian tidur. Pemanjangan latensi tidur menunjukkan adanya ketegangan atau kecemasan sehingga terjadi insomnia. Peningkatan frekuensi dan durasi terbangun di malam hari dikaitkan dengan nokturia, kejang otot kaki, pernafasan pendek, dan kecemasan. Terbangun dini hari atau memanjangnya durasi tidur dapat menunjukkan depresi.

Peningkatan frekuensi dan durasi mengantuk di siang hari menunjukkan tidak adekuatnya tidur di malam hari. Pasien mesti didorong untuk mengatur dan mengurangi waktunya di tempat tidur. Selain itu, pasien mesti didorong untuk lebih aktif di siang hari (fisik dan sosial). Lingkungan Suara gaduh, cahaya, dan temperatur dapat mengganggu tidur. Lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungannya. Penggunaan tutup telinga dan tutup mata dapat mengurangi pengaruh buruk lingkungan. Temperatur dan alas tidur yang tidak nyaman juga dapat mengganggu tidur. Kebiasaankebiasaan yang tidak baik di tempat tidur juga harus dihindari misalnya makan, menonton TV, dan memecahkan masalahmasalah serius. Faktor-faktor ini mesti dievaluasi ketika berhadapan dengan lansia yang mengalami gangguan tidur. Lansia mesti dianjurkan untuk menciptakan suasana yang nyaman untuk tidur. Diet dan Penggunaan obat Minum kopi, teh, dan soda, serta merokok sebelum tidur dapat mengganggu tidur. Alkohol dapat mempercepat onset tidur tetapi beberapa jam kemudian pasien kembali tidak bisa tidur. Obat-obat tidur atau obat-obat yang diresepkan untuk gangguan kondisi medik dapat kadang-kadang dapat mengganggu tidur. Pengaruhnya dapat terjadi secara berangsurangsur setelah beberapa lama menggunakan obat tersebut. Pasien dianjurkan untuk mengurangi atau mengubah jam-jam penggunaan obat atau diet yang dapat mempengaruhi tidur. Hal-hal Umum Edukasi tentang tidur malam perlu diberikan kepada lansia. Pasien dianjurkan untuk membuat kontak sosial dan aktivitas fisik secara teratur di siang hari. Pasien harus pula dibantu untuk menghilangkan kecemasannya. Membaca sampai mengantuk merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kecemasan yang mengganggu tidur 1,2. Gangguan tidur pada lansia Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor usia dan ada pula gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada lansia. Ada beberapa gangguan tidur yang sering ditemukan pada lansia. INSOMNIA PRIMER Ditandai dengan: Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu bulan Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007 199

Gangguan Tidur Lanjut Usia

Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau impairment sosial, okupasional, atau fungsi penting lainnya. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan mental lainnya. Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum atau zat.

Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur dan terbangun berkali-kali. Bentuk keluhan tidur bervariasi dari waktu ke waktu. Misalnya, seseorang yang saat ini mengeluh sulit masuk tidur mungkin suatu saat mengeluh sulit mempertahankan tidur. Meskipun jarang, kadang-kadang seseorang mengeluh tetap tidak segar meskipun sudah tertidur. Diagnosis gangguan insomnia dibuat bila penderitaan atau impairmentnya bermakna. Seorang penderita insomnia sering berpreokupasi dengan tidur. Makin berokupasi dengan tidur, makin berusaha keras untuk tidur, makin frustrasi dan makin tidak bisa tidur. Akibatnya terjadi lingkaran setan. Insomnia kronik disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi akibat kebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur. Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran, atau pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa tidur). Adanya kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan seseorang berusaha keras untuk tidur tetapi ia semakin tidak bisa tidur. Ketidakmampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha tidur dapat pula menyebabkan insomnia psikofisiologik. Selain itu, ketika berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik dan keluhan somatik lain sehingga juga menyebabkan tidak bisa tidur. Penderita bisa tertidur ketika tidak ada usaha untuk tidur. Insomnia ini disebut juga insomnia yang terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur dapat pula terjadi. Diagnosis ditegakkan bila seseorang mengeluh tidak bisa masuk atau mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif adanya gangguan tidur. Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil polisomnografi terlihat bahwa onset tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur 90%, dan waktu tidur totalnya lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini dikatakan mengalami mispersepsi terhadap tidur. Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan dapat berlanjut selama hidup. 200 Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007

Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan disebabkan oleh ketidakseimbangan neurokimia otak di formasio retikularis batang otak atau disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal sendiri atau adanya rasa ketakutan yang dieksaserbasi pada malam hari dapat menyebabkan tidak bisa tidur. Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan mood (risiko depresi dan anxietas), menurunkan motivasi, atensi, energi, dan konsentrasi, serta menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang dan menyebabkan lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan. Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat gangguan tidur sebelumnya. Sering penderita insomnia mengobati sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol. Anksiolitik ser