68
CERITA ASAL MULANYA WAYANG KULIT (Cariyos Kawitanipun Wonten Ringgit Wacucal) Pethikan Saking Serat Centhini (Pupuh 132 pada 23 Ngantos Pupuh 134 pada 34) Terjemah dan Kajian oleh: Bambang Khusen Al Marie

CERITA ASAL MULANYA WAYANG KULIT...naiknya Nabi Muhammad ke langit. Dalam kata serapan mekrad artinya naik ke kahyangan, tempat di mana ada surga dan neraka. Cara mereka naik ke surga

  • Upload
    others

  • View
    27

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 0

Kajian Sastra Klasik

CERITA ASAL MULANYA WAYANG KULIT

(Cariyos Kawitanipun Wonten Ringgit Wacucal)

Pethikan Saking Serat Centhini

(Pupuh 132 pada 23 Ngantos Pupuh 134 pada 34)

Terjemah dan Kajian oleh:

Bambang Khusen Al Marie

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 1

Kajian Sastra Klasik

Prolog

Di kompleks pemakaman masjid Demak ada sebuah nisan yang amat panjang. Panjangnya kurang-lebih 12 meter. Yang menarik, makam itu konon adalah makam dari Prabu Darmakusuma alias Prabu Yudhistira, Raja dari kerajaan Amarta. Kerajaan Amarta adalah kerajaan di dunia pewayangan. Bagaimana mungkin seorang raja dari dunia wayang mempunyai makam secara fisik di masjid Demak? Banyak orang bertanya-tanya tentang kisah makam itu. Kajian Sastra Klasik kali ini akan mengkaji serat yang memuat cerita itu, yakni Serat Centhini pada Pupuh ke-132 sampai Pupuh 134.

Semoga kajian ini membawa manfaat untuk yang membutuhkan. Selamat membaca!

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 2

Kajian Sastra Klasik

Pupuh 132

Asmaradana

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 3

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (132:23-26): Pandawa Muksa

Pupuh 132 Asmaradana (metrum: 8i, 8a, 8e/8o, 8a, 7a, 8u, 8a), bait ke-23 sampai bait ke-26, Serat Centhini:

Cariyosipun sang Aji, Ngamarta Sri Darmawangsa, paranbaya darunane, dene sumare ing Dêmak, kubur kalangkung panjang. Kyai Rasika lingnya rum, kabar makatên purwanya. Nalikanira ing nguni, mekrading natèng Pandhawa, mawi srana pêjah obong. Yudhisthira Sri Ngamarta, Rahadèn Wrêkudara, Janaka myang arinipun, kalih Nangkula Sadewa. Nênêm garwanya Sang Aji, Yudhisthira ing Ngamarta, Dyah Drupadi jujuluke. Kasapta Wara Sumbadra, dayitèng Dananjaya, Dyah Kunthi kawolunipun, kang ibu katri Pandhawa. Criyos padhalangan ringgit, ginêrba wus samya pêjah, amung satunggal kang dèrèng, (ng)gih punika Darmawangsa. Muksanya mring kaendran, dalah ing saraganipun, praptane ing Suralaya.

Kajian per kata:

Cariyosipun (ceritanya) sang (sang) Aji (raja), Ngamarta (Amarta) Sri Darmawangsa (Sri Darmawangsa), paranbaya (bagaimana) darunane (sebabnya), dene (adapun, sampai) sumare (dimakamkan) ing (di) Dêmak (Demak), kubur (dengan kubur) kalangkung (sangat) panjang (panjang). Ceritanya Sang Raja Amarta Sri Darmawangsa, bagaimana sebabnya sampai dimakamkan di Demak dengan kubur yang sangat panjang.

Di kompleks masjid Demak yang letaknya di belakang masjid, ada sebuah makam dengan nisan yang sangat panjang. Tertulis di nisan itu nama yang dikubur adalah Prabu Darmakusuma. Itu adalah nama lain dari Prabu Puntadewa, atau Sri Darmawangsa, atau Darmaputra. Beliau adalah raja Amarta di cerita pewayangan purwa. Mengapa sampai ada makam Prabu Darmakusuma di kompleks masjid Demak? Bagaimana ceritanya?

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 4

Kajian Sastra Klasik

Kyai Rasika (Kyai Rasika) lingnya (berkata) rum (harum, manis), kabar (berita) makatên (seperti itu) purwanya (asal mulanya). Kyai Rasika berkata manis, “Kabar seperti itu asal mulanya (begini)!”

Kyai Rasika adalah tokoh dalam Serat Centhini yang menjadi juru kunci makam Tegalarum. Beliau ditanya sejumlah orang pada saat ngobrol, bagaimana awal mulanya makam Prabu Darmakusuma ada di kompleks masjid Demak. Demikian penuturannya:

Nalikanira (ketika itu) ing (di) nguni (zaman dulu), mekrading (kembalinya ke surga) natèng (raja para) Pandhawa (Pandawa), mawi (dengan) srana (sarana) pêjah obong (membakar diri). Ketika itu di zaman dahulu, kembalinya ke surga raja Pandawa, dengan sarana membakar diri.

Mekrad berasal dari kata mi’raj dalam bahasa Arab, yakni peristiwa naiknya Nabi Muhammad ke langit. Dalam kata serapan mekrad artinya naik ke kahyangan, tempat di mana ada surga dan neraka. Cara mereka naik ke surga adalah dengan membakar diri. Ini adalah tatacara bagi agama mereka. Kita tidak perlu memberi komentar yang tidak relevan. Cukup diketahui bahwa cara mereka naik ke surga adalah demikian.

Yudhisthira (Yudistira) Sri (Raja) Ngamarta (Amarta), Rahadèn (Raden) Wrêkudara (Werkudara), Janaka (Janaka) myang (dan) arinipun (adiknya), kalih (dua) Nangkula (Nakula) Sadewa (Sadewa). Yudistira Raja Amarta, Raden Werkudara, Janaka dan adiknya, berdua Nakula dan Sadewa.

Yang melakukan itu adalah kelima Pandawa. Yudistira sang Raja Amarta, Raden Werkudara atau Bima, Raden Janaka atau Arjuna, beserta si kembar Nakula dan Sadewa. Mereka berlima melakukan ritual membakar diri. Namun masih ada beberapa perempuan yang menyertai mereka.

Nênêm (keenam) garwanya (istri dari) Sang (Sang) Aji (Raja), Yudhisthira (Yudistira) ing (di) Ngamarta (Amarta), Dyah Drupadi (Dyah Drupadi) jujuluke (namanya, panggilannya). Keenam adalah istri dari Sang Raja, Yudistira di Amarta, Dyah Drupadi namanya.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 5

Kajian Sastra Klasik

Drupadi adalah istri dari Raja Amarta Yudistira. Ini adalah versi pewayangan Jawa (Wayang Purwa). Sedang menurut versi Mahabarata India, Drupadi adalah istri dari kelima Pandawa.

Kasapta (ketujuh) Wara Sumbadra (Wara Sumbadra), dayitèng (istri dari, kekasih) Dananjaya (Arjuna), Dyah Kunthi (Dyah Kunti) kawolunipun (yang kedelapan), kang ibu (yakni ibu) katri (tiga) Pandhawa (Pandawa). Ketujuh Wara Sumbadra, istri dari Arjuna, Dyah Kunti yang kedelapan, yakni ibu dari tiga Pandawa.

Menyertai kelima Pandawa yang membakar diri tadi ada lagi tiga perempuan. Orang yang keenam adalah Dyah Drupadi, yang telah disebut di atas. Yang ketujuh adalah Wara Sumbadra, isti dari Arjuna. Kata dayita artinya kekasih pilihan. Arjuna sendiri beristri banyak, tetapi yang dibawa serta dalam ritual membakar diri menuju surga hanya Wara Sumbadra. Karena istrinya yang ini memang sangat disayang dan merupakan wanita pilihan. Dia adalah adik perempuan dari Sri Batara Kresna, Raja Dwarawati yang amat kesohor di dunia wayang.

Criyos (cerita) padhalangan (pewayangan) ringgit (wayang), ginêrba (diringkas) wus (sudah) samya pêjah (mati semua), amung (hanya) satunggal (satu) kang (yang) dèrèng (belum), (ng)gih punika (yaitu) Darmawangsa (Darmawangsa, Puntadewa). Cerita dalam pewayangan, ringkasnya mereka semua sudah mati, hanya satu yang belum, yakni Darmawangsa (Puntadewa).

Ritual bakar diri tadi berjalan sukses. Semua yang ikut serta berhasil mencapai tujuannya, yakni naik ke surga dengan meninggalkan jasadnya yang terbakar. Hanya satu yang tubuhnya tidak terbakar. Meski demikian dia tetap bisa naik ke langit. Dia adalah Darmawangsa alias Puntadewa.

Muksanya (matinya) mring (menuju) kaendran (kahyangan), dalah (besera) ing (pada) saraganipun (jasadnya), praptane (sesampailah) ing (di) Suralaya (Suralaya). Matinya menuju kahyangan, beserta jasadnya, sampailah dia di Suralaya.

Muksa adalah cara mati dengan lenyap beserta raganya. Kematian ini menurut kepercayaan dalam dunia pewayangan (karena yang diceritakan

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 6

Kajian Sastra Klasik

ini adalah dunia pewayangan) adalah cara kematian yang sempurna. Hanya orang yang telah mencapai tingkat sempurna dalam kehidupan dunia saja yang berhasil mati dengan cara muksa. Kaendran adalah istana (di kahyangan) yang ditempati Batara Enda. Tempat ini juga disebut surga. Sedangkan Suralaya adalah dunia tempat tinggal dewata. Kaendran hanyalah salah satu tempat di Suralaya.

Jika Darmawangsa sudah mencapai Kaendran dengan membawa serta jasadnya bagaimana mungkin makamnya ada di Demak?

Nantikan kajian berikutnya!

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 7

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (132:27-32): Yudhistira Disuruh Kembali Ke Dunia

Pupuh 132 Asmaradana (metrum: 8i, 8a, 8e/8o, 8a, 7a, 8u, 8a), bait ke-27 sampai bait ke-32, Serat Centhini:

Pinanggiyan Hyang Pramèsthi, tinanya darunanira, Hyang Guru pangandikane, èh titah ulun Ki Darma, sira mulih mring jaman, langgêng ing salaminipun, têka ngangge badan wadhag. Apa sira boya mati, lantaran tumamèng wangwa. Yudhisthira matur alon, dhuh Hyang-hyang kang kinawasa, anitahkên kawula, kauningana pukulun, kula ugi malbèng wangwa. Abipraya èstu nunggil, lawan kadang warga rena, wus sampurna sadayane, nanging mung ulun priyangga, kang botên sagêd sirna. Dhuh Sang Hyang-hyanging pukulun, wontênna apurèng Tuwan, ambirat sagunging sisip. Hyang Odipati ngandika, hèh Yudhisthira sang katong, ing samêngko karsaningwang, sira bêcik baliya, marang ing ngarcapadèku, yèn raganta durung sirna. Apan boya sunlilani, mulih marang ing kaswargan, sabab kaswargan yêktine, panggonan kang luwih mulya, sarta suci sadaya. Nadyan kabèh titahingsun, manungsa kang tinggal donya, padha mulih marang pati, iya pasthi tinggal raga, wus badan alus aranne. Mula kaki prabu sira, samêngko durung kêna, munggah marang suwarga gung, nêmbah lèngsèr sri narendra.

Kajian per kata:

Pinanggiyan (ditemui) Hyang Pramèsthi (Hyang Guru), tinanya (ditanya) darunanira (sebabnya), Hyang Guru (Hyang Guru) pangandikane (berkata), èh (Hai) titah (makhluk) ulun (aku) Ki Darma (Ki Darma), sira (engkau) mulih (kembali) mring (ke) jaman (zaman), langgêng (abadi) ing (untuk) salaminipun (selamanya), têka (mengapa) ngangge (membawa) badan (badan) wadhag (kasar). Ditemui Hyang

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 8

Kajian Sastra Klasik

Guru, ditanya apa sebabnya, Hyang Guru berkata: “Hai makhlukku Ki Darma, engkau kembali ke zaman abadi untuk selamanya, mengapa membawa badan kasar?”

Pada kajian yang lalu telah diuraikan bahwa Yudhistira menjalani ritual bakar diri untuk menyempurnakan kehidupannya, yakni agar ruhnya bisa naik ke Suralaya berkumpul dengan para dewata. Namun yang terjadi, tubuh kasar Yudhistira tidak bisa mati. Dia lalu naik ke Suralaya dengan tubuh kasarnya itu. Hal ini mencengangkan Hyang Guru. Oleh karena itu dalam bait ini Yudhistira ditanya mengapa dia ke kahyangan dengan tubuh kasarnya itu?

Apa (apa) sira (engkau) boya (tidak) mati (mati), lantaran (karena) tumamèng (terkena) wangwa (api). “Apakah engkau tidak mati karena terkena api?”

Hyang Guru bertanya mengapa tubuhnya tidak sirna karena terkena api? Atau apakah engkau tidak masuk ke dalam api sehingga tubuh kasarmu dapat engkau tinggalkan di dunia?

Yudhisthira (Yudhistira) matur (berkata) alon (pelan), dhuh (dhuh) Hyang-hyang (Para Dewata) kang (yang) kinawasa (berkuasa), anitahkên (menciptakan) kawula (hamba), kauningana (ketahuilah) pukulun (paduka), kula (hamba) ugi (juga) malbèng (masuk ke dalam) wangwa (api). Yudhistira berkata pelan, “Dhuh Para Dewata yang berkuasa menciptakan hamba, ketahuilah paduka, hamba juga masuk ke dalam api.”

Yudhistira mengatakan kala dirinya juga sudah menjalani ritual ke dalam api sebagai cara untuk meninggalkan tubuh kasarnya di dunia. Upacara itu sebagai penegasan bahwa tugasnya di dunia telah selesai dan dia ingin mencapai kesempurnaan dengan hidup kekal di kahyangan.

Abipraya (satu kehendak, satu hati) èstu (sungguh) nunggil (bersama), lawan (dengan) kadang (saudara) warga (keluarga) rena (ibu), wus (sudah) sampurna (sempurna) sadayane (semuanya), nanging (tetapi) mung (hanya) ulun (hamba) priyangga (sendiri), kang (yang) botên (tidak) sagêd (bisa) sirna (sirna). Satu kehendak sungguh bersama dengan

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 9

Kajian Sastra Klasik

saudara keluarga dan ibu, sudah sempurna semuanya, tetapi hanya hamba sendiri yang tidak bisa sirna (raganya).

Yudhistira mengatakan kalau dirinya sudah mantap, sudah satu kehendak bersama dengan saudara, keluarga dan sang ibu, untuk mengakhiri kehidupan duniawinya.

Dhuh (Wahai) Sang (Sang) Hyang-hyanging (tuan dari tuan) pukulun (Paduka), wontênna (adakan, sudilah memberi) apurèng (ampunan) Tuwan (Tuan), ambirat (menghilangkan) sagunging (segala) sisip (kesalahan). “Wahai Sang Tuan dari Tuan, Paduka sudilah kiranya memberi ampunan Tuan, untuk menghilangkan segala kesalahan (hamba).

Yudhistira meminta pengampunan atas terjadinya kesalahan yang mungkin dia lakukan sehingga badan kasarnya tidak mau mati. Sudilah kiranya Sang Hyang Guru menyelesaikan masalah yang menimpanya. Sudilah kiranya menerima kehadirannya di surga sebagai hamba.

Hyang Odipati (Hyang Guru) ngandika (berkata), hèh (hai) Yudhisthira (Yudhistira) sang (sang) katong (raja), ing (saat) samêngko (sekarang) karsaningwang (kehendakku), sira (engkau) bêcik (lebih baik) baliya (kembalilah), marang (ke) ing (pada) ngarcapadèku (alam dunia), yèn (kalau) raganta (ragamu) durung (belum) sirna (sirna). Hyang Guru berkata, “Hai Yudhistira sang raja, saat ini perintahku, engkau lebih baik kembalilah kepada alam dunia, kalau ragamu belum sirna.”

Hyang Odipati adalah nama lain dari Hyang Guru. Dia menolak menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Yudhistira. Dia menyuruh Yudhistira kembali ke alam dunia untuk menyelesaikan sendiri perihal tubuhnya yang tak bisa mati tersebut.

Apan (karena) boya (tidak) sunlilani (kuijinkan), mulih (kembali) marang (ke) ing (pada) kaswargan (alam surgawi), sabab (sebab) kaswargan (alam surgawi) yêktine (sungguh), panggonan (tempat) kang (yang) luwih (lebih) mulya (mulia), sarta (serta) suci (suci) sadaya (semuanya). Karena tak kuijinkan kembali kepada alam surgawi, sebab alam surgawi sungguh tempat yang lebih mulia, serta suci semuanya.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 10

Kajian Sastra Klasik

Yudhistira tak diijinkan memasuki alam surgawi karena masih membawa raganya. Sebab alam surgawi adalah tempat yang mulia dan suci, langgeng tak berubah dan tidak akan rusak. Sedangkan raga manusia akan terus berubah , rusak, menua dan sirna.

Nadyan (walau) kabèh (semua) titahingsun (makhlukku), manungsa (manusia) kang (yang) tinggal (meninggal) donya (dunia), padha (semua) mulih (kembali) marang (kepada) pati (kematian), iya (juga) pasthi (pasti) tinggal (meninggalkan) raga (raga), wus (sudah) badan (badan) alus (halus) aranne (namanya). Walau semua makhlukku, manusia yang meninggal dunia semua kembali kepada kematian, juga pasti meninggalkan raganya, sudah badan halus namanya.

Semua manusia yang mati akan kembali ke surga, tapi tak satupun dari mereka membawa tubuh kasarnya. Semua meninggalkan tubuhnya di dunia. Itulah prosedur jika engkau ingin masuk ke alam surga. Tinggalkan badan kasarmu di alam dunia karena surga bukan tempat untuk badan kasar.

Mula (karena itu) kaki (anak) prabu (prabu) sira (engkau), samêngko (sekarang) durung (belum) kêna (boleh), munggah (naik) marang (ke) suwarga (surga) gung (agung). Karena itu anak prabu, engkau sekarang belum boleh naik ke surga yang agung.

Karena Yudhistira belum meninggalkan badan kasarnya, maka dia belum boleh naik ke surga yang agung, yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang telah mati meninggalkan raganya.

Nêmbah (menyembah) lèngsèr (dan mundur) sri (sang) narendra (raja). Menyembah dan mundur Sang Raja (Yudhistira).

Raja Yudhistira menurut perintah Hyang Guru. Meski kecewa dia patuh kepada kehendak perintah Sang Tuan. Yudhistira menyembah seraya mundur untuk kembali ke dunia.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 11

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (132:33-36): Yudhistira Bertapa Di Hutan Glagah Wangi

Pupuh 132 Asmaradana (metrum: 8i, 8a, 8e/8o, 8a, 7a, 8u, 8a), bait ke-33 sampai bait ke-36, Serat Centhini:

Wangsul Marcapada malih, tumindak mangalèr sêdya, amamati sarirane. Lajêng anggêbyur samodra, sumilêm praptèng dhasar, nanging mêksa datan lampus, laminya nêmatus warsa. Lagyantuk sasmitèng Widdhi, tinuduh kinèn martapa, nèng Majapait tlatahe, dumununga têngah wana, Glagahwangi namanya. Wus pinasthi ing Hyang Agung, dadya jalaran antaka. Nahan Sri Yudhisthira ji, mituhèng sasmitatama, mêntas saking samodrane, nêtêpi ingkang pitêdah, jênêk amangun tapa. Prabawa ratu linuhung, ing Galagah wangi wana, katingal singup awingit, singite kalintang-lintang. Janma sato mara layon, mila tan na wani ngambah, gawat kaliwat-liwat. Sabên ari kêmul pêdhut, manthêr tejaning kusuma.

Kajian per kata:

Wangsul (kembali) Marcapada (alam dunia) malih (lagi), tumindak (berjalan menuju) mangalèr (ke utara) sêdya (maksud), amamati (agar mati) sarirane (dirinya). Kembali ke alam dunia lagi, berjalan menuju utara dengan maksud agar mati dirinya.

Prabu Yudhistira kembali lagi ke dunia. Dia bertekad segera menyempurnakan kehidupannya agar bisa segera naik ke kahyangan. Jalan apapun yang segera mempercepat kematiannya akan dia tempuh. Tujuannya adalah ke utara, ke pantai.

Lajêng (lalu) anggêbyur (menceburkan diri) samodra (ke lautan), sumilêm (menyelam) praptèng (sampai ke) dhasar (dasar), nanging (tetapi) mêksa (tetap) datan (tidak) lampus (mati), laminya (lamanya) nêmatus (enam ratus) warsa (tahun). Lalu menceburkan diri ke lautan,

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 12

Kajian Sastra Klasik

menyelam sampai ke dasar, tetapi tetap tidak mati, lamanya sampai enam ratus tahun.

Sesampai di pantai dia segera menceburkan diri ke laut. Terus sengaja tenggelam sampai ke dasar samudera. Namun keinginannya untuk mati tak terlaksana. Dia tetap hidup di dasar samudera sampai 600 tahun kemudian.

Lagyantuk (baru mendapat) sasmitèng (isyarat dari) Widhi (Tuhan Maha Benar), tinuduh (ditunjukkan) kinèn (disuruh) martapa (bertapa), nèng (di) Majapait (Majapahit) tlatahe (daerahnya), dumununga (bertempatlah) têngah (tengah) wana (hutan), Glagahwangi (Glagahwangi) namanya (namanya). Baru mendapat isyarat dari Tuhan Yang Maha Benar, ditunjukkan agar bertapa di daerah Majapahit, agar bertempat di tengah hutan, Glagahwangi namanya.

Setelah hidup di dasar lautan tanpa kepastian selama 600 tahun, barulah Raja Yudhistira mendapat isyarat dari Tuhan Yang Maha Benar. Ditunjukkan jalan yang cepat untuk mencapai kematian. Caranya, agar dia bertapa di tengah hutan di wilayah Glagahwangi, yang masih termasuk wilayah Majapahit.

Wus (sudah) pinasthi (dipastikan) ing (oleh) Hyang (Tuhan) Agung (Maha Agung), dadya (menjadi) jalaran (sebab) antaka (kematiannya). Sudah dipastikan oleh Tuhan Maha Agung, menjadi sebab kematiannya.

Sudah dipastikan oleh Tuhan bahwa di daerah itu akan ada sebab yang mempercepat kematiannya.

Nahan (Alkisah) Sri Yudhisthira (Sri Yudhistira) ji (sang raja), mituhèng (mematuhi) sasmitatama (isyarat yang baik itu), mêntas (keluar) saking (dari) samodrane (lautan), nêtêpi (menetapi) ingkang (yang) pitêdah (petunjuk), jênêk (nyaman, yang lebih tepat; asyik) amangun tapa (bertapa). Alkisah Sri Yudhistira sang raja, mematuhi isyarat baik itu, keluar dari lautan, menepati petunjuk, asyik bertapa.

Sang Raja Yudhistira keluar dari lautan untuk mematuhi isyarat yang baik itu. Mematuhi wangsit dari Tuhan agar bertapa di Glagahwangi. Yudhistira melakukan tapa dengan sepenuh hati. Kata jenek artinya

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 13

Kajian Sastra Klasik

nyaman dan senang. Terjemahan yang tepat: asyik, (dari kata Arab ‘asyiq) yang artinya sangat menyukai apa yang dilakukan itu.

Prabawa (pengaruh wibawa) ratu (raja) linuhung (mulia), ing (di) Galagah (Glagah) wangi (wangi) wana (hutan), katingal (terlihat) singup (kelam) awingit (angker), singite (keangkerannya) kalintang-lintang (sangat-sangat). Karena pengaruh wibawa raja mulia, di hutan Glagahwangi tertihat kelak angker, keangkerannya sangat-sangat.

Karena Yudhistira adalah raja dan ksatria besar, pertapaan yang dilakukannya membawa pengaruh terhadap keberadaan hutan Glagahwangi. Kekuatan spiritualnya telah mengubah hutan itu menjadi sangat angker. Singup artinya tampak gelap membuat merinding. Wingit artinya angker, seolah ada penunggunya. Singit artinya tersembunyi, seolah tertutup sesuatu. Tiga gambaran tadi menyatakan dengan jelas keangkeran hutan Glagahwangi yang menyeramkan setelah didiami Raja Yudhistira.

Janma (manusia) sato (hewan) mara (datang) layon (menmui kematian), mila (maka) tan (tak) na (ada) wani (berani) ngambah (merambah), gawat (gawat) kaliwat-liwat (sangat-sangat). Manusia dan hewan yang datang menemui kematian, maka tak ada yang berani merambah, sangat-sangat gawat.

Setiap manusia atau hewan yang masuk akan menemui kematian karena berbagai sebab. Ada ungkapan dalam dunia pewayangan untuk menggambarkan keangkeran hutan, .jalma mara jalma mati (manusia datang pasti mati). Karena itu tak sembarang orang berani merambah hutan Glagahwangi

Sabên (setiap) ari (hari) kêmul (diselimuti) pêdhut (kabut), manthêr (memancar) tejaning (sinar) kusuma (sang ksatria). Setiap hari diselimuti kabut, memancar sinar sang ksatria.

Setiap hari di hutan Glagahwangi tampak diselimuti kabut tebal. Ada cahaya memancar dari tempat sang raja bertapa.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 14

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (132:37-40): Keanehan Di Hutan Glagahwangi, Sunan Kalijaga Turun Tangan

Pupuh 132 Asmaradana (metrum: 8i, 8a, 8e/8o, 8a, 7a, 8u, 8a), bait ke-33 sampai bait ke-36, Serat Centhini:

Jaman Majapahit akir, sanggyaning kang Waliyolah, amurwa yun yasa kraton, prênah Glagahwangi wana, punika nagri Dêmak. Utusan (m)babati gupuh, ewon kang samya tumandang. Binabat sakenjing rêsik, sontênipun angrêmbaka, awit sontên pambabate, enjing pulih angrêmbaka. Tan ana sewahira, kadya dhinangir rinabuk, kawêkèn kang nambut karya. Abipraya rêmbugnèki, tur uning Sunan Satmata, ing Girigajah kadhaton. Kang umentar wus lumêpas, prapta atur uninga, madya ing wasananipun, dènnira ambabat wana. Sunan Giri wusing tampi, ature kang babat wana, animbali Sunan Lèpèn, cinundaka mariksaa, ngiras dadya pangarsa. Sawusira tampi dhawuh, kapungkur Giri kadhatyan.

Kajian per kata:

Jaman (zaman) Majapahit (Majapahit) akir (akhir), sanggyaning (semua) kang (yang) Waliyolah (Waliyullah), amurwa (memulai) yun (hendak) yasa (membuat) kraton (kraton), prênah (letaknya) Glagahwangi (glagahwangi) wana (hutan), punika (yakni) nagri (negara) Dêmak (Demak). Di zaman akhir kekuasaan Majapahit, semua para Waliyullah hendak memulai membuat keraton (baru), letaknya di hutan Glagahwangi, yakni negara Demak.

Di zaman akhir kekuasaan negara Majapahit para wali yang dikenal dengan sebutan wali sanga sepakat untuk mendirikan negara baru yang berlandaskan agama Islam. Letak dari negara baru itu mengambil tempat di hutan Glagahwangi. Negara baru ini kelak dinamakan negara Demak.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 15

Kajian Sastra Klasik

Utusan (menyuruh) (m)babati (membabat) gupuh (segera), ewon (ribuan) kang (yang) samya (bersama) tumandang (mengerjakan). (Para wali) menyuruh untuk membabat segera, ribuan yang bersama mengerjakan.

Para wali segera menyuruh para santri untuk membabat hutan Glagahwangi sebagai bakal calon ibukota negara baru itu. Ribuan orang yang mengerjakan.

Binabat (dibabat) sakenjing (dipagi hari) rêsik (bersih), sontênipun (sorenya) angrêmbaka (tumbuh lagi), awit (mulai) sontên (sore) pambabate (dibabatnya), enjing (esoknya) pulih (kembali) angrêmbaka (tumbuh berkembang). (Hutan itu) dibabat di pagi hari bersih, sorenya tumbuh lagi, mulai sore dibabatnya esoknya kembali tumbuh berkembang.

Para pembabat hutan itu menemui keanehan selama mengerjakan tugas. Ketika di pagi hari hutan sudah dibabat sampai bersih sorenya sudah tumbuh lagi. Ketika sore dibabat bersih paginya sudah menjadi hutan seperti sedia kala.

Tan (tak) ana (ada) sewahira (perubahannya), kadya (seperti) dhinangir (disiangi) rinabuk (dipupuk), kawêkèn (kerepotan) kang (yang) nambut karya (mengerjakan). Tak ada perubahannya seperti disiangi dan dipupuk, kerepotan yang mengerjakan.

Para santri yang mengerjakan pembabatan hutan mengalami kerepotan. Hutan Glagahwangi yang setiap hari dibabat hampir tidak ada perubahannya. Setiap kali dibabat segera tumbuh lagi seperti sedia kala. Meski sudah berhari-hari dikerjakan, hampir tak ada bekas-bekasnya.

Abipraya (satu kehendak) rêmbugnèki (mereka berembug), tur uning (melapor ke) Sunan (Sunan) Satmata (Satmata), ing (di) Girigajah (Girigajah) kadhaton (kedaton). Satu kehendak mereka berembug, hendak melapor ke Sunan Satmata di kedaton Girigajah.

Yang mengerjakan pembabatan hutan sudah menyerah tak mampu lagi mengatasi keanehan yang terjadi. Mereka sepakat untuk melaporkan keanehan itu kepada Sunan Satmata di kedaton Girigajah. Sunan Satmata adalah Sunan Giri, atau juga dikenal sebagai Prabu Satmata. Beliau adalah

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 16

Kajian Sastra Klasik

penguasa spritual tanah Jawa, pemimpin para wali. Sunan Giri mempunyai tempat yang hampir mirip negara merdeka, yakni di gunung Giri atau dikenal sebagai Giri Kedaton. Dalam serat Centhini ini disebut kedaton Girigajah.

Kang (yang diutus) umentar (berangkat) wus (sudah) lumêpas (melesat), prapta (sampai) atur uninga (melaporkan), madya (tengah perkerjaan) ing (sampai) wasananipun (akhirnya), dènnira (dalam mereka) ambabat (membabat) wana (hutan). Yang diutus berangkat sudah melesat segera, sesampainya segera melapor, awal sampai akhir dalam mereka membabat hutan.

Utusan para pembabat segera berangkat ke Girigajah dengan segera. Sesampainya di Girigajah melaporkan kepada Sunan Giri tentang keanehan yang mereka temui dalam membabat hutan. Semua dilaporkan dengan rinci mulai awal sampai akhir.

Sunan Giri (Sunan Giri) wusing (setelah) tampi (menerima), ature (laporan) kang (yang) babat (membabat) wana (hutan), animbali (memanggil) Sunan Lèpèn (Sunan Lepen, Sunan Kalijaga), cinundaka (diutus) mariksaa (memeriksa), ngiras (sambil) dadya (menjadi) pangarsa (pemimpin). Sunan Giri setelah menerima laporan dari pembabat hutan, memanggil Sunan Kalijaga, untuk diutus memeriksa sambil diserahi tugas sebagai pemimpin.

Sunan Giri tanggap bahwa ada sesuatu yang besar di Glagahwangi. Beliau lalu memanggil Sunan Lepen. Sunan Lepen atau Sunan Kali, adalah nama panggilan dari Sunan Kalijaga. Kepada Sunan Lepen beliau mengutus untuk memeriksa sekaligus memimpin pekerjaan pembabatan hutan Glagahwangi tersebut.

Sawusira (sesudah) tampi (menerima) dhawuh (perintah), kapungkur (meninggalkan) Giri (Giri) kadhatyan (Kedaton). Sesudah menerima perintah, meninggalkan Giri Kedaton.

Sunan Kalijaga sesudah menerima perintah segera meninggalkan Giri Kedaton untuk menuju hutan Glagahwangi.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 17

Kajian Sastra Klasik

Apa yang terjadi di hutan Glagahwangi sehingga muncul keanehan tersebut dan bagaimana cara Sunan Kalijaga mengatasi masalah tersebut? Nantikan dalam kajian berikutnya!

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 18

Kajian Sastra Klasik

Pupuh 133

Pangkur

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 19

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (133:1-5): Sunan Kalijaga Bertemu Prabu Yudhistira Yang Sedang Bertapa

Pupuh 132 Pangkur (metrum: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i), bait ke-1 sampai bait ke-5, Serat Centhini:

Praptèng têpi Glagahganda, Sunan Lèpèn uluk salamira glis, assalamu ngalaekum. Sanalika wus sirna, pêpêdhut kang angawêngi ing wana gung, satêmah katingal padhang, (n)Jêng Sunan nulya umanjing. Ngidêri sajroning wana, dupi rawuh madyaning wana wingit, uning janma agêng luhur, manthêr sunaring teja. Lawan janma samangke gêng luhuripun, kintên-kintên tikêl tiga, dhiwut-dhiwut wulunèki. Rema gimbal wulu panjang, lênggah munggèng sangandhaping waringin, sela gilang tlèmèkipun. Patrape dènnya lênggah, suku têngên jegang kang kiwa saluku, sarira sêndhên mandira. Astanira ingkang kering, tumumpang ing pundhak kanan, asta kanan (ng)gêgêm sarta pinundhi, wontên ing sanginggilipun, pilingan ingkang kanan. Sunan Lèpèn tandya amrêpêki gupuh, manêmbrama manuara, urmat asung salamnèki. Nanging datan winangsulan, Yudhisthira mandêng kewala aming, Sunan Kali kêndêl (n)jêtung, ngunandikèng wardaya. Datan dangu tumuwuh osiking kalbu, kinira-kirèng wardaya, baya wong Buda puniki.

Kajian per kata:

Praptèng (sesampai di) têpi (pinggir) Glagahganda (Glagahwangi), Sunan Lèpèn (Sunan Kalijaga) uluk salamira (menyampaikan salam) glis (segera), assalamu ngalaekum (assalamu’alaikum). Sesampai di tepi hutan Glagahwangi, Sunan Kalijaga menyampaikan salam segera, assalamu’alaikum.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 20

Kajian Sastra Klasik

Glagahganda artinya sama dengan Glagahwangi. Dalam bahasa Jawa seringkali nama tempat disebut dengan kata lain yang artinya mirip, seperti Banyumas sering disebut Toyamas. Banyu artinya sama dengan toya. Nama Mataram sering disebut Ngeksiganda. Nama Boyolali sering diplesetkan Bajulkesupen, dll.

Sesampai di tepi hutan Glagahwangi Sunan Kalijaga mengucapkan salam untuk para penghuni hutan. Karena telah dicurigai bahwa keanehan yang terjadi adalah karena di hutan Glagahwangi ada penghuninya yang mengganggu pekerjaan pembabatan hutan tersebut. Sunan Kalijaga hendak menemui si pengganggu dengan cara yang baik-baik. Maka yang pertama diucapkan adalah perkataan salam: Assalamu’alaikum, artinya semoga keselamatan untuk engkau semua.

Sanalika (seketika) wus (sudah) sirna (sirna), pêpêdhut (segala kabut) kang (yang) angawêngi (meliputi) ing (pada) wana (hutan) gung (besar, seluruh), satêmah (sehingga) katingal (nampak) padhang (terang), (n)Jêng Sunan (Kangjeng Sunan) nulya (segera) umanjing (masuk). Seketika sudah hilang segala kabut yang meliputi seluruh hutan, sehingga nampak terang, Kangjeng Sunan segera masuk (ke hutan).

Ucapan salam direspon dengan baik oleh para penunggu hutan. Tandanya, kabut yang menyelimuti hutan seketika sirna. Hutan Glagahwangi nampak terang benderang. Kangjeng Sunan Kalijaga segera masuk ke dalam hutan untuk mengetahui sebab apa yang menjadi sumber keanehan di situ.

Ngidêri (memutari) sajroning (di dalam) wana (hutan), dupi (ketika) rawuh (datang, sampai) madyaning (di tengah) wana (hutan) wingit (gawat), uning (melihat, mengetahui) janma (manusia) agêng (besar) luhur (tinggi), manthêr (memancar) sunaring (sinar) teja (cahaya). Memutari di dalam hutan, ketika sampai di tengah hutan melihat manusia besar dan tinggi, memancar sinar cahaya (darinya).

Sunan Kalijaga memutari seluruh isi hutan untuk mencari sesuatu yang janggal yang sekiranya menjadi penyebab keanehan di hutan Glagahwangi. Ketika sampai di tengah hutan yang masih gawat, yang

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 21

Kajian Sastra Klasik

tampak belum dijamah manusia, terlihat olehnya manusia yang besar dan tinggi. Dari tubuh manusia besar itu memancar sinar cahaya.

Lawan (dibanding) janma (manusia) samangke (sekarang) gêng (besar) luhuripun (tingginya), kintên-kintên (kira-kira) tikêl (lipat) tiga (tiga), dhiwut-dhiwut (penuh tubuhnya oleh) wulunèki (bulunya). Dibanding manusia zaman sekarang besar dan tingginya lipat tiga, sekujur tubuhnya penuh bulu tebal.

Manusia di tengah hutan itu demikian besarnya, dibanding manusia sekarang besarnya tiga kali lipat. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh bulu-bulu yang tebal. Dhiwut-dhiwut artinya tubuhnya penuh bulu.

Rema (rambut) gimbal (gimbal) wulu (bulu) panjang (panjang), lênggah (duduk) munggèng (pada posisi) sangandhaping (di bawah) waringin (pohon beringin), sela (batu) gilang (rata licin) tlèmèkipun (alasnya). Rambutnya gimbal, bulunya panjang, duduk pada posisi di bawah pohon beringin, batu rata licin alasnya.

Rambut gimbal adalah rambut yang kempal dan kusut, seperti lama tak keramas. Sekujur tubuh manusia besar itu dipenuhi bulu-bulu yang panjang, brewokan. Karena memang sudah lama bertapa dan tidak pernah bercukur. Posisi duduknya di bawah pohon beringin, beralaskan sela gilang, yakni batu yang atasnya rata dan halus licin.

Patrape (sikapnya) dènnya (dalam dia) lênggah (duduk), suku (kaki) têngên (kanan) jegang (jegang) kang (kaki) kiwa (kiri) saluku (selonjoran), sarira (badan) sêndhên (bersandar) mandira (pohon). Sikap tubuhnya dalam dia duduk, kaki kanan jegang, kaki kiri selonjoran, badan bersandar pada pohon.

Jegang adalah posisi duduk dengan satu kaki diangkat dengan ditekuk, tapak kaki menapak batu. Kaki kanan jegang, kaki kiri selonjoran, tubuhnya bersandar pada pohon. Gesture tubuh si manusia raksasa ini mengesankan dia menunggu sesuatu yang akan segera datang, dengan penuh percaya diri. Mengesankan bahwa dia tidak takut terhadap apapun yang akan dia temui.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 22

Kajian Sastra Klasik

Astanira (tangannya) ingkang (yang) kering (kiri), tumumpang (menumpang) ing (di) pundhak (pundak) kanan (kanan), asta (tangan) kanan (kanan) (ng)gêgêm (menggenggam) sarta (serta) pinundhi (diangkat), wontên (ada) ing (di) sanginggilipun (atasnya), pilingan (kening) ingkang (yang) kanan (kanan). Tanggannya yang kiri ditumpangkan di pundak kanan, tangan kanan menggenggam serta diangkat di atas kening yang kanan.

Sikap kedua tangan dari si raksasa itu, tangan kiri disilangkan di depan dada telapaknya menumpang di atas pundak kanan. Adapun tangan kanan terlihat menggenggam dan diangkat di atas kening kanan. Sikap tangan kanan ini seolah sedang menggenggam sesuatu barang yang dimuliakan.

Sunan Lèpèn (Sunan Kalijaga) tandya (segera) amrêpêki (mendekati) gupuh (dengan tergesa), manêmbrama (menyambut) manuara (dengan sikap manis), urmat (hormat) asung (memberi) salamnèki (salam padanya). Sunan Kalijaga segera mendekati dengan tergesa, menyambut dengan manis, hormat memberi salam kepadanya.

Gupuh artinya tergesa-gesa seperti orang yang kaget karena melihat sesorang yang terhormat. Seperti ketika ada orang besar, guru atau atasan yang datang ke rumah kita, ketika kita melihat langsung kita segera menyambutnya. Sunan Kalijaga pun memperlakukan orang besar itu dengan demikian, sebagai tanda penghormatan dan memuliakan orang besar itu. Dalam hati Sunan Kalijaga telah menduga bahwa orang besar ini bukan sembarang orang, dan mungkin inilah penyebab terjadinya keanehan yang terjadi di hutan Glagahwangi. Sunan Kalijaga mendekat dengan hormat sambil menyampaikan salam. “Assalamu’alaikum!”

Nanging (tetapi) datan (tidak) winangsulan (dijawab), Yudhisthira (Yudhistira) mandêng (melihat) kewala (saja) aming (hanya), Sunan Kali (Sunan Kalijaga) kêndêl (diam) ( n)jêtung (terpaku), ngunandikèng (hanya membatin) wardaya (dalam hati). Tetapi tidak dijawab, Yudhistira hanya melihat saja, Sunan Kalijaga berdiam terpaku, hanya membatin dalam hati.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 23

Kajian Sastra Klasik

Namun respon orang tinggi besar yang ternyata adalah Raja Yudhistira itu dingin. Dia hanya memandang saja seolah tak mengerti bahasa yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sejenak diam terpaku, hatinya bertanya-tanya mengapa orang besar itu hanya diam rak merespon salamnya.

Datan (tak) dangu (lama) tumuwuh (timbul) osiking (pikiran) kalbu (dalam hati), kinira-kirèng (mengira-ira) wardaya (dalam hati), baya (apakah) wong (orang) Buda (Budha) puniki (ini). Tak lama timbul pikiran dalam hati, mengira-ira dalam hati apakah mungking orang ini orang Budha.

Sunan Kalijaga tertegun melihat orang besar itu. Ketika orang tadi tidak merespon salamnya Sang Sunan yang bijak mulai menduga apakah orang itu diam karena tidak mengerti bahasa yang disampaikannya. Apakah mungking orang besar ini adalah orang dari zaman Budha sehingga tak paham dengan apa yang disampaikan kepadanya?

Kata Buda (dibaca Budo) dalam bait ini yang dimaksud adalah agama sebelum Islam. Pada zaman sebelum Demak orang Jawa umumnya menganut agama Hindu atau Budha atau lainnya. Namun dalam literatur Jawa klasik penyebutan kepada mereka adalah para pemeluk Buda. Baik kepada orang beragama Hindu atau Budha.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 24

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (133:6-12): Sunan Kalijaga Bertanya Maksud Pertapaan Prabu Yudhistira

Pupuh 133 Pangkur (metrum: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i), bait ke-6 sampai bait ke-12, Serat Centhini:

(n)Jêng Sunan sampun widagda, têmbung Buda dènnya asung pambagi. Mênggah mangke têmbungipun, dhuh sang nêmbe kapanggya, kula nilakrami ing sanak satuhu, sintên jujuluk sampeyan, tuwin kawijilan pundi. Punapa ingkang sinêdya, dene lênggah nèng wana tanpa kanthi, miwah ing pasêmonipun, kadi nandhang sungkawa. Kang tinanya mangêrtos lajêng umatur, ugi cara basa Buda, makatên Jawinirèki. O ênggèh kiyai sanak, jêngandika satuhu wus udani, lêpasing tyas kang kalimput, kula Ki Yudhisthira, kawijilan saking Ngamarta rumuhun, duk ing nguni jaman Buda, maksih Brahma kang agami. (n)Jêng Sunan Kali duk myarsa, langkung ngungun nulya tatanya malih, kisanak kala rumuhun, mlampah damêl punapa. Walèh-walèh punapa kala rumuhun, sayêtosipun kawula, jumênêng sri narapati, kadhaton nagri Ngamarta, Yudhisthira inggih jujuluk mami. Balik sampeyan sang luhung, ing wingking kang pinangka, lan ing ngajêng lajêr sêdyanirèng kalbu, miwah sintên kang sinambat. Dhuh Yudhisthira sang aji, andangu nami kawula, Sunan Kalijaga kalêbêt Wali, saking tlatah Majalangu, ing Girigajahpura. Dhatêng kula saèstune dipunutus, Sunan Giri lurah amba, pêrlu kinèn mariksani. kawontênane kang wana, dene têka wontên ingkang (n)dahwèni, damêl wilalat satuhu, maring kang sami babat. Sampun kula salasak ing wana kêmput, samya tan na kara-kara, muhung andika pribadi.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 25

Kajian Sastra Klasik

Kajian per kata:

(n)Jêng Sunan (Kangjeng Sunan) sampun (sudah) widagda (pintar, sempurna ilmunya), têmbung (bahasa) Buda (agama Budha) dènnya (dia pakai) asung (memberi) pambagi (salam). Kangjeng Sunan sudah sempurna ilmunya, segera memakai bahasa Budha dia pakai untuk memberi salam.

Sunan Kalijaga adalah wali yang bijaksana dan sempurna ilmunya. Mengetahui bahwa si lawan bicara tak mengerti bahasanya segera menyapa dengan bahasa yang dipakai kalangan agama Budha. Mungkin yang dimaksud adalah bahasa Jawa Kuna atau semacamnya. Mengingat Prabu Yudhistira hidup di zaman dahulu. Menurut serat Pustaka Raja Purwa kerajaan Astina muncul di sekitar tahun 800 Saka. Zaman keemasan kerajaan itu ketika diperintah oleh Yudhistira sebagai Maharaja yang membawahi tanah Jawa bagian timur. Di tahun-tahun itu orang Jawa masih memakai bahasa Jawa Kuna dalam percakapan sehari-hari.

Mênggah mangke (adapun) têmbungipun (perkataannya), dhuh (duhai) sang (yang) nêmbe (baru saja) kapanggya (bertemu), kula (saya) nilakrami (bertanya, dengan hormat) ing (pada) sanak (saudara) satuhu (sungguh), sintên (siapa) jujuluk (panggilan) sampeyan (Anda), tuwin (serta) kawijilan (asal) pundi (dari mana). Adapun perkataan (Sang Sunan) sebagai berikut, “Duhai saudara yang baru saja bertemu, saya bertanya dengan hormat pada saudara sungguh, siapa panggilan saudara serta asal dari mana?”

Dalam serat Panitisastra, kata silakrama artinya sikap hormat, nilakrama dalam bait ini artinya menyela dengan hormat untuk bertanya siapa nama dan asalnya. Pertanyaan Sunan Kalijaga tersebut diucapkan dalam bahasa Jawa Kuna yang kira-kira bisa dimengerti oleh sang pertapa.

Punapa (apakah) ingkang (yang) sinêdya (dikehendaki), dene (adapun, mengapa) lênggah (duduk) nèng (ada di) wana (hutan) tanpa (tanpa) kanthi (pengiring), miwah (serta) ing (dalam) pasêmonipun (raut mukanya), kadi (seperti) nandhang (mengalami) sungkawa (kesedihan).

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 26

Kajian Sastra Klasik

Apakah yang dikehendaki sampai duduk di hutan tanpa pengiring, serta dalam raut muka terlihat seperti mengalami kesedihan.

Sunan Kalijaga bertanya lagi, masih dengan sikap hormat, mengapa orang tersebut berada sendirian di tengah hutan, dan mengapa terlihat seperti sedang mengalami kesedihan.

Kang (yang) tinanya (ditanya) mangêrtos (mengerti) lajêng (lalu) umatur (berkata, menjawab), ugi (juga) cara (dengan cara) basa (bahasa) Buda (Budha), makatên (begini) Jawinirèki (dalam bahasa Jawanya). Yang ditanya mengerti lalu menjawab, juga dengan cara bahasa Budha, demikian dalam bahasa Jawanya.

Pertanyaan Sang Sunan yang sopan dan penuh empati, dan memakai bahasa Jawa lama rupanya membuat si manusia besar itu tergerak untuk menjawab. Ternyata benar bahwa diamnya orang besar itu karena tidak mengerti bahasa yang dipakai oleh Sunan Kalijaga. Begitu Sunan memakai bahasa Budha, orang itu mengerti dan dapat menjawab pertanyaan dengan lancar. Kira-kira seperti di bawah ini percakapan mereka kalau dijawakan.

O ênggèh (Oh ya) kiyai sanak (saudara), jêngandika (Anda) satuhu (sungguh) wus (sudah) udani (mengetahui), lêpasing tyas (suasana hati) kang (yang) kalimput (diliputi kesedihan), kula (saya) Ki Yudhisthira (Ki Yudhistira), kawijilan (asal) saking (dari) Ngamarta (Amarta) rumuhun (dahulu), duk (ketika) ing (pada) nguni (waktu dulu) jaman (zaman) Buda (Budha), maksih (maksih) Brahma (Brahma) kang agami (agamanya). “Oh ya saudara, Anda sungguh sudah mengetahu suasana hati yang diliputi kesedihan, saya Ki Yudhistira asal dari negeri Amarta di zaman dahulu, ketika masih dikuasai agama Brahma.

Orang besar itu memperkenalkan diri sebagai Ki Yudhistira dari negeri Amarta di zaman dahulu, zaman ketika Pulau Jawa masih dikuasai kerajaan yang memeluk agama Brahma. Ketika itu, di zaman Sunan Kalijaga hidup negeri Amarta sudah lama lenyap dari percaturan kerajaan di Jawa. Kekuasaan di pulau Jawa masih dipegang oleh Majapahit, tetapi negeri Majapahit sudah di ambang senjakala. Oleh karena itu para wali

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 27

Kajian Sastra Klasik

bermaksud mendirikan negeri baru yang berlandaskan agama Islam. Karena sebagian besar kawula Majapahit sudah berganti agama dari agama lama mereka ke Islam.

(n)Jêng (Kangjeng) Sunan Kali (Sunan Kalijaga) duk (ketika) myarsa (mendengar), langkung (sangat) ngungun (heran) nulya (lalu) tatanya (bertanya) malih (lagi), kisanak (saudara) kala (zaman) rumuhun (dahulu), mlampah (melakukan) damêl (pekerjaan) punapa (apa). Kangjeng Sunan Kalijaga ketika mendengar sangat heran, lalu bertanya lagi, “Saudara di zaman dahulu melakukan pekerjaan apa?”

Mendengar penuturan Ki Yudhistira Sunan Kalijaga merasa sangat heran karena bertemu manusia dari zaman dahulu kala, zaman yang sudah sangat lama. Lalu Sunan Kalijaga menanyakan lagi, “Apa pekerjaan saudara dahulu?”

Walèh-walèh punapa (terus terang saja) kala (zaman) rumuhun (dahulu), sayêtosipun (sebenarnya) kawula (saya), jumênêng (berdiri) sri narapati (Raja), kadhaton (kerajaan) nagri (negara) Ngamarta (Amarta), Yudhisthira (Yudhistira) inggih (itulah) jujuluk (gelar) mami (saya). “Terus terang saja di zaman dahulu sebenarnya saya adalah seorang raja di kerajaan Amarta, Yudhistira itulah gelar saya.”

Sang Yudhistira menjawab bahwa dirinya dahulu adalah seorang Raja di negeri Amarta. Lebih tepatnya sebenarnya adalah Astinapura. Karena Amarta hanyalah negara bagian dari Astinapura. Sebelum terjadi perang Baratayuda Yudhistira adalah raja Amarta. Setelah menang perang Baratayuda Yudhistira menjadi maharaja di Astinapura yang wilayahnya mencakup beberapa kerajaan bawahan.

Balik (gantian) sampeyan (Anda) sang (sang) luhung (terhormat, mulia), ing (di) wingking (belangka) kang (yang) pinangka (asal), lan (dan) ing (di) ngajêng (depan) lajêr sêdyanirèng (maksud dalam) kalbu (hati), miwah (serta) sintên (siapa) kang (yang) sinambat (namanya). Ganti Anda yang mulia, dari manakah asal dan apa maksud dalam hati, serta siapa nama Anda.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 28

Kajian Sastra Klasik

Kalimat ing wingking kang pinangka adalah ungkapan menanyakan asal usul. Adapun ing ngajeng sedyanira adalah ungkapan menanyakan maksud kedatangan. Ungkapan yang halus dan penuh hormat dari Raja Yudhistira kepada Sang Sunan untuk menanyakan asal, maksud dan nama. Keduanya tampak sudah saling cocok sebagai kawan bicara. Sudah jumbuh antara keduanya.

Dhuh (Duhai) Yudhisthira (Yudhistira) sang (sang) aji (raja), ndangu (menanyakan) nami (nama) kawula (hamba), Sunan Kalijaga (Sunan Kalijaga) kalêbêt (termasuk) Wali (wali), saking (dari) tlatah (wilayah) Majalangu (Majapahit), ing (di) Girigajahpura (Kedaton Girigajah). “Duhai Sang Raja Yudhistira, (Paduka) menanyakan nama, hamba Sunan Kalijaga, termasuk wali dari wilayah Majapahit yang berkedudukan di Kedaton Girigajah.”

Di sini Sunan Kalijaga mengaku sebagai warga Kedaton Girigajah karena beliau memang diutus oleh Sunan Giri sebagai ketua para wali. Kata Majalangu artinya sama dengan Majapahit. Langu artinya hampir mirip dengan pahit. Ini adalah cara penamaan bagi orang Jawa seperti halnya kata Glagahwangi dan Glagahganda, yang telah diuraikan di kajian yang lalu.

Dhatêng (kedatangan) kula (saya) saèstune (sebenarnya) dipunutus (diutus), Sunan Giri (Sunan Giri) lurah (atasan) amba (hamba), pêrlu (keperluan) kinèn (suruh) mariksani (memeriksa), kawontênane (keadaan) kang (yang) wana (hutan), dene (karena) têka (ternyata) wontên (ada) ingkang (yang) (n)dahwèni (menjahili), damêl (membuat) wilalat (tuah) satuhu (sungguh), maring (kepada) kang (yang) sami (sedang) babat (membabat). “Kedatangan saya sebenarnya diutus oleh Sunan Giri atasan hamba, dengan keperluan disuruh memeriksa keadaan di hutan karena ternyata ada yang menjahili, memasang tuah sungguh kepada yang membabat (hutan).”

Walau tetap dengan kata yang sopan dan penuh hormat Sunan Kalijaga menyatakan keperluannya datang ke tengah hutan. Yakni sebagai utusan dari Sunan Diri yang hendak memeriksa dan memimpin pembabatan hutan. Karena ternyata ada orang yang sengaja menjahili pekerjaan

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 29

Kajian Sastra Klasik

tersebut, dengan membuat tuah kepada yang sedang bekerja. Karena tuah itu maka pekerjaan membabat hutan menjadi sulit. Setiap dibabat esoknya tumbuh lagi dengan cepat seperti sedia kala.

Sampun (sudah) kula (saya) salasak (terobos) ing (di) wana (hutan) kêmput (tuntas seluruhnya), samya (semua) tan (tak) na (ada) kara-kara (tanda-tanda), muhung (hanya) andika (Anda) pribadi (sendiri). Sudah saya terobos di hutan tuntas seluruhnya, semua tak ada tanda-tanda, hanya ada Anda sendiri.

Sunan Kalijaga menyatakan sudah memeriksa sampai tuntas seluruhnya (kemput) dan tidak menemukan hal-hal yang dianggap sebagai penyebab keanehan yang terjadi. Hanya tinggal ada Anda sendiri! Secara tak langsung Sunan Kalijaga menuduh Sang Raja Yudhistira sebagai penyebab semua keanehan ini.

Bagaimana kelanjutannya? Apakah keduanya akan perang seperti lazimnya tokoh wayang yang bertemu? Nantikan kajian berikutnya!

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 30

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (133:13-20): Pustaka Jamus Kalimasada

Pupuh 133 Pangkur (metrum: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i), bait ke-13 sampai bait ke-20, Serat Centhini:

Mangsuli Sri Yudhisthira, mangke-mangke ta mangke Sunan Kali, wangune arsa abêndu, andakwa raganingwang, andahwèni damêl wilalat tan sarju, babo botên pisan-pisan. Mênggah (ng)gèn kula nèng riki. botên sawêg sapunika, sampun lami nglampahi pitêdahing, sasmita nalika ulun, tapa dhasar samodra, laminira ngantos ênêm atus taun. Ujaring wasitatama, kinèn tapa wontên ngriki, pasthi antuk kang sinêdya, ingkang sagêd (n)jalari pêjahmami. Sabab ing satuhunipun, kula sêdya ngupaya, ing margine sagêd dhumatêng ing lampus. Duk miyarsa (n)Jêng Susunan, katingal pasêmon manis, sumèh wijiling wicara, nulya tanya têmbung amêrakati, dhuh mitraningsun sinuhun, sabab saking punapa, sariranta tan sagêd tumêkèng lampus. Mèsêm risang Yudhisthira, lah makatên Sunan Kali. Kala ulun winisudha, madêg nata lajêng dipunparingi, jajimat dening Dewagung, nama Kalimasada, ingkang ugi anami Pustaka-jamus, dumugi ing sapunika, taksih kula pundhi-pundhi. Pratistha ing asta kanan, malah-malah sampun saklangkung lami, asta tan sagêd tumêlung, miwah tan sagêd mêgar. Sunan Kali kataman aturing prabu, sangsaya pangungunira, wasana tatanya malih, Mênggah ungêling sêratan, ing jijimat punika kadospundi, kalawan suraosipun. Dhuh Sunan Kalijaga, kula matur inggih ing sayêktosipun, sampun ngantos kang sumêrap, ambikak kewala ajrih. Jalaran dhawuhing dewa, namung kinèn ngangge jijimat pripih, mila kula jrih kalangkung, bilih nguninganana. Sunan Kali

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 31

Kajian Sastra Klasik

mèsêm ngandika jro kalbu, ika wong bodho balaka, nadyan ngrêti nanging wêdi.

Kajian per kata:

Mangsuli (menjawab) Sri Yudhisthira (Sri Yudhistira), mangke-mangke (sebentar-sebentar) ta (to) mangke (sebentar) Sunan Kali (sunan Kalijaga), wangune (rupanya) arsa (akan) abêndu (marah), andakwa (mendakwa) raganingwang (kepadaku), andahwèni (menjahili) damêl (memasang) wilalat (tuah) tan (rak) sarju (setuju). Babo (aduh) botên (tidak) pisan-pisan (sama sekali). Menjawab Sri Yudhistira, “Sebentar, sebentar to sebentar Sunan Kali, rupanya (Anda) akan marah mendakwa kepadaku menjahili dengan memasang tuah karena tak setuju. Aduh tidak sama sekali!

Raja Yudhistira terkejut dengan pernyataan Sunan Kalijaga yang baru saja disampaikan. Serta merta membantah kecurigaan Sang Sunan. Beliau menyatakan bahwa sama sekali dia tidak bertujuan untuk mengganggu pekerjaan pembabatan hutan itu.

Mênggah (adapun) (ng)gèn (pada, keberadaan) kula (saya) nèng (ada di) riki (sini), botên (tidak, bukan) sawêg (baru) sapunika (sekarang), sampun (sudah) lami (lama) nglampahi (melakukan) pitêdahing (petunjuk), sasmita (isyarat) nalika (ketika) ulun (saya), tapa (bertapa) dhasar (di dasar) samodra (samudera), laminira (lamanya) ngantos (sampai) ênêm (enam) atus (ratus) taun (tahun). “Adapun keberadaan saya berada di sini bukan baru sekarang ini, (tapi) sudah lama melakukan (bertapa) sesuai petunjuk isyarat yang diterima ketika saya bertapa di dasar samudera selama enam ratus tahun.”

Prabu Yudhistira menjelaskan awal mula dia bertapa di sini dan menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak ada kaitan dengan pekerjaan pembabatan hutan untuk negara baru. Dia melakukan tapa dengan segala akibat yang terjadi karena mengikuti petunjuk yang dia terima pada pertapaan sebelumnya di dasar samudera selama enam ratus tahun.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 32

Kajian Sastra Klasik

Ujaring (perkataan) wasitatama (pesan yang baik itu), kinèn (disuruh) tapa (bertapa) wontên (ada) ngriki (di sini), pasthi (pasti) antuk (mendapat) kang (yang) sinêdya (diharapkan), ingkang (yang) sagêd (bisa) (n)jalari (menjadi sebab) pêjahmami (kematian saya). “Perkataan dalam pesan baik itu, disuruh bertapa di sini, pasti mendapat yang diharapkan, bisa menjadi sebab kematian saya.”

Prabu Yudhistira menjelaskan bahwa pertapaannya tidak ada sangkut pautnya dengan pendirian negara baru tersebut. Dia hanya mematuhi pesan baik yang diterima ketika bertapa di dasar lautan. Yakni agar kehendaknya untuk mati tercapai, dia harus bertapa di hutan Glagahwangi.

Sabab (sebab) ing (pada) satuhunipun (sebenarnya), kula (saya) sêdya (hendak) ngupaya (berupaya), ing (pada) margine (jalannya) sagêd (bisa) dhumatêng (menuju) ing (pada) lampus (kematian). Sebab sebenarnya saya hendak berupaya, mencari jalan supaya bisa menuju pada kematian.

Sang Prabu menyatakan kalau sudah lama beliau hendak mencari jalan kematian, sebagai penyempurna dari kehidupannya di dunia ini. Karena sudah sangat lama beliau hidup di dunia ini. Sudah cukup pengabdian yang dilakukan dan sudah waktunya kembali ke surga. Namun jalan kematian begitu sulit ia dapatkan.

Duk (ketika) miyarsa (mendengar) (n)Jêng (Kangjeng) Susunan (Sunan), katingal (terlihat) pasêmon (raut muka) manis (manis), sumèh (ramah) wijiling (keluarnya) wicara (perkataan), nulya (lalu) tanya (bertanya) têmbung (perkataan) amêrakati (mendekatkan hati, menyenangkan), dhuh (duhai) mitraningsun (sahabatku) sinuhun (tuan), sabab (sebab) saking (dari) punapa (apa), sariranta (diri Anda) tan (tak) sagêd (bisa) tumêkèng (mencapai) lampus (kematian). Ketika mendengar Kangjeng Sunan terlihat raut mukanya manis, ramah keluarnya perkataan, lalu bertanya dengan perkataan yang menyenangkan, “Duhai Tuan sahabatku, mengapa Anda tidak bisa mencapai kematian?”

Lega hati Sang Sunan ketika mendengar bahwa Prabu Yudhistira bukan orang yang berupaya menghalangi pembabatan hutan itu. Namun memang Sang Raja mengalami masalah sendiri yang perlu diselesaikan. Atas dasar

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 33

Kajian Sastra Klasik

kepedulian akan hal itu, Kangjeng Sunan Kalijaga bertanya mengapa sampai Prabu Yudhistira kesulitan untuk mencapai kematian sehingga hidup terlunta-lunta di dunia sampai ratusan tahun.

Mèsêm (tersenyum) risang (sang) Yudhisthira (Yudhistira), lah (nah) makatên (begini) Sunan (Sunan) Kali (Kalijaga). Kala (ketika) ulun (saya) winisudha (diwisuda), madêg (berdiri) nata (raja) lajêng (lalu) dipunparingi (diberi), jajimat (jimat) dening (oleh) Dewagung (Dewa Agung), nama (nama) Kalimasada (Kalimasada), ingkang (yang) ugi (juga) anami (bernama) Pustaka-Jamus (Pustaka Jamus). Dumugi (sampai) ing (pada) sapunika (sekarang), taksih (masih) kula (saya) pundhi-pundhi (muliakan). Tersenyum sang Yudhistira, “Nah begini Sunan Kalijaga. Ketika saya diwisuda sebagai raja lalu diberi jimat oleh Dewa Agung, namanya Kalimasada, yang juga bernama Pustaka Jamus. Sampai sekarang masih saya muliakan.”

Prabu Yudhistira menceritakan asal mula mengapa sampai dia tidak bisa mati. Pada waktu beliau dinobatkan sebagai raja Amarta beliau diberi jimat yang berupa pustaka (buku), namanya Kalimasada. Kitab itu juga disebut Pustaka Jamus. Pustaka itu sampai sekarang masih dia muliakan.

Pratistha (menyatu, letaknya) ing (di) asta (tangan) kanan (kanan), malah-malah (malah) sampun (sudah) saklangkung (sangat) lami (lama), asta (tangan) tan (tak) sagêd (bisa) tumêlung (terayun), miwah (serta) tan (tak) sagêd (bisa) mêgar (mengembang). Letaknya menyatu di tangan kanan, malah sudah sangat lama tangan sampai tak bisa terayun dan tak bisa mengembang.

Di awal sudah disebutkan bahwa orang tinggi besar itu selalu meletakkan tangan kanan yang tergenggam di atas kening. Ternyata hal itu dilakukan karena sangat memuliakan jimat yang ada di tangan kanan itu. Karena sangat lamanya tangan itu mengepal dan diangkat sampai-sampai sulit untuk diturunkan dan dibuka genggamannya.

Sunan (Sunan) Kali (Kalijaga) kataman (terkena) aturing (perkataan) prabu (Prabu), sangsaya (semakin) pangungunira (keheranan), wasana (akhirnya) tatanya (bertanya) malih (lagi), mênggah (adapun) ungêling

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 34

Kajian Sastra Klasik

(bunyi) sêratan (tulisan), ing (pada) jijimat (jimat) punika (itu) kadospundi (seperti apa), kalawan (dan) suraosipun (apa maknanya). Sunan Kalijaga yang terkena perkataan Prabu (Yudhistira) semakin keheranan, akhirnya bertanya lagi, “Adapun bunyi dari tulisan pada jimat itu seperti apa dan apa maknanya?”

Sunan Kalijaga keheranan mendengar penuturan Raja Yudhistira. Begitu mengagungkan ia pada jimat yang dia pegang sampai tangannya selalu diangkat dan digenggam. Seperti sangat takut kalau sampai sesuatu di tangannya itu jatuh. Beliau penasaran sebenarnya apa isi dari jimat pustaka itu dan apa maknanya?

Dhuh (duhai) Sunan (Sunan) Kalijaga (Kalijaga), kula (saya) matur (berkata) inggih (ya) ing (pada) sayêktosipun (sebenarnya), sampun (jangankan) ngantos (sampai) kang (yang) sumêrap (melihat), ambikak (membuka) kewala (saja) ajrih (takut). “Duhai Sunan Kalijaga, saya berkta yang sebenarnya, jangankan sampai melihat, membuka saja takut.”

Prabu Yudhistira mengatakan terus terang kalau belum pernah melihat tulisan yang ada dalam pustaka itu. Jangankan sampai melihat, hendak membuka saja takut. Sehingga isi dari pustaka itu apa juga tidak tahu.

Jalaran (karena) dhawuhing (perintah) dewa (dewa), namung (hanya) kinèn (disuruh) ngangge (memakai) jijimat (sebagai jimat) pripih (jimit), mila (maka) kula (saya) jrih (takut) kalangkung (sangat), bilih (bila) nguninganana (melihatnya). Karena perintah dewa hanya disuruh memakai sebagai jimat, maka saya sangat takut bila melihatnya.

Kata jimat pripih sebenarnya dua kata artinya sama. Dalam bahasa Jawa sering ditemui bentuk-bentuk kata yang demikian, artinya adalah menyangatkan. Misalnya kata sabar darana. Kedua kata artinya sabar. Bila digabung artinya menegaskan atau menyangatkan. Jadi Prabu Yudhistira ini sangat takut membuka pustaka Jamus karena pesan dewa yang memberinya hanya untuk dipakai sebagai jimat saja.

Sunan Kali (Sunan Kalijaga) mèsêm (tersenyum) ngandika (berbicara) jro (dalam) kalbu (hati), ika (itu) wong (orang) bodho (bodoh) balaka (lugu), nadyan (walau) ngrêti (tahu, pintar) nanging (tetapi) wêdi (takut).

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 35

Kajian Sastra Klasik

Sunan Kalijaga tersenyum, bicara dalam hati, “Itu orang bodoh yang lugu, walau pintar tetapi takut!”

Sunan Kalijaga mulai mendapatkan titik terang perihal mengapa Sri Yudhistira sulit untuk mencapai kematian. Sangat mungkin karena jimat yang dia pakai itu. Dalam hati Sunan tersenyum karena menemui orang yang pintar tetapi takut, seperti Sri Yudhistira ini.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 36

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (133:21-27): Kalimah Sahadat

Pupuh 133 Pangkur (metrum: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i), bait ke-21 sampai bait ke-27, Serat Centhini:

Dhuh Sinuhun Yudhisthira, mênggah wontên tiyang ingkang kadugi, ngungêlkên jijimat wau, punapi pinarêngna. Angsal malih nanging darbe jangji ulun, mugi dipun-mangêrtosna, suraose kanang tulis. Saha sagêd angêgarna, tanganulun kang wus lami kumancing. Sunan Kali ngandika rum, suwawi cinobia. Ngulungakên jajimat Pustaka-jamus, nahan sami sanalika, waluya kadi ing uni, ngulungakên asta mêgar. Jimat sampun tinampèn Sunan Kali, binuka suraosipun, sinuksma ing wardaya, tamat pamaose kang Pustaka-jamus. (n)Jêng Sunan Kali ngandika, e Yudhisthira narpati, sampeyan mugi sumrêpa, milanipun jimat dipun wastani, inggih kang Pustaka-jamus, têgêsipun punika, layang irêng tulisipun rupa pingul, mila ran Kalimasada, kalimah Sahadat yêkti. Kalimah Sahadat mangkya, wus kalampah dènagêm dèn ugêmi, dening tiyang ingkang sampun, manjing agami Islam, miwah dipun wastani agama Rasul, sarengat punika mangka, baboning ngèlmu sajati. Angsal saking Nabiyolah, Gusti Kangjêng Nabi Rasulollahi, kêkasihira Hyang Agung, tuhu ingkang kinarya, dutaning Hyang panutup Nabiyollahu. Ugêr tyang agama Islam, saha sampun putus maring, ngèlmu tamtu kang winawas, suraose Kalimah Sahadati, dumadi êning tyasipun, sagêd sampurnèng pêjah, mantuk maring asaling kamulanipun. Ing riku Sri Yudhisthira, langkung trustha ing panggalih.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 37

Kajian Sastra Klasik

Kajian per kata:

Dhuh (Duhai) Sinuhun (Raja) Yudhisthira (Yudhistira), mênggah (seandainya) wontên (ada) tiyang (orang) ingkang (yang) kadugi (mampu), ngungêlkên (membunyikan, membaca) jijimat (jimat) wau (tadi), punapi (apakah) pinarêngna (diijinkan). “Duhai Raja Yudhistira, seandainya ada orang yang mampu membaca jimat tadi, apakah diijinkan?”

Sunan Kalijaga sudah mengerti duduk persoalannya. Bahwa Raja Yudhistira masih menanggung beban persoalan yang mengganjal dalam hatinya dari jimat yang selalu dipegangnya. Kangjeng Sunan bertanya kepada Sang Raja apakah diijinkan jika hendak mengetahui isi dari jimat tersebut.

Angsal malih (boleh saja) nanging (tapi) darbe (punya) jangji (janji) ulun (saya), mugi (harap, mohon) dipun-mangêrtosna (diberi pengertian), suraose (makna) kanang (yang) tulis (tertulis). Boleh saja tetapi mohon berjanji kepadaku, harap diberi pengertian tentang makna yang tertulis.

Prabu Yudhistira mengijinkan jika ada yang akan membaca isi dari jimat itu. Namun mohon untuk berjanji jika nanti bisa memahami apa yang tertulis dalam pustaka jimat itu, harap memberi pengertian kepadanya.

Saha (serta) sagêd (bisa) angêgarna (membuka), tanganulun (tangan saya) kang (yang) wus (sudah) lami (lama) kumancing (terkunci). Serta bisa membuka tangan saya yang sudah lama terkunci.

Prabu Yudhistira juga meminta supaya disembuhkan tangannya yang terus menggenggam dan terkunci ke atas karena sudah sangat lama memegang pustaka jamus itu.

Sunan (Sunan) Kali (Kalijaga) ngandika (berkata) rum (manis), suwawi (Marilah) cinobia (kita coba). Sunan Kalijaga berkata manis, “Marilah kita coba!”

Sunan Kalijaga mengajukan diri untuk mencoba menyembuhkan tangan Prabu Yudhistira yang terkunci dan membaca isi pustaka Jamus Kalimasada tersebut.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 38

Kajian Sastra Klasik

Ngulungakên (menyerahkan) jajimat (jimat) Pustaka-jamus (Pustaka Jamus), nahan sami (demikian diceritakan) sanalika (seketika), waluya (sembuh) kadi (seperti) ing (pada) uni (dahulu), ngulungakên (menyerahkan) asta (tangan) mêgar (membuka). (Prabu Yudhistira) menyerahkan jimat Pustaka Jamus, demikian diceritakan seketika sembuh seperti dahulu, tangan bisa membuka.

Begitu Prabu Yudhistira berkehendak menyerahkan Pustaka Jamus seketika tangannya yang terkunci sembuh. Dia bisa menyerahkan pustaka itu dengan tangan yang membuka. Memang sudah menjadi kehendak Tuhan bahwa Sunan Kalijagalah yang akan menjadi sarana menolong sang Prabu keluar dari masalahnya.

Jimat (jimat) sampun (sudah) tinampèn (diterima) Sunan (Sunan) Kali (Kalijaga), binuka (dibuka) suraosipun (maknanya), sinuksma (difahami, diserap) ing (dalam) wardaya (hati), tamat (tuntas) pamaose (membacanya) kang (yang) Pustaka-jamus (Pustaka Jamus). Jimat sudah diterima Sunan Kalijaga, dibuka maknanya, difahami dalam hati, sudah tuntas membaca Pustaka Jamus.

Pustaka jimat sudah diterima Sunan Kalijaga dan dibuka. Terlihat Sunan bisa memaknai isi pustaka itu. Sudah tuntas membaca Sang Sunan, sudah difahami dalam hati.

(n)Jêng (Kangjeng) Sunan (Sunan) Kali (Kalijaga) ngandika (berkata), e (hai) Yudhisthira (Yudhistira) narpati (sang raja), sampeyan (anda) mugi sumrêpa (ketahuilah), milanipun (makanya) jimat (jimat) dipun wastani (disebut), inggih kang (yaitu) Pustaka-jamus (Pustaka Jamus), têgêsipun (artinya) punika (ini), layang (surat) irêng (hitam) tulisipun (tulisannya) rupa (berupa) pingul (menonjol), mila (makanya) ran (disebut) Kalimasada (Kalimasada), kalimah (kalimat) Sahadat (Syahadat) yêkti (sungguh). Kangjeng Sunan Kalijaga berkata, “Hai Sang Raja Yudhistira Anda ketahuilah sebabnya jimat disebut Pustaka Jamus artinya surat hitam yang tulisannya menonjol (timbul), sebabnya disebut Kalimasada sungguh artinya Kalimat Syahadat.”

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 39

Kajian Sastra Klasik

Sunan Kalijaga menerangkan arti dari jimat yang selalu dibawa Sang Raja Yudhistira. Disebut Pustaka Jamus karena berupa tulisan warna hitam yang timbul. Arti jamus adalah hitam mulus, hitam yang sempurna. Adapun mengapa disebut Kalimasada karena tulisan yang tertulis di dalam pustaka hitam itu adalah Kalimat Syahadat. Bunyinya: Ashadu alla illaha ilaallah, was ashadu anna muhammadar Rasulullah. Artinya tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Kalimah (Kalimat) Sahadat (syahadat) mangkya (sekarang), wus (sudah) kalampah (terjadi) dènagêm (dipakai) dèn ugêmi (dipatuhi), dening (oleh) tiyang (orang) ingkang (yang) sampun (sudah), manjing (masuk) agami (agama) Islam (Islam), miwah (serta) dipun (di) wastani (sebut) agama (agama) Rasul (Rasul). Kalimat syahadat sekarang sudah terjadi dipakai dan dipatuhi oleh orang yang sudah masuk agama Islam, serta disebut agama Rasul.

Kalimat syahadat ini zaman sekarang (zaman Sunan Kalijaga hidup) sudah dipakai dan dipatuhi sebagai pegangan hidup orang yang telah merasuk agama Islam, yang juga disebut agama Rasul.

Jika dilihat dari sejarah hidup Prabu Yudhistira waktu itu memang belum dikenal Kalimat Syahadat ini karena pada masa berkuasa Raja Yudhistira yang diperkirakan tahun 800 Saka, agama Islam belum sampai ke Jawa. Jadi Prabu Yudhistira pasti belum tahu tentang agama Islam. Namun sekarang agama Islam sudah dipeluk oleh banyak orang dari rakyat Majapahit.

Sarengat (syari’at) punika (inilah) mangka (sebagai), baboning (induk) ngèlmu (ilmu) sajati (sejati), angsal (diperolah) saking (dari) Nabiyolah (Nabi Allah), Gusti (Gusti) Kangjêng (Kangjeng) Nabi (Nabi) Rasulollahi (Rasulullah), kêkasihira (kekasih) Hyang (Tuhan) Agung (Maha Agung), tuhu (sungguh) ingkang (yang) kinarya (diangkat sebagai), dutaning (utusan oleh) Hyang (Tuhan) panutup (sebagai penutup) Nabiyollahu (Nabi Allah). Syari’at (agama Islam) inilah sebagai induk dari ilmu sejati, diperoleh dari Nabi Allah Gusti Kangjeng Nabi Rasulullah, kekasih Tuhan Yang Maha Agung, sungguh yang diangkat sebagai utusan Tuhan sebagai penutup para Nabi Allah.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 40

Kajian Sastra Klasik

Sunan Kalijaga menjelaskan tentang makna Kalimat Syahadat sebagaimana yang tertera di dalam Pustaka Jamus Kalimasada. Bahwa kalimat ini sekarang sudah menjadi pegangan dari sebagian rakyat Majapahit yang telah memeluk agama Islam. Sebagai induk dari segala ilmu sejati, yakni ilmu yang diperoleh dari Nabi Allah yang diutus oleh Allah sendiri untuk mengajarkan kepada manusia tentang kebenaran yang sejati.

Ugêr (asalkan) tyang (orang) agama (beragama) Islam (Islam), saha (serta) sampun (sudah) putus (tuntas) maring (pada), ngèlmu (ilmu) tamtu (pasti) kang (yang) winawas (diketahui seksama), suraose (makna) Kalimah (Kalimat) Sahadati (Syahadat), dumadi (menjadi) êning (bening, tenang) tyasipun (hatinya), sagêd (bisa) sampurnèng (sempurna) pêjah (mati), mantuk (kembali) maring (kepada) asaling (asal) kamulanipun (mulanya). Asalkan orang sudah beragama Islam serta sudah tuntas pada ilmu yang diketahui seksama dari makna dari Kalimat Syahadat, akan menjadi tenang hatinya dan dapat mati dengan sempurna, kembali ke asal mulanya.

Asalkan seseorang sudah beragama Islam dan sudah tuntas dalam ilmu agama pasti sudah dapat mengetahui dengan seksama makna Kalimat Syahadat. Akan menjadi bening hatinya sehingga mampu menjemput kematian dengan sempurna dan kembali ke asal mula kehidupan dengan tenang. Tidak ada lagi dalam dirinya tersimpan sesuatu yang mengganjal sehingga dapat meninggalkan dunia ini dengan sempurna.

Ing (di) riku (sini) Sri (Sri) Yudhisthira (Yudhistira), langkung (sangat) trustha (puas, gembira) ing (dalam) panggalih (hati). Sampai di sini Sri Yudhistira sangat gembira dalam hati.

Mendengar uraian Sunan Kalijaga ini Prabu Yudhistira sangat gembira dalam hatinya. Keinginannya untuk menyempurnakan hidup dengan kematian yang sempurna mendapat setitik harapan.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 41

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (133:28-34): Prabu Yudhistira Berguru Kepada Sunan Kalijaga

Pupuh 133 Pangkur (metrum: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i), bait ke-28 sampai bait ke-34, Serat Centhini:

Nahan lajêng puruita, mring sang wiku Kangjêng Susunan Kali, winulang Sahadat wau, ugêring kasampurnan, winêruhkên ing jênênge uripipun. (n)Jêng Sunan pamêjangira, sadaya sampun katampi, Wruh sadurunge dumadya, dadya datan samar (n)doning dumadi. Was-uwas wus tan kawuwus, amingis ing pamawas, têtêp uwus manjing agama Islamu, têtêp tatas naratas tyas, tumètès sampurna titis. Rumaos yèn sagêd pêjah, sarta pêjah ing sajroning ngaurip, sangêt ing pamundhinipun, winantu analangsa, ayun nêmbah astanira sawêg kuncup, makidhupuh anèng ngarsa. Sunan Kali duk udani, gupuh dènnya nampèl asta, kipa-kipa tan arsa dènbêktèni, sinarêngan wacana rum, sampeyan sampun nêmbah, dhatêng ulun sanadyan dènanggêp guru, nanging drajat ulun andhap, luhur darajating aji. Kados paduka punika, inggih lêrês Suhunan nama mami, ananging saèstunipun, drajat Wali kewala, Wali wau jaman purwa saminipun, para rêsi myang pandhita, dados bêktinta sang aji. Sêdhêng salaman kewala. Prabu Darmakusuma ananggapi, nulya sasalaman gupuh, sawusing sasalaman, sri narendra Yudhisthira alon matur, dhuh Sinuhun gurukula, rèh mangke ulun wus tampi, sabda jatining kamulyan, sêdya ulun sasagêd angaturi, wawalês ingkang linuhung. Nanging tan darbe srana, mung punika wontên barang darbekulun, sêpele sangêt tan mandra, bilih kaparêng ing galih.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 42

Kajian Sastra Klasik

Kajian per kata:

Nahan (demikianlah) lajêng (lalu) puruita (berguru), mring (kepada) sang (sang) wiku (pendeta, wali) Kangjêng (Kangjeng) Susunan (sunan) Kali (Kalijaga), winulang (diajarkan) Sahadat (syahadat) wau (tadi), ugêring (pedoman) kasampurnan (kesempurnaan), winêruhkên (difahamkan) ing (pada) jênênge (arti) uripipun (kehidupan). Demikianlah lalu berguru, kepada sang wali Kangjeng Sunan Kalijaga, diajarkan syahadat tadi, pedoman kesempurnaan, difahamkan pada arti kehidupan.

Demikianlah Sang Prabu Yudhistira lalu berguru kepada Kangjeng Sunan Kalijaga yang telah sanggup membaca isi dari Pustaka Jamus Kalimasada dan sanggup mengajarkan makna dari pustaka itu. Makna Kalimat Syahadat telah diajarkan sebagai pedoman mencapai kesempurnaan hidup. Difahamkan oleh Sang Sunan sehingga Sang Raja mengerti arti dari kehidupan dunia dan akhirat.

(n)Jêng (Kangjeng) Sunan (Sunan) pamêjangira (pengajarannya), sadaya (semua) sampun (sudah) katampi (diterima). Wruh (mengetahui) sadurunge (sebelum) dumadya (kejadian), dadya (menjadi) datan (tidak) samar (ragu) (n)doning (tujuan akhir) dumadi (makhluk). Kangjeng Sunan pengajarannya semua sudah diterima. Mengetahui sebelum kejadian, menjadi tidak samar tujuan akhir setiap makhluk.

Kangjeng Sunan mengajarkan ilmu sangkan paraning dumadi. Yakni ilmu tentang asal-usul manusia sebelum tercipta di bumi, sampai akhir tujuan hidup kelak sesudah meninggalkan dunia ini. Semua yang diajarkan Kangjeng Sunan sudah diterima dengan baik oleh Prabu Yudhistira.

Was-uwas (was-was, kekhawatiran) wus (sudah) tan (tak) kawuwus (terucap), amingis (tajam) ing (dalam) pamawas (penglihatan), têtêp (tetap mantap) uwus (sudah) manjing (masuk) agama (agama) Islamu (Islam), têtêp (tetap) tatas (tuntas) naratas (masuk dalam) tyas (hati), tumètès (menetes) sampurna (sempurna) titis (tepat). Was-was sudah tak terucap, tajam dalam penglihatan, tetap mantap sudah masuk agama Islam, tetap tuntas masuk dalam hati, menetes tepat sempurna.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 43

Kajian Sastra Klasik

Sudah hilang rasa was-was dari dalam hati Sri Yudhistira. Rasa khawatir tak terucap lagi. Sudah awas penglihatannya terhadap segala kejadian. Sudah mantap hati masuk dalam agama Islam. Ilmu yang diajarkan sang guru sudah tuntas. Masuk ke dalam hati, menetes tepat sempurna.

Rumaos (merasa) yèn (kalau) sagêd (bisa) pêjah (mati), sarta (serta) pêjah (mati) ing (di) sajroning (dalam) ngaurip (hidup), sangêt (sangat) ing (pada) pamundhinipun (penghargaannya), winantu (disertai) analangsa (merendahkan diri), ayun (hendak) nêmbah (menyembah) astanira (tangannya) sawêg (baru) kuncup (mengatup), makidhupuh (menunduk) anèng (ada di) ngarsa (hadapan). Merasa kalau sudah bisa mati, serta (memahami) mati di dalam hidup, sangat-sangat penghargaannya diserta merendahkan diri hendak menyembah, tangannya sedang menguncup, badan menunduk di hadapan (Sunan).

Prabu Yudhistira merasa sudah bisa mati dengan sempurna. Sudah jelas tempat yang akan dituju. Sudah faham akan makna mati sajroning ngaurip, yakni matinya keinginan diri dan munculnya kepasrahan total kepada Tuhan. Sangat-sangat berterima kasih beliau kepada Sang Sunan. Serta merta dengan penuh kerendahan hati hendak memuliakan sang guru dengan menyembahnya. Kedua tangan sudah mengatup, tubuhnya menunduk penuh hormat.

Sunan (Sunan) Kali (Kalijaga) duk (ketika) udani (mengetahui), gupuh (bergegas) dènnya (dia) nampèl (menahan) asta (tangan), kipa-kipa (menolak) tan (tak) arsa (ingin) dènbêktèni (disembah), sinarêngan (sambil) wacana (berkata) rum (manis), sampeyan (Anda) sampun (jangan) nêmbah (menyembah), dhatêng (kepada) ulun (saya) sanadyan (walau) dènanggêp (menganggap) guru (guru), nanging (tetapi) drajat (derajat) ulun (saya) andhap (rendah), luhur (tinggi) darajating (derajat) aji (raja), kados (seperti) paduka (paduka) punika (ini). Sunan Kalijaga ketika mengetahui bergegas dia menahan tangan, menolak tak ingin disembah, disertai perkataan manis, “Anda jangan menyembah kepada saya, walau menganggap guru tetapi derajat saya rendah, masih lebih tinggi derajat raja seperti paduka ini.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 44

Kajian Sastra Klasik

Sunan Kalijaga begitu melihat sikap Prabu Yudhistira segera bergegas mendekat. Dia tolak tangan yang menguncup hendak menyembah. Berkata manis sang guru, “Anda jangan menyembah saya. Walau paduka menganggap saya guru, tetapi derajat saya lebih rendah daripada paduka. Masih lebih tinggi derajat seorang raja seperti paduka ini.”

Inggih (ya, memang) lêrês (benar) Suhunan (sunan) nama (panggilan) mami (saya), ananging (tetapi) saèstunipun (sesungguhnya), drajat (derajat) Wali (wali) kewala (saja). Wali (wali) wau (itu tadi) jaman (zaman) purwa (Purwa) saminipun (serupa), para (para) rêsi (resi) myang (dan) pandhita (pendeta). Dados (jadi) bêktinta (bakti Anda) sang (sang) aji (raja), sêdhêng (cukup) salaman (bersalaman) kewala (saja). Memang benar sunan panggilan saya, tetapi sesungguhnya derajat wali saja. Wali itu tadi di zaman Purwa serupa para resi dan pendeta. Jadi bakti Anda cukup dengan bersalaman saja.

Sunan Kalijaga melanjutkan, “Benar bahwa saya dipanggil Sunan atau Sinuhun, tempat orang menggantungkan diri. Namun derajat saya hanyalah wali saja. Wali hanyalah serupa dengan para resi dan pendeta di zaman Purwa, zaman paduka berkuasa dahulu. Jadi rasa hormat paduka cukup diungkapkan dengan bersalaman saja.”

Prabu (Prabu) Darmakusuma (Darmakusuma) ananggapi (mananggapi), nulya (lalu) sasalaman (bersalaman) gupuh (segera), sawusing (setelah) sasalaman (bersalaman), sri (sang) narendra (raja) Yudhisthira (Yudhistira) alon (pelan) matur (berkata), dhuh (duhai) Sinuhun (Sunan) gurukula (guru saya), rèh (rehning, karena) mangke (sekarang) ulun (saya) wus (sudah) tampi (menerima), sabda (perkataan, penjelasan) jatining (sejatinya) kamulyan (kemuliaan), sêdya (keinginan) ulun (saya) sasagêd (kalau bisa) angaturi (menghaturkan), wawalês (balasan) ingkang (yang) linuhung (tinggi, baik). Prabu Darmakusuma menanggapi, lalu segera bersalaman. Setelah bersalaman Sang Raja Yudhistira pelan berkata, “Duhai guru saya, karena sekarang saya sudah menerima penjelasan sejatinya kemuliaan, keinginan saya kalau bisa menghaturkan balasan yang baik.”

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 45

Kajian Sastra Klasik

Prabu Darmakusuma menanggapi apa yang dikatakan Sang Sunan. Beliau mendekat dan keduanya bersalaman. Berkata pelan Sang Raja, “Duhai Sunan guru saya, karena saya telah menerima penjelasan tentang sejatinya kemuliaan, ingin rasanya saya hendak menghaturkan balasan yang baik sebagai rasa terima kasih atas pengajaran Anda.”

Nanging (Namun) tan (tak) darbe (punya) srana (sarana), mung (hanya) punika (ini) wontên (ada) barang (barang) darbekulun (milik saya), sêpele (remeh) sangêt (sangat) tan (tak) mandra (seberapa), bilih (jika) kaparêng (menjadi perkenan) ing (di) galih (hati). Namun tak punya sarana, hanya ini ada barang milik saya, sangat remeh tak seberapa, jika menjadi perkenan di hati.

“Namun rasanya saya tak punya lagi sarana yang bisa untuk membalas kebaikan Anda. Hanya ada pada saya sedikit barang yang tak seberapa nilainya. Jika Anda berkenan di hati sudilah kiranya menerima.”

Sang Raja lalu menunjuk pada sebuah kotak di bawah tempat duduknya. Apakah isinya? Nantikan dalam kajian berikutnya.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 46

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (133:35-41): Prabu Yudhistira Menyerahkan Bakal Calon Wayang

Pupuh 133 Pangkur (metrum: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i), bait ke-35 sampai bait ke-39, Serat Centhini:

Kulaaturkên paduka, Yudhisthira jumênêng (m)buka pêthi, ingkang linênggahan wau, isinipun karopak, mawa gambar katri wawayanganipun. Satunggal Sri Baladewa, kalih Natèng Dwarawati, tiga Arya Wrêkudara. Kanthi sastra pèngêtan duk ing uni, kalih lampahan winuwus. Satunggal pratelannya, lampahaning Arjuna nalika dhaup, angsal Dyah Wara Sumbadra, putri Madura nagari, kadang Baladewa Krêsna. Rinarêngga dera Hyang Udipati, kajêng klêpu dewadaru. Katêlah praptèng mangkya, sabên wontên pangantèn kang rinêngga gung, tamtu mawi kêmbar mayang, jaman purwa kang pinirid. Kaliyan pratelanira, kala nata Pandhawa mangun jurit, sakadang warga sadarum, mêngsah Sri Suyudana, sakadange Sata Korawa angêbyuk, (n)jabêl prajadi Ngastina. Pandhawa unggul ing jurit, winastanan Bratayuda. Kinanthènan sarasilah tumrahing, Pandhawa myang para ratu, ingaturakên sigra, mring Suhunan Kalijaga sadayèku, langkung sukanirèng driya. Gambar tri wus dènpriksani, tanya marang Yudhisthira, sintên ingkang gadhah wayangan katri, ingkang ginambar puniku, satunggal-tunggalira. Prabu Darmakusuma lajêng umatur, kang sarta mawa pratelan, agêng miwah inggilnèki. titiga ingkang ginambar, wus pratela kadi sinêbut ngarsi. Tanya malih (n)Jêng Sinuhun, nahanta karsa para, asung gambar dalah ing saprabotipun, sastra cariyosing Buda, kumambang matur sang aji.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 47

Kajian Sastra Klasik

Kajian per kata:

Kula (saya) aturkên (serahkan) paduka (paduka), Yudhisthira (Yudhistira) jumênêng (berdiri) (m)buka (membuka) pêthi (kotak), ingkang (yang) linênggahan (diduduki) wau (tadi), isinipun (isinya) karopak (kropak, untaian daun lontar), mawa (dengan) gambar (gambar) katri (tiga) wawayanganipun (bayangan). “Saya haturkan paduka!” Yudhistira berdiri membuka kotak yang diduduki tadi, isinya keropak dengan gambar tiga bayangan.

Yudhistira menyerahkan hadiah sebagai ungkapan terima kasihnya kepasa Sang Guru. Isinya berupa untaian daun lontar (kropak) yang memuat tiga gambar bayangan dan beberapa tulisan. Daun lontar adalah media menulis dari zaman dahulu. Asalnya dari daun pohon tal. Sering juga disebut rontal, artinya daun pohon tal.

Satunggal (satu) Sri Baladewa (Sri Baladewa), kalih (kedua) Natèng (Raja dari) Dwarawati (Dwarawati), tiga (tiga) Arya Wrêkudara (Arya Wrekudara). Satu Sri Baladewa, kedua Raja dari Dwarawati, ketiga Arya Wrekudara.

Tiga gambar bayangan di daun lontar tadi merupakan gambar dari tokoh di zaman Purwa. Pertama adalah gambar Sri Baladewa, raja Mandura. Kalau dalam serat Pustakaraja Purwa, Mandura adalah pulau Madura yang masih menyatu dengan nusa Jawa. Kedua adalah gambar Raja dari Dwarawati yakni Prabu Sri Bathara Kresna. Kedua raja merupakan saudara sepupu dari Sri Yudhistira. Gambar ketiga adalah Arya Wrekudara, adik kandung dari Sri Yudhistira sendiri.

Kanthi (disrertai) sastra (cerita) pèngêtan (peringatan) duk (ketika) ing (pada waktu) uni (dulu), kalih (dua) lampahan (cerita) winuwus (dikatakan). Disertai cerita peringatan ketika waktu dulu, dua cerita yang dikatakan (dituliskan).

Selain gambar tiga bayangan tadi, juga memuat cerita tentang kejadian di zaman dahulu. Dua cerita dituliskan dalam lontar tadi.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 48

Kajian Sastra Klasik

Satunggal (salah satunya) pratelannya (menyatakan), lampahaning (cerita tentang) Arjuna (Arjuna) nalika (ketika) dhaup (menikah), angsal (dengan) Dyah (Dyah) Wara (Wara) Sumbadra (Sumbadra), putri (putri) Madura (Mandura) nagari (negara), kadang (saudara) Baladewa (Baladewa) Krêsna (Kresna). Salah satunya menyatakan cerita tentang Arjuna ketika menikah dengan Dyah Wara Sumbadra, putri dari negara Mandura, adik dari Sri Baladewa dan Sri Kresna.

Satu cerita tentang menikahnya Arjuna dengan Wara Sumbadra. Wara Sumbadra adalah anak dari Prabu Basudewa raja Mandura, dan saudara dari Prabu Baladewa dan Prabu Kresna. Prabu Basudewa sendiri adalah kakak dari Dewi Kunthi. Sedangkan Dewi Kunthi adalah ibu dari tiga Pandawa; Yudhistira, Wrekudara dan Arjuna. Jadi Arjuna sebenarnya menikah dengan saudara sepupu sendiri.

Rinarêngga (dihias) dera (oleh) Hyang (Hyang) Udipati (Guru), kajêng (kayu) klêpu dewadaru (Dewadaru). Katêlah (disebut) praptèng (sampai) mangkya (sekarang), sabên (setiap) wontên (ada) pangantèn (penganten) kang (yang) rinêngga (dihelat) gung (besar), tamtu (pasti) mawi (dengan) kêmbar mayang (kembar mayang), jaman (zaman) purwa (Purwa) kang (yang) pinirid (ditiru). Dihias oleh Hyang Guru dengan pohon kayu Dewadaru. Disebut sampai sekarang setiap ada pengantin yang dihelat besar-besaran, pasti disertai dengan kembar mayang, zaman Purwa yang ditiru.

Pernikahan Arjuna dan Wara Sumbadra didukung oleh para dewata. Hyang Odipati (nama lain Hyang Guru) sampai mengirim pohon dewadaru sebagai hiasan di tempat perhelatan pernikahan. Pohon dewadaru adalah pohon di kahyangan. Peristiwa itu kemudian di tiru oleh para pengntin di Jawa. Jika ada pernikahan yang dihelat besar pasti ada simbol dari pohon dewadaru ini. bentuknya sepasang susunan janur kuning yang biasa disebut kembar mayang.

Kaliyan (serta) pratelanira (pernyataan, ceritanya), kala (saat) nata (Raja) Pandhawa (Pandawa) mangun (mengadakan) jurit (perang), sakadang (beserta saudara) warga (warga, prajurit) sadarum (semua), mêngsah (melawan) Sri Suyudana (Sri Suyudana), sakadange (bersama

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 49

Kajian Sastra Klasik

saudaranya) Sata (seratus) Korawa (Korawa) angêbyuk (menyerbu), (n)jabêl (mengambil) prajadi (negara agung) Ngastina (Astina). Serta cerita tentang saat Raja Pandawa mengadakan perang, beserta saudara dan prajurit semua, melawan Sri Suyudana bersama saudara seratus Korawa menyerbu mengambil kembali negara agung Astina.

Selain cerita tentang pernikahan Arjuna, cerita satunya berkisah tentang perang besar di negeri Astina. Ketika itu Raja Pandawa Prabu Yudhistira memobilisasi pasukan besar untuk mengambil kembali haknya sebagai pewaris tahta Astina yang sebelumnya dikuasai Sri Suyudana melalui tipudaya perjudian. Menurut perjanjian siapa yang kalah judi harus mengasingkan diri selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Pandawa yang kalah judi sudah menjalani pengasingan dan penyamaran tersebut. Namun ketika mereka akan kembali ke Astina untuk bertahta kembali Sri Suyudana menolak menyerahkan kerajaan. Sri Suyudana beserta saudaranya seratus Korawa bahkan juga menyiapkan pasukan untuk menghadapi Pandawa. Perang besar akhirnya pecah.

Pandhawa (Pandawa) unggul (menang) ing (dalam) jurit (perang), winastanan (disebut) Bratayuda (Baratayuda). Pandawa menang dalam perang yang disebut Baratayuda.

Perang itu disebut baratayuda karena pelaku perang adalah keturunan dari Prabu Barata, raja Ayodya yang merupakan leluhur kedua klan, Pandawa dan Korawa. Dalam perang besar itu Pandawa memenangkan perang meski dengan pengorbanan yang sangat besar. Sejumlah 18 akshohini pasukan musnah.

Akshohini adalah gelar pasukan yang merupanan kesatuan divisi besar yang terdiri dari 10 anihini, yang setiap anihini terdiri dari 3 samu, yang setiap samu terdiri dari 3 birudanai, yang setiap birudanai terdiri dari 3 wahini, yang setiap wahini terdiri dari 3 ganam, yang setiap ganam terdiri dari 3 gulman, yang setiap gulman terdiri dari 3 senamukha, yang setiap senamukha terdiri dari 3 pathi. Kesatuan terakhir yakni pathi terdiri dari 1 kereta perang dengan ksatria dan kusirnya, 1 gajah perang, 3 prajurit kavaleri dan 5 prajurit infanteri. Jadi kalau dijumlah 1 akshohini terdiri dari: 21.870 kereta perang, 21.870 gajah perang, 65.610 prajurit berkuda

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 50

Kajian Sastra Klasik

dan 109.350 prajurit infanteri. Sehingga prajurit yang gugur dalam perang Baratayuda sejumlah:

393. 660 kereta perang, 393.660 gajah perang, 1.180.980 prajurit kavaleri beserta kudanya, 1.968.300 prajurit infanteri.

Bisa dibayangkan betapa hebat perang Baratayuda itu.

Kinanthènan (disertai) sarasilah (silsilah) tumrahing (anak keturunan), Pandhawa (Pandawa) myang (dan) para (para) ratu (raja), ingaturakên (dihaturkan) sigra (segera), mring (kepada) Suhunan (sunan) Kalijaga (Kalijaga) sadayèku (semua itu), langkung (sangat) sukanirèng (suka dalam) driya (hati). Disertai juga silsilah anak keturunan Pandawa dan para raja, dihaturkan segera kepada Sunan Kalijaga semua itu, sangat suka dalam hati (Sang Sunan).

Selain gambar dan cerita, disertakan pula silsilah dari tokoh-tokoh yang disebut dalam kedua kisah. Juga nama-nama para raja dalam cerita tersebut. Kangjeng Sunan sangat gembira menerima naskah itu karena dapat mempelajari sejarah yang terjadi di tanah Jawa.

Gambar (gambar) tri (tiga) wus (sudah) dènpriksani (diperiksa), tanya (bertanya) marang (kepada) Yudhisthira (Yudhistira), sintên (siapa) ingkang (yang) gadhah (mempunyai) wayangan (bayangan) katri (tiga), ingkang (yang) ginambar (digambar) puniku (itu), satunggal-tunggalira (satu per satu). Gambar tiga sudah diperiksa, bertanya kepada Yudhistira, “Siapa yang mempunyai bayangan ketiga ini, yang digambarkan itu, satu per satunya?”

Gambar bayangan yang tiga sudah diperiksa oleh Kangjeng Sunan. Beliau kemudian menanyakan perihal ketiga tokoh dalam gambar tersebut satu per satu.

Prabu Darmakusuma (Prabu Darmakusuma) lajêng (lalu) umatur (berkata), kang (yang) sarta (disertai) mawa (dengan) pratelan (penggambaran), agêng (besar) miwah (serta) inggilnèki (tingginya),

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 51

Kajian Sastra Klasik

titiga (tiga) ingkang (yang) ginambar (digambar), wus (sudah) pratela (dinyatakan) kadi (seperti) sinêbut (disebut) ngarsi (di depan). Prabu Darmakusuma lalu mengatakan yang disertai dengan penggambaran besar serta tingginya tiga (tokoh) yang digambar itu, seperti yang telah dinyatakan di depan.

Prabu Darmakusuma lalu menjelaskan tentang siapa ketiga tokoh itu. Seperti yang telah disebutkan di atas, ketiganya adalah Prabu Baladewa, Prabu Kresna dan Arya Wrekudara. Dijelaskan profil dan postur, besar tingginya dan watak dari ketika tokoh tersebut kepada Sunan Kalijaga.

Tanya (bertanya) malih (lagi) (n)Jêng (Kanjeng) Sinuhun (Sunan), nahanta karsa (kehendak) para (para), asung (memberi) gambar (gambar) dalah (beserta) ing (dengan) saprabotipun (perangkatnya), sastra (sastra) cariyosing (cerita dari) Buda (zaman Budha). Bertanya lagi Kangjeng Sunan, “Apa kehendak para yang memberi gambar beserta perangkatnya berupa sastra cerita dari zaman Budha?”

Bertanya lagi Sang Sunan, apakah maksud dari Prabu Yudhistira menyerahkan gambar dan naskah cerita dari zaman Budha tersebut? Apa yang ingin diharapkan dari Sunan Kalijaga terhadap ketiga gambar dan naskah cerita tersebut?

Kumambang (muncul, keluar) matur (perkataan) sang (sang) aji (raja). Keluarlah perkataan Sang Raja.

Kumambang artinya timbul (keluar) dari dalam. Dalam hal ini yang dikatakan timbul adalah perkataan Sang Raja. Sengaja dipilih kata kumambang sebagai isyarat akan masuk ke pupuh Maskumambang pada bait berikutnya.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 52

Kajian Sastra Klasik

Pupuh 134

Maskumambang

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 53

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (134:1-12): Prabu Yudhistira Mangkat, Dimakamkan Di Demak

Pupuh 134 Maskumambang (metrum: 12i, 6a, 8i, 8a), bait ke-1 sampai bait ke-12, Serat Centhini:

Dhuh Susunan Kali gurunadi mami, gambar wawayangan, titiga siki puniki, mugi-mugi tinumrapna. gigiring kang maesa danu artining, kuliting maesa. Walikan dadosirèki, babalunge kang maesa. kaanggeya kuliting gambar puniki. Sunguning maesa, kaanggeya ototnèki. kuliting kanang maesa, kaanggoa inggih babalunganèki, sarta ginancarna, ing salampah-salampahing, supadya dadya tuladha, têmbe wingking sagunging kang pra narpati, satriya myang wadya, pra èstri pra maharêsi, sagung isining bawana. Gya winarna Sri Yudhisthira narpati, sawusing pratela, gancaring cariyos nguni, amit wus praptèng antaka, puput yuswa sampurna mring jaman suci, layon binarsihan, sung sasmita maring dasih. Paripurna wus pinêtak, wontên tapak-tilas palênggahanèki, ngandhaping mandira. Rampung pamêtaking jisim, lajêng sinungan têngêran, kijing sela rineka cirining nami, Kyai Yudhisthira, lêstari têkèng samangkin, nèng lor-kulon masjid Dêmak. Ki Rasika angling mring rowangirèki, criyos sampun tamat, kijing kang panjang nglangkungi, ciri Kyai Yudhisthira. Kang sinung ngling tanya paran kajêngnèki, dènnya babat wana, wilujêng sampun barêsih, rata kadi ara-ara.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 54

Kajian Sastra Klasik

E makatên lajênge cariyos inggih, dènnya babat wana, wilujêng sampun barêsih, rata kadi ara-ara.

Kajian per kata:

Dhuh (Duhai) Susunan (Sunan) Kali (Kalijaga) gurunadi (guru) mami (mami), gambar (gambar) wawayangan (bayangan), titiga (tiga) siki ( sekarang) puniki (ini), mugi-mugi (harap) tinumrapna (diterapkan), gigiring (punggung) kang maesa (kerbau) danu (besar) artining (artinya), kuliting (kulit dari) maesa (kerbau). “Duhai Sunan guru saya, gambar bayangan yang tiga sekarang ini harap diterapkan pada punggung kerbau besar, artinya pada kulit kerbau.”

Prabu Yudhistira meminta agar ketiga gambar bayangan tadi diterapkan pada kulit kerbau. Digambar pada kulit kerbau kemudian digunting sesuai gambar tadi. Jadilah bakal anak wayang yang kita kenal di zaman sekarang.

Walikan (sebaliknya) dadosirèki (jadinya), babalunge (tulang-tulang) kang maesa (kerbau tadi), kaanggeya (dipakai) kuliting (kulit, warna) gambar (gambar) puniki (ini). Sebaliknya jadinya tulang-tulang dari kerbau tadi, dipakai sebagai pewarna gambar ini.

Sebaliknya, tulang-tulang kerbau mohon dipakai sebagai bahan pewarna dari gambar tersebut. Kuliting gambar yang dimaksud dalam bait di atas adalah pewarna atau tinta yang dipakai untuk melukis (sungging) gambar tadi.

Sunguning (tanduk) maesa (kerbau), kaanggeya (dipakai) ototnèki (sebagai otot), kuliting (kulit) kanang maesa (kerbau itu), kaanggoa (dipakailah) inggih (yaitu) babalunganèki (menegakkan). Tanduk kerbau dipakai sebagai otot dari kulit kerbau itu, yakni dipakai untuk menegakkan.

Tanduk dari kerbau mohon dipakai sebagai otot penguat bagi kulit kerbau yang sudah dibentuk dan digambar. Otot yang dimaksud adalah sebagai penguat agar gambar kulit kerbau tadi tidak terlihat dan dapat berdiri.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 55

Kajian Sastra Klasik

Inilah yang dimaksud sebagai Cempurit atau pegangan wayang. Setelah kulit digambar dipotong lalu diberi cempurit dari tanduk kerbau maka lengkaplah anak wayang seperti yang kita kenal di zaman sekarang ini.

Sarta (serta) ginancarna (uraikanlah), ing (dalam) salampah-salampahing (lakon-lakon), supadya (supaya) dadya (menjadi) tuladha (contoh), têmbe (kelak) wingking (di belakang) sagunging (segenap) kang (yang) pra (para) narpati (raja), satriya (ksatria) myang (dan) wadya (pasukan), pra (para) èstri (istri) pra (para) maharêsi (resi agung, pendeta besar, tokoh agama), sagung (segenap) isining (isi dari) bawana (dunia). Serta uraikanlah dalam lakon-lakon supaya menjadi contoh kelak di belakang hati bagi segenap para raja ksatria dan pasukan, para wanita para resi agung segenap isi dari dunia.”

Prabu Yudhistira meminta, setelah lengkap anak wayang, lalu dijalankan cerita-cerita agar dapat dijadikan teladan dan contoh dalam kehidupan. Kelak para raja ksatria, pasukan, para wanita dan para pendeta dan segenap lapisan masyarakat dapat mengambil pelajaran dari pertunjukan wayang kulit tadi. Kelak selama berabad-abad wayang kulit memang menjadi sarana pertunjukan sekaligus pendidikan moral bagi orang Jawa.

Gya (segera) winarna (diceritakan) Sri (Sri) Yudhisthira (Yudhistira) narpati (Raja), sawusing (setelah) pratela (menceritakan), gancaring (uraian) cariyos (cerita) nguni (zaman dulu), amit (pamit) wus (sudah) praptèng (sampai waktu) antaka (kematiannya). Segera diceritakan Sri Raja Yudhistira , setelah menceritakan uraian cerita zaman dahulu, pamit sudah sampai waktu kematiannya.

Setelah selesai pesan-pesan yang disampaikan, Sri Yudhistira segera pamit untuk menyempurnakan hidupnya, meninggalkan dunia dengan cara yang wajar sebagaimana manusia lain. Sekarang beliau tidak merasa terbebani dengan jimat Kalimasada yang telah berhasil diuraikan oleh Sang Guru. Beliau dapat meninggal dunia dengan tenang.

Puput yuswa (putus umur, wafat) sampurna (sempurna) mring (menuju) jaman (zaman) suci (suci), layon (jenazah) binarsihan (disucikan), sung (memberi) sasmita (isyarat) maring (kepada) dasih (para kawula). Wafat

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 56

Kajian Sastra Klasik

sempurna menuju zaman suci, jenazah disucikan, (Sunan) memberi isyarat kepada para kawula.

Wafat sudah Sri Yudhistira dengan sempurna menuju zaman suci. Jenazah sudah disucikan. Sang Sunan memberi isyarat kepada para santri yang sedang membabat hutan untuk segera memakamkan Sri Yudhistira.

Paripurna (selesai) wus (sudah) pinêtak (dimakamkan), wontên (di) tapak-tilas (petilasan) palênggahanèki (tempat dia duduk bertapa), ngandhaping (di bawah) mandira (pohon). Selesai sudah (dimandikan) lalu dimakamkan di petilasan tempat dia duduk bertapa, di bawah pohon.

Selesai sudah prosesi pemakaman Sri Yudhistira. Beliau dimakamkan di tempat dia duduk bertapa. Yakni di bawah pohon tempat dia bertemu dengan Sunan Kalijaga.

Rampung (selesai) pamêtaking (pemakaman) jisim (jenazah), lajêng (lalu) sinungan (diberi) têngêran (tanda), kijing (nisan) sela (batu) rineka (dibuat) cirining (tanda dari) nami (nama), Kyai Yudhisthira (Kyai Yudhistira), lêstari (lestari) têkèng (sampai) samangkin (sekarang), nèng (di) lor-kulon (barat daya) masjid (masjid) Dêmak (Demak). Selesai pemakaman jenazah lalu diberi tanda nisan batu dibuat tanda dari nama Kyai Yudhistira, lestari sampai sekarang di barat daya masjid Demak.

Sebagai peringatan tempat pemakaman Sri Yudhistira, pada makamnya diberi nisan bertuliskan namanya: Kyai Yudhistira. Sampai sekarang makam itu masih lestari. Letaknya di belakang masjid Demak, arah barat laut.

Ki Rasika (Ki Rasika) angling (berkata) mring (kepada) rowangirèki (temannya), criyos (cerita) sampun (sudah) tamat (tamat), kijing (nisan) kang (yang) panjang (panjang) nglangkungi (melebihi), ciri (tanda) Kyai Yudhisthira (Kyai Yudhistira). Ki Rasika berkata kepada temannya, “Cerita sudah tamat, nisan panjang yang melebihi lainnya adalah tanda makam Kyai Yudhistira.”

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 57

Kajian Sastra Klasik

Ki Rasika berkata kepada orang-orang yang bertanya tentang cerita Prabu Yudhistira, “Ceritanya sudah tamat. Inilah kisahnya makam nisan panjang di masjid Demak yang dipercaya sebagai makam Kyai Yudhistira.”

Kang (yang) sinung (diberi) ngling (kata, cerita) tanya (bertanya) paran (bagaimana) kajêngnèki (pohon-pohonnya), dènnya (yang mereka) babat (membabat) wana (hutan), wilujêng (selamat) sampun (sudah) barêsih (bersih), rata (rata) kadi (seperti) ara-ara (lapangan). Yang diberi cerita bertanya, “Bagaimana pohon-pohonnya, yang mereka membabat hutan selamat sudah bersih, rata seperti lapangan?”

Orang-orang yang mendengarkan cerita bertanya lagi, “Ki apakah yang membaba hutan berhasil? Apakah hutan sudah bersih menjadi seperti lapangan?”

E (eh) makatên (seperti ini) lajênge (kelanjutan) cariyos (cerita) inggih (ya), dènnya (mereka yang) babat (membabat) wana (hutan), wilujêng (selamat) sampun (sudah) barêsih (bersih), rata (rata) kadi (seperti) ara-ara (lapangan). “Eh, seperti ini kelanjutan ceritanya, ya mereka yang membabat hutan selamat, sudah bersih rata seperti lapangan.”

Ki Rasika menjawab, “Eh, ada kelanjutan ceritanya. Hutannya sudah berhasil dibabat dengan bersih seperti lapangan. Saya ceritakan sedikit kelanjutan cerita di atas.”

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 58

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (134:13-20): Wayang Kulit Pertama

Pupuh 134 Maskumambang (metrum: 12i, 6a, 8i, 8a), bait ke-13 sampai bait ke-20, Serat Centhini:

Sunan Kali wus wangsul dhatêng ing Giri, pinuju pêpakan, sanggyaning kang para Wali, Sunan Kali tur pratela, lampahipun tinuding babat wanadri, purwa wasananya, miwiti malah mêkasi, pan sampun katur sadaya. Para Wali samya karênan ing galih, abipraya rêmbag, amujudakên ing warni, ingkang kasêbut pèngêtan. Kang kinarya guru wawayangan katri, gêr-ugêr polatan, mêndhêt saking netranèki, bèntêning pasêmonira. saka pawulatan datan liya saking, papasanging netra. Manawi akarya ringgit, netra wangun gêdhondhongan, mirid saking gambaring wayangannèki, Prabu Baladewa, narendra Madura nagri. Manawi adamêl netra, wangun liyêp mirid saking wayanganing, Sri Narendra Krêsna, Sinuhun ing Dwarawati. Utawi bilih iyasa, mata wangun manthêlêng sêrêng rêspati, mirid wayangannya, satriya ing Jodhipati, Radyan Arya Wrêkodara.

Kajian per kata:

Sunan Kali (Sunan Kalijaga) wus (sudah) wangsul (kembali) dhatêng (ke) ing (di) Giri (Giri), pinuju (sedang) pêpakan (lengkap), sanggyaning (segenap) kang (yang) para (para) Wali (Wali). Sunan Kali (Sunan Kalijaga) tur pratela (melaporkan), lampahipun (perjalanannya) tinuding (ditunjuk) babat (membabat) wanadri (hutan), purwa (awal) wasananya (sampai akhir), miwiti (memulai) malah (serta) mêkasi (mengakhiri), pan (sungguh) sampun (sudah) katur (dilaporkan) sadaya (semua). Sunan

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 59

Kajian Sastra Klasik

Kalijaga sudah kembali ke Giri, sedang lengkap segenap para Wali. Sunan Kalijaga melaporkan perjalanannya ditunjuk membabat hutan, awal sampai akhir, dari memulai sampai mengakhiri sudah dilaporkan semua.

Sunan Kalijaga telah selesai menjalankan tugas memimpin pembabatan hutan Glagahwangi sebagai calon kotaraja kerajaan Islam yang akan dibangun. Beliau lalu melaporkan hasil pekerjaannya kepada Kangjeng Sunan Giri di Giri Kedaton. Di sana telah berkumpul para Wali, sesepuh dan penasihat bakal kerajaan Islam. Sunan Kalijaga melaporkan dengan rinci apa yang baru saja dialaminya, termasuk beberapa pesan dari Prabu Yudhistira mengenai pembuatan anak wayang dan pesan agar diadakan pertunjukan wayang sebagai sarana pembelajaran kepada para kawula semuanya. Adapun kisah-kisah dari pertunjukan itu juga sudah diberi naskah yang asalnya dari zaman kuna.

Para (para) Wali (Wali) samya (semua) karênan (suka) ing (dalam) galih (hati), abipraya (satu kehendak) rêmbag (sepakat), amujudakên (mewujudkan) ing (dalam) warni (bermacam), ingkang (yang) kasêbut (disebut) pèngêtan (dalam naskah cerita). Para Wali semua bersuka hati, satu kehendak sepakat mewujudkan apa yang disebut dalam naskah cerita.

Para Wali semua mendukung diwujudkannya pesan itu. Mereka merasa senang karena mendapat materi baru untuk berdakwah mendekati masyarakat yang waktu itu sebagian besar masih memeluk agama lama. Diharapkan dengan media itu dakwah para Wali lebih menyentuh hati para pemirsa pertunjukan.

Kang (yang) kinarya (dipakai) guru (pedoman) wawayangan (gambar bayangan) katri (tiga), gêr-ugêr (pedoman) polatan (raut muka), mêndhêt (mengambil) saking (dari) netranèki (corak matanya), bèntêning (perbedaan) pasêmonira (raut mukanya), saka (dari) pawulatan (cara pandang) datan (tak) liya (lain) saking (dari), papasanging (penggambaran) netra (mata). Yang dipakai sebagai pedoman gambar bayangan tiga, pedoman raut muka mengambil dari corak matanya, perbedaan raut mukanyadari cara pandang tak lain dari penggambaran mata.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 60

Kajian Sastra Klasik

Kemudian mulailah para Wali merancang satu-persatu anak-anak wayang sesuai cerita yang ada. Sebagai patokan, diambil gambar dari ketiga gambar bayangan yang diserahkan oleh Prabu Yudhistira. Dari ketiga karakter itu diturunkan berbagai karakter gambar anak wayang yang mirip dan sesuai. Diberi perbedaan sedikit pada roman muka dan bentuk mata, agar mencerminkan karakter anak wayang sesuai cerita.

Manawi (kalau) akarya (membuat) ringgit (wayang), netra (mata) wangun (bentuk) gêdhondhongan (godhongan), mirid (mencontoh) saking (dari) gambaring (gambar dari) wayangannèki (wayangnya), Prabu Baladewa (Prabu Baladewa), narendra (raja) Madura (Mandura) nagri (negara). Kalau membuat wayang mata bentuk godhongan mencontoh dari gambar wayangnya Prabu Baladewa raja dari Madura.

Kalau membuat anak wayang yang matanya berbentuk godhongan, mencontoh dari gambar Prabu Baladewa.

Manawi (kalau) adamêl (membuat) netra (mata), wangun (bentuk) liyêp (liyep) mirid (mencontoh) saking (dari) wayanganing (bayangannya), Sri Narendra Krêsna (Sri Narendra Kresna), Sinuhun (raja) ing (di) Dwarawati (Dwarawati). Kalau membuat mata bentuk liyep mencontoh dari gambar bayangan Sri Narendra Kresna, raja dari Dwarawati.

Kalau membuat karakter dengan mata bentuk liyep mengambil contoh dari Prabu Batara Kresna. Dengan sedikit perbedaan pada warna, tinggi dan besarnya anak wayang, sesuai karakter dalam cerita masing-masing.

Utawi (atau) bilih (kalau) iyasa (membuat), mata (mata) wangun (bentuk) manthêlêng (melotot) sêrêng (galak) rêspati (gagah), mirid (mencontoh) wayangannya (bayangan), satriya (ksatria) ing (di) Jodhipati (Jodhipati), Radyan (raden) Arya Wrêkodara (Arya Wrekudara). Atau kalau membuat mata bentuk melotot galak gagah mencontoh bayangan ksatria di Jodhipati, Raden Arya Wrekudara.

Bila membuat wayang yang gagah dan berani, mencontoh mata dari Raden Wrekudara yang mentheleng, melotot. Ada banyak karakter yang mirip, tentu dengan sedikit perbedaan pada warna, corak pakaian, tinggi-besar, dan lain sebagainya.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 61

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (134:21-27): Wayang Raksasa

Pupuh 134 Maskumambang (metrum: 12i, 6a, 8i, 8a), bait ke-21 sampai bait ke-27, Serat Centhini:

Paripurna dènnira amirid-mirid, nanging sarêng arsa, damêl wawayang rasêksi, rasêksa inggih danawa. para Wali ragi kawêkèn ing galih, amarga (n)Jêng Sunan, kalimput nalika panggih, tatanya mring Yudhisthira. Wêwah-wêwah danawa cariyosnèki, doyan mangsa kewan, myang mangsa wangkening janmi, nanging sagêd tatajanma. Samya minggu mêngêng mêksa tan amingis, sajroning kèmêngan, saking plênggahan tan têbih, wontên sagawon lumajar, (ng)Gondhol balung untu siyung amaringis. Sunan Kalijaga, antuk wêwênganing wingit, tinarbuka ring Hyang Suksma, dènnya damêl gambar wayangan rasêksi. Sipat myang wulatan, amirid sagawon mringis, badan wayangan manungsa. Sinêmbadan gêng luhur glabêg ngajrihi, mèh tanpa bangkèkan. Ulat sirung netra andik, mrêngangah dhepah (m)brêgagah.

Kajian per kata:

Paripurna (selesai) dènnira (dalam mereka) amirid-mirid (mencontoh-contoh), nanging (tetapi) sarêng (ketika) arsa (hendak), damêl (membuat) wawayang (wayang) rasêksi (raseksi), rasêksa (raseksa) inggih (yaitu) danawa (raksasa), para (para) Wali (Wali) ragi (agak) kawêkèn (kerepotan) ing (dalam) galih (hati), amarga (karena) (n)Jêng (Kangjeng) Sunan (Sunan), kalimput (lalai) nalika (ketika) panggih (berjumpa), tatanya (menanyakan) mring (kepada) Yudhisthira (Yudhistira). Selesai dalam mereka mencontoh-contoh (karakter wayang), tetapi ketika hendak membuat anak wayang raseksi-raseksa, yakni raksasa, para Wali

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 62

Kajian Sastra Klasik

kerepotan dalam hati karena ketika berjumpa Kangjeng Sunan lalai menanyakan kepada Yudhistira.

Selesai para Wali mereka-reka gambaran anak wayang sesuai tiga sketsa karakter yang dibawa oleh Prabu Yudhistira. Namun mereka kemudian merasa kesulitan ketika hendak membuat anak wayang dari tokoh raksasa. Karena di dalam naskah disebutkan beberapa karakter raseksa-raseksi, seperti Prabu Baka, Dewi Arimbi, dan lain-lain. Sedangkan untuk tokoh ini Kangjeng Sunan dahulu lalai menanyakan kepada Prabu Yudhistira tentang wujud dan bentuknya.

Wêwah-wêwah (apalagi) danawa (raksasa) cariyosnèki (cerintaya), doyan (gemar) mangsa (memangsa) kewan (hewan), myang (dan) mangsa (memangsa) wangkening (bangkai) janmi (manusia), nanging (tetapi) sagêd (bisa) tatajanma (bicara seperti manusia). Apalagi ceritanya raksasa gemar memangsa hewan dan memangsa bangkai manusia, tetapi bisa berbicara seperti manusia.

Apalagi menurut dalam naskah yang dibawa Yudhistira para raksasa tadi mempunyai sifat yang buas dan pemakan bangkai tetapi bisa tatajanma. Tatajanma atau tatajalma artinya bisa berlaku seperti manusia, yakni bisa berbicara dengan bahasa manusia. Para wali merasa kerepotan membayangkan bentuk dan menggambarkan karakter wayang karena sifat-sifat raksasa yang aneh menurut ukuran zaman itu.

Samya (semua) minggu (diam) mêngêng (bingung berfikir keras) mêksa (masih) tan (tak) amingis (muncul). Sajroning (dalam keadaan) kèmêngan (serba buntu), saking (dari) plênggahan (tempat duduk) tan (tak) têbih (jauh), wontên (ada) sagawon (anjing) lumajar (berlari), (ng)Gondhol (menggondol) balung (tuling) untu (gigi) siyung (taring) amaringis (meringis). Semua diam berfikir keras masih belum muncul (ide). Dalam keadaan serba buntu, dari tempat duduk tak jauh ada seekor anjing berlari menggondol tulang dengan gigi taring meringis.

Semua diam berfikir keras mencari ide gambar anak wayang raksasa yang sesuai dengan cerita. Dalam keadaan serba buntu dari tempat mereka

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 63

Kajian Sastra Klasik

duduk, tampak ada seekor anjing yang berlari. Anjing itu menggondol tulang dengan gigi taring yang meringis.

Sunan Kalijaga (Sunan Kalijaga), antuk (mendapat) wêwênganing (pencerahan dari) wingit (kegelapan, kebuntuan), tinarbuka (dibuka) ring (oleh) Hyang (Tuhan) Suksma (Maha Suci), dènnya (dalam dia) damêl (membuat) gambar (gambar) wayangan (anak wayang) rasêksi (raksasa). Sipat (sifat) myang (dan) wulatan (roman muka), amirid (mencontoh) sagawon (anjing) mringis (meringis), badan (badan) wayangan (anak wayang) manungsa (manusia). Sunan Kalijaga mencapat pencerahan dari kebuntuan, dibuka oleh Tuhan Yang Maha Suci dalam dia membuat gambar anak wayang raksasa. Sifat dan roman muka mencontoh anjing meringis, badan anak wayang berupa manusia.

Sunan Kalijaga mendapat inspirasi gambar anak wayang raksasa. Roman muka dan sifat raksasa dibuat seperti anjing meringis tadi. Untuk mendapatkan karakter buas seperti hewan galak yang suka memakan daging. Karakter anjing lebih cocok dibanding hewan buas lainnya seperti macan karena penampilan anjing liar tampak lebih ganas, agrsif dan urakan. Beda dengan macan yang tenang meskipun dalam keadaan lapar. Jadilah muka anak wayang raksasa dibuat seperti anjing meringis yang taringnya keluar. Sedangkan tubuhnya dibuat mirip dengan tubuh manusia karena raksasa memang biasa hidup seperti manusia dan bisa berbicara dengan bahasa manusia.

Sinêmbadan (dibuat gagah) gêng (besar) luhur (tinggi) glabêg (malas, ngeyel, urakan) ngajrihi (menakutkan), mèh (hampir) tanpa (tanpa) bangkèkan (pinggang). Ulat (roman muka) sirung (seram, gelap) netra (mata) andik (melotot), mrêngangah (bersinar merah) dhepah (besar, terkesan pendek karena besar) (m)brêgagah (berkesan gagah). Dibuat gagah besar tinggi urakan menakutkan, hampir tanpa pinggang. Roman muka serang mata melotot bersinar merah besar pendek dan berkesan gagah.

Namun sesuai karakternya yang buas, anak wayang raksasa dibuat agar tampak gagah, besar, tinggi dan berkesan urakan sehingga menakutkan.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 64

Kajian Sastra Klasik

Kesan besar didapat karena pinggangnya dibuat hampir rata. Perutnya dibuat tambun dan tubuhnya dibuat gemuk sehingga tampak dhepah.

Dhepah adalah postur besar dan terkesan pendek karena besarnya itu. Seperti Mike Tyson itu kalau di TV tampak pendek padahal tinggi 180 cm, termasuk tinggi untuk ukuran rata-rata manusia. Mbregagah adalah gestur tubuh sok gagah, disimbolkan dengan langkah kaki yang lebar. Anak wayang raksasa sepintas kalau dilihat memang menakutkan dan perkasa. Padahal dalam kenyataan mereka mudah dikalahkan oleh para ksatria yang posturnya kecil dan kalem.

Selesai sudah para Wali membuat desain gambar masing-masing karakter anak wayang.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 65

Kajian Sastra Klasik

Kajian Centhini (134:28-33): Penutup

Pupuh 134 Maskumambang (metrum: 12i, 6a, 8i, 8a), bait ke-28 sampai bait ke-33, Serat Centhini:

Sampun rampung dènnya mangadani ringgit, mirid tri wayangan, dados balungipun ringgit, ingkang ginapit punika. Têrangipun aturing Yudhisthira ji, kuliting maesa, dados balungipun ringgit, ingkang ginapit punika. Sungunipun dados ototing kang ringgit, lah inggih punika, ingkang dipun angge gapit, miwah campuriting wayang. Balungipun maesa kinarya kulit, artose mangkana, kadamêl dhasaring sungging, saking bubukaning tulang. (ng)Gih punika purwanipun wontên ringgit, wacucal maesa, ingkang gumêlar samangkin, mujudkên nganggit lampahan. Tan lyan saking kramate (n)Jêng Sunan Kali, Wali wolu samya, mangayubagya ngidèni, sampun cuthêl criyosingwang.

Kajian per kata:

Sampun (sudah) rampung (selesai) dènnya (mereka) mangadani (membuat) ringgit (wayang), mirid (mencontoh) tri (tiga) wayangan (gambar wayang), dados (menjadi) balungipun (tulangan) ringgit (wayang), ingkang (yang) ginapit (diapit) punika (itu). Sudah selesai mereka membuat wayang, mencontoh dari tiga gambar wayang, menjadi bentuk wayang yang diapit itulah.

Selesai sudah para Wali dalam membuat anak wayang sesuai pesan Sri Yudhistira. Sudah wujud anak wayang dari kulit kerbau yang digapit dengan sehingga dapat dimainkan untuk membawakan cerita dari kropak yang diserahkan oleh Yudhistira kepada Sunan Kalijaga.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 66

Kajian Sastra Klasik

Têrangipun (keterangan) aturing (pesan dari) Yudhisthira (Yudhistira) ji (raja), kuliting (kulit dari) maesa (kerbau), dados (menjadi) balungipun (tulang, maksudnya; baku) ringgit (wayang), ingkang (yang) ginapit (diapit) punika (itulah). Keterangan dari pesan Raja Yudhistira, kulit kerbau menjadi baku dari anak wayang yang digapit itulah.

Sesuai pesan dari Raja Yudhistira, kulit kerbau menjadi baku atau elemen pokok dari anak wayang yang digapit. Di dalam media kulit inilah nanti sebuah lakon akan dimainkan.

Sungunipun (tanduknya) dados (menjadi) ototing (otot dari) kang ringgit (wayang), lah (lah) inggih (ya) punika (itu), ingkang (yang) dipun (di) angge (pakai) gapit (mengapit), miwah (serta) campuriting (pegangan) wayang (wayang). Tanduknya menjadi otot dari wayang, yaitu yang dipakai mengapit, serta sebagai pegangan wayang.

Tanduk kerbau menjadi otot dari anak wayang tersebut. Yakni sebagai pengapit kulit kerbau tadi sehingga dapat tegak berdiri. Juga berperan sebagai pegangan untuk memaninkan anak wayang tersebut. Serta sebagai penguat kala anak wayang itu ditancapkan pada pokok pisang.

Balungipun (tulang dari) maesa (kerbau) kinarya (sebagai) kulit (kulit), artose (artinya) mangkana (begini), kadamêl (dipakai) dhasaring (sebagai dasar) sungging (lukisan), saking (dari) bubukaning (serbuk) tulang (tulang). Tulang dari kerbau sebagai kulit, artinya begini, dipakai sebagai dasar dari lukisan, yakni dibuat serbuk dari tulang.

Maksud bait ini, tulang ditumbuk hingga menjadi serbuk, lalu dipakai sebagai dasar dari lukisan (sungging) anak wayang tersebut.

(ng)Gih (ya) punika (inilah) purwanipun (awal cerita) wontên (ada) ringgit (wayang), wacucal (kulit) maesa (kerbau), ingkang (yang) gumêlar (digelar) samangkin (samapi sekarang). Mujudkên (merupakan) nganggit (karya) lampahan (lakon), tan (tak) lyan (lain) saking (dari) kramate (karomah) (n)Jêng (Kangjeng) Sunan (Sunan) Kali (Kalijaga). Ya inilah awal cerita ada wayang kulit kerbau, yang digelar sampai sekarang. Merupakan lakon karya, tak lain dari karomah Kangjeng Sunan Kalijaga.

Asal-Usul Wayang Kulit Serat Centhini 67

Kajian Sastra Klasik

Inilah cerita tentang asal-usul wayang kulit seperti yang kita jumpai sampai zaman sekarang. Seluruh anak wayang dan lakon yang dimainkan tak lain dari karomah Kangjeng Sunan Kalijaga. Maksud dari karomah adalah iguh pratikel, atau pemikiran Kangjeng Sunan Kalijaga yang sangat brilian dalam mengembangkan metode dakwah yang persuasif dan atraktif. Terobosan yang dilakukan oleh Kangjeng Sunan Kalijaga terbukti ampuh karena sampai ratusan tahun kemudian seni pertunjukan wayang masih eksis dan banyak penggemarnya.

Wali (Wali) wolu (delapan) samya (semuanya), mangayubagya (mendukung) ngidèni (mengijinkan). Wali delapan semuanya mendukung dan mengijinkan.

Wali delapan semuanya mendukung upaya yang dilakukan Sunan Kalijaga tersebut dan memberinya ijin untuk dipakai sebagai sarana dakwah memberdayakan masyarakat, pesan moral sekaligus media pembelajaran.

Sampun (sudah) cuthêl (tamat) criyosingwang (ceritaku). Sudah tamat ceritaku.

Cerita Ki Rasika juru kunci makam Glagahwangi sudah tamat.

Epilog

Demikian kajian kutipan dari Serat Centhini, Pupuh 132 sampai Pupuh 134 yang memuat cerita tentang asal-usul wayang kulit. Setiap cerita dalam sastra klasik selalu mengandung sanepan-sanepan yang maknanya tersembunyi. Kita tidak perlu terlalu fokus pada apa yang tertulis, tetapi hendaknya dapat menangkap pesan dari apa yang tidak tertulis. Orang Jawa (dan juga lainnya) jangan hanya membaca sesuatu secara tekstual!

Mirenglor, 31 Agustus 2019.

Bambang Khusen Al Marie