65

Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)
Page 2: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

1993

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Abstract

5. Pengertian Imunokompromais dan Respons Imun – Karnen Ba-ratawidjaja

10. Faktor-faktor Penyebab Kerentanan Pasien Imunokompromi ter-hadap Penyakit Infeksi – H. Soemarsono

13. Jenis Infeksi Nosokomial pada Pasien Kanker–H. Muchlis Ramli 18. Total Protected Environment untuk Mencegah Infeksi Nosokomial

di Ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM/FKUI – A. Harryanto Reksodiputro, Aru W. Sudoyo, Abdulmuthalib, Karmel L. Tambunan, Zubairi Djoerban, Abidin Widjanarko, Djumhana Atmakusuma

24. Surveilans Infeksi Nosokomial Luka Operasi di Bagian Bedah dan di Bagian Kebidanan/Penyakit Kandungan RSU Bekasi – Dean Wahyudy Satyaputra, Hario Untoro

26. Sanitasi Rumah Sakit sebagai Investasi – D. Anwar Musadad 29. Peranan Dokter dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial – Djoko

Roeshadi 31. Peranan Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial – Djoko

Roeshadi 33. Masalah Pencemaran Flora Kuman Rumah Sakit pada Pasien

Imunokompromi – aspek perawatan dan pengelolaan makanan – Made Nursari, Linda Amiati, Rusmiati

37. Tinjauan Mikrobiologi Makanan, Minuman dan Air pada Beberapa Rumah Sakit di Jakarta – Pudjarwoto Triatmodjo

41. Penelitian Kuman Patogen dalam Makanan Katering di Jakarta – Noer Endah Pracoyo, Sri Harjining, Pudjarwoto T.

44. Survai Poliomielitis Paralitik di Lokasi Transmigrasi Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara (1985 – 1986) – Eko Rahardjo, Suharyono Wuryadi, Gendrowahyuhono, Bambang Basuki, Nur Daini

49. Serokonversi terhadap Vaksin Polio Oral di Kalangan Anak-anak di Daerah Kumuh di Jakarta – Gendrowahyuhono

52. Demam Tifoid – epidemiologi dan perkembangan penelitian – Cyrus H. Simanjuntak

55. Perkembangan Antibiotik – Usman Suwandi 58. Obat Anti Malaria Baru – Emiliana Tjitra 62. Abstrak 64. RPPIK

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Page 3: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Seri ke dua dalam pembahasan infeksi nosokomial ini membicarakan segi imunologi dan masalah perawatan pasien imunokompromi; sebagian di anta-ranya telah dibahas dalam Simposium Infeksi Nosokomial pada Pasien Imuno-kompromi yang diselenggarakan beberapa waktu yang lalu.

Masalah perawatan ini tidak hanya mengenai pasiennya, tetapi juga meli-batkan peranan dokter, perawat, bahkan faktor makanan dan minuman yang disajikan; dan ternyata tidak semua makanan dan minuman yang disajikan di rumah sakit telah memenuhi syarat kesehatan; apalagi makanan yang disajikan untuk masyarakat umum.

Artikel-artikel ini disajikan agar selain faktor pengobatan, masalah ling-kungan dan perawatan juga mendapat perhatian yang selayaknya.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 2

Page 4: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

1992

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe- darmo

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– Drg. I. Sadrach

Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

REDAKSI KEHORMATAN

– DR. B. Setiawan PH.D

KETUA PENGARAH Dr Oen L.H

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

PELAKSANA Sriwidodo WS

TATA USAHA Sigit Hardiantoro

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

– DR. Ranti Atmodjo

– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSc.

– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

– DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan menge-nai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002

Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 3

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

English Summary THE CONCEPT OF IMMUNOCOM-PROMISE AND IMMUNE RESPONSE Karnen Baratawidjaja Allergy–Immunology Subdepartment, Department ofInternal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

A well-functioning immune

system is necessary for the main-tenance of health. Microorga-nisms are eliminated by several ways involving phagocytes, APC, T cells (rh, Is, Tc and Tdh cells), B cells (antibody), complement, NK cells and K cells.

The Th cells Is considered to function as the regulator of the immune system since it regulates the functions of the other immune-system-related cells.

If one or more components of the immune system do not function properly, the patient is more prone to nosocomial infection.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 83: 5-9 St

NOSOCOMIAL INFECTIONS AMONG CANCER PATIENTS Muchlis Ramli Oncology Subdepartment, Department of Surgery, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

Cancer patients can be classi-fied as immunocompromised cases, because their immune system can be influenced by

several factors: The cancer itself, the diagnostic measures or even the therapeutic regimens.

And since most of those pa-tients are usually treated in hospi-tals, they are prone to nosocomial infections which can be fatal; 50–70% of deaths among cancer patients are said to be caused by bacterial or fungal infections.

The main problems in cancer in Indonesia nowadays are the prevention and early detection, since more than 50% of cases who come to medical facilities have already in advanced stages. But with the advance-ment of therapeutic and pallia-tive care, nosocomial infections among cancer patients should be considered as a potential threat.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 83: 13-6

brw

NURSING AND FOOD-HANDLING ASPECTS IN MINIMIZING THE BACTERIA CONTAMINATION IN IMMUNOCOMPROMISED PA-TIENTS Made Nursari Cipto Man gunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

This report shows that one way

to nurse patients with compro-mised immunity such asTST(bone marrow transplant) patients is by practicing nursing principles which involve setting rules and regulations for the patients him/ herself, his/her family, the hospi-

tal employees, the hospital envi-ronment and a well planned nutritional program.

In this way, infections by micro-organisms can be minimized.

Cermin Dunla Kedokt. 1993; 83: 33-6

st

MICROBIOLOGICAL STUDIES ON FOOD AND WATER IN SEVERAL HOSPITALS IN JAKARTA Pudjarwoto Triatmodjo Health Research and Development Centre, Departement of Health, Indo-nesia, Jakarta

The types and microbial count

of the microorganisms present in foods, drinks and water in the bathrooms for patients in several hospitals in Jakarta were studied to obtain qualitative and quanti-tative data of the microorga-nisms responsible for nosocomial infections among the patients; WHO standard methods were used in these investigations.

The gram-negative bacteria - E. coil - was found to be the dominant contaminant in several types of foods, drinks and water in the bathrooms for patients. Other bacteriae found were Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Klebsiellaand molds such as Aspergillus. Thirty seven and half percent of the water and tea served to the patients did not meet the potable water standard listed in Permenkes no. 426/ MENKES/PER/IX/1990.

Cermin Dunia Kedokt. 1993; 83: 37-40 st/olh

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 4

Page 6: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Artikel

Pengertian Imunokompromais dan Respons Imun

Karnen Baratawidjaja Subbagian Alergi-Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Yang diartikan dengan imunokompromais ialah fungsi sis-tim imun yang menurun. Sistim imun terdiri atas komponen nonspesifik dan spesifik. Fungsi masing-masing komponen atau keduanya dapat terganggu baik oleh sebab kongenital maupun sebab yang didapat. Pada hal yang akhir, sistim imun tersebut sebelumnya berfungsi baik. Hal inilah yang dalam praktek se-hari-hari dimaksudkan dengan imunokompromais.

Keadaan imunokompromais yang sering ditemukan di dalam klinik dapat terjadi oleh infeksi (AIDS, virus mononukleosis, rubela dan campak), tindakan pengobatan (steroid, penyinaran, kemoterapi, imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit hematologik (limfoma/Hodgkin, leukemi, mieloma, neutropenia, anemi aplastik, anemi sel sabit), penyakit metabolik (enteropati dengan kehilangan protein, sindrom nefrotik, diabe-tes melitus, malnutrisi), trauma dan tindakan bedah (luka bakar, splenektomi, anestesi) dan lainnya (lupus eritematosus sistemik), hepatitis kronis)(1,2).

Berbagai 'tnikroorganisme (kuman, virus, parasit, jamur) yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada dalam badan penderita, yang dalam keadaan normal tidak patogenik atau me-miliki patogenesitas rendah, dalam keadaan imunokompromais dapat menjadi invasif dan menimbulkan berbagai penyakit. Oleh karena itu penderita yang imunokompromais mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi yang berasal dari badan sendiri maupun yang nosokomial dibanding dengan yang tidak imu-nokompromais.

Untuk mengerti hal-hal yang dapat terjadi pada keadaan imunokompromais, komponen-komponen sistim imun dan fungsinya masing-masing, respons imun serta mekanisme eliminasi antigen perlu dimengerti dengan baik.

Dipresentasikan pada : Simposium Infeksi Nosokomial pada Pasien Imuno-kompromi, Jakarta 8 Februari 1992.

SISTIM IMUN Sistim imun yang mempertahankan keutuhan tubuh terdiri

atas sistim imun nonspesifik (natural/innate) dan spesifik (adap-tive/acquired) (Gambar 1). Sistim imun nonspesifik sudah ada dan berfungsi sejak lahir, sedang yang spesifik baru berkembang sesudah itu(3)

Fagosit yang terdiri alas sel mononuklear (monosit dan makrofag) dan sel polimorfonuklear (granulosit yang terdiri atas neutrofil, eosinofil dan basofil) dibentuk dalam sumsum tulang. Gambar 1. Sistim Imun

Setelah berada dalam sirkulasi untuk 24 jam, sel monosit

bermigrasi ke tempat tujuan di berbagai jaringan dan di sana berdiferensiasi menjadi makrofag. Menurut fungsinya, makro-fag dapat berupa fagosit profesional atau Antigen Presenting Cell (APC).

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 5

Page 7: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk Fc dari Imunoglobulin, komplemen (C3b), IFN, MIF dan MAF. Di samping itu monosit dan makrofag dapat melepas bahan-bahan seperti lisozim, komplemen, IFN dan sitokin yang semuanya memberikan kontribusi dalam pertahanan tubuh.

Granulosit yang dibentuk dengan kecepatan 8 juta sel/menit hanya hidup 2-3 hari, sedang monosit/makrofag dapat hidup untuk beberapa bulan-tahun. Granulosit yang merupakan 60-70% dari seluruh sel darah putih, ditemukan juga di luar pembu-luh darah karena dapat menembus dinding pembuluh darah. Sel polimorfonuklear bergerak cepat dan sudah berada di tempat infeksi dalam 2-4 jam, sedang monosit bergerak lebih lambat dan memerlukan waktu 7-8 jam untuk sampai di tempat tujuan.

Sel sistim imun spesifik terdiri atas sel B dan sel T yang masing-masing merupakan sekitar 10% dan 70-85% dari semua limfosit dalam sirkulasi(4). Sel B tidak mempunyai subset tetapi sel T terdiri atas beberapa subset: sel Th, Ts, Tc dan Tdh.

Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig) yang terdiri atas IgG,IgM,IgA,IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai opsonin, dapat mengaglutinasikan kuman/ virus, menetralisir toksin dan virus, mengaktifkan komplemen (jalur klasik) dan berperanan pada Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal tetapi juga mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma, kanker, penolakan transplan, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada imunitas parasit(5). IgM dibentuk ter-dahulu pada respons imun primer sehingga kadar IgM yang tinggi menunjukkan adanya infeksi dini. IgM merupakan agluti-nator antigen serta aktivator komplemen (jalur klasik) yang poten. IgA ditemukan sedikit dalam sekresi saluran napas, cerna dan kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu ibu dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). IgA dan sIgA dapat menetralisir toksin, virus, mengagglutinasikan kuman dan mengaktifkan komplemen (jalur alternatif). IgE berperanan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Peranan IgD belum banyak diketahui dan diduga mempunyai efek antibodi pada alergi makanan dan autoantigen.

Sel Th yang disebut sel inducer merupakan regulator sistim imun oleh karena mengatur fungsi sel-sel sistim imun lainnya termasuk makrofag, sel B dan subset sel T lainnya.

Di samping sel-sel tersebut di atas masih ada sel non T non B yang terdiri atas sel NK (Natural Killer) dan sel K (Killer). Sel NK dapat membunuh sel tumor dan sel yang diinfektir virus secara nonspesifik tanpa bantuan antibodi, sedang sel K me-rupakan efektor dari ADCC yang dapat membunuh sel secara spesifik tetapi hanya dengan bantuan antibodi. RESPONS IMUN

Sel-sel utama yang berperan pada respons imun yaitu makrofag, sel T dan sel B. Sel-sel tersebut berinteraksi satu de-ngan yang lain secara langsung atau melalui interleukin (IL). Selain itu diikutsertakan pula komplemen, sel NK dan sel K.

Mikroorganisme yang menembus pertahanan mekanik norispesifik masih dapat dieliminir oleh elemen-elemen dari

sistim imun nonspesifik lainnya. Enzim lisozom yang ditemukan dalam banyak sekresi mampu menghancurkan dinding banyak bakteri. Komplemen dapat diaktifkan secara alternatif oleh ber-bagai bakteri. Aktivasi tersebut akan mengeliminir bakteri melalui lisis atau peningkatan fagositosis (melalui faktor kemotaktik, opsonin dan reseptor untuk komplemen pada permukaan fago-sit). Acute phase protein meningkat dan salah satu dari protein tersebut adalah C Reactive Protein (CRP) dan disebut demikian oleh karena mengikat protein C dari pneumokok. Ikatan antara CRP dan protein C tadi akan mengaktifkan komplemen secara alternatif. Aktivasi komplemen terlihat pada Gambar 2(6).

Gambar 2. Aktivasi komplemen

Yang berperanan pada imunitas virus adalah sel NK dan

interferon (IFN). IFN mengaktifkan sel NK dan meningkatkan resistensi sel normal terhadap infeksi virus (Gambar 3)(3). IFN alfa dan beta dibentuk leukosit dan sel yang diinfektir virus.

Gambar 3. Interferon dan sel NK .

Bila pertahanan sistim imun nonspesifik tidak dapat

mengeliminir kuman, sistim imun spesifik akan dikerahkan. Sistim ini bekerja spesifik dan menggunakan rnemori. Antigen akan mencetuskan serentetan reaksi yang menghasilkan aktivasi limfosit, produksi antibodi dan limfosit efektor yang spesifik untuk imunogen.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 6

Page 8: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Pada pertahanan spesifik ini, antigen mula-mula ditangkap oleh APC dan dipresentasikan ke sel T. Pada waktu yang ber-samaan sel APC melepas IL-1 yang mengaktifkan sel T. Sel T yang diaktifkan melepas berbagai interleukin (Gambar 4).

Dalam respons terhadap kebanyakan antigen (kecuali anti-gen se! T independen) antigen perlu diproses dahulu oleh sel APC. Hal ini disebabkan oleh karenā sel T yang merupakan regulator dari respons imun, hanya mengenal antigen melalui molekul MHC kelas II (MHC restricted). Sel-sel yang memiliki

permukaan MHC kelas II dan berfungsi sebagai APC adalah makrofag, sel dendritik, sel Langerhans di kulit, sel Kupffer di hati, sel mikroglia di susunan saraf pusat, sel B dan sekitar 1% dari semua sel monosit periferr'1.

Sebagai regulator respons imun, sel Th mengaktifkan limfosit lainnya dari sistim imun seperti sel B, sel Te dan sel Tdh. Aktivasi sel Th tersebut memerlukan 2 signal, yang pertama berasal dari ikatan antara reseptor antigen pada permukaan sel T dengan kompleks antigen MHC krlas II pada sel APC dan yang kedua

Gambar 4. Sistim Imun Spesirik

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 7

Page 9: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

berasal dari interleukin-1 (protein larut yang diproduksi sel APC). Kedua signal bersama-sama akan meningkatkan reseptor/ ekspresi permukaan untuk limfokin lain, IL-2 serta produksi faktor pertumbuhan dan diferensiasi (growth and differentiation factor) antara lain untuk sel B dan makrofag. IL-2 meningkatkan pertumbuhan sel yang memiliki ekspresi IL-2 (reseptor untuk IL-2) termasuk sel Th sendiri (efek autokrin) dan sel Tc. Jadi fungsi utama dari IL-2 ialah meningkatkan respons imun.

Sel Th akan mengaktifkan pula sel Tc yang fungsi utamanya membunuh semua sel yang non-self. Sel Tc dapat dibedakan dari sel Th oleh karena memiliki antigen CD8 dan dapat mengenal antigen asing dengan profil MHC kelas I. Protein CD4 mengikat molekul MHC kelas II dan CD8 mengikat molekul MHC kelas I pada APC. Jadi baik sel CD4 maupun CD8 berpartisipasi dalam pengenalan kompleks antigen-MHC.

Aktivasi sel Tc juga memerlukan 2 signal; yang pertama berasal dari interaksi antara reseptor pada sel T dengan kompleks asing molekul MHC kelas I pada sel sasaran (yang dapat berupa sel yang diinfektir virus, sel tumor atau sel transplan). Signal kedua berasal dari IL-2 yang diproduksi sel Th yang diaktifkan. Sel Tc yang diaktifkan memproduksi sitokin yang dapat meng-hancurkan sel.

Sel B menjadi scl plasma yang memproduksi antibodi. Di samping aktivasi sel Th seperti digambarkan di atas, sel B yang relevan juga mengikat antigen melalui reseptornya (berupa anti-bodi yang diikat pada permukaan selnya dan sama dengan jenis antibodi yang akan disekresinya kemudian). Ikatan tersebut merupakan signal aktivasi awal. Untuk aktivasi lengkap dari sel B masih diperlukan signal dari sel Th berupa B Cell Growth Factor (BCGF) dan B Cell Differentiating Factor (BCDF) (Gambar 4). Sebetulnya sel B dapat pula berfungsi sebagai sel APC, mengolah antigen. Kompleks antigen MHC kelas II dapat mengaktifkan sel T (kurang poten dibanding dengan APC) atau membentuk sel T memori.

BCGF merangsang proliferasi sel B dan BCDF merangsang sel B untuk diferensiasi menjadi sel plasma dan membentuk antibodi. Jadi proses lengkap aktivasi dan diferensiasi sel B memerlukan sedikitnya 3 signal, satu dari antigen dan 2 dari sel Th. Sebagian sel B yang diaktifkan berproliferasi tetapi tidak berdiferensiasi menjadi sel plasma. Mungkin hal tersebut dise-babkan oleh karena tidak mendapat cukup BCDF. Sel tersebut menjadi sel memori yang hidup lama.

Sel Ts dapat menekan baik fungsi sel Th maupun sel B. Sel Ts memiliki petanda permukaan CD8 seperti sel Tc, tetapi sel Ts tidak memiliki efek sitotoksik. Bekerjanya diduga melalui penglepasan mediator yang menekan fungsi sel Th dan sel B(7).

MEKANISME ELIMINASI ANTIGEN

Fungsi akhir dari sistim imun adalah mengeliminir bahan asing. Hal ini dilakukan melalui berbagai jalan(5,7,8): 1) Sel Tc dapat menghancurkan antigen asing seperti sel kanker dan sel yang mengandung virus secara langsung melalui penglepasan sitotoksin. 2) Antibodi berfungsi dalam respons imun melalui beberapa

jalan a) Neutralisasi toksin

Antibodi yang spesifik (IgG, IgA) untuk toksin bakteri atau bisa serangga/ular dapat mengikat antigen dan menginaktif-kannya. Kompleks ikatan tersebut selanjutnya akan dieliminir oleh sistim fagosit makrofag. b) Neutralisasi virus Antibodi yang spesifik (IgG, IgA) ter-hadap epitop pada permukaan virus akan mencegah ikatan virus dengan sel mukosa sehingga mencegah infeksi, Sel NK dapat menghancurkati sel yang diinfeksi virus. c) Opsonisasi bakteri

Antibodi (IgG, IgM) dapat menyelimuti permukaan bakteri sehingga memudahkan eliminasi oleh fagosit (yang memiliki reseptor untuk Fc dari Ig).

Ikatan dengan makrofag tersebut memudahkan fagositosis (opsonin). d) Aktivasi komplemen

Beberdpa kelas antibodi (IgG, IgM, IgA) dapat mengaktif-kan komplemeti. Bila epitop ada pada permukaan sel misalnya bakteri, maka komplemen yang diaktifkan dapat menghancur-kan sel tersebu melalui efek enzim. Beberapa komponen kom-plemen (C3b, C4b) juga memiliki sifat opsonin. Opsonin terse-but berikatan dengan kompleks antigen-antibodi dan akhirnya dengan•reseptor pada permukaan makrofag sehingga memu-dahkan fagositosis. Ada komponen komplemen yang berupa kemotaktik (C3a, C5a) untuk neutrofil dan ada yang mengaktif-kan mastositdan basofil (anafilatoksin) untuk melepas histamin. Beberapa bakteri seperti E. coil dan S. aureus dapat mengaktif-kan komplemen langsung melalui jalur alternatif. Respons me-lalui komplemen sangat kompleks dan penting dalam inflamasi yang juga merupakan mekanisme pertahanan. Sistim enzim lain yang berperanan pada inflamasi ialah sistim kinin, clotting dan fibrinolitik. e) ADCC

Antibodi utama IgG dapat diikat Killer cell (sel K) (atau sel lain seperti eosinofil, neutrofil, yang memiliki reseptor untuk Fc dari IgG). Sel yang dipersenjatai olch IgG tersebut dapat meng-ikat sel sasaran (bakteri, sel tumor, penolakan transplan,penyakit autoimun dan parasit) dan membunuhnya. Beda sel K dari sel Tc ialah karena sel K tidak memiliki petanda CD8 dan memerlukan antibodi dalam fungsinya. 3) Inflamasi dan hipersensitivitas lambat (Delayed Type Hypersensitivity, DTH)

Menyusul presentasi antigen oleh sel APC, sel Th melepas limfokin yang mengerahkan dan mengaktilkan makrofag dan menimbulkan reaksi inflamasi. Respons inflamasi ini disebut. lambat atau hiperreaktivitas lambat oleh karena memerlukan 24-28 jam sedang respons inflamasi yang terjadi melalui antibodi terjadi dalam beberapa menit-jam. Kedua respons inflamasi tersebut juga berbeda dalam jenis sel yang dikerahkan: pada respons lambat sel mononuklear dan pada inflamasi antibodi-komplemen, terutama sel polimorfonuklear.

Inflamasi mempunyai efek baik dan buruk oleh karena di samping eliminasi bahan asing, juga dapat menimbulkan keru-

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 8

Page 10: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

sakan jaringan. 4) Eliminasi protozoa

Baik imunitas humoral maupun selular (makrofag dan sel T yang diaktifkan) berperanan pada eliminasi P. carinii, Giardia dan T. gondi. 5) Eliminasi jamur

Respons imun terhadap jamur adalah kompleks; yang pen-ting antara lain mekanisme selular clan efek toksik melalui neutrofil. Dinding sel jamur dapat mengaktifkan komplemen (jalur alternatif) yang menghasilkan opsonin dan memudahkan fagositosis. KESIMPULAN

Fungsi sistim imun yang baik diperlukan untuk memper-tahankan keutuhan tubuh. Eliminasi mikroorganisme dapat ter-jadi melalui berbagai cara yang melibatkan fagosit, APC, sel T (sel Th, Ts, Tc dan Tdh), sel B (anti,bodi), komplemen, sel NK dan sel K.

Sel Th merupakan regulator dari sistim imun oleh karena mengatur fungsi sel-sel sistim imun lainnya.

Terganggunya fungsi satu komponen sistim imun atau

lebih, jelas akan meningkatkan risiko terhadap infeksi termasuk infeksi nosokomial.

KEPUSTAKAAN

1. Cohen J. Infection in the compromised host. Medicine International 1988; 2320-5.

2. Fireman P. Immunodeficiency and Allergic Diseases. Dalam: Fireman P, Slavin RG (Eds). Atlas of Allergies. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1991: 17.2-17.19.

3. Kamen Baratawidjaja. Sistim Imun. Dalam: Imunologi Dasar. J. akarta: Pe-nerbit FKUI, 1991: 3-12.

4. Macris NT. The Evaluation of immunologic deficiencies in the community hospital. Current Concepts. Allergy Clin Immunology 1978; 8: 1-8.

5. Kamen Baratawidjaja. Antigen dan Antibodi. Dalam: Imunologi Dasar. Jakarta: Penerbit FKUI, 1991: 13-23.

6. Kamen Baratawidjaja. Komplemen. Dalam: Imunologi Dasar. Jakarta: Penerbit FKUI, 1991: 24-35.

7. Goodman JW. The Immune Response. Dalam: Stites DP, Terr AL (Eds). Basic Human Immunology. USA: Prentice-Hall International Inc, 1991: 34-44.

8. Wells JV, Nelson DS. Infections and Immunodeficiency. Dalam: Clinical Immunology Illustrated. Sydney: Williams & Wilkins, 1986: 63-87.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 9

Page 11: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Faktor-faktor Penyebab Kerentanan Pasien Imunokompromi

terhadap Penyakit Infeksi

H. Soemarsono Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN

Pengertian imunokompromi mempunyai konotasi, bahwa defek (kerusakan) imun diperoleh oleh seseorang yang sebe-lumnya sehat sistim imunnya. Defek ini jelas mengakibatkan kepekaan dan risiko yang tinggi terhadap infeksi. Di negara berkembang diperkirakan jumlah pasien imunokompromi yang disebabkan pengobatan medik lebih besar daripada yang dikom-promi oleh proses penyakit primer seperti limfoma.

Kondisi klinis yang diobati dengan obat-obat imunokom-promi saat ini luas sekali, termasuk : keadaan inflamasi, vaskuli-tis, autoalergi, arthritis dan keganasan. Obat-obat yang biasa dipakai sebagai pengobatan tumor menyebabkan serangkaian efek samping terhadap pertahanan pejamu; terutama granulosi-topeni, fungsi fagositosis menurun, respon imun yang terganggu dan kerusakan kulit, dan penurunan pertahanan mukosa. Tidak berlebihan kiranya bila keadaan tersebut di atas merupakan akibat yang terciptakan secara iatrogenik, dan wajib diperkecil.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB I. Faktor Intrinsik 1) Faktor utama penyebab kerentanan terhadap infeksi pada pasien imunokompromi adalah perangkat imunitasbeserta kerja sistimnya yang tidal( sempurna (defisien). 2) Faktor intrinsik lainnya adalah : a) Penyakit

Penyakit primer atau kondisi yang diderita pasien yang me-nyebabkan supresi imun berupa defek humoral, seluler, kombi-nasi humoral-seluler, defek fagosit dan defek campuran. Dalam hal ini agaknya ada hubungan antara macam defek imunologi, macam penyakit/kondisi dengan macam infeksi yang tertentu (tabel I). Dipresentasikan pada Simposiwn Infeksi Nosokomial pada Pasien /munokom-promi. Jakarta, 8 Februari 1992.

Tabel 1. Pola Infeksl pada Paslen Imunokompromi

Kondisi/Infeksi Derek Infeksi Spesifik

Mieloma Multipel Hodgkin Neutropenia Diabetes Uremia

Humoral Seluler Fagosit Campuran Campuran

Pneumonia, Bakteremia, Peritonitis, Herpes Zoster. Pneumonia, Tuberkulosis, Herpes, Hepatitis. Pneumonia, Bakteremia, Abses, Ulserasi mulut, fa- ring anus. Selulitis, Infeksi Traktus Urinarius, Pneumonia, Tu- berkulosis. Infeksi Traktus Urinarius, Pneumonia, Septikemi.

b) Keadaan gizi Malnutrisi protein-kalori meningkatkan kepekaan terhadap

infeksi dan sering menjadi sebab kesakitan dan kematian. Pada keadaan PCM kapasitas bakterisid neutrofil masih dalam batas normal, namun imunitas seluler terganggu berat : jumlah sel T pada darah tepi berkurang menjadi hanya sepertiga dari normal. Kadar komponen komplemen di bawah normal, dan titer kom-plemen hemolitik total rendah. Kadar imunoglobulin serum biasanya normal atau bahkan meninggi, namun respon antibodi spesifik terhadap imunisasi dengan antigen standar amat ber-kurang.

Hal ini berakibat meningkatnya angka infeksi jalan napas, infeksi kulit dan gastroenteritis bahkan septikemi gram negatif. Respon inflamasi berkurang dan tak terbentuk jaringan granulasi secara normal. Luka infeksi kulit dapat berkembang ke arah gangren dan tidak ke arah supurasi seperti pada pasien normal. c) Umur

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 10

Page 12: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Pada pasien berumur lanjut, infeksi perorangan mengan-dung risiko kematian yang tinggi; infeksi seringkali merupakan pukulan terakhir bagi para lanjut usia yang menderita satu atau lebih penyakit menahun. Selain itu, mereka ini lebih banyak mengidap penyakit-penyakit yang justru lebih berat, seperti pneumonia, bronkhitis khronis, dan tuberkulosis.

Dan bermacam-macam komponen respon imun, yang ter-banyak menurun adalah fungsi imun seluler (cell mediated immune function): fungsi sel menurun, sel B baik jumlah maupun fungsinya hanya sedikit menurun. Kadar IgM serum menurun bermakna sesuai usia, IgG menetap, IgA meninggi sedikit. Leko-sit neutrofil agak meningkat jumlahnya, dan mempertahankan kapasitas bakterisidal yang normal, meski kapasitas fagositiknya mungkin berkurang. II. Faktor Ekstrinsik

Unsur-unsur ekstrinsik yang langsung berhubungan dengan kepekaan terhadap infeksi dapat dirangkum menjadi faktor : 1) Kuman patogen atau potensial 2) Cara mendekatkan/mengintroduksi kuman pada badan penderita 3) Pengobatan : a) Obat-obat yang menghasilkan imunosupresi b) Obat-obat yang menciptakan kuman yang resisten ad. 1) Kuman penyebab dapat berasal dan masyarakat RS yang terdiri dari : a) – Pasien lain pengidap infeksi

– Staff medik/paramedik pembawa kuman – Pengunjung pembawa kuman

b) Peralatan kedokteran yang dipakai dan lingkungan c) Makanan dan minuman yang disajikan. ad. 2) Cara mendekatkan/mengintroduksi kuman ke dalam ba-dan penderita melalui rudapaksa integritas pertahanan kulit dan mukosa, seperti : a) Operasi, atau tindakan invasif lainnya b) Tindakan non invasif. ad. 2.a) Invasif : 1) Kateter intra vaskuler – masuknya kuman sebagai berikut : a. Kontaminasi kulit

Flora kulit masuk melalui ujung kateter pada saat insersi. b. Kontaminasi endoluminal

Kateter dapat terkontaminasi oleh teknik aseptik yang salah, waktu memegang kateter atau sistim infus. c. Kontaminasi endogen

Kuman dalam darah yang berasal dari fokus lain dapat mengkontaminasi kateter; dalam hal ini hasil biakan ujung kateter akan berupa kuman gram negatif, karena kuman-kuman berasal dari infeksi paru-paru, jalan kemih maupun intra abdominal adalah gram negatif.

Sebaliknya biakan yang gram positif biasanya berasal dari kuman kulit pasien atau tangan pelaku pemasangan kateter intra vaskuler. Patogenesis ini dapat diikuti dengan gambar 1. ad. 2.b) Tindakan non invasif

Patogenesis masuknya kuman adalah melalui jalan pen-cernaan (mulut) atau jalan nafas (hidung).

Gambar 1. Sumber-sumber infeksi yang berkaitan dengan kateter/infus intra vaskuler

Contoh untuk kontaminasi melalui jalan pencernaan adalah : menyajikan makanan minuman melalui mulut, atau langsung melalui nasogastrik.

Contoh kontaminasi melalui jalan nafas adalah : menghirup udara yang mengandung kuman, atau melalui slang oksigen, slang penghisap lendir, slang endotrakheal, trakheostomi. 3) Pengobatan

Pengobatan yang menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi dimaksud adalah : a) Obat-obat secara langsung meninggikan kerentanan.

Obat-obat dimaksud adalah obat-obat imunosupresif yang diberikan untuk penyakit-penyakit primer lainnya yaitu : 1. Obat-obat limfolitik, termasuk : a. Obat Alkylating : Nitrogen Mustard dan Cytoxan. b. Steroid : Hidrokortison, prednison. c. Radiasi Ro"; efek samping merusak limfosit dengan cara merusak DNA nya, mengakibatkan terganggunya replikasi. 2. Anti-metabolit :

Analog purine : contoh dengan azathioprin, limfosit tak dapat berreplikasi dan tak dapat membentuk antibodi. 3. Antibiotik : – Actinomycin D menghentikan sintesis RNA – Khloramfenikol menghalangi (blok) sintesis protein, menyebabkan anemia aplastik. b) Cara pengobatan yang menghasilkan kuman-kuman resisten

Cara yang dimaksud adalah cara pengobatan dengan anti- biotika untuk suatu infeksi yang sedang berlangsung, namun se-cara tidak diharapkan, melalui interaksi antara antibiotik dengan

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 11

Page 13: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

mikroflora pasien menciptakan flora baru dengan kuman-kuman yang resisten di dalam traktus digestivus.

Proses ini terjadi dalam tatalaksana pasien netropenik, di mana dekontaminasi usus pasien dengan suatu regimen anti-biotik dipersyaratkan sebagai prosedurbaku, untuk mengurangi risiko infeksi secara bermakna; kuman-kuman ini amat potensial untuk tersebar di dalam unit yang bersangkutan (gambar 2).

Gambar 2. Bagan Mekanisme Pengembangan Flora Resisten

KESIMPULAN Penatalaksanaan infeksi pada pasien imunokompromi ada-

lah pelik. Selain keadaan sistim imunnya sendiri yang defektif dan kritis terhadap infeksi, masalah pengobatannya di pihak lain mengandung ancaman menambah kerentanan.

Data mikroorganisme, tersedianya antibiotik dan khemote-rapeutik yang sesuai, dasar-dasar perawatan yang baik, serta data fisik-imunologik penderita merupakan prasyarat keberhasilan pengobatan infeksi pada pasien imunokompromi.

KEPUSTAKAAN 1. Hydi RM, Patnode RA. Immunology. Reston, Virginia: Reston Publ Co. 2. Durack DT. Infection in compromised host. Dalam: Clinical Aspects of

Immunology. Oxford: Blackwell Scient Publ, 1982. 3. Van Der Waai D. The digestive tract as a central endogenous source of

bacterial and fungal infections. Dalam: Pros Simposium Penanggulangan Infeksi. Jakarta: FKUI, 1990.

4. Van Dalen R. Intravascular catheters and infection. Dalam: Pros Simposium Penanggulangan Infeksi. Jakana: FKUI, 1990.

5. Pincing AJ. The Spectrum of HIV Infection : routes of infection. Clin Immunol Allerg 1986; 6(3): 467–88.

6. Klatersky J. A Review of chemoprophylaxis and therapy of bacterial infec-tions in neuropenic patients. Dalam: Diagnostic Microbiology and Infectious Disease 1989; 12: 201 s - 207 s.

Man has his will, but woman has her way (Oliver WendeffHtofines)

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 12

Page 14: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Jenis Infeksi Nosokomial pada Pasien Kanker

H. Muchiis Ramli

Subbagian Bedah Onkologi/HNB Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Penderita kanker tergolong kasus immunocompromised, yaitu kasus yang dapat disertai oleh gangguan daya imunitas tubuh penderita; gangguan tersebut dapat disebabkan oleh kan-kernya sendiri atau akibat terapi atau tindakan yang dilakukan untuk menanggulangi penyakit kanker tersebut. Dan infeksi nosokomial secara umum dapat diartikan sebagai infeksi yang terjadi atau didapat oleh penderita karena atau selama dirawat di rumah sakit. Umumnya kuman-kuman penyebabnya sudah resisten terhadap banyak antibiotik. Berbagai keadaan dapat mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial tersebut.

Dua kondisi di atas akan menyebabkan seorang penderita kanker akan mudah mendapat infeksi yang sukar diatasi; dan sering fatal. Bonnadona mengatakan bahwa 50-70% kematian pada kanker adalah akibat infeksi bakterial atau fungal.

Masalah pokok kanker di Indonesia termasuk di RSCM dan mendapat prioritas adalah masalah-masalah prevention, early detection dan diagnosis dini; karena hingga kini > 50% kasus kanker datang dalam stadium lanjut. Masalah ke dua yang tidak kalah pentingnya adalah pengobatan kanker itu sendiri yang bertitik tolak dari ketepatan diagnosis, stadium penyakit dan kelengkapan sarana serta obat-obat yang ada. Dan berikutnya adalah masalah rehabilitasi, palliative care dan pain relief.

Masalah infeksi nosokomial pada penderita kanker pada dua dekade terakhir ini mulai diangkat ke permukaan sejalan dengan perkembangan terapi kanker dengan obat-obat anti kan-ker; namun karena masalah prioritas tadi, tampaknya masalah infeksi nosokomial pada penderita kanker ini belum mendapat perhatian serius. Dipresentasikan pada : Simposiwn Infeksi Nosokomial pada Pasien Imuno-kompromi, Jakarta 8 Februari 1992.

PATOGENESIS Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam infeksi

pada penderita kanker, khususnya infeksi nosokomial, yaitu : I. Faktor predisposisi II. Polā kuman/jenis mikroorganisme patogen III. Sumber-sumber infeksi nosokomial.

I. Faktor Predisposisi Berbagai jenis faktor predisposisi dapat dikemukakan di sini

yaitu faktor umum seperti : usia tua, alkoholisme, perokok berat, diabetes melitus, defisiensi imunitas kongenital atau yang di-dapat. Dan predisposisi khusus berupa : 1) Rusaknya natural barrier (kulit, mukosa) : • tumor yang ulseratif baik di kulit maupun di mukosa (Ca kulit, Ca colon, Ca rongga mulut, Ca cervix uteri). • akibat tindakan diagnostik yang invasif: misalnya pe-meriksaan endoskopi (sistoskopi, gastroskopi, kolonoskopi, bronkhoskopi) yang dapat merusak mukosa sampai ulserasi dan perforasi. • arteriografi, limfografi dll. • mukositis akibat side effect obat khemoterapi dan radiasi.

Perusakan permukaan yang normal baik kulit atau mukosa akan memudahkan terjadinya infeksi. 2) Adanya obstruksi baik di saluran napas, di gastrointestinal atau di traktus urinarius akan memudahkan terjadinya infeksi karena pertumbuhan kuman/mikroorganisme proksimal dari obstruksi; contoh: obstruksi akibat Ca rckti/Ca kolon, akan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme dan flora usus proksimal dari obstruksi, di samping adanya gangguan kese-imbangan cairan dan elektrolit yang memperburuk kondisi pen-

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 13

Page 15: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

derita. 3) Radiasi

Terapi radiasi yang luas dan dosis tinggi misalnya pada Hodgkin's, seminoma dan lain-lain dapat menimbulkan mielo-supresi sehingga terjadi anemia, leukopenia; khususnya lim-fositopenia.

Di samping itu radiasi daerah abdominal juga dapat menim-bulkan mukositis dari mukosa usus serta perubahan flora usus. Keluhan-keluhan subyektif berupa mual-mual, menurunkan juga nafsu makan, yang pada akhirnya jika berlangsung lama akan menyebabkan penurunan daya tahan pula. Gejala-gejala ini oleh karena gangguan keseimbangan elektrolit dan infeksi.

Herpes zoster pun dapat terjadi. 4) Khemoterapi

Pemberian khemoterapi dengan bermacam-macam obat itu dapat menimbulkan mielosupressi dan immunosupressi.

Pada granulositopeni (neutropeni) < 500/mm3; risiko ter-jadinya infeksi sangat tinggi, risiko ini semakin tinggi apabila neutropeni berlangsung lebih lama.

Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya efek samping atau dampak negatif, pemberiannya perlu dilakukan oleh dokter yang :

14

– mengetahui cara kerja obat dan dosisnya – mengetahui efek samping yang dapat timbul – mengetahui cara mengatasi efek samping. – berpengalaman. 5) Defisiensi imunitas

Dapat berupa : • Neutropeni; terjadi pada keganasan/keadaan tertentu, misal-nya leukemia, anemia aplastik akibat radiasi dan pemberian obat sitostatika, atau keganasan lan jut yang sudah bermetastasis ke sumsum tulang. • Defek T limfosit mononukleus phagosit; misalnya pada Hodgkin, limfoma sehubungan dengan terapi sitostatik dan kortikosteroid yang diberikan. • Penurunan limfosit B, misalnya juga terdapat pada multiple myeloma, chronic lymphocitic leukemia.

Pada tumor ganas solid yang lanjut juga dapat terjadi hal yang sama tetapi tidak begitu hebat, misalnya pada Ca mamma, Ca gaster dan lain-lain. 6) Terapi supportif

Terapi supportif yang lama pada penderita kanker lanjut; juga transfusi darah atau derivat darah memungkinkan timbul-nya infeksi oleh karena terkontaminasi/pencemaran oleh mikro-organisme. 7) Pembedahan

Infeksi akibat pembedahan sangat tergantung dari persiapan operasi, ekstensi tumor; tipe operasi dan lain-lain.

Pembedahan dalam bidang onkologi dapat bersifat kuratif dan paliatif. Pembedahan yang bersifat kuratif bertujuan untuk mengangkat tumor sampai sel terakhir; umumnya operasi kuratif ini cukup ekstensif/radikal dan dikerjakan pada keganasan sta-dium awal/operabel. Sebagai contoh : • Mastektomi radikal pada Ca mamma stadium I - II. • Diseksi leher radikal pada keganasan kelenjar getah bening

leher setclah/bersamaan dengan pengangkatan tumor primernya (Ca lidah, parotis, toroid, larynx dan lain-lain). • Hemikolektomi pada Ca kolon. • Miles procedure pada Ca rekti. • Gastrektomi pada Ca gaster. • Hemipelvektomi pada keganasan daerah pelvis atau tungkai bagian proksimal. • Eksisi luas dan diseksi inguinal pada keganasan kulit, mi-salnya melano karsinoma yang bermetastasis ke kelenjar getah bening inguinal.

Pembedahan di atas yang cukup ekstensif umumnya ber-langsung lama dan merupakan stress operasi tersendiri yang da-pat menurunkan imunitas penderita. Di samping itu tergantung lokasi tumor, beberapa operasi dapat terkontaminasi oleh kuman/ flora endogen dalam tubuh penderita, misalnya operasi daerah mulut, usus, paru, traktus urogenital (operasi daerah septik).

Lain halnya dengan pembedahan paliatif, yang hanya ber-tujuan untuk memperbaiki kualitas hidup atau mengurangi keluhan misalnya : • operasi bypass atau kolostomi pada keganasan usus (GIT) yang inoparabel yang menyebabkan sumbatan (Ca kolon,rektum yang inoperabel). • operasi trakeostomi pada sumbatan jalan nafas bagian atas oleh tumor yang sudah inoperabel.

Keadaan obstruksi traktus respiratorius atau traktus diges-tivus akan menurunkan keadaan umum penderita akibat hipoksi dan gangguan keseimbangan elektrolit akibat cairan dan intake yang kurang sempurna. Di samping itu setiap obstruksi akan menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme atau flora endogen yang berlebihan, terjadi kolonisasi mikroorganisme dan penye-baran/diseminasi sistemis; mikroorganisme yang tadinya ber-sifat saprofit apatogen menjadi patogen. Pertumbuhan oportunis ini khas untuk jamur.

Jadi permasalahan pada pembedahan yang paliatif ialah : – kasusnya sudah lanjut, sehingga imunitas sudah sangat menurun. – keadaan obstruksi yang memperburuk keadaan. – tergantung lokasi, dapat terkontaminasi oleh mikroorga-nisme endogen. – intake makanan yang tidak baik juga memperburuk kondisi penderita.

Jadi penderita kanker yang mengalami pembedahan poten-sial atau mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya infeksi; karena : • lokasi yang bisa terkontaminasi (Miles procedure, hemiko-lektomi, glosektomi + RND). • operasi yang cukup ekstensif, menimbulkan stress operasi yang menurunkan daya tahan tubuh. • imunitas tubuh yang menurun akibat kankemya sendiri. • terapi radiasi atau khemoterapi yang dlūerikan pada keada-an tertentu. • adanya keadaan-keadaan yang memperburuk kondisi pende-rita (antara lain obstruksi saluran cema, obstruksi jalan nafas, obstruksi saluran kemih).

Tidak kalah pentingnya adalah transmisi kuman dari per-

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993

Page 16: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

sonil kamar operasi/team operasi; kamar operasi dengan peralat-annya. Pemakaian ventilator atau respirator juga sangat berpe-ngaruh untuk timbulnya infeksi pada penderiia kanker khususnya infeksi nosokomial. Dapat dikemukakan di sini bahwa : • Lamanya perawatan berbanding linear dengan insidens infeksi nosokomial, baik infeksi luka operasi, infeksi traktus urinarius, bronkhopneumonia atau septisemia.

Infeksi luka operasi pada kasus-kasus yang dioperasi pada hari yang sama dengan hari perawatan cukup tinggi; dan Iebih rendah pada kasus-kasus yang dioperasi setelah dirawat satu hari dan kembali tinggi sampai lima kali lipat pada perawatan preoperatif ≥ 10 hari. • Lamanya operasi berbanding linear pula dengan insidens infeksi nosokomial, semakin lama operasi kemungkinan untuk dapat infeksi post operatif semakin tinggi. • Pemakaian ventilator akan menyebabkan terjadinya pneu-monia (21 kali lebih sering), infeksi traktur urinarius (16 kali lebih sering), infeksi luka operasi dan septisemia (6 kali lebih sering). • Lokasi operasi; risiko pneumonia 38 kali lebih tinggi pada kasus-kasus yang mengalami operasi kombinasi thorakoabdomi-nal daripada operasi yang tidak melalui daerah-daerah thorax, abdomen tersebut. • Kateterisasi urin; infeksi nosokomial sebanding dengan lamanya pemakaian kateter.

II. Jenis Mikroorganisme Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi no-

sokomial penderita kanker; yaitu infeksi bakterial, infeksi virus, mikosis.

Dilihat dari asalnya dapat berupa mikroorganisme yang memang berada dalam tubuh penderita (endogen) berupa flora saprofit yang menjadi virulen/patogen pada keadaan imunitas pcnderita yang rendah, misalnya kandida, enterobakter; dapat pula berupa mikroorganisme yang berasal dari luar tubuh pen-derita (eksogen) namun terdapat di rumah sakit.

Dikatakan bahwa 80% infeksi pada penderita kanker ber-sumber dari populasi mikroorganisme endogen, yang hampir separuhnya berasal dari lingkungan rumah sakit. Oleh karena itu pcndekatan dilakukan dengan tujuan mencegah membesarnya populasi mikroorganisme hingga mempunyai potensi untuk menjadi patogen.

Jenis mikroorganisme penyebab infeksi pada penderita kanker antara lain : Bakteria : Pseudomonas, E. coli, Klebsiella pneumonia, Serratia marcescens, Enterobacter, Proteus. Virus : semua jenis virus. Jamur : Candida, Aspergillus, Phycomycetes, Cryptococcus, Ilistoplasma capsulatum, Coccidiodes. Protozoa : Toxoplasma gondli, Pneumocytis carinii.

Infeksi Bakterial Infeksi di ruang perawatan onkologi 75% disebabkan oleh

hasil berupa E. coli, Ps. aeruginosa, Kl. pneumonia, S. marces-cens, Enterobacter dan Proteus.Infeksi ini dapat menjadi serius dan fatal pada keadaan penderita yang buruk (imunitas rendah);

dan umumnya resisten terhadap bermacam-macam antibiotika. Bronkhopneumonia pada penderita kanker sering disebab-

kan oleh Klebsiella dan Pseudomonas, dan pada limfoma selain kuman di atas sering disertai/disebabkan oleh jamur, Pneu-mocystis carinii, Cytomegalovirus.

Septisemia gram negatif umumnya disebabkan oleh Pseudo-monas, Klebsiella dan E. coli. Angka mortalitas pada septisemia oleh Pseudomonasdan pada kasus granulositopeni (< 500/mm3) cukup tinggi, dikatakan sampai 100% pada limfoma, 70% pada leukemia dan 60% pada keganasan yang lain. Septisemia gram positif juga dapat terjadi namun lebih jarang (< 15%) dan umum-nya karena Stafilokokus aureus, Streptokokus betahemolitikus dan lain-lain.

Infeksi Virus Dapat terjadi pula pada penderita kanker; jenisnya dapat

berupa : herpes zoster, varicella, herpes simplex, cytomegalo-virus.

Infeksi Jamur Infeksi jamur pada penderita kanker umumnya disebabkan

oleh : Candida albicans (40%), C. tropicalis (23%), dan Asper-gillosis (8%).

Infeksi jamur ini umumnya bersifat opportunistis, yaitu ber-asal dari jamur yang tadinya hidup saprofit yang karena daya imunitas yang rendah berubah menjadi patogen/virulen.

Infeksi jamtu ini secara klinis dapat diperkirakan apabila sindrom demam, neutropeni dan infeksi tidak membaik dengan pemberian antibiotika yang adekuat. Fig. 1. Etiopathogenesis of Infections in cancer patients

III. Jenis Sumber Infeksi Nosokomial

Membicarakan sumber-sumber infeksi nosokomial ini, tidak kalah pentingnya dengan pembicaraan di alas. Air, ma-kanan, udara, alat-alat kedokteran (infus set, kateter dll), perso-nil, penderita sendiri, pengunjung dapat pembawa atau menjadi sumber infeksi nosokomial.

Berikut ini diperlihatkan suatu daftar yang memperlihatkan sumber-sumber infeksi nosokomial serta mikroorganisme yang biasa ditemukan di situ dalam hubungan kerusakan defens me-kanisme penderita yang akhirnya menyebabkan terjadi infeksi (Tabel 2).

Dengan membicarakan sumber-sumber ini, dapatlah diperkirakan usaha-usaha pencegahan dilihat dari sisi sumber

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 15

Page 17: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Tabel 2. Sources of nosocomial infections in high-risk patients

Source Predominant organism Altered defenses

Air Food Water Catheters, infusions, equipment Contacts

Ventilation system Enterobacteriaceae, air conditioners, pseudomonas, staphylococcus, building materials aspergillus, varicella zoster Vegetables, fresh,, Enterobacteriaceae, uncooked or pseudomonas, klebsiella, unprocessed meat staphylococcus, streptococcus Tap water, ice, Enterobacteriaceae, vaporizers, humidifiers, pseudomonas, klebsiella sink drains, bathrooms, flowers iv. solutions, Enterobacteriaceac, blood and analog klebsiella, toxoplasma, products, catheters, candida, torulopsis, drainage tubes, cytomegalovirus, endoscopes, hepatitis B virus Personnel, patients, Enterobacteriaceae, visitors, objects pseudomonas, staphylococcus (e.g., soap, cleaning fluids)

Gastrointestinal ––––––> Mucosalor cutaneous defects,tract. Oropharynx <–––––– immune deficiencies and mucosa membranes (humoral and cellular) –––––––––––––– INFECTIOUS COMPLICATIONS Skin surfaces –––––––> Malnutrition, body orifices <––––––– decreased phagocytic groin, axilla defenses

Antibiotic-induced alterations

Modified from Pizzo, PA. and Young, R.C., Cancer Principles and Practice of Oncology, De Vita, V.t., Hellman, S., Rosenberg, SA., Eds. Lippincott Co. Philadelphia, p. 1965,1985.

atau transmisi infeksi nosokomial pada penderita khususnya penderita kanker. Jenis-jenis Infeksi Nosokomial

Pada umumnya infeksi nosokomial dapat berupa : 1. Infeksi luka operasi 2. Infeksi saluran kemih 3. Infeksi saluran nafas bawah bronkhopneumonia 4. Septisemia/bakterimia. Pada penderita kanker pun jenis-jenis ini dapat terjadi.

Dan laporan-laporan rumah sakit-rumah sakit di Indonesia, infeksi nosokomial berupa Infeksi luka operasi di R.S. Hasan Sadikin Bandung 9,9% (1991, Warko); di R.S. Pirngadi Medan 13,92% (1987); R.S. Dr. Karyadi Semarang 7,3% (1984); R.S. Dr. Soetomo Surabaya 5,32% (1988); RSCM 5,4% (1989). Infeksi luka operasi ini semuanya untuk kasus-kasus bersih dan bersih tercemar yang dioperasi; dan tidak ada laporan khusus untuk kasus-kasus kanker.

Mengenai jenis mikroorganismenya, dari laporan di atas bervariasi dari E. coli, stafilokokus, Proteus, para colon, Pseudo, monas, Klebsiella, Enterobakter, dalam persentase yang ber-beda; namun tidak ada laporan tentang infeksi jamur atau virus.

PENCEGAHAN

Usaha pencegahan selalu lebih baik daripada mengobati infeksi yang terjadi. Pencegahan ini dapat diusahakan karena faktor-faktor predisposisinya diketahui; yaitu dengan meng-hindan faktor-faktor itu sedapat mungkin tanpa mengabaikan pcnatalaksanaan diagnostik dan terapeutik penderita kanker itu

sendiri. Usaha-usaha pencegahan dapat meliputi :

Umum : 1) Usahakan hospitalisasi penderita sesingkat mungkin. 2) Pemahaman dan pelaksanaan tindakan asepsis antisepsis yang baik dari semua personil yang memaparkan diri terhadap penderita kanker dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Khusus : 1) Usahakan daya tahan tubuh penderita tetap baik, antara lain : – temukan dan obati penderita kanker dalam stadium dini – usahakan tindakan-tindakan pembedahan dalam toleransi penderita yang optimal – bila perlu diberi transfusi granulosit atau parenteral nutrisi. 2) Hindari tindakan yang merusak natural barrier yang tidak perlu; perawatan yang baik terhadap setiap perlukaan; misalnya pemasangan infus, luka biopsi dan lain-lain. 3) Hindari prosedur invasif berlebihan dan tidak perlu baik untuk diagnostik maupun terapeutik misalnya : – pemakaian kateter atau pemasangan infus hanya jika mutlak diperlukan. 4) Perkecil kemungkinan infeksi dari kuman-kuman eksogen dan cegah kuman-kuman yang potensial patogen : – cuci tangan yang baik – makanan dan minuman dengan kontaminasi bakteri seren-dah mungkin – selalu memeriksa kuman-kuman pada air leiding

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 16

Page 18: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

– pembersihan ruang rawat/kamar operasi sebersih mungkin/ steril mungkin – hindari pengunjung yang berlebihan atau personil kamar operasi yang berlebihan – jika perlu ruangan isolasi. 5) Hindari faktor predisposisi lain sedapat mungkin, antara lain : – hati-hati dengan pemberian radioterapi, khemoterapi dan kortikosteroid. 6) Khusus untuk penderita yang dioperasi : – persiapan lapangan operasi sesteril mungkin – lamanya operasi diusahakan sesingkat mungkin – kamar operasi dan alat-alat memenuhi syarat asepsis – untuk kasus-kasus operasi bersih tercemar (operasi usus, traktus urinarius, rongga mulut, genitalia wanita dan lain-lain) perlu pemberian antibiotik profilaksis.

KEPUSTAKAAN

1. Anaissie EI, Bodey GP. Fungal infection in patients with cancer. Pharma-cotherapy 1990; 10(6).

2. Bodey GP, Middleman E, Umsawadi T, Rodrigues V. Infections in cancer patients. Cancer, June 1972.

3. Bonadonna G, Gianni AM. Infections in the cancer patient. Hand Book of Medical Oncology Chap. 56, 1988.

4. Donowitz GR. Infection prevention in the compromised host. Chap 30.

5. Gold Jonathan WM. Infectious complications of neoplastic disease in the Critical Care Unit. Critical care of the cancer patient.'

6. Gunther I, Kaben U, Dunker H, Gunther RB, Konrad H. Fungal infections in acute leukemia patients during selective decontamination of the digestive tract Tokai J Exp Clin Med 1986; 11.

7. Haley RW, Hooton TM, Culver DH dick. Nosokomial infections in US Hospital 1975-1976. Estimated frequency by selected characteristic of patients. Am J Med 1981; 70 (April).

8. Kamadihardja W. Tinjauan terhadap Penelitian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Hasan Sadikin dalam usaha menggunakan antimikroba secara rasional. Diskusi Panel Pemakaian Antibiotika secara Rasional pada Kasus Bedah, September 1989.

9. Laporan Koordinator Pelayanan Masyarakat Bagian Bedah FKUlIRSCM 1989.

10. Pokok Kegiatan Penanggulangan Penyakit Kanker di Indonesia, DepKes RI 1989.

11. Ramli M, Darwis I. Infeksi jamur pada penderita kanker yang mengalami pembedahan. Temu Ilmiah Penatalaksanaan Infeksi Jamul. Sistemik Tan-tangan Baru Bidang Kedokteran. FKUI, September 1991.

12. Rasyid H, Sugandi, Heyder AF. Pengamatan infeksi nosokomial bedah rumah sakit Dr. Kariadi Semarang. Kumpulan Naskah Lengkap Munas IKABI VIII, Ujung Pandang, 1984.

13. Syukur A. Infeksi nosokomial di Laboratorium Emu Bedah R.S. Dr. Soetomo/FK. Unair Surabaya. Diskusi Panel Pemakaian Antibiotika secara Rasional pada Kama Bedah, September 1989.

14. Skeleton J, Pizzo PA. The Immuno Compromised patient. Chapter 23. 15. Sudadio E, Sitohang R, Soewandi S. Penelitian populasi kuman aerob di

kamar bedah Rumah Sakit Dr. Pimgadi Medan dalam kaitannya dengan infeksi pasta bedah. Kumpulan Naskah Ilmiah Lengkap Muktamar 1KABI 1X, Denpasar, 1987.

16. TolcouJA, Finberg R, Mayer RI, Goldman L The medical course of cancer patients with fever and neutropenia. Arch Intern Med December 1988; 148.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 17

KALENDER PERISTIWA

April 29–30, 1993 – FIRST ASIA PACIFIC REGIONAL MEETING WORLD FEDERATION OF PRO- PRIETARY MEDICINE MANUFAC- TURERS Hotel Horizon, Jakarta, INDONESIA Secr.: PT Global Eramas Gd. Bina Mulia II Jl. Rasuna Said Kav. 11 Jakarta 12950 INDONESIA Fax: (021) 5201857

Agustus 23–25, 1993 – SEMINAR PARASITOLOGI NASIONAL VII dan KONGRES PERKUMPULAN PEMBERANTASAN PENYAKIT PARASIT INDONESIA VI

Kuta Pertamina Cottages, Bali, INDONESIA

Secr.: Lab. Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Jl. P.B. Sudirman Denpasar 80232 INDONESIA

Page 19: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Total Protected Environment untuk Mencegah Infeksi Nosokomial di Ruang

Transplantasi Sumsum Tulang RSCM/FKUI

A. Harryanto Reksodiputro, Aru W. Sudoyo, Abdulmuthalib, Karmel L. Tambunan, Zubairi Djoerban, Abldin Widjanarko, Djumhana Atmakusuma

Subbagian Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Infeksi merupakan penyebab kematian utama pada pen-derita kanker, khususnya pada penderita leukemia. Hal itu di-sebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh sebagai konsekuensi penyakit itu sendiri dan sebagai akibat pengaruh sitotatika pada sumsum tulang.

Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusutno memiliki Unit Transpiantasi Sumsum Tulang (TST) yang terdiri dari beberapa ruangan dengan ciri dan perlakuan khusus, semuanya ditujukan untuk pencegahan infeksi pada pasien yang memiliki gangguan berat kekebalan tubuh. Ruang ini digunakan untuk merawat penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan pen-derita leukemia akut yang menjalani pengobatan sitostatika agresif pada tahap induksi dan konsolidasi. Hal ini disebabkan oleh karena pada penderita tersebut terjadi gangguan pada sistim imunitas tubuh yang amat berat, di mana terjadi kerusakan pada semua tahap sistim imunitas tubuh mulai dari kulit serta selaput lendir sampai dengan sistim imunitas seluler dan humoral. Pem-bahasan akan meliputi gangguan imunitas yang terjadi, upaya pencegahan infeksi, serta hasil upaya.ini di ruang TST RSCM/ FKUI.

Penderita dirawat di kamar isolasi steril dengan sistim lami-nary down-airflow isolator dan udara dihembuskan melalui saringan HEPA (High Efficiency Particulate Air) ganda. Filter ini sanggup menyaring partikel sebesar 0,3 urn dan menghalau mikroorganisme yang bertebaran dari penderita, dokter dan petugas paramedik. Dengan sistim ini diharapkan terjadi penurunan konsentrasi patogen dalam ruangan dari 3000 per 1000 kaki kubik menjadi 15 per 1000 kaki kubik. Tekanan udara dalam kamar lebih tinggi dibanding dengan tekanan di luar kamar (over-pressure).

Di ruangan seperti diuraikan di atas, pasien berada dalam keadaan terlindung secara maksimal, dalam lingkungan yang melindungi pasien secara menyeluruh dan dikenal sebagai Total Protected Environment.

18

Dipresentasikan pada Simposium infeksi Nosokomial pada Penderita lmunokompromi , Jakarta, 8 Februari 1992.

Perlindungan terhadap infeksi bahkan sudah diupayakan

sebelum pasien masuk, dengan pembersihan kamar sebelum penderita masuk dirawat, kamar dibersihkan seluruhnya (lantai, dinding, alat-alat di dalam kamar) dengan desinfektan. Alat-alat kesukaan (hobby) penderita sudah dimasukkan lebih dahulu bersama dengan alat-alat kedokteran lainnya. Kemudian kamar difumigasi dengan antiseptik (formalin, misalnya) memakai alat khusus/fumigator (Aero-diffuser) ditutup selama 24 jam penuh. Fumigasi mi dilakukan dua kali berturut-turut kemudian pen-derita barn dapat dirawat setelah bau antiseptik hilang dan uji sterilitas (kultur) memenuhi syarat.

GANGGUAN IMUNITAS PADA PENDERITA

Pada penyakit keganasan seperti leukemia didapatkan pe-nurunan kekebalan tubuh sehingga pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi (immunocompromised). Keadaan ini, di mana pasien mendapat infeksi dari mikroorganisme yang berasal dari lingkungannya maupun tubuhnya sendiri, diakibatkan oleh pe-nyakitnya sendiri atau obat sitostatika yang diterimanya.

Pada keadaan tersebut terjadi defek yang terjadi secara se-kunder, artinya bahwa sebelumnya pasien memiliki kekebalan tubuh yang cukup dan penyakit leukemianya mengubah keada-an tersebut dengan akibat infeksi.

Berbagai keadaan dapat merusak fungsi sistim imunitas per-tahanan tubuh yang normal. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya risiko terhadap infeksi pada pasien leukemia dapat dibagi menjadi : a) Gangguan pada integumen. Keadaan ini dapat menyebabkan terbuka jalan masuk bagi mikroorganisme patogen, misalnya erosi pada mukosa akibat kemoterapi dan adanya luka jalur selang infus atau kateter. b) Gangguan pada satu atau lebih sistim kekebalan tubuh spesifik, atau c) Granulositopenia.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993

Page 20: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Pada pasien leukemia dengan penurunan kekebalan tubuh, infeksi dapat pula disebabkan oleh kuman yang biasanya tidak patogen seperti Streptococcus faecalis atau Staphylococcus epidermidis.

Seperti diketahui, kulit dan selaput lendir merupakan sawar (barrier) paling depan sistim imunitas tubuh manusia. Mikroorganisme harus menembus kulit dan selaput lendir terlebih dahulu bila hendak menyerang tubuh kita. Lapisan permukaan kulit dan selaput lendir melepaskan diri secara terus menerus, turut membantu upaya tubuh membersihkan kulit dari mikroorganisme patogen. Di samping itu peranan rambut, sebum dan keringat serta berbagai cairan yang dikeluarkan oleh selaput lendir (Hu, asam lambung dan sebagainya) dan silia serta imunoglobulin A yang terdapat pada selaput lendir cukup besar peranannya dalam upaya membersihkan permukaan tubuh dari berbagai mikroorganisme yang patogen.

Pada penderita leukemia dan mereka yang menjalani rtans-plantasi sumsum tulang terjadi kerusakan cukup hebat pada kedua sistim tadi. Hal ini disebabkan oleh sitostatika yang di-berikan dengan dosis tinggi, sehingga daya proliferasi sel-sel kulit dan selaput lendir turut terhambat sedangkan umur sel-sel permukaan kedua organ tersebut tidak bertambah bahkan se-baliknya menjadi lebih pendek. Di samping itu terjadi erosi dan ulserasi sehingga bagian-bagian tertentu lapisan kulit dan selaput lendir sama sekali hilang dan bagian tubuh yang berada di bawahnya menjadi terpapar langsung dengan lingkungan di luar tubuh. Sitostatika yang diberikan secara amat agresif pada pen-derita ini menekan daya proliferasi sel-sel sumsum tulang. Di antara berbagai sel sumsum tulang yang berperan dalam sistim imunitas tubuh sel granulosit yang mengalami kehancuran paling hebat karena umumya yang amat pendek. Kadar set granulosit pada penderita-penderita ini dapat turun demikian hebat sehingga kadarnya dalam darah menurun sampai nol. Seperti diketahui set granulosit yang melaksanakan reaksi imunitas nonspesifik amat penting peranannya dalam upaya tubuh melindungi diri terhadap berbagai mikroorganisme.

Berbagai penelitian membuktikan adanya hubungan yang amateratantaraberatnya granulositopenia dengan infeksi. Telah dapat dibuktikan bahwa penurunan kadar granulosit dalam darah masing-masing di bawah 1000/mm3, di bawah 500/mm3 dan di bawah 100/mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi berat, masing-masing sebesar 10%, 19% dan 28%. Angka ke-matian penderita dapat meningkat sampai dengan 80% pada penderita yang kadar granulosit darahnya di bawah 100/mm3 selama tujuh hari.

Imunitas seluler pada penderita leukemia akut dan penderita

transplantasi sumsum tulang amat menurun. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh rendahnya jumlah limfosit T, melainkan lebih-lebih oleh adanya gangguan pada faal limfosit T yang telah ada sebelum pemberian sitostatika. Sebab terjadinya gangguan foal limfosit T pada penderita-penderita ini telah dibahas pada ber-bagai kepustakaan dan tidak akan dibahas di sini.

Gangguan imunitas humoral juga mengalami kelumpuhan berat. Hal ini disebabkan oleh rendahnya jumlah makrofag yang berperan panting dalam hal penyampaian antigen asing pada limfosit, ditambah oleh gangguan fungsi limfosit T yang me-megang peran penting pada reaksi imunitas humoral. Di samping itu sitostatika menurunkan kadar limfosit B sedangkan limfosit B yang masih tersisa tidak dapat berproliferasi secara efektif.

Uraian singkat di atas kiranya dapat menjelaskan mengapa sistim imunitas tubuh penderita-penderita ini menjadi hampir-hampir lumpuh total. Akibat kelumpuhan total ini maka tubuh penderita selain menjadi amat rentan terhadap mikroorganisme eksogen juga mengalami infeksi oleh mikroorganisme endogen. Bahaya infeksi oleh mikroorganisme endogen menjadi lebih hebat lagi akibat pemberian antibiotika. Infeksi yang terjadi hampir selalu memerlukan antibiotika amat poten yang ber-spektrum luas untuk mengatasinya. Penggunaan antibiotika yang amat agresif ini mengganggu keseimbangan berbagai flora usus; akibat gangguan flora usus ini terjadilah kolonisasi dalam traktus gastrointestinal yang selaput lendirnya penuh dengan ulserasi (akibat pemberian sitostatika). Tabel 2. Berbagai gangguan imunitas tubuh dan jenis mikroorganisme yang biasanya menyebabkan infeksi

I. Granulositopenia : a. Bakteri : 1. Gram negatif: Pseudomonas, E. coli, Klebsiella pneumonia 2. Gram positif: Staph aureus, Staph epidermidis b. Ragi : Candida c. Jamur : Aspergillus, Mucor II. Gangguan Immunitas seluler : (Misalnya pada limfoma malignum, kanker payudara, paru, lambung, dan urogenital) a. Bakteri : Salmonella, mikobalQeri, Nocardia asteroid, Legionella pneumophilia b. Virus : Varicella-Zoster, herpes simplex, cytomegalovirus c. Jamur : Cryptococcur neoformans, Histoplasma capsulation, Coccidiodes immitis d. Protozoa : Pneunocystis carinii, Toxoplasma gondii e. Helmintes : Strong yloides stercoralis III. Defisiensi Immunitas humoral : (Misalnya pada mieloma multipel, leukemia limfoblastik menahun) Bakteri : Streptococcus sp. Haemophilus

Tabel 1. Sumber infeksi dan mikroorganisme penyebab infeksi utama

Udara Makanan Air Kontak personil Kateter

1. Enterobacteria 2. Pseudomonas 3. Staphylococcus 4. Aspergillus 5. Varicella

Enterobacteria Pseudomonas StaphylococcusStreptococcus Klebsiella

Enterobacteria Pseudomonas Klebsiella

EnterobacteriaPseudomonas Staphylococcus

Enterobacteria Pseudomonas lozoplan Candida

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 19

Page 21: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Dapat dimengerti bahwa upayapencegahan infeksi merupa-kan persiapan mutlak pada penderita leukemia akut, lebih-lebih pada penderita transplantasi sumsum tulang yang selain men-dapat sitostatika agresif juga menjalani radiasi seluruh tubuh. CARA MENCEGAH INFEKSI

I. Umum Pada langkah-langkah pencegahan secara umum dijalankan

berbagai prosedur yang umum dilaksanakan dalam perawatan seorang penderita yang mendapat sitostatika, yaitu : a) Mempertahankan keutuhan integumen tubuh merupakan tujuan utama pada perawatan pasien dengan leukemia. Dalam hal ini semua peralatan medik yang dapat melukai atau mengganggu keutuhan integumen seperti mukosa harus digunakan dengan sangat hati-hati. b) Menjaga kecukupan nutrisi pasien dianggap sama penting-nya dengan aspek perawatan lainnya dalam penanggulangan infeksi, termasuk jamur sistemik.

II. Khusus 1) Ruangan penderita :

Penderita dirawat di kamar isolasi steril dengan sistem laminar airflow isolator dan udara dihembuskan melalui Double HEPA (High Efficiency Particulate Air) filter.

Saringan ini sanggup menyaring partikel sebesar 0,3 um dan menghalau mikroorganisme yang bertebaran dari penderita, dokter dan petugas paramedik; dengan sistim ini diharapkan terjadi penurunan konsentrasi bahan patogen dalam ruangan dari 3000/1000 feet kubik menjadi 15/1000 feet kubik.

Tekanan udara dalam kamar lebih tinggi dibanding dengan tekanan di luar kamar (over-pressure). 2) Tata cara pembersihan kamar :

Sebelum penderita masuk dirawat, kamar dibersihkan seluruhnya (lantai, dinding, alat-alat di dalam kamar) dengan desinfektah. Alat-alat kesukaan (hobby) penderita sudah dimasukkan lebih dahulu bersama dengan alat-alat kedokteran lainnya. Kemudian kamar difumigasi dengan bahan antiseptik memakai alat fumigator (Aero-diffuser) dan ditutup selama 24 jam penuh. Fumigasi ini dilakukan 2 kali berturut-turut kemudian penderita baru dapat dirawat setelah bau antiseptik hilang dan uji sterilitas (kultur) memenuhi isyarat.

Untuk mempertahankan sterilitas ruangan dilakukan halhal sebagai berikut : a) Perlengkapan yang ada di dalam kamar (meja pasien, tempat tidur dan sebagainya), dinding dibersihkan dengan menggunakan lap kerja dan alkohol 70%. b) Antisepsis terhadap lantai dalam ruangan. c) Laci-laci lemari semua dalam keadaan terbuka. d) Formalisasi ruangan selama 2 x 24 jam. Untuk ruang steril, cukup mengaturnya dari kotak panel. Setelah formalisasi selesai, dilakukan pengambilan kultur mikroorganisme dari lantai, dinding, pinta, tempat tidur, dan semua perabotan ruangan. Kultur ruangan diulang setiap 2 minggu. e) Setelah kultur ruangan bisa digunakan untuk merawat.

3) Prosedur masuk ke dalam kamar bagi petugas : Pertama dan sangat penting adalah ditanamkannya sikap

cara kerja pada semua personil yang masuk ke dalam kamar steril, yaitu pemahaman mengenai arti dari langkah yang diambil serta dampak bagi pasien. Secara konkrit dibakukan keharusan seperti pencucian tangan, pemakaian tutup muka dan sarung tangan dan gaun khusus.

Setiap masuk semua petugas tanpa kecuali harus melepas sepatu dan mengganti baju dengan pakaian steril di Ruang Antara. Setelah memakai masker dan penutup kepala dengan baik, petugas mencuci tangan dengan antiseptik barulah petugas memasuki koridor ruang isolasi steril.

Petugas masih harus memakai penutup sepatu (shoe-cover) dan gaun steril (surgical gown) sebelum memasuki kamar pen-derita dan memakai sarung tangan steril bila akan memeriksa/ menyentuh penderita atau berhubungan dengan peralatan yang dikenakan oleh penderita. 4) Higiene penderita

Untuk membasmi mikroorganisme di kulit, pada pasien yang akan pertama kali masuk kamar steril dilakukan prosedur mandi dengan larutan antiseptik. Prosedur ini dikenal sebagai "mandi matahari" di RSCM dan dilakukan pada pasien trans-plantasi sumsum tulang sekali seminggu, dan pasien leukemia satu kali sebelum perawatan. Kekhususan prosedur ini adalah bahwa pasien menjalani pembasuhan seluruh tubuhnya dengan larutan povidon (konsentrasi 1:20) untuk kemudian dibungkus dengan sprei steril selama 1.5 jam sebelum masuk ruangan. Di samping itu setiap habis buang air besar/kecil daerah perineum atau anal dibasuh dengan povidone iodine yang diencerkan dengap air steril. Empat kali sehari berkumur-kumur dengan betadine dan melapisi mukosa rongga mulut dengan pasta de-kontaminan (orabase) berisi antibiotik yang tak diserap usus (amphotericin-B). 5) Kateter sentral

Penderita rutin dipasang kateter sentral melalui vena sub-clavia sampai atrium kanan dan dibuat tunelisasi subkutis ke arah distal. Perawatan kateter sentral setiap hari dilakukan oleh pe-tugas kamar steril dengan memperhatikan sikap sterilitas yang amat tinggi. Persiapan yang cermat dalam pemasangannya, memakai prinsip a- dan antisepsis surgikal, dengan pembuatan "terowongan" di bawah kulit sebelum keluar tubuh, semuanya merupakan prasyarat yang harus dipenuhi agar tidak terjadi infeksi melalui kateter yang digunakan baik untuk memberi nutrisi maupun obat dan berjangka lama. Setelah terpasang, pemeliharaan dilanjutkan dengan memastikan kateter tidak ba-nyak bergeser (menghindari infeksi lokal) dan pembersihan setiap 1-2 hari dengan desinfektan di tempat masuknya. 6) Makanan

Makanan yang dihidangkan berasal dari dapur rumah sakit dengan prinsip semua makanan harus steril (low bacterial food). Makanan yang baru dimasak dimasukkan dalam tempat steril dan dibawa ke ruang persiapan kamar steril (ruang/lorong se-bclum masuk kamar steril). Kemudian makanan ditata di atas baki tertutup plastik dan disinar 30 menit dengan sinar ultra violet

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 20

Page 22: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

dan 5 menit dalam oven gelombang mikro (microwave). Telah kami buktikan sterilitas makanan yang diproses dengan cara ini.

DEKONTAMINASI SELEKTIF SALURAN CERNA

Delapan puluh lima persen mikroorganisme penyebab infeksi pada penderita leukemia akut maupun transplantasi sumsum tulang berasal dari flora dalam tubuh penderita, dan 50% dari mikroorganisme dalam flora dalam tubuh penderita tadi berasal dari lingkungannya dalam rumah sakit. Karena se-bagian besar infeksi pada penderita tersebut disebabkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam flora traktus gastrointesti-nal maka untuk mencegah infeksi, pada penderita diberikan antibiotika yang tidak diserap usus.

Pemberian antibiotika untuk tujuan "membersihkan" usus tadi bukannya tidak mengandung risiko karena dapat meng-akibatkan terjadinya Resistensi Kolonisasi. Dalam hal ini akibat terjadinya gangguan keseimbangan flora traktus gastrointestinal yang disebabkan pemberian antibiotika tadi terjadilah kolonisasi mikroorganisme.

Untuk mencegah bahaya kolonisasi tadi dipilih : a) antibiotika yang tidak diserap usus, b) antibiotika tadi harus mampu memusnahkan mikro-organisme endogen yang potensial untuk menjadi patogen, c) antibiotika tersebut tidak memusnahkan sebagian mikro-organisme anaerob (dekontaminasi selektif). Mikroorganisme anaerob yang tertinggal diharapkan dapat mencegah terjadinya kolonisasi.

Di ruang Transplantasi Sumsum Tulang RSCM/FKUI digunakan obat-obat neomisin, kolistin, asam pipemidik dan mikostatin. Untuk membersihkan mulut, selain dipakai cairan bctadin, mulut penderita tiga kali sehari dilapisi oleh pasta yang mengandung 3% neomisin dan 3% amfoterisin-B. Kadang-kadang diberikan tablet isap amfoterisin-B (sulit didapat di Jakarta).

POLA KUMAN DI RUANG TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG RSCM-FKUI

Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa dengan langkah-langkah pencegahan seperti diutarakan tadi, penyebab infeksi yang masih merupakan bahaya utama adalah sebagai berikut : 1) Pneumosistis carinii 2) Virus Sitomegalo 3) Virus Herpes Zoster 4) Virus Hepatitis B 5) Pneumokokus 6) Mikrobakterium tuberkulosis

Di samping itu pola kuman yang masih dapat merupakan ancaman infeksi tentu saja bergantung pada keadaan lingkung-an masing-masing.

Menurut urutan frekuensi penemuan berdasarkan hasil pe-meriksaan biakan kuman yang masuk, jenis mikroorganisme yang sering ditemukan adalah : 1) Streptococcus alpha hemolyticus 2) Staphylococcus epidermidis

3) Streptococcus viridans 4) Kuman batang berspora 5) Candida.

Di samping itu secara sporadis masih ditemukan : a. Staphilokokus aureus (kulit) b. Gaffika tetragena (ketiak, saluran kemih) c. Proteus vulgaris (tinja) d. Spesies Streptokokus (tinja) e. E. coli (satu orang - urin).

Apusan biakan kuman dilakukan secara rutin di berbagai lokasi tubuh serta bahan atau sekret yang diproduksi pasien, yaitu: 1) kulit (lipat paha, ketiak dan perineum); 2) hidung; 3) tenggorokan; 4) gusi; 5) vagina; 6) urin; 7) feses; 8) darah; 9) kateter, dan 10) sekret lainnya seperti cairan pus bila ada. Ternyata jenis kuman yang ditemukan agak berbeda pada ber-bagai spesimen tersebut dan didapatkan pola kuman yang khas. Pola tersebut berbeda pula pada waktu sebelum induksi, setelah induksi dan konsolidasi. Sebagai contoh berikut ini gambaran atau pola kuman daerah gusi, tenggorokan, vagina, dan feses. Dapat dilihat pada pemeriksaan terhadap gusi, misalnya, bahwa munculnya mikroorganisme justru setelah pasien masuk kamar steril, yaitu setelah mengalami aplasia sumsum tulang akibat pengobatan (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Pula kuman daerah gusi paslen leukemia Jumlah penemuan

Jumlah penemuan

Pra induksi Pasca induksi

Tahapan tempi

Mikroorganisme

Keterangan : Strep Alpha Strep Viridans Staph Epidermidis Batang berspora Candida Lain-lain

Sebelum induksi 1 minggu pasca induksi

Pada gambar 1 jelas terlihat peranan mikroorganisme non-patogen, yaitu Streptococcus alpha hemolyticus, yang menjadi patogen akibat tidak adanya kekebalan tubuh, hal mana akan tampak muncul pada pemeriksaan-pemeriksaan di lokasi lain. Dari dua contoh lokasi lainnya, yaitu tenggorokan dan feses, kuman kehadiran tersebut amat menonjol (Gambar 2, 3).

Kadang terdapat predominansi jenis kuman tertentu sesuai dengan kekhususan lokasi dan sifat jaringan, seperti pada pe-meriksaan terhadap daerah vagina, di mana ditemukan candida sebagai mikroorganisme yang dominan (Gambar 4).

Secara kumulatif, bila dibandingkan pola kuman sebelum dan sesudah pemberian sitostatika maka terlihatkeadaan seperti

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 21

Page 23: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Gambar 2. POLA KUMAN PASIEN LEUKEMIA DAERAH TENGGOROKAN PRA DAN PASCA SITOSTATIKA

yang diperlihatkan pada gambar 5.

Dari gambar di atas tampak bahwa pada tahap pasca induksi, yaitu pada waktu pasien kehilangan kekebalan tubuhnya, pen-emuan kuman lebih banyak dari segi jumlah (digambarkan sebagai lingkaran yang lebih besar) sedangkan pola jenis kuman didapatkan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa memang terdapat

Gambar 4. POLA KUMAN PASIEN KEGANASAN DAERAH VAGINA

kecenderungan untuk munculnya beberapa mikroorganisme tertentu pada keadaan immunocompromised. POLA DEMAM

Dengan upaya seperti yang telah dikemukakan di atas, pada penderita masih juga terjadi infeksi. Kesulitan yang dihadapi dalam pengobatan "demam" yang terjadi adalah bahwa umum-nya sulit untuk mendeteksi tempat terjadinya infeksi. Hal ini disebabkan oleh rendahnya reaksi imunitas tubuh sehingga tanda-tanda radang menjadi kurang jelas, sehingga harus di-ambil asumsi bahwa pada peristiwa demam ada kejadian infeksi kecuali bila dapat dibuktikan bahwa demam bukan akibat infeksi (reaksi alergi dan sebagainya). Penderita diobati dengan antibiotik yang efektif terhadap semua mikroorganisme yang ditemukan (tenggorok, kulit, air kemih, tinja). Seperti yang dapat dilihat pada label di bawah ini, infeksi tersering tumbuh saat kadar granulosit amat rendah seperti terlihat :

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 22

Page 24: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Pola Demam dan Granulosit pada Leukemia Pasca Induksi

Perlu diketahui bahwa selain terhadap petugas dan pasien, paling esensial adalah bahwa ruangan itu sendiri harus sudah bebas kuman sebelum pasien masuk. Sungguhpun demikian, dalam proses perawatan seorang pasien yang memakan waktu rata-rata enam sampai delapan minggu itu, tetap ada kemungkin-an kontaminasi. Karena itu, biakan ulang seringkali dilakukan bila seorang pasien mengalami demam berkepanjangan. Pe-meriksaan ulang tersebut beberapa kali dilakukan pada masa perawatan 10 orang pasien yang kami teliti, terhadap: 1) dinding, 2) kaca jendela, 3) tirai plastik pembatas, 4) meja, 5) tempat tidur, 6) lantai, 7) air leding dalam ruangan, 8) meja obat, 9) udara di sudut ruangan, dan 10) udara ditawah aliran udara AC.

Jenis mikroorganisme yang pernah (satu kali, pada hasil biakan susulan) ditemukan pada pemeriksaan ulang tersebut adalah: Batang gram positif yang ditemukan di lantai. Kadang-kadang pada biakan udara (piring petri) dilaporkan adanya bakteri (tidak disebutkan jenisnya) lebih dari 4 koloni. Sungguhpun demikian, belum pemah didapatkan keadaan yang memerlukan pemindahan pasien ke ruang lain karena penemuan sporadis kuman di perabotan ruangan cukup diatasi dengan pembersihan ulang dengan antiseptik dan pengetahuan prosedur pencegahan bagi petugas.

KESIMPULAN Dui pengumpulan data pasien yang dirawat di kamar steril

di atas, penyebab infeksi utama dari aspek jenis kuman adalah Streptococcus alpha hernolyticus, diikuti oleh Staphylococcus epidermidis. Pseudomonas aeruginosa, mikroorganisme yang ditakuti sebagai penyebab infeksi nosokomial di bangsal pera-watan rumah sakit pada umumnya, tidak ditemukan sama sekali. Hal ini mencerminkan perbedaan utama yang ditemukan pada sistim Total Protected Environment, yaitu bahwa bahaya infeksi datang dari kuman komensal atau nonpatogen (biasanya yang terdapatpada tubuh pas ien sendiri) yang berubah perangai akibat hilangnya kekebalan tubuh sungguhpun telah dilakukan langkah pencegahan optimal.

Gejala berupa demam pada pasien seperti di atas perlu dianggap sebagai tanda infeksi tetapi lokasi infeksi amat sulit, bahkan kadang-kadang tidak pernah, dapat ditentukan. Situasi ini diakibatkan oleh keadaan immunokompromi itu sendiri di mana didapatkan beberapa jenis kuman sekaligus yang masing-masing dapat menjadi penyebab infeksi (dan demam) tersebut. Mengingat kondisi di atas, pemantauan pola kuman perlu di-lakukan terus-menerus karena kemungkinan perubahan dalam pola dan pentingnya mengatasi secara tepat.

SARAN 1) Perlu dipertimbangkan peningkatan hemopoesis secara cepat pada tahap aplasia, dengan penggunaan bahan faktor penumbuh (growth factor) seperti GM-CSF atau G-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) untuk mengembalikan jumlah lekosit/granulosit sehingga masa perawatan diperpendek dan bahaya kematian akibat sepsis diperkecil. 2) Untuk menanggulangi infeksi secara optimal,deteksi mikroorganisme dengan pemeriksaan biakan kuman harus cepat dan tepat. Waktu satu minggu yang dibutuhkan dalam pelayanan "biasa" dianggap terlalu lama, sehingga dalam unit kamar steril kami saat ini sudah dapat di jalankan kerjasama yang baik di mana hasil sudah masuk pada hari ketiga. 3) Pengetahuan, pengadaan, dan penggunaan obat antibiotika yang optimal perlu dikembangkan, karena perbedaan pola dan sulitnya mengatasi infeksi pada pasien dengan kelumpuhan kekebalan tubuh. Pada pasien seperti ini, kerap kali perlu di-gunakan antibiotika dalam kombinasi sejak infeksi dicurigai.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 23

Page 25: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Surveilans Infeksi Nosokomial Luka Operasi di Bagian Bedah dan di

Bagian Kebidanan/Penyakit Kandungan RSU Bekasi

Dean Wahjudy Satyaputra, Harlo Untoro

Panitia Pemantauan Infeksi Nosokomial Rumah Sakit Umum Kabupaten DT. II Bekasi, Jawa Barat

PENDAHULUAN

Di Indonesia saat ini kejadian penyakit infeksi merupakan yang tertinggi. Infeksi Nosokomial, walaupun belum ada angka yang pasti, juga ikut serta dal= mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. Di samping itu juga sering menimbulkan kematian, memperpanjang waktu rawat nginap, menambah beban pende-rita dengan biaya tambahan untuk perawatan clan pengobatan pasien.

Rumah Sakit Umum Bekasi sebagai tempat rujukan di daerah, berfungsi menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan pasien. Bukan sebaliknya menambah jumlah orang sakit karena terjadinya infeksi noso-komial.

Surveilans sebagai inti dari pengendalian infeksi noso-komial, berguna untuk memperkirakan Incidence Rate infeksi luka operasi di RSU DT. II Bekasi; juga merupakan data dasar untuk mengidentifikasi masalah. Sebagai kegiatan pertama, kami membatasi surveilans ini pada Infeksi Nosokomial Luka Operasi pasien Bedah dan Kebidanan – Kandungan yang di-operasi di RSU DT. II Bekasi selama bulan Februari s/d April 1991. BAHAN DAN CARA KERJA

Pengumpulan data dilakukan secara prospektif. Status pasien yang termasuk ke dalam cohort diberi tanda dan dicatat identitasnya t dalam formulir yang telah disediakan. Pencatatan dilakkukan sebelum operasi, setelah operasi dan selama penga-wasan dalam ruang perawatan. Data dikumpulkan, dibuat ta-bulasi kemudian dianalisis untuk selanjutnya dibuat laporan. HASIL

.Selama bulan Februari s/d April 1991 tercatat sebanyak

228 operasi dilakukan oleh bagian Bedah dan Kebidanan – Kan-dungan RSU DT. II Bekasi (Tabel 1). Jumlah ini mencakup 84,1% dari seluruh operasi yang dilakukan. Pemilihan cohort sepenuhnya diserahkan pada operator dengan pertimbangan bahwa pasien tersebut dirawat lebih dari 3 hari pasca operasi dan petugas tidak mendapatkan kesulitan dalam teknis observasi pasien.

Dari 228 pasien, terkumpul 41 pasien yang dimonitor dengan surveilans. Sebagian besar dari mereka adalah pasien operasi dari bagian kebidanan – kandungan (75,6%).

Angka kejadian infeksi nosokomial luka operasi bedah dan kebidanan – kandungan RSU Bekasi adalah 14,6%, sedangkan Cause Specified Rate adalah nol perseratus ribu (Tabel 2).

Tabel 1. Jenis Operasi menurut Bagian di RSU DT. II Bekasi bulan Februari s/d April 1991

Bagian/Jenis Operasi Besar Sedang Kecil Jumlah

Bedah Umum Kebidanan & Kandungan Mata + THT + Gigi Mulut

8 31 10

33 18 8

60 78 25

101 127 43

Jumlah 49 59 163 271

Tabel 2. Gambaran Umum Hasil Survellans Infeksi Nosokomial Luka Operasi Baglan Bedah dan Kebidanan – Kandungan RSU DT. II Bekasi, bulan Februari s/d April 1991

A. Jumlah Pasien

Jumlah %

Jumlah pasien Surveilans 41 100

– Bedah Umum – Kebidanan – Kandungan

10 31

24,4 75,6

Jumlah 41

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 24

Page 26: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

B. Golongan Luka Kasus IN

Golongan Luka Jumlah % n 9b

Luka bersih Luka bersih terkontaminasi Luka terkontaminasi Luka kotor

34 6 – 1

83 14,6

– 2,4

4 1 – 1

11,7 16,7

– 100

41 100 6 14,6

PEMBAHASAN

Dari tabel 1 dapat dilihat jumlah seluruh operasi adalah alas 228 pasien terdiri dari 101(44,3%) kasus Bedah Umum dan 127 (55,7%) kasus Kebidanan – Kandungan. Tabel 2 me-nunjukkan dari 41 pasien yang dimasukkan sebagai cohort 10 orang (24,4%) pasien Bedah dan 31 (75,6%) pasien Kebidanan – Kandungan. Pasien yang memenuhi cohort dari bagian Bedah lebih sedikit; ini terjadi karena banyak pasien yang hari rawatnya kurang dari 3 hari. Selain itu ada juga pasien yang dikeluarkan dari cohort karena petugas sulit memonitor luka operasi (misalnya operasi haemorrhoidektomi).

Dari penggolongan luka operasi didapatkan : sebagian besar adalah luka bersih yaitu 34 orang (83,0%) sisanya 6 orang luka bersih terkontaminasi dan 1 orang luka kotor. Pasien dengan luka operasi bersih pada surveilans ini menjadi infeksi sebanyak 4 orang (11,7%), pada yang golongan luka bersih terkontaminasi 1 dari 6 pasien menjadi infeksi (16,7%) dan 100% terjadi infeksi pada yang kotor.

Hasil ini sesuai dengan temuan Haley (1985) yang berhasil mengembangkan satu model faktor-faktor yang paling dominan dalam kaitan dengan perkiraan kemungkinan risiko terjadinya infeksi; salah satunya adalah derajat luka.

Surveilans Infeksi Nosokomial Luka Operasi di bagian Bedah dan Kebidanan – Kandungan RSU DT. II Bekasi men-dapatkan Incidence Rate sebesar 14,6% (Tabel 2). Untuk memperkirakan angka infeksi dapat dipergunakan Insidens atau Prevalens asal saja metodenya diterangkan dengan jelas. Lagi pula penelitian Prevalens mungkin bisa mengandung bias oleh karena representasi yang berlebih dari penderita yang dirawat terlalu lama.

Angka kejadian infeksi (Insidens) luka operasi di atas sulit untuk dibandingkan dengan yang lainnya mengingat situasi dan kondisi yang saling berbeda. Tabel 3 memperlihatkan hasil beberapa penelitian di tempat lain.

Tabel 3. Hasil Beberapa Penelitlan Infeksi Nosokomial

Penelitian Cara Pelaksana Raglan JumlahKasus % IN

Ismono. Retrospektif Dr. Ahli Onhopedi 580 19,6 RSHS – 1983 Djojo Sugito ICN/Ahli Bedah 848 16,9 RSHS – 1989 Bedah maidens Orthopedi Orthopedi 806 23,1 Wahjudy. RS Bekasi 1991 maidens Dr. Umum Bedah dan 41 14,6

Kebidanan

Hasil Surveilans ini ada baiknya bila bisa dibandingkan dengan hasil Rumah Sakit lain yang setingkat (Rumah Sakit Daerah Type C). Sayangnya belum ada referensi yang seperti ini. Meskipun begitu surveilans ini sangat berguna sebagai data dasar bagi RSU DT. II Bekasi; juga bisa digunakan sebagai pembanding untuk Rumah Sakit daerah lain. Dalam pelaksana-an perawatan pasien, Surveilans ini digunakan untuk meng-evaluasi tindakan penanggulangan pasien dengan memonitor perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.

KESIMPULAN

Incidence Rate infeksi nosokomial luka operasi di RSU DT. II Bekasi adalah 14,6%. Meskipun sulit mencari referensi penelitian yang sejenis, angka ini berguna sebagai data dasar bagi Rumah Sakit kami dan bisa dipergunakan sebagai pembanding apabila Rumah Saki' yang setingkat melakukan kegiatan yang sama.

Didapatkan pula bahwa faktor golongan luka pada pasien mempengaruhi risiko terjadinya infeksi.

KEPUSTAKAAN

1. Ramah Surbakti R. Pelaksanaan Surveilans Infeksi Nosokomial Dit. Jen. PPM dan PLP, Dep.Kes RI Jakarta, 1983.

2. Ismono D. Infeksi Luka Pasca Bedah Orthopaedi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, 1982.

3. Haley RW, Culver DH, Morgan WM, White JW, Emori TG, Hooton TM. Identifying patients at high risk of surgical wound infection. A simple multivariate index of patient susceptibility and wound contamination, Am J Epidemiol 1985; 121 : 206 -15.

4. Djojosugito MA. Infeksi Luka Operasi Nosokomial (Penentuan faktor risiko, kuman penyebab dan cars surveilans serta penentuan pengaruhnya terhadap biaya langsung perawatan biaya Rumah Sakit. Disertasi, Jakarta, November 1990.

Keep your mouth shut and your eyes open

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 25

Page 27: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Sanitasi Rumah Sakit sebagai Investasi

D. Anwar Musadad Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemeri Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN

Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai 'pemelihara kesehatan'. Menurut WHO, sanitasi lingkungan (environmental sanitation) adalah upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkem-bangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.

Dalam lingkup Rumah Sakit (RS), sanitasi berarti upaya pengawasan berbagai faktor lingkungan fisik, kimiawi dan bio-logik di RS yang menimbulkan atau mungkin dapat meng-akibatkan pengaruh buruk terhadap kesehatan petugas, pen-derita, pengunjung maupun bagi masyarakat di sekitar RS.

Dari pengertian di atas maka sanitasi RS merupakan upaya dan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan ke-sehatan di RS dalam memberikan layanan dan asuhan pasien yang sebaik-baiknya, )(arena tujuan dari sanitasi RS tersebut adalah menciptakan kondisi lingkungan RS agar tetap bersih, nyaman, dan dapat mencegah terjadinya infeksi silang serta tidak mencemari lingkungan.

Dalam pelaksanaannya sanitasi RS seringkali ditafsirkan secara sempit, yakni hanya aspek kerumahtanggaan (house-keeping) seperti kebersihan gedung, kamar mandi dan WC, pe-layanan makanan minuman. Ada juga kalangan yang meng-anggap bahwa sanitasi RS hanyalah merupakan upaya pem-borosan dan tidak berkaitan langsung dengan pelayanan kese-hatan di RS. Sehingga seringkali dengan dalih kurangnya dana pembangunan dan pemeliharaan, ada RS yang tidak memiliki sarana pemeliharaan sanitasi, bahkan cenderung mengabaikan masalah sanitasi. Mereka lebih mengutamakan kelengkapan alat-alat kedokteran dan ketenagaan yang spesialistik. Di lain pihak dengan masuknya modal asing dan swasta dalam bidang perumahsakitan kini banyak RS berlomba-lomba untuk me-napipilkan citranya melalui kementerengan gedung, kecanggih-

an peralatan kedokteran serta tenaga dokter spesialis yang qualified, tetapi kurang memperhatikan aspek sanitasi. Sebagai contoh, banyak RS besar yang tidak memiliki fasilitas peng-olahan air limbah dan sarana pembakar sampah (incinerator) serta fasilitas cuci tangannya tidak memadai atau sistim pem-buangan sampahnya tidak saniter. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut akan dapat membahayakan masyarakat, baik berupa terjadinya infeksi silang di RS maupun pengaruh buruk terhadap lingkungan dan masyarakat luas. Dari berbagai pe-nelitian diketahui bahwa kejadian infeksi di RS ada hubungan-nya dengan kondisi RS yang tidak saniter.

Untuk itu apabila RS akan menjadi lembaga swadana, aspek sanitasi perlu diperhatikan. Karena di samping dapat mencegah terjadinya pengaruh buruk terhadap lingkungan, juga secara ekonomis dapat menguntungkan. Sungguh ironis bila RS sebagai tempat penyembuhan, justru menjadi sumber penularan penyakit dan pencemar lingkungan.

KONSEP SANITASI RUMAH SAKIT

Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang di dalamnya terdapat bangunan, peralatan, manusia (petugas, pa-sien dan pengunjung) dan kegiatan pelayanan kesehatan, ter-nyata di samping dapat menghasilkan dampak positif berupa produk pelayanan kesehatan yang baik terhadap pasien, juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa pengaruh buruk kepada manusia seperti pencemaran lingk mgan, sumber pe-nularan penyakit dan menghambat proses penyembuhan dan pemulihan penderita. Untuk itu sanitasi RS diarahkan untuk mengawasi faktor-faktor tersebut agar tidak membahayakan.

Dengan demikian, sesuai dengan pengertian sanitasi, ling-kup sanitasi RS menjadi luas mencakup upaya-upaya yang bcr-sifat fisik seperti pembangunan sarana pengolahan air limbah, penyediaan air bersih, fasilitas cuci tangan, masker, fasilitas

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 26

Page 28: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

pembuangan sampah, serta upaya non fisik seperti pemeriksaan, pengawasan, penyuluhan, dan pelatihan.

Ben Freedman menyebutkan lingkup garapan sanitasi RS meliputi : A. Aspek Kerumahtanggaan (Housekeeping) seperti : 1. Kebersihan gedung secara keseluruhan. 2. Kebersihan dinding dan lantai. 3. Pemeriksaan karpet lantai. 4. Kebersihan kamar mandi dan fasilitas toilet. 5. Penghawaan dan pembersihan udara. 6. Gudang dan ruangan. 7. Pelayanan makanan dan minuman.

B. Aspek khusus Sanitasi. 1. Penanganan sampah kering mudah terbakar. 2. Pembuangan sampah basah. 3. Pembuangan sampah kering tidak mudah terbakar. 4. Tipe incinerator Rumah Sakit. 5. Kesehatan kerja dan proses-proses operasional. 6. Pencahayaan dan instalasi listrik. 7. Radiasi. 8. Sanitasi linen, sarung dan prosedur pencucian. 9. Teknik-teknik aseptik. 10. Tempat cuci tangan. 11. Pakaian operasi. 12. Sistim isolasi sempurna.

C. Aspek dekontaminasi, disinfeksi dan sterilisasi. 1. Sumber-sumber kontaminasi. 2. Dekontaminasi peralatan pengobatan pernafasan. 3. Dekontaminasi peralatan ruang ganti pakaian. 4. Dekontaminasi dan sterilisasi air,makanan dan alat-alat

pengobatan. 5. Sterilisasi kering. 6. Metoda kimiawi pembersihan dan disinfeksi. 7. Faktor-faktor pengaruh aksi bahan kimia. 8. Macam-macam disinfektan kimia. 9. Sterilisasi gas.

D. Aspek pengendalian serangga dan binatang pengganggu. E. Aspek pengawasan pasien dan pengunjung Rumah Sakit : 1. Penanganan petugas yang terinfeksi. 2. Pengawasan pengunjung Rumah Sakit. 3. Keamanan dan keselamatan pasien.

F. Peraturan perundang-undangan di bidang Sanitasi Rumah Sakit. G. Aspek penanggulangan bencana. H. Aspek pengawasan kesehatan petugas laboratorium. I. Aspek penanganan bahan-bahan radioaktif. J. Aspek standarisasi sanitasi Rumah Sakit.

Dari lingkup sanitasi yang begitu luas tersebut yang paling penting untuk dikembangkan adalah menyangkut : a) Program sanitasi kerumahtanggaan yang meliputi penye-hatan ruang dan bangunan serta lingkungan RS. b) Program sanitasi dasar, yang meliputipenyediaan air minum, pengelolaan kotoran cair dan padat, penyehatan makanan dan minuman, pengendalian serangga, tikus dan binatang pengganggu. c) c) Program dekontaminasi yang meliputi kontaminasi ling-

kungan karena mikroba, bahan kimia dan radiasi. d) Program penyuluhan. e) Program pengembangan manajemen dan perundang-un-dangan yang meliputi penyusunan norma dan standar serta pengembangan tenaga sanitasi RS melalui pelatihan, konsul-tasi.

MEMPERHITUNGKAN BIAYA DAN MANFAAT SANI-TASI RS

Dalam lingkup RS, terdapat proses interaksi timbal balik antara petugas, pasien dan pengunjung RS dengan lingkungan RS yang mana orang-orang tersebut (terutama pasien) meru-pakan kelompok rentan terhadap kemungkinan sakit. Begitu pula RS sebagai unit yang menghasilkan limbah akan ber-pengaruh buruk terhadap masyarakat di sekitarnya. Akibat ne-gatif yang mungkin timbul dari keadaan demikian dapat berupa gangguan pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan atau kematian, hilangnya waktu kerja dan lain sebagainya sehingga dapat menurunkan kualitas hidup masyarakat.

Pada dasarnya dampak yang dirasakan oleh masyarakat RS dan masyarakat luas sebagai akibat dari keadaan sanitasi RS yang jelek adalah merupakan pengalihan beban yang semestinya menjadi tanggung jawab RS. Dengan perkataan lain, biaya yang dikeluarkan masyarakat sebagai ongkos dalam menanggulangi akibat negatif dad RS sebenarnya merupakan beban tanggungan RS.

Untuk itu dalam penyusunan proposal suatu proyek RS atau dalam menilai perkembangan suatu RS perlu dikaji dan diper-hitungkan secara eksplisit dampak negatif terhadap lingkungan, baik alam maupun sosial. Pengkajian tersebut menyangkut per-hitungan biaya-biaya kerusakan lingkungan dan sosial yang diakibatkan dampak negatip serta upaya pencegahannya.

Dalam nerhitunean tersebut dapat digunakan beberapa analisis untuk mengukur biaya dan manfaat (cost-benefit analy-sis) fasilitas sanitasi RS yang langsung maupun tidak langsung.

INVESTASI SANITASI RS Bila seluruh RS memperhatikan upaya pencegahan terjadi-

nya infeksi silang di RS dan kemungkinan pencemaran terhadap lingkungan, maka pihak RS harus menambah investasinya untuk keperluan sanitasi RS, baik upaya-upaya yang bersifat fisik maupun non fisik. Rumah Sakit selain memperhatikan aspekaspek yang berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan terhadāp pasien seperti peralatan kedokteran yang canggih, juga harus memperhatikan aspek-aspek sanitasinya.

Sanitasi RS, baik fisik maupun non fisik memerlukan dana pembiayaan yang tidal( sedikit. Tetapi apabila dikaitkan dengan kemungkinan dampak yang timbul akibat dari RS yang tidak saniter, upaya tersebut menjadi sangat penting untuk dilakukan. Di samping menguntungkan dari segi kesehatan, juga mem-punyai dampak ekonomis. Rumah Sakit yang saniter, tenang dan nyaman dapat mencegah terjadinya infeksi silang dan mempercepat proses penyembuhan penderita. Sehingga dapat menekan biaya perawatan baik bagi RS maupun pasien. Bahkan dengan keadaan demikian pasien berani membayar mahal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 27

Page 29: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Secara ekonomis upaya tersebut tidak berpengaruh besar terhadap sistim penganggaran RS, terkecuali apabila kebutuhan dana tersebut mengambil porsi yang sangat besar dari dana yang tersedia. Upaya tersebut juga dapat disesuaikan dengan besar kecilnya RS serta kemampuan RS. Dengan demikian sanitasi RS tidak dipandang sebagai 'ongkos' tapi menjadi 'keuntungan' karena upaya tersebut akan menjadi investasi dalam upaya pencegahan terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.

Manfaat yang diperoleh dari adanya upaya-upaya dan sarana sanitasi, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan dampak positif, antara lain :

1) Dapat mengurangi kemungkinan terjadinya re-infeksi dan infeksi silang di RS. 2) Dapat mempercepat proses penyembuhan penderita. 3) Akibat dari butir 1 dan 2 akan dapat dihemat biaya pengeluaran RS dan masyarakat yang terkena infeksi (pasien, petugas dan pengunjung RS). 4) Mengurangi dampak negatif limbah RS terhadap lingkung-an dan masyarakat. 5) Rumah Saki' yang saniter merupakan daya tank bagi ma-syarakat untuk menggunakannya. 6) Meningkatkan citra RS sebagai tempat yang bersih, sehat dan tenang.

Page 30: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Peranan Dokter dalam Pengendalian Infeksi

Nosokomial

Djoko Roes had I Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN

Untuk melaksanakan program pengendalian infeksi noso-komial di rumah sakit dengan baik, perlu dibentuk suatu organi-sasi pelaksana yang mantap, yang seluruh anggotanya terkait erat agar dapat memotivasi semua jajaran dalam rumah sakit tersebut untuk menjalankan program. Sementara ini, terdapat beberapa bentuk/susunan organisasi pengendalian infeksi nosokomial ini di Indonesia.

Bentuk Organisasi di RSUD. dr. Soetomo/FK. UNAIR ada-lah sebagai berikut :

Sedangkan menurut yang dianjurkan oleh Departemen Ke-sehatan, sebagai hasil kesepakatan dari beberapa rumah sakit di Indonesia, bentuknya adalah sebagai berikut : BAGAN ORGANISASI YANG DIANJURKAN OLEH DEPARTEMEN KESEHATAN

Keanggotaan CDC Depkes RI

Komite/Pan

Administrasi RS. Pimpinan Perawatan UPF. Penyakit Dalam UPF. Bagian Iiedah UPF. Penyakit Anak Farmasi CSSD Ketua : Klinisi

Direktur Pimpinan Perawatan Wakil-wakil UPF. Ketua : Direktur

Team

Ketua : Sekretaris Komite/Pan Sekretaris : Kabid Perawatan Angg : Semua Kepala Perawatan UPF.

Di dalam bentuk organisasi apapun, terkait beberapa profesi

medis dan non medis. Dalam makalah ini akan dibicarakan peran dokter dalam

pengendalian infeksi nosokomial. Menurut Daschner, dokter yang menjadi anggota organisasi pengendalian infeksi noso-komial, harus berkualitas profesional dan merupakan kombinasi antara: ahli penyakit infeksi, ahli mikrobiologi, ahli epidemiologi, social worker, psikolog, guru, ahli riset, ahli terapi antibiotika, polisi/investigator, arsitek dan partner baik dari perawatan.

Secara umum dokter tersebut hams memiliki kualifikasi umum : punya interest, wakil kelompok besar, punya wibawa, komunikatif, ahli dalam bidangnya, dan tekun; dan secara khusus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam bidang : epidemio-logi, bakteriologi - penyakit infeksi, antibiotika, antiseptik - de-

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 29

Page 31: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

sinfektan, disposal, hospital architecture, psikologi, dan cukup mengenal masalah UPF; sehingga secara umum dapat disimpul-kan kualitas mereka adalah mempunyai lima unsur : good ma-nager, good doctor, good scholar, good teacher, good researcher.

Secara fungsional, dokter mempunyai peran sebagai berikut: I. Dalam komite : Memimpin untuk : pembuatan kebijakan, rapat rutin (1 bulan sekali), penentuan keputusan penting dalam keadaan KLB, dan menghimpun laporan penting. II. Dalam tingkat team : Memimpin untuk : Penjabaran ke-bijakan, pelatihan dan pengajaran staf, Surveilan, Pelaporan KLB, dan Rapat rutin (1 minggu sekali). III. Dalam pelaksanaan harian (tingkat UPF) punya peran

sebagai berikut : • Catatan Medis/LPD Khusus • Pelaksanaan SOP.

KEPUSTAKAAN

1. Ramah Surbakti. Pendekatan tim dalam pengendalian infeksi nosokomial, Penataran Infeksi Nosokomial Perawat - Dokter, Surabaya, 7 Desember 1988.

2. Simposium - Lokakarya Nasional : Pengendalian Infeksi Nosokomial, Su-rabaya, 9 – 11 Juni 1988, hal. 10 dan 35.

3. Wenzel RP. Prevention and Control of Nosocomial Infections. Baltimore, London, Los Angeles, Sydney: Williams & Wilkins.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 30

Page 32: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Peranan Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial

Djoko Roeshadi Panitia Medik Pengendalian Infeksi RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

PENDAHULUAN

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh karena penderita dirawat atau pernah dirawat di rumah sakit. Oleh ka-rena infeksi ini didapat di rumah sakit, maka kuman penyebabnya pada umumnya adalah kuman yang resisten terhadap banyak antibiotika, sehingga infeksi nosokomial mempunyai banyak aspek penting yang perlu diperhatikan antara lain : 1) Bahaya untuk diri penderita sendiri maupun lingkungan-nya. 2) Sosio ekonomi.

Sebagai gambaran besarnya masalah, dapatlah dilihat data yang dikemukakan oleh SENIC seperti yang tersebut di bawah ini : a) angka kejadiannya adalah 6% dari semua penderita yang dirawat di rumah sakit di Amerika. b) biaya tambahan yang diperlukan adalah $ 1800 setiap hari-nya. c) empat hari adalah rata-rata tambahan hari perawatan bagi penderita yang mengalami infeksi nosokomial. d) angka kematian infeksi nosokomial sebagai penyebab langsung adalah 20.000 orang pertahunnya dan 60.000 orang meninggal, dengan infeksi nosokomial sebagai penyebab penyerta.

Di Indonesia belum ada angka yang.pasti, sebab Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 175 juta orang, masih harus menghadapi permasalahan kesehatan lain yang merupakan prioritas utama antara lain program keluarga berencana, program kesehatan ibu dan anak, imunisasi, perbaikan gizi dan program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.

Seperti penyakit-penyakit infeksi yang lain, infeksi noso-komial terjadi juga melalui mekanisme interaksi antara tuan Disajikan pada tanggal 7 Juli 1989, Bandung.

rumah, agen penyebabnya dan lingkungan. Mengingat hal ini maka diperkirakan bahwa infeksi nosokomial di Indonesia se-benarnya juga merupakan masalah yang tidak dapat dianggap ringan.

Untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang : 1) Organisasi pengendalian infeksi nosokomial. 2) Hal-hal yang perlu ada dalam pelaksanaan pengendalian infeksi nosokomial.

1. ORGANISASI

Bentuk organisasi pengendalian infeksi nosokomial di tiap rumah sakit hendaknya secara sistematis terbagi alas 3 bagian yaitu . a) Kelompok pembuat kebijakan (policy) yang umumnya di-bed nama dan fungsi sebagai terjemahan dari Infection Control Committee. b) Kelompok yang men jabarkanpolicy tersebut, sehingga dapat dilaksanakan, sekaligus mengawasi pelaksanaan program. Kelompok ini diberi nama sebagai terjemahan Infection Control Team. c) Kelompok pelaksana lapangan. Ketiga kelompok ini mempunyai peran yang sangat besar, dan perawat harus ada di dalam ketiga kelompok ini.

2. HAL-HAL YANG PERLU ADA

Ada tiga hal yang perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial yaitu : a) adanya system surveilan yang mantap. b) adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksa-nakan, dengan tujuan untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 31

Page 33: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

nosokomial. c) adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas rumah sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam merawat penderita. ad.a) Adanya sistem surveilan yang mantap.

Surveilan suatu penyakit adalah tindakan pengamatan yang sistematik dan dilakukan terus menerus terhadap penyakit terse-but yang terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan pencegahan dan pengendalian. Jadi tujuan dari surveilan adalah untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.

Perlu ditegaskan di sini bahwa keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh canggihnya per-alatan yang ada, tetapi ditentukan oleh kesempurnaan perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan penderita secara benar (the proper nursing care).

Dalam pelaksanaan surveilan ini, perawat sebagai petugas lapangan di garis paling depan, mempunyai peran yang sangat menentukan, ad.b) Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilak-sanakan, merupakan hal yang sangat penting adanya.

Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus di-

jalankan setelah dimengerti semua petugas; standar ini meliputi standar diagnosis (definisi kasus) ataupun standar pelaksanaan tugas.

Dalam pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini, peran perawat besar sekali. ad.c) Adanya program pendidikan yang terus menerus.

Seperti disebutkan di atas, pada hakekatnya keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas dalam melaksana-kan perawatan yang sempurna kepada penderita. Perubahan perilaku inilah yang memerlukan proses belajar dan mengajar yang terus menerus.

Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi dari infeksi nosokomial ini.

Jadi jelaslah bahwa dalam seluruh lini program pengendali-an infeksi nosokomial, perawat mempunyai peran yang sangat menentukan. Sekali lagi ditekankan bahwa pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh peralatan yang canggih (dengan harga yang mahal) ataupun dengan pemakaian antibiotika yang berlebihan (mahal dan bahaya resistensi), melainkan ditentukan oleh kesempurnaan setiap petugas dalam melaksanakan perawatan yang benar untuk penderitanya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 32

Page 34: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Masalah Pencemaran Flora Kuman Rumah Sakit pada Pasien

Imunokompromi aspek perawatan dan pengelolaan

makanan

Made Nursari, Linda Amiati, Rusmiati Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN

Imunokompromi adalah menurunnya sistim imunitas. Ke-adaan imunitas yang menurun dapat disebabkan baik karena kongenital maupun didapat, dan banyak didapatkan pada antara lain : – Pasien kanker dengan pengobatan sitostatika. – Pasien AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). – T.S.T (Transplantasi Sumsum Tulang). – Leukemia dengan pemberian sitostatika. – Netropenia seperti pada anemia aplastik, keracunan obat. – dan lain-lain.

Penurunan imunitas akibat penyakit-penyakit di atas selain disebabkan oleh proses penyakitnya sendiri, juga dapat diper-berat oleh keadaan nutrisi yang buruk, juga dapat disebabkan oleh pengobatan seperti pemberian sitostatika, radioterapi atau tindakan pembedahan; pemberian sitostatika dosis tinggi akan menyebabkan mual, muntah dan nafsu makan menurun.

Dilema yang akan dihadapi adalah di satu pihak pasien se-dang mengalami keadaan defisiensi imun, di lain pihak peng-obatan yang akan diberikan mungkin akan menambah keadaan dcfisiensi tersebut. Karena kondisi yang menurun tidak jarang flora normal dalam tubuh menjadi patogen dan ditambah pengaruh faktor lingkungan, sehingga pasien sering mendapatkan infeksi nosokomial selama perawatan.

Telah diketahui bahwa pencemaran mikroorganisme tidak saja berasal dari pasien sendiri, petugas, dan tidak kalah penting pencemaran bisa didapat dari lingkungan seperti udara, lantai, dinding, air makanan dan alat-alat yang digunakan. Berbagai tindakan mungkin dapat dilakukan untuk menangani masalah ini, salah saw di antaranya dengan mengurangi pencemaran flora rumah sakit dilihat dari aspek perawatan dan pengolahan makanan dengan harapan dapat mencegah terjadinya infeksi nosokomial dan tidak memperberat keadaan pasien.

Dipresentasikan pada : Simposium Infeksi Nosokomial pada Pasien Imuno-kompromi, Jakarta 8 Februari 1992.

PEMBAHASAN Dalam makalah ini akan diuraikan mengenai :

I) Mengurangi pencemaran flora kuman rumah sakit dari aspek keperawatan dan pengelolaan makanan pada pasien imunokompromi secara umum.

Karena kondisi pasien sudah sedemikian lemah, maka di dalam memberikan asuhan keperawatan perlu diperhatikan beberapa prinsip-prinsip keperawatan antara lain : 1 Peraturan uniuk petugas dan pengunjung. a) Petugas yang sedang menderita sakit/penyakit infeksi di-larang merawat pasien. b) Cuci tangan sebelum dan sesudah menolong pasien dengan desinfektan dan air mengalir. c) Menggunakan short dan masker setiap berhubungan dengan pasien. d) Memperhatikan teknik kesterilan dalam melakukan tin-dakan. e) Pengunjung harus terbatas dan tidak dalam keadaan sakit; sebaiknya tidak berhubungan langsung dengan pasien, melihat pasien dapat melalui kaca dan bila diperlukan komunikasi menggunakan Aiphone. f) Di depan kamar steril harus selalu tersedia wastafel/was-kom, desinfektan, sabun, handuk atau pengering tangan. 2. Ruangan Isolasi dan Alat-alat a) Ruangan/kamar harus tersendiri dan sebaiknya mengguna-kan laminary down air flow di atas tempat tidur untuk mencegah penyebaran kuman dari petugas/pengunjung; bila fasilitas tidak memadai minimal barrier nursing dapat dilaksanakan. b) Alat-alat yang digunakan : – Alat tenun harus dalam keadaan steril. – Alat kesehatan dalam keadaan steril, dianjurkan meng-gunakan alat jenis disposable; bila tidak ada, sehabis dipakai alat harus segera dibersihkan dan disterilkan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 33

Page 35: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

– Alat makan setelah dipakai dibersihkan kemudian siram dengan air panas. 3. Makanan

Makanan yang akan disiapkan harus cukup kalori, protein, lemak, mineral dan vitamin; kriteria minimal kebutuhan gizi. 4. Prosedur Tindakan

Asuhan keperawatan harus selalu memperhatikan prosedur kerja yang baik dan benar serta memperhatikan teknik sterilitas.

Kendala yang sering ditemukan : – Tidak semua rumah sakit mempunyai fasititas ruangan steril. – Fasilitas cuci tangan dan desinfektan terbatas. – Alat-alat kesehatan dan alat tenun tidak memadai. – Perilaku dari tenaga yang keluar masuk ruangan tidak di-siplin. – Banyak keluarga pasien/pengunjung belum mematuhi aturan yang ditentukan.

II) Mengurangi pencemaran flora kuman rumah sakit dari aspek keperawatan dan pengelolaan makanan pada pasien TST (Transplantasi Sumsum Tulang).

Transplantasi Sumsum Tulang (TST) adalah suatu cara pengobatan canggih yang bertujuan mengganti sel induk multi potensial seseorang dengan sel induk sumsum tulang donor.

Salah satu tujuan TST sebagai pengobatan adalah pem-berian sitostatika dosis tinggi dan total body irradation. Pem-berian obat-obat tersebut akan menambah berat keadaan pasien yang memerlukan perhatian, teknik serta dedikasi khusus.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi pen-cemaran flora kuman rumah sakit pada pasien TST adalah sebagai berikut : A. Persiapan sebelum pasien masuk ruang steril 1. Keluarga

Beri penjelasan kepada keluarga pasien mengenai maksud dan tujuan perawatan di ruang steril, serta peraturan-peraturan yang harus ditaati. Diharapkan dapat menyiapkan pasien baik fisik maupun mental, untuk menjalani pengobatan/perawatan di ruang steril. 2. Pasien

Pasien yang akan dirawat di ruang steril sebelumnya harus diperiksa lengkap; bila ada tanda-tanda infeksi, gigi rusak harus dicabut terlebih dahulu.

Untuk persiapan mental, pasien dikonsulkan ke Psikiatri karena pasien berada di dalam ruang steril dalam jangka waktu lama.

Pasien sebelum masuk ruang steril hams dimandikan den-gan antiseptik, rambut dikeramas dengan shampo betadine dan gosok gigi serta pakaian diganti dengan baju steril. 3. Ruangan

Pasien dirawat di ruang isolasi steril dengan sistim laminary down air flow isolator; sistim ini sanggup menyaring mikro-organisme baik dari pasien maupun petugas, dan dapat menya-ring udara yang masuk ke dalam ruangan.

Tekanan di dalam ruangan harus lebih besar dari tekanan udam di luar; demikian pula tekanan udara di tempat tidur pasien lebih besar dari sekitarnya sehingga setiap berbicara/menolong

pasien, udara yang masuk akan dihembuskan kembali keluar. Pembersihan ruangan dilakukan sebelum penderita masuk,

termasuk dinding, lantai dan alat serta barang milik pasien, selanjutnya difumigasi menggunakan fumigator, dilakukan 2 kali berturut-turut, dan ruangan ditutup selama 24 jam.

Sebelum dan sesudah ruangan disterilkan, dilakukan pe-meriksaan uji sterilitas; ruangan dapat dipakai setelah bau for-malin hilang serta uji sterilitas memenuhi syarat; dan dapat diulang setiap 2 minggu. 4. Alat-alat medis dan kesehatan

Alat-alat medis seperti stetoskop, tensimeter, termometer dan aiat kesehatan lainnya yang sudah steril disediakan khusus di setiap ruangan. 5. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan : a) Daftar orang masuk ruang steril digantung di dinding luar, dan setiap petugas yang masuk ruang steril wajib menulis nama pada daftar tersebut. b) Lemari yang selalu berisi baju khusus, topi, masker dan alas kaki ylnng steril disediakan di depan kamar steril. c) Wastafel dan cairan desinfektan serta pengering tangan selalu tersedia di depan setiap ruang steril

B. Penanganan pasien setelah masuk ruangan steril Satu cara yang banyak digunakan adalah dengan merawat

pasien pada periode terapi induksi dalam ruang steril. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain :

1. Pasien a. Personal Hygiene.

Mandi 2 kali sehari dengan menggunakan air steril dan betadine 1 : 20; bila pasien mandi sendiri dapat menggunakan waslap diusap di seluruh bāgian tubuh.

Sekali seminggu dilakukan mandi matahari, yakni seluruh tubuh penderita diusap dengan betadin pekat dan dibungkus dengan laken steril selama 1 jam.

Perawatan mulut. Pasien harus kumur-kumur dengan betadine gargle 4 sam-

pai 6 kali sehari, setiap habis makan gigi disikat menggunakan sikat gigi yang lembut (bila trombosit masih baik); bib trombosit rendah pasien tidak diizinkan menggosok gigi untuk menghindari perdarahan, dan gigi dibersihkan dengan lidiwaten sebelum kumur-kumur.

Untuk eliminasi, setiap kali setelah pasien buang air besar/ air kecil daerah perineum harus dibersihkan dengan'antiseptik, air betadin 20 : I. b. Pakaian pasien diganti dengan yang steril setiap habis mandi atau sewaktu-waktu bila diperiukan. c. Pemeriksaan kultur.

Sampel kultur diambil pada saat penderita masuk ruang steril, diulang 2 x seminggu atau sewaktu-waktu bila pasien demam.

Untuk kultur mikrobiologi yang diambil antara lain : – Swab mukosa mulut/tenggorokan, hidung. – Darah, urine, faeces. – Kulit ketiak, lipat paha dan perineum, vagina. 2. Ruangan Steril

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 34

Page 36: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Secara rutin ruangari steril harus dibersihkan dengan cairan antiseptik setiap hari, termasuk dinding, lantai, kaca, tempat tidur.

Kultur ruangan diulangi setiap 2 minggu selama ruangan tersebut digunakan. Bila jumlah koloni kuman tidak memenuhi syarat sterilitas, pasien harus dipindahkan ke ruangan steril lainnya. 3. Alat tenun

Alat tenun seperti laken, selimut, sarung bantal dan lainnya diganti setiap hari dengan yang steril. 4. Alat Medis dan Kesehatan

Alat medis dan kesehatan yang digunakan harus selalu dalam keadaan steril. 5. Petugas

Setiap petugas yang akan masuk ke ruangan steril harus memperhatikan hal-hal seperti di bawah ini : – Catat nama, waktu dan tujuan kunjungan pada daftar yang telah disediakan. – Gunakan baju khusus, masker dan topi steril. – Gunakan penutup kaki/sepatu khusus. – Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan dengan menggunakan desinfektan serta menggunakan sarung tangan steril setiap kali memeriksa/menyentuh pasien. – Perawat dalam merawat pasien, satu perawat satu pasien dari awal sampai akhir waktu dinas, tujuannya mencegah infeksi silang, mencegah terjadinya kekeliruan dalam melakukan tindakan perawatan/pengobatan, dan petugas tersebut dapat memonitor perkembangan pasien secara terus menerus.

Tindakan keperawatan yang perlu diperhatikan : – Observasi keadaan pasien secara terus menerus termasuk pemberian obat sitostatika, obat oral, nutrisi parentral. – Cepat tanggap dalam mendengarkan keluhan pasien. – Perawatan kateter sentral, infus dan lain-lain. – Observasi keseimbangan cairan setiap 6 jam. 6. Makanan

Makanan yang dimaksud di sini termasuk makanan pokok, makanan selingan dan buah-buahan.

Makanan yang dihidangkan berasal dari dapur rumah sakit dengan prinsip low bacterial food. Makanan yang baru dimasak dimasukkan dalam tempat steril dan dibawa ke ruangan antara kamar steril; di sini makanan ditata kembali di atas baki (semua alat sudah di ultraviolet) dan ditutup dengan plastic wrap (per-mukaan harus setipis mungkin), kemudian di ultraviolet selama 30 menit, selanjutnya dipanaskan dengan microwave selama 5 menit.

Proses pengelolaan makanan seperti di atas telah dibuktikan dengan uji sterilitas.

Makanan dan minuman selingan boleh dimasukkan ke da-lam seperti biskuit yang dibungkus rapat dengan aluminium foil, teh kotak, juice buahvita. Makanan dan minuman ini kemasannya harus baik dan telah dilakukan uji kesterilan.

Makanan dan minuman ini sebelum diberikan kepada pa-sien harus dibersihkan kemudian di ultraviolet selama 30 menit; makanan tertentu yang belum melalui uji sterilitas tidak di-

izinkan masuk. Bila makanan dalam kemasan besar, petugas hanya memasukkan secukupnya ke dalam piring dan ditutup dengan plastik lalu di ultraviolet.

Buah-buahan yang dihidangkan harus mempunyai kulit dan dalam keadaan baik, tidak cacad (utuh) seperti jeruk, pisang dan semangka.

Buah-buahan sebelum masuk harus dicuci dengan air bersih dan kemudian di lap seluruh permukaannya dengan alkoho1 70% kemudian masukkan ke dalam lemari es ultraviolet selama 30 menit.

Buah-buahan hanya boleh berada di dalam keadaan utuh selama 1 x 24 jam, setelah itu harus dikeluarkan.

Buah-buahan yang berkulit tipis misalnya duku, anggur tidak diizinkan.

Masalah yang dihadapi dalam sistim pengelolaan makanan ini adalah : – Makanan yang diultraviolet mengalami perubahan rasa dan aroma, sehingga mengurangi selera pasien. – Transportasi makanan dari dapur ke ruangan steril tidak terjamin, sebaiknya ada dapur khusus. – Penyampaian makanan kepada pasien terlambat karena proses. – Pensterilan makanan memakan waktu. – Karena keterbatasan menu, pasien sering merasa bosan. 7. Pengunjung

Pengunjung/keluarga pasien tidak boleh menemui pasien secara langsung di dalam kamar steril, kunjungan dapat di-lakukan hanya melihat pasien di balik dinding kaca, dan bila diperlukan komunikasi dapat menggunakan aiphone.

Kendala yang dihadapi dalam merawat pasien di ruangan

steril : 1. Petugas : – Harus bolak-balik cuci tangan. – Menghadapi pasien/keluarga yang kadang-kadang menolak bila dilakukan tindakan. – Petugas tidak bisa memenuhi permintaan pasien atau ke-luarga misalnya dalam hal makanan dan kunjungan. – Merasa jenuh karena terus menerus berada dalam satu ruangan. 2. Pasien/keluarga : – Jumlah obat yang diminum terlalu banyak. − Pasien merasa bosan karena terisolasi terlalu lama. − Tidak bisa komunikasi secara bebas dan langsung. − Makanan tidak sesuai selera karena pengaruh perubahan aroma dan rasa. − Pasien Askes untuk kebutuhan obat-obat yang mendesak, kadang-kadang tidak terpenuhi. 3. Lingkungan/Fasilitas : – Bila aliran listrik mati, laminary down air flow mati se-hingga tidak menjamin sterilitas ruangan. – Biaya perawatan di ruangan steril sangat mahal. – Bila ada kerusakan perbaikannya terlalu lama, karena masih harus memanggil petugas dari kontraktor.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 35

Page 37: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

KESIMPULAN Salah satu cara perawatan pasien dengan sistim imunitas

yang menurun, terutama pada pasien TST adalah dengan mem-perhatikan prinsip-prinsip keperawatan termasuk pasien/ keluarga, petugas, lingkungan dan pengelolaan makanan yang khusus sehingga dapat mejnperkecil/mengurangi pencemaran flora kuman rumah sakit.

KEPUSTAKAAN

1. Brennan MF. Supportive care of cancer patient: Nutritional support. In: Devita (ed). Cancer: Principle and Practice of Oncology III. Philadelphia, Toronto: Lippincott Co, 1982.

2. Organ and tissue transplantation ethics, part II : Application in nursing. Nurs Clin North America. December 1989.

3. Advances in nutritional support, Ethics, part I : Issue in Nursing. Nurs Clin North America. June 1984.

4. Djumhana Atmakusuma. Defisiensi immun pada penderita kanker. Per-masalahan dan garis besar penanganannya. Jakarta 1987.

5. Penatalaksanaan penderitaan ruang steril RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 1989.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 36

Page 38: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Tinjauan Mikrobiologi Makanan, Minuman dan Air

pada Beberapa Rumah Sakit di Jakarta

Pudjarwoto Triatmodjo Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

k ds J W

y s b d p 4

PENDAHULUAN

Masalah infeksi nperhatian para ahli, morbilitas maupun mdan obat-obatan, wamembebani pemerinmaupun penderita dadengan kebijaksanaajustru menekankankesehatan('). Di Indkesakitan dan angka masih langka; tetapkeadaan rumah sakit baik. Di Amerika drumah sakit sudah me1977 dilaporkan sebe

Untuk mengetahui besar penyebaran mikroba penyebab infeksi nosokomial secaraualitatif dan kuantitatif pada makanan, minuman dan air di lingkungan rumah sakit,alam makalah ini disajikan hasil pemeriksaan secara mikrobiologis terhadap sampel-ampel makanan, minuman dan air untuk para pasien pada beberapa rumah sakit diakarta. Cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan metode yang telah dibakukan oleh

HO. Hasil pemeriksaan menunjukkan, bakteri gram negatif E. coli merupakan pencemar

ang dominan pada beberpa jenis makanan, air minum untuk pasien (air putih & air teh)erta air bak mandi pasien di bangsal-bangsal perawatan di rumah sakit. Beberapa jenisakteri lain yang ditemukan adalah Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Klebsiellaan Jamur. Sebesar 37,5% air minum (air putih & air teh) yang disajikan untuk paraasien tidak memenuhi syarat sebagai air minum berdasarkan Permenkes No.16/MENKES/ PER/IX/1990.

osokomial saat ini makin banyak mendapat karena di samping dapat meningkatkan ortalitas, juga menambah biaya perawatan ktu dan tenaga yang pada akhirnya akan tah/rumah sakit, personil rumah sakit n keluarganya. Hal ini jelas bertentangan n pembangunan bidang kesehatan yang peningkatan efisiensi pelayanan onesia data mengenai kejadian, angka kematian infeksi nosokomial boleh dikata i diperkirakan cukup tinggi mengingat dan kesehatan umum relatif belum begitu engan tingkat kesehatan masyarakat dan madai, kejadian infeksi nosokomial tahun sar antara 5-10%(2).

Dalam upaya menanggulangi kejadian infeksi nosokomial, tinjauan epidemiologi terhadap masalah pencemaran dan infeksi nosokomial perlu dilakukan karena pada dasarnya kejadian infeksi nosokomial melibatkan unsur manusia, lingkungan dan miroba yang satu sama lain saling terkait. Dalam hubungan ini kēgiatan. survai epidemiologi yang diarahkan untuk survai infeksi nosbkomial dapat meliputi : pengenalan konsep survai epidemiologi di rumah sākit untuk pencegahan dan penanggu-langan infeksi nosokomial, pengembangan teknologi peng-amatan infeksi nosokomial, pengumpulan data rutin untuk memperoleh gambaran tentang berbagai aspek epidemiologi infeksi nosokomial, penelitian KLB (Kejadian Luar Biasa) in-feksi nosokomial yang terjadi di beberapa rumah sakit serta melaksanakan berbagai survai dan studi dalam rangka pengum-pulan data dasar infeksi nosokomial(3). Namun karena ke-terbatasan dana dan sarana, kebijaksanaan yang berkaitan

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 37

Page 39: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

dengan aspek epidemiologi ini dari segi fisik belum dapatdikem-bangkan secara paripurna. Walaupun demikian minat untuk menangani dan menanggulangi infeksi nosokomial sebagai salah satu masalah dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit berkem-bang cukup pesat, antara lain terbukti dengan diselenggarakan-nya seminar-seminar infeksi nosokomial di Jakarta, 1986, di Aceh 1987 dan di Surabaya 1988, serta adanya penelitian-penelitian yang berkaitan dengan infeksi nosokomial.

Salah satu cara transmisi infeksi nosokomial adalah dengan cara fekal-oral, yaitu melalui makanan, minuman dan air yang disajikan oleh rumah sakit untuk para pasien maupun personil rumah sakit<4). Untuk mendapatkan gambaran mengenai sumbersumber penularan dan rute penyebaran infeksi nosokomial sebagai salah satu upaya pengumpulan data dalam pemecahan masalah infeksi nosokomial, dalam makalah ini disajikan data hasil penelitian mikrobiologis terhadap makanan, minuman dan air yang dikonsumsi oleh para pasien di rumah sakit. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam upaya penanggulangan infeksi nosokomial.

38

BAHAN DAN CARA 1. Jenis sampel yang diteliti

Bahan-bahan yang diperiksa dalam penelitian ini adalah air minum untuk para pasien maupun petugas rumah sakit yaitu air putih matang dan air teh, air mandi pasien yang ada di bangsal-bangsal perawatan, air untuk keperluan masak di dapur umum, air cud alat-alat serta air cuci tangan perawat. Sedangkan jenis makanan dan minuman yang diperiksa adalah nasi/bubur, sayur/ lauk, daging/telur, roti dan susu dalam bentuk minuman.

2. Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis. Untuk sampel air diambil sebanyak 200 ml dari tiap-tiap jenis air yang diteliti dan ditempatkan pada botol steril. Untuk sampel makanan di-ambil kira-kira sebanyak 10 gram untuk tiap jenis makanan yang diteliti dan dimasukkan ke dalam wadah yang steril pula.

Transportasi sampel dari rumah sakit ke laboratorium di-lakukan dengan menempatkan sampel-sampel tersebut ke dalam box es dengan suhu sekitar 4° C.

3. Idenfikasi mikrobiologis

Identifikasi mikrobiologis dilakukan dengan menggunakan metode yang telah dibakukan oleh WHO (1987(5). Dalam iden-tifikasi mikrobiologis ini terutama untuk sampel makanan dan minuman pertama-tama dilakukan kultur terhadap masing-masing sampel dengan media spesifik. Dari tahap kulturisasi kemudian dilakukan pemeriksaan lanjutan yang meliputi pe-meriksaan mikroskopis setelah terlebih dahulu dilakukan penawaran Gram dan pemeriksaan yang lain seperti uji biokimia dan uji serologi untuk identifikasi jenis mikroba tertentu. Identifilcasi mikrobiologi ini ditujukan untuk deteksi beberapa jenis bakteri yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial seperti : Staphylococcus sp, Pseudomonas, E. coil Salmonella, Shigella, Streptococcusm Klebsiella, Proteus dan kuman-kuman

gram negatip maupun gram positip lainnya. Identifikasi mikrobiologi terhadap sampel air dilakukan

dengan metode MPN (Most Probable Number) per 100 ml air. Metode ini ditujukan untuk mendeteksi adanya pencemaran air oleh tinja manusia. Sebagai indikator terhadap pencemaran tinja manusia adalah adanya bekteri E. coli/coliform dalam sampel air yang diperiksa. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kejadian infeksi nosokomial yang berkaitan dengan penu-laran fekal-oral adalah infeksi nosokomial saluran cerna (INSC). Namun data infeksi nosokomial saluran cerna di Indonesia belum jelas diketahui karena penelitian mengenai hal ini masih kurang sekali(6). Angka kejadian infeksi nosokomial saluran cerna sangat dipengaruhi oleh keadaan higiene makanan, mi-numan dan air di rumah sakit yang disajikan untuk konsumsi para pasien maupun petugas rumah sakit, karena bahan-bahan ini merupakan media yang berperan pending untuk transmisi kuman penyebab infeksi nosokomial. Data hasil pemeriksaan mikrobiologis terhadap makanan, minuman dan air yang berasal dari beberapa rumah sakit di Jakarta tercantum dalam tabel 1 dan tabel 2.

t

Tabel 1. Besarnya pencemaran bakteri E. coil pada beberapa jenis sampel air yang diambil dari 2 rumah sakit di Jakarta berdasarkan pada pemeriksaan MPN E. coli/100 (N=79).

MPN E. coli/l00 ml

RS. X RS. Y Jenis air

n Hasil (+) MPN % n Hasil (+)

MPN %

Rata-rata (%)

Airp+t Airmp Air and Air ct Air ct+d

12 12 6 7 1

5 6 2 3 0

41,6 50,0 33,3 42,8 0,0

12 12 6 8 3

4 5 1 2 2

33,3 41,6 16,6 25,0 66,6

37,5 45,8 24,9 33,9 33,3

Jumlah 38 16 42,1 41 14 34,1 37,9

Keterangan : RS. X dan RS. Y = Kode rumah sakit yang diperiksa N = Total sampel diperiksa MPN = Most ProbableNumber =JwnlahPerkiraan terdekat n = Jumlah tiap jenis air per rumah sakit Air p+t = Air putih + air teh Air nip = Air mandi pasien Air md = Air masak di dapur umum Air ct = Air cuci tangan Air ct+d = Air cuci tangan perawat + desinfektan Dalam tabel 1 terlihat bahwa 37,5% air minum (air putih dan air teh) yang disajikan oleh rumah sakit untuk keperluan pasien maupun untuk petugas rumah sakit mengandung bakteri E. coil. Ini berarti air minum tersebut telah tercemar oleh tinja manusia, yang berarti pula bahwa air minum tersebut tidak memenuhi standar kualitas air minum berdasarkan Permenkes No. 416/ MENKES/PER/IX/1990. Dalam Permenkes tersebut di atas diper-syarakatkan bahwa parameter mikrobiologis untuk air minum

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993

Page 40: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

adalah MPN E. coli/100 ml sampel harus nol (negatip)(7). Selain itu pencemaran E. coli pada air bak mandi pasien di

bangsal-bangsal perawatan ternyata cukup tinggi. Dan 24 sam-pel yang diperiksa, 11 sampel (45,8%) tercemar oleh bakteri tersebut. Di sini tingkat pencemaran E. coli pada air bak mandi tersebut diketahui melebihi ambang batas pencemaran yang diperkenankan sebagaimana dipersyaratkan dalam Permenkes No. 416/Menkes/Per/IX/1990. Dalam Permenkes disebutkan bahwa persyaratan mikrobiologis untuk air bersih adalah MPN Koliform/100 ml untuk bukan air perpipaan = 50, sedangkan untuk air perpipaan = 10.

Adanya unsur kotoran manusia (tinja) dalam air minum akan membahayakan kesehatan, apabila di dalam tinja tersebut men-gandung mikroorganisme patogen yang sering terdapat di dalam feses manusia yaitu virus, bakteri, parasit dan protozoa. Penya-kit-penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme tersebut merupakan penyakit yang bersifat water-borne diseases yaitu penyakit-penyakit yang transmisinya melalui anal-oral yang berhubungan dengan pencemaran air oleh tinja manusia.

Bakteri-bakteri patogen yang terdapat di dalam feses manusia ada bakteri-bakteri yang termasuk dalam familia Enterobacteri-aceae. Diantara bakteri patogen tersebut yang terpenting adalah Salmonella, Shigella, Pseudomonas, Vibrio cholera, Klebsiella, Campylobacter, E. coli patogen dan lain-lain. Kelompok bakteri ini dapat menyebabkan penyakit typhus, disentri, cholera/ muntaber, dan lain-lain. Bakteri-bakteri patogen ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui air yang diminum yang tercemar oleh bakteri-bakteri tersebut; tetapi dapat pula masuk melalui paru-paru setelah inhalasi dan melalui mata setelah menggosok mata dengan tangan yang tercemar oleh tinja. Tahap carrier (pembawa kuman patogen, tetapi dia sendiri tidak sakit) dapat pula terjadi pada penyakit-penyakit yang disebabkan oleh entero-bakteri patogen tersebut. Penderita carrier berperan sangat penting dalam transmisi kuman penyebab infeksi nosokomial.

Dalam tabel 1 dijumpai adanya air cuci tangan perawat yang telah diberi disinfektan (Saulon) tetapi hasil pemeriksaan MPN E. coli/100 ml sampel menunjukkan hasil positip; yaitu dari 4 sampel yang diperiksa terdapat 2 sampel yang positip. Ada beberapa kemungkinan yang penting yang menyebabkan hal ini bisa terjadi; kemungkinan pertama adalah daya bunuh disin-fektan yang dipakai kurang efektif, kemungkinan kedua dosis pemberian disinfektan kedalam waskom terlalu kecil sehingga tidak bisa mematikan bakteri, serta adanya kemungkinan-kemungkinan lain.

Peraturan disinfeksi di rumah sakit merupakan dasar program pencegahan infeksi, tidak terkecuali pencegahan infeksi no-sokomial. Untuk menghindari kejadian seperti tersebut di atas, maka kiranya perlu ditekankan bahwa cara-cara membersihkan, disinfeksi dan sterilisasi yang standar, prosedur antiseptik yang sama adalah berguna tidak hanya demi efisiensi di rumah sakit, tetapi juga merupakan cara yang rasional dalam mencegah infeksi. Oleh karena itu dalam memilih antiseptik yang baik ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu masalah efektifitas, keamanan, penggunaan yang mudah, ekonomis dan

dapat diterima oleh penderita maupun pemakai. Hal ini pada gilirannya akan dapat meiicegah kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit. Tabel 2 Distribusi bakteri penyebab infeksi nosokomial pada berbagai jenis makanan dan minuman yang disajikan oleh rumah sakit pada para pasien.

RS. X (N=55) RS. Y (N=54)

Mikro organisme Nasi+

1-p (n=33)

Roti (n=12)

Susu (n=10)

Nasi+ 1-p

(n=33)

Roti (n=12)

Susu(n=9)

Jumlah

V. cholera Salmonella Shigella E. cols Clostridium Staphylo- coccus Pseudomonas Streptococcus Proteus Klebsiella Jamur (Aspergillus)

– – – 4 – 2 – – 2 1 –

– – – – – – – – – – 4

– – – 1 – 1 – – – – –

– – – 1 – 1 1 - 1 – –

– – – – – – – – – – 3

– – – – – 1 1 – – – –

0 0 0 6 0 5 1 0 3 0 7

Jumlah 9 4 – 4 3 1 23

% 27,2 33,3 20,0 12,1 25,0 11,1

Keterangan : N = Total sampel diperiksa tiap rumah sakit n = Jumlah sampel diperiksa tiap jenis makanan RS. X dan RS. Y = Kode rwnah sakit yang diperiksa Nasi+1-p = Nasi + lauk-pauk

Hasil pemeriksaan mikrobiologis terhadap makanan dan minuman (tabel 2) menunjukkan bahwa sebesar 21,1% makanan dan minuman yang disajikan oleh rumah sakit untuk konsumsi para pasien maupun untuk personil rumah sakit tercemar oleh beberana ienis bakteri yang dapat menyebabkan infeksi no-sokomial. Beberapa jenis bakteri penyebab infeksi nosokomial yang terdeteksi mencemari makanan dan minuman di rumah sakit adalah E. coli, Pseudomonas, Staphylococcus, Proteus, Klebsiella dan beberapa spesies Jamur (gambar 1). Dalam penelitian ini E. coli merupakan jenis mikroba yang paling banyak ditemukan dalam beberapa jenis makanan. Bakteri E. coli, Pseudomonas dan Proteus adalah golongan Enterobacteri-aceae yang bersifat gram-negatip. Dalam kehidupan sehati-hari E. coli sangat berkaitan erat dengan tingkat hygiene, pem-buangan tinja manusia, kebersihan perorangan dan sebagainya. Dengan ditemukannya bakteri E. coli dalam makanan maupun minuman adalah merupakan petunjuk bahwa makanan tersebut tercemar oleh kotoran manusia. Bila di dalam kotoran manusia yang mencemari makanan tersebut mengandung bakteri patogen maka hal ini akan membahayakan kesehatan dan dapat berakibat terjadinya infeksi nosokomial. Tingginya angka pencemaran E. coli pada makanan dan minuman di rumah sakit menggambarkan taraf hygiene di rumah sakit yang kurang baik dan hal ini sangat berkaitan erat dengan kondisi lingkungan fisik maupun faktor manusianya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 39

Page 41: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Angka infeksi nosokomial saluran cerna di Indonesia di-laporkan oleh para ahli sebesar 1,6-80,8%(6). Sampai seberapa besar peranan faktor makanan, minuman dan air di rumah sakit yang tidak/kurang hygienes dapat menimbulkan kejadian infeksi nosokomial ?

Gambar 1 Jenis bakteri penyebab infeksi nosokomiai yang terdeteksi sebagal bakteri pencemar pada beberapa jenis makanan dan minuman yang disajikan untuk para pasien di 2 rumah sakit di Jakarta.

Keterangan : A = Klebsiella = 0,9% B = Proteus = 2,7% C = Pseudomonas = 0,9% D = E. coli = 5,5% E = Staphylococcus = 4,5%

Hal ini masih memerlukan penelitian-penelitian yang lebih mendalam di lingkungan perawatan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain adalah : – Bakteri gram negatip E. coli merupakan salah satu kuman penyebab infeksi nosokomial yang dominan sebagai bakteri pencemar pada berbagai jenis makanan, air minum dan air mandi pasien di beberapa rumah sakit di Jakarta. – Beberapa jenis mikroba lain yang ditemukan adalah Staphylococcus, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella dan jamur Aspergillus. — Besar kejadian infeksi nosokomial yang transmisinya me-lalui makanan, minuman dan air merupakan hal yang memerlukan peneltian lebih lanjut.

KEPUSTAKAAN

1. Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima Bidang Kesehatan, 1989/1990 – 1993/1994. Dep Kes RI 1989.

2. Usman Chatib Warsa. Aspek Mikrobiologi Infeksi Nosokomial. Maj In-fonnasi Kesehatan No. 19, Januari 1987.

3. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Pentaloka Survvailans Epidemiologi Bagi Para Kepala Dinar Kesehatan Dati II, Dep Kes RI 1990.

4. Susilo Surachmad, Sutoto, Josodipuro K. Kumpulan Makalah Penataran Isolasi Penderita Penyakit Menular. (Infeksi Nosokomial dan Pencegahan-nya). Dep Kes RI, Jakarta 1984.

5. WHO, CDD Program for Central Diarritoeal Diseases. Manual for Labora-tory Investigation of Acute Enteric Infection, 1987.

6. Janas, Sutoto, Punjabi HN. Infeksi Nosokomial Saluran Cema (INCS) pada Penderita Anak di Rumah Sakit Khusus Peayakit Menular, Jakarta. Medika (Sept) 1985; 11(a) : 851-8.

7. Peraturan Menteri Kesehatan Rl No 416/Menkes/Per/DC/1990 Tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air.

40

Many people are like a wheelbarrow – they go no farther than they are pushed

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993

Page 42: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Penelitian Kuman-kuman Patogen dalam Makanan Katering di Jakarta

Noer Endah Pracoyo, Sri Harjlnlng, Pujarwoto T

Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Meningkatnya taraf kehidupan dan kesibukan di kota besar seperti Jakarta menyebabkan masyarakat cenderung memilih hal-hal praktis seperti memanfaatkan jasa layanan makanan untuk memenuhi kebutuhan makan selama bekerja, baik di kantor, pabrik, dan di pasar. Masalah kebersihan dan keamanan makanan merupakan masalah penting bagi konsumen.

Untuk melindungi baik pengusaha jasa boga maupun ma-syarakat terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang persyaratan kesehatan jasa boga. Untuk memantau pelaksanaannya perlu dilakukan pengawasan kebersihan sanitasi tempat pengolahan makanan (katering). Hal tersebut untuk menghindari kemungkinan ter-kontaminasinya makanan oleh kuman-kuman patogen yang dapat mengakibatkan keracunan.

Dari survai Tempat Pengolahan Makanan (TPM) pada tahun 1989, didapat gambaran bahwa tingkat kontaminasi makanan di Indonesia cukup tinggi, yaitu 32,64%; akibatnya banyak terjadi keracunan makanan, bahkan cenderung menjadi Kejadian Luar Biagi (KLB)'). Kontaminasi dapat terjadi akibat meningkatnya penggunaan zat kimia pada makanan, pence-maran lingkungan, cara pemilihan dan pengolahan makanan yang kurang sempurna serta cara penyajian yang kurang me-menuhi syarat.

DitJen PPM & PLP melaporkan bahwa di Indonesia pada tahun 1981 – 1985 tercatat 1385 orang menderita keracunan makanan dengan kematian sebanyak 24 orang (CFR: 1.7%). Berdasarkan analisis kejadian keracunan makanan yang di-laporkan, 49% di antaranya berasal dari makanan katering.

Dari kenyataan tersebut di atas dampak penyediaan ma-kanan yang kurang higienis sangatlah luas karena menyangkut masyarakat banyak. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian

tentang kuman-kuman patogen pada makanan katering di Jakarta. BAHAN DAN CARA KERJA

Jumlah katering diambil secara random dari 186 katering yang terdaftar pada Asosiasi Katering Indonesia di Jakarta. Diperoleh 200 contoh makanan dari 43 katering di seluruh wilayah DKI Jakarta.

Contoh makanan tersebut diambil secara aseptis sebelum disajikan kepada para konsumen, kemudian dikelompokkan menjadi 12 kelompok makanan antara lain nasi, sayur, rendang, sambel goreng, opor, bakmi, ayam/daging goreng, sambel, acar, kue-kue dan buah-buahan. Semua contoh makanan di-bawa ke Puslit Penyakit Menular untuk diperiksa secara bakte-riologis, untuk mencari kuman patogen yang terdapat pada makanan seperti kuman Shigella, Salmonella, Vibrio cholera, Vibrio parahaemolyticus, Staphylococcus aureus, dan kuman komensal seperti E. coli; di samping itu dilakukan pula pe-meriksaan angka Inman sebagai indikator kebersihan TPM.

Tidak ditentukan jarak antara lokasi dan tempat pemeriksa-an makanan.

PENGUJIAN ISOLASI MAKANAN

Pengujian isolasi makanan dilakukan dengan cara Ohashi(2). Secara aseptis diambil 10 gram contoh makanan untuk di-haluskan dengan menggunakan blender/gunting/pisau steril kemudian dihomogenisasi dengan 90 ml Phosphat Buffer Saline (pH 7.2). Contoh makanan dimasukkan ke dalam media penyu-bur selenit untuk menyuburkan kuman Shigella dan Salmonella, media Lactose Broth untuk menypburkan kuman E. coli, media Alkalis pepton untuk menyuburkan kuman V. cholera, media Alkalis pepton 3% NaCl untuk menyuburkan kuman V. para-

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 41

Page 43: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

haemolyticus, dan Cooks Meat medium untuk menyuburkan kuman S. aureus. Kemudian diinkubasi di dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37°C.

Dari setup biakan tersebut selanjutnya diambil sebanyak 1 ose, ditanam ke dalam media selektip yaitu Mac Conkey Agar untuk pertumbuhan kuman E. coli; Salmonella Shigella Agar untuk pertumbuhan kuman Shigella dan Salmonella; media Thiosulfat Citrate Bile Salt (TCBS) untuk pertumbuhan kuman V. cholera; TCBS 3% NaCl untuk pertumbuhan kuman V. parahaemolyticus dan Mannitol Salt Agar untuk pertumbuhan kuman Staphylococcus aures. Inkubasi dilakukan pada tern-peratur 37°C selama 18-24 jam.

Untuk penegasan dilakukan test biokimia, dan bila perlu dilakukan test serologi.

Pemeriksaan Jumlah Angka Kuman Dilakukan dengan menggunakan Standard Total Plate

Count; caranya sebagai berikut : Contoh makanan yang akan diperiksa ditimbang seberat 10

gram, kemudian secara aseptis dihaluskan dengan blender/gun-ting/pisau steril, lalu dihomogenisasi dengan 90 ml Phosphate Buffer Saline, kemudian ditipiskan sebanyak 5-6 kali.

Secara aseptis diambil 1 ml larutan tersebut, dihomogeni-sasi dengan agar Total Plate Count dan diinkubasikan selama 24 jam dengan suhu 37°C.

Digunakan rumus sebagai berikut :

makanancontoh gram 10 X CB A =

Keterangan : A = Jumlah angka kuman. B = Jumlah kuman terhitung. C = Penipisan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dan 200 contoh makanan yang diperiksa, diperoleh ber-bagai jenis sebagai berikut (tabel 1).

Tabel 1. Jenis makanan yang diperoleh dart katering di Jakarta

No. Jenis makanan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12.

Nasi Sayur Gulai Rendang Sambal goreng Opor Acar Bakmi Ayam/daging goreng Sambel Kue-kue Buah-buahan

35 33 13 9 7 2 6 4

52 11 23 5

Ternyata 7 contoh makanan (4%) mengandung kuman E.

coli (tabel 2), 2 contoh makanan (1%) mengandung kuman S. aureus (tabel 3).

Tabel 2. Kuman E. call positip menurut Jenis makanan

Jumlah positip No. Jenis makanan Jumlah diperiksa

n 96

1. 2. 3. 4. 5.

Nasi Sayur Acar Ayam/daging goreng Sambel

32 33 6 52 11

1 2 1 2 1

2,85 6,06

16,66 3,84 9,09

Tabel 3. Kuman Staphylococcus aureus positip menurut Jenis makanan

Jumlah positip No. Jenis makanan Jumlah diperiksa

n 4b

1. 2.

Daging/ayam Kue-kue

52 23

1 1

1,92 4,34

Kuman S. aureus tersebut tumbuh pada hasil olahan makanan katering dari wilayah Jakarta Pusat.

Indikator kebersihan tempat pengolahan makanan (kater-ing) dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Angka Kuman lebih besar dart Standard yang telah ditentukan menurut Jenis Makanan

Melebihi standard No. Jenis makanan Jumlah diperiksa

n % 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Nasi Sayur Acar Sambal goreng Ayam/daging goreng Kue-kue Buah-buahan

35 33 6 7 52 23 5

7 7 2 2 10 5 2

20 18,18 33,33 28,57 19,53 21,74 40,00

Angka kuman pada makanan katering digunakan untuk

indikator kebersihan sanitasi Tempat Pengolahan Makanan (ka-tering). Dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 712/MenKes/ PER/X/1986 tanggal 6 Oktober 1986 tentang Persyaratan Ke-sehatan Jasa Boga, kuman E. coli pada makanan olahan harus tidak ada. Sedangkan angka kuman pada permukaan alat yang digunakan untuk tempat makan ataupun yang kontak dengan makanan sebanyak-banyaknya 100%m2, dan jumlah angka kuman pada makanan tidak lebih dari 3x 105. Hasil olahan makanan tidak mengandung kuman patogen lainnya.

Karena pada penelitian ini ditemukan kuman E. coli pada contoh makanan, maka apabila ditinjau dari Peraturan Menteri makanan tersebut tidak boleh dikonsumsi. Kuman E. coil dapat menyebabkan gastroenteritis bila kuman tersebut menghasilkan toksin, baik enterotoksin maupun eksotoksin. Hilda dick (1982) mendapatkan bahwa kontaminasi makanan dan minuman dari pedagang kaki lima di DKI Jakarta berasal dari food handler dan penggunaan air yang mengandung coliform(3). Berita Epidemiologi PPM & PLP melaporkan terjadinya keracunan

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 42

Page 44: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

makanan di Asrama Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Jakarta yang disebabkan oleh sumber air dan air minum yang terkontaminasi kuman E. coil patogen(4).

Apabila higiene dan sanitasi katering rendah, maka yang terkena risiko adalah semua orang yang mengkonsumsi hasil olahan makanannya. Jika seseorang terkena infeksi kuman E. coli patogen, 12-72 jam setelah terinfeksi, dapat muncul tanda-tanda nyeri kepala, demam, mual, dan diare. Apabila penderita tidak segera mendapat pertolongan, akan terdapat darah dan mukosa di dalam tinjanya, dan dapat berlanjut menjadi fatal(5).

Kuman Staphylococcus aureus terdapat di bagian luar tubuh terutama hidung, kulit, baik hewan maupun manusia, dan pada hewan piaraan seperti tern,* unggas, sapi, kambing, babi, serta di udara terbuka. Kontaminasi mudah terjadi pada makanan mentah, buah-buahan, bahan-bahan yang berasal dari kerang, ikan, kepiting (rajungan), susu dan hasil olahannya(5).

Keadaan yang mempengaruhi terjadinya kontaminasi antara lain pH, temperatur dan komposisi makanan. Temperatur optimum untuk kuman ini berkisar antara 30°C sampai 40°C(3). Bila di dalam makanan terkandung 106 sampai 109 kuman ini per gram makanan yang termakan, maka akan terjadi keracunan ma-kanan dengan gejala mual, muntah dan diare(7). Masa inkubasi kuman ini berkisar antara 1-8 jam(5); mudah ditularkan oleh food handler yang merupakan carrier terhadap kuman tersebut(5).

KESIMPULAN DAN SARAN Dengan ditemukannya kuman E. coli, Staphylococcus

aureus, serta angka kuman pada contoh makanan yang di-periksa lebih besar dari standar, maka perlu dilakukan pengecekan terhadap food handler (penjamah) makanan katering. Di samping itu perlu ditingkatkan pula higiene dan sanitasi katering.

KEPUSTAKAAN

1. Peraturan Menteri Kesehatan No. 712/Menkes/X/1986 tentang Persyaratan

Kesehatan Jasaboga. 2. Ohashi et al. Manual for the Laboratory Diagnosis Of Bacterial Food

Poisoning and The Assēsment of Sanitary Quality of Food. SEAMIC Publ. Tokyo 1978; 71-82, 116.

3. Hilda et al. Bacterial content in food, drink and ice, collected from street food handler in Jakarta, Medika 1982; 3.

4. Djairas et at Laporan investigasi KLB Keracunan Makanan pada Asrama Transito Tenaga Kerja Indonesia, Gondangdia Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Berita Epidemiologi 1989; 3-12.

5. Yacob M. Safe food handling. WHO. 1989; p. 24-6. 6. WHO. Microbiological Aspect Food Hygiene. WHO Techn. Rep. Ser 598,

1976. 7. Jawetz E. et aL The Microbiology of Special Environment. Review of

Medical Microbiology 12th ed. Lange Med Publ, Los Angeles, California, 1986. p. 89-90.

8. Refai MK. et at Manual of Food Quality Control Microbiological Analisis. FAO. V014. 1979.

PEMBERITAHUAN Di dalam persediaan kami, masih terdapat nomor-nomor Cermin Dunia Kedokteran

terbitan lama, sebagai berikut : CDK 17/1980 - Penyakit Saraf (sambungan) 70 eks.CDK 33/1984 - Masalah Anestesi 49 eks.CDK 43/1987 - Bedah Mikro 42 eks.CDK 49/1988 - Seminar Penyakit Tak Menular I 53 eks.CDK 52/1988 - Tumor Kepala dan Leher 28 eks.CDK 53/1988 - Insomnia 25 eks.CDK 55/1989 - Malaria II 25 eks.CDK 65/1990 - Imunisasi I 120 eks.CDK 66/1991 Imunisasi II 122 eks.CDK 67/1991 Kardiovaskular 169 eks.CDK 69/1991 - Pulmonologi 94 eks.CDK 70/1991 - Kesehatan dan Lingkungan 123 eks.CDK 71/1991 - Simposium Peningkatan Pelayanan RS 400 eks.CDK 73/1991 - Gizi 57 eks.CDK 74/1992 - Kulit I 77 eks.CDK 76/1992 - Kulit II 327 eks.CDK 77/1992 - Tumor Otak 518 eks.CDK 78/1992 Penyakit Sendi 639 eks.CDK 79/1992 Masalah Saluran Cema 207 eks.Sekiranya edisi-edisi tersebut di atas masih diperlukan, Sejawat dapat memberi-

tahukannya kepada kami melalui surat; kami akan mengirimkannya ke alamat Sejawat selama persediaan masih ada, secara cuma-cuma.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 43

Page 45: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Survai Poliomielitis Paralitik di Lokasi Transmigrasi Kecamatan Tinanggea,

Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara (1985–1986)

Eko Rahardjo*, Suharyono Wuryadl*, Gendro Wahyuhono*, Bambang Basukl**, Nur Daini** Badan Penelitian dan Pen gembangan Kesehatan*

Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman** Departemen Kesehatan Rl, Jakarta

PENDAHULUAN

Poliomielitis adalah penyakit yang termasuk dalam daftar penyakit wabah dan wajib dilaporkan (Undang-Undang No. 6 tahun 1962 tentang wabahr.

Wabah poliomielitis tidak hanya dilaporkan terjadi di daerah perkotaan dan pedesaan namun belakangan ini juga terjadi di lokasi pemukiman transmigrasi. Pada akhir tahun 1982 dilaporkan wabah poliomielitis di pemukiman transmigrasi Kecamatan Nimbora, Kabupaten Jayapura, Irian Jaya. Tingkat serangan (Attack Rate) di daerah tersebut sangat tinggi yaitu 1,86/100 balita atau 0,19/100 penduduk(2), sedangkan tingkat serangan rata-rata poliomielitis di Indonesia hanya 5,6/100.000 penduduk(3).

Pada bulan Oktober tahun 1985 dilaporkan adanya kasus poliomielitis paralitik (kelumpuhan) di lokasi pemukiman transmigrasi Tinanggea I, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu pada bulan De-sember tahun yang sama, dikirimkan team gabungan dari De-partemen Transmigrasi dan Departemen Kesehatan, melakukan survai kelumpuhan di lokasi tersebut. Tujuan survai adalah : 1. Mencari penderita kelumpuhan dan menentukan tingkat se-rangan poliomielitis, 2. Dengan bantuan analisa makmal (labora-torium) ditetapkan penyebab kelumpuhan, 3. Menemukan virus polio atau anggota enterovirus lainnya yang berpotensi sebagai penyebab kelumpuhan, 4. Menentukan langkah-langkah yang perlu diambil untuk penanggulangan dan pencegahan wabah.

CARA KERJA

Cara kerja pada penelitian ini meliputi : I. Cara kerja di lapangan (merupakan survai), II. Cara kerja di makmal (labora-torium). I. Cara kerja di lapangan

Dilakukan kunjungan dari rumah ke rumah di 4 pemukiman

transmigrasi Tinanggea I (D.U./Andoolo Utama, D.K.B. IV/ Tirtomartani, D.K.B. II/Adaka Jaya, D.K.B. I/Asembu Mulia) dan di 3 desa penduduk asli (Lolonggombu, Anese, Buke). (Gambar 1 dan 2).

Gambar 1. Propinsi Sulawesi Tenggara pembagian wilayah Kabupaten dan Kecamatan

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 44

Page 46: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Gambar 2. Kecamatan Tinanggea Kabupaten Kendari

Di semua rumah di lokasi survai dicatat jumlah kepala ke-luarga, jumlah jiwa, dicatat pula ada tidaknya penderita polio, baik yang sudah lama maupun yang baru saja terkena kelum-puhan.

Setelah kunjungan dari rumah kerumah selesai dan ditemukan sejumlah penderita kelumpuhan, dilakukan pengambilan darah dan usapan rektum dari penderita dan saudara penderita. Darah yang diambil sebanyak 5 mililiter berasal dari vena lengan alas. Usapan rektum diambil memakai lidi kapas steril dan dimasuk-kan ke dalam Iarutan garam seimbang Hanks (Hanks Balanced Salt Solution = BSS Hanks). Sampel serum dan usapan rektum kemudian dibawa ke makmal virologi Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Ja-karta untuk pemeriksaan serologik dan virologik. II. Cara kerja di makmal

Cara kerja di makmal dibedakan menjadi : 1. Cara kerja pemeriksaan serum (test serologik) 2. Cara kerja pemeriksaan usapan rektum (test virologi).

1) Cara kerja pemeriksaan serum Pemeriksaan serum dilakukan untuk menentukan zat anti

polio dan tinggi rendahnya titer zat anti polio yang terdapat di dalam tubuh penderita ataupun saudara penderita.

Serum diinaktifkan dengan cara dimasukkan ke dalam tempat air hangat (water bath) suhu 56°C selama 30 menit. Diencerkan dengan garam penyangga fosfat (phosphate buffer saline = PBS),

tiap bagian serum dicampur 3 bagian PBS. Virus polio 1, 2, 3 diencerkan 100 TCIDso dengan pengencer PBS pula. Tiap pengenceran serum dicampur dengan tiap tipe virus yang sudah diencerkan dan diinkubasi selama 2 jam pada inkubator suhu 37°C. Campuran virus dan serum kemudian dimasukkan pada tabung-tabung biakan jaringan yang pada sisi bawahnya telah ditumbuhi oleh biak sel lestari ginjal monyet hijau (set vero), kemudian diinkubasi pada suhu 37°C. Selama 7 hari diamati di atas mikroskop batik (inverted microscope), bila tidak timbul efek sitopatogenik (cytopathogenic effect = CPE), artinya serum mengandung zat anti polio (positif).

Cara yang sama juga dilakukan untuk menentukan tinggi rendahnya titer zat anti yang terkandung dalam serum penderita, hanya saja serum diencerkan dahulu tidak hanya 1: 4 namun juga diencerkan sampai 1 : 256.

2) Cara kerja pemeriksaan usapan rektum Usapan rektum ditambah fluorokarbon, setelah mengalami

pemusingan 1060 g selama 2 jam, suspensi larutan bagian alas diambil dan diinokulasikan ke dalam biak jaringan vero, ke-mudian diinkubasi pada suhu 37°C. Setiap hari diamati di atas mikroskop batik selama 3 – 15 hari; bila timbul efek sitopato-genik (CPE) artinya usapan rektum mengandung virus.

Virus isolat yang ditemukan diidentifikasi, caranya dengan mencampurkan virus isolat diencerkan 100 TCID50 (sudah di-titrasi) dengan kelompok sera dari Schmith (Schmith pool sera). Setelah masa inkubasi selama 2 jam suhu 37°C, campuran virus-sera dimasukkan ke dalam tabung-tabung yang telah ditumbuhi selapis jaringan sel vero. Bila sampai hari ke 7 tidak timbul CPE, artinya virus teridentifikasi. Cara pembacaan hasil identifikasi dapat dilihat pada bagan kartu dari Schmith(4). HASIL DAN PEMBAHASAN I. Hasil survai di lapangan

Dari kunjungan rumah di lokasi transmigrasi Tinanggea I, didapati 16 penderita kelumpuhan sedangkan di 3 desa pemukiman penduduk asli dijumpai 2 penderita. Pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut, diperlihatkan hasil survai di lapangan yang meliputi nama desa yang disurvai, jumlah kepala keluarga, jumlah keluarga, jumlah anak usia 0 – 14 tahun dan jumlah penderita kelumpuhan (paralitik).

Dad 16 penderita kelumpuhan di empat pemukiman trans-migrasi TinanggeaI, 7 di antaranya diperoleh di lokasi sedangkan sisanya diperoleh dari daerah asal. Dad 7 penderita kelumpuhan itu, 2 anak mengalami kelumpuhan pada tahun 1983 (tingkat serangan 71,99/100 ribu penduduk), 2 anak pada tahun 1984 (tingkat serangan 71,99/100 ribu penduduk) dan 3 anak pada tahun 1985 (tingkat serangan 107,99/100 penduduk).

Penderita kelumpuhan penduduk asli ada dua, namun karena tidak diketahui kejadiannya maka tidak dapat ditetapkan tingkat serangan di ketiga pemukiman penduduk asli tersebut.

Rata-rata tingkat serangan poliomielitis paralitik di Indo-nesia adalah 5,6/100 ribu penduduk(3), sedangkan paralitik di pemukiman Tinanggea I, tingkat serangannya lebih dari 12 kali

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 45

Page 47: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Tabel 1. Hasil survai kelumpuhan di lokasi pemukiman transmigrasi Tinanggea I, Kabupaten Kendari, Sultra

Jumlah

Kelumpuhan didapat Desa Kepala keluarga Jiwa 0 -14

tahun di daerah asal di lokasi

D.K.B.I D.K.B.II D.U. D.K.B.IV

181 240 420 224

830 1193 1535 1020

206 566 963 291

1 2 4 2

1 1 4 1

Total 1065 4578 2026 9 7

Keterangan : DXB.1 = Desa Kecil Binaan 1 sekarang Asembu Mulia DXB.II = Desa Kecil Binaan 11 sekarang Adaka Jaya D.U. = Desa Mama sekarang Andoolo Utama D.K.B. IV = Desa Kecil Binaan IV sekarang Tirtomartani

Tabel 2. Hasil survai kelumpuhan di desa sekitar pemukiman trans migrasi, Tinanggea I, Kendari, Sultra

Jumlah Desa

Kepala keluarga Jiwa 0–14 tahun Kelumpuhan

Anese Lolonggombu Buke

59 84

117

457 698 460

147 197 338

– 1 1

Total 260 1615 682 2

pada tahun 1983 dan 1984 serta lebih dari 18 kali pada tahun 1985, oleh karena itu sebenarnya sejak tahun 1983, poliomielitis paralitik sudah merupakan kejadian luar biasa (KLB) yang perlu ditangani secara serius.

Pada Tabel 3 berikut ini disajikan nama-nama penderita, daerah asal penderita, umur dan jenis kelamin serta tahun ke-jadian. Tabel 3. Daftar nama penderita kelumpuhan yang ditemukan di lokasi pemukiman transmigrasi Tinanggea I, Kendari, Sultra

No. Nama Daerah asal Umur Jenis kelamin Tahun keJadian

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16

Samin Tulus S. Sriatin 'Cade U. Miswanto Slamet Nuryani Misno Nuryanti Kaswadi Komang S. M. Hamim S. Yadi Ika R. Made S. Ig.Tranang-gara

Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Bali Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Tengah Bali Jawa Timur Yogyakarta Jawa Tengah Bali Yogyakarta

13 th 9 th 10 th 10 th 6 th 11 th 7 th 5 th 3,5 th 3 th 2,5 th 2 th 10 th 5 th 3 th 3 th

Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki

1972 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1981 1982 1983 1983 1984 1984 1985 1985 1985

Penderita No. 01 – 08 mendapatkan kelumpuhan di daerah asal sedangkan penderita No. 9, sepuluh hari menjelang be-rangkat menderita panas tinggi dan kejang-kejang kemudian mengalami kelumpuhan. Apakah penderita No. 9 ini sebagai penyebar virus polio perlu penguatan atau peneguhan pemeriksa-an di makmal.

H. Hasil pemeriksaan di makmal

1) Hasil pemeriksaan serum Dari 16 penderita kelumpuhan,13 diantaranya bisa diperiksa

serumnya di makmal, sedangkan yang 3 tidak bisa karena darah lisis, serum terlalu sedikit dan lari waktu hendak diambil darah. Serum saudara penderita ada 6 yang bisa diperiksa (Tabel 4). Tabel 4. Hasil pemeriksaan Zat Anti Polio pada serum penderita dan saudara penderita kelumpuhan di lokasl pemukiman transmi grasi Tinanggea I, Kendarl, Sultra

Zat anti No. Nama Daerah asal Umur Jenis kelamin

P1 P2 P3

01 Samin Jawa Barat 13 th Laki-laki + + + 0la Wartinah Jawa Barat 10 th Perempuan* + + + 02 Tulus S. Jawa Tengah 9 th Laki-laki + + + 02a Joko S. Jawa Tengah 2,5 th Laki-laki* + – + 03 Sriatin Jawa Timur 10 th Perempuan + + + 04 Kade Usah Bali 10 th Laki-laki + + + 05 Miswanti Jawa Tengah 6 th Laki-laki + + + 06 Slamet Yogyakarta 11 th Perempuan + + + 07 Nuryani Jawa Tengah 7 th Perempuan + + +08 Misno Jawa Timur 5 th Laki-laki** 09 Nuryanti Jawa Tengah 3,5 th Perempuan** 10 Kaswadi Jawa Tengah 3 th Laki-laki – – – 11 Komang S. Bali 2,5 th Laki-laki + + – 1 la Kade D. Bali 6,5 th Perempuan* + + + 12 M. Hamim Jawa Timur 2 th Laki-laki – + +13 Supriyadi Yogyakarta 10 th Laki-laki + + + 14 Ika R. Jawa Tengah 5 th Perempuan + + + 15 Made S. Bali 3 th Laki-]ski + + – 15a Nyoman A. Bali 9 th Perempuan + + +16 Ig.Tranang- Yogyakarta 3 th Laki-laki** 16a

gars Winarsih

Yogyakarta

12 th

Perempuan* + + +

16b Verawati Yogyakarta 8 th Perempuan* + – +

Keterangan : * = Saudara penderita ** = Penderita yang tidak bisa diperikra serumnya P1, P2, P3 = Polio 1, Polio 2, Polio 3 + = punya zat anti polio – = tidak punya rat anti polio

Serum penderita No. 9 (Nuryanti) temyata tidak bisa dipe-riksa karena terlalu sedikit, jadi tidak dapat ditetapkan sebagai sumber penularan. Penderita No. 10 walaupun terkena kelum-puhan namun tidak punya kekebalan sama sekali terhadap virus polio jadi penyebabnya bukanlah virus polio. Semua penderita dan saudara penderita yang berusia lebih dari 5 tahun telah punya zat anti terhadap virus polio, kecuali saudara penderita No. 16 (No. 16b).

Tujuh penderita yang mendapatkan kelumpuhannya di lo-kasi transmigrasi (No. 10 – No. 16), satu disebabkan bukan oleh

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 46

Page 48: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

virus polio (No. 10) dan satu lagi (No. 16) tidak bisa diperiksa. Penderita No. 11 dan No. 15 disebabkan oleh virus polio tipe 1 atau 2, sedangkan penderita No. 12 disebabkan oleh virus polio tipe 2 atau virus polio ripe 3 (tidak punya kekebalan terhadap virus polio tipe 1). Penderita No. 13, 14 karena sudah berusia lebih dari 5 tahun dan 5 tahun jadi sudah punya kekebalan terhadap 3 tipe virus polio; untuk penetapan penyebab kelum-puhan harus ditentukan dengan titrasi zat anti polio yang ter-kandung pada serum.

Dan titrasi serum penderita (5 anak) yang mendapat kelum-puhan di lokasi transmigrasi, empat anak punya antibodi tertinggi terhadap virus polio 1 sedangkan seorang anak punya antibodi tertinggi terhadap virus polio 2. Karena antara virus polio tidak ada reaksi silang (cross reaction) dan imunitas silang (cross immunity), maka virus terakhir yang menyerang seseorang, zat antibodi yang terbentuk punya titer paling tinggi.

Pada tabel 5 dapat dilihat hasil titrasi zat anti terhadap virus polio 1, 2, 3 pada penderita kelumpuhan yang didapat di pemukiman transmigrasi. Tabel 5. Hasil titrasi zat anti polio pada anak-anak penderita kelumpuhan yang didapat di pemukiman transmigrasi Tinanggea I, Kendari, Sulawesi Tenggara

Zat antibodi No. Nama Daerah asal Umur Kelamin

P1 P2 P3

11 Komang S. Bali 2 th Laki-laki 256 64 – 12 M Hamim Jawa Timur 2 th Laki-laki – 128 16 13 Supriyadi Yogyakarta 10 th Laki-laki 256 64 64 14 &a R. Jawa Tengah 5 th Perempuan 128 16 42 15 Made S. Bali 3 th Laki-laki 256 8 –

Keterangan : P1, P2, P3 = Polio 1, Polio 2, Polio 3

Dari hasil pemeriksaan terhadap ada tidaknya zat anti polio dan hasil pemeriksaan terhadap tinggi titer zat antibodi polio, dapatlah ditentukan penyebab kelumpuhan di lokasi pemukiman transmigrasi. Dari 7 anak penderita kelumpuhan, seorang anak tidakdapatdiketahuipenyebab kelumpuhannya (No.16), seorang anak lainnya bukan oleh virus polio (kemungkinan enterovirus) yaitu penderita No. 10 dan seorang lainnya lagi oleh virus polio 2, sedangkan yang empat anak lainnya oleh virus polio 1 (No. 11, 13, 14, 15).

2) Hasil pemeriksaan usapan rektum Usapan rektum penderita dan saudara penderita yang dapat

diperiksa ada 29 sampe1, 17 sampel di antaranya positif mengan-dung enterovirus. Diperiksa pula 9 sampel air sumur dari rumah penderita, 2 di antaranya positif (Tabel 6).

Survai kelumpuhan di lokasi transmigrasi ini terlambat 2 bulan (laporan kasus polio pada bulan Oktober, survai dilak-sanakan bulan Desember) sehingga virus polio penyebab kelum-puhan sebagaimana hasil pemeriksaan serum tidak sesuai dengan virus yang ditemukan. Virus polio tipe 1 dan tipe 2 ternyata tidak ditemui; hanya ditemui virus polio tipe 3, virus coxsackie tipe 1 dan tipe 5, virus ECHO tipe 4 dan 11; hal ini terjadi karena virus entero (termasuk virus polio) paling lama hanya bertahan sekitar

Tabel 6. Hasil identifikasi virus darl usapan rektum penderita kelum- puhan dan saudaranya serta sampd air sumur rumah penderita di pemukiman transmigrasi Tinanggea I, Kendari, Sultra

No. Nama Umur Kelamin Identifikasi virus

02 Tullis S. 9 th Laki-laki Virus Coxsackie B tipe 5 02a* Joko S. 2,5 th Laki-laki Virus Coxsadde B tipe 5 02b** – – – Virus Coxsackie B tipe 5 05 Miswanto 6 th Laki-laki Virus Coxsadde B tipe 1 05a* Budi S. 5 th Laki-laki Virus Coxsackie B tipe 1 06 Slamet 11 th Perempuan Tidak teridentifikasi 06a* Sunarto 7 th Laki-laki Virus Coxsackie B tipe 5 08 Misno 5 th Laki-laki Virus Polio tipe 3 10 Kaswadi 3 th Laki-laki Virus Polio tipe 3 l0a* Jumono 1,5 th Lalki-laki Virus Polio tipe 3 11 Komang S. 2,5 th Laki-laki Virus Polio tipe 3 1 la* Kade D. 6,5 th Perempuan Virus Polio tipe 3 13 Supriyadi 10 th Laki-laki Virus ECHO tipe 4 13a** – – – Viers ECHO tipe 4 14 Ika R. 5 th Perempuan Virus Coxsadde B tipe 5 15a* Wayan S. 3 th Perempuan Virus Echo tipe 1116 Trananggara 3 th Laki-laki Virus Echo tipe 11 16a* Winarsih 12 th Perempuan Virus Echo tipe 11 16b* Verawati 8 th Perempuan Virus Echo tipe 11

Keterangan : * = saudara penderita ** = airsurnur rumoh penderita 15 hari setelah penderita terinfeksi(5). Walaupun dilakukan vaksinasi masal dan mencakup daerah yang luas, kadang-kadang tidak dapat dicegah masuknya enterovirus liar (wild enterovirus) ke dalam tubuh seseorang untuk menggantikan kedudukan virus polio galur vaksin, karena hal itu memang merupakan peredaran (sirkulasi) secara alami(6).

Di lokasi pemukiman transmigrasi Tinanggea I, belum di-laksanakan vaksinasi polio secara intensif, jadi sirkulasi entero-virus liar sedikit mendapat hambatan.

Persentase enterovirus yang ditemukan sangat tinggi (58,6%); ini merupakan indikasi bahwa sanitasi di pemukiman transmi-grasi sangat jelek. Penelitian di Purwakarta menunjukkan hasil bahwa hanya 14,7% saja enterovirus yang ditemukan pada per-tengahan musim penghujan (November–Januari)(7).

Ditemukannya enterovirus pada air sumur juga menunjuk-kan betapa masih jeleknya sanitasi di pemukiman transmigrasi. Enterovirus yang didapati di air dan buangan lainnya juga ber-sirkulasi dan pergantian dominasi dari satu periode ke periode lainnya(8).

Langkah-langkah yang perlu diambil agar tidak terjadi lagi wabah poliomielitis paralitik setelah melihat hasil survai di la-pangan maupun hasil pemeriksaan di makmal adalah sebagai berikut . 1. Perlu digalakkan vaksinasi polio, baik dalam luas daerah cakupan, jumlah cakupan dan mutu pelayanan. 2. Perluditanamkan pengertian pentingnya kebersihan keluarga dan kebersihan lingkungan sehingga bisa mencegah tersebarnya virus dan kumān. KESIMPULAN 1) Telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) kelumpuhan (para-

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 47

Page 49: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

litik) di pemukiman transmigrasi Tinanggea I, selama 3 tahun (tahun 1983, 1984, 1985). 2) Penyebab paralitik ialah virus non polio, virus polio tipe 1 dan virus polio tipe 2. 3) Persentase enterovirus yang ditemukan sangat tinggi (58,6%), ini merupakan indikasi jeleknya sanitasi di daerah tersebut. 4) Perlu dilakukan penanggulangannya dengan cara peng-galakan program imunisasi polio dan perbaikan sanitasi ling-kungan.

KEPUSTAKAAN

1. Poliomielitis – latar Waking penyakit dan pedan pengamatannya di Indonesia. KumpulanMakalahSurveilansEpidaniologidanPedamanMalt - main Surveilans Penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi. Direktorat Epidemiclogi dan Ixnunisasi, Direktorat Jendral PPM & PLP, Departanen Kesehatan R.I., Jakarta, 1984. h. 127.

2. Titi Indijati Soewarso. The situation analysis of poliomyelitis in Indonesia, 1971–1982. Directorate of Epidemiology and Immunization, Directorate General of Communicable Disease Control and Environmental Health, Ministry of Health, Republic of Indonesia, 1984. p. 25-26.

3. Panantauan program imunisasi tahun 1986/1987 (cakupan dan mutu pela-

yanan sacra harapan). DirektoratJendral PPM & PLP, Departemen Kesehatan R.L, Jakarta, 1987. h. 4.

4. Eko Rahardjo. Penelitian virus entero dari anak-anak usia balita di Kota-madya Banjannasin. Cermin Dunia Kedokt 1988; 50: 45.

5. Melmdt JL, Wener HA. Enteroviruses. In: Diagnostic procedures for viral and rickeusial infections. 4th edition, Lennette EH, Schmith NJ (eds), Committee on Evaluation and Standards of the American Public Health Association, 1971. p. 533.

6. Riordan IT. Isolation of enterovintses from sewage before and after vaccine administration. Yale. J. Bid. Med. 1962; 34: 512.

7. Gendrowahyuhono, Suharyono Wuryadi. Preliminary study of anteroviruses infection among children in Purwakarta, West Java, Indonesia. Bull. Penelit Kes, 1981; 9(2): 25.

8. Melnidc JL. Enteroviruses. In: Viral infection of human. 2nd edition, Evans AS (ads). New York, London: Plenum Medical Book Company, 1984. p.192.

CATATAN

Survai di lapangan dan paneriksaan di malarial dilakukan atas pendanaan dari Deprrtemen Transmigrasi. Survai dilakukan oleh team gabungan dari Depattanen Transmigrasi (Ditjen Panlam, Kanvil Deptrans Propinsi Sultra, Kandep Tranamigrasi Kabupaten Kendari dan UPT pemukiman Transmigrasi Tinane ggea I) dan Departemen Kesehatan (Ditjen PPM & PI.P, Badan Litbang Kes, Kanwil Depkes Propinsi Sulua, Puskesmas Kecamatan Tinanggea). Pe-meriksaan di makmal dilakukan oleh staf PusLit Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan, Depkes R.I.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 48

Page 50: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Serokonversi terhadap Vaksin Polio Oral di kalangan Anak-anak

di Daerah Kumuh di Jakarta

Gendrowahyuhono

Pusat Penelitian Penyakit MenularBadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

A

Penelitian mengenai serokonversi di daerah kumuh telah dilakukan di Ke

Tujuan penelitian adalah untuk m tinggi di daerah kumuh, terhadap viru vaksinasi polio tiga kali.

Sampel diambil secara acak dari sudah mendapat vaksinasi tiga kali se darah, diambil dari ujung jari tangan antibodinya dengan uji netralisasi mikr Menular, Jakarta.

Hasil penelitian menunjukkan bah tigakali vaksinasi mempunyai antibodi lebih dari 87% anak-anak tersebut m virus polio. Tidak ada seorang anakpu nol).

Dari hasil penelitian ini disimpu vaksinasi polio tiga kali, prosentase amasing tipe virus polio cukup tinggi, s di daerah penelitian dapat dihambat. D penelitian untuk mengetahui apakah mrakat, baik dari anak-anak maupun dari

PENDAHULUAN

Penyakit polio merupakan salah satu penyakit menular ydapat dicegah dengan imunisasi. Pemerintah Indonesia tmentargetkan bahwa penyakit polio sudah harus terberanterutama di Jawa, Bali dan Sumatra, pada tahun 1994, denmengintensifkan imunisasi polio pada anak-anak yang beru2 bulan – 11 bulan. Untuk mencapai maksud tersebut maka oinstansi yang berwenang sedang dikaji beberapa hal yang hubungan dengan pelaksanaan dan hambatan yang ada terhaprogram imunisasi yang sudah dilaksanakan sekarang ini.

Beberapa masalah timbul di negara-negara yang sudah lmelaksanakan program imunisasi polio dengan oral vaksin, ssatunya adalah bahwa ternyata respons imun terhadap vvaksin polio dari anak-anak yang tinggal di daerah kumuh sanrendah, yang mungkin disebabkan karena interferensi dari v

BSTRAK

antibodi terhadap oral polio vaksin dari anak-anakcamatan Cempaka Putih Jakarta, tahun 1989.

engetahui derajat imunitas anak yang berisikos polio tipe 1, 2 dan 3, setelah mereka mendapat

anak-anak yang berumur 3 bulan -1 tahun dancara rutin di daerah penelitian. Spesimen berupa anak-anak tersebut, kemudian diperiksa serumoteknik di laboratorium Pusat Penelitian Penyakit

wa 76% dari 30 anak sehat yang telah mendapat terhadap ketiga tipe virus polio (triplepositif),danempunyai antibodi terhadap masing-masing tipen yang tidak mempunyai antibodi (triple negatif =

lkan di antara anak-anak yang telah mendapatnak yang mempunyai antibodi terhadap masing-ehingga kemungkinan penyebaran virus polio wildisarankan untuk melakukan isolasi virus di daerahasih ada virus polio wild yang beredar di masya- lingkungannya.

ang elah tas, gan mur leh

ber-dap

ama alah irus gat

irus

entero lain non polio yang prevalensinya di daerah kumuh cukup tinggi(1). Apakah hal tersebut juga terjadi di Indonesia, masih perlu diteliti, mengingat bahwa dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, ternyata di beberapa daerah di Indonesia infeksi virus entero non polio juga cukup tinggi(2,3,4,5).

Berdasarkan masalah tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui derajat kekebalan anak ter-hadap penyakit polio, dari anak-anak yang tinggal di daerah kumuh dan telah mendapat vaksinasi rutin oral polio sebanyak tiga kali dosis di Fuskesmas atau Posyandu. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu program imtinisasi polio dalam bentuk informasi data mengenai derajat kekebalan masyarakat (herd immunity) terhadap penyebaran penyakit polio di suatu daerah yang telah melakukan program vaksinasi secara rutin pada anak-anak.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 49

Page 51: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

METODOLOGI

1) Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Puskesmas Rawasari, Kecamatan

Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Kepadatan penduduk 4000 jiwa per kilometer persegi dengan jumlah penduduk 18.304 jiwa (data diambil dari Puskesmas Kec. Cempaka Putih di Tanah Tinggi). Pemakaian WC sebanyak 5 kepala keluarga per 1 WC, pem-buangan limbah WC ke kali, semua penduduk menggunakan air bersih dengan membeli dari tukang air. Penyakit yang sering dijumpai dan paling tinggi prosentasenya dari semua kunjungan ke Puskesmas yaitu penyakit pernapasan dan penyakit kulit. Cakupan vaksinasi polio I, II dan III masing-masing 85,7%, 73,2%, dan 59,6% (data Puskesmas tahun 1988/89).

2) Sampel Sebanyak 30 anak sehat yang sudah mendapat tiga kali

vaksinasi polio dari Puskesmas atau Posyandu di Rawasari di-pakai sebagai sampel dalam penelitian ini. Dan Kartu Menuju Sehat (KMS) dilakukan pendataan terhadap anak-anak yang berumur kurang dari 1 tahun dan yang sudah mendapat vaksinasi polio tiga kali. Dan pendataan tersebut, kemudian dengan menggunakan tabel random didapatkan 30 anak sehat tersebut di atas. Kemudian anak-anak tersebut diberi undangan agar datang ke Puskesmas untuk pemeriksaan kesehatan. Apabila anak tidak datang, petugas pemeriksa datang ke rumahnya dan melakukan pemeriksaan kesehatan di rumah.

Spesimen berupa darah (serum) diambil dari ujung jari tangan anak, dengan menggunakan tabung kapiler sebanyak 0,1 ml (10 kapiler). Kemudian darah dibawa ke laboratorium menggunakan thermos berisi es; sesampainya di laboratorium darah diproses untuk memisahkan serumnya. Serum yang sudah terpisah kemudian disimpan dalam temperatur –20°C, menunggu pemeriksaan secara simultan setelah semua serum terkumpul.

3) Pemeriksaan serum Setelah semua serum terkumpul dan terpisah dari gumpalan

darah, dilakukan pemeriksaan uji netralisasi untuk mengetahui apakah serum yang diperiksa mengandung antibodi terhadap virus polio. Uji netralisasi pada pelat mikro menggunakan biakan primer ginjal kern yang sudah ditumbuhkan dalam pelat mikro. Serum diencerkan terlebih dulu, dengan pengenceran 1:8 dalam medium PBS, kemudian dicampur dengan larutan virus polio yang sudah diencerkan 100 unit TCID50.

Serum yang memberikan reaksi netralisasi terhadap virus sehingga virus tidak dapat membentuk cytopathic effect pada biakan jaringan ginjal kern, dinyatakan sebagai serum yang mempunyai antibodi terhadap virus polio sesuai dengan tipe virus yang dinetralisirnya; contoh, seandainya serum menetrali-sir virus polio tipe 1, maka berarti serum tersebut mempunyai antibodi terhadap virus polio tipe 1.

4) Analisis data Analisis data dilakukan setelah semua hasil pemeriksaan

serologis dapat diketahui dan dipaparkan dalam tabel/grafik sehingga dengan mudah dapat dilihat tinggi rendahnya prosen-tase anak yang mempunyai antibodi terhadap masing-masing

tipe virus polio.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan serum dari anak-anak yang telah men-

dapat vaksinasi polio tiga kali secara rutin di Puskesmas atau Posyandu dapat dilihat pada grafik 1. Tujuh puluh enam prosen dari anak-anak yang diperiksa menunjukkan serokonversi ter-hadap ketiga tipe virus polio (triple positif), dan tidak ada satu-pun anak yang tidak mempunyai antibodi terhadap virus polio (triple negatif'nol). Paling sedikit 87% anak memberikan sero-konversi terhadap salah satu tipe virus polio, yang berarti bahwa herd immunity anak-anak di daerah penelitian sudah cukup tinggi.

Grafik 1. Status Antibodi Anak setelah Vaksinasi Polio 3 Kali, Jakarta, 1969.

A = Antibodi triple positif D = Antibodi positif polio tipe 3 B = Antibodi pasitif polio ripe 1 E = Antibodi triple negatif C = Antibodi pasitif polio tipe 2

Serokonversi yang diperoleh di sini adalah serokonversi yang dihasilkan bukan hanya dan vaksinasi tetapi kemungkinan juga oleh adanya infeksi alam sebelum atau setelah mereka memperoleh vaksinasi. Hal ini disebabkan karena di dalam pe-nelitian ini tidak disertakan kontrol anak yang belum divaksinasi, ataupun kontrol status antibodi anak sebelum dilakukannya vaksinasi polio, sehingga status antibodi yang dipunyai oleh anak-anak tersebut tidak bisa dikatakan sebagai reaksi dari ada-nya vaksinasi yang diperolehnya. Meskipun demikian, hasil yang diperoleh sudah memberikan gambaran berhasilnya ke-giatan imunisasi di daerah tersebut, yaitu dengan tingginya herd immunity anak-anak di daerah itu bila dibandingkan dengan herd immunity dari anak-anak yang belum mendapatkan imunisasi di daerah lain seperti di Jambi, Tan jung Priok, Cimahi, dan Banjarmasin, di mana herd immunity pada anak-anak dengan umur yang sama di ke empat daerah tersebut sangat rendah yaitu hanya 14% – 53% (Grafik 2)(1).

Bila hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil peneliti-an yang serupa di Jambi(2) dan di Lampung(3), maim prosentase anak yang memberikan serokonversi terhadap setiap tipe virus polio setelah mendapat tiga kali vaksinasi, tidak berbeda.

Keberhasilan suatu kegiatan imunisasi sebenarnya tidak hanya dapat dilihat dari tingginya herd immunity pada anak-anak di daerah termaksud, tetapi juga harus dilihat mengenai penyeba-ran virus polio wild didaerah itu. Dengan adanya kegiatan vaksi-nasi, diharapkan bahwa penyebaran virus polio wild sudah harus

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 50

Page 52: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Grafik 2. Status Antibodi Anak Umur < 1 Tahun sebelum Vaksinasi Polio di TanJung Priok, Jambi, Cimahi dan BanJarmasin, 1976/1982

tereliminasi/terberantas sehingga dapat dipastikan tidak akan terjadi lagi kasus poliomyelitis di daerah tersebut. Oleh karena itu disarankan adanya suatu penelitian lanjutan . untuk menge-tahui apakah di daerah yang sudah mempunyai herd imunity tinggi, penyebaran virus polio wild dapat dihambat atau di-eliminasi ?

Di samping itu juga mungkin perlu untuk mengetahui penyebaran virus polio strain vaksin di masyarakat, menginbat bahwa vaksin yang digunakan adalah virus hidup yang dilemahkan, sehingga dapat diketahui dampak dari vaksinasi alami yang diakibatkan oleh penyebaran virus vaksin yang di-"ekskresi" oleh anak yang telah divaksinasi. KESIMPULAN DAN SARAN.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa serokonversi ter-hadap masing-masing tipe virus polio dari anak-anak yang tinggal di daerah yang kumuh setelah mendapat vaksinasi polio

tiga kali, cukup tinggi terutama terhadap virus tipe 2. Disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai

dampak kegiatan vaksinasi tersebut terhadap penyebaran virus polio wild di masyaralcat, sehingga kēberhasilan suatu kegiatan immunisasi tidak hanya dapat dilihat darietillgginya herd immu-nity pada anak-anak, tetapi juga dari telah terberantasnya penyebaran virus polio wild di masyarakat atau lingkungan di mana anak-anak bermain.

UCAPAN TERIMA KASIH.

Dengan berhasilnya penelitian ini, maka penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada instansi ataupun perorangan yang telah membantu secara mori! maupun materii! dalam penelitian ini, yaitu : 1. Kepala Direktorat EPIM, Dir. Jen. P2M&PLP, di Jakarta. 2. Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, di Jakarta. 3. Kepala Sub Dit. Irnmunisasi, Dir. Jen. P2M&PLP, di Jakarta. 4. Dr. Zell, Konsultan USAID di Dir. Jen. P2M&PLP, di Jakarta. 5. Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat, di Jakarta. 6. Kepala Puskesmas Kee. Cempaka Putih beserta gal, di Jakarta. 7. Kepala Puskesmas Kel. Rawasari beserta staf, di Jakarta.

KEPUSTAKAAN

1. Gendrowahyuhono et. al. Status kekebalan anak-anak terhadap polio-myelitis dibeberapa daerah di Indonesia. Bull. Penelit. Kes. 1984; 2:29-33.

2. Gendrowahyuhono Penelitian evaluasi program immunisasi polio di Indo-nesia : efektivitas vaksinasi di Jambi. Kumpulan Laporan Penelitian Bio Medis,No. 3, Tahun 1982-1983.

3. Gendrowahyuhono et. al. Tanggap kebal anak terhadap vaksinasi polio dengan 2 kali dosis dan 3 kali dosis. Medika, 1987; 4: 369-88.

4. Chowdhury D S et al. Poliomyelitis vaccination of infants : pre-immu- nization status and sero conversion Bull. WHO 1973; 48: 195-198.

5. Gendrowahyuhono et. al. Preliminary study of seroimmunity to polio virus in urban population in Indonesia. Bull. Penchi. Kes. 1979; 2: 21-6.

6. Gendrowahyuhono et. al. Preliminary study of enterovirus infection among children in Purwakarta. Bull. Penelit. Kes. 2: 14-7.

7. Gendrowahyuhono et. al.Tanggkp kebal anak-anak terhadap 2 dosis vaksin polio di Jakarta. Bull. Penelit. Kes. 1982; 2: 31-4.

STUDY OF SEROCONVERSION TO ORAL POLIO VACCINE IN URBAN SLUM CHILDREN IN JAKARTA Gendrowahyuhono Communicable Diseases Research Centre, National Institute of Health Re-search and Development, Department of Health, Jakarta, Indonesia

Study of seroconversion to oral polio vaccine in urban slum chil-dren was carried out in Cempaka Putih, Jakarta, in 1989. The objec-tive of the study is to determine the level of immunity against polio type 1,2 and 3 in high risk children previously immunized with a stan-

dard OPV I-III. The study is a cross sectional

survey. Children of 3 to 12 months old were sampled randomly to get a 30 serum specimens. Micro-technique neutralization test was used to detect a seroneutralizing antibody against polio viruses.

The result shows that among children who have had com-pleted OPV I-III, 76% have the antibody against three types of polio viruses (triple positive), and more than 87% have at least one type of polio antibodies. Triple negative was zero, it means that

there were no children without neutralizing antibodies.

It is concluded that herd im-munity of the children in the study area were high due to their sero-conversion to oral polio vaccine which is routinely given to the children in that area.

It is suggested that continuing study should be carried out in the area where the herd immunity of the children were high, to deter-mine whether the spread of wild strain of polio virus had been eliminated by the polio vaccine strain.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 51

Page 53: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Demam Tifoid, Epidemiologi, dan Perkembangan Penelitiannya

Cyrus H. Simanjuntak Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemis di Indo-nesia. Penyakit ini banyak menimbulkan masalah pada kelom-pok umur dewasa muda, karena tidak jarang disertai perdarahan dan perforasi usus yang sering menyebabkan kematian pende-rita(1,2). Selain itu penyakit ini memerlukan hari perawatan dan masa pemulihan sehabis perawatan yang cukup lama.

Usaha imunisasi secara nasional terhadap demam tifoid tidak lagi dilaksanakan dewasa ini karena vaksinnya belum ada yang memadai. Walaupun vaksin parenteral tifoid yang kon-vensional seperti terdapat pada vaksin typa atau chotypa mem-berikan perlindungan sebesar 51–88%, vaksin ini menimbulkan gejala samping yang sangat mengganggu karena secara sistemik dapat menimbulkan demam, sakit kepala dan rasa lesu serta secara lokal menyebabkan sakit dan bengkak di tempat suntikan sehingga penggunaannya tidak begitu populer tidak saja di Indonesia tapi hampir di seluruh dunia. Vaksin baru yang ada sekarang sebagian besar masih dalam taraf pengembangan penelitian, baik uji klinik maupun uji coba di lapangano>. Akan tetapi salah satu dari vaksin tersebut sudah ada yang telah mendapat lisensi di beberapa negara Eropa dan Amerika dan sudah mulai beredar di pasaran sekarang ini yaitu, strain Ty21 a S. typhi yang dilemahkan dan yang diperoleh dengan cara rekayasa genetika(4,5).

EPIDEMIOLOGI DEMAM TIFOID

Di negara yang sedang berkembang insidensi demam tifoid pada umumnya sangat tinggi". Demikian juga di Indonesia, insidensi demam tifoid sangatlah tinggi. Berdasarkan penelitian epidemiologi yang intensif dan longitudinal dari demam tifoid yang dilakukan oleh Simanjuntak dkk. di Paseh, Jawa Barat, yang diselenggarakan dengan bantuan dana dari WHO(9) terungkap bahwa insidensi demam tifoid pada masyarakat di daerah semi

urban ialah 357,6 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Selain itu morbiditas S. paratyphi A ialah 44,7 kasus per 100.000 penduduk per tahun, sedangkan Salmonella Group B sangat rendah (12,8 kasus per 100.000 penduduk per tahun). Ternyata S..typhi ditemukan juga pada anak usia 0–3 tahun (morbiditas 263/105/thn) dengan usia termuda adalah 2,5 tahun. Kenyataan ini merupakan informasi baru, karena selama ini dianggap bahwa demam tifoid hanya terdapat pada anak yang lebih besar dan orang dewasa. Akan tetapi ternyata 77% penderita demam tifoid terdapat pada usia 3–19 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 10–15 tahun (morbiditas: 687,9/105/thn).

Selain itu dapat dikemukakan bahwa penderita demam tifoid yang memerlukan perawatan di rumah sakit hanya 1/7 dari seluruh kasus. Golongan yang memerlukan perawatan itu adalah anak yang lebih tua dan dewasa muda. Anak yang lebih muda (di bawah 10 tahun) memperlihatkan gejala penyakit yang lebih ringan, sehingga golongan ini hampir tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Hal ini merupakan suatu keuntungan dari satu pihak karena meringankan beban perawatan. Tapi dari segi epidemiologi keadaan ini merupakan hal yang dapat me-rugikan, karena yang tidak dirawat di rumah sakit dapat me-rupakan sumber penularan yang potensial pada orang lain. Umum-nya di daerah semi urban di Indonesia tidak ada atau jarang jamban yang tertutup (pakai septic tank); apalagi penderita sering datang terlambat berobat ke fasilitas kesehatan. Rata-rata mereka baru datang berobat setelah demam 3–5 hari (64%), bahkan ada yang baru datang berobat setelah demam 20 hari. Makin lama tenggang waktu antara mulai sakit hingga datang berobat akan memungkinkan penyebaran kuman penyebab demam tifoid ke sekitarnya menjadi lebih besar.

Daerah lain yang pernah diselidiki insidensi demam tifoid-nya ialah Kompleks Pertamina, Plaju suatu daerah urban di Sumatera Selatan, yaitu pada saat dilakukan penilaian vaksin

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 52

Page 54: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

oral demam tifoid, Ty21 a pada karyawan dan keluarganya(10). Di sini ditemukan insidensi demam tifoid sebesar 810 kasus per 100.000 penduduk per tahun pada penduduk berumur 3-44 tahun.

Ternyata ada perbedaan insidensi demam tifoid yang menyolok antara Kecamatan Paseh, Jawa Barat (360 kasus/105/ thn,daerah semi urban) dan Kompleks Pertamina Plaju, Sumatera Selatan (810 kasus/105/thn, daerah urban). Perbedaan yang cukup menyolok ini, walaupun waktu pemeriksaannya hampir bersamaan tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain perbedaan lokasi dan sifat lokasi (semi urban v/s urban), di mana epidemiologi penyakit ini akan dipengaruhi oleh keadaan sani-tasi lingkungan, sosio-budaya dan sosio-ekonomi masyarakat-nya. Akan tetapi salah satu faktor yang memegang peranan cukup besar ialah ketajaman diagnosis laboratorium, karena teknik dan pelaksanaan isolasi S. typhi yang dilakukan di Kompleks Pertamina, Plaju merupakan penyempurnaan dari teknik dan pelaksanaan isolasi di Kecamatan Paseh, Jabar. Di Paseh darah yang diambil untuk kultur hanya sebanyak 5 ml per orang yang dicampur dengan 20 ml media ox gall (pengenceran 5x) sedang di Plaju darah yang diambil adalah 10 ml per orang dan yang dicampur dengan 90 ml ox gall (pengenceran 10x). Selain itu pemeriksaan selanjutnya campuran darah-ox gall yang diambil dari penderita di Paseh dilakukan di Jakarta. Pengirim-an campuran darah-ox gall ini, yang diambil setiap hari dari penderita, dilakukan 2x seminggu; hal mana akan menurunkan daya isolasi laboratorium cukup besar. Sebaliknya dengan keada-an di Plaju, campuran darah-ox gall yang diambil tiap hari langsung di kultur di laboratorium yang berada di lokasi peng-ambilannya dan penanaman subkultur ke media differensial Mc Conkey dan DCLS dilakukan sampai 7 kali (had ke-1, 2, 3, 4, 5, 8 dan 14) sehingga daya isolasinya jauh lebih besar. Pada umumnya dalam praktek sehari-hari di laboratorium mikrobio-logi di Indonesia, darah yang diambil untuk kultur hanya 2-3 ml dan dimasukkan ke dalam hanya 5 ml ox-gall (pengenceran 2-3 kali); dengan begitu, besar kemungkinan banyak demam tifoid yang tak terdiagnosis. Itulah sebabnya kasus demam tifoid boleh dikatakan underreported, hal yang sangat menyesatkan.

Bila dilihat insidensi demam tifoid berdasarkan golongan umur, maka golongan umur yang berrisiko tinggi (vulnerable group) untuk menderita demam tifoid adalah kelompok anak umur 3-19 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok khusus di masyarakat yaitu kelompok anak sekolah, yang kemungkinan besar sering jajan di sekolah atau di tempat lain di luar rumah. Dengan demikian dapat diduga bahwa penularan penyakit ini terjadi pada golongan ini melalui jajan sembarang-an di sekolah atau di tempat lain. Dengan demikian dapat dikata-kan bahwa penularan kemungkinan besar terjadi di luar rumah. Pendapat ini didulcung oleh kenyataan bahwa selama 2,5 tahun pelacakan demam tifoid di Kompleks Pertamina, Plaju tak ada satu keluargapun di mana ada 2 orang menderita demam tifoid sekaligus atau berurutan. Hal ini memberi isyarat bahwa penga-wasan kesehatan pada penjual makanan jajanan perlu mendapat perhatian dan bimbingan dari para petugas kesehatan terkait.

RESISTENSI TERHADAP ANTIBIOTIKA Suatu hal yang menggembirakan dari segi resistensi ter-

hadap antibiotika ialah bahwa S. typhi, spesies yang paling toksis sehingga paling ditakuti dari genus Salmonella, masih sensitif terhadap hampir semua antibiotika yang biasa dipakai untuk pengobatan penyakit ini. Resistensi terhadap kloramphenikol dan ampisilin masing-masing baru mencapai 6%(11.12). Spesies lainnya yang masih memperlihatkan sensitifitas yang tinggi pada beberapa antibiotika ialah S. paratyphi A. Akan tetapi keadaannya menjadi terbalik dengan Salmonella Grup B dan C. Grup ini telah memperlihatkan resistensi yang sangat tinggi terhadap hampir semua antibiotika yang biasa dipergunakan. Hal ini sangat memprihatinkan terutama bila mengenai anak-anak. Seperti diketahui derivat kuinolon yang akhir-akhir ini dianggap sebagai penyelamat pada infeksi yang kumannya sudah resisten terhadap berbagai antibiotika, belum diketahui keamanan pemakaiannya pada anak-anak.

UJI COBA VAKSIN DEMAM TIFOID

Beberapa uji coba di lapangan telah dilakukan untuk menilai daya lindung vaksin oral demam tifoid, Ty21a. Tabun 1978-1981 di Mesir ternyata vaksin ini memberi daya lindung sebesar 96% selama paling sedikit 3 tahun pada kelompok anak sekolah umur 6-7 tahun dengan insidensi per tahun demam tifoid sebesar 49 kasus per 100.000 anak kelompok sama(13). Sayang bahwa vaksin ini kurang praktis untuk pemakaian massal. Vaksin yang dikering-bekukan (lyophylized) dikemas dalam tabung yang pada waktu pemberian harus dilarutkan lebih dahulu dengan buffer fosfat. Selain itu sebelum minum vaksin, penderita harus mengunyah tablet bikarbonat lebih dulu guna menetralisir asam lambung agar vaksin yang berupa kuman hidup yang telah dilemahkan itu tidak binasa. Oleh karena ketidak praktisan ini diusahakanlah membuatnya dalam bentuk kapsul enterik berlapis. Vaksin dalam bentuk belakangan ini telah diuji coba di lapangan di Chili pada tahun 1985-1987, dengan daya lindung sebesar 67% pada kelompok anak sekolah dengan umur 6-19 tahun dengan insidensi demam tifoid sebesar 141,7 per 100.000 anak selama 3 tahun(14).

Berhubung adanya perbedaan antara daya lindung di Mesir dan di Chili dari vaksin yang sama, maka Badan Litbangkes dengan bekerjasama dengan Pertamina Plaju dan Namru Jakarta, atas prakarsa dan dana dari WHO, dilakukanlah penilaian vaksin ini pada karyawan Pertamina Plaju dan keluarganya pada tahun 1986-1989(10). Vaksin yang dipakai dikemas dalam dua bentuk: kapsul enterik berlapis dan bentuk bubuk. Ternyata pada pen-duduk umur 3-44 tahun dengan insidensi demam tifoid 810 kasus per 100.000 penduduk per tahun dimana insidensinya jauh lebih tinggi dari di Mesir (17x) dan di Chili (6x), vaksin bubuk memberi daya lindung sebesar 53,2% dan vaksin kapsul enterik berlapis sebesar 42,2%. Tampak bahwa vaksin yang dikemas dalam bentuk bubuk lebih baik daripada vaksin yang dikemas sebagai kapsul enterik berlapis. Pada saat ini vaksin ini telah dipasarkan di beberapa negara Eropa dan Amerika. Sayang harganya masih sangat tinggi yaitu sekitar US$10. per kuur yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 53

Page 55: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

terdiri dari 3 dosis. Menyusul vaksin di atas, telah pula diuji coba vaksin pa-

renteral Vi-CPS (Vi Capsular polysaccharide) yang diberikan hanya dengan sekali suntik. Kelihatannya vaksin ini memberikan harapan besar, karena uji coba di Nepal memberi daya lindung sebesar 72-80% pada kelompok umur 5-44 tahun dengan insi-densi 1620 kasus per 100.000 penduduk dan di Afrika Selatan sebesar 77-81% pada kelompok umur 5-15 tahun dengan insi-densi 850 per 100.000 penduduk per tahun(15,16). Uji klinik vaksin Vi-CPS telah pula dilakukan di Indonesia pada orang dewasa dan anak 1-10 tahun(17). Hasilnya sangat memuaskan karena hampir tidak memperlihatkan gejala samping yang berarti dan memberikan reaksi imunitas yang cukup tinggi. Sebanyak sembilan puluh persen anak umur 1-10 tahun dan 73% orang dewasa menghasilkan reaksi imunitas dengan kelipatan 4 atau lebih. Hal yang menarik dari uji klinik ini ialah besarnya reaksi imunitas yang dihasilkan oleh vaksin pada anak yang lebih kecil; hal mana merupakan infonnasi yang benar-benar masih baru dan sangat menggembirakan karena pada umumnya vaksin kapsular polisakharida kurang efektif pada anak kecil. Berdasarkan hasil di atas, maka uji klinik pada bayi umur 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan akan dilanjutkan dengan harapan, bila vaksin ini masih efektif pada golongan umur tersebut, maka vaksin ini mungkin dapat dimasukkan dalam Pengembangan Program Imunisasi (PPI-EPI) di Indonesia setelah melalui uji daya lindung (fase II).

RINGKASAN DAN KESIMPULAN

Insidensi demam tifoid masih cukup tinggi di masyarakat yaitu 360-810 kasus/100.000 penduduk/tahun. Penderita ter-banyak adalah kelompok umur 3-19 tahun (77%). Walaupun demam tifoid pada umumnya masih sensitif terhadap antibiotika, akan tetapi Salmonella Grup B, C dan seterusnya sudah mem-perlihalkan resistensi yang mengkawatirkan terhadap berbagai antibiotika.

Berkat kemajuan bioteknologi telah dikembangkan ber-bagai vaksin terhadap demam tifoid. Penilaian vaksin oral, Ty2la, terhadap demam tifoid memperlihatkan bahwa vaksin bentuk bubuk memberi daya lindung sebesar 53% dan vaksin kapsul lapis enterik 42% pada penduduk dengan insidensi demam tifoid yang cukup tinggi pada penduduk umur 3-44 tahun, yakni sebesar 810/100.000/tahun. Uji klinik vaksin pa-renteral Vi-CPS pada anak 1-10 tahun dan orang dewasa mem-perlihatkan bahwa reaksi imunitas vaksin tersebut cukup baik

dengan gejala samping yang hampir tak berarti.

KEPUSTAKAAN

1. Budiyono M, Soewandoyo E, Juwono R. Typhus abdominalis dengan penyakit perdarahan usus yang massif. MKI 1986; 36(4): 173–83.

2. Putra IB, Pieter J. Typhus abdominalis. Kumpulan makalah BKGAI VI, 1979. 483–5.

3. Simanjuntak CH. Perkembangan Vaksin Oral Demam tifoid, Medika 1990; 16(3): 213–8.

4. Simanjuntak CH. Prospek pengembangan Vaksin Enterik. Cermin Dunia Kedokt 1990; 62: 36–40.

5. Germanier R and Furer E. Isolation and Characterization of Gal E mutant Ty2la of Salmonella typhi: a candidate strain for a live oral typhoid vaccine. I Infect Dis 1975; 141: 5534.

6. Budiarso RL, Putrali J, Muchtaruddin. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1980. Penyunting: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 1975.

7. Edelman R, Levine MM. Summary of an International Workshop on Typhoid Fever. Rev Infect Dis 1986; 8(3): 329–49.

8. Goh KT. Surveillance of enteric fevers in Singapore. Dalam: Epidemio-logical Surveillance of Communicable Diseases in Singapore, Eds. SEAMIC, Tokyo 1983. hal 56-88.

9. Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH dkk. Epidemiologi demam tifoid di suatu daerah pedesaan di Paseh, Jaws Barat. Cermin Dunia Kedokt 1987; 45: 16-18.

10. Simanjuntak CH, Paleologo FP, Narain NH dkk. Randomized double blind placebo controlled trial of the efficacy of Ty21 a oral typhoid vaccine in Plaju, Indonesia. Disajikan pada kongres: ICAC (Interscience Conference on Antimicrobial Agents and Chemotherapy) di Los Angeles; 23–26 Oktober 1988.

11. Simanjuntak CH. Antibiotic Resistance Pattern of Enteropathogens in Indonesia. Recent advances in Chemotherapy. Proc 14th International Congress of Chemotherapy, Kyoto. Ed. Joji Ishigami, University of Tokyo Press 1985. Hal 141–23.

12. Simanjuntak CH, Harjining S, Hasibuan MA, Pujarwoto, Koffman I. Laboratory aspects of Gastrointestinal Infections in Indonesia, 1980-1985. Gastrointestinal Infections in South East Asia (V); Proc 14th SEAMIC Workshop. Ed. SEAMIC. 1988.

13. Wandan MH, Serie C, Cerisier Y, Sallam S, Germanier R. A controlled Field Trial of Live Salmonella typhi Strain Ty2la Oral Vaccine Against Typhoid: Three-Year Results. J Infect Dis 1982; 145(3): 292–5.

14. Levine MM, Ferreccio C, Black RE dkk. Large-scale field trial of Ty2la live oral typhoid vaccine in enteric-coated capsule formulation. Lancet 1987; V: 1049–52.

15. Acharya IL, Lowe CU, Thapa R dkk. Prevention of typhoid fever in Nepal with the Vi capsular Polysaccharide of Salmonella typhi. A preliminary report. N Engl J Med 1987; 317(18): 1101–4.

16. Klugman KP, Gilbertson IT, Komhof HI dkk. Protective activity of Vi Capsular Polysaccharide vaccine against typhoid fever. Lancet 1987; 21: 1165–9.

17. Simanjuntak CH, Punjabi NH, Witham ND dkk. Vaksin parenteral demam tifoid V i_CPS: Gejala samping dan reaksi imunitas. Dia jukan pada Kongres: KONIKA VIII di Ujungpandang, 1990.

Kindness consists of in loving people more than they deserve (Joseph Joubert)

Page 56: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Perkembangan Antibiotik

Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Parma, Jakarta

PENDAHULUAN

Fenomena antagonisme di antara organisme hidup sudah muncul sejak 1877, pada saat Pasteur dan Joubert melaporkan bahwa suatu bakteri aerob mempunyai sifat antagonis terhadap pertumbuhan Bacillus anthracis. Babes (1885) meng-interpretasikan sifat antagonistik disebabkan adanya sekresi substansi kimia yang bersifat menghambat pertumbuhan. Sifat antagonis ini oleh Pasteur kemudian diterapkan secara in vivo. Hasil percobaan anthrax pada binatang percobaan yang peka ternyata dapat ditekan dengan menginokulasi secara simultan berbagai bakteri non patogenik.

Beberapa tahun kemudian Boechard, Emmerich dan Low membuat ekstrak Pseudomonas aeruginosa dan mereka me-namakannya Pycocyanase. Dengan pengenceran sangat tinggi, senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan Corynebacterium diphteriae, Salmonella typhi, Pasteurella pestis dan Cocci patogenik. Maka mulailah aplikasi terapi dengan me-manfaatkan fenomena interaksi di antara spesies mikroba. Selama 20 tahun Pycocyanase telah digunakan untuk terapi berbagai penyakit infeksi, tetapi karena alasan toksisitasnya, kemudian tidak digunakan secara ekstensif. Selama periode ini banyak percobaan dan tulisan mengenai efek penghambatan bakteri terhadap mikroba lain.

Tahun 1907, Nicolle melaporkan adanya aktivitas anti-bakteri Bacillus subtilis dan sejak itu mulai dikenal bacilli pembentuk spora yang mempunyai aktivitas antibiotik. Di Belgia Gratia dan teman-temannya pada tahun 1925 membuat ekstrak agen litik dari jamur dan berhasil digunakan untuk mengobati infeksi kulit Staphylococcus. Merekalah yang me-mulai skrining mikroorganisme antagonistik secara sistematis. Cara kejanya cepat tersebar dan banyak mendapat perhatian para ahli mikrobiologi tanah dan tanaman. Salah satunya yaitu percobaan yang dilakukan oleh Fleming tahun 1928, mengenai mikroba yang ada di udara.

JAMAN KEEMASAN Istilah antibiotik muncul pada literatur mikrobiologi awal

tahun 1928. Menurut Selman Waksman, antibiotik adalah substansi kimia yang diperoleh dari mikroorganisme, dalam larutan encer mereka mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan dan membinasakan mikroba lain.

Pada tahun 1929, Fleming mengamati substansi bakteri-ostatik yang dihasilkan jamur Penicillium notatum dan diberi nama Penicillin. Sejak itu penisilin dikenal dan diketahui dapat diproduksi oleh berbaga jamur. Namun karena kurang stabil terutama bio-aktivitasnya akan hilang bila divapkan sampai kering, maka penisilin kemudian ditinggalkan. Sekitar tahun 1939, Florey dan kawan-kawan melakukan percobaan kembali terhadap kemungkinan penggunaan penisilin Fleming untuk terapi. Tahun 1940, Chain dan kawan-kawan juga melakukan penelitian penisilin, mereka membiakkan organisme Fleming dan pada waktu ekstraksi dikontrol pada temperatur rendah; akhirnya mereka mampu memekatkan penisilin sampai 1000 kali, serta dapat menghasilkan garam penisilin berbentuk bubuk kering yang mempunyai stabilitas baik terutama bila disimpan. Hasil ini merupakan kemajuan besar dalam perkembangan produksi antibiotik terutama penisilin dan merupakan tonggak sejarah manusia dalam memerangi penyakit infeksi.

Pada waktu yang hampir sama, di Rockefeller Institute for Medical Research New York. Dubos menemukan antibiotik komplek tyrothricin yang diproduksi oleh bakteri tanah Baccilus brevis. Selanjutnya Dubos, Waksman dan Woodruff menemukan aktinomisin yang diperoleh dari biakan aktinomisetes. Pada tahun 1944 Selman Waksman menemukan streptomisin yang merupakan salah satu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces anggota dari aktinomisetes. Streptomisin merupakan anti tuberkulosis yang mujarab.

Perkembangan ini mcrangsang penelitian lebih lanjut ter-

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 55

Page 57: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

hadap genus streptomises dalam usaha mencari mikro-organisme penghasil antibiotik. Sejak itu aktinomisetes ter-utama streptomises menjadi gudang utama untuk memperoleh antibiotik baru. Di berbagai lembaga penelitian dilakukan pencarian antibiotik dari berbagai tipe mikroorganisme ter-utama aktinomisetes dan telah berhasil mendapatkan antibiotik baru. Pada tahun 1945 telah ditemukan basitrasin yang dihasilkan oleh Bacillus, diikuti khloramfenikol oleh Strepto-myces venezuelae dan polimiksin oleh B. polymyxa pada tahun 1947, khlortetrasiklin oleh S. aureofaciens pada tahun 1948 dan neomisin oleh S. fradiae tahun 1949, oksitetrasiklin 1950 dan eritromisin 1952, keduanya dihasilkan oleh Streptomyces. Kanamisin ditemukan oleh Umezawa dan koleganya tahun 1957 dari biakan streptomyces. Semua ini merupakan antibiotik yang sangat penting dan sampai saat ini masih diperhitungkan sebagai salah satu antibiotik untuk melawan infeksi.

Pada tahun enam puluhan, penemuan antibiotik agak ber-kurang tetapi usaha penemuan dilakukan untuk aplikasi yang lebih luas yaitu untuk mencari antifungal, anti mikoplasmal, anti spirochetal, anti protozoal, anti tumor, anti virus, dan antibiotik untuk penggunaan non-medis. Pada dekade ini problem resistensi bakteri terhadap antibiotik mulai muncul dan telah berkembang, sehingga memacu mencari antibiotik baru atau derivat antibiotik yang telah dikenal untuk meng-gantikan antibiotik yang sudah ada.

Selain mencari antibiotik baru dari alam, keberhasilan para ahli mengisolasi 6–APA (6–aminopenicillgnic acid) dari penisilin pada akhir tahun lima puluhan telah membuka ke-mungkinan baru membuat penisilin semisintetik dan me-ngembangkan antibiotik semisintetik yang lain. AKHIR ABAD XX

Butchelor bersama koleganya pada tahun 1959 telah bar-hasil mengidentifikasi substansi 6–APA yang merupakan inti dari penisilin. Bersamaan dengan itu Robinson dan koleganya tahun 1960 menemukan bahwa strain bakteri gram negatip tertentu dan streptomises tertentu mampu merubah penisilin G menjadi 6–APA. Ensim hidrōlitik yang dihasilkan ini dinamakan penicilin amidase atau benzylpenicilin acylase. Ternyata 6–APA ini mudah mengalami alkilasi dengan cara kimia, sehingga memungkinkan untuk membuat seri penisilin semisintetis. Akhirnya berpuluh-puluh senyawa disiapkan dan dicoba, hasilnya adalah beberapa penisilin semisintetik yang telah digunakan untuk terapi din terbukti lebih superior dari-pada penisilin sendiri.

Sejak itu dimulailah sejarah baru pembuatan antibiotik semisintetik. Selain penisilin, kelompok antibiotik lainnya juga diteliti dan diupayakan untuk mendapatkan intinya serta kemungkinannya dibuat semisintetik. Kemudian bermunculan seri antibiotik semisintetik seperti sefalosporin, klindamisin, tetrasiklin, kanamisin, rifamisin dan sebagainya. Keberhasilan ini telah merangsang untuk membuat antibiotik dari grup lain seperti makrolid, polyene, anthrasiklin dan sebagainya. Tetapi selama ini penemuan antibiotik baru kurang menggembirakan.

Setelah mengalami kelesuan penemuan antibiotik baru,

pada akhir tahun enampuluhan terjadi kebangkitan kembali karena diterapkan program skrining baru, antara lain meng-gunakan organisme uji supersensitip, mencari antibiotik baru yang lebih spesifik atau mencari produk baru yang mempunyai biokativitas lain. Kalau pada waktu sebelumnya hanya terpusat untuk mencari antibakteri, antifungi, atau antivirus, maka pada saat ini, selain biokativitas tersebut juga mencakup bioaktivitas yang lebih luas seperti aktivitas pestisidal, hormonal, immunoregulator, pengawet makanan, pemacu pertumbuhan, penghambat ensim dan produk-produk dengan aktivitas farmakologis lainnya.

Teknik skrining baru telah membuahkan penemuan anti-biotik atau senyawa baru yang memuaskan. Clavulanic acid, suatu penghambat beta laktamase, ditemukan 1976 di Beecham Laboratories Inggris. Zat ini diperoleh dari biakan mikroba hasil skrining untuk mendapatkan senyawa penghambat beta laktamase. Skrining ini didorong oleh kemungkinan menggunakan penghambat beta laktamase untuk melawan masalah resistensi mikroba terhadap antibiotik beta laktam penisilin, sefalosporin dan sebagainya. Seperti diketahui banyak mikroba yang resisten terhadap antibiotik beta laktam, karena mikroba tersebut menghasilkan beta laktamase. Ensim ini mampu memecah beta laktam penisilin dan sefalosporin sehingga aktivitas antibiotiknya hilang. Senyawa penghambat beta laktamase ini diproduksi oleh Streptomyces clavuligerus dan S. jumonjinensis yang diisolasi dari sampel tanah di Jepang.

Dengan pertimbangan bahwa antibiotik beta laktam me-rupakan antibiotik yang potensiil, maka para ahli telah me-ngembangkan metode skrining untuk mendapatkan antibiotik beta laktam baru dan akhirnya ditemukan Nocardicin dan Clavulanate pada tahun 1976. Prosedur lebih baru juga telah digunakan untuk mendapatkan beta laktam yang mempunyai sifat menghambat beta laktamase. Maka dibuatlah metode skrining dengan menggabungkan penggunaan organisme detektor supersensitif terhadap beta laktam dan. uji penghambatan beta laktamase. Hasilnya para ahli telah men- dapatkan grup antibiotik Carbapenem seperti thienamycin, epithienamycin, olivanate dan seri senyawa ps. Walaupun sifat kimia dan biologis senyawa ini kurang stabil dibandingkan penisilin dan sefalosporin, tetapi aktivitas antibakteri mereka sangat tinggi terhadap bakteri gram positip dan negatip dan istimewanya mereka mempunyai sifat menghambat beta laktamase. Sehingga senyawa ini mampu membinasakan mikroba patogen penghasil beta laktamase yang resisten terhadap penisilin dan sefalosporin. PENUTUP

Untuk mendapatkan antibiotik baru yang potensiil, per-kembangan produk antibiotik saat ini cenderung ke arah derivatisasi kimia untuk menghasilkan antibiotik semisintetik dari antibiotik yang sudah dikenal dan biokonversi senyawa alami dengan bantuan mikroorganisme. Namun demikian antibiotik baru dari sumber alam (mikroorganisme) masih dibutuhkan dan terus dicari. Metode skrining yang paling mutakhir terus dikembangkan. Mutasi strain penghasil anti-

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 56

Page 58: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

biotik yang sudah dikenal juga dikembangkan, dengan harapan mutasi gen pengontrol biosintesis antibiotik mungkin dapat mengubah struktur produk akhir. Mutasi pada strain inaktif juga dapat mengubah metabolisme normal dan mensintesis metabolit yang mempunyai aktivitas antibiotik.

Para ahli terus mencari dan berupaya dengan berbagai cara untuk mendapatkan antibiotik baru. Skrining antibiotik semakin ketat terutama mencari antibiotik yang mempunyai aktivitas tinggi terhadap mikroba patogen, toksisitas terhadap sel manusia dan binatang rendah, spektrum lebih lebar, sta-bilitas bail( dan karakteristik farmakokinetik memuaskan.

KEPUSTAKAAN

1. Butterworth D. Clavulanic acid. In: Biotechnology of Industrial Antibiotics. Vandamme EJ led). New York : Marcell Dekker Inc. 1984 : 225–36.

2. Fukagawa Y, Ishikura T. Carbapenem compounds. In : Biotechnology of Industrial Antibiotics, Vandamme EJ (edi. New York; Marcell Dekker Inc, 1984 : 237–58.

3. Perlman D. Microbial production of antibiotics. In : Microbial Technology2nd. ed. vol. I. London : Academic Press, 1979: 241–80.

4. Sermonti G. Genetics of Antibiotics–Producing Microorganisms, Toronto : Wiley Interscience, 1969 : 100 -43.

5. Vandamme EJ. Antibiotic Search & Production : An overview. In : Biotechnology of Industrial Antibiotics, Vandamme EJ led). New York; Marcell Dekker Inc. 1984 : 3–32.

Many Christians mark, their Bible, but their Bible never mark, them

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 57

Page 59: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Obat-obat Anti Malaria Baru

Emiliana Tjitra Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badart Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan R.I., Jakarta PENDAHULUAN

Pengobatan malaria merupakan salah satu upaya dalam rangkaian kegiatan program pemberantasan. Keberhasilan peng-obatan untuk penyembuhan maupun pencegahan tergantung apakah obat itu ideal, diminum secara teratur sesuai dengan jadwal pengobatan dan takaran yang telah ditetapkan.

Obat antimalaria yang ideal adalah obat yang mempunyai efek terhadap semua jenis dan stadia parasit, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, cara pemakaian mudah, harganya terjangkau oleh seluruh lapisan penduduk dan mudah diper-oleh, efek samping ringan dan toksisitas rendah '. Sampai saat ini belum ada obat antimalaria yang ideal. Oleh sebab itu di-gunakan kombinasi beberapa obat dalam pengobatan.

Dalam program pemberantasan malaria dengan peng-obatan, Departemen Kesehatan mempunyai standar pengobatan sesuai dengan daerah dan sensitivitas Palsmodium falciparum terhadap obat-obat antimalarial. Standarisasi tersebut berguna untuk mencegah berkembangnya kasus resistensi terhadap obat-obat antimalaria lainnya.

Resistensi merupakan akibat pemakaian obat yang tidak tepat. Sampai saat ini hanya P. falciparum yang dilaporkan telah resisten terhadap klorokuin, maupun obat-obat anti rnalaria lainnya. Di antara keempat spesies Plasmodia manusia, kasus malaria P. falciparum tampaknya lebih dominan2 3 4 dan juga merupakan penyebab malaria berat yang banyak menimbulkan kematian.

Di Indonesia dilaporkan terdapat fokus-fokus P. falciparum resisten terhadap klorokuin pada 26 propinsi5 6, resisten ter-hadap sulfadoksin-pirimetamin pada 3 propinsi7 8, dan resisten terhadap meflokuin pada 2 propinsi9. Untuk mengatasinya, perlu diketahui obat-obat antimalaria lainnya yang dapat dipakai sebagai obat alternatif.

OBAT-OBAT ANTIMALARIA

Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antimalaria dapat digolongkan sebagai berikut10 11 12 13

1. Alkaloida chinchona : kina, kinidin. 2. 4-aminokuinolin : klorokuin, amodiakuin. 3. 8-aminokuinolin : primakuin, kinosid. 4. Diaminopirimidin : pirimetamin, trimetoprim. 5. Sulfanamida : sulfadoksin,sulfadiasin, sulfalen.

Sulfon dapson. 6. 9-aminoakridin : mepakrin. 7. Biguanida : proguanil, klorproguanil, siklo

guanil. 8. Tetrasiklin : tetrasiklin, doksisiklin, minosi

kiln. 9. Antibiotik lain : klindamisin, enitromisin 10. 4-metanolkuinolin : meflokuin. 11. Penantren metanol : halofantrin. 12. Seskuiterpen lakton : qinghaosu. Seskuiterpen peroksid : yingzhaosu. 13. Pironaridin 14. Lain-lain.

Berdasarkan efek atau kerja obat pada stadia parasit, obat-obat antimalaria dapat digolongkan sebagai berikut 10 11 12 13

1) Sisontosida jaringan primer (pre-eritrositer). Digunakan untuk profilaksis kausal : B-aminokuinolin, dia-minopirimidin, biguanida, sulfanamida, dan tetrasiklin. 2) Sisontosida jaringan sekunder (ekso eritrositer). Digunakan untuk mencegah relaps : 8-aminokuinolin. 3) Sisontosida darah (eritrosit) Digunakan untuk penyembuhan klinis atau supresi : alka-loida chinchona, 4-aminokuinolin, sulfanamida, sulfon, dan 9-aminoakridin. 4) Gamesitosida. Digunakan untuk membunuh bentuk seksual parasit : al-kaloida chinchona, 4-aminokuinolin, dan 8-aminokuinolin. 5) Sporontosida. Digunakan untuk mencegah pembentukan ookist dan spo-rosoit dalam tubuh nyamuk : diaminopirimidin, sulfanamida, dan biguanida.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 58

Page 60: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Obat-obat antimalaria yang dipakai dalam program adalah klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, tetrasiklin, dan pri-makuin1.

OBAT-OBAT ANTIMALARIA BARU

Dalam satu dasawarsa terakhir, banyak berkembang obat-obat antimalaria baru. Di antaranya ada yang sudah terdaftar dan beredar di Indonesia.

1. Sulfalen (sulfametopirasin = kelfisin) – pirimetamin Merupakan obat antimalaria kombinasi golongan sulfana-

mida dan diaminopirimidin. Obat ini sudah terdaftar dan ber-edar di Indonesia dengan nama Metakelfin.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida jaringan primer, sisontosida darah dan sporontosida untuk ke empat jenis plas-modium manusia. Dikemas dalam bentuk 500 mg sulfalen - 25 mg pirimetamin/tablet. Diberikan secara oral, dosis tunggal, dengan dosis 25 mg/kgbb. untuk anak 1–5 tahun, 1 tablet untuk anak 6–10 tahun, dan 2–3 tablet untuk orang dewasa. Obat ini tidak diberikan pada bayi dan wanita hamil. Untuk profilaksis diberikan dengan dosis sama seperti dosis pengobatan setiap minggu. Mempunyai waktu paruh 65–85 jam, dan konsentrasi dalam plasma mencapai puncaknya dalam 4 jam.

Efikasi obat ini baik dengan angka penyembuhan di Asia (Kamboja, Birma, dan Filipina) 80-100%, kecuali di Thailand karena telah banyak kasus P. falciparum resisten obat antifolat, sedangkan bebas demam dicapai dalam 1–3 hari dan bebas parasit juga 1–3 hari. Efikasi obat ini di Afrika (Somalia, Kamerun, Senegal, Nigeria, Volta Hulu, Togo, Kongo,Tanzania, dan Kenya) adalah angka penyembuhan 92-100%, bebas demam 1–3 hari, dan bebas parasit 2–3 hari.

Efek samping obat ini seperti sulfadoksin-pirimetamin yaitu : hanya pada orang-orang tertentu berupa urtikaria, sindrom Steven Johnson, granulositopcni, dan methemoglo-binemia.

2. Doksisiklin dan minosiklin 10,13,15 Merupakan obat antimalaria golongan tetrasiklin. Obat ini

sudah terdaftar, beredar dan digunakan sebagai obat anti-biotika.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida jaringan primer, khusus untuk P. falciparum tetapi tidak digunakan untuk pro-filaksis. Dikemas dalam bentuk 100 mg/tablet atau kapsul, diberikan secara oral, dengan dosis 1,5–2 mg/kgbb, tiap 12 jam, selama 7 hari, dan hams diberikan bersama kina atau amodiakuin. Doksisiklin mempunyai waktu paruh 15–18 jam.

3. Klindamisin 10,16,17,18 Merupakan obat antimalaria golongan antibiotika lain.

Obat ini sudah terdaftar, beredar dan digunakan sebagai obat antibiotika.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida darah untuk P. falciparum. Dikemas dalam bentuk 75 mg dan 150 mg/ kapsul, diberikan secara oral, dengan dosis 5–10 mg/kgbb, tiap 12 jam, selama 5 hari, dan sebaiknya diberikan bersama kina atau amodiakuin.

Oemijati dkk (1989), telah meneliti obat ini di RSU Dili,

Timor Timur, dengan hasil baik. Klindamisin diberikan kepada penderita P. falciparum resisten klorokuin secara in vitro dengan dosis 2 x 300 mg, peroral. selama 5 hari. Angka penyembuhan 100%, dan bebas parasit dicapai pada hari ke 2-6. Efek samping yang ditemukan ringan dan bersifat sementara. 4. Meflokuin 1,9,12,13,19,20,21,22,23,24,25.

Merupakan obat antimalaria golongan 4–metanol kuinolin. Obat ini pernah diteliti, belum terdaftar dan beredar di Indo-nesia. Di beberapa negara obat ini sudah digunakan secara luas.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida darah untuk ke empat spesies plasmodium manusia. Dikemas dalam bentuk 250 mg/tablet, diberikan secara oral, dosis tunggal, dengan dosis 15–25 mg/kgbb. Obat ini aman untuk wanita hamil. Dapat diberikan untuk profilaksis dengan loading dose 750 mg, kemudian 125 mg/minggu. Waktu paruh obat ini adalah sekitar 3 minggu, dan konsentrasi dalam plasma mencapai puncaknya dalam 12–16 jam. Belum ditemukan kasus resistensi silang dengan obat antimalaria lain. Untuk memperlambat terjadinya resistensi P. falciparum meflokuin sebaiknya digunakan kombinasi dengan sulfadoksin-pirimetamin menjadi MSP (meflokuinsulfadoksin-pirimetamin) yang dapat diberikan dengan dosis tunggal.

Efikasi obat ini di Thailand baik, dengan angka penyem-buhan 90–100%, bebas demam dicapai pada hari ke 1–3 dan bebas parasit pada hari ke 3–5. Di Indonesia, walaupun belum beredar dan dipakai, telah ditemukan kasus resisten di Irian Jaya dan Jawa Tengah.

Efek samping obat ringan dan sementara yaitu : gangguan saluran pencernaan, lemah, pusing, insomnia, pruritus, dan skin rash. Semua efek samping ini bersifat sementara dan tida memerlukan pengobatan khusus. 5. Halofantrin 11,13,26

Merupakan obat antimalaria golongan penantren metanol. Obat ini belum terdaftar dan beredar di Indonesia. Di beberapa negara (Perancis dan negara-negara Afrika Barat) obat ini dalam waktu dekat akan dipakai. Di Indonesia obat ini sedang diteliti.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida darah untuk ke empat spesies plasmodium manusia. Dikemas dalam bentuk 250 mg/tablet, 500 mg/kapsul, dan 100 atau 250 mg/5 ml suspensi. Diberikan secara oral dengan dosis untuk anak-anak 8–10 mg/kgbb, tiap 6 jam, dengan dosis total 24 mg/kgbb. Untuk orang dewasa (> 12 tahun) diberikan 500 mg tiap 6 jam, dengan dosis total 1500 mg. Tidak diberikan pada wanita hamil dan menyusui karena mempunyai efek fetotoksik pada binatang percobaan. Waktu paruh halofantrin adalah 1–2 hari, dan konsentrasi dalam plasma mencapai puncaknya dalam 6 jam. Belum ditemukan kasus resistensi silang dengan obatobat antimalaria lainnya.

Efikasi obat ini baik, dengan angka penyembuhan men-dekati 100%, waktu bebas demam 1–3 hari, dan bebas parasit 2–3 hari.

Efek samping obat ini ringan dan sementara yaitu ganggu-an saluran pencernaan : mual, sakit perut, dan diare.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 59

Page 61: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

6. Qinghaosu 12,13,15,27,28,29,30,31 Merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpen lakton.

Obat ini belum terdaftar dan beredar di Indonesia. Menzpakan obat tradisionil Cina dari ekstrak tumbuhan Artemesia annua L (Qinghao) yang sebenarnya sudah dipakai sejak ribuan tahun yang lalu. Selain di Cina, qinghaosu juga diteliti di Birma dan Thailand.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax. Obat ini baik untuk mengobati malaria berat atau dengan komplikasi karena efek obat yang sangat cepat. Dikemas dalam bentuk tablet (artemisin – qinghaosu) untuk per oral, dalam larutan minyak (artemeter) untuk sun-tikan intramuskular, dalam larutan garam fisiologis (artesunat) untuk suntikan intravena atau intramuskular, dan dalam bentuk supositoria untuk rektal supositoria. Dosis yang efektif masih diteliti. Dosis total untuk orang dewasa adalah tablet : 2,5-3,2 g, larutan minyak : 0,6-1,2 g, dan larutan garam fisiologis : 1,2 g. Tidak diberikan pada wanita hamil karena mempunyai efek fetotoksik. Waktu paruh qinghaosu adalah 7 jam dan konsentrasi maksimum dalam plasma terlihat setelah 0,5-4 jam pemberian obat. Tidak ditemukan kasus resistensi silang dengan klorokuin.

Obat ini sangat cepat menurunkan demam dan parasit. Waktu bebas demam yang dibutuhkan adalah 15-22 jam, se-dangkan bebas parasit antara 30-68 jam. Angka rekrudensi cukup tinggi yāitu > 18% yang biasanya timbul pada hari ke 15-30 setelah pengobatan.

Efek samping obat ini yang didapat adalah penurunan jumlah lekosit dan retikulosit yang bersifat sementara.

7. Yingzhaosu 32,33

Merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpen pe-roksid. Obat ini baru dikembangkan dan didapatkan dari tanaman obat tradisionil Cina.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida darah untuk P. falciparum dan tidak ditemukan resistensi silang dengan kloro-kuin, meflokuin, dan qinghaosu. Obat ini baik digunakan dengan kombinasi. Dapat diberikan peroral, atau parenteral. Toksisitas rendah dan tidak ditemukan mutagenisitas.

8. Pironaridin 34,35

Merupakan obat antimalaria derivat hidroksianilino-benso-naphtiridin. Obat ini ban' diteliti pada binatang percobaan dan in vitro.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida darah untuk P. falciparum dan sensitif terhadap P. falciparum resisten kioro-kuin. 9. Falcimax TM 36,37

Merupakan obat antimalaria kombinasi kina, kinidin dan cinchonin.

Adapun kerja obat ini adalah sisontosida darah untuk ke empat spesies plasmodium manusia. Obat ini diberikan dengan dosis 12 mg/kgbb. flap 8 jam, selama 7 hari, per oral.

Efikasi obat ini baik, dengan angka penyembuhan 100%, sedangkan efek samping obat ringan dan sementara.

10. Lain-lain : 4-piridin metanol, ariltio kuinasolin, 2 fenil fenol, dihidrotriasin 13

Merupakan obat-obat antimalaria yang sedang diteliti pada binatang percobaan dan bersifat sisontosida darah. KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan banyak berkembangnya obat-obat antimalaria baru dan semakin luasnya malaria P. falciparum resisten klorokuin atau mu/tiding serta semakin dominannya kasus malaria P. falciparum, maka pemakaian obat-obat antimalaria ban' perlu dibatasi yaitu hanya pada kasus-kasus yang gagal dengan obat-obat standar (program DepKes).

Di samping itu untuk mendapatkan obat antimalaria yang mendekati ideal dan untuk memperlambat terjadinya strain P. falciparum yang resisten obat tersebut, sebaiknya digunakan kombinasi obat yang sesuai.

Untuk malaria P. vivax belum perlu digunakan obat-obat antimalaria barn karena P. vivax masih sensitif dengan obat standar.

Sudah saatnya dikembangkan obat antimalaria tradisionil Indonesia seperti yang dikembangkan di Cina.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasik kepada Prof. Dr. Sri Oemijati, Dr. Suriadi Gunawan, DPH, dan Dra. Harijani AM atas badman dan saran-sarannya.

KEPUSTAKAAN

1. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, Departemen Kesehatan RL Malaria : Pengobatan 3, 1983.

2. Tjitra E, Harun S, Dewi MR dkk. Tes IFA pada penelitian malaria di Kepulauan Seribu. Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi ke IX, 10-12 Juli 1989, Padang.

3. Tjitra E, Sekartuti, Renny M dkk. Sensitivitas P. falciparum terhadap beberapa that antimalaria di desa Pekandangan, Jawa Tengah. Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V, 23-25 Juni 1990, di Panda-an. Jawa Timur.

4. RumahSakit ITCI Balikpapan. Laporan penderita malaria RS 1TCI Balik-papan, Januari s/d Desember 1989.

5. Arbani PR. Komunikasi pribadi, 1989. 6. World Health Organization Project. Drug Resistant Malaria. Report of an

Intercountry Meeting. New Delhi, 13-15 May 1985. 7. Pnbadi W, Dakung L$, Adjung S. Infeksi P. falciparum resisten terhadap

klorokuin dari beberapa daerah di Indonesia. Medika 1983, 8: 689-693. 8. Marwoto H. Penelitian resistensi P. falciparum terhadap Fansidar®di In-

donesia. Laporan akhir penelitian tahun 1983-1985. 9. Hoffman SL dkk. Invitro studies of the sensitivity of P. falciparum to

mefloquine in Indonesia. Panel diskusi Seminar Parasitologi Nasional dan Kongres ke II P4I, Bandung, Agustus 1983.

10. Hoffman SL. Clinics in Tropical Medicine and Communicable Diseases Malaria : Treatment of malaria. WB Saunders Company 1986; I (1) : 171-224.

11. Smith Kline and French. Halofantrine in the treatment of multidrug resistant malaria. Parasitology Today, 1989.

12. Excerpta Medina. Xllth International Congress for Tropical Medicine and Malaria. 18-23 September 1988, Amsterdam, The Netherlands.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 60

Page 62: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

13. World Health Organization. Chemotherapy of Malaria. 2nd edition, WHO Geneva, 1981.

14. Donno L. Malaria. Farmitalia Carlo Erba, 1986. Milano, Italy. 15. World Health Organization. Severe and complicated malaria, 1986; 80 :

1-50. 16. Oemijati S, Pribadi W, Suprijanto S dick. Pengobatan infeksi P. faici-

parum yang resisten terhadap Idorokuin dengan klindamisin. Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V, 23-25 Juni 1990, Pandaan, Jaws Timur.

17. Geary TG, Jensen JB. Effects of antibiotics on P. falciparum in vitro. AmJ Imp Med Hyg 1983; 32 (2) : 221-225.

18. Seaberg LS, Parquette AR, Gluzman IV dick. Clindamycin activity against chloroquine-resistant P. falciparum. JlnfectDis 1984; 150 (6) - 904-911.

19. Bunnag D. Mefloquine. XIIth International Congress for Tropical Medi- cine and Malaria. 18-23 September 1988, Amsterdam, The Netherlands.

20. Schwartz DE dkk. Chemotherapy 1982; 28 : 70. 21. Karbwang J dkk. Eur J Clin Pharm 1987; 32 : 173. 22. Karbwang J dirk. Br. J Clin Pharmac 1987; 23 : 477. 23. Harinasuta T dick. Bull WHO 1987; 65 : 363. 24. World Health Organization Technical Report Series 711, 1984. 25. Jiang BJ, Li GQ, Guo XB, Yun CK A ntimalarial activity of mefloquine

and qinghaosu. Lancet 1982 (August 7) : 285-8. 26. Australian Doctor, November 11th, 1988, page : 2. 27. World Health Organization. The development of Qinghaosu and its deri-

vates as antimalarial drugs. Fourth Meeting of the Scientific Working Group on the Chemotherapy of Malaria, 6-10 October 1981, Beijing, People's Republic of China.

28. Pe TM, Tin S. The efficacy of artemether (Qinghaosu) in P. falciparum and P. vivax in burma. Southeast Asian J Trop Med Pub H1th 1986; 17 (1) : 19-22.

29. Pe TM, Tin S. A controlled clinical trial of artemether (Qinghaosu

derivates) versus quinine in complicated and severe falciparum malaria. Trans Roy Soc Trop Med Hyg 1987; 81 : 559-561.

30. Li GQ, Guo XB, Jian HX Arnold K. Randomized comparative study of mefloquine, qinghaosu, and pyrimethamine-sulfadoxine in patients with falciparum malaria. Lancet 1984 (December 15) : 1360-1.

31. Tranakchit H. Clinical trials of qinghaosu on malaria. Simposium Pe-nyakit Tropis dan Parasit 1990, 4 Augustus 1990, Universitas Taruma-nagara, Jakarta.

32. Stoholer HR, Jaquet C, Peter W. Biological characterization of novel bicyclic peroxides as potential antimalarial agents. XIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria. 18-23 September 1988, Amsterdam.The Netherlands.

33. Hofheinz W. Jaquet C, Masciadri R, Schmid G, Stabler HR. Structure-activity relationship of novel bicyclic peroxide antimalarials related to yingrhaosu. XIIth Congress for Tropical Medicine and Malaria. 18-23 September 1988, Amsterdam, The Netherlands.

34. Werdorfer WH. Chemotherapy of malaria. AID malaria strategy meeting. Columbia, Maryland : 7-10 June 1983.

35. Qiu CP, Ren DX, Liu DQ, Liu RJ, Gao DQ. Sensitivity of P. falciparum to pyronaridine and sodium artesunat in Hainan island. China. XIIth International Congress for Tropical.Medicine and Malaria. 18-23 Septem-ber 1988, Amsterdam, The Netherlands.

36. Sabchareon A, Chongsuphajaisidhi T, Singhasivanon V dkk. Erythrocyte drug level proves to be the crucial factor for dose-finding of an anti-malarial (Falcimax TM). XIIth International Congress for Tropical Medi-cine and Malaria. 18-23 September 1988, Amsterdam, The Netherlands.

37. Chanthavanich P.Chongsuphajaisidhi'f, Sabchareon A. dick. A combina-nation of quinine, quinidine and cinchonine (Falcimax TM) in the treatment of falciparum malaria in Thai children. XIIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria. 18-23 September 1988, Amsterdam, The Netherlands.

Keep your fears to your self, but share your courage with others (RL Stevenson)

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 61

Page 63: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

AB RISIKO KEMATIAN SETELAH VASEKTOMI

Vasektomi merupakan salah saru cara keluarga berencana; kemungkinan pengaruhnya terhadap mortalitas telah diselidiki melalui kuesioner yang di-berikan kepada 14.607 pria yang telah menjalani vasektomi sebelum tahun 1967 dan 14.607 kontrol di Amerika Serikat. Tercatat 1052 kematian, 446 akibat penyakit kardiovaskular, 341 akibat kanker dan 265 karena sebab-sebab lain.

Vasektomi dikaitkan dengan penurunan mortalitas secara keseluruhan (relative risk 0,85; 95% CI : 0,76 - 0,96) dan mortalitas akibat kardiovaskular (relative risk 0,76; 95% CI : 0,63 - 0,92). Secara keseluruhan vasektomi tidak ber-hubungan dengan mortalitas akibat kanker (relative risk 1,01; 95% CI : 0,82 -1,25), tetapi di kalangan pria yang telah menjalani vasektomi lebih dari 20 tahun, terlihat peningkatan (relative risk 1,44; 95% CI : 1,07 - 1,92); peningkatan ini terutama disebabkan oleh kanker paru primer. Penemuan ini perlu dilanjutkan dengan penelitian yang lebih spesifik.

N. Engl. J. Med. 1992; 326 :1392-8

Hk

PREVALENSI HIV Penelitian terhadap serum pasien

dewasa yang mengunjungi klinik gawat darurat suatu rumah sakit di Amerika Serikat telah dilakukan selama 6 minggu untuk mendeteksi adanya infeksi hepa-titis B, hepatitis C dan HIV-1. Selama periode tersebut, 2523 pasien dewasa telah diperiksa, 612 (24%) di antaranya positif terhadap sedikitnya satu di antara tiga pemeriksaan di atas; 5% seropositif terhadap HBV, 5% terhadap HCV dan 6% terhadap HIV-1.

HCV ditemukan pada 145 (83%) dari

175 pengguna obat intravena, 3di antara penerima transfusi d5 (21%) di antara homosekantara pria kulit hitam yang be44 tahun, seroprevalensi terhatercatat 51% positif.

Sedikitnya 30% pasien yanalami perdarahan atau mtindakan pada saat dirawat, spositif terhadap sedikitnya savirus di atas.

Penemuan ini hendaknya mekalangan petugas kesehatan, yang bekerja di klinik gawatlebih waspada.

N. Engl. J. Med. 1992; 326

FAKTOR RISIKO PENJANTUNG KORONER

Penyakit jantung koronemerupakan salah satu penyebatian yang utama; selain penpencegahan dengan mengenarisiko merupakan salah satuyang penting.

Analisis yang dilakukaberbagai percobaan menubeberapa hal : Merokok – diperkirakan merupakan putama dari 21% kasus kematiapenyakit jantung. Dalam 5setelahberhenti merokok, dipenurunan risiko sebesar 50 - 7Kadar kolesterol serum – Pekadar kolesterol dapat dicapaidiet dengan rata-rata penurunbisa lebih dari 20%. Setiap pekadar kolesterol sebesar 1%dengan penurunan risiko kembesar 2-3%. Hipertensi – untuk setiap petekanan diastolik sebesar 1 risiko infark miokard akasebesar 2-3%. Exercise – orang yang tet

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 62

STRAK 6 (21%)

arah dan sual. Di rusia 35-dap HIV

g meng-enjalani

erumnya lah satu

njadikan terutama darurat,

: 1399-404 Hk

YAKIT

r masih b kema-gobatan, l faktor

strategi

n atas njukkan

merokok enyebab n akibat tahun

dapatkan 0%. nurunan melalui an yang nurunan

disertai atian se-

nurunan mmHg,

n turun

ap aktif

mempunyai resiko yang 45% lebih kecil dibandingkan dengan orang yang menganggur (sedentary). Berat badan – orang yang memper-tahankan berat badan ideal mempunyai 35-55% risiko yang lebih kecil di-bandingkan dengan mereka yang gemuk (> 20% berat badan ideal). Pengendalian kadar gula darah di kalangan pasien diabetes belum jelas peranannya. Terapi estrogen pada wanita postmen pause juga dilaporkan dapat menurunkan risikō infark sampai 44%, sedangkan pengguna aspirin dosis rendah mempunyai 33% risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak menggunakan.

Selain itu konsumsi alkohol yang ringan sampai sedang ternyata juga bermanfaat; dibandingkan dengan bukan peminum, mereka mempunyai risiko25-40% lebih kecil.

N. Engl. J. Med. 1992; 326 : 1406 -16

Hk

ANTIDEPRESAN UNTUK NEU-ROPATI DIABETIK

Berbagai obat telah dicoba untuk mengatasi nyeri neuropati diabetik; para peneliti di Amerika Serikat mem-bandingkan efek penggunaan amitrip-tilin, desipramin dan fluoxetin, dengan dosis rata-rata masing-masing sebesar 105 mg., 111 mg., dan 40 mg.

Di kalangan pengguna amitriptilin, 28 (74%) pasien melaporkan perbaikan, sedang di kalangan pengguna desipramin dan fluoxetin, angka tersebut adalah masing-masing sebesar 23 (61%) dan 22 (48%). Perlu dicatat pula bahwa 19 (41%) penerima plasebo juga melaporkan adanya perbaikan.

Analisis statistik menunjukkan bahwa amitriptilin dan desipramin berbeda bermakna dibandingkan dengan plasebo, sedangkan fluoxetin tidak; fluoxetin

Page 64: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

ABSTRAK hanya efektif di kalangan pasien yang juga menderita depresi, sedangkan dua obat lainnya efektif tanpa mempertim-bangkan status emosional pasien.

N. Engl. J. Med. 1992; 326 :1250-6 Hk

ESTRACE UNTUK OSTEOPORO-SIS DI AMERIKA SERIKAT

Pemakaian Estrace (17-beta-estra-diol) untuk mencegah osteoporosis post-menopause sudah disetujui di AS. Se-benarnya obat ini sudah dipasarkan oleh Mead Johnson Laboratories sejak 1987 untuk terapi simptom menopause. Dosis yang dianjurkan untuk mencegah osteo-porosis adalah 1 mg atau 2 mg tiap hari selama 3 minggu, kemudian istirahat 1 minggu (1 minggu tanpa pengobatan).

Pada uji coba klinis, wanita-wanita yang mendapat 2 mg Estrace selama 18 bulan, massa tulangnya meningkat 2,5%, sedangkan yang mendapat 1 mg peningkatannya 1,8%. Sebaliknya, wanita-wanita yang hanya memakai plasebo, massa tulangnya turun 4,9% (menurut Bristol-Myers Squibb). Semua wanita mendapat suplemen kalsium. Massa tulang dievaluasi dengan peng-ukuran sumsum tulang, area yang pa-ling sering patah pada wanita postmeno-pause.

SCRIP No. 1757, Sept. 30,1992, p. 22. Id

MINYAK IKAN UNTUK KANKER KOLON

Pada terbitan Gastroenterology yang terbaru, peneliti-peneliti Italia me-laporkan bahwa konsumsi minyak ikan yang meningkat mempunyai efek per-lindungan terhadap kanker kolon. Tāpi menurut Dr. Michael Wargovich dari Anderson Cancer Centre, Houston,

USA, pars ahli gastroenterologi se-baiknya tidak menganjurkan suplemen minyak ikan pada penderita berisiko tinggi.

Penelitian menunjukkan bahwa min yak ikan mengurangi konsentrasi selsel yang berproliferasi pada bagian atas dari colonic crypts penderita berisiko tinggi sampai pada level yang umumnya teramati pada populasi risiko rendah. Namun kecepatan proliferasi secara keseluruhan sama dengan grup yang hanya memakai plasebo. Menurut peneliti, ini mungkin karena terbatasnya jumlah penderita, masing-masing grup 12 pasien.

Minyak ikan efektif untuk menyem-buhkan penyakit radang usus besar dan ulcerative colitis. Studi epidemiologi menunjukkan kejadian kanker yang lebih sedikit di antara populasi yang mengkonsumsi sejumlah besar minyak ikan dan anjing laut. Lagipula, peneliti-an pada binatang menunjukkan bahwa minyak ikan mengurangi kejadian tu-mor kolon akibat bahan kimia.

Namun menurut Dr. Wargovich, se-belum suplemen minyak ilcan dianjur-kan, dosis yang aman dan efektif perlu ditetapkan dulu.

INPHARMA, Oct. 10, 1992, p. 20.

Id CO SEBAGAI NEUROTRANS-MITER ?

Selama ini gas karbonmonoksida (CO) selalu dikaitkan dengan hal-hal yang merugikan kesehatan; tetapi pe-nelitian akhir-akhir ini mulai meng-hubungkannya dengan peran tertentu.

CO diketahui menyebabkan dilatasi pembuluh darah melalui stimulasi en-zim guanilsiklase – enzim yang mem-produksi cGMP. Mengingat cGMP juga ditemukan di organ lain, mungkin

CO juga benperan di organ-organ ter-sebut, antara lain organ penciuman dan hipokampus. Saat ini peneliti sedang menyelidiki peranan CO dalam proses belajar, seperti dalam proses long-term potentiation (LTP).

Pertanyaan lain yang masih harus dijawab ialah: bila memang CO diper-lukan sebagai neutransmiter, tentu harus ada mekanisme untuk memproduksinya; dansampai saat ini belum ada petunjuk ke arah tersebut.

Science 1993; 259: 309 Brw

KARIES GIGI DAN KONSUMSI PERMEN

Karies gigi dapat menyebabkan mulut berbau tidak enak. Tanpa makan per-men dan menyikat gigi secara teratur, ternyata karies gigi dapat terjadi. Frekuensi karies gigi dari kelompok anak yang menyikat gigi secara teratur dan kelompok anak yang tidak pernah me-nyikat gigi temyata tidak mempunyai perbedaan bermakna. Begitu pula dari kelompok anak yang makan penmen dan tidak makan penmen. Kapanpun, siapapun dan di manapun kanies gigi siap menyerang, karena penyebabnya kompleks dan berhubungan dengan banyak faktor yang saling berkaitan.

Hasil studi kasus kontrol pada pasien Klinik Pedodontia FKG-Unair golong-an umur 3-6 tahun selama tahun 1977 menunjukkan risiko (AR) karies gigi pada anak yang tidak menyikat gigi dan makan penmen 38,8% dibandingkan dengan kelompok yang menyikat gigi dan tidak makan penmen; selain itu juga mempunyai risiko (RR) hampir dua kali lebih besar.

Iman Oetojo, Ceramah Ilmiah Peringatan 50 tahun Pendidikan Dokter Gigi, Surabaya 1978

ss

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 63

Page 65: Cermin Dunia Kedokteran (Buku)

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Infeksi pada fase dini ditandai dengan peningkatan kadar :

a) IgG b) IgA c) IgM d) IgD e) IgE

2. Imunoglobulin yang ditemukan di dalam sekret cairan tubuh : a) IgG b) IgA c) IgM d) IgD e) IgE

3. Sel yang paling cepat mencapai daerah infeksi : a) Granulosit b) Monosit c) Limfosit T d) Limfosit B e) Sel plasma

4. Reaksi alergi banyak dikaitkan dengan peranan : a) IgG b) IgA c) IgM d) IgD e) IgE

5. Pada pasien kanker, infeksi jamur terutama disebabkan oleh : a) Candida b) Trichomonas c) Aspergillus d) Nocardia e) Semua sama seringnya

6. Laminar airflow isolator digunakan untuk sterilisasi : a) Udara b) Air c) Makanan d) Linen e) Alat medilc

7. Penurunan sistim imunitas umum ditemukan pada penyakit di bawah ini, kecuali : a) AIDS b) Leukemi c) Anemia aplastik d) Bronkopneumoni e) Tanpa kecuali

8. Kuman patogen yang dapat ditemukan di makanan adalah sebagai berikut, kecuali : a) Shigella b) Salmonella c) Pneumococcus d) Staphylococcus e) Vibrio

Cermin Dunia Kedokteran No. 83, 1993 64