Upload
ecca-caca-caca
View
297
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ch12 manives
Citation preview
Chapter 12
Behavioral Finance
Salah satu ilmu keuangan yang sedang berkembang pesat adalah behavioral finance. Sayangnya,
baru ada satu-dua perguruan tinggi kita yang sudah menawarkan mata kuliah ini. Itu pun untuk
tingkat magister dan doktoral. Kondisi ini sangat berbeda dengan di negara maju yang sudah
menawarkannya di hampir semua sekolah keuangan terkemuka. Beberapa universitas seperti
Universitas Mannheim di Jerman bahkan sudah mempunyai lembaga atau pusat studi khusus
untuk behavioral finance. Apa itu persisnya behavioral finance (BF), dan perbedaannya dengan
ilmu keuangan tradisional?
Aplikasi psikologi dalam finance
Sejatinya, BF dibangun dari dua disiplin ilmu yaitu psikologi dan keuangan. BF sering
didefinisikan sebagai aplikasi ilmu psikologi dalam memengaruhi tingkah laku keuangan.
Sebelumnya, dalam keuangan tradisional, tidak ada usaha untuk melihat perilaku keuangan dari
sudut psikologi padahal psikologi itu adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus
sumber kekeliruan manusia akibat salah persepsi, kepercayaan diri berlebihan, dan emosi.
Kesalahan (error) dan kekeliruan (bias) ini nyatanya melanda seluruh aspek keuangan dan
memengaruhi semua pelaku pasar.
Sebagai ilmu baru, BF menarik banyak peminat, tidak hanya di kalangan akademisi tetapi juga di
kalangan praktisi, karena banyaknya konsep BF yang dapat diaplikasikan. Makalah tentang BF
juga secara rutin muncul dan dipresentasikan di jurnal, seminar, dan simposium ilmiah keuangan
bergengsi.
Artikel populer BF juga secara tetap dimuat di harian terkemuka seperti Wall Street Journal dan
New York Times sejak Januari 2002. Financial Times bahkan pernah menyediakan rubrik
khusus untuk pembahasan BF. Beberapa stasiun televisi di AS pun tidak ketinggalan dalam
mendedikasikan programnya untuk diskusi mengenai BF.
Lembaga-lembaga keuangan juga semakin banyak yang menerapkan konsep-konsep behavioral.
Di barisan paling depan ada Fuller & Thaler, Martingale, LSV, dan Dreman. Selain itu, masih
ada American Skandia, Goldman Sachs, Merrill Lynch, dan Vanguard. Tidak hanya di AS,
lembaga-lembaga keuangan yang ada di Eropa juga ramai-ramai menerapkan strategi behavioral
dalam mengelola dananya seperti KBC, ABN Amro, J.P. Morgan Fleming, dan Robeco.
Namun, masih ada saja orang yang salah persepsi kalau BF itu adalah ilmu keuangan untuk
mengalahkan pasar. Karena itu, Shefrin (2002) merasa perlu mengingatkan investor untuk tidak
memahami BF setengah-setengah. BF harus dipahami secara lengkap dan investor tidak boleh
melupakan bagian terpenting dari BF yaitu pengakuan adanya risiko sentimen investor atau
risiko karena faktor psikologis, yang kadang lebih besar daripada risiko, fundamental. BF
menekankan bahwa walaupun investor belajar dari pengalaman, mereka umumnya belajar
dengan lambat.
Banyak analis mengubah pandangannya tentang pasar dari positif menjadi netral atau bahkan
negatif hanya karena perubahan psikologis investor, tanpa ada perubahan fundamental sama
sekali.
Contoh nyata di Indonesia adalah perubahan sentimen pasar terhadap saham BUMI belum lama
ini. Saham ini pernah direkomendasikan untuk dikoleksi karena berpotensi menembus harga
Rp10.000 atau bahkan Rp12.000 menurut beberapa valuasi. Namun, akibat sentimen negatif
investor di bursa, saham ini justru menyentuh harga terendahnya dalam empat tahun terakhir
yaitu Rp640 pada November.
Tiga perbedaan
Ada tiga tema utama yang membedakan BF dari ilmu keuangan dan investasi tradisional.
Pertama, BF mengakui kalau praktisi keuangan acap melakukan kesalahan karena
menggunakan aturan praktis (rule of thumb) sebagai pegangan dalam memproses data. BF
menyebut ini sebagai bias heuristic. Goldberg dan Nitsch (2001) mendefinisikan heuristic
sebagai aturan atau strategi dalam memroses informasi untuk mendapatkan solusi yang cepat
tetapi belum tentu optimal.
Menurut psikologi, manusia hanya dapat memproses paling banyak tujuh macam informasi
secara bersamaan. Heuristic digunakan ketika manusia dikelilingi setumpuk informasi atau saat
tidak punya waktu untuk memroses informasi secara keseluruhan. Heuristic juga sering dipilih
ketika sebuah masalah dianggap tidak penting atau ketika orang tidak mempunyai pengalaman
sebelumnya untuk menyelesaikan persoalan tertentu (Aronson 1994).
Contoh kekeliruan atau bias heuristic investor adalah pemikiran bahwa kinerja masa lalu adalah
indikator paling baik untuk kinerja masa depan, sehingga reksa dana yang berprestasi terbaik
pada masa lalu adalah yang paling layak beli. BF menyebut bias seperti ini sebagai
representativeness bias. Keuangan tradisional tidak mengakui ini, karena mengasumsikan semua
investor dapat menggunakan informasi dan alat-alat statistik dengan benar dan semestinya.
Kedua, BF berbeda dari keuangan tradisional dalam memandang bentuk (form) atau
penyajian data/informasi (framing). Menurut BF, form dan framing sama pentingnya dengan isi
(substance). Keuangan tradisional memandang form dan framing tidak penting. Maksudnya,
urutan, cara penyajian, dan penggunaan kata-kata tidak akan diperhatikan investor karena pelaku
pasar hanya akan mempertimbangkan substance.
Contohnya, ketika diminta untuk cut loss, banyak investor tidak mau melakukannya. Namun jika
dinasihatkan untuk transfer your asset, investor yang sama sangat mungkin bersedia menuruti.
Ketiga, BF menilai bias heuristic dan efek framing pada akhirnya akan menyebabkan harga
menyimpang dari nilai fundamentalnya dan pasar menjadi inefisien. Sebaliknya, keuangan
tradisional mengatakan walaupun ada bias heuristic dan efek framing, pasar akan tetap efisien.
Salah satu implikasi dari EMH adalah bahwa harga sekuritas telah mencerminkan semua
informasi yang tersedia bagi investor. Sayangnya, mengukur nilai intrinsik dari sekuritas tidaklah
mudah. Pelaku pasar juga sulit menguji apakah harga telah sesuai dengan nilai intrinsiknya.
Kebanyakan pengujian terhadap efisiensi pasar difokuskan pada kinerja strategi perdagangan
aktif. Belum ada kesimpulan yang dapat diterima secara umum oleh semua pihak. Ini membawa
pada munculnya aliran pemikiran baru, yaitu behavioral finance.
Barberis dan Thaler (2003) dalam Bodie, Kane, dan Marcus (2008) menjelaskan behavioral
finance sebagai sebuah model pasar keuangan yang menekankan implikasi potensial dari faktor
psikologis yang mempengaruhi perilaku investor. Premisnya adalah bahwa teori keuangan
konvensional kurang memperhatikan bagaimana orang sebenarnya membuat keputusan dan
bahwa orang-orang membuat perbedaan. Semakin banyak ekonom menginterpretasikan literatur
bahwa anomali pasar konsisten dengan irasionalitas, yang sepertinya menjadi ciri-ciri bagi para
individu yang mengambil keputusan yang rumit.
Bodie, Kane, dan Marcus (2008:396) menuliskan dua argumen dasar dari kritik behavioral, yaitu
irasionalitas dan keterbatasan kegiatan arbitrasi. Irasionalitas, terdiri dari dua kategori luas :
1. Investor tidak selalu memproses informasi dengan benar, dan karenanya dapat
melakukan kesalahan dalam menghitung distribusi probabilitas laba di masa depan.
2. Meskipun memiliki distribusi probabilitas laba, investor sering membuat keputusan
yang tidak konsisten dan optimal.
Keberadaan investor yang tidak rasional saja tidak akan cukup untuk membuat pasar menjadi
tidak efisien. Jika irasionalitas mempengaruhi harga, arbitrator yang cerdik dapat mengambil
keuntungan dengan mendorong harga kembali ke nilainya yang wajar. Ini merupakan argumen
behavioral yang kedua, bahwa pada prakteknya kegiatan arbitrator semacam diatas adalah
terbatas dan tidak cukup untuk memaksa harga kembali ke nilai intrinsiknya.
Pelaku pasar pada umumnya akan setuju bahwa jika harga adalah benar, maka tidak ada peluang
yang mudah untuk memperoleh laba. Namun ini tidak berarti kebalikannya adalah benar. Sedikit
atau tidak adanya peluang laba dan gagalnya kinerja strategi perdagangan aktif melebihi kinerja
strategi perdagangan pasif tidak berarti membuktikan bahwa pasar adalah efisien. (Bodie, Kane,
dan Marcus, 2008 : 396)
1. Pemrosesan Informasi
Kesalahan dalam pemrosesan inforamasi dapat mengakibatkan investor salah memperkirakan
probabilitas yang sebenarnya dari kejadian ataupun tingkat pengembalian dimasa depan.
Beberapa bias pemrosesan informasi ini telah dibahas, empat diantaranya yang paling sering
ditemui adalah (Bodie, Kane, dan Marcus, 2008 : 397-398) :
1.1. Kesalahan prediksi. Orang sering memberi bobot lebih berat pada pengalaman terbaru
dibandingkan apa yang dipercayai sebelumnya ketika membuat prediksi (kadang disebut
juga bias memori) dan sering membuat prediksi yang terlalu ekstrim tanpa
mempertimbangkan ketidakpastian dalam informasi yang mereka miliki.
1.2. Percaya diri berlebihan. Orang cenderung untuk melebih-lebihkan ketepatan dari
kepercayaan, prediksi, dan kemampuan mereka. Hal ini dapat dibuktikan dari tetap
mendominasinya strategi manajemen aktif meskipun kinerja dari dana yang dikelola
secara aktif telah menunjukkan hasil yang mengecewakan.
1.3. Konservatisme. Investor cenderung terlalu lambat atau konservatif dalam
memperbaharui kepercayaan mereka sebagai respon atas penemuan baru. Misalnya jika
investor kurang bereaksi terhadap berita fundamental, maka harga hanya mencerminkan
informasi baru secara bertahap.
1.4. Representatifan dari ukuran sampel. Orang cenderung tidak mementingkan ukuran
sampel dengan alalsan bahwa sampel yang kecil sama representatifnya dengan sampel
yang besar. Oleh karenanya, beberapa pola harga mungkin terlalu cepat diinterpretasikan
dan tren mungkin diekstrapolasikan terlalu jauh kedepan.
2. Bias Behavioral
Meskipun jika pemrosesan informasi dilakukan dengan benar, banyak studi menyimpulkan
bahwa individual cenderung membuat keputusan yang tidak sepenuhnya rasional dengan
menggunakan informasi tersebut. Bias-bias behavioral tersebut diantaranya (Bodie, Kane, dan
Marcus, 2008 : 398-400) :
2.1. Perhitungan mental. Merupakan pengkotakan dimana orang memisahkan keputusan
tertentu, misalnya dengan memperlakukan beberapa investasinya secara berbeda. Secara
rasional, semua investasi seharusnya dipandang sebagai sebuah portofolio dengan profil
resiko dan pengembalian yang terintegrasi.
2.2. Penghindaran atas penyesalan. Individu yang membuat keputusan yang kemudian
berdampak buruk akan memiliki penyesalan lebih apabila keputusan tersebut adalah atas
sesuatu yang kurang konvensional.
2.3. Teori Prospek. Merupakan modifikasi dari penjelasan analitis atas investor yang risk-
averse. Kekayaan yang semakin besar membnrikan tikat kepuasan atau “utilitas’ lebih,
namun pada tingkat yang terus menurun (diminishing). Hal ini akan meningkatkan
tingkat risk-aversesehingga premi resiko yang diinginkan semakin tinggi dan dapat
mengarah pada tindakan irasional.
Analisis Teknikal
Pring (2002:2-3) menyatakan bahwa pendekatan teknikal dalam investasi merupakan refleksi
dari ide bahwa harga bergerak dalam tren yang ditentukan oleh perubahan sikap investor
terhadap berbagai dampak ekonomi, moneter, politik, dan psikologi. Para pelaku pasar
cenderung bereaksi terhadap situasi yang sama dengan cara yang konsisten. Oleh karena itu,
pengamatan terhadap titik-titik tertentu dari pergerakan harga historis di pasar memungkinkan
pengembangan berbagai karakteristik yang dapat membantu mengidentifikasi top dan bottom di
pasar.
Seni dari analisis teknikal adalah identifikasi pembalikan tren pada tahap yang relatif awal dan
mengambil keuntungan dari tren tersebut sampai ada bukti bahwa tren telah berbalik arah.
Ada tiga cabang analisis teknikal (Pring, 2002 : 3-5) :
1. Indikator sentimen
Indikator sentimen atau disebut juga ekspektasional memonitor tindakan dari berbagai
partisipan pasar yang berbeda, misalnya pemain dalam (insider), manajer dan investor
reksadana, dan pemain bursa. Asumsinya adalah bahwa kelompok investor yang berbeda-
beda selalu konsisten dengan tindakannya pada poin-poin utama peralihan pasar, dari titik
terendah dari tren turun sampai ttiik tertinggi dari tren naik.
2. Indikator aliran dana (flow-of-fund)
Indikator aliran dana menganalisis posisi keuangan dari berbagai kelompok investor
untuk mengukur kapasitas potensial mereka dalam jual beli di pasar. Fokusnya adalah
pada aliran dana yang ada dipasar, misalnya suplai dana yang tersedia untuk membeli
saham.
3. Indikator struktur pasar
Indikator struktur pasar memonitor tren dari berbagai indeks harga, lingkup pasar, siklus,
volume, dan lainnya untuk mengevaluasi tren yang sedang berlangsung. Fokusnya adalah
pada struktur pasar dan karakter dari indikator pasar. Pendekatan teknikal adalah
berdasarkan pada teori bahwa harga merupakan refleksi dari psikologi massal. Oleh
karena itu, pendekatan teknikal berupaya memprediksi pergerakan harga di masa depan
berdasarkan asumsi bahwa psikologi massal bergerak antara kepanikan, ketakutan,
pesimisme, percaya diri, optimisme yang berlebihan, keserakahan, dan lainnya.
Akar dari analisis tren adalah Dow Theory, yang diciptakan oleh Charles Dow. Kebanyakan dari
metode analisis teknikal yang terkenal hingga saat ini adalah variasi dari pendekatan Dow. Teori
Dow menyatakan bahwa ada tiga tren yang mempengaruhi harga (saham) secara simultan
(Bodie, Kane, dan Marcus, 2008 : 408) :
1. Tren primer. Merupakan pergerakan harga jangka panjang, bisa berlangsung dari
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
2. Tren sekunder atau menengah. Merupakan tren yang disebabkan oleh deviasi jangka
pendek harga dari tren yang mendasari (tren primer). Deviasi ini akan terhapus dengan
adanya koreksi ketika harga kembali mengarah ke tren primernya.
3. Tren tersier atau minor. Merupakan fluktuasi harian yang tidak terlalu berarti dari
harga.
Beberapa indikator yang memonitor tren harga termasuk moving averages, analisis peak-and-
trough, pola harga, dan trendlines (Pring, 2002:5).
Trendlines merupakan area support dan resistance yang dinamis. Dalam istilah pasar,
support merupakan garis yang terbentuk oleh sekumpulan titik yang telah disentuh oleh harga
sebelumnya namun tidak mampu ditembus, sehingga secara psikologis harga sulit untuk turun
melewati garis tersebut. Sedangkan resistance merupakan garis yang terbentuk oleh sekumpulan
titik yang telah disentuh oleh harga sebelumnya namun tidak mampu ditembus, sehingga secara
psikologis harga sulit untuk naik melewati garis tersebut. Umumnya semua metode teknikal
digunakan untuk menganalisis arah tren harga di pasar, apakah bullish (tren harga naik)
atau bearish (tren harga turun). (Pring, 2002:137)
Analisis Teknikal dan Behavioral Finance
Analisis teknikal berupaya mengeksploitasi pola yang berulang dan dapat diprediksi dari harga
sekuritas untuk menghasilkan kinerja yang superior. Analisis teknikal tidak menyangkal adanya
nilai dari informasi fundamental, namun mereka percaya bahwa harga hanya sekali-kali bergerak
mendekati niali intrinsiknya. Behavioral finance memiliki kekonsistenan dengan analisis teknikal
dalam hal efek yang ditimbulkan. (Bodie, Kane, dan Marcus, 2008 : 407)
Grinblatt dan Han (2001) dalam Bodie, Kane, dan Marcus (2008:407) mendokumentasikan salah
satu kecenderungan behavioral terbaik, yaitu efek disposisi. Efek disposisi mengacu pada
kecenderungan investor untuk terus menahan investasi yang telah mengalami kerugian, yang
kemudian dapat menuntun pada momentum di harga sekuritas meskipun jika nilai fundamental
mengikuti pola acak. Kenyataan bahwa permintaan investor yang mengalami disposisi terhadap
sekuritas tergantung pada harga historis sekuritas berarti bahwa harga dekat dengan nilai
fundamentalnya hanya sekali-kali. Ini konsisten dengan motivasi investor melakukan analisis
teknikal.
Bias behavioral juga konsisten dengan penggunaan data volume oleh analis teknikal. Salah satu
bias behavioral yang penting adalahoverconfidence, sebuah kecenderungan sistematis untuk
melebih-lebihkan kelebihan diri sendiri. Trader yang mengalami ini akan melakukan transaksi
lebih banyak, sehingga menciptakan hubungan antara volume perdagangan dan return pasar.
Analisis teknikal kemudian menggunakan data volume dan harga historis untuk mengarahkan
strategi perdagangan. Terakhir, analis teknikal percaya bahwa fundamental pasar dapat diganggu
oleh faktor behavioral atau irasional, yang kadang disebut variabel sentimen. Fluktuasi harga
acak kurang lebih akan ada di setiap tren harga, sehingga menciptakan peluang untuk
bereksploitasi. (Bodie, Kane, dan Marcus, 2008 : 407)
Referensi :
Barberis, N. and Thaler, R. (2003), “A Survey of Behavioral Finance,” Handbook of the
Economics of Finance.
Grinblatt, M. and Bing Han (2001), “The Disposition Effect and Momentum,” Working Paper,
UCLA.
Bodie, Z., Kane, A., and Marcus, Alan, J. (2008), “Investments,”McGraw-Hill International
Edition, Seventh Edition.