Chapter II(3)

Embed Size (px)

Citation preview

  • TINJAUAN PUSTAKA

    Botani Tanaman

    Menurut Jones dan Luchsinger (1979), tumbuhan anggrek termasuk ke

    dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

    sekian banyak tumbuhan berbunga yang terdapat di alam ini. Adapun

    klasifikasinya adalah sebagai berikut:

    Divisi : Magnoliophyta

    Subdivisi : Angiospermae

    Kelas : Liliopsida

    Subkelas : Lilidae

    Ordo : Orchidales

    Famili : Orchidaceae

    Genus : Coelogyne

    Spesies : Coelogyne pandurata Lindl.

    Anggrek hitam termasuk dalam anggrek golongan simpodial. Anggrek tipe

    ini membentuk rumpun, dimana tiap satuan tanaman saling terhubung dengan akar

    tinggal (rhizome). Tunas baru yang tumbuh muncul dari tanaman sebelumnya

    secara mendatar dan tumbuh ke atas. Tunas baru tersebut akan tumbuh lebih besar

    dan akan terlihat menggelembung pada batangnya. Disini terbentuk apa yang

    disebut sebagai umbi semu (pseudobulbs). Umbi semu berfungsi menyimpan air

    dan cadangan makanan dan jika tanaman ini kekurangan air ia tidak akan segera

    kekeringan (Kartohardiprodjo dan Gandhi, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • Batangnya membentuk umbi semu, bundar panjang, pipih dengan panjang

    10-15 cm. daunnya berbentuk lonjong, belipat-lipat panjang mencapai 40 cm dan

    lebar 10 cm. Bunganya berbentuk rangkaian tandan dengan panjang 15-20 cm dan

    jumlah bunganya mencapai 14 kuntum per tandan. Kelopak bunga berbentuk

    lanset, lancip dan berwarna hijau muda. Mahkota bunga lancip dan berwarna hijau

    muda. Sementara itu, bibir bunganya berbentuk biola dan di tengahnya terdapat

    satu alur, tepi mengeriting dan berwarna hitam kelam (Parnata, 2005).

    Kultur Jaringan

    Kultur jaringan merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian

    tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara

    in vitro. Yang dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media

    kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan zat pengatur tumbuh, serta

    kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003).

    Teknik kultur jaringan dimulai ketika Schwan dan Schleiden

    mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom,

    dan pada prinsinya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Jaringan

    tanaman dapat diisolasi dan di kultur hingga berkembang menjadi tanaman

    normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan nutrisinya

    (Zulkarnain, 2009).

    Teknik kultur jaringan akan dapat berhasil dengan baik apabila

    syarat-syarat yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi pemilihan

    eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukan kalus, penggunaan medium

    yang cocok, keadaan yang aseptik dengan pengaturan udara yang baik

    (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

    Universitas Sumatera Utara

  • Teknik kultur jaringan ini pada mulanya ditujukan untuk membuktikan

    kebenaran teori totepotensi, yang selanjutnya berkembang untuk penelitian di

    bidang fisiologi tanaman dan biokimia. Perbanyakan tanaman dengan teknik ini

    memiliki kelebihan yaitu: tanaman dapat diperbayak setiap saat tanpa tergantung

    musim karena dilakukan di ruang tertutup, daya multiplikasinya tinggi dari bahan

    tanaman yang kecil, tanaman dihasilkan seragam dan bebas penyakit terutama

    bakteri dan cendawan (Armini,dkk, 1992).

    Pada dasarnya kultur in vitro merupakan suatu proses perbanyakan sel,

    jaringan, organ atau protoplas dengan teknik steril. Keberhasilan teknologi in vitro

    masih terbatas pada beberapa tanaman tertentu saja. Kultur in vitro juga

    memberikan pengertian tentang studi fisiologi, biokimia, genetika, pertumbuhan

    dan perkembangan spesies tanaman pada tingkat molekuler (Nasir, 2000).

    Eksplan

    Eksplan yaitu bagian tanaman yang dijadikan bahan inokulum awal yang

    ditanam dalam media, akan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan

    tertentu. Arah pertumbuhan dan perkembangan ditentukan oleh komposisi media

    dan zat pengatur tumbuh yang digunakan (dalam hal jenis zat pengatur tumbuh

    dan konsentrasinya), bagian tanaman yang dijadikan eksplan, lingkungan

    tumbuhnya (Gunawan, 1995).

    Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam hal

    perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting

    penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur otogenetik, ukuran eksplan, serta

    bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan

    dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur

    (Yusnita, 2003).

    Universitas Sumatera Utara

  • Sumber asal eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan potensial

    morfogenetiknya. Eksplan yang berasal dari satu jenis organ misalnya, juga

    diketemukan adanya keragaman dalam regenerasinya. Ukuran eksplan untuk

    dikulturkan juga mempengaruhi keberhasilannya. Ukuran yang terlampau kecil

    akan kurang daya tahannya bila dikulturkan, sementara bila terlampau besar akan

    sulit mendapatkan eksplan yang steril. Setiap jenis tanaman maupun organ

    memiliki ukuran eksplan yang optimum untuk dikulturkan (Armini,dkk, 1992).

    Media Kultur

    Media yang digunakan secara luas adalah media Murashige & Skoog (MS)

    yang dikembangkan pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini

    kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan dari

    konsentrasi dari garam-garam makro yang digunakan (1/2 MS) atau menggunakan

    komposisi garam makro berdasarkan MS tetapi mikro dan vitamin berdasarkan

    komposisi Heller. Zat pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan dengan

    tujuan inisiasi kultur (Gunawan, 1995).

    Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat untuk tumbuh eksplan.

    Media tanam harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin

    pertumbuhan eksplan. Bahan-bahan yang diramu berisi campuran garam mineral,

    sumber unsur makro dan mikro, gula, protein, vitamin dan hormon tumbuh.

    Dengan demikian keberhasilan kultur jaringan jelas ditentukan oleh media tanam

    dan jenis tanaman. Campuran media yang satu mungkin cocok untuk jenis-jenis

    tanaman tertentu, tetapi tidak cocok untuk jenis-jenis tanaman lainnya

    (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

    Universitas Sumatera Utara

  • Lingkungan in Vitro

    Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman

    meliput i temperatur, penyinaran, kualitas panjang penyinaran, intensitas

    penyinaran, serta ukuran wadah kultur (Gunawan, 1995).

    PH adalah kondisi asam dan basa yang harus diatur sedemikian rupa

    sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma.

    Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan fisiologis sel, juga harus

    mempertimbangkan faktor-faktor:

    1. Kelarutan dari garam-garam penyusun media

    2. Pengambilan dari zat pengatur tumbuh dan garam-garam lain.

    3. Efisiensi pembekuan agar-agar

    Sel-sel tanamaan membutuhkan pH sedikit asam barkisar antara 5,5 5,8.

    Pengaturan pH biasa dilakukan dengan menggunakan NaOH atau HCl

    (Gunawan, 1995).

    Dalam teknik kultur jaringan tanaman, cahaya dinyatakan dengan dimensi

    lama penyinaran, intensitas dan kualitasnya. Prof. Murashige menyarankan untuk

    mengasumsikan kebutuhan lama penyinaran pada kultur jaringan tanaman

    merupakan pencerminan dari kebutuhan periodisitas tanaman yang

    bersangkutan di lapangan. Kualitas cahaya mempengaruhi arah diferensiasi

    jaringan (Yusnita, 2003).

    Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang

    optimal umumnya adalah berkisar di antara 200-300C. Sedangkan temperatur

    optimum untuk pertumbuhan kalus endosperm adalah sekitar 250C. Faktor

    lingkungan, disamping faktor makanan (media tanam) yang cocok, dapat

    mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

    Universitas Sumatera Utara

  • Zat Pengatur Tumbuh

    Zat pengatur tumbuh memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan

    perkembangan kultur. Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan

    zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan,

    konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu

    (Gunawan, 1995).

    Zat pengatur tumbuh eksogen tidak selalu sama dengan zat pengatur

    tumbuh endogen tetapi kebanyakan zat pengatur tumbuh eksogen mempunyai

    peran yang sama dengan zat pengatur tumbuh endogen. Pada beberapa jenis

    tanaman atau pada tingkat selular kebutuhan akan zat pengatur tumbuh eksogen

    sangat spesifik (Armini,dkk, 1992).

    Auksin adalah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang

    pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai

    IAA (indole-3-acetic-acid). Auksin berpengaruh pula untuk menghambat

    pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dalam

    medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan embriogenesis somatik pada

    kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah akan meningkatkan

    pembentukan akar adventif, sedangkan auksin konsentrasi tinggi akan

    merangsang pembentukan kalus dan menekan morfogenesis (Zulkarnain, 2009).

    Sitokinin merupakan nama kelompok hormon tumbuh yang sangat penting

    sebagai pemacu pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur jaringan seperti

    halnya pada auksin, selain sitokinin alami juga terdapat sintetisnya yang tergolong

    dalam zat pengatur tumbuh (Santoso dan Fatimah, 2005).

    Sifat paling karakteristik yang berkaitan dengan sitokinin adalah

    perangsangan mereka terhadap pembelahan sel pada kultur jaringan tanaman. Satu

    Universitas Sumatera Utara

  • dari reaksi yang benar-benar dramatis terhadap sitokinin adalah pembentukan

    organ-organ yang terjadi di bawah kondisi yang tepat dalam berbagai kultur

    jaringan. Dengan pemrosesan sitokinin dapat mengeluarkan pembentukan tunas

    yang melimpah (Wilkins, 1989).

    Naftalen Asam Asetat umumnya digunakan pada konsentrasi yang rendah

    berbeda dengan auksin jenis lain. Seperti pada percobaan Gerbera jamesonii yang

    meningkat pertumbuhan akarnya dengan pemberian NAA 1 mg/l dibandingkan

    dengan pemberian IAA 5 mg/l (Perik, 1987).

    Interaksi sitokinin dengan auksin juga terjadi dalam menentukan

    pembentukan bakal batang dan akar pada kultur jaringan. Kalau perbandingan

    antara auksin dan sitokinin tinggi akan terjadi diferensiasi beberapa (tidak semua)

    sel kalus menjadi bakal akar. Jika kadar sitokinin lebih tinggi daripada auksin

    maka sel kalus berdiferensiasi menjadi meristem pucuk batang. Jadi apabila

    terjadi perubahan sedikit dalam perbandingan auksin-sitokinin dapat berakibat

    pembentukan akar atau batang (Kusumo, 1984).

    Universitas Sumatera Utara