32
Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hipertensi 2.1.1. Definisi Hipertensi Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008). Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah (Gray, et al. 2005). Tabel 2.1.Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Tekanan Darah Diastolik Normal < 120 < 80 Prahipertensi 120- 139 80- 89

Chapter II(6)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Chapter II(6)

Citation preview

Page 1: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1. Definisi Hipertensi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg.

Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan

hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan

penyebab dari peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder

disebabkan oleh penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme

primer (sindroma Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan

renovaskuler, serta akibat obat (Bakri, 2008).

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC

7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok

normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada

tabel 1 dibawah (Gray, et al. 2005).

Tabel 2.1.Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7

Klasifikasi Tekanan

Darah

Tekanan Darah Sistolik

(mmHg)

Tekanan Darah

Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prahipertensi 120-139 80-89

Hipertensi derajat 1 140-159 90-99

Hipertensi derajat 2 > 160 > 100

The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and

treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO

dengan International Society of Hipertention membuat definisi hipertensi yaitu

apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau

tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat

anti

Page 2: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

hipertensi. Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih

dari 95 persentil dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur

sekurang-kurangnya tiga kali pada pengukuran yang terpisah (Bakri, 2008).

2.1.2. Etiologi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan,

yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau

hipertensi renal.

1) Hipertensi esensial

Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,

disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang

mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf

simpatis, sistem renin angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan

Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas,

alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer biasanya timbul

pada umur 30 – 50 tahun (Schrier, 2000).

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 % kasus.

Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal,

hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing,

feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan

kehamilan, dan lain – lain (Schrier, 2000).

2.1.3. Gejala Klinis

Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala

pada hipertensi esensial dan tergantung dari tinggi rendahnya tekanan

darah, gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang-kadang hipertensi

esensial berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi

pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (Julius, 2008).

Page 3: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan. Penderita hipertensi

mungkin tidak menunjukkan gejala selama bertahun – tahun. Masa laten ini

menyelubungi perkembangan penyakit sampai terjadi kerusakan organ yang

bermakna. Bila terdapat gejala biasanya bersifat tidak spesifik, misalnya

sakit kepala atau pusing. Gejala lain yang sering ditemukan adalah epistaksis,

mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, dan

mata berkunang-kunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat

dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke

atau gagal ginjal. Namun deteksi dini dan parawatan hipertensi dapat

menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas (Julius, 2008).

2.1.4. Patofisiologi Hipertensi

Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam

pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar:

Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006).

Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan

hipertensi esensial antara lain :

1) Curah jantung dan tahanan perifer

Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh

terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi

esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat.

Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada

arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada

peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus

ini semakin lama akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang

mungkin dimediasi oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan

perifer yang irreversible (Gray, et al. 2005).

Page 4: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

2) Sistem Renin-Angiotensin

Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan

ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem

endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh

juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau

penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et

al.

2005).

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya

angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme

(ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan

darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduks i hati, yang oleh

hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I

(dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru,

angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif).

Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat

sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:

a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH

diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk

mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat

sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin

menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume

cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan

tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan

hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume

cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)

dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl

akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan

ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan

tekanan darah (Gray, et al. 2005).

Page 5: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

3) Sistem Saraf Otonom

Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan

dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam

pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara

sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama – sama dengan faktor

lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al.

2005).

4) Disfungsi Endotelium

Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam

pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif

lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium

banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan

antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit

(Gray, et al. 2005).

5) Substansi vasoaktif

Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam

mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin

merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin

dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan

sistem renin-angiotensin lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon

yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon peningkatan volum darah.

Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya

dapat meningkatkan retensi cairan dan hipertensi (Gray, et al. 2005).

6) Hiperkoagulasi

Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding

pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),

ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi

dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama

akan

Page 6: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah

dengan pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).

7) Disfungsi diastolik

Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat

ketika terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan

input ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan

atrium kiri melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).

2.1.5. Faktor Risiko Hipertensi

Sampai saat ini penyebab hipertensi secara pasti belum dapat diketahui

dengan jelas. Secara umum, faktor risiko terjadinya hipertensi yang

teridentifikasi antara lain :

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Keturunan

Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa jika seseorang mempunyai

orang tua atau salah satunya menderita hipertensi maka orang tersebut

mempunyai risiko lebih besar untuk terkena hipertensi daripada orang yang

kedua orang tuanya normal (tidak menderita hipertensi). Adanya riwayat

keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara signifikan akan

meningkatkan risiko terjadinya hipertensi pada perempuan dibawah 65 tahun dan

laki – laki dibawah 55 tahun (Julius, 2008).

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi tekanan darah.

Sejumlah fakta menyatakan hormon sex mempengaruhi sistem renin angiotensin.

Secara umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada

perempuan. Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa

menopause yang mununjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008).

Page 7: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

c. Umur

Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa semakin tinggi

umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya. Hal ini disebabkan

elastisitas dinding pembuluh darah semakin menurun dengan bertambahnya

umur. Sebagian besar hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum

umur 55 tahun tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada

perempuan. Setelah umur 65 tekanan darah pada perempuan lebih tinggi

daripada laki-laki. Dengan demikian, risiko hipertensi bertambah dengan

semakin bertambahnya umur (Gray, et al. 2005)

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Merokok

Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan

darah. Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan

tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat membahayakan

kesehatan, karena nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam

pembuluh darah dan dapat menyebabkan pengapuran pada dinding

pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang

menyebabkan peningkatan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik, denyut

jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian O2

bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada

pembuluh darah perifer (Gray, et al. 2005).

b. Obesitas

Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat kaitannya dengan

hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah tergantung pada besarnya

penambahan berat badan. Peningkatan risiko semakin bertambah parahnya

hipertensi terjadi pada penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak

semua obesitas dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing – masing

individu. Peningkatan tekanan darah di atas nilai optimal yaitu > 120 / 80 mmHg

akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Penurunan

berat

Page 8: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

badan efektif untuk menurunkan hipertensi, Penurunan berat badan sekitar 5

kg dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan (Haffner, 1999).

c. Stres

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalaui saraf simpatis yang

dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Apabila stres berlangsung

lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah yang menetap. Pada

binatang percobaan dibuktikan bahwa pajanan terhadap stres menyebabkan

binatang tersebut menjadi hipertensi (Pickering, 1999).

d. Aktifitas Fisik

Orang dengan tekanan darah yang tinggi dan kurang aktifitas, besar

kemungkinan aktifitas fisik efektif menurunkan tekanan darah. Aktifitas fisik

membantu dengan mengontrol berat badan. Aerobik yang cukup seperti 30 – 45

menit berjalan cepat setiap hari membantu menurunkan tekanan darah

secara langsung. Olahraga secara teratur dapat menurunkan tekanan darah pada

semua kelompok, baik hipertensi maupu n normotensi (Simons-Morton, 1999).

e. Asupan

1) Asupan Natrium

Natrium adalah kation utama dalam cairan extraseluler konsentrasi serum

normal adalah 136 sampai 145 mEg / L, Natrium berfungsi menjaga

keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut dan keseimbangan asam basa

tubuh serta berperan dalam transfusi saraf dan kontraksi otot (Kaplan, 1999).

Perpindahan air diantara cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh

kekuatan osmotik. Osmosis adalah perpindahan air menembus membran

semipermiabel ke arah yang mempunyai konsentrasi partikel tak

berdifusinya lebih tinggi. Natrium klorida pada cairan ekstraseluler dan kalium

dengan zat – zat organik pada cairan intraseluler, adalah zat – zat terlarut yang

tidak dapat menembus dan sangat berperan dalam menentukan konsentrasi air

pada kedua sisi membran (Kaplan, 1999).

Page 9: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

Hampir seluruh natrium yang dikonsumsi (3-7 gram sehari) diabsorpsi

terutama di usus halus. Mekanisme penngaturan keseimbangan volume pertama

– tama tergantung pada perubahan volume sirkulasi efektif. Volume sirkulasi

efektif adalah bagian dari volume cairan ekstraseluler pada ruang vaskular yang

melakukan perfusi aktif pada jaringan. Pada orang sehat volume cairan

ekstraseluler umumnya berubah – ubah sesuai dengan sirkulasi efektifnya dan

berbanding secara proporsional dengan natrium tubuh total. Natrium diabsorpsi

secara aktif setelah itu dibawa oleh aliran darah ke ginjal, disini natrium disaring

dan dikembalikan ke aliran darah dalam jumlah yang cukup untuk

mempertahankan taraf natrium dalam darah. Kelebihan natrium yang jumlahnya

mencapai 90-99 % dari yang dikonsumsi, dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran

urin ini diatur oleh hormon aldosteron yng dikeluarkan kelenjar adrenal bila

kadar Na darah menurun. Aldosteron merangsang ginjal untuk mengasorpsi Na

kembali. Jumlah Na dalam urin tinggi bila konsumsi tinggi dan rendah bila

konsumsi rendah (Kaplan, 1999).

Garam dapat memperburuk hipertensi pada orang secara genetik sensitif

terhadap natrium, misalnya seperti: orang Afrika-Amerika, lansia, dan orang

hipertensi atau diabetes. Asosiasi jantung Amerika menganjurkan setiap orang

untuk membatasi asupan garam tidak lebih dari 6 gram per hari. Pada populasi

dengan asupan natrium lebih dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat

lebih cepat dengan meningkatnya umur, serta kejadian hipertensi lebih

sering ditemukan (Kaplan, 1999).

Hubungan antara retriksi garam dan pencegahan hipertensi masih belum

jelas. Namun berdasarkan studi epidemiologi diketahui terjadi kenaikan tekanan

darah ketika asupan garam ditambah (Kaplan, 1999).

2) Asupan Kalium

Kalium merupakan ion utama dalam cairan intraseluler, cara kerja kalium

adalah kebalikan dari Na. konsumsi kalium yang banyak akan

meningkatkan konsentrasinya di dalam cairan intraseluler, sehingga cenderung

menarik cairan dari bagian ekstraseluler dan menurunkan tekanan darah (Appel,

1999).

Page 10: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

Sekresi kalium pada nefron ginjal dikendalikan oleh aldosteron. Peningkatan

sekresi aldosteron menyebabkan reabsorbsi natrium dan air juga ekskresi kalium.

Sebaliknya penurunan sekresi aldosteron menyebabkan ekskresi natrium dan air

juga penyimpanan kalium. Rangsangan utama bagi sekresi aldosteron adalah

penurunan volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Ekskresi

kalium juga dipengaruhi oleh keadaan asam basa dan kecepatan aliran di tubulus

distal (Appel, 1999).

Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa asupan rendah kalium akan

mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan renal vascular remodeling yang

mengindikasikan terjadinya resistansi pembuluh darah pada ginjal. Pada populasi

dengan asupan tinggi kalium tekanan darah dan prevalensi hipertensi lebih

rendah dibanding dengan populasi yang mengkonsumsi rendah kalium (Appel,

1999).

3) Asupan Magnesium

Magnesium merupakan inhibitor yang kuat terhadap kontraksi vaskuler otot

halus dan diduga berperan sebagai vasodilator dalam regulasi tekanan darah. The

Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of

High Blood Presure (JNC) melaporkan bahwa terdapat hubungan timbal balik

antara magnesium dan tekanan darah (Appel, 1999).

Sebagian besar penelitian klinis menyebutkan, suplementasi magnesium

tidak efektif untuk mengubah tekanan darah. Hal ini dimungkinkan karena

adanya efek pengganggu dari obat anti hipertensi. Meskipun demikian,

suplementasi magnesium direkomendasikan untuk mencegah kejadian hipertensi

(Appel, 1999).

2.1.6. Kerusakan Organ Target

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, naik secara

langsung maupun secara tidak langsung. Kerusakan organ target yang

umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:

1. Penyakit ginjal kronis

2. Jantung

a. Hipertrofi ventrikel kiri

Page 11: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

b. Angina atau infark miokardium

c. Gagal jantung

3. Otak

a. Strok

b. Transient Ischemic Attack (TIA)

4. Penyakit arteri perifer

5. Retinopati (Yogiantoro, 2006).

Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ

tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ,

atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap

reseptor ATI angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric

oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi

garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan

organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi

transforming growth factor-β (TGF-β) (Yogiantoro, 2006).

2.1.7. Evaluasi Hipertensi

Hipertensi pada pasien hipertensi bertujuan untuk:

1). Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya

atau menilai adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan

menentukan pengobatan.

2). Mencari penyebab kenaikan tekanan darah.

3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular

(Yogiantoro, 2006).

Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang

keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan

fisik serta pemeriksaan penunjang.

Anamnesis meliputi:

1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

Page 12: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

2. Indikasi adanya hipertensi sekunder

a. Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal

b. Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian

obat- obat analgesik dan obat/bahan lain.

c. Episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)

d. Episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme)

3. Faktor-faktor risiko

a. Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga

pasien b. Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya

c. Riwayat diabetes melitus pada pasien atau

keluarganya d. Kebiasaan merokok

e. Pola makan

f. Kegemukan, intensitas

olahraga g. kepribadian

4. Gejala kerusakan organ

a. Otak dan mata : sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,

transient ischemic attack, defisit sensoris atau motoris

b. Ginjal : haus, poliuria, nokturia, hematuria

c. Jantung : palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak

kaki d. Arteri perifer : ekstremitas dingin

5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya (Yogiantoro, 2006).

Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:

a. Tes darah rutin

b. Glukosa darah (sebaiknya puasa)

c. Kolesterol total serum

d. Kolesterol LDL dan HDL serum

e. Trigliserida serum (puasa)

f. Asam urat serum

g. Kreatinin serum

h. Kalium serum

Page 13: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

i. Hemoglobin dan

hematokrit j. Urinalisis

k. Elektrokardiogram (Yogiantoro, 2006).

Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya

kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya

hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan

gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target

meliputi:

1. Fungsi ginjal

a. Pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya

proteinuria/mikro- makroalbuminur ia serta rasio albumin kreatinin urin

b. Perkiraan LFG, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat

diperkirakan dengan menggunakan modifikasi rumus dari Cockroft-Gault

sesuai dengan anjuran National Kidney Foundation (NKF) yaitu:

Klirens Kreatinin* = ( 140 - u m u r ) x B e r at B ad an x (0,85 untuk perempuan)

72 x Kreatinin Serum

*Glomerulus Filtration Rate (GFR)/LFG dalam ml/menit/1,73m2.

(Yogiantoro, 2006).

2.1.8. Penatalaksanaan hipertensi :

a. Penatalaksanaan farmakologis

b. Penatalaksanaan non farmakologis ( diet)

Penatalaksanaan non farmakologis (diet) sering sebagai pelengkap

penatalaksanaan farmakologis, selain pemberian obat-obatan antihipertensi perlu

terapi dietetik dan merubah gaya hidup (Yogiantoro, 2006).

Tujuan dari penatalaksanaan diet :

a. Membantu menurunkan tekanan darah secara bertahap dan

mempertahankan tekanan darah menuju normal.

b. Mampu menurunkan tekanan darah secara multifaktoral

Page 14: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

c. Menurunkan faktor risiko lain seperti BB berlebih, tingginya kadar

asam lemak, kolesterol dalam darah.

d. Mendukung pengobatan penyakit penyerta seperti penyakit ginjal, dan

DM (Yogiantoro, 2006).

Prinsip diet penatalaksanaan hipertensi :

a. Makanan beraneka ragam dan gizi seimbang

b. Jenis dan komposisi makanan disesuaikan dengan kondisi penderita

c. Jumlah garam dibatasi sesuai dengan kesehatan penderita dan jenis

makanan dalam daftar diet. Konsumsi garam dapur tidak lebih dari ¼ -

½ sendok teh/hari atau dapat menggunakan garam lain diluar natrium.

(Yogiantoro,

2006).

2.2. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

2.2.1. Definisi

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kemunduran fungsi ginjal yang

menyebabkan ketidakmampuan mempertahankan substansi tubuh dibawah

kondisi normal (Sowden, 1996).

PGK hadir ketika LFG menurun secara permanen dalam hubungan

dengan hilangnya populasi nefron fungsional. Hal ini ditandai dengan gesekan

terus dari nefron dan variabel tetapi biasanya tak henti-hentinya

perkembangan menuju tahap akhir penyakit ginjal/End Stage Renal Disease

(ESRD) (Fisch, 2000).

2.2.2. Etiologi

Penyebab paling lazim dari ESRD adalah mayority dari pasien hipertensi,

diabetes mellitus, atau keduanya. Penyebab lainnya adalah glomerulonephritis,

penyakit interstisial, cystic/hereditery/congenital dan yang tidak diketahui

penyebabnya (Fisch, 2000).

Penyakit ginjal primer terbatas pada ginjal dan biasanya hadir dengan

gagal ginjal kronis atau sindrom nefrotik tanpa riwayat penyakit sistemik.

Penyakit non-glomerular seperti uropathy obstruktif, nefritis interstisial

Page 15: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

primer,

Page 16: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

dan nefropati iskemik sering diidentifikasi selama hasil pemeriksaan untuk

hipertensi yang baru ditemukan atau hematuria asimtomatik. Pasien menyajikan

dengan proteinuria atau sindrom nefrotik tapi tanpa bukti infeksi, penyakit

kolagen-vaskular, atau keganasan cenderung memiliki glomerulonefritis

idiopatik (Fisch, 2000).

Penyakit ginjal sekunder. Sejarah lengkap dan pemeriksaan fisik

didampingi oleh kerja darah rutin membongkar etiologi dari gagal ginjal kronis

di lebih dari 60% sampai 70% kasus. Hipertensi dan diabetes biasanya hadir

untuk setidaknya 10 tahun sebelum mereka menyebabkan gagal ginjal kronis

dengan hipertensi yang mengarah ke ESRD, hipertensi tidak terkontrol dan

dipercepat adalah yang paling sering (Fisch, 2000).

Menurut Markum (2006), Penyebab dari PGK adalah:

- Tekanan darah tinggi (hipertensi)

- Penyumbatan saluran kemih

- Glomerulonefritis

- Kelainan ginjal, misalnya penyakit ginjal polikista

- Diabetes melitus (kencing manis)

- Kelainan autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik.

2.2.3. Faktor Risiko PGK

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi ialah hipertensi. Hipertensi dapat

bertindak sendiri atau dengan penyakit lain untuk membujuk penyakit

ginjal kronis dan meskipun kebanyakan pasien dengan hipertensi tidak pernah

mengembangkan penyakit ginjal yang signifikan, kronis tekanan darah tinggi

bertanggung jawab untuk 25% dari kasus baru.

Faktor risiko lainnya yang dapat dimodifikasikan adalah diabetes mellitus.

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur dan ras (Schrier,

2000).

Page 17: Chapter II(6)

Universitas Sumatera Utara

2.2.4. Diagnosis PGK

Menurut Fisch (2000), diagnosis klinis dari PGK adalah:

1. Menurunnya LFG

Klasifikasi tingkat penyakit ginjal kronik, sebagai berikut:

• Tingkat 1: kerusakan ginjal dengan normal LFG (>90 mL/menit/1.73 m2)• Tingkat 2: penurunan ringan pada LFG (60-89 mL/menit/1.73 m2)• Tingkat 3: penurunan sedang pada LFG (30-59 mL/menit/1.73 m2)• Tingkat 4: penurunan berat pada LFG (15-29 mL/menit/1.73 m2)• Tingkat 5: gagal ginjal (LFG <15 mL/menit/1.73 m2 atau dialisis)

2. Indikasi lainnya

a. Proteinuria

b. Hematur ia

c. Abnormal urinary sedimen

d. Hipertensi

2.3. Hemodialisis

Hemodialisis adalah suatu prosedur untuk membuang racun atau sisa

metabolisme dari dalam darah dengan mengalirkan darah ke suatu tabung ginjal

buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien

dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput

semipermeabel buatan dengan kompartemen dialisat (Rahardjo et al, 2006).

Keputusan untuk inisiasi hemodialisis terutama berdasarkan parameter

laboratorium yaitu LFG antara 5-8 ml/menit/1,73 m² (Sukandar, 2006).

Beberapa komplikasi yang mungkin ditimbulkan selama prosedur

hemodialisis ialah emboli udara akibat udara masuk ke sirkuit darah, hipotensi

terkait hemodialisis, hipoksemia, kram otot, mual, muntah, sakit kepala,

sakit dada, dan gatal-gatal. Pengawasan terus-menerus kompartemen darah dan

dialisat sangat penting untuk mencegah semua komplikasi (Sukandar, 2006).