3
Setelah meninggal, Wolff Schoemaker dimakamkan di Ereveld Pandu, Bandung. Karya- karyanya pun masih bisa dinikmati hingga sekarang dan menjadi ikon kota Bandung. Karya C.P.Wolff Schoemaker di Kota Bandung : Gedung Sabau, Jl. Kalimantan (1918) KOLOGDAM (Jaarbeurs de Bandung), Jl. Aceh (1920) Gedung Merdeka (Concordia), Jl. Asia Afrika (1921) Landmark (Van Dorp), Jl. Braga (1922) Gereja St. Petrus, Jl. Merdeka (1922) Gereja Bethel, Jl. Wastukencana (1925) Observatorium Bosscha, Jl. Peneropongan Bintang Lembang (1925) Hotel Preanger, Jl. Asia Afrika (1929) Rektorat UPI (Villa Isola), Jl. Dr. Setiabudhi (1932) Mesjid Cipaganti, Jl. Cipaganti (1933) Villa Merah, Jl. Tamansari (1933) Gedung PLN, Jl. Asia Afrika (1934) Penjara Sukamiskin, Jl. Sukamiskin (1935) Semua gedung karya Wolff Schoemaker telah tercatat sebagai warisan cagar budaya di Bandung saat ini. Peruntukannya memang telah beralih fungsi namun keindahan dan jiwa karya yang ingin ditampilkan sang perancang flamboyan itu tetap melekat erat bersama tumbuhnya Bandung sebagai kota metropolitan. Saat ini gedung-gedung tersebut selain menjadi tempat tujuan wisata sejarah dan juga menarik minat fotografer untuk menjadikannya latar foto pernikahan atau pemotretan model. Wolff Schoemaker adalah salah satu tokoh penting dalam peradaban Kota Bandung, namun saying banyak orang yang tidak tahu mengenai sosok beliau.

Charles Prosper Wolff

Embed Size (px)

DESCRIPTION

arsitek indonesia

Citation preview

Setelah meninggal, Wolff Schoemaker dimakamkan di Ereveld Pandu, Bandung. Karya-karyanya pun masih bisa dinikmati hingga sekarang dan menjadi ikon kota Bandung.

Karya C.P.Wolff Schoemaker di Kota Bandung :Gedung Sabau, Jl. Kalimantan (1918)KOLOGDAM (Jaarbeurs de Bandung), Jl. Aceh (1920)Gedung Merdeka (Concordia), Jl. Asia Afrika (1921)Landmark (Van Dorp), Jl. Braga (1922)Gereja St. Petrus, Jl. Merdeka (1922)Gereja Bethel, Jl. Wastukencana (1925)Observatorium Bosscha, Jl. Peneropongan Bintang Lembang (1925)Hotel Preanger, Jl. Asia Afrika (1929)Rektorat UPI (Villa Isola), Jl. Dr. Setiabudhi (1932)Mesjid Cipaganti, Jl. Cipaganti (1933)Villa Merah, Jl. Tamansari (1933)Gedung PLN, Jl. Asia Afrika (1934)Penjara Sukamiskin, Jl. Sukamiskin (1935)

Semua gedung karya Wolff Schoemaker telah tercatat sebagai warisan cagar budaya di Bandung saat ini. Peruntukannya memang telah beralih fungsi namun keindahan dan jiwa karya yang ingin ditampilkan sang perancang flamboyan itu tetap melekat erat bersama tumbuhnya Bandung sebagai kota metropolitan. Saat ini gedung-gedung tersebut selain menjadi tempat tujuan wisata sejarah dan juga menarik minat fotografer untuk menjadikannya latar foto pernikahan atau pemotretan model. Wolff Schoemaker adalah salah satu tokoh penting dalam peradaban Kota Bandung, namun saying banyak orang yang tidak tahu mengenai sosok beliau.

ANDUNG, itb.ac.id- Selama puluhan tahun, C.P. Wolff Schoemaker telah meraih nama besar dalam pembangunan kota Bandung. Arsitek Belanda dan guru besar arsitektur Technische Hogeschool Bandoeng (sekarang ITB-red) ini memiliki peran besar dalam perancangan masterplan kota Bandung kuno. Sejumlah bangunan tercatat sebagai karyanya, diantaranya Villa Isola, Gedung Merdeka dan Villa Merah ITB. Napak tilas karya-karya Schoemaker di Bandung disajikan oleh Kumiko HOMMA, mahasiswi program magister Arsitektur dari Jepang, bekerjasama dengan sejumlah mahasiswa arsitektur ITB dalam seminar Jejak Karya C.P. Wolff Schoemaker di Bandung.

Mungkin hanya sedikit orang awam yang mengenal nama Ir.Charles Prosper Wolff Schoemaker. Pria kelahiran Banyubiru, 1882 ini memulai karir di militer sebagai insinyur. Schoemaker kemudian bergabung dengan Algemeen Ingenieur Architectenbureau, dan bekerja di Bandung. Karyanya antara lain bangunan-bangunan yang menjadi ikon kota Bandung, seperti Gedung Asia Afrika, Villa Isola, Aula Barat - Timur ITB, Gedung PLN, Gereja Kathedral di Jln. Merdeka, Gereja Bethel di Jln. Wastukencana, Masjid Cipaganti, Bioskop Majestic, Villa Merah, dan Hotel Preanger. Tahun 1922, Schoemaker diangkat sebagai profesor Technische Hogeschool Bandoeng (disingkat TH, sekarang menjadi ITB-red) dengan salah satu mahasiswanya yaitu Ir. Soekarno. Selama hidupnya, beliau banyak melakukan penelitian ilmiah terhadap karya-karya arsitektur vernakular di Jawa. Beliau juga pernah menimba ilmu arsitektur di Amerika Serikat dari Frank Lyoid Wright, salah satu arsitek ternama di dunia. Schoemaker meninggal pada 1949 dan dimakamkan di Ereveld Pandu, Bandung.

Dalam rancangannya, Schoemaker berupaya memadukan unsur budaya timur dan barat dalam desainnya. Budaya timur sangat terlihat dari bentuk atap yang dominan seperti rumah-rumah tradisional Indonesia dengan kemiringan yang tinggi, serta material pada atap (sirap) dan dinding (batu bata), pada bangunan villa mrah di Jl. Tamansari. Bangunan ini sekarang digunakan sebagai kantor Satuan Kekayaan dan Dana serta Ikatan Alumni ITB.

Villa Isola dirancang Schoemaker memiliki orientasi pada Gunung Tangkuban Perahu. Schoemaker menerapkan filsafatlandscapetradisional Jawa, yaitu bangunan dan lingkungan memiliki orientasi kosmis ke arah sesuatu yang dianggap sakral. Gunung tersebut merupakan elemen sakral dalam kepercayaan masyarakat Sunda. Elemen-elemen kepercayaan seperti inilah yang coba diadaptasi Schoemaker ke dalam desainnya. Konsep tradisional lain yaitu ornamen Batara Kala pada fasade bangunan Landmark di Jalan Braga. Sementara deretan pertokoan bergayaart decoyang menjadilandmarkjalan Braga merupakan daya tarik bagiParijs van Java.

Kumiko HOMMA, mahasiswi program magister berkebangsaan Jepang, menampilkan hasil penelitiannya mengenai karya-karya Schoemaker. Penelitian tersebut turut dibantu oleh Dr. Eng. Bambang Setia Budi, ST.MT., dosen sejarah arsitektur program studi arsitektur ITB. Dalam seminar yang diselenggarakan di galeri Labtek IXB, Jumat (11/09/09), Kumiko menampilkan hasil analisisnya pada berbagai karya Schoemaker di Bandung. Schoemaker memiliki karakteristikart deco, streamline, inconsistent, dan concoct.

Selain pembahasan karya Schoemaker, dibahas pula mengenai pembentukan arsitektur satu arah (lisensia arsitektura) yang disampaikan oleh Yuswadi Saliya, pendiri Ikatan Arsitektur Indonesia. Yuswandi mengungkapkan beberapa faktor yang menjadi latar belakang, diantaranya interaksi antara arsitektur dengan habitat dan komunitasnya. Yuswandi juga mengatakan bahwa bidang preservasi karya arsitektural saat ini menghadapi kamar mati. Maksudnya, setiap elemen arsitektur hanya dilihat seperti apa yang terlihat. Padahal, elemen-elemen tersebut sebenarnya memiliki banyak potensi. Bangunan tua hanya dilihat seperti bangunan yang telah tua dan perlu diperbaiki; padahal bangunan tersebut memiliki potensi dimanfaatkan untuk berbagai fungsi dan pariwisata. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Bandung yang kaya dengan bangunan-bangunan arsitektur kolonial tidak terkenal karena bangunannya; tetapi justru karena FO dan pusat perbelanjaan yang menjamur.

Seminar dan diskusi ini membuat para pesertanya lebih mengenal siapa sosok Schoemaker dan karya-karyanya yang menghiasi Bandung. Diharapkan kedepannya, karya-karya Schoemaker dapat terus terjaga; tidak hanya menjadi bagian dari nostalgia kota Bandung atau objek pembelajaran arsitektur, namun juga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.