Upload
anggi-calapi
View
215
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
case
Citation preview
1.1 Laporan Kasus
1.1.1 Identitas
Nomor RM : 099097
Nama : Ny. T
Jenis Kelamin : Wanita
Usia : 38 tahun
Alamat : Komp. Vila Melati no. 31, Jatiwaringin, Bekasi
Agama : Islam
Status Marital : Menikah
Pekerjaan : PNS AL
Tanggal MRS : 24 Agustus 2014
Ruang Perawatan : P. Sibatik
Tanggal Pemeriksaan : 25 Agustus 2014
1.1.2 Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama :
Nyeri Perut kanan atas sejak pagi hari sebelum masuk Rumah Sakit.
RPS :
OS mengeluhkan nyeri perut kanan atas hilang timbul sejak 1 tahun yang
lalu. Sejak 3 bulan yang lalu, nyeri dirasakan semakin berat dan sering timbul.
Nyeri dirasakan menetap pagi sebelum OS masuk UGD pukul 23.00. Nyeri
dirasakan menjalar ke punggung kanan. Nyeri dirasakan timbul setelah
makan. Nyeri tidak dipengaruhi perubahan posisi pasien.
OS juga mengeluhkan warna Feces berubah menjadi keputihan seperti
dempul dengan frekuensi, konsistensi normal, tidak disertai darah ataupun
lendir. OS juga mengeluhkan warna urine yang menjadi kecokelatan seperti
teh. Tetapi nyeri saat berkemih disangkal dan frekuensi serta volume urine
dirasakan normal. Urine dikatakan tidak mengandung pasir atau darah.
OS juga mengeluhkan mual, tetap riwayat muntah disangkal. Pasien
menyangkal adanya demam. OS juga mengeluhkan adanya pusing.
RPD :
o OS mengaku pernah dirawat di RS dengan keluhan yang sama 3 Bulan
yang lalu, OS didiagnosis terkena Cholelithiasis tetapi OS menolak
tindakan operasi pengangkatan kandung empedu.
o Hipertensi (-)
o Jantung (-)
o Diabetes Melitus (-)
RPK :
o Riwayat batu empedu (-)
Riwayat Kebiasaan:
o Makan makanan berlemak, santan dan sedikit minum air putih
1.1.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
o Kesadaran : Compos Mentis
o Kesan sakit : sakit sedang
o Kesan gizi : berlebih
Tanda Vital
o TD : 120/100 mmHg
o Nadi : 76x/menit
o RR : 20x/menit
o Suhu : 36,5˚C
Status Generalis
o Kepala : Normocephali
o Mata :
Conjungtiva subanemis +/+, Sklera ikterik +/+, pupil isokor,
Reflex cahaya langsung +/+
o Telinga : Normotia
o Hidung : tidak ada devormitas, deviasi septum (-), discharge
(-)
o Mulut : OH baik, Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
o Thoraks :
Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan napas simetris,
pernapasan thorakoabdominal
Auskultasi : vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-, BJ
I&II regular, gallop (-), murmur (-)
o Ekstremitas atas : simetris, proporsional, deformitas (-),
oedem (-)
o Ekstremitas bawah : simetris, proporsional, deformitas (-),
oedem (-)
o Status Lokalis (Abdomen)
Inspeksi : Buncit, ikterik (-), efloresensi bermakna (-)
Auskultasi : BU 5x/menit, venous hump (-), Arterial
Bruit (-)
Perkusi : Timpani 4 kuadran, shifting dullness (-)
Palpasi : supel, Nyeri tekan kuadran kanan atas (+)
dan epigastrium (+), Hepar dan Lien sulit dinilai, Murphy
sign (+), Boas sign (+), Ballotement ginjal sulit dinilai.
1.1.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
12 Agustus 2015
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 8.000 /µL 5000-10000
Eritrosit 4,65 Juta/µL 4.2-5.4
Hb 13,7 g/dl 12-14
Ht 42 % 37-42
Trombosit 261.000 Ribu/µL 150000-450000
Hemostasis
Bleeding time 3 Menit 1-3
Clothing time 12 Menit 5-15
Kimia Klinik
GDP 86 mg/dl 70-110
GD 2 Jam PP 124 mg/dl <140
Bilirubin Total 2.36 mg/dl 0.1-1.2
Bilirubin Direk 0.98 mg/dl <0.5
Bilirubin Indirek 1.38 mg/dl <0.7
SGPT 227 U/l <34
Albumin 4.8 g/dl 3.5-5.2
Globulin 3.8 g/dl 2.6-3.4
Kreatinin 0.8 g/dl 0.6-1.1
Na 142 mmol/L 134-146
K 3.49 mmol/L 3.4-4.5
Cl 104 mmol/L 96-108
24 Agustus 2015
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit 11.300 /µL 5000-10000
Eritrosit 4.52 juta/µL 4.2-5.4
Hb 13.1 g/dL 15.2-17.5
Trombosit 250.000 ribu/ µL 150.000-450.000
Kimia Klinik
Amilase 32.0 U/l 30-90
Lipase 26.0 U/l 6-55
Glukosa Test 112 mg/dl
25 Agustus 2015
Kimia Klinik
Bilirubin Total 2.45 mg/dl 0.1-1.2
Bilirubin Direk 0.98 mg/dl <0.5
Bilirubin Indirek 1.47 mg/dl <0.7
SGOT 185 U/l <31
SGPT 174 U/l <34
2. USG Abdomen 4 Agustus 2015
Interpretasi:
Tampak penebalan tidak merata pada dinding kandung empedu
Tambak gambaran batu empedu (bayangan akusitas) pada kandung empedu
Tampak gambaran hiperekoik pada liver
Kesaan Cholelithiasis & Fatty Liver
3. MRCP 27 Agustus 2015
Dilakukan MRCP dengan potongan axial, coronal dan sagittal T1W &T2W
Interpretasi:
Tampak baru dengan diameter 35,6 mm pada gall blader
Dinding gallbladder tampak regular
Tampak multiple batu (kecil-kecil) yang mengumpul di dalam CBD dengan diameter
26,2 mm
Tampak CBD melebar dengan diaeter 10,2 mm
Tampak duktus cysticus sedikit melebar dengan multiple batu (kecil-kecil) tidak terukur
Ductus hepatis communis tampak melebar, ductus hepatis dextra dan sinistra tampak
sedikit melebar
Kesan:
Cholelithiasis
Batu CBD
Pelebaran ductus intrahepatik dan ekstrahepatik
1.1.5 Diagnosis Klinis
Cholelithiasis
1.1.6 Penatalaksanaan
Operasi:
Rencana Cholesistektomi dan Eksplorasi CBD
Rawat jalan:
Inj. Omeprazol 1 amp 2x1 Intravena
Inj. Buscopan 1 amp 3x1 Intravena
Inj. Ranitidin 1 amp 2x1 Intravena
Pronalges sup 3x1
Profenid sup 3x1
1.1.7 Follow Up
25 Agustus 2015
o S : Nyeri ulu hati dan perut kanan atas,
menjalar ke punggung kanan terasa linu, mual + muntah – demam –, Urine
kecoklatan, feces seperti dempul
o O : TD: 130/90, N: 76x, RR: 20x, S: 36,9
Sklera ikteri +/+, konjungtiva subanemis +/+, BJ I&II regular, Vesikuler
+/+, BU: 5x/mnt,
Abdomen: buncit supel NT + kuadran kanan atas, Murphy sign +, Boas
sign +
o A : Cholelithiasis
o P : Inj. Omeprazol 1 amp 2x1 Intravena, Inj. Buscopan 1 amp 3x1 Intravena,
Pronalges sup 3x1
26 Agustus 2015
o S : Tidak ada keluhan, nyeri perut -, demam -, urine kuning jernih
o O : TD: 110/80, N:60x, RR:12x, Suhu: 36,7
Sklera ikterik +/+, konjungtiva anemis +/+
BJ I&II regular, vesikuler +/+
Abdomen: buncit, supel, NT + kuadran kanan atas, Murphy sign +, Boas
sign –, BU 4x
o A : Cholelithiasis
o P : Pronalges sup, Pro MRCP
27 Agustus 2015
o S : Mual +, muntah -, urine sudah kuning jernih, feces normal (kekuningan),
demam -, puasa sejak pukul 20.00
o O : TD: 110/80, N:84x, RR:20x, Suhu: 36,2
Sklera ikterik +/+, konjungtiva anemis +/+
BJ I&II regular, vesikuler +/+
Abdomen: buncit, supel, NT + kuadran kanan atas, Murphy sign +, Boas
sign –, BU 2x
o A : Cholelithiasis
o P : Inj. Ranitidin 1 amp 2x1, Profenid supp, MRCP
1.1.8 Prognosis
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Fungsionam : Ad Malam
Ad sanationam : Dubia Ad Malam
1.1.9 Ringkasan
Pasien wanita usia 38 tahun dating dengan keluhan nyeri perut atas sejak pagi SMRS.
Nyeri dirasakan hilang timbul sejak 1 tahun lalu, nyeri bertambah hebat dan sering sejak 3 bulan
terakhir dan nyeri dirasakan menetap pagi SMRS. OS mengeluhkan nyeri menjalan ke punggung
kanan. OS mengeluhkan mual, menyangkal muntah dan demam. OS mengeluhkan perubahan
warna urine menjadi kecokelatan dan feces menjadi keabuan, dengan frekuensi dan konsistensi
yang normal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan kuadran kanan atas, Murphy sign + dan
Boas sign +, sclera tampak ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan bilirubin total,
direk dan indirek meningkat, dengan SGOT dan SGPT yang meningkat pula. Dari pemeriksaan
radio logi berupa USG dan MRCP didapatkan kesan Cholelithiasis.
OS direncanakan mendapatkan operasi Cholesistiktomi dan eksplorasi CBD.
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Pengertian Kolelitiasis
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu,
terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.
Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas, dan
usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di
sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang vena kava.15 Kuadran
kanan atas abdomen didominasi oleh hati serta saluran empedu dan kandung empedu.
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati.
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan
dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga
yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran
balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa
mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka
bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa
menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.
Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu, sehingga
menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu empedu. Infeksi dapat
disebabkan kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa merambat ke saluran empedu sampai
ke kantong empedu.3,4 Penyebab paling utama adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa
terasa menyebabkan peradangan pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan yang berada
di kantong empedu mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid atau
tifus. Kuman tifus apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan lokal
yang tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih sering
timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu.
2.2. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu
2.2.1. Anatomi
Kandung empedu berbentuk seperti buah pir, dengan panjang 7-10 cm dan kapasitas 30-
50ml. saat terjadi obstruksi kandung empedu bisa menampung sampai 300 ml cairan empedu.
Kadung empedu berada pada fosa kandung empedu di bawah liver. Dimana garis fosa tersebut
membagi liver menjadi lobus dextra dan sinistra bersama vena cava inferior.
Kandung empedu terdiri dari bagian fundus, corpus, infundibulum dan bagian leher.
Fundus berbentuk bulat berada 1-2 cm dibawah liver. Bagian ini, terdiri dari lebih banyak serat
otot polos disbanding bagian lain, lebih banyak dari bagian corpusnya yang terdiri dari jaringan
elastis sebagai penampung cairan empedu. Corpus terbentang dari bagian fundus dan mengecil di
bagian leher yang terhubung dengan duktus sistikus. Bagian leher megikuti lekukan yang halus
dan memiliki konveksitas yang melebar untuk membentuk infundibulum. Dimana terdapat pada
bagian terdalam fosa kandung empedu.
Kadung empedu ditutupi lapisan peritoneum yang sama seperti yang menutupi liver.
Kandung empedu dibentuk sel epitel kolumnar yang mengandung kolesterol dan globulus lemak.
Mucus yang dikeluarkan berasal dari mukosa infundibulum dan bagian leher. Serat otot pada
kandung empedu terdiri dari serat otot sirkuler, longitudinal dan oblik. Lapisan serosa terdiri dari
jaringan ikat, serabut saraf, jaringan limfatik dan jaringan adipose. Semua bagian kandung
empedu tertutup lapisan serosa kecuali bagian yang menempel pada liver.
Arteri yang memperdarahi kandung empedu adalah arteri sistika yang merupakan cabang
dari arteri heparitika dextra. Arteri ini berjalan pada segitiga hepatocystic, area yang dibentuk
oleh duktus sistikus, duktus hepatikus komunis dan margin dari liver (segitiga Callot). Pada
bagian leher arteri sistika bercabang kebagian anterior dan posterior kandung empedu. Sistem
venanya masuk langsung ke liver. Pada beberapa orang vena sistikus yang besar mengalirkan
daraah ke vena porta.
Jaringan limfatik lebih banyak berada di bagian leher. Terkadang nodulus limfatikus
terlihat pada insersi arteri sistika. Serat sarafnya berasal dari n. vagus dan untuk saraf
simpatisnya bersasal dari plexus celiacus yang berasal dari setingkat T8 dan T9.
Duktus biliaris ekstra hepatis terdiri dari duktus hepatikus dextra dan sinistra, yang
bersatu menjadi duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, duktus koleodukus (CBD) yang
masuk melewati lapisan otot duodenum dan membentuk spingter Oddi. Duktus hepatikus sinistra
lebih panjang dari duktus hepatikus dextra sehingga kemungkinan obstruksi lebis besar terjadi.
Panjang duktus inni 1-4 cm dengan diameter 4mm. berjalan didepan vena porta dan disebelah
kanan arteri hepatica dextra. Panjang dan bentuk duktus sistikus bervariasi. Dimana pada
kebanyakan orang panjang duktus koleodukus (CBD) adalah 7-10 cm dengan diameter 5-10 mm.
duktus ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu 1/3 atas (bagian supraduodenal), 1/3 tengah
(retroduodenal), 1/3 bawah (bagian pancreas). Duktus koleodukus bersatu dengan duktus
pankreatikus menjadi ampula vateri. Pada 70% manusia kedua duktus ini bersatu diluar
duodenum.
Spingter Oddi diselimuti otot sirkuler yang tebal. Duktus billier terbentuk dari mukosa
kolumnar dan glandula mucus yang diselimuti sel otot polos jaringan fibroareolar.
Perdarahannya berasal dari arteri gastroduodenal dan hepatica dextra. Serat saraf banyak
ditemukan pada bagian spingter Oddi dengan sumber yang sama dengan kandung empedu.
2.2.2. Fisiologi
Fungsi kandung empedu, yaitu:
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit
yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal
dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan
dibuang ke dalam empedu.
Fisiologi
Komposisi dan pembentukan empedu
Hepatosit pada liver secara terus menerus mengeksresikan empedu ke kanalikuli biliaris. Normalnya diproduksi sebanyak 500-1000ml per hari. Sekresinya merupakan respon dari stimulus neurogenic, humoral dan kimia. Stimulus vagal meningkatkan produksi empedu, sedangkan stimulasi saraf splanik menurunkan aliran dari empedu. Asam hidroklorik, protein dan lemak yang dicerna di duodenum menyebabkan sekresi sekretin yang meningkatkan produksi dan aliran empedu.
Komposisi dari empedu adalah air, elektrolit, garam empedu, lemak, protein dan pigmen empedu. Konsentrasi elektrolit berupa Na, K, Cl dan Ca pada empedu sama dengan konsentrasi pada darah. pH dari cairan empedu adalah netral cenderung alkalis. Garam empedu pada cairan empedu adalah Cholate dan Chenodeoxycholate yang disintesis dari kolesterol yang dikonjugasikan dengan glisin dan taurin dan diseibangkan dengan Na. garam empedu disekresi oleh hepatosit untuk mencerna lemak dan menyerap lemak. Delapan puluh persen faram empedu diserap kembali pada ileum terminal. Sedangkan sisanya didekonjugasi oleh flora usus menjadi deoxycholate serta lithocholate dan diserap di kolon. Sembilan puluh lima persen empedu ditranspor ke hepar melalui vena porta (sirkulasi enterohepatik), dan sisanya dibuang ke feces.
Lemak pada cairan empedu sebagian besar adalah kolesteron dan phospolid. Warna dari cairan empedu berasal dari bilirubin yang merupakan hasil metabolism Hb. Konsentrasi dari bilirubin pada cairan empedu 1000 kali lebih banyak dari pada di plasma. Di intestim bilirubin diubah menjadi urobilin oleh bakteri usus.
Fungsi kandung empedu
Kandung empedu, duktus biliaris dan spingter Oddi bekerja bersama dalam penyaluran cairan empedu. Sedangkan fungsi utama dari kandung empedu adalah mengkonsentrasikan, menyimpan dan mengeluarkan cairan empedu ke duodenum sebagai respon dari makanan.
Absorbsi dan sekresi
Dalam keadaan puasa 80% empedu disekresikan dan disimpan di kandung empedu. Fungsi penyimpanan ini bisa terjadi karena kemampuan absosrbsi yang besar dari mukosa kandung empedu. Muka dapat menyerp elektrolit dan air sehingga konsentrasi garam empedu meningkat 10 kali lipat. Menkanisme ini menyebabkan menurunan tekanan intraluminal bersamaan dengan pengeluaran dan pengosongan bertahap dari kandung empedu.
Epitel dari kandung empedu mensekresikan 2 komponen penting yaitu glikoprotein dan ion H, yang lebih banyak disekresi oleh bagian leher dan infundibulum dari kandung empedu. Sekresi mukus glikoprotein memiliki fungsi proteksi terhadap reaksi litik dari cairan empedu. Sedangkan transport ion H menyebabkan adanya peningkatan kelarutan Ca dan menurunkan kemungkinan terbentuknya garam kalsium.
Akivitas motorik. Pengisian kandung empedu difasilitasi kontraksi tonik dari spingter Oddi. Yang menyebabkan adanya perbedaan tekanan antara kandung empedu dengan duktus biliaris. Pada keadaan puasa aktivitas motorik dari pegosongan cairan empedu difasilitasi oleh adanya migrasi myoelektrik motoric dari fase II proses pencernaan dan hormone motilin. Sedangkan pada saat makan pengosongan kandung empedu dan relaksasi spingter difasilitasi oleh hormone Cholecystokinin (CCK) yang diskresikan oleh duodenum sebagai respon dari adanya makanan. Stimulasi makanan menyebabkan ternjadinya pengosongan kandung empedu sebanyak 50-70% dalam 30-40 menit. Sedangkan pengisian kembali terjadi dalam 60-90 menit karena ada penurunan kadar CCK. Aktivitas ini dapat menurun sehubungan dengan adanya nukleasi kolesterol dan pembentukan batu.
Regulasi neurohormonal. Stimulasi vagus meningkatkan kontraksi kandung empedu. Sedankan stimulasi saraf splanik menurunkan aktivitas motoriknya, sehingga penggunaan obat parasimpatomimetik menyebabkan adanya kontraksi kandung empedu dan penggunaan atropine menyebabkan relaksasi. Distensi dari antrum gaster menyebabkana adanya peningkatan aktivitas kandung empedu dan relaksasi spingter Oddi.
Reseptor hormonal pada kandung empedu terdapat pada otot polos, serabut saraf dan epitelnya. CCK merupakan peptide yang dihasilkan oleh organ SCBA. Waktu paruh dari CCK adalah 2-3 menit. Stimulasi CCK juga dimediasi stimulasi saraf vagus sehingga ornag yang mendapatkan vagostomi memiliki respin terhadap CCK yang lebih rendah. Polipeptida yang dikeluarkan intestine menyebabkan inhibisi kontraksi kandung empedu dan relaksasi spingter. Contohnya adalah somatostatin, sehingga orang yang mendapat pengobatan dengan analog somatostatin cenderung memiliki penyakit batu empedu.
Spingter Oddi. Spingter ini mengatur aliran dari cairan empedu dan getah pancreas ke duodenum, mencegah regurgitasi dari duodenum dan meningkatkan tekanan balik ke kandung empedu. Panjangnya berkisar 4-6 mm dan tekanan basalnya adalah 13 mmHg. Tekanan tersebut bisa meningkat hingga 140 mmHg yang menyebabkan peredaan tekana dari duktus biliaris dan duodenum sehingga bisa menyebabkan aliran balik cairan empedu ke kandung empedu.
2.3. Gambaran Klinis
Setengah sampai dua per tiga penderita batu kandung empedu adalah asimtomatik. Keluhan
yang ada mungkin berupa dispepsia yang kadang di sertai intolerans terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatik, keluhan utama adalah nyeri di daerah epigastrium, kuadran atas kanan atau
prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah koloikbilier yang mungkin memanjang lebih dari 15 menit,
dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbul awal nyeri kebanyakan perlahan-
lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian
tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri menghilang setelah makan antasida. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh
ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik nafas, yang merupakan tanda rangsang
peritoneum setempat (Sjamsuhidajat, 2002).
Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu tidak masuk ke dalam
duktus sistikus atau duktus koledokus. Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung duktus sistikus
barulah dapat menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu kecil, ada kemungkinan batu
dengan mudah dapat melewati duktus koledokus dan masuk ke duodenum.
Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun. Gejalanya
mencolok: nyeri saluran empedu cenderung hebat, baik menetap maupun seperti kolik bilier
(nyeri kolik yang berat pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu,
sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris
dimulai, serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi dan intensitasnya. Gejala yang lain
seperti demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung, dan
lain-lain.
Batu empedu biasanya menimbulkan gejala-gejala sebagai akibat dari inflamasi atau
obstruksi karena migrasi ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Gejala yang paling
spesifik dan karakteristik adalah kolik bilier. Nyeri viseral ini bersifat nyeri yang hebat, menetap
atau berupa tekanan di epigastrium atau di abdomen kuadran kanan atas yang sering menjalar ke
daerah inter-skapular, skapula kanan atau bahu. Kolik bilier dimulai tiba-tiba dan menetap
dengan intensitas berat selama 1-4 jam dan menghilang pelahan-lahan atau dengan cepat.
Episode kolik ini sering disertai dengan mual dan muntah-muntah dan pada sebagian pasien
diikuti dengan ke naikan bilirubin serum bilamana batu migrasi ke duktus koledokus. Adanya
demam atau menggigil yang menyertai kolik bilier biasanya menunjukkan komplikasi seperti
kolesistitis, kolangitis atau pankreatitis. Kolik bilier dapat dicetuskan sesudah makan banyak
yang berlemak.
Pemeriksaan laboratorium dan Ultrasonografi atau CT Scan abdomen menunjukkan
bahwa bilamana kolik hanya disebabkan oleh batu kandung empedu yang tersangkut di duktus
sistikus tanpa proses peradangan di kandung empedu (tanpa kolesistitis akut) dan tanpa adanya
batu empedu di duktus koledokus maka tidak akan didapatkan kelainan laboratorium yakni
lekositosis (-), gangguan fungsi hati (-). Bilamana sudah terdapat kolesistitis akut akan
ditemukan lekositosis serta pasien demam. Pada ultrasonografi (USG) atau CT Scan abdomen
didapatkan batu di dalam kandung empedu dan tandatanda radang akut dari kandung empedu
berupa dinding yang menebal dan udematus. Bilamana kolik disebabkan oleh batu yang migrasi
ke duktus koledokus dan belum terdapat komplikasi infeksi di saluran empedu maka
laboratorium akan menunjukkan gangguan fungsi hati berupa gama glutamil transferase (GGT)
atau fosfatase alkali yang meninggi, transaminase serum; bilirubin total juga meningkat. Pada
sebagian kecil pasien bilirubin total masih mungkin dalam batas normal atau sedikit meninggi.
Ultrasonografi/CT Scan abdomen akan menemukan pelebaran saluran empedu dan kadang-
kadang tampak batu di dalamnya. Bilamana telah didapatkan kolangitis maka akan ditemukan
lekositosis serta gambaran seperti di atas. Bilamana terdapat pankreatitis bilier, amilase/lipase
serum akan meningkat sekali, di samping adanya lekositosis dan gangguan fungsi hati.
2.4. Komplikasi
2.4.1. Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat
oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.
2.4.2. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar
melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah
batu empedu.
2.4.3. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung empedu.
Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops
biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada
kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
2.4.4. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat membahayakan jiwa
dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
2.5. Keluhan Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Lokasi Batu Empedu
Istilah kolelitiasis menunjukkan penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu, saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Terbentuknya batu empedu tidak
selalu memunculkan gejala pada penderitanya. Gejala yang dirasakan pada penderita batu
empedu tergantung dari lokasi tempat batu empedu berada. Batu empedu dapat masuk ke dalam
usus halus ataupun ke usus besar lalu terbuang melalui saluran cerna sehingga tidak
memunculkan keluhan apapun pada penderitanya.
Jika tidak ditemukan gejala dalam kandung empedu, maka tidak perlu dilakukan
pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak. Namun, jika batu kandung empedu menyebabkan serangan
nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
pemeriksaan lanjut. Batu empedu yang berada dalam kandung empedu bisa bertambah besar dan
berisiko menyumbat saluran empedu serta dapat menimbulkan komplikasi (kolesistisis, hidrops,
dan empiema). Kandung empedu dapat mengalami infeksi. Akibat infeksi, kandung empedu
dapat membusuk dan infeksi membentuk nanah. Bilamana timbul gejala, biasanya karena batu
tersebut bermigrasi ke saluran empedu. Batu empedu berukuran kecil lebih berbahaya daripada
yang besar. Batu kecil berpeluang berpindah tempat atau berkelana ke tempat lain.
Nyeri yang muncul akibat penyumbatan pada saluran empedu memiliki sensasi yang
hampir sama dengan nyeri yang muncul akibat penyumbatan pada bagian kandung empedu.
Apabila batu empedu menyumbat di dalam saluran empedu utama, maka akan muncul kembali
sensasi nyeri yang bersifat hilang-timbul. Lokasi nyeri yang terjadi biasanya berbeda-beda pada
setiap penderita, tetapi posisi nyeri paling banyak yang dirasakan adalah pada perut atas sebelah
kanan dan dapat menjalar ke tulang punggung atau bahu. Penderita seringkali merasakan mual
dan muntah. Peradangan pada saluran empedu atau yang disebut dengan kolangitis dapat terjadi
karena saluran empedu tersumbat oleh batu empedu. Jika terjadi infeksi bersamaan dengan
penyumbatan saluran, maka akan timbul demam.
2.6. Tipe Batu Empedu
Ada 3 tipe batu Empedu, yaitu:
2.6.1. Batu Empedu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium
karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan
bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa soliter
atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti
buah murbei. Batu Kolesterol terjadi kerena konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu
tinggi. Ini akibat dari kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong
empedu tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Penyebab lain adalah
pengosongan cairan empedu di dalam kantong empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-sisa
cairan empedu di dalam kantong setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi
pengendapan.
2.6.2. Batu Empedu Pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu pigmen,
tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat berjumlah
banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan berbentuk seperti
lumpur atau tanah yang rapuh. Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di saluran
empedu (yang sukar larut dalam air), pengendapan garam bilirubin kalsium dan akibat penyakit
infeksi.
2.6.3. Batu Empedu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan terdiri atas kolesterol,
pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium. Biasanya berganda dan sedikit mengandung
kalsium sehingga bersifat radioopaque.
2.7. Patogenesis
Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan kelebihan
kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam empedu. Hati
berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang disintesis dalam hati
diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian disekresikan kembali ke dalam
empedu; sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh.
Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui agregasi garam empedu
dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi kolesterol
melebihi kapasitas solubilisasi empedu (supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada
dalam keadaan terdispersi sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal kolesterol monohidrat
yang padat.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah penyelidikan
menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan
kolesterol.2 Batu empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori dan pemasukan lemak.
Konsumsi lemak yang berlebihan akan menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-
sel hati dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini
mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya.
Patogenesis batu berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi di saluran
empedu (yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin kalsium. Bilirubin adalah
suatu produk penguraian sel darah merah.
2.8. Epidemiologi
2.8.1. Distribusi dan Frekuensi Kolelitiasis Berdasarkan Orang
Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi orang
dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%
hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%). Batu empedu menimbulkan masalah
kesehatan yang cukup besar, seperti ditunjukkan oleh statistik AS ini:
a. Lebih dari 20 juta pasien diperkirakan mengidap batu empedu, yang total beratnya
beberapa ton.
b. Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua
pertiganya menjalani pembedahan
Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Menurut Ganesh et al dalam
pengamatannya dari tahun januari 1999 sampai desember 2003 di Kanchi kamakoti Child trust
hospital, mendapatkan dari 13.675 anak yang mendapatkan pemeriksaan USG, 43 (0,3%)
terdeteksi memiliki batu kandung empedu. Semua ukuran batu sekitar kurang dari 5 mm, dan
56% batu merupakan batu soliter. Empat puluh satu anak (95,3%) dengan gejala asimptomatik
dan hanya 2 anak dengan gejala (Gustawan, 2007).
2.8.2. Distribusi dan frekuensi kolelitiasis berdasarkan tempat
Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus
tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak jarang.
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang
yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung
empedu ditemukan pada 20% wanita dan 8% pria. Pada pemeriksaan autopsy di Chicago,
ditemukan 6,3% yang menderita kolelitiasis.36 Sekitar 20% dari penduduk negeri Belanda
mengidap penyakit batu empedu yang bergejala atau yang tidak. Persentase penduduk yang
mengidap penyakit batu empedu pada penduduk Negro Masai ialah 15-50 %. Pada orang-orang
Indian Pima di Amerika Utara, frekuensi batu empedu adalah 80%.
Di Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi
penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak
mempunyai keluhan.
2.8.3. Faktor risiko
Faktor risiko untuk kolelitiasis, yaitu:
a. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
degan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu
empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan:
a.1. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
a.2. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya usia.
a.3. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita
batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya
selalu pada wanita.
c. Berat badan (BMI).
Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25 -
30% pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria
dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami obesitas. Seseorang yang memiliki
berat badan 20% lebih tinggi dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap
mengalami obesitas. Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok:
1. Obesitas ringan : kelebihan beratnbadan 20-40%
2. Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%
3. Obesitas berat : kelebihan berat badan >100% (Obesitas berat ditemukan sebanyak 5%
dari antara orang-orang yang gemuk).
Seseorang yang lemaknya banyak tertimbun di perut mungkin akan lebih mudah
mengalami berbagai masalah kesehatan yang berhubungan dengan obesitas. Mereka memiliki
risiko yang
lebih tinggi. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya sejumlah penyakit menahun salah satunya
adalah penyakit batu kandung empedu. Mereka lebih bayak mencerna dan mensintesis kolesterol
sehingga mengeluarkan lebih banyak
kolesterol ke dalam empedu.Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai
resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta
mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
d. Makanan.
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk menderita
kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat
dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap dan lama
kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu. Pola makan yang rendah serat tapi tinggi lemak serta kolesterol
dapat
mengakibatkan beberapa penyakit, salah satunya adalah penyakit batu kandung empedu. Dengan
pola diet yang rendah serat ini menambah resiko terjadinya penyakit batu kandung empedu
(PAPD,1996).
e. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
f. Kehamilan/Kesuburan
Pada saat proses kehamilan terjadi penggabungan pengaruh hormon progesteron dan
esterogen. Akibat penggabungan ini meningkatkan hipersekresi kolesterol yang mengakibatkan
kolesterol di dalam empedu mengalami proses (predis proses) untuk pembentukan batu empedu.
Bukan hanya pada masa kehamilan tetapi pada saat terapi sulih hormon atau penggunaan pil KB
juga memudahkan terbentuknya batu.
g. Sindrom metabolik
Sindrom metabolik adalah kombinasi dari gangguan medis yang meningkatkan resiko
suatu penyakit salah satunya adalah penyakit diabetes. Pada penderita yang mengalami masalah
sindrom penyakit diabetes pada umumnya memiliki kadar asam lemak atau trigliserida yang
tinggi, sehingga resiko menderita penyakit batu kandung empedu semakin besar.
h. Faktor Genetik
Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu ini dibuktikan oleh
prevalensi batu empedu yang tersebar luas diantara berbagai bangsa dan kelompok etnik tertentu.
Dan
penyakit batu kandung empedu ini seringkali merupakan penyakit keturunan dalam keluarga dan
berhubungan dengan pola hidup keluarga tersebut.
2.9. Pencegahan Kolelitiasis
2.9.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada orang sehat yang
memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan primer yang dilakukan terhadap individu
yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan makanan untuk
mencegah infeksi, misalnya
S.Thyposa, menurunkan kadar kolesterol dengan mengurangi asupan lemak jenuh,
meningkatkan asupan sayuran, buah-buahan, dan serat makanan lain yang akan mengikat
sebagian kecil empedu di usus sehingga menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di kandung
empedu , minum sekitar 8 gelas air setiap hari untuk menjaga kadar air yang tepat dari cairan
empedu.
2.9.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap penderita
kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kolelitiasis agar
dapat dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat. Pencegahan sekunder dapat dilakukan
dengan non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan
ESWL. Penanggulangan dengan bedah disebut kolesistektomi.
a. Penanggulangan non bedah
a.1. Disolusi Medis
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu
kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan
duktus sistik paten.
a.2. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik dengan
melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun 1974 hingga
sekarang sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu
di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon ekstraksi melalui muara
yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja.
Untuk batu saluran empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang
terletak di atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan
sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
a.3. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan gelombang
suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
b. Penanggulangan bedah, yaitu:
b.1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistitis akut.
b.2. Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini
sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh sampai sembilan
puluh persen batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung empedu diangkat melalui
selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi pembedahan batu
kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin
sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu
dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut
dibanding dengan batu yang lebih kecil. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi prosedur
baku untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien
dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.
c. Diagnosis kolelitiasis
c.1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari
15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
c.2. USG atau Pemeriksaan Ultrasonografi
USG ini merupakan pemeriksaan standard, yang sangat baik untuk menegakkan diagnosa
Batu Kantong Empedu. Kebenaran dari USG ini dapat mencapai 95% di tangan Ahli Radiologi.
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang menyebabkan
kholestasis.meriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal
sehingga dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus onstruksi atau ikterus non
obstruksi. Apabila terjadi sumbatan daerah duktus bilkiaris yang paling sering adalah bagian
distal maka akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti
pelebaran bagian proximal.
Untuk membedakan obstruksi letak tinggi atau letak rendah dengan mudah dapat
dibedakan karena pada obstruksi letak tinggi atau intrahepatal tidak tampak pelebaran dari
duktus biliaris komunis. Apabila terlihat pelebaran duktus biliaris intra dan ekstra hepatal maka
ini dapat dikategorikan obstruksi letak rendah (distal). Pada dilatasi ringan dari duktus biliaris
maka kita akan melihat duktus biliaris kanan berdilatasi dan duktus biliaris daerah perifer belum
jelas terlihat berdilatasi. Gambaran duktus biliaris yang berdilatasi bersama-sama dengan vena
porta terlihat sebagai gambaran double vessel, dan imajing ini disebut “double barrel gun sign”
atau sebagai “paralel channel sign”. Pada potongan melintang pembuluh ganda tampak sebagai
gambaran cincin ganda membentuk “shot gun sign”. Pada dilatasi berat duktus biliaris maka
duktus biliaris intra hepatal bagian sentral dan perifer akan sangat jelas terlihat berdilatasi dan
berkelok-kelok.
Batu dalam empedu mungkin tunggal maupun multipel. Kadang-kadang akan didapatkan
batu yang bertindak sebagai katup sehingga akan timbul fluktuasi dalam intensitas ikterusnya.
Batu akan tampak sebagai struktur hiper ekhoik dengan bayangan akustik dibelakangnya. Batu
dibagian distal saluran empedu ekstra hepatik lebih sukar ditegakkan diagnosisnya dibandingkan
dengan batu dibagian proksimal saluran empedu ekstra hepatik. Bahkan kadang-kadang tidak
mungkin ditentukan secara USG dan memerlukan pemeriksaan konfirmatif misal ERCP.
Penghalang utama adalah gas pencernaan dan jalan anatomis saluran empedu ini. Batu bisa
timbul di saluran intra hepatik maupun di ekstra (duktus choledochus). Kholedokkholitiasis
adalah batu didalam duktus choledocchus. Batu ini bisa single maupun multiplr. Batu yang
tertanam biasanya terjadi di bagian bawah duktus diatas ampula vateri. Intensitas ikterus
biasanya fluktuasi/hilang timbul dimana batu bertindak sebagai katup (“ball valve”). Obstruksi
partial masih mengeluarkan cairan empedu ke dalam duadenum.
Secara sonografi terlihat Common Bile Duct (CBD) berdilatasi, tampak bayangan hiper
ekhoik dengan bayangan akustik. Batu akan mudah terlihat karena dikelilingi oleh cairan
empedu, diagnosis akan lebih sulit katika seluruh saluran empedu tertutup/terisi oleh batu,
dimana kontras antara cairan empedu dan batu menghilang. Serta tampak hanya sebagai akustik
shadow yang mungkin diduga sebagai gas echo dari duodenum. Hepatolitiasis adalah batu
didalam duktus intra hepatik. Batu ini lebih jarang dibandinghkan batu didalam duktus ekstra
hepatik. Menurut beberapa pengamat batu saluran empedu intra hepatik dijumpai kira-kira 2-3%
kasus batu empedu. Secara sonografi hepatolitiasis ini terlihat sebagai massa bergema tinggi
dengan batas tegas dan bayangan akustik dibelakangnya di jaringan parenkim hati. Tampak
pelebaran duktus biliaris intra hepatal sedangkan ekstra hepatal normal. Kandung empedu
terlihat normal, dan hepar biasanya normal.
c.3. CT Scanning.
Pemeriksaan CT Scan mengenai tractus biliaris banyak dilakukan untuk melengkapi data
suatu pemeriksaan sonografi yang telah dilakukan sebelumnya. Secara khusus CT Scan
dilakukan guna menegaskan tingkat atau penyebab yang tepat adanya obstruksi/kelainan pada
saluran empedu. Dalam hal ini CT Scan dinilai untuk membedakan antara ikterus obstruktif,
apakah intra atau ekstra hepatik dengan meperhatikan adanya dilatasi dari duktus biliaris.
Kunci untuk menetapkan tingkat atau penyebab dilatasi duktus biliaris adalah evaluasi
yang cermat mengenai zona transisi pada tingkat dimana terjadi duktus yang melebar/dilatasi
kemudian terjadi penyempitan-penyempitan duktus buliaris dan kemudian duktus yang tidak
terlihat.
Dilatasi duktus biliaris dideteksi sebagai garis atenuasi yang rendah atau struktur sirkuler
yang tidak memberikan penyengatan dengan pemberian kontras melalui intravena. Dilatasi CBD
dideteksi sebagai suatu bulatan atau struktur tubuler dekat vena perta atau dekat daerah kaput
pankreas. Kandung empedu sering berdilatasi bila ada obstruksi duktus biliatis ekstra hepatik.
Adanya gambaran dilatasi CBD bagian caudal dari potongan yang berdampingan dengan vena
porta diduga adanya obstruksi bagian distas. Pemeriksaan dengan CT Scanning dilakukan bila
batu berada di dalam saluran empedu.
c.4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan ini apabila ada komplikasi sakit kuning.
Magnetic Resonance Cholangiopancreaotography (MRCP)
MRCP adalah pemeriksaan duktus biliaris dan duktus pankreatikus dengan memakai pesawat
MRI. Dengan memakai heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan yang
menetap pada duktus biliaris dan duktus pankreatikus.
Perbandingan MRCP dengan ERCP :
Kelainan duktus pankreatikus utama dapat dilihat dengan MRCP
Sensitivitas untuk dilatasi cukup tinggi, tapi harus hati-hati dalam menilai adanya striktur
dengan kaliber duktus yang normal
Sensitivitas dalam mendeteksi filling defek juga tinggi Perubahan dari percabangan
duktus pankreatikus kurang baik dengan MRCP.
Kelebihan MRCP dibandingkan dengan ERCP :
MRCP non invasif, tanpa radiasi, dilakukan pada pasien rawat jalan tanpa analgesik atau
premedikasi dan tidak menyebabkan resiko terjadinya akut pankreatitis.
Resolusi MRCP untuk duktus utama mendekati ERCP
MRCP dapat dilakukan pada pasien yang endoskopi tidak berhasil seperti dengan operasi
gaster/pankreas sebelumnya, obstruksi jalan keluar gaster atau transplantasi pankreas.
MRCP dapat dikombinasikan dengan konvensional MR abdomen atas untuk penelitian
yang menyeluruh dari hati, pankreas dan struktur vaskular yang berdekatan.
Pasien dengan oklusi total duktus pankreatikus utama, MRCP menunjukkan proksimal
anatominya.
MRCP dapat menunjukkan kista atau koleksi cairan yang berdekatan dengan pankreas
yang tidak berhubungan dengan duktus pankreatikus dan tidak tampak sebagai bayangan
opak pada ERCP.
ERCP mempunyai kelebihan dibandingkan MRCP :
Untuk melihat anatomi duktus dan dengan ERCP dapat melihat perubahan dini
percabangan duktus.
ERCP dapat melihat secara langsung dari papilla dan struktur anatomi berdekatan
Sampel diagnostik cairan pankreas atau pengerokan untuk sitologi dapat diperoleh selama
ERCP
ERCP dapat digunakan untuk tindakan terapi seperti insersi stenting atau papilotomi
c.5. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP merupkan tindakan yang langsung dan invasif untuk mempelajari traktus biliaris
dan sistem duktus pankreatikus. Ditangan yang berpengalaman ERCP mempunyai keberhasilan
yang cukup tinggi dan tingkat keakuratan atau ketepatan kurang lebih 90%. Indikasi pemeriksaan
ERCP yaitu :
A. Pendeita ikterus yang tidak atau belum dapat ditentukan penyebabnya apakah sumbatan pada
duktus biliaris intra atau ekstra hepatik seperti :
Kelainan di kandung empedu
Batu saluran empedu
Striktur saluran empedu
Sclerosing cholangitis
Kista duktus kholedokhus
B. Pemeriksaan pada penyakit pankreas atau diduga ada kelainan pankreas serta untuk
menentukan klainan baik yang jinak maupun ganas seperti :
Keganasan pada sistem hepatobilier dan pankreas
Pankreatitis kronis
Tumor pankreas
Metastase tumor ke sistem biliaris atau pankreas.
Kelainan saluran empedu baik yang intra hepatik maupun ekstra hepatic memberikan
gambaran misalnya fibrosis menyebabkan gambaran kontour ireguler dengan bagian-bagian
striktur dan melebar. Gambaran ini terlihat pada daerah sclerosing cholangitis.
Penyempitan lokal karena infiltra tumor menyebabkan dilatasi pada daerah proksimal obstruksi.
Salah satu penyebab tersering dari tersumbatnya duktus biliaris ekstra hepatal adalah
kholedokolitiasis, tampak gambaran defect pengisian yang radioluscen.
c.6. Foto polos abdomen.
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu opak dikandung empedu atau di duktus
kholedekus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat keadaan secara
keseluruhan dalam rongga abdomen
c.7. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimptomatik, umumnya tidak menunjukkan kelainan
laboratorik. Peningkatan leukosit mengindikasikan adanya kolesistitis. Peningkatan bilirubin
disertai peningkatan alkaline phospathase dan aminotransferase patut dicurigai adanya
Kolangitis. Sedangkan kolestatis yang merupakan obstruksi aliran empedu memberikan
gambaran peningkatan bilirubin direk dan alkaline phosphatase. Pada kolesistitis kronik gambran
lab bisa normal.
2.9.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan perawatan paliatif dengan tujuan
mempertahankan kualitas hidup penderita dan memperlambat progresifitas penyakit dan
mengurangi rasa nyeri dan keluhan lain. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan
memerhatikan asupan makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
(seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
2.10. Keluhan Penderita Kolelitiasis Berdasarkan Penatalaksanaan Medis
Indikasi paling umum untuk kolesistektomi (bedah) adalah adanya keluhan bilier yang
mengganggu atau semakin sering atau berat dan adanya komplikasi. Apabila tindakan
kolesistektomi tidak dilakukan, prosedur ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy),
ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography), disolusi medis (penanggulangan
dengan non bedah) dapat diberikan sebagai alternatif.
2.11. Ukuran Batu Empedu Berdasarkan Penatalaksanaan Medis
Jika ukuran batu empedu sudah membesar, yakni sekitar 3-4 cm, sudah selayaknya batu
itu diangkat. Kalau ukuran batu besar, kandung empedu harus cepat diangkat dan segera
dibuang. Tapi, jika ukuran batu empedu masih tergolong kecil atau berkisar 2-3 mm, langkah
operasi pengangkatan kandung empedu tidak perlu dilakukan.
Intervensi operatif pada Kolelithiasis
Kolesistostomi
Intervensi ini sudah jarang dilakukan. Tindakan ini mendekompresi dan mengeringkan
kandung empedu yang mengalami distensi, inflamasi, pembesaran dan purulen. Tindakan ini
dilakukan jika pasien tidak bisa menerima tindakan operatif. Tindakan ini dilakukan dengan
drainase prekutaneus dengan panduan ultra sound, dilakukan dengan memasukan kateter pigtail
melewati kulit dan liver. Dengan maksud meminimalisir kebocoran cairan empedu. Kateter
dilepas jika kondisi pasien membaik atau saat kandung empedu tidak lagi mengalami inflamasi.
Sedangkan tindakan laparaskopi bisa dilakukan setelahnya jika tidak ada perbaikan.
Kolesistektomi
Tindakan ini merupakan tindakan operatif yang paling sering dilakukan. Open
cholecystectomy pertama kali dilakukan pada tahun 1882, selanjutnya ditemukan tindakan yang
lebih tidak invasif pada tahun 1987 yaitu laparaskopi. Laparaskopi juga membuat tindakan
noninvasif seperti ESWL dan penggunaan garam empedu mulai ditinggalkan. Laparaskopi dirasa
lebih tidak invasif, menurunkan nyeri dan jaringan parut pada luka bekas operasi.
Kontra indikasi absolut dari tindakan ini adalah koagulopati, penyakit hati stadium akhir,
penyakit paru obstruktif dan gagal jantung karena pada tindakan ini dibuat keadaan
pnemoperitoneum dengan karbon dioksida. Sedangkan kontra indikasi relatifnya adalah
kolesistitis akut, gangrene dan empiyema pada kandung empedu, sirosis hepatis, obesitas dan
kehamilan. Tindakan ini dilakukan dengan terlebih dulu dilakukan pemeriksaan darah lengkap
dan fungsi hati. Profilaksis deep vein thrombosis dilakukan dengan pemberian heparin ataupun
penggunaan kompresi dengan stocking. Selang orogastrik juga terkadang digunakan sebagai
penatalaksanaan terhadap distensi gas pada gaster, yang langsung dilepas saat tindakan selesai
dilakukan.
Kolesistogram dan ultra sound intraoperatif
Duktus biliaris divisualisasikan dengan flouroskopi yang dilakukan dengan injeksi
kontras melalui kateter pada duktus sistikus. Dengan visualisasi ini didapatkan data berupa
ukuran, keberadaan batu di duktus koleodukus, sebagai pewarnaan yang melewati duodenum.
Tindakan ini juga dapat dilakukan pada pasien dengan fungsi hati yang terganggu, pankreatitis,
dilatasi duktus biliaris. Jika tindakan ini tidak berhasil dilakukan USG intra operatif yang juga
sama akuratnya untuk memeriksa ukuran dari batu empedu.
Eksplorasi CBD
Deteksi dengan USG dan kolangiografi intraoperatif merupakan bagian dari laparaskopi.
Saat ditemukan adanya batu pada CBD, perlu dilakukan prosedur eksplorasi CBD. Saat
pengangkatan batu dengan endoskopi gagal dilakukan, pengeluaran batu kecil bisa dilakukan
dengan pembilasan normal saline dengan kateter kolagiografi setelah spingter Oddi
direlaksasikan dengan glucagon. Saat prosedur tidak berhasil tindakan dilanjutkan dengan kateter
balon lewat duktus sistikus untuk melebarkan CBD dan kemudian batu ditangkap dengan sejenis
keranjang dari kawat. Saat CBD sudah bersih, dilakukan ligasi dan pemotongan kandung
empedu, dan saat itu kolesistektomi selesai. Setelah itu dilakukan koledoktomi, yaitu insisi pada
CBD, koledoskop yang flesibel dimasukan untuk mengetahui apakah CBD sudah bersih. Setelah
itu koledoktomi dijahit dan dihubungkan dengan T-tube yang dialirkan melalui dinding abdomen
dengan tujuan mengistirahatkan dan mengambil alih fungsi bagian distal duktus biliaris untuk
sementara.
Drainase CBD
Prosedur ini jarang dilakukan, hanya dilakukan saat batu sulit dibersikan atau duktus
terlalu berdilatasi (>1,5 cm). Drainase dilakukan dengan prosedur koledokoduodenostomi yaitu
dengan memobilisasi bagian duodenum (maneuver Kocher) dan menyatukannya dengan CBD.
Selain itu saat terjadi obstruksi hebat pada bagian ampula atau distal CBD, bisa dilakukan
hepatikojejonostomi.
Transduodenal Spincterotomy
Dilakukan saat batu empedu tertancap, multiple, ataupun rekuren. Prosedur ini dilakukan
dengan melakukan insisi transversal pada duodenum. Dilakukan pada posisi jam 11 untuk
menghindari kerusakan duktus pankreatikus. Tetapi dewasa ini, prosedur ini sudah digantikan
oleh endoskopi.
Faktor yang mempengaruhi penatalaksanaan batu empedu
Lokasi
Lokasi batu empedu bisa bermacam-macam yakni di kandung empedu, duktus sistikus, duktus koledokus, ampulla Vateri, di dalam hati. Batu di dalam kandung empedu yang tidak memberikan keluhan atau gejalagejala (asimtomatik) dibiarkan saja. Bilamana timbul gejala, biasanya karena batu tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau masuk ke duktus koledokus, maka batu ini harus dikeluarkan. Migrasi batu ke leher kandung empedu akan menyebabkan obstruksi duktus sistikus. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya iritasi kimiawi mukosa kandung empedu oleh cairan empedu yang tertinggal sehingga terjadilah kolesistitis akut atau kronis, tergantung dari beratnya perubahan pada mukosa. Pada pasien dengan batu kandung empedu yang simtomatik ini dapat dilakukan kolesistektomi secara konvensional ataupun dengan cara laparoskopi. Batu empedu yang terjepit di duktus sistikus, di muara duktus sistikus pada duktus koledokus, dapat menekan duktus koledokus atau duktus hepatikus komunis sehingga mengakibatkan obstruksi (sindroma Mirizzi). Batu ini harus dikeluarkan dengan cara operasi. Bila tidak dikeluarkan akan menyebabkan obstruksi dengan penyulit seperti kolangitis atau sepsis dan ikterus obstruktif yang bisa mengakibatkan gagal hati atau sirosis bilier. Batu koledokus harus dikeluarkan karena akan mengakibatkan obstruksi bilier sehingga dapat mengganggu fungsi hati sampai menimbulkan gagal hati.
Selain dari pada itu aliran bilier yang tidak lancar dapat menimbulkan penyulit kolangitis - sepsis. Pengeluaran batu koledokus ini dapat dilakukan dengan operasi secara konvensional atau dengan cara melalui endoskopi yakni dengan sfingterotomi endoskopik dan ekstraksi batu dengan basket Dormia. Batu empedu intrahepatik atau hepatolitiasis adalah batu empedu yang
berada pada saluran empedu intrahepatik. Batu intrahepatik didapatkan pada 20% kasus dengan batu empedu. Masalah batu intrahepatik berbeda sekali dengan batu empedu yang lain karena penatalaksanaannya secara bedah sulit; kadang-kadang diperlukan operasi berulang-ulang karena sering kambuh dan pada akhirnya pasien seringkali menderita karena kerusakan hati akibat ikterus obstruktif yang lama, kolangitis, abses hati multipel dan sepsis. Bila batu intrahepatik kecil dan jumlahnya 1 atau 2 buah saja dan terletak di distal, bisa dicoba dikeluarkan dengan basket Dormia melalui endoskopi. Bila banyak diperlukan tindakan operasi yang berbeda dengan operasi-operasi batu empedu yang lain.
Ukuran
Batu koledokus dengan diameter lebih dari 1 cm dipecah dulu agar lebih mudah dikeluarkan dengan cara endoskopi. Ada beberapa cara untuk memecah batu ini, yaitu (i) Litotriptor mekanik dari Suhendra: cara ini sudah lama, kini dapat dipakai litotriptor mekanik BML dari Olympus. Pada prinsipnya pada teknik ini setelah batu terperangkap dalam basket kemudian dengan alat khusus cengkeraman basket diperketat sehingga batu tersebut terpecah. Cara lain adalah (ii) Litotriptor hidrolik, (iii) Litotriptor laser, (iv) Litotriptor ultrasonic, (v) Litotriptor “piezoceramic”, (vi) “Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy” (ESWL), ini yang paling baik.
Setelah batu empedu yang besar tadi terpecah menjadi beberapa bagian kecil, dengan basket Dormia batu tersebut diekstraksi dari duktus koledokus. Batu yang lebih kecil yang sukar ditangkap dengan basket dikeluarkan dengan memakai kateter balon. Kateter dengan balon yang belum ditiup dimasukkan ke saluran empedu sehingga sampai di atas batu-batu tersebut. Balon kemudian ditiup dan ditarik kebawah sampai keluar dari papila Vateri. Dengan demikian batubatu kecil beserta lumpur empedu dapat dikeluarkan.
Komposisi batu
Batu kandung empedu yang terdiri atas kolesterol mudah dipecah dengan ESWL. Di Indonesia pada umumnya batu kandung empedu bukan batu kolesterol sehingga ESWL kurang bermanfaat. Batu duktus koledokus di Indonesia juga pada umumnya bukan batu kolesterol sehingga pemakaian ESWL untuk menghancurkan batu koledokus agaknya tidak banyak menolong.
Anatomi dari distal koledokus
Bagian distal koledokus yang sempit dan memanjang akan menyulitkan pengeluaran batu dengan cara endoskopi. Pada keadaan ini sebaiknya pengeluaran batu dilakukan melalui tindakan bedah.
Adanya penyulit kolangitis akut atau pankreatitis akut
Adanya penyulit-penyulit ini menunjukkan perlunya tindakan segera. Pada kolangitis akut untuk sementara dalam keadaan darurat bisa dipasang pipa nasobilier dan pemberian antibiotika yang adekuat. Sesudah keadaan akut teratasi dan keadaan umum pasien sudah membaik perlu tindakan definitif elektif yaitu dengan cara operasi atau mengeluarkan batu tersebut melalui endoskopi dengan melakukan sfingterotomi dan ekstraksi batu dengan basket Dormia. Pada pankreatitis akut yang biasanya merupakan akibat batu empedu kecil menyumbat papila Vateri, perlu segera dilakukan sfingterotomi dengan cara endoskopi dan ekstraksi batu sehingga aliran cairan empedu dan cairan pankreas ke duodenum menjadi lancar kembali. Di dalam praktek sehari-hari tidak jarang ditemukan keadaan-keadaan dimana pasien dikirim ke dokter ahli penyakit dalam oleh dokter ahli bedah dengan problem bahwa sesudah kolesistektomi karena adanya batu kandung empedu, pasien tetap ikterus atau bahkan makin ikterik. Setelah dievaluasi ternyata pasien tersebut juga menderita batu koledokus yang lolos dari pengamatan. Ultrasonografi abdomen sebelum operasi hanya menunjukkan adanya batu kandung empedu. Memang pada kenyataannya di klinik, 10-15% dari pasien-pasien dengan batu kandung empedu, juga mengandung batu di duktus koledokus. Cara menghindari hal tersebut tidak sulit yakni dengan melihat fungsi hati sebelum operasi.
Bilamana gama glutamil transferase (GGT) atau fosfatase alkali sangat meningkat, apalagi bila bilirubin juga meningkat, patut dicurigai adanya batu di koledokus. Pada batu kandung empedu faal hati biasanya tidak terganggu. Dalam hal ini, ultrasonografi tidak selalu dapat memvisualisaikan batu koledokus karena adanya udara di colon serta duktus koledokus dan saluran empedu intrahepatik juga tidak selalu melebar pada batu koledokus. Pada umumnya memang saluran empedu intra dan ekstrahepatik melebar pada batu koledokus. Dalam hal ini perlu dilakukan kolangiografi misalnya “Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreato graphy” (ERCP) untuk konfirmasi ada tidaknya obstruksi di saluran empedu. Kadang-kadang sesudah operasi koledokotomi, pasien masih ikterus dan masih ada kolik yang disebabkan oleh adanya batu yang tertinggal di duktus koledokus. Hal ini diketahui pada saat pasien belum pulang dari Rumah Sakit bahkan kadang-kadang pasien masih di unit perawatan intensif atau di “recovery room” beberapa saat sesudah operasi. Tentunya kurang dapat diterima bilamana pasien dianjurkan untuk di laparotomi lagi untuk mengeluarkan batu yang tertinggal. Dalam hal ini tindakan pengeluaran batu saluran empedu per endoskopi dapat mengatasi masalah tersebut. Pada pasien dengan batu koledokus yang disertai batu kandung empedu bila kandung empedu masih baik dan batu kandung empedunya asimtomatik maka kandung empedu dibiarkan saja sedangkan batu koledokus dikeluarkan dengan cara endoskopi. Bila kadung empedu menunjukkan tanda-tanda kolesistitis kronik, dilakukan pengeluaran batu koledokus per endoskopi disusul dengan kolesistektomi pada kesempatan berikutnya melalui laparoskopi.