Upload
dangbao
View
309
Download
21
Embed Size (px)
Citation preview
CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE ARSITEK URUSAN PERDATA KOLONIALISTIK
HINDIA BELANDA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)
dalam Ilmu Syari'ah Jurusan Ahwal al Syakhshiyah
Dosen Pembimbing:
Drs. H. Musahadi, M.Ag. H. Khoirul Anwar, M.Ag.
Disusun Oleh
ARIEF MUTHOFIFIN N I M 0 3 2 1 1 1 1 3 9
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2010
v
MOTTO
Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang.
Itu benar; Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit,
dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar …
[alm. Mas Pram: 2004]
iv
DEKLARASI
Dengan menjunjung tinggi Tri Etika Perguruan Tinggi: Diniyah, Uhkwah, dan
Ilmiah, saya menyatakan bahwa naskah skripsi ini merupakan karya ilmiah asli
hasil penelitian penulis yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, di
hadapan hukum, mupun kepada Allah SWT. Jika dikemudian hari ditemukan
kepalsuan dalam karya ini maka akan penulis tanggung dengan pencabutan gelar
kesarjanaan.
Semarang, 07 Juni 2010
Deklarator,
ARIEF MUTHOFIFIN N I M 0 3 2 1 1 1 1 3 9
vi
ABSTRAK Hampir semua peneliti hanya menempatkan Christiaan Snouck Hurgronje,
Ph.D. (1857-1936) sebagai peletak dasar Politik Islam (Islam Politeik) di Hindia Belanda. Luput dari bacaan mereka tentang peran besarnya sebagai seorang arsitek dalam urusan perdata kolonialistik Hindia Belanda. Sejak penugasannya di Hindia Belanda sebagai agen intelejen Negeri Belanda (1889-1936), dia merubah nalar manual kolonial—penguasaan fisik dan intimidasi—menjadi mengendalikan sistem kekeluargaan Pribumi. Di sinilah hal terpenting baginya daripada permainan politik kolonial yang sedang diterapkan Pemerintah Jajahan Hindia Belanda di Nusantara. Karena sistem keluarga sesungguhnya merupakan sebetul-betulnya pusat dari kekuatan rakyat, konsolidasi pemberontakan, dan sinergi antar golongan yang tak terbatas agama, ras, dan kepercayaan, untuk melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa di Negara Maritim ini. Selain itu, penguasaan terhadap sistem keluarga Pribumi adalah cara kolonial yang lebih halus, matang, terencana, dan tidak seresisten angkatan bersenjata.
Oleh karena itu, sebagai penasehat dalam urusan agama pada pemerintah Hindia Belanda, dia mengoperasikan pemikiran-pemikirannya sebagai strategi baru melumpuhkan kekuatan Islam Pribumi. Pertama, membuat konsepsi teoritik (landasan ideal) tentang teori resepsi; melumpuhkan hukum Islam dengan mempertentangkan dengan hukum adat. Selanjutnya, hukum adat akan dimatikan. Kedua, pernikahan sesuai syari’at yang sah dirubah hukumnya menjadi tidak sah ketika tidak dicatat oleh pegawai penyelenggaran pernikahan dari pemerintah jajahan. Pencatatan pernikahan dipakai sebagai alat untuk mengawasi sistem inti dari konsolidasi masyarakat Islam. Ketiga, penghulu diangkat sebagai pegawai kolonial yang digaji pemerintah pusat untuk tugas mata-mata. Yakni, memberi informasi tentang pergerakan pribumi, penggunaan kas-kas masjid untuk jihad, selain tugas formal sebagai penyelenggara pernikahan. Keempat, watak kolonial dalam sistem keluarga yang coba diciptakan olehnya adalah kesimpulan atas ‘keilmiahannya’ bahwa mustahil hukum waris adat dan hukum waris Islam untuk damai. Artinya, hukum Islam harus tunduk atas kemenangan hudup adat. ‘Keilmiahan’ kolonial ini hanya khayalan. Nyatanya dua sistem hukum itu mampu berdamai seperti di Minangkabau.
Kelima, pernikahan yang harus dan harus monogami tidak jauh-jauh dari suatu episode perpanjangan kolonialisme. Karena dengan monogami, Jawa terutama, bisa jadi modern (maju) dalam pengertian kolonial. Yaitu, sesuai dengan sistem hukum Protestan yang menghendaki pernikahan harus monogami saja. Menutup kemungkinan lain ketika tidak hanya monogami. Penelusuran terhadap pemikiran-pemikirannya mengantarkan kita pada fakta bahwa Indonesia (modern) merupakan sampahnya hukum Eropa yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje. Maksudnya, Indonesia belum merdeka dalam sistem hukum. Selain juga tidak memiliki jati diri (anomi) dalam hukum.
Kata Kunci: Christiaan Snouck Hurgronje, Sistem Keluarga Islam, Modernisme, Liberalisme, dan Kolonialisme.
viii
KATA PENGANTAR
Hasil penelitian dengan judul “Christiaan Snouck Hurgronje Arsitek
Urusan Perdata Kolonialistik Hindia Belanda” kini telah usai. Untuk selanjutnya
dapat dijadikan syarat kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
dalam studi Syari’ah (Hukum Islam) dalam konsentrasi Ahwal al Syakhsiyyah
(AS) atau kerap disebut Urusan Perdata Islam di IAIN Walisongo Semarang pada
2010. Keterlibatan banyak pihak tidak bisa terelakkan selama studi di Walisongo
berlangsung meskipun penentu sebenarnya adalah penulis (setelah Allah SWT).
Terima kasih kepada Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A, Rektor IAIN
Walisongo (dua periode), Prof. Dr. H. Muhibbin Noor, M.A., (PR I), Drs. H.
Machasin, M.Si. (PR II), dan Prof. Dr. H. Erfan Soebahar, M.A., (PR III), yang
telah memimpin perguruan tinggi—di mana penulis belajar—dengan sebaik-
baiknya. Serta Kepala Kopertais, Bapak Jaza, yang setia memberi “pengawalan”
berkali-kali kepada kami untuk berkompetisi dengan mahasiswa se-Indonesia di
dalam maupun di luar Pulau Jawa. Tak luput terima kasih untuk Ulfah Hanim,
M.Ag. bagian Akademik Kampus, yang sangat baik hati membantu mahasiswa
seperti penulis yang sampai “sakaratul maut,” kata Drs. H. Eman Sulaiman, M.H.,
atau semester 14, tidak kunjung tertib dalam urusan administrasi akademik.
Drs. H. Muhyiddin, M.Ag., Dekan Fakultas Syari’ah, adalah orang yang
menyebut penulis sebagai mahasiswa ‘nakal’ yang ‘identik’ dirinya sewaktu
ix
muda. Sempat berkali-kali terjadi perang pendapat dan pemikiran (tepatnya,
Perang Dingin dan Perang Panas) dengannya—yang jauh lebih senior (usia dan
pengalaman)—merupakan dinamika yang unik dan menarik. Drs. H. Musahadi,
M.Ag. (PD I), senior sekaligus dosen penulis, yang mengajari cara bermetodologi
yang baik dan ajarannya untuk ‘meninggalkan’ judul penelitian yang monoton dan
‘tidak mutu’ (pada kebanyakan penelitian) sehingga judul karya saya seperti di
atas. Beliau adalah Pembimbing I penelitian ini yang telaten dalam mengoreksi
dan menyempurnakannya. Bersanding dengan Drs. H. Khoirul Anwar, M.Ag.
Pembimbing II yang nampak cepat tanggap, sehingga tanpa berlama-lama naskah
ini mendapat persetujuan untuk disidangkan di “meja hijau”. Drs. H. Maksun,
M.Ag. (PD II) dan Drs. H. Nur Khoirin Yudha, M.Ag. (PD III), Wali Studi
penulis, untuk kesemunya penulis sampaikan terima kasih.
Terima kasih pula kepada Drs. Ahcmad Arief Budiman, M.Ag. (Ketua
Jurusan AS), Antin Lathifah, M.Ag. (Sekretaris Jurusan AS), dan M. Shoim,
S.Ag., M.H., yang berupaya memberi kemudahan-kemudahan dan kesempatan
seluas-luasnya kepada kami agar menyelesaikan studi dengan sesegera mungkin.
Dorongan semangat dan jasa-jasanya merupakan andil yang significant pada
proses menyelesaikan studi di batas akhir sehingga menjadi sarjana.
Para sesepuh di IAIN Walisongo yang selalu inspirational Prof. Dr. H.
Muchojjar, M.A., atas lontaran idenya yang berharga dan tumpangan mobilnya di
Bandara Ahmad Yani sepulang bersama menggunakan Adam Air dari Annual
Conference on Islamic Studies Depag RI (2007) di Riau, disampaikan terima
kasih. Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A., dosen dan Sekretaris MUI Jawa Tengah
x
(Jateng), terima kasih karena selalu menjadi ‘objek dan sasaran utama’ yang baik
atas kritisisme mahasiswa seperti penulis yang “mbeling,” katanya. Kebaikan itu
ditunjukkan dengan tidak memarahi atau menjauhi kami yang selalu dan tetap
mbeling saja. Kepada Drs. H. Abu Hapsin Umar, M.A., Ph.D., Ketua Forum
Kerukunan Antar Umat Beragama Jateng sekaligus Ketua NU Jateng, berkali-kali
ronda malam bersama dengan beliau merupakan bagian dari proses
berpengetahuan yang amat penting. Beliau semua tetap menjadi orang tua yang
baik meskipun ide, pendapat, dan keinginannya tidak selalu kami turuti. Atas
segala kebaikannya disampaikan terima kasih mendalam.
Perlu disebut-sebut Sahabat penulis, dosen, maupun para pendahulu yang
telah membuka jalan yang terang di Lembaga Penerbitan Mahasiswa Justisia: Dr.
Rumadi, M.A., Dr. H. M. Arja Imroni, M.Ag., Dr. Imam Yahya, M.Ag., Drs. H.
Abdul Ghofur, M.Ag., Sumanto al Qurtuby, S.Ag., M.Si, M.A., Ph.D., Ahmad
Jukari, Choirul Muslim, Abdullah Ibnu Tholhah, S.HI., Ali Mujib al Fatczuly,
Ingwuri Handayani, S.HI., Ngainir Richadl, S.HI., M. Khoirul Umam ar Rozy,
M.SI., M. Aziz Hakim, S.HI., M. Kholidul Adib, S.HI., M. Sholekan al Jalily,
S.HI., Siti Nur Ma’unah, S.HI., Ahmad Khoirul Umam, S.HI., M.A., Tedi
Kholiluddin, S.HI., M.SI., Pujiyanto, S.HI., Chusnunia, S.HI., Iman Fadhillah,
S.HI., M.SI., Wiwit R. Fatkhurrahman, S.HI., Triharyani, S.HI., Mu’asyaroh,
S.HI., Zaki Mubarok, S.HI. Ritono, S.HI., M. Ghufron, S.HI, dan M. Thoifur
Hasballah MK, C.S.H.I. (alm.).
Keluarga besar Justisia 2003: Ika Nur Fajar Raudlatul Jinnan, S.HI., Dyah
Hidayati, S.HI., Ernawati Putri Ningrum, S.HI., Sofi Hidayati, S.HI. M. Najibur
xi
Rohman, S.HI., Ahmad Sofwan, S.HI., M. Miftakhul Maghrubi, S.HI., M.
Ichrom, S.HI., A. Wahid, S.HI., Atan ‘Syah’ Navaron, dan Sujiantoko. Para
Junior: M. Nasrudin al Andalasy, Suharjo, Yoni A.P., Ali ‘Kopling’ Imron, Munif
Ibnu Fatkhussyarif, The Rouf, Hamdani, Zainul Anwar, Ubaidillah Adzkiya,
Nikmatul Umroh, Ica Zuhrotunnisa, Khoirudin, Hambali, Vian Q.A., Yayan M.R.,
Ainung Jariyah, U-Sholly, Rifa, Nazar Nurdin, Ariyani K.J., Syafi’i, Salam,
Ceceprudien, dan semua kru yang tidak disebut satu per satu di sini.
Semua Sahabat di Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) IAIN
Walisongo; Drs. H. Muhsin Jamil, M.A. (Kepala Pusat Penelitian IAIN
Walisongo), Rusmadi, S.Th.I., Hijriyah, Dul Badri, dan kawan-kawan. Di PR
PMII Syari’ah-PK PMII Walisongo-PC PMII Kota Semarang-PKC PMII Jateng;
Sutono, S.HI., Sugeng Hadiyanto, Taufiq Ismail, Ahsan Fauzi, M. Qosim al Khos,
dan Kusdiyanto dkk., IPNU Ranting-PW Jateng, Lembaga Studi Sosial dan
Agama (eLSA) Semarang, dan Rumah GANA Semarang. Semua proses di
dalamnya memiliki makna dan akan terus diapresiasi. Kerabat lintas iman; Romo
J. Pujasumarta, Romo Aloys Budi Purnomo, Romo Dwi Harsanto, Romo
Subagyo, Lukas Awi, dan Rony Candra, kesemuanya penulis sampaikan terima
kasih. Kepada M. Faridul Atros, kakak penulis, terima kasih serta atas semua
usaha-usahanya. Kemudian sahabat saya semenjak di MAN Kendal hingga kuliah,
M. Azhar, S.Sos.I, penulis berterima kasih kepadanya karena sampai di detik-
detik akhir batas perkuliahan telah memberikan bantuan yang sangat berarti.
Wa bil khusus Agus Sunyoto, M.Ag., penulis 7 jilid Suluk Abdul Jalil,
berkali-kali diskusi telah memberikan sudut baca yang lain terhadap peristiwa ke
xii
peristiwa. Master Shifu Mardi Rahayu, S.Ip., meskipun ‘aneh’ tapi ‘perhatian’
untuk mengoleksi buku-buku referensi. Zaki Mizan (Bandung) di Leiden Belanda
yang turut menyuplai beberapa sumber referensi primer. Lalu, Drs. H. Rohmadi,
M.Ag. dan Drs. H. Mahfud Junaidi, M.Ag, yang bersedia meminjamkan koleksi
bukunya berlama-lama untuk keperluan penelitian ini. Terima kasih kepada
kelimanya. Serta yang perannya tak terlupakan, yakni, “asisten” yang kerap
direpoti bantuannya ataupun merepoti; Evy Lestari, S.HI., dan M. Luthfil Khakim
dan M. Afwa Fithrian. Kepada semua yang terakhir ini tidak ada lain kata kecuali
terima kasih mendalam atas segala-galanya. Keutuhan karya ini juga atas mereka.
Terima kasih pula untuk pihak-pihak yang sengaja tidak ditampilkan
namanya di sini. Peran dan andilnya sebenarnya memiliki arti dan penting; serta
kepada siapa siapa yang telah saya ‘curi’ semangatnya. Terima kasih!
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ………………………………………………………. i Nota Pembimbing …………………………………………………… ii Pengesahan ………………………………………………………….. iii Deklarasi …………………………………………………………….. iv Motto ………………………………………………………………... v Abstrak ……………………………………………………………… vi Persembahan ………………………………………………………… vii Kata Pengantar ……………………………………………………… viii Daftar Isi ……………………………………………………………. xiii
BAB I
Pendahuluan ……………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. . 1
B. Perumusan Masalah …………………………………………... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………… 6
D. Telaah Pustaka ………………………………………………... 7
E. Metode Penelitian …………………………………………….. . 11
a. Jenis dan Pendekatan Penelitian ………………………….... 11
b. Sumber Data Penelitian ………………………….…………. 14
c. Metode Pengumppulan Data ………………………………. . 16
d. Metode Analisis Data ……………………………………… . 18
e. Penggunaan Teori …………………………. ………………. 21
f. Pemusatan Objek Penelitian ……………………………….. 24
F. Sistematika Penulisan …………………………………………. 27
xiv
BAB II
Perangkat Bacaan Kolonialisme dan Postkolonialisme
untuk Urusan yang Terkait Kawasan Koloni ………………….. . 30
A. Kolonialisme yang Angkuh ………………………………….... 30
a. Merkantilisme ke Liberalisme …………………………….. . 38
b. Imperialisme ………………………………………………... 41
c. Neokolonialisme …………………………………………... . 47
B. Postkolonialisme yang Kukuh ………………………………... 52
a. Fungsi dan Manfaat Postkolonialisme ……………………. . 60
b. Bidikan Postkolonialisme …………………………………. . 62
c. Representasi Postkolonialisme ……………………………. . 66
d. Batasan Postkolonialisme …………………………………. . 69
e. Relevansi Postkolonialisme di Nusantara ………………… . 72
BAB III
Dinas Mata-Mata dan Pemikiran Perdata Kolonial
Christiaan Snouck Hurgronje ……………………………………. 75
A. Arkeologi Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje ……….. 75
a. Christiaan Snouck Hurgronje dalam Bacaan
Situasi Keluarga …………………………………………… . 75
b. Pendidikan, Pembentukan Pemikiran,
dan Karya Tulis Christiaan Snouck Hurgronje …………… . 79
c. Petualangan, Penelitian, dan Tugas Awal Penyamaran
xv
Christiaan Snouck Hurgronje ………………………………. 88
B. Pendudukan Belanda di Nusantara
dan Penugasan Christiaan Snouck Hurgronje …………….... 98
a. Masyarakat Nusantara dalam Pendudukan Belanda ……….. 98
b. Penugasan Christiaan Snouck Hurgronje untuk
Pemerintah Hindia Belanda dan Penyamaran Berikutnya ..... 102
C. Konsepsi-Konsepsi Kolonialistik dari Pemikiran Christiaan
Snocuk Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda .. 111
a. Membela Teori Resepsi (Theorie Reseptie) ………………… 112
b. Pengawasan Penyelengaraan Pernikahan …………………. .. 118
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Pegawai Pemerintah ……. .. 123
d. Mencegah Penerapan Sistem Kewarisan Islam ……………. 128
e. Asas Monogami dalam Pernikahan ………………………… 130
BAB IV
Perangkap Kolonialistik Pemikiran Christiaan Snouck
Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda ……………. 133
A. Christiaan Snouck Hurgronje Sang Pemikir
Modernis-Liberalis-Kolonialis ………………………………. 133
a. Pengikut Setia Modernisme-Liberalisme Leiden ………….. 133
b. Evolusi Sosial-Kebudayaan: Teori Pemunahan Ras ……… 139
c. Modernisme-Liberalisme-Kolonialisme:
Suatu Proyek Penghancuran ……………………………… 143
xvi
B. Operasi dari Rencana Licik Christiaan Snouck
Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda ………… 145
a. Teori Resepsi Guna Melumpuhkan Hukum Islam …………. 146
b. Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan ……………… .. 150
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Agen
untuk Urusan Kelurga Koloni ……………………………… 156
d. Khayalan Ilmuwan Barat:
Hukum Waris Adat (Matriarkat) dan Hukum Waris
Islam (Patriarkat) Tidak Mungkin Berdamai ! …………….... 163
e. Asas Monogami: Kepanjangan Tangan Kolonial ………….. 167
C. Pengaruh Konsep Kolonialistik Christiaan Snouck
Hurgronje dalam Kenyataan Hukum di Indonesia …………. 171
a. Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Tempat Sampah Dunia … 171
b. Gagal Menghasilkan Sistem Hukum yang Merdeka ………. 176
c. Indonesia: Negara Hukum yang Anomi (Tak Berjati Diri) … 181
BAB V
Penutup …………………………………………… …………………. 183
A. Kesimpulan …………………………………………… …………. 184
B. Saran-saran ……………………………………………………… 187
C. Penutup ………………………………………………………….. 190 Daftar Kepustakaan ………………………………………………….. 192 Lampiran
1
CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
ARSITEK URUSAN PERDATA KOLONIALISTIK
HINDIA BELANDA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ubi societas ibi ius1 Cicero
Hukum mengalami proses introduksi atau perkembangan setua sejarah
peradaban manusia, bahkan alam semesta. Dari yang kecil (kosmis) atau hukum-
hukum yang mengatur manusia. Sampai yang besar tak terhingga (kosmos) atau
tanda-tanda pengatur peredaran jagat raya. Terdapat pula aspek universal pada
“aturan-aturan langit” yang “diturunkan” untuk kosmis ataupun kosmos. Biasa
disebut firman, wahyu, titah, suara Tuhan. Pendekatan pada yang terakhir dengan
keyakinan atau fakta keberimanan. Menurut tradisi agama Semit kuno terakhir,
tanda-tanda universal disebut dengan ayat-ayat Qur’aniyah. Tanda-tanda –hukum
1 Ubi societas ibi ius = di mana ada masyarakat di situ ada hukum, adagium ini pernah
dilontarkan pemikir Romawi kuno Cicero (106-43 SM). Lihat E.K.M. Masinambow (ed.), Hukum dan Kemajemukan Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000).
2
dan aturan—rupa Qur’an dan Hadits Sahih.2 Menurut keyakinan agama-agama
Semit lain dan agama di luar tradisi Semit kuno, tanda-tanda universalitas
semakin beragam sesui semangat zaman: Zabur, Taurat, Injil, Wedha, Konfusian,
sampai Gatoloco, dan sebagainya.
Antara kosmos dan kosmis berpasangan dan berjalan kelindan mencapai
keseimbangan. Proses menuju sempurna tanpa batas ras, agama, ideologi,
kepercayaan, warna kulit, dan apapun. Sedikit berat sebelah dalam memahami
tanda-tanda tadi, akibatnya ketidakseimbangan. Lebih menonjol pada aspek
tertentu. Namun, sangat kurang, tertinggal, bahkan miskin papa pada kebutuhan
lainnya. Pengaruhnya tak hanya pada satu segi, ketidakseimbangan di mikro
kosmis pengaruhnya kuat pada makro kosmos dan tanda-tanda universal, serta
sebaliknya.
Adanya bermacam tanda-tanda termaksud, perlu upaya menerjemahkan
secara praktis dan bersifat relatif sesuai kebutuhan zaman yang tak pernah tetap.
Tanpa upaya memahami, menafsir, interpretasi, dan breack down dari “suara
langit” ke konteks “kebumian”, sifat-sifat dari ketiga aspek tadi berhenti pada
utopia. Niscaya dari kegiatan wira usaha interpretasi atas tanda-tanda menjadi
hukum yang menjawab persoalan, khususnya kosmis, adalah wujudnya
keragaman, setiap masa dan tempat tidak bisa dipakaikan seragam. Kecuali,
sekadar upaya menyeimbangkan. Karena setiap ada masyarakat di sana ada
hukum (ubi societas ibi ius). Adagium itu pun berlaku bagi masyarakat paling
sederhana tapi kompleks atau individu. Dalam masyarakat kecil (individu) terjadi
2 Yudian Wahyudi, Ph.D., Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik: Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2007), Cet. III, hlm. 25-26.
3
interaksi, mempengaruhi, menunjang dan menghambat, dan proses dinamisasi
sebagai ciri-ciri masyarakat.
Introduksi cepat, besar-besaran, radikal, dan keras terjadi pula pada tata
hukum masyarakat Pribumi. Arus itu berasal dari berlangsungnya proses terus-
menerus pengaruh perkembangan sistem hukum asing, Eropa. Mempengaruhi tata
hukum masyarakat Pribumi (Indonesia, terutama Jawa) yang sebelumnya
memiliki sumber hukum adat dan agama yang dipergunakan lama dan mapan.
Sistem hukum Eropa dimaksud, khususnya, sistem hukum Belanda. Soetandyo
mengurai akar sistem hukum Eropa, Belanda ini, terbentuk dari tradisi-tradisi
hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani. Penyebarannya ke penjuru dunia,
termasuk masyarakat Pribumi, melalui mega proyek revolusi: ‘Papal Revolution’
hingga revolusi kaum berjuis-proletar di Perancis (abad ke-19).3
Konsepsi-konsepsi hukum kolonialistik Eropa Belanda mampu membuat
masyarakat Pribumi bertekuk lutut. Membungkam tata dan sistem hukum yang
pernah hidup dan berkembang di masyarakat. Sistem dan tata hukum yang
dihasilkan dari hubungan dinamis dan dialektik antara Kapitayan (agama asli
Pribumi), Hindu, Budha, Konfusian, dan Islam. Namun, porak-poranda diterpa
serangan virus ganas hukum-hukum Eropa, Belanda, melalui proyek revolusinya.
Kita kenang kejadian itu dengan istilah kolonialisme dan imperialisme. Fakta
3 Herold J. Berman, Law and Revolution, (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1983),
hlm. 49-50. Sebagaimana dikutip dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 1995), Cet. II, hlm. 2.
4
hegemoni,4 penguasaan, dan penjajahan sistem hukum Eropa, Belanda, terhadap
tata hukum masyarakat Pribumi.
Paulus misalnya, mengatakan sebagian dari penduduk Pribumi masih
tunduk, patuh, bersesembah pada hukum perdata Eropa. Efek nalar inlander5
akibat terjajah Eropa tidak hanya pada contents hukumnya saja. Lainnya, dalam
tindakan hukum sehari-hari, masyarakat Pribumi bisa dianggap terus dalam
selubung hukum perdata Eropa, Belanda. Tidak Eropa atau Belanda, Paulus justru
menggunakan istilah ‘Barat’6; bidikannya lebih luas dibanding Eropa, Belanda.
Perintis, pengkaji, arsitek, konseptor, dan think tank Belanda yang
berpengaruh kuat menyusupkan semangat Eropa pada hukum-hukum masyarakat
Pribumi terutama Christiaan Snouck Hurgronje. Lalu, C. van Vollenhoven dan ter
Haar. Kedua terakhir mungkin tidak banyak diulas karena pilihan dan fokus
penelitian pada pengaruh besar orang pertama. Untuk mengetahui lebih mendalam
kiprahnya akan kita fokuskan pada masa kurun 1889-1936 waktu Christiaan
Snouck Hurgronje menjadi penasehat Pemerintah Daerah Jajahan Hindia-Belanda.
Model telaah yang memfokuskan pada durasi pentahunan pernah dipakai
oleh Soetandyo dengan pemilahan durasi lima puluh tahunan, terhitung sejak
4 ‘Hegemoni’ berasal dari bahasa Yunani; hegeishtai. Artinya, memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan lain. Gramsci (22 Januari 1891-27 April 1937) memakai untuk menganalisis kekuasaan yang menindas realitas sosial lain yang lebih lemah. Lihat Antonio Gramsci, http://jv.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci. Lihat pula, Antonio Gramsci, Catatan-Catatan Politik, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2001).
5 Inlander sebutan untuk peranakan ‘Pribumi’ atau ‘Pribumi’. Maknanya, setara dengan pemulung dan anjing. Di berbagai tempat elit Belanda atau perusahaan Belanda di Hindia Belanda sering dijumpai papan peringatan berbunyi: “Pemulung, Anjing, dan Pribumi Dilarang Masuk!”
6 B.P. Paulus, S.H., Garis-Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hlm. 6. Paulus terjebak pada dikotomi istilah ‘Barat’ (West) dan ‘Timur’ (East) yang dipakainya secara tidak tepat. Lainnya, ada pula istilah ‘Timur Tengah’. Padahal, dilihat dari posisi peta wilayah Indonesia, wilayah ‘Timur Tengah’ tepatnya disebut ‘Barat Tengah’, ‘Barat Selatan’ atau ‘Barat’ saja. Sedangkan, negara-negara Eropa lain dan United State of Amerika—dengan pusat optik Indonesia—bisa berada dalam wilayah ‘Barat’, bahkan ‘Timur’ (bumi bulat). Jadi, istilah ‘Barat’, ‘Timur’, dan ‘Timur Tengah’ tidak selalu tepat dipakai.
5
1840-1990, yaitu, ada tiga kategorisasi besar: 1840-1890, 1890-1940, dan 1940-
1990.7 Rentang tahun 1890-1940 merupakan periode sekitar masa kerja Christiaan
Snouck Hurgronje (1889-1936). Jika memakai pembagian menurut Soetandyo
maka kurun 1890-1940 menjadi saat-saat menarik dikaji. Cukup banyak data
handal yang dipakai melakukan kajian hukum-hukum kolonial. Bahan menyusun
hipotesis-hipotesis kemungkinan melakukan mentransfer sistem hukum dari
suprasistem budaya Eropa ke suprasistem budaya lain. Misalnya, membentuk
sistem budaya kolonial di Asia, terutama Pribumi.8 Pada babakan ini pula peran
besar sang maestro hukum kolonial Christiaan Snouck Hurgronje menancapkan
kekuatan hukumnya di Hindia Belanda. Dalam kurun inilah penelitian dilakukan
secara mendalam terhadap karya hukum yang diterapkan dalam kebijkan
Pemerintahan Hindia Belanda. Juga yang kini diwarisi era Indonesia merdeka.
Sungguh demikian kuat dan akut pengaruh konsepsi kolonialistik hukum
Hindia Belanda di Indonesia yang dikomando secara intelektual oleh Christiaan
Snouck Hurgronje. Sampai-sampai reformasi sudah bergulir lebih dari satu
dekade di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kerak-kerak dan ampas
kolonialistiknya masih dipakai dan belum bisa dibersihkan. Akibanya, Indonesia
sebagai bangsa besar dan berdaulat mengalami anomi (tak berjati diri) dalam
aspek hukum—terutama—anomi dalam urusan perdata. Hingga kini!
7 Soetandyo Wignjosoebroto, ibid., hlm. 3. 8 Ibid., hlm.7.
6
B. PERUMUSAN MASALAH
Dengan mendasarkan pada latar belakang masalah, muncul pertanyaan-
pertanyaan penting yang dapat dijadikan pokok-pokok perumusan masalah di
dalam penelitian. Yakni:
1. Bagaimanakah arkeologi pengetahuan Christiaan Snouck Hurgronje yang
kolonialistik?
2. Bagaimanakah konsepsi-konsepsi kolonialistik pemikiran keperdataan
Hindia Belanda yang diarsiteki Christiaan Snouck Hurgronje?
3. Bagaimanakah pengaruh konsep kolonialistik Christiaan Snouck
Hurgronje dalam kenyataan hukum di Indonesia?
Perumusan masalah tersebut, coba ditelisik sampai akhir sebagai hasil
penelitian. Bagaimana penelitian ini mencapai kesimpulan yang menjadi jawaban
ilmiah atas masalah-masalah mendasar.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Setelah menentukan perumusan masalah dalam penelitian dengan pasti,
pokok-pokok tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui arkeologi pengetahuan Christiaan Snouck Hurgronje
yang kolonialistik.
2. Untuk mengetahui dan mengkaji konsepsi kolonilistik pemikiran
keperdataan Hindia-Belanda yang diarsiteki Christiaan Snouck Hurgronje.
7
3. Untuk mengetahui pengaruh konsep kolonialistik Christiaan Snouck
Hurgronje dalam kenyataan hukum di Indonesia.
Dalam berbagai tujuan, penelitian ini diharapkan memberi manfaat.
Terutama sejarah dan kritik hukum kolonial yang berhasil menyusup ke hukum
Indonesia. Khususnya pengaruh Christiaan Snouck Hurgronje. Yaitu:
1. Bermanfaat bagi pengembangan khazanah pengetahuan hukum, terutama
aspek perdata di Indonesia dalam tinjauan kritis atas maisntream.
2. Sekaligus kritik atas kenyataan hukum perdata di Indonesia yang sangat
kolonialistik dan berbau Belanda.
3. Selanjutnya, perlawanan atas sakralitas hukum-hukum perdata Indonesia.
Semoga manfaat adanya.
D. TELAAH PUSTAKA9
Kajian dan penelitian terhadap Christiaan Snouck Hurgronje sudah begitu
banyak. Tidak sedikit hasil-hasil penelitian dimaksud yang diakui tingkat
keilmiahannya. Ada pula hasil penelitian terakreditasi (diakui kepakarannya)
karena layak dipublikasikan dalam buku, jurnal, makalah seminar (nasional dan
internasional), website, dan sebagainya. Para ilmuwan yang tertarik mengkaji
Indonesia (Indonesianis) tidak bisa kiranya meninggalkan begitu saja tokoh
9 Untuk melakukan telaah pustaka, dalam penelitian kualitatif, dibutuhkan sumber-sumber
pustaka yang membahas topik atau masalah spesifik. Sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian. Perlu lebih dari satu literatur pustaka agar penelitian semakin kuat. Telaah pustaka dilakukan untuk mengumpulkan teori, memberi komentar, kritik atas kelebihan dan kekurangan pustaka, membandingkan dengan teori atau pustaka lain yang terkait dengan penelitian yang sedang dijalankan.
8
Christiaan Snouck Hurgronje. Karena tokoh ini berpengaruh kuat dalam
permikiran Islam Indonesia. Nasehat-nasehatnya mendominasi kebijakan
hukum—di Hindia-Belanda.
Tidak sedikit dijumpai karya-karya peneliti yang melakukan riset terhadap
Christiaan Snouck Hurgonje. Diantaranya:
H. Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor
Inlandsche zaken.10 Membongkar intrik-intrik politik Pemerintah Daerah Jajahan
Hindia Belanda yang aktor intelektualnya juga Christiaan Snouck Hurgronje.
Trik-trik itu misalnya, melalui isu netral terhadap agama, asosiasi kebudayaan,
gerakan-gerakan tarekat dan ketakutan terhadap Pan Islam.
Sunnah di Bawah Ancaman dari Snouck Hurgronje Hingga Harun
Nasution11 karya Daud Rosyid meneliti peran-peran Christiaan Snouck Hurgronje
plus Harun Nasution dalam merekayasa hadits-hadits nabi. Bagaimana sunnah
dibajak untuk kepentingan tertentu. Terutama melegitimasi pikiran-pikiranya agar
benar secara Islam. Padahal, dilakukan demi kepentingan mereka.
Kemudian, Paul van’t Veer dengan De Atjeh-Oorlog-nya yang disunting
dalam Bahasa Indonesia Perang Aceh12 mengulas perlawanan masyarakat Aceh
terhadap kamar dagang Belanda atau VOC (Verenigde Oostindische Compagnie)
dan Pemerintah Daerah Jajahan Hindia Belanda tanpa henti. Van’t Veer mampu
10 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor Inlandsche zaken,
(Yogyakarta: LP3ES, 1985). 11 Daud Rosyid, Sunnah di Bawah Ancaman dari Snouck Hurgronje Hingga Harun Nasution,
(Bandung: Syamil Cipta Media, 2006). 12 Paul van’t Veer, De Atjeh-Oorlog, (Uitgeverij De Arbeiderspers / Wetenschappelijke
Uitgeverij: 1979), terj. Grafiti Pers, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985).
9
membongkar buah-buah kegagalan yang dipetik Christiaan Snouck Hurgronje
dalam perannya sebagai aktor intelektual bagi Hindia Belanda.
P.SJ. van Koningsveld sangat layak disebut salah satu ilmuan yang
membahas dengan hati-hati dan tajam karya-karya Christiaan Snouck Hurgronje.
Koningsveld menghubungkan secara logis, diskiptif, dan analitik terhadap
contents (isi) naskah data-data track record Chistiaan Snouck Hurgronje. Secara
kritis, Koningsveld mengkritik E. Gobe dan. C. Adriaanse yang membela “mati-
matian” Christian Snouck Hurgronje. Koningsveld mengutarakan konsepi-konsepi
Belanda lewat pemikiran hukum Christiaan Snouck Hurgronje. Lihatlah Snouck
Hurgronje dan Islam.13
Ditambah berbagai artikel populer yang mengulas Christiaan Snouck
Hurgronje. Seperti, Kejahatan Christian terhadap Islam dan Aceh,14 memberikan
ulasan pikiran Christiaan Snouck Hurgronje bahwa al-Qur’an adalah karya
Muhammad, pembersihan dalam Perang Aceh, devide at impera, dan gerak
spionase Christiaan Snouck Hurgronje. Sedangkan Augustaracing menulis Snouck
Hurgronjohuis15 yang memaparkan peletak dasar “Islam Politiek” atau “Inlandsch
Politiek” yang tak lain ialah Christiaan Snouck Hurgronje. Sama halnya dengan
Labbaik, yang bertitel Majalah Islami ini, mengusung naskah Snouck Hurgronje
13 P.SJ. van Koningsveld, Snouck Hurgronje en Islam: Acht artkelen over leven en werk van
een orientalist uit het koloniale tijdperk, terj. Redaksi Girimukti Pasaka, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, (Jakarta: PT Girimukti Pasaka, 1989).
14 Artikel tersebut disadur dari Dr. Daud Rasyid, MA, ”Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan Konspirasi” dan sumber lainnya oleh Indra Yogi. Lihat dalam www.hidayatullah.com atau http:www.scribd.com/doc/3988469/snouck-hurgronje?autodown=doc
15 Augustaraching, Snouck Hurgronjehuis, (ditulis pada 24 Mei 2008) lihat pada WordPress.com yang merupakan saduran dari buku Lathiful Khuluq yang berjudul Strategi Belanda Melumpuhkan Islam.
10
dan Pemisahan ‘Islam Politik’16 dalam terbitannya. Artikel Pemikiran Politik
Islam Snouck Hurgronje17 yang menyertakan sumber rujukan utama pun masih
berputar-putar pada masalah politik saja belum beranjak fokus ke persoalan
hukum. Sebagaimana naskah Identitas Politik di Hindia Belanda18 yang juga
berputar-putar pada tanam paksa, akulturasi, dan liberalisasi lewat politik.
Dari sekian banyak literatur, peneliti susah menelusuri literatur spesifik
membahas konsep-konsep hukum kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje.
Apalagi, mengenai telaah hukum perdata kolonialistik: perdata positif maupun
perdata Islam. Peneliti laiknya Lathiful Khuluq yang menulis Biografi C. Snouck
Hurgronje19 saja banyak menyoroti aspek strategi politik Belanda.
Karya-karya tersebut tadi dan banyak karya lain menelaah pemikiran
Christiaan Snouck Hurgronje ditinjau dari perspektif politik atau politik Islam
(siyasah). Oleh karena itu, penelitian ini semakin menemukan titik cerah. Bukan
dalam posisi mengulang-ulang publikasi penelitian yang telah banyak beredar.
Namun, lebih kurang, permulaan penelitian yang fokus utamanya pada pemikiran
hukum perdata kolonialistik buatan Christiaan Snouck Hurgronje.
16 Tulisan ini juga saduran dari Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, dalam http://hidayatullah.com/modules.php?name=News&file=article&sid=1521
17 Lihat dalam WordPress.com. 18 J.H. Wenas, Identitas Politik di Hindia Belanda, dalam www.sarwono.net, edisi 3 Januari
2005, atau lihat dalam http://www.sarwono.net/artikel.php?id=50 19 Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam: Biografi C. Snouck Hurgronje,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
11
E. METODE PENELITIAN
Rangsangan individu peneliti terhadap suatu masalah dalam penelitian
merupakan titik tolak sebenarnya penelitian dilaksanakan. Bukan pada metode
penelitian. Namun, metode penelitian adalah aspek yang tidak bisa ditinggal.
Karena, metode penelitian menjadi elemen penjaga reliabilitas dan validitas hasil
penelitian.20
Secara filosofis, metode penelitian juga bagian dari kajian filsafat ilmu.
Yakni, ilmu pengetahuan yang mempelajari prosedur-prosedur kerja dalam rangka
mencari kebenaran (filsafat epistemologi). Kualitas kebenaran yang dicari dari
kerja-kerja penelitian juga ditentukan oleh prosedur kerjanya.21
a. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Pada dasarnya jenis penelitian ini meneliti hukum doktrinal yang terfokus
pada fakta kesejarahannya. Selanjutnya bisa disebut penelitian sejarah hukum
doktrinal. Menurut Soetandyo, penelitian hukum doktrinal, meneliti hukum yang
dikonsep dan dikembangkan berdasar doktrin yang dianut sang pengembang.
Diantaranya doktrin klasik (hukum alam kaum filosofis), doktrin positifisme para
yuris-legis, dan doktrin historis serta doktrin realisme-fungsionalisme yang
tergolong dalam kaum realis. Di Indonesia metode doktrinal acap kali disebut
metode penelitian normatif.22 Sedangkan Soerjono Soekanto mengkategorisasikan
20 Burhan Bungin (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah
Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 42. 21 Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif , Edisi IV, (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2002), Cet. II, hlm. 5. 22 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
(Jakarta: ELSAM, 2002), hlm. 147-148.
12
penelitian ini sebagi penelitian hukum normatif. Yang diantaranya terdapat fokus
penelitian terhadap sejarah hukum. Yang demikian itu oleh Soetandyo
Wignjosoebroto disebut penelitian hukum doktrinal. Dalam penelitian doktrinal
ini bukan studi empiris. Melainkan, usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah;
dogma atau doktrin, dalam hukum positif.23 Serta tidak menuntup kemungkinan
penelitian terhadap hukum Islam yang dipositifikasi.
Oleh karena itu, riset doktrinal ini termasuk kategori penelitian kualitatif.
Data-data disajikan dalam bentuk verbal bukan data-data yang disusun dalam
angka-angka. Penelitian kualitatif, dimaksudkan Strauss dan Corbin, jenis
penelitian yang hasil temuannya tidak dengan statistik atau penjabaran angka-
angka hitung.24 Sebagaimana Moleong,25 metode kualitatif merupakan penelitian
dengan segala prosedur-prosedurnya yang hasilnya adalah data-data deskriptif.
Kata-kata tertulis atau naskah verbal. Serta data-data lisan yang didapat dari
orang-orang sebagai sumber data dan perilaku-perilaku yang dapat diamati.
Penelitian sejarah hukum doktrinal ini juga tidak bisa dilepaskan dari
sifatnya yang kualitatif. Karena penelitian kualitatif dalam sejarah hukum
doktrinal ini juga mempunyai kelebihan khusus. Yakni, mengungkap dan
memahami sesuatu atau fakta di balik fenomena yang sedikit pun belum
diketahui. Atau mengungkap wawasan yang baru sedikit diketahui. Oleh karena
23 Bambang Sunggono, S.H., MS., Metodologi Penelitian Hukum, Cet. VII, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 41-42. 24 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Basics of Qualitative Research: Grounded Theory
Procedures and Techniques, terj. Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 4.
25 Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelilian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 3.
13
itu, penelitian kualitatif dapat memperinci secara kompleks fenomena-fenomena
yang sulit diungkap menggunakan metode kuantitatif.26
Kerena penelitian yang dilakukan adalah konsepsi atas kejadikan masa
lalu atau sejarah pembentukan hukum perdata kolonialistik di era Hindia Belanda,
diperlukan berbagai pendekatan. Yaitu, Pertama, pendekatan deskriptif. Suatu
prosedur atau cara untuk mengurai pengetahuan fakta sejarah. Untuk ditafsirkan
secara ilmiah. Kedua, pendekatan normatif. Tawaran dari disiplin pengetahuan
berupa konsepsi, norma, kaidah, resep, formula, dan “kapsul”. Penggunanya
diharapkan bisa mengurai dan memecahkan suatu masalah. Tujuannya, tidak
kesulitan ketika mempergunakan hasil riset.
Ketiga, pendekatan sejarah. Sejarah dipergunakan sebagai pendekatan
untuk melihat, menelaah, dan meneliti suatu objek kajian. Evaluasi ‘secara
historis’ itu harus, kata Gadamer. Bagi sejarahwan hukum, hukum yang dipahami
secara benar dengan cara ini, dan ini selalu berarti bahwa dia harus menilai makna
historisnya; karena dia akan selalu dibimbing latar depan historis dan
prasangkanya sendiri, dia bisa ‘salah’ melakukan hal ini. Sebagai jembatan,
menurut Gadamer, dengan mediasi antara masa lalu dan masa kini, yaitu
aplikasi.27 Yakni, aplikasi nyata pengaruh hukum perdata Hindia Belanda sewaktu
dijadikan hukum Indonesia merdeka.
Untuk validitas fakta kesejarahan, ditekankan pada anatomi sejarah atau
fakta-fata sejarah yang melingkupi. Fakta dilihat dalam ukuran konteksnya atau
26 Anselm Strauss & Juliet Corbin, ibid., hlm. 5. 27 Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press, 1975), terj.
Ahmad Sahidah, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. xvii.
14
masa (lalu) terjadinya. Juga signifikansi sejarah atau fakta-fakta terkait sebagai
benang penghubung konteks masa lalu dengan konteks masa sekarang.
b. Sumber Data Penelitian
Agar penelitian lebih mendalam dan sesuai tujuan yang dimaksud dalam
penelitian, dibutuhkan data-data spesifik yang dapat dipergunakan sebagai sumber
dalam studi pemikiran tokoh ini. Ada dua macam sumber data; pertama, sumber
data primer.
Yaitu, sumber data utama dan paling pokok28 berupa buku-buku karya
pemikiran tokoh yang diteliti, Christiaan Snouck Hurgronje. Diantaranya;
Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 (11 jilid); The Revolt in Arabia; Islam di
Hindia Belanda; Aceh, Rakyat & Adat Istiadatnya; Perayaan Mekah; Kumpulan
Karangan Snouck Hurgronje (14 jilid); Tanah Gayo dan Penduduknya; Aceh,
Rakyat dan Adat Istiadatnya II; Mohammedanism; dan Mekka in the Latter Part
of the 19th Century. Dalam data primer, penulis meneliti naskah-naskah dari tokoh
(objek penelitian). Jadi, data penelitian berdiri sendiri sebagai data tanpa ada
ulasan dari peneliti lain. Sehingga posisi data primer merupakan data utama tanpa
cita rasa sentuhan peneliti lain.
Kedua, buku atau sumber data yang bersifat skunder atau data-data primer
yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul atau oleh pihak
28 Drs. Husein Umar, S.E., M.M., MBA, ibid., hlm. 43.
15
lain.29 Yakni, buku-buku atau naskah berisi ulasan atau analisis pemikiran suatu
tokoh, Christiaan Snouck Hurgronje, yang dilakukan seorang atau beberapa
penulis dan peneliti. Data-data skunder merupakan hasil riset seorang atau
beberapa orang peneliti terhadap pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje yang
terbukukan, artikel, atau dalam bentuk naskah lain.
Dari penamaan jenis data (primer dan skunder), kesemuanya merupakan
rangkaian data terkait, mengisi, memperkuat, maupun melemahkan. Tidak bisa
dipisahkan dengan cara polarisasi dikotomis. Sebagaimana semangat Gadamer
melepaskan diri dari cengkeraman metode tertentu yang justru merintangi atau
menghambat kebenaran.
Artinya, Gadamer melakukan penyelidikan kebenaran yang melampaui
ruang kontrol metode ilmu pengetahuan di manapun ia ditemukan, dan
menyelidiki legitimasinya. Ilmu pengetahuan dimitrakerjakan dengan mode-mode
pengalaman di luar ilmu pengetahuan: filsafat, seni, dan sejarah. Mode
pengalaman mencari sebuah kebenaran dengan proses dikomunikasikan, yang
tidak bisa dibuktikan melalui sarana metodologis yang tepat untuk ilmu
pengetahuan.30
Sedangkan peneliti menceburkan diri pada pusaran dialektika data-data
yang tiada henti. Berusaha tidak terjebak pada istilah pertentangan antara primer
dan skunder. Model ini—sebagaimana dipesankan Gadamer—sebagai upaya
29 Ibid., hlm. 43. 30 Hans-Georg Gadamer, ibid. hlm. vi. Semacam itu dilakukan Gadamer bukan bersifat anti-
metodologis. Justru, untuk memenuhi aspirasi metodologi terdalam. Yakni, untuk mencapai kebenaran bukan dengan memehuhi syarat-syarat atau teknik-teknik tertentu untuk mencapainya yang dilakukan subjek. Melainkan, kebenaran muncul sebagai akibat dari sesuatu yang “terjadi tanpa kemauan kita dan sesuatu yang terjadi di luar tindakan kita”.
16
mengumpulkan serpihan-serpihan kebenaran yang tidak terlacak metodologi agar
menjadi “bulat”, “utuh”. Meskipun sebelumnya mengikuti kewajiban prosedur-
prosedur ilmiah yang “begitu angkuh memaksa”; misalnya pemilahan dikotomis
konsepsi primer dan skunder.
c. Metode Pengumpulan Data
Keniscayaan suatu penelitian kualitatif, data-datanya dikumpulkan secara
dokumentatif. Proses pengumpulan data dengan menelusuri jejak-jejak literatur
kepustakaan. Mendapatkannya dengan cara library research (studi kepustakaan).
Data-data dari library research berupa deskripsi kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.31
Pencarian data-data pustaka32 atau literatur ilmiah dengan mengamati,
mendalami, mencermati, menelaah, dan mengidentifikasi naskah-naskah
pengetahuan. Sehingga pada suatu kesimpulan benar dan diakui secara filosofis
maupun empiris. Data-data itu seperti buku, majalah, surat kabar, dan dokumen
penelitian bentuk lain termasuk buku digital (e-books) maupun artikel internet.
Data kepustakaan disebut juga data nonmanusia. Oleh Lincoln dan Guba,
data nonmanusia disebut records and documents. Termasuk records (rekaman
atau catatan) adalah suatu pernyataan tertulis yang disiapkan oleh atau untuk
seorang (suatu organisasi atau lembaga) yang dapat dipertanggungjawabkan
31 Dr. Lexy J. Moleong, M.A., ibid. 32 Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, ibid., hlm. 296.
17
(publikasi resmi). Termasuk rencana anggaran, laporan pertanggungjawaban,
rencana dan laporan kegiatan, hasil audit, dan keputusan atau kebijakan resmi.33
Sedangkan, document terdiri dari surat-surat, memo, nota, pidato-pidato,
buku harian, foto, kliping berita koran, hasil penelitian, dan agenda kegiatan.34
Sartono Kartodirdjo membagi sumber dokumen menjadi lima macam. Pertama,
otobiografi. Kedua, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, dan memoir.
Ketiga, surat kabar. Keempat, dokumen-dokumen pemerintah. Kelima, cerita
roman dan cerita rakyat.35 Otobiografi merupakan riwayat hidup Christiaan
Snouck Hurgronje yang dapat dijumpai dalam terbitan biografi tentang dirinya.
Sedangkan surat-surat pribadi yang rahasia bisa diungkap lewat buku nasehat-
nasehatnya. Surat kabar seperti koran atau web site yang mengulas dirinya dipakai
pula di sini. Terbitan pemerintah adalah naskah resmi yang diterbitkan oleh
pemerintah seperti teks hukum. Lalu, cerita rakyat yang masih hidup dari cerita
mulut ke mulut ataupun buku kronik sejarah.
Literatur-literatur tadi, oleh Strauss dan Corbin, disebut literatur teknis dan
nonteknis. Literatur teknis; laporan tentang penelitian, karya tulis professional
dengan disiplin ilmiah. Seperti makalah teoritik dan filosofis.36 Sedangkan
literatur nonteknis meliputi surat, biografi, catatan harian, laporan, kaset video,
surat kabar, dan sebagainya.37
33 Sanapiah Faisal, Penelitia Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Edisi I, (Malang: Yayasan
Asih Asah Asuh, 1990), hlm. 81. 34 Ibid. 35 Sartono Kartodirdjo, Metode Penggunaan Bahan Dokumen, dalam Koentjaraningrat,
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1981), Cet. IV, hlm. 56. 36 Anselm Strauss & Juliet Corbin, ibid., hlm. 39. 37 Ibid., hlm. 47.
18
Kategorisasi dan definisi data-data, menurut para pakar metodologi
terdapat sisi-sisi perbedaan. Namun, perbedaan definisi data literer dari para pakar
mengrucut ke arah sama. Yakni, data-data yang menunjang penelitian kualitatif
dengan library research.
d. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis
serakan data-data yang terkumpul. Supaya data tercecer mudah dipahami peneliti
dan enak dinikmati sebagai temuan yang dirasakan orang lain. Karena ini
penelitian sejarah hukum doktrinal maka dipergunakanlah analisis bahasa hukum
atau kebijakan atau nasehat dan arahan yang dioperasikan lewat kebijakan. Maka,
di sini akan “diadakan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan lembaga hukum—seperti masalah perkawinan, waris, dan
sebaginya—tertentu maupun peraturan perundang-undangan tertentu”. Analisis
ini merupakan “aktivitas ilmiah untuk menyusun pentahapan perkembangan
hukum atau perkembangan peraturan perundang-undangan”.38
Selain analisis terhadap sejarah hukum doktrinal tidak pula dipungkiri
untuk menganalisis isi terhadap objek penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini
juga menganalisis isi data atau analisis isi (contents analysis).39 Metode dalam
38 Bambang Sunggono, S.H., MS., Metodologi Penelitian Hukum, ibid., hlm. 98-99. 39 Dr. Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya,
1995), Cet. VI, hlm. 103. Contents analysis pertama kali digunakan oleh mahasiswa publisistik di Amerika Serikat yaitu M.M. Willey dalam The Country Newspaper, Astudy of Socialization and Newspaper Content, pada 1926.
19
penelitian data dan informasi melalui pengujian arsip dan dokumen.40 Persoalan
lalu yang terjadi lama tidak dapat dianalisis tanpa ada data-data penunjang. Data
yang dimaksud bisa dilacak setelah menjadi bahasa verbal. Misalnya, melalui
jalur sekolah, lembaga kerja, dan institusi lain. Karena teknik contents analysis
berhubungan dengan komunikasi. Terutama isi komunikasi. Tak terbatas hanya isi
kounikasi, juga meliputi isi nonverbalnya. Seperti, karya seni, arsitektur, pakaian,
alat rumah tangga, film, dan televisi.41
Maka, contents analysis merupakan analisis ilmiah terhadap isi pesan
suatu komunikasi, demikian Barcus. Karenanya, secara teknis contents analysis
mencakup tiga hal. Pertama, klasifikasi tanda-tanda yang dipakai komunikasi.
Kedua, menggunakan kriteria dasar komunikasi. Dan ketiga, menggunakan teknis
analisis tertentu untuk membuat prediksi. Getolnya pada contents analysis ini,
George dan Kraucer berujar, contents analysis kualitatif lebih mampu menyajikan
nuansa dan melukiskan prediksi penelitiannya.42
Dalam pada itu, metode yang digunakan dengan meneliti naskah-naskah
kepustakaan; buku, jurnal, majalah, koran, dokumentasi digital, dan data-data
berbentuk lain. Khususnya dalam kajian tokoh Christiaan Snouck Hurgronje,
tentu dibutuhkan proses pengujian dan analisis kritis terhadap isi-isi (contents)
warisan masa lampau pada era Hindia Belanda.
Saat Perang Dunia ke-2 (PD II), contents analysis digunakan memperlajari
propaganda musuh. Contents yang diteliti baik dari isi siaran radio maupun isi
40 Drs. Husein Umar, S.E., M.M., MBA, Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 31.
41 J. Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1984), Cet. VI, hlm. 66-67.
42 Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, ibid., hlm. 68-69.
20
harian.43 Maka, dalam meneliti naskah-nakah Christiaan Snouck Hurgronje,
metode contents analysis menemukan signifikansinya. Karena Christiaan Snouck
Hurgronje adalah agen intelejen Negeri Belanda yang ditugasi menjadi penasehat
Pemerintahan Daerah Jajahan Hindia Belanda. Contents analysis akan mengorek
isi nasehat-nasehat manis berbisa; strategi dan propagandanya.
Karena pengetahuan berarti pula propaganda, dalam contents analysis,
Barelson membagi antara isi dalam wujud komunikasi dan isi di balik wujud
komunikasi atau isi laten.
Kalau seorang peneliti semata-mata membatasi diri pada suatu analisa dari isi yang terwujud saja sedangkan tidak mempersoalkan tujuan dan arti dari isi komunikasi, maka relevansi teoritisnya dengan sendiri bersifat rendah (meskipun reliabilitynya tinggi). Mengikutsertakan isi laten (kebalikan dari isi yang terwujud) dari komunikasi berarti bahwa reliability dari isi laten adalah rendah tetapi relevansi teoritisnya tinggi.44
Penelitian model ini, dalam sisi empiris bisa dilihat efek yang ditimbulkan
akibat isi pesan yang terwujud dalam bahasa verbalnya. Maka, isi laten akan
terbukti dari efek berbeda dari “cover” isi pesannya. Kesimpulan-kesimpulan dari
tambahan data-data empiris sebagai efek isi pesan yang terwujud dapat ditarik
secara teoritis dan mempunyai arti benar sebagai hasil penelitian.
Cara mengetahui isi laten atau isi sebenarnya di balik isi yang terwujud,
metode contents analysis, sangat tajam sebagai pisau bedahnya. Gadamer pun
telah mengingatkan secara keras bahwa orang-orang yang menjadi penulis atau
melakukan kerja-kerja pengetahuan tidak bisa diakui legitimasinya sebagai satu-
43 Dalam dunia yang dikuasasi kapitalisme atau neoliberalisme ini. Contents analysis dipakai
untuk tujuan komersil. Yakni, memformat isi pesan-pesan dalam promosi produk (barang, jasa, iklan politik, dll.) agar sesuai dengan cita rasa konsumen yang melihat, mendengar, dan merasakan. Sehingga, disiplin dari contents analysis juga dipakai untuk memanipulasi isi pesan agar sasaran terbidik dengan baik. Meskipun faktanya berbeda, bahkan kebalikan dari isi pesan.
44 J. Vredenbregt, ibid., hlm. 70.
21
satunya orang yang mempunyai standar makna paling valid atas karyanya.
Gadamer mencontohkan dalam interpretasi karya seni.45
Dengan kerja contents analysis yang ganda. Yakni, analisis isi wujud dari
pesan verbal yang dipropagandakan. Selanjutnya, analisis isi tersembunyi (isi
laten) atau isi sebenarnya dari isi yang terwujud. Maka, sebagaimana Gadamer,
peneliti punya hak sama untuk memahami makna pesan sumber data. Bahkan bisa
jadi melebihi kemampuan memaknai yang dilakukan tokoh yang diteliti atas
pikirannya sendiri. Karena peneliti sekarang berada pada konteks kekinian dan
masih menjadi pelaku sejarah. Sedangkan, tokoh yang dikaji sudah di alam baka
sehingga tidak melihat efeknya sekarang.
e. Penggunaan Teori
Sebagai upaya agar penelitian ini bisa ‘menyetubuh’ dan ‘sealur’ dengan
maksud-maksud pemikiran tokoh yang sedang diteliti maka teori kolonialisme
peneliti pergunakan. Maksudnya, pada kerangka teori kolonialisme peneliti
berusaha seolah ‘sebagai’ pihak kolonial yang sedang menjalankan aksi
imperialisme di suatu wilayah atau kawasan. Artinya, peneliti perlu mengetahui
setting masyarakat Eropa, terutama Belanda, pada era-era sebelum dan ketika
kolonialisme dan imperilisme bergerak ke bumi Nusantara. Karena tanpa cara ini
maka peneliti akan terjebak pada talaah terhadap etik atau ide-ide yang
terlontarkan oleh sumber informasi. Padahal, pada masa-masa itu pengetahuan
atau pemikiran yang terpublikasikan merupakan isu yang dihembuskan. Bukan
45 Hans-Georg Gadamer, ibid., hlm. xv.
22
fakta itu sendiri atau fakta yang sebenarnya. Oknum-oknum yang menyatakan diri
netral atas nama objektifisme malah akan terkecoh dengan sumber-sumber
pemikiran dari Barat karena begitu menarik. Setidaknya karena tidak mudah
dijumpai sumber pengetahuan pembanding yang berasal dari anak bangsa negeri
maritim ini.
Mengikuti kerangka kolonialisme kita posisikan penduduk Nusantara yang
dicengkeram imperialisme Belanda diangkat sebagai objek. Objek di sini bisa
dibilang sebagai pihak yang lemah atau perlu dilemahkan dengan berbagai cara.
Misalnya, dilemahkan menggunakan perangkat hukum. Agar sasaran yang
sebenarnya yang menguntungkan bisa diambil dengan sangat leluasa. Bila perlu
objek dikuasai untuk waktu yang tak terbatas. Kolonialisme (colonialism)
merupakan babakan baru dari individualisme. Muncul abad ke-15.
Individualisme, ditandai ditemukannya mesin cetak dan disusul reformasi Kristen.
Pada akhir abad ke-16, Descartes (1596-1650)46 menawarkan revolusi pemikiran
yang benar-benar luar biasa. Itulah biji pertama modernisme.47 Yakni, bahwa
segala sesuatu itu bisa diterima asalkan jelas dan rasio bisa menerimanya. Model
ini dikenal dengan filsafat rasionalisme.48
Sedangkan kerangka postkolonialisme merupakan cara agar peneliti,
sebagai yang merupakan bagian bangsa yang pernah dalam bidikan kolonialisme
46 Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York:
Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325. Lihat pula F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 37-38.
47 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern…, ibid., hlm. 2-3. F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 72.
48 Selain Descartes sebagai filosof modern, ada Baruch de Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), serta Blaise Pascal (1623-1662), yang terkategori filsafat rasionalisme.
23
dan imperilisme Belanda, menjadikan diri sebagai subjek. Yakni, subjek yang
meneliti tentang kolonialisme Belanda. Terutama penelitian terhadap pemikiran
hukum yang berasal dari Belanda atau tokoh-tokoh imperialis. Maka di sini ada
asumsi awal atau kecurigaan terhadap pemikiran hukum produk kolonial.
Postkolonialisme, teori ini merupakan akumulasi konsep-konsep, cara-cara
untuk memahami, dan tidak meninggalkan praktik untuk menjelaskan objek. Oleh
karenanya, dalam postkolonialisme kurang tepat jika kata ”post” sekadar diartikan
masa “setelah” atau “sesudah”. Bagi Stephen Slemon, postkolonialisme tidak
sekadar menunjuk pada suatu negara. Melainkan kondisi-kondisi yang
ditinggalkan (postcolonial condition).49 Maka, postkolonialisme bukanlah
neokolonialisme ataupun antikolonialisme.50 Tokoh-tokohnya seperti; Edward
Said, Jacquest Lacan, Frantz Fanon, Gayatri Chakravorty Spivak, D. Chakrabarty,
Homi K. Bhabha, Slavoj Zizek, Sara Suleri, Bill Ashcroft, Helen Tiffin, Ania
Loomba, Leela Gandhi, Gauri Viswanathan, serta Michel Foucault.
Kecurigaan-kecurigaan terhadap pemikiran produk Eropa atau kolonial
Belanda tidak mungkin bisa dilenyapkan. Karena objek penelitian (pemikiran
hukum Belanda) tidaklah objektif. Mengapa? Objek penelitian sesungguhnya
merupakan subjek yang memiliki kepentingannya sendiri (baca, dalam kerangka
kolonialisme). Sehingga objek penelitian adalah sesuatu yang sangat subjektif.
Sama halnya dengan kerangka postkolonialisme akan menjadi sangat subjektif
49 Stephen Slemon, Post-colonial Critical Theories, dalam Gregory Castle (ed.), Postcolonial
Discourses: An Anthology, (Massachusetts: Blackwell, 2001), hlm. 102. 50 Leela Gandhi, Postcolonial Theory A Critical Introduction, (Allen & Unwin, 1998) terj.
Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah, Teori Postkolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, hlm. 90-91.
24
ketika otonom memosisikan segala hal yang imperialis dan kolonialisme sebagai
objek semata.
Maka dengan menggunakan kedua kerangka teori secara sekaligus ini,
kolonialisme dan postkolonialisme, dapat menjadi jembatan dialogis antara subjek
satu (alur pemikiran kolonialisme) dan subjek lain (alur pemikiran
postkolonialisme). Jembatan dialogis yang akan memosisikan kolonialisme
sebagai kolonialisme yang lebih tinggi dan yang berusaha menguasai dan
memperdayai. Juga memosisikan postkolonialisme sebagai kritik tajam yang akan
mengorek kebiadaban kolonilisme. Terutama, dalam pemikiran hukum perdata
kolonialistiknya Christiaan Snouck Hurgronje.
Sehingga kedua kerangka teoritik itu peneliti tempatkan pada porsinya
masing-masing sebagai analisis fakta-fakta. Di mana melalui analisis fakta-fakta
penelitian ini dapat ditarik suatu benang merah penghubung yang dialogis atau
kesimpulan yang sangat tegas dan yang sama sekali berbeda di antara fakta-fakta
dalam analisis penelitian.
f. Pemusatan Objek Penelitian
Diantara pemikiran Christaan Snouck Hurgronje yang perlu dijadikan
objek penelitian dalam disiplin hukum perdata Islam adalah:
1. Mendukung Teori Resepsi (Theorie Reseptie)
Theorie Reseptie berkaitan dengan kerangka awal pemikiran Christiaan
Snouck Hurgronje untuk mepertentangkan hukum adat dan hukum Islam. Pada
25
teori ini dia mendukung hukum adat dan kaum adat untuk melenyapkan pengaruh
Islam dan hukum Islam di Hindia Belanda. Pada teori resepsi ini sangat penting
untuk acuan membaca arah pemikirannya dalam urusan perdata penduduk di
daerah taklukan Hindia Belanda.
2. Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan
Kebanyakan peneliti (untuk tidak mengatakan semuanya) tersipu meneliti
langkah-langkah politik kolonial Christiaan Snouck Hurgronje sebagai peletak
dasar ‘politik Islam’ di Hindia Belanda. Luput dari para peneliti yang telah ada
adalah penelitian terhadap aspek urusan rumah tangga Pribumi, khususnya
pernikahan, yang sebenarnya sangat serius dibahas Christiaan Snouck Hurgronje.
Karena urusan rumah tangga (keperdataan) Pribumi justru aspek paling
menentukan dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Maka, Christiaan Snouck
Hurgronje mengambil langkah strategis, yakni, pengawasan terhadap pernikahan
dengan pencatatan.
3. Pengangkatan Penghulu untuk Kepentingan Kolonial
Penghulu yang sah perlu diangkat oleh pemerintah koloni Hindia Belanda
sebagai pejabat. Tindakan ini untuk mengurangi sekaligus melenyapkan pengaruh
penghulu (yang telah ada) di masjid-masjid. Jika perlu, penghulu masjid juga
dianggat sebagai pejabat di bawah bupati dan di bawah kontrol pemerintah pusat
Hindia Belanda. Langkah ini diambil agar penghulu di bawah kendali kolonial
26
dan bekerja berdasarkan kepentingan kolonial. Meskipun penghulu-penghulu
(modern) kolonial tidak memiliki kualitas yang mumpuni sebagai tokoh agama.
4. Mencegah Penerapan Sistem Kewarisan Islam
Salah satu upaya untuk membatasi (dan menghilangkan) pengaruh Islam
adalah berusaha sedapat mungkin untuk mencegah penerapan hukum waris Islam.
Maksud demikian dilaksanakan dengan cara membenturkan sistem waris Islam
dengan sistem waris adat. Di mana hukum waris Islam harus tunduk di bawah
hukum waris adat. Misalnya, di masyarakat Minangkabau yang mengikuti adat
waris matriarkat (jalur ibu/ perempuan) sedangkan hukum waris Islam bersifat
patriarkat. Kolonialisme menghendaki kekalahan Islam. Maka, dibuatlah mitos
pengetahuan bahwa hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam
(patriarkat) tidak mungkin bisa berdamai. Sehingga jalan satu-satunya untuk
menyelesaikan masalah ini—versi kolonial—harus mengikuti hukum waris adat
dan meninggalkan hukum waris Islam.
5. Asas Monogami
Monogami merupakan bentuk pernikahan yang sangat diinginkan
kolonialisme. Karena monogami akan semakin mendekatkan penduduk Nusantara
kepada budaya modern Eropa. Dengan alasan yang dirasionalisasi bahwa
monogamilah jenis pernikahan yang sehat sekaligus akan membentuk keluarga
yang baik. Sedangkan poligami yang tidak tabu terjadi pada penduduk Pribumi
akan dihilangkan karena menghambat proses modernisasi dan pem-Barat-an
27
penduduk jajahan, khususnya di tanah Jawa. Adanya Asas Monogami dalam
pernikahan di Indonesia menandakan bahwa kolonialisme masih hidup.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Supaya rangkaian bahasan dalam penelitian ini dapat dicerna dengan
mudah dan runtut, penyusunannya mengetengahkan penulisan sistematis. Yaitu:
Bab I Pendahuluan. Di dalam Bab Pendahuluan ini terdiri dari rangkaian;
Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Telaah Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II Perangkat Bacaan Kolonialisme dan Postkolonialisme untuk
Urusan yang terkait Kawasan Koloni.
Kolonialisme yang Angkuh; Merkantilisme ke Liberalisme; Imperialisme;
Neokolonialisme.
Postkolonialisme yang Kukuh; Fungsi dan Manfaat Postkolonialisme;
Bidikan Postkolonialisme; Batasan Postkolonialisme; Relevansi Postkolonialisme
di Nusantara.
Bab III Dinas Mata-Mata dan Pemikiran Perdata Kolonial Christiaan
Snouck Hurgronje.
Arkeologi Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje; Christiaan Snouck
Hurgronje dalam Bacaan Situasi Keluarga; Pendidikan, Pembentukan Pemikiran,
dan Karya Tulis Christiaan Snouck Hurgronje; Petualangan, Penelitian, dan Tugas
Awal Penyamaran Christiaan Snouck Hurgronje.
28
Pendudukan Belanda di Nusantara dan Penugasan Christiaan Snouck
Hurgronje; Masyarakat Nusantara dalam Pendudukan Belanda; Penugasan
Christiaan Snouck Hurgronje untuk Pemerintah Hindia Belanda dan Penyamaran
Berikutnya.
Konsepsi-Konsepsi Kolonialistik dari Pemikiran Christiaan Snouck
Hurgronje dalam Urusan Perdata Hindia Belanda; Membela Teori Resepsi
(Theorie Reseptie); Pengawasan Penyelenggaraan Pernikahan; Pengangkatan
Penghulu sebagai Pegawai Pemerintah; Mencegah Penerapan Sistem Kewarisan
Islam; Asas Monogami dalam Pernikahan.
Bab IV Perangkap Kolonialistik Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje
dalam Urusan Perdata Hindia Belanda.
Christiaan Snouck Hurgronje Sang Pemikir Modernis-Liberalis-
Kolonialis; Pengikut Setia Modernisme-Liberalisme Leiden; Evolusi Sosial-
Kebudayaan: Teori Pemunahan Ras; Modernisme-Liberalisme-Kolonialisme:
Suatu Proyek Penghancuran.
Operasi dari Rencana Licik Christiaan Snouck Hurgronje dalam Urusan
Perdata Hindia Belanda; Teori Resepsi Guna Melumpuhkan Hukum Islam;
Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan; Pengangkatan Penghulu sebagai
Agen untuk Urusan Keluarga Koloni; Khayalan Ilmuwan Barat: Hukum Waris
Adat (Matriarkat) dan Hukum Waris Islam (Patriarkat) Tidak Mungkin Berdamai
!; Asas Monogami: Kepanjangan Tangan Kolonial.
Pengaruh Konsepsi Kolonialistik Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje
di Indonesia; Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Tempat Sampah Dunia; Gagal
29
Menghasilkan Sistem Hukum yang Merdeka; Indonesia: Negara Hukum yang
Anomi (Tak Berjati Diri).
Bab V Penutup. Sebagai capaian simpul dari hasil penelitian yang benar,
berkelanjutan, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, pada bab penutup
ini disusun dengan; Kesimpulan, Saran-Saran, dan Penutup.
Demikian, segala rangkaian ini sebagai langkah awalan untuk melakukan
kajian ilmiah lebih mendalam tentang “Christiaan Snouck Hurgronje Arsitek51
Urusan Perdata Kolonialistik Hindia Belanda”.
51 ‘Arsitek’ merupakan penunjukan kepada pakar rancang bangun. Para ahli yang mengkonsep
sesuatu agar lebih rapi, halus, bernuansa seni, kuat, dan akurat. Dalam penelitian ini, redaksi ‘arsitek’ dipilih untuk mewakili kondisi tokoh Christiaan Snouck Hurgronje yang mumpuni sebagai arsitektur. Yakni, arsitek yang mengkonsep pengetahuannya sebagai cara-cara menguasai masyarakat di wilayah Pemerintahan Daerah Jajahan Hindia Belanda.
Peran sebagai pemikir tadi bisa juga disebut sebagai ‘aktor intelektual’, yang bertugas membuat konsep-konsep cara menjajah dan menguasai. Lebih tepat lagi, tugas penting sebagai tim ahli atau aktor intelektual dalam suatu penguasaan atau penjajahan disebut sebagai ‘think thank’. Yaitu, garda utama yang dengan kecanggihan pikiran-pikirannya mendesain konsepi-konsepi, strategi-strategi, fatwa-fatwa kebijakan, dlsb. untuk target tertentu. Misalnya, menjajah, menguasai, menghegemoni fisik atau nonfisik, dan memerintah dengan remot control otak melalui pengetahuan-pengetahuan, semisal kepada Daerah Jajahan Hindia Belanda.
Namun, untuk kepentingan penelitian dan memperhalus kata, digunakanlah redaksi ‘arsitek’ untuk maksud tim ahli, aktor intelektual, desainer, think thank, dst. Kiranya memang lebih elegan dan enak kalau pilihan itu jatuh pada redasksi kata ‘arsitek’ dengan maksud-maksud yang sudah dijabarkan tadi.
30
BAB II
PERANGKAT BACAAN
KOLONIALISME DAN POSTKOLONIALISME
UNTUK URUSAN YANG TERKAIT KAWASAN KOLONI
A. KOLONIALISME YANG ANGKUH
“Je pense donc je suis” “Cogito ergo sum” Rene Descartes1
Kolonialisme (colonialism) merupakan babakan baru dari individualisme.
Muncul abad ke-15. Individualisme, ditandai ditemukannya mesin cetak dan
disusul reformasi Kristen. Pada akhir abad ke-16, Descartes (1596-1650)2
menawarkan revolusi pemikiran yang benar-benar luar biasa. Itulah biji pertama
modernisme.3 Yakni, bahwa segala sesuatu itu bisa diterima asalkan jelas dan
1 Rene Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern. Yang menggumuli kesadaran dalam bentuk
filsafat. Metode kesangsian (le doute methodique) digunakannya untuk berpikir; kepastian. Pemikirannya tentang je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) acap dijadikan jargon akademik. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 37-38.
2 Meskipun para metodolog filosofis besar memosisikan Descartes sebagai peletak tonggak revolusi pemikiran. Perlu ditengok masa-masa sebelum dia, seperti tokoh Michel de Montaigne (1533-1592). Montaigne ini moralis, bukan ilmuwan atau matematikawan. Sebagai ahli waris skeptis kuno, Montaigne meragukan indera dan akal budi. Tekanan pikirannya pada alam yang menjadi karakter melekat dalam diri kita. Pandangannya disokong para pemikir kuno. Tokoh skeptis satu ini pernah mengajar seni kuno yang mengembangkan suatu kehidupan filosofis. Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York: Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325.
3 ’Modern’ muasalnya ’moderna’ (Latin). Artinya, ‘sekarang’, ‘baru’, atau ‘saat ini’, atau jetztzeit (Jerman). Manusia dikatakan modern ketika sadar waktu kekinian. Cirinya; subjektif, kritik, dan kemajuan. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern…, ibid., hlm. 2-3. Modernisasi --secara simplistis—sering disebut Westernisasi (proses pem-Barat-an). F. Budi Hardiman, Melampaui
31
rasio bisa menerimanya. Model ini dikenal dengan filsafat rasionalisme.4
Pengaruh rasionalisme di bidang agama, pertengahan abad ke-17 (1655), Eropa
dibagi berdasar agama lewat perjanjian Westphalia5. Yakni, Jerman representasi
Protestan sedangkan Perancis dan Italia kubu Katolik. Inilah benih negara.
Sebagai koreksi atas teori bahwa negara mulai ada diabad ke-19. Di bidang
industri, ditandai keberhasilan teknologi membuka terusan Suez. Kapal Eropa bisa
keliling dunia lewat Suez dan terbukti bahwa bumi bulat, tidak flat6 (datar). Dari
situlah kapitalisme merkantilis dimulai; ketika kapal-kapal Eropa melayari seluruh
penjuru dunia.7 Babak selanjutnya dari edisi pelayaran samudera adalah
kolonialisme, imperialisme, dan neokolonialisme.
Kolonialisme (colonialism). Kata-kata ini berhasil membekas trauma bagi
penduduk atau bangsa yang pernah mengalami fase tragis dan mengenaskan di
dalam belenggu. Tidak merdeka. Kurang utuh sebagai manusia-manusia bebas
dalam suatu ikatan kewilayahan. Terkungkung kebebasan berekspresi,
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 72.
4 Selain Descartes sebagai filosof modern, ada Baruch de Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), serta Blaise Pascal (1623-1662), yang terkategori filsafat rasionalisme.
5 Perjanjian Westphalia (The Peace of Westphalia) disebut juga perjanjian Munster dan Osnabruck. Bertujuan mengakhiri tiga puluh tahun perang Katholik vs Protestan di Eropa. Lalu, disepakati resmi mengakui Republik Belanda dan Konfederasi Swiss. Westphalia ditandatangani 24 Oktober 1948 oleh Kaisar Romawi Suci Ferdinand III, pangeran Jerman lainnya, dan perwakilan Belanda, Perancis, Swedia. Lihat, Muhammad Kholid Syeirazi, Reformasi Protestan 1517 dan Benih-Benih Nasionalisme Modern, dalam http://www.jarkom.biz/cara-login/224-kholid-syeirazi-reformasi-protestan-1517.html (Last Updated Friday, 19 December 2008 15:07).
6 “Flat Earther” julukan untuk yang nekad dan acuh tak acuh mendukung bumi berbentuk flat, datar. Padahal, Aristoteles (330 SM) membuktikan bumi bulat, Eratosthenes (240 SM) dari Cyrene dengan tepat menghitung lingkar bumi, dan Bede (abad 8) penelitiannya menerima bumi bulat. Lihat, Peyakin Bumi Bulat dalam http://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/ 2008/11/081113_bumibulat.shtml (Diperbaharui pada: 13 November, 2008).
7 Emmanuel Subangun, Struktur Ekonomi Kolonial dan Kapitalisme Indonesia Kini, dalam Jurnal Pitutur, Meracik Wacana, Melacak Indonesia, (Yogyakarta: Pitutur, 2001), hlm. 27-28.
32
mengembangkan segenap potensi, mandiri dan berdaulat sebagai manusia yang
apa adanya.
Demikian kuat pengaruh kata-kata ‘kolonialisme’, oleh Sulchan, redaksi
itu diurai menjadi empat; koloni, kolonial, kolonisasi, dan kolonisir
(mengolonisir). ‘Koloni’, kata pertama ini dimaksudkan untuk menandai suatu
wilayah atau tanah (berarti pula negara) jajahan. ‘Kolonial’ merupakan uraian atas
sifat-sifat sang pelaku di daerah koloni atau watak-watak penjajah. Sedangkan
‘kolonisasi’ diartikan (poses) pemindahan penduduk ke tanah seberang. Terakhir,
‘kolonisir’ atau ‘mengolonisir’, kegiatan untuk menguasai dan memperdaya,
dalam bahasa Sulchan; menjajah.8
Lebih sederhana, Candra, dalam dua istilahnya; colonial dan colony.
Colonial tetap sebagai kolonial, tidak diperjelas. Lalu, colony dijelaskan sebagai
jajahan.9 Jajahan atau koloni, dalam bahasan Candra, bisa disebut dalam istilah
Cina zhimindi atau qunti. Isme yang merangkai kata kolonial (kolonial-isme)
dapat pula disebut zhimin zhuyi.10 Kata-kata yang begitu penuh bau penjajah dan
penjajahan itu mengalami pula adopsi ke bahasa Indonesia. Istilah-istilah
Indonesianya mirip dengan berbagai kata dari disiplin Bahasa Belanda. Seperti,
koloni (kolonie, Belanda), berkoloni (‘n kolonie vormen/ hebben; z vestige),
kolonial (koloniaal), kolonialisme (kolonialisme), kolonialis/tis (kolonialist),
8 Drs. Sulchan Yasyin (ed.), Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1997),
hlm. 295. 9 Ar. Adi Candra-Pius Abdillah, Kamus 1.500.000; Inggris-Indonesia Indonesia Inggris,
(Surabaya: Arkola, 1998), hlm. 56. 10 Surayin, Kamus Umum & Homonim Cina-Indonesia Indonesia-Cina, (Bandung: Yrama
Widya, 2003), hlm. 426.
33
kolonisasi (kolonisatie), kolonisator (kolonisator), sedangkan kolonisir atau
mengkolonisir (koloniseren).11
Setelah diurai dalam ragam jenis kosa kata dan bahasa, ‘kolonialisme’
sebagai kata belum mampu mewadahi maksud nyatanya. Masih terpatah-patah
dalam arti-arti kecil. Oleh karena itu, dalam rangkaian istilah, ‘kolonialisme’
merupakan “pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia
di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber
daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut.”12 Pengembangan kekuasaan
dilakukan dengan meyakinkan. Dipropagandakan bahwa moralitas pelaku koloni
lebih baik, lebih tinggi, dan lebih hebat dari yang dikoloni. Tugas terakhir ini
diserahkan kepada tokoh-tokoh moralis atau tokoh sosial; agamawan, budayawan,
pelajar atau aktivis intelektual, dan akademisi.
Loomba menelusuri kolonialisme dari Oxford English Dictionary (OED)
berasal dari “colonia” bahasa Romawi, artinya “tanah pertanian” atau
“pemukiman”. Dalam sejarahnya, kata itu mengacu pada kejadian orang-orang
Romawi yang bermukin di negeri lain namun masih mempertahankan
kewarganegaraannya sebagai bangsa Romawi.13 Pemukiman berpindah itu akan
membentuk komunitas ”baru”. Mungkin tidak selalu baru dengan segala
kebaruannya. Dari pemaknaan istilah ini, kolonialisme tidak bisa dianggap
sebagai proses identis dalam dunia yang berbeda. Di mana pun bisa terjadi
11 A. Teeuw, Kamus Indonesia Belanda Indonesisch-Nederlands Woordenboek, (Jakarta:
KITLV-LIPI & Gramedia, 1994), hlm. 353. 12 Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme (terakhir diubah pada 23:00, 2 Februari
2009). 13 Ania Loomba, Colonialism / Postcolonialisme, (New York: Routledge, 2000), terj. Hartono
Hadikusumo, Kolonialisme / Pascakolonialisme, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 1.
34
hubungan paling kompleks dari pembentukan komunitas ”baru” itu. Hubungan di
dalamnya tidak selalu mengakibatkan trauma di antara kaum pendatang dan yang
didatangi. Relasi yang dibangun tidak selalu menjadi parasit salah satunya atau
kedua-duanya. Tidak menutup juga pertalian yang bersifat mutualisme. Kamus
Oxford lain menyebutkan colonial sebagai person living in a colony14 (orang yang
berada / hidup disebuah koloni / wilayah lain). Juga disebut sebagai inhabitant of
colony15 (penduduk / berada / tinggal di koloni).
Penjelasan Lombaa atas kolonialisme tadi, secara terminologi, disesuaikan
ketika kata-kata itu muncul dan berbagai kemungkinannya. Sebagai proses
pengetahuan yang terjadi di lapangan, kolonialisme bisa menjadi sangat spesifik
maknanya. Terkait dengan kecenderungan kuat yang mempengaruhi kehidupan
manusianya juga. Maka dari serangkaian kata tadi, penjelasan makna, dan
penjabaran pengistilahan, kata kolonialisme dapat dikerucutkan dalam penjelasan
lebih terperinci dan berkepentingan tanpa hendak meniadakan kemungkinan lain.
Nampaknya, Nohlen lah yang dapat menjelaskan ‘kolonialisme’ secara lebih teliti
namun terlalu subjektif sebagai orang yang berada di luar.16 Dalam
pembahasannya, Nohlen berusaha menyesuaikan dengan kondisi riil di negara
koloni dan para pelaku yang berasal dari Eropa. Untuk menuju kedekatan realitas
dipergunakan penjelasan kesejarahan atas kolonialisme. Bagi Nohlen, ‘koloni’
berarti daerah yang bergantung dari luar. Kolonialisme yang terjadi dihampir
semua negara-negara di dunia merupakan pertanda bahwa Eropa sedang
14 Oxford University, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (New York: Oxford University
Press, 2004), hlm. 78. 15 Julia Swannell (ed.), The Little Oxford Dictionary, (New York: Oxford University Press,
1987), hlm. 102. 16 Kerancuan pemaknaan dan penjabaran istilah akan diurai pada bahasan postkolonialisme.
35
melakukan proses memperluas wilayah kekuasaannya di negara-negara luar
Eropa.17
Tidak hanya oleh pelaku ekonomi atau para pemodal, kolonialisme juga
dilakukan kelompok kepercayaan.18 Bisa pula agamawan. Mereka melakukan
ekspansi dan menyebar ke dearah-daerah ’tanpa nama’ pada asumsi waktu itu.
Ketika sampai pada daerah-dearah tanpa nama itu mereka kemudian memberikan
penamaan. Peristiwa itu disebut dengan penemuan atau menemukan. Peristiwa
mendapatkan sesuatu (tempat) yang sebelumnya ‘tidak ada’. Atau tempat itu ada
namun sang penemu menganggap dirinya yang kali pertama melihat dan
menemukannya sehingga berhak menamai lokasi yang dimaksud.
Kolonialisme, sejak semula untuk kepentingan ekonomi atau dagang.
Demi kepentingan itu lalu banyak dibuat pangkalan-pangkalan dagang sekaligus
menguasai pangkalan yang sudah ada di suatu lokasi. Sering kali perebutan
pangkalan berlangsung sengit jika letaknya pada zona-zona strategis bagi
perdagangan dunia. Zona strategis kebanyakan terdapat di daerah pesisir. Dekat
perairan laut karena mereka melakukan pendaratan di tepian pantai sekaligus
memulai aktivitas ekonominya di sana. Paling tidak, diciptakan dulu komunitas
strategis yang kokoh di pesisir untuk bertahan hidup. Tidak langsung masuk ke
daerah pedalaman.
Meskipun tidak selalu bermotif ekonomi, fokus utama kegiatan
kolonialisme tak lain demi membesarkan kekayaan negara pengkoloni.
17 Dieter Nohlen (ed.), Kamus Dunia Ketiga, (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 342. 18 Konial Portugis di Nusantara diwakili oleh kelompok Kristen Katholik. Dibungkus
selubung penyebaran agama Kristen Katholik Portugis menguasi basis rakyat. Sedangkan Belanda membawa agamawannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Protestan untuk mendukung kekuasaan kolonial.
36
Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber kekayaan asli daerah koloni dilakukan
pengkoloni tanpa malu. Keuntungan sebesar-besarnya diperoleh negara-negara
pengkoloni. Bukan hanya cara-cara halus yang dipakai, demi memuaskan tujuan
kolonialisme dipergunakan pula cara kasar. Merampas kekayaan dalam bumi,
seperti logam-logam mulia, dan mengeksploitasinya.
Kegiatan ekonomi kolonial Eropa yang begitu jauh dari nilai kemanusiaan
itu didasari semangat pengetahuan ekonomi merkantilisme.19 Itu diungkapkan
para kritikus merkantilisme yang mengindentikkan kegitan ekonomi ini dengan
cara penumpukan emas dan perak sebanyak-banyaknya. Akibatnya, neraca yang
menguntungkan dari ekspor yang mengatasi impor. Keuntungannya pada kondisi-
kondisi ekonomi yang semakin kondusif di negara-negara Eropa Barat. Untuk
mencapainya harus ada pengalihan kelas reaksioner ke kelas progresif. Yaitu,
mengerahkan energi-energi baru, acap kali membongkar tatanan lama, paham-
paham keagamaan juga bisa menghambat kemajuan material. Kerangka sosial
politik pun harus dikondisikan agar menjadi wadah yang memungkinkan bagi
pertumbuhan ekonomi kumulatif. Kondisi ini sangat menguntungkan. Investasi
swasta akan meningkat pesat ketika berhasil menciptakan modal sosial dasar.
Ironisnya, sumbangan negara terhadap ekonomi malah menciptakan ideologi
19 Ajaran merkantilisme populer di sekolah-sekolah Eropa pada periode modern (abad ke-16
sampai ke-18). Yaitu, tentang peran negara dalam pengaturan ekonomi. Namun, intervensi negara di bidang ekonomi mendesak ke luarnya teori kapitalisme. Adam Smith dalam The Wealth of Nations membuat teori baru itu. Merkantilisme menghilang pada abad ke-18. http://id.wikipedia. org/wiki/Merkantilisme (terakhir diubah pada 05:37, 26 Desember 2008). Merkantilisme berkembang di Inggris sebagai kumpulan kebijakan yang mengutamakan perdagangan dan perniagaan (ekspor) dan meminimalkan impor untuk menumpuk kekayaan dan kekuatan. Christopher Pass & Bryan Lowes, Dictionary of Economics, terj. Drs. Tumpal Rumapea, M.A. & Drs. Posman Haloho, M.A., Kamus Lengkap Ekonomi, Edisi II, (Jakarta: Erlangga, 1998), hlm. 407.
37
laissez-faire.20 Akmumulasi modal tetap merupakan prinsip dasar kapitalisme.
Pergeseran prakarsa publik ke prakarsa perseorangan menjadi awal pergeseran
kapitalisme ke periode klasik.21
Sedangkan, pendukung kolonialisme dan merkantilisme22 berujar
sesungguhnya hukum-hukum kolonial memberi keuntungan lebih bagi negara-
negara koloni. Keutungan yang diberikan berupa perkembangan infastruktur
ekonomi dan politik. Perangkat awal supaya daerah-daerah koloni menuju
keadaan lebih modern seperti dengan cara menyebarkan ajaran demokrasi di
wilayah koloni. Untuk membenarkan klaim pendapat kolonial, diberi
‘pembuktian’ contoh negara sukses akibat dikoloni. Seperti, Singapura, Selandia
Baru, Australia, Hong Kong, dan Amerika Serikat.
Semangat merkantilisme pada awal ekspansinya berhasil merampas
logam-logam mulia laiknya di Amerika Latin.23 Bentuk-bentuk perdagangan tidak
sehat dikuasai oleh Inggris, dilakukan dengan Afrika dan Amerika. Budak-budak
Afrika dibeli dengan harga sangat murah lalu dijual lagi untuk dijadikan tenaga
20 Laissez-faire istilah sains alam dari [lɛse fɛr]. Merupakan frase dari tradisi Bahasa Perancis,
arti harfiahnya; “biarkan berbuat”. Maksudnya, "biarkan terjadi" tentang sesuatu hal. Pada abad ke-18 digunakan untuk menandai ekonomi pasar bebas yang digalang Eropa. Itulah itu digunakan kali pertama para psiokrat untuk melawan peran serta negara dalam perdagangan. Kadang-kadang laisses-faire disebut laisser faire, laisser passer, atau membiarkan orang berbuat sesuka hati. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Cet. II, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 512.
21 M. Dawan Raharjo (ed.), Kapitalisme: Dulu dan Sekarang, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 20-22.
22 Para pendukung dan pengikut merkantilisme diantaranya; Raja Karel V (Spanyol), Ratu Elizabeth (Inggris), Prinsmaurits (Belanda), dan Louis XIV (Prancis). Dengan begitu, mereka juga mendukung kolonialisme. Karena merkantilisme termaktub di peraturan negara dalam bentuk proteksionime dan politik kolonial. Tujuannya, neraca perdagangan yang menguntungkan pengikut merkantilisme.
23 Sebagaimana Nusantara, Amerika Latin juga terkenal dengan kekayaan alam melimpah. Sama halnya negara-negara di Asia dan Afrika. Kolonialisme Eropa datang kali petama di Amerika Latin dalam rangka menjarah sumber kekayaan logam bumi demi kebutuhan industrialisasi. Taufik Rahman, CRS dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: CRS, 2007). Lihat pula, Jurnal Dialog CSIC, Imperialisme Moneter, dalam http://jurnal-ekonomi.org/2004/04/10/ imperialisme-moneter/ (April 10th, 2004).
38
kerja di Amerika. Dari kerja para budak tanpa gaji ini dihasilkan komuditas
produksi seperti rempah-rempah, gula, rum, kapas, dan sebagainya. Keuntungan
berlimpah bagi Inggris karena ongkos produksi sangat rendah. Oleh Inggris,
komuditas itu diperdagangkan lagi di pasaran Eropa maupun pasar lokal setempat
dengan harga jauh berlipat ganda.
a. Merkantilisme ke Liberalisme
Liberalisme24 merupakan doktrin politik luar negeri negara-negara Eropa
sebagai pengganti merkantilisme. Dengan segala cara tetap mempertahankan teori
ekonomi dari David Ricardo (1772-1823).25 Yaitu, bagaimana negara koloni
diposisikan sebagai penganut teori ekonomi Ricardo. Koloni tetap diposisikan
sebagai produsen bahan mentah untuk industri. Karena masih mentah dan
sederhana, ongkos produksi juga murah. Di tangan negara Eropa, bahan-bahan
mentah murah tadi diolah menjadi beragam jenis. Tarif harga di pasaran pun
melambung tinggi. Selanjutnya, negara-negara koloni dikondisikan agar tidak
24 Filsuf kanamaan yang menjadi juru bicara liberalisme adalah John Locke (1632-1704). Dia
lahir di Inggris saat gejolak perang saudara; Cavalier (pengikut raja Charles I) melawan Raundhead (kekuatan dalam parlemen). Locke banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal John Owen, dosennya. Beda dengan Hobbes (pendukung absolutisme), Locke dalam filsafat politiknya The Second Treatise of Governmnet malah getol sebagai juru bicara liberalisme. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern…, ibid., hlm. 73-75.
25 David Ricardo, keturunan Yahudi Ortodox ini dilahirkan di London (1772). Mengikuti jejak sang ayah, Ricardo menjadi broker saham. Dia untung besar dalam waktu singkat. Lalu menjadi pemilik tanah sekaligus anggota parlemen. Karyanya The Principles of Political Economy and Taxation (1817). Tidak hanya kepada David Ricardo (1772-1823), Karl Marx (1818-1883) juga manaruh hormat pada Adam Smith (1723-1790), Thomas Robert Malthus (1766-1834), Jean Baptiste Say (1767-1832), Johan Heinrich von Thunen (1780-1850), Nassau William Senior (1790-1864), Friedrich von Herman, John Stuart Mill (1806-1873), dan John Elliot Cairnes (1824-1875) atas prakarsa pemikiran ekonomi klasik yang tak kunjung kadaluwarsa. Lihat, http://yohanli.wordpress.com/2007/11/02/sejarah-teori-ekonomi-klasik/. Jika Adam Smith masih menganggap masyarakat sebagai keluarga yang besar, Ricardo menganggap masyarakat galanggang perjuangan untuk memperoleh keunggulan (laiknya evolusi Darwin). Robert L. Heilbroner, terj. Boentaran, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1972), hlm. 86.
39
mampu dalam kualitas dan pengetahuan mengolah bahan mentah dan sederhana.
Supaya akses pasar negara-negara koloni semakin terbatas. Walau tidak
merkantilis lagi, model liberalisme yang disebar ke luar seluruh penjuru dunia
membawa Eropa jaya di pasaran bebas.26
Permainan ekonomi merkantilisme yang menjadi liberalisme ekonomi
berhasil merusak dan memiskinkan negara-negara koloni. Menguntungkan
negara-negara Eropa yang paling tidak didukung lima kekuatannya. Pertama,
militer. Kekuatan militer negara-negara Eropa dalam kondisi lebih unggul.
Keunggulan angkatan bersenjata ini juga akibat dukungan para marsose27 dari
negara koloni. Sehingga militer Eropa yang tidak semunya kuat dan hebat mampu
memenangkan perebutan wilayah. Kedua, monopoli alat dan jalur transportasi laut
(dunia pelayanan). Selat-selat laut strategis28 yang banyak dilalui kapal dagang
dunia berhasil dikuasai Eropa. Aturan main atau hukum peredaran kapal di setiap
selat tadi pun ada pada otoritas kolonial.
26 Oleh para pendukungnya—pengusung ekonomi liberalisme—pasar bebas disebut konsep
pasar ideal. Segala aktivitas uang, barang, dan jasa ada pada otoritas individu. Peran negara dihilangkan atas nama sebagai mediator pemodal dan buruh. Di Indonesia, pasar bebas diberlakukan pada 2003. Lihat misalnya, Pasar & Pasar Bebas, dalam http://insist.or.id/ index.php?lang=en&page=angkring&id=2. Lihat Robert L. Heilbroner, op.cit., tentang konsepsi pemikiran Ricardo.
27 Marsose kompeni merupakan sebutan kaum Pribumi yang membela kepentingan penjajah Belanda. Para marsose amat menindas dan mengabaikan kondisi bangsa sendiri. Emanuel Subangun menyebut dengan istilah ‘naluri hidup’ untuk memuaskan bangsa asing. Menjadi patron seolah menaikkan status sebagai bangsa terjajah menjadi ‘menuju’ atau ‘setara’ dengan patronnya. Namun, tujuan itu tidak pernah tercapai. Jurnal Pitutur, ibid., hlm. 6-7.
28 Selat-selat laut strategis di dunia seperti; Selat Malaka (50 ribu kapal melintas/ tahun), Terusan Zues, dan Terusan Panama. Selat Makassar dapat pula dijadikan indikator perubahan iklim dunia. Fadli Syamsuddin, Selat Makassar Indikator Perubahan Iklim Dunia?, lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/ilpeng/291874.htm (Senin, 05 Mei 2003). Selain itu, juga ada Terusan Panama yang sangat strategis.
40
Ketiga, mental rendah diri kulit berwarna.29 Sebenarnya hanya mitos,
Eropa menyebarkan pengetahuannya bahwa bahwa kulit berwarna (hitam, gelap,
sawo matang, dlsb.) kualitasnya lebih rendah. Itu menjadikan rakyat daerah koloni
semakin diperlakukan secara tidak manusiawi oleh kepentingan Eropa. Keempat,
semangat misi penyebaran agama. Misi agama-agama konstruksi Eropa berhasil
tersebar dan dipercaya masyarakat. Akibatnya, masyarakat terkondisikan
mendukung pengkoloni. Dan, kelima, humanisme.30 Ajaran yang menuduh bahwa
bangsa-bangsa di luar Eropa dengan segala identitasnya adalah tidak beradab dan
tak berperadaban. Humanisme berusaha merubah masyarakat koloni sesuai
kondisi Eropa yang menganggap dirinya beradab. Proyek humanisme dilakukan
dengan menghapus identitas asli kebangsaan daerah koloni.31 Selanjutnya
penghapusan ras manusia di luar Eropa baik identitas budaya maupun fisik
(dipunahkan). Diganti dengan manusia Eropa atau setengah Eropa (Indo).32
29 Mental rendah diri kulit berwarna diciptakan Belanda dengan membuat tiga kategori kelas.
Kelas pertama warga negara asing Barat, kelas kedua asing Timur Cina, Arab, dan India, kelas tiga atau terendah adalah Pribumi atau inlander. Cara lain pernah dilakukan dalam bentuk invasi kapitalis Eropa ke Amerika dalam wujud perbudakan ras kulit hitam (negro). Manusia-manusia bebas itu dikondisikan tidak bebas. Akhirnya, tahun-tahun mendatang menjadi mentalitas budak (ras kulit berwarna). Di Kuba, menurut sensus Kuba (1955), orang-orang Negro atau Mulatto populasinya sekitar 55,85% (1827), 1899 menjadi 32%, dan 1934 hanya 25,2%, sedangkan 1953 tinggal 26,9%. Roberto Jorquera, Kuba: Satu Pelajaran Bagaimana Menghancurkan Rasisme, dalam http://indomarxist.tripod.com/0000008.htm.
30 Humanisme lahir di zaman renaissance (abad ke-13 s.d. ke-15). Humanisme merupakan gerakan untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusaan yang dinodai Eropa dan Barat. Humanisme dikomandoi keluarga Medici, Italia. Penggila ilmu, Ariosto Ludovico, menamakan dirinya kaum humanis. Lihat, Musa Musawir, Humanisme Dalam Selayang Pandang, dalam http://islam alternatif.net/iph/content/view/61/1/ (Jumat, 16 Maret 2007). Oleh Protagoras, humanism dijadikan doktrin bahwa manusia sebagai ukuran atas segala sesuatu. Yakni, pada rasionalismenya tanpa acuan pada yang adikodrati. Lorens Bagus, ibid., hlm. 295.
31 Dijabarkan dari Dieter Nohlen (ed.), ibid., hlm. 342. 32 Setengah Eropa (Indo) sebutan bagi keturunan campuran orang Eropa (Europeanen) dengan
kelompok lain di Indonesia (juga disebut kaum Eurasia). Kelompok terakhir ini, terutama sebelum 1980-an, dikenal dengan orang Indo (Indo-europeanen, "Indo-Eropa"). Indo terjadi akibat perkawinan campuran laki-laki Belanda dengan perempuan Pribumi, perempuan menjadi bersetatus Eropa. Posisi perempuan bukan istri, melainkan gundik (bukan istri resmi).
41
Itulah sendi-sendi kekuatan kolonialisme dan penguasaan ekonomi atau
dagang dunia sebelum imperialisme yang muncul pada akhir abad ke-19.
b. Imperialisme33
Jika kolonialisme merupakan penguasaan Eropa (pengkoloni) di bidang
ekonomi atas daerah koloni. Sedangkan imperialisme bertujuan menguasai dan
mengendalikan bangsa-bangsa lain di luar batas negaranya secara langsung dan
tidak langsung. Secara langsung berupa perluasan wilayah negara pengkoloni.
Artinya, penaklukan wilayah koloni secara teritorial (tidak hanya ekonomi).
Imperialisme yang secara tidak langsung yaitu dominasi terhadap politik,
ekonomi, militer, dan budaya daerah-daerah koloni, serta hukum.
Meskipun fakta kejadian dengan adanya modernitas seperti itu,
imperialisme maupun kolonialisme tidak sesempit itu. Karena imperialisme
maupun kolonialisme tidak selalu berhubungan dengan kapitalisme. Bahkan,
sebelum kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme sudah ada. Contohnya,
Kekaisaran Rusia dan Kemaharajaan Spanyol. Imperialisme, dalam OED oleh
Lombaa, hanya sesuatu yang ”mengacu pada kemaharajaan”. Imperialisme
sebagai ”perintah seorang kaisar”, terutama yang dispotik dan semena-semena;
asas atau semangat kemaharajaan; perebutan memajukan kepentingan-
kepentingan kemaharajaan”.34
33 Imperialisme muncul kali pertama di Inggris pada akhir abad ke-19. Berasal dari imperate
(Latin), artinya memerintah. Hak memerintah disebut imperator, dengan kekuasaan imperium. Lalu menyebar sebagai penguasaan terhadap negara-negara atau wilayah lain yang disebut dengan imperialisme.
34 Ania Loomba, ibid., hlm. 6.
42
Lenin pernah meramalkan ketika suatu saat nanti seluruh dunia akan
diserap oleh kapitalis keuangan Eropa. Maka, pada era itulah disebut
”imperialisme”. Ketika sistem global yang merupakan tahap tertentu dari
perkembangan kapitalisme mencapai titik ”tertingginya”. Lenin mengartikan juga
akan terjadi persaingan dan perang dari berbagai kekuatan imperialisme dunia
yang akibatnya matinya kapitalisme. Di sini, kapitalisme bisa menjadi khas
pembeda antara kolonialisme dan imperialisme.35 Pada saatnya kapitalisme itu
hilang dan tidak dibutuhkan lagi, wajah dunia akan tampak lain. Mungkin
semakin tidak terindentifikasi secara definitif soal silang sengkarut imperialisme.
Dan wajah-wajah lainnya.
Dalam penjelasan paling sederhana yang tengah tejadi, soal ekspansi
wilayah atau penguasaan teritorial dalam impereliasme dapat dilakukan dengan
enam tahap atau teori. Pertama, teori kekuasaan imperialis. Berkaitan dengan
hasrat individu-individu untuk menguasai atau kelompok-kelompok negara yang
pengaruhnya begitu kuat terhadap negara lain. Sedangkan Schumpeter36 (1883-
1950) menerjemahkan imperlialisme sebagai disposisi tanpa objek sebuah negara
menjadi ekspansi penuh kekerasan tanpa batas. Kebringasan imperialisme
diterapkan di negara-negara lemah atau yang bisa dijadikan koloni.
Dari terori kekuasaan imperialis, kita bisa melihat bahwa negara-negara
kolonial sebenarnya mempunyai sistem pemerintahan yang tidak terpercaya.
35 Loomba, ibid., hlm. 7. 36 Schumpeter dalam History of Analysis-nya pernah mengungkapkan ketiadaan ilmu ekonomi
yang ilmiah dewasa ini. Atau barangkali, ilmu ekonomi yang ilmiah sebagaimana termaksud ada, maka bisa jadi di luar perhatian Schumpeter. M. Dawan Raharjo (ed.), Kapitalisme…, ibid., hlm. 3-4. Lengkapnya Schumpeter Joseph Alois Schumpeter (8 Februari 1883-8 Januari 1950) dia ahli dalam ilmu ekonomi dan politik di Moravia, lalu Austria-Hungary, dan Czech Republic.
43
Mereka tidak bisa hidup apa adanya dengan segenap potensi yang mereka miliki
meskipun terbatas jumlahnya. Hasrat untuk kepuasaan itu mereka lampiaskan
dengan ekspansi dan eksploitasi kekayaan milik negara lain. Dan itu semakin
membuktikan negara kolonial tidak mampu. Numun, negara kolonial
mengkonsepsi pemerintahannya dengan pengetahuan untuk rakyatnya agar
mandiri dan bisa hidup dari potensinya sendiri. Jika konsepsi mereka bagus maka
tidak akan melakukan ekspansi untuk memenuhi hasratnya. Tatapi mengelola
yang terbatas itu dengan cermat.
Imperlialisme malah mempermalukan dirinya di panggung dunia. Suatu
konstruksi diri negara rapuh dan tidak mandiri dengan dirinya. Kekurangan
dirinya dilampiaskan dalam bentuk keserakahan menjarah potensi sumber daya
negara lain yang berlimpah ruah.
Kedua, politik psikologi. Model ini akan menjelaskan imperialisme
berfungsi sebagai sebuah politik dalam negeri. Sebagai sarana kekuatan rakyat
untuk memberikan tekanan sosial terhadap negara akibat kondisi bangsa yang
tidak kunjung membaik. Dalam politik psikologi, kolonialisme dijadikan saluran
pelampiasan keinginan agresi-agresi kecil yang terakumulasi akibat ketidakadilan
sosial.
Selain psikologis, konsekuensinya timbul pada aspek material bagi
kalangan bawah. Imperialisme ekonomi justru semakin tumbuh subur dan
terjamin keberadannya ketika terjadi konflik psikologi. Koflik sosial akibat
ketidakadilan sosial malah sengaja dipelihara dan selanjutnya terbeli oleh para
44
imperialis. Kondisi chaos terus dipelihara untuk seolah ketidakadilan sosial bisa
terus diperjuangkan. Meskipun realitasnya ekploitasi tetap berjalan.
Ketiga, filsafat-kebudayaan. Berbagai keunggulan imperialisme acap kali
dikampanyekan kepada khalayak. Diklaim bahwa imperialisme merupakan
“berkah” yang diterima negara-negara koloni dari negara-negara maju. Misalnya,
transfer budaya modern yang sering diklaim sebagai budaya maju. Budaya yang
dapat memperbaiki budaya primitif (terbelakang) di negara-negara koloni.
Filsafat-kebudayaan yang demikian imperialis mengatakan bahwa otoritas
tindakan imperialisme ada di tangan manusia berkulit putih. Bertugas sebagai
“penanggung jawab” untuk menyampaikan nilai-nilai humaniter (kemanusiaan)
dan religius kepada warga koloni yang “biadab”.
Di akhir abad ke-19, zaman di mana Inggris mencapai masa keemasan,
ditebarkan narsisme budaya. Klaimnya, kultur negara-negara industri, termasuk
Inggris, merupakan budaya unggul dibanding tradisi dan kebudayaan negara lain.
Kuatnya gempuran budaya imperialis yang melesat ke negara-negara koloni
membuat sok budaya (sock culture). Perlawanan yang dilakukan bukan
bagaimana menghilangkan budaya imperialis diganti dengan budaya sendiri.
Melainkan agak lunak, bagaimana mengisi kehidupan baru dalam desakan
identitas budaya imperilisme.
Keempat, ekonomi politik. Teori baru untuk menjelaskan imperialisme.
Bantahan terhadap teori petualangan kekuasaan yang dianggap mendasari
imperialisme. Ekonomi politik imperialis diolah dari teori “borjuis” yang kritis.
Bahwa perkembangan kapitalisme dapat mencapai akumulasi modal dalam negeri
45
yang besar. Surplus akumulasi ekonomi dalam negeri itu terjadi ketika pendapat
lapisan masyarakat luas yang terlalu rendah sedangkan permintaan akan barang di
pasaran sangat terbatas.
Masyarakat dunia yang serba dikuasai imperialisme merupakan stadium
akhir kapitalisme. Pendapat Imperialisme sebagai Stadium Akhir Kapitalisme
(1916) bertopang pada pendapat Cuharin, karya Hilferding, Kautsky,37 dan
Luxemburg. Karya ini dijadikan standarisasi teori imperialisme marxis.
Kelima, perpektif ilmu sejarah non-marxis. Sekitar 1870-1918 dalam
diskripsi sejarah disebut sebagai “abad imperialisme”. Dimulai pertengahan abad
ke-19 ketika Inggris mulai membangun dunia jajahannya. Afrika dijadikan kue
yang dibagi-bagikan kepada Inggris, Perancis, Portugis, Belgia, dan Jerman. Di
Timur Jauh, Inggris dan Perancis menguasai Asia Timur,38 sedangkan Jepang
sedang mempertahankan diri dari Rusia pada 1904-1905,39 dan mulai 1900 Eropa
mempemainkan Cina.
Imperialisme (didalamnya pula kolonialisme) tidak akan berhenti pada
dominasi atau pengusaan wilayah (teritorial) negara koloni. Namun, gejala-
gejalanya mengarah, bahwa imperialisme plus kolonialisme melakukan perubahan
bentuk yang lebih halus dan semakin berbahaya.
37 Karl Kautsky (16 Oktober 1854-17 Oktober 1938) dia ahli dalam ilmu filsafat dan politik
Czech-German. 38 Di Balik Perang Asia Timur Raya dalam http://sejarahperang.wordpress.com/2008/09/12/
di-balik-perang-asia-timur-raya/ 39 Perang Rusia Vs Jepang, lihat http://forum.detik.com/showthread.php?t=61225 atau
Perioda Pendudukan Jepang dalam http://swaramuslim.com/ebook/html/013/index3.php? page=03-03
46
Keenam, teori struktural imperialisme. J. Galtung40 termasuk yang peduli
terhadap keberlangsungan dan perubahan bagi imperialisme baru. Galtung
berusaha melakukan kritik imperialisme yang telah terjadi. Dengan cara mengait-
ngaitkan pengetahuan yang dihasilkan dari penelitian terhadap perdamaian dan
imperialisme yang mendasarkan diri pada teori dependencia. Dalam wujud baru
berupa teori Struktual Imperialisme.
Di sini, konsep imperialisme diperhalus oleh Galtung. Yakni, imperialisme
adalah hubungan semikian rupa antara sebuah negara di sentra kekuasaan dan
negara periferi41 (pinggiran). Sehingga tercipta harmoni hubungan dan
kepentingan antara sentra di bangsa sentra dan sentra di bangsa periferi. Teori ini
akan menghasilkan disharmoni yang lebih besar di antara bangsa-bangsa di
periferi daripada yang berada di bangsa-bangsa sentra. Ada pula disharmoni
kepentingan periferi di bangsa sentra dan periferi di bangsa periferi.
Model Galtung membuat batu loncatan sentra imperialisme di sentra
bangsa periferi. Konsepsi ini memungkinkan kelangsungan imperialisme secara
terus-menerus meskipun di negara koloni telah terjadi kemerdekaan secara formal.
Terakhir ini, bisa disebut dengan neokolonialisme.42
40 Johan Galtung sebagai guru besar yang konsen di bidang sosiolog. Terlibat pula sebagai
aktivis perdamaian. Galtung lahir di Oslo, Norwegia (24 Oktober 1930). Seperti Gus Dur atau K.H. Abdurrahman Wahid, Galtung juga pengagum ajaran cinta damai dari Mahatma Gandhi. Ahmad Syafii Maarif, Galtung: Tiga Corak Fundamentalisme, dalam Perspektif, Gatra Nomor 21 (Kamis, 10 April 2008). Lihat pula Johan Galtung, Studi Perdamaian; Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban, (Surabaya: Eureka, 2003).
41 Periferi sebutan bagi golongan, bangsa, atau negara pinggiran (berada di batas tepi). 42 Dieter Nohlen (ed.), ibid., hlm. 260-264.
47
c. Neokolonialime
Penguasaan negara-negara Eropa terhadap mangsanya secara halus dan
lebih menyakitkan merupakan gaya baru kolonialisme atau neokolonialisme.
Neokolonialisme terjadi sejak daerah-daerah koloni mengalami masa
dekolonisasi.43 Secara mendasar sikap imperialisme dan neokolonialisme terhadap
koloni atau bekas koloni adalah tidak pernah berubah. Dari sudut politis setelah
dekolonisasi negara koloni telah merdeka. Namun, adanya faktor ketergantugan
politik bekas koloni terhadap pengkoloni merupakan kemerdekaan semu. Oleh
karena itu, neokolonialisme merupakan bentuk lain imperialisme.
Imperialisme melakukan penguasaan koloni di tingkat negara secara jelas
dan kasat mata. Sedangkan, neokolonialisme penguasaan secara tidak langsung
terhadap koloni. Sifat neokolonialisme yang tidak langsung ini menjadikannya
susah diketahui dan diidentifikasi. Mesti tak ‘kasat mata’, kerja-kerja
neokolonialisme lebih menampakkan hasilnya. Cara menguasai berubah bentuk
sedangkan tujuan yang hendak dicapai sama; kepuasan ekonomi Eropa. Aturan
yang dipergunakan tetap sama, aturan kapitalisme yang mengatur hubungan pasar
negara-negara pengkoloni (negara industri) dan yang dikoloni (kaya bahan
industri).
43 Dekolonisasi bisa bermakna cukup simplistik dan dekil, yakni kemerdekaan yang
“diberikan” kepada negara tertinggal oleh “negara maju”. Karena itu, sejak kemerdakaan formal di negara-negara koloni, pengkoloni masih menancapkan hak-haknya mengelola sumber daya di daerah koloni sebelumnya. Ini dikenal dengan neokolonialisme. Dr. Bambang Sulistyo, Dari Dekolonisasi ke Neokolonialisme: Kebijakan Ketenagakerjaan Migas Negara, di Balikpapan Kalimantan Timur, paper di (t.t.: Universitas Hasnuddin Makassar).
48
Sejak berakhirnya perang dunia, Amerika Serikat44 menjadi negara paling
diuntungkan sebagai pengkoloni. Yang melakukan penghisapan secara rakus
terhadap negara-negara koloni. Amerika Serikat melakukan penguasaan tidak
hanya di medan pasar namun juga level struktur negara. Dua kekuatan ini semakin
melenggangkan laju neokolonialisme. Karena para pejabat di struktur negara
koloni bersedia menggunakan sistem dan kebijakan yang sama dengan negara
pengkoloni. Sesungguhnya model dan bentuk janji-janjji kesejahteraan apapun
dari pengkoloni tidak pernah berbuah kebaikan. Malahan, rakyat koloni semakin
miskin dan memburuk kondisinya.
Era neokolonialime mengidealkan delapan kekuatan agar daerah koloni
tidak memerdekakan diri. Pertama, militer. Dilakukan dengan cara pendidikan
perwira, polisi, dan militer yang diambil dari sebuah negara koloni atau calon
koloni. Desain pendidikan dilakukan oleh negara-negara pengkoloni atau yang
hendak mengkoloni. Tujuanya, negara koloni atau calon koloni menjalankan
status quo intern dan mau menjalankan nilai-nilai yang ditanamkan oleh
pendidikan dari pengkoloni.
Kedua, politik. Negara-negara industri yang bercita-cita menjadi
pengkoloni membangun pangkalan-pangkalan pengaruh. Misalnya, dalam bentuk
organisasi internasional. Strategi politik dilakukan dengan membuat dan
memanfaatkan konflik atas nama Timur dan Barat.45 Diatur sedemikian rupa agar
44 Amerika Serikat dimasuki kolonialime Eropa, termasuk negara yang memiliki sumber daya
alam menjanjikan. Kecuali Hawai, seluruh wilayah Amerika Serikat pernah dijajah Inggris. 45 Dikotomi Timur dan Barat pada awalnya untuk menujuk arah. Kemudian, beralih fungsi
sebagai penunjukan status suatu bangsa. Barat terdiri dari Eropa (termasuk Amerika) sebagai negara maju. Timur ialah Asia dan Afrika yang tertinggal dan miskin. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
49
konflik tetap berlanjut dalam jangka panjang sehingga bermanfaat bagi
pengembangan ekonomi Eropa. Konflik-konflik yang sudah reda disimpan
sementara untuk dijadikan kekuatan laten. Jika dibutuhkan, konflik akan
dilanjutkan.
Ketiga, kultural. Di ranah kultur, neokolonialisme memanfaatkan media
informasi dan yang menguasai basis massa banyak. Dibangunlah berbagai stasiun
televisi, radio, bioskop, media cetak, dan sebagainya, yang didirikan negara-
negara industri. Untuk jangka panjang, akses informasi yang dibombardirkan ke
negara koloni melemahkan budaya-budaya setempat. Inilah yang disebut dengan
“tata informasi dunia baru”.46 Misalnya, mengalihkan kepatuhan terhadap figur
masyarakat ke kepatuhan kepada fans dari artis-artis Hollywood atau artis Indo
(Eropa).
Keempat, komunikasi. Pembangunan alat dan sistem komunikasi canggih
oleh negara pengkoloni, misalnya satelit, untuk mengusai akses telekomunikasi.
Artinya, penguasaan terhadap jalur lalu lintas udara transkontinental. Dengan
satelit memungkinkan negara pengkoloni mengoptik secara menyeluruh terhadap
segala jenis aktivitas, kondisi, situasi yang mungkin, potensi, dan segala sesuatu
yang bisa dimanfaatkan dari negara koloni. Kelima, teknologi. Diciptakannya
hlm. 441. Akhirnya, dikotomi Barat dan Timur menjadi hegemonik. Padahal, jika kita melihat arah dari Nusantara berpijak, Amerika Serikat berada di arah Timur. ‘Timur Tengah’ lebih tepat disebut ‘Barat Utara’ (barat Nusantara di utara katulistiwa).
46 ’Tata informasi dunia baru’ merupakan kebebasan pers dan arus infomasi bagi seluruh negara di dunia. Namun, sebenarya bukan untuk kebebasan berekspresi. “Tata informasi dunia baru” justru untuk mengendalikan segala arus informasi dunia dalam otoritas adidaya atas nama kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Kegagalan “tata informasi dunia baru” dapat dilacak dalam William F. Fore, Para Pembuat Mitos: Injil, Kebudayaan, dan Media, (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Dewan Pekabaran Injil NHK Belanda, 1999). Lihat pula Poltak Partogi Nainggolan (ed.), Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, 2002).
50
teknologi oleh negara industri juga sebagai salah satu cara membuat
ketergantungan negara koloni terhadap alat-alat pengkoloni. Baik itu
ketergantungan atas produk, shoft ware dan hard ware, maupun ketergantungan
secara pengetahuan. Karena negara koloni selalu merasa tertinggal dalam
pengetahuan dari negara pengkoloni.
Keenam, sosial. Orang-orang berpendidikan, akademikus, dan tokoh
intelektual, lebih cenderung berpindah tempat dalam status sosial. Meninggalkan
kenyataan sosial dalam dirinya yang terkoloni menuju kenyataan sosial negara
pengkoloni. Imigrasi tidak hanya dalam gaya hidup yang serba mencontoh
(mimicry)47 namun juga perpindahan tempat dalam arti fisik.
Ketujuh, keuangan. Negara-negara koloni sengaja dibuat ketergantungan
terhadap sumber keuangan negara industri. Atas nama kredit dan bantuan jasa
keuangan ataupun pinjaman lunak untuk pembangunan usaha-usaha ekonomi
negara koloni. Lembaga keuangan dunia yang dijadikan sumber bantuan seperti
Bank Dunia dan IMF48. Bantuan keuangan hanya diberikan kepada negara-negara
koloni yang menerapkan kebijakan politik-ekonomi-hukum sesuai keinginan IMF
47 Istilah mimicy (meniru) sering digunakan Franz Fanon dan Homi K. Bhabha. Yakni, nalar
dan kebiasaan meniru (seolah menjadi) sesuai apa yang berasal dari Eropa. Supaya ‘menaikkan’ status diri dari manusia ‘rendahan’ menjadi manusia ‘Eropa yang mulia’. Eropa dianggap universal (pas untuk semua) sehingga pantas ditiru semua bangsa secara sama dan sebangun. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm. 452.
48 International Monetary Fund (IMF) lahir di desa kecil, Bretton Wods, di lereng Mount Washington, negara bagian New Hampshire Amerika Serikat dalam forum konferensi keuangan international (1-22 Juli 1994). Ada 35 negara yang menjadi founding fathers IMI penandatanganan Anggaran Dasar IMF (31 Desember 1945). Selain IMF, konferensi yang diprakarsai PBB tersebut itu berhasil mendirikan dua lembaga lain: International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau lebih dikenal World Bank. Dan lembaga perdagangan internasional, semula namanya International Trade Organization (ITO) atau World Trade Organization (WTO). Namun, terakhir dibentuk General Agreement on Tariffs and Trades (GATT). Cyrillus Harinowo, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca-IMF, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 73-75.
51
atau Bank Dunia. Dengan sendirinya negara koloni terkendalikan secara politik
ekonomi maupun hukum oleh negara pengkoloni.
Kedelapan, ekonomi. Akhirnya, negara-negara koloni terkendalikan dari
berbagai lini (tidak merdeka). Dihisap sumber kekayaannya sampai habis demi
keuntungan pengkoloni. Meskipun dalam Memoriam of Understanding (MoU)
negara koloni bisa ikut serta menanamkan modal untuk usaha-usaha industri,
keuntungan tidak didapat. Bahkan, modal dari koloni tidak dicatat serta ikut
investasi. Namun, dikembalikan ke negara koloni tanpa menghasilkan
keuntungan. Relasai ekonomi semakin timpang dan tidak seimbang. Negara
koloni diposisikan sebagai penghasil bahan mentah murah. Sedangkan negara
pengkoloni sebagai penghasil barang jadi yang sangat mahal harganya. Akhirnya,
bahan mentah hanya alat barter untuk mendapatkan produk dari industrialisasi.
Oleh Kwami Nkrumah (1909-1972),49 Kepala Pemerintah Negara Afrika Hitam
yang pertama merdeka (1957), yakni Ghana (Pantai Emas), kenyataan ini disebut
sebagai “stadium akhir imperialisme”.50
Demikian itu, penjajahan Eropa (kolonialisasi) terhadap negara-negara lain
(koloni) yang sangat kaya sumber daya mengalami perubahan dalam berbagai
cara dan bentuknya. Motif utamanya adalah penguasaan atas sumber-sumber
kekayaan ekonomi negara koloni. Aktivitas ini didorong oleh semangat
individualisme Eropa dan rasionalisme modern yang menumbuhkan sains dan
49 Kwami Nkrumah lahir 21 September 1909 di Nkroful, Pantai Emas (Ghana, sekarang).
Ayah Nkrumah seorang pandai emas. Sejak 1935 Nkrumah melanjutkan studi di Amerika Serikat S.1 (4 tahun) dan lulus dengan 2 gelar magister. Selama studi, lelaki penganut paham sosialis ini sudah aktif di Pan African Congress dan organisasi lain. http://id.wikipedia.org/wiki/ Kwame_Nkrumah#cite_note-bio-0 (terakhir diubah pada 12:43, 26 April 2009).
50 Dieter Nohlen (ed.), ibid., hlm. 476-477.
52
teknologi. Dipergunakan untuk menjelajah dunia dan mengusai. Dalam bentuk
kolonialisme, impierialisme, maupun neokolonialisme. Namun, pada pembahasan
di sini kita perkenalkan dengan istilah populer, yaitu kolonialisme.
B. POSTKOLONIALISME YANG KUKUH
”Aku berpikir di mana aku tak ada, maka aku ada di mana aku tak berpikir”51 Jacquest Lacan52
... Sebab, dengan wacana independen yang tidak terhegemoni oleh pakem induk Valmiki, kita bisa melihat gambaran lain dari tokoh Ravana, yakni seorang maharaja pribumi India berkulit hitam yang secara kultural menganut nilai-nilai matriarkhi dan pahlawan pemuja Siva yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan ras Arya, ras pendatang dari negeri Kaukasus di benua Eropa yang bertubuh jangkung, berkulit putih, berhidung mancung, berambut pirang, bermata biru, ras yang secara kultural menganut nilai-nilai patriarkhi, pemuja Indra dan banyak dewa yang lain. Akan tetapi, akibat mental pribumi yang gampang dipecah belah dan diadu domba, Ravana dan wangsanya akhirnya dikalahkan oleh kshatriya keturunan Puru-Arya bernama Rama yang didukung pribumi-pribumi berjiwa pengkhianat, seperti Sugriva dan Bhibhisana.53
Dari tafsir kritis atas kisah Ramayana karya hegemonik Valmiki
pendukung ras Arya kulit putih (bule), Agus Sunyoto mengetengahkan
kritisismenya dalam Rahuvana Tattwa (Kisah Sejati Sang Rahuvana). Bahwa
51 Pemikiran Jacquest Lacan termaktub dapat dibilang perlawanan model berpikir kolonial Cartesian cogito ergo sum. F Budi Hardiman, Merayakan Keterpecahan atau tentang, dalam situs Uni Sosial Demokrat. Lihat, http://unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=2130&coid= 3&caid=22 dari URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/04/opini/407245.htm. Lihat juga Leela Gandhi, Postcolonial Theory A Critical Introduction, (Allen & Unwin, 1998) terj. Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah, Teori Postkolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, hlm. 13. Dalam buku Ghandi suntingan Yuwan, pemikiran Lacan ditulis dengan redaksi “saya berpikir di tempat saya tidak ada, oleh karena itu, saya ada di tempat saya tidak berpikir” lebih panjang dari kutipan Hardiman.
52 Lacan merupakan salah satu tokoh filsafat aliran strukturalisme, lainnya ada Levi Strauss, dan Foucault. Strukturalisme muncul di Perancis pada 1960. Aliran ini merupakan reaksi terhadap modernisme dan segala macam dampaknya.
53 Agus Sunyoto, Rahuvana Tattwa, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. xxv.
53
Ravana, yang selama ini difigurkan jahat (antagonis) dalam Ramayana ternyata
adalah pemuja Siva yang saleh, penganut matriarkhi, pahlawan sekaligus
maharaja bangsanya India berkulit hitam, penguasa tiga dunia yang gagah berani
dan pantang menyerah. Tak seperti tuduhan kisah Ramayana bahwa Ravana
merupakan sebangsa demon buas, bermoral rendah, pongoh, dan licik. Namun,
akibat kalah perang oleh penjajah, Ravana dari wangsa Rakshasa (pemuja Dewi
Raksha) figurnya ditulis secara negatif oleh pendukung Ras Arya Eropa, pakem
Valmiki,54 kemudian Rama yang ber ras Arya dijadikan pahlawan dari wangsa
Mannu (Mannusa; sebutan untuk pendukung Rama). Tidak disebut Mannusa
(kemudian, manusia) bagi di luar Arya-Rama, alias Rakshasa (kemudian,
raksasa).
Begitu dyahsat dan mengacak-acak kemapanan pengetahuan atau wacana
kolonial yang menjadi mainstream tunggal dari warisan Eropa kulit putih.
Memikirkan sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan akibat terperdaya
pengetahuan dan wacana maisntream yang diklaim paling benar. Bagaimana sang
diri mendifinikan dirinya sendiri sesuai kondisi sang diri secara bebas. Tidak
diintimidasi dan terselubungi “kebenaran-kebenaran” konstruksi pemutarbalikan
informasi buatan wacana kolonialisme. Misalnya, dalam soal agama...
Kesalahan utama para Orientalis itu adalah menganggap ada satu esensi yang bisa dipakai untuk menjabarkan Islam. Mereka merasa bisa mendefinsikan hakikat masyarakat Arab dan kebudayaan Islam –sebuah kebudayaan dengan sejarah yang kaya dan pengaruh yang menjangkau hingga ke Granada bahkan Asia Tenggara—dalam suatu generalisasi atau simplifikasi yang serba tunggal dan pukul-rata (”Islam adalah...”, ”Arab adalah ...”). Dasar
54 Karya lain yang masih dalam pengaruh hegemonik pakem Valmiki seperti buku C.
Rajagopalachari, Ramayana, (Bombay: Bharatiya Vidya Bhavan), terj. Saut Pasaribu, Ramayanam Cet. II, (Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002).
54
keyakinan ini sebenarnya adalah kecongkakan Barat yang merasa bahwa apa dinamakan ”peradaban” (ilmu pengetahuan, seni, teknologi, dan perdagangan) hanya berjalan maju di wilayah dan sejarah mereka. Sementara Timur itu statis, terbelakang, eksotis, pasif. Di sini Said mencomot dan mengembangkan pemikiran Foucault tentang relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Apalah arti kolonialisme dan imperialisme Eropa kalau bukan perpanjangan tangan dari kecongkakan Barat tadi? Bukankah penindasan imperialis yang paling keji selalu ditopengi misi untuk mendidik dan memperadabkan? Pandangan Orientalis ini begitu berurat-berakar dalam bangunan pemikiran Barat, sampai-sampai para intelektualnya yang paling kritis sekalipun tak luput darinya. Karl Marx misalnya, yang komentarnya dipakai sebagai epigram pembuka buku Said, berkata ihwal ’orang Timur’: ”Mereka tidak bisa tampil sendiri, mereka harus diwakili.”55
Dari semangat itulah studi poskolonial menulis pengetahuannya sendiri.
Bukan atas dasar konstruksi filsafat saya berpikir maka saya ada. Melainkan, aku
berpikir di mana aku tak ada, maka aku ada di mana aku tak berpikir. Yakni,
kondisi ketika si “bisu” berbicara, si “gila” mengilmiahkan pikirannya, si “bodoh”
menguatkan epistemologinya, dan ketika pecinta takhayul, bid’ah, dan khurofat
menjelaskan dengan amat rasional dan empiris atas pengetahuannya. Namun,
pengetahuan maisntream kolonial yang masih mengakar kuat akan menolaknya.
Sebagai sampah peradaban yang dikonstruksi oleh negara “terbelakang” yang tak
layak pakai di negara “maju”. Dirinya yang “maju” semakin tidak rela, ketika
tahu, bahwa falsafah-pengetahuannya telah ketinggalan lebih jauh di belakang
negara “terbelakang”. Meskipun begitu, masih tetap banyak pengikut yang
grandung dengan mainstream pengetahuan kolonial.
Itulah ketika pada 1985 Gayatri Spivak56 mempersoalkan “kebisuan”
subaltern.57 Dengan sebuah sindiran kritis, “Dapatkah subaltern Berbicara?”58
55 Pegantar dalam Edward Said, Freud and the Non-European, (London: Verso & Freud Museum, 2003), terj. L.P. Hok, Bukan Eropa: Freud dan Politik Indentitas Timur Tengah, (Tangerang: Marjin Kiri, 2005), hlm. viii.
56 Lengkapnya Gayatri Chakravorty Spivak, lahir 24 Februari 1942 di Kalkuta, Bengal Barat. Spivak belajar Sastra Inggris di Universitas Kalkuta (B.A 1959) dan Universitas Cornell (M.A 1962 dan Ph.D. 1967). Lihat, http://webdev.ui.ac.id/post/kuliah-umum-gayatri-c-spivak-id.html?UI=4e9bf235bcd559a0f3243 e370857ea9b& UI=4e9bf235bcd559a0f3243e370857ea9b
55
Subaltern di sini merujuk pada “klas-klas subaltern” dari Gramsci.59 Maksudnya,
kelas-kelas yang berada di posisi inferior. Di atasnya ada kelas-kelas superior
yang lebih dominan dibanding kelas-kelas lain. Di era 1980-an, masa itu sedang
marak studi dalam perspektif masyarakat yang terdominasi. Club studi untuk
dikemudian dikenal dengan kelompok Sulbaltern Studies. Kelompok ini lalu
mensistematisir pembahasan tema-tema subaltern. Pokok-pokok kasus bahasan
subalatern studies dijadikan landasan berpikir untuk diteoritisasikan. Subaltern
studies tadinya membahas masalah-masalah kecil yang berkaitan dengan ras,
gender, kasta, pekerjaan, atau lainnya. Namun, berkembang dan dijadikan kajian
teoritis untuk membahas problematika besar yang secara umum terjadi di negara
Asia Selatan. Jangkauan subaltern studies kemudian diperluas dalam persoalan
sejarah, politik, ekonomi, dan sosiologi masyarakat subaltern.
Kesepakatan banyak pihak terhadap kelompok subaltern studies
memunculkan gagasan tentang subalternitas postkolonial. Kutha Ratna
menyebutnya teori itu sebagai varian postrukturalisme.60 Bukan variasi
postmodernisme (1972)61. Postkolonialisme mampu menempatkan dirinya pada
57 Istilah subaltern biasa digunakan dalam strata kepangkatan di dunia militer. Yakni, untuk
menunjuk perwira di bawah kapten. Namun, Gramsci memakainya untuk mewakili klas-klas tertindas. Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm. 460.
58 Leela Gandhi, ibid., hlm. 1. 59 Antonio Gramsci lahir di Kota Ales, Pulau Sardinia (22 Januari 1891). Pada 1911 studi di
Universitas Turino dengan beasiswa. Dia bergabung dalam Partai Sosialis Italia (PSI) sekaligus menjadi wartawan sejak 1915. http://arts.anu.edu.au/suarsos/gramsci.htm. Diceritakan Giuseppe Fiori, Gramsci meninggal pada 1937 setelah 10 tahun dalam penjara Musollini. Roger Simon, Gramsci’s Political Thought, terj. Kamdani & Imam Baihaqi, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 14
60 Postrukturalisme merupakan bagian dari posmodernisme. Mumblay dan Putman (1992) mengatakan focus kerja postrukturalisme pada linguistic yang memproduksi subjekvitas dan identitas. Madan Sarup, Postrukturalisme & Posmodernisme, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008).
61 Postmodernisme lahir disuatu sore Juli 1972 di St. Louis. Setelah tujuh tahun postmodenisme menjadi bagian penting dunia intektual. 1979 Conseil des Universities pemerintah Quebac (Canda) meminta laporan pengetahuan masyarakat-masyarakat paling maju. Lalu, tugas
56
posisi sejajar dengan teori-teori lain. Dari disiplin semiotika, resepsi, interteks,
feminis, hegemoni, interaksi simbolik, aktor jaringan, dekonstruksi, dan ragam
teori lain yang menolak hegemoni narasi besar.62 Postmoderisme merupakan
zaman atau era atau kelanjutan, dan penyempurnaan modernisme yang didominasi
ilmu-ilmu sosial budaya. Sedangkan postrukturalisme dipergunakan sebagai teori
untuk meneliti objek yang bernama postmodernisme. Sekaligus dekonstruksi
terhadap strukturalisme.63
Menarik pendapat Kuntha Ratna bahwa postkolonialisme varian
postrukturalisme. Maka, laiknya postrukturalisme, postkolonialisme juga menolak
narasi besar, oposisi biner, axis diametrikal, dan rangkaian pengetahaun serta
proses sejarah yang berjalan monolitik. Salah satu caranya dengan membongkar
struktur ideologi melalui arkeologi dan genealogi sesuai gaya Foucault (1926-
1984).64 Dalam rangka mengungkap begitu banyak masalah tersembunyi di balik
kenyataan yang pernah terjadi. Postkolonial demikian penting karena; pertama, itu diberikan kepada Jean-Fancois Lyotard. Lyotard menjawab dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism, (Michigan, USA: William B. Eerdmans Publishng Co, 1996), terj. Wilson Suwanto, A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk Memahami Postmodernisme, (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2001), hlm. 67.
62 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm.78. 63 Strukturalisme dianggap anti humanis. Karena objek strukturalisme dianggap cukup diri,
lepas dari masyarakat. Serta konsep-konsep tentang unsur, antar hubungan, dan totalitas. Karena sejak awal strukturalisme fokus pada struktur matematis dan logis, fisik dan biologi, psikologis, dan linguistik. Tidak pada fenomena sosial langsung. Jean Piaget, Le Stucturalisme, (France: Presses Universitaires de France, 1968), terj. Hermoyo, Strukturalisme, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 13, 30, 44, 62.
64 Pada 15 Oktober 1926 di kota Poitiers-Perancis, “Paul-Michel” Foucault lahir. “Paul-Michel” merupakan nama babtis Foucault. Namun, dia tidak menggunakan “Paul” karena itu nama ayahnya yang dibencinya sejak remaja. Foucault banyak menggeluti bidang pengetahuan. Namun, basis yang dipakai Foucault adalah sejarah. Disitulah terjadi pusaran diskursus, pengetahuan, subjektivitas, kekuasaan, kebenaran, dan sebagainya. Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism…, ibid., hlm. 200-201. Lihat pula John Lechte, Fifty Key Contemporary Thinkers, (New York and London: Routledge, 1994), terj. A. Gunawan Admiranto, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, (Yogyakarta: KANISIUS, 2001). Karya pokok Foucault yang pertama Folie et deraison: Histoire de la folie a l’age classique (Kegilaan dan Ketakbernalaran: Sejarah Kegilaan Pada Masa Klasik) pada 1961 dan pada 1984 dia meninggal akibat penyakit terkait dengan AIDS. hlm. 177.
57
postkolonialisme menganalisis era kolonial: termasuk Indonesia. Kedua,
postkolonialisme memiliki keterkaitan erat terhadap nasionalisme; mengutamakan
kepentingan bersama daripada kepentingan individu. Ketiga, postkolonialisme
juga untuk menggalang narasi kecil dari bawah, belajar dari masa lalu untuk
menuju masa depan. Keempat, menyadarkan kepada khalayak bahwa penjajahan
atau kolonialisme tak selalu berbentuk fisik. Dan kelima, postkolonial tidak hanya
teori, juga kesadaran diri. Sadar memerangi imperialisme, orientalisme,
rasialisme, dan hegemoni dalam bentuk lain-lain. Dapat pula hegemoni spiritual
dan material yang berasal dari luar maupun dalam bangsa sendiri.65
Berbeda dengan Kuntha Ratna, menurut Gandhi, postkolonialisme
merupakan titik temu dari beragam disiplin dan teori yang sedang bertarung.
Memungkinkan suatu dialog interdisipliner dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.
Menggabungkan kesulitan ilmu-ilmu yang bertentangan seperti Marxisme66 dan
postmodernisme67/postrukturalisme.68 Lanjut Kuntha Ratna, postkolonialisme
varian dari poststrukturalisme. Dari pertentangan teori itu memunculkan
konsensus kecil mengenai isi, ruang lingkup, dan relevansi, sesuai kajian
postkolonial.
65 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 81-82. 66 Marxisme atau marxim merupakan filsafat dari tulisan-tulisan Karl Marx, ajaran Marx, atau
kritiknya terhadap kapitalisme dengan pemikiran materialisme dialektis dan materialisme historisnya. Lorens Bagus, ibid., hlm. 572. Meski demikian, Marxisme dan kapilalisme dalam gerak sejarah sama-sama fokus pada materialisme. Jon Elster, An Introduction to Karl Marx, (England: Cambridge, 1986), terj. Sudarmaji, Karl Marx: Marxisme-Analisi Kritis, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2000), hlm. 141.
67 Postmodernisme secara konseptual begitu memesona. Yaitu, ketidakpercayaannya terhadap segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala pemikian yang mentotalisasi. Misalnya, Hegelianisme, Marxisme, dan Liberalisme. Dengan prinsip paralogi (para pencipta) bukan holologi (para ahli). I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996), hlm. 28.
68 Leela Gandhi, ibid., hlm. 4.
58
Secara redaksional, kata ”postkolonial” berasal dari ”post” atau setelah,
kolonial ialah penjajah, dan ”isme” suatu paham. Penggabungan diri kata-kata
dalam postkolonialisme secara harfiah menjadi paham mengenai teori yang
dilahirkan sesudah zaman kolonial.69 Gandhi menyatakan, menurut para kritikus,
redaksi postkolonial yang dirangkai (tidak dipisah tanda hubung, misalnya ”post-
kolonial”) medan perasanya jauh lebih sensitif terhadap sejarah panjang dari
berbagai konsekuensi kolonial.70 Proyek atas postkolonial ini untuk kali pertama,
versi Shelly Walia, dikemukakan Franz Fanon71 dalam Black Skin, White Masks
dan The Wretched of the Earth pada 1987. Lalu, Edward W. Said (1935-2003)
merintis postkolonialisme di dunai Anglo Amerika melalui bukunya Orientalism
pada 1978.72 Pemikiran Said banyak dipengaruhi Foucault. Pengetahuan bukan
untuk ilmu tetapi pengetahuan ialah kolonialisme itu sendiri. Dalam pengetahuan
mengandung visi dan misi sekaligus tujuan yang hendak dicapai. Pengetahuan
menjadi alat kekuasaan dan kekuasaan mengokohkan pengetahuan.
Postkolonialisme, teori ini merupakan akumulasi konsep-konsep, cara-cara
untuk memahami, dan tidak meninggalkan praktik untuk menjelaskan objek. Oleh
karenanya, dalam postkolonialisme kurang tepat jika kata ”post” sekadar diartikan
masa “setelah” atau “sesudah”. Bagi Stephen Slemon, postkolonialisme tidak
sekadar menunjuk pada suatu negara. Melainkan kondisi-kondisi yang
69 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm. 82. 70 Leela Gandhi, ibid., hlm. 4. 71 Dokter jiwa ini lahir di Fort-de-France, 20 Juli 1925, namanya Frantz Fanon. Wafat 6
Desember 1961 di Washington DC (usia 36 tahun). Dia juga seorang pengarang dan pembuat esai Perancis. Walau meninggal diusia muda, karya Fanon menginspirasi gerakan pembebasan dari kolonialisme lebih dari empat dekade. (http://id.wikipedia.org/wiki/Frantz_Fanon).
72 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 84. Edward Wadie Said (1 November 1935-25 September 2003/ 67 tahun) dia figur pendiri postcolonialism. Anglo-Amerika merupakan bagian Anglosfer Amerika; yang keseluruhan mempergunakan Bahasa Inggris (Britania Raya).
59
ditinggalkan (postcolonial condition).73 Maka, postkolonialisme bukanlah
neokolonialisme ataupun antikolonialisme.74
Di Indonesia, kalau postkolonialisme ingin dipergunakan paling tidak
mengandung tiga pengertian. Pertama, masa pascakolonial di seluruh dunia.
Pengertian pertama ini membatasi diri pada masa-masa setelah kolonial. Di
Indonesia masa itu dimulai sejak pertengahan abad ke-20. Kedua, segenap naskah
sejak kedatangan Eropa di Nusantara. Cakupan pengertian kedua lebih luas karena
durasinya sejak abad ke-16 (kedatangan Portugis dan Spanyol di Nusantara).
Ketiga, segala tulisan atau wacana pengetahuan tentang kedigdayaan Eropa dan
kemelorotan negara lain. Terakhir ini memiliki cakupan tak terbatas. Terhitung
sejak sebelum kedatangan Eropa di Nusantara. Namun, Eropa sudah memiliki
konsepsi atau pencitraan terhadap negara lain.75
Secara teoritik terdapat perdebatan dalam soal pengertian ”pascakolonial”
atau secara harfiah ”setelah-kolonial”. Berakhirnya kolonialisme dan
menyebarnya manusia bekas koloni ke seluruh penjuru dunia, bisa dianggap
seluruh dunia ada pada masa pascakolonial. Pengertian ini pun menjadi parameter
karena ketimpangan dan kesenjangan dari perintah kolonial belum bisa
dihilangkan sampai sekarang. Negara bisa pasca dalam ukuran formal, realitasnya
masih terkolonisasi. Pemaknaan tekstual atas pascakolonial, mengakibatkan teori
yang heboh di tahun 1980-an ini tidak bisa dipakai siapapun yang berada pada
73 Stephen Slemon, Post-colonial Critical Theories, dalam Gregory Castle (ed.), Postcolonial
Discourses: An Anthology, (Massachusetts: Blackwell, 2001), hlm. 102. 74 Leela Gandhi, ibid., hlm. 90-91. Antikolonialisme ditunjukkan dengan sikap menolak
segala bentuk kolonialisme, baik yang pernah terjadi antar negara. Maupun, dalam skala yang lebih luas dari negara.
75 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, ibid., hlm. 96-97.
60
paling pinggir atau paling bawah dari negara-negara. Mereka yang terpinggirkan
tidak pernah dalam situasi pasca. Jawaban itu untuk menambah pemahaman dan
pengamalam ”pascakolonial”. Tidak dari pertanyaan, kapan? Namun, bagaimana?
Maka, menurut Loomba dari Hulme, pascakolonial bisa generalisasi sejauh kata
itu ”mengacu pada suatu proses pembebasan dari sindrom kolonial, yang
membentuk banyak sekali dan barangkali tak terelakkan bagi mereka yang
dunianya telah ditandai oleh perangkat fenomena itu: ”pascakolonial” adalah (dan
seharusnya adalah) sebuah istilah diskriptif bukan evaluatif” (Hulme, 1995:
120).76
a. Fungsi dan Manfaat Postkolonialisme
Teori merupakan cara tertentu untuk memahami objek. Dilihat melalui
’teropong’ postkolonialisme maka masalah atau objek yang sedang ditampilkan
adalah kolonialisme. Pula perlu diingat, postkolonialisme mempunyai hubungan
integralistik dengan model berpikir ala Edward Said. Yang menjadikan objek
postkolonialisme semakin tidak terbatas hanya pada kolonialisme–sebagaimana
mainstream pahami. Postkolonialisme yang juga mengalami interaksi dengan
paradigma Orientalism Said sehingga memiliki cakupan juah lebih luas lagi.77
Mengapa objek kolonialisme bidikannya? Mengapa pula, masa-masa
penjajahan kolonialisme perlu teliti lagi dengan postkolonialisme dan bukan
lainnya? Sebab, penjajahan atau kolonialisme meninggalkan berbagai bentuk atas
sifatnya. Terbendakan dalam naskah, monumen, prasasti, hasil teknologi, dan
76 Ania Loomba, Colonialism..., ibid., hlm. 24. 77 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 99.
61
lain-lain. Meninggalkan pula warisan permasalahan akut psikologis, mentalitas,
dan spiritualitas yang harus segera diselesaikan. Akibat kolonialisme, bangsa kita
terinveksi (minimal terkontaminasi) sistem dan mekanisme kolonial. ’Barang’
asing yang sebenarnya tidak mengalami penyesuaian atau bahkan bertentangan vis
a vis dengan kepribadian bangsa. Dua kepribadian yang bersinggungan dan saling
mempengaruhi ini menjadikan manusianya hidup di dua ruang. Yaitu, ruang
kenyataan bangsa di wilayah Nusantara yang ”tertinggal” dan ruang semu atau
bayangan-bayangan seolah nyata dari peradaban kolonial yang ”maju”. Tidak
disadari, keberadaan pada dua ruang yang tidak jelas itu menjadikan manusia-
manusianya selalu terkucil, tersingkir, terasing, dan tak diperhitungkan dalam
kenyataan global. Ditandai sifat-sifat buruk seperti cemburu, iri hati, oportunis,
korup, apatis, dan pemalas.
Untuk manfaat dan fungsi analisis, postkolonialisme banyak
bersinggungan dengan berbagai varian penelitian sejarah. Baik persinggungan
sosial maupun sengketa intelektual. Di situlah postkolonialisme turut serta sering
dimasukkan dalam kategori perangkat teori analisis historis. Bedanya, diskripsi
historis hanya berkutat pada fakta-fakta sejarah. Analisis postkolonial menjawab
pertanyaan bagaimana fakta-fakta sejarah itu (meskipun datanya sama) bisa
dipahami secara berbeda. Kajian historis yang stagnan. Posisi postkolonialisme
berada di level lanjutan dan lebih jauh setelah penelitian model diskripsi historis.
Hubugan erat yang terus dijalin antara postkolonialisme dan kolonialisme
membuka peluang penelitian ini pada pemahaman terhadap sejarah. Tidak sekadar
alur, plot, tokoh, waktu, tempat, dan kejadiannya. Analisis postkolonial lebih dari
62
deskripsi historis yang berhenti di tempat. Namun, membidik sejarah yang terus
bergerak sehingga analisisnya juga pada sejarah pergerakan dan sosial, tanpa
ketinggalan soal nasionalisme.78
Memfungsikan postkolonialisme tak pula sebatas analisis historis. Juga
teori ini dapat difungsikan menganalisis kultur dan budaya serta tradisi di negara
pascakolonial. Akibat kolonialisme yang berabad-abad di Nusantara, jelas tersedia
warisan naskah begitu banyak. Naskah-naskah atau manuskrip79 lain yang selalu
menarik dalam penyelidikan postkolonialisme. Manuskrip yang tidak hanya
terkontaminasi juga terinveksi kolonialisme Eropa. Baik naskah-naskah ilmu
pengetahuan yang terdiri dari bahasan sejarah, hukum, antropologi, sosiologi, dan
geografi, maupun naskah-naskah karya sastra yang ’tidak ilmiah’. Kesemuanya
itu tetap ’anak’ pada zamannya yang tidak boleh ditirikan.
b. Bidikan Postkolonialisme
Kesepakatannya terhadap Gramnsi, Said berjuang memperlihatkan
kolonialisme tidak sesempit dalam hegemoni ekonomi ala Marxis ortodok. Atau
kolonialisme Marxis di awal kemunculannya. Lebih dari itu, kolonialisme
melakukan hegemoni ide. Bahasannya lebih luas dibandingkan hegemoni
ekonomi. Karena berada di antara infrastruktur material dan superstruktur
78 Ibid., hlm. 101. 79 Manuskrip biasa diartikan sebagai tulisan tangan asli. Usianya termuda 50 tahun. Tentu,
yang punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Tjandrasasmita, arkeolog satu ini, mengkategorisasi tiga jenis manuskrip Islam di Nusantara. Pertama, berbahasa dan tulisan Arab. Kedua, Jawi (ditulis huruf Arab berbahasa Melayu). Ketiga, Pegon (ditulis huruf Arab, menggunakan bahasa daerah; Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh, dlsb.). DR H Uka Tjandrasasmita, Manuskrip Ulama Nusantara Dijarah Penjajah, (www.Sabili.co.id). Ketegori manuskrip Tjandrasasmita terlalu sempit. Karena manuskrip mengenai segala sesuatu (naskah dlsb) yang mendukung penelitian sejarah dari konstruksi masa lalu.
63
ideologis. Serangan gencar pada sistem ideologi dilakukan melalui pencitraan
yang sengaja diciptakan. Citra tentang koloni sebagai bangsa ”terbelakang”,
”pasif”, ”sensual”, ”kanibal”, bahkan ”barbar”. Konstruksi struktur ideologi Eropa
terhadap daerah-daerah koloni seisinya dalam rangka membenarkan tindakan
kolonialisme bahwa koloni tidak berperadaban. Maka, kolonialisme harus
memperadabkan koloni-koloni yang ndeso dan ’ketinggalan jaman’.80 Untuk
membenarkan dan mengukuhkan segala pengetahuan dan ”kebenaran” yang telah
dimanipulasi diterbitkanlah ribuan buku. Tidak kurang ada 60 ribu judul yang
membahas Timur Dekat dalam kurun 150 tahun (1800-1950). Meminjam istilah
Edgar Quinet (1803-1975) –disebut Renaissance81 dunia Timur. Sebaliknya, tak
satu pun buku hasil tulisan bangsa Timur mengenai Barat.82
Seakan-akan menjadi sangat wajar dan harus mengarahkan kiblat dalam
berpengetahuan ke arah Barat. Di situlah yang paling ”otoritatif”, ”valid”,
”terpercaya”, ”benar secara ilmiah”, dan ”harus dita’ati” hasilnya.
Postkolonialisme ingin membuktikan penjungkirbalikan kebenaran yang
dilakukan lewat ide-ide dan ideologi kolonial Eropa, Barat.
... proyek tulisan poskolonial untuk mempertanyakan wacana Eropa dan strategi-strategi diskursifnya, menginvestigasi media-media yang digunakan oleh Eropa untuk memaksakan dan mempertahankan kode-kodenya dalam dominasi kolonial di seluruh dunia dilakukan dari suatu posisi di dalam dan di antara dua dunia. Oleh karenanya, upaya pembacaan dan penulisan kembali catatan-catatan historis dan fisional Eropa tidak terelakkan menjadi
80 Ndeso sering dimaknai peyoratif sebagai ketertinggalan dalam segala hal. 81 Dalam bahasa aslinya, Perancis, renaissance artinya “kelahiran kembali” atau “kebangkitan
kembali”. Karena Eropa memang daerah mati potensi, tidak berpendidikan, dan tidak berperadaban serta tidak berkeadaban. Dalam bahasa Latin disebut nascentia—nascor, natus (kelahiran, lahir, dilahirkan). Kata itu dipopulerkan dalam tulisan Michelet pada 1855 dan pada 1860 dipergunakan oleh Burckhardt. Lorens Bagus, ibid., hlm. 953-954. Edgar Quinet (17 Februari 1803-27 Maret 1875) ialah intelektual dan sejarahwan Perancis.
82 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 111-112.
64
tugas vital pemikiran poskolonial. Melebihi upaya-upaya penciptaan esensi-esensi nasional atau regional alternatif, manuver-manuver subversif ini menjadi karakteristik khas tulisan poskolonial. Kesusastraan/kebudayaan poskolonial lebih merupakan praktik-praktik diskursif tandingan, bukan praktik-praktik turunan wacana Eropa.83
Brilian apa yang telah dilakukan Said dalam Orientalism-nya ketika
menggunakan semangat postkolonialisme ini dalam mengkonstruksi
pemikirannya. Said mengerjakannya paling tidak dengan tiga tahap strategis yang
harus dilalui. Agar pengetahuan yang dia bangun tidak mudah diruntuhkan.
Pertama, semata-mata untuk kajian akademis. Sebagai kajian akademis,
pengetahuan yang dikonstruksi oleh negara-negara koloni atau orang Timur agar
dapat pula dipertanggungjawabkan (baik data-data ataupun analisisnya).
Menyesuaikan standarisasi pencarian kebenaran pengetahuan, yakni, secara
ilmiah yang dipakai para akademisi, seperti di kampus. Kedua, sebagai usaha-
usaha untuk meraih kekuasaan. Pengetahuan tidak sekadar untuk pengetahuan.
Pengetahuan dijadikan alat dan kekuatan untuk meraih (merebut) kekuasaan yang
digenggam tangan-tangan kolonialis. Penguasaan fisik ataupun cengkeraman laten
dan halus namun khas kolonial. Yang datangnya dari internal diri, maupun dari
luar negeri. Dan ketiga, usaha menciptakan citra diri kita sebagai pusat, subjek.
Bukan objek (baca, binatang percobaan) yang sedang diteliti. Caranya,
menciptakan dikotomi secara laten di bidang pengetahuan sesuai kontruksi Timur.
Point ketiga itu merupakan usaha berat ketika harus membuat konsepsi-konsepsi
atas pengetahuan yang diciptakan sendiri. Bebas dari hegemoni tata aturan dan
pengetahuan kolonial.
83 Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, & Helen Tiffin, The Empire Writes Back: Theory and
Practice in Post-colonial Literatures, (1989), terj. Fati Soewandi & Agus Mokamat, Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial, (Yogyakarta: Qalam, 2003), hlm. 308.
65
Karena pengetahuan kolonial berwatak jahat. Terus membiarkan dikotomi
berlanjut: kolonial v koloni, ”maju” v ”terbelakang”, ”berperadaban” v ”biadab”.
Perbedaan itu dipelihara ’sealamiah’ mungkin. Maksudnya, agar Pribumi selalu
membawa beban koloni, tetap bodoh mekipun sekolah, dan merasa terbelakang
dan tidak mampu lagi mengejar ketertinggalan. Bahasa-bahasa asli negara koloni
memperoleh dampak atas kolonialisme. Dianggap bahasa asli daerah telah mati,
lapuk, dan tidak mempunyai arti. Itu untuk memperkukuh bahasa kolonial
Belanda saja dan dipatenkan sebagai bahasa ilmu pengetahuan modern dan bahasa
orang-orang terpelajar. Demi maksud keji kolonialisme, banyak pula naskah-
naskah lama asli daerah koloni yang dibakar dan dimusnahkan. Banyak juga yang
dibawa lari dalam wujud fisik (manuskrip, misalnya) untuk dipenjarakan di
museum-museum Eropa.
Dari sekian banyak yang harus dihadapi, objek kajian postkolonial pada
umumnya wacana-wacana postkolonial. Terdiri berbagai bentuk pencitraan terkait
dengan peninggalan kolonial. Analisis terhadap wacana yang berhubungan
dengan pengkoloni dan koloni setelah fase dekolonisasi. Juga analisis terhadap
wacana yang mengendap atau tersisa dalam ingatan akibat teriveksi kolonialisme
secara keseluruhan. Diperjuangkan melalui isu seperti gender, ras, penindasan,
dan bentuk penjajahan lain.84 Kajian postkolonial ini diperkuat oleh banyak tokoh.
Seperti: Edward Said, Jacquest Lacan, Frantz Fanon, Gayatri Chakravorty Spivak,
D. Chakrabarty, Homi K. Bhabha, Slavoj Zizek, Sara Suleri, Bill Ashcroft, Helen
Tiffin, Ania Loomba, Leela Gandhi, Gauri Viswanathan, dan lainnya, serta
84 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid., hlm. 116-117.
66
pengaruh kuat model berpikir Foucault.85 Dengannya, negara Barat dan Eropa
(seperti Belanda) akan dipermalukan. Bahwa telah terbukti, pada zaman kolonial,
Belanda mempermalukan diri dengan membuat peta atlas dengan sengaja
menampilkan seolah-oleh wilayah Belanda lebih luas dan lebih kaya hasil
buminya dibanding Nusantara.86 Dengan maksud memberi citra bahwa
”selayaknya (wajar)” Belanda menjajah Nusantara.
c. Representasi Postkolonialisme
Kolonialisme berpengaruh sangat kuat terhadap daerah koloni. Tiga hal
yang menguatkannya. Pertama, durasi waktu yang begitu lama dalam
kolonialisme maupun luasnya pengaruh kolonial di wilayah koloni. Kedua,
perbedaan tingkat peradaban pengkoloni dan koloni, serta hegemoni peradaban
kolonial. Ketiga, kolonialisme dilakukan dengan berbagai sarana kompleks;
agama, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, fisik, dan persenjataan. Gejala-
gejala tersebut akan diikuti dengan kuatnya ”representasi”. Asalnya dari
repraesentatio (Latin), akar kata praeese. Artinya, mendahului atau mendahului
85 Jacques Marie-Émile Lacan (13 April 1901-9 September 1981) ialah psikoanalis Prancis.
Frantz Omar Fanon (20 Juli 1925-6 Desember 1961) dia psikiatris dan filsuf serta pengarang asal Martinique. Gayatri Chakravorty Spivak (24 Februari 1942) seorang kritikus India, teoritikus tentang marxisme dan pejuang hak-hak perempuan. Dilip Kumar Chakrabarti dia arkeolog India dan profesor di CambridgeUniversity. Homi K. Bhabha (Mumbai-India 1949) ia Direktur Pusat Kemanusiaan Harvard University. Slivoj Zizek merupakan peneliti senior di Institute of Sociology Universitas Ljubljana, Slovenia. Sara Suleri Goodyear dia pengarang, sejak 1983, profesor Bahasa Inggris di Yale University. Helen M. Tiffin: Guru Besar dalam Bahasa Inggris di Universitas Tasmania, Australia. Leela Gandhi (1966): Profesor dalam Bahasa Inggris di Universitas Chicago. Gauri Viswanathan, Profesor dalam English and Comparative Literature di Columbia University (New York).
86 Peta buatan kolonial Belanda pada 1938 menggambarkan Nusantara tak semestinya. Dari ukuran luas, hutan, jalan, transportasi, dan sebagainya mereduksi fakta. Kamis, 5 Febuari 2009 lalu diluncurkan Atlas Nasional Indonesia (ANI) untuk menunjukkan wilayah Nusantara sesungguhnya. Akhirnya Merdeka Dari Atlas Belanda, Dalam http://www.republika.co.id/koran/ 14/29784/Akhirnya_Merdeka_dari_Atlas _Belanda (Jumat, 06 Februari 2009 pukul 06:19:00)
67
objek lain. Disiplin retorik beranggapan representasi sebagai ketepatan memilih
kata-kata. Sehingga membangkitkan daya imajinasi. Representasi bisa pula
diartikan sebagai citra dan gambaran, atau lukisan. Secara tradisional
mengandung arti imitasi dan kemiripan, yakni memiliki citra mental dan aktual.87
Terang Cavalaro, representasi berkaitan dengan proses pengulangan.
Aktivitas untuk menghadirkan kembali. Makna baru bisa didapat dari suatu
kalimat atau kata karena kalimat atau kata tersebut digunakan dalam konteks
berbeda. Konteksnya representasi, ketika bicara atau menulis apapun baik oleh
antropolog, sejarahwan, linguis, psikolog, desainer, dan sutradara, secara
mendasar tidak mencipatakan sesuatu apapun yang baru. Hanya pengulangan atas
yang sudah ada. Ini karena representasi sejajar dengan interaksi, simulakrum
(medium penyampai pesan).
Teori postkolonial, menurut Foucault dan Said, merepresentasikan tiga hal
yang tidak pernah terpisahkan; bahasa, kebenaran dan kekuasan.88 Bahasa
menjadi alat untuk mempermudah melakukan transfer atas informasi atau
pengetahuan. Di situ ada teks dan atau wacana. Simbol yang memahamkan
kepada seseorang tentang suatu kebenaran dari bahasa. Sehingga kebenaran bisa
dikandung atau dikonstruk oleh bahasa. Tanpa kebenaran, bahasa tidak berarti
apa-apa kecuali sekadar bahasa. Kebenaran yang juga dibahasakan menjadi
maksud dalam tujuan kekuasaan. Juga, kebenaran menjadi benar jika pula
didukung oleh kekuasaan. Sering kali kebenaran menjadi salah karena posisinya
minoritas dan tanpa dukungan kekuasaan. Sedangkan kebenaran butuh
87 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU., ibid. hlm., 122-123. 88 Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, & Helen Tiffin, The Empire Writes Back… ibid., hlm. 258.
68
dibahasakan dan dibantu kekuasaan agar terasa perubahan sosial dari yang telah
dipelajari. Ketiganya, bahasa, kebenaran, dan kekuasaan berhubungan terus-
menerus tanpa putus.
Postkolonial juga akan membongkar ketiga relasi yang tekandung dalam
naskah atau peninggalan atau akibat kolonial. Bahasa, kebenaran, dan kekuasan
yang masing-masing terkait dan terkonstruk oleh kolonialisme namun menjadi
suatu ”kebenaran” di benak koloni. Entah benar dan tidaknya? Justru
ketidaksadaran—alamiah—atas kebenaran versi kolonial—yang menjadi
pengetahuan dan kekuasaan—itulah saat-saat kolonialisme menancapkan taring-
taring beracunnya. Maka, postkolonialisme tidak hanya mengorek kenyataan
kolonial tadi. Juga, bagaimana membuat konstruksi bahasa, kebenaran, dan
kekuasaan sendiri yang merdeka dan tidak kolonialistik. Namun, bahasa,
kebenaran, dan kekuasaan yang menjadi representasi kenyataan wilayah atau
negara sendiri, tidak hanya yang pernah menjadi koloni.
Ketiga relasi itu bisa dicontohkan salah satunya dalam isu gender.
Perempuan harus membuat konstruksi atas bahasanya sendiri yang khas
perempuan. Sebabnya hanya ada satu-satunya piranti bahasa yang khas kolonial.
Yaitu, bahasa penindas.89 Dalam kasus ini, penindas itu biasanya laki-laki karena
hasrat sensualitasnya terhadap perempuan. Bahasa-bahasa yang menjadi
mainstream juga diterima perempuan secara bias. Penuh nuansa dan kepentingan
laki-laki atau penindas. Bagaimana bahasa yang khas perempuan itu mampu
memberi suara pada perempuan ”bisu” sebagaimana adanya. Di bidang hukum,
89 Bill Ashcroft, dkk. ibid. hlm. 270.
69
bahasa yang dipakai pun bukan berasal dari bahasa sendiri. Sangat banyak produk
hukum hasil konstruksi kolonial, baik Inggris, Belanda, maupun Perancis. Berarti,
dalam bahasa yang tidak asli dari bangsa sendiri itulah kolonialisme
mengukuhkan dan melakukan pembenaran kekuasan kolonialistiknya.
d. Batasan Postkolonialisme
Postkolonialisme dapat ditempatkan di ruang antara. Misalnya, ruang
antara totalitas dan struktur politik sedangkan di sisi lain ada fragmen politik.
Yakni, ruang perdebatan antara Marxisme dan pascamodernisme/
pascastrukturalisme. Dua ruang itu masing-masing tidak pernah berkaitan.
Malahan, pertentangan di antara keduanya selalu bersaing dalam pokok-pokok
pemikirannya.
Pertama, secara meta-naratif atau narasi besar. Postkolonialisme
membidik sesuatu yang lebih luas dari batasan makna katanya sendiri. Menelisik
sesuatu yang tak terbatas kolonialisme. Sehingga bersifat transhistorisitas
postkolonial. Di sini, postkolonialisme mampu melampaui dirinya sendiri.
Namun, terang Aijaz Ahmad,90 terjadi efek kokosongan yang amat fundamental
dalam makna sesungguhnya akibat konstruksi transhistorisitas postkolonial yang
diglobalkan. Penyebaran makna tersebut yang demikian luas menjadikan kita
tidak dapat bicara mengenai sejarah tertentu dari struktur yang tertentu pula.91
Dirinya, postkolonialisme, menginginkan dirinya lebih jauh dari sekat-sekat
bahasan tentang kondisi kolonialisme dan struktur yang dibangunnya.
90 Aijaz Ahmad ialah penganut teori Marxisme dan kometator politik di India 91 Leela Gandhi, ibid. hlm. 223.
70
Begitu karena postkolonialisme menganggap ada kekuatan atau luas
masalah yang tidak dapat diukur secara fundamental atau terdefinisi. Misalnya,
subordinasi secara kultural yang menonjol di masyarakat koloni Australia.
Berbeda dengan subordinasi administrasi dan meterialistik di tanah jajahan Asia
dan Afrika. Jika, postkolonialisme menutup diri terhadap perbedaan-perbedaan
itu, maka dia akan kehilangan intervensi politis dan etis. Menuju kondisi
ketidaksetiaan dan kekuasaan.92
Kedua, akhir kolonialisme. Postkolonialisme dapat menjadi pemikiran
terbaik sebagai kritik sejarah, demikian kata Robert Young. Terutama dalam
perdeban sengit antara Marxisme dan postmodernisme atau postrukturalisme.
Marxisme sendiri dengan amat jelas lepas dari alegori-alegori postkolonialisme
terhadap sejarah. Sedangkan lawan-lawannya telah berhasil dikritik Marxisme
dalam pemikiran sejarah atau historisismenya.93 Postkolonialisme dapat
berkembang dengan pesat sesuai kondisi masyarakat dunia bila disertai
perlawanan terhadap mainstream.
Anne McClintock94 mengetengahkan kritiknya dengan pendapatnya
tentang kata ”post” dalam kata postkolonialisme. Kata-kata itu menyerahkan suatu
prestise tentang suatu sejarah kepada kolonialisme. Pemikiran-pemikiran ini dapat
bertemu dalam penyatuan paradoks keanekaragaman dan dinamika masyarakat
dunia terjajah hanya dalam satu konstruksi saja. Yaitu, bersejarah melalui kategori
tunggal kolonialisme. Meskipun sebagai upaya balas dendam, menurut Tiffin,
postkolonialisme dapat meneruskan dua cita-citanya. Pertama, membongkar
92 Ibid. hlm. 225. 93 Ibid. 94 Anne McClintock (lahir pada 1954 di Harare, Zimbabwe) dia dikenal sebagai feminist.
71
kenyataan subordinasi masyarakat dunia oleh Eropa. Kedua, mengorek-orek
segala sesutu yang menyimpang di tubuh kolonial yang dilakuan kalangan yang
menolak kolonialisme.95
Dua hal tentang pemaksaan dan balas dendam justru tidak akan
meminimalkan pengakuan sedang dalam kondisi terjajah. Malah, menyetujui
kondisi itu sebagai kolonialisme. Nah, pendapat ini telah mengecualikan
kalangan-kalangan atau kelompok-kelompok ”nonpemaian”—dalam bahasa
Anandi. Sebagai batasan kebutuhan akademik postkolonialisme sudah mampu
menyingkap dan menamai bentuk masa lalu sejarah kita sebagai kolonialisme
secara nyata adanya. Sehingga inkoherensi sejarah menemukan mangsanya secara
akademik dan dapat pula dipertanggungjawabkan dalam pandangan restropektif
yang menyatu terhadap kritik postkolonial. Bisa terjadi seperti itu ketika
postkolonialisme terkungkung dalam identifikasi diri sebagai ”akhir” atau
”setelah” masa kolonialisme.96
Di awal, kekhawatiran keterbatasan postkolonialisme ini sudah diantisipasi
dengan pengertiannya yang tidak sebatas tekstual, ”setelah”. Tetapi segala sesuatu
yang berkaitan dengan kolonialisme; warisan sejarah, warisan mental, warisan
pengetahuan dan sebagainya, ketika dan setelah kolonialisme. Bahkan, sebelum
kolonialisme itu ada. Tatkala Barat dan Eropa mengkronstruksi tentang Timur
sebelum kedatangannya secara fisik (kolonialisme) maka sejak itulah sudah
dimulai bidikan postkolonialisme. Sehingga batasan postkolonialisme tidak
terbatas ruang dan waktu yang terdefinisi secara sempit. Sebagaimana dikatakan
95 Ibid. hlm. 227. 96 Ibid. hlm. 229-300.
72
Gilroy yang dengan keras mendukung bahwa tema-tema postkolonialisme
melebihi batas-batas etnisitas dan nasionalisme untuk menyatakan tentang
”kesadaran ganda”. Tambah Gilroy, meskipun begitu postkolonialisme lebih
mempunyai sifat murah hati.97
e. Relevansi Postkolonialisme di Nusantara
Teramat banyak warisan kolonialisme Eropa di Nusantara. Teks, wacana,
manuskrip, artefak, benda fisik bersejarah, dan sebagainya. Efek kolonialisme
juga berupa warisan yang mengendap dalam kehidupuan manusia dalam
keseharian masyarakat Nusantara pascakolonial. Meskipun, dekolonisasi secara
formal sudah terjadi di sini pada 17 Agustus 1945, dan banyak negara lain.
Namun, bekas inveksi kolonialisme Eropa di Nusantara; Portugis, Sepanyol, dan
Belanda masih tetap hidup. Ditambah lagi dengan penjahan –dalam bahasa
Jayabhaya98--orang-orang cebol alias Jepang. Postkolonialisme menjadi amat
relevan dan menemukan objek yang tepat untuk menganalisis kenyataan
masyarakat Nusantara pascakolonialisme. Akan mengorek bekas-bekas kolonial
di berbagai lini kehidupan kita. Seperti manipulasi pengetahuan, dikotomi yang
menyesatkan, dan ajaran-ajaran takhayul irasional—atas nama rasionalisme—
modern yang amat sangat menyesatkan!
Menelanjangi kuasa pengetahuan, modal, dan kekuasaan yang
terakumulasi sebesar-besarnya untuk kepentingan pengkoloni. Yang secara
97 Ibid. hlm.181. 98 Maharaja Jayabhaya adalah raja Kediri (1135-1157). Gelar lengkapnya Sri Maharaja Sang
Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
73
historis, kolonialisme di Nusantara sejak awal abad ke-17. Ditandai berdirinya
Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) oleh Belanda. Sedangkan Inggris
mendirikan organisasi sejenis dengan nama East Indies Company (EIC), pusatnya
di Kalkuta, India. Warisan nalar kolonial bagi bangsa kita yang disebut inlander
demikian kuat. Sampai menampilkan mental minder dan malas. Di bidang
pengetahuan terhipnotis dengan tipu daya pengetahuan ”rasional” modern yang
irasional.
Sebagaimana fokus riset ini, relevansi teori postkolonial dipakai di
kawasan yang dulu disebut Nusantara ini akan dikhususkan pada era kolonialisme
Belanda. Yakni, era yang ditandai dengan masuknya perdangan dunia yang
kapitalis, VOC. Perekonomian dikuasai oleh Belanda. Namun, tidak semua
kawasan berhasil dikuasi kongsi dagang Belanda, yang selanjutnya diambil alih
pemerintah Negeri Belanda terhadap Nusantara. Namun, tidak semua kawasan
langsung tunduk dan dikuasi Belanda. Karena fanatisme keber-Islam-annya yang
begitu kuat sehingga susah menerima yang lain.
Maka, untuk merobohkan bangunan budaya dan masyarakat Nusantara
yang diperkuat oleh agama dikirim penasehat-penasehat intelektual di kawasan
jajahan Belanda, atau Hindia Belanda. Seperti, C. van Vollenhoven (1874-
1933).99 Namun, para penasehat Pemerintah Hindia Belanda tidak menampakkan
hasil memuaskan dalam nasehat dan strateginya. Lantas kemudian, dikirimkanlah
penasehat intelektual, arsitek, think thank, dan kreator yang lihai dalam bidang
akademik, penelitian, ilmu pengetahuan, dan sekaligus agama. Yaitu, Dr.
99 Cornelis van Vollenhoven (lahir 8 Mei 1874 di Dordrecht- mati 29 April 1933 di Leiden).
74
Christiaan Snouck Hurgronje. Sejak itu konsepsi pengusaan kolonial Belanda
terhadap koloni Nusantara berjalan mulus.
Halus, mulus, menyusup, menggurita, dan beracun. Dikuasi
pengetahuannya, agamawan, sekaligus masyarakat. Untuk kemudian dikonstruksi
hukum-hukumnya; hukum Islam maupun budaya (hukum adat), sesuai
kepentingan kolonial Belanda. Dikenal dengan hukum yang bewatak sangat
kolonialistik yang pelaksanaannya diperkuat melalui kebijakan Pemerintahan
Daerah Jajahan Hindia Belanda. Selanjutnya, masyarakat dikondisikan mematuhi
maksud-maksud kolonialisme Belanda. Terbukti, kolonialisme Belanda di bumi
Nusantara berjalan langgeng setelah Christiaan Snouck Hurgronje ikut
memperkuat sebagai think thank atau kreator atau arsitek intelektualnya. Dan,
peneliti perlu menelisik sekaligus mengoreksi bekas-bekas kolonialisme di bumi
Nusantara dengan penuh kesabaran; dibantu ketangguhan dan ketajaman
postkolonialisme!
75
BAB III
DINAS MATA-MATA
DAN PEMIKIRAN PERDATA KOLONIAL
CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
A. ARKEOLOGI1 PEMIKIRAN CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
a. Christiaan Snouck Hurgronje dalam Bacaan Situasi Keluarga
Seorang Pendeta Protestan, Ds. J.J. Snouck Hurgronje memiliki anak dari
Anna Maria de Visser (1819-1892) yang diberi nama Christiaan Snouck
Hurgronje.2 Anna Maria de Visser sangat populer di kalangan pendeta sebagai
puteri Pendeta Protestan Ds. Christiaan de Visser—rekan sejawat Ds. J.J. Snouck
Hurgronje—dengan Anna Catherina Scharp. Pada tanggal 3 Mei 1849 Ds. J.J.
Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser yang belum resmi menikah
dikeluarkan dari Gereja Hervormd di Tholen atau Zeeland Belanda karena
1 Foucalut memakai istilah ‘arkeologi’ untuk mempelajari praktik dikursus atau wacana yang
melibatkan aturan main di dalamnya. Arkeologi merupakan kategori epistemologis selain ada juga istilah ’genealogi’. Yang disebut terakhir ialah sebuah model analisis diskursus yang secara khusus melihat relasi tak terpisahkan antara pengetahuan dan kekuasaan di dalam diskursus. Dalam kerjanya, arkeologi dan genealogi, tidak terpisahkan. Karena arkeologi berurusan dengan episteme atau struktur pemikiran yang khas dari suatu jaman. Lihat, Roberto Machado, Kritik Arkeologi Foucault, dalam Majalah BASIS, No. 01-02, Thn. 52, (Januari-Februari 2003), hlm. 50-61.
2 Penulis akan mempertahankan redaksi ‘Christiaan Snouck Hurgronje’ dalam penelitian ini untuk memperlihatkan obyek penelitian sebagaimana adanya. Tindakan ini amat berbeda dengan banyak banyak peneliti lain yang menuliskannya dengan redaksi C. Snouck Hurgronje, Snouck Hurgronje, Snouck atau Hurgronje saja. Karena tiga redaksi terakhir menjadi kamuflase bagi pembaca awam untuk mengerti bahwa tokoh yang sedang dibahas dibesarkan dalam tradisi Nashrani yang kuat.
76
melakukan hubungan gelap. Padahal waktu itu Ds. J.J. Snouck Hurgronje telah
menikah dan mempunyai enam orang anak. Ds. J.J. Snouck Hurgronje dan Anna
Maria de Visser baru resmi menikah setelah sekitar enam tahun tragedi
pengusiran di Gereja Hervormd. Yakni, setelah istri Ds. J.J. Snouck Hurgronje
yang pertama meninggal dunia 31 Januari 1855 di Terheijden.3 Christiaan Snouck
Hurgronje dilahirkan di Oosterhout, Belanda, pada tanggal 8 Februari 1857.4
Artinya, dua anak Ds. J.J. Snouck Hurgronje dari Anna Maria de Visser
lahir di luar perkawinan resmi. Karena Christiaan Snouck Hurgronje adalah anak
yang ke empat dan dilahirkan dua tahun setelah perkawinan resmi orang tua
kandungnya. Dari arsip Kota Oosterhout, Terheijden dan Mechelen, didapat
keterangan bahwa kedua anak pertama, Anna Maria dan Jacqueline Julie
dilahirkan berturut-turut di Chilham (Inggris) pada tanggal 24 Mei 1849 dan di
Mechelen pada tanggal 4 Desember 1850. Setelah perkawinan lahirlah pada
tanggal 19 Februari 1855 Christina Anna Catherina (wafat pada 3 Maret 1856 di
Oosterhout); pada 8 Februari 1857 Christiaan di Oosterhout; pada 3 September
1859 Anna Catherina di Oosterhout. Kedua anak pertama yang lahir sebelum
perkawinan sah memakai nama ibu mereka ‘De Visser’ setelah meninggalkan
Oosterhout pada tanggal 3 Mei 1871; anak-anak lainnya selalu memakai nama
‘Snouck Hurgronje’.5
3 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Het Kantoor voor Inlandsche Zaken, Cet.
II, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 119. Lihat pula Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam; Biografi C. Snouck Hurgronje, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 7.
4 E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, (Jakarta: INIS, 1990), hlm. v.
5 P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje En Islam; Acht artkelen over leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk, terj. P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam;
77
Secara kasat mata bisa dilihat bahwa nama ‘Chistiaan Snouck Hurgronje’
merupakan gabungan nama kakeknya ‘Christiaan’ dan nama ayahnya ‘Snouck
Hurgronje’.6 Dengan menyandang dua nama besar ini menjadi tugas berat
baginya. Karena ia harus menjalani hidup sebagai pemuka bagi penganut
Protestan atau pendeta dalam rangka memperbaiki atau menebus kesalahan yang
pernah diperbuat ayah7 dan ibunya. Meskipun pada tanggal 13 Agustus 1856
permohonan Ds. J.J. Snouck Hurgronje agar kedudukannya di Gereja Hervormd
dipulihkan kembali telah dikabulkan. Kurang dari setahun, pada tanggal 12 April
1867, Anna Maria juga diterima sebagai anggota di tempat itu setelah mengajukan
permohonan8 dan permaafan. Rehabilitasi nama yang diperoleh kedua orang
tuanya tidak menjadikan beban Christiaan Snouck Hurgronje untuk kembali
mengharumkan nama keluarga atas masa lalu orang tuanya otomatis batal.
Menurut F. Schroder, Christiaan Snouck Hurgronje, merupakan nama
yang semua diperuntukkan bagi orang lain.9 Bukan nama yang ‘diperuntukkan’
bagi anak keempat Anna Maria de Visser sebagai individu bebas. Nama tersebut
mengandung jati diri dan masa lalu orang tuanya (Ds. J.J. Snouck Hurgronje dan
Anna Maria de Visser) yang include pada Ds. Christiaan de Visser. Dalam
persoalan cinta di dalam keluarga Christiaan Snouck Hurgronje sebagaimana anak
manusia lain yang mengidolakan ibunya. “Menurut pengalaman,” demikian
Christiaan Snouck Hurgronje menulis, “saya tahu bahwa cinta seorang ibu tidak
Delapan Karangan tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, (Jakarta: PT Girimukti Pasaka, 1989), hlm. 109-110.
6 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 110-111. 7 Ibid., hlm. 31. 8 Ibid., hlm. 177. 9 Ibid., hlm. 31.
78
dapat dibandingkan dengan apa pun juga di dunia dan bahkan hampir tak dapat
dibandingkan dengan apa pun jua …,” kenangnya dikala usia senja. Kenangan
khusus terhadap Anna Maria de Visser itu ditulis pada 1921 sewaktu Christiaan
Snouck Hurgronje berusia 64 tahun.10
Ds. J. Scharp (1756-1829), buyut (ayah kakeknya) dari pihak ibu, bisa
dikatakan sebagai salah satu yang sangat mempengaruhi perkembangan pemikiran
Christiaan Snouck Hurgronje. Ds. J. Scharp, seorang orator ulung di mimbar
Rotterdam di zamannya, pada 1824 berhasil menyelesaikan buku pelajaran Islam
Korte schets over Mohammed en de Mohammadanen. Hendleiding voor de
kwekelingen van het Nederlandsche Zendelinggenootschap atau Seketsa Singkat
tentang Muhammad dan Kaum Muslimin. Buku Pegangan bagi Para Siswa
Perhimpunan Pengabar Injil Belanda. Buku berbahasa Belanda ini harus disalin
tulis tangan oleh murid-murid calon pengabar Injil.11 Buku ini menguraikan
kelemahan-kelemahan ajaran Islam, anggapan buruk Islam terhadap ke-Kristen-
an, disertai trik-trik melumpuhkan ajaran Islam. Selain karena pendidikan modern
yang diperoleh di Leiden, pelajaran dari Ds. J. Scharp bisa dianggap sangat
mempengaruhi pola pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje sebagai orientalis
kolonial di hari kemudian.
10 Ibid., hlm. 178. 11 Ibid., hlm. 175-176.
79
b. Pendidikan, Pembentukan Pemikiran, dan Karya Tulis Christiaan
Snouck Hurgronje
Sekolah lanjutan yang disebut Hogere Burgerschool (H.B.S.) di Breda,
Belanda, merupakan tempat Christiaan Snouck Hurgroje belajar Bahasa Latin dan
Yunani (Greek). Pada 1874 atau saat berusia 17 tahun dia melanjutkan belajar di
Universitas Leiden, Belanda. Fakultas Teologi merupakan jalan awal pendidikan
tingginya yang berhasil diselesaikan dalam tempo sekitar empat tahun. Dia
bukannya memperoleh pendidikan keagamaan dari jalan Hervormd-tradisional.
Tahun 1878 menjadi detik-detik penentuan ketika dirinya lulus sebagai sarjana
muda bidang Teologi di Leiden. Setelah sebelumnya Fakultas Teologi
mengantarkannya berkenalan dengan tokoh-tokoh ‘modernis Leiden’. Seperti,
Abraham Keunen, C.P. Tieles, dan L.W.E. Rauwenhoff.12 Dari ketiga tokoh
modernis Leiden ini dia banyak belajar tentang arah pemikiran teologi modern,
Teologi modern menarik perhatiannya dan sangat mempengaruhi pandangannya
ketika melihat Islam.13 Arah pemikiran modernisme Leiden bisa dibaca dengan
jelas saat dirinya menduduki suatu jabatan penting di Hindia Belanda dan
berkesempatan mengoperasikan pikiran-pikirannya.
Abraham Kuenen, salah satu modernis Leiden yang dikenal sebagai ahli
Penjanjian Lama, telah memberikan pelajaran kritik biblik atau kritik atas Kitab
Suci kepada Christiaan Snouck Hurgronje. Kritik biblik yang menggunakan
metode rasional menghasilkan pemikiran kontroversial dan kadang sangat
bertentangan dengan ajaran agama yang dianut di kala itu. Akibat perjumpaan-
12 Abraham Kuenen (16 September 18280-10 Desember 1891); lahir di Haarlem, India Utara. Dia ahli dalam Protestan,
13 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 12-13.
80
perjumpaan dengan kaum modernis Lieden Christiaan Snouck Hurgronje menjadi
salah satu pengikut fanatik rasionalisme Leiden. Ciri-cirinya adalah penolakan
terhadap sesuatu yang irasional. Trinitas14 dan posisi Yesus sebagai anak Allah
dalam ajaran Kristen (Katholik) ditolaknya karena dianggap bagian ajaran agama
yang tak masuk akal. Semakin lama di Universitas Leiden, kekuatan pengetahuan
dia tambah tertunjang melalui pelajaran bahasa-bahasa Semit yang diperoleh dari
R.P.A. Dozi dan Michael Jan de Goeje.15 Dari orang terakhir dia memperdalam
bahasa Semit (Samiyah). Khususnya bahasa dan sastra Arab sewaktu di Fakultas
Sastra Universitas Leiden. Studi sastra Semit dipilih setelah dia berhasil menjadi
kandidat examen sarjana muda pada Fakultas Teologi Universitas Leidien pada
1878.16 Sebelum menjadi murid yang penuh harapan bagi sang orientalis, M.J. de
Goeje (1836-1903), Christiaan Snouck Hurgronje sewaktu masih muda pernah
terasing dari ahli-ahli teologi Leiden yang modern. Karena ia sempat terhanyut
dalam paham Khayal dan Kenyataan (Dichtung und Warheit)-nya Goethe.17
Sejak belajar di Fakultas Teologi Universitas Leiden, Christiaan Snouck
Hurgronje memiliki teman akrab seangkatan, namanya Herman Bavinck (1854-
1921). Herman Bavinck di masa-masa berikutnya sangat terkenal sebagai ahli
dogmatika Kristen. Herman Bavinck dapat dikatakan sebagi figur yang memiliki
kapasitas intelektual yang setara dan setingkat dengan Christiaan Snouck
14 Dalam suatu data menunjukkan bahwa konsep Trinitas yang dipercaya pengikut Kristen
(Katholik) berasal dari tradisi Pagan kuno. Konsep Trinitas ini diwakili oleh Semiramis dan anaknya (Pagan Babylonia), Devkan dan Khrisna (Pagan India), Isis dan Horus (Pagan Mesir), dan sebaginya. Dalam Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order, (Foxit PDF Reader, tanpa identitas).
15 Michael Jan de Goeje (13 Augustus 1836-17 Mei 1909) dia orang Belanda orientalis. 16 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 13. 17 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 31.
81
Hurgronje. Meskipun antara dua sahabat tadi masing-masing memilih konsentrasi
penelitian yang tidak sama. Namun, satu di antara keduanya biasa terjadi saling
memuji dan mengunggulkan secara akademis. Hingga pada suatu saat, Hepp
menceritakan anekdot tentang ujian kesarjanaan kedua sahabat tadi. Di mana
kejadian dalam ujian kesarjanaan tadi meleset dari dugaan setiap orang; ternyata
Christiaan Snouck Hurgronje tidak mendapat hasil cum laude. Sebaliknya,
Herman Bavinck lah yang memperoleh cum laude dari dewan penguji. Cerita
Hepp:
… “Ini”, demian Hepp, “sangat mengecewakan Bavinck. Ia yakin bahwa jika ada orang yang berhak mendapatkannya, maka pastilah orang itu adalah sahabatnya. Ia mengerti bahwa pasti ada sesuatu yang tersembunyi di balik itu. Hari berikutnya ia sendiri mendapatkan giliran. Pada pengumuman hasil ujian, preases memberitahukan bahwa fakultas dengan senang hati memberikan cum laude kepadanya. Bavinck menjadi pucat-pasi. Semangatnya yang menggebu-gebu meledak. Ia melemparkan kertas yang diserahkan kepadanya ke atas meja dan berkata, bahwa ia tak dapat menerimanya. Cum laude harus dicoret. Atau kalau tidak begitu, tuan-tuan dapat menyobek dokumen tersebut. Segera ia meninggalkan ruangan. Hal demikian belum pernah terjadi di Leiden. Itu akan tetap merupakan kejadian unik di dalam riwayat Sekolah Tinggi tersebut”. …18
Kemudian, pergaulannya yang intensif dengan kaum ‘modernis Leiden’
membuat Christiaan Snouck Hurgronje urung dari tujuan semula untuk menjadi
pendeta Protestan. Sebaliknya, ia lebih semangat mengembangkan diri dalam
bidang orientalistik di bawah bimbingan para modernis Leiden. Sejak saat itulah
dirinya sebagai tokoh orientalis-kolonialis dalam dunia pengetahuan menemukan
jalur pijak keilmuannya. Aliran modernis Leiden yang diikutinya berpendapat
bahwa agama sekadar kesadaran etis. Ialah kesadaran yang terletak pada setiap
diri manusia. Serta ajaran tentang dunai Barat sebagai yang segala-galanya atau
18 Ibid., hlm. 44-45.
82
superior jika dibandingkan dunia Timur yang tak beradab. Klaim-klaim demikian
dapat dibilang wajar mengingat lingkungan belajarnya di Leiden tergolong liberal
di masanya. Liberalisme di Leiden merupakan liberalisme pemikiran yang sangat
kuat terpengaruh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882). Darwin memakai
teorinya untuk binatang. Evolusi model Darwin di dunia Barat juga biasa
difungsikan di bidang kebudayaan. Sehingga kesimpulan evolusi kebudayaan19 itu
berbunyi; budaya Eropa (Barat) dan agama Kristen merupakan puncak tertinggi
dalam (proses) evolusi kebudayaan. Sedangkan kebudayaan atau ajaran-ajaran di
dunia yang selain Barat difitnah sebagai keadaban terbelakang. Islam pun dapat
dikategorikan sebagai bentuk “degenerasi” kebudayaan. Karena Islam, bagi
kalangan Kristen, merupakan hukuman Tuhan atas segala dosa kaum Nashrani.20
Islam bukan rahmah untuk seluruh alam semesta tapi sanksi bagi umat manusia.
Sudah kita ketahui (Bab II) bahwa berkembangnya liberalisme satu paket
dengan kolonialisme dan imperialisme.21 Diawali dari revolusi pemikiran pada
akhir abad ke-16, oleh Rene Descartes (1596-1650);22 ‘Je pense donc je suis’ atau
‘Cogito ergo sum’, sebagai biji pertama modernisme.23 Bahwa segala sesuatu bisa
diterima asalkan jelas rasio bisa menerimanya. Model ini dikenal dengan filsafat
rasionalisme. Liberalisme yang disuburkan di Universitas Leiden termasuk yang
19 Proses atau dorongan atau rekayasa ke arah kesempurnaan citra manusia—dalam perspektif
kolonial—dengan standar tetinggi (paling sempurna) adalah citra manusia Barat. 20 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 13-14. 21 Lihat Bab II dalam penelitian ini. 22 Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York:
Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325.
23 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gamedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 2-3. Dan F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 72.
83
mengkonstruk anggapan bahwa Eropa atau dunia Barat paling otoritatif dan di
atas dunia mana pun. Sedangkan dunia Timur lebih rendah atau ’tak beradab’
karena belum selesai berevolusi, Barat sudah.
Mazhab liberal Leiden ini pun ikut memberi tuduhan kolonialistik bahwa
ras kulit berwarna (selain kulit putih Barat) bermental kerdil dan berhati kancil.
Tuduhan dan klaim-klaim seperti ini sebenarnya hanya mitos yang dibangun dari
rasionalisme Barat untuk menciutkan peradaban Timur. Eropa menghendaki
tercipta suatu kondisi di mana bangsa-bangsa kulit berwarna (hitam, gelap, sawo
matang, kuning, dll) benar-benar rendahan. Untuk menuju berhasil liberalisme
Leiden menggunakan isu-isu seperti ide-ide humanisme.24 Humanism bertujuan
’memanusiaan’ orang-orang Timur dengan dijadikan laiknya orang Barat
(dibaratkan). Karena langsung ataupun tidak humanisme sedang menuduh bangsa-
bangsa di luar Eropa (di luar dunia Barat) dengan segala identitas lokalnya
sebagai barang bukti bangsa yang tidak beradab (tak berperadaban). Humanisme
yang sombong ini berusaha merubah masyarakat dunia selain Barat agar sesuai
kondisi manusia Eropa yang ”beradab”. Proyek-proyek liberalisme dari Leiden,
seperti tertera dalam humanisme dan isu lain sengaja digencarkan sebagai upaya
menghapus identitas asli kebangsaan suatu wilayah yang dijadikan sasaran para
orientalis.25 Daerah-daerah sasaran yang sedang diadabkan dunia Barat dengan
cara, seperti kolonialisme, disebut koloni26 atau bisa pula disebut daerah taklukan.
24 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Cet. II, (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 295. 25 Orientalisme merupakan pandangan (pendapat dlsb) dunia Barat kepada dunia Timur.
Dalam kajian kolonial; Barat (yang memandang, meneliti)/ atau subyek sedangkan Timur (yang dipandang, diteliti) atau obyek alias hewan percobaannya. Kajian untuk membalik situasi ini bisa dilihat dalam oksidentalisme.
26 Dieter Nohlen (ed.), Kamus Dunia Ketiga, (Jakarta: Grasindo, 1994), hlm. 342.
84
Keseriusan dan minatnya terhadap dunia penelitian yang tinggi pertanda
jika Christiaan Snouck Hurgronje memang orang yang tangguh dan berkarakter.
Keuletannya di bidang akademik mengantarkannya, pada 24 November 1880
selesai studi doktroral dengan yudicium cum laude, mempertahankan disertasinya
berjudul Het Mekkansche Fest.27 Disertasi doktoral Christiaan Snouck Hurgronje
diberi predikat yang tinggi oleh P.Sj. van Koningsveld.28 Padahal, P.Sj. van
Koningveld merupakan salah satu peneliti dan kritikus hebat yang membedah
pemikiran dan kelakuan Christiaan Snouck Hurgronje yang kolonialistik tanpa
pengampunan. P.Sj. van Koningsveld memberi predikat Het Mekkansche Fest
sebagai karya ilmiah terbaik Christiaan Snouck Hurgronje29 karena penulisnya
berposisi benar-benar sebagai ilmuwan. Setelah menyelesaikan program doktoral
dan menunjukkan prestasi yang baik Christiaan Snouck Hurgronje diangkat
menjadi dosen di ”Leiden & Delf Akademy”. Tugasnya sebagai dosen adalah
menyiapkan calon-calon pegawai kolonial Belanda yang akan dikirim ke Hindia
Belanda.30 Tugasnya sebagai dosen cukup serius dan sangat menentukan
kelanjutan kekuasaan kolonialisme Belanda di Nusantara. Menurut penulis, di
sinilah karir Christiaan Snouck Hurgronje sebagai sang kolonialis sejati dimulai
dalam langkah-langkah praktis. Meskipun permulaan ini masih berkutat pada
dunia akademik perguruan tinggi. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa yang
27 Mekah dijadikan subjek disertasi untuk Ph.D. Christiaan Snouck Hurgronje rupa-rupanya
berasal dari gurunya M.J. de Goeje. Lihat Jan Jus Witkam, Christiaan Snouck Hurgronje: a tour d’horizon of his life and work, dalam Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007), hlm. 11.
28 Prof. Dr. van Koningsveld lahir pada 1943. Dia adalah Kepala Bagian Naskah Timur di Leiden dan Dosen tentang Islam di Fakultas Teologi Universitas Leiden.
29 Latiful Khuluq, ibid., hlm. 14-15. 30 Ibid., hlm. 24.
85
dilakukannya di ”Leiden & Delf Akademy” demi kelanggengan penjajahan
Belanda di Nusantara.
Banyaknya karya tulis Christiaan Snouck Hurgronje menjadi petunjuk
bagi kita sesungguhnya sang orientalis Leiden ini sangat produktif. Selain sangat
produktif, melalui karya-karyanya bisa diungkap alur-alur kelonialnya dalam
bentuk pemikiran-pemikirannya. Di antara karya tulis doktor pengikut modernis
Leiden ini yang mudah dijumpai di perpustakaan kita adalah:
1. C. Snouck Hurgronje, The Holy War, Made In Germany, (New York and
London: The Knickerbocker Press, 1915).31
2. C. Snouck Hurgronje, The Revolt in Arabia, (New York and London: The
Knickerbocker Press, 1917).32
3. C. Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bratara Karya Asara,
1973).33
4. C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat & Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS,
1873).34
5. C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter, Het Mekkaansche Feest, terj.
Supardi, Perayaan Mekah, (Jakarta: INIS 1989).35
31 C. Snouck Hurgronje, The Holy War, Made In Germany, (New York and London: The
Knickerbocker Press, 1915). 32 C. Snouck Hurgronje, The Revolt in Arabia, (New York and London: The Knickerbocker
Press, 1917). 33 C. Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bratara Karya Asara, 1973). 34 C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat & Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1873). 35 C. Snouck Hurgronje, Het Mekkaansche Feest, terj. Supardi, Perayaan Mekah, (Jakarta:
INIS 1989).
86
6. E. Gobee dan C. Adiaanse (penyunting), Nasihat-Nasihat C. Snouck
Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda
1889-1936, Jilid I-XI, (Jakarta: INIS, 1990-1995).36
7. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Christian Snouck Hurgronje, Jilid
I-XIV, (Jakarta: INIS, 1995-2002). 37
8. C. Snouck Hurgronje, Tanah Gayo dan Penduduknya, terj. Budiman S.,
(Jakarta: INIS, 1996).38
9. C. Snouck Hurgronje, De Atjehers, deel I en II, (Landsdrukkerij, Batavia; E.J.
Brill, Leiden: 1895), terj. Sutan Maimon, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya
II, (Jakarta: INIS, 1997).39
10. C. Snouck Hurgronje, Mohammedanism, (21 November 2003).40
11. C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, (Leiden:
Hotei Publishing, 2007).41
Banyaknya pembahas kiprah dan karya tulisnya membuktikan Christiaan
Snouck Hurgronje memang sosok yang sangat diperhitungkan. Baik pun yang
ditelaah karena mendukung langkah-langkah kolonialistiknya untuk menguatkan
kepentingan Belanda di Nusantara. Atau pun penelaah yang sangat gencar
36 E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I-XI, (Jakarta: INIS, 1990-1995).
37 C. Snouck Hurgronje, terj. S. Maimun dan Rahayu S. Hidayat, dkk. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid I-XIV, (Jakarta: INIS, 1995-2002).
38 C. Snouck Hurgronje, terj. Budiman S., Tanah Gayo dan Penduduknya, (Jakarta: INIS, 1996).
39 C. Snouck Hurgronje, De Atjehers, deel I en II, (Landsdrukkerij, Batavia; E.J. Brill, Leiden: 1895), terj. Sutan Maimon, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II, (Jakarta: INIS, 1997).
40 C. Snouck Hurgronje, Mohammedanism, (t.p.: 21 November 2003). 41 C. Snouck Hurgronje, (Translated) J. H. Mohana, Mekka in the Latter Part of the 19th
Century, (Leiden: Hotei Publishing, 2007).
87
mengkritik serta menghujat tindakan dan pemikirannya. Beberapa pengkaji dan
kajian tentang dirinya (di Bab I) perlu ditambahkan di sini:
1. G. Drewes, Snouck Hurgronje and the study of Islam, (Leiden: University-
Day Lectures, 1957).42
2. Michael Laffan, Finding Java:Muslim nomenclature of insular Southeast Asia
from Sriwijaya to Snouck Hurgronje, (Singapore: Asia Research Institute,
2005).43
3. Jan Just Witkam, The audio-visual dimension, Christiaan Snouck Hurgronje’s
documentation of sights and soudns of Arabia, (Leiden: Friday 16 February
2007).44
4. Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck
Hurgronje (1857-1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library,
2007).45
Penelitian yang serius, memperoleh temuan bahwa karya-karya Christiaan
Snouck Hurgronje atau pun yang bersinggungan denganya, bukan semata-mata
dibuat untuk kepentingan ilmiah. Dengan kata lain, penelitian yang dimaksud
tidak murni karya ilmiah. Tak sedikit dari karya-karya yang penulis sebut yang
bernuansa kolonial. Bahkan tidak hanya nuansanya saja yang kolonial, isinya pun
berupa pembelaan-pembelaan demi membenarkan tindakan Christiaan Snouck
42 G. Drewes, Snouck Hurgronje and the study of Islam, (Leiden: University-Day Lectures,
1957) dapat diakses dari http://www.kitlv-journals.nl 43 Michael Laffan, Finding Java:Muslim nomenclature of insular Southeast Asia from
Sriwijaya to Snouck Hurgronje, (Singapore: Asia Research Institute, 2005). 44 Jan Just Witkam, The audio-visual dimension, Christiaan Snouck Hurgronje’s
documentation of sights and soudns of Arabia, (Leiden: Friday 16 February 2007). 45 Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-
1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007).
88
Hurgronje dan kelanggengan kolonialisme Belanda ’secara ilmiah’. Kita kenal
yang demikian dalam politik balas budi (Ethische Politiek).46 Yang seharusnya
penduduk koloni Hindia Belanda berterima kasih karena dari yang mulanya ’tidak
beradab’ sekarang sudah ’diadabkan’ melalui kolonialisme Belanda.
c. Petualangan, Penelitian atau Tugas Awal Penyamaran Christiaan Snouck
Hurgronje
… Mein Hauptzweck war die Beobachtung des durch europaischen Einfluss nicht gehemmten Lebens des Islams un der Wirkungen, welche er von jenen Zentren aus auf andere Lander, namentlich auf unsere niederlandisch-ostindischen Kolonien ausubt (= Maksud utama saya adalah mengamati kehidupan Islam dengan segala akibatnya yang tidak terkungkung oleh pengaruh Eropa, yang justru dari pusat itu timbul pada negeri-negeri lain, yakni atas jajahan-jajahan kami di Hindia Belanda).…47
Christiaan Snouck Hurgronje, 5 Maret 1887.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje bukan semata-mata sutradara yang
bermain di balik layar kolonialisme Belanda untuk kawasan Nusantara. Dirinya
juga memiliki suatu pengalaman pergulatan pengetahuan di medan nyata yang
‘seru’. Dapat dikatakan petualangan ini tidak semua orang bisa dan mampu
melaluinya. Baik penjelajahan demi kepentingan penelitian maupun usaha-usaha
lain yang terkait penyamaran dirinya di suatu wilayah penting bagi kelanggengan
kolonialisme Belanda di dunia Timur.
Kota Mekah merupakan kawasan suci yang diperuntukkan hanya bagi
orang Islam. Di luar Islam adalah kafir yang diharamkan menginjakkan kakinya
di tempat kelahiran agama suci yang disampaikan Rasulullah Muhammad S.A.W.
46 Politik Etis merupakan kebijaksanaan Belanda terhadap Indonesia berdasarkan rasa hutang
budi. 47 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 57. [Huruf miring tebal dari Arief Musthofifin/ A.M.]
89
Namun pada 1884 Christiaan Snouck Hurgronje, anak Pendeta Protestan Ds. J.J.
Snouck Hurgronje dengan Anna Maria de Visser, telah berhasil memasuki
kawasan yang steril dari non-Islam itu (Mekah) sampai 1885. Peristiwa ini terjadi
setelah empat tahun dia mengajar di “Leiden & Delf Akademy” untuk
menyiapkan calon-calon pegawai kolonial di –“jajahan-jajahan kami” dalam
istilah Christiaan Snouck Hurgrenje—Hindia Belanda. Banyak pertanyaan
mengemuka seputar peristiwa masuknya cucu Pendeta Protestan Ds. Christiaan de
Visser ini di Mekah. Untuk urusan penelitian ataukah tugas menyamar sampai-
sampai Christiaan Snouck Hurgronje memasuki Mekah? Masihkah beragama
Protestan atau sudah ber-Islam sewaktu Christiaan Snouck Hurgronje berada di
Mekah? Ataukah keberhasilannya memasuki Mekah dilakukan dengan cara
berpura-pura sebagai Muslim agar tugas penyusupannya lancar? Jika terakhir ini
yang tarjadi, agama atau keyakinan apakah yang dianut anak keempat Ds. J.J.
Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser ini? Beberapa pertanyaan yang
muncul dari kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje di Kota Suci Mekah—yang
berjargon “selain Islam dilarang masuk!”—diperlukan suatu penguraian.
Pada 5 Maret 1887, Dr. Christiaan Snouck Hurgronje mengakui sendiri
maksud-maksud perjalanannya ke Kota Suci Mekah. Yaitu, meneliti kehidupan
Islam dari pusatnya. Karena di pusat Islam umat Muslim dari segala bangsa
berkumpul. Dari pusat Islam itu pula dianggapnya tersebar pengaruh ke seluruh
penjuru dunia. Pengaruh Islam itu termasuk yang timbul di negeri “jajahan-
jajahan kami”—dalam istilah Christiaan Snouck Hurgronje—Hindia Belanda.
Pengakuan itu menunjukkan senyata-nyatanya Christiaan Snouck Hurgronje di
90
Mekah untuk mengetahui arus pergerakan Islam di dunia. Dengan tahu yang
terjadi di pusatnya, di pusat itu juga ada masyarakat Islam Nusantara, dia dapat
membuat rencana-rencana untuk kepentingan kolonial di Hindia Belanda
(“jajahan-jajahan kami”) yang kebanyakan Muslim.
P.Sj. van Koningsveld menemukan data pada 1 Agustus 1885 Christiaan
Snouck Hurgronje telah menulis surat kepada Theodor Noldeke. Surat itu
menceritakan aktivitasnya di Mekah untuk mengetahui pengaruh pusat Islam,
Mekah, terhadap gerakan perlawanan masyarakat Muslim di Hindia Belanda.
Penggalan isi surat itu:
… “Kegiatan saya di sini tidak terbatas pada perdebatan atau pemecahan persoalan-persoalan fikih yang sulit, seperti yang selalu Tuan perkirakan; sebaliknya urusan-urusan itu sama sekali tidak membuat saya sibuk. Sebagaimana berulang-ulang saya katakan, tujuan utama saya adalah menelaah kehidupan Islam: jadi mengamati cara berpikir, cara berbuat dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama di pusat kehidupan Muslim. Pengaruh pusat ini memancar ke segala tempat yang didiami kaum mukminin –khususnya, kerena saya orang Belanda dan tidak menampik ilmu pengetahuan yang praktis, pengaruh-pengaruh tersebut sangat terasa di Hindia Timur. Sudah barang tentu bangunan-bangunan suci sangat menarik minat saya. Tetapi sebagaimana baru saja Tuan kemukakan, keadaan-keadaannya tidaklah menguntungkan bagi penelitian hal itu”. …48
Penggalan surat yang dikirimkan kepada Theodor Noldeka tadi
menggambarkan maksud-maksud dari aktivitas perjalanan Christiaan Snouck
Hurgronje di Mekah. Dari bunyi-bunyi pernyataannya mengandung suatu tujuan
penting. Perjalanan itu mengandung maksud ganda. Yakni, tujuan ilmiah untuk
pengumpulan pengetahuan tentang kehidupan Islam dari pusatnya. Serta tujuan
politik agar tahu lebih gamblang pengaruh-pengaruh pergerakan Mekah terhadap
Muslim di Hindia Belanda. Aktivitas lain pada kondisi itu, seperti penelitian
48 Ibid., hlm. 57. [Huruf miring tebal dari A.M.]
91
terhadap prasasti-prasasti atau asal-usul bangunan-bangunan suci, merupakan
kerja yang mustahil.49 Arab atau Mekah pada waktu itu sangat ‘anti pati’ dengan
kedatangan orang-orang yang berasal dari negara yang penduduknya bukan
mayoritas Muslim. Situasi Mekah sangat berbahaya bagi keberadaan orang-orang
non-Muslim seperti mayoritas orang Belanda.
Dapat dijelaskan kembali, kehadiran Christiaan Snouck Hurgronje di
Mekah, pour besoin de la cause (demi sesuatu urusan).50 Pertama, menyelidiki
jemaah haji Hindia Belanda di negeri Arab. Dalam tugas ini dirinya memperoleh
tunjangan perjalanan dari Kementerian Urusan Jajahan. Tak selang lama setelah
kedatangannya di Arab ia menekuni keadaan jemaah haji Hindia Belanda di
Jeddah. Di tanah Arab dia tidak mungkin bekerja sendirian. Ada informan-
informan yang rutin mengirim informasi kepadanya. Dalam catatan-catatan di
buku hariannya ia mendapat informasi dari Raden Abu Bakar Djajadiningrat,
pelajar asal Sunda di Mekah. Kedua, kedatangannya di Mekah karena Christiaan
Snouck Hurgronje hendak mencontoh pakar Islam Ignaz Goldziher dengan cara
menjadi murid para syaikh Azhar di Kairo. Agar mendapat kesempatan istimewa
mempelajari Islam dari dalam. Dia nampaknya sedang meniru langkah-langkah
Goldziher supaya diterima sebagai muridnya para ulama Mekah.51 Dengan begitu
49 Op.cit. 50 Seperti halnya amata-mata ulung Perancis Leon Roches setelah masuk Islam pada tahun
1837, “sebagai orang dalam” mempunyai peran penting dalam penaklukan Afrika Utara oleh Perancis. Bandingkan Abun-Nasr, The Tijaniyya. A sufi order in the modern world, London, 1965, hal. 66, 69, 70 catatan 38; dan kepustakaan yang tercantunm di sana. Bandingkan juga kasus Ny. Rosita Forbes, dengan nama Siti Khadijah, seorang muslimah, melakukan perjalanan melalui daerah orang Sanusi (De Telegraaf 30/3/1921 dan lain tempat). Selanjutnya bandingkan Augustus Ralli, Christians at Mecca, London, 1909. P.Sj. van Koningsveld, ibid., catatan kaki, hlm. 130.
51 Ibid., hlm. 130.
92
dia akan mendapat legitimasi dan klaim-klaim penguat di hadapan khalayak
sebagai seorang ‘pendukung Islam yang serius’ dan ‘Muslim tulen’.
Dia di Mekah tidak cuma mengandalkan kekuatan intelektual dan
dukungan dari perguruan tinggi di Leiden. Karena melaksanakan agenda yang
amat penting dan susah pasti dilatarbelakangi dukungan kekuatan lain. Kekuatan
itu seperti devisi intelejen Kerajaan Belanda atau kerjasama dengan persekutuan
di dalam negeri Arab, dan sebagainya. Memang tidak sedikit pelajar-pelajar
terdidik dengan cara Eropa dan berprestasi yang kemudian dilatih secara khusus
untuk kepentingan dinas mata-mata. Dinas yang melibatkan kerja sama jaringan-
jaringan elit tertentu yang bergerak melancarkan perjalanannya di Mekah. Supaya
kehadirannyanya di Mekah diterima dengan baik-baik laiknya kunjungan tamu,
atau bahkan selayaknya silaturrahmi dari saudara jauh.
Tepatnya tanggal 21 Februari 1885 Chistiaan Snouck Hurgronje berhasil
masuk Mekah. Hanya selama enam bulan keberadaannya di sana ia telah berhasil
mempelajari ilmu kalam dan mengumpulan banyak keterangan tentang tingkah
laku jemaah haji Hindia Belanda.52 Keberangkatannya ke Mekah tidak semata
karena perintah namun dia juga berkehendak dan ikut mengkonsep skenarionya.
Pelibatannya dalam konsep ini agar apa-apa yang terjadi di Kota Suci selalu bisa
dia kendalikan. Menurut keterangannya, “jadi saya pikir, sebelum keberangkatan
saya (Februari 1885), saya harus resmi menerangkan dalam perintah…,” katanya.
“Ini demi studi dan keselamatan diri saya,” lanjutnya. Dalam pengakuan lain,
tentang keberangkatannya ke Mekah, pun dia sendiri yang akan menerangkan atau
52 Ibid., hlm. 95-96.
93
membuatnya dalam surat resmi perintah. De Lostalot ikut menjamin dengan janji
berulang kali tidak akan menyinggung kasus tersebut pada saat Christiaan Snouck
Hurgronje berada di kota suci, dan De Lostalot kembali ke Eropa. Janji pasti
untuk menutupi maksud keberadaannya di Mekah telah membuat Christiaan
Snouck Hurgronje lega hati untuk berada di Kota Suci.53
Menanggapi keberadan Christian Snouck Hurgronje di Kota Suci Mekah,
P.Sj. Koningsveld, tanggal 16 November 1979 di hadapan Lembaga Ketimuran di
Belanda, menerangkan bahwa tanpa “masuk” Islam tidak mungkin orang bisa
memasuki Mekah. Maka dari itu Christiaan Snouck Hurgronje telah “masuk”
Islam lebih dahulu untuk menciptakan kepercayaan antara para ulama Mekah
dengan dirinya. 54 Tanpa perbuatan demikian nampaknya sangat mustahil dirinya
di kemudian hari menjadi orientalis dan penasihat kolonial di Hindia Belanda atas
prestasinya di Mekah. Karena penolakan, pengusiran, dan ancaman pembunuhan
terhadapnya sangat bisa terjadi jika dia memasuki Mekah sebagai non-Islam atau
peneliti (orientalis) semata. Pernah terjadi terhadap diri Prof. Huber, arkeolog
Perancis, yang pada 1884 yang mengadakan perjalanan meneliti prasasti-prasasti
melalui negeri Arab, kemudian dia dibunuh dengan cara yang tak dapat
diterangkan.55
Dari rangkaian peristiwan ke peristiwa dapat diambil suatu benang merah
bahwa Christiaan Snouck Hurgronje dalam perhubungan awal di Arab masih
sebagai non-Muslim. Untuk fungsi keamanan dan kelancaran tugasnya maka pada
53 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian III, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923), terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje V, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 7.
54 P.Sj. van Koningsveld, ibid. hlm. 95-96. 55 Ibid., hlm. 102-103.
94
1 Januari 1885 dia sedia pindah dari tempat tinggalnya di Konsulat Belanda untuk
ke rumah baru. Jika ia tetap tinggal di Konsulat Belanda statusnya tidak ubah beda
dengan orang Eropa lain yang non-Islam. “Pada tanggal 1 malam menjelang
tanggal 2 Januari,” dalam catatannya tanggal 2 Januari 1885, “untuk pertama kali
di rumah baru, sejak sekarang Abu Bakar akan menemani saya”.56 Nama orang itu
lengkapnya Raden Abu Bakar Djajadiningrat, asal Banten Jawa Barat, ia sudah
lebih dulu lima tahun berlajar di Mekah pada saat kedatangan Christiaan Snouck
Hurgronje di Jedah.57 Keberadaan Raden Abu Bakar Djajadiningrat merupakan
bagian sekenario dari rencana lanjutan yang sudah dipersiapkan.
Proses awal untuk berada di Mekah ini telah berjalan mulus seperti telah
direncanakan. Di catatan pribadi Chistiaan Snouck Hurgronje didapat keterangan
bahwa tanggal 16 Januari 1885 dirinya dikunjungi Qadi atau Hakim Jedah, Isma’il
Agha, ditemani petugas Wali dua orang yaitu Gubernur Hijaz yang berkedudukan
di Mekah sebagai pembesar pemerintah tertinggi dan Wakil Khalifah Utsmaniah
di Istambul.58 Catatan berikutnya yang masih terkait, pada kunjungan terakhir
tanggal 18 Januari 1885, dirinya diundang Gubernur Hijaz untuk kemungkinan
perjalanan ke Mekah. Gubernur Hijaz menganggap Christiaan Snouck Hurgronje
sebagai tamu. Kamudian perhubungan antar elit ini berlanjut pada tanggal 21 di
rumahnya lalu ke Kebun Konsulat untuk berfoto.59
56 Ibid., hlm. 100-101. 57 Ibid., hlm. 101. 58 Ibid., hlm. 101-102. 59 Ibid., hlm. 102.
95
Christiaan Snouck Hurgronje selama di Mekah (sejak 21 Februari 1885)
menggunakan nama baru, yakni Abdul Ghaffar.60 Walau berada di Mekah dirinya
masih sering menerima berbagai surat berbahasa Arab dari Jedah dan tanpa
keraguan semuanya menganggap ia sebagai Muslim bahkan sebagai ulama.
Barang bukti surat-menyurat itu sekarang tersimpan di Perpustaan Universitas
Leiden, Belanda.61
Namun kemudian, ternyata keberadaan Christiaan Snouck Hurgronje di
Mekah tidak bertahan lama. Di awal paruh terakhir tahun 1885 Christiaan Snouck
Hurgronje mau tidak mau harus meninggalkan Mekah berdasarkan perintah
pengusiran. Pertistiwa yang terjadi pada 5 Agustus 1885 itu sebelumnya diawali
pembacaan surat pengusiran oleh Wakil Gubernur dalam bahasa Turki yang tidak
ia pahami. Menarik membaca tulisan Van’t Veer:
… Sebenarnya semua yang bersangkutan mengetahui identitas sarjana Belandanya dan antara lain dia mendapat bantuan sepenuhnya dari gubernur Turki. Turki masih menguasai seluruh Semenanjung Arab. Keberangkatannya yang tergesa-gesa terjadi justru atas permintaaan Gubernur, yang khawatir timbul kesulitan ketika oleh berita-berita dalam pers Barat timbul kesan bahwa Abd al-Ghaffar bukanlah sarjana tetapi mata-mata. Kertas-kertas kerjanya dikirimkan kemudian dengan rapi kepadanya dan tidak seorang Muslim pun yang menyatakan keberatan terhadap publikasi-publikasinya tentang Mekkah. Karyanya itu merupakan telaah sumber-sumber, disusun sebagai suatu “penelitian lapangan” yang sangat modern untuk waktu itu, yang menunjukkan banyak sekali orisinalitas Snouck, keberaniannya mengabdi ilmu dan daya pemahamannya akan ilmu bahasa dan ilmu bangsa-bangsa.62
Dalam kondisi terusir dari Mekah, setiba ia di Jeddah masih bisa
berhubungan dengan berbagai kolega di Mekah. Sebuah nama Aziz ibn al-
60 Abdul Ghaffar merupakan nama samaran Christiaan Snouck Hurgronje ketika di Mekah pada 1885.
61 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 118. 62 Paul Van’t Veer, De Atjeh-Oorlog, (Uitgeverij De Arbeiderspers/Wetenschappelijke
Uitgeverij, 1979), terj. Paul Van’t Veer, Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1985). hlm. 151. [Huruf miring tebal dari A.M.]
96
Haddad, orang Aljazair, tak luput dihubungi untuk memperoleh keterangan
perihal pengusirannya. Aziz ibn al-Haddad menerangkan dirinya sangat yakin
pengusiran itu bukan karena ke-Islaman. Pasalnya Christiaan Snouck Hurgronje
telah mengumumkan masuk Islam secara terang-terangan sehingga dibenarkan
para ulama Mekah. Perlu diketahui, Aziz ibn al-Haddad sama seperti Raden Abu
Bakar Djajadiningrat, keduanya setia menjadi informan bagi kelancarakan tugas-
tugas Christiaan Snouck Hurgronje.
Meskipun berikutnya Christiaan Snouck Hurgronje telah pulang ke Leiden
akibat pengusiran di Mekah dirinya tetap menerima informasi dari Raden Raden
Abu Bakar Djajadiningrat.63 Paling tidak ada sekitar tiga kali kiriman karangan
berbeda Raden Raden Abu Bakar Djajadiningrat dalam Bahasa Arab. Kiriman itu
diterima melalui Konsulat Belanda sekitar musim gugur 1886, 10 Januari 1887
dan 17 Desember 1887.64 Sebagai informan, Raden Raden Abu Bakar
Djajadiningrat, cepat tanggap membalas dalam bahasa Arab surat-surat Chistiaan
Snouck Hurgronje tentang keterangan-keterangan yang diperlukan. Jadi, sejak
1884 sampai Christiaan Snouck Hurgronje berada di Leiden lagi masih tetap ada
hubungan intensif dengan Raden Abu Bakar Djajadingingrat sebagai informan.
Tidak keliru jika dikatakan, arti masuk Islamnya Christiaan Snouck
Hurgronje menjadi Abdul Ghaffar hanya sekadar anekdot. Kepercayaan yang
diberikan para ulama Mekah kepadanya hanya dijadikan pelengkap syarat untuk
menduduki jabatan penasihat urusan Islam di Hindia Belanda. Meskipun ada pula
yang berpendapat bahwa dia benar-benar masuk Islam. Yaitu, setelah dia berlayar
63 Ibid., hlm. 131-132. 64 Ibid., hlm. 131-132.
97
ke Arab (1984), agaknya di suatu tempat selama musim panas (1884 atau 1885),
Christiaan Snouck Hurgronje “mengucapkan kalimat syahadat untuk masuk
Islam, sekaligus memutuskan ikatannya dengan Gereja Hervormd. Buku
hariannya bungkam tentang hal ini – ia merahasiakan masuk Islamnya bagi
bukan-Muslimin.”65
Tetapi, anekdot-anekdot ke-Islaman Christiaan Snouck Hurgronje masih
dilanjutkan ketika dirinya berada di Hindia Belanda. Sehingga sewaktu ada
pemberontakan di berbagai bagian Hindia Belanda, misalnya Perang Aceh,
dirinya mampu memperoleh keterangan-keterangan yang tidak biasa. Suatu
keterangan yang tidak mungkin diperoleh pegawai administrasi pemerintah
Hindia Belanda mana pun. Karena keterangan-keterangan ini diperolehkan dari
informan yang setia ditambah hubungan intim dirinya dengan penduduk Hindia
Belanda. Sedangkan para ahli kalam Mekah benar-benar berhasil ditipu
kemusliman Christiaan Snouck Hurgronje atau Abdul Ghaffar. Sungguh yang
demikian itu adalah kesalahan mereka sendiri (baca, ahli kalam/ ulama Mekah)
yang harus ditanggung.66 Sekaligus koreksi bagi jalannya pemerintahan di Kota
Suci supaya lebih awas.
65 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 31-32. 66 Ibid., hlm. 98.
98
B. PENDUDUKAN BELANDA DI NUSANTARA DAN PENUGASAN
CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
a. Masyarakat Nusantara dalam Pendudukan Belanda
Secara historis formal, kolonialisme Belanda di Nusantara sejak awal abad
ke-17. Ditandai dengan berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie yang
dikenal dengan VOC (1602-1799) 67 oleh Belanda. Selama Perang Inggris IV
(1780-1784), VOC di Indonesia semakin terpisah dari negeri Belanda. Akibatnya
VOC bukan hanya harus meminjam sekitar 2.300 prajurit dari Surakarta dan
Yogyakarta guna mempertahankan Batavia dari serangan yang diduga dilancarkan
pihak Inggris (yang tidak pernah terjadi), melainkan juga harus meminta bantuan
keuangan kepada pemerintah di negeri Belanda.68 Sedangkan Inggris mendirikan
organisasi sejenis dengan nama East Indies Company (EIC), pusatnya di Kalkuta,
India. VOC dan EIC sama-sama sebuah persekutuan dagang yang bertujuan
mengeruk kekayaan (gold) dari wilayah potensial yang diincar atau jadikan daerah
koloni. Dalam aksinya VOC mengeksploitasi besar-besaran kekayaan alam Bumi
Pertiwi. Tak luput cara kotor dan keji dipakai untuk menyerang dan melumpuhkan
penduduk. Perlawanan perjuangan rakyat untuk merdeka dari kolonilisme
Belanda terjadi di mana-mana.
Di antaranya perlawanan Pattimura (1817) di Maluku Tengah, perlawanan
rakyat Banjarmasin (1859-1863 dan 1863-1905) di Kalimantan Selatan,
67 VOC yang didirikan pada Maret 1602 bubar pada 1799 karena skandal korupsi besar-
besaran. Sehingga Pemerintah Kerjaan Belanda segera melakukan upaya penyelamatan dengan cara mengambil alih wewenang administrasi dan kekuasannya.
68 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 242.
99
perlawanan Sultan Iskandar Muda di Aceh (1598), perlawanan Sultan Agung di
Jawa (1628-1629), perlawanan Sultan Hasanuddin di Makassar (1666), dan
perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten (1680).69 Rangkaian-rangkain
pemberontakan di berbagai titik penting ini membuat penjajah Belanda bingung
dan kehilangan arah. Karena tidak mungkin jumlah personal pasukan pemerintah
Hindia Belanda yang terbatas akan cukup menangani perlawanan rakyat jika
dilakukan secara serempak di banyak wilayah. Namun, rasa pusing Belanda tidak
berlangsung lama. Perlawanan rakyat terjajah Belanda yang membuncah di mana-
mana masih bisa dipatahkan.70 Sehingga dalam hitungan waktu yang relatif cukup
lama Belanda masih mampu menjaga kekuatan dan kuasanya atas daerah koloni
di Nusantara.
Di lain sisi, gerakan-gerakan perlawanan rakyat terhadap pasukan Belanda
tidak pernah mati. Terutama perlawanan yang dilangsungkan masyarakat Muslim
yang dipimpin tokoh-tokoh Islam kharismatik. Karena Pribumi memiliki etika
kepatuhan yang kuat terhadap pemimpin agama, seperti kiai. Semakin baik
seorang pemimpin Islam di mata masyarakat Muslim, semakin tinggi fanatisme
dan kepatuhan terhadapnya. Jika suatu ketika terjadi seruan dari pemuka agama
Islam untuk perang melawan penjajahan maka dukungan fanatik massa yang besar
sangat mudah diperoleh. Untuk itu perlawanan masyarakat Muslim terhadap
penjajah mungkin saja terjadi merata di kantong-kantong penyebaran Islam.
69 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusant, Sejarah Nasional Indonesia IV,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 150-277. 70 Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese
Occupation, 1942-1945, (Den Haag: 1958), terj. Daniel Dhakidae, Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta Pusat: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 37-38.
100
Tidak sedikit pula terjadi perlawanan besar—dalam bahasa kolonial adalah
’pemberontakan’—masyarakat Muslim yang sungguh-sungguh terjadi dan terus
meluas. Perlawan kuat masyarakat Muslim ini juga karena alasan idelogis yang
paling pokok, yaitu iman. Perlawanan wujud Perang Sabil atau Jihad. Tujuannya,
melawan konsolidasi kekuatan pemerintah Belanda di Jawa dan Sumatera selama
abad ke-19. Contohnya dapat dijumpai dalam Perang Banten pada pertengahan
abad ke-18, yang disebut Perang Cirebon (1825-1830), dan terutama Perang
Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pangeran Diponegoro
dari Mataram di bawah panji-panji Islam dengan sangat gigih melawan penjajahan
Belanda. Contoh lain dapat dilihat dalam Perang Padri. Orang-orang Belanda
turun tangan dan ikut campur dalam Perang Padri yang terjadi di Sumatera (1821-
1823) bersama pihak kepala-kepala adat Minangkabau melawan para ulama yang
perkasa. Sedangkan selama ganasnya Perang Aceh, yang terjadi pada 1872 sampai
1908, Belanda mengalami kesulitan untuk mematahkannya. 71 Sebab, militansi ke-
Islaman yang sudah sangat mengakar telah dibuktikan dengan darah dan nyawa
rakyat Aceh, dan peperangan berlangsung lama.
Melihat serangkaian perlawanan yang ganas itu Belanda nampak benar-
benar kehilangan arah. Dapat ditunjukkan dalam kebijakan-kebijakan kolonial
yang mengganggu akal sehat dan kemerdekaan beragama masyarakat Pribumi
Islam Nusantara. Sungguh kebijakan yang payah, kekanak-kanakan, dan pongah.
Seperti, larangan ibadah haji, larangan melangsungkan acara ke-Islaman pada hari
minggu, dan seterusnya. Demikian ini karena sikap Belanda terhadap umat Islam
71 Harry J. Benda, ibid., hlm. 37-38.
101
di Indonesia, dalam bahasa Benda (1919-1971),72 “dibentuk oleh kombinasi yang
kontradiktif antara ketakutan dan pengharapan berlebih-lebihan; kedua-duanya
lahir dari kekurangan akan pengetahuan yang tepat, kalau bukannya ketiadaan
pengetahuan sama sekali”.73 Di benak pemerintah penjajah Hindia Belanda:
… Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisir secara ketat, di dalam banyak hal serupa dengan agama Katholik Roma, dengan susunan kebiaraan hierarkhis yang bersekutu dengan Khalif Turki, dan yang memegang kekuasaan besar terhadap pemerintah Indonesia dan rakyatnya, orang-orang Islam yang kehidupannya, menurut anggapannya, diatur oleh hukum Islam. Baik dalam cabang-cabang internasionalnya – termasuk bahaya permohonan bantuan orang Indonesia kepada para sultan Islam di luar negeri – dan pengaruhnya terhadap kehidupan penduduk asli, Islam dengan demikian nampak, sebagai musuh yang ditakuti. …74
Pengharapan berlebihan yang dimaksudkan Benda adalah bahwa Belanda
menganggap dirinya mampu menghilangkan pengaruh Islam di Nusantara melalui
Kristenisasi yang digencarkan. Hal ini selaras dengan kesombongan watak
kolonial yang menganggap Barat atau Kristen lebih superior dibanding Islam atau
Timur. Dengan begitu dikiranya umat Islam di Hindia Belanda dengan sangat
mudah bisa di-Kristen-kan dibanding kawasan Muslim lainnya yang lebih taat.
Apalagi tujuan ini mendapat dukungan konstitusi dan anggaran negeri Belanda
untuk kepentingan missionaries dalam menggencarkan misi Kristen, baik Roma
Katholik ataupun Protestan, agar bisa beroperasi di koloni Hindia Belanda.
Namun, agaknya misi Kristenisasi ini kurang berhasil jika dibanding ketakutan
Belanda yang berlebihan terhadap gerakan Islam. Karena ternyata yang berhasil di
Kristenkan hanya minoritas pedalaman yang belum tersentuh Islam. Ketakutan
72 Prof. Dr. Harry J. Benda (1919-1971) merupakan Guru Besar Sejarah di Yale University
Amerika Serikat. 73 Ibid., hlm. 38. 74 Op.cit.
102
berlebihan terhadap Islam yang dimaksudkan ialah tentang masa depan Islam
Pribumi (Indonesia) yang lebih gemilang menjelang akhir abad ke-19. Untuk
melawan ketakukan, mereka membatasi ibadah haji bagi Muslim Pribumi dengan
alasan mengada-ada. Kebijakan terakhir ini pun kurang berhasil meskipun
membuat Perang Diponegoro sempat terhenti. Sedangkan pemberontakan-
pemberontakan lain terhadap Belanda tetap berkecamuk di mana-mana. Menurut
Benda, berdasarkan latar belakang perlawanan umat Islam Pribumi Nusantara
yang tidak kunjung padam dan kebingungan Belanda inilah Dr. Christiaan Snouck
Hurgronje, ahli bahasa Arab dan Islam, pada 1889 diangkat menjadi penasihat
pada kantor Pemerintah Hindia Belanda untuk mengurusi masalah-masalah Arab
dan Pribumi.75 Kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje ke Hindia Belanda
sebagai ‘orang Islam’, tidak hanya tugas penelitian, juga sebagai agen intelejen.
b. Penugasan Christiaan Snouck Hurgronje untuk Pemerintah Hindia
Belanda dan Penyamaran Berikutnya
… bahwa Snouck Hurgronje adalah seorang dibya (hal ini saya pribadi benar-benar yakin; di samping Multatuli dia adalah tokoh dibya kedua dalam sejarah kolonial abad ke-19 kita), kedudukan dan peranannya pada tahun 90-an lebih menggelapkan daripada menjelaskan. Demikian terhadap sebuah buku tebal tentang tindakan Snouck di Aceh, yang ditulis oleh Jenderal K. van der Maaten yang mengaguminya setengah mati; maka dia pun mulai menggambarkan Snouck sebagai sarjana dan negarawan agung, seakan-akan setiap orang yang menemuinya di Aceh harus meyakini hal itu. Pada penulis-penulis yang lebih kritis pun terdapat kecenderungan untuk mengemukakan kebenaran Snouck yang sangat jelas pada tahun 1896 sejak tahun 1893, sekiranya tidak lebih dulu, dibandingkan dengan kebijakan Deijkerhoff yang gagal.76
75 Ibid., hlm. 39-40. [Huruf miring tebal dari A.M.] 76 Paul Van’t Veer, ibid., hlm. 151.
103
Banyak hal yang dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje alias Abdul
Ghaffar untuk merebut kepercayaan kalangan Muslim. Tugas penelitian atau
penyusupan awal yang dilakukan di Jeddah lalu ke Mekah pada 1884-1885
memberi kesempatan kepadanya memperbesar pengaruh. Adanya kepercayaan
ulama dan bangsawan Mekah membuat dirinya tenar dan dikenal masyarakat
Hindia Belanda yang sedang berada di Mekah sebagai “mufti” besar. Sekaligus,
sekembalinya ke Leiden dirinya tetap dipercaya sebagai orientalis yang ahli dalam
Islam. Posisinya sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda dan penyusup
(agen) yang lihai untuk kepentingan kolonial bertambah mulus melalui cara
dirinya melangsungkan perkawinan Islam atau menikah berdasarkan syari’at
Islam selama 1889-1906 di Hindia Belanda.
Pertama, pernikahan Christiaan Snouck Hurgronje dengan anak tunggal
penghulu besar Ciamis Raden Haji Muhammad Ta’ib, namanya Sangkana (33
tahun). Pernikahan pertama ini dilaksanakan di bawah tekanan Lasmitakusuma,
istri bupati Ciamis yang masih kerabat penghulu besar Ciamis yang pada mulanya
tidak sepakat. Dari perkawinan ini lahir diantaranya: Emah, Umar, Aminah, dan
Ibrahim. Disaat mengandung anak kelimanya Sangkana meninggal dunia sebab
keguguran (1895). Akhirnya, Sasmitakusuma mengambil alih fungsi perawatan
atas anak-anak Sangkana dengan Christiaan Snouck Hurgronje.77 Kedua,
pernikahan kali kedua Christiaan Snouck Hurgronje dilangsungkan dengan Siti
Sadijah putri Haji Muhammad Su’eb, wakil qadli (penghulu) di Bandung yang
juga dipanggil Kalipah Apo. Perkawinan kali kedua di Hindia Belanda ini terjadi
77 P.Sj. van Koningsveld, hlm. 162.
104
pada 1898.78 Waktu menikah usia Siti Sadijah baru 13 tahun sedangkan
Christiaan Snouck Hurgronje berusia sekitar 44 tahun.79 Pernikahan kedua
mendekatkan sang orientalis kepada bangsawan dan pejabat keagamaan Bandung.
Karena dari garis leluhur keluarga Siti Sadijah ke atas terdapat penghulu, bupati,
bahkan raja Jawa Barat.
Anehnya, pernikahan-pernikahan tersebut tetap disangkal oleh Christiaan
Snouck Hurgronje, meskipun diberitakan di media massa secara vulgar. Malah,
“orang-orang koran”—dalam bahasa Christiaan Snouck Hurgronje—
dipersalahakan karena dianggap tidak memiliki keinsyafan batin.80 Penyangkalan
ini menurut penulis tentu mengandung maksud penting. Pertama, Christiaan
Snouck Hurgronje sedang menjaga wibawa kolonialnya. Karena dalam perspektif
kolonial orang kulit putih lebih tinggi kedudukannya dibandingkan orang kulit
berwarna. Apalagi orang kulit berwana itu berjenis kelamin perempuan.
Penjagaan wibawa ini karena pernikahannya dengan perempuan Pribumi dapat
mengganggu kemurnian ras kulit putihnya. Juga barangkali dirinya akan
dikategorikan bangsa kulit putih rendahan. Kedua, menjaga kepercayaan
Christiaan Snouck Hurgronje di mata pemerintah negeri Belanda. Agar dirinya
tetap dipercaya sebagai orang Belanda secara utuh. Maksudnya, tidak sedang
menodai ras dan agama kolonial (Kristen) atas pernikahannya yang
dilangsungkan sesuai syari’at Islam. Ketiga, menjaga kondisi agar tugas
penyamaran sebagai agen kolonial tidak diketahui masyarakat Hindia Belanda
secara luas. Karena akan menjadi ganjalan dan dapat menyurutkan kepercayaan
78 Ibid., hlm. 161. 79 Latiful Khuluq, ibid., hlm. 9. 80 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm.160-161.
105
pejabat agama di Hindia Belanda jika diketahui menikahi Pribumi secara Islam.
Dan keempat, untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai ilmuwan yang bekerja
atas keyakinan pengetahuannya untuk tidak disinggung atau diganggu oleh
siapapun (liberal), baik penduduk Hindia Belanda maupun kerajaan Belanda.
Yang terakhir ini sebagai bukti jika Christiaan Snouck Hurgronje memang setia
terhadap liberalisme-modernisme-rasionalisme yang diperolehnya dari “kalangan
modernis” Leiden.
Terbukti setelah pernikahan-pernikahan dalam Islam dengan perempuan
Pribumi, sekembalinya Christiaan Snouck Hurgronje pada 1906 ke Belanda, dia
malah menikahi Ida Maria pada 1910. Pernikahannya dengan Ida Maria, putri Dr.
A.J. Oort, pensiunan pendeta liberal di Zutphen berlangsung sampai Christiaan
Snouck Hurgronje meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936.81 Dari pernikahan
ini terlahir seorang anak perempuan bernama Christien. Pernikahan Christiaan
Snouck Hurgronje dengan Ida Maria sempat membuat masyarakat gempar.
Seluruh pers Hindia terkejut waktu Dr. Christiaan Snouck Hurgronje melakukan perkawinan di gereja pada awal abad ini, pada hal sebelumnya ia mengawini seorang gadis Pribumi secara Islam dan ia mengaku Muslim. Setelah Van Heutsz meninggal, dianggap sebagai pahlawan dan “pasifikator Perang Aceh”, baru ia angkat pena melawan si mati sehingga mengakibatkan adanya dua aliran, Van Heutsz-Snouck Hurgronje, dalam sejarah kolonial Hindia Belanda tentang Perang Aceh.82
81 Ibid., hlm. 124. 82 Baca kritik W.F. Wertheim terhadap Snouck Hurgronje “Countrerinsurgency research at the
turn of the Century – Snouck Hurgronje and the Acheh War” dalam Dawning of an Asian Drama, Selected Articles on Modernization and Emancipationi, 1973, Publ.No. 20,. Afd.Z.O. Azie, Universiteit v. Amsterdam (sebelumnya sudah dipublikasikan dalam De Sociologische Gids, 1972). Penyingkapan secara terbuka dan berani terhadap kegiatan dan moralitas Snouck juga dilakukan oleh P.Sj. van Koningsveld dalam risalahnya Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar, Enige historisch-kristische Kanttekeningen, Leiden, Juli 1982. Ceramah van Koningsveld di Indonesia juga mendapat tanggapan luas seperti tulisan W.G.J. Remmenlink “Snouck Hurgronje dan Kode Etik Penelitian Sosial”, Sk. Kompas 2 Februari 1983, H. Oemar Bakri “Kesalahan Besar Pendapat Snouck Hurgronje”, Sk. Pelita, 7 Februari 1983, dll. Risalah van Koningsveld, yang pada mulanya diceramahkan pada 6 Nopember 1979 dan telah mengobarkan polemic lama (lih.
106
Lewat pernikahan-pernikahan dengan perempuan Pribumi itu Christiaan
Snouck Hurgronje sedang menempuh resiko besar. Sekaligus bukti diri sebagai
peneliti yang tetap menjaga validitas datanya. Sehingga lewat pernikahannya
dengan Pribumi dapat digapai rahasia kehidupan agama, kemasyarakatan dan
rumah tangga bumiputra sebagai masyarakat Muslim secara langsung.
Pernikahan-pernikahanya dengan perempuan Pribumi dapat pula dijadikan alasan
kuat baginya untuk menetap di Hindia Belanda selama 1889-1906. Di mana kurun
ini merupakan masa terpenting dalam kehidupan Christiaan Snouck Hurgronje.
Awalnya perjalanan studi dia ke Hindia Belanda atas prakarsa dirinya
sendiri. Tepatnya tanggal 1 April 1889 Christiaan Snouck Hurgronje naik kapal di
Brindisi dengan tujuan Penang. Tanpa diketahui orang, dari tampat pelabuhan itu,
dia menerobos ke pedalaman Aceh dan tiba di sekitar istana Sultan Aceh di
Keumala. Perjalanan rahasia ini untuk mengumpulkan keterangan-keterangan
militer dan strategi guna kepentingan pelaksanaan perang Belanda di Aceh.83
Surat Christiaan Snouck Hurgronje kepada Jenderal Van der Maaten menarik
dicermati:
“Sebelum berangkat ke Hindia tahun 1889 saya uraikan kepada Menteri, bahwa, karena Pemerintah terutama berminat kepada arti politik Islam, maka Aceh akan merupakan tempat terkemuka di antara sasaran-sasaran penelitian
hlm. 31 risalah tersebut) sepanjang 1980-1981 di Belanda, yang pada pokoknya menyingkap Snouck Hurgronje sebagai agen intelejen, kolonialis, rasis, muslim gadungan dan sebaginya, ditambahi dengan artikel barunya yang mengukuhkan risalahnya tersebut berjudul “Perkawinan, Status dan Politik kolonial di Hindia Belanda. Raden Joesoef mengungkapkan perkawinan ayahnya sendiri Snouck Hurgronje”, Kompas Minggu, 6 Februari 1980. Sedangkan secara umum ditulis oleh Mr.Hamid Al-Godri, C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, Sinar Harapan, 1984. Lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Cet. II, (Jakata: Lentera Dipantara, 2003), hlm. 97-98. Dalam catatan kaki nomor 11. [Huruf miring tebal dari A.M.]
83 Latiful Khuluq, ibid., hlm. 19.
107
saya. Saya tunjukkan bahwa saya di Mekah telah belajar mengenal orang-orang Aceh dari dekat, sebagaimana tak ada seorang Eropa lain pun punya kesempatan ke arah itu. Saya bermaksud dengan cara saya sendiri, katakanlah dengan menyamar, pergi ke Penang. Di sana dengan bergaul dengan para pelarian Aceh, saya akan dapat mendengar banyak dan barangkali mendapat kesempatan untuk misalnya pergi ke Keumala. Saya yakin bahwa dengan cara itu akan dapat berbuat banyak untuk menjernihkan keadaan dan barangkali buat mengadakan hubungan pribadi yang baik. Menteri dapat diyakinkan, ia menelegram Gubernur Jenderal yang tidak menaruh curiga lalu saya berlayar dengan diam-diam menumpang kapal pos Inggris ke Penang. Di sanalah Konsul mengejutkan saya dengan telegram dari Buitenzorg yang menyatakan bahwa saya harus membatalkan rencana saya karena besarnya keberatan yang diajukan oleh Jenderal Van Tijn kepada Gubernur Jenderal dan saya harus terus berlayar ke Batavia. Dengan ini penyamaran saya sekarang dan untuk selamanya menjadi mustahil.”84
Jadi, selanjutnya Christiaan Snouck Hurgronje berlayar meneruskan
perjalanan ke Batavia naik kapal uap Japara dari Singapura dan sampai tujuan
Batavia tanggal 11 Mei 1889.85 Di Jawa Christiaan Snouck Hurgronje memulai
aksinya sebagai agen untuk dinas mata-mata bagi kepentingan pemerintah
Belanda. Menarik mengambil kutipan artikel di De Locomotief (21 September
1889) yang sebelumnya dimuat De Tijd (Waktu) tanpa nama. Ada anggapan kuat
jika artikel itu ditulis oleh Van den Berg atau Prof. Dr. J. de Louter, lawan-lawan
Christiaan Snouck Hurgronje. Bahwa:
… Dr. Snouck Hurgronje telah meninggalkan kekristenan, menjadi Muslim dan ‘mufti’, sebagian dengan tujuan ilmiah dan sebagian lagi dengan tujuan praktikal, yakni untuk melakukan dinas mata-mata bagi pemerintah Belanda dan melaporkan kepadanya tentang apa yang terjadi di lingkungan perserikatan-perserikatan rahasia keagamaan di Mekah dan di Hindia Belanda.86
84 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 193-194. [Huruf miring tebal dari A.M.] 85 Ibid.¸ hlm. 194. 86 Ibid., 202. [Huruf miring tebal dari A.M.]
108
Christiaan Snouck Hurgronje sebelumnya telah melakukan dinas mata-
mata di Mekah laiknya Ignaz Goldziher.87 Kelanjutan dari tugas mata-mata untuk
pemerintah Belanda itu dilanjutkan di Hindia Belanda dengan mulai gencar di
Jawa. Seperti telah dijadwal dengan prediksi perjalanan dinas mata-mata di
Hindia Belanda dilakukan sangat sistematis. Kira-kira 15 Juli 1889 Christiaan
Snouck Hurgronje ditemani Haji Hasan Mustapha memulai perjalanan penelitian
dan dinas mata-mata dengan menjelajah Jawa Barat lalu Jawa Tengah. Tanggal 16
Juli 1889 ia pergi ke Sukabumi. Melewati Bandung (17 Juli) ia pergi ke Garut (18
Juli), Calincing (20 Juli), Garut lagi (6 Agustus), dan Cirebon (8 Agustus). Lalu
ke Mangunreja (10 Agustus) dan ke Ciamis (13 Agustus), di sana tinggal 10 hari.
Seterusnya tiba di Cirebon lagi (23-30 Agustus), Tegal dilalui (6 September), lalu
Pekalongan (13 September), dan Wiradesa (14 September). Bumiayu pada
tanggal 16 September dan di Banyumas (21 September-3 Oktober). Dia berada di
Purbalingga (4 Oktober) dan melintasi Wonosobo (13 Oktober) serta sampai di
Purworejo (20 Oktober). Sebelumnya berada di Banyumas (17 Oktober). Melalui
87 Christiaan Snouck Hurgronje termasuk pengagum Ignaz Goldziher. Tak urung dia
melakukan pembelaan terhadap idolanya. Ignaz Golziher, “Vorlesungen Uber den Islam.” Cetakan ulang revisi kedua oleh Franz Babinger. Dengan kata pengantar dari C.H. Becker. (Religions-wissenschaftlice Bibliothek, diterbitkan oleh Wilh. Streitberg, 1) Heidelberg, 1925, di sertai foto pengarang. Pada tahun 1909, Golziher tidak lagi dapat melanjutkan untuk memberikan serangkaian kuliah tentang Islam, karena kondisi kesehatannya. Padahal dia telah menerima undangan untuk memberikan kuliah tentang sejarah agama dari Komite Amerika. Dengan desakan dari para ahli sahabat pengarang, teks ceramah yang dibuat dalam bahasa Jerman itu kemudian diterbitkan oleh penerbit Winterschen pada tahun 1910. Begitu banyak karya Golziher, tetapi tidak ada yang seberhasil karya ini, yang diterima di kalangan luas. Karya ini memang membangun sitesis yang matang dari karya-karyanya bagi pembaca dari kalangan terpelajar. Tidak ada satu buku pun yang dengan bentuk yang langka dan terjamin mutunya, memberi informasi tentan asal mula dan perkembangan agama Islam, tentang hokum, dogma, cara hidup beragama, mistik, sekte dan bentuk perkembangannya. Tidak satu pengarang lainnya yang sama memiliki kompetensi tentang semua tema-tema ini, seperti sang juara dari Hongaria ini, yang terlalu pagi menghadap Sang Pencipta. Lihat dalam C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Deel VI, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno, A.J. Mangkuwinoto, Rahayu S.H., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XIV, (Jakarta: INIS, 2000), hlm. 203.
109
Kebumen (28 Oktober) dan dilanjutkan ke Garut lagi. Dari tempat ini ditulis
surat-surat (12, 15, 19, dan 20 November). Kemudian, dia berada di Cianjur (15-
19 Desember).88
Dari rangkaian perjalan inilah Christiaan Snouck Hurgronje mengumpulan
data-data awal untuk mengkonsep pemikirannya. Ditambah yang lebih intensif
adalah data-data yang berasal istri-istri Pribuminya dan kerabat, serta informan
lain yang setia. Pemikiran-pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje selanjutnya
dioperasikan melalui kebijakan-kebijakan kolonialistik dalam pemerintah Hindia
Belanda bagi Pribumi. Karena tanpa dijalankan lewat kebijakan permintah Hindia
Belanda konsepsi-konsepsi pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje bukanlah
apa-apa. Demikian ini sangat mungkin karena dirinya telah dipercaya oleh
pemerintah Belanda dan pada tanggal 15 Maret 1891 dia diangkat sebagai
Penasehat urusan Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam. Delapan tahun
kemudian ia diangkat sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab (11 Januari
1899) sampai tahun 1906.89
Jabatan penting di Hindia Belanda didapat setelah sebelumnya Christiaan
Snouck Hurgronje melakukan penyamaran sebagai agen intelektual atau peneliti
suku-suku di Aceh. Kemudian menetap di Batavia untuk meneliti masalah Islam
di Jawa. Tanggal 9 Juli 1891 dia berangkat ke Aceh, menetap di Kutaraja. Lalu
kembali ke Batavia pada tanggal 4 Februari 1892. Sedangkan antara tahun 1898
sampai 1903 dia sering pergi ke Aceh dalam rangka membantu Van Heutsz ketika
88 Ibid., hlm. 205-209. 89 H. Aqib Suminto, ibid., hlm. 116.
110
menaklukkan Aceh.90 Di masa-masa awal kedatangannya di Hindia Belanda dia
mendapat tugas menyamar sebagai peneliti di Indonesia selama dua tahun dengan
gaji f.700,- per bulan. Beslit Raja 22 Juli 1889 nomor 25 mengukuhkan posisi
Christiaan Snouck Hurgronje dengan cara menyamar demi memasuki daerah
Aceh yang tidak diduduki Belanda.91
Menurut Suminto, Christiaan Snouck Hurgronje membedakan Islam
dalam arti “ibadah” dengan Islam dalam arti “kekuatan sosial politik”.
Selanjutnya Islam dibagi dalam tiga kategori, yaitu; 1. bidang agama murni atau
ibadah; 2. bidang sosial kemasyarakatan; dan 3. bidang politik; masing-masing
bidang menuntut cara pemecahan yang berbeda.92 Dalam paparan Khuluq,
Christiaan Snouck Hurgronje membagi dalam tiga sikap; 1. Terhadap dogma dan
perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral; 2.
Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam, menuntut
penghormatan; 3. Tidak satu pun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan
Eropa.93
Sedangkan bagi penulis, konsepsi pemikiran-pemikiran Christiaan Snouck
Hurgronje untuk Hindia Belanda saya tempatkan dalam tiga kategori; politik
Islam, masalah hukum adat dan hukum Islam, dan spesifik urusan keluarga Islam.
Untuk lebih jelas dan mendalam maka penelitian ini terfokus pada masalah kedua
terakhir. Yakni, pemikiran-pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje tentang
masalah hukum adat dan hukum Islam serta pemikiran dalam urusan keluarga
90 Ibid., hlm. 116. 91 Ibid., hlm. 118. 92 Ibid., hlm. 13. 93 Latiful Khuluq, ibid., hlm. 2.
111
Islam atau perdata. Hal ini seperti yang diakui Christiaan Snouck Hurgronje
bahwa tidak ada persoalan yang menjadi rintangan khusus bagi pemerintah
jajahan untuk membuat undang-undang. Rintangan khusus itu ada pada “hukum
mengenai keadaan dan wewenang seseorang,” lalu, “hukum perkawinan, hukum
keluarga dan hukum warisan,” tulis Christiaan Snouck Hurgronje.94
C. KONSEPSI-KONSEPSI KOLONIALISTIK DARI PEMIKIRAN
CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE DALAM URUSAN PERDATA
HINDIA BELANDA
Tidak sedikit karya Christiaan Snouck Hurgronje yang memuat pemikiran-
pemikirannya. Dan dia juga telah berhasil mengabdikan pemikirannya untuk
kepentingan operasi kolonialisme Belanda di bumi Nusantara. Sehingga dalam hal
politik dia disebut peletak dasar “politik Islam”. Sedangkan dalam bidang hukum
dia merupakan peneliti serius dan jeli yang membidik urusan-urusan perdata.
Terutama menyangkut masalah keluarga dan perkawinan serta masalah dalam
aspek hukum Islam lainnya. Pemikirannya dituangkan seperti dalam teori resepsi,
pencatatan perkawinan, dan pengangkatan penghulu. Sehingga patut dia disebut
“arsitek urusan perdata kolonialistik” Hindia Belanda. Yang telah mengkreasi
urusan paling pribadi (urusan rivat), seperti aspek-aspek persoalan keluarga atau
keperdataan lainnya, menjadi sedemikian penting bagi kelancaran kolonialisme
Belanda. Pengaruh Islam dalam hukum keluarga dan segala yang termasuk di
94 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 200.
112
dalamnya dijadikan Chritiaan Snouck Hurgronje sebagai obyek yang paling
penting.95 Padahal sebelumnya, nalar penjajah Belanda yang buntu sering
mengacuhkan strategi menguasai sistem keluarga koloni. Karena kolonialisme
masih dipahami sebagai intimidasi dan penguasaan secara fisik dan militer.
Beberapa konsepsi kolonialistik dari pemikiran-pemikiran seorang Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje dalam urusan keperdataan yang dioperasikan
melalui kebijakan pemerintah jajahan Hindia Belanda perlu dipaparkan di sini.
a. Membela Teori Resepsi (Theorie Reseptie)
Pasca-1865 terjadi kondisi yang mendorong Belanda peduli pada hukum
adat. Setidaknya ada tiga orang yang muncul sebagai penemu studi ilmiah tentang
hukum adat pada periode itu. Yaitu, G.A. Wilken (w. 1891), Liefrinck (lahir dan
wafatnya tidak diketahui) dan Christiaan Snouck Hurgronje. Figur-figur inilah
yang membangun pondasi riset tentang hukum adat sejak 1900.96 Atas suatu
kesadaran bahwa untuk memahmi institusi Pribumi harus dengan kajian hukum
adat menggunakan perspektif ketimuran. Pelanjut studi hukum adat pada periode
ketiga di antaranya; Ossenbruggen dan C. van Vollenhoven. Pengkajian yang
sudah ada sejak jaman VOC ini selanjutnya disebut dengan istilah adatrecht.
Istilah adatrecht pertama dipergunakan oleh Christiaan Snouck Hurgronje pada
sekitar 1900 untuk menunjuk adat yang membawa konsekuensi hukum.97 Adat
atau kebiasaan yang tidak membawa konsekuensi hukum pada masa itu masih
95 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … IX, ibid., hlm. 197. 96 Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, terj. Ratno
Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 39-40.
97 Ratno Lukito, ibid., hlm. 38-39.
113
kurang penting jika dipakai dalam operasi-operasi kolonial. Serta tidak perlu
dimaksudkan dalam kategori kajian adatrecht.
Studi terhadap hukum adat kemudian menghasilkan teori resepsi (theorie
reseptie). Yakni, bahwa hukum Islam dapat diterima untuk diterapkan pada
masyarakat Hindia Belanda jika telah sesuai dengan adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat setempat yang mengandung konsekuensi hukum. Jika hukum Islam
yang hendak dipakai masyarakat tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan
adat maka otomatis akan tertolak. Christiaan Snouck Hurgronje begitu gencar
memperjuangkan pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan teori resepsi. Dalam
surat rahasianya yang dikirim kepada Paduka Tuan Direktur Pengajaran, Ibadah,
dan Kerajinan dari Betawi pada tanggal 26 Februari 1890, dia memperingatkan
atas kelalaian pemerintah dalam mengawasi persoalan adat. Dia heran bahwa
pranata yang khas belum terawasi seperti majelis “pendeta” dalam Islam. “Selain
itu,” katanya, “adat-adat Jawa yang penting dalam perkawinan (dan justru yang
berakibat hukum) begitu saja diabaikan… .”98 Di rakya Aceh pun berlaku hal
yang sama yang sering dinyatakan secara terpisah dalam hukum dan adat.99
Bagi dirinya terhadap adat-adat masyarakat, terutama adat yang memiliki
akibat hukum, sangat penting untuk dilakukan pengawasan. Nampaknya, pada
situasi masa itu kerja demikian tidak pas kalau hanya dibebankan kepada
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sedangkan Christiaan Snouck Hurgronje
nampaknya terlanjur kesal terhadap pihak pemerintah yang menyepelekan
masalah adat-adat di masyarakat. Karena kebijakan-kebijakan pemerintah masih
98 E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasehat.. Jilid I, ibid., hlm. 23. 99 C. Snouck Hurgronje, De Atjehers, deel I en II, (Landsdrukkerij, Batavia; E.J. Brill, Leiden:
1895), terj. Sutan Maimon, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II, (Jakarta: INIS, 1997), Hlm. 251.
114
memakai cara-cara lama dalam menangani daerah koloni, yakni kekerasan fisik
dan ancaman bersenjata. Oleh karena itu sebagai orang kolonial Belanda yang
berpendidikan tinggi dan punya wawasan luas dia terjun ke lapangan langsung
untuk mengumpulkan data-data tentang adat di masyarakat Jawa ataupun Aceh.
Dalam suratnya dari Betawi tanggal 17 September 1892 Christiaan Snouck
Hurgronje mengingatkan masih dibutuhkannya penambahan data dan perbaikan
dari laporan yang sudah ada. Yakni, pentingnya laporan-laporan kolonial yang
menyertakan data-data, “misalnya,” tulisnya, “adat-adat yang menguasai
kehidupan keluarga dan yang sekarang baru saya sentuh seperlunya saja”. Jadi
pada 1892 data adat yang khususnya menyangkut masalah keluarga baru dia dapat
alakadarnya. Keinginan Christiaan Snouck Hurgronje selanjutnya “akan dapat
dibahas dengan jauh lebih panjang lebar; hal itu juga berlaku terhadap
penyimpangan-penyimpangan dari agama Islam ortodoks dalam ajarannya
maupun amalnya yang sekarang hanya sekilas disebut namanya”.100
Di tahun berikutnya Christiaan Snouck Hurgronje sudah bisa menyiapkan
laporan-laporan yang dibutuhkan tentang kehidupan masyarakat dan adatnya.
Laporan yang disiapkan misalnya, tentang masyarakat Aceh. Dalam suratnya
kepada Sekretaris Pertama Pemerintah dari Betawi pada tanggal 24 Februari 1893
disebutkan bahwa dia sudah menyiapkan tiga bab karya mengenai Aceh. Di awal
bab disebutkan masalah pembagian penduduk, pemerintah negara dan peradilan.
Bab selanjutnya tentang kalender Aceh, perayaan, dan musim di Aceh; seperti
pertanian, pelayaran, perikanan, serta hak tanah dan hak air. Bab ke tiga
100 E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasehat.. Jilid I, ibid., hlm. 25.
115
membahas persoalan kehidupan keluarga dan hukum keluarga.101 Di bab terakhir
karyanya mengenai Aceh dan pola hubungan keluarga dapat diketahui pemikiran-
pemikirannya yang kukuh memperjuangkan adat yang membawa konsekuensi
hukum dengan pembelaan-pembelaan terhadap adat yang kadang berlebihan.
Misalnya, pelarangan Christiaan Snouck Hurgronje kepada Pemerintah
Daerah yang ingin membuat kebijakan agar penghulu, naib, dan sebagainya
menyerahkan sebagian pendapatannya untuk kas masjid. Larangan itu berlaku jika
dalam adat tidak pernah terjadi. Bisa dilihat dalam suratnya dari Betawi pada
tanggal 12 Juni 1901 kepada Direktur Departemen Pemerintahan Dalam Negeri
atau Pamong Praja. “Janganlah, melalui campur tangan Pemerintah Daerah,”
katanya, “diciptakan kas-kas mesjid atas biaya pendapatan para penghulu yang
lazim,” lanjutnya. Karena menurut kondisi pada saat itu telah terjadi penyaluran
uang dalam jumlah besar untuk kas-kas masjid sebagai pusat peribadatan Islam.
Pelarangan itu atas alasan yang sangat pragmatis. Yakni, supaya para penghulu
atau naib bisa menikmati kepemilikannya jika dikehendaki yang demikian. Maka,
tidak perlu “dituntun” –(baca, dipaksa) dalam bahasa Christiaan Snouck
Hurgronje—oleh pemerintah agar beramal lewat masjid. Sumbangan untuk masjid
boleh dilakukan asal ditentukan oleh sejarah, yaitu adat, suka rela. Kemudian
dijelaskan, “jika sepanjang ingatan manusia sebagian uang biaya perkawinan dan
sebagainya disisihkan untuk membentuk kas mesjid, maka adat tersebut, setelah
dibersihakan dari penyelewengan, boleh dilestarikan.” “Akan tetapi,” tulis
Christiaan Snouck Hurgronje, “jika adat seperti itu tidak ada, maka janganlah ada
101 Ibid., Jilid I, hlm. 27.
116
penghulu, naib, dan sebagainya yang dipaksa menyerahkan sebagian
pendapatannya untuk kas mesjid (sebagaimana terjadi di beberapa daerah).”102
Jadi, sesuatu yang terkait penetapan hukum dalam amaliyah Islam harus
sesuai adat yang ada. Jika adat tidak pernah mengajari soal menyumbang untuk
masjid maka pihak pemerintah daerah pun tidak boleh membuat kebijakan
menuntun penghulu dan naib menyumbangkan penghasilannya untuk masjid. Di
sini jelas terlihat bahwa Christiaan Snouck Hurgronje melakukan pembelaan yang
terlampau berlebihan terhadap adat-adat yang mengandung konsekuensi dan
maslahat. Tindakannya hendak menutup kemungkinan-kemungkinan masyarakat
yang ingin berkreasi. Misalnya, membuat kebiasaan baru dan baik yang
manfaatnya dapat dirasakan masyarakat. Kebiasaan baru yang baik dan secara
terus-menurus dijalankan pada masa mendatang juga akan menjadi adat pula.
Kreasi baru yang dilarang membiasakan kepada penghulu, naib, atau yang lainnya
untuk menyisihkan sebagian penghasilan bagi masjid. Daripada disumbangkan
untuk masjid, bagi Snouck Hurgronje, uang-uang itu lebih baik diserahkan kepada
bawahan masing-masing.
Tak tanggung-tanggung dukungan dan pembelaan terhadap adat dilakukan
Christiaan Snouck Hurgronje dengan mengkritik orang-orang Eropa. Katanya
undang-undang yang diterapkan pada masyarakat Pribumi berat sebelah. Hal itu
dikarenakan para pembuat undang-undang yang tak lain orang-orang Eropa.
Orang berbangsa Eropa ini, “biasanya hanya secara serba tanggung merasuk ke
102 E. Gobee dan C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid IV, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 546. Meskipun Chrisitaan Snouck Hurgronje mendukung adat tetapi dirinya mengingkari usaha-usaha rakyat untuk menciptakan kebiasaan (selanjutya adat) baru.
117
dalam kehidupan masyarakat Pribumi,” kata Christiaan Snouck Hurgronje, “dan
hanya mendapat keterangan yang berat sebelah atau kurang lengkap mengenai
masyarakat tersebut,” terangnya. Pernyataan demikian terjadi pada tahun-tahun
berikutnya yang ditulis dari Betawi kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal. Dia
juga berpesan bagi para pembuat undang-undang yang bercita-cita mengadakan
suatu penyeragaman hukum. Masih dalam suratnya dari Betawi pada tanggal 19
April 1904 itu bahwa “adat yang tidak tertulis, tanpa keberatan, dapat
menenggang penyimpangan-penyimpangan setempat yang memang ada dasar
hidupnya,” lanjutnya.103 Maksudnya, di dalam upaya pembuatan aturan tidak
perlu terlampau diseragamkan sebagaimana hendak dilakukan orang-orang Eropa
yang bertugas membuat aturan. Karena adat perlu dihargai wibawanya di mata
masyarakat selain ada ketentuan-ketentuan dari hukum Eropa. Penyimpangan
yang dimaksudkan ialah selama dalam adat (yang berkonsekuensi hukum)
sanggup menyelesaikan perbedaan aturan dengan yang dibuat orang Eropa maka
tidak perlu semua aturan diseragamkan. Dengan cara demikian Christiaan Snouck
Hurgronje sedang berbuat untuk mengukuhkan sikap sebagai orang yang seolah-
olah patut ‘disegani’ di mata kaum adat sebagai pembela masyarakat adat—koloni
jajahannya.
103 E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid V, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 720.
118
b. Pengawasan Penyelenggaraan Pernikahan
Permasalahan yang juga menjadi bahan pembicaraan dalam pemikiran
Christiaan Snouck Hurgronje ialah masalah pencatatan atau pengawasan dalam
pernikahan. Bagaimana yang dimaksudkannya?
Kepada para kadi dengan demikian selalu dilimpahkan pengawasan tertinggi atas penyelengaraan pernikahan dan apa yang berkaitan dengan itu. Dalam beberapa hal mereka malah diserahi penyelengaraan akad nikah itu sendiri. Hal ini berlaku juga bagi para penghulu. Tugas tersebut untuk sebagian yang cukup penting dilakukan oleh para naib di bawah pengawasan mereka. Adapun para naib ini pada gilirannya menjalankan kekuasaan atas personalia mesjid-mesjid kewekdanaan mereka, sama seperti yang dilakukan oleh para penghulu terhadap mesjid-mesjid agung.104
Demikian bunyi buah pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje yang dikirimkan
kepada Direktur Pengajaran, Ibadah dan Kerajinan dari Betawi pada tanggal 13
Maret 1900. Pada periode ini dan seterusnya untuk urusan pernikahan atau akad
nikah bagi penduduk Hindia Belanda harus dilakukan di bawah pengawasan.
Meskipun pernikahan yang tidak diawasi sah-sah saja dan sering kali terjadi pada
penduduk Hindia Belanda sebelumnya. Bahkan bisa dikata lumrah dan biasa.
Namun, Christiaan Snouck Hurgronje tetap menginginkan suatu pengawasan
dalam pernikahan, yang tugas itu berada di benak pejabat-pejabat kolonial seperti
penghulu, kadi, atau naib.
Pengawasan atas pernikahan di Hindia Belanda sangat perlu dilakukan
atas pertimbangan-pertimbangan khusus yang telah diberikan Christiaan Snouck
Hurgronje. Yakni, berkaitan dengan masa depan percampuran antara Islam,
Kristen, Pribumi, Cina, Eropa, Arab, Jepang, dan masyarakat lain yang ada di
Hindia Belanda. Pertimbangan itu diberikannya ke hadapan Yang Mulia Gubernur
104 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat… Jilid V, ibid., hlm. 703.
119
Jenderal pada 1904 secara panjang lebar. Bahkan penjelasan itu menyentuh tata
kehidupan berikutnya di masyarakat internasional dari suatu kejadian kecil,
pernikahan. Penjelasannya dipakai sebagai penguat bagi kebijakan pengawasan
pernikahan yang perlu dilakukan secara serius oleh penghulu, kadi, atau naib di
bawah kuasa pemerintah Hindia Belanda. Surat yang dikirimkan dari Betawi pada
tanggal 19 April 1904 itu memberikan keterangan.
Jelasnya, jika pembuat undang-undang menerangkan mereka (Pribumi
Islam) harus memilih hukum yang diperuntukkan bagi orang Kristen, maka harus
dipatuhi meskipun mereka non-Kristen. Selanjutnya mereka bisa meneruskan
kehidupan di bawah aturan keluarga, dalam istilah Christiaan Snouck Hurgronje,
hukum Mohammadan (baca, Islam). Tapi biasanya orang Mohammadan tidak
mau digabung dalam soal perundangan dengan orang Eropa.105 Sedangkan dalam
cakupan yang lebih luas ada kemudahan menggabung orang Mohammadan Asia
dan Mohammadan lainnya beserta golongan Eropa. Walau ada penyeragaman
tetapi masih ada pembeda-bedaan penduduk di mata hukum. Misalnya, “dalam
kedudukannya terhadap negara Turki, agama, keadaan peradaban, dan hukum
keluarga, keduanya benar-benar sama.”106 Menurutnya ada hukum keluarga di
antara orang Mohammadan, seperti di Semenanjung Balkan atau keturunan
mereka yang menetap di daerah lain, tidak berlaku sebagai satu keberatan dalam
mengadakan penggolongan penduduk.
Kehendak lain muncul dari golongan Arab dan Cina agar bebas bertempat
tinggal di tengah penduduk lain. Juga menginginkan dihapuskannya sistem surat
105 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 719. 106 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 723.
120
jalan dan seluruh wilayah Hindia Belanda dibuka bagi lalu lintas mereka. Artinya,
bagi Cina dan Arab107 dengan adanya kebebasan menetap merupakan kebebasan
pula untuk melangsungkan pernikahan dengan penduduk setempat tanpa
pengawasan dan campur tangan pemerintah kolonial. Kesempatan demikian
menjadi bagian kekhawatiran Christiaan Snouck Hurgronje dan masih perlu
dipertimbangkan kembali. “Setiap undang-undang baru mengenai pembagian
penduduk,” menurutnya, “sepantasnya memperhitungkan dengan sungguh-
sungguh hal yang diuraikan tadi”.108 Pemikiran ini dilontarkannya karena ternyata
pembagian yang sedang direncanakan tidak mempertimbangkan hal-hal tadi.
Pertimbangan yang dikemukakan Christiaan Snouck Hurgronje untuk
pembagian dan pengawasan penduduk secara geografis, agama, hukum, dan
politis. Pertama, pertimbangan geografis untuk memasukkan Turki agar satu
golongan dengan Belanda. Kedua, atas dasar agama agar Cina dan Pribumi yang
sudah masuk Kristen bisa dalam satu golongan. Ketiga, pembagian bersifat
hukum seperti pembagian dalam hukum keluarga. Keempat, sifat politis untuk
kemungkinan memasukkan Jepang dalam golongan Eropa sesuai hukum keluarga
mereka.109 Pembagian untuk pengawasan seperti ini dalam praksisnya tidak sesuai
harapan. Karena tidak mungkin akan mempersamakan Pribumi Kristen dan Eropa
Kristen. Pola pembagian penduduk yang berbeda diperkirakan memperbanyak
golongan Cina memilih masuk Islam dan menikah dengan Pribumi Islam serta
sembunyi di kampung agar bebas bergerak.110 Golongan Cina yang demikian
107 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 724. 108 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 725. 109 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 725. 110 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 724.
121
lebih banyak daripada yang memilih masuk Kristen. Karena pembaptisan tidak
otomatis membuat seseorang setara dengan Eropa. Dari segi keuntungan yang
didapat maka lebih banyak penduduk koloni yang memilih masuk Islam di Jawa
maupun Aceh ketimbang yang pindah ke Kristen. Christiaan Snouck Hurgronje
tahu, “kita akan kehilangan sebagian besar pangawasan atas sebagian orang Cina
yang sangat kurang dapat dipercaya,” katanya.111 Tentu hal terakhir ini sangat
dijauhi dari segi kepentingan kolonial jangka panjang.
Pengawasan penduduk melalui pengawasan pernikahan tetap dilaksanakan
karena sistem hukum kolonial memberi peluang tindakan yang sangat oportunis.
Misalnya, untuk menghindari benturan dengan sistem hukum kolonial yang rumit,
maka istri bisa memilih pindah agama dari Mohammadan ke Kristen untuk
sementara. Dengan demikian pernikahan batal.112 Tidak perlu mengurus
perceraian melalui prosedur hukum kolonial yang berbelit-belit. Sedangkan
Jepang yang menginginkan persamaan dalam asas hukum keluarga tetap dianggap
jenis yang beda dari Eropa. Sama halnya dengan Mesir. Berurusan dengan
masalah keluarga ini Christiaan Snouck Hurgronje sangat jeli memahami bahwa,
“hukum Mohammadan membenarkan hampir semua sarana untuk
mempertahankan hukum keluarga itu, termasuk juga cara menyesatkan
pemerintah.”113 Sehingga dalam urusan keluarga, termasuk pernikahan, dijadikan
masalah serius dalam tugas-tugas kolonialnya. Selain itu ada pertimbangan
penyerapan Islam Pribumi terhadap pengikut lain yang juga sangat cepat. Terjadi
seperti di kampung Betawi, kota-kota bandar di Jawa, Padang, Palembang dan
111 Ibid., Nasehat… Jilid V, Hlm. 727-728. 112 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 728. 113 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 731.
122
Kutaraja atau daerah hulu Aceh, juga di Tanah Gayo. Tentu penyerapan ini
melalui Pribumi-Mohammadan.
Di lain sisi, aspek ganjalan hukum perkawinan Eropa begitu besar. Di
mana orang Indo-Eropa dalam perkawinan akan membentuk keluarga yang tidak
sah menurut hukum Eropa. Kelanjutannya yaitu melanggar ketentuan pendaftaran
kelahiran dan kematian pada pegawai catatan sipil. Sedangkan para pembesar
seringkali alpa melihat fenomena ini.114 Mau tidak mau gejala peningkatan
pengikut Mohammadan dari Cina cenderung lebih besar. Untuk mengendalikan
kondisi yang mengkhawatirkan dari persatuan Pribumi-Islam dan Cina ini
Christiaan Snouck Hurgronje memberikan nasihat-nasihatnya kepada pemerintah
Hindia Belanda. Yaitu, pertama, agar meninggalkan ciri hukum keluarga. Karena
hukum keluarga yang ada tidak murni dan tidak dapat dipertahankan. Namun,
memakai tolok ukur perkembangan di negara yang bersangkutan. Kedua, agar
tidak memasukkan semua orang Mohammadan asing, termasuk kawula Turki,
sama dengan Eropa.115
Konsep-konsep demikian dikukuhkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje
agar nampak lebih gamblang pembagian masyarakat Hindia Belanda dalam sekat-
sekat. Agar pemerintah kolonial melihat secara detail warga jajahannya sesuai
latar belakang masing-masing. Tidak disamaratakan sebagai penduduk jajahan
dengan perlakuan serupa. Pengawasannya dimulai dari aturan keluarga, yakni
perkawinan, dengan pembatasan dan pemilihan prosedur yang harus diikuti. Hal
tersebut untuk menghilangkan kemungkian-kemungkinan semua warga jajahan
114 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 735. 115 Ibid., Nasehat… Jilid V, Hlm. 735.
123
menyatu memeluk agama Mohammadan. Maka sebagaimana kutipan di muka,
kepada para kadi dilimpahi tugas pengawasan tertinggi atas penyelengaraan
pernikahan dan apa yang berkaitan dengan itu. Bahkan jika perlu diserahi tugas
sebagi penyelengara akad nikah itu sendiri. Tugas demikian berlaku pula bagi
penghulu, naib, untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap masjid-masjid
kawekdanan. Sebagaimana para penghulu bertugas mengawasi penyelenggaraan
pernikahan di masjid-masjid agung.
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Pegawai Pemerintah
Bagian berikutnya untuk mencapai rasioanalisasi dan modernisme di dunia
Timur, sebagaimana pendidikan Christiaan Snouck Hurgronje di Leiden yang
liberal, dilakukan pengangkatan penghulu. Tidak hanya mengangkat penghulu,
juga kadi dan naib, yang ditugaskan mengawasi pernikahan. Namun, dalam proses
pengangkatan penghulu harus sesuai dengan kriteria pemikiran kolonial. Yakni,
dimulai dari penyatuan keberadaan penghulu peradilan Mohammadan dengan
jabatan penghulu pengadilan negeri. Selanjutnya, “jabatan penghulu mesjid
sebagaimana adanya dihilangkan seluruh arti pentingnya,” kata Christiaan Snouck
Hurgronje.116 Hilangnya penghulu masjid dianggapnya hanya bagian akibat dari
ketetapan-ketetapan yang diumumkan dalam Lembaran Negara 1882, No. 152.
116 Di masjid-masjid Pribumi sebelumnya ada tokoh agama Islam (dipercaya umat Islam) yang
juga berperan sebagai penghulu dalam pernikahan. Fungsi penghulu masjid ingin digeser Christiaan Snouck Hurgronje dengan penghulu pegawai (yang diangkat) kolonial Belanda atau penghulu masjid yang mau digaji pemerintah Hindia Belanda.
124
Bisa dilihat kerangka pikir demikian dalam suratnya ke hadapan Yang Mulia
Gubernur Jenderal yang ditulis dari Weltevreden tanggal 2 Juli 1891.117
Tindakan ini sempat mendapat keberatan dari beberapa wilayah. Atas
alasan, penghulu pengadilan negeri (pegawai kolonial) bukan yang pantas menjadi
imam atau pemimpin ibadah umat Islam, dan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
itu. Beberapa kota yang keberatan terhadap penyederhanaan demikian seperti
Semarang, Bagelen dan Jepara. Tetapi, keberatan-keberatan itu bagi sang
penasehat pemerintah Hindia Belanda hanya sebagai khayalan.118 Oleh karena itu
keberatan-keberatan dari tempat lain, laiknya Kendal dan Rembang, dianggap
gugur. Dengan alasan apapun juga semua keberatan tidak cukup dijadikan dasar
untuk menggugurkan penggabungan tadi.119 Sehingga jabatan tersebut masih tetap
berada di bawah pemerintah pusat dan digaji oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sedangkan di lain tempat, seperti di Besuki, penghulu masjid yang diangkat oleh
bupati lama-kelamaan akan menjadi penghulu pengadilan negeri sekaligus ketua
majelis ulama.120
Pertimbangan demikian diajukan Christiaan Snouck Hurgronje untuk tetap
melangsungkan pengangkatan penghulu setelah melihat yang terjadi di Demak
pada 1878.121 Seorang penghulu pengadilan negeri yang tidak memiliki pengaruh
pun bisa menjalankan fungsinya sebagai pegawai pemerintah kolonial yang patuh.
Aspek kolonialistik yang terdapat pada perihal pengangkatan penghulu, termasuk
penghulu masjid, supaya berada di bawah kuasa pemerintah jajahan adalah untuk
117 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 817. 118 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 818. 119 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 818-819. 120 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 820. 121 Op.cit.
125
mendukung kepentingan kolonial. Christiaan Snouck Hurgronje pun menyadari
bahwa jabatan priyayi yang tinggi pada era itu tidak menimbulkan penghormatan
rakyat. Sehingga para kerabat sering menganjurkan kepada saudaranya agar tidak
menjadi pejabat kolonial (priyayi baru). Masih dalam suratnya kepada Sekretaris
Pertama Pemerintah dari Betawi tanggal 23 September 1892 bahwa kondisi ini
masih bisa diatasi. Yakni, dengan diadakan perbaikan-perbaikan seperlunya.122
Perbaikan yang dimaksudkan Christiaan Snouck Hurgronje pada nantinya
dituangkan dalam konsep pendidikan bagi calon “rohaniawan” Islam terutama
yang berkaitan dengan jabatan penghulu.
Baginya tidak ada alasan untuk meniadakan pengaruh para penghulu itu.
Karena jabatan penghulu memiliki pengaruh, bisa membantu keteraturan urusan,
pengaruh demikian sudah melekat sejak dahulu, dan keputusan segala pengaruh
penghulu masih ada di tangan bupati. Penjelasan ini mengandung maksud bahwa
adanya jabatan penghulu dalam suatu kondisi yang paling tidak diinginkan
sekalipun masih dapat dikendalikan dari tangan bupati.123 Karena semua lingkup
jabatan itu secara langsung masih berada di bawah koordinasi dengan pemerintah
pusat. Berbeda dengan penghulu masjid (yang dipercaya masyarakat Muslim)
yang dalam kerjanya tidak langsung dikontrol pemerintah jajahan Hindia Belanda.
Maka, yang terakhir ini perlu disingkirkan perlahan-lahan.
Kepada Direktur Kehakiman, Christiaan Snouck Hurgronje memperjelas
maksud pengangkatan penghulu di bawah kekuasaan pemerintah, sekaligus
upaya-upaya mempersiapkan calon penghulu. Dalam suratnya yang ditulis 19
122 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 829. 123 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 829.
126
Maret 1893 dari Weltevreden itu diterangkan persiapan pendidikan, terutama,
bagi calon penghulu pegawai pemerintah kolonial. Ada tiga persyaratan yang
harus dipenuhi; pertama, tamat dengan hasil baik dari sebuah kursus mengenai
kitab-kitab fiqih. Serta berpengalaman dengan bagian kitab membahas kewajiban-
kewajiban pokok agama atau rukun Islam, hukum keluarga dan hukum waris;
kedua, memiliki pengetahuan di luar agama untuk jabatan penghulu. Seperti
kewenangan dan tugas majelis ulama menurut undang-undang. Serta tahu tugas
penghulu juga sebagai penasihat pada pengadilan negeri. Juga tahu peraturan
Pemerintah Daerah dalam peresmian pernikahan atau penerimaan berita mengenai
perceraian yang harus ditaati; ketiga, mengenai perwatakan dan kedudukan dalam
masyarakat.124
Keberadaan pejabat penghulu di bawah kekuasaan pemerintah jajahan
Hindia Belanda dan digaji oleh pemerintah akan memudahkan pelaksanaan
kebijakan kolonial. Misalnya, dalam kasus penghulu kepala melakukan tidakan
yang tidak diinginkan pemerintah. Menurut surat Christiaan Snouck Hurgronje
dari Betawi (6 Desember 1894) kepada Sekretaris Umum bahwa penghulu-
penghulu yang tidak patuh dengan kepentingan kolonial akan dihapus secara
berangsur-angsur dengan alasan ada lowongan. “Sekurang-kurangnya,” tulisnya,
“di tempat para pejabat yang ada sekarang belum dapat dipensiunkan.”125 Atau
penggantian itu dilakukan dengan upaya lain seperti memperbesar biaya
pernikahan, perceraian, atau keputusan hukuman majelis ulama126 agar
124 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 837. 125 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 841. 126 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 841.
127
masyarakat merasa dirugikan. Demikian itu supaya kondisi masyarakat dan
tindak-tanduk pejabat penghulu masih dapat dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Tujuan demikian dapat pula diraih dengan usaha lain. Seperti yang
dilakukan di Masjid Lawang Kidul dengan cara pemerintah pusat mengangkat
penghulu yang tidak tahu apa-apa.127 Berikut ini menjaga kelanggengan maksud-
maksud kolonial dengan pengangkatan penghulu dengan kemudahan-kemudahan
yang diperoleh para penghulu. Terutama bagi penghulu kepala, kemudahan-
kemudahan yang sah dari jabatannya seperti tidak dibebani kewajiban
membelanjakan uangnya untuk kepentingan sosial. Berbeda dengan pegawai
Pemerintah Daerah dan polisi.128
Kebijakan-kebijakan yang mengenakkan penghulu pemerintah Hindia
Belanda itu dalam rangka menjadikan penghulu sebagai anak emas kolonial.
Tentu dengan maksud-maksud tersembunyi yang perlu kita ungkap sesuai kondisi
yang diharapkan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap adanya penghulu
yang digaji pemerintah. Sedangkan di lain sisi, ada penghulu masjid yang secara
perlahan-lahan dihilangkan perannya melalui operasi pemikiran Christiaan
Snouck Hurgronje dalam kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekali
lagi ditegaskan Christiaan Snouck Hurgronje, penghulu atau petugas pernikahan,
diberi wewenang melakukan pengawasan tertinggi atas peresmian kontrak
pernikahan dan atas pendaftaran perceraian yang terjadi karena talak. Barang pasti
wewenang tertinggi itu diberikan untuk kepentingan kolonial.
127 Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 844. 128 Tertanda di Betawi, 5 Januari 1905. Ibid., Nasehat… Jilid V, hlm. 846.
128
d. Mencegah Penerapan Sistem Kewarisan Islam
Satu hal lagi yang dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje—masih selaras
kerangka resepsi—yakni tidak diperlukannya penerapan hukum Islam dalam
sistem pembagian warisan yang terkait dengan masyarakat adat. Misalnya, pada
kasus pembagian warisan di masyarakat adat Minangkabau. Pemikiran gaya
orientalis menunjukkan bahwa hukum adat dan hukum Islam bertentangan dalam
menyelesaikan persoalan pembagian warisan. Sehingga persoalan warisan seperti
di Minangkabau tidak mungkin diselesaikan secara damai menggunakan hukum
adat dan hukum Islam.
Christiaan Snouck Hurgronje juga membela adat Minangkabau yang
mengajarkan anak-anak tidak mendapatkan warisan (tidak mewarisi) dari ayah.
Karena susunan keluarga Minangkabau yang matriarkat memosisikan perempuan
(garis ibu) sebagai pewaris. Christiaan Snouck Hurgronje menyebut yang
menentang pewarisan adat matriarkat Minangkabau (agar sesuai sistem kewarisan
Islam) dengan istilah ”para ahli hukum agama untuk merugikan hukum
adat…,”129 katanya. Pembelaan itu dilakukan dengan alasan mereka (yakni, orang
Minangkabau) sejak muda dan disepanjang pendidikannya sudah terbiasa dengan
sistem keluarga (matriarkat) yang melanggar hukum agama. Sehingga mereka
harus bersabar menghadapi hukum kewarisan Islam yang aturannya berkebalikan.
Ada suatu kekuatan rakyat, menurut Christiaan Snouck Hurgronje yang
dapat berfungsi menghambat pengaruh Islam dalam sistem keluarga Minangkabau
(matriarkat), yakni “konservatisme alami pada sebagian besar penduduk
129 C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya II, ibid., hlm. 252-253.
129
Minangkabau.”130 Konservatisme alami yang dia maksudkan tak lain ialah
masyarakat Minangkabau yang sangat fanatik dengan hukum kewarisan adat.
Perlawanan terhadap sistem kewarisan hukum Islam di Minangkabau juga bisa
digerakkan dari orang-orang pragmatis yang berkepentingan pribadi. Yakni,
“sementara orang, yang agaknya merasa akan dirugikan oleh adanya peralihan
dari hukum waris Pribumi kepada hukum waris Islam,” 131 tulisnya.
Christiaan Snouck Hurgronje memberikan klaim atas gerakan para
pejuang Islam yang akan menerapkan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat
adat dengan bahasa yang diplomatis dan tegas. Yakni, “bahwa di balik ‘anjuran’
dan ‘celaan’ itu biasanya terselubung usaha untuk menggantikan kekuasaan yang
ada dengan kekuasaan mereka sendiri,”132 ujarnya. Maksudnya, orang-orang
Islam yang gencar memperkenalkan sistem kewarisan Islam (patriarkat) pada
sistem keluarga matriarkat Minangkabau dituduh hanya berorientasi kekuasaan.
Yaitu, ingin merebut dan menguasai masyarakat Minangkabau dengan cara
menguasai sistem kewarisannya. ‘Celaan’ yang dimaksudkan di sini adalah
penunjukan kepada para penghulu, tumenggung, atau guru agama yang tak
berpendirian133 telah berada pada kekufuran. Karena mereka hanya mengikuti
sistem hukum kolonial (Kristen) untuk mengatur kehidupan keluarga Muslim.
Jadi dalam pandangan umumnya, para kolonialis termasuk Christiaan
Snouck Hurgronje (1857-1936) maupun Cornelis van Vollenhoven (1874-
130 Gobee, E. dan C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj.
Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid X, (Jakarta: INIS, 199 ), hlm. 1998.
131 Ibid., Nasehat… X, hlm. 1998. 132 Ibid., Nasehat… X, hlm.2082-2083. 133 Ibid., Nasehat… X, hlm. 2083.
130
1933)—pelanjut teori resepsi—menggambarkan situasi yang kontras dalam soal
penerapan hukum adat dan hukum Islam. Tidak hanya di Minangkabau, Aceh,
Sumatera Selatan, dan lainnya yang mengikuti sistem matriarkat, tidak mungkin
menerapkan hukum waris Islam (galur laki-laki) karena ada hukum waris adat
(galur perempuan) yang bertentangan dengan hukum waris Islam. Sehingga,
hukum waris Islam tidak bisa masuk (dipakai) dalam masyarakat matriarkat yang
disebut tadi. Sekali lagi, hukum Islam harus tunduk di bawah hukum adat.
e. Asas Monogami dalam Pernikahan
Poligami adalah masalah serius bagi kelancaran kepentingan kolonialisme
Belanda. Christiaan Snouck Hurgronje mengatakan “poligami, kelonggaran ikatan
perkawinan, penolakan beberapa hak wanita merupakan faktor-faktor yang paling
banyak menghambat hubungan masyarakat Islam dengan kebudayaan modern.”134
Karena untuk menjadi masyarakat modern, sebagaimana diidealkan Christiaan
Snouck Hurgronje, ketika orang-orangnya hidup secara monogami. Tidak seperti
gaya hidup umat Islam Hindia Belanda yang banyak mempraktekkan poligami.
Poligami dianggapnya sebagai penolakan (baca, perampasan) atas hak-hak wanita
dalam kehidupan rumah tangga yang seharusnya setara antara laki-laki (suami)
dan perempuan (istri).
Dikatakannya lagi bahwa poligami, kemudahan dalam perceraian, dan
posisi rendah istri dibanding suami, menyebabkan suatu tindakan sewenang-
wenang dalam urusan keluarga. Contoh-contoh demikian bagi Christiaan Snouck
134 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid., hlm. 197.
131
Hurgronje “menghambat perkembangan rumah tangga yang wajar”.135 Artinya,
poligami dan posisi yang tidak setara antara suami dan istri (di Jawa) baginya
merupakan susunan rumah tangga yang tidak sehat. Sehingga sewajarnya susunan
keluarga yang (berpoligami) demikian harus diubah sesuai dengan yang dia
rencanakan.
Akhirnya, pada 1937 dikeluarkan oleh pemerinah Hindia Belanda suatu
‘Ordonansi Mengenai Catatan Perkawinan’. Ordonansi ini mengusulkan tentang
penghapusan praktik poligami yang biasa dilakukan masyarakat Muslim Hindia
Belanda.136 Pernikahan yang diinginkan pemerintah Hindia Belanda melalui
ordonansi tadi sudah tentu yang monogami sebagimana alasan-alasan yang pernah
diutarkan Christiaan Snouck Hurgronje. Menurut Koningsveld, “Untuk di
kemudian hari sebagai buah pekerjaannya melihat kehidupan monogami di Jawa
sebagai hal wajar di dunia bumiputra dan melihat para bapak Jawa bekerja
sungguh-sungguh membangun kehidupan anak-anaknya”.137 Bisa diartikan,
kewajaran yang diimpikan dari kerja-kerja kolonilis itu ketika rakyat, Jawa
terutama, hanya mempraktekkan mogami atau sudah tidak ada lagi orang yang
berpoligami.
Kondisi Jawa yang demikian sangat mungkin karena, menurut keterangan
dari Suminto, itu disebabkan ordonansi ini hanya memberikan kesempatan kepada
seseorang untuk menikah di catatan sipil. Serta mewajibkan seseorang beristri
135 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2,
(Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924), terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 47.
136 Ratno Lukito, ibid., hlm. 37-38. 137 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 244.
132
hanya satu dengan menutup pintu bagi poligami.138 Maksudnya, pernikahan yang
harus dicatatkan di catatan sipil hanya boleh ketika dilakukan secara monogami.
Di sini memang ada upaya kolonial mengawasi pernikahan poligami yang coba
dicatatkan secara sah. Namun, ordonansi perkawinan yang dikeluarkan pada 1937
yang bercita-cita menghapus poligami penduduk bumiputra itu, “segera ditarik
kembali karena adanya oposisi yang sangat besar dari kaum Muslimin
Indonesia”.139 Kejadian ini menjadi satu titik awal kali ketika umat Muslim
Pribumi mampu menghentikan campur tangan Belanda.
Meskipun ordonansi yang menghendaki pernikahan monogami sempat
dicabut bukan berarti buah kekalahan bagi Christiaan Snouck Hurgronje. Karena
pernikahan di Indonesia modern—sesuai konsep Christiaan Snouck Hurgronje—
menerapkan asas manogami. Yakni, ada dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan di Indonesia. Kenyataan ini menandakan bahwa hukum kolonial yang
pernah dikonsep oleh Christiaan Snouck Hurgronje masih hidup dan dipakai
dalam tertib hukum perdata (perkawinan) Indonesia. Artinya, operasi kolonial
yang menghendaki asas pernikahan monogami dapat dikatakan menuai hasil.
138 H. Aqib Suminto, ibid., catatan kaki hlm. 31, (Lihat Perca Selatan, 15 Juni 1937; IPO, I,
1937, hal. 427). 139 Ratno Lukito, ibid., hlm. 37-38.
133
BAB IV
PERANGKAP KOLONIALISTIK
PEMIKIRAN CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA
A. CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE SANG PEMIKIR MODERNIS-
LIBERALIS-KOLONIALIS
a. Pengikut Setia Modernisme-Liberalisme Leiden
“Jalannya sejarah, pelanggaran hukum dan terciptanya hukum, terjadi dengan sendirinya, bahwa Kristen dan Islam harus hidup berdampingan dan usaha negara-negara hanya dapat diarahkan jika terjadi hubungan damai dengan kaum Muslim yang menjadi bawahannya, memungkinkan dan menjamin perkembangan damai di antara penduduk. Dan tujuan seperti ini hanya dapat tercapai atas dasar kompromi antara suara hati Negara Kristen dan hukum Islam.”1
Christiaan Snouck Hurgronje
Barat, Eropa, Belanda, dan utamanya Leiden, di masa itu berada pada era
tumbuh suburnya modernisme. Di Fakultas Teologi Universitas Leiden (1874),
Christiaan Snouck Hurgronje berkenalan dengan Abraham Keunen, C.P. Tieles,
dan L.W.E. Rauwenhoff. Ketiganya merupakan tokoh modernis Leiden yang
mempengaruhi pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje dalam memandang
1 Pernyataan itu tertanggal di Kutaraja (Aceh), Juli 1898. Terbit dalam Zeitschrift der
Deutschen Morgenlandischen Gesellschaft, Juli 53 (Leipzig, 1899) hlm. 125-167. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 130. [Huruf miring tebal dari Arief Musthofifin/ A.M.].
134
Islam.2 Selain itu, memang semenjak remaja Christiaan Snouck Hurgronje sudah
dipersiapkan untuk menjadi Pendeta Protestan. Islam bagi calon pendeta
merupakan materi khusus yang wajib dipelajari. Pendidikan khusus bagi calon
pendeta diorientasikan sebagai persiapan menghadapi musuh Kristen, yakni Islam,
semenjak Perang Salib. Inilah upaya balas dendam orang Kristen Eropa terhadap
Islam akibat kalah dalam Perang Salib yang diwujudkan dalam penyebaran
pendeta ke seluruh dunia. Di dunia Timur, para pendeta disertakan dalam program
imperialism dan kolonialisme, untuk menggerogoti Islam yang sedang tumbuh
subur. Metode dan bekal pengetahuan untuk melumpuhkan Islam selalu diajarkan
bagi para pendeta.3 Ada pernyataan menarik dari Christiaan Snouck Hurgronje
pada 1876 dikala dirinya menjadi mahasiswa: “kita harus membantu bangsa
Pribumi (penduduk negara jajahan) untuk beremansipasi dari Islam”.4 Semenjak
masih mahasiswa dia sudah memiliki pandangan sebagai orientalis dan pemikir
kolonial yang berhasrat menggempur wilayah Islam Pribumi di Nusantara.
Kembali ke modernisme-liberalisme Leiden sebagai salah satu akar
genealogis dari pemikiran kolonial Christiaan Snouck Hurgronje. Pada akhir abad
ke-16, Descartes (1596-1650)5 sudah menawarkan revolusi pemikiran yang benar-
benar luar biasa dampaknya sebagai biji pertama modernisme, yakni rasionalisme.
Modernisme Leiden, terutama di Fakultas Teologi Universitas Leiden,
mengukuhkan sendi-sendi kekuatannya pada rasionalisme. Di Leiden ini
2 Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam; Biografi C. Snouck Hurgronje,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12-13. 3 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 34. 4 Ibid., hlm. 35. 5 Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York:
Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325. Lihat Bab II.
135
Christiaan Snouck Hurgronje termasuk pengikut fanatik rasionalisme dari aliran
modernis Leiden yang menolak hal-hal irasional. Misalnya, trinitas6 dan posisi
Yesus sebagai anak Allah dalam ajaran Kristen (Katholik), ialah ajaran yang tidak
diterimanya.
Perlu diperhatikan dengan cara seksama terhadap bentukan modernisme-
liberalisme itu. Pertama, modernisme Leiden yang terwujud dalam rasionalisme
Christiaan Snouck Hurgronje telah membentuk pola pikir yang simplistis,
reduktif, berpihak, dan sangat ekstrim, serta liberal. Dapat ditunjukkan dalam
terbitan di Leiden pada E.J. Brill (1880) yang berisi pandangannya terhadap Nabi
Muhammad. “Akhirnya Nabi Muhammad memindahkan panggung kegiatannya;”
katanya, “jubah kenabiannya ditinggalkan di kota kelahirannya. Keadaan telah
mengalihkan perhatiannya semakin jauh dari peran kenabian ke peran politik yang
harus memperhitungkan urusan-urusan duniawi.”7 Pendapat ini sebagai upaya
untuk melemahkan sejarah perjuangan Nabi Muhammad. Dianggap Nabi
Muhammad sudah meniadakan sifat-sifat kenabian dan berbalik menjadi seorang
yang haus politik kekuasaan. Artinya, Nabi Muhammad sudah tidak sungguh-
sungguh lagi untuk meluaskan agamanya yang sejati. Telah berubah untuk
menjalankan peran-peran politiknya yang menghendaki ketaatan. Setelah delapan
tahun kemudian berhasil menaklukkan kota kelahirannya, Nabi Muhammad
6 Dalam suatu data menunjukkan bahwa konsep Trinitas yang dipercaya pengikut Kristen
berasal dari tradisi Pagan kuno. Konsep Trinitas ini diwakili oleh Semiramis dan anaknya (Pagan Babylonia), Devkan dan Khrisna (Pagan India), Isis dan Horus (Pagan Mesir), dan sebagainya. Dalam Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order, (Foxit PDF Reader, tanpa identitas).
7 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 4.
136
bertindak sebagai penentu hukum, dan ia mulai bekerja untuk mencabut agama
berhala sampai ke akar-akarnya.8
Rasionalisme Christiaan Snouck Hurgronje yang simplists dan reduktif
tadi berusaha menempatkan Islam pada penjara yang sangat sempit. Sebagaimana
tuduhannya terhadap Nabi Muhammad yang dianggap meninggalkan tugas
kenabian dalam urusan agama dan Tuhan lalu memilih urusan politik. Dalam
bahasa Christiaan Snouck Hurgronje adalah urusan-urusan duniawi. Berupa
penaklukan-penaklukan wilayah atau ekspansi politik yang dimulai dari
menguasai tanah kelahiran Nabi Muhammad. Pada kondisi ini Nabi Muhammad
dianggap tidak lagi menjalankan tugas-tugas kenabian dalam menyebarkan agama
secara sederhana. Rasioanlisme yang sangat sempit ini menempatkan Christiaan
Snouck Hurgronje pada jurang kebuntuan berpikir yang dalam. Dengan asumsi
yang sangat redutif bahwa Islam seharusnya hanya berurusan dengan Tuhan.
Tidak perlu—sebagimana dilakukan Nabi Muhammad—melakukan kerja-kerja
keduniawian apa lagi yang berkaitan dengan urusan politik. Dengan kata lain,
Islam (baca, masalah-masalah ketuhanan) dan politik (baca, masalah-masalah
keduniawiaan) dalam agama (Islam) di posisikan terpisah oleh Christiaan Snouck
Hurgronje. Atau keduanya tidak memiliki keterikatan dan kesalinghubungan
dalam praktik di lapangan. Pola pikir rasionalisme produk Leiden ini selanjutnya
dapat membuat konklusi bahwa Islam di jaman Nabi Muhammad telah
berselingkuh dengan politik atau perselingkuhan agama dan kekuasaan.
8 Op.cit.
137
Petunjuk ini memberikan pengertian bahwa tradisi ilmiah Leiden yang
modernis telah membentuk otak manusia menjadi sangat kerdil. Objek dipandang
dari satu sudut saja dan anehnya satu sudut itu yang dianggap paling benar.
Kegetolan Christiaan Snouck Hurgronje pada rasionalisme Leiden yang teramat
sangat sempit itu tidak menjadikan dirinya mampu melihat Islam sebagai
fenomena yang menyeluruh. Melainkan ditinjau dari sudut pandang yang patah-
patah. Padahal, dalam Islam tidak ada pemisahan yang tegas antara “urusan-
urusan keduniawian” dengan “urusan-urasan ketuhanan”. Maka, apa yang
dilakukan Nabi Muhammad dengan penaklukan kota-kota lain, misalnya Mekah,
tidak lepas dari posisinya yang sedang menjalankan fungsi-fungsi kenabian.
Karena dalam Islam terjadi hubungan sinergi antara “urusan-urusan keduniawian”
atau ‘politik’ dengan “urusan-urusan ketuhanan”. Keduanya bukan satu dan lain
hal yang terpisah. Wajar ketika menggunakan modernisme-rasionalisme produk
Leiden Christiaan Snouck Hurgronje terjebak pada pengambilan tuduhan bahwa
Nabi Muhammad telah meninggalkan jubah kenabiannya untuk “urusan-urusan
keduniawiaan” atau ‘politik’.
Masih dari sudut pandangnya yang rasionalis dilihatnya Islam hanya
sekadar kultus (pemujaan) terhadap Muhammad. Perkembangan para pengikut
Islam di berbagai lingkungan kehidupan diberi tuduhan sangat bodoh oleh
Christiaan Snouck Hurgronje. Dalam bahasa Christiaan Snouck Hurgronje
manusia warga dunia yang mengikuti (Islam, Muhammad) “lebih mirip dengan
petani kikuk9 yang masih muda,” katanya.10 Sedangkan setelah sepeninggal Nabi
9 Kikuk: canggung, janggal, baru sekali atau pemula alias amatiran.
138
Muhammad menurutnya pengikut Islam kembali ke zaman jahiliyah lagi. Bagi
Christiaan Snouck Hurgronje itu akibat Muhammad hanya memikirkan cara
menambah jumlah penganut. Oleh sebab itu, ketulusan imannya (Muhammad)
berkurang dan ajarannya (Islam) ditinggalkan pengikutnya.11
Contoh lain memperlihatkan pandangan modernisme Leiden dalam cara
pandang Christiaan Snouck Hurgronje terhadap Qur’an. Qur’an baginya berbeda
dengan undang-undang. Ayat-ayat hukum di dalam kitab itu hanya berisi asas-
asas umum. Sedangkan yang rinci hanya untuk yang terjadi selama Nabi hidup.
Maka, secara rasional, peristiwa yang tidak terjadi selama tahun-tahun kegiatan
Nabi tidak akan dirinci dalam al-Qur’an.12 Qur’an pada mulanya hanya sebagai
kitab hukum. “Namun,” kata Christiaan Snouck Hurgronje, “karena kehidupan
masyarakat baru itu segera menjadi sangat rumit, Quran segera dirasakan tidak
memadai”. “Wajar sekali jika ditambahkan berbagai ulasan yang dikemukakan
oleh Nabi,” imbuhnya. “Tampak bahwa Nabi bukan sekadar penafsir wahyu,
namun dalam hal-hal tertentu ia tidak ragu-ragu untuk melengkapinya,” demikian
uraian orientalis ini.13
10 Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje ini dimuat dalam Questions diplomatiques et
colonials, tahun ke-5, nomor 106, 15 Juli 1901 (Paris), hlm. 76-82, sebuah jawaban kepada surat Edmond Fazy, “Enquete sur l’avenir de l’Islam”. Surat seutuhnya dicetak pada hlm. 73-82 majalah tersebut di atas. Halaman-halaman pertama membicarakan Islam di Hindia Belanda dan dicetak ulang dalam Verspreide Geschriften, jilid IV. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924), terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 5.
11 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… X, ibid. hlm. 11. 12 Ditebitkan di Batavia, Desember 1896. Dimuat dalam Revue de l’Histoire des Religions,
tahun ke-19, nomor XXXVII (Paris, 1898) hlm. 1-22, 174-203. Terjemahan ke dalam bahasa Perancis oleh Tuan Van Gennep. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … IV, ibid., hlm. 52.
13 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 52.
139
b. Evolusi Sosial-Kebudayan: Teori Pemunahan Ras
Kedua, modernisme Leiden yang sedang diperankan Christiaan Snouck
Hurgronje sedang menggiring manusia untuk berevolusi. Evolusi yang dimaksud
sesuai teori evolusi Charles Darwin14 yang diterapkan pada binatang. Evolusi
yang sedang diterapkan Christiaan Snouck Hurgronje diujicobakan pada manusia.
Lalu dapat dikenal dengan evolusi sosial atau evolusi kebudayaan.15 Di mana
manusia-manusia di dunia ini dalam status derajat yang bertingkat. Barat
merupakan wujud peradaban manusia paling tinggi. Khususnya, dunia Timur,
adalah manusia-manusia rendahan dalam strata evolusi. Modernis dari Leiden
mau menjadikan dunia Timur lebih beradab dengan evolusi atau dimodernkan.
Dalam De Indische Gids VIII, I (Leiden, 1886), halaman 90-111 (4 Desember
1885), Christiaan Snouck Hurgronje mencontohkan evolusinya dalam ilmu
hukum dan ilmu pengetahuan agama. Dalam rangka persaingan evolusi
dinyatakan bahwa “ilmu pengetahuan agama tidak dapat lebih lama eksis dalam
penjelasan dan pembelaan dogma agama yang sebenarnya,” lanjutnya, “sebab
kebenaran juga bukan ada, tetapi menjadi; melihat dan menjelaskan sebab-sebab
evolusi agama.” 16 Pengaruh teori evolusi ini begitu kuat dan cepat menyebar
termasuk dalam persoalan penerapan ilmu pengetahuan agama dan karya ilmiah
para yuris. Evolusi dalam agama diterangkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje
14 Teori Darwin mangatakan leluhur manusia adalah hasil dari evolusi kera. Tidak sedikit
yang meragukan teori Darwin. Karena dia sebenarnya tidak berteori tetapi sedang menjelaskan mitos, tradisi, dan kepercayaan Pagan Kuno dengan legitimasinya sebagai ilmuan (milik penguasa). Sampai saat ini tidak terjadi evolusi lanjutan dari manusia untuk menjadi apa lagi?
15 Kebuntuan evolusi dari manusia menjadi apa lagi? sedang dijawab lewat evolusi sosial dan kebudayaan. Puncak evolusi ini adalah jenis manusia Barat (tepatnya, berkulit putih) dan superman (manusia super). Manusia yang tidak identik dengan orang Barat berarti belum selesai berevolusi, tidak berperadaban, dan lebih dekat dengan monyet (leluhur manusia).
16 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 3.
140
seperti dalam sejarah perkembangan dari bentuk yang paling sederhana dari
animisme dan fetisme (pemujaan benda yang dianggap sakti). Demikian pula ilmu
hukum baginya harus dimulai pada bangsa primitif dan diakhiri dengan bangsa
yang berbudaya.17
Untuk mendorong penganut Islam pada evolusi sosial18 diterapkan
kebijakan kebebasan dalam beragama dan mewaspadai gerakan politisnya.19
Dengan anggapan yang sangat rendah terhadap umat Islam bahwa evolusi yang
dimaksudkan adalah untuk suatu evolusi sosial yang lebih tinggi dibanding ajaran
agama. Evolusi ini didesain sepertinya terjadi secara alamiah sehingga tidak
mungkin dihambat (di bawah sadar). Christiaan Snouck Hurgronje sudah tahu jika
dorongan ke evolusi sosial mengandung resiko korban manusia. Namun, atas
pertimbangan sifat Pribumi yang begitu cinta damai memberi keyakinan jika
evolusi tidak akan menyimpang jauh dari skenario atau pengarahan.20 Cara yang
tepat untuk melakukan pengarahan dalam evolusi sosial adalah melalui kebijakan
hukum Islam. Demi menggapainya Christiaan Snouck Hurgronje sudah
mempersiapkan metode “histories”. Berbeda dengan Kohler yang hanya
menggunakan metode perbandingan. Memang dirinya sering kali lebih menyukai
17 Ibid., hlm. 3-4. 18 Dorongan terhadap penganut Islam untuk berevolusi, dalam artian, agar sesuai klasifikasi
dan standarisasi manusia Barat. Baik isi otaknya, jiwanya, sekaligus tampilan fisik tubuhnya. Di luar semuanya itu atau yang tidak mau mengikuti arah evolusi sosial dan kebudayaan akan dipunahkan (genosida). Yang telah berhasil (hampir) dipunahkan seperti masyarakat asli Benua Amerika (secara salah disebut) Indian (baca, orang India), suku Asli Benua Australia (Aborigin), dan orang kulit gelap (hitam) di Indonesia (Papua, dll.).
19 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … X, ibid., hlm. 57. 20 Ibid., hlm. 71.
141
berbicara “histories”, sedangkan Kohler mengatakan “membandingkan”. Metode
ini dipakainya secara bersungguh-sungguh sebagai lapangan pekerjaan.21
Ketiga, pencerahan Eropa22 dan modernisme di Leiden sudah sesumbar
sebagai yang lebih tinggi dari peradaban mana pun, terutama Timur. Sehingga
kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje di bumi Nusantara hendak mengajari
penduduk Pribumi agar maju. Meninggalkan keterbelakangan menuju kemajuan
yang disebut “modernisme”.23 Caranya lewat kebijakan kolonial dia mengangkat
tinggi-tinggi derajat mahasiswa Pribumi yang belajar di Eropa, seperti Universitas
Leiden, Delft, dan Amsterdam, sebagai yang lebih sederajat dengan orang Eropa.
Setidaknya jika dibandingkan orang Eropa yang petani dan nelayan.24 Pujian ini
untuk mencuri hati karena Pribumi yang berpendidikan Eropa selanjutnya akan
menerapkan pengetahuan Eropa di Hindia Belanda. Artinya, pelajar Pribumi yang
di Eropa pada kenyataannya justru sedang memperlancar maksud-maksud dari
kepentingan kolonial melalui pengetahuannya.
Maksud memodernkan ini pun pernah dilakukan di Turki modern setelah
keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmani pada 1818. Turki yang dibangun kembali
merupakan Turki modern. Sendi-sendi hukum negara yang dipakai adalah
Undang-Undang Dasar. Bangunan atas Tukri modern ini sebenarnya sedang ingin
21 Terbit dalam Rechtsgeleerd Magazijn, V Haarlem, 1886, hlm. 551-567. C. Snouck
Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 19 22 Renaisans puncak periode sejarah pada 1500. ‘Renaisans’ atau ‘renaissance’ (Perancis)
artinya ‘Lahir Kembali’; kelahiran kembali budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno. 23 Modernisme atau paham tentang kemajuan. Maksud kolonialnya, Barat lebih maju dan
Timur terbelakang. Maka, harus dimajukan (di-Baratkan). 24. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… X, ibid., hlm. 75.
142
menghilangkan fungsi khalifah dan meniadakan jihad.25 Dengan adanya Turki
modern, pasca runtuhnya, Turki memang dikonsep untuk memberi peluang yang
seluas-luasnya kepada negara-negara Kristen agar mendapat kemudahan proses
atau gerak di pemerintahan Turki.26 Nusantara yang dikuasai pemerintah kolonial
Belanda pun sedang ditarik ke arah modernisme sesuai pemikiran-pemikiran
Christiaan Snouck Hurgronje lewat urusan keluarga dan hukum Islam.
Sebagai sedikit penyeimbang, tidak semua yang berasal dari Christiaan
Snouck Hurgronje berbau kolonialisme dan ke luar dari disiplin akademik yang
dapat dipertanggungjawabkan. P.Sj. van Koningsveld mengakui bahwa karya
disertasi Christiaan Snouck Hurgronje sebagai karya seorang akademisi.
Misalnya, pandangan Christiaan Snouck Hurgronje tentang larangan terhadap
perempuan memasuki masjid. Diterangkannya bahwa perempuan “di zaman
Muhammad biasa ikut serta melakukan salat [di mesjid]”. Adapun kebiasaan
setelahnya berupa pelarangan perempuan memasuki masjid adalah “akibat makin
memburuknya kelakuan kaum wanita.” Maksudnya, perempuan seringkali hanya
akan mengalihkan perhatian kaum pria dari hal yang agung di dalam mesjid.27
Dalam pendapatnya yang demikian itu terlihat bagaimana Christiaan Snouck
Hurgronje sebagai akademisi sedang menempatkan fakta secara objektif. Juga
25 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian III, (Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923), terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VI, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 73.
26 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… VI, ibid., hlm. 73. 27 Tertanggal di Leiden, bulan Mei 1886. Diterbitkan dalam Bijdragen tot de Taal- Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Jilid ke-5, bagian I (Den Haag, 1886), hlm. 356-377. Bagian kedua diterbitkan terjemahan ringkasan dalam bahasa Perancis, dengan judul: Le voile des Musulmanes oleh H.M. d`Estrey, dalam Revue Scientifique, tahun ke-42, No. 2, 14 Juli 1886 (Paris) hlm. 50-53. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje II, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 116-117.
143
disertai pembelaan-pembelaan terhadap segala upaya deskriminasi perempuan
dalam memasuki tempat ibadah.
c. Modernisme-Liberalisme-Kolonialisme sebagai Proyek Penghancuran
Namun, pada kenyataannya modernisme dari Leiden yang telah dibawa
oleh Christiaan Snouck Hurgronje di Nusantara dalam wujud rasioanlisme
(hukum Islam, hukum Eropa, pendidikan, sistem Barat,), liberalisme, dan evolusi
sosial (Darwinisme) merupakan pengetahuan penghancur yang sangat berbahaya.
Terbukti dalam banyak kasus, negara-negara menganut sistem dan pengikut
prosedur kolonial murni sampai saat ini tetap pada lembah kehancuran. Sistem
Barat tidak bisa dipakai untuk menuju kebangkitan bangsa-bangsa yang pernah
dihancurkan oleh kolonialisme Barat. Janji-janji pengetahuan modern berupa
kebangkitan, kemajuan, dan kesejahteraan rakyat nyatanya tidak pernah terjadi.
Dapat dijadikan contoh, Turki pada 1818 mendapat gelar the sick man atau
laki-laki yang berpenyakitan. Sejak 1824 Turki mulai mengadopsi sistem Barat
dan menjadi Republik Turki. Sampai sekarang—Kekhalifahan Turki yang
berganti Republik Turki—tidak pernah maju, negaranya hancur, masyarakat tidak
sejahtera, dan tidak pernah menjadi juara dunia. Sangat berkebalikan ketika
Kekhalifahan Turki yang menjadi kampium dunia. Sama halnya Republik Turki,
Republik Indonesia juga menggunakan sistem Barat. Yakni, setelah kerajaan-
kerajaan Nusantara diruntuhkan oleh kolonialisme. Sejak merdeka pada 1945
digunakanlah sistem Barat, termasuk hukum Belanda. Nasib Indonesia sampai
sekarang sama dengan Turki. Indonesia betah menjadi negara terbelakang, tidak
144
bangkit, dan tetap setia dengan hukum kolonial. Berbeda sekali dengan Jepang
yang hancur di bom atom pada 1945. Sebagian besar penduduk Jepang tewas.
Namun, setelah genosida28 1945 Jepang mau hidup dengan budaya dan sistemnya
sendiri. Tidak memakai sistem Barat murni seperti Turki atau Indonesia. Terbukti,
Jepang yang memakai sistemnya sendiri (termasuk dalam hukum) sekarang
menjadi salah satu juara dunia yang bangkit. Betolak belakang dengan Indonesia
atau pendahulunya, Turki, sampai detik ini masih dalam lembah keterpurukan
dalam sistem modern Barat yang rasional, liberal, dan kolonialistik.
Maka, mega proyek kolonial yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje
dari genealogi modernisme-rasionalisme-liberalisme Leiden dalam wujud
pemikiran hukum Islam dan hukum keluarganya untuk penduduk Nusantara
adalah pengatahuan penghancur berbekuatan tinggi dan berdampak panjang. Yang
terbukti sampai sekarang bangsa Indonesia modern masih dalam kondisi
terbelakang dan ketinggalan jaman dalam menyelesaikan persoalan hukum di
dalam masyarakat. Penjelasan operasi pemikiran dan pengetahuan hukum yang
digalakkan Christiaan Snouck Hurgronje dalam urusan pemikiran perdata
kolonialistik di Hindia Belanda akan memberikan keterangan yang lebih nyata.
28 Genosida (genocide); pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan bangsa (ras dll.)
lewat pembunuhan fisik. Pada era sekarang yang sedang berjalan adalah genosida kebudayaan.
145
B. OPERASI DARI RENCANA LICIK CHRISTIAAN SNOUCK
HURGRONJE DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA
Christiaan Snouck Hurgronje, agen intelejen Belanda, sebelumnya paham
betul kondisi penduduk Nusantara. Diketahuinya bahwa sejak sebelum jatuh di
bawah penjajahan Belanda sudah banyak Pribumi yang berhaji. Malahan sudah
dalam hitungan abad di Mekah ada kelompok Pribumi Nusantara yang jumlahnya
terus bertambah. Baik Pribumi sebagai pelajar ilmu agama, lari dari kerja rodi,
dan sebagainya.29 Selain alasan itu juga karena Mekah dikenal sebagia pusat
gerakan Islam, terutama Pan-Islam yang berbahaya bagi eksistensi dunia Barat.
Pasalnya di sana orang membicarakan urusan agama dan politik. Oleh karena itu,
“Demi mengamati unsur utama dari kehidupan Mekah itulah, maka saya hidup di
kota itu selama beberapa bulan sebagai orang Mekah sejati,” kata Abdul Ghaffar,
nama lain Christiaan Snouck Hurgronje sejak di Mekah.30 Kondisi penduduk
Nusantara di Mekah yang menjalin suatu masyarakat tersendiri dan lain
sebagainya dijadikan bahan-bahan awal untuk operasi pengetahuan Christiaan
Snouck Hurgronje dalam hukum Islam dan hukum keluarga di Hindia Belanda.
Untuk bidang hukum, “Snouck menganjurkan agar pemerintah sedapat mungkin
membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam.”31
29 Dimuat di Nieuwe Rotterdamsche Courant tertanggal 24 dan 25 November 1915. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… VI, ibid., hlm. 108.
30 Ditulis di Batavia, April 1900, diterbitkan dalam Revue de l’Histoire des Religions, tahun ke-22, jilid XLVI (Paris, 1901), hlm. 262-281. C. Snouck Hurgronje, ibid., hlm. 15-16.
31 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 45.
146
a. Teori Resepsi Guna Melumpuhkan Hukum Islam
Untuk menindaklanjuti gagasan pembatasan peran Islam dalam hukum
Christiaan Snouck Hurgronje mewujudkannya dalam konsep teori batas. Konsep
ini kemudian dikenal dengan theorie reseptie. Yakni, “hukum Islam baru diakui
eksistensinya atau kekuatan hukumnya bila sudah diterima oleh masyarakat
Indonesia atau bila sudah menjadi hukum adat.” Konsep ini dipakainya untuk
membunuh pertumbuhan hukum Islam dan menjaga kelangsungan hidup hukum
adat. Dengan gigih dia mendukung pelaksanaannya agar hukum Islam bisa
dikondisikan menyesuaikan dengan adat-istiadat. Baginya hanya ada hukum
perkawinan dan keluarga yang dijalankan masyarakat Hindia Belanda32 dengan
baik. Sedangkan hukum Islam lainnya tidak sepenuhnya berjalan. Dari
dukungannya terhadap hukum keluarga dia mendapatkan simpati dari masyarakat
Islam yang telah melaksanakan hukum keluarga dan perkawinan. Bekal
kepercayaan rakyat ini segara dia tindak lanjuti.
Suatu teori tidak akan diakui kebenarannya dan mendapat dukungan tanpa
pembuktian dalam kenyataan. Christiaan Snouck Hurgronje melakukan usaha-
usaha untuk membuktikan bahwa teori resepsi tepat guna. Yakni, “Islam juga
jangan dibiarkan dapat mengalahkan adat”. Dengan alasan, Islam tidak mampu
membangktikan dinamika peradaban modern walau bisa mengubah adat. Islam di
Nusantara juga masih berwatak India33 dan sisa-sisa kemunduran abat
pertengahan. Watak India ini karena Islam berasal dari negeri asalnya, yakni India
32 Op.cit. 33 Christiaan Snouck Hurgronje merupakan teoritikus yang mengatakan bahwa kedatangan
(penyebaran) Islam di Nusantara berasal dari India (Gujarat).
147
Muka,34 yang telah menyelaraskan dengan Hindu campuran (Jawa dan
Sumatera).35 Peradaban Islam juga dipandang sebagi bentuk degenerasi dari
peradaban Barat-Kristen.36 Atas alasan-alasan ini yang diterapkan dalam
kebijakan kolonial maka teori resepsi untuk mengunggulkan hukum adat di atas
hukum Islam semakin kukuh. Adat pun perlu terus dijaga dan dilindungi dalam
maksud kolonial. Misalnya, perlindungan terhadap pranata-pranta rakyat yang
lama. Dengan menyadari resiko besar ketika memperjuangkan dan membela adat
yang setengah mati atau tidak kukuh lagi. Dalam kondisi-kondisi yang tepat
Christiaan Snouck Hurgronje merencana mengarahkan arus adat itu ke palung
yang diinginkan37 kolonial. Jadi, rencana panjang pembelaaan teori resepsi
terhadap adat dalam rangka mematikan adat itu sendiri. Hukum adat yang sudah
dapat dibina lalu dijerumuskan ke dalam palung atau jurang yang dalam agar tidak
bangkit lagi. Artinya, rakyat Pribumi sedang ingin dipermainankannya, jika perlu
dikebiri dengan mempermainkan hukum adat.
Dukungan terhadap hukum adat yang sangat tinggi ini sejalan dengan
pemikiran selanjutnya untuk kesatuan hukum bagi semua penduduk. Kesatuan
yang hanya tercapai bila keadaan masyarakat Pribumi sudah matang.38 Ditambah
kesiapan sarana pemerintah yang cukup untuk menyamakan pemberlakuan hukum
34 Christiaan Snouck Hurgronje menamai negeri India sebagai India Muka. Sedangkan Hindia
Belanda (Indonesia) adalah India Belakang (Timur); penamaan yang kolonialistik. 35 Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1973), hlm.13 36 Ibid., hlm. 46-47. 37 Teridentifikasi dari Kutaraja, 26 November 1891, Kepada Yang Terhormat Sekretaris
Pertama Pemerintah. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, (Jakarta: INIS, 1990), hlm. 24. Palung merupakan dasar terdalam dari cekungan di dasar lautan atau samudera.
38 Yang sudah matang sesuai standar kolonial ialah Pribumi yang menyamai (mimicry) orang Eropa; pendidikan, mental, sikap, dan pengetahuannya.
148
bagi setiap orang.39 Penyiapan kondisi masyarakat yang siap ini tentu saja dengan
upaya westernisasi Pribumi melalui pendidikan-pendidikan Eropa (Surjomiharjo:
2000).40 Lewat ahli-ahli hukum didikan Eropa memungkinkan hukum adat
dikodifikasi sesuai kebutuhan kolonial. Mengapa demikian? Christiaan Snouck
Hurgronje, sang arsitek urusan perdata kolonialistik untuk Hindia Belanda,
mengerti betul bahwa “adat tersebut akan kehilangan wataknya karena kodifikasi
itu,” katanya.41 Cara ini sangat melancarkan kepentingan kolonial apalagi hukum
adat dapat diubah-ubah dengan cara musyawarah. Ahli-ahli hukum didikan Eropa
dipakai sebagai alat secara terus-menerus untuk menghilangkan kendala kolonial
dan melunakkan akibat yang tidak diinginkan kolonial dari hukum adat.
Pongkondisian hukum adat supaya di bawah kendali kolonial dalam
rangka mengalahkan hukum Islam ini telah dipersiapkan secara matang. Hukum
adat yang ada di bawah kendali Eropa akan disempurnakan sesuai keinginan
Eropa dengan masyarakat sebagai sasaran. Karena terkendali, penyempurnaan
hukum adat agar sesuai keingian kolonial dapat diselesaikan cepat tanpa pelibatan
banyak sarjana hukum dan tanpa menyita banyak waktu.42 Selanjutnya kata
Christiaan Snouck Hurgronje, “Jika hukum adat seperti itu dikodifikasi, hukum
tersebut akan dimusnahkan.”43 Di sini secara sengaja dia ingin memusnahkan
pengaruh hukum adat dari kehidupan masyarakat Nusantara sekaligus
39 Dari Betawi, 19 April 1904 untuk Yang Mulia Gubernur Jenderal. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid V, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 716.
40 Pada 1832, saat kali pertama sekolah modern Barat di buka di Yogyakarta. 41 Tertanda Weltevreden, 18 April 1893, Kepada Direktur Kehakiman. E. Gobee, C.
Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 746. 42 Dari Bandung, 26 September 1903, untuk Yang Mulia Gubernur Jenderal. Ibid., Jilid V,
hlm. 761. 43 Ibid., Jilid V, hlm. 761.
149
menghilangkan pengaruh hukum Islam. Kesemuanya akan diganti dengan
pengaruh hukum-hukum Eropa dari Belanda dalam rangka menjajah secara
sistemik dalam tata hukum formal (kodifikasi).
Ratno Lukito dalam Islamic Law and Adat Encounter memberi analisis
menarik untuk pergulatan hukum adat dan hukum Islam. Ratno, penulis sempat
beberapa kali berkomunikasi dengannya, beralasan bahwa kolonialisme Belanda
menggunakan standar ganda. Dalam bahasa Ratno Lukito (lahir 1968)44 adalah
“kebijaksanaan dualisme”. Yaitu, “mempertahankan hukum-hukum adat dengan
jalan mengalahkan hukum Islam,” terangnya.45 Hukum adat dan hukum Islam
memang secara sengaja dipertentangkan atau dimusuhkan untuk saling
mengalahkan. Yang seperti ini oleh Ratno Lukito disebut “pendekatan konflik”.
Dalam pertentangan ini sengaja dipilih terutama dalam tema hukum keluarga,
seperti perkawinan, karena Christiaan Snouck Hurgronje sadar betul pentingnya
urusan perdata bagi masyarakat Nusantara. Bahwa hukum keluarga Islam bagi
masyarakat berlanjut tumbuh dan punya peran yang sangat penting bagi
kehidupan orang-orang Islam Indonesia.46 Dengan bahasa lain, persoalan
keperdataan atau keluarga, bagi Pribumi memiliki pengaruh bagi tindakan-
tindakan manusianya pada urusan publik. Sehingga paling tepat untuk
mengendalikan masyarakat jajahan di Hindia Belanda bukan melalui jalur umum
(publik). Namun, dengan mengendalikan pusat gerak masyarakatnya, dalam
wujud urusan keluarga.
44 Ratno Lukito ialah Staf Pengajar di Fakultas Syari’ah UIN Yogyakarta. 45 Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, terj. Ratno
Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 28. 46 Ratno Lukito, ibid., hlm. 30.
150
Selain itu, dengan pendekatan konflik, teori resepsi sedang memecah belah
penduduk prbumi untuk diadu domba. Yaitu, membagi lebih dahulu secara
ekstrim antara penduduk penganut hukum adat agar fanatik dengan penganut
hukum Islam agar pula fanatik. Contohnya adalah Perang Padri di Sumatera
(1821-1823) antara Kaum Muda (Young Generation) dan Kaum Tua (Old
Generation). Dalam perang yang terjadi selama paro pertama abad kesembilan
belas di Minangkabau itu Belanda mendukung Kaum Tua atau kaum adat. Lalu
memusuhi Kaum Muda yang sedang memperjuangkan peran hukum Islam.47
Penerapan terori resepsi yang diperjuangkan Christiaan Snouck Hurgronje
memang mengupayakan sistem hukum untuk mengukuhkan posisi kolonial.
Sistem hukum dalam teori resepsi itu dalam rangka memisahkan dua kekuatan
sistem hukum yang mungkin bersatu; hukum adat dan hukum Islam. Hubungan
dialogis, dialektik, atau bahkan persatuan hukum adat dan hukum Islam pada
penduduk Nusantara merupakan penghalang yang susah dipatahkan kolonialisme
jika benar hal itu terlaksana dengan baik.
b. Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan
Sebelumnya telah diutarakan sekilas arti pentingnya suatu keluarga bagi
kelangsungan aktivitas publik penduduk Nusantara. Christiaan Snouck Hurgronje
secara pasti tahu benar bahwa segala unsur pergerakan rakyat untuk menentang
kolonial Belanda berasal dari suatu centrum, yakni keluarga. Untuk menarik
perhatian dan dukungan maka dia mengeluarkan statemen dalam persoalan
47 Ibid., hlm. 45.
151
keluarga ini bahwa hukum Islam hanya benar diterapkan dalam urusan keluarga.
Seperti dalam perkawinan. Sedangkan dalam urusan selain keluarga, hukum Islam
tidak diterapkan sebagimana mestinya. Kelanjutan dari dukungan ini adalah pada
hari-hari berikutnya dia justru sangat mengurusi aturan-aturan atau hukum-hukum
adat dan hukum Islam yang berkaitan dengan urusan keperdataan (keluarga).
Nampaknya, dia ingin menguasai dalam persoalan keperdataan ini dengan cara
menebar simpati lebih dahulu. Kemudian kepercayaan yang sudah dia bangun
ditindaklanjuti dengan upaya pengawasan. Pengawasan pada centrum dan titik
paling kecil dan paling menentukan, yang tak lain perkawinan, umumnya urusan
keperdataan.
Usaha-usaha yang sangat serius dilakukan olehnya untuk mengendalikan
situasi ini menggunakan sistem dan aturan perkawinan di bawah kendalinya.
Yakni, segala yang terjadi atas perkawinan di wilayah daerah penjajahan Belanda,
Hindia Belanda, harus diawasi. Dia tidak ingin kecolongan sedikit pun atas yang
terjadi dalam keluarga atau perkawinan Pribumi yang sangat menentukan
pergerakan rakyat jajahan. Tugas paling utama untuk pengawasan gerak-gerik
rakyat jajahan dengan cara pengawasan perkawinan itu diberikan kepada para
kadi, penghulu, atau naib. Satu jabatan membawahi wilayahnya masing-masing
untuk urusan perkawinan. Kadi dilimpahi pengawasan tertinggi atas pelaksanaan
pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Tugas ini juga berlaku
bagi penghulu namun dengan wilayah pengawasan yang berbeda. Penghulu
152
melakukan pengawasan pernikahan di masjid-masjid agung. Sedangkan
kekuasaan naib mengawasi personalia di masjid-masjid kawekdanan.48
Dalam menguatkan fungsi pengawasan atas pernikahan, kadi, penghulu,
dan naib tidak hanya datang atau berada di lapangan. Melainkan, ada prosedur
formal kolonial dalam pernikahan yang harus dipatuhi oleh pasangan-pasangan
yang hendak melangsungkan pernikahan. Yakni, pencatatan pernikahan.
Pernikahan-pernikahan yang sah menurut pemerintah Hindia Belanda adalah
pernikahan yang dicatat oleh pengawas pernikahan, seperti kadi, penghulu, dan
naib. Di luar itu pernikahan tidak diakui negara. Mengingat pentingnya arti
pernikahan bagi Pribumi, maka oleh Christiaan Snouck Hurgronje, pemerintah
menetapkan biaya paling tinggi untuk pernikahan dan pencatatan perceraian
dibanding urusan lainnya.49 Karena mau tidak mau penduduk jajahan dipastikan
menginginkan perkawinan yang sah menurut pemerintah. Sebagaimana keharusan
pencatatan pernikahan untuk dianggap sah yang ada dalam Undang-Undang
Perkawinan RI nomor 1 tahun 1974.50 Karena kronologi pembentukan aturan
yang terakhir ini tidak terlepas dari warisan aturan Belanda pula.
Di eranya Christiaan Snouck Hurgronje sangat menghendaki perncatatan
pernikahan agar pemerintah bisa mengawasi gerakan rakyat yang bersumber
agama, terutama Islam. Rakyat biasa yang tidak begitu kuat dalam pengetahuan
agama takut jika pernikahan tidak dilangsungkan di bawah pencatatan. Karena
48 E. Gobee, C. Adriaanse, ibid., Jilid V, hlm. 703. 49 Tertanggal di Batavia, 24 Februari 1890. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften
(Gesammelte Schriften), (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Soedarso Soekarno, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 94-95.
50 Depag. RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999),
153
jika tidak dicatat pernikahan tidak akan dianggap sah. Imbasnya hal-hal yang
berkaitan dalam pernikahan selanjutnya juga tidak sah. Padahal, tidak menjadi
masalah ketika pernikahan tidak dilangsungkan di bawah pengawasan dan
perncatatan pegawai kolonial laiknya kadi, penghulu, dan naib. Pernikahan yang
terakhir ini tetap sah asal memenuhi syarat dan rukun pernikahan dalam Islam.
Maka, pada era-era ini sangat marak isu yang disebut nikah siri. Suatu pernikahan
yang sah dalam prosedur fiqih hanya saja tidak di bawah pengawasan dan
pengesahan pemerintah jajahan Hindia Belanda. Karena pernikahan-pernikahan
sesuai hukum Islam dan tidak di bawah pengawasan penjajah (selanjutnya nikah
siri) merupakan bentuk perlawanan. Perlawanan rakyat terjajah terhadap
keberadaan kolonial Belanda di bumi Nusantara. Sekaligus sebagai bentuk harga
diri bangsa51 yang bisa menyelenggarakan sistem dan aturannya sendiri atas
kepercayaan rakyat tanpa dibayang-bayangani sistem Barat yang kafir52 itu.
Padahal, pengawasan pernikahan baik melalui pencatatan pernikahan
(baca, agar pernikahan tidak siri) atau pengawasan, pada masa itu dipakai untuk
memilah dan memetakan kondisi penduduk jajahan Belanda. Sehingga akan
terbelah dan terkondisikan mana-mana penduduk yang serius melawan segala
bentuk penjajahan dan mana yang rakyat biasa yang bisa dikendalikan.
Identifikasi penduduk jajahan dengan cara pengawasan pernikahan atau
perncatatan pernikahan ini sangat manjur. Selain membelah dan memetakan
51 Harga diri ini dalam postkolonialisme ialah bagaimana subyek—subaltern dalam istilah
Gramsci—menuliskan dirinya sendiri dan menentukan nasibnya sendiri. Bukan menjadi obyeknya kolonialisme yang tidak bisa menyusun peradabannya sendiri sehingga Barat memaksa ikut turut campur.
52 Kafir di sini bukan dalam pengertian yang diperkecil bagi sebutan di luar agama Islam. Namun, sebutan untuk yang tidak menghendaki kemerdekaan, penjajah dan tidak memberi keselamtan (islam).
154
situasi rakyat jajahan juga menggerogoti kekuatan perlawanan rakyat. Secara
tidak langsung rakyat sedang dirasuki sistem modern dan rasional yang di impor
dari Leiden oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Sendi-sendi perlawanan ”tak
sadar” yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk pernikahan mandiri (baca, siri)
lambat tapi pasti terkikis dan rusak. Lalu animo pernikahan merdeka (baca, siri)
diputarbalikkan dengan tuduhan-tuduhan buruk. Seperti, ketiadaan tanggung
jawab suami terhadap istrinya.53 Kondisi menjadi sangat terbalik dari rakyat yang
tadinya ”tak sengaja” melawan penjajahan dengan pernikahan merdeka. Sekarang
berubah menjadi rakyat yang ”tak sengaja” melawan perjuangan bangsanya
sendiri dengan mendukung pengawasan pernikahan oleh pemerintah penjajah
Belanda. Ironis dan tragis.
Tak tahunya pengawasan dan pencataan perkawinan merupakan penetrasi
hukum Eropa terhadap hukum Islam. Umat Islam sangat menentang penetrasi
hukum sekuler dari pemerintah kolonial. Semua partai serta organisasi Islam turut
menentang rencana pemerintah memperkenalkan nikah tercatat pada 1930-an.
Saat 1938 pemerintah juga sempat berencana memindah wewenang mengatur
waris dari Peradilan Agama ke Pengadilan Negeri serta merencanakan mendirikan
Mahkamah Islam Tinggi dan perencanaan pencatatan perkawinan, umat Islam
menentang usaha-usaha tersebut dengan keras. Pijper54 menggambarkan
53 Kita mengenal kontrol sosial atau moral dalam pelaksanaan hukum. Melalui positifikasi dan
formalisasi hukum aspek kontrol sosial dan moral ditiadakan. Dalam perspektif ini, nikah siri merupakan tindakan kejahatan karena negara tidak bisa mengontrol, dan si pelaku (laki-laki) disebut orang tak bertanggung jawab. Tuduhan ini diperkuat dengan contoh dan alasan yang kadang dibuat-buat.
54 Lengkapnya Prof. Dr. G.G. Pijper, lahir pada 1893, peneliti bahasa pada KvIz (1925-1931), wakil AvIz (1932-1937), dan AvIz (1937-1942).
155
kemarahan ini sebagai “bukti kekuatan Islam”55 yang tersinggung karena urusan
paling pribadi (keluarganya) dicampuri orang lain.
Penentangan ini atas ukuran jangka panjang dari pengawasan pernikahan
oleh dinas-dinas pemerintah jajahan adalah untuk dibuat sekat-sekat atau sel-sel
pemisah di dalam penduduk Pribumi. Agar tidak terjadi suatu pernikahan antara
Pribumi dengan etnis keturunan. Misalnya, pernikahan Pribumi dengan anak
keturunan Cina (Tionghoa), akad yang berusaha ditiadakan dengan aturan-aturan
kolonial. Caranya seperti pembagian penduduk dengan penggolongan bertingkat;
Eropa, Asing Timur, dan Pribumi. Di mana pengkotak-kontakan penduduk yang
sesuai dengan pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje adalah berikut; Pertama,
pertimbangan geografis untuk memasukkan Turki agar satu golongan dengan
Belanda. Kedua, atas dasar agama agar Cina dan Pribumi yang sudah masuk
Kristen bisa dalam satu golongan. Ketiga, pembagian bersifat hukum seperti
pembagian dalam hukum keluarga. Keempat, sifat politis untuk kemungkinan
memasukkan Jepang dalam golongan Eropa sesuai hukum keluarga mereka.56
Selanjutnya, rencana-rencana yang disebut penyamaan hukum bagi setiap
penduduk Nusantara hanya kamuflase. Padahal, tidak sedikit penduduk yang
pragmatis terutama Cina, ingin beralih agama menjadi Kristen agar sebagai
manusia memiliki kedudukan setara dengan bangsa Eropa. Demikian pun tidak
akan memberi banyak perubahan bagi yang pindah agama Kristen. Christiaan
Snouck Hurgronje sendiri mengakui bahwa ada suatu ganjalan di mata hukum
Eropa bagi perkawinan-perkawinan Pribumi. Seperti pernikahan-pernikahan
55 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 73-74. 56 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat… Jilid V, ibid., hlm. 725.
156
Pribumi dengan Eropa atau Indo-Eropa yang dianggap membentuk keluarga tidak
sah menurut hukum Eropa. Selain tidak sah menurut hukum Eropa jenis
pernikahan demikian berlanjut dengan pelanggaran pencatatan sipil dalam
kelahiran atau pun kematian. Christiaan Snouck Hurgronje sering mengingatkan
akan keteledoran para pegawai catatan sipil terhadap penyimpangan-
penyimpangan dalam perkawinan57 karena tidak sesuai aturan kolonial yang
diingininya. Sehingga ketidakpastian dalam hukum Eropa dalam perkawinan
memberi peluang kepada warga Cina untuk bergabung dengan Islam Pribumi.
Karena dengan menjadi Islam lebih memberi kebebasan dalam bergerak dan
bekerja. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan bagi kepentingan kolonial. Maka,
dengan cara yang tepat perlu dibuat aturan agar tidak terjadi pernikahan Cina dan
Pribumi sesuai aturan hukum Islam dan hukum adat yang hidup dalam
masyarakat. Segalanya perlu dikendalikan dan dikontrol supaya konsolidasi
rakyat terjajah dari beragam jalur pernikahan tidak pernah terjadi58 untuk waktu
yang tak terbatas.
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Agen untuk Urusan Keluarga Koloni
Pengawasan dalam perkawinan baik melalui prosedur pencatatan sipil atau
diketahui pegawai pemerintah yang berwenang ditindaklanjuti dengan cara
pengangkatan penghulu. Bagi Christiaan Snouck Hurgronje: ‘Pengangkatan
penghulu sebenarnya untuk menempatkan penghulu pemerintah Hindia Belanda
57 Ibid., Jilid V, hlm. 735. 58 Op.cit.
157
di masjid-masjid untuk mengawasi gerak-gerik umat Islam dari kas masjid yang
dibelanjakan. Tidak hanya untuk tahu penyelewengan penggunaan.’
Dapat diambil suatu pemahaman bahwa pengangkatan penghulu oleh
pemerintah jajahan Hindia Belanda untuk mengetahui gerak-gerik umat Islam
lewat pembelanjaan kas masjid. Bukan hanya sekadar tugas formal untuk tahu
penyelewengan penggunaan kas yang dilakukan pengelola masjid.59 Karena untuk
tujuan suci hal yang terakhir ini jarang sekali terjadi. Namun Christiaan Snouck
Hurgronje memakai para penghulu ini sebagai agen pemerintah kolonial untuk
mengawas pergerakan masyarakat Muslim. Di mana kas-kas masjid itu salah
satunya diperoleh dari penyelenggaraan pernikahan-pernikahan oleh penghulu di
masjid-masjid yang ditarik dengan harga tinggi dibandingkan penyelenggaraan
urusan lain.
Pengangkatan dan penugasan khusus penghulu ini dilakukan lewat jalur
khusus sebagaimana yang dikemukakan Christiaan Snouck Hurgronje. Pertama,
perlu diteliti dalam pemilihan penghulu terutama untuk urusan penduduk paling
pribadi. Urusan paling pribadi di sini tak lain menyangkut masalah keluarga,
perkawinan, perceraian, kewarisan. Kedua, penghulu yang diangkat diharuskan
serius meneliti pembukuan kas masjid termasuk meneliti pemberian masyarakat.
Karena cara seperti ini tidak mungkin dianggap campur tangan kolonial. Ketiga,
penghulu juga sebagai pelaksana peraturan khusus pernikahan, perceraian, dan
keputusan majelis ulama.60 Dari pengangkatan penghulu atau penghulu yang
59 Penyelewengan dalam maksud kolonial yaitu saat kas masjid dipakai biaya umat Islam
untuk berjihad melawan kolonialisme Belanda. 60 Dari tempatnya Betawi, 4 Maret 1893. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C.
Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
158
ditugaskan pemerintah kolonial ke masjid-masjid menjadikan gerak-gerik
masyarakat lebih terkendali. Setidak-tidaknya apa yang hendak dilakukan
masyarakat untuk menentang pemerintah kolonial sudah diketahui sejak dini.
Persoalannya yang kerap terjadi di dalam masyarakat pada hal perkawinan
bukan hanya perkawinan semata-mata. Melainkan ada upaya-upaya menyatukan
kekuatan pemberontakan terhadap penjajah melalui jalur pertalian kekeluargaan.
Sehingga konsolidasi kekuatan pemberontakan umat Islam terhadap Belanda tidak
begitu kelihatan atau tersamar. Pada masa-masa sebelum Christiaan Snouck
Hurronje yang demikian itu tidak menjadi sorotan kolonial. Atau pemerintah
jajahan sering kali melupakan terhadap tindakan-tindakan rakyat terjajah yang
tidak mematuhi hukum tentang pencatatan sipil yang tidak diindahkan penduduk.
Kelalaian terhadap pencatatan dan pengawasan perkawinan rakyat jajahan itu
justru dijadikan angin segar untuk pergerakan rakyat. Sebagai wahana
memperkuat iman dan menyatukan barisan atas nama fanatisme Islam yang
dipupuk lewat jalur pernikahan dalam Islam. Kelanjutannya, tidak sedikit terjadi
pernikahan bukan hanya sesama Pribumi saja, tapi juga pernikahan dengan
keturunan Cina maupun Arab. Jalur ikatan kekeluargaan atau perkawinan ini
dipilih karena jika gerak-gerak pergerakan penduduk jajahan dilakukan lewat jalur
sistem formal (kekuasaan) maka dipastikan akan kalah.
Mempertimbangkan arti pentingkan perkawinan dalam Islam Pribumi dan
fungsi penghulu yang sangat penting, maka bagi Christiaan Snouck Hurgronje,
tidak ada alasan meniadakan fungsi dan pengaruh penghulu. Karena pada jabatan
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VII, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 1339.
159
ini melekat pengaruh yang akan memperlancar urusan pemerintah kolonial kepada
penduduk jajahan. Selain itu, penghulu ini masih dikendalikan di bawah kuasa
bupati.61 Hanya demi kepentingan kolonial ini kadang-kadang tidak menjadi soal
ketika yang diangkat pemerintah pusat sebagai penghulu adalah orang yang tidak
tahu apa-apa62 atau kurang kapabilitasnya. Karena penghulu yang bodoh lebih
mudah dikendalikan pemerintah. Apalagi ketika penghulu diberi kemudahan-
kemudahan oleh pemerintah kolonial.63 Seperti, ketiadaan kewajiban bagi
penghulu untuk membelanjakan uangnya untuk kepentingan sosial. Berbeda
dengan pegawai Pemerintah Daerah dan polisi.64
Penghulu hasil didikan kolonial atau yang dikehendaki penjajah mendapat
tugas pula untuk menelisik secara langsung gerak-gerik masyarakat Islam. Tidak
hanya melalui pengawasan dan pencatatan pernikahan. Penghulu-penghulu
terpercaya dipasang di titik-titik strategis kekuatan Islam. Misalnya, untuk
mengetahui kehendak rakyat Muslim di Banten. Para penghulu ini dipasang
sebagai penghubung kiai-kiai tertemuka di Banten.65 Christiaan Snouck Hurgronje
memossisikan Banten bagi Jawa laiknya Aceh bagi Sumatera. Terbukti sejak lama
telah ada komunitas Banten di Mekah yang berhaji. Itu pertanda bahwa Banten
sangat kuat penagruhnya bagi Jawa.66 Oleh karena itu penghulu-penghulu yang
diangkat pemerintah jajahan bertugas menyelidiki situasi dan pola gerak
61 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 829. 62 Ibid., Jilid V, hlm. 844. 63 Surat tertanggal Betawi, 5 Januari 1905 untuk Direktur Kehakiman. 64 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 846. 65 E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi,
Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VIII, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 1412.
66 Dari Betawi, 26 Maret 1890. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid VIII, ibid., hlm. 1411-1412.
160
masyarakat Muslim Banten dalam menghadapi penjajahan Belanda. Penugasan
para penghulu ini menjadi mudah tanpa kecurigaan rakyat yang berlebihan. Di
mana penghulu dalam menjalankan tugas-tugas kolonialnya dengan cara
mengadakan, mencatat, atau berada (untuk mengawasi) jalannya suatu pernikahan
Islam lebih tidak dicurigai. Suatu peristiwa hukum yang sejak awal dikatakan
Christiaan Snouck Hurgronje tidak menyimpang dari hukum Islam. Wajar jika
petugas kolonial (penghulu) mendapat kelancaran jalan untuk tugas-tugasnya
karena sedemikian penting perannya.
Malahan tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Syeikh Ahmad Rifa’i di
Kendal-Batang-Pekalongan, Jawa Tengah, dituduh menyimpang dari ajaran-
ajaran Islam. Kita tahu, bahwa tokoh agama pada kala itu tidak hanya sebagai
guru mengaji, juga kadang sebagai penghulu dalam perkawinan. Syeikh Ahmad
Rifa’i yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam ini, menurut Christiaan
Snouck Hurgronje, perlu disingkirkan. “Saya bahkan menganggap, tindakan
pengasingan terhadap orang seperti Ripangi hanyalah tepat,” katanya.67
Pengasingan terhadap Syeikh Ahmad Rifa’i atau Ripangi dilakukan karena
dianggap membahayakan ketenteraman. Karena Ripangi buta dan tuli terhadap
peringatan pemerintah. Tuduhan-tuduhan kolonial terhadap Ripangi ini karena
melawan penjajah Belanda dengan caranya yang tidak mengindahkan aturan
hukum kolonial. Maka, bagi Syeikh Ahmad Rifa’i, orang-orang Pribumi yang
67 Betawi, 26 Mei 1896 Kepada Direktur Kehakiman. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke
Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 2084-2085.
161
menjadi penghulu, tumenggung, dan guru agama yang mengikuti kata penjajah
disebut sebagai orang Pribumi yang tersesat.68
Peran-peran agamawan yang tidak mau di bawah kendali kolonial seperti
Syeikh Ahmad Rifa’i ini dipandang oleh Belanda membahayakan ketertiban.
Christiaan Snuock Hurgronje memutarbalikkan kegiatan Syeikh Ahmad Rifa’i ini
sebagai perlawanan terhadap semua adat Pribumi. Serta alasan Syeikh Ahmad
Rifa’i tidak menghormati dan tidak mengakui kekuasaan konkret kolonial
Belanda yang menjadi sejarah. “Oleh karena itu penyebarluasan tulisan-tulisan
Ahmad Ripangi harus di berantas,” katanya.69 Dari alasan kekuasaan kongkret
‘telah menjadi sejarah’ Christiaan Snouck Hurgronje sedang menjadikan
pemerintah jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah sejarah (baca, adat). Di mana
adat istiadat merupaka hukum yang harus ditaati oleh seluruh penduduk jajahan
Belanda. Kita tahu pula bahwa dia, Christiaan Snouck Hurgronje, adalah orang
yang sangat getol terhadap perjuangan hukum adat untuk menghabisi hukum
Islam. Sehingga seringkali gerak-gerak ulama’ atau masyarakat Muslim yang
menentang Belanda disamakan dengan penentangan terhadap adat alias
penentangan terhadap bangsanya sendiri. Christiaan Snouck Hurgronje sungguh
seorang arsitek dalam urusan perdata kolonialistik di Hindia Belanda yang pintar,
cerdik, licik, dan, berwibawa.
Dari agen-agennya, yakni penghulu, kadi, maupun naib, yang selalu
memberikan laporan gerak-gerak Muslim Pribumi, Christiaan Snouck Hurgronje
mampu menentukan target-target operasi selanjutnya. Syeikh Ahmad Rifa’i salah
68 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid X, ibid., hlm. 2083. 69 Ibid., Jilid X, hlm. 2088.
162
satunya. Muhammad Jahid dan Syeikh Abadul Jalil dapat dijadikan contoh
lainnya. Yang disebut terakhir tadi cukup fenomenal. Menurut informasi mata-
matanya, Christiaan Snouck Hurgronje mendapat keterangan bahwa Syeikh Abdul
Jalil (Syeikh Siti Jenar)70 berdakwah dan meramalkan tentang terjadinya revolusi
di Jawa yang tidak lama lagi. Kemudian rencana-rencana untuk meng-Islamkan
orang-orang Belanda. Sedangkan orang Belanda yang membangkang akan di usir
dari Jawa.71 Gerakan-gerakan tokoh Islam seperti mereka sungguh mengancam
kelangsungan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Tetapi, lewat agen-agen
atau mata-mata yang dimiliki, laiknya penghulu, Christiaan Snouck Hurgronje
dapat lebih awal mengantisipasi. Bahkan menyusun rencana-rencana tandingan
guna mematahkan dan menumbangkan pejuang-pejuang kemerdekaan atas
Belanda. Yaitu, dengan cara memutarbalikkan fakta bahwa para pejuang
kemerdekaan yang Muslim ini diklaim sebagai penjahat, pembawa ajaran sesat,
mengusik ketenteraman dan ketertiban, atau memberontak terhadap pemerintah
nagara jajahan Hindia Belanda yang sah. Pengusiran, pengasingan, penjara, atau
pembunuhan adalah hukuman yang mudah dijatuhkan oleh pemerintah jajahan
Hindia Belanda untuk mereka.
70 Revolusi Jawa sebagaimana diramalkan Syeikh Siti Jenar dapat dilihat dalam Agus
Sunyoto, Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syeikh Siti Jenar, Jilid 1-7, (Yogyakarta: LKiS, 2003-2005).
71 Ibid., Jilid X, hlm. 2122.
163
d. Khayalan Ilmuwan Barat: Hukum Waris Adat (Matriarkat) dan Hukum
Waris Islam (Patriarkat) Tidak Mungkin Berdamai !
Christiaan Snouck Hurgronje merupakan pengikut rasionalisme dan
liberalisme Leiden yang kuat. Meskipun pada masa remaja dia sempat terhanyut
dalam paham Khayal dan Kenyataan (Dichtung und Warheit)-nya Goethe.72
Sekarang pun dia nampaknya telah kembali kepada paham khayal yang pernah
ditinggalkannya. Khayalan sang ilmuwan Barat itu adalah soal ketidakmungkinan
sistem hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat) untuk
berdamai. Contohnya pernah terjadi pada masyarakat Minangkabau. Sehingga
dianggapnya tidak ada jalan lain sebagai alternatif penyelesaian persoalan warisan
kecuali menggunakan hukum waris adat. Artinya, hukum waris Islam tidak bisa
dipergunakan bersanding dengan hukum waris adat.
Kekesalannya terhadap gencarnya perjuangan ajaran Islam untuk memakai
hukum waris Islam yang menentang kolonialisme, dituduh oleh Christiaan Snouck
Hurgronje, sebagai ‘celaan’ untuk merebut kekuasaan73 oleh golongan Islam dari
kaum adat Minangkabau. Staatsblad No. 116 Tahun 1937 dapat dijadikan bukti
upayanya untuk mencegah pengaruh sistem kewarisan Islam. Dalam peraturan ini,
jurisdiksi masalah kewarisan yang semula ada di Pengadilan Agama (PA)
dipindah ke Pengadilan Umum (PU). Yakni, “di mana perkara-perkara yang
muncul tidak dipecahkan menurut hukum Islam tetapi menurut adat”. Sedangkan
jurisdiksi PA dibatasi hanya dalam dua masalah; perkawinan dan perceraian.
Staatsblad No. 116 Tahun 1937 merupakan upaya kolonial merebut supremasi
72 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 31. 73 Lihat Bab III.
164
kewarisan; di sini hukum adat lebih unggul daripada hukum Islam.74 Segala daya
dan upaya telah dikerahkan Christiaan Snouck Hurgronje maupun pemerintah
Hindia Belanda sebagai pembenar bahwa hanya hukum adat yang semestinya
dipakai untuk menyelesaikan persolan warisan di Minangkabau. Bukan hukum
Islam. Sekaligus untuk membenarkan pemikirannya tentang hukum waris adat dan
hukum waris Islam yang tidak mungkin didamaikan.
Namun segala daya upaya untuk membuktikan bahwa ‘hukum waris adat
dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai’ telah sia-sia belaka. Dengan
kata lain, mitos ‘hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin
berdamai’ hanyalah khayalan yang dibangun ilmuwan Barat. Sekali lagi,
Christiaan Snouck Hurgronje tua sudah terjebak pada paham khayalnya Goethe,
sebagaimana masa mudanya sebelum bertemu kaum modernis Lieden. Khayalan
sang ilmuwan Barat ini telah berakhir sia-sia. Ternyata, justru dengan tanpa
adanya campur tangan kolonial, masyarakat lebih mampu mendamaikan hukum
waris adat dan hukum waris Islam. Subaltern yang sering dicap bodoh dan tak
berpendidikan ini membuktikan diri lebih unggul dalam menyelesaikan masalah
dibanding kolonialis seperti Dr. Christiaan Snouck Hurgronje.
Contohnya di Minangkabau. Pernah disepakati antara ninik mamak dan
alim ulama di Bukit Marapalam (dalam Perang Padri, abad ke-19) tentang
rumusan; adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Quran). Rumusan
yang cerdas ini kemudian dikukuhkan kembali dalam rapat antara ninik, mamak,
imam khatib, cerdik-pandai, manti-dubalang Minangkabau di Bukittinggi pada
74 Ratno Lukito, ibid., hlm. 37.
165
1952. Sebagai bukti bahwa hukum waris adat dan hukum waris Islam dapat
berdamai ditegaskan pula dalam pertemuan-pertemuan lain. Misalnya, penegasan
kembali dalam seminar hukum Adat Minangkabau di Padang (Juli 1968).
Kesimpulan penting dapat diambil dalam rapat dan seminar tentang kewarisan itu;
pertama, kewarisan harta pusaka tinggi diperbolehkan turun-menurun dari nenek
moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat; kedua, harta pencaharian
(disebut juga pusaka rendah) diwariskan menurut syara’ (hukum Islam).
Jadi, sejak 1952, jika ada perselisihan soal harta pusaka tinggi diselesaikan
dengan pedoman hukum adat. Lalu, penyelesaian masalah harta pencaharian
berlaku hukum faraa’id (hukum kewarisan Islam). Perdamaian antara hukum
waris adat dan hukum waris Islam ini disuarakan kembali dalam seminar hukum
adat Minangkabau pada 1968. Di sana juga diserukan kepada seluruh hakim di
Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan kesepakatan tersebut. Dengan
demikian, hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat)
sudah berdamai di bawah keputusan rakyat Minangkabau tanpa campur tangan
kolonial yang kotor dan licik.
Apalagi ungkapan yang paling pas untuk para pengkhayal Barat yang
kukuh bahwa hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai,
laiknya Christiaan Snouck Hurgronje dan sahabatnya Cornelis van Vollenhoven,
kecuali mereka sedang membuat mitos baru dalam dunia hukum perdata. Sungguh
tindakan akademisi Barat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di
pengadilan altar akademik. Benar kiranya yang dikatakan Hazairin75 tentang
75 Hazahirin dalam Hukum Kekeluargaan Nasional.
166
segala yang dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje untuk membenarkan pikiran-
pikirannya; bahwa bangunan teori resepsi yang dikonsep Dr. Christiaan Snouck
Hurgronje adalah teori iblis.
Pemikiran yang dikonstruksi Abdul Ghaffar—nama Islam Christiaan
Snouck Hurgronje—tak lain justru untuk membuat orang Islam sendiri tidak
melaksanakan hukum Islam. Bagaimana mungkin orang yang medeklarasikan diri
sebagai Mulsim di hadapan para ulama Mekah malah berbalik menentang
penyebarang Islam di Hindia Belanda? Kecuali jika tindakan itu hanya dilakukan
oleh Muslim gadungan yang telah melakukan pelacuran intelektual hanya demi
kelancaran penjajahan Belanda (Kristen) di Nusantara. Jan Just Witkam dalam
naskah Orientalist menyebutkan bahwa Christiaan Snouck Hurgronje memang
“not a religious man.” Yang ada padanya “little personal religious feeling”.76
Orientalist ini sekaligus membuktikan bahwa kehebatan Christiaan Snouck
Hurgronje dalam ilmu teologi, penguasaannya atas Bahasa Arab, dan bekal ajaran
Islam yang cukup mendalam tidak otomatis menjadikan dirinya sebagai pemeluk
‘Islam’ yang taat. Terakhir tadi jika bukan untuk penyamaran belaka.
Jadi, yang dilakukan intelektual kolonialis Christiaan Snouck Hurgronje
dalam hukum kewarisan, telah sesuai dengan konsep operasi pemikirannya.
Yakni, “menaklukkan Islam di Indonesia berarti membebaskan pemeluknya dari
pembatasan sempit sistem Islam” kata Christiaan Snouck Hurgronje “La Politique
Musulmane de la Hollande”, dalam Verspreide Geschriften, IV, I, hlm. 204.
76 Jan Just Witkam, Christiaan Snouck Hurgronje: a tour d’horizon of his life and work, dalam
Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007), hlm. 15.
167
Penyempitan pengaruh hukum Islam ini akan dilanjutkannya dengan menjadikan
orang Indonesia bersatu dalam budaya77 dan sistem hukum penjajah Belanda.
e. Asas Monogami: Kepanjangan Tangan Kolonial
Dalam UU RI No. 1 tahun 197478 tentang Perkawinan terkandung asas
pernikahan adalah monogami. Asas ini sebagaimana yang pernah direncanakan
Christiaan Snouck Hurgronje yang menghendaki pernikahan monogami dan
menghapus poligami. Sebagaimana cita-citanya yang ingin melihat masyarakat
Indonesia, terutama Jawa, menjalani hidup wajar dengan monogami. (Artinya,
poligami tidak wajar). Menghilangkan kesewenang-wenangan antara suami dan
istri akibat posisinya yang tidak setara. Menjadikan kehidupan keluarga yang
sehat dengan monogami. Monogami ini, sekaligus, baginya mendukung arah
modernisasi di Indonesia. Asas monogami ini juga selaras dengan Ordonansi
Mengenai Pencatatan Pernikahan pada 1937 yang merencanakan pernikahan
monogami dan dicatat.79
Artinya, asas monogami dalam pernikahan di Indonesia (UU No. 1/ 1974)
merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kolonialisme. Jika Christiaan
Snouck Hurgronje masih berusia panjang hingga saat ini pasti dirinya akan
berbangga buah pikirannya dipakai dalam hukum Indonesia. Asas monogami
sebagai kepanjangan tangan kolonial tidak hanya berhenti pada kesamaan ide
Christiaan Snouck Hurgronje maupun cita-cita dalam ordonansi pernikahan pada
77 Suminto, ibid., catatan kaki hlm. 38, dari Harry J. Benda, “Continuity and Cange in Southeast Asia”, op.cit., hlm. 89.
78 Lihat Depag. RI, Bahan Penyuluhan Hukum, ibid. atau Drs. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003).
79 Lihat Bab III.
168
1937. Ada hal-hal yang lebih penting ikut mendasari asas monogami ini. Pertama,
ide pernikahan harus monogami merupakan upaya kolonial ikut campur tangan
dalam persolan ibadah atau agama murni. Padahal, Christiaan Snouck Hurgronje
dalam nasehatnya menyatakan, bahwa dalam hukum yang murni agama
pemerintah hendaknya netral.80 Poligami merupakan hukum yang murni agama.
Hukum Islam tidak menutup kemungkinan suatu pernikahan poligami.
Polemik antara pendukung poligami dan yang mengharamkan poligami dalam
hukum Islam tidak mengerucutkan poligami dalam satu hukum, haram misalnya.
Artinya, poligami merupakan masalah hukum yang debatable (tidak satu hukum).
Pernikahan harus monogami seperti diinginkan Christiaan Snouck Hurgronje ialah
bentuk reduksi atas hukum Islam. Kekayaan khazanah hukum Islam benar-benar
dikerdilkan olehnya hanya untuk mendukung cita-cita kolonialisme.
Kedua, agar Muslim Hindia Belanda menjadi pelaksana amaliyah orang
(Kristen) Eropa yang hanya boleh menikahi seorang perempuan (memiliki satu
istri). Karena kolonialisme tidak hanya untuk kepentingan kekayaan (gold) yang
ada di Nusantara. Meskipun tujuan meng-Kristen-kan seluruh penduduk jajahan
tidak tercapai setidaknya ajaran-ajaran Kristen diamalkan masyarakat Muslim
Hindia Belanda. Dengan begitu, secara nonformal, Muslim Indonesia ialah sangat
Kristen (baca, mimicry) dalam ajarannya. Sekaligus pengikut tertib hukum
keluarga yang juga Kristen (Eropa). Sehingga ‘tidak ada bedanya’ antara Muslim
80 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2,
(Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 200. Bandingkan Latiful Khuluq, ibid., hlm. 2.
169
dan Kristen karena kedua-duanya sama pelaksana ajaran sekaligus kepentingan
Kristen (Eropa).
Ketiga, pernikahan monogami, seperti ini disebutkan Christiaan Snouck
Hurgronje akan mendorong Indonesia, ke arah dunia modern81 (kemajuan). Asas
monogami sedang ingin memajukan Muslim Pribumi yang ‘terbelakang’ agar
lebih dekat (seperti) kehidupan modern (Eropa) yang ‘lebih maju’. Di sini, umat
Islam Pribumi, benar-benar sedang dikebiri oleh Abdul Ghaffar atau Christiaan
Snouck Hurgronje sebagai manusia ‘terbelakang’. ‘Terbelakang’ dalam maksud
kolonialisme adalah lebih mirip dengan moyangnya (kera). Asas monogami
berupaya menjadi Muslim yang mirip kera bodoh ini semakin maju dengan
mengikuti konsep keluarga Eropa yang keseluruhannya hanya monogami. Satu
orang pun dilarang (haram) berpoligami (kira-kira) dengan alasan apapun.
Keempat, alasan kebudayaan akan pula menjelaskan kepentingan di balik
asas monogami. Para ulama Nahdlatul Ulama pernah memberikan pendapatnya
dari sisi budaya ini. Yakni, Eropa dan Indonesia memiliki budaya yang berbeda
dan masyarakatnya juga disusun atas sistem yang berbeda. Keliru jika Indonesia
kemudian disamaratakan dengan Eropa bahwa segala bentuk pernikahan harus
monogami. Dalam Berita Nahdlatoel Oelama No. 16, 1 Juli 1937, diterangkan
suatu akibat laki-laki dilarangan beristri lebih dari satu orang perempuan. Hal ini
dicontohkan di Eropa, masyarakat yang anti poligami, memunculkan budaya baru.
Yaitu, laki-laki biasa memiliki perempuan lagi dengan cara yang tidak benar atau
81 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid., hlm. 197.
170
pergundikan. Bahkan, muncul perkumpulan-perkumpulan hotel (hotel-societeit)
yang melegalkan pergundikan.82
Praktik pergundikan seperti itu pula sepertinya yang telah dilakukan
Christiaan Snouck Hurgronje dengan menikahi secara Islam perempuan Pribumi:
Sangkana dan Sadijah. Bagaimana tidak? Terbukti setelah pernikahan-pernikahan
dalam Islam dengan dua perempuan Pribumi tadi, Christiaan Snouck Hurgronje
pada 1906 kembali ke Belanda, lalu dia menikahi Ida Maria pada 1910. Ida Maria
merupakan putri Dr. A.J. Oort pensiunan pendeta liberal di Zutphen. Hubungan
pernikahan dengan Ida Maria tetap terjalin sampai Christiaan Snouck Hurgronje
meninggal dunia (26 Juni 1936)83 di Leiden.84 Sedangkan anak-anaknya dari
mengawini perempuan Pribumi dilarang ke Belanda (meskipun untuk belajar)
sekaligus tidak boleh memakai ‘Snouck Hurgronje’ pada tiap-tiap namanya. Fakta
ini merupakan bentuk Christiaan Snouck Hurgronje tidak mengakui anak-anak
Indonesianya.85
Hukum perkawinan Indonesia memang tidak mengharamkan poligami.
Bagi laki-laki, masih diberi kesempatan punya istri lebih dari seorang perempuan
jelita. Namun, asas monogami tidak bisa mengingkari dari sejarah kolonialnya.
82 Lihat Penolakan Kiai NU terhadap RUU Anti Poligami Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda (tanpa identitas). 83 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 124. Lihat pula Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula,
Cet. II, (Jakata: Lentera Dipantara, 2003), hlm. 97-98. Dalam catatan kaki nomor 11. 84 Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-
1936) Orientalist, ibid., hlm. 11. 85 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 227-228.
171
C. PENGARUH KONSEP KOLONIALISTIK CHRISTIAAN SNOUCK
HURGRONJE DALAM KENYATAAN HUKUM DI INDONESIA
a. Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Tempat Sampah Dunia
Hindia Belanda bahkan tidak memiliki pusat ilmu pengetahuan Islam, hanya hidup dari sisa hidangan internasional …86
Christiaan Snouck Hurgronje
Demikian itu pernyataan tegas Christiaan Snouck Hurgronje yang
diterbitkan dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde oleh
Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII, di Batavia
pada 1900, di halaman 393-427. Pernyataan Christiaan Snouck Hurgronje tersebut
sedang membuka cakrawala pikir kita bahwa sesungguhnya diakui oleh sang
arsitek hukum kolonial bahwa Nusantara merupakan sampahnya peradaban dunia.
Yang hidup dengan cara menyantap sisa-sisa dari jamuan internasional. Jamuan
yang dimaksudkan di sini adalah keilmuan, pengetahuan, hukum, maupun
keadaban. Kondisi seperti ini pun tercermin sampai saat ini setelah Hindia
Belanda merdeka dan menjadi Republik Indonesia modern. Kemerdekaan yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak merubah status Indonesia sebagai
tempat sampahnya dunia. Sumber lain menyebutkan kemerdekaan itu pada 27
86 Tertanggal : Batavia, April 1900 Terbit dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde Diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII (Batavia, 1900) halaman 393-427. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, (Jakarta: INIS, 1923), hlm. 174. [Huruf miring tebal dari A.M]
172
Desember 1949.87 Bahkan pada orde reformasi ini pun status sebagai sampahnya
dunia belum pindah tangan dari Indonesia.
Adapun Christiaan Snouck Hurgronje merupakan distributor ulung yang
berhasil menyebarkan sampah-sampah Barat, khususnya Leiden, ke tertib
kehidupan masyarakat Nusantara. Tidak hanya menyebarkan, lebih lagi,
Christiaan Snouck Hurgronje adalah aktor yang berhasil pada skala tertentu
menjadikan bangsa Indonesia mau tetap menyantap sisa-sisa dari hidangan
internasional yang dibawanya dari Leiden. Tidak terkecuali sampah-sampah
hidangan internasional via Belanda itu menyentuh pada kenyataan hukum di
Indonesia. Misalnya dalam proses pembentukan hukum perdata di Indonesia yang
seolah tidak sanggup tanpa merujuk (tepatnya, menjiplak atau mimikry) dalam
istilah Franz Fanon atau Homi K. Bhabha88— konsep-konsepnya dari Belanda.
Dalam proses pembentukannya, hukum perdata (misalnya, pencatatan
pernikahan) di Indonesia banyak terpengaruh warisan pemikiran dan hukum
kolonial Belanda. Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon) merupakan asal
mula Hukum Perdata Belanda. Code Napoleon89 disusun berdasarkan hukum
Romawi atau Corpus Juris Civilis (waktu itu dianggap hukum paling sempurna).
Saat Perancis menguasai Belanda (1806-1813), hukum perdata dan dagang
diberlakukan di Belanda.90 Berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri
87 Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), ibid., hlm. 31. 88 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 452. 89 Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu
lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang).
90 Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional
173
Belanda, baru pada 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Sipil) atau KUHS Negeri Belanda91 (selesai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan
tanggal 1 Februari 1830).92 Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, KUHPdt.
Belanda ini diusahakan supaya berlaku di Hindia Belanda. Yakni, dengan
membentuk B.W. Hindia Belanda (isinya serupa dengan BW Belanda). Tokoh
Belanda yang memperkokoh B.W. Hindia Belanda adalah Mr. C.J. Scholten van
Oud Haarlem93 dan Mr. C.C. Hagemann,94 ditambah Mr. A.A. Van Vloten dan
Mr. Meyer.95 Lalu dibentuk panitia baru; Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem96
dan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes.97 Panitia ini yang berhasil
mengkodifikasi KUHPdt Indonesia yang banyak dijiwai KUHPdt. Belanda
(diumumkan 30 April 1847 di Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948).
(berlaku asas konkordansi). Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis.
91 Berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr.J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Sebelum selesai Kemper meninggal dunia (1924) dan usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan Nicolai, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia (pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara). Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama : 1.Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda) – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt. 2.Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.
92 Tetapi, pada Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda (kerajaan Belgia) sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanakan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof. Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
93 Ketua panitia kodifikasi. 94 Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk
turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.
95 Masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. 96 Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem. 97 Anggota.
174
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945,98
KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku dipakai di Indonesia. BW
Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang-Undang Hukun Perdata Indonesia99
(induknya hukum perdata Indonesia).100
Jadi pada kenyataan hukum ini, terutama perdata, Indonesia benar-benar
penerima sampah-sampah hukum dari perdaban Barat. Di mana Indonesia modern
mewarisi konsep-konsep hukum dari negara jajahan Hindia Belanda, Hindia
Belanda mendapatkannya dari Belanda, dan Belanda sisa dari Perancis. Mata
rantai ini menunjukkan bila Indonesia modern menjadi pihak ke empat yang
memakai konsep hukum yang merupakan sisa-sisa dari Perancis. Sungguh suatu
kondisi hukum yang sangat terperosok ketika Indonesia modern hingga saat ini
memakai warisan hukum dari koloni jajahan Hindia Belanda yang mana Hindia
Belanda mewarisi dari Kerajaan Belanda (koloni jajahannya Perancis).
Dengan diberi dan menikmati sampah-sampah hukum dari Perancis-
Belanda-Hindia Belanda ini yang disebut Christiaan Snouck Hurgronje dalam
rangka memajukan (baca, memodernkan) Indonesia. Sebagaimana juga telah
dijadikan tujuan utamanya untuk menjadikan Indonesia, khususnya Jawa,
berpindah ke dunia modern. Tata hukum Indonesia modern bukan yang sesuai
98 “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.” 99 Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi
seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata Barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
100 Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam Evy Lestari, Pengaruh Kolonialisme Belanda terhadap Keharusan Nikah Seagama dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,” (Skripsi F.S. IAIN Semarang: tidak diterbitkan, 2009), hlm. 108-109.
175
terori resepsi yang diperjuangkannya agar kehidupan diatur dengan hukum adat.
Bukan pula lagi Indonesia yang diatur dengan hukum Islam. Karena memang
Islam sedari awal merupakan sasaran utama yang harus dihancurkan melalui
hukum adat, modernisme, rasionalisme, liberalisme, evolusi sosial dan hukum,
sampai formasilasi (penerapan) hukum Eropa untuk wilayah jajahan di Hindia
Belanda (sekarang, Indonesia modern). Caranya, sedapat mungkin menjauhkan
dan membebaskan (liberalization) orang-orang Indonesia dari ajaran Islam untuk
menganut ajaran Belanda-Kristen agar Indonesia berada pada orbit pembaratan
(wearwenization).101
Tentu yang pertama di tarik ke orbit pembaratan adalah orang-orang yang
tidak kental ajaran agamanya. Paling mudah misalnya melalui pengawasan atau
pencatatan pernikahan oleh penghulu, naib, yang ditugaskan oleh pemerintah
jajahan. Sehingga dengan sendirinya orang-orang Indonesia belajar dengan
konsep modern yang kolonialistik dengan target panjangnya sebagai mitra
kolonialisme. Malahan yang paling mudah untuk dikendalikan sebagai marsose
penyelenggara aturan-aturan dari Belanda ialah kaum ningrat dan kepala adat
yang jauh dari pengaruh dan sistem hukum Islam. Christiaan Snouck Hurgronje
mewujudkan rencana menjadikan Hindia Belanda (kemudian, Indonesia) sebagai
tempat sampah hukum ini dengan mengusahakan anak dari keluarga terkemuka
Hindia Belanda belajar dengan sistem pendidikan Barat. Nama-nama seperti
Ahmad Djajadiningrat, putra ningrat Banten, dan Wiranatakusumah, regent
Cianjur terakhir, merupakan anak didik Christiaan Snouck Hurgronje. Orang
101 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 47-48.
176
Eropa laiknya Abendanon, Engeleberg, van Lith, dan Hardeman kemudian ikut
menapaki langkah orientalis dari Leiden itu.102
Beberapa organisasi seperti Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond
(1916), Christelijke Ethische Partij (1918), dan Politiek Economische Bond
(1919) juga terlibat untuk mempereratkan hubungan Belanda dengan Hindia
Belanda (asosiasi).103 Pribumi sebagaimana Ahmad Djajadiningrat dan Sujono
turut rela menjadi antek Belanda untuk kelancaran tujuan kolonial laiknya
organisasi modern tadi.104 Selanjutnya bagi Indonesia, akibat tidak diakuinya
hukum Islam oleh Christiaan Snouck Hurgronje yang lebih ‘mendukung’ hukum
adat, adalah terhentinya mata rantai Islamisasi di Nusantara.105
b. Gagal Menghasilan Sistem Hukum yang Merdeka
Sebaliknya, yang hidup dan dilestarikan dalam sistem hukum dan tata
pemerintahan Indonesia modern justru hukum warisan dari Eropa, Belanda. Hal
ini membuktikan bahwa Pribumi didikan Barat atau Eropa benar-benar sudah
menjadi manusia modern. Tentu modern dalam pengertian Barat yang gemar
mengunggul-unggulkan hukum positif peninggalan kolonialisme Belanda. Sekian
banyaknya guru besar ilmu hukum sekaligus dengan segala disiplin yang
digelutinya tidak pernah menghasilkan sistem hukum merdeka yang sesuai dan
102 Ibid., hlm. 47. J. Hardeman (1885-1962) pernah menjadi pegawai Amerika Serikat (1904-
1909), lalu Pegawai Departemen Pendidikan dan Agama (1926-1929) semasa Gubernu Jenderal De Graeff.
103 Asosiasi hendak menggabungkan negeri kolonial Belanda dengan daerah koloninya (taklukan) Hindia Belanda termasuk dalam sistem hukumnya. Meskipun tidak di isi dengan bahasa dan agama yang sama.
104 Ibid., hlm. 69. 105 Ibid., hlm. 70-71.
177
menjiwai jati diri wawasan Nusantara kita. Perubahan dan revisi yang dilakukan
dalam bidang hukum tidak pernah bisa lepas dari konsep-konsep warisan
kolonial. Padahal, jika kita mau menjiplak masih dapat dijumpai konsep hukum
warisan leluhur bangsa Nusantara. Sehingga tidak menjadi terlalu konsumtif
terhadap hukum imporan asal Eropa yang modern (baca, sampah) itu.
Misalnya, bisa dikutip peraturan perundang-undangan yang disusun Prabu
Suria Alem atau kita sebut dengan Undang-Undang Suria Alem. Ada sejumlah
144 pasalnya dapat dijadikan rujukan penyelenggaraan pengadilan di Indonesia.
Jumlah pasal tadi setelah penyederhanaan dan pengurangan dari Suria Alem yang
semula terdiri dari 507 pasal.106 Undang-undang ini dapat dipakai sebagai sumber
percontohan awal untuk pengembangan hukum di Indonesia. Pembahasan di
dalamnya tidak sebatas urusan pidana dan masalah publik. Problematika hukum
yang berkenaan dengan keluarga, seperti perkawinan, anak, dan sebagainya, tidak
luput dari pembahasannya. Dengan mengembangkan hukum-hukum dari warisan
leluhur setidaknya akan menjadikan Indonesia lebih memiliki kehormatan. Karena
mampu berdaulat di atas kaki sendiri untuk penyusunan tertib kehidupan dan
kebangsaan. Tidak seperti kenyataan hukum di Indonesia sekarang ini yang hanya
tunduk dan patuh dengan sampah-sampah hukum dari Belanda khusunya, dan
Eropa pada umumnya, yang Christiaan Snouck Hurgronje pun ikut membawanya.
Dari sini dapat ditarik suatu benang penghubung kolonial tentang
perangkap kolonialistik dalam pemikiran hukum yang dibangun Christiaan
Snouck Hurgronje. Yakni, sebagai alat penjinak, pengawasan, dan pengendali,
106 Thomas Stamford Raffles, The History of Java, (Jakarta: PT Buku Kita, 2008), hlm. 664-
681.
178
masyarakat Hindia Belanda yang berlanjut pada masyarakat Indonesia modern.
Pertama, konsep koloniaslitik Christiaan Snouck Hurgronje untuk menjinakkan
sendi-sendi perlawanan masyarakat Muslim. Penjinakan perlawanan Pribumi
terhadap Belanda dilaksanakan melalui rasionalisasi. Yakni, memasukkan anak-
anak bangsawan ke sekolah Eropa. Selanjutnya juga berlaku untuk anak-anak lain.
Christiaan Snouck Hurgronje yakin untuk membentuk generasi baru Jawa107
dengan pendidikan yang baik ke jenjang yang lebih tinggi. Dia juga berusaha
menepis kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa menginjak masa pubertas
anak-anak didikan Eropa ini jadi memiliki sifat acuh tak acuh.108 Maksudnya,
menginjak usia remaja anak-anak Pribumi didikan Eropa menjadi kehilangan tata
krama dan tidak menjalankan aturan-aturan Pribumi. Karena menjadi sangat
rasional dan kritis sehingga segala sesuatu yang ada di masyarakat dianggap
keliru. Memang demikian hasilnya karena genealogi pengetahaun Barat yang beda
dengan dunia Timur akan memejamkan mata saat memandang segala sesuatu
yang dihasilkan dunia Timur.
Dengan rasionalisasi ini generasi penerus menjadi jinak atau penurut atas
kemauan kolonial. Penjinakan itu dibahasakan Christiaan Snouck Hurgronje
bahwa Pribumi yang berpendidikan Eropa lebih setara dibanding petani atau
nelayan Belanda. Pada persoalan hukum pun menjadi sangat jinak dan penurut.
Seperti rasionalisasi hukum perdata dalam bentuk pengawasan oleh penghulu,
107 Generasi baru Jawa ialah generasi yang berasal dari anak-anak Jawa yang terdidik dalam
sistem pendidikan modern. Hasilnya orang-orang bergaya indisch (tiruan Barat). 108 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 148.
179
pencatatan pernikahan, atau pernikahan harus serumpun (seagama).109 Positifikasi
hukum ini langsung membuat Pribumi-Pribumi terpelajar bertekuk lutut untuk
mengikuti. Karena yang diterapkan oleh Belanda sesuai dengan kapasistas
keilmuan yang diperoleh ahli hukum Pribumi dari Eropa. Orang-orang seperti
inilah yang diangkat tugas sebagai penghulu oleh pemerintah jajahan Hindia
Belanda. Menurut Christiaan Snouck Hurgronje memang seharusnya membiarkan
Pribumi di bawah pimpinan atau kekuasaan langsung para pamong bila keadaan
memungkinkan.110 Hingga saat ini pun, pada era Indonesia modern, para pelajar
didikan sekolah atau pergurun tinggi sistem Eropa benar-benar jadi jinak. Menjadi
pendukung setia formalisasi hukum Eropa untuk Indonesia tanpa bisa berbuat apa-
apa. Nampaknya mereka sudah buta sejarah111 bahwa nenek moyang bangsa kita
memiliki warisan tata aturan hukum yang sangat patut untuk dikembangkan.
Kedua, kenyataan hukum kita selalu di bawah pengawasan dan arah
konsepsi kolonial. Pengawasan ini dilakukan awalnya lewat penguasaan hukum
adat untuk kepentingan kolonial. Hukum-hukum dalam masyarakat selalu tumbuh
berkembang. Serta terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan yang
ada di dalam masyarakat. Kata Chrisitian Snouck Hurgronje, dengan pengawasan
yang cermat bisa menghilangkan bahaya yang muncul dari perkembangan hukum
dalam masayakat.112 Pengawasan menggunakan hukum adat mampu pula
109 Evy Lestari, ibid. 110 Dimuat dalam de Gids, tahun penerbitan ke-72 (Amsterdam, 1900), hlm. 211-234. C.
Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid.¸ hlm. 137. 111 Menjadikan anak-anak Indonesia buta sejarah bangsanya merupakan bagian skenario
kolonial. Sangat banyak khazanah leluhur kita yang diangkut ke Belanda (Leiden) maupun Inggris yang tidak gampang kita akses. Khazanah ini pada masa-masa mendatang dapat dipakai untuk membodohi generasi mendatang kita (ahistoris). Selanjutnya digencarkan kolonialisme sejarah.
112 Betawi, 19 April 1904, dikirim ke hadapan Yang Mulia Gubernur Jenderal. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasihat…, Jilid V, ibid., hlm. 720.
180
mengendalikan perkembangan hukum Islam. Sehingga pada era kolonial Belanda
bercokol hukum Islam kalah fungsi dibanding hukum positif Eropa. Dengan cara
pengawasan dalam sudut pandang hukum positif Eropa ini pada era-era sekarang
terjadi kerancuan hukum. Yakni, hal-hal yang sudah diatur dalam hukum Islam
sesuai fiqih justru tidak diakui oleh hukum positif bergaya Eropa yang membahas
tentang ke-Islaman. Anehnya, orang-orang yang konon ahli hukum, karena
terawasi secara tidak langsung oleh pengetahuannya sendiri (dari genealogi
Eropa) tidak kuasa menerobos tembok kolonialistik dalam materi-materi hukum
yang dipelajarinya.
Ketiga, tingkat selanjutnya, kehidupan hukum di Indonesia benar-benar
dikendalikan sampah-sampah hukum yang dibuang dari Leiden oleh Christiaan
Snouck Hurgronje. Di mana pencatatan pernikahan menjadi ‘dipaksakan’, dan
‘dipaksa’ pula pernikahan harus seagama. Serta masih terjadi dikotomi sosial dan
status hukum akibat pembelahan antara kaum adat (selanjutnya abangan) dengan
golongan Islam (santri, kiai), lalu Pribumi dan Tionghoa, Islam dan Kristen dan
Konghucu, dan seterusnya. Jurang ini sangat lebar. Bahkan sampai sekarang
pemisahan kekuatan kaum Muslim dan penganut agama lain masih terjadi dalam
masyarakat. Artinya, konsepsi-konsepsi pemikiran kolonialistik Christiaan
Snouck Hurgronje masih hidup hingga sekarang dan tetap terus mengontrol
perhubungan antar penduduk di Indonesia lewat dikotomi kondisi, deskriminasi,
dan pembedaan status di mata hukum.
181
c. Indonesia: Negara Hukum yang Anomi (Tak Berjati Diri)
Namun demikian, tidak semua konsepsi kolonialistik Christiaan Snouck
Hurgronje berhasil mengkondisikan kenyataan hukum perdata di Indonesia sesuai
keinginan kolonial. Misalnya, teori resepsi tidak serta merta membuat dikotomi
ekstrim antara hukum adat dan hukum Islam. Karena masyarakat Indonesia
memiliki sifat akomodatif. Sehingga pada kenyataannya hukum adat dan hukum
Islam diakomodir secara baik-baik.113 Pertama, dipraktekkannya taklik talak
(ta’liq talaq) di hampir semua perkawinan. Pada praktik ini hukum Islam
mengadaptasi ke hukum adat. Yakni, ikrar suami di saat ijab qabul bersedia
diceraikan istrinya yang ditinggal pergi tanpa nafkah beberapa waktu dan istri
tidak rela. Dengan membayar sejumlah uang maka talak bisa dijatuhkan oleh
pengadilan. Kedua, praktik khul’ dalam perceraian. Seorang istri dalam kondisi
tertentu dapat memaksa suaminya menerima pengembalian maharnya sebagai
pebayaran dari perceraian. Jika suami menolak menerima perceraian tersebut,
hakim boleh memutuskan bahwa suami dianggap sudah mengucapkan sighat
talak, atau hakim langsung membubarkan ikatan perkawinan. Ketiga, ordonansi
perkawinan untuk pulau-pulau di luar Jawa dan Madura. Ada ketentuan bahwa
para pejabat agama Islam pada masyarakat pantai barat Sumatra dan Tapanuli
dilarang menyelenggarakan suatu upacaya perkawinan tanpa ada izin tertulis dari
ketua masyarakat asli. Yakni, ketua masyarakat asli di mana para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan tersebut berada. Lebih dari itu, surat perizinan
113 Ratno Lukito, ibid., hlm. 48. Contoh-contoh ini dapat ditemukan dalam tulisan ter Haar,
Beginselen van het Adatrecht, hlm. 183, dan C. Snouck Hurgronje, Nederland en de Islam, hlm. 49; dikutip dalam Westra, “Custom and Muslim Law,” hlm. 160-1; lihat juga G.H. Bousquet, Introduction a l’etude de l’islam indonesien, hlm. 235. (Catatan kaki Ratno Lukito hlm. 48).
182
tersebut harus menerangkan bahwa tidak ada penolakan hukum dari hukum adat
masyarakat bagi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.114
Sedangkan pada umumnya, akibat tidak mampu melepas dari mewarisi
serta memakai konsepi dan pemikiran sampah kolonialistik bawaan Christiaan
Snouck Hurgronje, kenyataan hukum di Indonesia menderita anomi. Indonesia
alias negara hukum yang tidak punya jati diri. Dan, Dr. Christiaan Snouck
Hurgronje patut dikatakan sebagai arsitek ulung, cerdas, cerdik, licik, dan penuh
wibawa, yang berhasil menjadikan Republik Indonesia (modern) tetap berada di
bawah bayang-bayang dan kendali hukum kolonialistik Belanda!
114 Ibid., hlm. 48-49.
133
BAB IV
PERANGKAP KOLONIALISTIK
PEMIKIRAN CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE
DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA
A. CHRISTIAAN SNOUCK HURGRONJE SANG PEMIKIR MODERNIS-
LIBERALIS-KOLONIALIS
a. Pengikut Setia Modernisme-Liberalisme Leiden
“Jalannya sejarah, pelanggaran hukum dan terciptanya hukum, terjadi dengan sendirinya, bahwa Kristen dan Islam harus hidup berdampingan dan usaha negara-negara hanya dapat diarahkan jika terjadi hubungan damai dengan kaum Muslim yang menjadi bawahannya, memungkinkan dan menjamin perkembangan damai di antara penduduk. Dan tujuan seperti ini hanya dapat tercapai atas dasar kompromi antara suara hati Negara Kristen dan hukum Islam.”1
Christiaan Snouck Hurgronje
Barat, Eropa, Belanda, dan utamanya Leiden, di masa itu berada pada era
tumbuh suburnya modernisme. Di Fakultas Teologi Universitas Leiden (1874),
Christiaan Snouck Hurgronje berkenalan dengan Abraham Keunen, C.P. Tieles,
dan L.W.E. Rauwenhoff. Ketiganya merupakan tokoh modernis Leiden yang
mempengaruhi pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje dalam memandang
1 Pernyataan itu tertanggal di Kutaraja (Aceh), Juli 1898. Terbit dalam Zeitschrift der
Deutschen Morgenlandischen Gesellschaft, Juli 53 (Leipzig, 1899) hlm. 125-167. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 130. [Huruf miring tebal dari Arief Musthofifin/ A.M.].
134
Islam.2 Selain itu, memang semenjak remaja Christiaan Snouck Hurgronje sudah
dipersiapkan untuk menjadi Pendeta Protestan. Islam bagi calon pendeta
merupakan materi khusus yang wajib dipelajari. Pendidikan khusus bagi calon
pendeta diorientasikan sebagai persiapan menghadapi musuh Kristen, yakni Islam,
semenjak Perang Salib. Inilah upaya balas dendam orang Kristen Eropa terhadap
Islam akibat kalah dalam Perang Salib yang diwujudkan dalam penyebaran
pendeta ke seluruh dunia. Di dunia Timur, para pendeta disertakan dalam program
imperialism dan kolonialisme, untuk menggerogoti Islam yang sedang tumbuh
subur. Metode dan bekal pengetahuan untuk melumpuhkan Islam selalu diajarkan
bagi para pendeta.3 Ada pernyataan menarik dari Christiaan Snouck Hurgronje
pada 1876 dikala dirinya menjadi mahasiswa: “kita harus membantu bangsa
Pribumi (penduduk negara jajahan) untuk beremansipasi dari Islam”.4 Semenjak
masih mahasiswa dia sudah memiliki pandangan sebagai orientalis dan pemikir
kolonial yang berhasrat menggempur wilayah Islam Pribumi di Nusantara.
Kembali ke modernisme-liberalisme Leiden sebagai salah satu akar
genealogis dari pemikiran kolonial Christiaan Snouck Hurgronje. Pada akhir abad
ke-16, Descartes (1596-1650)5 sudah menawarkan revolusi pemikiran yang benar-
benar luar biasa dampaknya sebagai biji pertama modernisme, yakni rasionalisme.
Modernisme Leiden, terutama di Fakultas Teologi Universitas Leiden,
mengukuhkan sendi-sendi kekuatannya pada rasionalisme. Di Leiden ini
2 Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam; Biografi C. Snouck Hurgronje,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12-13. 3 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 34. 4 Ibid., hlm. 35. 5 Robert C. Solomon & Kathleen M. Higgins, A Short History of Philosophy, (New York:
Oxford University Press, 1996), terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Cet. II, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 322-325. Lihat Bab II.
135
Christiaan Snouck Hurgronje termasuk pengikut fanatik rasionalisme dari aliran
modernis Leiden yang menolak hal-hal irasional. Misalnya, trinitas6 dan posisi
Yesus sebagai anak Allah dalam ajaran Kristen (Katholik), ialah ajaran yang tidak
diterimanya.
Perlu diperhatikan dengan cara seksama terhadap bentukan modernisme-
liberalisme itu. Pertama, modernisme Leiden yang terwujud dalam rasionalisme
Christiaan Snouck Hurgronje telah membentuk pola pikir yang simplistis,
reduktif, berpihak, dan sangat ekstrim, serta liberal. Dapat ditunjukkan dalam
terbitan di Leiden pada E.J. Brill (1880) yang berisi pandangannya terhadap Nabi
Muhammad. “Akhirnya Nabi Muhammad memindahkan panggung kegiatannya;”
katanya, “jubah kenabiannya ditinggalkan di kota kelahirannya. Keadaan telah
mengalihkan perhatiannya semakin jauh dari peran kenabian ke peran politik yang
harus memperhitungkan urusan-urusan duniawi.”7 Pendapat ini sebagai upaya
untuk melemahkan sejarah perjuangan Nabi Muhammad. Dianggap Nabi
Muhammad sudah meniadakan sifat-sifat kenabian dan berbalik menjadi seorang
yang haus politik kekuasaan. Artinya, Nabi Muhammad sudah tidak sungguh-
sungguh lagi untuk meluaskan agamanya yang sejati. Telah berubah untuk
menjalankan peran-peran politiknya yang menghendaki ketaatan. Setelah delapan
tahun kemudian berhasil menaklukkan kota kelahirannya, Nabi Muhammad
6 Dalam suatu data menunjukkan bahwa konsep Trinitas yang dipercaya pengikut Kristen
berasal dari tradisi Pagan kuno. Konsep Trinitas ini diwakili oleh Semiramis dan anaknya (Pagan Babylonia), Devkan dan Khrisna (Pagan India), Isis dan Horus (Pagan Mesir), dan sebagainya. Dalam Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order, (Foxit PDF Reader, tanpa identitas).
7 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 4.
136
bertindak sebagai penentu hukum, dan ia mulai bekerja untuk mencabut agama
berhala sampai ke akar-akarnya.8
Rasionalisme Christiaan Snouck Hurgronje yang simplists dan reduktif
tadi berusaha menempatkan Islam pada penjara yang sangat sempit. Sebagaimana
tuduhannya terhadap Nabi Muhammad yang dianggap meninggalkan tugas
kenabian dalam urusan agama dan Tuhan lalu memilih urusan politik. Dalam
bahasa Christiaan Snouck Hurgronje adalah urusan-urusan duniawi. Berupa
penaklukan-penaklukan wilayah atau ekspansi politik yang dimulai dari
menguasai tanah kelahiran Nabi Muhammad. Pada kondisi ini Nabi Muhammad
dianggap tidak lagi menjalankan tugas-tugas kenabian dalam menyebarkan agama
secara sederhana. Rasioanlisme yang sangat sempit ini menempatkan Christiaan
Snouck Hurgronje pada jurang kebuntuan berpikir yang dalam. Dengan asumsi
yang sangat redutif bahwa Islam seharusnya hanya berurusan dengan Tuhan.
Tidak perlu—sebagimana dilakukan Nabi Muhammad—melakukan kerja-kerja
keduniawian apa lagi yang berkaitan dengan urusan politik. Dengan kata lain,
Islam (baca, masalah-masalah ketuhanan) dan politik (baca, masalah-masalah
keduniawiaan) dalam agama (Islam) di posisikan terpisah oleh Christiaan Snouck
Hurgronje. Atau keduanya tidak memiliki keterikatan dan kesalinghubungan
dalam praktik di lapangan. Pola pikir rasionalisme produk Leiden ini selanjutnya
dapat membuat konklusi bahwa Islam di jaman Nabi Muhammad telah
berselingkuh dengan politik atau perselingkuhan agama dan kekuasaan.
8 Op.cit.
137
Petunjuk ini memberikan pengertian bahwa tradisi ilmiah Leiden yang
modernis telah membentuk otak manusia menjadi sangat kerdil. Objek dipandang
dari satu sudut saja dan anehnya satu sudut itu yang dianggap paling benar.
Kegetolan Christiaan Snouck Hurgronje pada rasionalisme Leiden yang teramat
sangat sempit itu tidak menjadikan dirinya mampu melihat Islam sebagai
fenomena yang menyeluruh. Melainkan ditinjau dari sudut pandang yang patah-
patah. Padahal, dalam Islam tidak ada pemisahan yang tegas antara “urusan-
urusan keduniawian” dengan “urusan-urasan ketuhanan”. Maka, apa yang
dilakukan Nabi Muhammad dengan penaklukan kota-kota lain, misalnya Mekah,
tidak lepas dari posisinya yang sedang menjalankan fungsi-fungsi kenabian.
Karena dalam Islam terjadi hubungan sinergi antara “urusan-urusan keduniawian”
atau ‘politik’ dengan “urusan-urusan ketuhanan”. Keduanya bukan satu dan lain
hal yang terpisah. Wajar ketika menggunakan modernisme-rasionalisme produk
Leiden Christiaan Snouck Hurgronje terjebak pada pengambilan tuduhan bahwa
Nabi Muhammad telah meninggalkan jubah kenabiannya untuk “urusan-urusan
keduniawiaan” atau ‘politik’.
Masih dari sudut pandangnya yang rasionalis dilihatnya Islam hanya
sekadar kultus (pemujaan) terhadap Muhammad. Perkembangan para pengikut
Islam di berbagai lingkungan kehidupan diberi tuduhan sangat bodoh oleh
Christiaan Snouck Hurgronje. Dalam bahasa Christiaan Snouck Hurgronje
manusia warga dunia yang mengikuti (Islam, Muhammad) “lebih mirip dengan
petani kikuk9 yang masih muda,” katanya.10 Sedangkan setelah sepeninggal Nabi
9 Kikuk: canggung, janggal, baru sekali atau pemula alias amatiran.
138
Muhammad menurutnya pengikut Islam kembali ke zaman jahiliyah lagi. Bagi
Christiaan Snouck Hurgronje itu akibat Muhammad hanya memikirkan cara
menambah jumlah penganut. Oleh sebab itu, ketulusan imannya (Muhammad)
berkurang dan ajarannya (Islam) ditinggalkan pengikutnya.11
Contoh lain memperlihatkan pandangan modernisme Leiden dalam cara
pandang Christiaan Snouck Hurgronje terhadap Qur’an. Qur’an baginya berbeda
dengan undang-undang. Ayat-ayat hukum di dalam kitab itu hanya berisi asas-
asas umum. Sedangkan yang rinci hanya untuk yang terjadi selama Nabi hidup.
Maka, secara rasional, peristiwa yang tidak terjadi selama tahun-tahun kegiatan
Nabi tidak akan dirinci dalam al-Qur’an.12 Qur’an pada mulanya hanya sebagai
kitab hukum. “Namun,” kata Christiaan Snouck Hurgronje, “karena kehidupan
masyarakat baru itu segera menjadi sangat rumit, Quran segera dirasakan tidak
memadai”. “Wajar sekali jika ditambahkan berbagai ulasan yang dikemukakan
oleh Nabi,” imbuhnya. “Tampak bahwa Nabi bukan sekadar penafsir wahyu,
namun dalam hal-hal tertentu ia tidak ragu-ragu untuk melengkapinya,” demikian
uraian orientalis ini.13
10 Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje ini dimuat dalam Questions diplomatiques et
colonials, tahun ke-5, nomor 106, 15 Juli 1901 (Paris), hlm. 76-82, sebuah jawaban kepada surat Edmond Fazy, “Enquete sur l’avenir de l’Islam”. Surat seutuhnya dicetak pada hlm. 73-82 majalah tersebut di atas. Halaman-halaman pertama membicarakan Islam di Hindia Belanda dan dicetak ulang dalam Verspreide Geschriften, jilid IV. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924), terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 5.
11 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… X, ibid. hlm. 11. 12 Ditebitkan di Batavia, Desember 1896. Dimuat dalam Revue de l’Histoire des Religions,
tahun ke-19, nomor XXXVII (Paris, 1898) hlm. 1-22, 174-203. Terjemahan ke dalam bahasa Perancis oleh Tuan Van Gennep. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … IV, ibid., hlm. 52.
13 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 52.
139
b. Evolusi Sosial-Kebudayan: Teori Pemunahan Ras
Kedua, modernisme Leiden yang sedang diperankan Christiaan Snouck
Hurgronje sedang menggiring manusia untuk berevolusi. Evolusi yang dimaksud
sesuai teori evolusi Charles Darwin14 yang diterapkan pada binatang. Evolusi
yang sedang diterapkan Christiaan Snouck Hurgronje diujicobakan pada manusia.
Lalu dapat dikenal dengan evolusi sosial atau evolusi kebudayaan.15 Di mana
manusia-manusia di dunia ini dalam status derajat yang bertingkat. Barat
merupakan wujud peradaban manusia paling tinggi. Khususnya, dunia Timur,
adalah manusia-manusia rendahan dalam strata evolusi. Modernis dari Leiden
mau menjadikan dunia Timur lebih beradab dengan evolusi atau dimodernkan.
Dalam De Indische Gids VIII, I (Leiden, 1886), halaman 90-111 (4 Desember
1885), Christiaan Snouck Hurgronje mencontohkan evolusinya dalam ilmu
hukum dan ilmu pengetahuan agama. Dalam rangka persaingan evolusi
dinyatakan bahwa “ilmu pengetahuan agama tidak dapat lebih lama eksis dalam
penjelasan dan pembelaan dogma agama yang sebenarnya,” lanjutnya, “sebab
kebenaran juga bukan ada, tetapi menjadi; melihat dan menjelaskan sebab-sebab
evolusi agama.” 16 Pengaruh teori evolusi ini begitu kuat dan cepat menyebar
termasuk dalam persoalan penerapan ilmu pengetahuan agama dan karya ilmiah
para yuris. Evolusi dalam agama diterangkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje
14 Teori Darwin mangatakan leluhur manusia adalah hasil dari evolusi kera. Tidak sedikit
yang meragukan teori Darwin. Karena dia sebenarnya tidak berteori tetapi sedang menjelaskan mitos, tradisi, dan kepercayaan Pagan Kuno dengan legitimasinya sebagai ilmuan (milik penguasa). Sampai saat ini tidak terjadi evolusi lanjutan dari manusia untuk menjadi apa lagi?
15 Kebuntuan evolusi dari manusia menjadi apa lagi? sedang dijawab lewat evolusi sosial dan kebudayaan. Puncak evolusi ini adalah jenis manusia Barat (tepatnya, berkulit putih) dan superman (manusia super). Manusia yang tidak identik dengan orang Barat berarti belum selesai berevolusi, tidak berperadaban, dan lebih dekat dengan monyet (leluhur manusia).
16 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 3.
140
seperti dalam sejarah perkembangan dari bentuk yang paling sederhana dari
animisme dan fetisme (pemujaan benda yang dianggap sakti). Demikian pula ilmu
hukum baginya harus dimulai pada bangsa primitif dan diakhiri dengan bangsa
yang berbudaya.17
Untuk mendorong penganut Islam pada evolusi sosial18 diterapkan
kebijakan kebebasan dalam beragama dan mewaspadai gerakan politisnya.19
Dengan anggapan yang sangat rendah terhadap umat Islam bahwa evolusi yang
dimaksudkan adalah untuk suatu evolusi sosial yang lebih tinggi dibanding ajaran
agama. Evolusi ini didesain sepertinya terjadi secara alamiah sehingga tidak
mungkin dihambat (di bawah sadar). Christiaan Snouck Hurgronje sudah tahu jika
dorongan ke evolusi sosial mengandung resiko korban manusia. Namun, atas
pertimbangan sifat Pribumi yang begitu cinta damai memberi keyakinan jika
evolusi tidak akan menyimpang jauh dari skenario atau pengarahan.20 Cara yang
tepat untuk melakukan pengarahan dalam evolusi sosial adalah melalui kebijakan
hukum Islam. Demi menggapainya Christiaan Snouck Hurgronje sudah
mempersiapkan metode “histories”. Berbeda dengan Kohler yang hanya
menggunakan metode perbandingan. Memang dirinya sering kali lebih menyukai
17 Ibid., hlm. 3-4. 18 Dorongan terhadap penganut Islam untuk berevolusi, dalam artian, agar sesuai klasifikasi
dan standarisasi manusia Barat. Baik isi otaknya, jiwanya, sekaligus tampilan fisik tubuhnya. Di luar semuanya itu atau yang tidak mau mengikuti arah evolusi sosial dan kebudayaan akan dipunahkan (genosida). Yang telah berhasil (hampir) dipunahkan seperti masyarakat asli Benua Amerika (secara salah disebut) Indian (baca, orang India), suku Asli Benua Australia (Aborigin), dan orang kulit gelap (hitam) di Indonesia (Papua, dll.).
19 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan … X, ibid., hlm. 57. 20 Ibid., hlm. 71.
141
berbicara “histories”, sedangkan Kohler mengatakan “membandingkan”. Metode
ini dipakainya secara bersungguh-sungguh sebagai lapangan pekerjaan.21
Ketiga, pencerahan Eropa22 dan modernisme di Leiden sudah sesumbar
sebagai yang lebih tinggi dari peradaban mana pun, terutama Timur. Sehingga
kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje di bumi Nusantara hendak mengajari
penduduk Pribumi agar maju. Meninggalkan keterbelakangan menuju kemajuan
yang disebut “modernisme”.23 Caranya lewat kebijakan kolonial dia mengangkat
tinggi-tinggi derajat mahasiswa Pribumi yang belajar di Eropa, seperti Universitas
Leiden, Delft, dan Amsterdam, sebagai yang lebih sederajat dengan orang Eropa.
Setidaknya jika dibandingkan orang Eropa yang petani dan nelayan.24 Pujian ini
untuk mencuri hati karena Pribumi yang berpendidikan Eropa selanjutnya akan
menerapkan pengetahuan Eropa di Hindia Belanda. Artinya, pelajar Pribumi yang
di Eropa pada kenyataannya justru sedang memperlancar maksud-maksud dari
kepentingan kolonial melalui pengetahuannya.
Maksud memodernkan ini pun pernah dilakukan di Turki modern setelah
keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmani pada 1818. Turki yang dibangun kembali
merupakan Turki modern. Sendi-sendi hukum negara yang dipakai adalah
Undang-Undang Dasar. Bangunan atas Tukri modern ini sebenarnya sedang ingin
21 Terbit dalam Rechtsgeleerd Magazijn, V Haarlem, 1886, hlm. 551-567. C. Snouck
Hurgronje, Kumpulan… IV, ibid., hlm. 19 22 Renaisans puncak periode sejarah pada 1500. ‘Renaisans’ atau ‘renaissance’ (Perancis)
artinya ‘Lahir Kembali’; kelahiran kembali budaya Yunani kuno dan budaya Romawi kuno. 23 Modernisme atau paham tentang kemajuan. Maksud kolonialnya, Barat lebih maju dan
Timur terbelakang. Maka, harus dimajukan (di-Baratkan). 24. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… X, ibid., hlm. 75.
142
menghilangkan fungsi khalifah dan meniadakan jihad.25 Dengan adanya Turki
modern, pasca runtuhnya, Turki memang dikonsep untuk memberi peluang yang
seluas-luasnya kepada negara-negara Kristen agar mendapat kemudahan proses
atau gerak di pemerintahan Turki.26 Nusantara yang dikuasai pemerintah kolonial
Belanda pun sedang ditarik ke arah modernisme sesuai pemikiran-pemikiran
Christiaan Snouck Hurgronje lewat urusan keluarga dan hukum Islam.
Sebagai sedikit penyeimbang, tidak semua yang berasal dari Christiaan
Snouck Hurgronje berbau kolonialisme dan ke luar dari disiplin akademik yang
dapat dipertanggungjawabkan. P.Sj. van Koningsveld mengakui bahwa karya
disertasi Christiaan Snouck Hurgronje sebagai karya seorang akademisi.
Misalnya, pandangan Christiaan Snouck Hurgronje tentang larangan terhadap
perempuan memasuki masjid. Diterangkannya bahwa perempuan “di zaman
Muhammad biasa ikut serta melakukan salat [di mesjid]”. Adapun kebiasaan
setelahnya berupa pelarangan perempuan memasuki masjid adalah “akibat makin
memburuknya kelakuan kaum wanita.” Maksudnya, perempuan seringkali hanya
akan mengalihkan perhatian kaum pria dari hal yang agung di dalam mesjid.27
Dalam pendapatnya yang demikian itu terlihat bagaimana Christiaan Snouck
Hurgronje sebagai akademisi sedang menempatkan fakta secara objektif. Juga
25 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian III, (Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923), terj. Soedarso Soekarno, dkk., Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VI, (Jakarta: INIS, 1996), hlm. 73.
26 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… VI, ibid., hlm. 73. 27 Tertanggal di Leiden, bulan Mei 1886. Diterbitkan dalam Bijdragen tot de Taal- Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Jilid ke-5, bagian I (Den Haag, 1886), hlm. 356-377. Bagian kedua diterbitkan terjemahan ringkasan dalam bahasa Perancis, dengan judul: Le voile des Musulmanes oleh H.M. d`Estrey, dalam Revue Scientifique, tahun ke-42, No. 2, 14 Juli 1886 (Paris) hlm. 50-53. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1923). terj. Soedarso Soekarno dan A.J. Mangkuwinoto, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje II, (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 116-117.
143
disertai pembelaan-pembelaan terhadap segala upaya deskriminasi perempuan
dalam memasuki tempat ibadah.
c. Modernisme-Liberalisme-Kolonialisme sebagai Proyek Penghancuran
Namun, pada kenyataannya modernisme dari Leiden yang telah dibawa
oleh Christiaan Snouck Hurgronje di Nusantara dalam wujud rasioanlisme
(hukum Islam, hukum Eropa, pendidikan, sistem Barat,), liberalisme, dan evolusi
sosial (Darwinisme) merupakan pengetahuan penghancur yang sangat berbahaya.
Terbukti dalam banyak kasus, negara-negara menganut sistem dan pengikut
prosedur kolonial murni sampai saat ini tetap pada lembah kehancuran. Sistem
Barat tidak bisa dipakai untuk menuju kebangkitan bangsa-bangsa yang pernah
dihancurkan oleh kolonialisme Barat. Janji-janji pengetahuan modern berupa
kebangkitan, kemajuan, dan kesejahteraan rakyat nyatanya tidak pernah terjadi.
Dapat dijadikan contoh, Turki pada 1818 mendapat gelar the sick man atau
laki-laki yang berpenyakitan. Sejak 1824 Turki mulai mengadopsi sistem Barat
dan menjadi Republik Turki. Sampai sekarang—Kekhalifahan Turki yang
berganti Republik Turki—tidak pernah maju, negaranya hancur, masyarakat tidak
sejahtera, dan tidak pernah menjadi juara dunia. Sangat berkebalikan ketika
Kekhalifahan Turki yang menjadi kampium dunia. Sama halnya Republik Turki,
Republik Indonesia juga menggunakan sistem Barat. Yakni, setelah kerajaan-
kerajaan Nusantara diruntuhkan oleh kolonialisme. Sejak merdeka pada 1945
digunakanlah sistem Barat, termasuk hukum Belanda. Nasib Indonesia sampai
sekarang sama dengan Turki. Indonesia betah menjadi negara terbelakang, tidak
144
bangkit, dan tetap setia dengan hukum kolonial. Berbeda sekali dengan Jepang
yang hancur di bom atom pada 1945. Sebagian besar penduduk Jepang tewas.
Namun, setelah genosida28 1945 Jepang mau hidup dengan budaya dan sistemnya
sendiri. Tidak memakai sistem Barat murni seperti Turki atau Indonesia. Terbukti,
Jepang yang memakai sistemnya sendiri (termasuk dalam hukum) sekarang
menjadi salah satu juara dunia yang bangkit. Betolak belakang dengan Indonesia
atau pendahulunya, Turki, sampai detik ini masih dalam lembah keterpurukan
dalam sistem modern Barat yang rasional, liberal, dan kolonialistik.
Maka, mega proyek kolonial yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje
dari genealogi modernisme-rasionalisme-liberalisme Leiden dalam wujud
pemikiran hukum Islam dan hukum keluarganya untuk penduduk Nusantara
adalah pengatahuan penghancur berbekuatan tinggi dan berdampak panjang. Yang
terbukti sampai sekarang bangsa Indonesia modern masih dalam kondisi
terbelakang dan ketinggalan jaman dalam menyelesaikan persoalan hukum di
dalam masyarakat. Penjelasan operasi pemikiran dan pengetahuan hukum yang
digalakkan Christiaan Snouck Hurgronje dalam urusan pemikiran perdata
kolonialistik di Hindia Belanda akan memberikan keterangan yang lebih nyata.
28 Genosida (genocide); pemusnahan secara teratur terhadap suatu golongan bangsa (ras dll.)
lewat pembunuhan fisik. Pada era sekarang yang sedang berjalan adalah genosida kebudayaan.
145
B. OPERASI DARI RENCANA LICIK CHRISTIAAN SNOUCK
HURGRONJE DALAM URUSAN PERDATA HINDIA BELANDA
Christiaan Snouck Hurgronje, agen intelejen Belanda, sebelumnya paham
betul kondisi penduduk Nusantara. Diketahuinya bahwa sejak sebelum jatuh di
bawah penjajahan Belanda sudah banyak Pribumi yang berhaji. Malahan sudah
dalam hitungan abad di Mekah ada kelompok Pribumi Nusantara yang jumlahnya
terus bertambah. Baik Pribumi sebagai pelajar ilmu agama, lari dari kerja rodi,
dan sebagainya.29 Selain alasan itu juga karena Mekah dikenal sebagia pusat
gerakan Islam, terutama Pan-Islam yang berbahaya bagi eksistensi dunia Barat.
Pasalnya di sana orang membicarakan urusan agama dan politik. Oleh karena itu,
“Demi mengamati unsur utama dari kehidupan Mekah itulah, maka saya hidup di
kota itu selama beberapa bulan sebagai orang Mekah sejati,” kata Abdul Ghaffar,
nama lain Christiaan Snouck Hurgronje sejak di Mekah.30 Kondisi penduduk
Nusantara di Mekah yang menjalin suatu masyarakat tersendiri dan lain
sebagainya dijadikan bahan-bahan awal untuk operasi pengetahuan Christiaan
Snouck Hurgronje dalam hukum Islam dan hukum keluarga di Hindia Belanda.
Untuk bidang hukum, “Snouck menganjurkan agar pemerintah sedapat mungkin
membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam.”31
29 Dimuat di Nieuwe Rotterdamsche Courant tertanggal 24 dan 25 November 1915. C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… VI, ibid., hlm. 108.
30 Ditulis di Batavia, April 1900, diterbitkan dalam Revue de l’Histoire des Religions, tahun ke-22, jilid XLVI (Paris, 1901), hlm. 262-281. C. Snouck Hurgronje, ibid., hlm. 15-16.
31 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 45.
146
a. Teori Resepsi Guna Melumpuhkan Hukum Islam
Untuk menindaklanjuti gagasan pembatasan peran Islam dalam hukum
Christiaan Snouck Hurgronje mewujudkannya dalam konsep teori batas. Konsep
ini kemudian dikenal dengan theorie reseptie. Yakni, “hukum Islam baru diakui
eksistensinya atau kekuatan hukumnya bila sudah diterima oleh masyarakat
Indonesia atau bila sudah menjadi hukum adat.” Konsep ini dipakainya untuk
membunuh pertumbuhan hukum Islam dan menjaga kelangsungan hidup hukum
adat. Dengan gigih dia mendukung pelaksanaannya agar hukum Islam bisa
dikondisikan menyesuaikan dengan adat-istiadat. Baginya hanya ada hukum
perkawinan dan keluarga yang dijalankan masyarakat Hindia Belanda32 dengan
baik. Sedangkan hukum Islam lainnya tidak sepenuhnya berjalan. Dari
dukungannya terhadap hukum keluarga dia mendapatkan simpati dari masyarakat
Islam yang telah melaksanakan hukum keluarga dan perkawinan. Bekal
kepercayaan rakyat ini segara dia tindak lanjuti.
Suatu teori tidak akan diakui kebenarannya dan mendapat dukungan tanpa
pembuktian dalam kenyataan. Christiaan Snouck Hurgronje melakukan usaha-
usaha untuk membuktikan bahwa teori resepsi tepat guna. Yakni, “Islam juga
jangan dibiarkan dapat mengalahkan adat”. Dengan alasan, Islam tidak mampu
membangktikan dinamika peradaban modern walau bisa mengubah adat. Islam di
Nusantara juga masih berwatak India33 dan sisa-sisa kemunduran abat
pertengahan. Watak India ini karena Islam berasal dari negeri asalnya, yakni India
32 Op.cit. 33 Christiaan Snouck Hurgronje merupakan teoritikus yang mengatakan bahwa kedatangan
(penyebaran) Islam di Nusantara berasal dari India (Gujarat).
147
Muka,34 yang telah menyelaraskan dengan Hindu campuran (Jawa dan
Sumatera).35 Peradaban Islam juga dipandang sebagi bentuk degenerasi dari
peradaban Barat-Kristen.36 Atas alasan-alasan ini yang diterapkan dalam
kebijakan kolonial maka teori resepsi untuk mengunggulkan hukum adat di atas
hukum Islam semakin kukuh. Adat pun perlu terus dijaga dan dilindungi dalam
maksud kolonial. Misalnya, perlindungan terhadap pranata-pranta rakyat yang
lama. Dengan menyadari resiko besar ketika memperjuangkan dan membela adat
yang setengah mati atau tidak kukuh lagi. Dalam kondisi-kondisi yang tepat
Christiaan Snouck Hurgronje merencana mengarahkan arus adat itu ke palung
yang diinginkan37 kolonial. Jadi, rencana panjang pembelaaan teori resepsi
terhadap adat dalam rangka mematikan adat itu sendiri. Hukum adat yang sudah
dapat dibina lalu dijerumuskan ke dalam palung atau jurang yang dalam agar tidak
bangkit lagi. Artinya, rakyat Pribumi sedang ingin dipermainankannya, jika perlu
dikebiri dengan mempermainkan hukum adat.
Dukungan terhadap hukum adat yang sangat tinggi ini sejalan dengan
pemikiran selanjutnya untuk kesatuan hukum bagi semua penduduk. Kesatuan
yang hanya tercapai bila keadaan masyarakat Pribumi sudah matang.38 Ditambah
kesiapan sarana pemerintah yang cukup untuk menyamakan pemberlakuan hukum
34 Christiaan Snouck Hurgronje menamai negeri India sebagai India Muka. Sedangkan Hindia
Belanda (Indonesia) adalah India Belakang (Timur); penamaan yang kolonialistik. 35 Snouck Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1973), hlm.13 36 Ibid., hlm. 46-47. 37 Teridentifikasi dari Kutaraja, 26 November 1891, Kepada Yang Terhormat Sekretaris
Pertama Pemerintah. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I, (Jakarta: INIS, 1990), hlm. 24. Palung merupakan dasar terdalam dari cekungan di dasar lautan atau samudera.
38 Yang sudah matang sesuai standar kolonial ialah Pribumi yang menyamai (mimicry) orang Eropa; pendidikan, mental, sikap, dan pengetahuannya.
148
bagi setiap orang.39 Penyiapan kondisi masyarakat yang siap ini tentu saja dengan
upaya westernisasi Pribumi melalui pendidikan-pendidikan Eropa (Surjomiharjo:
2000).40 Lewat ahli-ahli hukum didikan Eropa memungkinkan hukum adat
dikodifikasi sesuai kebutuhan kolonial. Mengapa demikian? Christiaan Snouck
Hurgronje, sang arsitek urusan perdata kolonialistik untuk Hindia Belanda,
mengerti betul bahwa “adat tersebut akan kehilangan wataknya karena kodifikasi
itu,” katanya.41 Cara ini sangat melancarkan kepentingan kolonial apalagi hukum
adat dapat diubah-ubah dengan cara musyawarah. Ahli-ahli hukum didikan Eropa
dipakai sebagai alat secara terus-menerus untuk menghilangkan kendala kolonial
dan melunakkan akibat yang tidak diinginkan kolonial dari hukum adat.
Pongkondisian hukum adat supaya di bawah kendali kolonial dalam
rangka mengalahkan hukum Islam ini telah dipersiapkan secara matang. Hukum
adat yang ada di bawah kendali Eropa akan disempurnakan sesuai keinginan
Eropa dengan masyarakat sebagai sasaran. Karena terkendali, penyempurnaan
hukum adat agar sesuai keingian kolonial dapat diselesaikan cepat tanpa pelibatan
banyak sarjana hukum dan tanpa menyita banyak waktu.42 Selanjutnya kata
Christiaan Snouck Hurgronje, “Jika hukum adat seperti itu dikodifikasi, hukum
tersebut akan dimusnahkan.”43 Di sini secara sengaja dia ingin memusnahkan
pengaruh hukum adat dari kehidupan masyarakat Nusantara sekaligus
39 Dari Betawi, 19 April 1904 untuk Yang Mulia Gubernur Jenderal. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid V, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 716.
40 Pada 1832, saat kali pertama sekolah modern Barat di buka di Yogyakarta. 41 Tertanda Weltevreden, 18 April 1893, Kepada Direktur Kehakiman. E. Gobee, C.
Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 746. 42 Dari Bandung, 26 September 1903, untuk Yang Mulia Gubernur Jenderal. Ibid., Jilid V,
hlm. 761. 43 Ibid., Jilid V, hlm. 761.
149
menghilangkan pengaruh hukum Islam. Kesemuanya akan diganti dengan
pengaruh hukum-hukum Eropa dari Belanda dalam rangka menjajah secara
sistemik dalam tata hukum formal (kodifikasi).
Ratno Lukito dalam Islamic Law and Adat Encounter memberi analisis
menarik untuk pergulatan hukum adat dan hukum Islam. Ratno, penulis sempat
beberapa kali berkomunikasi dengannya, beralasan bahwa kolonialisme Belanda
menggunakan standar ganda. Dalam bahasa Ratno Lukito (lahir 1968)44 adalah
“kebijaksanaan dualisme”. Yaitu, “mempertahankan hukum-hukum adat dengan
jalan mengalahkan hukum Islam,” terangnya.45 Hukum adat dan hukum Islam
memang secara sengaja dipertentangkan atau dimusuhkan untuk saling
mengalahkan. Yang seperti ini oleh Ratno Lukito disebut “pendekatan konflik”.
Dalam pertentangan ini sengaja dipilih terutama dalam tema hukum keluarga,
seperti perkawinan, karena Christiaan Snouck Hurgronje sadar betul pentingnya
urusan perdata bagi masyarakat Nusantara. Bahwa hukum keluarga Islam bagi
masyarakat berlanjut tumbuh dan punya peran yang sangat penting bagi
kehidupan orang-orang Islam Indonesia.46 Dengan bahasa lain, persoalan
keperdataan atau keluarga, bagi Pribumi memiliki pengaruh bagi tindakan-
tindakan manusianya pada urusan publik. Sehingga paling tepat untuk
mengendalikan masyarakat jajahan di Hindia Belanda bukan melalui jalur umum
(publik). Namun, dengan mengendalikan pusat gerak masyarakatnya, dalam
wujud urusan keluarga.
44 Ratno Lukito ialah Staf Pengajar di Fakultas Syari’ah UIN Yogyakarta. 45 Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, terj. Ratno
Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 28. 46 Ratno Lukito, ibid., hlm. 30.
150
Selain itu, dengan pendekatan konflik, teori resepsi sedang memecah belah
penduduk prbumi untuk diadu domba. Yaitu, membagi lebih dahulu secara
ekstrim antara penduduk penganut hukum adat agar fanatik dengan penganut
hukum Islam agar pula fanatik. Contohnya adalah Perang Padri di Sumatera
(1821-1823) antara Kaum Muda (Young Generation) dan Kaum Tua (Old
Generation). Dalam perang yang terjadi selama paro pertama abad kesembilan
belas di Minangkabau itu Belanda mendukung Kaum Tua atau kaum adat. Lalu
memusuhi Kaum Muda yang sedang memperjuangkan peran hukum Islam.47
Penerapan terori resepsi yang diperjuangkan Christiaan Snouck Hurgronje
memang mengupayakan sistem hukum untuk mengukuhkan posisi kolonial.
Sistem hukum dalam teori resepsi itu dalam rangka memisahkan dua kekuatan
sistem hukum yang mungkin bersatu; hukum adat dan hukum Islam. Hubungan
dialogis, dialektik, atau bahkan persatuan hukum adat dan hukum Islam pada
penduduk Nusantara merupakan penghalang yang susah dipatahkan kolonialisme
jika benar hal itu terlaksana dengan baik.
b. Pengawasan Pernikahan dengan Pencatatan
Sebelumnya telah diutarakan sekilas arti pentingnya suatu keluarga bagi
kelangsungan aktivitas publik penduduk Nusantara. Christiaan Snouck Hurgronje
secara pasti tahu benar bahwa segala unsur pergerakan rakyat untuk menentang
kolonial Belanda berasal dari suatu centrum, yakni keluarga. Untuk menarik
perhatian dan dukungan maka dia mengeluarkan statemen dalam persoalan
47 Ibid., hlm. 45.
151
keluarga ini bahwa hukum Islam hanya benar diterapkan dalam urusan keluarga.
Seperti dalam perkawinan. Sedangkan dalam urusan selain keluarga, hukum Islam
tidak diterapkan sebagimana mestinya. Kelanjutan dari dukungan ini adalah pada
hari-hari berikutnya dia justru sangat mengurusi aturan-aturan atau hukum-hukum
adat dan hukum Islam yang berkaitan dengan urusan keperdataan (keluarga).
Nampaknya, dia ingin menguasai dalam persoalan keperdataan ini dengan cara
menebar simpati lebih dahulu. Kemudian kepercayaan yang sudah dia bangun
ditindaklanjuti dengan upaya pengawasan. Pengawasan pada centrum dan titik
paling kecil dan paling menentukan, yang tak lain perkawinan, umumnya urusan
keperdataan.
Usaha-usaha yang sangat serius dilakukan olehnya untuk mengendalikan
situasi ini menggunakan sistem dan aturan perkawinan di bawah kendalinya.
Yakni, segala yang terjadi atas perkawinan di wilayah daerah penjajahan Belanda,
Hindia Belanda, harus diawasi. Dia tidak ingin kecolongan sedikit pun atas yang
terjadi dalam keluarga atau perkawinan Pribumi yang sangat menentukan
pergerakan rakyat jajahan. Tugas paling utama untuk pengawasan gerak-gerik
rakyat jajahan dengan cara pengawasan perkawinan itu diberikan kepada para
kadi, penghulu, atau naib. Satu jabatan membawahi wilayahnya masing-masing
untuk urusan perkawinan. Kadi dilimpahi pengawasan tertinggi atas pelaksanaan
pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan. Tugas ini juga berlaku
bagi penghulu namun dengan wilayah pengawasan yang berbeda. Penghulu
152
melakukan pengawasan pernikahan di masjid-masjid agung. Sedangkan
kekuasaan naib mengawasi personalia di masjid-masjid kawekdanan.48
Dalam menguatkan fungsi pengawasan atas pernikahan, kadi, penghulu,
dan naib tidak hanya datang atau berada di lapangan. Melainkan, ada prosedur
formal kolonial dalam pernikahan yang harus dipatuhi oleh pasangan-pasangan
yang hendak melangsungkan pernikahan. Yakni, pencatatan pernikahan.
Pernikahan-pernikahan yang sah menurut pemerintah Hindia Belanda adalah
pernikahan yang dicatat oleh pengawas pernikahan, seperti kadi, penghulu, dan
naib. Di luar itu pernikahan tidak diakui negara. Mengingat pentingnya arti
pernikahan bagi Pribumi, maka oleh Christiaan Snouck Hurgronje, pemerintah
menetapkan biaya paling tinggi untuk pernikahan dan pencatatan perceraian
dibanding urusan lainnya.49 Karena mau tidak mau penduduk jajahan dipastikan
menginginkan perkawinan yang sah menurut pemerintah. Sebagaimana keharusan
pencatatan pernikahan untuk dianggap sah yang ada dalam Undang-Undang
Perkawinan RI nomor 1 tahun 1974.50 Karena kronologi pembentukan aturan
yang terakhir ini tidak terlepas dari warisan aturan Belanda pula.
Di eranya Christiaan Snouck Hurgronje sangat menghendaki perncatatan
pernikahan agar pemerintah bisa mengawasi gerakan rakyat yang bersumber
agama, terutama Islam. Rakyat biasa yang tidak begitu kuat dalam pengetahuan
agama takut jika pernikahan tidak dilangsungkan di bawah pencatatan. Karena
48 E. Gobee, C. Adriaanse, ibid., Jilid V, hlm. 703. 49 Tertanggal di Batavia, 24 Februari 1890. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften
(Gesammelte Schriften), (Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Soedarso Soekarno, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 94-95.
50 Depag. RI, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999),
153
jika tidak dicatat pernikahan tidak akan dianggap sah. Imbasnya hal-hal yang
berkaitan dalam pernikahan selanjutnya juga tidak sah. Padahal, tidak menjadi
masalah ketika pernikahan tidak dilangsungkan di bawah pengawasan dan
perncatatan pegawai kolonial laiknya kadi, penghulu, dan naib. Pernikahan yang
terakhir ini tetap sah asal memenuhi syarat dan rukun pernikahan dalam Islam.
Maka, pada era-era ini sangat marak isu yang disebut nikah siri. Suatu pernikahan
yang sah dalam prosedur fiqih hanya saja tidak di bawah pengawasan dan
pengesahan pemerintah jajahan Hindia Belanda. Karena pernikahan-pernikahan
sesuai hukum Islam dan tidak di bawah pengawasan penjajah (selanjutnya nikah
siri) merupakan bentuk perlawanan. Perlawanan rakyat terjajah terhadap
keberadaan kolonial Belanda di bumi Nusantara. Sekaligus sebagai bentuk harga
diri bangsa51 yang bisa menyelenggarakan sistem dan aturannya sendiri atas
kepercayaan rakyat tanpa dibayang-bayangani sistem Barat yang kafir52 itu.
Padahal, pengawasan pernikahan baik melalui pencatatan pernikahan
(baca, agar pernikahan tidak siri) atau pengawasan, pada masa itu dipakai untuk
memilah dan memetakan kondisi penduduk jajahan Belanda. Sehingga akan
terbelah dan terkondisikan mana-mana penduduk yang serius melawan segala
bentuk penjajahan dan mana yang rakyat biasa yang bisa dikendalikan.
Identifikasi penduduk jajahan dengan cara pengawasan pernikahan atau
perncatatan pernikahan ini sangat manjur. Selain membelah dan memetakan
51 Harga diri ini dalam postkolonialisme ialah bagaimana subyek—subaltern dalam istilah
Gramsci—menuliskan dirinya sendiri dan menentukan nasibnya sendiri. Bukan menjadi obyeknya kolonialisme yang tidak bisa menyusun peradabannya sendiri sehingga Barat memaksa ikut turut campur.
52 Kafir di sini bukan dalam pengertian yang diperkecil bagi sebutan di luar agama Islam. Namun, sebutan untuk yang tidak menghendaki kemerdekaan, penjajah dan tidak memberi keselamtan (islam).
154
situasi rakyat jajahan juga menggerogoti kekuatan perlawanan rakyat. Secara
tidak langsung rakyat sedang dirasuki sistem modern dan rasional yang di impor
dari Leiden oleh Christiaan Snouck Hurgronje. Sendi-sendi perlawanan ”tak
sadar” yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk pernikahan mandiri (baca, siri)
lambat tapi pasti terkikis dan rusak. Lalu animo pernikahan merdeka (baca, siri)
diputarbalikkan dengan tuduhan-tuduhan buruk. Seperti, ketiadaan tanggung
jawab suami terhadap istrinya.53 Kondisi menjadi sangat terbalik dari rakyat yang
tadinya ”tak sengaja” melawan penjajahan dengan pernikahan merdeka. Sekarang
berubah menjadi rakyat yang ”tak sengaja” melawan perjuangan bangsanya
sendiri dengan mendukung pengawasan pernikahan oleh pemerintah penjajah
Belanda. Ironis dan tragis.
Tak tahunya pengawasan dan pencataan perkawinan merupakan penetrasi
hukum Eropa terhadap hukum Islam. Umat Islam sangat menentang penetrasi
hukum sekuler dari pemerintah kolonial. Semua partai serta organisasi Islam turut
menentang rencana pemerintah memperkenalkan nikah tercatat pada 1930-an.
Saat 1938 pemerintah juga sempat berencana memindah wewenang mengatur
waris dari Peradilan Agama ke Pengadilan Negeri serta merencanakan mendirikan
Mahkamah Islam Tinggi dan perencanaan pencatatan perkawinan, umat Islam
menentang usaha-usaha tersebut dengan keras. Pijper54 menggambarkan
53 Kita mengenal kontrol sosial atau moral dalam pelaksanaan hukum. Melalui positifikasi dan
formalisasi hukum aspek kontrol sosial dan moral ditiadakan. Dalam perspektif ini, nikah siri merupakan tindakan kejahatan karena negara tidak bisa mengontrol, dan si pelaku (laki-laki) disebut orang tak bertanggung jawab. Tuduhan ini diperkuat dengan contoh dan alasan yang kadang dibuat-buat.
54 Lengkapnya Prof. Dr. G.G. Pijper, lahir pada 1893, peneliti bahasa pada KvIz (1925-1931), wakil AvIz (1932-1937), dan AvIz (1937-1942).
155
kemarahan ini sebagai “bukti kekuatan Islam”55 yang tersinggung karena urusan
paling pribadi (keluarganya) dicampuri orang lain.
Penentangan ini atas ukuran jangka panjang dari pengawasan pernikahan
oleh dinas-dinas pemerintah jajahan adalah untuk dibuat sekat-sekat atau sel-sel
pemisah di dalam penduduk Pribumi. Agar tidak terjadi suatu pernikahan antara
Pribumi dengan etnis keturunan. Misalnya, pernikahan Pribumi dengan anak
keturunan Cina (Tionghoa), akad yang berusaha ditiadakan dengan aturan-aturan
kolonial. Caranya seperti pembagian penduduk dengan penggolongan bertingkat;
Eropa, Asing Timur, dan Pribumi. Di mana pengkotak-kontakan penduduk yang
sesuai dengan pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje adalah berikut; Pertama,
pertimbangan geografis untuk memasukkan Turki agar satu golongan dengan
Belanda. Kedua, atas dasar agama agar Cina dan Pribumi yang sudah masuk
Kristen bisa dalam satu golongan. Ketiga, pembagian bersifat hukum seperti
pembagian dalam hukum keluarga. Keempat, sifat politis untuk kemungkinan
memasukkan Jepang dalam golongan Eropa sesuai hukum keluarga mereka.56
Selanjutnya, rencana-rencana yang disebut penyamaan hukum bagi setiap
penduduk Nusantara hanya kamuflase. Padahal, tidak sedikit penduduk yang
pragmatis terutama Cina, ingin beralih agama menjadi Kristen agar sebagai
manusia memiliki kedudukan setara dengan bangsa Eropa. Demikian pun tidak
akan memberi banyak perubahan bagi yang pindah agama Kristen. Christiaan
Snouck Hurgronje sendiri mengakui bahwa ada suatu ganjalan di mata hukum
Eropa bagi perkawinan-perkawinan Pribumi. Seperti pernikahan-pernikahan
55 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 73-74. 56 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat… Jilid V, ibid., hlm. 725.
156
Pribumi dengan Eropa atau Indo-Eropa yang dianggap membentuk keluarga tidak
sah menurut hukum Eropa. Selain tidak sah menurut hukum Eropa jenis
pernikahan demikian berlanjut dengan pelanggaran pencatatan sipil dalam
kelahiran atau pun kematian. Christiaan Snouck Hurgronje sering mengingatkan
akan keteledoran para pegawai catatan sipil terhadap penyimpangan-
penyimpangan dalam perkawinan57 karena tidak sesuai aturan kolonial yang
diingininya. Sehingga ketidakpastian dalam hukum Eropa dalam perkawinan
memberi peluang kepada warga Cina untuk bergabung dengan Islam Pribumi.
Karena dengan menjadi Islam lebih memberi kebebasan dalam bergerak dan
bekerja. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan bagi kepentingan kolonial. Maka,
dengan cara yang tepat perlu dibuat aturan agar tidak terjadi pernikahan Cina dan
Pribumi sesuai aturan hukum Islam dan hukum adat yang hidup dalam
masyarakat. Segalanya perlu dikendalikan dan dikontrol supaya konsolidasi
rakyat terjajah dari beragam jalur pernikahan tidak pernah terjadi58 untuk waktu
yang tak terbatas.
c. Pengangkatan Penghulu sebagai Agen untuk Urusan Keluarga Koloni
Pengawasan dalam perkawinan baik melalui prosedur pencatatan sipil atau
diketahui pegawai pemerintah yang berwenang ditindaklanjuti dengan cara
pengangkatan penghulu. Bagi Christiaan Snouck Hurgronje: ‘Pengangkatan
penghulu sebenarnya untuk menempatkan penghulu pemerintah Hindia Belanda
57 Ibid., Jilid V, hlm. 735. 58 Op.cit.
157
di masjid-masjid untuk mengawasi gerak-gerik umat Islam dari kas masjid yang
dibelanjakan. Tidak hanya untuk tahu penyelewengan penggunaan.’
Dapat diambil suatu pemahaman bahwa pengangkatan penghulu oleh
pemerintah jajahan Hindia Belanda untuk mengetahui gerak-gerik umat Islam
lewat pembelanjaan kas masjid. Bukan hanya sekadar tugas formal untuk tahu
penyelewengan penggunaan kas yang dilakukan pengelola masjid.59 Karena untuk
tujuan suci hal yang terakhir ini jarang sekali terjadi. Namun Christiaan Snouck
Hurgronje memakai para penghulu ini sebagai agen pemerintah kolonial untuk
mengawas pergerakan masyarakat Muslim. Di mana kas-kas masjid itu salah
satunya diperoleh dari penyelenggaraan pernikahan-pernikahan oleh penghulu di
masjid-masjid yang ditarik dengan harga tinggi dibandingkan penyelenggaraan
urusan lain.
Pengangkatan dan penugasan khusus penghulu ini dilakukan lewat jalur
khusus sebagaimana yang dikemukakan Christiaan Snouck Hurgronje. Pertama,
perlu diteliti dalam pemilihan penghulu terutama untuk urusan penduduk paling
pribadi. Urusan paling pribadi di sini tak lain menyangkut masalah keluarga,
perkawinan, perceraian, kewarisan. Kedua, penghulu yang diangkat diharuskan
serius meneliti pembukuan kas masjid termasuk meneliti pemberian masyarakat.
Karena cara seperti ini tidak mungkin dianggap campur tangan kolonial. Ketiga,
penghulu juga sebagai pelaksana peraturan khusus pernikahan, perceraian, dan
keputusan majelis ulama.60 Dari pengangkatan penghulu atau penghulu yang
59 Penyelewengan dalam maksud kolonial yaitu saat kas masjid dipakai biaya umat Islam
untuk berjihad melawan kolonialisme Belanda. 60 Dari tempatnya Betawi, 4 Maret 1893. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C.
Snouck Hurgronje, 1889-1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
158
ditugaskan pemerintah kolonial ke masjid-masjid menjadikan gerak-gerik
masyarakat lebih terkendali. Setidak-tidaknya apa yang hendak dilakukan
masyarakat untuk menentang pemerintah kolonial sudah diketahui sejak dini.
Persoalannya yang kerap terjadi di dalam masyarakat pada hal perkawinan
bukan hanya perkawinan semata-mata. Melainkan ada upaya-upaya menyatukan
kekuatan pemberontakan terhadap penjajah melalui jalur pertalian kekeluargaan.
Sehingga konsolidasi kekuatan pemberontakan umat Islam terhadap Belanda tidak
begitu kelihatan atau tersamar. Pada masa-masa sebelum Christiaan Snouck
Hurronje yang demikian itu tidak menjadi sorotan kolonial. Atau pemerintah
jajahan sering kali melupakan terhadap tindakan-tindakan rakyat terjajah yang
tidak mematuhi hukum tentang pencatatan sipil yang tidak diindahkan penduduk.
Kelalaian terhadap pencatatan dan pengawasan perkawinan rakyat jajahan itu
justru dijadikan angin segar untuk pergerakan rakyat. Sebagai wahana
memperkuat iman dan menyatukan barisan atas nama fanatisme Islam yang
dipupuk lewat jalur pernikahan dalam Islam. Kelanjutannya, tidak sedikit terjadi
pernikahan bukan hanya sesama Pribumi saja, tapi juga pernikahan dengan
keturunan Cina maupun Arab. Jalur ikatan kekeluargaan atau perkawinan ini
dipilih karena jika gerak-gerak pergerakan penduduk jajahan dilakukan lewat jalur
sistem formal (kekuasaan) maka dipastikan akan kalah.
Mempertimbangkan arti pentingkan perkawinan dalam Islam Pribumi dan
fungsi penghulu yang sangat penting, maka bagi Christiaan Snouck Hurgronje,
tidak ada alasan meniadakan fungsi dan pengaruh penghulu. Karena pada jabatan
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VII, (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 1339.
159
ini melekat pengaruh yang akan memperlancar urusan pemerintah kolonial kepada
penduduk jajahan. Selain itu, penghulu ini masih dikendalikan di bawah kuasa
bupati.61 Hanya demi kepentingan kolonial ini kadang-kadang tidak menjadi soal
ketika yang diangkat pemerintah pusat sebagai penghulu adalah orang yang tidak
tahu apa-apa62 atau kurang kapabilitasnya. Karena penghulu yang bodoh lebih
mudah dikendalikan pemerintah. Apalagi ketika penghulu diberi kemudahan-
kemudahan oleh pemerintah kolonial.63 Seperti, ketiadaan kewajiban bagi
penghulu untuk membelanjakan uangnya untuk kepentingan sosial. Berbeda
dengan pegawai Pemerintah Daerah dan polisi.64
Penghulu hasil didikan kolonial atau yang dikehendaki penjajah mendapat
tugas pula untuk menelisik secara langsung gerak-gerik masyarakat Islam. Tidak
hanya melalui pengawasan dan pencatatan pernikahan. Penghulu-penghulu
terpercaya dipasang di titik-titik strategis kekuatan Islam. Misalnya, untuk
mengetahui kehendak rakyat Muslim di Banten. Para penghulu ini dipasang
sebagai penghubung kiai-kiai tertemuka di Banten.65 Christiaan Snouck Hurgronje
memossisikan Banten bagi Jawa laiknya Aceh bagi Sumatera. Terbukti sejak lama
telah ada komunitas Banten di Mekah yang berhaji. Itu pertanda bahwa Banten
sangat kuat penagruhnya bagi Jawa.66 Oleh karena itu penghulu-penghulu yang
diangkat pemerintah jajahan bertugas menyelidiki situasi dan pola gerak
61 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 829. 62 Ibid., Jilid V, hlm. 844. 63 Surat tertanggal Betawi, 5 Januari 1905 untuk Direktur Kehakiman. 64 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid V, ibid., hlm. 846. 65 E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi,
Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid VIII, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 1412.
66 Dari Betawi, 26 Maret 1890. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid VIII, ibid., hlm. 1411-1412.
160
masyarakat Muslim Banten dalam menghadapi penjajahan Belanda. Penugasan
para penghulu ini menjadi mudah tanpa kecurigaan rakyat yang berlebihan. Di
mana penghulu dalam menjalankan tugas-tugas kolonialnya dengan cara
mengadakan, mencatat, atau berada (untuk mengawasi) jalannya suatu pernikahan
Islam lebih tidak dicurigai. Suatu peristiwa hukum yang sejak awal dikatakan
Christiaan Snouck Hurgronje tidak menyimpang dari hukum Islam. Wajar jika
petugas kolonial (penghulu) mendapat kelancaran jalan untuk tugas-tugasnya
karena sedemikian penting perannya.
Malahan tokoh-tokoh pejuang Islam seperti Syeikh Ahmad Rifa’i di
Kendal-Batang-Pekalongan, Jawa Tengah, dituduh menyimpang dari ajaran-
ajaran Islam. Kita tahu, bahwa tokoh agama pada kala itu tidak hanya sebagai
guru mengaji, juga kadang sebagai penghulu dalam perkawinan. Syeikh Ahmad
Rifa’i yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam ini, menurut Christiaan
Snouck Hurgronje, perlu disingkirkan. “Saya bahkan menganggap, tindakan
pengasingan terhadap orang seperti Ripangi hanyalah tepat,” katanya.67
Pengasingan terhadap Syeikh Ahmad Rifa’i atau Ripangi dilakukan karena
dianggap membahayakan ketenteraman. Karena Ripangi buta dan tuli terhadap
peringatan pemerintah. Tuduhan-tuduhan kolonial terhadap Ripangi ini karena
melawan penjajah Belanda dengan caranya yang tidak mengindahkan aturan
hukum kolonial. Maka, bagi Syeikh Ahmad Rifa’i, orang-orang Pribumi yang
67 Betawi, 26 Mei 1896 Kepada Direktur Kehakiman. E. Gobee, C. Adriaanse, Ambtelijke
Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid X, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 2084-2085.
161
menjadi penghulu, tumenggung, dan guru agama yang mengikuti kata penjajah
disebut sebagai orang Pribumi yang tersesat.68
Peran-peran agamawan yang tidak mau di bawah kendali kolonial seperti
Syeikh Ahmad Rifa’i ini dipandang oleh Belanda membahayakan ketertiban.
Christiaan Snuock Hurgronje memutarbalikkan kegiatan Syeikh Ahmad Rifa’i ini
sebagai perlawanan terhadap semua adat Pribumi. Serta alasan Syeikh Ahmad
Rifa’i tidak menghormati dan tidak mengakui kekuasaan konkret kolonial
Belanda yang menjadi sejarah. “Oleh karena itu penyebarluasan tulisan-tulisan
Ahmad Ripangi harus di berantas,” katanya.69 Dari alasan kekuasaan kongkret
‘telah menjadi sejarah’ Christiaan Snouck Hurgronje sedang menjadikan
pemerintah jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah sejarah (baca, adat). Di mana
adat istiadat merupaka hukum yang harus ditaati oleh seluruh penduduk jajahan
Belanda. Kita tahu pula bahwa dia, Christiaan Snouck Hurgronje, adalah orang
yang sangat getol terhadap perjuangan hukum adat untuk menghabisi hukum
Islam. Sehingga seringkali gerak-gerak ulama’ atau masyarakat Muslim yang
menentang Belanda disamakan dengan penentangan terhadap adat alias
penentangan terhadap bangsanya sendiri. Christiaan Snouck Hurgronje sungguh
seorang arsitek dalam urusan perdata kolonialistik di Hindia Belanda yang pintar,
cerdik, licik, dan, berwibawa.
Dari agen-agennya, yakni penghulu, kadi, maupun naib, yang selalu
memberikan laporan gerak-gerak Muslim Pribumi, Christiaan Snouck Hurgronje
mampu menentukan target-target operasi selanjutnya. Syeikh Ahmad Rifa’i salah
68 E. Gobee, C. Adriaanse, Nasehat…, Jilid X, ibid., hlm. 2083. 69 Ibid., Jilid X, hlm. 2088.
162
satunya. Muhammad Jahid dan Syeikh Abadul Jalil dapat dijadikan contoh
lainnya. Yang disebut terakhir tadi cukup fenomenal. Menurut informasi mata-
matanya, Christiaan Snouck Hurgronje mendapat keterangan bahwa Syeikh Abdul
Jalil (Syeikh Siti Jenar)70 berdakwah dan meramalkan tentang terjadinya revolusi
di Jawa yang tidak lama lagi. Kemudian rencana-rencana untuk meng-Islamkan
orang-orang Belanda. Sedangkan orang Belanda yang membangkang akan di usir
dari Jawa.71 Gerakan-gerakan tokoh Islam seperti mereka sungguh mengancam
kelangsungan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Tetapi, lewat agen-agen
atau mata-mata yang dimiliki, laiknya penghulu, Christiaan Snouck Hurgronje
dapat lebih awal mengantisipasi. Bahkan menyusun rencana-rencana tandingan
guna mematahkan dan menumbangkan pejuang-pejuang kemerdekaan atas
Belanda. Yaitu, dengan cara memutarbalikkan fakta bahwa para pejuang
kemerdekaan yang Muslim ini diklaim sebagai penjahat, pembawa ajaran sesat,
mengusik ketenteraman dan ketertiban, atau memberontak terhadap pemerintah
nagara jajahan Hindia Belanda yang sah. Pengusiran, pengasingan, penjara, atau
pembunuhan adalah hukuman yang mudah dijatuhkan oleh pemerintah jajahan
Hindia Belanda untuk mereka.
70 Revolusi Jawa sebagaimana diramalkan Syeikh Siti Jenar dapat dilihat dalam Agus
Sunyoto, Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syeikh Siti Jenar, Jilid 1-7, (Yogyakarta: LKiS, 2003-2005).
71 Ibid., Jilid X, hlm. 2122.
163
d. Khayalan Ilmuwan Barat: Hukum Waris Adat (Matriarkat) dan Hukum
Waris Islam (Patriarkat) Tidak Mungkin Berdamai !
Christiaan Snouck Hurgronje merupakan pengikut rasionalisme dan
liberalisme Leiden yang kuat. Meskipun pada masa remaja dia sempat terhanyut
dalam paham Khayal dan Kenyataan (Dichtung und Warheit)-nya Goethe.72
Sekarang pun dia nampaknya telah kembali kepada paham khayal yang pernah
ditinggalkannya. Khayalan sang ilmuwan Barat itu adalah soal ketidakmungkinan
sistem hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat) untuk
berdamai. Contohnya pernah terjadi pada masyarakat Minangkabau. Sehingga
dianggapnya tidak ada jalan lain sebagai alternatif penyelesaian persoalan warisan
kecuali menggunakan hukum waris adat. Artinya, hukum waris Islam tidak bisa
dipergunakan bersanding dengan hukum waris adat.
Kekesalannya terhadap gencarnya perjuangan ajaran Islam untuk memakai
hukum waris Islam yang menentang kolonialisme, dituduh oleh Christiaan Snouck
Hurgronje, sebagai ‘celaan’ untuk merebut kekuasaan73 oleh golongan Islam dari
kaum adat Minangkabau. Staatsblad No. 116 Tahun 1937 dapat dijadikan bukti
upayanya untuk mencegah pengaruh sistem kewarisan Islam. Dalam peraturan ini,
jurisdiksi masalah kewarisan yang semula ada di Pengadilan Agama (PA)
dipindah ke Pengadilan Umum (PU). Yakni, “di mana perkara-perkara yang
muncul tidak dipecahkan menurut hukum Islam tetapi menurut adat”. Sedangkan
jurisdiksi PA dibatasi hanya dalam dua masalah; perkawinan dan perceraian.
Staatsblad No. 116 Tahun 1937 merupakan upaya kolonial merebut supremasi
72 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 31. 73 Lihat Bab III.
164
kewarisan; di sini hukum adat lebih unggul daripada hukum Islam.74 Segala daya
dan upaya telah dikerahkan Christiaan Snouck Hurgronje maupun pemerintah
Hindia Belanda sebagai pembenar bahwa hanya hukum adat yang semestinya
dipakai untuk menyelesaikan persolan warisan di Minangkabau. Bukan hukum
Islam. Sekaligus untuk membenarkan pemikirannya tentang hukum waris adat dan
hukum waris Islam yang tidak mungkin didamaikan.
Namun segala daya upaya untuk membuktikan bahwa ‘hukum waris adat
dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai’ telah sia-sia belaka. Dengan
kata lain, mitos ‘hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin
berdamai’ hanyalah khayalan yang dibangun ilmuwan Barat. Sekali lagi,
Christiaan Snouck Hurgronje tua sudah terjebak pada paham khayalnya Goethe,
sebagaimana masa mudanya sebelum bertemu kaum modernis Lieden. Khayalan
sang ilmuwan Barat ini telah berakhir sia-sia. Ternyata, justru dengan tanpa
adanya campur tangan kolonial, masyarakat lebih mampu mendamaikan hukum
waris adat dan hukum waris Islam. Subaltern yang sering dicap bodoh dan tak
berpendidikan ini membuktikan diri lebih unggul dalam menyelesaikan masalah
dibanding kolonialis seperti Dr. Christiaan Snouck Hurgronje.
Contohnya di Minangkabau. Pernah disepakati antara ninik mamak dan
alim ulama di Bukit Marapalam (dalam Perang Padri, abad ke-19) tentang
rumusan; adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah (Quran). Rumusan
yang cerdas ini kemudian dikukuhkan kembali dalam rapat antara ninik, mamak,
imam khatib, cerdik-pandai, manti-dubalang Minangkabau di Bukittinggi pada
74 Ratno Lukito, ibid., hlm. 37.
165
1952. Sebagai bukti bahwa hukum waris adat dan hukum waris Islam dapat
berdamai ditegaskan pula dalam pertemuan-pertemuan lain. Misalnya, penegasan
kembali dalam seminar hukum Adat Minangkabau di Padang (Juli 1968).
Kesimpulan penting dapat diambil dalam rapat dan seminar tentang kewarisan itu;
pertama, kewarisan harta pusaka tinggi diperbolehkan turun-menurun dari nenek
moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat; kedua, harta pencaharian
(disebut juga pusaka rendah) diwariskan menurut syara’ (hukum Islam).
Jadi, sejak 1952, jika ada perselisihan soal harta pusaka tinggi diselesaikan
dengan pedoman hukum adat. Lalu, penyelesaian masalah harta pencaharian
berlaku hukum faraa’id (hukum kewarisan Islam). Perdamaian antara hukum
waris adat dan hukum waris Islam ini disuarakan kembali dalam seminar hukum
adat Minangkabau pada 1968. Di sana juga diserukan kepada seluruh hakim di
Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan kesepakatan tersebut. Dengan
demikian, hukum waris adat (matriarkat) dan hukum waris Islam (patriarkat)
sudah berdamai di bawah keputusan rakyat Minangkabau tanpa campur tangan
kolonial yang kotor dan licik.
Apalagi ungkapan yang paling pas untuk para pengkhayal Barat yang
kukuh bahwa hukum waris adat dan hukum waris Islam tidak mungkin berdamai,
laiknya Christiaan Snouck Hurgronje dan sahabatnya Cornelis van Vollenhoven,
kecuali mereka sedang membuat mitos baru dalam dunia hukum perdata. Sungguh
tindakan akademisi Barat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah di
pengadilan altar akademik. Benar kiranya yang dikatakan Hazairin75 tentang
75 Hazahirin dalam Hukum Kekeluargaan Nasional.
166
segala yang dilakukan Christiaan Snouck Hurgronje untuk membenarkan pikiran-
pikirannya; bahwa bangunan teori resepsi yang dikonsep Dr. Christiaan Snouck
Hurgronje adalah teori iblis.
Pemikiran yang dikonstruksi Abdul Ghaffar—nama Islam Christiaan
Snouck Hurgronje—tak lain justru untuk membuat orang Islam sendiri tidak
melaksanakan hukum Islam. Bagaimana mungkin orang yang medeklarasikan diri
sebagai Mulsim di hadapan para ulama Mekah malah berbalik menentang
penyebarang Islam di Hindia Belanda? Kecuali jika tindakan itu hanya dilakukan
oleh Muslim gadungan yang telah melakukan pelacuran intelektual hanya demi
kelancaran penjajahan Belanda (Kristen) di Nusantara. Jan Just Witkam dalam
naskah Orientalist menyebutkan bahwa Christiaan Snouck Hurgronje memang
“not a religious man.” Yang ada padanya “little personal religious feeling”.76
Orientalist ini sekaligus membuktikan bahwa kehebatan Christiaan Snouck
Hurgronje dalam ilmu teologi, penguasaannya atas Bahasa Arab, dan bekal ajaran
Islam yang cukup mendalam tidak otomatis menjadikan dirinya sebagai pemeluk
‘Islam’ yang taat. Terakhir tadi jika bukan untuk penyamaran belaka.
Jadi, yang dilakukan intelektual kolonialis Christiaan Snouck Hurgronje
dalam hukum kewarisan, telah sesuai dengan konsep operasi pemikirannya.
Yakni, “menaklukkan Islam di Indonesia berarti membebaskan pemeluknya dari
pembatasan sempit sistem Islam” kata Christiaan Snouck Hurgronje “La Politique
Musulmane de la Hollande”, dalam Verspreide Geschriften, IV, I, hlm. 204.
76 Jan Just Witkam, Christiaan Snouck Hurgronje: a tour d’horizon of his life and work, dalam
Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) Orientalist, (Leiden: Leiden University Library, 2007), hlm. 15.
167
Penyempitan pengaruh hukum Islam ini akan dilanjutkannya dengan menjadikan
orang Indonesia bersatu dalam budaya77 dan sistem hukum penjajah Belanda.
e. Asas Monogami: Kepanjangan Tangan Kolonial
Dalam UU RI No. 1 tahun 197478 tentang Perkawinan terkandung asas
pernikahan adalah monogami. Asas ini sebagaimana yang pernah direncanakan
Christiaan Snouck Hurgronje yang menghendaki pernikahan monogami dan
menghapus poligami. Sebagaimana cita-citanya yang ingin melihat masyarakat
Indonesia, terutama Jawa, menjalani hidup wajar dengan monogami. (Artinya,
poligami tidak wajar). Menghilangkan kesewenang-wenangan antara suami dan
istri akibat posisinya yang tidak setara. Menjadikan kehidupan keluarga yang
sehat dengan monogami. Monogami ini, sekaligus, baginya mendukung arah
modernisasi di Indonesia. Asas monogami ini juga selaras dengan Ordonansi
Mengenai Pencatatan Pernikahan pada 1937 yang merencanakan pernikahan
monogami dan dicatat.79
Artinya, asas monogami dalam pernikahan di Indonesia (UU No. 1/ 1974)
merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kolonialisme. Jika Christiaan
Snouck Hurgronje masih berusia panjang hingga saat ini pasti dirinya akan
berbangga buah pikirannya dipakai dalam hukum Indonesia. Asas monogami
sebagai kepanjangan tangan kolonial tidak hanya berhenti pada kesamaan ide
Christiaan Snouck Hurgronje maupun cita-cita dalam ordonansi pernikahan pada
77 Suminto, ibid., catatan kaki hlm. 38, dari Harry J. Benda, “Continuity and Cange in Southeast Asia”, op.cit., hlm. 89.
78 Lihat Depag. RI, Bahan Penyuluhan Hukum, ibid. atau Drs. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003).
79 Lihat Bab III.
168
1937. Ada hal-hal yang lebih penting ikut mendasari asas monogami ini. Pertama,
ide pernikahan harus monogami merupakan upaya kolonial ikut campur tangan
dalam persolan ibadah atau agama murni. Padahal, Christiaan Snouck Hurgronje
dalam nasehatnya menyatakan, bahwa dalam hukum yang murni agama
pemerintah hendaknya netral.80 Poligami merupakan hukum yang murni agama.
Hukum Islam tidak menutup kemungkinan suatu pernikahan poligami.
Polemik antara pendukung poligami dan yang mengharamkan poligami dalam
hukum Islam tidak mengerucutkan poligami dalam satu hukum, haram misalnya.
Artinya, poligami merupakan masalah hukum yang debatable (tidak satu hukum).
Pernikahan harus monogami seperti diinginkan Christiaan Snouck Hurgronje ialah
bentuk reduksi atas hukum Islam. Kekayaan khazanah hukum Islam benar-benar
dikerdilkan olehnya hanya untuk mendukung cita-cita kolonialisme.
Kedua, agar Muslim Hindia Belanda menjadi pelaksana amaliyah orang
(Kristen) Eropa yang hanya boleh menikahi seorang perempuan (memiliki satu
istri). Karena kolonialisme tidak hanya untuk kepentingan kekayaan (gold) yang
ada di Nusantara. Meskipun tujuan meng-Kristen-kan seluruh penduduk jajahan
tidak tercapai setidaknya ajaran-ajaran Kristen diamalkan masyarakat Muslim
Hindia Belanda. Dengan begitu, secara nonformal, Muslim Indonesia ialah sangat
Kristen (baca, mimicry) dalam ajarannya. Sekaligus pengikut tertib hukum
keluarga yang juga Kristen (Eropa). Sehingga ‘tidak ada bedanya’ antara Muslim
80 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian IV, 2,
(Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 200. Bandingkan Latiful Khuluq, ibid., hlm. 2.
169
dan Kristen karena kedua-duanya sama pelaksana ajaran sekaligus kepentingan
Kristen (Eropa).
Ketiga, pernikahan monogami, seperti ini disebutkan Christiaan Snouck
Hurgronje akan mendorong Indonesia, ke arah dunia modern81 (kemajuan). Asas
monogami sedang ingin memajukan Muslim Pribumi yang ‘terbelakang’ agar
lebih dekat (seperti) kehidupan modern (Eropa) yang ‘lebih maju’. Di sini, umat
Islam Pribumi, benar-benar sedang dikebiri oleh Abdul Ghaffar atau Christiaan
Snouck Hurgronje sebagai manusia ‘terbelakang’. ‘Terbelakang’ dalam maksud
kolonialisme adalah lebih mirip dengan moyangnya (kera). Asas monogami
berupaya menjadi Muslim yang mirip kera bodoh ini semakin maju dengan
mengikuti konsep keluarga Eropa yang keseluruhannya hanya monogami. Satu
orang pun dilarang (haram) berpoligami (kira-kira) dengan alasan apapun.
Keempat, alasan kebudayaan akan pula menjelaskan kepentingan di balik
asas monogami. Para ulama Nahdlatul Ulama pernah memberikan pendapatnya
dari sisi budaya ini. Yakni, Eropa dan Indonesia memiliki budaya yang berbeda
dan masyarakatnya juga disusun atas sistem yang berbeda. Keliru jika Indonesia
kemudian disamaratakan dengan Eropa bahwa segala bentuk pernikahan harus
monogami. Dalam Berita Nahdlatoel Oelama No. 16, 1 Juli 1937, diterangkan
suatu akibat laki-laki dilarangan beristri lebih dari satu orang perempuan. Hal ini
dicontohkan di Eropa, masyarakat yang anti poligami, memunculkan budaya baru.
Yaitu, laki-laki biasa memiliki perempuan lagi dengan cara yang tidak benar atau
81 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid., hlm. 197.
170
pergundikan. Bahkan, muncul perkumpulan-perkumpulan hotel (hotel-societeit)
yang melegalkan pergundikan.82
Praktik pergundikan seperti itu pula sepertinya yang telah dilakukan
Christiaan Snouck Hurgronje dengan menikahi secara Islam perempuan Pribumi:
Sangkana dan Sadijah. Bagaimana tidak? Terbukti setelah pernikahan-pernikahan
dalam Islam dengan dua perempuan Pribumi tadi, Christiaan Snouck Hurgronje
pada 1906 kembali ke Belanda, lalu dia menikahi Ida Maria pada 1910. Ida Maria
merupakan putri Dr. A.J. Oort pensiunan pendeta liberal di Zutphen. Hubungan
pernikahan dengan Ida Maria tetap terjalin sampai Christiaan Snouck Hurgronje
meninggal dunia (26 Juni 1936)83 di Leiden.84 Sedangkan anak-anaknya dari
mengawini perempuan Pribumi dilarang ke Belanda (meskipun untuk belajar)
sekaligus tidak boleh memakai ‘Snouck Hurgronje’ pada tiap-tiap namanya. Fakta
ini merupakan bentuk Christiaan Snouck Hurgronje tidak mengakui anak-anak
Indonesianya.85
Hukum perkawinan Indonesia memang tidak mengharamkan poligami.
Bagi laki-laki, masih diberi kesempatan punya istri lebih dari seorang perempuan
jelita. Namun, asas monogami tidak bisa mengingkari dari sejarah kolonialnya.
82 Lihat Penolakan Kiai NU terhadap RUU Anti Poligami Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda (tanpa identitas). 83 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 124. Lihat pula Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula,
Cet. II, (Jakata: Lentera Dipantara, 2003), hlm. 97-98. Dalam catatan kaki nomor 11. 84 Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), Christiaan Snouck Hurgronje (1857-
1936) Orientalist, ibid., hlm. 11. 85 P.Sj. van Koningsveld, ibid., hlm. 227-228.
171
C. PENGARUH KONSEP KOLONIALISTIK CHRISTIAAN SNOUCK
HURGRONJE DALAM KENYATAAN HUKUM DI INDONESIA
a. Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Tempat Sampah Dunia
Hindia Belanda bahkan tidak memiliki pusat ilmu pengetahuan Islam, hanya hidup dari sisa hidangan internasional …86
Christiaan Snouck Hurgronje
Demikian itu pernyataan tegas Christiaan Snouck Hurgronje yang
diterbitkan dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en Volkenkunde oleh
Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII, di Batavia
pada 1900, di halaman 393-427. Pernyataan Christiaan Snouck Hurgronje tersebut
sedang membuka cakrawala pikir kita bahwa sesungguhnya diakui oleh sang
arsitek hukum kolonial bahwa Nusantara merupakan sampahnya peradaban dunia.
Yang hidup dengan cara menyantap sisa-sisa dari jamuan internasional. Jamuan
yang dimaksudkan di sini adalah keilmuan, pengetahuan, hukum, maupun
keadaban. Kondisi seperti ini pun tercermin sampai saat ini setelah Hindia
Belanda merdeka dan menjadi Republik Indonesia modern. Kemerdekaan yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 tidak merubah status Indonesia sebagai
tempat sampahnya dunia. Sumber lain menyebutkan kemerdekaan itu pada 27
86 Tertanggal : Batavia, April 1900 Terbit dalam Tijdschrift voor de Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde Diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Jilid XLII (Batavia, 1900) halaman 393-427. C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Bagian II, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, (Jakarta: INIS, 1923), hlm. 174. [Huruf miring tebal dari A.M]
172
Desember 1949.87 Bahkan pada orde reformasi ini pun status sebagai sampahnya
dunia belum pindah tangan dari Indonesia.
Adapun Christiaan Snouck Hurgronje merupakan distributor ulung yang
berhasil menyebarkan sampah-sampah Barat, khususnya Leiden, ke tertib
kehidupan masyarakat Nusantara. Tidak hanya menyebarkan, lebih lagi,
Christiaan Snouck Hurgronje adalah aktor yang berhasil pada skala tertentu
menjadikan bangsa Indonesia mau tetap menyantap sisa-sisa dari hidangan
internasional yang dibawanya dari Leiden. Tidak terkecuali sampah-sampah
hidangan internasional via Belanda itu menyentuh pada kenyataan hukum di
Indonesia. Misalnya dalam proses pembentukan hukum perdata di Indonesia yang
seolah tidak sanggup tanpa merujuk (tepatnya, menjiplak atau mimikry) dalam
istilah Franz Fanon atau Homi K. Bhabha88— konsep-konsepnya dari Belanda.
Dalam proses pembentukannya, hukum perdata (misalnya, pencatatan
pernikahan) di Indonesia banyak terpengaruh warisan pemikiran dan hukum
kolonial Belanda. Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon) merupakan asal
mula Hukum Perdata Belanda. Code Napoleon89 disusun berdasarkan hukum
Romawi atau Corpus Juris Civilis (waktu itu dianggap hukum paling sempurna).
Saat Perancis menguasai Belanda (1806-1813), hukum perdata dan dagang
diberlakukan di Belanda.90 Berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri
87 Arnoud Vlorijk and Hans van de Velde (compiled), ibid., hlm. 31. 88 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, SU, Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 452. 89 Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu
lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang).
90 Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional
173
Belanda, baru pada 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Sipil) atau KUHS Negeri Belanda91 (selesai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan
tanggal 1 Februari 1830).92 Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, KUHPdt.
Belanda ini diusahakan supaya berlaku di Hindia Belanda. Yakni, dengan
membentuk B.W. Hindia Belanda (isinya serupa dengan BW Belanda). Tokoh
Belanda yang memperkokoh B.W. Hindia Belanda adalah Mr. C.J. Scholten van
Oud Haarlem93 dan Mr. C.C. Hagemann,94 ditambah Mr. A.A. Van Vloten dan
Mr. Meyer.95 Lalu dibentuk panitia baru; Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem96
dan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes.97 Panitia ini yang berhasil
mengkodifikasi KUHPdt Indonesia yang banyak dijiwai KUHPdt. Belanda
(diumumkan 30 April 1847 di Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948).
(berlaku asas konkordansi). Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis.
91 Berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr.J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Sebelum selesai Kemper meninggal dunia (1924) dan usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan Nicolai, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia (pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara). Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama : 1.Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda) – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt. 2.Wetboek van Koophandel disingkat WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.
92 Tetapi, pada Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda (kerajaan Belgia) sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanakan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut Prof. Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
93 Ketua panitia kodifikasi. 94 Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk
turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.
95 Masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. 96 Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem. 97 Anggota.
174
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945,98
KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku dipakai di Indonesia. BW
Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang-Undang Hukun Perdata Indonesia99
(induknya hukum perdata Indonesia).100
Jadi pada kenyataan hukum ini, terutama perdata, Indonesia benar-benar
penerima sampah-sampah hukum dari perdaban Barat. Di mana Indonesia modern
mewarisi konsep-konsep hukum dari negara jajahan Hindia Belanda, Hindia
Belanda mendapatkannya dari Belanda, dan Belanda sisa dari Perancis. Mata
rantai ini menunjukkan bila Indonesia modern menjadi pihak ke empat yang
memakai konsep hukum yang merupakan sisa-sisa dari Perancis. Sungguh suatu
kondisi hukum yang sangat terperosok ketika Indonesia modern hingga saat ini
memakai warisan hukum dari koloni jajahan Hindia Belanda yang mana Hindia
Belanda mewarisi dari Kerajaan Belanda (koloni jajahannya Perancis).
Dengan diberi dan menikmati sampah-sampah hukum dari Perancis-
Belanda-Hindia Belanda ini yang disebut Christiaan Snouck Hurgronje dalam
rangka memajukan (baca, memodernkan) Indonesia. Sebagaimana juga telah
dijadikan tujuan utamanya untuk menjadikan Indonesia, khususnya Jawa,
berpindah ke dunia modern. Tata hukum Indonesia modern bukan yang sesuai
98 “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.” 99 Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi
seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata Barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
100 Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam Evy Lestari, Pengaruh Kolonialisme Belanda terhadap Keharusan Nikah Seagama dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,” (Skripsi F.S. IAIN Semarang: tidak diterbitkan, 2009), hlm. 108-109.
175
terori resepsi yang diperjuangkannya agar kehidupan diatur dengan hukum adat.
Bukan pula lagi Indonesia yang diatur dengan hukum Islam. Karena memang
Islam sedari awal merupakan sasaran utama yang harus dihancurkan melalui
hukum adat, modernisme, rasionalisme, liberalisme, evolusi sosial dan hukum,
sampai formasilasi (penerapan) hukum Eropa untuk wilayah jajahan di Hindia
Belanda (sekarang, Indonesia modern). Caranya, sedapat mungkin menjauhkan
dan membebaskan (liberalization) orang-orang Indonesia dari ajaran Islam untuk
menganut ajaran Belanda-Kristen agar Indonesia berada pada orbit pembaratan
(wearwenization).101
Tentu yang pertama di tarik ke orbit pembaratan adalah orang-orang yang
tidak kental ajaran agamanya. Paling mudah misalnya melalui pengawasan atau
pencatatan pernikahan oleh penghulu, naib, yang ditugaskan oleh pemerintah
jajahan. Sehingga dengan sendirinya orang-orang Indonesia belajar dengan
konsep modern yang kolonialistik dengan target panjangnya sebagai mitra
kolonialisme. Malahan yang paling mudah untuk dikendalikan sebagai marsose
penyelenggara aturan-aturan dari Belanda ialah kaum ningrat dan kepala adat
yang jauh dari pengaruh dan sistem hukum Islam. Christiaan Snouck Hurgronje
mewujudkan rencana menjadikan Hindia Belanda (kemudian, Indonesia) sebagai
tempat sampah hukum ini dengan mengusahakan anak dari keluarga terkemuka
Hindia Belanda belajar dengan sistem pendidikan Barat. Nama-nama seperti
Ahmad Djajadiningrat, putra ningrat Banten, dan Wiranatakusumah, regent
Cianjur terakhir, merupakan anak didik Christiaan Snouck Hurgronje. Orang
101 Lathiful Khuluq, ibid., hlm. 47-48.
176
Eropa laiknya Abendanon, Engeleberg, van Lith, dan Hardeman kemudian ikut
menapaki langkah orientalis dari Leiden itu.102
Beberapa organisasi seperti Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond
(1916), Christelijke Ethische Partij (1918), dan Politiek Economische Bond
(1919) juga terlibat untuk mempereratkan hubungan Belanda dengan Hindia
Belanda (asosiasi).103 Pribumi sebagaimana Ahmad Djajadiningrat dan Sujono
turut rela menjadi antek Belanda untuk kelancaran tujuan kolonial laiknya
organisasi modern tadi.104 Selanjutnya bagi Indonesia, akibat tidak diakuinya
hukum Islam oleh Christiaan Snouck Hurgronje yang lebih ‘mendukung’ hukum
adat, adalah terhentinya mata rantai Islamisasi di Nusantara.105
b. Gagal Menghasilan Sistem Hukum yang Merdeka
Sebaliknya, yang hidup dan dilestarikan dalam sistem hukum dan tata
pemerintahan Indonesia modern justru hukum warisan dari Eropa, Belanda. Hal
ini membuktikan bahwa Pribumi didikan Barat atau Eropa benar-benar sudah
menjadi manusia modern. Tentu modern dalam pengertian Barat yang gemar
mengunggul-unggulkan hukum positif peninggalan kolonialisme Belanda. Sekian
banyaknya guru besar ilmu hukum sekaligus dengan segala disiplin yang
digelutinya tidak pernah menghasilkan sistem hukum merdeka yang sesuai dan
102 Ibid., hlm. 47. J. Hardeman (1885-1962) pernah menjadi pegawai Amerika Serikat (1904-
1909), lalu Pegawai Departemen Pendidikan dan Agama (1926-1929) semasa Gubernu Jenderal De Graeff.
103 Asosiasi hendak menggabungkan negeri kolonial Belanda dengan daerah koloninya (taklukan) Hindia Belanda termasuk dalam sistem hukumnya. Meskipun tidak di isi dengan bahasa dan agama yang sama.
104 Ibid., hlm. 69. 105 Ibid., hlm. 70-71.
177
menjiwai jati diri wawasan Nusantara kita. Perubahan dan revisi yang dilakukan
dalam bidang hukum tidak pernah bisa lepas dari konsep-konsep warisan
kolonial. Padahal, jika kita mau menjiplak masih dapat dijumpai konsep hukum
warisan leluhur bangsa Nusantara. Sehingga tidak menjadi terlalu konsumtif
terhadap hukum imporan asal Eropa yang modern (baca, sampah) itu.
Misalnya, bisa dikutip peraturan perundang-undangan yang disusun Prabu
Suria Alem atau kita sebut dengan Undang-Undang Suria Alem. Ada sejumlah
144 pasalnya dapat dijadikan rujukan penyelenggaraan pengadilan di Indonesia.
Jumlah pasal tadi setelah penyederhanaan dan pengurangan dari Suria Alem yang
semula terdiri dari 507 pasal.106 Undang-undang ini dapat dipakai sebagai sumber
percontohan awal untuk pengembangan hukum di Indonesia. Pembahasan di
dalamnya tidak sebatas urusan pidana dan masalah publik. Problematika hukum
yang berkenaan dengan keluarga, seperti perkawinan, anak, dan sebagainya, tidak
luput dari pembahasannya. Dengan mengembangkan hukum-hukum dari warisan
leluhur setidaknya akan menjadikan Indonesia lebih memiliki kehormatan. Karena
mampu berdaulat di atas kaki sendiri untuk penyusunan tertib kehidupan dan
kebangsaan. Tidak seperti kenyataan hukum di Indonesia sekarang ini yang hanya
tunduk dan patuh dengan sampah-sampah hukum dari Belanda khusunya, dan
Eropa pada umumnya, yang Christiaan Snouck Hurgronje pun ikut membawanya.
Dari sini dapat ditarik suatu benang penghubung kolonial tentang
perangkap kolonialistik dalam pemikiran hukum yang dibangun Christiaan
Snouck Hurgronje. Yakni, sebagai alat penjinak, pengawasan, dan pengendali,
106 Thomas Stamford Raffles, The History of Java, (Jakarta: PT Buku Kita, 2008), hlm. 664-
681.
178
masyarakat Hindia Belanda yang berlanjut pada masyarakat Indonesia modern.
Pertama, konsep koloniaslitik Christiaan Snouck Hurgronje untuk menjinakkan
sendi-sendi perlawanan masyarakat Muslim. Penjinakan perlawanan Pribumi
terhadap Belanda dilaksanakan melalui rasionalisasi. Yakni, memasukkan anak-
anak bangsawan ke sekolah Eropa. Selanjutnya juga berlaku untuk anak-anak lain.
Christiaan Snouck Hurgronje yakin untuk membentuk generasi baru Jawa107
dengan pendidikan yang baik ke jenjang yang lebih tinggi. Dia juga berusaha
menepis kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa menginjak masa pubertas
anak-anak didikan Eropa ini jadi memiliki sifat acuh tak acuh.108 Maksudnya,
menginjak usia remaja anak-anak Pribumi didikan Eropa menjadi kehilangan tata
krama dan tidak menjalankan aturan-aturan Pribumi. Karena menjadi sangat
rasional dan kritis sehingga segala sesuatu yang ada di masyarakat dianggap
keliru. Memang demikian hasilnya karena genealogi pengetahaun Barat yang beda
dengan dunia Timur akan memejamkan mata saat memandang segala sesuatu
yang dihasilkan dunia Timur.
Dengan rasionalisasi ini generasi penerus menjadi jinak atau penurut atas
kemauan kolonial. Penjinakan itu dibahasakan Christiaan Snouck Hurgronje
bahwa Pribumi yang berpendidikan Eropa lebih setara dibanding petani atau
nelayan Belanda. Pada persoalan hukum pun menjadi sangat jinak dan penurut.
Seperti rasionalisasi hukum perdata dalam bentuk pengawasan oleh penghulu,
107 Generasi baru Jawa ialah generasi yang berasal dari anak-anak Jawa yang terdidik dalam
sistem pendidikan modern. Hasilnya orang-orang bergaya indisch (tiruan Barat). 108 C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, (Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig: 1924). terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 148.
179
pencatatan pernikahan, atau pernikahan harus serumpun (seagama).109 Positifikasi
hukum ini langsung membuat Pribumi-Pribumi terpelajar bertekuk lutut untuk
mengikuti. Karena yang diterapkan oleh Belanda sesuai dengan kapasistas
keilmuan yang diperoleh ahli hukum Pribumi dari Eropa. Orang-orang seperti
inilah yang diangkat tugas sebagai penghulu oleh pemerintah jajahan Hindia
Belanda. Menurut Christiaan Snouck Hurgronje memang seharusnya membiarkan
Pribumi di bawah pimpinan atau kekuasaan langsung para pamong bila keadaan
memungkinkan.110 Hingga saat ini pun, pada era Indonesia modern, para pelajar
didikan sekolah atau pergurun tinggi sistem Eropa benar-benar jadi jinak. Menjadi
pendukung setia formalisasi hukum Eropa untuk Indonesia tanpa bisa berbuat apa-
apa. Nampaknya mereka sudah buta sejarah111 bahwa nenek moyang bangsa kita
memiliki warisan tata aturan hukum yang sangat patut untuk dikembangkan.
Kedua, kenyataan hukum kita selalu di bawah pengawasan dan arah
konsepsi kolonial. Pengawasan ini dilakukan awalnya lewat penguasaan hukum
adat untuk kepentingan kolonial. Hukum-hukum dalam masyarakat selalu tumbuh
berkembang. Serta terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan yang
ada di dalam masyarakat. Kata Chrisitian Snouck Hurgronje, dengan pengawasan
yang cermat bisa menghilangkan bahaya yang muncul dari perkembangan hukum
dalam masayakat.112 Pengawasan menggunakan hukum adat mampu pula
109 Evy Lestari, ibid. 110 Dimuat dalam de Gids, tahun penerbitan ke-72 (Amsterdam, 1900), hlm. 211-234. C.
Snouck Hurgronje, Kumpulan… IX, ibid.¸ hlm. 137. 111 Menjadikan anak-anak Indonesia buta sejarah bangsanya merupakan bagian skenario
kolonial. Sangat banyak khazanah leluhur kita yang diangkut ke Belanda (Leiden) maupun Inggris yang tidak gampang kita akses. Khazanah ini pada masa-masa mendatang dapat dipakai untuk membodohi generasi mendatang kita (ahistoris). Selanjutnya digencarkan kolonialisme sejarah.
112 Betawi, 19 April 1904, dikirim ke hadapan Yang Mulia Gubernur Jenderal. E. Gobee, C. Adriaanse, Nasihat…, Jilid V, ibid., hlm. 720.
180
mengendalikan perkembangan hukum Islam. Sehingga pada era kolonial Belanda
bercokol hukum Islam kalah fungsi dibanding hukum positif Eropa. Dengan cara
pengawasan dalam sudut pandang hukum positif Eropa ini pada era-era sekarang
terjadi kerancuan hukum. Yakni, hal-hal yang sudah diatur dalam hukum Islam
sesuai fiqih justru tidak diakui oleh hukum positif bergaya Eropa yang membahas
tentang ke-Islaman. Anehnya, orang-orang yang konon ahli hukum, karena
terawasi secara tidak langsung oleh pengetahuannya sendiri (dari genealogi
Eropa) tidak kuasa menerobos tembok kolonialistik dalam materi-materi hukum
yang dipelajarinya.
Ketiga, tingkat selanjutnya, kehidupan hukum di Indonesia benar-benar
dikendalikan sampah-sampah hukum yang dibuang dari Leiden oleh Christiaan
Snouck Hurgronje. Di mana pencatatan pernikahan menjadi ‘dipaksakan’, dan
‘dipaksa’ pula pernikahan harus seagama. Serta masih terjadi dikotomi sosial dan
status hukum akibat pembelahan antara kaum adat (selanjutnya abangan) dengan
golongan Islam (santri, kiai), lalu Pribumi dan Tionghoa, Islam dan Kristen dan
Konghucu, dan seterusnya. Jurang ini sangat lebar. Bahkan sampai sekarang
pemisahan kekuatan kaum Muslim dan penganut agama lain masih terjadi dalam
masyarakat. Artinya, konsepsi-konsepsi pemikiran kolonialistik Christiaan
Snouck Hurgronje masih hidup hingga sekarang dan tetap terus mengontrol
perhubungan antar penduduk di Indonesia lewat dikotomi kondisi, deskriminasi,
dan pembedaan status di mata hukum.
181
c. Indonesia: Negara Hukum yang Anomi (Tak Berjati Diri)
Namun demikian, tidak semua konsepsi kolonialistik Christiaan Snouck
Hurgronje berhasil mengkondisikan kenyataan hukum perdata di Indonesia sesuai
keinginan kolonial. Misalnya, teori resepsi tidak serta merta membuat dikotomi
ekstrim antara hukum adat dan hukum Islam. Karena masyarakat Indonesia
memiliki sifat akomodatif. Sehingga pada kenyataannya hukum adat dan hukum
Islam diakomodir secara baik-baik.113 Pertama, dipraktekkannya taklik talak
(ta’liq talaq) di hampir semua perkawinan. Pada praktik ini hukum Islam
mengadaptasi ke hukum adat. Yakni, ikrar suami di saat ijab qabul bersedia
diceraikan istrinya yang ditinggal pergi tanpa nafkah beberapa waktu dan istri
tidak rela. Dengan membayar sejumlah uang maka talak bisa dijatuhkan oleh
pengadilan. Kedua, praktik khul’ dalam perceraian. Seorang istri dalam kondisi
tertentu dapat memaksa suaminya menerima pengembalian maharnya sebagai
pebayaran dari perceraian. Jika suami menolak menerima perceraian tersebut,
hakim boleh memutuskan bahwa suami dianggap sudah mengucapkan sighat
talak, atau hakim langsung membubarkan ikatan perkawinan. Ketiga, ordonansi
perkawinan untuk pulau-pulau di luar Jawa dan Madura. Ada ketentuan bahwa
para pejabat agama Islam pada masyarakat pantai barat Sumatra dan Tapanuli
dilarang menyelenggarakan suatu upacaya perkawinan tanpa ada izin tertulis dari
ketua masyarakat asli. Yakni, ketua masyarakat asli di mana para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan tersebut berada. Lebih dari itu, surat perizinan
113 Ratno Lukito, ibid., hlm. 48. Contoh-contoh ini dapat ditemukan dalam tulisan ter Haar,
Beginselen van het Adatrecht, hlm. 183, dan C. Snouck Hurgronje, Nederland en de Islam, hlm. 49; dikutip dalam Westra, “Custom and Muslim Law,” hlm. 160-1; lihat juga G.H. Bousquet, Introduction a l’etude de l’islam indonesien, hlm. 235. (Catatan kaki Ratno Lukito hlm. 48).
182
tersebut harus menerangkan bahwa tidak ada penolakan hukum dari hukum adat
masyarakat bagi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan.114
Sedangkan pada umumnya, akibat tidak mampu melepas dari mewarisi
serta memakai konsepi dan pemikiran sampah kolonialistik bawaan Christiaan
Snouck Hurgronje, kenyataan hukum di Indonesia menderita anomi. Indonesia
alias negara hukum yang tidak punya jati diri. Dan, Dr. Christiaan Snouck
Hurgronje patut dikatakan sebagai arsitek ulung, cerdas, cerdik, licik, dan penuh
wibawa, yang berhasil menjadikan Republik Indonesia (modern) tetap berada di
bawah bayang-bayang dan kendali hukum kolonialistik Belanda!
114 Ibid., hlm. 48-49.
183
BAB V
PENUTUP
Mengusung Dr. Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) sebagai
obyek—‘kelinci percobaan’ (dalam istilah kolonial)—penelitian ini tidak seberat
yang pernah dibayangkan, meskipun pelaksanaannya juga tak mudah. Tidak
kurang dari tiga puluh jilid buku buah karyanya peneliti telaah ‘satu per satu’
dalam rangka mengumpulkan ‘kebenaran’ yang terserak di tiap lembarnya
sehingga diperoleh kebenaran yang ‘bulat’ dan ‘utuh’—dalam istilah Gadamer.
Tak mudah juga karena data primer obyek penelitian ini berupa operasi dari
rencana-rencana pemikiran yang pembukuannya di luar bayangan sistematika
karya ilmiah. Di mana pada era kolonialisme, wacana merupakan praktik-praktik
dari kepentingan penguasa yang dipropagandakan (dan berhalu-lalang), di sini
perlu meminjam dulu arkeologi dan genealogi yang pernah diperkenalkan
Foucault. Meskipun studi ini diniatkan untuk penelitian dalam urusan perdata
(disiplin ilmu hukum Islam, khususnya) namun tidak pula bisa diceraikan dari
persinggungan kuat dengan disiplin ilmu sejarah, ilmu filsafat dan ilmu politik
(kolonial). Pada akhirnya, studi dengan kerangka bacaan kolonialisme dan
postkolonialisme—yang pernah diperkuat karakter pikir, laiknya Edwar Said—ini
(sementara) harus disudahi.
184
A. KESIMPULAN
Kesepatakan umum perlu diketengahkan sebagai hasil penelitian (amatir)
ini untuk membuktikan; bahwa studi yang dilakukan dengan segala pengorbanan
tidak percuma. Kesepakatan umum itu:
1. Secara arkeologis dan genealogis Dr. Christiaan Snouck Hurgronje merupakan
orang yang sangat terdidik dalam Protestan dan akademik (Leiden) serta
menguasai siyasah (strategi) berpengetahuan. Sekaligus orang yang sangat
terlatih sebagai agen intelejen Belanda untuk melaksanakan tugas mata-mata
di Mekah dan Hindia Belanda. Selain itu juga dikonstruksi oleh rasionalisme
dan liberalisme Leiden serta dendam Perang Salib atas Islam. Arkeologi dan
genealoginya berasal dari pencerahan Eropa, rasionalisme dan modernisme
yang sepaket dengan liberalisme dan kolonialisme yang rasis.
Modernisme-rasionalisme ataupun liberalisme memang dapat menjadikan
peradaban Barat (juga Belanda) maju. Karena hanya dengan konsep-konsep
demikianlah mereka bisa bertahan hidup dalam persaingan evolusi (istilah
Darwin) peradaban dengan dunia-dunia Timur yang lebih jauh kaya potensi;
orang, ilmu, alam, dan sebagainya.
Padahal, janji-janji kemajuan (modernisasi) dari Barat itu tak lain ialah
mesin penghancur bagi konsolidasi penduduk Nusantara. Konsolidasi itu
dipangkas lewat pemikiran-pemikirannya yang modernis-rasionalis-liberal-
kolonilistik dalam kebijakan pemerintah kolonial. Sedangkan evolusi yang
185
dipraktikkan dalam konteks sosial dan kebudayaan hanyalah cara untuk
memunahkan ras kulit berwarna (selain kulit putih Arya).
2. Praktik-praktik diskursus atau wacana atau pemikiran telah dioperasikan
Christiaan Snouck Hurgronje dalam kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Operasi rencana-rencana yang mengandung kelicikan itu kita ambil dalam
persoalan yang terkait urusan keperdataan masyarakat Muslim Pribumi di
Hindia Belanda.
Yang dimaksud konsep-konsep kolonialistik pemikiran keperdataan
Christiaan Snouck Hurgronje adalah; Pertama, teori resepsi sengaja dibangun
dan dibela sekuat tenaga sehingga “menjadi” kerangka idealis yang “paling
tepat” untuk pelaksanaan hukum di Hindia Belanda. Teori ini sebenarnya
untuk menggulingkan pengaruh hukum Islam. Ketika hukum Islam berhasil
dikalahkan oleh hukum adat, maka menurut kepentingan resepsi, hukum adat
akan dimatikan dan semua diganti hukum Eropa;
Kedua, kebijakan pencatatan pernikahan sengaja diciptakan untuk
mengawasi pergerakan perlawanan masyarakat Muslim terhadap penjajah
Belanda. Dengan rasionalisasi bahwa yang sah hanyalah pernikahan yang
telah dicatat oleh pegawai kolonial (catatan sipil). Sedangkan pernikahan yang
sudah sesuai syari’at tapi tidak dilaporkan kepada pegawai penjajah (siri)
dianggap tindakan gelap alias pernikahannya tidak sah;
Ketiga, pihak yang paling diandalkan untuk kepentingan kolonial adalah
pegawai penghulu. Pegawai ini diangkat dan digaji pemerintah jajahan untuk
186
menelusuri langkah-langkah, strategi, dan jejak perlawanan masyarakat
Muslim. Misalnya, dengan cara mengaudit penyaluran dana dari kas-kas
masjid yang biasa digunakan biaya jihad melawan kafir Belanda. Di situlah
penghulu memainkan perannya sebagai informan (agen intelejen) bagi
kepentingan kolonial;
Keempat, konsep-konsep kolonialistik mengingkari kebenaran ilmiah dan
empiris. Dipertontonkan oleh Christiaan Snouck Hurgronje dalam khayalan
ilmiahnya tentang ketidakmungkinkan hukum waris adat (matriarkat) dan
hukum waris Islam (patriarki) untuk berdamai. Solusinya hanyalah hukum
waris adat sedangkan hukum waris Islam harus tunduk. Khayalan ini dirasa
‘benar’ karena dilahirkan oleh seorang ilmuwan ‘otoritatif’. Namun, konsep
ini tidak lebih dari konsep kolonialistik untuk menghilangkan peranan hukum
Islam di masyarakat kita;
Kelima, asas monogami merupakan jebakan hukum bagi masyarakat
Muslim Pribumi. Maksudnya, asas ini menghendaki pernikahan hanya
monogami saja. Yaitu, pernikahan yang sesuai ajaran Protestan dan Kristen
pada umumnya. Padahal, pernikahan Islam masih memberi peluang poligami
meskipun dengan pertimbangan yang rumit. Maka, konsep asas monogami ini
merupakan kelanjutan dari Kristenisasi dan modernisasi (pem-Barat-an).
3. Christiaan Snouck Hurgronje sudah di alam baka. Namun, konsepsi pemikiran
kolonialistiknya dalam persoalan hukum belum ikut terkubur. Kemerdekaan
Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 bukan berarti telah merdeka
187
dari mewarisi (menggunakan) konsep-konsep kolonialistik Christiaan Snouck
Hurgronje dalam kenyataan hukum di Indonesia. Karena urusan keperdataan
Indonesia modern masih mengacu pada hukum perdata warisan jaman
kolonial Hindia Belanda. Artinya, Indonesia modern merupakan pihak ke
empat yang mewarisi sisa-sisa hukum Eropa. Awalnya Kode Napoleon
Perancis dipakai di Belanda (jajahan Perancis) lalu oleh Belanda diterapkan di
Hindia Belanda (koloninya Belanda) dan sisa pakai Hindia Belanda dinikmati
Indonesia modern.
Konsepsi pemikiran kolonialistiknya memiliki tiga pengaruh kuat di
Indonesia; pertama, menjadikan Hindia Belanda atau Indonesia (modern)
sebagai tempat sampah hukum dunia yang dibawa Christiaan Snouck
Hurgronje dari Leiden; kedua, pengaruh kolonialistiknya yang kuat membuat
Indonesia gagal menghasilkan sistem hukum yang berdaulat dan merdeka.
ketiga, Indonesia menjadi negara hukum yang tak berjati diri karena
kediriannya digadaikan pada hukum penjajah Belanda. Entah sampai kapan?
B. SARAN-SARAN
Kita, Indonesia, tidak berkeinginan kukuh di dalam perangkap pemikiran
kolonialistik Christiaan Snouck Hurgronje dalam urusan keperdataan (masalah
keluarga) Muslim, tertutama. Tindakan-tindakan strategis berjangka panjang perlu
terus diperjuangkan. Hal-hal yang masih bisa dikembangkan kemudian, seperti:
188
1. Tetap waspada dan awas terhadap pengetahuan atau konsepsi teoritik yang
berasal dari luar; baik Barat, Eropa ataupun Timur Tengah, dan sebagainya.
Setiap pengetahuan memiliki kepentingannya sendiri. Karena diruntut secara
genalogis atau dari kaca mata arkeologi; seperti modernisme, rasionalisme,
liberalisme, membawa kepentingan kolonial sebanyak-banyaknya bagi dunia
Barat (Belanda). Memang yang ditawarkan dari luar kadang terlalu memukau
dan mewah namun belum tentu pas jika diterapkan di Indonesia.
Setiap produk keilmuwan memiliki latar belakang sejarah kelahirannya
(setting sosio-historis) sendiri-sendiri. Maka, dunia Timur seperti Indonesia,
memiliki hak untuk melahirkan pengetahuan atau konsep teoritik dari
sejarahnya sendiri; dari masa-masa yang paling lalu sampai kenyataan
sekarang, untuk membentuk masa depan sendiri. Di sini ada kedaulatan,
kemerdekaan, wibawa, harga diri, jati diri, karakter, dan sebagainya. Daripada
hanya sibuk memperbincangkan pengetahuan produk bangsa lain, dan kadang
dibelanya dengan darah dan air mata.
Tugas menyusun konstruksi pengetahuan sendiri bagi Indonesia memang
tidak seperti membalik telapak tangan. Eropa mau merintisnya selama lebih
dari seribu tahun hingga mencapai detik-detik perncerahan pada abad ke-16,
17, dan 18. Yakni, dengan cara mempelajari kembali pemikiran leluhurnya
yang usang dan pernah ditinggalkan, seperti Anaximenes, Anaximandros,
Plato, Aristoteles, dan seterusnya. Padahal sejak abad ke-3 sampai sekitar
abad ke-14 Eropa dalam kondisi terpuruk di jaman kegelapan. Keberhasilan
pencerahan Eropa itu yang dibawa Christiaan Snouck Hurgronje contohnya.
189
Indonesia perlu memulainya dengan belajar dari pikiran-pikiran masa lalu
leluhur bangsa Nusantara yang pada saat ini kadang dijadikan bahan cibiran
dan pergunjingan.
2. Masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam tentang peran Christiaan
Snouck Hurgronje dalam mengkonsepsi urusan perdata kolonialistik yang
masih dipakai di Indonesia modern. Dalam peraturan keluarga, misalnya
perkawinan, tidak hanya semata urusan privat yang bebas dari kepentingan
kuasa publik. Justru bagi masyarakat Timur, keluarga, bisa menjadi titik
pantik yang sangat mempengaruhi kerja-kerja publik.
Sehingga ketika kita memperhatikan Christiaan Snouck Hurgronje tidak
hanya sebagai seorang politikus (peletak dasar “Islam Politiek’). Namun, dia
juga seorang pemikir dalam urusan hukum keluarga yang tidak bisa
diremehkan. Pemikiran-pemikaran perdata kolonialistiknya yang telah
dioperasikan lewat kebijakan pemerintah Hindia Belanda terbukti efektif
melemahkan sendi-sendi perlawanan masyarakat Muslim.
Berbeda sekali dengan kebijakan kolonial sebelum kedatangan Christiaan
Snouck Hurgronje yang masih menggunakan strategi militer. Selain boros
biaya, hasilnya tidak begitu seberapa. Sedangkan dengan strategi penguasaan
urusan keluarga (perdata) Muslim Hindia Belanda efek-efek yang ditimbulkan
sangat bisa dirasakan. Sampai sekarang.
190
3. Perlu memproklamasikan bahwa Indonesia merdeka seratus persen dari sistem
hukum kolonial Belanda. Ada pun hubungan dialogis atau kompromi dalam
bentuk apa pun dengan suatu sistem hukum mana pun dapat dilakukan
selanjutnya atas bangsa-bangsa yang sudah berdaulat penuh dalam hukum.
Sehingga, masing-masing bangsa berada pada kedudukan setara untuk
melakukan kerja sama atau studi banding terhadap sistem hukum tertentu,
sistem Belanda misalnya. Karena bangsa-bangsa besar yang berdaulat hingga
saat ini diakibatkan mereka berdiri pada sistem hukumnya sendiri yang
dikembangkan dari para leluhurnya. Bukan yang mengunyah mentah-mentah
sampah-sampah sistem hukum yang dibuang dari Barat, seperti Belanda.
Ada pun jika berkehendak mengadakan persinggungan dengan sistem
hukum lain (dari luar), yang perlu diambil adalah isi, esensi, dan subtansinya.
Dipergunakan hanya yang sesuai dan yang bisa membawa bangsa ini ke arah
kemajuan dalam mengurusi masalah-masalah hukum masyarakat yang cepat
berubah. Sebaliknya, jika tetap memakai sampah-sampah sistem hukum dari
peradaban lain, ditambah meninggalkan khazanah hukum yang diwariskan
pada leluhur, maka dipastikan suatu negara tetap pada jurang kehancuran.
Indonesia, barang buktinya.
C. PENUTUP
Penelitian serius (dan amatir) ini telah mencoba menemukan sesuatu yang
tersembunyi dari informasi yang beredar. Terutama, aspek keperdataan yang
191
pernah dioperasikan Dr. Christiaan Snouck Hurgronje sang arsitek dalam urusan
perdata kolonialistik, di Hindia Belanda. Namun, penelitian ini masih sekadarnya.
Sumbang saran, kritik, dan ulasan untuk penyempurnaan akan membantu
memperkaya khazanah pengetahuan hukum di Indonesia.
Ada suatu pepatah, ‘hanya gading palsu yang tak retak’; segala kekeliruan
ada pada pertanggungjawaban ilmiah penulis. Semoga yang telah penulis awali
tidak berakhir di sini. Wallahul muwafiq illa aqwamitthariq!***
192
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Pustaka Buku
Ashcroft, Bill; Gareth Griffiths, & Helen Tiffin, 1989, The Empire Writes Back:
Theory and Practice in Post-colonial Literatures, terj. Fati Soewandi &
Agus Mokamat, 2003, Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik
Sastra Poskolonial, Yogyakarta: Qalam.
Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Cet. II, Jakarta: Gremedia Pustaka Utama.
Benda, Harry J., 1958, The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam under
the Japanese Occupation, 1942-1945, Den Haag. terj. Daniel Dhakidae,
1980, Bulan Sabit dan Matahari Terbit; Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang, Jakarta Pusat: Pustaka Jaya.
Bungin (ed.), Burhan, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Candra, Ar. Adi-Pius Abdillah, 1998, Kamus 1.500.000; Inggris-Indonesia
Indonesia Inggris, Surabaya: Arkola.
Castle, Gregory (ed.), 2001, Postcolonial Discourses: An Anthology,
Massachusetts: Blackwell. Tjandrasasmita.
Depag. RI, 1999, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam.
193
Drewes, G., 1957, Snouck Hurgronje and the study of Islam, Leiden: University-
Day Lectures. diakses dari http://www.kitlv-journals.nl
Elster, Jon, 1986, An Introduction to Karl Marx, England: Cambridge. terj.
Sudarmaji, 2000, Karl Marx: Marxisme-Analisi Kritis, Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.
Faisal, Sanapiah, 1990. Penelitia Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Edisi I,
Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Fore, William F., 1999, Para Pembuat Mitos: Injil, Kebudayaan, dan Media,
Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Dewan Pekabaran Injil NHK Belanda.
Gadamer, Hans-Georg, 1975, Truth and Method, New York: The Seabury Press,
terj. Sahidah, Ahmad, 2004, Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat
Hermeneutika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Galtung, Johan, 2003, Studi Perdamaian; Perdamaian dan Konflik Pembangunan
dan Peradaban, Surabaya: Eureka.
Gandhi, Leela, 1998, Postcolonial Theory A Critical Introduction, Allen &
Unwin. terj. Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah, Teori Postkolonial:
Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.
Gobee, E. dan C. Adriaanse, 1990, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje
1889, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid I,
Jakarta: INIS.
-----------------------, 1990, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889,
terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
194
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid II,
Jakarta: INIS.
-----------------------, 1990, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889,
terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid
III, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1991, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-
1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid
IV, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1991, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-
1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid V,
Jakarta: INIS.
-----------------------, 1992, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889,
terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid
VI, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1991, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje, 1889-
1936, terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid
VII, Jakarta: INIS.
195
-----------------------, 1993, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889,
terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid
VIII, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1994, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889,
terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid
IX, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1994, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889,
terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid X,
Jakarta: INIS.
-----------------------, 1995, Ambtelijke Adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889,
terj. Sukarsi, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Jilid
XI, Jakarta: INIS.
Gramsci, Antonio, 2001, Catatan-Catatan Politik, Surabaya: Pustaka Promethea.
Grenz, Stanley J., 1996, A Primer on Postmodernism, Michigan, USA: William B.
Eerdmans Publishng Co., terj. Wilson Suwanto, 2001, A Primer on
Postmodernism: Pengantar untuk Memahami Postmodernisme,
Yogyakarta: Yayasan ANDI.
196
Hardiman, F. Budi, 2003,Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus
Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
-----------------------, 2004, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
Jakarta: Gamedia Pustaka Utama.
Harinowo, Cyrillus, 2004, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia Pasca-IMF,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Heilbroner, Robert L., terj. Boentaran, 1972, Tokoh-Tokoh Besar Pemikir
Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia.
Nohlen, Dieter (ed.), 1994, Kamus Dunia Ketiga, Jakarta: Grasindo.
Hurgronje, C. Snouck, 1915, The Holy War, Made In Germany, New York and
London: The Knickerbocker Press.
-----------------------, 1917, The Revolt in Arabia, New York and London: The
Knickerbocker Press.
-----------------------, 1973, Islam di Hindia Belanda, Jakarta: Bratara Karya Asara.
-----------------------, 1873, Aceh, Rakyat & Adat Istiadatnya, Jakarta: INIS.
-----------------------, Het Mekkaansche Feest, terj. Supardi, 1989, Perayaan
Mekah, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno dan A.J.
Mangkuwinoto, 1995, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje I, Jakarta:
INIS.
197
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno dan A.J.
Mangkuwinoto, 1995, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje II, Jakarta:
INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Sultan Maimun, 1995, Kumpulan
Karangan Snouck Hurgronje III, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje,
Bagian II, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno,
dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IV, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje,
Bagian III, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno,
dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje V, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje,
Bagian III, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno,
dkk., 1996, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VI, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1924, Verspreide Geschriften (Gesammelte Schriften), Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, 1993, Kumpulan
Karangan Snouck Hurgronje VII, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1924, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat,
1994, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS.
198
-----------------------, 1924, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat,
1994, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1924, 4Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje,
Bagian IV, 2, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Sutan Maimun dan
Rahayu S. Hidayat, 1994, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje X,
Jakarta: INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno dan A.J.
Mangkuwinoto, 1999, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XI, Jakarta:
INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Kurt
Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno dan A.J.
Mangkuwinoto, 1999, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje XII,
Jakarta: INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Del
VI, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, A.J.
Mangkuwinoto, Rahayu S.H., 2000, Kumpulan Karangan Snouck
Hurgronje XIII, Jakarta: INIS.
-----------------------, 1923, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje, Deel
VI, Kurt Schroeder/Bonn dan Leipzig. terj. Soedarso Soekarno, A.J.
Mangkuwinoto, Rahayu S.H., 2000, Kumpulan Karangan Snouck
Hurgronje XIV, Jakarta: INIS.
199
-----------------------, terj. Budiman S., 1996, Tanah Gayo dan Penduduknya,
Jakarta: INIS.
-----------------------, 1895, De Atjehers, deel I en II, Landsdrukkerij, Batavia; E.J.
Brill, Leiden:, terj. Sutan Maimon, 1997, Aceh, Rakyat dan Adat
Istiadatnya II, Jakarta: INIS.
-----------------------, 2003, Mohammedanism, t.p.: 21 November.
-----------------------, 2007, (Translated) J. H. Mohana, Mekka in the Latter Part of
the 19th Century, Leiden: Hotei Publishing.
Kartodirdjo, Sartono, 1981, Metode Penggunaan Bahan Dokumen, dalam
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. IV, Jakarta:
Gramedia.
Khuluq, Lathiful, 2002, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam: Biografi C.
Snouck Hurgronje, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koningsveld, P.SJ. Van, 1989, Snouck Hurgronje en Islam: Acht artkelen over
leven en werk van een orientalist uit het koloniale tijdperk, terj. Redaksi
Girimukti Pasaka, Snouck Hurgronje dan Islam: Delapan Karangan
tentang Hidup dan Karya Seorang Orientalis Zaman Kolonial, Jakarta: PT
Girimukti Pasaka.
Laffan, Michael, 2005, Finding Java:Muslim nomenclature of insular Southeast
Asia from Sriwijaya to Snouck Hurgronje, Singapore: Asia Research
Institute.
200
Lechte, John, 1994, Fifty Key Contemporary Thinkers, New York and London:
Routledge. terj. A. Gunawan Admiranto, 2001, 50 Filsuf Kontemporer:
Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: KANISIUS.
Lestari, Evy, 2009, Pengaruh Kolonialisme Belanda terhadap Keharusan Nikah
Seagama dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia,” Skripsi F.S. IAIN
Semarang: tidak diterbitkan.
Loomba, Ania, 2000, Colonialism / Postcolonialisme, New York: Routledge. terj.
Hartono Hadikusumo, 2003, Kolonialisme / Pascakolonialisme,
Jogjakarta: Bentang Budaya.
Lukito, Ratno, 1998, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of
Indonesia, terj. Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat
di Indonesia, Jakarta: INIS.
Masinambow (ed.), E.K.M., 2000, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, M.A., Dr. Lexy J., 1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. VI,
Bandung: Rosda Karya.
-----------------------, 2004, Metodologi Penelilian Kualitatif, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhadjir, Prof. Dr. H. Noeng, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV,
Cet. II., Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nainggolan, Poltak Partogi (ed.), 2002, Terorisme dan Tata Dunia Baru, Jakarta:
Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi.
201
Paulus, S.H., B.P., 1979, Garis-Garis Besar Hukum Tata Negara Hindia Belanda,
Bandung: Penerbit Alumni.
Pass, Christopher & Bryan Lowes, 1998, Dictionary of Economics, terj. Drs.
Tumpal Rumapea, M.A. & Drs. Posman Haloho, M.A., Kamus Lengkap
Ekonomi, Edisi II, Jakarta: Erlangga.
Piaget, Jean, 1968, Le Stucturalisme, France: Presses Universitaires de France.
terj. Hermoyo, 1995, Strukturalisme, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990, Sejarah
Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka.
Raffles, Thomas Stamford, 2008, The History of Java, Jakarta: PT Buku Kita.
Rahman, Taufik, 2007, CRS dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: CRS.
Raharjo, M. Dawan (ed.), 1987, Kapitalisme: Dulu dan Sekarang, Jakarta:
LP3ES.
Rajagopalachari, C., 2002, Ramayana, Bombay: Bharatiya Vidya Bhavan, terj.
Saut Pasaribu, Ramayanam Cet. II, Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru.
Ratna, SU, Prof. Dr. Nyoman Kutha, 2008, Postkolonialisme Indonesia:
Relevansi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricklefs, M.C., 2008, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi.
Rofiq, M.A., Drs. Ahmad, 2003, Hukum Islam di Indonesia, Cet. VI, Jakarta:
Rajawali Pers.
Rosyid, Daud, 2006, Sunnah di Bawah Ancaman dari Snouck Hurgronje Hingga
Harun Nasution, Bandung: Syamil Cipta Media.
202
Said, Edward, 2003, Freud and the Non-European, London: Verso & Freud
Museum., terj. L.P. Hok, 2005, Bukan Eropa: Freud dan Politik Indentitas
Timur Tengah, Tangerang: Marjin Kiri.
Sarup, Madan, 2008, Postrukturalisme & Posmodernisme, Yogyakarta: Jalasutra.
Simon, Roger, 2000, Gramsci’s Political Thought, terj. Kamdani & Imam
Baihaqi, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Solomon, Robert C. & Kathleen M. Higgins, 1996, A Short History of Philosophy,
New York: Oxford University Press. terj. Saut Pasaribu, 2003, Sejarah
Filsafat, Cet. II, Jogjakarta: Bentang Budaya.
Strauss, Anselm & Juliet Corbin, 2003, Basics of Qualitative Research: Grounded
Theory Procedures and Techniques, terj. Muhammad Shodiq & Imam
Muttaqien, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-
Teknik Teoritisasi Data, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Strategi Kaum Pagan Menuju The New World Order, (Foxit PDF Reader, tanpa
identitas).
Sugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sulistyo, Dr. Bambang, t.t., Dari Dekolonisasi ke Neokolonialisme: Kebijakan
Ketenagakerjaan Migas Negara, di Balikpapan Kalimantan Timur, paper
di Universitas Hasnuddin Makassar.
Suminto, H. Aqib, 1985, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor voor
Inlandsche zaken, Yogyakarta: LP3ES.
203
Sunggono, S.H., MS., Bambang, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, Cet. VII,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sunyoto, Agus, 2003-2005, Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syeikh Siti
Jenar, Jilid 1-7, Yogyakarta: LKiS.
-----------------------, 2006, Rahuvana Tattwa, Yogyakarta: LKiS.
Surayin, 2003, Kamus Umum & Homonim Cina-Indonesia Indonesia-Cina,
Bandung: Yrama Widya.
Swannell, Julia (ed.), 1987, The Little Oxford Dictionary, New York: Oxford
University Press.
Teeuw, A., 1994, Kamus Indonesia Belanda Indonesisch-Nederlands
Woordenboek, Jakarta: KITLV-LIPI & Gramedia.
Toer, Pramoedya Ananta, 2003, Sang Pemula, Cet. II, Jakata: Lentera Dipantara.
Umar, S.E., M.M., MBA, Drs. Husein, 1997, Metodologi Penelitian Aplikasi
dalam Pemasaran, Jakarta: Gramedia.
University, Oxford, 2004, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New York:
Oxford University Press.
Veer, Paul van’t, 1979, De Atjeh-Oorlog, Uitgeverij De Arbeiderspers /
Wetenschappelijke Uitgeverij, terj. Grafiti Pers, 1985, Perang Aceh: Kisah
Kegagalan Snouck Hurgronje, Jakarta: Grafiti Pers.
Vlorijk, Arnoud and Hans van de Velde (compiled), 2007, Christiaan Snouck
Hurgronje (1857-1936) Orientalist, Leiden: Leiden University Library.
Vredenbregt, J., 1984, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Cet. VI,
Jakarta: PT Gramedia.
204
Wahyudi, Ph.D., Yudian, 2007, Maqashid Syari’ah dalam Pergumulan Politik:
Berfilsafat Hukum Islam dari Harvard ke Sunan Kalijaga, Cet. III,
Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1995, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional:
Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Cet.
II., Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
-----------------------, 2002, Hukum; Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: ELSAM.
Witkam, Jan Just, 2007, The audio-visual dimension, Christiaan Snouck
Hurgronje’s documentation of sights and soudns of Arabia, Leiden: Friday
16 February.
Yasyin, Drs. Sulchan (ed.), 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:
Amanah.
2. Pustaka Jurnal dan Majalah
Jurnal Dialog CSIC, Imperialisme Moneter, dalam http://jurnal-
ekonomi.org/2004/04/10/ imperialisme-moneter/ (April 10th, 2004).
Maarif, Ahmad Syafii, Galtung: Tiga Corak Fundamentalisme, dalam Perspektif,
Gatra Nomor 21 (Kamis, 10 April 2008).
Machado, Roberto, Kritik Arkeologi Foucault, Majalah BASIS, No. 01-02, Thn.
52, Januari-Februari 2003.
205
Subangun, Emmanuel, 2001, Struktur Ekonomi Kolonial dan Kapitalisme
Indonesia Kini, dalam Jurnal Pitutur, Meracik Wacana, Melacak
Indonesia, Yogyakarta: Pitutur.
3. Pustaka Artikel dan Berita Website
Akhirnya Merdeka Dari Atlas Belanda, dalam http://www.republika.co.id/koran/
14/29784/ Akhirnya_Merdeka_dari_Atlas _Belanda (Jumat, 06 Februari
2009 pukul 06:19:00)
Antonio Gramsci dalam, http://jv.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci.
-----------------------, dalam http://arts.anu.edu.au/suarsos/gramsci.htm.
Augustaraching, 24 Mei 2008, Snouck Hurgronjehuis, saduran buku Lathiful
Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, dalam WordPress.com
(artikel)
Di Balik Perang Asia Timur Raya dalamhttp://sejarahperang.wordpress.com/
2008/09/12/ di-balik-perang-asia-timur-raya/
Frantz Fanon dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Frantz_Fanon
Gayatri Chakravorty Spivak dalam http://webdev.ui.ac.id/post/kuliah-umum-
gayatri-c-spivakid.html?UI=4e9bf235bcd559a0f3243e370857ea9b&UI=4
e9bf235bcd559a0f3243e370857ea9b
Hardiman, F. Budi, Merayakan Keterpecahan atau tentang, dalam situs Uni
Sosial Demokrat. http://unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=2130
206
&coid=3&caid=22 dari URL Source: http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0307/04/opini/407245.htm
Jorquera, Roberto, Kuba: Satu Pelajaran Bagaimana Menghancurkan Rasisme,
dalam http://indomarxist.tripod.com/0000008.htm.
Kolonialisme dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme (terakhir diubah
pada 23:00, 2 Februari 2009).
Merkantilisme dalam http://id.wikipedia. org/wiki/Merkantilisme (terakhir diubah
pada 05:37, 26 Desember 2008).
Musawir, Musa, Humanisme Dalam Selayang Pandang, dalam http://islam
alternatif.net/iph/content/view/61/1/ (Jumat, 16 Maret 2007).
Nkrumah, Kwami, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kwame_Nkrumah#
cite_note-bio-0 (terakhir diubah pada 12:43, 26 April 2009).
Pasar & Pasar Bebas, dalam http://insist.or.id/index.php?lang=en&page=
angkring&id=2.
Peyakin Bumi Bulat dalamhttp://www.bbc.co.uk/indonesian/indepth/story/2008/
11/081113_ bumibulat.shtml (Diperbaharui pada: 13 November, 2008).
Perang Rusia Vs Jepang, dalam http://forum.detik.com/showthread.php?t=61225
Perioda Pendudukan Jepang dalamhttp://swaramuslim.com/ebook/html/013/
index3.php?page=03-03
Sejarah Teori Ekonomi Klasik dalamhttp://yohanli.wordpress.com/2007/
11/02/sejarah-teori-ekonomi-klasik/.
Snouck Hurgronje dan Pemisahan ‘Islam Politik’ saduran dari Lathiful Khuluq,
Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, dalam Labbaik Majalah Islami,
207
http://hidayatullah.com/
modules.php?name=News&file=article&sid=1521
Syamsuddin, Fadli, Selat Makassar Indikator Perubahan Iklim Dunia?, dalam
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/ilpeng/291874.htm
(Senin, 05 Mei 2003).
Syeirazi, Muhammad Kholid, Reformasi Protestan 1517 dan Benih-Benih
Nasionalisme Modern, dalam http://www.jarkom.biz/cara-login/224-
kholid-syeirazi-reformasi-protestan1517. html (Last Updated Friday, 19
December 2008 15:07).
Uka, DR H, Manuskrip Ulama Nusantara Dijarah Penjajah, dalam
www.Sabili.co.id
Wenas, J.H., Identitas Politik di Hindia Belanda, dalam www.sarwono.net, edisi 3
Januari 2005, atau dalam http://www.sarwono.net/artikel.php?id=50
Yogi, Indra, Kejahatan Christian terhadap Islam dan Aceh, disadur dari Dr. Daud
Rasyid, MA, ”Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan
Melawan Konspirasi”, dalam www.hidayatullah.com atau
http:www.scribd.com/doc/3988469/snouck-hurgronje? autodown=doc
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Arief Muthofifin Ttl : Kendal, 15 Februari 1984 Alamat : Desa Donosari Rt 04 Rw II Gang Salak No. 17
Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Kode Pos 51351
HP/ e-mail : 08.17.05.85.4.86/ [email protected] Pendidikan Formal • SDN 1 Donosari (1990-1996) • SMPN 2 Patebon (1996-1999) • MAN Model Percontohan Kendal (1999-2002) • Workshop Keterampilan Teknik Otomotif (1999-2002) • S.1 Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang (2003-2010) Pendidikan Nonformal • Ponpes al-Miftah/ Madrasah Raudlatul Huda Donosari (1990-1996/ nomaden) • Ngaji dengan Ustadz Ustadz Kampung (1990-1999) • Ponpes Raudlatut Thalibin Tugurejo, Tugu-Semarang (2003-2004) Aktivitas Berorganisasi • Ketua Lembaga Karatedo Indonesia (LEMKARI) MAN Kendal (2000-2001) • Pengurus Departemen Kajian di Ponpes Raudlatut Thalibin Tugurejo, Tugu-
Semarang (2003) • Forum Sajian Ilmiah/ FORSI Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
(2003, alm.) • Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) Justisia Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang: Pimpinan Umum (PU)/ Pemimpin Redaksi (Pimred) Buletin JustNews (2003), Sekred/ de facto Pimred Majalah JUSTISIA (2004), Penggagas dan Pendiri Majalah LiKSA/ Lingkar Kajian Sastra Justisia (2004), Pimred Majalah JUSTISIA (2005), Wakil PU/ de facto PU LPM Justisia (Desember 2005), PU LPM Justisia (2006 & 2007) sekaligus de facto Pimred Jurnal Justisia (2006), Litbang LPM Justisia (2008-sekarang).
• Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) IAIN Walisongo Semarang: Bidang Kajian Keilmuan (2006-2007), Litbang KSMW (2008-sekarang).
• Partai Pembaharuan Mahasiswa/ PPM IAIN Walisongo Semarang (2003-2006). • Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM): DPM Fakultas Syari’ah Komisi A
Bidang Advokasi Akademik Mahasiswa (2004-2005), DPM IAIN Walisongo Komisi C Bidang Advokasi Mahasiswa (2007-2008).
• Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII): Pimred Salib/ Syari’ah Liberal (2004-2005) PR PMII Syari’ah, Bidang Kajian dan Penerbitan PK PMII
Walisongo (2006-2007), Ketua I PC PMII KOTA SEMARANG/ Bidang Internal, Pengembangan SDM dan Pengetahuan (2008-2009).
• Ikatan Pemuda/ Pelajar Nahdlatul Ulama (Ranting-PW): Pendiri/ Pimred Majalah Manhaj al-fikr dan AstraNawa PC IPNU Kabupaten Kendal (2007-2009), Wakil PU Majalah Risalah Nusa PW IPNU Jawa Tengah (2006-2009).
• Ketua Bidang Diklat dan Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang (2008-2010).
Event yang Pernah Diikuti • The Best Pemakalah Ilmiah Mahasiswa se-Jawa Tengah di Universitas Kristen
Satya Wacana (UKSW) Salatiga (2005) • Pemakalah Mahasiswa di Annual Conference on Islamic Studies Departemen
Agama RI-Bandung (2006) • Pemakalah Mahasiswa di Annual Conference on Islamic Studies Departemen
Agama RI-Pekan Baru Riau (2007) • Pemakalah Mahasiswa PIONER PTAI se-Indonesia di Pontianak-Kalimantan
Barat (2007)
Aktivitas Menulis Kontributor buku Dekonstruksi Islam Mazhab Ngaliyan: Pergulatan Pemikiran Anak-Anak Muda Semarang (2006), LPM Justisia, SUARA MERDEKA, WAWASAN, INSPIRASI (Majalah Gereja Katedral Jateng), Pontianak Post, Jawa Pos, KOMPAS, Buletin At-Taharruriyyah, NU Online, dll.
Semarang, 07 Juni 2010
Penyusun,
Arief Muthofifin NIM 032111139