View
1
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Penyakit Gagal ginjal kronik
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden dan prevalensinya semakin
meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan global.1
Di Negara Barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka pertumbuhan
dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan
prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal terminal yang memerlukan terapi
pengganti ginjal. Tidak hanya itu, prevalensi CKD stadium awal juga turut mengalami
peningkatatan. Diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD
dan sebagian besar tidak menyadari hal ini.2
Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas CKD
meliputi: identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen. Beberapa
faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas 60 tahun, diabetes melitus,
hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya riwayat keluarga yang menderita sakit
ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang
(NSAID, antibiotik, zat kontras) dan kontak dengan bahan kimia yang berulang.2
Pada stadium dini CKD dapat didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan
penunjang dan terbukti dengan pengobatan dini dapat mencegah terjadinya gagal ginjal,
penyakit kardiovaskular dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya.2
CKD merupakan penyakit yang kronis, sehingga diperlukan kerjasama tim medis,
pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap
pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki
kualitas hidup penderita.2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Sungai gelam
MRS : 10 April 2016
2.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak nafas yang semakin memberat sejak 1 minggu SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak 1
minggu SMRS. Keluhan akan semakin memberat dalam posisi tidur, dan berkurang bila
pasien duduk atau miring ke sebelah kiri. Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh
aktivitas.
± 2 minggu sebelum pasien MRS, pasien mengeluh kedua kakinya bengkak.
Kedua kaki tersebut bengkak secara bersamaan. Bengkak pada kedua kaki tidak
disertai oleh rasa nyeri maupun kesemutan, hanya saja kedua kakinya dirasakan pasien
lebih lemah bila digunakan untuk berjalan. Bengkak dikatakan tidak berkurang dengan
beristirahat.
Pasien juga mengeluh muntah sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Muntah dengan frekuensi 5 kali/hari. Volume tiap kali muntah ± 1 gelas belimbing
(220 cc), berisi makanan yang pasien makan sebelumnya. Muntah selalu didahului
rasa mual, yang muncul beberapa saat setelah pasien makan atau minum sesuatu. Nafsu
makan dikatakan pasien menurun.
Pasien mengaku BAK kurang lancar, sedikit-sedikit, berwarna kuning pekat, buih
(-), darah (-), saat BAK pasien tidak nyeri. BAB tidak ada keluhan. Keluhan ini sudah
dirasakan selama ± 4 bulan. Demam (-), nyeri pada pinggang yang menjalar ke depan
(-), badan lemah.
Pasien memiliki penyakit darah tinggi sejak ± 4 tahun yang lalu. Pasien tidak
mengkonsumsi obat antihipertensi secara rutin. Riwayat DM (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit maag (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
◦ Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)
◦ Riwayat hipertensi (-)
◦ Riwayat DM (-)
◦ Riwayat penyakit jantung (-)
2.3. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Tampak Sakit sedang
2. Kesadaran : Composmentis, GCS: 15
3. Tanda Vital : TD = 150/100 mmHg
N= 84 x/mnt, regular
RR = 20 x/mnt
T = 36,5ºC
4. Kulit
Warna : Sawo matang
Eflorensensi : (-)
Pigmentasi : Hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
Jaringan parut/koloid : (-)
Pertumbuhan rambut : Normal
Turgor : baik
5. Kepala dan leher
Rambut : warna hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Kepala : Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Skera ikterik (-/-), edema pelpebra
(-/-), Pupil Isokor kanan dan kiri.
Hidung : Nafas cuping hidung (-), Hiperemis (-), sekret (-), deviasi septum
(-)
Telinga : nyeri tekan (-), sekret (-), fungsi pendengaran baik
Mulut : Bentuk normal, bibir sianosis (-), Mukosa anemis (-)
Tenggorokan : Faring dan tonsil hiperemis (-), Tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kel.Tyroid (-), JVP (5-2)
cmH2O, Kaku kuduk (-).
6. Thoraks :
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, Torakoabdominal, retraksi dinding dada
(-)
Palpasi : fremitus taktil bagian basal paru kiri menurun, tidak ada nyeri
tekan sela iga
Perkusi : Sonor, redup pada bagian basal kiri
Auskultasi : Vesikuler pada kedua lapangan paru, Ronkhi basah (+),
Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V di linea midklavikula sinistra
sekitar 1 jari kearah medial, luas ± 1 jari, tidak kuat angkat.
Perkusi :
o Batas Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
o Batas kiri : ICS V linea midklavikula sinistra sekitar 1 jari
ke arah medial.
o Batas kanan : ICS IV Linea parasternal dextra
o Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler normal, irama jantung teratur,
murmur (-), gallop (-)
7. Abdomen
Inspeksi : tampak membesar, warna kulit normal, distensi (-), gerakan
dinding abdomen normal
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan regio epigastrium (-), nyeri tekan suprapubik
(-), distensi abdomen (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
ballotemen ginjal tidak teraba.
Perkusi : Timpani pada medial abdomen, redup pada lateral, shifting
dullness (+), nyeri ketok CVA (-/-)
8. Genitalia dan anus : Tidak ada keluhan
9. Ekstremitas
Superior : Akral dingin, edema (+/+), pucat, CRT >2 detik
Inferior : Akral dingin, pitting edema (+/+), pucat, CRT >2 detik
2.4. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Darah rutin
Parameter Result Unit Remark Reference
Range
WBC 10,7 103/mm3 Meningkat 3,5-10,0
RBC 3,41 106/mm3 Menurun 3,80-5,80
HGB 5,2 g/dL Rendah 11,0-16,5
HCT 15,2 % Menurun 35,0-50
PLT 154 103/mm3 150,00-390,00
MCV 73,6 fL Menurun 80-97
MCH 25,1 Pg Menurun 26,5-33,5
MCHC 30,20 g/dL Menurun 31,5-35,0
b. Urine rutin
- Warna : kuning pekat
- Berat jenis : 1010
- pH : 6,5 (7,35)
- Protein : (++)
- Glukosa : (-)
- Sedimen urine :
o Leukosit : 45-50 /LPB (<6/LPB)
o Eritrosit : 5-6 /LPB (3/LPB)
o Epitel : 3-4 /LPB
c. Kimia darah
‐ Faal ginjal :
o Ureum : 212,9 mg/dl (15-39 mg/dl)
o Kreatinin : 16,3 mg/dl (L: 0,9-1,3 ; P: 0,6-1,1 mg/dl)
LFG=(140−45 ) x 50
72 x 16,3x 0,85=3,44 ml /menit (menurun)
d. Elektrolit
‐ Natrium (Na) : 126,43 mmol/L
‐ Kalium (K) : 5,4 mmol/L
‐ Kalsium (Ca) : 0,69 mmol/L
‐ Chlorida (Cl) : 91,68 mmol/L
2.5. Diagnosis kerja
Primer : CKD grade V dengan overload
Sekunder : hipertensi tidak terkontrol, anemia
Diagnosis Banding
CKD grade V + DM tipe II
CKD grade V + PNC bilateral
2.6. Tatalaksana
- Oksigen nasal canul 2-4L/menit
- IVFD RL 10 tetes/menit
- Inj Lasix 3x1 amp (IV)
- Amlodipin 1x10 gr (PO)
- As. Folat 3x1tab (PO)
- BicNat 3x1 tab (PO)
- B-Comp 3x1 tab (PO)
- Aspar K 1x1 tab (PO)
- Transfusi PRC sampai Hb ≥8
2.7. Pemeriksaan yang dianjurkan untuk pasien ini:
- Analisis gas darah
- Kadar albumin serum
- Rontgen thorax
- USG abdomen
2.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
2.9. Follow up
Tgl S O A P
11
April
2016
Sesak (+),
Mual (+),
muntah (+),
transfusi PRC
1 kolf
Compos mentis
TD : 150/100 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Temperatur : 36,5 oC
Konjunctiva anemis:
+/+
Akral dingin, CRT>2
detik
Edema (+)
CKD grade V
+ overload
- IVFD RL 10
tetes/menit
- Inj Lasix 3x1 amp (IV)
- Amlodipin 1x10 gr
(PO)
- As. Folat 3x1tab (PO)
- BicNat 3x1 tab (PO)
- B-Comp 3x1 tab (PO)
- Aspar K 1x1 tab (PO)
stop
- Transfusi PRC sampai
Hb ≥8
- Anjuran : HD cito
12
April
2016
Keluhan :
sesak
berkurang,
lidah pedih dan
tremor, kaki
masih
Compos mentis
TD : 140/90mmHg
Nadi : 60x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Temperatur : 37,0 oC
CKD grade V
dengan
overload
- IVFD RL 10
tetes/menit
- Inj Lasix 3x1 amp (IV)
- Amlodipin 1x10 gr
(PO)
bengkak,
transfusi PRC
kolf ke 2
Konjunctiva anemis:
+/+, edema (+), ascites
(+)
- As. Folat 3x1tab (PO)
- BicNat 3x1 tab (PO)
- B-Comp 3x1 tab (PO)
- Transfusi PRC sampai
Hb ≥8
- Anjuran : HD cito
13
April
2016
Keluhan :
demam pada
sore hari, lidah
pedih, tangan
tremor,
transfusi PRC
kolf ke 3
Compos mentis
TD : 150/100
Nadi : 96 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Temperatur : 36,0 oC
Konjunctiva anemis +/+
, edema (+)
Hb: 7,0 gr/dl; Ht:
20,6%; ureum: 273,3
mg/dl; kreatinin: 16,4
mg/dl
CKD grade V
dengan
overload
- IVFD RL 10
tetes/menit
- Inj Lasix 3x1 amp (IV)
- Amlodipin 1x10 gr
(PO)
- As. Folat 3x1tab (PO)
- BicNat 3x1 tab (PO)
- B-Comp 3x1 tab (PO)
- Transfusi PRC sampai
Hb ≥8
- Anjuran : cek CTBT,
pasang CDL, HD
besok, HD cito
14
April
2016
Keluhan:
tremor lidah
dan tangan,
bengkak di
kaki, tangan,
wajah, sudah
pasang CDL,
transfusi PRC
kolf ke 4
Compos mentis
TD : 140/110
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20
x/menit
Temperatur : 36,5 oC
CKD grade V
dengan
overload
- IVFD RL 10
tetes/menit
- Inj Lasix 3x1 amp (IV)
- Amlodipin 1x10 gr
(PO)
- As. Folat 3x1tab (PO)
- BicNat 3x1 tab (PO)
- B-Comp 3x1 tab (PO)
15
April
2016
Keluhan:
Post HD,
muntah ±5x,
isi muntahan
compos mentis
TD : 140/100
Nadi : 104 x/menit
Pernapasan : 20x/menit
CKD grade V
dengan
overload
- IVFD RL 10
tetes/menit
- Inj Lasix 3x1 amp (IV)
- Amlodipin 1x10 gr
makanan yang
dimakan, nyeri
ulu hati,
demam (+),
bengkak kaki
dan tangan
masih ada
Temperatur : 36,5 oC (PO)
- As. Folat 3x1tab (PO)
- BicNat 3x1 tab (PO)
- B-Comp 3x1 tab (PO)
- Anjuran : cek darah
rutin lagi
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum. Ginjal mempunyai lapisan luar,
korteks yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan duktus
kolektivus, serta di lapisan dalam, medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang
lurus, lengkung (ansa) Henle, vasa rekta dan duktus koligens terminal.5,6
Gambar 2.1 anatomi dan fisiologi ginjal
Tiap ginjal mengandung kurang lebih 1 juta nefron. Tiap nefron terdiri atas
glomerolus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, ansa henle dan tubulus distal.
Glomerolus bersama kapsula Bowman juga disebut badan Malpigi.5,6
Fisiologi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh : 3,7
1. Ultrafiltrasi glomerolus
2. Reabsorbsi tubulus terhadap solute dan air
3. Sekresi tubulus terhadap zat-zat organic dan non-organik
Fungsi Ekskresi 3,7
Mempertahankan osmolalitis plasma sekitar 258 mOsmol dengan mengubah-ubah
ekskresi air
Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekskresi
Na+
Mempertahankan kosentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang
normal
Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3-
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea,
asam urat dan kreatinin
Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat
Fungsi Non-ekskresi (Endokrin) 3,7
Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produksi sel darah merah
oleh sumsum tulang.
Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya
Degenerasi insulin
Menghasilkan prostaglandin
3.2 Chronic Kidney Disease
Definisi
Penyakit ginjal kronik (Chronic kidney disease) adalah suatu proses patofisiologi
dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transpantasi ginjal.1,2
CKD didefinisikan sebagai nilai laju filtrasi glomerulus (GFR) yang berada di bawah
batas normal selama > 3 bulan.8
Kriteria penyakit ginjal kronik
1. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural dan fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi:
kelainan patologis
terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih
dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.1,2
Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan atas dasar
diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut.1,2
Creatinin clearance test (ml/mnt) = (140-umur) x BB
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*Pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2.1 klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73 m2)
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
Gagal ginjal
≥ 90
60-89
30-59
15-29
< 15 atau dialysis
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus/juta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Di Malaysia diperkirakan 1800 kasus baru /18 juta penduduk/tahun. Di negara
berkembang lainnya 40-60 kasus/juta penduduk/tahun.1
Insiden gagal ginjal kronis yang perlu mendapat terapi penggantian ginjal adalah 65-
100/1.000.000 populasi/tahun dan 500/1.000.000 pasien menjalani terapi gagal ginjal stadium
akhir (ESRF).8
Etiologi
Banyak penyakit dapat menyebabkan gagal ginjal kronis, termasuk glomerulonefritis
(30%), nefritis interstisial dan nefropati refluks (20%), penyakit ginjal polikistik (10%),
diabetes mellitus (10%), hipertensi/penyakit renovaskular (10%), uropati osbtruktif, dan
penyakit-penyakit lain yang tidak diketahui (20%).8
Tabel 2.2 Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis etiologi 1
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes
Penyakit ginjal non diabetes
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
Penyakit pada transplantasi
sistemik, obat, neoplasma)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
penyakit tubulointestinal (pielonefritis, batu,
obstruksi, keracunan obat)
penyakit kistik (ginjal polikistik)
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus), penyakit
glomerular, transplantasi glomerulopathy
Patofisiologi
Penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertropi struktur dan fungsional nefron masih tersisa suapaya upaya
kompensasi, yang diperentarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Hal
ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerotik nefron yang tersisa. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerotik dan progresivitas tersebut. Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.1,9
Tinjauan mengenai perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan
melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) sebagai
presentase dari keadaan normal, terhadap kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah
(BUN) karena massa nefron dirusak secara progresif oleh penyakit ginjal kronik.3
Terdapat 3 stadium, yaitu :
Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan pasien asimtomatik.
Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan memberi beban kerja yang berat pada
ginjal tersebut, seperti tes pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan tes GFR yang
teliti.3
Stadium II : Insufisiensi ginjal
Apabila lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari
normal). Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan
kosentrasi BUN ini berbeda-beda, bergantung pada kadar protein dalam makanan
(bandingkan grafik BUN pada makanan rendah protein dengan makanan yang normal kadar
proteinnya).pada stadium ini. kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar
normal. Azotemia biasanya ringan (kecuali bila pasien mengalami stress akibat infeksi, gagal
jantung atau dehidrasi). Pada stadium insufisiensi ginjal ini mulai timbul gejala-gejala
nokturia dan poliuria (akibat gangguan kemampuan pemekatan).Poliuria biasanya bersifat
sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. 3
Stadium III : Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau uremia
Terjadi apabila sekitar 90% dari massa nefron telah hancur, atau hanya sekitar
200.000 nefron yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal, dan bersihan
kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada keadaan ini, kreatinin serum
dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai respons terhadap GFR
yang mengalami sedikit penurunan. Pasien mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah,
karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam
tubuh, pasien biasanya menjadi oligurik. 3
Penegakan diagnosa
A. Manifestasi klinis 1,8,10
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari misalnya DM, infeksi traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemia, lupus eritematosus sistemik (SLE)
b. Sindrom uremia terdiri dari letargi, lemah, anoreksia, mual, muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang sampai
koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida)
B. Pemeriksaan fisik 2,10,11
a. Anemis
b. Kulit kering
c. Edema tungkai atau palpebra
d. Tanda bendungan paru
C. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran laboratorium 1,8
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin plasma dan
penurunan LGF. Kadar kreatinin saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimia darah meliputi: penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic.
d. Kelainan urinalisis meliputi hematuri, proteinuria, leukosuria, cast, isostenuria.
Gambaran radiologis 1
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
b. Pielografi intravena, jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi
d. USG ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrosis, atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal 1
Biopsy dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
ditegakkan. Tujuannya untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah di berikan.
Kontraindikasi dilakukan biopsy ginjal pada keadaan dimana ukuran ginjal yang
sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang takterkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.
Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik sesuai dengan derajatnya:1,2,8
Tabel 2.3 rencana terapi berdasarkan derajat gagal ginjal kronik
Derajat LFG (ml/mn/1,73 m2 Rencana tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan fungsi ginjal,
2
3
4
5
60-89
30-59
15-29
< 15
memperkecil resiko kardiovaskuler
Menghambat perburukan fungi ginjal
Evaluasi dan terapi komplikasi
Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal
A. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Sebaiknya bila LGF sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapai terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat
lagi.
B. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
C. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab peburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah
Nonfarmakologis
Pengaturan asupan protein
Pada pasien non dialysis Protein diberikan 0,6-0,75/kgBB ideal/hari sesuai dengan
CCT dan toleransi pasien
Pasien hemodialisis 1-1,2 gr/kgBB ideal/hari
Pasien peritoneal dialysis 1,3 gr/kgBB ideal/hari
Pengaturan asupan kalori : 35 kal/kgBB/hari
Pengaturan asupan lemak : 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
Pengaturan asupan karbohidrat : 50-60% dari kalori total
Garam (NaCl) : 2-3 gr/hari
Kalium : 40-70 mEq/kgBB/hari
Fosfor : 5-10 mg/kgBB/hari, pasien HD: 17 mg/hari
Kalsium : 1400-1600 mg/hari
Besi : 10-18 mg/hari
Magnesium : 200-300 mg/hari
Asam folat pasien HD : 5 mg
Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)
Table 2.4 Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD
LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
60
25-60
5-25
< 60 (sindrom
nefrotik)
Tidak dianjurkan
0,6-0,8/kg/hari, termasuk
≥0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi
0,6-0,8/kg/hari, termasuk ≥ 0,3
gr/kg/hari protein nilai biologi
tinggi atau tambah 0,3 g asam
amino esensial atau asam keton
0,8 gr/kg/hr (+1 gr protein/g
proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino asensial
atau asam keton
Tidak dibatasi
≤10 g
≤10 g
≤ 9 g
Farmakologi
Kontrol tekanan darah
Pemakaian obat antihipertensi selain untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga
sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertropi glomerulus. Obat antihipertensi
yang digunakan yaitu penghambat enzim converting angiotensin /ACE inhibitor
(antihipertensi dan antiproteinuri).
Pada pasien DM dilakukan kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonylurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1
0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk Dm tipe 2 adalah 6%.
Kontrol hiperfosfatemi :kalsium karbonat atau kalsium asetat
Koreksi asidosis metabolic dengan target HCO3 20—22 mEq/l
Koreksi hiperkalemi
Kontrol dislipidemia dengan target LDL < 100 mg/dl, dianjurkan golongan statin
D. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting
karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan pengendalian terhadap
penyakit kardiovaskular yaitu: pengendalian DM, hipertensi, dislipedemia, anemia,
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan elektrolit.
E. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Beberapa komplikasi yang biasa terjadi pada penyakit ginjal kronik seperti anemia,
osteodistrofi renal dan hiperfosfatemia. Anemia biasanya terjadi pada 80-90% pasien
penyakit ginjal kronik. Hal ini terjadi karena penurunan kadar eritopoitin. Selain itu juga
anemianya juga bisa disebabkan karena defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarah
saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asal
folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut dan kronik.
Penatalaksanaan anemia ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain yang
ditemukan. Pemberian eritropoitin, pemberian tranfusi darah bisa dilakukan untuk
mengoreksi anemia.
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi yang juga sering terjadi pada pasien
penyakit ginjal kronik. Penatalaksaannya dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan
pemberian hormon kalsitriol. Penatalaksanaan hiperfosfatemia dengan membatasi asupan
fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan untuk menghambat absorbsi fosfat di saluran
cerna, dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan mengatasi
hiperfosfatemia. Asupan fosfat dibatasi 600-800mg/hari. Pengikat fosta yang bisa dberikan
berupa garam kalsium, alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam kalsium yang
banyak dipakai yaitu kaslium karbonat dan kalsium asetat. Pembatasan asupan cairan dan
elektrolit sangat perlu dilakukan. Hal ini untuk mencegah edem dan komplikasi
kardiovaskular, Air yang masuk dianjurkan 500-800 ml/hari. Elektrolit yang harus dibatasi
pemberiannya kalium dan natrium. Kadar kalium darah 3,5 -5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium
dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
F. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal pada stadium 5 yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritonealdialisis atau transplantasi ginjal.\
Komplikasi
Tabel 2.5 Komplikasi penyakit ginjal kronik 1
Derajat Penjelasan LGF Komplikasi
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan
LFG normal
Kerusakan ginjal dengan
LFG ↓ ringan
Kerusakan ginjal dengan
LFG ↓ sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG
↓ berat
Gagal ginjal
≥ 90
60-89
30-59
15-29
< 15
Tekanan darah mulai
meningkat
Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
Malnutrisi
Asidosis metabolic
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia
Gagal jantung
Uremia
3.3 Hemodialisa
Pada gagal ginjal terminal, akses pembuluh darah dicapai dengan membuat fistula
antara arteri dengan vena atau dengan menggunakan saluran lumen ganda pada vena
jugularis, subclavia, atau femoralis.8
Hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal
buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan
dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artificial)
dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialysis yang bebas
pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak
mengandung sisa metabolisme nitrogen.
Gambar 2.2 Prinsip Hemodialisa
Cairan dialysis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan kosentrasi karena zat
terlarut berpindah dari kosentrasi tinggi ke arah kosentrasi rendah sampai kosentrasi terlarut
sama di kedua kompartemen.12
Pada umumnya indikasi dialysis pada gagal ginjal kronik adalah bila laju filtrasi
glomerulus (GFR) kurang dari 5 mL/menit ( normalnya GFR mencapai 125 mL/menit)
dianggap baru perlu bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah :12
1. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
2. Serum kalium > 6 meq/L
3. Ureum darah >200 mg/dL
4. pH darah < 7,1
5. anuria berkepanjangan ( >5 hari)
6. fluid overload
Tabel 2.6 Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di Indonesia 1
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis
DM
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain
46,93%
18,65%
12,85%
8,46%
13,65%
Kontraindikasi Relatif Terapi Dialisis antara lain:12
1. malignansi stadium lanjut ( kecuali multiple myeloma)
2. penyakit Alzeima’s
3. multi infak dementia
4. sindrom hepatorenal
5. sirosis hati tingkat lanjut dengan ensefalopati
6. hipotensi
7. penyakit terminal
8. organic brain syndrome
Efek samping HD yang dapat terjadi antara lain : 12
1. sakit punggung
2. nyeri dada
3. sakit kepala
4. hipotensi
5. gatal dikulit
6. rasa kram dikaki
7. mual dan muntah
8. demam dan menggigil (jarang)
9. komplikasi berat yang jarang terjadi: reaksi alergi, banyak sel-sel darah merah pecah,
adanya gelembung udara yang menyumbat pembuluh darah, kadar oksigen yang
rendah dalam darah.
BAB 1V
PEMBAHASAN
The National Kidney Foundation-Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative (NKF-
K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi selama tiga bulan
atau lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi kelainan patologis atau petanda (marker)
kerusakan ginjal , termasuk kelainan dalam komposisi darah maupun urin, atau kelainan
dalam tes pencitraan; atau (2) LFG < 60 ml/menit/1,73m2 selama tiga bulan atau lebih,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan derajat penyakit, yang ditentukan dari
nilai laju filtrasi glomerulus, maka NKF-K/DOQI merekomendasikan klasifikasi CKD
menjadi 5 stadium. Menurut klasifikasi ini, CKD stage V ditegakkan bila nilai LFG < 15
ml/menit/1,73 m2.
Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus
urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya. (2)
gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. (3) Gejala komplikasinya antara lain,
hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
Pada kasus ini, pasien perempuan, 45 tahun, mengeluh sesak nafas sejak 1 minggu
SMRS, yang bertambah berat bila pasien berbaring, namun sedikit membaik bila pasien
duduk stau miring ke sebelah kiri. Pasien mengeluh kedua kakinya bengkak secara
bersamaan. Pasien juga mengalami muntah yang didahului rasa mual, muncul beberapa saat
setelah pasien makan atau minum sesuatu. Pasien juga merasa badannya lemah.
Dari anamnesis kemungkinan yang menjadi penyebab terjadinya penyakit ginjal kronik
pada pasien ini adalah adanya penyakit hipertensi yang tidak terkontrol. Hipertensi ini akan
menyebabkan terganggunya aliran darah ke ginjal yang akan menyebabkan terjadinya
gangguan ginjal yang irreversibel.
Setelah itu gejala-gejala uremia sudah dirasakan oleh pasien ini seperti sesak, mual,
lemas, tidak nafsu makan dan kencing yang sedikit. Uremia ini terjadi sebagai akibat sudah
terjadinya penurunan fungsi ginjal terutama nefron yang akan menyebabkan gangguan klinis
dan metabolik akibat penimbunan substansia nitrogen dan ion anorganik lainnya di dalam
tubuh.
Dari pemeriksaan fisik di dapatkan tekanan darah pasien cukup tinggi yaitu 170/110
mmHg, dan pada perkusi thorax didapatkan redup, auskultasi thorax didapatkan ronkhi, pada
abdomen didapatkan asites, keadaan anemia yang dilihat dari warna konjuctiva yang pucat.
Anemia itu terjadi akibat penurunan produksi eritropoetin di dalam tubuh akibat kerusakan
ginjal. Selain itu asupan zat besi dan asam folat yang sedikit. Akibat tidak adanya nafsu
makan pada kebanyakan pasien gagal ginjal kronik. Selain itu keadaan uremia bisa
menyebabkan terjadi penekanan sum-sum tulang dalam proses pembentukan sel darah merah.
Anemia ini biasanya terjadi pada 80-90% pasien gagal ginjal kronik.
Sementara itu dari hasil dari pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosa gagal
ginjal kronik yaitu hasil pemeriksaan darah rutin yang memberikan data terjadinya penurunan
kadar Hb (5,2 gr/dl), lalu hasil faal ginjal yang memberikan data nilai ureum 212,9 mg/dl,
kreatinin 16,3 mg/dl. Pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya berupa
analisis gas darah, kadar albumin serum, rontgen thorax, USG abdomen.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka pasien ini
didiagnosis dengan CKD Stage V karena secara klinis dijumpai 3 gejala/tanda klasik
CKD yaitu edema, anemia, dan hipertensi, ditambah penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan LFG < 15 ml/menit/1,73m2.
Penatalaksanaan CKD meliputi: (1) terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, (2)
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid tersebut antara lain
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),
(3) memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis),(4)
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia
osteodistrofi renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti ginjal
berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada CKD stadium V. Terapi
pengganti ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi
ginjal. Hemodialisis emergensi adalah salah satu pilihan hemodialisis yang dikerjakan
pada pasien-pasien CKD dengan LFG <15 ml/menit/1,73 m2 dan atau bila ditemukan salah
satu dari keadaan berikut: (1) adanya keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis
yang nyata, (2) serum kalium > 6 meq/L, (3) ureum darah > 200 mg/dL,(4) pH darah <
7,1, (5) anuria berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta adanya bukti fluid overload.
Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi kegagalan
fungsi ginjal yang didukung dengan GFR 3,44 mL/min/1,73 m2. Sehingga penatalaksanaan
utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Hemodialisis
emergensi dipilih pada pasien ini karena dijumpai fluid overload. Selanjutnya pasien
menjalani Hemodialisis regular 2x seminggu.
Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang lainnya, yang
disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, meliputi: IVFD RL 10 tpm, amlodipine
1x10gr , inj Lasix 3x1amp, asam folat 3 x 1 tab, BicNat 3x1 tab , b-comp 3x1 tab, transfusi
PRC hingga Hb ≥ 8 gr/dL, diet tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari, dan terapi non farmakologi
()oksigen, tirah baring dan pengaturan diet makanan. Adapun dasar pemberian terapi
tambahan tersebut akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.
Pemberian obat dieuretik (inj lasix) pada pasien ini berguna untuk mengurangi oedema
pada tungkainya dan bisa juga untuk menurunkan tekanan darah. Lalu pemberian biknat
untuk mengurangi kadar ureum dalam darah dan untuk menjaga pH darah agar tetap dalam
batas normal. Pemberian asam folat untuk membantu mengurangi anemia. Pemberian
amlodipine untuk mengontol tekanan darah pada pasien dan juga untuk mengurangi risiko
penyakit kardiovaskuler. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien CKD berupa diet rendah
garam dan pemberian obat antihipertensi golongan ACE inhibitor dan atau Angiotensin
Receptor Blocker (ARB). Nutrisi bagi pasien ini perlu diperhitungkan, pemberian diet Protein
diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari. Jumlah kalori yang diberikan sekitar 30-35 kkal/kgBB/hari
BAB V
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik (Chronic kidney disease) adalah suatu proses patofisiologi
dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif
dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialisis maupun transpantasi ginjal.
Banyak penyakit dapat menyebabkan gagal ginjal kronis, termasuk glomerulonefritis
(30%), nefritis interstisial dan nefropati refluks (20%), penyakit ginjal polikistik (10%),
diabetes mellitus (10%), hipertensi/penyakit renovaskular (10%), uropati osbtruktif, dan
penyakit-penyakit lain yang tidak diketahui (20%).
Gejala pada penyakit ginjal kronik yaitu sesuai dengan penyakit yang mendasari,
sindrom uremia terdiri dari letargi, lemah, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan, neuropati perifer, pruritus, perikarditis, kejang sampai koma dan gejala
komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
Pada CKD terdapat Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin plasma dan penurunan LGF, kelainan biokimia darah dan kelainan urinalisis.
Perencanaan tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik sesuai dengan derajatnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Gagal ginjal kronik. Dalam Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata
Mk, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Balai
penerbit FK-UI; 2006. hal. 570-3
2. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya IP, Nafrialdi, Mansjoer A. Panduan
Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Interna
Publishing; 2009. Hal 157-9
3. Lorraine MW. Gagal ginjal kronik. Dalam Sylvia AP, Lorraine MW,editor.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit
EGC; 2006. Hal 912-45
4. Juariani A. Dukungan Sosial Pada Paisen Gagal Ginjal Terminal Yang Melakukan
Hemodialisa. FK USU.
5. Snell RS. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2007.
6. Lorraine MW. Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih. Dalam Sylvia AP,
Lorraine MW,editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta : Penerbit EGC; 2006. Hal 867-91
7. Guton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC; 2006.
8. Davey Patrick. At a glance medicine. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2006. Hal 258-9
9. Silbernagl S dan Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC; 2007.
Hal.110-3
10. Gleadle Jonathan. At a Glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit
Erlangga; 2007. Hal 146-7
11. Mark HS. Buku ajar Diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 1995
12. Rahardjo P, Susalit E, Suhardjono. Hemodialisa. Dalam Sudoyo AW, Setiohadi B,
Alwi I, Simadibrata Mk, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4.
Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2006. hal. 579-80