Upload
masrizal-dt-mangguang
View
22
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PELAKSANAAN KB (MELALUI JAMPERSAL) UNTUK MENEKAN LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN PENCAPAIAN TARGET MILLENIUM DEVELOPMENT GOAL (MDGs)
(KB Implementation (Through Jampersal) For Pressing Population Growth Rate And Achieving Of Millennium Development Goal (MDGs))
Andrei Ramani1
1Departemen Epidemiologi, Biostatistika, dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas JemberKorespondensi: Jl. Kalimantan I/93 Jember. Telp. (0331-337878), +6281326240264. Fax (0331-322995), email: [email protected]
ABSTRACT
Based on population census 2010, Indonesias population reached more than 237 million and for the first time since the 1971 rate of population increase from 2000 until 2010 reached 1.5% per year. Indonesia is one of the nations involved in signing the Millennium Declaration; therefore, Indonesia has an obligation to meet the Millennium Development Goals (MDGs) at the latest 2015. Jaminan Persalinan (Jampersal - Maternity Insurance Scheme) held by Ministry of Health is one of the government's efforts to reduce Maternal Mortality Rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR) and help to accelerate the MDGs fourth and fifth target. Considering the estimated target coverage in Jampersal 2011 that reached over 4.5 million mothers, contraceptive services as one element of Jampersal services hopefully can be use to reduce rate of population increase in Indonesia in the next future.
Keywords: Population Census 2010, MDGs, IMR, MMR, Maternal Insurance Scheme (Jampersal)
PendahuluanJampersal merupakan program Kementerian Kesehatan tahun 2011 yang ditujukan
kepada ibu hamil untuk mendapatkan layanan pemeriksaan kehamilan, persalinan, KB, dan
ANC yang berkualitas dan bersifat bebas biaya. Jampersal juga dirancang untuk membantu
pencapaian target MDGs ke-4 (menurunkan angka kematian anak) dan ke-5 (meningkatkan
kesehatan ibu). Laporan Sensus Penduduk 2010 menunjukkan adanya peningkatan laju
pertumbuhan penduduk yang melebihi proyeksi banyak kalangan. Pertumbuhan penduduk yang
tinggi di Indonesia menimbulkan permasalahan karena secara absolut jumlah penduduk
Indonesia termasuk dalam 5 besar negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia,
sehingga meskipun pertumbuhan penduduk hanya dalam kisaran 1 digit, angka riil absolut yang
dihasilkan akan sangat besar. Pertambahan penduduk yang besar memiliki konsekuensi
terhadap aspek-aspek di bidang lainnya (daya dukung lingkungan, kesehatan, ekonomi, sumber
daya alam, dll).
Tulisan ini merupakan studi pustaka. Dikumpulkan data, tulisan, dan referensi dari
berbagai sumber yang sudah dipublikasikan yang kemudian ditelaah, disusun, dan dikaji untuk
mendapatkan gambaran mengenai topik tertentu. Tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana
prospek Jampersal digunakan untuk mengatasi permasalahan kependudukan Indonesia ke
depan terutama digunakan untuk peningkatan layanan kontrasepsi/KB di Indonesia yang hampir
selama 1 dasawarsa terakhir seakan-akan mati suri. Sebagai salah satu negara yang
menandatangani Millenium Declaration dan International Conference on Population and
Development maka Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan butir-butir
program/kegiatan yang telah disepakati.
Situasi Kependudukan Global, Indonesia, dan Millenium Development Goals (MDGs)Pertambahan (pertumbuhan) jumlah penduduk merupakan fenomena alamiah yang tidak
bisa dihindari. Laporan terakhir menunjukkan pertambahan penduduk dunia sebanyak 1 milyar
hanya memerlukan waktu selama 11 tahun(2). Pada tahun ini (2011) jumlah penduduk dunia
diperkirakan telah mencapai angka kisaran 7 milyar orang. Konsekuensi dari pertambahan
jumlah penduduk baik secara langsung ataupun tidak menimbulkan permasalahan baru yang
harus dihadapi misalnya permasalahan lingkungan, keterbatasan sumber daya alam,
kesehatan, ketenagakerjaan, akses pangan, ekonomi, pendidikan, dll. Adanya fenomena Baby
Boom pasca Perang Dunia ke-2 memunculkan kesadaran berbagai kalangan untuk menekan
laju pertumbuhan penduduk melalui berbagai macam cara, terutama melalui penelitian-
penelitian ilmiah mengenai metode kontrasepsi dan melalui kebijakan-kebijakan kependudukan
yang dikeluarkan oleh masing-masing negara ataupun kebijakan-kebijakan kependudukan yang
dikeluarkan melalui resolusi internasional. ICPD (International Conference on Population and
Development) yang diselenggarakan di Kairo pada tahun 1994 merupakan salah satu tonggak
sejarah bagi lahirnya kesadaran integratif penanganan permasalahan kependudukan dengan
bidang-bidang lainnya (lingkungan, kemiskinan, kesehatan ibu dan anak - KIA, gizi, hak asasi
manusia, kaum migran, pendidikan, pencari suaka, dan ekonomi). Angka pertumbuhan
penduduk global hingga akhir tahun 2010 sebesar 1,136% (terus menurun sejak 1971)(14). Saat
ini dari penambahan 1 milyar orang per 11 tahunan, pertambahan jumlah penduduk terbanyak
mayoritas di-sumbang oleh negara-negara dengan tingkatan ekonomi termiskin, dan berasal
dari daerah-daerah termiskin didalam negara yang bersangkutan.
Gambar 1. Laju Pertumbuhan Penduduk Dunia per Tahun Periode 1960 2010 (dalam %)
Sumber: Data sekunder, World Bank (2011)
Pada tahun 2000 negara-negara anggota PBB (189 negara) menandatangani Millenium
Declaration dengan target-target tertentu yang kemudian dikenal sebagai Millenium
Development Goals (MDGs). Setiap negara yang terlibat dalam Millenium Declaration
berkewajiban untuk memenuhi target-target MDGs hingga batas akhir tahun 2015. 8 target
MDGs yaitu: 1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, 2) Pencapaian pendidikan dasar
untuk semua, 3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4) Menurunkan
angka kematian anak, 5) Meningkatkan kesehatan ibu, 6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan
penyakit menular lainnya, 7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup, 8) Membangun
kemitraan global untuk pembangunan. Dapat dilihat beberapa target MDGs tidak terlepas dari
kerangka dasar ICPD Kairo 1994, dan pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara yang
terlibat dalam penandatanganan Millenium Declaration tidak bisa tidak memiliki kewajiban untuk
pemenuhan 8 target MDGs tersebut diatas.
Melihat situasi kependudukan Indonesia melalui data Sensus Penduduk (SP) 1971
2010, untuk pertama kalinya laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami kenaikan pada
periode tahun 2000 2010 (dengan rate pertumbuhan penduduk 15,21%(1).
Gambar 2. Pertumbuhan Penduduk Indonesia 1971 2010 (dalam %)
Sumber: Data primer terolah SP 1971 - 2010, BPS (2011)
Gambar 2 menunjukkan Pemerintah Indonesia (pernah) berhasil memperlambat laju penduduk
hingga hanya mencapai 5,91% (dari 23,72%) (dengan angka rata-rata pertumbuhan per tahun
1,82%), fenomena pencapaian yang sangat luar biasa jika dibandingkan dengan rate
pertumbuhan penduduk dunia saat itu (rata-rata pertumbuhan 1970 1995 sebesar 5,1% per
tahun).
Periode tahun 2000 2010 rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia 1,52% per
tahun, fenomena ini dapat dilihat dari sisi positif dan negatif. Dilihat dari sisi positif, angka
pertumbuhan ini masih sedikit lebih tinggi dari angka pertumbuhan penduduk dunia 2000
2010 sebesar 1,25% per tahun, dilihat dari sisi negatif bisa dikatakan bahwa dengan angka
pertumbuhan sebesar ini setiap tahunnya terjadi penambahan jumlah absolut penduduk sebesar
3,5 juta jiwa yang dalam jangka panjang akan sangat dibutuhkan usaha untuk menjaga
keseimbangan laju pertumbuhan ekonomi dan daya dukung lainnya. Pertumbuhan penduduk
selama 10 tahun terakhir merupakan bukti kegagalan pemerintah untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk saat ini jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk tahun
1970 2000. Asumsi sederhana di tahun-tahun kedepan kemungkinan pemerintah berhadapan
dengan angka pertumbuhan penduduk yang lebih besar dari saat ini atau pemerintah harus
berupaya sangat keras untuk menahan dan/atau menurunkan laju pertumbuhan penduduk
Indonesia.
Situasi Program KB Sebelum dan Pasca Desentralisasi/Otonomi DaerahProgram Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu kebijakan anti-natalis yang
dianut oleh pemerintah Indonesia pada era Suharto karena pada saat itu terjadinya
pertumbuhan penduduk yang sangat cepat sejak tahun 1949 dianggap merupakan kelalaian era
Soekarno yang pro-natalis(5)(8). Kepres No. 8 Tahun 1970 mengesahkan berdirinya lembaga
non departemen Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah perubahan
dari Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang didirikan pada tahun 1969 setelah
ditandatanganinya United Nations Declaration on Population oleh Presiden Soeharto(8).
Penyempurnaan program dan kelembagaan BKKBN selanjutnya melalui Kepres No. 33 Tahun
1972, Kepres No. 38 Tahun 1978, dan Kepres No. 109 Tahun 1993 tentang Pembentukan
Kementerian Kependudukan dan BKKBN. Program KB pada awalnya merupakan program yang
menggunakan pendekatan klinis yaitu melalui layanan-layanan KB di institusi-institusi kesehatan
yang dimiliki oleh pemerintah ataupun swasta. Pertengahan 1970 penggunaan pil kontrasepsi
mulai dapat diterima oleh masyarakat luas sehingga untuk meningkatkan cakupannya program
KB dijalankan hingga tingkat desa yang mengubah paradigma pendekatan klinis menjadi
pendekatan berbasis komunitas dengan memanfaatkan partisipasi masyarakat sebagai strategi
utama. Pada tataran desa program KB disusun dan dijalankan oleh sukarelawan melalui
organisasi masyarakat yang disebut dengan Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa
(PPKBD) yang seiring berjalannya waktu PPKBD berubah dari yang awalnya hanya berfungsi
sebagai distributor alat kontrasepsi menjadi manager program pada tingkat desa(4).
Era tahun 1980 laju pertumbuhan penduduk bisa ditekan hingga 2,3% per tahun dan
pada tahun 1990 hingga 2,1% per tahun. Pelaksanaan program KB di Indonesia tahun 1970
1995 merupakan masa-masa emas yang diakui oleh kalangan Internasional dan dijadikannya
Indonesia sebagai salah satu negara percontohan untuk pelaksanaan program KB bagi negara-
negara berkembang lainnya. Faktor utama pendorong keberhasilan program KB secara
kelembagaan di Indonesia pada periode sebelum desentralisasi/otonomi diantaranya adalah
kuatnya komitmen dan kerjasama antara pemerintah, lembaga agama, masyarakat, dan pihak
swasta/lembaga donor yang terlibat(11)(12).
Gambar 3. Jumlah Petugas PPKBD Tahun 1978 - 1992
Sumber: Data Sekunder, Bappenas (tanpa tahun)
Adanya krisis ekonomi dan reformasi politik ekonomi 1998 menyebabkan terjadinya
stagnasi kinerja hampir pada seluruh lembaga departemen dan non-departemen termasuk salah
satunya yaitu BKKBN. Memasuki era desentralisasi/ otonomi daerah, Kepres No. 20 Tahun
2000 menyatakan BKKBN yang merupakan instansi vertikal menjadi tidak berarti ketika harus
berhadapan dengan PP No. 8 Tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) di
daerah. Pada tahun 2001 juga diterbitkan Kepres No. 103 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa
sebagian besar kewenangan BKKBN harus sudah diserahkan kepada daerah selambat-
lambatnya pada akhir tahun 2003(15). Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kinerja
program KB karena BKKBN secara kelembagaan tidak jelas dan peran yang didistribusikan ke
daerah mengalami perubahan drastis dan pengejawantahan program yang multi tafsir.
Rendahnya dukungan dan komitmen politis dan operasional ditingkat kabupaten/kota sangat
bervariasi sehingga dukungan terhadap KB baik prasarana, dana maupun tenaga masih kecil
karena pemda masih memprioritaskan lembaga yang secara langsung dapat menambah
Pendapatan Asli Daerah (PAD)(7). Mantan petugas BKKBN ditingkat kabupaten/kota terutama
petugas lapangan KB (PLKB dan Penyuluh KB/PKB) berpindah ke instansi lain baik karena
promosi atau alih tugas. Sebelum desentralisasi/otonomi daerah jumlah PLKB/PKB di seluruh
Indonesia mencapai 26.704 namun setelah desentralisasi jumlahnya hanya tinggal 75%
(19.586).
Pasca era desentralisasi program KB dicoba untuk diperkuat kembali. Program KB
merupakan program sosial dasar yang menangani lima aspek, sebagaimana tercermin dalam
Undang Undang No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga yang meliputi: 1) Mengatur kehamilan, 2) Menjaga kesehatan dan menurunkan angka
kematian ibu, bayi, dan anak, 3) Meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan,
konseling, dan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, 4) Meningkatkan
partisipasi dan kesertaan pria dalam praktik keluarga berencana, 5) Mempromosikan penyusuan
bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan. Ini artinya, program KB tidak sekedar
berupaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, tetapi yang lebih penting adalah
meningkatkan kualitas penduduk. Semuanya itu harus dimulai dari keluarga sebagai unit terkecil
dalam masyarakat, karena keluarga sebagai titik sentral pembangunan(13).
Program Jaminan Persalinan (dan KB)Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional dan
MDGs (terutama pencapaian sasaran keempat dan kelima), pada awal pertengahan 2011
Kementerian Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal). Salah satu
yang melatarbelakangi munculnya program Jampersal adalah adanya kendala untuk
mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan karena adanya
keterbatasan dan ketidaktersediaan biaya sehingga diperlukan kebijakan terobosan untuk
meningkatkan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Jampersal
dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil, yang didalamnya
termasuk pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan
pelayanan bayi baru lahir(3).
Gambar 4. Persentase Pelayanan Persalinan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan Tahun 2005 - 2010
* : Tidak termasuk AcehSumber: Data Sekunder, BPS (2011)
Persentase pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan secara nasional terus meningkat dari
tahun ke tahun, akan tetapi dilain sisi tetap masih ada pemeriksaan kehamilan ke dukun atau
bahkan tidak pernah diperiksa sama sekali yang kecenderungannya bisa dilihat makin rendah
tingkat ekonomi maka resiko untuk memeriksakan kehamilan ke dukun atau bahkan tidak
diperiksa akan makin tinggi.
Gambar 5. Persentase Dukun sebagai Pemeriksa Kehamilan dan Kehamilan yang tidak diperiksa Pada Perempuan Kawin usia 10 59 tahun
Berdasarkan Tingkat Ekonomi
Sumber: Data Sekunder Riskesdas 2010 (Laksono dan Rukmini, 2011)
Peserta program Jampersal adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas (pasca melahirkan
sampai 42 hari) dan bayi baru lahir (0-28 hari) yang belum memiliki jaminan biaya kesehatan.
Peserta program dapat memanfaatkan pelayanan di seluruh jaringan fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan (RS) di kelas III yang memiliki Perjanjian Kerja
Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota. Tujuan khusus
Jampersal sebagaimana tercantum dalam Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan (2011)(5)
diantaranya yaitu: 1) Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan,
dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan, 2) Meningkatnya cakupan pelayanan bayi baru
lahir oleh tenaga kesehatan, 3) Meningkatnya cakupan pelayanan KB pasca persalinan oleh
tenaga kesehatan, 4) Meningkatnya cakupan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas,
dan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan, 5) Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang
efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
Ruang lingkup Jampersal meliputi 2 jenis pelayanan persalinan yaitu pelayanan tingkat
pertama dan lanjutan, dengan pelayanan di tingkat pertama meliputi pemeriksaan kehamilan,
pertolongan persalinan normal, pelayanan nifas (termasuk KB pasca persalinan), pelayanan
bayi baru lahir, dan penanganan komplikasi pada kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru
lahir. Pemanfaatan paket Jampersal pada pelayanan pasca nifas dilakukan upaya konseling/KIE
untuk memastikan seluruh ibu pasca bersalin atau pasangannya menjado akseptor KB yang
diarahkan kepada kontrasepsi jangka panjang seperti alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) atau
kontrasepsi mantap/kontap (MOP dan MOW). Alat dan obat semua jenis kontrasepsi disediakan
oleh BKKBN. Besaran tarif untuk pelayanan tingkat pertama dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Besaran Tarif Pelayanan Jaminan Persalinan pada Pelayanan Tingkat Pertama
No. Jenis Pelayanan Frek Tarif Jumlah Ket
1 Pemeriksaan Kehamilan 4 kali 10.000 40.000 Standar 4x
2 Persalinan normal 1 kali 350.000 350.000
3 Pelayanan nifas termasuk pelayanan bayi baru lahir dan KB pasca persalinan
3 kali 10.000 30.000 Standar 3x
4 Pelayanan persalinan tak maju dan atau pelayanan pra-rujukan bayi baru lahiir dengan komplikasi
1 kali 100.000 100.000 Pada saat menolong persalinan ternyata ada komplikasi, wajib segera dirujuk
5 Pelayanan pasca keguguran, persalinan per vaginam dengan tindakan emergensi dasar
1 kali 500.000 500.000
Sumber: Depkes (2011)
Optimasi pelayanan KB melalui Jampersal dan Permasalahan JampersalMelalui tujuan khusus dan cakupan layanan tingkat pertama Jampersal masih ada celah
yang bisa dioptimalkan ataupun digunakan untuk menciptakan sinergi peningkatan program KB
dalam rangka menekan laju pertambahan penduduk yang harapannya mampu menuju visi
Penduduk Tumbuh Seimbang Tahun 2015. Petunjuk teknis secara jelas menyebutkan
.disiapkan alat dan obat semua jenis kontrasepsi oleh BKKBN. Peluncuran program
Jampersal yang masih dalam tahap awal tentu saja banyak menimbulkan pro dan kontra selain
tentu saja adanya permasalahan pada program Jampersal sendiri. Beberapa permasalahan
yang berkembang diantaranya: 1) Kekhawatiran dampak Jampersal yang menyebabkan
terjadinya ledakan penduduk di masa depan. Hal ini telah diantisipasi dengan diintegrasikannya
layanan KB pada paket layanan Jampersal. Sayangnya kewajiban untuk ikut KB masih bersifat
himbauan, sehingga tidak ada sanksi bagi pengguna Jampersal yang kemudian ternyata tidak
melaksanakan. Meski ke depan ada rencana untuk menerapkan sanksi, namun prosesnya akan
rumit karena pasti akan berbenturan dengan hak-hak reproduksi. Telaah dokumen Petunjuk
Teknis Jampersal mendapatkan adanya keterangan yang menyatakan Klaim persalinan ini
tidak harus dalam paket (menyeluruh) tetapi dapat dilakukan klaim terpisah, misalnya ANC saja,
persalinan saja atau PNC saja. dengan adanya butir keterangan diatas dapat ditafsirkan masih
mungkin bagi masyarakat sasaran untuk mengklaim layanan Jampersal per elemen layanan.
Butir keterangan diatas bisa dimaknai adanya pembiasan makna bahwa layanan persalinan dan
layanan KB merupakan paket yang seharusnya tidak terpisahkan untuk menghindari
kekhawatiran timbulnya ledakan penduduk sebagai dampak Jampersal. 2) Petunjuk yang
diterbitkan belum bisa secara kritis memotret arti penting mengapa harus ada Jampersal,
mengapa kematian bayi dan kematian ibu itu penting, mengapa layanan KB diperlukan dalam
Jampersal, apa kaitannya dengan capaian MDGS ke-4 dan ke-5, dsb. Petunjuk lain yang perlu
dilengkapi terutama mengenai capaian kinerja program yang diharapkan, tata kelola keuangan,
pemantauan dan evaluasi, penanganan keluhan, serta pembinaan pengawasan. Petunjuk yang
ada masih bersifat sangat umum dan hanya menekankan pada proses klaim Jampersal,
rekapitulasi laporan, dan perjanjian kerja sama antara dinas kesehatan kabupaten/kota dengan
pihak pemberi layanan Jampersal. Petunjuk Jampersal yang komprehensif diperlukan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan pihak pengambil keputusan terutama dari kalangan
pemerintahan, pemberi layanan Jampersal, atau masyarakat sebagai pengguna agar
memahami bahwa Jampersal bukanlah program asal-asalan yang digunakan untuk
menghabiskan anggaran APBN tanpa memperhatikan konsekwensi jangka panjang yang lebih
serius dampaknya. 3) Masih adanya interpretasi yang multi tafsir dari para penyedia layanan
kesehatan mengenai aturan-aturan dari Jampersal yang sulit dijabarkan jika dihadapkan pada
kendala teknis dilapangan misalnya terkait biaya yang dapat ditanggung dan tidak ditanggung
saat prakondisi melahirkan(6). 4) Kendala teknis pencairan program Jampersal yang kurang
tepat waktu, padahal sebagaimana diketahui masih ada program-program jaminan lain yang
juga menggunakan sistem klaim misalnya: Askes, Jamkesmas, Jamkesda sehingga tidak jarang
pemberi layanan menerapkan kebijakan subsidi silang, mana klaim yang cair lebih dulu dana
itu yang digunakan untuk memberikan layanan kepada masyarakat(10).
KesimpulanMasih terlalu dini untuk bisa mengetahui apakah Jampersal bisa membantu pencapaian
indikator MDGs ke-4 dan ke-5, tetap perlu dilakukan pengukuran/evaluasi awal mengenai
perbandingan cakupan elemen layanan persalinan dan elemen layanan KB. Jika terdapat
disparitas yang cukup besar, perlu kiranya diproyeksikan bagaimana dampak Jampersal
terhadap laju pertumbuhan penduduk Indonesia ke depan. Bukan tidak mungkin kekhawatiran
mengenai terjadinya ledakan penduduk akan menjadi kenyataan mengingat estimasi cakupan
sasaran Jampersal mencapai lebih dari 4,5 juta ibu hamil. Dari petunjuk teknis diperoleh
keterangan adanya peran serta BKKBN untuk terlibat dalam menyukseskan Jampersal, kiranya
perlu dilakukan kajian apakah diperlukan payung hukum untuk mempertegas bagaimana dan
seperti apa peran BKKBN dalam Jampersal. Masih dibutuhkan penjelasan yang lebih mendalam
mengenai Jampersal dan melakukan revisi dan penegasan pada hal-hal yang sekiranya multi
tafsir. Selanjutnya untuk melancarkan dan mensukseskan program Jampersal dan jaminan-
jaminan yang lain maka seyogyanya waktu tunggu klaim pencairan dana dapat diperpendek
agar cash-flow pemberi layanan tidak terganggu yang akhirnya dapat menjalankan fungsi
seoptimal mungkin dan diharapkan dengan waktu klaim yang pendek akan dapat menarik
pelayanan persalinan swasta yang belum mengadakan perjanjian kerja sama sehingga dapat
memperluas akses masyarakat terhadap pemeriksaan kehamilan, persalinan, layanan KB, dan
pelayanan bayi baru lahir yang aman dan berkualitas.
Daftar Pustaka
1. Badan Pusat Statistik. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010. Arsip online, http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab=1 [diakses 1 November 2011]
2. Carl Haub, James Gribble. The World at 7 Billion. Population Bulletin, 2011(66) No.2 p2-3. Population Reference Bureau.
3. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan, Departemen Kesehatan RI, 2011, Jakarta.
4. Herartri, Rina. Family Decision-making: Case studies in West Java - Indonesia, 12th Biennial Conference of the Australian Population Association, 2004, Canberra.
5. Hull, Terrence H. Formative Years of Family Planning in Indonesia in: The Global Family Planning Revolution, eds: Warren C. Robinson, John A. Ross, World Bank, 2007, Washington.
6. Jamsos Indonesia. Aturan Jampersal Multi Tafsir, Arsip online http://www.jamsosindonesia.com/berita/aturan_jampersal_multi_tafsir [diakses 31 Oktober 2011]
7. Kariono. Implementasi Program KB Nasional Era Desentralisasi di Provinsi Sumatera Utara, Inovasi, 2008(5) No.4 p280-285, Media Litbang Provinsi Sumatera Utara.
8. Kartoyo, Azwini. Keluarga Berencana dalam Dasar-dasar Demografi edisi 2000. Lembaga Penerbit FE-UI, 1981, Jakarta.
9. Laksono, Agung Dwi, Rukmini. Proyeksi & Pola Akses Pelayanan Kesehatan Ibu 5 Tahun Terakhir di Indonesia, Health Advocacy Yayasan Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat, 2011, Surabaya.
10. Martabat. Program Jaminan Persalinan Ganggu Perputaran Keuangan Rumah Sakit,
Arsip online http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/94 [diakses 31 Oktober 2011]
11. Mize, Lucy S., Bryant Robey. 35 year Commintment to Family Planning in Indonesia BKKBN and USAIDs Historic Partnership, John Hopkins Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs, 2006, Baltimore.
12. Shiffman, Jeremy. Political Management in the Indonesian Family Planning Program, International Family Planning Perspectives, 2004(30) No.1 p27-32.
13.Suparto, H. Sumbangsih Program KB Terhadap Pendidikan, Arsip online, http://www.bkkbnjatim.com/berita.php?p=berita_detail&id=284 [diakses 29 Oktober 2011]
14. World Bank. Total world population data, Arsip online, http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL/countries?display=default [diakses 3 November 2011]
15. Zaeni, Akhmad. Implementasi Kebijakan Program Keluarga Berencana di Kabupaten Batang Studi Kasus Peningkatan Kepesertaan KB Pria di Kecamatan Gringsing, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Administrasi, Universitas Diponegoro, 2006, Semarang.