Click here to load reader
Upload
stevano-andreas
View
6.400
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
CONTOH KRITIK SASTRA (US)
KEPASRAHAN DALAM PUISI CHAIRIL ANWAR, SEBUAH PEMBERONTAKAN BATIN YANG RAPUH
Puisi-puisi Chairil Anwar sebagai penyair pelopor angkatan 45 banyak memengaruhi sajak-
sajak penyair sezaman dan sesudahnya. Puisi-puisi Chairil padat akan makna walau dikemas dengan
sederhana. Keberaniannya dalam menggunakan kata-kata sederhana tetapi sarat makna merupakan
ciri khasnya. Tak heran jika puisi-puisinya menginspirasi para penyair lain untuk berani dalam memilih
kata, bukan lagi kata-kata klise seperti puisi-puisi angkatan sebelumnya. Para penyair pada angkatan
tersebut menulis puisi tanpa memedulikan ikatan-ikatan formal seperti puisi lama karena mereka
beranggapan bahwa bentuk-bentuk formal bukanlah hakikat puisi, melainkan hanya merupakan
sarana kepuitisan saja.
Jika kita menilik puisi-puisi ciptaan Chairil Anwar yang bermakna dalam seperti “Aku”, “Senja di
Pelabuhan Kecil”, dan “Kepada Peminta-minta”, tentunya kita akan mengetahui bahwa puisi-puisi
tersebut mengekspresikan diri penyairnya. Dalam “Aku”, penyair merasa bahwa selama ini ia hidup
dalam ketidakbebasan sehingga dia memberontak, dia tak mau terikat dengan aturan, ia ingin
bebas. /Kalau sampai waktuku ku mau tak seorang kan merayu/ tidak juga kau/ Biar peluru
menembus kulitku/ Aku akan meradang/menerjang/ Aku mau hidup seribu tahun lagi/ . Dalam puisi
tersebut tersirat bahwa ia tak mau dipengaruhi oleh siapa pun bahkan ia sangat ingin hidup seribu
tahun lagi, yang menyiratkan makna bahwa ia akan tetap hidup untuk terus berkarya tanpa
dipengaruhi oleh orang lain. Dia ingin bebas. Jiwa pemberontak sangat terlihat dalam puisi ini.
Namun, semangat itu tak nampak dalam puisi yang lain, yaitu “Senja di Pelabuhan Kecil dan
“Kepada Peminta-minta”. Dalam puisi tersebut justru terlihat kerapuhan yang ada dalam diri penyair.
Dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” tercermin kerapuhan jiwa penyair karena cintanya yang tak
kesampaian pada seseorang yang dikaguminya yaitu Sri Ayati. Lihat saja judul puisinya “Senja di
Pelabuhan Kecil: Buat Sri Ayati . Sebuah pengharapan yang sangat akan cintanya, tetapi tak berbalas.
Hal ini terlukis jelas pada bait ketiga
Tiada lagi, aku sendiri
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Di sini dapat kita rasakan suasana sedih, sepi, dan tak ada harapan lagi untuk mendapatkan cinta dari
orang yang dikaguminya. Suasana pantai semakin menggambarkan kesepian yang dialami oleh
penyair. Bahkan, sedu-sedan tangis penyair dapat terdengar sampai pantai yang keempat. Sebuah
hiperbola yang menggambarkan betapa sunyi dan sepi suasana waktu itu.
Kerapuhan jiwa pengarang terlihat pula dalam puisi “Kepada Peminta-minta” Mengenai makna
kata peminta-minta dalam puisi tersebut dapat berarti peminta-minta dalam arti sebenarnya yaitu
orang yang meminta sedekah atau pengemis. Selain itu, kata tersebut bisa diartikan sebagai makna
kias dari orang yang meminta penyair untuk ingat pada Tuhan, untuk menyembah Tuhan (Dia).
Bahasa puisi yang multyinterpretablemembebaskan kita untuk mengartikan kata itu tak sesuai
konteksnya. Seruan peminta-minta itu diterima oleh penyair hingga ia akan menghadap Dia dan
menyerahkan segala dosanya. Ia sudah sangat sadar akan segala dosanya itu sehingga penyair
menginginkan untuk tidak selalu diperingatkan saja karena hal tersebut akan membuat darahnya
menjadi beku oleh rasa berdosanya. Seperti yang terlihat dalam bait pertama.
/Baik,baik aku akan menghadap Dia/ /menyerahkan diri dan segala dosa/ /Tapi jangan tentang lagi
aku/ /nanti darahku jadi beku/
Hal ini sangat bertentangan dengan puisi yang pertama. Dalam puisi tersebut penyair tak mau
dipengaruhi oleh siapa pun, tetapi dalam puisi kedua penyair mudah sekali dipengaruhi hanya oleh
seorang peminta-minta walaupun ia sudah menyadari akan dosa-dosanya sendiri. Pemberontakan
yang berubah menjadi kepasrahan walaupun ia minta untuk tidak ditentang karena ia akan merasa
sangat tersiksa . Di sini nampak bahwa sebenarnya di balik sifat pemberontaknya, ada rasa takut
dalam hatinya karena ia menyadari bahwa manusia tetaplah seorang makhluk yang lemah, yang tak
pernah luput dari dosa. Bait pertama yang diulang pada bait keempat menekankan masalah dan
memberikan intensitas renungan terhadap masalah tersebut , yaitu masalah dosa manusia.
Ide dalam puisi tersebut yang bersifat abstrak digunakan untuk memudahkan pemahaman
pembaca, supaya dapat dirasakan oleh pembaca. Hal ini dilakukan dengan mengongkretkan
pengertian dengan kiasan dan citraan. Seperti dalam baris/menyerahkan diri dan segala dosa/. Dosa
yang abstrak dikonkretkan seolah-olah dapat dipegang sehingga dapat ‘diserahkan’ . Untuk
menyatakan pengertian bahwa penyair merasa sangat berdosa, pengonkretannya dilakukan dengan
memberikan citraan peraba /…darahku menjadi beku/. Begitu juga peringatan atau seruan
dikonkretkan dengan divisualkan dengan /jangan tentang lagi aku/. Menentang atau memandang
lebih konkret daripada hanya “memberi peringatan”.
Selain dikonkretkan dengan citraan-citraan, untuk menyatakan betapa tersiksanya penyair
juga digunakan sarana retorika atau majas hiperbola. / tapi jangan tentang lagi aku/ /nanti darahku
jadi beku/ /sudah tercacar semua di muka/ /nanah meleleh dari muka/ /bersuara tiap kau
melangkah/ /mengerang tiap aku memandang/ …
Pemilihan kata berupa citraan kesakitan menunjukkan koherensi yang kuat : darahku jadi beku,
sudah tercacar, nanah meleleh, kau usap juga, mengerang, menetes, merebah,
mengganggu, menghempas di bumi keras, segala dosa, nanti darahku jadi beku. Semua itu
menunjukkan bahwa orang yang sadar akan dosa-dosanya itu rasanya sangat sakit, sangat
menderita, dan tersiksa.
Bunyi vokal a dan u yang dominan semuanya memberi gambaran suasana yang berat dan
sedih, sesuai dengan suasana kesakitan dan penderitaan. Walaupun tergolong puisi baru, puisi ini
belum bisa meninggalkan pola puisi lama dalam hal persajakan atau rima akhir. Namun hal itu bukan
disebabkan penyair masih terbelenggu oleh aturan penulisan puisi lama, melainkan hal tersebut
dilakukan untuk menciptakan kemerduan dan kelancaran ekspresi yang membuat liris dan juga
memperkeras arti.
Dalam puisi tersebut terlihat nyata bahwa masa lalu penyair yang penuh dosa akhirnya
menjadikan dirinya yang sekeras batu terpaksa menyerah kepada Tuhan lewat perintah sang
peminta-minta. Masa lalu penyair yang kelam menyadarkan dirinya, tak akan tentram hati seseorang
yang telah banyak berbuat dosa. Sebuah refleksi diri yang bisa menjadi bahan kontemplasi bagi
pembaca. Kerapuhan batin yang membelenggu hidupnya selama ini tergambar jelas lewat puisi ini.
Konsistensi sebenarnya harus tetap dipertahankan. Jika penyair-penyair angkatan ‘45
mangatakan bahwa hakikat puisi tak ditentukan oleh bentuk-bentuk formal, seharusnya penyair
mempunyai cara baru untuk memerhatikan kepuitisan dan ke-estetisan puisi tanpa harus mengikuti
pola puisi lama. Pembaruan dalam puisi perlu diciptakan agar dunia kesusastraan semakin kaya akan
kreasi para penyairnya sehingga akan menambah wawasan juga bagi penikmat seni sastra.
Salatiga, 19 Februari 2010
Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta – WS Rendra
Pelacur-pelacur Kota JakartaDari kelas tinggi dan kelas rendahTelah diganyangTelah haru-biruMereka kecutKederTerhina dan tersipu-sipu
Sesalkan mana yang mesti kausesalkanTapi jangan kau lewat putus asaDan kaurelakan dirimu dibikin korban
Wahai pelacur-pelacur kota JakartaSekarang bangkitlahSanggul kembali rambutmuKarena setelah menyesalDatanglah kini giliranmuBukan untuk membela diri meluluTapi untuk lancarkan seranganKarenaSesalkan mana yang mesti kau sesalkanTapi jangan kaurela dibikin korban
SarinahKatakan kepada merekaBagaimana kau dipanggil ke kantor menteriBagaimana ia bicara panjang lebar kepadamuTentang perjuangan nusa bangsaDan tiba-tiba tanpa ujung pangkalIa sebut kau inspirasi revolusiSambil ia buka kutangmu
Dan kau DasimaKhabarkan pada rakyatBagaimana para pemimpin revolusiSecara bergiliran memelukmuBicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusiSambil celananya basahDan tubuhnya lemasTerkapai disampingmuOtotnya keburu tak berdaya
Politisi dan pegawai tinggiAdalah caluk yang rapiKongres-kongres dan konferensiTak pernah berjalan tanpa kalianKalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’Lantaran kelaparan yang menakutkanKemiskinan yang mengekangDan telah lama sia-sia cari kerjaIjazah sekolah tanpa gunaPara kepala jawatanAkan membuka kesempatanKalau kau membuka kesempatanKalau kau membuka pahaSedang diluar pemerintahanPerusahaan-perusahaan macet
Lapangan kerja tak adaRevolusi para pemimpinAdalah revolusi dewa-dewaMereka berjuang untuk syurgaDan tidak untuk bumiRevolusi dewa-dewaTak pernah menghasilkanLebih banyak lapangan kerjaBagi rakyatnyaKalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakanNamunSesalkan mana yang kau kausesalkanTapi jangan kau lewat putus asaDan kau rela dibikin korbanPelacur-pelacur kota JakartaBerhentilah tersipu-sipuKetika kubaca di koranBagaimana badut-badut mengganyang kalianMenuduh kalian sumber bencana negaraAku jadi murkaKalian adalah temankuIni tak bisa dibiarkanAstagaMulut-mulut badutMulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan
Saudari-saudarikuMembubarkan kalianTidak semudah membubarkan partai politikMereka harus beri kalian kerjaMereka harus pulihkan darjat kalianMereka harus ikut memikul kesalahan
Saudari-saudariku. BersatulahAmbillah galahKibarkan kutang-kutangmu dihujungnyaAraklah keliling kotaSebagai panji yang telah mereka nodaiKinilah giliranmu menuntutKatakanlah kepada merekaMenganjurkan mengganyang pelacuranTanpa menganjurkanMengahwini para bekas pelacurAdalah omong kosong
Pelacur-pelacur kota JakartaSaudari-saudarikuJangan melulur keder pada lelakiDengan mudahKalian bisa telanjangi kaum palsuNaikkan tarifmu dua kaliDan mereka akan klabakanMogoklah satu bulanDan mereka akan puyengLalu mereka akan berzinaDengan isteri saudaranya.