Upload
sarif-efendi
View
971
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
PERSEPSI KLIEN TENTANG KEEFEKTIFAN KONSELOR
DALAM MELAKSANAKAN KONSELING INDIVIDUAL DITINJAU DARI
TINGKAT PENDIDIKAN, PENGALAMAN KERJA DAN GENDER KONSELOR
DI SMA NEGERI SE-KOTA SEMARANG TAHUN AJARAN 2004/2005
S K R I P S I
Diajukan dalam rangka Penyelesaian Studi Strata 1
untuk Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
N a m a : Kanthi Puji Solehhati
N I M : 1314980978
Program Studi : Bimbingan dan Konseling
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
ii
ABSTRAK
Kanthi Puji Solehhati, 2005. Persepsi Klien tentang Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja, dan Gender Konselor
di SMA Negeri se-Kota Semarang Tahun Ajaran 2004/2005.
Pelaksanaan konseling individual hingga saat ini belum optimal, hal tersebut dapat dilihat
dari masih adanya konselor sekolah dalam melaksanakan konseling individual kurang
berprosedur/tidak sistematis. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
keefektifan dan perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan gender konselor menurut persepsi klien.
Penelitian ini menggunakan studi populasi, yaitu siswa di SMA Negeri se-Kota Semarang yang sudah pernah memanfaatkan konseling individual dengan minimal dua kali tatap
muka dalam satu penyelesaian masalah yang berjumlah 99 responden. Variabel penelitian adalah
variabel tunggal yakni keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual. Metode
pengumpul data adalah skala psikologi, dengan alat pengumpul data skala persepsi. Skala
tersebut berisi pernyataan sebanyak 125 item, diberikan kepada 55 responden. Uji validitas
dengan menggunakan rumus Product Moment. Uji reliabilitas dengan menggunakan rumus
Alpha. Analisis data menggunakan Analisis Deskriptif dan Analisis Statistika Inferensial U Mann Whitney dan Kruskal Wallis.
Hasil perhitungan penelitian mengatakan bahwa (1) Klien mempunyai persepsi yang
positif (baik) terhadap keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau
dari tingkat pendidikan (D3 BK = 2,66/67% dan S1 BK = 3,11/78%), pengalaman kerja (0 – 11
tahun = 2,62/66%, 12 - 23 tahun = 3,07/77%, dan > 24 tahun = 3,19/80%), dan gender konselor
(wanita = 3,01/75% dan pria 3,14/79%). (2) Ada perbedaan keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan konselor D3 dan S1
bimbingan dan konseling menurut persepsi klien (Zhitung = -2,561 < -Ztabel = -1,96) pada taraf
signifikan 5% dengan U = 19. (3) Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari pengalaman kerja konselor 0 tahun – 11 tahun dengan konselor
dengan masa kerja 12 tahun – 23 tahun dan > 24 tahun menurut persepsi klien (χhitung = 7,532 >
χ²tabel = 5,99) dan (Zhitung = -2,448 < -Ztabel = -1,96) pada taraf signifikan 5% dengan U = 9 dan
(Zhitung = -2,552 < -Ztabel = -1,96) pada taraf signifikan 5% dengan U = 1. (4) Tidak ada
perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari gender
konselor pria dan wanita menurut persepsi klien (Zhitung = -0,849 < Ztabel = 1,96) pada taraf
signifikan 5% dengan U = 87.
Simpulan: (1) Klien mempunyai persepsi yang positif terhadap keefektifan konselor
dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja
dan gender konselor. (2) Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari tingkat pendidikan dan pengalaman kerja konselor menurut persepsi
klien. (3) Tidak ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender konselor menurut persepsi klien. Saran: Untuk meningkatkan
profesionalisme konselor di sekolah khususnya konselor dengan tingkat pendidikan D3 BK
dapat dilakukan melalui kegiatan ilmiah dalam bidang bimbingan dan konseling seperti seminar,
loka karya, penataran, work shop, diskusi-diskusi melalui MGBK (Musyawarah Guru
Bimbingan dan Konseling), maupun dengan melanjutkan studi ke jenjang S1 bimbingan dan
konseling. Pengetahuan, keterampilan dan kualitas kepribadian akan diperoleh melalui
pengalaman kerja, maka hendaknya konselor di sekolah dapat melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling, khususnya konseling individual dengan sebaik-baiknya. Sedangkan bagi peneliti
lain sebagai dasar pijakan untuk penelitian lanjutan dengan menambah variabel yang diteliti
seperti motivasi kerja, sarana-prasarana, kerja sama antar konselor dan variabel yang lainnya,
sehingga diperoleh jawaban yang lebih jelas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual.
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang, pada:
Hari : Kamis,
Tanggal : 24 Maret 2005
Panitia Ujian
Ketua Sekretaris
Drs. Siswanto Drs. Suharso, M.Pd NIP. 130515769 NIP. 131754158
Anggota Penguji Pembimbing I
Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd 1. Drs. Suharso, M.Pd
NIP. 130607619 NIP. 131754158
Pembimbing II 2. Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd
NIP. 130607619
Drs. Supriyo, M.Pd 3. Drs. Supriyo, M.Pd
NIP. 130783045 NIP. 130783045
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:
1. “Dosa terbesar adalah ketakutan. Rekreasi terbaik adalah bekerja. Musibah terbesar
adalah keputus-asaan. Keberanian terbesar adalah kesabaran. Guru terbaik adalah
pengalaman. Misteri terbesar adalah kematian. Kehormatan terbesar adalah
kesetiaan. Karunia terbesar adalah anak yang soleh. Sumbangan terbesar adalah
berpartisipasi. Modal terbesar adalah kemandirian” (Ali Bin Abi Thalib).
PERSEMBAHAN:
Karya Penelitian Ini Kupersembahkan Kepada:
1. Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
2. Ayahanda (Bp. Sugiyono M.A) & Ibunda (Ny. Sri
Sudartinah), Kakak (Mas Teguh & Mbak Eni),
Adik (Priyo) & Keponakan (Andra) tersayang,
yang telah memberikan kekuatan karena doa dan
harapannya yang sangat besar pada diriku.
3. Mas Ardian Sayogo terkasih, yang menjadi sumber
kekuatan karena kesabaran, doa, semangat dan
dorongan yang telah diberikan pada diriku.
4. Almamater tercinta.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, inayah dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul: “Persepsi Klien tentang Keefektifan Konselor dalam
Melaksanakan Konseling Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja, dan
Gender Konselor di SMU Negeri se-Kota Semarang Tahun Pelajaran 2004/2005)”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Studi Strata 1 (S1)
pada Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan - Universitas
Negeri Semarang.
Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dan mendukung selama proses penyusunan skripsi dari awal hingga
terselesaikannya skripsi ini, kepada:
1. Dr. A. T. Soegito, SH, MM Rektor Universitas Negeri Semarang, yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Universitas Negeri
Semarang.
2. Drs. Siswanto, MM Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang,
yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.
3. Drs. Suharso, M.Pd Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang, yang telah membantu penulis menetapkan
judul skripsi.
4. Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, M.Pd Dosen Pembimbing I, yang telah
membimbing dan banyak memberikan pengarahan dan motivasi yang sangat berarti
bagi penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Drs. Supriyo, M.Pd, Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan banyak
memberikan pengarahan dan motivasi yang sangat berarti bagi penulis dalam
menyusun skripsi ini.
6. Tim Penguji, yang telah memberikan masukan dan saran guna perbaikan skripsi ini.
vi
7. Drs. Sri Santoso, Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang dan Bp/Ibu Kepala SMA
Negeri se-Kota Semarang yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan
penelitian.
8. Bapak/Ibu Guru Pembimbing di SMU Negeri se-Kota Semarang yang membantu
pelaksanaan penelitian dan siswa di SMA Negeri Se-Kota Semarang, sebagai
responden penelitian yang telah bersedia mengisi instrumen penelitian.
5. Kawan-kawan seperjuanganku angkatan 1998 Jurusan Bimbingan & Konseling FIP-
UNNES (khususnya Teguh: Ayo semangat!!!), yang telah bersama bahu membahu
dalam menuntut ilmu dibangku kuliah.
6. Teman-teman terbaikku di PILAR PKBI-JATENG (Staff & Fasilitator), yang telah
memberikan motivasi & perhatian pada diriku.
7. Ibu Kost & teman-teman terbaikku di Kost (Ika Brindil, Ova, Lina, Mba Alfi, Dwita,
Sani, Ika Doo…, You see & Rita), yang telah memberikan suasana kondusif dikost.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah banyak
membantu dalam proses penyusunan skripsi ini, dari awal hingga terselesaikannya
skripsi ini.
Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini dari awal hingga akhir dengan
sebaik-baiknya, namun dengan penuh kesadaran penulis mengakui bahwa skripsi ini
masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu segala bentuk saran
dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan bagi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga hasil skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
pada khususnya dan bagi pembaca yang budiman serta bagi pengembang ilmu
pengetahuan.
Semarang, 24 Maret 2005
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
ABSTRAK ........................................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................. iv
KATA PENGANTAR....................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xi
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang...................................................................... 1
B. Permasalahan ....................................................................... 6
C. Penegasan Istilah .................................................................. 7
D. Tujuan Penelitian ................................................................. 9
E. Manfaat Penelitian ............................................................... 10
F. Sistematika Skripsi .............................................................. 11
BAB II : LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Persepsi
1.................................................................................. Pengertian
Persepsi ............................................. 12
2.................................................................................. Faktor-
faktor yang mempengaruhi
terbentuknya
Persepsi ........................................................................... 15
3.................................................................................. Syarat-
syarat Terjadinya Persepsi ................ 17
B. Konselor Sekolah
1.................................................................................. Pengertian
Konselor............................................ 20
2.................................................................................. Persyarata
n Konselor......................................... 20
3.................................................................................. Tugas dan
Tanggung Jawab Konselor................ 28
C. Konseling Individual
1. Pengertian Konseling Individual ..................................... 30
viii
2.................................................................................. Tujuan
Konseling Individual ........................ 32
3.................................................................................. Langkah-
langkah Konseling Individual........... 33
4.................................................................................. Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Konseling Efektif
.......................................................... 35
D. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual ............................................................................. 37
E. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual Ditinjau dari Tingkat Pendidikan,
Pengalaman Kerja, dan Gender Konselor menurut Persepsi
Klien
1.................................................................................. Karakterist
ik Konselor ditinjau dari Tingkat
Pendidikan
a. Pengertian Tingkat Pendidikan ................................... 44
b. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual ditinjau dari Tingkat
Pendidikan ..................................................................
2.................................................................................. Karakterist
ik Konselor ditinjau dari Pengalaman
Kerja
a. Pengertian Tingkat Pendidikan ...................................
b. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual ditinjau dari Masa Kerja ..........
3.................................................................................. Karakterist
ik Konselor diTinjau dari Gender
a. Pengertian Tingkat Pendidikan ...................................
b. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual ditinjau dari Gender .................
D. Hipotesis .............................................................................. 64
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian..................................................................... 66
B. Populasi Penelitian .............................................................. 67
C. Variabel Penelitian .............................................................. 72
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data .................................. 74
E. Validitas dan Reliabilitas ..................................................... 82
F. Metode Analisis Data........................................................... 85
BAB IV : HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
1.................................................................................. Proses
Perijinan................................................................ 89
ix
2.................................................................................. Gambaran
Umum Populasi Penelitian ................................... 89
3.................................................................................. Rancangan
Alat Pengumpul Data ........................................... 93
4.................................................................................. Uji
Coba/Try Out Instrumen....................................... 93
5.................................................................................. Pengumpul
an Data ................................................................. 96
6.................................................................................. Hasil
Analisis Data ........................................................ 97
B. Pembahasan ......................................................................... 115
BAB V : SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ............................................................................. 127
B. Saran..................................................................................... 127
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 129
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... 131
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Populasi Penelitian (Jumlah Klien yang sudah pernah Konseling
Individual dengan Konselor yang Mempunyai Tingkat Pendidikan
D3 Bimbingan dan Konseling dan S1 Bimbingan dan Konseling) ............ 71
2. Populasi Penelitian (Jumlah Klien yang sudah pernah Konseling
Individual dengan Konselor yang Mempunyai Masa Kerja 0 – 11 tahun,
12 – 23 tahun, dan > 24 tahun) ................................................................... 71
3. Populasi Penelitian (Jumlah Klien yang sudah pernah Konseling
Individual dengan Konselor Pria dan Wanita) ............................................ 72
4. Kisi-Kisi Instrumen Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual .................................................................................. 78
5. Kriteria Tingkat Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual .................................................................................................... 98
6. Rata-rata Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual diTinjau Dari Tingkat Pendidikan Menurut Persepsi Klien ..... 99
7. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual
diTinjau Dari Tingkat Pendidikan Menurut Persepsi Klien pada setiap
Indikator ...................................................................................................... 100
8. Rata-rata Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual diTinjau Dari Pengalaman Kerja Menurut Persepsi Klien......... 102
xi
9. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual
diTinjau Dari Pengalaman Kerja Menurut Persepsi Klien pada setiap
Indikator ...................................................................................................... 104
10. Rata-rata Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual diTinjau Dari Gender Menurut Persepsi Klien ....................... 106
11. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual
diTinjau Dari Gender Menurut Persepsi Klien pada setiap Indikator ...... 108
12. Hasil Analisis Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual diTinjau dari Tingkat pendidikan menurut Persepsi
Klien (U Mann Whitney) ......................................................................... 110
13. Hasil Analisis Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual diTinjau dari Pengalaman Kerja menurut Persepsi
Klien (Kruskall Wallis) ............................................................................. 112
14. Hasil Analisis Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual diTinjau dari Pengalaman Kerja menurut Persepsi
Klien (U Mann Whitney) .......................................................................... 113
15. Hasil Analisis Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan
Konseling Individual diTinjau dari Gender menurut Persepsi Klien
(U Mann Whitney) ................................................................................... 114
16. Perbedaan Karateristik Tingkat Pendidikan D3 Bimbingan dan
Konseling dan S1 Bimbingan dan Konseling ........................................... 117
17. Perbedaan Seks dan Gender ..................................................................... 124
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Identitas Konselor ....................................................................................... 131
2. Identitas Klien yang di Bimbing ................................................................. 132
3. Rancangan Kisi-Kisi Instrumen .................................................................. 133
4. Rancangan Instrumen Penelitian ................................................................ 137
5. Data dan Hasil Uji Coba Instrumen ............................................................ 153
6. Perhitungan Uji Validitas Instrumen .......................................................... 164
7. Perhitungan Uji Reliabilitas Instrumen ...................................................... 165
8. Kisi-Kisi Instrumen .................................................................................... 166
9. Instrumen Penelitian ................................................................................... 170
10. Data Hasil Penelitian .................................................................................. 185
11. Hasil Analis Deskriptif Data Penelitian ...................................................... 201
12. Hasil Analisis Statistik Data Penelitian (SPSS) .......................................... 205
13. Hasil Analisis Statistik Data Penelitian (Manual) ....................................... 210
14. Surat Ijin Mencari Data Awal Dari Fakultas Ilmu Pendidikan–UNNES ... 243
15. Surat Ijin Penelitian Dari Fakultas Ilmu Pendidikan–UNNES ................... 244
16. Surat Ijin Penelitian Dari Diknas Kota Semarang ...................................... 245
17. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 4 Semarang ............. 246
18. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 12 Semarang ........... 247
19. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 5 Semarang ............. 248
20. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 10 Semarang ........... 249
xiii
21. Surat Keterangan Penelitian (Try Out) Dari SMA N 2 Semarang ............. 250
22. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 15 Semarang ............................ 251
23. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 11 Semarang ............................ 252
24. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 1 Semarang .............................. 253
25. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 3 Semarang .............................. 254
26. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 7 Semarang .............................. 255
27. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 14 Semarang ............................ 256
28. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 9 Semarang .............................. 257
29. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 6 Semarang .............................. 258
30. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 8 Semarang .............................. 259
31. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 13 Semarang ............................ 260
32. Surat Keterangan Penelitian Dari SMA N 16 Semarang ............................ 261
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam rangka usaha layanan bimbingan dan konseling serta pemberian bantuan
melalui usaha layanan konseling adalah merupakan bagian yang sangat penting.
Bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa “layanan konseling adalah merupakan
jantung hati dari usaha layanan bimbingan secara keseluruhan (counseling is the
heart of guidance program). Oleh karena itu para petugas dalam bimbingan dan
konseling perlulah kiranya memahami dan dapat melaksanakan usaha layanan
konseling itu dengan sebaik-baiknya.
Konseling adalah merupakan suatu proses usaha untuk mencapai tujuan, dimana
tujuan yang ingin dicapai dalam konseling adalah perubahan pada diri klien, baik
dalam bentuk pandangan, sikap, sifat maupun keterampilan yang lebih
memungkinkan klien itu dapat menerima dirinya sendiri, serta pada akhirnya klien
dapat mewujudkan dirinya sendiri secara optimal (Sukardi, 1985: 11).
Konseling juga merupakan suatu teknik dalam membimbing. Oleh karenanya
setiap konselor selalu dituntut darinya untuk menguasai teknik yang satu ini dengan
tujuan agar konselor dapat secara optimal didalam membantu memecahkan masalah
yang dialami oleh klien.
Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik, sebagaimana tuntutan profesi
tersebut diatas, kunci utamanya tentu adalah konselor itu sendiri. Ini merupakan unsur utama untuk
bisa meraih hasil gemilang, artinya sebagai konselor harus memiliki bobot tertentu yang dapat
memperlancar relasi konseling, yaitu: Memiliki pengetahuan dasar menyangkut teori dan praktik
konseling, keterampilan wawancara konseling, yang bisa diperoleh baik secara pendidikan formal (dari
jurusan bimbingan dan konseling, penataran, kursus-kursus dan latihan berjangka dibidang bimbingan
xv
dan konseling), maupun pendidikan non formal (dari pengalaman bekerja, usaha dan belajar melalui
bulletin, brosur-brosur yang sesuai dengan bidang bimbingan dan konseling), dan memiliki kualitas
kepribadian, sehingga bisa dikatakan bahwa konselor akan efektif dalam melaksanakan layanan
konseling individual.
Namun persoalannya adalah, dimana kenyataan dilapangan menunjukkan gejala
yang belum semuanya sejalan dengan kondisi-kondisi yang digambarkan diatas.
Berdasarkan pengamatan selama menjalankan tugas-tugas perkuliahan dan survey
pra-penelitian ditingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri se-Kota Semarang
ditemukan adanya beberapa kesenjangan. Dalam hubungannya dengan pemberian
layanan konseling individual, khususnya yang dititik beratkan pada permasalahan
tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan gender konselor sekolah dalam penelitian
ini ditemui adanya perbedaan tingkat pendidikan, masa kerja, dan gender konselor
sekolah di SMA Negeri se-Kota Semarang, yaitu konselor dengan tingkat pendidikan
D3 BK dengan jumlah 8 orang dan konselor dengan tingkat pendidikan S1 BK
dengan jumlah 45 orang, dimana antara tingkat pendidikan D3 dan S1 bimbingan dan
konseling mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Konselor dengan masa kerja
konselor 0 tahun - 11 tahun berjumlah 5 orang dan konselor dengan masa kerja 12 -
23 tahun berjumlah 38 orang serta konselor dengan masa kerja > 24 tahun berjumlah
10, dimana konselor dengan masa kerja yang relatif banyak sudah lama
berkecimpung dalam dunia bimbingan dan konseling, sehingga sudah banyak
mendapatkan pengalaman-pengalaman berkaitan dengan pelaksanaan konseling
individual, dibandingkan dengan konselor dengan masa kerja yang relatif sedikit.
Sedangkan konselor dengan jenis kelamin pria dengan jumlah 16 orang dan wanita
berjumlah 37 orang yang mendasarkan pada karakteristik konselor pria dan wanita
yang jelas-jelas mempunyai perbedaan baik dari segi biologis maupun non biologis,
xvi
dimana konselor pria yang cenderung dapat berpikir rasional tidak dapat
melaksanakan layanan konseling individual dengan menempuh cara yang sama dari
konselor wanita yang cenderung emosional, begitu pula sebaliknya.
Dengan adanya perbedaan tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan gender
konselor diatas, baik secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan
persepsi klien yang berbeda (sangat baik, baik, cukup baik, agak kurang baik dan
kurang baik) terhadap keefektifan konselor sekolah dalam melaksanakan layanan
konseling individual, sehingga bisa dikatakan apakah konselor sudah sangat efektif,
efektif, cukup efektif, agak kurang efektif dan kurang efektif dalam melaksanakan
layanan konseling individual. Kenyataan di atas didukung oleh hal-hal seperti
dibawah ini:
Adanya kecenderungan konselor sekolah dalam melaksanakan konseling individual kurang
berprosedur/tidak sistematis.
Adanya siswa yang lebih suka datang untuk memanfaatkan konseling individual dengan konselor
dengan tingkat pendidikan S1 Bimbingan dan Konseling dan konselor yang lebih berpengalaman.
Konselor wanita lebih diminati oleh klien ketika akan memanfaatkan konseling individual.
Terlepas dari bagaimana klien (siswa), konselor sekolah sebagai pihak yang
memberikan bantuan mempunyai posisi yang harus mendapat perhatian dari berbagai
pihak. Perhatian ini terutama diarahkan kepada: apakah konselor sekolah sudah
secara sepenuh hati mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya dalam rangka
membantu mengentaskan permasalahan yang dialami klien (siswa). Dengan kata lain,
apakah konselor sekolah dalam memberikan layanan konseling individual sudah
melaksanakan tugasnya secara efektif. Untuk melihat keefektifan konselor sekolah
dalam memberikan layanan konseling individual kepada klien (siswa) ini bisa
menggunakan suatu alat yang dinamakan Alat Penilaian Kemampuan Konseling
xvii
(APKK), dimana alat ini akan menyoroti kemampuan konselor sekolah dalam hal
keefektifan penggunaan keterampilan-keterampilan dalam melakukan konseling.
Cara lain untuk melihat keefektifan konselor sekolah dalam melaksanakan layanan
konseling individual adalah melalui ungkapan atau pendapat (persepsi) klien (siswa
yang bermasalah) tentang bagaimana konseling individual yang sudah dilaksanakan
oleh konselor. Rasionalnya adalah bahwa klien sebagai orang yang mengalami dan
merasakan langsung bagaimana proses konseling yang sudah dilakukan atau
dijalaninya.
Persepsi adalah penilaian seseorang terhadap peristiwa atau stimulus dengan
melibatkan pengalaman yang berkaitan dengan objek tersebut dengan melibatkan
proses kognisi dan efeksi untuk membentuk konsep tersebut (Hariyadi dkk, 1995:
112). Jadi persepsi dapat terjadi apabila seseorang melihat objek, peristiwa atau
stimulus dengan melibatkan pengalaman yang ada. Maka persepsi yang ada dalam
siswa (klien) akan menimbulkan perbedaan terhadap keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman
kerja dan gender konselor.
Bila dikaitkan dengan penelitian ini adalah jika persepsi klien tentang konseling
individual yang sudah dialaminya dari masing-masing konselor disekolahnya sangat
baik, baik, cukup baik, agak kurang baik atau kurang baik, maka konselor tersebut
sudah sangat efektif, efektif, cukup efektif, agak kurang efektif atau kurang efektif
dalam melaksanakan konseling invidual. Hal ini akan ditunjukan dengan adanya
kepuasan siswa (klien) terhadap konseling individual yang sudah dialaminya, dimana
permasalahan yang dialaminya bisa diselesaikan dengan baik, tuntas dan memuaskan,
sehingga siswa akan lebih terbuka, suka rela dan tidak mempunyai keraguan kepada
xviii
konselor dalam rangka pengentasan permasalahan yang dialaminya untuk dapat
menyelesaikan permasalahan yang sedang dialaminya.
Uraian diatas merupakan salah satu alasan utama yang mendasari penulis
memilih judul penelitian yang dianggap representatif untuk hal tersebut diatas, yaitu:
PERSEPSI KLIEN TENTANG KEEFEKTIFAN KONSELOR DALAM
MELAKSANAKAN KONSELING INDIVIDUAL DITINJAU DARI TINGKAT
PENDIDIKAN, PENGALAMAN KERJA, DAN GENDER KONSELOR DI
SMU NEGERI SE-KOTA SEMARANG TAHUN AJARAN 2004/2005.
Permasalahan
Sesuai dengan latar belakang diatas, maka masalah yang ingin diungkap melalui
penelitian ini adalah perbedaan keefektifan konselor sekolah dalam melaksanakan
konseling individual menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota Semarang tahun
ajaran 2004/2005. Dalam pelaksanaannya, persepsi dari klien tersebut akan dilihat
dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor. Ketiga faktor
tersebut diasumsikan ikut memberi kontribusi pada aktifitas konselor sekolah dalam
melaksanakan tugasnya sehingga mengarahkan pada konselor sangat efektif, efektif,
cukup efektif, agak kurang efektif dan kurang efektif. Atas dasar hal tersebut maka
dapatlah dikembangkan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tingkat keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau
dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor menurut persepsi klien?
2. Apakah terdapat perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien?
3. Apakah terdapat perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari masa konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, > 24 tahun menurut persepsi
klien?
xix
4. Apakah terdapat perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari jenis kelamin konselor pria dan wanita menurut persepsi klien?
Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda tentang istilah yang digunakan
dalam penelitian ini, maka perlu ada penegasan istilah sebagai berikut:
1. Persepsi
Persepsi adalah suatu proses penilaian seseorang atau sekelompok orang terhadap
objek, peristiwa atau stimulus dengan melibatkan pengalaman yang berkaitan
dengan objek tersebut. Dalam penelitian ini persepsi yang dimaksud adalah
proses penilaian siswa terhadap tingkat keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan
gender konselor.
2. Klien
Yang dimaksud klien dalam penelitian ini adalah siswa yang lebih ditekankan
pada pelajar yang berada disebuah lembaga pendidikan tingkat atas yaitu SMA
Negeri yang pernah memanfaatkan konseling individual dari guru pembimbing
masing-masing disekolahnya, karena sedang mengalami suatu permasalahan baik
pribadi, sosial, belajar, karier, dan lain-lain, dengan minimal dua kali tatap muka
dalam satu penyelesaian masalah.
3. Perbedaan
Perbedaan berasal dari kata beda yang artinya tidak sama, selisih, beda dan
terpaut antara dua atau lebih mengenai beberapa hal (Poerwardaminto, 1988:
104). Kaitannya dalam penelitian ini perbedaan yang dimaksud yaitu tentang
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual, yang dibagi
menjadi 5 kategori yaitu: sangat efektif, efektif, cukup efektif, agak kurang efektif
dan kurang efektif
4. Keefektifan
Secara etimologi keefektifan berasal dari kata efektif yang berarti tepat guna
(Depdikbud, 1994: 77). Jadi keefektifan adalah suatu hal yang dikerjakan dengan
waktu yang tepat dan tepat guna.
5. Konselor
Yang dimaksud konselor dalam penelitian ini adalah guru pembimbing, yaitu
personil sekolah yang ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan
konseling terhadap sejumlah peserta didik (Prayitno, 1995: 9).
6. Konseling Individual
Adalah layanan yang memungkinkan klien (siswa) dalam hubungan langsung
tatap muka secara perorangan dengan konselor sekolah dalam rangka pembahasan
dan pengentasan masalah pribadinya.
7. Tingkat Pendidikan
Tingkat adalah jenjang tinggi rendah susunan yang berlapis-lapis (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2001: 1197). Dalam UU RI No 2 tahun 1989 mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
xx
bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan
datang. Didalamnya juga disebutkan yang termasuk jalur pendidikan sekolah
terdiri dari tiga tingkatan yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan kaitannya dalam penelitian ini yaitu
tingkat pendidikan tinggi konselor sekolah yang kami batasi dalam dua kategori
yaitu: D3 BK dan S1 BK.
8. Pengalaman Kerja
Pengalaman adalah masa kerja sebagai seseorang yang ditandai dengan lamanya
seseorang melaksanakan tugas profesinya. Dalam tulisan ini yang akan dijadikan
penelitian adalah masa kerja konselor sekolah yang kami batasi menjadi tiga
bagian yaitu: 0 tahun - 11 tahun, 12 - 23 tahun, dan > 24 tahun. 9. Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yaitu Gender, yang berarti “jenis
kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku. Dalam tulisan ini yang akan dijadikan penelitian adalah gender
konselor sekolah yang kami batasi menjadi dua karakteristik yaitu: pria dan
wanita.
10. Dari keterangan di atas diperoleh penegasan istilah secara utuh yaitu: “Persepsi
Klien tentang Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual
Ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja, dan Gender Konselor di
SMA Negeri se-Kota Semarang”.
D. Tujuan Penelitian Mengacu pada perumusan
masalah sebagaimana yang
dikemukakan pada bagian
sebelumnya, maka tujuan
diadakannya penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Untuk mendeskripsikan tingkat keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor menurut persepsi klien.
Untuk mengetahui perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau
dari tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien.
xxi
Untuk mengetahui perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau
dari pengalaman kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23, dan > 24 tahun menurut persepsi
klien.
Untuk mengetahui perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau
dari gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien.
E. Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini adalah manfaat praktis, yaitu:
1. Bagi konselor sekolah, yaitu sebagai pijakan untuk melakukan “self evaluation” terhadap
kinerjanya dan lebih meningkatkan profesionalitasnya dalam rangka pemberian layanan
bimbingan dan konseling, khususnya konseling indivdidual. Hal ini sangat penting dalam upaya
meningkatkan dan mengembangkan kinerja atau unjuk kerja konselor yang selama ini mendapat
sorotan tajam dari siswa, personil sekolah dan masyarakat.
2. Bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian dengan masalah yang sejenis, hasil penelitian
ini dapat dijadikan sebagai dasar pijakan penelitian yang akan dilakukan.
F. Sistematika Skripsi
Garis besar sistematika skripsi terdiri atas tiga bagian yaitu bagian awal,
bagian isi, dan bagian akhir skripsi. Bagian Awal Skripsi, terdiri dari halaman judul, abstrak, halaman pengesahan, motto dan
persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel dan daftar lampiran.
Bagian Isi Skripsi, terdiri dari lima bab yang meliputi:
Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, permasalahan, penegasan istilah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II Landasan Teori, berisi tentang Persepsi (terdiri dari: pengertian persepsi,
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi, syarat-syarat terjadinya
persepsi), Konselor sekolah (terdiri dari pengertian konselor, persyaratan konselor,
tugas dan tanggung jawab konselor), Konseling individual (terdiri dari pengertian
konseling individual, tujuan konseling individual, langkah-langkah konseling
individual dan faktor-faktor yang mempengaruhi konseling efektif), Keefektifan
xxii
konselor dalam melaksanakan konseling individual, dan Perbedaan keefektifan
konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan,
pengalaman kerja, dan gender konselor menurut persepsi klien (terdiri dari
karakteristik konselor ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan gender),
serta Hipotesis penelitian.
Bab III Metode Penelitian, yang meliputi jenis penelitian, populasi dan sampel penelitian,
variabel penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas, serta metode analisis
data.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang berisi tentang proses perijinan, gambaran umum
populasi penelitian, rancangan alat pengumpul data, hasil uji coba instrumen, pengumpulan data, hasil
analisis data dan pembahasan.
Bab V Simpulan dan Saran, berisi simpulan dan saran yang berkaitan dengan hasil penelitian.
Bagian Akhir Skripsi, berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
xxiii
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan menguraikan landasan teori penelitian mengenai perbedaan
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat
pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor menurut persepsi klien. Hal-hal yang
akan dikemukakan dalam bab ini adalah: Persepsi (terdiri dari: pengertian persepsi,
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi, syarat terjadinya persepsi),
Konselor sekolah (terdiri dari pengertian konselor, persyaratan konselor, tugas dan
tanggung jawab konselor), Konseling individual (terdiri dari pengertian konseling
individual, tujuan konseling individual, langkah-langkah konseling individual dan factor-
faktor yang mempengaruhi konseling efektif), Keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual, dan Perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor
menurut persepsi klien (terdiri dari karakteristik konselor ditinjau dari tingkat
pendidikan, pengalaman kerja dan gender), serta Hipotesis penelitian.
A. Persepsi
1. Pengertian persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan.
Sedangkan penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Stimulus yang mengenai alat
individu tersebut kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu
menyadari tentang apa yang diinderanya itu (Walgito, 1978: 53).
xxiv
Persepsi seseorang selalu didasarkan pada aktifitas kejiwaan berdasarkan
rangsang yang diterima oleh inderanya. Disamping itu persepsi juga didasarkan
pada pengalaman dan tujuan seseorang pada saat terjadi persepsi. Hal senada juga
dikatakan bahwa persepsi adalah suatu pengalaman tentang objek, peristiwa atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Organisme dirangsang oleh suatu masukan tertentu (objek-
objek dari luar, peristiwa dan lain-lain) dan organisme itu merespon dan
menggabungkan masukan itu dengan salah satu kategori objek-objek atau
peristiwa-peristiwa.
Objek disekitar kita, kita tangkap dengan alat indera dan diproyeksikan
pada bagian-bagian tertentu diotak, sehingga kita dapat mengamati objek tersebut.
Sebagian besar tingkah laku dan penyesuaian diri individu ditentukan oleh
persepsinya. Individu berbuat tersebut menanggapi suatu hal itu dengan
persepsinya. Jadi yang membuat orang lain bahagia atau sengsara dikarenakan
persepsi dan sikap dirinya tentang kejadian diluar dirinya.
Teori diatas diperjelas bahwa persepsi merupakan proses aktif, dimana
yang memegang peranan bukan hanya stimulus yang mengenai, tetapi juga
individu sebagai kesatuan dengan pengalaman-pengalaman (Walgito, 1986: 11-
12).
Individu dalam melakukan pengamatan untuk mengatakan rangsang yang
diterima, agar proses pengamatan tersebut terjadi, maka perlu obyek yang
diamati, alat indera yang cukup baik dan perhatian. Itu semua merupakan
langkah-langkah sebagai suatu persiapan dalam pengamatan yang ditujukan
dengan tahap demi tahap, yaitu tahap pertama merupakan tahapan yang dikenal
xxv
dengan proses kealaman atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya
stimulus oleh alat indera manusia. Sedangkan tahap kedua adalah tahap yang
dikenal orang dengan proses fisiologi merupakan proses diteruskannya stimulus
yang diterima oleh persepstor keotak melalui syaraf-syaraf sensorik, dan tahap
ketiga dikenal dengan proses psikologi merupakan proses timbulnya kesadaran
individu tentang stimulus yang diterima oleh persepstor.
Persepsi merupakan dinamika yang terjadi dalam diri individu disaat ia
menerima stimulus dari lingkungan dengan melibatkan panca indera dan aspek
kepribadian yang lain. Dalam proses persepsi, individu mengadakan penyeleksian
apakah stimulus itu berguna atau tidak baginya, serta menentukan apakah yang
terbaik untuk dilakukan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya persepsi
Terbentuknya persepsi pada diri individu dipengaruhi oleh banyak hal
seperti dibawah ini:
a. Perhatian, biasanya tidak menangkap seluruh rangsang yang ada disekitar kita
sekaligus, tetapi memfokuskan perhatian pada satu atau dua objek saja.
Perbedaan fokus perhatian antara satu orang dengan orang yang lain akan
menyebabkan perbedaan persepsi.
b. Set, adalah harapan seseorang akan rangsang yang akan timbul. Perbedaan set
akan menyebabkan adanya perbedaan persepsi.
c. Kebutuhan, baik kebutuhan sesaat maupun menetap pada diri individu akan
mempengaruhi persepsi orang tersebut. Kebutuhan yang berbeda akan
menyebabkan persepsi bagi tiap individu.
xxvi
d. Sistem Nilai, dimana sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat juga
berpengaruh pula terhadap persepsi.
e. Ciri Kepribadian, dimana pola kepribadian yang dimiliki oleh individu akan
menghasilkan persepsi yang berbeda.
Dikutip dari beberapa pendapat para ahli antara lain: David Krench dan
Richard S. Crutchfield (1977) membagikan faktor-faktor yang menentukan
persepsi menjadi dua, yaitu:
a. Faktor Fungsional, adalah faktor yang berasal dari kebutuhan,
pengalaman masa lalu dan hal-hal yang termasuk apa yang kita
sebut sebagai faktor-faktor personal. Faktor personal yang
menentukan persepsi adalah objek-objek yang memenuhi tujuan
individu yang melakukan persepsi.
b. Faktor Struktural, adalah faktor yang berasal semata-mata dari
sifat. Stimulus fisik efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem
saraf individu. Faktor struktural yang menentukan persepsi
menurut teori Gestalt bila kita ingin mempersepsi sesuatu, kita
mempersepsikannya sebagai suatu keseluruhan. Bila kita ingin
memahami suatu peristiwa kita tidak dapat meneliti faktor-faktor
yang terpisah, kita harus memandangnya dalam hubungan
keseluruhan (Rakhmad, 1989: 52).
Menurut Kenneth, perhatian juga sangat berpengaruh terhadap
persepsi. Dimana perhatian merupakan proses mental ketika stimulus
xxvii
atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat
stimulus yang lainnya melemah (dalam Rakhmad, 1989: 52).
Tertarik tidaknya individu untuk memperhatikan satu stimulus
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: a. faktor internal (kebiasaan, minat,
emosi, dan keadaan biologis), dan b. faktor eksternal (intensitas,
kebaruan, gerakan dan pengulangan stimulus). Proses terbentuknya
persepsi sangat kompleks dan ditentukan oleh dinamika yang terjadi
dalam diri seseorang. Ketika ia mendengar, mencium, melihat, merasa
atau bagaimana ia memandang suatu objek yang melibatkan aspek
psikologis dan panca inderanya.
3. Syarat-syarat terjadinya persepsi
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa syarat sebelum
individu mengadakan persepsi, yaitu:
a. Adanya objek (sasaran yang diamati)
Objek atau sasaran yang diamati akan menimbulkan stimulus atau
rangsangan yang mengenai alat indera. Objek dalam hal ini adalah
kegiatan konseling individual, dimana konseling individual atau
stimulus mengenai alat indera atau merupakan reseptor yang bisa
berasal dari dalam maupun dari luar.
b. Adanya indera yang cukup
Alat indera yang dimaksud adalah alat indera yang menerima
stimulus yang kemudian diterima dan diteruskan oleh syaraf
sensorik yang selanjutnya akan disampaikan kesusunan saraf pusat
sebagai kesadaran. Oleh karena itu siswa diharapkan mempunyai
panca indera yang cukup baik sehingga stimulus yang diterima
akan diteruskan kesusunan saraf otak.
c. Adanya perhatian
Perhatian adalah langkah awal atau yang kita sebut sebagai
persiapan untuk mengadakan persepsi, sehingga perhatian siswa
kepada kegiatan konseling individual adalah fokus utama yang kita
laksanakan karena tanpa perhatian persepsi tidak akan terjadi
(Walgito, 1989: 42).
Pada proses persepsi terdapat bagian-bagian dan komponen
kognisi yang memberikan informasi mengenai stimulus tersebut.
Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur
bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan
cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap atau
xxviii
dipersepsikan individu dan akhirnya komponen konasi individu akan
berperan dalam menentukan terjadinya jawaban yang berupa sikap
dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada (Mar’at, 1981: 30).
Dalam kaitan dengan tingkah laku individu, persepsi
merupakan faktor yang menentukan terbentuknya sikap terhadap
sesuatu manapun perilaku tertentu. Kesan yang diterima sangatlah
tergantung pada pengalaman-pengalaman yang diperolehnya pada
masa lalu melalui proses berpikir dan belajar.
Persepsi klien di SMA Negeri se-Kota Semarang terhadap
tingkat keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan
gender konselor akan berbeda, karena pada hakikatnya siswa adalah
individu yang mandiri dengan “Individual Deferences”, baik
pengalaman, kemampuan dan cara berpikir, maka setiap klienpun
akan mempersepsi secara berbeda pula terhadap apa yang
dirasakannya ketika mengikuti konseling individual.
B. Konselor Sekolah
Pada prinsipnya bimbingan dan konseling adalah suatu profesi, karena bimbingan dan
konseling adalah suatu pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya dan
tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan
secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.
Seorang konselor sekolah di dalam menjalankan tugasnya harus mampu melakukan
peranan yang berbeda-beda dari situasi ke situasi yang lainnya. Pada situasi tertentu
kadang-kadang harus berperan sebagai seorang teman dan pada situasi berikutnya
berperan sebagai pendengar yang baik atau sebagai pengobar/pembangkit semangat,
atau peranan-peranan lain yang dituntut oleh klien dalam proses konseling. Oleh
karena itu seorang konselor sekolah profesional harus memenuhi persyaratan
pengetahuan meliputi: keterampilan, dan sikap/kepribadian. Berikut akan dijelaskan
tentang pengertian konselor, persyaratan konselor, tugas dan tanggung jawab
konselor:
xxix
1. Pengertian konselor
Konselor merupakan petugas profesional yang mempunyai pendidikan khusus di
Perguruan Tinggi dan mencurahkan waktunya pada layanan bimbingan dan konseling (Wibowo,
1986: 4).
Selain itu dikatakan
bahwa konselor merupakan
petugas profesional, yang
artinya secara formal mereka
telah disiapkan oleh lembaga
atau institusi pendidikan yang
berwenang. Mereka dididik
secara khusus untuk untuk
menguasai seperangkat
kompetensi yang diperlukan
bagi pekerjaan bimbingan dan
konseling. Jadi dengan
demikian dapatlah dikatakan
bahwa konselor sekolah
memang sengaja dibentuk atau
disiapkan untuk menjadi
tenaga-tenaga yang profesional
dalam pengetahuan,
pengalaman dan kualitas
pribadinya (Sukardi, 1984: 19).
xxx
2. Persyaratan konselor
Konselor sebagai
jabatan profesional, oleh karena
itu orang yang menjabat
konselor harus memiliki atau
memenuhi persyaratan khusus
untuk menjadi konselor, yaitu:
pengetahuan, keterampilan, dan
sikap/kepribadian sebagai
berikut:
a. Pengetahuan konselor, yang diperoleh secara:
1). Pendidikan Formal
Yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui program pendidikan formal
dari jurusan bimbingan dan konseling ataupun penataran, kursus-kursus,
dan latihan berjangka dibidang tersebut. yang juga meliputi berbagai ilmu
pengetahuan, psikologi, bimbingan dan konseling (Hendrarno, dkk, 1987:
110).
Persyaratan formal yang harus dimiliki oleh setiap konselor sekolah
adalah:
a). Secara umum seorang konselor sekolah serendah-rendahnya harus
memiliki ijazah sarjana muda dari suatu pendidikan yang sah dan
memenuhi syarat untuk menjadi guru (memiliki sertifikat mengajar)
dalam jenjang pendidikan dimana ia ditugaskan.
xxxi
b). Secara profesional seorang konselor sekolah hendaknya telah
mencapai tingkat pendidikan sarjana bimbingan. Dalam masa
pendidikannya pada institusi bersangkutan seorang konselor harus
menempuh mata kuliah atau bidang studi tentang prinsip-prinsip dan
praktik bimbingan. Dan bidang yang harus dikuasai meliputi antara
lain: proses konseling, pemahaman individu, informasi dalam bidang
pendidikan, pekerjaan, jabatan, atau karir, administrasi dan kaitannya
dengan program bimbingan, dan prosedur penelitian dan penilaian
bimbingan. Di samping bidang tersebut diatas, perlu juga dikuasai
bidang-bidang lainnya seperti: psikologi, ekonomi dan sosiologi
(Wibowo, 1986: 95).
2). Pendidikan Non formal
yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh dengan cara pengalaman
bekerja, usaha dan belajar melalui bulletin, surat kabar, brosur-brosur
yang sesuai dengan bidang bimbingan dan konseling, yang juga
meliputi berbagai ilmu pengetahuan, psikologi, bimbingan dan
konseling (Hendrarno, dkk, 1987: 110).
Seorang konselor sekolah profesional dalam bidangnya, hendaknya
telah memiliki pengalaman mengajar atau melaksanakan praktik
konseling selama dua tahun; ditambah satu tahun pengalaman bekerja
diluar bidang persekolahan; tiga bulan sampai enam bulan praktik
konseling yang diawasi team pembimbing atau praktik internship, dan
pengalaman-pengalaman yang ada kaitannya dengan kegiatan sosial
seperti misalnya: kegiatan sukarela dalam masyarakat, bekerja dengan
xxxii
orang lain dan menunjukkan kemampuan memimpin yang baik
(Wibowo, 1986: 95).
b. Keterampilan Konselor
Seorang konselor harus memiliki keterampilan-keterampilan yang mencukupi.
Keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap konselor yakni: a). keterampilan antar pribadi
yaitu semua keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun relasi dengan klien sehingga
klien dapat terlibat dalam proses konseling, yang terdiri dari keterampilan verbal (kualitas
vokal, alur verbal/menyesuaikan diri dengan topik pembicaraan klien, dan tanggapan verbal
meliputi: parafrase, pencerminan perasaan-perasaan, penafsiran, peringkasan, penajaman,
pertanyaan tertutup dan terbuka), keterampilan non verbal (menghadapi klien secara sejajar,
memperlihatkan sikap tubuh terbuka, posisi tubuh ke depan, memperhatikan kontak mata, dan
bersikap rileks. b). keterampilan mengamati yaitu dimana konselor dituntut untuk sungguh-
sungguh sadar akan apa yang sedang dikatakan klien khususnya melalui gerakan-gerakan
tubuh mereka, raut wajah, kualitas vokal, dan ketidak sesuaian antara bahasa tubuh dengan
ungkapan-angkapan verbal klien. c). keterampilan intervensi yaitu dimana konselor mampu
melibatkan klien dalam pemecahan masalah. Dan d). keterampilan integrasi yaitu dimana
konselor mampu menerapkan strategi-strategi pada situasi-situasi khusus, sambil mengingat
konteks budaya dan sosio ekonomis klien (Yeo, 1994: 62-83).
Dapat dijelaskan pula bahwa keterampilan yang sangat diperlukan untuk melakukan
tugas bimbingan dan konseling adalah: keterampilan untuk ikut merasakan (empati) keadaan
klien, ikut menghayati jalan pikiran klien, ikut memperhatikan (simpati) terhadap klien, dapat
menerima dan mengerti keadaan klien, berkomunikasi secara verbal, dan menggunakan alat
bimbingan baik yang tes maupun yang non tes (Hendrarno, dkk, 1987: 110).
Hal ini didukung pula bahwa keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor sekolah
mencakup keterampilan memahami sifat-sifat klien, menilai situasi apakah persoalan klien
mampu dibantu atau tidak, menciptakan rapport, melaksanakan proses konseling secara
efektif, atending meliputi: posisi badan yang baik, kontak mata yang baik dan mendengarkan
klien dengan baik, mengundang pembicaraan terbuka meliputi membantu memulai
wawancara, membantu klien menguraikan masalahnya dan membantu memunculkan contoh-
xxxiii
contoh perilaku khusus sehingga penjelasan klien dapat dipahami dengan lebih baik,
paraprase yaitu menyatakan kembali suatu kata atau prase secara sederhana. Tujuannya
adalah untuk mengatakan kembali kepada klien esensi dari klien dari apa yang telah
dikatakan klien, identifikasi perasaan yaitu membantu klien untuk menjelaskan perasaan-
perasaannya sendiri, refleksi perasaan yaitu membantu klien dengan cara memahami
perasaanya dan sebagai pemeriksa persepsi yang yang baik, konfrontasi yaitu guna membantu
orang klien agar mengubah pertahanan yang telah dibangunnya guna menghindari
pertimbangan bidang tertentu dan untuk meningkatkan komunikasi terus terang,
meringkaskan yaitu suatu proses untuk memadu berbagai ide dan perasaan dalam satu
pernyataan pada akhir suatu wawancara konseling, menafsirkan, penerimaan, memberi
ketenangan, memimpin secara umum, mendengarkan, mengarahkan, memberi informasi,
menghayati pikiran, perasaan, dan cita-cita klien, menyimpulkan, memberikan dorongan,
menggunakan alat atau teknik pengumpulan data, memecahkan masalah dan pengambilan
keputusan, menggunakan teknik pengubahan tingkah laku, menggunakan berbagai
pendekatan konseling (Wibowo, 1986: 95-96).
c. Sikap/kepribadian
Seorang konselor di dalam mengadakan kontak dengan klien haruslah
memiliki sifat-sifat kepribadian tertentu, di antaranya:
1). Kepribadian yang matang dan penyesuaian diri yang baik.
2). Memiliki pemahaman terhadap orang lain secara objektif dan simpatik.
3). Memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara baik
dan lancar.
4). Memahami batas-batas kemampuan yang ada pada dirinya sendiri.
5). Memiliki minat yang mendalam mengenai murid-murid, dan berkeinginan
sungguh-sungguh untuk memberikan bantuan kepada mereka.
6). Memiliki kedewasaan pribadi, spiritual, mental, sosial, dan fisik.
7). Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi.
xxxiv
8). Respek terhadap orang lain.
9). Memiliki kemampuan berkomunikasi.
10). Tidak mementingkan diri sendiri (Wibowo, 1986: 97-98).
Menurut Munro dkk, kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor
sekolah yaitu: luwes, hangat, dapat menerima orang lain, terbuka, dapat
merasakan penderitaan orang lain, tidak berpura-pura, menghargai orang lain,
tidak mau menang sendiri, dan objektif, (dalam Prayitno, 1985: 29).
Ada beberapa kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor sekolah,
yaitu bijaksana, jujur, dan tulus, ramah, akrab, tidak berpura-pura, menghargai
siswa, tutur bahasanya enak didengar, perhatian, luwes/fleksibel, dapat
menjadi contoh, rela berkorban, dapat menjaga rahasia/dapat dipercaya, selalu
kelihatan gembira, bertanggung jawab, dan sabar (Slameto, 1990: 80)
Selain itu kepribadian konselor yang diharapkan yaitu: memiliki
pribadi yang matang (emosi yang stabil, tidak mudah terbawa/tenggelam
dalam perasaan dan masalah klien, tenang dalam menghadapi masalah, dan
cinta pada tugasnya), pribadi yang hangat, identitas pribadi, toleransi
(menanggapi secara positif dan tidak mudah tersinggung), pribadi yang bebas
dari kecemasan, pribadi penuh penerimaan, tidak mementingkan diri
sendiri/penuh pengertian pada klien (tidak banyak bicara/bicara berlebihan),
pribadi sebagai ibu, humoris, sederhana, rendah hati, hormat dan dapat
dipercaya (Hendrarno dkk, 1987: 110-111).
Sedangkan dalam National Vocational Guidance Association
(NVGA), Washington D.C, dalam journalnya yang berjudul “Counselor
Preparation”, (1949), mengemukakan persyaratan ideal yang dituntut dari
xxxv
konselor berkaitan dengan karakter konselor ialah: interest terhadap orang
lain, sabar, peka terhadap berbagai sikap dan reaksi, memiliki emosi yang
stabil dan objektif, serta ia sungguh-sungguh respek terhadap orang lain,
dapat dipercaya, dan sebagainya (Sukardi, 1984: 22-28).
3. Tugas dan tanggung jawab konselor
Dalam Pedoman BP, Buku IIIC (1975) konselor sekolah dalam
hubungannya dengan program bimbingan dan konseling di sekolah
mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
a. Menyusun program bimbingan dan konseling bersama kepala sekolah.
b. Memberi garis-garis kebijaksanaan umum mengenai kegiatan bimbingan
dan konseling.
c. Bertanggung jawab terhadap jalannya program bimbingan dan konseling.
d. Mengkoordinasikan laporan kegiatan pelaksanaan program sehari-hari.
e. Memberikan laporan kegiatan bimbingan dan konseling kepada kepala
sekolah.
f. Membantu siswa untuk memahami dan mengadakan penyesuaian pada
diri sendiri, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial yang makin lama
makin berkembang.
g. Menerima dan mengklasifikasikan informasi pendidikan dan informasi
lainnya yang diperoleh dan mengirimkannya sehingga menjadi catatan
kumulatif siswa.
h. Menganalisis dan menafsirkan data siswa guna mendapatkan suatu
rencana tindakan positif terhadap siswa.
i. Menyelenggarakan pertemuan staf.
xxxvi
j. Melaksanakan bimbingan dan konseling baik secara kelompok maupun
secara perorangan/individual.
k. Memberikan informasi pendidikan dan jabatan kepada siswa-siswa dan
menafsirkannya untuk keperluan perencanaan pendidikan dan jabatan.
l. Mengadakan konsultasi dengan instansi-instansi yang berhubungan
dengan program bimbingan dan konseling dan memimpin usaha
penyelidikan masyarakat di sekitar sekolah, untuk mengetahui lapangan
kerja yang tersedia.
m. Bersama guru membantu siswa memilih pengalaman/kegiatan-kegiatan
kurikuler yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
n. Membantu guru menyusun pengalaman belajar dan membuat penyesuaian
metode mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran dan keadaan
masing-masing siswa.
o. Mengadakan penelaah lanjutan terhadap siswa-siswa tamatan sekolahnya
dan terhadap siswa yang keluar sebelum tamat serta melakukan usaha
penilaian yang lain secara tepat.
p. Mengadakan konsultasi dengan orang tua siswa dan mengadakan
kunjungan rumah.
q. Menyelenggarakan pembicaraan kasus (case conference)
r. Mengadakan wawancara konseling dengan siswa.
s. Mengadakan program latihan bagi para petugas bimbingan dan konseling.
t. Melakukan referal kepada lembaga atau ahli yang lebih berwenang (dalam
Wibowo, 1986: 89-90).
C. Konseling individual
xxxvii
Konseling individual merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk
“guidance services” (layanan bimbingan). Layanan ini bahkan disebut-sebut sebagai
layanan yang paling utama dari semua bentuk layanan bimbingan yang ada. Untuk
memperoleh gambaran yang lebih luas, dibawah ini akan dibahas tentang pengertian
konseling individual dan langkah-langkah konseling individual, sebagai berikut:
1. Pengertian konseling individual
Konseling adalah serangkaian
kegiatan paling pokok
bimbingan dalam membantu
klien/konseli secara tatap muka,
dengan tujuan agar klien dapat
mengambil tanggung jawab
sendiri terhadap berbagai
persoalan/masalah (Winkel,
1997: 72).
Konseling adalah proses
pemberian bantuan yang
dilakukan melalui wawancara
konseling oleh seprang ahli
(disebut konselor) kepada
individu yang bermasalah
(disebut klien) yang bertujuan
untuk dapat merubah perilaku
klien serta terbebas dari dari
masalah yang sedang
xxxviii
dihadapinya (Prayitno dan
Amti, 1994: 106).
Konseling merupakan bantuan
yang diberikan kepada individu
dalam memecahkan masalah
kehidupannya dengan
wawancara, dengan cara yang
sesuai dengan keadaan individu
yang dihadapi untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya
(Walgito, 1989: 5).
Konseling adalah hubungan
timbal balik antara dua
individu, yang seorang krn
keahliannya (konselor) dapat
membantu klien yang
mempunyai masalah melalui
pertemuan/hubungan timbal
balik itu konselor berupaya
menolong klien untuk
memahaami dirinya dan
problemnya agar klien dapat
mengatasi masalah yang sedang
xxxix
dihadapinya (Thamtawy, 1993:
46).
Menurut Rogers (1942) konseling adalah serangkaian hubungan langsung
dengan individu yang tujuannya adalah memberikan bantuan kepadanya dalam
merubah sikap (dalam Hendrarno dkk, 2003: 24).
Sedangkan menurut Mortensen dan Schumuller (1964) konseling adalah
suatu proses interaksi antara seorang dengan seseorang , orang yang satu dibantu
oleh yang lain, bantuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman dan
kesanggupan dalam menghadapi masalah (dalam Hendrarno dkk, 2003: 24).
Dari beberapa rumusan tentang pengertian konseling diatas dapat
disimpulkan bahwa konseling merupakan proses pemberian bantuan yang
dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor)
kepada individu yang sedang mengalami masalah (disebut klien) yang bermuara
pada teratasinya masalah yang dihadapi klien untuk mencapai kesejahteraan
hidupnya.
2. Tujuan konseling individual
Bila kita perhatikan secara seksama konseling individual mempunyai tujuan sebagai
berikut:
a. Agar para siswa memperoleh perubahan tingkah laku dalam berhubungan dengan orang lain,
situasi keluarga, prestasi akademik, sehingga para siswa menjadi lebih self actualited dan
lebih produktif.
b. Agar perkembangan mental murid-murid (individu) dapat berlangsung secara sehat tanpa
mengalami gangguan yang berarti, sehingga dapat terbentuk kepribadian yang sehat pula.
c. Agar murid memecahkan masalah yang dihadapi dengan kemampuan sendiri.
xl
d. Agar murid mampu memahali potensi, bakat dan minat serta kecakapan, sehingga dapat
membuat keputusan dan memnentukan program studi, bidang pekerjaan sesuai dengan
keadaan dirinya.
e. Agar murid mempunyai keefektifan personal atau pribadi yang efektif, artinya pribadi yang
sanggup memperhitungkan diri, waktu dan tenaganya dan bersedia memikul resiko-resiko
ekonomis, psikologi dan fisik, ia mempunyai kompetensi untuk mengenal, mendefinisikan
dan memecahkan masalah (Hendrarno dkk, 2003: 42-43).
Sedangkan menurut Ellis (1950) “Tujuan utama konseling adalah
memperbaiki sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan, serta pandangan-
pandangan konseli yang irrasional dan illogis menjadi rasional dan logis agar
konseli dapat mengembangkan diri, meningkatkan aktualisasi dirinya seoptimal
mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif” (dalam Hariyadi,
2000: 11).
Kemudian ditambahkan lagi bahwa konseling juga bertujuan untuk
menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti:
rasa benci, rasa takut, rasa bersalah, rasa cemas, sebagai konsekuensi dari cara
berfikir dan sistem keyakinan yang keliru dengan jalan melatih dan mengajar
klien untuk menghadapi kenyataan-kenyataan hidup secara rasional dan
membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri.
Dari dua rumusan tentang tujuan konseling individual diatas dapat diambil makna bahwa
konseling pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan bantuan kepada konseli sehingga
hubungan yang terjadi dalam konseling adalah merupakan “helping relationship” (hubungan yang
bersifat membantu). Dalam proses pemberian bantuan ini berlangsung suasana yang menunjang
pencapaian tujuan melalui pertalian antara kepribadian dan keterampilan konselor dengan konseli.
3. Langkah-langkah konseling individual
Langkah-langkah dalam
konseling individual yaitu
sebagai berikut:
xli
a. Persiapan, meliputi: kesiapan fisik dan psikis konselor, tempat dan lingkungan
sekitar, perlengkapan, pemahaman klien dan waktu.
b. Rapport, yaitu menjalin hubungan pribadi yang baik antara konselor dan klien
sejak permulaan, proses, sampai konseling berakhir, yang ditandai dengan
adanya rasa aman, bebas, hangat, saling percaya dan saling menghargai.
c. Pendekatan masalah, dimana konselor memberikan motivasi kepada klien
agar bersedia menceritakan persolan yang dihadapi dengan bebas dan terbuka.
d. Pengungkapan, dimana konselor mengadakan pengungkapan untuk
mendapatkan kejelasan tentang inti masalah klien dengan mendalam dan
mengadakan kesepakatan bersama dalam menentukan masalah inti dan
masalah sampingan, serta masalah yang dihadapi klien sendiri maupun yang
melibatkan pihak lain. Sehingga klien dapat memahami dirinya dan
mengadakan perubahan atas sikapnya.
e. Diagnostik, adalah langkah untuk menetapkan latar belakang atau faktor
penyebab masalah yang dihadapi klien.
f. Prognosa, adalah langkah dimana konselor dan klien menyusun rencana-
rencana pemberian bantuan atau pemecahan masalah yang dihadapi klien.
g. Treatment, merupakan realisasi dari dari langkah prognosa. Atas dasar
kesepakatan antara konselor dengan klien dalam menangani masalah yang
dihadapi, klien melaksanakan suatu tindakan untuk mengatasi masalah
tersebut, dan konselor memberikan motivasi agar klien dapat
mengembangkan dirinya secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya.
h. Evaluasi dan tindak lanjut, langkah untuk mengetahui keberhasilan dan
efektifitas konseling yang telah diberikan. Berdasarkan hasil yang telah
xlii
dicapai oleh klien, selanjutnya konselor menentukan tindak lanjut secara lebih
tepat, yang dapat berupa meneruskan suatu cara yang sedang ditempuh karena
telah cocok maupun perlu dengan cara lain yang diperkirakan lebih tepat
(Wibowo, 1986: 55-62).
Selain langkah-langkah diatas, berikut dua langkah dalam proses konseling
individual, yaitu: a. persiapan, yaitu tahapan dimana konselor mempersiapkan konseli untuk
masuk kedalam konseling. Tujuan dari persiapan ini ialah menciptakan perasaan-perasaan
tenang, bebas, tanpa tekanan dalam diri klien dan untuk membangun hubungan yang baik
dengan klien. Keterampilan dalam langkah ini yang harus dimiliki oleh konselor untuk
penyelenggaraan konseling individual yaitu: attending/menunjukkan kehadiran secara penuh
dengan tujuan melibatkan konseli dalam proses konseling, yang terdiri dari: menunjukkan
perhatian lewat tanda-tanda lahiriah, mengamati dan mendengarkan. b. Pertolongan, yaitu
tahapan dimana konselor mulai memberi bantuan-bantuan konseling dalam arti yang
sesungguhnya. Keterampilan yang diperlukan dalam tahap ini yaitu: responding/menanggapi
dimana konselor mampu mengartikulasikan pengalaman dan alasan dari perasaan tersebut,
serta mampu membahasakan konten dari ekspresi konseli, ketika konselor menyampaikan
kembali kepada konseli alasan dari perasaannya, dengan tujuan menunjukkan pemahaman
yang empatik terhadap pengalaman perasaan konseli dan membangun kontak psikologis yang
baik dengan konseli, memfasilitasi penelitian diri oleh konseli sendiri dengan
mengidentifikasi perasaan yang dinyatakan oleh konseli dan sebab-sebab yang ia sampaikan,
mencek taraf kemampuan konselor dalam hal memahami perasaan konseli, membangun dasar
dimana konselor dapat mempersonalisasi pemahaman konseli mengenai dirinya pada langkah
konseling berikutnya; personalization/personalisasi yaitu dimana konselor mampu
melakukan pendalaman terhadap hal-hal yang diekspresikan konseli dengan menambahkan
secara tepat pemahaman-pemahamannya terhadap materi-materi yang disajikan konseli,
dengan tujuan untuk memungkinkan konseli memahami tujuan yang ingin ia capai dan apa
yang menjadi kebutuhannya berkenaan dengan situasinya, yang terdiri dari: meletakkan dasar
bagi tukar menukar tanggapan, personalisasi arti/maksud, masalah, perasaan dan tujuan (goal)
; Initating/menginisasi yaitu dimana konselor mampu mengidentifikasi rangkaian tindakan
xliii
yang akan menghantarkan konseli dari tempat dia berada ke tempat dimana ia akan menjadi,
dengan tujuan memotivasi konseli untuk bertindak memecahkan masalah dengan
menunjukkan hal-hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dan dengan meletakkan
langkah-langkah spesifik sedimikian rupa sehingga konseli sadar bahwa tujuan yang mau
dicapainya dapat diraih (Konseng, 1996: 87-141).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konseling efektif
Keberhasilan konseling/efektifitas konseling sangat tergantung dari
tiga faktor/unsur yang saling terkait yaitu kemampuan yang meliputi:
sikap/kepribadian konselor (seperti empati, respek, otentik, konkret,
konfrontasi dan imediasi), dan keterampilan konselor (seperti: menempatkan
dan menampilkan diri secara penuh ketika menerima dan berhadapan dengan
konseli, mendengarkan, menangkap arti dari bahasa yang dikemukakan
konseli baik secara verbal maupun non verbal, peka dalam menangkap dan
mengartikan perasaan konseli, memberikan tanggapan terhadap reaksi
konseli), dan upaya belajar dari konseli dalam memberikan umpan balik
(Konseng, 1996: 49-53).
Ada lima hal yang yang harus disiapkan untuk keefektifan konseling
yaitu:
a. Kesiapan dari segi masalah, yang meliputi: 1) sifat masalah
(keunikannya), 2) bidang masalah (pribadi, sosial, belajar, karier dan
lainnya) dan 3) berat atau ringannya masalah.
b. Kesiapan dari segi konselor, yang yang meliputi: 1) kepribadian konselor
yang menunjang dalam melaksanakan konseling individual
(berkomunikasi dan memahami klien, menjaga jarak emosi dengan klien,
memahami statusnya sebagai konselor, tetapi dapat menjaga hubungan
xliv
dengan konseli, toleransi terhadap klien, menunjukkan kematangan, sabar.
Tidak agresif, memiliki self control dan mampu mengamati serta
mengukur perubahan-perubahan/kemajuan yang dicapai klien), 2)
pengetahuan konselor yang memadai baik diperoleh secara formal
maupun secara non formal, 3) pengalaman konselor dalam konseling
individual sehingga konselor bisa lebih memahami konsep-konsep terapi
yang ideal dan hubungan terapiutik akan lebih rapat dan 4) keterampilan
atau kecakapan konselor yang diperoleh melalui latihan-latihan yang
menunjang proses konseling individual.
c. Kesiapan dari segi klien, yang meliputi: 1) kepribadian klien terhadap
masalah (yaitu adanya motivasi yang kuat untuk menyelesaikan masalah
bersama konselor, mempunyai system pertahanan diri yang baik sehingga
klien akan memilih jalan yang yang baik untk mengatasi masalahnya,
mempunyai harapan terhadap peranan konselor sehingga klien akan siap
untuk melakukan konseling bersama konselor), 2) pengetahuan klien
tentang konseling seperti maksud dan tujuan, proses, hasil, pelaksanaan
dan manfaat bagi diri klien, 3) kecakapan intelektual klien, dimana makin
tinggi kecakapannya maka klien akan semakin menyadari pentingnya
menyelesaikan bersama konselor, 4) tingkat tilikan terhadap masalah dan
dirinya sendiri, dimana klien yang mengerti masalah yang sedang
dihadapinya beserta akibatnya yang mungkin timbul dan merugikan
perkembangan dirinya, maka klien perlu untuk segera menyelesaikan
masalahnya bersama konselor.
xlv
d. Kesiapan dari segi tempat dan lingkungan yang meliputi kondisi dan
keadaan sekeliling yang mendukung proses konseling individual berjalan
dengan baik.
e. Kesiapan dari segi waktu yang meliputi kapan konseling akan dilakukan
dan berapa lama dalam setiap pertemuannya, yang ditentukan secara
bersama-sama antara klien dan konselor (Wibowo, 1986: 126-133).
D. Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual
Untuk menentukan apakah seorang konselor dapat dikatakan sebagai konselor yang efektif,
kurang efektif dan tidak efektif dalam melaksanakan konseling individual tidak sesederhana dan
semudah ungkapannya. Hal ini dikarenakan banyak sekali faktor yang mendukung dalam proses
konseling itu sendiri. Kualitas pribadi, sikap dasar, pengetahuan dan ketrampilan konselor sekolah
merupakan prasyarat keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual.
Keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor sekolah mencakup keterampilan memahami
sifat-sifat klien, menilai situasi apakah persoalan klien mampu dibantu atau tidak, menciptakan
rapport, melaksanakan proses konseling secara efektif, atending meliputi: posisi badan yang baik,
kontak mata yang baik dan mendengarkan klien dengan baik, mengundang pembicaraan terbuka
meliputi membantu memulai wawancara, membantu klien menguraikan masalahnya dan membantu
memunculkan contoh-contoh perilaku khusus sehingga penjelasan klien dapat dipahami dengan lebih
baik, paraprase yaitu menyatakan kembali suatu kata atau prase secara sederhana. Tujuannya adalah
untuk mengatakan kembali kepada klien esensi dari klien dari apa yang telah dikatakan klien,
identifikasi perasaan yaitu membantu klien untuk menjelaskan perasaan-perasaannya sendiri, refleksi
perasaan yaitu membantu klien dengan cara memahami perasaanya dan sebagai pemeriksa persepsi
yang yang baik., konfrontasi yaitu guna membantu klien agar mengubah pertahanan yang telah
dibangunnya guna menghindari pertimbangan bidang tertentu dan untuk meningkatkan komunikasi
terus terang, meringkaskan yaitu suatu proses untuk memadu berbagai ide dan perasaan dalam satu
pernyataan pada akhir suatu wawancara konseling, menafsirkan, penerimaan, memberi ketenangan,
xlvi
memimpin secara umum, mendengarkan, mengarahkan, memberi informasi, menghayati pikiran,
perasaan, dan cita-cita klien, menyimpulkan, memberikan dorongan, menggunakan alat atau teknik
pengumpulan data, memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, menggunakan teknik
pengubahan tingkah laku, menggunakan berbagai pendekatan konseling (Wibowo, 1986: 95-96).
Sedangkan sikap/kepribadian yang harus dimiliki konselor ketika melakukan
kontak dengan klien yaitu: kepribadian yang matang dan penyesuaian diri yang baik,
memiliki pemahaman terhadap orang lain secara objektif dan simpatik, memiliki
kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara baik dan lancar, memahami
batas-batas kemampuan yang ada pada dirinya sendiri, memiliki minat yang
mendalam mengenai murid-murid dan berkeinginan sungguh-sungguh untuk
memberikan bantuan kepada mereka, memiliki kedewasaan pribadi, spiritual, mental,
sosial, dan fisik, peka terhadap berbagai sikap dan reaksi, respek terhadap orang lain,
memiliki kemampuan berkomunikasi, tidak mementingkan diri sendiri (Wibowo,
1986: 97-98).
Dalam suatu studi di Florida (USA) mengenai nilai dan kualitas-kualitas
pribadi mengemukakan bahwa yang membuat konselor efektif yaitu: konselor yang
memandang manusia sebagai pribadi, dan memiliki kapasitas untuk menangani
masalah-masalahnya; memandang manusia sebagai orang yang ramah, yang bersedia
menerima orang orang lain, dan bertujuan baik; menganggap manusia mempunyai
pembawaan yang bernilai dan perlu dihargai; memandang manusia sebagai pribadi
yang berkembang dari dalam, sebagai pribadi yang kreatif dan dinamis; memandang
manusia sebagai pribadi yang dapat dipercaya, dapat digantungi, dapat bertanggung
jawab, dan tingkah lakunya dipahami; memandang manusia sebagai pribadi yang
secara potensial dapat mencapai kebahagiaan, mampu mengembangkan diri, serta
dapat pula menjadi sumber bagi orang lain untuk memperoleh kepuasan dan
kebahagiaan (Kartono, 1985: 28-30).
Geroge dan Cristiani (1981) mengemukakan ciri-ciri konselor yang efektif
yaitu: “Konselor yang membukakan diri, dan menerima pangalaman sendiri,
menyadari akan nilai dan pendapatnya sendiri, bisa membina hubungan hangat dan
mendalam dengan orang lain, bisa membiarkan diri sendiri dilihat orang lain
sebagaimana adanya, menerima tanggung jawab pribadi dari perilakunya sendiri, dan
mengembangkan tingkatan aspirasi yang realistik”(dalam Gunarsa, 1992: 66-68).
Beberapa ahli, Brammer (1979), Carkhuf (1969), Shertzer dan Stone (1980) memberikan
rumusan yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, menyatakan bahwa ada indikasi
xlvii
yang kuat, bahwa: “Keefektifan konseling yang dilakukan oleh konselor yang efektif berhubungan
dengan ciri-ciri kepribadian konselor itu sendiri” (dalam Hariyadi, 2000: 7). Lebih lanjut Brammer
mengemukakan ciri-ciri kepribadian konselor yang hendaknya dimiliki adalah: kesadaran akan nilai-
nilai, kemampuan menganalisis perasaan sendiri, kemampuan untuk berfungsi sebagai model dan
influencer, altruisme, perasaan yang kuat terhadap etika, dan tanggung jawab. Sedangkan hasil
penelitian Shertzer dan Stone menyimpulkan bahwa efektifitas konseling berkaitan erat dengan
karakteristik kepribadian konselor yakni: toleransi terhadap ambigiutas, kematangan, pemahaman diri,
kemampuan untuk memelihara jarak emosional dengan klien, dan kemampuan untuk memelihara
hubungan interpersonal yang baik.
Brammer (1979), Carkhuf (1969), Shertzer dan Stone (1980) mengemukakan
bahwa “Pada umumnya disepakati ada ciri-ciri pribadi yang berhubungan dengan
keberhasilan melaksanakan konseling” (dalam Hariyadi, 2000: 7). Akan tetapi tidak
disebutkan secara rinci pola kepribadian yang mana yang disepakati itu. Tyler sendiri
berpendapat bahwa sifat pribadi yang paling penting bagi konselor adalah sikap-
sikapnya yang memungkinkan memahami dan menerima klien.
Dibawah ini akan di kemukakan tentang ciri-ciri konselor yang efektif sebagai
berikut:
1. Tujuan konseling (mengupayakan untuk membantu klien mencapai tujuannya
dan mengikuti agenda klien serta memberikan alternatif-alternatif sarana dan arah
terhadap kasus).
2. Pengembangan respon (mengembangkan dan menciptakan banyak respon yang
bervariasi sesuai dengan situasi dan issue-issue yang ada).
3. Pandangan/wawasan (memahami dan melakukan dengan pandangan/wawasan
yang luas).
4. Teori-teori psikologi dan konseling (memahami teori-teori dan bekerja atas dasar
teori itu serta memilih banyak alternatif pendekatan).
xlviii
5. Pemahaman budaya (mampu berkomunikasi dengan klien dari berbagai latar
belakang budaya).
6. Kerahasiaan (memelihara kerahasiaan klien).
7. Keterbatasan (mengetahui keterbatasan dalam bekerja, berbagai teori, konsep dan
pandangan dengan konselor lain).
8. Pengumpulan informasi (terfokus pada pemikiran, perasaan, dan pengalaman
klien dalam wawancara dan tidak menyimpang ke hal-hal yang tidak relevan).
9. Martabat manusia (menghargai manusia, memperlakukan klien dengan respek,
bermartabat dan keikhlasan).
10. Teori umum (dengan aktif terlibat kedunia klien, dengan menguasai teori,
pengembangan individu, konsisten terhadap pendekatan teori (Mappiare, 1992:
135-137)
Dari beberapa pendapat mengenai keefektifan konseling (konselor yang efektif dalam
melaksanakan konseling individual) sebagaimana dikemukakan di atas maka dapat diambil
kesimpulan secara umum dan luas bahwa: konselor yang efektif dalam melaksanakan konseling
individual ialah apabila konselor dapat melaksanakan tugas membantu klien dengan baik, dengan
mengerahkan segala kemampuan meliputi: keterampilan serta sikap/kepribadian yang dimilikinya,
sehingga masalah yang dihadapi klien (siswa) dapat terpecahkan secara memuaskan. Mengenai hal ini
maka dapat disusun tentang Konselor yang Efektif yang berdasarkan pada pengelompokkan atribut-
atribut keterampilan dan sikap/kepribadiaan konselor, sebagai berikut:
1. Keterampilan konselor
a. Memahami sifat-sifat klien, yang meliputi tahu gerak-gerik/tingkah laku klien, dan karakter
klien.
b. Menilai situasi apakah persoalan klien mampu dibantu atau tidak.
c. Menciptakan rapport yaitu menjalin hubungan pribadi yang baik antara konselor dan klien
sejak permulaan sampai konseling berakhir.
xlix
d. Melaksanakan proses konseling (persiapan, pendekatan masalah, pengungkapan masalah,
diagnosa, prognosa, treatment, evaluasi dan tindak lanjut) secara efektif.
e. Atending yaitu menunjukkan kehadiran secara penuh dengan tujuan melibatkan konseli
dalam proses konseling yang meliputi: kualitas vokal, posisi badan yang baik, kontak mata
yang baik dan rileks.
f. Mengundang pembicaraan terbuka meliputi membantu memulai wawancara, membantu klien
menguraikan masalahnya dan membantu memunculkan contoh-contoh perilaku khusus
sehingga penjelasan klien dapat dipahami dengan lebih baik.
g. Paraprase yaitu menyatakan kembali suatu kata atau prase secara sederhana. Tujuannya
adalah untuk mengatakan kembali kepada klien esensi dari klien dari apa yang telah
dikatakan klien.
h. Identifikasi perasaan yaitu membantu klien untuk menjelaskan perasaan-perasaannya sendiri.
i. Refleksi perasaan yaitu membantu klien dengan cara memahami perasaanya dan sebagai
pemeriksa persepsi yang yang baik.
j. Konfrontasi yaitu guna membantu klien agar mengubah pertahanan yang telah dibangunnya
guna menghindari pertimbangan bidang tertentu dan untuk meningkatkan komunikasi terus
terang.
k. Meringkaskan yaitu suatu proses untuk memadu berbagai ide dan perasaan dalam satu
pernyataan pada akhir suatu wawancara konseling.
l. Menafsirkan, penerimaan, memberi ketenangan, memimpin secara umum, mendengarkan,
mengarahkan, memberi informasi, menghayati pikiran, perasaan dan cita-cita klien,
menyimpulkan, memberikan dorongan, menggunakan alat atau teknik pengumpulan data,
memecahkan masalah dan pengambilan keputusan, menggunakan teknik pengubahan tingkah
laku dan menggunakan berbagai pendekatan konseling.
2. Sikap/Kepribadian konselor
Seorang konselor di
dalam mengadakan kontak
dengan klien haruslah memiliki
l
sifat-sifat kepribadian tertentu,
di antaranya:
a. Kepribadian yang matang (seperti mawas diri/hati-hati, self control/sadar diri,
optimis, tanggung jawab, jujur, apa adanya, menyenangkan, pengaruh positif,
terbuka) dan penyesuaian diri yang baik.
b. Memiliki pemahaman terhadap orang lain secara objektif dan simpatik.
c. Memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain secara baik dan
lancar.
d. Memahami batas-batas kemampuan yang ada pada dirinya sendiri.
e. Memiliki minat yang mendalam mengenai murid-murid, dan berkeinginan
sungguh-sungguh untuk memberikan bantuan kepada mereka.
f. Memiliki kedewasaan pribadi, spiritual, mental, sosial, dan fisik, seperti
kalem/tenang, rendah hati, sabar, humoris, cerdas, kuat etika, wawasan luas,
sederhana, hangat, dan figur ibu.
g. Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi.
h. Respek terhadap orang lain.
i. Memiliki kemampuan berkomunikasi.
Dari uraian di atas diketahui bahwa konselor yang efektif terletak pada
dimiliki dan dilaksanakannya secara baik atau tidak dari kedua atribut yakni:
keterampilan dan sikap/kepribadian konselor.
E. Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual ditinjau dari Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja,
dan Gender Konselor menurut Persepsi Klien
1. Karakteristik konselor ditinjau dari tingkat pendidikan
li
a. Pengertian tingkat pendidikan
Tingkat mempunyai pengertian sesuatu yang disusun menurut tinggi
rendahnya martabat (Poerwodarminto, 1986: 107). Sedangkan pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang/kelompok orang
dalam usaha mendewasakan melalui upaya pengajaran dan pelatihan
(Suwardi, 2001: 5). Dalam UU RI No 2 tahun 1989 mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa
yang akan datang. Tingkat pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pada umumnya mengarah pada
satu arah yang sama. Jika pengertian tersebut diperhatikan dan dibandingkan, maka dapat
dianalisis: Tingkat pendidikan adalah usaha seorang individu untuk memperoleh ilmu
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang diperoleh di bangku sekolah. Hal tersebut
diharapkan setelah lulus individu dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki ilmu,
cerdas, terampil, kreatif, penuh tanggung jawab, berbudi luhur, mencintai sesama manusia
dan mencintai bangsanya.
Dalam pelaksanaannya kegiatan pendidikan dapat berlangsung secara formal dan
non formal, dimana keduanya sama-sama berperan membentuk sikap dan tingkah laku
manusia, hanya medianya saja yang berbeda.
1). Pendidikan formal adalah pendidikan dari satuan pendidikan, lembaga pendidikan yang
didirikan oleh pemerintah/masyarakat dengan pemenuhan syarat-syarat tertentu yang
diatur dalam Undang-Undang yang berlaku saat ini (UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional) dengan tingkatan-tingkatan/ jenjang: pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi.
2). Pendidikan non formal adalah pendidikan yang diperoleh tidak melalui lembaga
pendidikan resmi yang didirikan pemerintah maupun masyarakat. Misalnya latihan
keterampilan komunikasi efektif antara orang tua dan remaja di organisasi PKK.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini yang dimaksud dengan tingkat pendidikan
adalah tingkat pendidikan formal yang ditempuh oleh konselor dalam jenjang pendidikan
tinggi. Adapun pendidikan tinggi jurusan bimbingan konseling FIP-UNNES meliputi: D3, S1,
S2, dan S3 bimbingan dan konseling.
Selanjutnya dalam pasal 17 UU RI No 2 tahun 1989 dijelaskan tentang pendidikan
tinggi sebagai berikut, yaitu:
lii
a). Pendidikan terdiri dari akademik dan profesional.
b). Sekolah tinggi, Institut, Universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan atau
profesional.
c). Akademik dan politeknik menyelenggarakan profesional (Ekosusilo dan Kasiadi, 1993:
130).
b. Perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien
Kompetensi profesional dari konselor sekolah selain berdasarkan bakat konselor
sekolah pada diri seseorang, juga unsur pendidikan dan pengalaman kerja memegang peranan
yang sangat penting.
Konselor sekolah (School Counselor), ialah tenaga profesional, pria atau wanita
yang mendapat pendidikan khusus Bimbingan dan Konseling, secara ideal berijazah sarjana
dari FIP-IKIP, Jurusan/Program Studi Bimbingan dan Konseling atau Jurusan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan, serta jurusan-jurusan/Program Studi yang sejenis. Para tamatan
tersebut setelah disekolah adalah menjadi tenaga khusus. Tenaga ini dapat disebut “Full-time
guidance counselor”, karena seluruh waktu dan perhatiannya dicurahkan pada pelayanan
bimbingan dan karena dialah menjadi penyuluh utama disekolah”, W.S Winkel, 1981 (dalam
Sukardi, 1984: 19).
Persyaratan formal/pendidikan seorang guru pembimbing sekurang-kurangnya harus
telah memiliki pendidikan setingkat sarjana muda dari suatu lembaga pendidikan yang sah
dan memenuhi syarat untuk menjadi guru dalam tingkat sekolah di tempat dia ditugaskan.
Secara profesional seorang guru pembimbing hendaknya telah mencapai tingkat sarjana
pendidikan dengan mengikuti studi dalam bidang bimbingan. Dalam masa pendidikannya
seorang guru pembimbing harus menempuh mata kuliah tentang prinsip-prinsip dan praktik
bimbingan. Bidang yang harus dikuasainya meliputi bidang utama yang terdiri atas proses
konseling, pemahaman individu, informasi dalam bidang pendidikan dan jabatan, administrasi
bimbingan, prosedur penelitian, dan penilaian bimbingan. Bidang lain yang harus pula
dikuasai oleh seorang guru pembimbing sebagai bidang tambahan meliputi psikologi,
ekonomi, dan sosiologi (Wijaya, 1988: 127).
liii
Kaitannya dengan penelitian ini hanya akan dibahas lebih luas tentang pendidikan
formal. Lebih khusus lagi adalah pendidikan formal yang memiliki jenjang/tingkatan-
tingkatan tertentu seperti yang diatur dalam UU No. 2 tahun 1989. Inipun dibatasi hanya satu
jenjang pendidikan yaitu jenjang pendidikan tinggi yang terdiri dari:
1). D3 BK, yang mempunyai karakteristik/ciri-ciri sebagai berikut:
a). Lama pendidikan: 3 tahun (minimal)
b). Jumlah SKS yang harus ditempuh: 105 SKS
c). Syarat kelulusan: menyusun tugas akhir (TA)
d). Tujuan: menyelenggarakan pendidikan akademik yang diarahkan terutama pada
penguasaan ilmu pengetahuan.
2). S1 BK, yang mempunyai karakteristik/ciri-ciri sebagai berikut:
a). Lama pendidikan: 4 tahun (minimal)
b). Jumlah SKS yang harus ditempuh: 152 SKS
c). Syarat kelulusan: menyusun skripsi
d). Tujuan: menyelenggarakan pendidikan akademik yang diarahkan terutama pada
penguasaan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam.
Mengacu pada teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa persyaratan formal dari
seorang konselor sekolah ada 2 yaitu minimal sarjana muda BK (D3 BK), dan sarjana BK (S1
BK) itu sendiri, dimana dilihat dari lama pendidikan, SKS yang harus ditempuh, persyaratan
kelulusan dan tujuan pendidikan antara D3 BK dan SI BK berbeda. Maka diasumsikan akan
berbeda pula keefektifan konselor dalam melaksanakan layanan konseling antara konselor
dengan tingkat pendidikan D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien. Dimana konselor
dengan tingkat pendidikan S1 BK akan lebih efektif dalam melaksanakan layanan konseling
dibandingkan dengan konselor dengan tingkat pendidikan D3 BK.
2. Karakteristik konselor ditinjau dari pengalaman kerja.
a. Pengertian pengalaman kerja
Pengalaman yang dimiliki seseorang memberikan dasar kepada seseorang dalam
melakukan kegiatan atas dasar pengalaman yang telah dimilikinya, seseorang akan
memiliki kemampuan dan menjadi ahli.
liv
Pengalaman-pengalaman itu menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan yang
selalu memberitahukan kepada diri untuk menentukan sikap perilaku yang diinginkan
atas dasar pengalaman masa lalunya. Namun demikian pengalaman seseorang bisa
menjadi guru dalam hidupnya dan bisa pula hanya menjadi sekedar kenangan sehingga
tidak merubah perilaku dan kemampuannya.
Pengalaman kerja sebagai konselor sekolah adalah masa kerja yang ditandai
dengan lamanya seorang konselor sekolah melaksanakan tugas profesinya. Masa kerja
ini memiliki peranan penting terhadap keefektifan konselor dalam melaksanakan tugas-
tugasnya.
Menurut Middlebrook “Tidak adanya pengalaman sama sekali dengan suatu
objek psikologis cenderung akan membentuk suatu sikap negatif terhadap objek tersebut”
(dalam Hariyadi, 2000: 10).
Baron (1988) mengemukakan “Sikap yang negatif akan melahirkan perilaku
atau unjuk kerja yang negatif, karena perilaku pada umumnya merupakan manifestasi
dari sikap seseorang. Perilaku yang negatif ini akan melahirkan ketidakefektifan konselor
dalam melaksanakan tugas-tugasnya” (dalam Hariyadi, 2000: 10).
Fazio dan Zana (1978) juga mengemukakan “Sikap yang terbentuk melalui
pengalaman langsung mengenai suatu objek hasilnya lebih kuat dan lebih melekat”
(dalam Hariyadi, 2000: 10).
Sedangkan menurut Wu dan Schaffer (1987) “Sikap yang terbentuk melalui
pengalaman langsung ternyata lebih tahan terhadap perubahan daripada sikap yang
terbentuk melalui pengalaman tidak langsung”, (dalam Hariyadi, 2000: 10).
b. Perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
pengalaman kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan > 24 tahun
menurut persepsi klien
Selama menjalankan profesinya ini berarti konselor sekolah akan selalu
berinteraksi dengan pekerjaannya maupun dengan teman-teman sejawatnya yang pada
akhirnya akan mempengaruhi kehidupan individu dalam menekuni profesinya itu.
Interaksi sosial dalam suatu organisasi berpengaruh signifikan terhadap kehidupan
lv
individu, termasuk didalamnya pembentukan sikap dan perilaku. Interaksi sosial yang
positif akan melahirkan sikap dan perilaku yang positif. Jika sikap dan perilaku kerjanya
positif maka hal ini akan mengantarkannya kepada konselor yang efektif, begitu juga
sebaliknya (Johnson, 1970: 141).
Seorang konselor sekolah yang profesional hendaknya telah memiliki
pengalaman mengajar atau praktik bimbingan dan konseling selama dua tahun, ditambah
satu tahun pengalaman kerja diluar bidang persekolahan, tiga bulan sampai enam bulan
praktik konseling yang diawasi dan pengalaman-pengalaman yang baik dalam kegiatan
sosial seperti kegiatan sukarela dalam masyarakat (Wijaya, 1988: 27-28).
Kaitannya dalam penelitian ini, pengalaman kerja langsung bisa dilihat dari
masa kerja konselor di sekolah. Masa kerja adalah menunjuk kepada berapa lama
seseorang mengabdikan diri menjalankan profesinya sebagai konselor di sekolah.
Menurut Chamberlin (1969) pengajaran dilaksanakan oleh tenaga-tenaga
profesional dengan tingkat persiapan yang berbeda-beda. Tingkat-tingkat profesional itu
bermacam-macam, yang terdiri dari: “Cadet Teacher, Executive Teacher, Lead Teacher,
Master Teacher, Provisional Teacher, Profesional Teacher, Regullar Teacher, Senior
Teacher, Special Teacher, Teacher Assiten, Teacher Intern dan Team Leader”,
Chamberlin, 1969 (dalam Hamali, 1991: 90).
Semua jenis guru mata pelajaran tersebut bertanggung jawab untuk mengajar,
kendati tingkat otoritasnya tidak sama. Dari semua jenis staf profesional tersebut dibagi
menjadi tiga kategori, dengan masa kerja masing-masing sebagai berikut:
1). Guru Provisional (Provisional Teacher), merupakan anggota staf yang telah
menempuh program pendidikan guru, tetapi belum memiliki atau masih kurang
pengalaman mengajar. Tingkatan guru ini sering disebut sebagai regular teacher,
guru baru (beginning teacher), atau teacher provisional. Guru mata pelajaran yang
masuk pada kategori ini yaitu guru dengan masa kerja 0 tahun - 14 tahun.
2). Guru Pelaksana (Executive Teacher). Executive teacher bertanggung jawab
melaksanakan kegiatan-kegiatan instruksional, mereka bertanggung jawab
menyusun rencana dan melaksanakan pekerjaan sehari-hari yang menjadi tugas staf
lvi
pengajar. Guru dalam jenis ini harus memiliki pengalaman mengajar dikelas. Guru
mata pelajaran yang masuk pada kategori ini yaitu guru dengan masa kerja 15 tahun
- 24 tahun.
3). Guru Profesional (Professional Teacher), senior teacher, master teacher dan
profesional teacher dikelompokkan kedalam kategori ini. Guru profesional
merupakan seseorang yang telah menempuh program pendidikan guru dan telah
berpengalaman dalam mengajar dalam waktu yang lama. Guru-guru ini diharapkan
dan dikulifikasikan untuk mengjar dikelas yang besar dan bertindak sebagai
pimpinan bagi para anggota staf lainnya. Guru mata pelajaran yang masuk dalam
kategori ini yaitu guru dengan masa kerja > 24 tahun.
Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan, masa kerja kerja konselor
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
1). Konselor dengan masa kerja rendah, yaitu konselor sekolah dengan masa kerja 0
tahun - 11 tahun.
2). Konselor dengan masa kerja sedang, yaitu konselor sekolah dengan masa kerja 12
tahun - 23 tahun.
3). Konselor dengan masa kerja tinggi, yaitu konselor sekolah dengan masa kerja > 24
tahun.
Rasional dibagi menjadi tiga kategori masa kerja konselor (rendah, sedang dan
tinggi) dengan jarak masing-masing masa kerja selama 11 tahun, yaitu dihitung dari
masa kerja konselor seluruhnya selama 35 tahun, yang diperoleh dari masa kerja
terakhir/masa pensiun konselor (65 tahun), dikurangi dengan masa kerja pertama
konselor (25 tahun), setelah mahasiswa berada pada semester terakhir (semester XIV)
dan mempunyai kesempatan yang terakhir untuk menuntut ilmu S1 dalam sebuah
Perguruan Tinggi.
Dari keterangan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa seorang
konselor sekolah meskipun mempunyai pengertian yang sama, namun dari segi masa
kerjanya konselor sekolah mempunyai banyak golongan. Masing-masing mempunyai
tanggung jawab dan tugas pekerjaan sendiri-sendiri, dan menuntut kompetensi yang
lvii
serasi dengan tugasnya, maka diasumsikan akan berbeda pula keefektifan konselor dalam
melaksanakan layanan konseling individual antara konselor sekolah dengan masa kerja 0
tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan > 24 tahun menurut persepsi klien. Dimana
konselor sekolah dengan masa kerja tinggi yaitu > 24 tahun akan lebih efektif dalam
melaksanakan konseling individual bila dibandingkan dengan konselor sekolah dengan
masa kerja sedang yaitu 12 tahun - 23 tahun, dan dengan konselor sekolah dengan masa
kerja rendah yaitu 0 tahun -11 tahun.
3. Karakteristik konselor ditinjau dari gender
a. Pengertian gender
Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Sedangkan didalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa: “gender adalah
suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat” (Umar, 1999: 33). Pendapat ini sejalan dengan pendapat
H.T Wilson dalam Sex and Gender yang mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk
menentukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan
kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini
Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dari konstruksi sosial dan budaya. Ia menekankannya sebagai konsep
analisis (an analytic concept) yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Berbeda
halnya dengan pendapat Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender:
an introduction, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki
dan perempuan (Cultural Expectations For Women and Men) (Umar, 1999: 40).
Meskipun kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar
Bahasa Indonesia, namun istilah tersebut sudah lazim digunakan khususnya di kantor
Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan “jender”. Gender disini diartikan
sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yaitu laki-laki dan
lviii
perempuan. Gender biasanya digunakan untuk menunjukan pembagian kerja yang
dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
b. Perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien
Bahwa banyak orang berusaha untuk menghilangkan perbedaan hakiki dan
karakteristik antara antara laki-laki dan wanita, terutama orang berusaha
memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban, yaitu sebagai wanita yang
kedudukannya sebagai warga negara. Namun betapapun hebat perjuangan feministis ini,
orang tetap senantiasa menyadari akan perbedaan-perbedaan dan karakteristik yang
fundamental antara kaum pria dan wanita (Kartono, 1992: 177). Perbedaan-
perbedaan/karakteristik tersebut dinyatakan antara lain dalam peristiwa sebagai berikut:
1). Betapapun baik dan cemerlangnya intelengensi wanita, namun pada intinya wanita
itu hampir tidak pernah mempunyai intersse menyeluruh pada soal-soal seperti
kaum laki-laki. Hal ini antara lain bergantung pada struktur otaknya serta misi
hidupnya. Jadi wanita itu pada umumnya lebih tertarik pada hal yang praktis dari
pada teoritis.
2). Kaum wanita lebih praktis, lebih langsung dan meminati segi-segi kehidupan
konkrit, serta segera. Misalnya ia sangat menikmati masalah rumah tangga,
kehidupan sehari-hari dan kejadian yang berlangsung di sekitar rumah tangganya.
Sedang kaum pria pada umumnya cuma mempunyai interesse, jika peristiwanya
mengandung latar belakang teoritis untuk difikirkan lebih lanjut, mempunyai
tendensi tertentu, sesuai dengan minat pria, atau ada kaitannya dengan diri sendiri.
Ringkasnya wanita lebih dekat pada masalah-masalah kehidupan yang praktis
konkrit, sedang kaum laki-laki lebih tertarik pada segi-segi kejiwaan yang bersifat
abstrak.
3). Wanita pada umumnya sangat bergairah, vivid dan penuh vitalitas hidup, karena
itu wanita lebih spontan dan impulsif. Sehubungan dengan hal ini mereka disebut
sebagai makhluk yang memiliki keremajaan dan penuh kelincahan hidup. Sehingga
tepat kiranya bila wanita berfungsi sebagai teman bergaul bagi kaum laki-laki,
lix
karena laki-laki pada umumnya selalu tertarik pada keremajaan dan kesegaran
sifat-sifat wanita.
4). Wanita pada hakikatnya lebih bersifat hetero-sentris dan lebih sosial, karena itu
lebih ditonjolkan sifat kesosialannya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
terutama pada “penderitaan” orang lain. Karena itu mencari obyek perhatiannya
diluar dirinya sendiri, terutama suami dan anak-anaknya, juga berminat pada
lingkungannya. Sebaliknya kaum laki-laki, mereka lebih bersifat egosentris, dan
lebih suka berfikir pada hal-hal yang zakelijk. Mereka lebih obyektif dan essensial.
Memang adakalanya kaum pria mengerahkan dirinya pada partnernya (Aku lain),
misalnya dalam kegiatan relasi seksual. Namun ini hanya berlangsung
sekejap/sebentar saja selanjutnya kembali pada diri sendiri, yakni memikirkan diri
sendiri.
5). Wanita lebih mengarah keluar, kepada subyek lain. Pada setiap kecenderungan
kewanitaannya, misalnya pada caranya bergaya dan berhias, secara primer wanita
mengarahkan aktifitasnya keluar, untuk menarik perhatian pihak lain, terutama
seks lain. Karena itu kebebasan dan suka berhias dalam batas-batas normal
merupakan bukti bahwa dalam dirinya terdapat instelling sosial yang murni
feminim dan sehat. Sebab wanita yang sudah tidak berhasrat lagi untuk
memperindah dirinya, dan tidak mau berhias sama sekali, lagi pula acuh tak acuh
penampakan dirinya, wanita semacam ini tidak memiliki daya tarik lagi. Ia adalah
wanita yang goyah, dan tengah mengalami dekadensi/kemunduran psikis yang
serius. Pada banyak segi, wanita menganggap orang laki-laki/suaminya sebagai
anaknya harus dituntun dengan penuh rasa keibuan dan diarahkan. Oleh karena itu
wanita senantiasa terbuka hatinya bagi orang lain dan lebih mudah mengakseptir
(Aku lain). Sehubungan dengan sosialitasnya ini, wanita cepat bersedia membuka
diri bagi aku lain. Karena itu ia dikenal dengan sebutan “terminus terpercaya”
(tempat pemberhentian akhir yang bisa dipercaya).
6). Kaum laki-laki disebut lebih egosentris/self oriented. Pria cenderung berperan
sebagai pengambil inisiatif untuk memberikan stimulasi dan pengarahan,
lx
khususnya bagi kemajuan, dan menganggap dunia ini sebagai miliknya, sebagai
ruang untuk berprestasi dan siap kerja. Segenap kegiatan dan hidupnya senantiasa
dikaitkan pada macam-macam proyek dan material dari karyanya. Dia selalu
berusaha mengejar cita-citanya dengan segala macam sarana dan upaya, baik upaya
yang luhur maupun yang jahat. Oleh karena itu hidupnya dianggap sebagai
substansi yang otonom; juga dilihat sebagai satu prospek yang mengarah pada
masa jauh ke depan. Berkaitan dengan ini kegiatan kaum laki-laki itu bersifat
ekspanif dan agresif; yaitu penuh daya serang untuk menguasai situasi dan ruang
lingkup hidupnya, serta lebih bernapsu memperluas kekuasaannya. Wanita adalah
sebaliknya biasanya ia tidak agresif. Sifatnya lebih pasif, lebih “besorgent”, lebih
“open”, suka melindungi, memelihara, dan mempertahankan. Ringkasnya bersifat
“conserverend”, memupuk, memelihara, mengawetkan terhadap barang-barang dan
manusia lain. Oleh fungsinya sebagai “pemelihara” itu wanita dibekali oleh alam
dengan sifat-sifat kelembutan dan keibuan, tanpa mementingkan diri sendiri, dan
tidak mengharapkan balas jasa bagi segala perbuatannya.
7). Menurut Prof. Heymans, perbedaan antara laki-laki dan perempuan terletak pada
sifat-sifat sekunderitas, emosionalitas, dan aktifitas dari fungsi-fungsi kejiwaan.
Pada kaum wanita fungsi sekunderitasnya tidak terlihat dibidang intelek, akan
tetapi pada perasaan. Oleh karena itu nilai perasaan dari pengalaman-
pengalamannya jauh lebih lama mempengaruhi struktur kepribadian, jika
dibandingkan dengan nilai perasaan kaum laki-laki (Kartono, 1992: 181).
8). Kebanyakan wanita kurang berminat pada masalah politik; terlebih-lebih politik
yang menggunakan cara-cara licik, munafik, dan kekerasan. Sikap tidak berminat
ini disebabkan oleh karena tindak politik itu di anggap kurang sesuai dengan nilai-
nilai etis dan perasaan halus wanita. Juga dari bidang intelek, kaum wanita lebih
banyak menunjukkan tanda-tanda emosionalnya. Karena itu, biasanya wanita
memilih bidang dan pekerjaan yang banyak mengandung unsur relasi emosional
dan pembentukan perasaan. Misalnya pekerjaan guru, juru rawat, pekerja sosial,
bidan, dokter, seni, dan lain sebagainya. Oleh emosi yang kuat, wanita lebih cepat
lxi
mereaksi dengan penuh ketegasan; dia lebih cepat berkecil hati, bingung, takut, dan
cemas. Akan tetapi jika menghadapi bahaya yang benar-benar laten, apalagi jika
bahaya tersebut mengancam keselamatan anaknya, suami/orang yang dicintai,
dalam menghadapi bahaya tersebut biasanya bersifat tabah dan kuat. Sehubungan
dengan hal ini tampaknya seperti terdapat “kontra indikasi” pada kehidupan
perasaan wanita. Yaitu ada kalanya bersifat mudah tegang, cemas, akan tetapi juga
bisa tabah, berani, dan keras.
9). Wanita juga sangat peka terhadap nilai estetis. Hanya saja pada umumnya mereka
kurang produtif. Hal ini terutama disebabkan oleh sangat kurangnya kesempatan
untuk memperdalam suatu ketrampilan seni, banyaknya tugas-tugas rumah tangga,
dan beratnya kewajiban mendidik anak-anaknya. Sehubungan dengan perasaan
halus dan unsur keibuan yang penuh kelembutan, pada umumnya wanita kurang
berminat pada pelontaran kritik-kritik tajam dibidang politik, kesenian, dan budaya.
Mereka lebih suka menikmati hasil seni yang “indah” dari ketiga bidang itu.
10). Dalam kehidupan sehari-hari, wanita lebih aktif dan resolut tegas. Diantara
kehidupan, kemauan dan aktifitasnya terhadap penyesuaian yang harmonis, jika
seorang wanita sudah memilih sesuatu dan telah memutuskan untuk melakukan
sesuatu, ia tak banyak berbimbang hati untuk melakukan langkah-langkah
selanjutnya. Hal ini berbeda sekali dengan kaum laki-laki yang masih saja bimbang
hati, dan masih saja terombang ambing diantara pilihan menolak dan menyetujui.
Dengan begitu, wanita pada hakikatnya lebih spontan, dan lebih mempunyai
kepastian jiwa terhadap keputusan-keputusan yang telah diambil. Pada umumnya
wanita lebih antusias memperjuangkan pendiriannya dari pada kaum laki-laki.
11). Pada kaum pria terdapat garis pemisah yang jelas, antara kehidupan psikis dengan
kehidupan indrawi, dan antara interesse pribadi dengan tugas kewajiban yang
formal sehari-hari. Dia menghayati pemisahan ini sebagai elemen yang terintegrasi
demi kepribadiannya. Ia menyadari, betapa eratnya diri sendiri itu terkait pada
strutur-struktur psikis yang tampaknya kontraindikatif satu dengan yang lainnya.
Oleh kesadaran itu ia ingin lebih berdiri diluar pagar sebagai “pengamat” dan
lxii
ingin lebih otonom. Bahkan seringkali bersikap agresif menghadapi kontraindikasi-
kontraindikasi dan nasib hidupnya.
12). Kesatuan totalitas dari tingkah laku wanita bukan terletak pada kesadaran obyektif
menuju pada satu tujuan, akan tetapi lebih terletak pada pada kehidupan
perasaannya, yang didorong oleh efek-efek dan sentimen-sentimen yang kuat. Jika
wanita tidak menyukai/membenci seseorang ia cenderung menolak, menghukum
dan mengadili semua tingkah laku serta pribadi yang dibencinya. Dia tidak
bisa/tidak mau membedakan antara person/pribadi orang yang dibenci itu dengan
tingkah laku/perbuatan orang tersebut. Dari segala sesuatu yang keluar dari orang
yang dibencinya itu, baik/buruk, pasti diterima dengan prasangka dan rasa antipati.
13). Wanita pada umumnya lebih akurat dan lebih mendetil
14). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, perbedaan kaum laki-laki dan wanita itu
bukan terletak pada adanya perbedaan yang essential dari temperamen karaternya,
akan tetapi pada perbedaan struktur jasmaniahnya. Perbedaan tersebut
mengakibatkan adanya perbedaan alam aktifitas sehari-hari. Dan hal ini
menyebabkan timbulnya perbedaan pula pada fungsi sosialnya ditengah
masyarakat. Jadi ada perbedaan dalam nuansa kualitatif dan bukan perbedaan
secara kuantitatif saja.
15). Untuk menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dikatakan bahwa: “Perbedaan antara laki-laki dan perempuan
semakin jauh antara lain terlihat pada laki-laki dan perempuan
cenderung tumbuh dengan keahlian berhubungan dengan orang lain
yang berbeda dalam hal sumber dan kekurangannya”, Michael
Argyle (dalam Prihatono, 1986: 36). Argyle lebih lanjut mengatakan
bahwa banyak studi riset yang menunjukkan bagaimana wanita lebih
suka membentuk persahabatan erat dengan sesamanya. Namun
mereka nampak lebih sulit daripada pria dalam menyatakan hierarki
lxiii
(tingkatan), grup-grup terstruktur, yang berkaitan dengan tugas
gabungan. Lebih jauh mereka jarang muncul sebagai pemimpin dari
kelompok semacam ini (Prihatono, 1986: 37). Hal yang sama juga
disampaikan bahwa perbedaan perilaku antara jenis kelamin sebagai
akibat interaksi antara keadaan biologis dan masyarakatnya
(Satmoko,1995: 449).
Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang
timbul akibat perbedaan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologi (sex)
melahirkan seperangkat konsep budaya, interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis
kelamin inilah yang disebut gender. Adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki
tidak dapat disangkal, itulah kodrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari
segi biologis, Al-Quran mengingatkan: “Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan
yang dianugerahkan Allah terhadap sebagian kamu atas sebagian yang lain. Laki-laki
mempunyai hak atas apa atas apa yang diusahakannya” (Q.S An-Nisa/4: 32).
Ayat diatas mengisyaratkan perbedaan masing-masing memiliki keistimewaan.
Perbedaan yang ada tentu mengakibatkan perbedaan fungsi utama yang harus masing-
masing emban. Secara umum Al-Quran mengakui adanya perbedaan (distinction) antara
laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan/membedakan
(diskrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lainnya.
Dengan demikian secara fisik-biologis laki-laki dan perempuan tidak saja
dibedakan oleh identitas jenis kelamin, bentuk, anatomi biologis lainnya, melainkan juga
faktor interaksi sosial budaya dalam masyarakat. Pengaruh perbedaan ini sangat
mempengaruhi pola kehidupan dan sikap dari masing-masing, bahwa laki-laki memiliki
harapan/keinginan yang lebih tinggi dari perempuan dalam jalan kehidupannya adalah
sah saja, begitu pula sebaliknya. Seorang laki-laki karena pertimbangan struktur sosial
budaya dalam masyarakat dituntut untuk memiliki harapan terhadap peran sosial yang
berbeda dengan perkembangan dikemudian hari. Di katakan bahwa perbedaan antara
laki-laki dan perempuan didalam mayarakat secara umum diklasifikasikan dalam 2
lxiv
kelompok. Pertama teori yang mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan
perempuan ditentukan oleh faktor biologis atau biasa disebut teori nature. Perbedaan
tersebut melahirkan pemisahan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan. Kedua teori yang mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan
perempuan ditentukan oleh faktor budaya atau biasa disebut dengan teori nurture (Umar,
1999: 31-39).
Mengacu pada kedua teori yang disampaikan oleh Nasaruddin Umar dapat
ditarik kesimpulan bahwa perbedaan kedua jenis kelamin antara pria dan wanita bukan
semata-semata ditentukan oleh faktor biologis, tetapi lebih dari itu sesungguhnya
perbedaan kedua jenis kelamin antara pria dan wanita dikonstruksikan oleh budaya
masyarakat, sehingga diasumsikan akan menimbulkan perbedaan keefektifan konselor
dalam melaksanakan konseling individual antara konselor pria dan wanita menurut
persepsi klien.
Berbicara tentang keefektifan konselor sekolah dalam melaksanaan tugasnya adalah berbicara
“performance” (unjuk kerja konselor). Tentang bagaimana “performance” (unjuk kerja) seorang konselor
di sekolah akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Faktor internal ialah semua hal yang bersumber dari dalam diri konselor itu sendiri, sedangkan faktor
eksternal adalah semua hal yang bersumber dari luar diri konselor.
Disamping kedua atribut yang menandai konselor yang efektif seperti tersebut
diatas, beberapa faktor internal yang menurut penulis ikut memberi kontribusi terhadap
unjuk kerja konselor, sehingga mengantarkannya sebagai konselor yang sangat efektif,
efektif, cukup efektif, agak kurang efektif dan kurang efektif yaitu: tingkat pendidikan,
pengalaman kerja, dan gender konselor.
F. Hipotesis Penelitian
Atas dasar kajian teoritis sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapatlah
dikemukakan beberapa hipotesis penelitian yang merupakan kesimpulan yang
bersifat sementara dan masih harus dibuktikan kebenarannya, sebagai berikut :
1. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien.
2. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari masa
kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan > 24 tahun menurut persepsi klien.
lxv
3. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien.
lxvi
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan masalah yang sangat penting dalam melaksanakan
penelitian. Penelitian dilakukan untuk mengumpulkan data secara obyektif dan dilakukan
dengan prosedur yang jelas dan dapat dilacak secara empiris berdasarkan pada bukti-
bukti yang memungkinkan. Bukti-bukti tersebut dikumpulkan melalui metode yang jelas
dan sistematis. Metode penelitian sebagaimana kita kenal sekarang memberikan garis-
garis yang sangat cermat dan mengajukan syarat-syarat yang keras pula. Maksudnya
adalah untuk menjaga agar pengetahuan yang dicapai dari suatu penelitian mempunyai
harga ilmiah yang setinggi-tingginya. (Hadi, 1994: 4).
Peranan metode sangat menentukan dalam upaya menghimpun data yang
diperlukan dalam penelitian. Dengan kata lain, metode penelitian akan memberikan
petunjuk terhadap pelaksanaan penelitian atau petunjuk bagaimana penelitian itu
dilaksanakan (Sudjana dkk, 1989: 16).
Penggunaan metode penelitian harus tepat dan mengarah pada tujuan penelitian,
serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berikut akan dibahas mengenai jenis
penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian, metode dan alat pengumpulan data,
validitas dan reliabilitas, serta analisis data.
A. Jenis Penelitian
Pada dasarnya jika melihat judul penelitian ini maka tergolong penelitian
komparatif sebab bertujuan guna membandingkan dua atau tiga jenis kelompok,
dibawah ini akan diuraikan secara rinci mengenai penelitian komparasi.
lxvii
Penelitian komparasi adalah jenis penelitian deskriptif yang ingin menjawab
secara mendasar tentang sebab akibat yang dijadikan dasar pembanding, namun
penelitian ini tidak mempunyai kelompok kontrol (Nazir, 1999: 70).
Penelitian komparasi akan dapat menemukan persamaan-persamaan atau
perbedaan-perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, ide, kelompok terhadap
suatu ide atau suatu prosedur. Dapat juga membedakan pandangan group atau negara
terhadap kasus, peristiwa atau objek tertentu (Arikunto, 1997: 248).
Dalam penelitian ini adalah mencari jawaban secara mendasar sebagai dasar
pembanding keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual menurut
persepsi klien pada:
1. Dua kelompok tingkat pendidikan konselor yaitu D3 Bimbingan dan Konseling dan S1
Bimbingan dan Konseling.
2. Tiga kelompok masa kerja konselor yaitu 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan >
24 tahun.
3. Dua kelompok jenis kelamin konselor yaitu pria dan wanita.
Populasi Penelitian
Populasi adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki dan
populasi dibatasi sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai
sifat yang sama (Hadi, 1988: 220). Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian
(Arikunto, 1998: 115). Disebutkan pula bahwa populasi maknanya berkaitan dengan
elemen, yaitu unit tempat diperolehnya informasi. Elemen tersebut bisa berupa
individu, keluarga, rumah tangga, kelompok sosial, sekolah, kelas, maupun
lxviii
organisasi. Dengan kata lain populasi adalah kumpulan dari sejumlah elemen
(Sudjana dkk, 1989: 83).
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa populasi adalah sejumlah individu dalam
wilayah individu penelitian yang mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama.
Populasi dapat dibedakan berdasarkan keanggotaanya, sifatnya, dan idealismenya, antara lain
sebagai berikut:
a. Berdasarkan keanggotannya, populasi dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1). Populasi finit, yaitu populasi dengan jumlah individu tertentu dan pasti.
2). Populasi infinit, yaitu populasi dimana jumlah anggota dalam populasi tidak pasti.
b. Berdasarkan sifatnya, populasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1). Populasi homogen yaitu sumber data yang unsurnya memiliki sifat yang sama sehingga tidak
perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif.
2). Populasi heterogen yaitu sumber data yang unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang
bervariasi sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
c. Berdasarkan idealismenya, populasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1). Populasi target yaitu populasi dimana peneliti ingin menggeneralisasikan hasil penelitian
secara ideal.
2). Populasi realistis yaitu populasi dimana peneliti memilih objek penelitian.
Dalam penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan populasi
sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, yaitu penelitian dengan
menggunakan anggota populasi, dengan alasan sebagai berikut:
a. Jumlah subjek penelitian terjangkau oleh peneliti.
b. Studi populasi akan memberikan hasil penelitian yang lebih akurat, karena semua
sekolah diteliti.
Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah seluruh siswa di SMA Negeri se-Kota
Semarang tahun ajaran 2004/2005. Adapun ciri-ciri tentang siswa yang dimaksud, sebagai berikut:
a. Siswa sudah pernah mengikuti konseling individual dikarenakan sedang mengalami permasalahan
baik pribadi, sosial, karir dan lainnya dari masing-masing konselor disekolahnya.
lxix
b. Kelas bebas, jenis kelamin bebas, masalah yang diatasi bebas, prosedur konseling bebas.
c. Dalam proses konseling individual minimal siswa sudah dua kali (2X) pertemuan/tatap muka
dalam satu penyelesaian masalah. Hal ini dimaksudkan supaya siswa telah memiliki pengalaman
berinteraksi secara ‘face to face’ dengan konselor disekolahnya.
Adapun pemilihan subjek penelitian (siswa = klien) yang pernah mendapatkan
layanan konseling individual, dilakukan oleh konselor masing-masing. Hal ini
ditempuh karena hanya guru pembimbimbinglah yang mengetahui secara pasti siapa-
siapa siswa yang telah mendapatkan layanan konseling individual.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan lengkap mengenai jumlah
populasi siswa dengan ciri-ciri yang sudah disebutkan diatas yang tersebar di 16
SMA Negeri se-Kota Semarang tahun ajaran 2003/2004 dapat dilihat pada tabel 1, 2
dan 3 dibawah ini:
Tabel 1. Populasi Penelitian
Siswa yang pernah konseling Individual dengan konselor
yang mempunyai tingkat pendidikan D3 BK dan S1 BK
Jmlh siswa yang pernah konseling Individual
dengan konselor yang mempunyai
tingkat pendidikan D3 BK dan S1 BK
Jumlah
No
N a m a
S e k o l a h
D3 BK
S1 BK
1. SMA N 1 Semarang - 19 siswa 19
2. SMA N 2 Semarang - 16 siswa 16
3. SMA N 3 Semarang 9 siswa 1 siswa 10
lxx
4. SMA N 4 Semarang 6 siswa 6 siswa 12
5. SMA N 5 Semarang - 18 siswa 18
6. SMA N 6 Semarang - 6 siswa 6
7. SMA N 7 Semarang - 9 siswa 9
8. SMA N 8 Semarang 3 siswa - 3
9. SMA N 9 Semarang - 9 siswa 9
10. SMA N 10 Semarang - 6 siswa 6
11. SMA N 11 Semarang - 15 siswa 15
12. SMA N 12 Semarang - 3 siswa 3
13. SMA N 13 Semarang 6 siswa - 6
14. SMA N 14 Semarang - 9 siswa 9
15. SMA N 15 Semarang - 10 siswa 10
16. SMA N 16 Semarang - 3 siswa 3
J u m l a h 24 siswa 130 siswa 154
Tabel 2. Populasi Penelitian
Siswa yang pernah konseling Individual dengan konselor
yang mempunyai masa kerja 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, dan > 24 tahun
Jumlah siswa yang pernah konseling
Individual dengan konselor yang
mempunyai masa kerja 0 tahun - 11 thn,
12 tahun - 23 thn, dan > 24 thn
No N a m a
S e k o l a h
0 th-11th 12 th-23 th > 24 th
Jumlah
1. SMA N 1 Semarang 4 siswa 12 siswa 3 siswa 19
2. SMA N 2 Semarang - 16 siswa - 16
3. SMA N 3 Semarang - 1 siswa 9 siswa 10
4. SMA N 4 Semarang - 6 siswa 6 siswa 12
5. SMA N 5 Semarang 3 siswa 15 siswa - 18
6. SMA N 6 Semarang - - 6 siswa 6
7. SMA N 7 Semarang - 9 siswa 9
8. SMA N 8 Semarang - 3 siswa - 3
9. SMA N 9 Semarang - 6 siswa 3 siswa 9
10. SMA N 10 Semarang - 6 siswa - 6
11. SMA N 11 Semarang - 12 siswa 3 siswa 15
12. SMA N 12 Semarang - 3 siswa - 3
13. SMA N 13 Semarang - 6 siswa - 6
14. SMA N 14 Semarang 3 siswa 6 siswa - 9
15. SMA N 15 Semarang 4 siswa 3 siswa 3 siswa 10
16. SMA N 16 Semarang 3 siswa - - 3
J u m l a h 17 siswa 104 siswa 33 siswa 154
Tabel 3. Populasi Penelitian
Siswa yang pernah konseling Individual dengan konselor pria dan wanita
Jml siswa yang pernah
konseling Individual
dengan konselor pria dan wanita
No.
Nama
Sekolah
Pria Wanita
Jumlah
1. SMA N 1 Semarang 10 siswa 9 siswa 19
2. SMA N 2 Semarang 6 siswa 10 siswa 16
3. SMA N 3 Semarang - 10 siswa 10
4. SMA N 4 Semarang 3 siswa 9 siswa 12
lxxi
5. SMA N 5 Semarang 6 siswa 12 siswa 18
6. SMA N 6 Semarang 3 siswa 3 siswa 6
7. SMA N 7 Semarang 3 siswa 6 siswa 9
8. SMA N 8 Semarang - 3 siswa 3
9. SMA N 9 Semarang 6 siswa 3 siswa 9
10. SMA N 10 Semarang - 6 siswa 6
11. SMA N 11 Semarang 6 siswa 9 siswa 15
12. SMA N 12 Semarang - 3 siswa 3
13. SMA N 13 Semarang - 6 siswa 6
14. SMA N 14 Semarang 3 siswa 6 siswa 9
15. SMA N 15 Semarang - 10 siswa 10
16. SMA N 16 Semarang - 3 siswa 3
J u m l a h 46 siswa 108 siswa 154
C. Variabel Penelitian
Setiap masalah dalam
penelitian harus mengandung
variabel yang jelas, sehingga
memberikan gambaran data dan
informasi yang diperlukan
untuk memecahkan masalah
tersebut. Variabel adalah ciri
atau karakteristik dari individu,
objek, peristiwa yang di
nilainya bisa berubah-ubah.
Ciri tersebut memungkinkan
untuk dilakukan pengukuran,
baik secara kuantitatif maupun
secara kualitatif (Sudjana dkk,
1989: 11). Variabel adalah
subyek penelitian, atau apa
lxxii
yang menjadi perhatian suatu
penelitian (Arikunto, 1998: 99).
Berikut dibawah ini akan
dibahas mengenai jenis
penelitian dan hubungan antar
variabel:
1. Jenis Variabel
Variabel dalam sebuah penelitian dapat dikategorikan menjadi dua yaitu variabel
bebas (independen variable) dan variabel tergantung (dependen variable), yang masing-
masing diberikan lambang “X” dan “Y” (Suharsimi Arikunto, 1998: 101). Variabel
bebas atau “X” adalah variabel yang menjadi sebab terjadinya variabel tergantung atau
“Y” (Sigiarto, dkk, 2001: 15).
Berdasarkan pada pengertian variabel diatas dan judul dalam penelitian ini, maka
dalam penelitian ini tidak ada variabel bebas maupun variabel terikatnya, karena variabelnya
tunggal. Selain itu penelitian ini hanya ingin meneliti tentang Perbedaan, dan bukan meneliti
tentang ada tidaknya hubungan ataupun meneliti tentang ada tidaknya pengaruh. Variabel yang
dimaksud yaitu : “Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual.
2. Hubungan antar Variabel
Seperti diuraikan diatas bahwa dalam penelitian ini hanya ada satu veriabel yakni
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual, dimana variabel
tersebut dalam penelitian ini akan menjadi bahasan yang akan diungkap dari populasi
penelitian yakni siswa yang sudah pernah mendapatkan konseling individual dari
masing-masing konselor disekolahnya, karena sedang mengalami permasalahan baik
pribadi, sosial, belajar dan karier, dengan minimal 2X tatap muka dalam satu
penyelesaian masalah. Jadi dalam penelitian ini tidak ada hubungan antar variabel.
lxxiii
D. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA
1. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data merupakan suatu cara yang ditempuh oleh peneliti
untuk memperoleh data yang akan diteliti. Data merupakan faktor yang penting, karena
dengan adanya data dapat ditarik suatu kesimpulan. Untuk memperoleh dan
menyimpulkan data digunakan suatu cara atau alat yang tepat agar kesimpulan yang
diambil tidak menyesatkan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk
pengumpulan data adalah skala psikologi.
Skala psikologi sebagai skala untuk pengukuran di bidang psikologis. Skala
psikologi merupakan alat ukur aspek psikologis atau atribut afektif (Azwar, 2000: 2).
Dalam skala psikologi dapat mengungkap tentang:
a. Data yang diungkap berupa kontrak atau konsep psikologis yang
menggambarkan kepribadian individu.
b. Pertanyaan-pertanyaan sebagai stimulus tertentu pada indikator perilaku guna
memancing jawaban yang merupakan refleksi dari keadaan diri subyek yang
biasanya tidak disadari responnya. Pertanyaan/pernyataan yang diajukan
memang dirancang untuk mengumpulkan sebanyak mungkin indikasi dari
aspek kepribadian yang lebih abstrak.
c. Respon tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan dari
pertanyaan/pernyataan.
d. Respon terhadap skala psikologi diberi skor lewat penskalaan.
e. Skala psikologi hanya diperuntukkan untuk mengungkap atribut tunggal.
2. Alat pengumpulan data
Karena penelitian ini akan mengungkap aspek psikologis yakni persepsi, maka
alat pengmpulan datanya menggunakan skala persepsi. Skala persepsi berujud kumpulan
lxxiv
pernyataan-pernyataan persepsi yang ditulis, disusun, dan dianalisis sedemikian rupa,
sehingga respon seseorang terhadap pernyataan tersebut dapat diberi skor atau angka
yang kemudian dapat diinterpretasikan. Skala persepsi tidak hanya terdiri dari satu
stimulus atau satu pernyataan saja, namun bisa selalu berisi banyak item (Azwar, 2000:
105).
Skala persepsi harus dirancang dengan hati-hati, metode kontruksi yang benar dan
ketepatan memberikan skor atas respon. Karena sebagai instrumen psikologis skala
persepsi dituntut memenuhi kualitas dasar alat ukur yang standar, baik validitas,
reliabilitas, maupun karakteristik berkenaan dengan penyajian dan administrasinya.
Dalam penelitian ini skala persepsi yang digunakan adalah skala persepsi model
Likert, yaitu merupakan penskalaan pernyataan persepsi yang menggunakan distribusi
respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya.
Skala persepsi berisikan seperangkat pernyataan yang merupakan pendapat
mengenai subyek persepsi. Sebagian dari pernyataan-pernyataan itu memperlihatkan
pendapat yang positif dan negatif. Dalam penskalaan yang akan dikembangkan adalah
mengikuti model Skala Likert dengan lima buah pilihan alternatif jawaban atas
pernyataan yang ada, yakni: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Kurang Sesuai (KS) Tidak
Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Sementara dalam penelitian ini guna
menghindari responden yang cenderung pasif dan cenderung memilih posisi aman tanpa
memberikan jawaban yang pasti, maka pilihan jawaban “Kurang Sesuai” (KS) tidak
dijadikan salah satu bagian pilihan, sehingga responden akan menilai pernyataan dengan
jawaban, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai
(STS). Adapun jawaban untuk masing-masing soal dibuat skalanya menurut rangkaian
kesatuan (kontinum) yang terdiri dari empat point dengan memberikan skor tertentu, dan
lxxv
penskorannya sangat tergantung kepada jenis pernyataan, apakah unfavorable (negatif)
atau favorable (positif). Jika pernyataan unfavorable (negatif) skornya dari nilai yang
paling rendah ke nilai yang paling tinggi, yaitu jika jawaban:
Sangat Sesuai (SS) : 1
Sesuai (S) : 2
Tidak Sesuai (TS) : 3
Sangat Tidak Sesuai (STS) : 4
Sedangkan apabila pertanyaan/pernyataan yang favorable (positif) skornya dari nilai
yang paling tinggi ke nilai yang paling rendah, yaitu jika jawaban:
Sangat Sesuai (SS) : 4
Sesuai (S) : 3
Tidak Sesuai (TS) : 2
Sangat Tidak Sesuai (STS) : 1
Dengan dasar obyek persepsi dalam penelitian ini serta rambu-rambu penyusunan
skala persepsi tersebut diatas, maka dapat disusun rancangan atau kisi-kisi instrumen
penelitian seperti pada tabel 4 berikut ini:
lxxvi
lxxvii
lxxviii
lxxix
lxxx
E. VALIDITAS DAN RELIABILITASI
Agar memenuhi kriteria instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting
yaitu: valid dan reliabel. Validitas dan reliabilitas merupakan dua hal yang seiring berkaitan dan sangat
berperan dalam menentukan kualitas alat ukur.
Validitas merujuk pada suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan
atau kesahihan suatu instrumen, maka dengan ini suatu instrumen valid atau sahih
juga dikatakan mempunyai validitas yang tinggi (Arikunto, 1998: 160). Untuk
mendapatkan alat pengumpul data yang baik khususnya skala psikologi perlu
dilakukan perhitungan validitas terhadap skala psikologi yang akan digunakan
sebagai metode data.
Untuk mengetahui kevalidan suatu instrumen yang akan diberikan kepada
responden sesungguhnya sebagai obyek penelitian, maka instrumen yang telah
disusun diuji cobakan. Suatu instrumen disebut valid jika data yang dihasilkan
menunjukkan adanya kesesuaian antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen
secara keseluruhan. Jenis validitas dalam penelitian ini adalah validitas konstruksi
karena item diturunkan dari teori. Dengan kata lain ditetapkan terlebih dahulu definisi
aspek yang ingin diukur berdasarkan landasan teori.
Reliabilitas adalah tingkat konsistensi hasil yang dicapai oleh
sebuah alat ukur, meskipun digunakan secara berulang-ulang pada
subjek yang sama atau berbeda (Danim, 1997: 199). Reliabilitas juga
merujuk pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen dapat dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut
sudah baik. Jadi, makin tinggi reliabilitas sebuah instrumen semakin
lxxxi
dipercaya dan diandalkan sebagai alat pengumpul data (Arikunto, 1998:
171).
Untuk menentukan validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini, maka dapat dilakukan
seperti yang akan dijelaskan dibawah ini:
1. Uji Validitas
Dalam penelitian ini uji validitas yang digunakan adalah validitas internal, yaitu
suatu instrumen disebut valid jika data yang dihasilkan menunjukkan adanya kesesuaian
antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara keseluruhan. Adapun jenis uji
validitas internal yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validitas butir, yaitu sebuah
instrumen yang memiliki validitas tinggi jika butir-butir yang membentuk instrumen
tidak menyimpang dari fungsi instrumen.
Validitas instrumen sebagai alat ukur diuji dengan homogenitas item yaitu dengan
mengkorelasikan antara skor item/butir dengan skor total, dan mengkorelasikan skor faktor
dengan skor total. Untuk itu rumus yang digunakan yaitu rumus korelasi “Product Moment” oleh
Karl Pearson, sebagai berikut:
N (Σ XY) – (ΣXY)
rxy =
[ NΣ X2 – (ΣX)
2 ] [ NΣY
2 – (ΣY)
2 ]
Keterangan:
rxy = koefisien korelasi antara X dan Y
ΣX = Jumlah skor masing-masing item
ΣY = Jumlah skor seluruh item (total)
ΣXY = Jumlah skor antara X dan Y
N = banyaknya subyek
X² = Kuadrat dijumlah skor tiap item
lxxxii
Y² = Kuadrat dari skor total (Arikunto, 1996 : 160)
Kriteria : Bila r hitung > r tabel, maka perangkat angket valid.
2. Uji Reliabilitas
Dalam penelitian ini reliabilitas instrumen hanya item-item
yang valid diuji dengan reliabilitas internal karena perhitungan
didasarkan dari instrumen saja. Teknik mencari reliabilitas yang
digunakan peneliti adalah rumus alpha, karena dalam penelitian ini
instrumen yang dipakai menggunakan skala penilaian, selain itu skor
yang digunakan bukan 1 dan 0 melainkan rentangan 1 sampai 4 atau
bertingkat seperti angket atau soal uraian (Arikunto, 1997: 192).
Rumus Alpha tersebut adalah:
k Σσb
2
r11 = [ ] [ 1 − ]
( k – 1 ) σ t 2
Keterangan:
r11 = Reliabilitas instrumen
k = Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
Σσb2
= Jumlah varians butir
σ t 2 = Varians total (Suharsimi Arikunto, 1996: 191)
Hasil perhitungan reliabilitas yang telah diperoleh kemudian dikonsultasikan dengan r tabel,
sehingga apabila r11 > r tabel maka instrumen reliabel.
Kriteria reliabilitas:
0,800 – 1,000 kriteria sangat tinggi
0,600 – 0,799 kriteria tinggi
lxxxiii
0,400 – 0,599 kriteria cukup
0,200 – 0,300 kriteria rendah
< 0,200 kriteria sangat rendah (Arikunto, 1989: 165).
E. METODE ANALISIS DATA
Analisis data adalah proses pemecahan data dalam kelompok-kelompok
kategorisasi sehingga data tersebut mempunyai makna untuk memecahkan masalah
penelitian dan menguji hipotesis (Nasir, 1999: 405).
Metode analisis data merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
mengolah data hasil penelitian guna memperoleh kesimpulan. Ada dua analisis yang
dapat digunakan yaitu analisis statistik dan analisis non statistik (Hadi, 1984: 221).
Sesuai dengan tujuan penelitian, jenis pengukuran skala variabel, instrumen yang
dikembangkan, serta hipotesis yang dikembangan maka penelitian ini digolongkan ke dalam penelitian
yang jenis datanya bersifat kuantitatif yang sifatnya numerikal. Maknanya belum menggambarkan apa
adanya sebelum dilakukan pengolahan dan analisis lebih lanjut. Salah satu cara untuk mengolah dan
menganalisis data kuantitatif adalah statistika. Menurut Hadi (1984: 221) analisis statistika adalah
cara-cara ilmiah yang dipersiapkan untuk penyelidikan yang berwujud angka.
Kedua analisis tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Analisis Data Secara Deskripsi
Analisis ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan gambaran mengenai
hasil penelitian, bagaimana karakteristik subyek penelitian sehubungan dengan variabel-
variabel yang diteliti. Dalam hal ini variabel yang akan diteliti dengan menggunakan
analisis deskripsi adalah sebagai berikut:
a). Bagaimanakah keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien.
b). Bagaimanakah keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
pengalaman kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, > 24 tahun menurut
persepsi klien.
lxxxiv
c). Bagaimanakah keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis persentase dengan
penskoran model Likert, dengan skor tertinggi 4 dan skor terendah 1, yang digunakan
untuk mendeskripsikan perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan layanan
konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender
konselor menurut persepsi klien seperti pada tabel 5 dibawah ini:
Mean tertinggi = 4
Mean terendah = 1
Rentang = Mean tertinggi – mean terendah = 4 – 1 = 3
Banyak kelas = 5 (kurang efektif, agak kurang efektif, cukup efektif, efektif dan sangat
efektif)
Panjang kelas = Rentang : banyak kelas = 3 : 5 = 0,60
Tabel 5.
Teknik persentase untuk analisis Desakriptif tentang Tingkat
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual
No Interval Mean Interval persentase skor Kriteria
1 1,0 – 1,6 25,00% - 40,00% Kurang efektif
2 1,7 – 2,2 40,01% - 55,00% Agak kurang
efektif
3 2,3 – 2,8 55,01% - 70,00% Cukup efektif
4 2,9 – 3,4 70,01% - 85,00% Efektif
5 3,5 – 4,0 85,01% - 100,00% Sangat efektif
2). Analisis Data Secara Statistik
Analisis ini dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebagaimana
dijelaskan pada bab sebelumnya. Mengenai uji hipotesis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Hipotesis pertama
lxxxv
“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan konselor D3 BK dan S1 BK menurut persepsi klien di
SMA Negeri se-Kota Semarang tahun ajaran 2004/2005”.
Untuk menguji hipotesis tersebut diatas digunakan uji statistik U Mann Whitney, dengan
rumus:
U – (1/2.n1.n2)
z =
1/12.n1.n2.(n1 + n2 + 1)
b. Hipotesis kedua
”Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari pengalaman kerja konselor 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 23 tahun, > 24
tahun menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota Semarang tahun ajaran
2004/2005”.
Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan uji statistik Kruskal Wallis yang dilanjutkan
dengan uji statistik U Mann Whitney, dengan rumus:
12
U = + [ Σ Rj² / nj ] – 3 [n + 1]
n (n + 1)
Yang kemudian dilanjutkan dengan uji statistik U Mann Whitney, dengan rumus:
U – (1/2.n1.n2) z =
1/12.n1.n2.(n1 + n2 + 1)
c. Hipotesis ketiga
“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender konselor pria dan wanita menurut persepsi klien di SMA Negeri se-
Kota Semarang tahun ajaran 2004/2005”. Untuk menguji hipotesis tersebut diatas
digunakan uji statistik U Mann Whitney, dengan rumus:
U – (1/2.n1.n2) z =
1/12.n1.n2.(n1 + n2 + 1)
lxxxvi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan dan dilaporkan hasil penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Desember 2004 dan Januari 2005 di SMA Negeri
se-kota Semarang tahun ajaran 2004-2005. Laporan ini terdiri dari dua
bagian penting yaitu: pertama, hasil penelitian yang meliputi proses
perijinan, gambaran umum populasi penelitian, rancangan alat pengumpul
data, hasil uji coba instrumen, pengumpulan data dan hasil analisis data, dan
kedua pembahasan. Secara berturut-turut dua hal penting dalam penelitian
ini akan dijelaskan sebagai berikut:
A. Hasil Penelitian
1. Proses Perijinan
Peneliti melakukan studi pendahuluan, guna mencari data pasti
tentang tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor
di SMA Negeri se-kota Semarang. Hal ini penting untuk dilakukan
guna mengetahui populasi dari penelitian ini. Setelah diketahui
selanjutnya peneliti mengajukan permohonan ijin penelitian dari
Fakultas Ilmu Pendidikan dan Dinas Pendidikan Kota Semarang
sebagai bekal peneliti untuk mengadakan penelitian di SMA Negeri se-
kota Semarang.
2. Gambaran Umum Populasi Penelitian
lxxxvii
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian Populasi. Dalam penelitian
ini ada 2 yaitu populasi lokasi dan populasi responden yang sudah pernah
memanfaatkan konseling individual dengan minimal 2X tatap muka dalam satu
penyelesaian masalah, yang akan ditanya tentang bagaimana persepsinya terhadap
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan gender konselor. Populasi ini sekaligus
dijadikan sebagai wilayah penelitian, sehingga penelitiannya merupakan
penelitian populasi. Populasi lokasinya adalah SMA N 1, SMA N 11, SMA N 9,
SMA N 15 (wilayah Semarang Selatan), SMA N 14 (wilayah Semarang Utara),
SMA N 3 (wilayah Semarang Tengah), SMA N 6, SMA N 7, SMA N 8, SMA N
13, SMA N 16 (wilayah Semarang Barat). Sedangkan populasi respondennya
berjumlah 99 siswa (klien) dengan rincian: jumlah klien yang konseling
individual dengan konselor yang mempunyai tingkat pendidikan D3 BK = 18
orang, jumlah klien yang konseling individual dengan konselor yang mempunyai
tingkat pendidikan S1 BK = 81. Sedangkan jumlah klien yang konseling
individual dengan konselor yang mempunyai masa kerja 0 tahun - 11 tahun = 14
orang, jumlah klien yang konseling individual dengan konselor yang mempunyai
masa kerja 12 tahun - 23 tahun = 58 orang, dan jumlah klien yang konseling
individual dengan konselor yang mempunyai masa kerja > 24 tahun = 27 orang.
Dan jumlah klien yang konseling individual dengan konselor jenis kelamin pria =
37 orang, jumlah klien yang konseling individual dengan konselor jenis kelamin
wanita = 62 orang.
Tentang keadaan populasi responden/klien diperoleh informasi tentang
karakteristiknya sebagai berikut:
a. Dilihat dari komposisi jenis kelamin: laki-laki = 46 orang, perempuan = 53
orang
lxxxviii
b. Dilihat dari kelas klien: kelas I = 23, kelas II = 43, kelas III IPA = 19, kelas III
IPS = 13, kelas III Bahasa = 1
c. Dilihat dari jumlah konseling dalam satu penyelesaian masalah: satu kali (1X)
= 3, dua kali (2X) = 15, tiga kali (3X) = 51, empat kali (4X) = 22, lima kali
(5X) = 8
d. Dilihat dari jenis masalah: Masalah pribadi = 20 0rang, Masalah sosial, = 7
orang, Masalah belajar = 11 orang, Masalah karier = 4 orang, Masalah pribadi,
sosial = 13 orang, Masalah pribadi, belajar = 16 orang, Masalah sosial, belajar
= 9 orang, Masalah pribadi, sosial, belajar = 14 orang, Masalah pribadi, sosial,
karier = 2 orang, Masalah pribadi, belajar, karier = 1 orang, Masalah pribadi,
sosial, dan karier = 2 orang
e. Dilihat dari prosedur konseling: Datang sendiri = 49 orang, Dipanggil guru
pembimbing = 38 orang, Dikirim oleh personil lain = 8 orang, Semula
dipanggil selanjutnya datang sendiri = 4 orang
Data-data diatas memberi informasi dan pemahaman bahwa: pertama,
komposisi responden hampir seimbang dilihat dari jenis kelaminnya. Dilihat dari
kelasnya diperoleh informasi bahwa sebagian besar responden yang konseling
individual adalah II, III, dan I. Hal ini menunjukkan bahwa responden dari kelas
II sangat rentan mengalami permasalahan. Dilihat dari jumlah tatap muka dalam
setiap penyelesaian masalah diperoleh informasi, bahwa sebagian besar
responden membutuhkan 3X tatap muka dalam penyelesaian masalah secara
tuntas. Keempat, dilihat dari masalah yang dikonsultasikan bahwa sebagaian
besar adalah masalah pribadi dan masalah pribadi, belajar. Hal ini merupakan
indikasi bahwa masalah pribadi merupakan masalah aktual disekolah, dan
seringkali masalah pribadi ini terkait erat dengan masalah belajar. Kelima, dilihat
dari bagaimana prosedur konseling individual, diperoleh informasi bahwa
lxxxix
sebagian besar responden mempunyai kemauan sendiri untuk menemui konselor
di sekolahnya. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan yang cukup
menggembirakan, dimana siswa sudah mempunyai kesadaran akan keberadaan
layanan bimbingan dan konseling disekolah, khususnya konseling individual.
Konselor sekolah dipahaminya mempunyai kedudukan yang sama dengan guru
bidang studi dengan penekanan tugas yang berbeda. Lebih dari itu hal tersebut
akan memberikan dampak yang positif bagi siswa yang lain untuk memiliki
persepsi yang sama (positif) tentang keberadaan bimbingan dan konseling,
khususnya konseling individual. Sementara itu siswa yang dipanggil konselor
juga cukup besar, hal ini menunjukkan bahwa konselor sekolah sangat peduli
dengan keadaan atau permasalahan siswanya.
Gambaran konselor sekolah di SMA N se-Kota Semarang yang
dipersepsi tingkat keefektifannya dalam melaksanakan konseling
individual yang berjumlah 33 konselor sekolah dengan rincian sebagai
berikut:
a. Jumlah dan komposisi jenis kelamin konselor: pria = 9 orang,
wanita = 24 orang
b. Tingkat pendidikan konselor: D3 Bimbingan dan Konseling = 5
orang, S1 Bimbingan dan Konseling = 28 orang
c. Pengalaman kerja konselor: 0 tahun - 11 tahun = 4 orang, 12 tahun
- 23 tahun = 21 orang, > 24 tahun = 8 orang
Atas dasar data tersebut dapat dipahami bahwa sebagian besar
jenis kelamin konselor sekolah yang dipersepsi oleh klien tentang
bagaimana keefektifannya dalam melaksanakan konseling individual
adalah konselor wanita. Sedangkan tingkat pendidikannya adalah S1
xc
bimbingan dan konseling, dengan masa kerja yang cukup lama yaitu
berkisar 12 tahun - 23 tahun. Dari keterangan tersebut dapat
diketahui bahwa konselor sekolah telah memiliki kompetensi yang
cukup memadai yaitu kompetensi pengetahuan yang meliputi
kompetensi keterampilan dan kepribadiannya.
3. Rancangan Alat Pengumpul Data
Dalam penelitian ini yang akan diukur oleh peneliti adalah
keefektifan konselor dalam melaksanakaan konseling individual
menurut persepsi klien. Setelah ditentukan variabelnya maka
selanjutnya ditentukan sub varibel dan indikatornya, ada dua
komponen yang diukur menggunakan skala persepsi yaitu
keterampilan dan kepribadian konselor. Berdasarkan kisi-kisi
instrumen yang dijabarkan dari kajian teori maka final dari alat
pengumpul data yang berupa skala persepsi ini adalah 139 item
pernyataan.
4. Hasil Uji Coba Alat Ukur (Try Out)
Uji coba alat ukur yakni skala persepsi digunakan untuk
mengetahui validitas dan reliabilitas sebuah alat ukur. Uji coba
instrumen diberikan pada individu yang segolongan atau mempunyai
karakteristik yang sama dengan subjek penelitian, yang selanjutnya
tidak akan diikutsertakan dalam penelitian. Karena dalam penelitian
ini adalah penelitian populasi yaitu SMA Negeri se-Kota Semarang
dengan jumlah responden 154 orang, maka uji coba intrumen yang
diberikan pada responden dengan jumlah 55 orang, diambil dari
xci
beberapa sekolah yang merupakan perwakilan dari masing-masing
wilayah, yaitu: SMA Negeri 4 (perwakilan wilayah selatan) dengan
jumlah konselor 4 dan jumlah klien 12, SMA Negeri 5 (perwakilan
wilayah tengah) dengan jumlah konselor 6 dan jumlah klien 18, SMA
Negeri 12 (perwakilan wilayah barat) dengan jumlah konselor 1 dan
jumlah klien 3, dan SMA 2 (perwakilan wilayah timur) dengan
jumlah konselor 7 dan jumlah klien 16, sehingga populasi dalam
penelitian ini berjumlah 99 responden.
Jumlah responden yang akan dijadikan uji coba instrumen
penelitian adalah sebagai berikut: jumlah klien yang konseling
individual dengan konselor yang mempunyai tingkat pendidikan D3
BK = 6 orang, jumlah klien yang konseling individual dengan konselor
yang mempunyai tingkat pendidikan S1 BK = 49. Sedangkan jumlah
klien yang konseling individual dengan konselor yang mempunyai
masa kerja 0 tahun - 11 tahun = 3 orang, jumlah klien yang konseling
individual dengan konselor yang mempunyai masa kerja 12 tahun - 23
tahun = 46 orang, dan jumlah klien yang konseling individual dengan
konselor yang mempunyai masa kerja > 24 tahun = 6 orang. Dan
jumlah klien yang konseling individual dengan konselor jenis kelamin
pria = 18 orang, jumlah klien yang konseling individual dengan
konselor jenis kelamin wanita = 37 orang.
Uji coba dilaksanakan di beberapa SMA Negeri di kota
Semarang pada tanggal 20 Desember 2004 di SMA N 4, tanggal 21
Desember 2004 di SMA N 12, tanggal 22 Desember 2004 di SMA N 5,
xcii
tanggal 23 Desember 2004 di SMA N 10, dan tanggal 24 Desember di
SMA N 2 kota Semarang.
a. Validitas
Validitas dalam penelitian ini adalah validitas konstruk yaitu
kebenaran dari alat ukur ditinjau dari segi kecocokan dengan teori
fundamentalnya, atau bertitik tolak dari konstruksi teori. Selain
validitas kontruks juga digunakan validitas empiris yaitu validitas
yang dilihat dari hasil ujicoba secara empiris. Untuk mengetahui
kevaliditan instrumen penelitian dan untuk mengungkap data
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
menurut persepsi klien menggunakan rumus product moment,
sehingga dapat diketahui item yang valid dan tidak valid setelah
melakukan uji coba/try out instrumen (lampiran 5 hal 138-148.
Dari skala persepsi yang disusun sebanyak 139 item yang
diajukan terhadap 55 responden (klien) terdapat 14 item yang
dinyatakan tidak valid yaitu nomor 2, 8, 10, 16, 17, 20, 24, 27, 31,
32, 37, 54, 98, dan 119, dengan masing-masing rhitung sebesar 0,262,
0,248. 0,207, -0,037, -0,027, 0,249, 0,130, 0,130, -0,260, 0,222, 0,253, -
0,005, 0,048, dan 0,083 kurang dari rtabel 0,266, yang selanjutnya
akan dibuang karena masing-masing indikator variabel telah
terwakili. Sedangkan item yang dinyatakan valid berjumlah 125
item yang akan dipertahankan untuk menjadi instrumen
penelitian, karena dengan 125 tersebut semua indikator variebel
telah terwakili.
xciii
b. Reliabilitas
Alat pengukuran sebagai alat pengumpul data penelitian ini
adalah skala persepsi. Untuk mengetahui tingkat reliabilitasnya
skala persepsi ini digunakan rumus Alpha. Dengan menggunakan
rumus Alpha dapat diketahui reliabilitas dari hasil try out
instrumen skala persepsi klien terhadap keefektifan konselor
dalam melaksanakan konseling individual (lampiran 7 hal. 150).
Hasil try out reliabilitas dengan menggunakan rumus Alpha
diperoleh r11 = 0.963 > r tabel = 0.266 pada taraf kesalahan 5%,
sehingga instrumen tersebut dinyatakan reliabel.
5. Pengumpulan Data
Setelah hasil uji coba instrumen diketahui, maka barulah peneliti
melaksanakan penelitian di SMA Negeri 1, SMA Negeri 3 SMA Negeri 6, SMA
Negeri 7, SMA Negeri 8, SMA Negeri 9, SMA Negeri 10, SMA Negeri 11, SMA
Negeri 13, SMA Negeri 14, SMA Negeri 15 dan SMA Negeri 16 di Kota
Semarang.
Sebelum penyebaran instrumen dilakukan, terlebih dahulu peneliti
melakukan konsultasi dengan guru BK masing-masing SMA di kota Semarang,
berkaitan dengan siswa yang sudah pernah memanfaatkan konseling individual,
mekanisme pelaksanaan penelitian, maupun waktu pelaksanaan penelitian. Untuk
menjaga objektifitas persepsi klien terhadap keefektifan konselor dalam
melaksanakan layanan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan,
pengalaman kerja dan gender konselor, maka proses penyebaran instrumen
penelitian, yakni skala persepsi siswa terhadap keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual dilakukan oleh peneliti sendiri.
xciv
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 28 Desember di SMA N 15 dan
SMA N 11, tanggal 29 Desember 2004 di SMA N 1 dan SMA N 3, tanggal 30
Desember 2004 di SMA N 7 dan SMA N 14, tanggal 10 Januari 2005 di SMA N
9, tanggal 11 Januari 2005 di SMA N 6 dan SMA N 8, dan pada tanggal 12
Januari 2005 di SMA N 13 dan 16 Semarang. Sebelum siswa mengisi instrumen
terlebih dahulu peneliti menguraikan tujuan, ketidakterkaitan instrumen dengan
prestasi belajar, prosedur atau cara pengisian, seperti tercantum dalam instrumen
penelitian. Rata-rata siswa mengisi instrumen penelitian selama 30 menit dan
semuanya berjalan dengan lancar.
6. Hasil Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data ditempuh dengan metode: analisis deskriptif
dan analisis statistik inferensial dengan menggunakan analisis U Mann Whitney
dan analisis Kruskal Wallis. Berikut akan disajikan kedua analisis tersebut:
xcv
a. Analisis Deskriptif
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari tingkat pendidikan, pengalaman kerja
dan gender menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota
Semarang tahun 2004/2005 dapat diketahui dari hasil
pengisian skala persepsi dengan penskoran model Likert,
dengan skor tertinggi 4 dan skor terendah 1 dapat dibuat
tingkat keefektifan seperti pada tabel 6.
Mean tertinggi = 4
Mean terendah = 1
Rentang = Mean tertinggi – mean terendah = 4 – 1 = 3
Banyak kelas = 5 (kurang efektif, agak kurang efektif,
cukup efektif, efektif dan sangat efektif)
Panjang kelas = Rentang : banyak kelas = 3 : 5 = 0,60
Tabel 6.
Kriteria Tingkat Keefektifan Konselor
dalam melaksanakan konseling individual
No Interval
Mean
Interval persentase
skor
Kriteria
1 1,0 – 1,6 25,00% - 40,00% Kurang efektif
2 1,7 – 2,2 40,01% - 55,00% Agak kurang
efektif
3 2,3 – 2,8 55,01% - 70,00% Cukup efektif
4 2,9 – 3,4 70,01% - 85,00% Efektif
5 3,5 – 4,0 85,01% - 100,00% Sangat efektif
xcvi
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa,
apabila persepsi klien terhadap keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual memperoleh rentang 1,00
– 1,60, maka dapat dikategorikan bahwa konselor tersebut
kurang efektif. Apabila rentang skor 1,7 – 2,2 dalam kategori
agak kurang efektif, pada rentang skor 2,3-2,8 dalam
kategori cukup, 2,9 – 3,4 kategori efektif dan pada rentang
skor 3,5 – 4,0 dalam kategori sangat efektif. Pada tahap
selanjutnya kriteria ini digunakan untuk mendeskripsikan
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual menurut persepsi klien dari setiap variabel, sub
variabel dan indikator yang akan diukur. Berturut-turut
dapat dilaporkan gambaran secara umum sebagai berikut:
1). Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual ditinjau dari Tingkat Pendidikan
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari tingkat pendidikan menurut
persepsi klien dapat dilihat pada tabel 7 dibawah ini:
Tabel 7.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan menurut persepsi klien
pada setiap sub variabel
xcvii
Sub Variabel Tingkat
Pendidikan
Jumlah
konselor
Mean % Kriteria
D3 5 2,59 65% Cukup efektif Keterampilan
S1 28 3,07 77% Efektif
D3 5 2,73 68% Cukup efektif Kepribadian
S1 28 3,15 79% Efektif
D3 5 2,66 67% Cukup efektif Efektivitas
S1 28 3,11 78% Efektif
Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa dari 5
konselor dengan tingkat pendidikan D3 bimbingan dan
konseling diperoleh rata-rata keefektifan dalam
melaksanakan konseling individual sebesar 2,66 atau 67%
berada pada interval 2,3 – 2,8 dalam kategori cukup
efektif, dan dari 28 konselor dengan tingkat pendidikan S1
bimbingan dan konseling mempunyai rata-rata 3,11 atau
78% pada interval 2,9 – 3,4 dalam kategori efektif.
Ditinjau dari sub variabel keterampilan dalam
melaksanakan konseling individual, rata-rata skor untuk
konselor dengan tingkat pendidikan S1 bimbingan dan
konseling sebesar 3,07 atau 77% sedangkan untuk
konselor dengan pendidikan D3 bimbingan dan konselor
sebesar 2,59 atau 65%. Rata-rata skor sub varibel
kepribadian pada konselor dengan tingkat pendidikan S1
bimbingan dan konseling sebesar 3,15 atau 79% dan
untuk tingkat pendidikan D3 bimbingan dan konseling
sebesar 2,73 atau 68%. Berdasarkan kriteria pada tabel 6,
tampak bahwa keterampilan dan kepribadian konselor
dengan tingkat pendidikan D3 bimbingan dan konseling
xcviii
dalam melaksanakan konseling individual dalam kategori
cukup efektif, sedangkan untuk tingkat pendidikan S1
bimbingan dan konseling dalam kategori efektif. Untuk
lebih jelasnya keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual dapat dilihat pada setiap indikator
yang tercantum pada tabel 8 dibawah ini:
xcix
Tabel 8.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan menurut persepsi klien
pada setiap indikator
D3 S1
No Indikator Mean Ket Mean Ket
1 Paham sifat-sifat klien 2,18 AKE 2,96 E
2 Menilai situasi 2,63 CE 3,11 E
3 Raport 2,38 CE 3,16 E
4 Proses konseling 2,69 CE 3,11 E
5 Attending 2,56 CE 3,06 E
6 Mengundang pembicaraan terbuka 2,45 CE 2,89 E
7 Paraprase 2,80 CE 3,17 E
8 Identifikasi perasaan 2,83 E 3,12 E
9 Refleksi perasaan 2,90 E 3,13 E
10 Konfrontasi 2,60 CE 3,19 E
11 Meringkaskan 2,70 CE 3,06 E
12 Menafsirkan 2,60 CE 3,10 E
13 Penerimaan 2,83 E 3,36 E
14 Memberi ketenangan 2,80 CE 3,17 E
15 Memimpin secara umum 2,83 E 3,19 E
16 Mendengarkan 2,00 AKE 2,75 CE
17 Mengarahkan 2,80 CE 3,26 E
18 Memberi informasi 2,67 CE 3,16 E
19 Menghayati pikiran, perasaan dan cita-cita 2,77 CE 3,14 E
20 Menyimpulkan 2,90 E 3,15 E
21 Memberi dorongan 2,70 CE 3,26 E
22 Menggunakan alat/ teknik pengumpul data 2,73 CE 3,01 E
23 Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan 2,52 CE 3,14 E
24 Menggunakan teknik pengubahan tingkah laku 2,41 CE 2,96 E
25 Menggunakan berbagai pendekatan konseling 2,37 CE 2,87 E
26 Kepribadian matang dan penyesuaian diri 2,83 E 3,22 E
27 Pemahaman terhadap orang lain 2,97 E 3,28 E
28 Mengadakan hubungan dan kerjasama 3,04 E 3,19 E
29 Batas kemampuan 2,58 CE 3,05 E
30 Perhatian dan minat pada masalah klien 2,81 E 3,20 E
31 Kedewasaan pribadi, mental, sosial dan fisik 2,58 CE 3,09 E
32 Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi 2,70 CE 3,19 E
33 Respek terhadap orang lain 2,57 CE 3,12 E
34 Kemampuan komunikasi 2,59 CE 3,08 E
35 Tidak mementingkan diri sendiri 2,62 CE 3,08 E
Berdasarkan tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa
sebagian besar indikator kefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual dengan tingkat
c
pendidikan D3 bimbingan dan konseling menurut
persepsi klien berada pada kategori efektif, namun ada
beberapa indikator yang termasuk dalam kategori cukup
efektif (yaitu berkaitan dengan menilai situasi, rapport,
proses konseling, attending, mengundang pembicaraan
terbuka, paraprase, konfrontasi, meringkaskan,
menafsirkan, memberi ketenangan, mengarahkan,
memberi informasi, menghayati pikiran, perasaan dan
cita-cita, memberi dorongan, menggunakan alat/teknik
pengumpulan data, pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan, menggunakan teknik
pengubahan tingkah laku, menggunakan berbagai
pendekatan konseling, batas kemampuan, kedewasaan
pribadi, mental, sosila, dan fisik, peka terhadap berbagai
sikap dan reaksi, respek terhadap orang lain,
kemampuan komunikasi dan tidak mementingkan diri
sendiri) dan agak kurang efektif (yaitu berkaitan dengan
paham sifat-sifat klien dan mendengarkan). Sedangkan
sebagian besar indikator keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual dengan tingkat
ci
pendidikan S1 bimbingan dan konseling menurut
persepsi klien, dalam kategori efektif dan ada indikator
cukup sangat efektif yaitu mendengarkan.
2). Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual ditinjau dari Masa Kerja Konselor
Rata-rata persepsi klien terhadap keefektifan
konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari pengalaman kerja dapat dilihat pada tabel 9
dibawah ini:
Tabel 9.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien
Sub
Variabel
Pengalaman
kerja
Jumlah
konselor
Mean % Kriteria
cii
0-11 th 4 2,57 64% Cukup Efektif
12-23 th 21 3,03 76% Efektif Keterampila
n > 24 th 8 3,14 79% Efektif
0-11 th 4 2,66 67% Cukup Efektif
12-23 th 21 3,11 78% Efektif Kepribadian
> 24 th 8 3,23 81% Efektif
0-11 th 4 2,62 66% Cukup Efektif
12-23 th 21 3,07 77% Efektif Efektivitas
> 24 th 8 3,19 80% Efektif
Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa dari 4
konselor dengan masa kerja 0-11 tahun diperoleh rata-
rata keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual menurut persepsi klien sebesar 2,62 atau 66%
berada pada interval 2,3 – 2,8 dalam kategori cukup
efektif. Dari 21 konselor dengan masa kerja antara 12-23
dengan rata-rata 3,07 atau 77% pada interval 2,9 – 3,4
dalam kategori efektif, demikian juga dari 8 konselor
yang mempunyai masa kerja lebih dari 24 tahun dengan
rata-rata 3,19 atau 80% pada interval 2,9 – 3,4 dalam
kategori efektif.
Dilihat dari sub variabel keterampilan dalam
melaksanakan konseling individual, rata-rata konselor
dengan masa kerja 0 tahun - 11 tahun sebesar 2,57 atau
64%, rata-rata skor pada konselor dengan masa kerja 12
tahun – 23 tahun sebesar 3,03% atau 76%, sedangkan
ciii
rata-rata skor pada konselor dengan masa kerja > 24
tahun sebesar 3,14 atau 79%. Untuk kelompok konselor
dengan masa kerja 0-11 tahun mempunyai keterampilan
dalam melaksanakan konseling individual dalam kategori
cukup efektif sedangkan untuk masa kerja 12-23 tahun
dan lebih dari 24 tahun dalam kategori efektif.
Dilihat dari sub variabel kepribadian, rata-rata
konselor dengan masa kerja antara 0 tahun - 11 tahun
sebesar 2,66 atau 67%, untuk konselor dengan masa
kerja 12 tahun - 23 tahun dengan rata-rata 3,11 atau
78%, dan konselor dengan masa kerja > 24 tahun
mempunyai rata-rata skor kepribadian 3,23 atau 81%.
Untuk kelompok konselor dengan masa kerja 0-11 tahun
mempunyai kepribadian dalam melaksanakan konseling
individual dalam kategori cukup efektif sedangkan untuk
kelompok konselor dengan masa kerja 12-23 tahun dan
lebih dari 24 tahun dalam kategori efektif. Untuk lebih
jelasnya keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari pengalaman kerja
civ
menurut persepsi klien pada setiap indikator dapat
dilihat pada tabel 10 dibawah ini:
cv
Tabel 10.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien
pada setiap indikator
0 - 11 th 12- 23 th > 24 tahun No Indikator
Mean Ket Mean Ket Mean Ket
1 Paham sifat-sifat klien 2,35 CE 2,92 E 2,88 E
2 Menilai situasi 2,85 E 3,00 E 3,21 E
3 Raport 2,53 CE 3,11 E 3,12 E
4 Proses konseling 2,62 CE 3,07 E 3,19 E
5 Attending 2,45 CE 3,01 E 3,19 E
6 Mengundang pembicaraan terbuka 2,25 CE 2,87 E 2,99 E
7 Paraprase 2,75 CE 3,07 E 3,41 SE
8 Identifikasi perasaan 2,33 CE 3,10 E 3,39 E
9 Refleksi perasaan 2,83 E 3,05 E 3,36 E
10 Konfrontasi 2,85 E 3,11 E 3,19 E
11 Meringkaskan 2,54 CE 2,99 E 3,26 E
12 Menafsirkan 2,63 CE 2,98 E 3,36 E
13 Penerimaan 2,73 CE 3,29 E 3,51 SE
14 Memberi ketenangan 2,69 CE 3,19 E 3,14 E
15 Memimpin secara umum 2,67 CE 3,14 E 3,37 E
16 Mendengarkan 2,25 CE 2,66 CE 2,75 CE
17 Mengarahkan 2,90 E 3,21 E 3,28 E
18 Memberi informasi 2,85 E 3,07 E 3,24 E
19 Menghayati pikiran, perasaan dan cita-cita 2,64 CE 3,09 E 3,29 E
20 Menyimpulkan 2,94 E 3,10 E 3,21 E
21 Memberi dorongan 2,94 E 3,15 E 3,37 E
22 Menggunakan alat/ teknik pengumpul data 2,58 CE 3,02 E 3,02 E
23 Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan 2,79 CE 3,08 E 3,10 E
24 Menggunakan teknik pengubahan tingkah laku 2,42 CE 2,95 E 2,89 E
25 Menggunakan berbagai pendekatan konseling 2,27 CE 2,84 E 2,93 E
26 Kepribadian matang dan penyesuaian diri 2,82 E 3,17 E 3,30 E
27 Pemahaman terhadap orang lain 2,81 E 3,27 E 3,35 E
28 Mengadakan hubungan dan kerjasama 2,58 CE 3,22 E 3,32 E
29 Batas kemampuan 2,69 CE 2,94 E 3,23 E
30 Perhatian dan minat pada masalah klien 2,70 CE 3,13 E 3,38 E
31 Kedewasaan pribadi, mental, sosial dan fisik 2,60 CE 3,06 E 3,11 E
32 Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi 2,52 CE 3,20 E 3,19 E
33 Respek terhadap orang lain 2,56 CE 3,08 E 3,18 E
34 Kemampuan komunikasi 2,57 CE 3,05 E 3,12 E
35 Tidak mementingkan diri sendiri 2,50 CE 3,08 E 3,10 E
Berdasarkan tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa
sebagian besar indikator dari konselor dengan masa
kerja 0 tahun - 11 tahun dalam kategori cukup efektif
cvi
(yaitu berkaitan dengan paham sifat-sifat klien, rapport,
proses konseling, attending, mengundang pembicaraan
terbuka, paraprase, identifikasi perasaan, meringkaskan,
menafsirkan, penerimaan, memberi ketenangan,
memimpin secara umum, mendengarkan, menghayati
pikiran, perasaan dan cita-cita, menggunakan alat/teknik
pengumpulan data, pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan, menggunakan teknik
pengubahan tingkah laku, menggunakan berbagai
pendekatan konseling, mengadakan hubungan dan kerja
sama, batas kemampuan, perhatian dan minat pada
masalah klien, kedewasaan pribadi, mental, sosila, dan
fisik, peka terhadap berbagai sikap dan reaksi, respek
terhadap orang lain, kemampuan komunikasi dan tidak
mementingkan diri sendiri). Sedangkan untuk konselor
dengan masa kerja 12 tahun – 23 tahun, sebagian besar
indikator keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual juga dalam kategori efektif. Namun
ada beberapa indikator dengan kategori cukup efektif
yaitu: mendengarkan. Konselor dengan masa kerja > 24
tahun, sebagian besar indikator keefektifan keefektifan
cvii
konselor dalam melaksanakan konseling individual
menurut persepsi klien dalam kategori efektif, namun
ada beberapa indikator dengan kategori sangat efektif
(yaitu: paraprase dan penerimaan) dan ada indikator
dengan kategori cukup efektif yaitu mendengarkan.
3). Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling
Individual ditinjau dari Gender Konselor
Rata-rata persepsi klien terhadap keefektifan
konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender dapat dilihat pada tabel 11 dibawah
ini.
Tabel 11.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender menurut persepsi klien
Sub Variabel Jenis kelamin Jumlah konselor Mean % Kriteria
Wanita 24 2,97 74% Efektif Keterampilan
Pria 9 3,09 77% Efektif
Wanita 24 3,05 76% Efektif Kepribadian
Pria 9 3,17 79% Efektif
Wanita 24 3,01 75% Efektif Efektivitas
Pria 9 3,14 79% Efektif
Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa dari 24
konselor wanita mempunyai rata-rata keefektifan dalam
melaksanakan konseling individual menurut persepsi
cviii
klien sebesar 3,01 atau 75% berada pada interval 2,9 –
3,4 dalam kategori efektif dan dari 9 konselor pria, rata-
rata skornya mencapai 3,14 atau 79% pada interval 3,5 –
4,0 dalam kategori efektif. Dilihat dari keterampilan
dalam melaksanakan konseling individual, rata-rata
konselor wanita sebesar 2,97 atau 74% dalam kategori
efektif, sedangkan rata-rata skor pada konselor pria
sebesar 3,09 atau 77% dalam kategori efektif.
Dilihat dari sub variabel kepribadian, rata-rata
konselor wanita sebesar 3,05 atau 76% dan untuk
konselor pria rata-ratanya 3,17 79%. Kedua kelompok
konselor ditinjau dari gender mempunyai kepribadian
dalam melaksanakan konseling individual dalam kategori
efektif. Untuk lebih jelasnya keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling ditinjau dari gender menurut
persepsi klien pada setiap indikator dapat dilihat pada
tabel 12 dibawah ini:
cix
Tabel 12.
Keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender menurut persepsi klien
pada setiap indikator
Wanita Pria No Indikator
Mean Ket Mean Ket
1 Paham sifat-sifat klien 2,76 CE 3,06 E
2 Menilai situasi 2,98 E 3,19 E
3 Raport 2,95 E 3,27 E
4 Proses konseling 3,02 E 3,10 E
5 Attending 2,96 E 3,06 E
6 Mengundang pembicaraan terbuka 2,78 CE 2,96 E
7 Paraprase 3,09 E 3,19 E
8 Identifikasi perasaan 3,06 E 3,12 E
9 Refleksi perasaan 3,09 E 3,12 E
10 Konfrontasi 3,09 E 3,12 E
11 Meringkaskan 2,95 E 3,15 E
12 Menafsirkan 3,05 E 2,97 E
13 Penerimaan 3,22 E 3,43 SE
14 Memberi ketenangan 3,05 E 3,30 E
15 Memimpin secara umum 3,08 E 3,30 E
16 Mendengarkan 2,57 CE 2,81 E
17 Mengarahkan 3,16 E 3,27 E
18 Memberi informasi 3,09 E 3,08 E
19 Menghayati pikiran, perasaan dan cita-cita 3,06 E 3,15 E
20 Menyimpulkan 3,11 E 3,12 E
21 Memberi dorongan 3,10 E 3,39 E
22 Menggunakan alat/ teknik pengumpul data 2,94 E 3,03 E
23 Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan 2,98 E 3,22 E
24 Menggunakan teknik pengubahan tingkah laku 2,87 E 2,87 E
25 Menggunakan berbagai pendekatan konseling 2,76 CE 2,89 E
26 Kepribadian matang dan penyesuaian diri 3,13 E 3,22 E
27 Pemahaman terhadap orang lain 3,20 E 3,32 E
28 Mengadakan hubungan dan kerjasama 3,18 E 3,14 E
29 Batas kemampuan 2,94 E 3,09 E
30 Perhatian dan minat pada masalah klien 3,08 E 3,30 E
31 Kedewasaan pribadi, mental, sosial dan fisik 2,97 E 3,13 E
32 Peka terhadap berbagai sikap dan reaksi 3,05 E 3,29 E
33 Respek terhadap orang lain 3,01 E 3,12 E
34 Kemampuan komunikasi 2,97 E 3,09 E
35 Tidak mementingkan diri sendiri 2,98 E 3,11 E
Berdasarkan tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa
semua indikator keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual pada konselor wanita
cx
dalam kategori efektif, namun ada beberapa indikator
dengan kategori cukup efektif yaitu paham sifat-sifat
klien, mengundang pembicaraan terbuka,
mendengarkan, menggunkan berbagai pendekatan
konseling. Sedangkan sebagian besar indikator
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual menurut persepsi klien pada konselor pria
dalam kategori efektif. Namun ada beberapa indikator
dalam kategori sangat efektif, yaitu: penerimaan.
b. Analisis Statistik Inferensial
Analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis yang
dilakukan dengan menempuh prosedur, langkah serta serta teknnik statistik
seperti yang dikemukakan pada bab III. Hasil pengujian hipotesis tersebut
dapat dilaporkan secara berturut-turut sebagai berikut:
1). Hipotesis pertama
“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari tingkat pendidikan konselor menurut persepsi
klien”
Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan U Mann Whitney
diperoleh hasil seperti pada tabel 13 di bawah ini:
cxi
Tabel 13.
Hasil analisis perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan
menurut persepsi klien menggunakan U Mann-Whitney
Test Statistics b
16.000 22.000 19.000
31.000 37.000 34.000
-2.711 -2.410 -2.561
.007 .016 .010
.004a .013a .008a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Keterampilan Kepribadian Keefektifan
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Tingkat Pendidikanb.
Berdasarkan hasil uji U Mann-Whitney diperoleh nilai U = 19,
dengan Z hitung = –2,561 dan signifikansi 0,010. Pada taraf kesalahan 0,05
diperoleh nilai Ztabel sebesar 1,96. Tampak bahwa nilai Z hitung (–2,561) <
dari -Ztabel (-1,96) dan nilai signfikansi < dari α = 0,05, sehingga
hipotesis yang berbunyi ada perbedaan keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individu ditinjau dari tingkat pendidikan
menurut persepsi klien diterima. Dengan kata lain ada perbedaan
keefektifan yang signifikan antara konselor dengan tingkat pendidikan
D3 bimbingan dan konseling dan S1 bimbingan dan konseling dalam
melaksanakan konseling individual menurut persepsi klien. Rata-rata
skor keefektifan konselor dengan tingkat pendidikan S1 bimbingan dan
konseling lebih besar daripada konselor dengan tingkat pendidikan D3
bimbingan dan konseling dalam melaksanakan konseling individual.
Dilihat dari sub variabel keterampilan berdasarkan uji U Mann
Whitney diperoleh nilai Zhitung sebesar –2,711 dengan probabilitas 0,007.
Tampak bahwa nilai Z hitung (-2,711) < dari -Z tabel (-1,96) dengan taraf
cxii
kesalahan 5% yaitu –1,96 dan nilai probabilitasnya < dari 0,05, yang
berarti signifkan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan keterampilan konselor dalam melaksanakan konseling
individual antara konselor dengan tingkat pendidikan D3 dan S1
bimbingan dna konseling. Dilihat dari rata-ratanya tampak bahwa
keterampilan konselor dengan tingkat pendidikan S1 lebih besar daripada
keterampilan konselor dengan tingkat pendidikan D3. Sedangkan dilihat
dari kepribadiannya, diperoleh nilai Z hitung sebesar –2,410 dengan
probabilitas 0,16 < 0,05, yang berarti signifikan. Hal ini menunjukkan
bahwa antara konselor dengan tingkat pendidikan S1 dan D3 ada
perbedaan kepribadiannya dalam melaksanakan konseling individual,
dimana rata-rata kepribadian konselor dengan tingkat pendidikan S1
lebih baik daripada konselor dengan tingkat pendidikan D3.
2). Hipotesis kedua
“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari pengalaman kerja konselor menurut persepsi
klien”
Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan Kruskal
Wallis diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 14.
Hasil analisis perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari masa kerja
menurut persepsi klien menggunakan Uji Kruskall Wallis
cxiii
Test Statistics a,b
6.554 2 .038
7.561 2 .023
7.532 2 .023
Keterampilan
Kepribadian
Keefektifan
Chi-Square df Asymp. Sig.
Kruskal Wallis Testa.
Grouping Variable: Masa Kerjab.
Berdasarkan hasil uji Kruskall Wallis tersebut diperoleh nilai chi
kuadrat untuk keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari masa kerja sebesar 7,532 dengan signifikansi
0,023 < taraf kesalahan 0,05, yang berarti hipotesis yang menyatakan ada
perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien
diterima.
Dilihat dari sub variabel keterampilan diperoleh nilai chi kuadrat
6,554 dengan probabilitas 0,038 < 0,05, yang berarti signifikan dan
menunjukkan bahwa ada perbedaan keterampilan konselor dalam
melaksanakan konseling individual ditinjau dari pengalaman kerja
konselor.
Hasil uji Kruskall Wallis untuk sub variabel kepribadian
diperoleh nilai chi kuadrat sebesar 7,561 dengan probabilitas 0,023 <
0,05, yang berarti ada perbedaan yang signifikan kepribadian dalam
melaksanakan konseling individual ditinjau dari pengalaman kerjanya.
Ada kecenderungan bahwa konselor dengan pengalaman kerja yang
lebih lama, mempunyai keterampilan dan kepribadian yang lebih baik
daripada konselor yang pengalaman kerjanya lebih rendah.
Untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan keefektifan konselor
dalam melaksanakan konseling individual antara konselor dengan masa
cxiv
kerja 0 tahun - 11 tahun, 12 tahun - 24 tahun dan > 24 tahun dapat dilihat
dari hasil uji U Mann Whitney pada tabel 15 berikut:
Tabel 15.
Hasil Uji U Mann Whitney
Perbedaan
antara
Sumber variasi Keterampilan Kepribadian Keefektifan
Nilai U 9 11 9
Z -2.448 -2.298 -2.446
Sign. 0.014 0.022 0.014
0-11 tahun
dengan
12-23 tahun Kriteria Berbeda Berbeda Berbeda
Nilai U 1 2 1
Z -2.552 -2.378 -2.548
Sign. 0.011 0.017 0.011
0-11 tahun
dengan
> 24 tahun Kriteria Berbeda Berbeda Berbeda
Nilai U 69 71 68.5
Z -0.732 -0.634 -0.756
Sign. 0.464 0.526 0.449
12-23 tahun
dengan
> 24 tahun Kriteria Tidak berbeda Tidak berbeda Tidak berbeda
Berdasarkan tabel hasil analisis tersebut tampak bahwa, antara
konselor dengan masa kerja 0 tahun - 11 tahun dan 12 tahun - 23 tahun,
serta antara konselor dengan masa kerja 0 tahun - 11 tahun dan > 24 tahun
ada perbedaan keefektifan dalam melaksanakan konseling individual
menurut persepsi klien, yang ditunjukkan dari nilai probabilitas < dari
0,05, namun antara konselor dengan masa kerja 12 tahun - 23 tahun dan >
24 tahun tidak ada perbedaan keefektifan dalam melaksanakan konseling
individual, ditunjukkan dari nilai probabilitas > dari 0,05.
3). Hipotesis ketiga
“Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari gender konselor menurut persepsi klien”
Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan U Mann
Whitney diperoleh hasil seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 16
cxv
Hasil analisis perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau gender menurut persepsi klien
menggunakan U Mann-Whitney
Test Statisticsb
87.000 87.000 87.000
387.000 387.000 387.000
-.849 -.849 -.849
.396 .396 .396
.414a .414a .414a
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Keterampilan Kepribadian Keefektifan
Not corrected for ties.a.
Grouping Variable: Jenis kelaminb.
Berdasarkan hasil uji U Mann-Whitney diperoleh nilai U = 87,
dengan Z hitung = –0,849 dan signifikansi 0,396. Pada taraf kesalahan 0,05
diperoleh nilai Ztabel sebesar 1,96. Tampak bahwa nilai Z hitung pada daerah
–1,96 sampai 1,96 dan nilai signfikansi > dari α = 0,05, sehingga hipotesis
yang berbunyi ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individu ditinjau dari gender menurut persepsi klien ditolak.
Dengan kata lain tidak ada perbedaan keefektifan yang signifikan antara
konselor wanita dan pria dalam melaksanakan konseling individual
menurut persepsi klien. Hasil uji U-Mann Whitney untuk sub variabel
keterampilan dan kepribadian diperoleh Z hitung = -0,849 dengan
probabilitas 0,396 > 0,05, yang berarti tidak ada perbedaan keterampilan
dan kepribadian konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data untuk menguji hipotesis yang telah
dirumuskan diatas ternyata dari ketiga hipotesis yang diajukan terdapat dua hipotesis
cxvi
yang teruji kebenarannya/diterima secara signifikan, dan satu hipotesis yang tidak
teruji kebenarannya/ditolak secara signifikan. Dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa secara empirik, bahwa:
1. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan menurut persepsi klien.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan U Mann Whitney telah terbukti
bahwa Z hitung (-2,561) < -Ztabel (-1,96). Dengan demikian hipotesis kerja diterima
yang berarti ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan konselor
menurut persepsi klien.
Sehubungan dengan hal tersebut tidak ada kesenjangan antara teori dengan
hasil penelitian karena telah terbukti ada perbedaan yang signifikan keefektifan
konselor dalam melaksanakan layanan konseling individual ditinjau dari tingkat
pendidikan konselor menurut persepsi klien. Hal ini sejalan dengan pendapat
Winkel, 1981 yang menyatakan bahwa konselor sekolah (School counselor), ialah
tenaga profesional, pria atau wanita yang mendapat pendidikan khusus
Bimbingan dan Konseling, secara ideal berijazah sarjana dari FIP-IKIP,
Jurusan/Program Studi Bimbingan dan Konseling atau Jurusan Psikologi
Pendidikan dan Bimbingan, serta jurusan-jurusan/Program Studi yang sejenis.
Para tamatan tersebut setelah disekolah adalah menjadi tenaga khusus. Tenaga ini
dapat disebut “Full-time guidance counselor”, karena seluruh waktu dan
perhatiannya dicurahkan pada pelayanan bimbingan dan karena dialah menjadi
penyuluh utama disekolah (dalam Sukardi, 1984: 19).
cxvii
Secara profesional seorang konselor sekolah hendaknya telah mencapai
tingkat pendidikan sarjana bimbingan. Dalam masa pendidikannya pada institusi
bersangkutan seorang konselor harus menempuh mata kuliah atau bidang studi
tentang prinsip-prinsip dan praktik bimbingan. Dan bidang yang harus dikuasai
meliputi antara lain: proses konseling, pemahaman individu, informasi dalam
bidang pendidikan, pekerjaan, jabatan, atau karir, administrasi dan kaitannya
dengan program bimbingan, dan prosedur penelitian dan penilaian bimbingan. Di
samping bidang tersebut diatas, perlu juga dikuasai bidang-bidang lainnya seperti:
psikologi, ekonomi dan sosiologi (Wibowo, 1986: 95).
Berdasarkan perhitungan besarnya rata-rata keefektifan
konselor dalam melaksanakan konseling individual dari konselor
dengan tingkat pendidikan D3 bimbingan dan konseling sebesar
2,66 atau 67% dengan ketegori cukup efektif, sedangkan
besarnya rata-rata keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual dari konselor dengan tingkat pendidikan S1
bimbingan dan konseling sebesar 3,11 atau 78% dengan ketegori
efektif, yang berarti bahwa selama ini siswa-siswi di SMA Negeri
se-Kota Semarang mempunyai persepsi yang positif terhadap
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan konselor.
Secara nyata keefektifan konselor dengan tingkat
pendidikan S1 BK dalam melaksanakan konseling individual
cxviii
berada pada kategori efektif, sedangkan secara nyata keefektifan
konselor dengan tingkat pendidikan D3 BK dalam melaksanakan
konseling individual berada pada kategori cukup efektif.
Perbedaan ini juga dapat dilihat dari rata-rata kualitas
keterampilan dan kepribadian konselor, di mana konselor dengan
tingkat pendidikan S1 BK lebih baik daripada konselor dengan
tingkat pendidikan D3 BK. Hal ini disebabkan karena adanya
perbedaan karakteristik antara tingkat pendidikan D3 BK dan S1
BK yang berpengaruh terhadap keterampilan dan
kepribadiannya.
Tabel 17.
Perbedaan Karakteritik Tingkat Pendidikan D3 BK dan S1 BK Karakteristik D3 BK S1 BK
Lama pendidikan 3 tahun (minimal) 4 tahun (minimal)
Jumlah SKS yang
harus ditempuh
105 152
Syarat kelulusan Menyusun TA Menyusun skripsi
Tujuan Menyelenggarakan
pendidikan akademik yang
diarahkan terutama pada
pengusaan ilmu pengetahuan
Menyelenggarakan
pendidikan akademik yang
diarahkan terutama pada
pengusaan ilmu pengetahuan
yang lebih mendalam
Lama pendidikan D3 BK ditempuh minimal 3 tahun
dengan 105 SKS yang lebih rendah daripada S1 BK yang harus
menempuh minimal 4 tahun dengan 152 SKS. Adanya perbedaan
ini menyebabkan pengetahuan dan keterampilan konselor dengan
lulusan S1 BK secara nyata lebih tinggi daripada D3 BK,
cxix
sehingga konselor dengan tingkat pendidikan S1 BK mampu
melaksanakan konseling individual lebih baik daripada konselor
dengan tingkat pendidikan D3 BK. Berdasarkan hasil penelitian
ternyata konselor dengan tingkat pendidikan D3 BK kurang
efektif dalam memahami sifat-sifat klien, mendengarkan klien,
menggunakan teknik pengubahan tingkah laku dan
menggunakan berbagai pendekatan konseling.
Persepsi adalah suatu pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan
yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi serta menafsirkan pesan
(Rakhmad, 1998: 51). Dalam persepsi ini klien dirangsang oleh suatu masukan
atau stimulus dari konselor, sehingga klien akan memberikan respon dan
bersikap. Klien yang mendapat stimulus tentang konseling individual untuk
meyelesaikan permasalahan yang diberikan dari konselor dengan tingkat
pendidikan D3 bimbingan dan konseling dan S1 bimbingan dan konseling, akan
merespon dengan mengambil sikap yang selanjutnya menanggapi stimulus yang
ada.
Di samping itu persepsi merupakan dinamika yang terjadi
dalam diri individu di saat ia menerima stimulus dari lingkungan
dengan melibatkan panca indra dan aspek kpribadian yang lain.
Adapun persepsi itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Persepsi dipengaruhi oleh: a) Perhatian, biasanya tidak
menangkap seluruh rangsangan yang ada disekitar kita secara
cxx
sekaligus, tetapi hanya memfokuskan pada satu atau dua objek
saja. b) Set, adalah harapan seseorang akan rangsang yang akan
timbul, sehingga individu mempunyai harapan pada setiap apa
yang ia lakukan. c) Kebutuhan, kebutuhan sesaat maupun
menetap pada diri individu akan mempengaruhi persepsi orang
tersebut. Dengan adanya kebutuhan yang berbeda akan
menyebabkan persepsi bagi tiap individu. d) Sistem Nilai, sistem
nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat juga berpengaruh
pula terhadap persepsi. e) Ciri Kepribadian, pola kepribadian
atau karakter yang dimiliki oleh individu akan menghasilkan
baik/buruk persepsi seseorang terhadap suatu objek (Wirawan,
1982: 49).
Persepsi yang baik dari klien tentang konseling individual
yang sudah pernah dijalaninya dari konselor disekolahnya dalam
rangka mengentaskan permasalahan baik pribadi, sosial, belajar,
karier, dan lain-lain, sehingga gejala-gejala yang timbul dari
siswa yang sedang mengalami permasalahan dapat segera
memanfaatkan program layanan yang ada yaitu konseling
individual.
Selain itu dengan adanya persepsi yang baik dari klien tentang konseling
individual yang sudah dijalaninya, klien akan bersikap proaktif terhadap
cxxi
berjalannya program layanan bimbingan dan konseling pada umumnya dan
layanan konseling individual pada khususnya, sehingga wawasan klien tentang
bagaimana keluar dari permasalahan yang sedang dialaminya akan bertambah,
yang nantinya akan bermuara pada tercapainya aktualisasi pada dirinya, dengan
terentaskannya permasalahan yang dihadapi, tergalinya potensinya yang dimiliki
dan berkembangnya kemampuan yang dimilikinya.
Akhirnya berdasarkan uraian di atas dinyatakan bahwa ada perbedaan
yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari tingkat pendidikan konselor menurut persepsi klien di SMA Negeri
se-Kota Semarang tahun ajaran 2004/2005.
2. Ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien.
Dari hasil analisis data dengan menggunakan Kruskall Wallis diperoleh
chi kuadrat 7,532 dengan probabilitas 0,023 < 0,05, dengan demikian hipotesis
kerja diterima yang berarti ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor
dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari pengalam kerja menurut
persepsi klien.
Dengan demikian tidak ada kesenjangan teori dengan hasil penelitian,
karena telah terbukti ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari masa kerja konselor menurut persepsi klien. Hal
ini sejalan dengan pendapat Middlebrook yang menyatakan bahwa tidak adanya
pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis cenderung akan
membentuk suatu sikap negatif terhadap objek tersebut (dalam Hariyadi, 2000:
10).
cxxii
Sedangkan menurut Baron (1988) sikap yang negatif akan melahirkan
perilaku atau unjuk kerja yang negatif, karena perilaku pada umumnya
merupakan manifestasi dari sikap seseorang. Perilaku yang negatif ini akan
melahirkan ketidakefektifan konselor dalam melaksanakan tugas-tugasnya (dalam
Hariyadi, 2000: 10).
Fazio dan Zana (1978) mengemukakan bahwa sikap yang terbentuk
melalui pengalaman langsung mengenai suatu objek hasilnya lebih kuat dan lebih
melekat (dalam Hariyadi, 2000: 10).
Wu dan Schaffer (1987) juga mengemukakan bahwa sikap yang terbentuk
melalui pengalaman langsung ternyata lebih tahan terhadap perubahan daripada
sikap yang terbentuk melalui pengalaman tidak langsung (dalam Hariyadi, 2000:
10).
Berdasarkan perhitungan besarnya rata-rata keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual dari konselor yang mempunyai masa kerja 0
tahun - 11 tahun sebesar 2,62 atau 66% dengan ketegori cukup efektif, konselor
dengan masa kerja 12 tahun - 23 tahun sebesar 3,07 atau 77% dengan kategori
efektif dan konselor dengan masa kerja > 24 tahun sebesar 3,19 atau 80% dengan
kategori efektif. Hal ini berarti bahwa siswa dan siswi di SMA Negeri se-Kota
Semarang mempunyai persepsi yang positif terhadap keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual ditinjau dari masa kerja konselor.
Secara nyata keefektifan konselor dengan masa kerja antara 0 tahun - 11
tahun lebih rendah daripada keefektifan konselor dengan masa kerja antara 12
tahun - 23 tahun dan > 24 tahun dalam melaksanakan konseling individual. Hal
ini juga dapat dilihat dari rata-rata kualitas keterampilan dan kepribadian konselor
cxxiii
dengan masa kerja > 24 tahun dan konselor dengan masa kerja 11 tahun - 23
tahun lebih baik daripada konselor dengan masa kerja 0 tahun - 11 tahun.
Perbedaan ini disebabkan karena semakin tinggi masa kerja konselor, semakin
banyak pula jumlah dan jenis-jenis permasalahan yang sudah ditangani, sehingga
konselor lebih banyak melakukan evaluasi untuk peningkatan kualitas
pelaksanaan konseling individual.
Akhirnya berdasarkan uraian di atas dinyatakan bahwa ada perbedaan
yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota
Semarang tahun ajaran 2004/2005.
3. Tidak ada perbedaan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari gender konselor menurut persepsi klien.
Dari hasil penelitian dengan menggunkan U Mann Whitney telah terbukti
bahwa Z hitung (-0,849) berada di antara -Ztabel (-1,96) dan Z tabel (1,96). Dengan
demikian hipotesis kerja yangh berbunyi ada perbedaan keefektifan konselor
dalam melaksanakaan konseling individual ditinjau dari gender konselor menurut
persepsi klien ditolak yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan
keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual ditinjau dari
gender menurut persepsi klien.
Sehubungan dengan hal tersebut ada kesenjangan antara teori dengan hasil
penelitian karena telah terbukti tidak ada perbedaan yang signifikan keefektifan
konselor dalam melaksanakan layanan konseling individual ditinjau dari gender
menurut persepsi klien, yaitu teori yang menyatakan bahwa wanita cenderung
lebih tertarik pada hal praktis dan teoritis, wanita lebih dekat dengan masalah-
cxxiv
masalah kehidupan yang praktis konkrit, wanita pada umumnya penuh kelincahan
hidup. Wanita mempunyai sifat heterosentris dan lebih sosial terutama pada
penderitaan orang lain, wanita bersifat feminim, lembut, keibuan, perasa,
mementingkan orang lain dan ikhlas dalam memberikan pertolongan. Wanita juga
lebih peka terhadap nilai estetis, lebih akurat dan mendetail (Kartono,1992: 177),
sehingga dalam melaksanakan konseling individual konselor wanita akan
cenderung lebih efektif dibandingkan dengan konselor pria.
Hasil penelitian ini ternyata lebih sejalan dengan teori
tentang perbedaan seks dan gender. Seks adalah pembagian jenis
kelamin yang telah ditentukan oleh Tuhan (disebut sebagai
kodrat Tuhan), maka fungsinya tidak bisa diubah. Misalnya laki-
laki memiliki sperma, penis dan jakun. Perempuan hamil,
memiliki alat kelamin reproduksi seperti rahim, vagina, dan
indung telur. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu, dan akan
berlaku sampai kapan saja, dimana saja, suku bangsa apa saja,
dan warna kulit apa saja. Sedangkan gender adalah pembagian
peran serta tanggung jawab baik laki-laki maupun perempuan
yang ditetapkan oleh masyarakat dan budaya. Misalnya
keyakinan bahwa laki-laki kuat, dan rasional, sedangkan
perempuan lemah dan emosional, bukanlah ketentuan kodrat
Tuhan, melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang.
Karena di dalam kenyataannya ada perempuan yang kasar, kuat
cxxv
dan rasional, sementara banyak sekali laki-laki yang lembut,
lemah dan emosional (Imran dkk, 2000: 13). Dengan demikian
perbedaan seks dan gender bisa dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 18
Perbedaan Seks dan Gender
Seks Gender
Tidak bisa berubah Bisa berubah
Tidak bisa dipertukarkan Bisa dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa Tergantung musim
Berlaku dimana saja Bergantung budaya
Berlaku bagi kelas dan warna
kulit apa saja.
Berbeda antara satu kelas
dengan kelas lain
Ditentukan oleh Tuhan atau
kodrat.
Bukan kodrat Tuhan, tapi
buatan masyarakat.
(Imran, 2000:
19)
Selain itu dijelaskan pula bahwa konsep gender adalah sifat
yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk
oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir
beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan
perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu
antara lain: kalau perempuan dikenal sebagai makhluk yang
lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sedangkan laki-
laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat
diatas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu
(Handayani dan Sugiarti, 2002: 5-6).
cxxvi
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat tokoh
aliran feminisme liberial yang mempunyai pemikiran bahwa
semua manusia diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya
tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya. Laki-laki dan
perempuan sama-sama mempunyai hal-hal khusus. Secara
ontologis keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya
juga menjadi hak-hak perempuan. Laki-laki dan perempuan
hanya dibedakan pada reproduksinya saja, karena walau
bagaimanapun juga fungsi organ reproduksi bagi perempuan
membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun demikian organ reporduksi bukan merupakan
penghalang terhadap sikap, perilaku maupun peranannya (dalam
Umar, 1999: 64). Berkaitan dengan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa meskipun organ reproduksi berbeda tidak
akan mempengaruhi seseorang yaitu konselor untuk mempunyai
sikap, perilaku, peran maupun harapan tertentu.
Berdasarkan perhitungan besarnya rata-rata keefektifan konselor dalam
melaksanakan konseling individual dari konselor dengan jenis kelamin wanita
sebesar 3,01 atau 75% dengan ketegori efektif, sedangkan konselor dengan jenis
kelamin pria sebesar 3,14 atau 79% dengan kategori efektif. Hal ini berarti bahwa
siswa dan siswi di SMA Negeri se-Kota Semarang mempunyai persepsi yang
cxxvii
positif terhadap keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling individual
ditinjau dari gender konselor.
Dengan adanya persepsi yang baik pada diri klien tentang pelaksanaan
konseling individual yang sudah dijalaninya dari konselor dengan jenis kelamin
baik wanita maupun pria, maka konselor tersebut dikatakan efektif dalam
melaksanakan konseling individual.
Akhirnya berdasarkan uraian di atas dinyatakan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual ditinjau dari gender menurut persepsi klien di SMA Negeri se-Kota
Semarang tahun ajaran 2004/2005.
cxxviii
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penelitian yang berjudul
Perbedaan Keefektifan Konselor dalam Melaksanakan Konseling Individual ditinjau dari
Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja dan Gender Konselor menurut Persepsi Klien di
SMA Negeri se-Kota Semarang tahun ajaran 2004/2005 dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Menurut persepsi klien, konselor dengan tingkat pendidikan S1 BK dan masa
kerja 12-23 tahun serta lebih dari 24 tahun lebih efektif daripada konselor dengan
tingkat pendidikan D3 BK dan masa kerja 0-11 tahun dalam melaksanakan
konseling individual. Menurut persepsi klien antara konselor pria dan wanita
sama-sama efektif dalam melaksanakan konseling individual.
2. Ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari tingkat pendidikan menurut persepsi klien.
3. Ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari pengalaman kerja menurut persepsi klien.
4. Tidak ada perbedaan yang signifikan keefektifan konselor dalam melaksanakan
konseling individual ditinjau dari gender konselor menurut persepsi klien.
B. Saran
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini maka dapat diajukan saran-saran yang
bisa diterapkan untuk masukan kepada konselor sekolah di SMA Negeri se-Kota
Semarang, Ilmu Bimbingan dan Konseling dan peneliti lain sebagai berikut:
cxxix
1. Bagi konselor di SMA Negeri se-Kota Semarang
Untuk meningkatkan profesionalisasi konselor di sekolah, khususnya konselor
dengan tingkat pendidikan D3 BK dapat dilakukan melalui kegiatan ilmiah dalam
bidang bimbingan dan konseling seperti seminar, loka karya, penataran, work
shop, diskusi-diskusi melalui MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan dan
Konseling), maupun dengan melanjutkan studi ke jenjang S1 bimbingan dan
konseling.
Pengetahuan, keterampilan dan kualitas kepribadian akan diperoleh melalui
pengalaman kerja, maka hendaknya konselor di sekolah dapat melaksanakan
kegiatan bimbingan dan konseling, khususnya konseling individual dengan
sebaik-baiknya.
2. Peneliti Lain
Perlu adanya penelitian lanjutan dengan menambah variabel yang diteliti
seperti motivasi kerja, sarana-prasarana, kerja sama antar konselor dan variabel
yang lainnya, sehingga diperoleh jawaban yang lebih jelas tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi keefektifan konselor dalam melaksanakan konseling
individual.
cxxx
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar Syaifudin. 2000. Sikap Manusia dan teori pengukurannya. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar
Depdikbud, 1994. Pedoman Pembimbing dan Penyuluhan Siswa di Sekolah Dasar.
Jakarta: Dirjen Dikdasmen
Gunarsa, D Singgih, 1992. Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia
Hadi Sutrisno. 1989. Metode Research. Jojakarta: Fakultas Psikologi UGM
Hamali Oemar. 1991. Pendidikan Guru. Bandung: Mandar Maju
Handayani, Tri Sakti dan Sugiarti, 2002. Konsep dan Penelitian Gender. Malang:
UMM Press
Hariyadi Sugeng. 1999. Laporan Penelitian tentang Persepsi Siswa SMA terhadap
tingkat keefektifan konselor dalam memberikan layanan Konseling Individual (Penelitian di SMA Negeri se-Kodia Semarang)
______________ dkk. 1995. Perkembangan Peserta Didik. Semarang: IKIP Semarang
Press
Hendrarno, Eddy dkk. 1987. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Semarang: Bina
Putra
__________________, 2003. Bimbingan dan Konseling (edisi revisi). Semarang:
Swadaya Manunggal
Imran, Irawati dkk. 2000 Seksualitas Remaja. Jakarta: PKBI Pusat
Kartono Kartini. 1992. Psikologi Wanita. Bandung: Mandar Maju
Kongseng A. 1996. Konseling Pribadi. Jakarta: Obor
Mar’at, 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalia
Indonesia
Mappiare, Andi AT. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: CV
Rajawali
Nasir Muhammad. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Prayitno, 1985. Penyuluhan. Jakarta: Ghalia Indonesia
cxxxi
Prayito dan Amti Erman. 1994. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Depdikbud
Poewardaminto, 1988. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Rakhmad Jalaludin. 1989. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Santoso Singgih. 2001. Buku Latihan SPSS Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo
Sudjana dkk, 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Slameto, 1990. Perspektif Bimbingan Konseling dan Penerapannya diberbagai
institusi. Semarang: Satya Wacana
Sukardi, Ketut Dewa. 1984. Pengantar Teori Konseling, Jakarta: Ghalia Indonesia
________________, 1985. Ilmu Psikologi. Jakarta: Ghalia Indonesia
Thamtawy. 1993. Kamus Bimbingan dan Belajar. Jakarta: IKIP Jakarta
Umar Nasaruddin 1999. Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina
UU RI No. 2 tahun 1989. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika
Walgito Bimo. 1989. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Jogjakarta: Fakultas
Psikologi UGM
Wibowo, Mungin Eddy. 1986. Konseling di Sekolah. FIP IKIP Semarang
Winkel. 199. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta:
PT Gramedia Wediasmara Indonesia
Yeo Anthony. 1994. Konseling Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Jakarta:
Gunung Mulia
cxxxii
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5
Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10
Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15
Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20
Lampiran 21 Lampiran 22 Lampiran 23 Lampiran 24 Lampiran 24
Lampiran 25 Lampiran 26 Lampiran 27 Lampiran 28 Lampiran 29
Lampiran 30 Lampiran 31 Lampiran 32 Lampiran 33 Lampiran 34
ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii xiii xiv xv xvi xvii
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111
112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124
125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137
138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150
151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163
164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176
177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189
190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202
203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215
216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228
229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241
242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254
255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267
cxxxiii
Identitas Bp/Ibu Guru Pembimbing
1. Nama : ………………………………………………..
2. Jenis Kelamin : (Pilih dan lingkari salah satu)
a. Pria
b. Wanita
3. Pendidikan : (Pilih dan lingkari salah satu)
a. D3 Bimbingan dan Konseling
b. S1 Bimbingan dan Konseling
2. Masa Kerja : (Pilih dan lingkari salah satu)
a. 0 s/d 11 tahun
b. 12 s/d 23 tahun
c. > 24 tahun
3. Asal Sekolah : SMA N…………………………..…Semarang
4. Tugas lain selain-
sebagai Guru Pembimbing : a..….…………………………….…………….
b…...…………………………………………..
c……………………………………………….
5. Identitas Klien yang- : (Lihat tabel dibawah ini)
pernah Konsultasi
dengan Bp/Ibu Guru
Pembimbing
cxxxiv
S K A L A P S I K O L O G I
PERBEDAAN KEEFEKTIFAN KONSELOR DALAM MELAKSANAKAN KONSELING
INDIVIDUAL DITINJAU DARI TINGKAT PENDIDIKAN, PENGALAMAN KERJA DAN
GENDER KONSELOR MENURUT
PERSEPSI KLIEN DI SMA NEGERI SE-KOTA SEMARANG
TAHUN AJARAN 2004/2005
cxxxv
IDENTITAS SISWA
A. Nama : ………………………………………………..
B. Kelas : ………………………………………………..
C. Asal Sekolah : SMA N……………………………..Semarang D. Nama Guru Pembimbing : ………………………………………………..
PETUNJUK MENGERJAKAN
Di bawah ini terdapat pernyataan-pernyataan yang menggambarkan
keefektifan konselor (guru pembimbing) dalam melaksanakan
konseling individual. Anda dimohon untuk membaca dengan cermat
supaya dapat menentukan pilihan jawaban dengan tepat dengan
cara memberikan tanda silang (X) pada salah satu kolom yang telah
disediakan pada tiap-tiap nomor secara obyektif dan sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya sewaktu Anda mengikuti proses konseling
individual.
Pilihan jawaban Anda berupa:
SS : Apabila pernyataan dibawah Sangat Sesuai
S : Apabila pernyataan dibawah Sesuai
TS : Apabila pernyataan dibawah Tidak sesuai
STS : Apabila pernyataan dibawah Sangat Tidak Sesuai
Pernyataan-pernyataan dibawah ini bukan tes, jadi tidak berpengaruh
terhadap nilai raport Anda. Oleh karena itu Anda dapat
menjawabnya dengan bebas sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Jawaban Anda akan kami jamin kerahasiaannya.
Demikian harapan kami, semoga jawaban-jawaban Anda akan menjadi
sesuatu yang sangat berguna bagi kami, bagi Anda, dan bagi sekolah
Anda pada umumnya.
Kerjakan sesuai dengan petunjuk,
cxxxvi
selamat bekerja dan terima kasih atas partisipasinya !
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Berdasarkan pengalaman saya selama proses
konseling, guru pembimbing bisa mengetahui gerak-
gerik/tingkah laku saya.
2. Guru pembimbing sok tahu dalam mengartikan tingkah
laku dan permasalahan saya.
3. Perlakuan guru pembimbing kepada saya sesuai
dengan karakter saya.
4. Guru pembimbing bisa menilai dengan tepat bahwa
permasalahan saya termasuk dalam kategori sedang
(tidak berat), sehingga bisa diselesaikan dengan baik.
5. Selama proses konseling, hubungan saya dengan guru
pembimbing sangat dekat dan akrab sehingga saya
merasa nyaman.
6. Selama proses konseling, guru pembimbing menjaga
jarak dengan saya.
7. Tempat/Ruang konseling sangat kondusif sehingga
membuat saya merasa nyaman selama proses
konseling.
8. Ketika proses konseling guru pembimbing tidak fokus
krn sering berbicara dengan orang lain.
9. Guru pembimbing dan saya membuat kesepakatan
pertemuan dan waktu pertemuan(sekitar 45 menit
dalam sekali tatap muka) yang akan di tempuh selama
proses konseling.
No. Pernyataan SS S TS STS
10. Ketika proses konseling guru pembimbing juga tidak
fokus krn mengerjakan pekerjaan lain.
11. Guru pembimbing selalu
mendorong/memotivasi saya untuk
menceritakan masalah saya secara
bebas dan terbuka.
12. Ruang/lingkungan konseling acak-acakan dan rame
sehingga selama proses konseling, saya tidak bisa
cxxxvii
konsentrasi.
13. Guru pembimbing membantu saya untuk menentukan
orang-orang yang terlibat dalam masalah saya.
14. Pertemuan konseling/sekali tatap muka sangat lama (>
1 jam) sehingga saya jadi bosan dan jemu.
15. Guru pembimbing dan saya menyusun rencana
alternatif-alternatif pemecahan masalah yang sedang
saya hadapi
16. Setelah mengikuti proses konseling saya merasakan
permasalahan saya jadi semakin ruwet.
17. Guru pembimbing dan saya juga menyusun beberapa
konsekwensi/resiko yang akan dihadapi dari beberapa
alternatif bagi pemecahan masalah saya.
18. Setelah mengikuti proses konseling saya menjadi
semakin bingung dan pusing menghadapi
permasalahan saya.
No. Pernyataan SS S TS STS
19. Guru pembimbing memotivasi saya untuk
mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan
kemampuan saya.
20. Langkah-langkah dalam proses konseling (dari awal
hingga akhir) yang ditempuh guru pembimbing asal-
asalan/tidak sistematis.
21. Saya tidak puas dengan proses konseling yang sudah
diberikan oleh guru pembimbing, karena permasalahan
saya tidak terselesaikan dengan baik.
22. Guru pembimbing tidak membantu saya, ketika saya
akan memilih dan melaksanakan rencana alternatif-
alternatif pemecahan permasalahan yang sudah saya
sepakati.
23. Selama proses konseling suara guru pembimbing
sangat teratur sehingga enak didengar dan mudah
dipahami.
24. Posisi badan/bahasa tubuh guru pembimbing
seenaknya sendiri sehingga saya tidak kerasan.
25. Guru pembimbing mengatur jarak duduk dengan saya,
sehingga selama proses konseling saya merasa nyaman.
cxxxviii
26. Guru pembimbing tidak memperhatikan saya, dimana
guru pembimbing sering melihat kesana-kemari (tidak
mengadakan kontak mata dengan saya).
27. Guru pembimbing melontarkan beberapa pertanyaan
untuk merangsang berfikir saya.
No. Pernyataan SS S TS STS
28. Guru pembimbing tidak bisa membantu menguraikan
masalah saya dengan memberikan contoh perilaku-
perilaku khusus.
29. Guru pembimbing bisa mengulang suatu kata dari saya
dengan tepat, menggunakan bahasanya sendiri secara
sederhana.
30. Guru pembimbing membantu saya memahami
perasaan-perasaan pada diri saya sendiri.
31. Guru pembimbing membantu saya untuk menjelaskan
perasaan-perasaan yang ada pada diri saya.
32. Guru pembimbing membantu saya mempertegas
kejelasan antara kata dan tingkah laku saya yang tidak
sesuai.
33. Guru pembimbing meringkas
permasalahan yang sudah saya
ceritakan dengan tepat, menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
34. Guru pembimbing menafsirkan permasalahan yang
sedang saya alami dengan tepat, menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
35. Guru pembimbing menerima saya dengan tangan
terbuka dan kapanpun saya mau.
36. Disaat saya sedang kalut karena sedang
dilanda masalah, guru pembimbing tidak
bisa memberikan ketenangan sehingga
beban saya jadi semakin berat.
No. Pernyataan SS S TS STS
cxxxix
37. Guru pembimbing tidak bisa memimpin/memandu
proses konseling dengan baik, sehingga membuat saya
malas selama proses konseling.
38. Selama proses konseling, guru pembimbing
mendengarkan pembicaraan saya dengan baik,
sehingga tahu permasalahan yang sedang saya alami.
39. Selain itu guru pembimbing juga lebih
banyak berbicara dari pada memberikan
rangsangan supaya saya bisa bercerita
dengan lengkap.
40. Selama proses konseling, guru pembimbing
mengarahkan saya dengan baik, sehingga proses
konseling berjalan dengan lancar.
41. Guru pembimbing memberikan
informasi yang sesuai dengan
pemecahan bagi permasalahan yang
sedang saya alami.
42. Selama proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pemikiran-pemikiran saya
yang sebenarnya.
43. Dalam proses konseling, guru pembimbing
banyak memperhatikan data, informasi
dan keterangan yang tidak penting dari
saya.
44. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada perasaan-perasaan saya
yang sebenarnya.
45. Guru pembimbing mengabaikan pemikiran, perasaan,
cita-cita dan pengalamannya saya.
No. Pernyataan SS S TS STS
46. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada cita-cita saya yang
sesungguhnya.
cxl
47. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pengalaman-pengalaman
saya yang sesungguhnya.
48. Guru pembimbing menyimpulkan permasalahan yang
sudah saya ceritakan dengan benar menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
49. Guru pembimbing memberikan dorongan/motivasi
kepada saya kearah terpecahkannya masalah saya.
50. Guru pembimbing mengerti dan mengetahui diri saya
dengan baik dan benar.
51. Guru pembimbing menyerahkan sepenuhnya kepada
saya untuk mengambil keputusan/pemecahan bagi
masalah saya.
52. Guru pembimbing memaksakan saya untuk mengikuti
kemauan/pilihannya.
53. Guru pembimbing menggunakan berbagai macam
teknik pengubahan tingkah laku.
54. Guru pembimbing kurang terampil/kurang menguasai
ketika menggunakan teknik pengubahan tingkah laku.
55. Teknik pengubahan tingkah laku yang diberikan oleh
guru pembimbing pada saya sangat cocok.
56. Guru pembimbing hanya menggunakan
satu macam saja pendekatan konseling.
No. Pernyataan SS S TS STS
57. Guru pembimbing sangat terampil (menguasai)
menggunakan beberapa pendekatan konseling.
58. Pendekatan konseling yang diberikan oleh guru
pembimbing terhadap permasalahan yang sedang saya
alami tidak cocok.
59. Guru pembimbing menunjukkan sikap
fleksibel (tidak kaku) dengan teknik
pengubahan tingkah laku yang dipilihnya.
60. Guru pembimbing menunjukkan sikap
yang kaku (tidak fleksibel) dengan
pendekatan konseling yang dipilihnya.
61. Guru pembimbing mempunyai sikap mawas diri/hati-
cxli
hati dalam membantu penyelesaian masalah saya.
62. Menurut saya guru pembimbing sering
berbohong/ingkar janji.
63. Menurut saya guru pembimbing mempunyai sadar diri
(self control) yang bagus.
64. Saya juga merasa tidak nyaman karena perilaku guru
pembimbing tidak wajar/dibuat-buat.
65. Guru pembimbing mempunyai sikap optimis dalam
membantu pemecahan masalah saya, dimana saya bisa
mengalami perubahan dalam diri saya kearah yang
lebih baik.
66. Selama proses konseling saya merasa tidak nyaman
karena guru pembimbing tidak menyenangkan.
No. Pernyataan SS S TS STS
67. Guru pembimbing mempunyai tanggung jawab yang
besar dengan menyelesaikan masalah saya sebaik-
baiknya.
68. Saya merasakan selama proses konseling, guru
pembimbing memberikan pengaruh yang negatif
kepada saya.
69. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan budaya saya.
70. Guru pembimbing sangat tertutup/tidak mau terbuka
terhadap saya.
71. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan agama saya.
72. Ketika proses konseling, guru pembimbing canggung
dengan adanya perbedaan budaya antara saya dengan
guru pembimbing.
73. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan jenis kelamin antara saya dan guru
pembimbing.
74. Ketika proses konseling, guru pembimbing canggung
dengan adanya perbedaan agama antara saya dengan
guru pembimbing.
75. Ketika proses konseling, guru pembimbing
canggung dengan adanya perbedaan jenis
cxlii
kelamin antara saya dengan guru
pembimbing.
76. Guru pembimbing menerima saya apa adanya
(objektif).
77. Guru pembimbing pilih-pilih dalam membantu
pemecahan permasalahan siswa.
No. Pernyataan SS S TS STS
78. Selama proses konseling, kerjasama antara guru
pembimbing dengan saya sangat bagus (saling
membantu).
79. Guru pembimbing menceritakan
kehidupan saya kepada orang lain
tanpa seijin saya.
80. Guru pembimbing menampakkan usaha yang sungguh-
sungguh untuk meyakinkan saya bahwa segala sesuatu
yang dibicarakan akan dirahasiakan dan hanya milik
berdua saja.
81. Guru pembimbing menceritakan masalah saya pada
orang lain tanpa seijin saya.
82. Dalam kenyataannya, guru pembimbing benar-benar
dapat menjaga kerahasiaan masalah saya (tidak ada
satupun orang yang mengetahuinya selain guru
pembimbing).
83. Selama proses konseling, guru pembimbing tidak
tertib.
84. Guru pembimbing menjelaskan kepada saya, bahwa
walaupun ia siap membantu memecahkan masalah
saya, ia juga memiliki keterbatasan-keterbatasan
tertentu.
85. Guru pembimbing sangat yakin terhadap keberhasilan
alternatif bagi pemecahan masalah saya.
86. Guru pembimbing juga menawarkan bantuan kepada
ahli yang lainnya, jika seandainya ia tidak dapat
membantu masalah saya.
cxliii
No. Pernyataan SS S TS STS
87. Dalam membantu memecahkan masalah saya, guru
pembimbing menampakkan adanya sikap memaksakan
diri dengan segala daya upaya sekalipun sudah tidak
mampu lagi.
88. Menurut saya guru pembimbing sangat menaruh
perhatian pada permasalahan yang sedang saya alami.
89. Dalam membantu pemecahan masalah saya, guru
pembimbing terlihat sangat terpaksa.
90. Saya merasa nyaman ketika mengikuti konseling
karena guru pembimbing sangat ramah.
91. Menurut saya konselor tidak bersungguh-sungguh
dalam membantu pemecahan masalah saya.
92. Menurut saya guru pembimbing tulus memberikan
konseling kepada saya.
93. Selama proses konseling, rasa ingin tahu guru
pembimbing terhadap permasalahan saya sangat kecil.
94. Guru pembimbing sangat ulet ketika membantu
pemecahan bagi masalah saya.
95. Saya merasakan kalau guru pembimbing kurang
berminat membantu pemecahan masalah saya.
96. Guru pembimbing juga sangat teliti dalam membantu
pemecahan saya.
97. Selama mengikuti konseling saya merasa nyaman
karena guru pembimbing kalem dan tenang.
No. Pernyataan SS S TS STS
98. Ketika proses konseling, guru pembimbing sering
marah-marah.
99. Selama proses konseling, guru pembimbing
menunjukkan sikapnya yang rendah hati.
100. Saya merasa jemu konselor tidak bisa membuat proses
konseling lebih kreatif/tidak monoton.
101. Guru pembimbing sangat sabar selama membantu saya
menyelesaikan masalah.
102. Penampilan guru pembimbing yang kurang rapi dan
bersih membuat saya merasa tidak nyaman ketika
mengikuti konseling.
cxliv
103. Saya sangat senang mengikuti konseling karena guru
pembimbing humoris sehingga suasananya tidak
menegangkan.
104. Guru pembimbing tidak nyambung dengan
permasalahan yang saya ceritakan.
105. Dalam membantu pemecahan masalah saya, guru
pembimbing mempunyai kecerdasan yang baik,
sehingga proses konseling berjalan dengan lancar.
106. Menurut pandangan saya, guru pembimbing tidak
memiliki wawasan yang cukup luas ketika memberikan
konseling kepada saya, sehingga konseling berjalan
tidak lancar.
107. Selama proses konseling, guru pembimbing memegang
kuat etika/norma yang ada.
108. Selama proses konseling, hubungan saya dengan guru
pembimbing terjalin sangat dingin dan kaku.
No. Pernyataan SS S TS STS
109. Selama proses konseling, guru pembimbing
menunjukkan sikap yang sederhana.
110. Selama proses konseling, guru pembimbing adalah
figur ibu yang baik bagi saya.
111. Menurut saya, guru pembimbing turut merasakan
(empati) permasalahan yang sedang saya alami.
112. Guru pembimbing cuek dengan permasalahan yang
sedang alami.
113. Guru pembimbing sangat peduli dengan permasalahan
yang sedang alami.
114. Saya merasa guru pembimbing tidak bisa menghargai
dan mengerti saya.
115. Selama proses konseling, guru pembimbing sangat
peka (sensitif) dengan perilaku dan keinginan saya.
116. Guru pembimbing tidak menghormati saya.
117. Guru pembimbing memberikan tanggapan yang positif
terhadap apa yang saya kemukakan.
118. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya,
selalu menyalahkan saya.
119. Guru pembimbing juga memberikan tanggapan-
tanggapan yang sesuai dengan masalah/ungkapan yang
cxlv
saya sampaikan
120. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya,
selalu menyudutkan saya.
121. Selama proses konseling, pertanyaan guru pembimbing
sangat relevan/sesuai dengan permasalahan saya.
No. Pernyataan SS S TS STS
122. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya
selalu mengadili saya.
123. Selama proses konseling guru pembimbing sangat
menguatamakan kepentingan saya
124. Selama proses konseling, guru pembimbing tidak
toleransi terhadap pilihan saya pada alternatif
pemecahan masalah saya.
125. Selama proses konseling perilaku guru pembimbing
sangat kaku/tidak luwes.
cxlvi
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Berdasarkan pengalaman saya selama proses
konseling, guru pembimbing bisa mengetahui gerak-
gerik/tingkah laku saya.
2. Guru pembimbing menyamaratakan karakter saya
dengan teman-teman yang lain.
3. Perlakuan guru pembimbing kepada saya sesuai
dengan karakter saya.
4. Guru pembimbing sok tahu dalam mengartikan tingkah
laku dan permasalahan saya.
5. Guru pembimbing bisa menilai dengan tepat bahwa
permasalahan saya termasuk dalam kategori sedang
(tidak berat), sehingga bisa diselesaikan dengan baik.
6. Selama proses konseling, hubungan saya dengan guru
pembimbing sangat dekat dan akrab sehingga saya
merasa nyaman.
7. Selama proses konseling, guru pembimbing menjaga
jarak dengan saya.
8. Selama proses konseling guru pembimbing tampak
benar-benar sangat ahli (profesional).
9. Ketika proses konseling guru pembimbing tidak fokus
krn sering berbicara dengan orang lain.
10. Selama proses konseling kondisi guru
pembimbing sangat prima (tidak sakit)
sehingga konseling bisa berjalan
dengan lancar.
No. Pernyataan SS S TS STS
11. Ketika proses konseling guru pembimbing juga tidak
fokus krn mengerjakan pekerjaan lain.
12. Tempat/Ruang konseling sangat kondusif sehingga
membuat saya merasa nyaman selama proses
konseling.
13. Ruang/lingkungan konseling acak-acakan dan rame
sehingga selama proses konseling, saya tidak bisa
konsentrasi.
cxlvii
14. Guru pembimbing dan saya membuat kesepakatan
pertemuan dan waktu pertemuan(sekitar 45 menit
dalam sekali tatap muka) yang akan di tempuh selama
proses konseling.
15. Pertemuan konseling/sekali tatap muka sangat lama (>
1 jam) sehingga saya jadi bosan dan jemu.
16. Guru pembimbing menjelaskan tujuan yang akan
dicapai yaitu untuk membantu mengatasi/memecahkan
masalah saya dengan menggunakan potensi yang saya
miliki.
17. Pertemuan konseling/sekali tatap muka sangat singkat
(< 1 jam) sehingga saya tidak bisa mengungkapkan
permasalahan saya dengan baik.
18. Guru pembimbing selalu
mendorong/memotivasi saya untuk
menceritakan masalah saya secara
bebas dan terbuka.
No. Pernyataan SS S TS STS
19. Setelah mengikuti proses konseling saya merasakan
permasalahan saya jadi semakin ruwet.
20. Guru pembimbing membantu saya menetapkan
permasalahan inti dan permasalahan sampingan yang
sedang saya hadapi.
21. Setelah mengikuti proses konseling saya menjadi
semakin bingung dan pusing menghadapi
permasalahan saya.
22. Guru pembimbing membantu saya untuk menentukan
orang-orang yang terlibat dalam masalah saya.
23. Langkah-langkah dalam proses konseling (dari awal
hingga akhir) yang ditempuh guru pembimbing asal-
asalan/tidak sistematis.
24. Guru pembimbing membantu saya menetapkan
penyebab permasalahan yang sedang saya alami.
25. Saya tidak puas dengan proses konseling yang sudah
diberikan oleh guru pembimbing, karena permasalahan
saya tidak terselesaikan dengan baik.
cxlviii
26. Guru pembimbing dan saya menyusun rencana
alternatif-alternatif pemecahan masalah yang sedang
saya hadapi
27. Selama proses konseling, guru pembimbing tiada henti-
hentinya memberikan nasehat.
No. Pernyataan SS S TS STS
28. Guru pembimbing dan saya juga menyusun beberapa
konsekwensi/resiko yang akan dihadapi dari beberapa
alternatif bagi pemecahan masalah saya.
29. Guru pembimbing tidak membantu saya, ketika saya
akan memilih dan melaksanakan rencana alternatif-
alternatif pemecahan permasalahan yang sudah saya
sepakati.
30. Guru pembimbing memotivasi saya untuk
mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan
kemampuan saya.
31. Guru pembimbing tidak memantau
perkembangan/perubahan tingkah laku saya dengan
cermat.
32. Guru pembimbing juga menindak-lanjuti
perkembangan/perubahan yang terjadi pada saya.
33. Selama proses konseling suara guru pembimbing
sangat teratur sehingga enak didengar dan mudah
dipahami.
34. Posisi badan/bahasa tubuh guru pembimbing
seenaknya sendiri sehingga saya tidak kerasan.
35. Guru pembimbing mengatur jarak duduk dengan saya,
sehingga selama proses konseling saya merasa nyaman.
36. Guru pembimbing tidak memperhatikan saya, dimana
guru pembimbing sering melihat kesana-kemari (tidak
mengadakan kontak mata dengan saya).
No. Pernyataan SS S TS STS
37. Ketika proses konseling, guru pembimbing terlihat
sangat santai (tidak cemas).
38. Guru pembimbing melontarkan beberapa pertanyaan
untuk merangsang berfikir saya.
cxlix
39. Guru pembimbing tidak bisa membantu menguraikan
masalah saya dengan memberikan contoh perilaku-
perilaku khusus.
40. Guru pembimbing bisa mengulang suatu kata dari saya
dengan tepat, menggunakan bahasanya sendiri secara
sederhana.
41. Guru pembimbing membantu saya memahami
perasaan-perasaan pada diri saya sendiri.
42. Guru pembimbing membantu saya untuk menjelaskan
perasaan-perasaan yang ada pada diri saya.
43. Guru pembimbing membantu saya mempertegas
kejelasan antara kata dan tingkah laku saya yang tidak
sesuai.
44. Guru pembimbing meringkas
permasalahan yang sudah saya
ceritakan dengan tepat, menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
45. Guru pembimbing menafsirkan permasalahan yang
sedang saya alami dengan tepat, menggunakan
bahasanya sendiri secara sederhana.
46. Guru pembimbing menerima saya dengan tangan
terbuka dan kapanpun saya mau.
No. Pernyataan SS S TS STS
47. Disaat saya sedang kalut karena sedang
dilanda masalah, guru pembimbing tidak
bisa memberikan ketenangan sehingga
beban saya jadi semakin berat.
48. Guru pembimbing tidak bisa memimpin/memandu
proses konseling dengan baik, sehingga membuat saya
malas selama proses konseling.
49. Selama proses konseling, guru pembimbing
mendengarkan pembicaraan saya dengan baik,
sehingga tahu permasalahan yang sedang saya alami.
50. Selain itu guru pembimbing juga lebih
cl
banyak berbicara dari pada memberikan
rangsangan supaya saya bisa bercerita
dengan lengkap.
51. Selama proses konseling, guru pembimbing
mengarahkan saya dengan baik, sehingga proses
konseling berjalan dengan lancar.
52. Guru pembimbing memberikan
informasi yang sesuai dengan
pemecahan bagi permasalahan yang
sedang saya alami.
53. Selama proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pemikiran-pemikiran saya
yang sebenarnya.
54. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pemikiran-pemikiran,
perasaan, cita-cita dan pengalamannya sendiri.
No. Pernyataan SS S TS STS
55. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada perasaan-perasaan saya
yang sebenarnya.
56. Dalam proses konseling, guru pembimbing
banyak memperhatikan data, informasi
dan keterangan yang tidak penting dari
saya.
57. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada cita-cita saya yang
sesungguhnya.
58. Guru pembimbing mengabaikan pemikiran, perasaan,
cita-cita dan pengalamannya saya.
59. Dalam proses konseling, guru pembimbing
memusatkan perhatian pada pengalaman-pengalaman
saya yang sesungguhnya.
60. Guru pembimbing menyimpulkan permasalahan yang
sudah saya ceritakan dengan benar menggunakan
cli
bahasanya sendiri secara sederhana.
61. Guru pembimbing memberikan dorongan/motivasi
kepada saya kearah terpecahkannya masalah saya.
62. Guru pembimbing mengerti dan mengetahui diri saya
dengan baik dan benar.
63. Guru pembimbing menyerahkan sepenuhnya kepada
saya untuk mengambil keputusan/pemecahan bagi
masalah saya.
64. Guru pembimbing memaksakan saya untuk mengikuti
kemauan/pilihannya.
65. Guru pembimbing menggunakan berbagai macam
teknik pengubahan tingkah laku.
No. Pernyataan SS S TS STS
66. Guru pembimbing kurang terampil/kurang menguasai
ketika menggunakan teknik pengubahan tingkah laku.
67. Teknik pengubahan tingkah laku yang diberikan oleh
guru pembimbing pada saya sangat cocok.
68. Guru pembimbing hanya menggunakan
satu macam saja pendekatan konseling.
69. Guru pembimbing sangat terampil (menguasai)
menggunakan beberapa pendekatan konseling.
70. Pendekatan konseling yang diberikan oleh guru
pembimbing terhadap permasalahan yang sedang saya
alami tidak cocok.
71. Guru pembimbing menunjukkan sikap
fleksibel (tidak kaku) dengan teknik
pengubahan tingkah laku yang dipilihnya.
72. Guru pembimbing menunjukkan sikap
yang kaku (tidak fleksibel) dengan
pendekatan konseling yang dipilihnya.
73. Guru pembimbing mempunyai sikap mawas diri/hati-
hati dalam membantu penyelesaian masalah saya.
74. Menurut saya guru pembimbing sering
berbohong/ingkar janji.
75. Menurut saya guru pembimbing mempunyai sadar diri
(self control) yang bagus.
clii
76. Saya juga merasa tidak nyaman karena perilaku guru
pembimbing tidak wajar/dibuat-buat.
No. Pernyataan SS S TS STS
77. Guru pembimbing mempunyai sikap optimis dalam
membantu pemecahan masalah saya, dimana saya bisa
mengalami perubahan dalam diri saya kearah yang
lebih baik.
78. Selama proses konseling saya merasa tidak nyaman
karena guru pembimbing tidak menyenangkan.
79. Guru pembimbing mempunyai tanggung jawab yang
besar dengan menyelesaikan masalah saya sebaik-
baiknya.
80. Saya merasakan selama proses konseling, guru
pembimbing memberikan pengaruh yang negatif
kepada saya.
81. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan budaya saya.
82. Guru pembimbing sangat tertutup/tidak mau terbuka
terhadap saya.
83. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan agama saya.
84. Ketika proses konseling, guru pembimbing canggung
dengan adanya perbedaan budaya antara saya dengan
guru pembimbing.
85. Guru pembimbing bisa menyesuaikan diri dengan
perbedaan jenis kelamin antara saya dan guru
pembimbing.
86. Ketika proses konseling, guru pembimbing canggung
dengan adanya perbedaan agama antara saya dengan
guru pembimbing.
No. Pernyataan SS S TS STS
87. Ketika proses konseling, guru pembimbing
canggung dengan adanya perbedaan jenis
kelamin antara saya dengan guru
pembimbing.
cliii
88. Guru pembimbing menerima saya apa adanya
(objektif).
89. Guru pembimbing pilih-pilih dalam membantu
pemecahan permasalahan siswa.
90. Selama proses konseling, kerjasama antara guru
pembimbing dengan saya sangat bagus (saling
membantu).
91. Guru pembimbing menceritakan
kehidupan saya kepada orang lain
tanpa seijin saya.
92. Guru pembimbing menampakkan usaha yang sungguh-
sungguh untuk meyakinkan saya bahwa segala sesuatu
yang dibicarakan akan dirahasiakan dan hanya milik
berdua saja.
93. Guru pembimbing menceritakan masalah saya pada
orang lain tanpa seijin saya.
94. Dalam kenyataannya, guru pembimbing benar-benar
dapat menjaga kerahasiaan masalah saya (tidak ada
satupun orang yang mengetahuinya selain guru
pembimbing).
95. Selama proses konseling, guru pembimbing tidak
tertib.
96. Guru pembimbing menjelaskan kepada saya, bahwa
walaupun ia siap membantu memecahkan masalah
saya, ia juga memiliki keterbatasan-keterbatasan
tertentu.
No. Pernyataan SS S TS STS
97. Guru pembimbing sangat yakin terhadap keberhasilan
alternatif bagi pemecahan masalah saya.
98. Guru pembimbing menawarkan bantuan dari guru
pembimbing yang lainnya, jika seandainya nanti ia
tidak dapat membantu masalah saya.
99. Dalam membantu memecahkan masalah saya, guru
pembimbing menampakkan adanya sikap memaksakan
diri dengan segala daya upaya sekalipun sudah tidak
mampu lagi.
cliv
100. Guru pembimbing juga menawarkan bantuan kepada
ahli yang lainnya, jika seandainya ia tidak dapat
membantu masalah saya.
101. Menurut saya guru pembimbing sangat menaruh
perhatian pada permasalahan yang sedang saya alami.
102. Dalam membantu pemecahan masalah saya, guru
pembimbing terlihat sangat terpaksa.
103. Saya merasa nyaman ketika mengikuti konseling
karena guru pembimbing sangat ramah.
104. Menurut saya konselor tidak bersungguh-sungguh
dalam membantu pemecahan masalah saya.
105. Menurut saya guru pembimbing tulus memberikan
konseling kepada saya.
106. Selama proses konseling, rasa ingin tahu guru
pembimbing terhadap permasalahan saya sangat kecil.
No. Pernyataan SS S TS STS
107. Guru pembimbing sangat ulet ketika membantu
pemecahan bagi masalah saya.
108. Saya merasakan kalau guru pembimbing kurang
berminat membantu pemecahan masalah saya.
109. Guru pembimbing juga sangat teliti dalam membantu
pemecahan saya.
110. Selama mengikuti konseling saya merasa nyaman
karena guru pembimbing kalem dan tenang.
111. Ketika proses konseling, guru pembimbing sering
marah-marah.
112. Selama proses konseling, guru pembimbing
menunjukkan sikapnya yang rendah hati.
113. Saya merasa jemu konselor tidak bisa membuat proses
konseling lebih kreatif/tidak monoton.
114. Guru pembimbing sangat sabar selama membantu saya
menyelesaikan masalah.
115. Penampilan guru pembimbing yang kurang rapi dan
bersih membuat saya merasa tidak nyaman ketika
mengikuti konseling.
116. Saya sangat senang mengikuti konseling karena guru
pembimbing humoris sehingga suasananya tidak
clv
menegangkan.
117. Guru pembimbing tidak nyambung dengan
permasalahan yang saya ceritakan.
No. Pernyataan SS S TS STS
118. Dalam membantu pemecahan masalah saya, guru
pembimbing mempunyai kecerdasan yang baik,
sehingga proses konseling berjalan dengan lancar.
119. Selama proses konseling, guru pembimbing mudah
terbawa/tenggelam dengan perasaan dan masalah saya.
120. Selama proses konseling, guru pembimbing memegang
kuat etika/norma yang ada.
121. Menurut pandangan saya, guru pembimbing tidak
memiliki wawasan yang cukup luas ketika memberikan
konseling kepada saya, sehingga konseling berjalan
tidak lancar.
122. Selama proses konseling, guru pembimbing
menunjukkan sikap yang sederhana.
123. Selama proses konseling, hubungan saya dengan guru
pembimbing terjalin sangat dingin dan kaku.
124. Selama proses konseling, guru pembimbing adalah
figur ibu yang baik bagi saya.
125. Menurut saya, guru pembimbing turut merasakan
(empati) permasalahan yang sedang saya alami.
126. Guru pembimbing cuek dengan permasalahan yang
sedang alami.
127. Guru pembimbing sangat peduli dengan permasalahan
yang sedang alami.
128. Saya merasa guru pembimbing tidak bisa menghargai
dan mengerti saya.
No. Pernyataan SS S TS STS
129. Selama proses konseling, guru pembimbing sangat
peka (sensitif) dengan perilaku dan keinginan saya.
130. Guru pembimbing tidak menghormati saya.
131. Guru pembimbing memberikan tanggapan yang positif
terhadap apa yang saya kemukakan.
clvi
132. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya,
selalu menyalahkan saya.
133. Guru pembimbing juga memberikan tanggapan-
tanggapan yang sesuai dengan masalah/ungkapan yang
saya sampaikan
134. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya,
selalu menyudutkan saya.
135. Selama proses konseling, pertanyaan guru pembimbing
sangat relevan/sesuai dengan permasalahan saya.
136. Tanggapan guru pembimbing terhadap masalah saya
selalu mengadili saya.
137. Selama proses konseling guru pembimbing sangat
menguatamakan kepentingan saya
138. Selama proses konseling, guru pembimbing tidak
toleransi terhadap pilihan saya pada alternatif
pemecahan masalah saya.
139. Selama proses konseling perilaku guru pembimbing
sangat kaku/tidak luwes.
Tabel Kisi-Kisi Instrumen
Keefektifan Konselor Dalam Melaksanakan Konseling Individual
No. Item Jumlah Variabel Sub Variabel Indikator
++++ −−−− ++++ −−−− Total
ii
Keefektifan Konselor
dalam melaksanakan
Konseling Individual
A. Keterampila
n Konselor
a. Paham sifat-sifat
klien
b. Menilai situasi
c. Rapport
d. Proses konseling
a. Profesional
b. Siap fisik dan
psikis konselor
c. Tempat/
lingkungan
d. Paham waktu
e. Paham tujuan
f. Pendekatan
masalah
g. Pengungkapan masalah
h. Diagnosa
i. Prognosa
j. Treatment
k. Evaluasi dan
tindak lanjut
e. Attending
f. Mengundang
pembicaraan terbuka
1,3
4
5
7,9,11,13,15,17,19,
23,25
27
2
-
6
8,10,12,14,16,18,
20,21,22
24,26
28
2
1
1
7
2
1
1
-
1
9
2
1
3
1
2
16
4
2
No. Item Jumlah Variabel Sub Variabel Indikator
++++ −−−− ++++ −−−− Total
iii
g. Paraprase
h. Identifikasi perasaan
i. Refleksi perasaan
j. Konfrontasi
k. Meringkaskan
l. Menafsirkan
m. Penerimaan
n. Memberi ketenangan
o. Memimpin secara
umum
p. Mendengarkan
q. Mengarahkan
r. Memberi informasi
s. Menghayati pikiran,
perasaan dan cita-
cita klien
t. Menyimpulkan
29
30
31
32
33
34
35
-
-
38
40
41
42,44,46,47
48
-
-
-
-
-
-
-
36
37
39
-
-
43,45
-
1
1
1
1
1
1
1
-
-
1
1
1
4
1
-
-
-
-
-
-
-
1
1
1
-
-
2
-
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
6
1
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah
iv
++++ −−−− ++++ −−−− Total
B. Kepribadian
Konselor
u. Memberi dorongan
v. menggunakan alat/
teknik pengumpulan
data
w. Pemecahan masalah
dan pengambilan
keputusan
x. Menggunakan teknik
pengubahan tingkah
laku
y. Menggunakan
berbagai pendekatan konseling
1. Kepribadian matang
dan penyesuaian diri
a. Mawas diri
b. Self control c. Optimis
d. Tanggung jawab
e. Jujur
f. Apa adanya
g. Menyenangkan
h. Pengaruh positif
i. Terbuka
j. Fleksibel/
menyesuaikan
49
50
51
53,55
57,59
61,63,65,67,69,71,73
-
-
52
54,56
58,60
62,64,66,68,70,
72,74,75
1
1
1
2
2
7
-
-
1
2
2
8
1
1
2
4
4
15
v
No. Item Jumlah Variabel Sub Variabel Indikator
++++ −−−− ++++ −−−− Total
2. Pemahaman
terhadap orang lain
3. Mengadakan hub.
dan kerjasama
4. Batas kemampuan
5. Perhatian dan minat
pada masalah klien 6. Kedewsaan pribadi,
mental, sosial, dan
fisik
a. Kalem/tenang
b. Rendah hati
c. Sabar
d. Humoris e. Cerdas
f. Kuat etika
g. Wawasan luas
h. Sederhana
i. Hangat
j. Figur ibu
7. Peka terhadap
berbagai sikap dan
reaksi
8. Respek terhadap
orang lain
9. Kemampuan
komunikasi
10. Tidak
mementingkan diri
sendiri
76
78,80,82
84,86
88,90,92,94,96
97,99,101,103,105,
107,109,110
111
113,115
117,119,121
123
77
79,81,83
85,87
89,91,93,95
98,100,102,104,
106,108
112
114,116
118,120,122
124,125
1
3
2
5
8
1
2
4
1
1
3
2
4
6
1
2
2
2
2
6
4
9
14
2
4
6
3
vi
J u m l a h 74 51 125
Tabel Identitas Klien Yang Dibimbing
No. Nama Klien Jenis
Kelamin:
L/P
Kelas:
I/II/III (IPA, IPS,
BAHASA)
Jumlah pertemuan
dalam penanganan
masalah untuk
setiap klien:
2 kali/3 kali/4 kali
Jenis
masalah yang
dikonsultasikan:
Pribadi/Sosial,/
Belajar/karier
Prosedur konsultasi:
Datang sendiri,/
Dipanggil Guru BK/
Disuruh guru mata
pelajaran dan wali
kelas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
vii
Tabel Kisi-Kisi Instrumen
Keefektifan Konselor Dalam Melaksanakan Konseling Individual
No. Item Jumlah Variabel Sub Variabel Indikator
++++ −−−− ++++ −−−− Total
viii
Keefektifan Konselor
dalam melaksanakan
Konseling Individual
A. Keterampila
n Konselor
1. Paham sifat-sifat
klien
2. Menilai situasi
3. Rapport
4. Proses konseling
a. Profesional
b. Siap fisik dan
psikis konselor
c. Tempat/
lingkungan
d. Paham waktu
e. Paham tujuan
f. Pendekatan
masalah
g. Pengungkapan masalah
h. Diagnosa
i. Prognosa
j. Treatment
k. Evaluasi dan
tindak lanjut
5. Attending
6. Mengundang
pembicaraan terbuka
1,3
5
6
8,10,12,14,16,18,
20,22,24,26,28,
30,32,
33,35,37
38
2,4
-
7
9,11,13,15,17,19,
21 23,25,27,29,31
34,36
39
2
1
1
13
3
1
2
-
1
12
2
1
4
1
2
25
5
2
No. Item Jumlah Variabel Sub Variabel Indikator
++++ −−−− ++++ −−−− Total
ix
7. Paraprase
8. Identifikasi perasaan
9. Refleksi perasaan
10. Konfrontasi
11. Meringkaskan
12. Menafsirkan
13. Penerimaan
14. Memberi ketenangan
15. Memimpin secara
umum
16. Mendengarkan
17. Mengarahkan
18. Memberi informasi
19. Menghayati pikiran,
perasaan dan cita-
cita klien
20. Menyimpulkan
40
41
42
43
44
45
46
-
-
49
51
52
53,55,57,59
60
-
-
-
-
-
-
-
47
48
50
-
-
54,56,58
-
1
1
1
1
1
1
1
-
-
1
1
1
4
1
-
-
-
-
-
-
-
1
1
1
-
-
3
-
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
7
1
Variabel Sub Variabel Indikator No. Item Jumlah
x
++++ −−−− ++++ −−−− Total
B. Kepribadian
Konselor
21. Memberi dorongan
22. menggunakan alat/
teknik pengumpulan
data
23. Pemecahan masalah
dan pengambilan
keputusan
24. Menggunakan teknik
pengubahan tingkah
laku
25. Menggunakan
berbagai pendekatan konseling
1. Kepribadian matang
dan penyesuaian diri
a. Mawas diri
b. Self control c. Optimis
d. Tanggung jawab
e. Jujur
f. Apa adanya
g. Menyenangkan
h. Pengaruh positif
i. Terbuka
j. Fleksibel/
menyesuaikan
61
62
63
65,67
69,71
73,75,77,79,81,83,85
-
-
64
66,68
70,72
74,76,78,80,82,
84,86,87
1
1
1
2
2
7
-
-
1
2
2
8
1
1
2
4
4
15
xi
No. Item Jumlah Variabel Sub Variabel Indikator
++++ −−−− ++++ −−−− Total
2. Pemahaman
terhadap orang lain
3. Mengadakan hub.
dan kerjasama
4. Batas kemampuan
5. Perhatian dan minat
pada masalah klien 6. Kedewsaan pribadi,
mental, sosial, dan
fisik
a. Kalem/tenang
b. Rendah hati
c. Sabar
d. Humoris e. Cerdas
f. Kuat etika
g. Wawasan luas
h. Sederhana
i. Hangat
j. Figur ibu
7. Peka terhadap
berbagai sikap dan
reaksi
8. Respek terhadap
orang lain
9. Kemampuan
komunikasi
10. Tidak
mementingkan diri
sendiri
88
90,92,94
96,98,100
101,103,105,107,109
110,112,114,116,118,
120,122,124
125
127,129
131,133,135
137
89
91,93,95
97,99
102,104,106,108
111,113,115,117,
119,121,123
126
128,130
132,134,136
138,139
1
3
3
5
8
1
2
3
1
1
3
2
4
7
1
2
3
2
2
6
5
9
15
2
4
6
3
xii
J u m l a h 77 62 139