70
Lembar Pengesahan Bandung Pelaksana Program Program Jurusan IPA/IPS Ketua, Pembimbing Nandang Kunandang, Spd Eka Novianti.S.Pd

Contoh Studi Lapangan bagi Anak SMA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Contoh studi lapangan bagi anak SMA kelas 3 untuk ujian akhir

Citation preview

Lembar Pengesahan

BandungPelaksana Program Program Jurusan IPA/IPSKetua, Pembimbing

Nandang Kunandang, Spd Eka Novianti.S.Pd

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Laporan ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Laporan Kegiatan Studi Lapangan SMA PLUS AL-GHIFARI

Laporan ini berisikan tentang kegiatan Studi Lapangan atau yang lebih khususnya membahas kegiatan kegiatan yg diselenggarakan saat Studi Lapangan Diharapkan Laporan ini dapat memberikan informasi kepada para guru tentang kegiata kegiatan yg berlangsung saat Studi Lapangan

Kami menyadari bahwa Laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Bandung,12 Februari 2013

Penyusun

Bab IPendahuluan

1.1 Latar Belakang

Latar belakang dari laporan ini adalah untuk mengetahui aspek-aspek sosial dan observasi menyeluruh sesuai dengan penjurusan penjurusan siswa- siswa yg terkait

1.2 TujuanTujuan dibuatnya laporan adalah untuk mempresentasikan hasil observasi kelompok dan studi lapangan ke Jogja yg diadakan pada tanggal 1 Februari 2013

1.3 Rumusan dan Pemecahan Masalah

1.2.1 Rumusan MasalahJurusan IPA:-Matematika:Pengukuran Tinggi dan Luas Candi Borobudur-Fisika:Menghitung gerak benda jatuh bebas-Biologi:Mengetahui Biota Biota Laut yg berada di Parangtritis-Kimia:Mengenal Proses penyipuhan logam-Bahasa:Mengenal Sastra Bahasa Setempat-Agama: Mengetahui Hubungan Agama dan Budaya setempat

Jurusan IPS:-Sosiologi:Mengetahui keadaan Sosial masyrakat setempat-:Geografi:Mengetahui secara pasti Letak geografis Yogyakarta-Ekonomi:Mengetahui keadaan ekonomi setempat-Bahasa:Mengenal Sastra Bahasa Setempat-Agama: Mengetahui Hubungan Agama dan Budaya setempat -Matematika:Pengukuran Tinggi dan Luas Candi Borobudur

1.3.2 Pemecahan MasalahJurusan IPA:1.Mat:Ukuran Candi Borobudur:luas dasar 123123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter (termasuk chattra)2.Fisika:t:135 ns:1/2.10.1,52s:11,253.Biologi: Biota Laut-Karang-Ikan- ikan Kecil-Ubur ubur-Plankton4.Kimia:Proses Penyepuhan LogamProses Penyepuhan adalah proses elektrolisis, yaitu proses perubahan Energi listrik menjadi Energi kimia. Proses ini melibatkan Elektroda (logam-logam yang dihubungkan dengan sumber listrik) dan Elektrolit (cairan tempat logam-logam tadi dicelupkan)

5.Bahasa: Bahasa Daerah setempatYogyakarta memiliki beberapa dialek bahasa daerah antara lain:dialek Pekalongan1. dialek Kedu2. dialek Bagelen3. dialek Semarang4. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)5. dialek Blora6. dialek Surakarta7. dialek Yogyakarta8. dialek Madiun6.Agama: Hubungan Agama dengan masyarakat sekitarAgama Islam sangat kental di daerah Yogyakarta karena di DIY dulu ada Kerajaann yg berbasis agama Islam Jurusan IPS:1.Sosial:Keadaan sosial di Yogyakarta sangat stabil, dikarenakan adanya factor wisata di provinsi tersebut

2.Geografi:Ibu kotaYogyakarta

Koordinat8 30' - 7 20' LS109 40' - 111 0' BT

Luas 3.185,80km2

3.Ekonomi:Yogyakarta memiliki sektor ekonomi untuk menunjang keadaan ekonomi mereka antara lainPenanaman modal dan industri Perdagangan dan UKM Pertanian dan kehutanan ESDM Pariwisata

4 .Mat:Ukuran Candi Borobudur:luas dasar 123123 meter, tinggi kini 35 meter, tinggi asli 42 meter (termasuk chattra)

5 .Bahasa: Bahasa Daerah setempatYogyakarta memiliki beberapa dialek bahasa daerah antara lain:

1. dialek Pekalongan2. dialek Kedu3. dialek Bagelen4. dialek Semarang5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)6. dialek Blora7. dialek Surakarta8. dialek Yogyakarta9. dialek Madiun6 .Agama: Hubungan Agama dengan masyarakat sekitarAgama Islam sangat kental di daerah Yogyakarta karena di DIY dulu ada Kerajaann yg berbasis agama Islam

Bab IIIPembahasan

1. Borobudur

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[1] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[2] Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kmadhtu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[3] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[4]Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[5][6][7]Nama BorobudurDalam Bahasa Indonesia, bangunan keagamaan purbakala disebut candi; istilah candi juga digunakan secara lebih luas untuk merujuk kepada semua bangunan purbakala yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara, misalnya gerbang, gapura, dan petirtaan (kolam dan pancuran pemandian). Asal mula nama Borobudur tidak jelas,[8] meskipun memang nama asli dari kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui.[8] Nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles.[9] Raffles menulis mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis.[8] Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk kepada Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.[10]Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro); kebanyakan candi memang seringkali dinamai berdasarkan desa tempat candi itu berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba" maka bermakna, "Boro purba".[8]Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.[11]Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh r Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamln yang disebut Bhmisambhra. [12] Istilah Kamln sendiri berasal dari kata mula yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur, kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhmi Sambhra Bhudhra dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.[13]Lingkungan sekitarTerletak sekitar 40kilometer (25mil) barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai 'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.[14]Tiga candi serangkaiSelain Borobudur, terdapat beberapa candi Buddha dan Hindu di kawasan ini. Pada masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Buddha lainnya yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis lurus.[15] Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.[10]Selain candi Mendut dan Pawon, di sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya, diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang disebut Candi Banon. Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan cukup baik yaitu Shiwa, Wishnu, Brahma, serta Ganesha. Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.Danau purbaTidak seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265m (870kaki) dari permukaan laut dan 15m (49kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering.[16] Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas permukaan danau.[11] Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak bunga teratai.[16] Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.Sementara itu pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini.[17] Sebuah penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur,[16] yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.[18]SejarahPembangunanTidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya.[19] Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi.[19] Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah,[20] yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 825.[21][22]Terdapat kesimpangsiuran fakta mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka mungkin awalnya beragama Hindu Siwa.[21] Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, letaknya hanya 10km (6.2mil) sebelah timur dari Borobudur.[23] Candi Buddha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan sekitar tahun 850 M.Pembangunan candi-candi Buddha termasuk Borobudur saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Buddha untuk membangun candi.[24] Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya, Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan kepada sangha (komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.[24] Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno, agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya.[25] Akan tetapi diduga terdapat persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu wangsa Syailendra yang menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa yang kemudian wangsa Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.[26] Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan, candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa Syailendra,[26] akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.[27]Tahapan pembangunan BorobudurPara ahli arkeologi menduga bahwa rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar memahkotai puncaknya. Diduga massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan tahapan pembangunan Borobudur:1. Tahap pertama: Masa pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.2. Tahap kedua: Penambahan dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.3. Tahap ketiga: Terjadi perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar. Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu4. Tahap keempat: Ada perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.Borobudur diterlantarkanBorobudur tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.[3][16] Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit. Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976) juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.[3]Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari sebagai bukti kejayaan masa lampau menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan, kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709.[3] Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757.[28] Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.Penemuan kembaliSetelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam hutan dekat desa Bumisegoro.[28] Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.[9]Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama.[29] Pada 1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam bahasa Perancis setahun kemudian.[29] Foto pertama monumen ini diambil pada 1873 oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.[30]Penghargaan atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang marak di monumen.[30] Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.Bagian candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand, Chulalongkorn ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi beberapa ratus meter di barat laut Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini dipamerkan di Museum Nasional di Bangkok.[31]PemugaranBorobudur kembali menarik perhatian pada 1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki tersembunyi.[32] Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat pada kurun 18901891.[33] Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan dari Departemen Pekerjaan Umum.Pada 1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.Pemugaran dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis dan dipimpin Theodor van Erp.[34] Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra. Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur.Akibat anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan dan kerusakan.[34] Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih lanjut diperlukan.Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir 1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur dibuat.[35] Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.[34] Pondasi diperkokoh dan segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS.[36] Setelah renovasi, UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.[4] Borobudur masuk dalam kriteria Budaya (i) "mewakili mahakarya kretivitas manusia yang jenius", (ii) "menampilkan pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan rancangan lansekap", dan (vi) "secara langsung dab jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa".[4]Peristiwa kontemporerSetelah pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,[35] Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur nasional di Indonesia[37] dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi berakhir di Candi Borobudur.[38]Pada 21 Januari 1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom.[39] Pada 1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi Borobudur.[40] Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.Monumen ini adalah obyek wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak 260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah mengunjungi monumen ini.[6] Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an, sebelum Krisis finansial Asia 1997.[7] Akan tetapi pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga beberapa konflik lokal kerap terjadi.[6] Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.[41] Upaya masyarakat setempat untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan pengunjung. Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks candi Borobudur semakin semrawut.Pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta, akan tetapi Borobudur tetap utuh.[42]Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail of Civilizations (jejak peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.UNESCO mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii) analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang.[43] Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak struktur bangunan.[43] Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam pengawasan.[43]

RehabilitasiBorobudur sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan November 2010. Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak 28kilometer (17mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5sentimeter (1in)[44] menutupi bangunan candi kala letusan 35 November 2010, debu juga mematikan tanaman di sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5 sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.[45][46]Mencermati upaya rehabilitasi Borobudur setelah letusan Merapi 2010, UNESCO telah menyumbangkan dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan, disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat.[47] Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar untuk memperbaiki sistem tata air dan drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.[48]ArsitekturKonsep rancang bangunPada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran Buddha.[49] Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123m (400kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga teras teratas berbentuk lingkaran.Pada tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki Borobudur.[32] Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar relief.[50] Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen.[50] Teori lain mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India mengenai arsitektur dan tata kota.[32] Apapun alasan penambahan kaki ini, penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.Ketiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:KamadhatuBagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160 panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.[2]RupadhatuEmpat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan.[2] Pada pagar langkan terdapat sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika (stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran relief.

ArupadhatuBerbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama, patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu. Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.Struktur bangunanSekitar 55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk membangun monumen ini.[51] Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu seperti balok-balok lego yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati" yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan dan dinding rampung.Monumen ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.Borobudur amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi.[51] Stupa memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha. Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.Menurut legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini.[52] Namanya lebih berdasarkan dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.Perancangan Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan sepenuhnya.[53] Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977 mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur.[53][54] Rasio matematis ini juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya. Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di candi Angkor Wat di Kamboja.[52]Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak.[52] Dasar berukuran 123123m (403.5 403.5ft) dengan tinggi 4m (13kaki).[51] Tubuh candi terdiri atas lima batur teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur 7m (23kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras berikutnya mundur 2m (6.6kaki), menyisakan lorong sempit pada tiap tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35m (110kaki) dari permukaan tanah. Tinggi asli Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah 42m (140kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang dihiasi ukiran Kala pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.ReliefPada dinding candi di setiap tingkatan kecuali pada teras-teras Arupadhatu dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.[55] Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha.[56] Relief Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai panjang.[57]Relief Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan, rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk bangunan vernakular tradisional Nusantara. Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal yang menggambarkan Kapal Borobudur.[58] Kapal kayu bercadik khas Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di sebelah utara Borobudur.[59]Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief cerita jtaka. Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.Adapun susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah sebagai berikut.

Secara runtutan, maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut:KarmawibhanggaSesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara candi Borobudur.LalitawistaraMerupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.Jataka dan AwadanaJataka adalah berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia. Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

GandawyuhaMerupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.Arca BuddhaSelain wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta menampilkan mudra atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini dipahat dari bahan batu andesit.[2]Patung buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104 relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64 relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu.[1] Pada bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di dalam stupa-stupa berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa, pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya total 72 stupa.[1] Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini, kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar negeri).[60]Secara sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra: Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra: Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya tersendiri.[61]

2.Monjali (Monumen Jogja Kembali)Museum Monumen Yogya Kembali, adalah sebuah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang ada di kota Yogyakarta dan dikelola oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Museum yang berada di bagian utara kota ini banyak dikunjungi oleh para pelajar dalam acara darmawisata.Museum Monumen dengan bentuk kerucut ini terdiri dari 3 lantai dan dilengkapi dengan ruang perpustakaan serta ruang serbaguna. Pada rana pintu masuk dituliskan sejumlah 422 nama pahlawan yang gugur di daerah Wehrkreise III (RIS) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949. Dalam 4 ruang museum di lantai 1 terdapat benda-benda koleksi: realia, replika, foto, dokumen, heraldika, berbagai jenis senjata, bentuk evokatif dapur umum dalam suasana perang kemerdekaan 1945-1949. Tandu dan dokar (kereta kuda) yang pernah dipergunakan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman juga disimpan di sini (di ruang museum nomor 2).

SejarahMonumen Yogya Kembali dibangun pada tanggal 29 Juni 1985 dengan upacara tradisional penanaman kepala kerbau dan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Gagasan untuk mendirikan monumen ini dilontarkan oleh kolonel Soegiarto, selaku walikotamadya Yogyakarta pada tahun 1983. Nama Yogya Kembali dipilih dengan maksud sebagai tetenger (peringatan) dari peristiwa sejarah ditariknya tentara pendudukan Belanda dari ibukota RI Yogyakarta pada waktu itu, tanggal 29 Juni 1949. Hal ini merupakan tanda awal bebasnya bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintahan Belanda.3.Keraton Ngayogyakrta (Keraton Jogjakarta)Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.[1]Daftar isi 1 Tata ruang dan arsitektur umum 1.1 Tata ruang 1.2 Arsitektur umum 2 Kompleks depan 2.1 Gladhag-Pangurakan 2.2 Alun-alun Lor 2.3 Mesjid Gedhe Kasultanan 3 Kompleks inti 3.1 Kompleks Pagelaran 3.2 Siti Hinggil Ler 3.3 Kamandhungan Lor 3.4 Sri Manganti 3.5 Kedhaton 3.6 Kamagangan 3.7 Kamandhungan Kidul 3.8 Siti Hinggil Kidul 4 Kompleks belakang 4.1 Alun-alun Kidul 4.2 Plengkung Nirbaya 5 Bagian lain Keraton 5.1 Pracimosono 5.2 Roto Wijayan 5.3 Kawasan tertutup 5.4 Taman Sari 5.5 Kadipaten 5.6 Benteng Baluwerti 6 Bagian lain yang terkait 6.1 Tugu Golong Gilig 6.2 Panggung Krapyak 6.3 Kepatihan 6.4 Pathok Negoro 6.5 Bering Harjo 7 Warisan budaya 7.1 Tumplak Wajik 7.2 Garebeg 7.3 Sekaten 7.4 Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan 8 Pusaka kerajaan 8.1 Regalia 8.2 Lambang kebesaran 8.3 Gamelan 8.4 Kereta kuda pilihan 8.5 Tanda jabatan 9 Pemangku adat Yogyakarta 10 Filosofi dan mitologi seputar Keraton 11 Lihat pula 12 Catatan kaki 13 Referensi 14 Pranala luar

Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman[3].Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.Tata ruang dan arsitektur umumArsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono II Surakarta"[6]. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta[7] diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).Tata ruang

Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong PurworetnoDahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung[8] Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing[9][10].Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.Arsitektur umumSecara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol[11] yang biasanya bergaya Semar Tinandu[12] . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi[13]. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.[14]Kompleks depanGladhag-PangurakanGerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan[15] yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis[16]. Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan[17].Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet[18]. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak ada[19]. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiri[20]. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Ler.Alun-alun Lor

Tanah lapang, "Alun-alun Lor", di bagian utara kraton Yogyakarta dengan pohon Ringin Kurung-nyaAlun-alun Lor adalah sebuah lapangan berumput[21] di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi[22]. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan di tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru[23]. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem [24] yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe"[25] saat Pisowanan Ageng[26] sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah[27]. Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan[28]. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.Mesjid Gedhe KasultananArtikel utama untuk bagian ini adalah: Masjid Gedhe KaumanKompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan Pagongan. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati KK Guntur Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara Jejak Boto[29] pada upacara Sekaten pada tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu[30] di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.Kompleks intiKompleks PagelaranBangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag Rambat[31]. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba[32]. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). Bangsal Pengrawit yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.[33].Siti Hinggil LerDi selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Univ. Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae).Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro[34] sampai sekitar tahun 1926. Pacikeran barasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus. Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.Bangsal Manguntur Tangkil terletak di tengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil[35]. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan[36].Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK[37] Guntur Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.Kamandhungan LorDi selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang berada di tengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812) bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.[38]Sri MangantiKompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton.Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi balai pengadilan (?). Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006 akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan ini telah berdiri lagi di tempatnya.Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.[39]Kedhaton

Pintu Gerbang Donopratopo, Kraton YogyakartaDi sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna[40].Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen[41]. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro[42]. Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak[43], Bangsal Mandalasana[44], Gedhong Patehan[45], Gedhong Danartapura[46], Gedhong Siliran[47], Gedhong Sarangbaya[48], Gedhong Gangsa[49], dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk beribadat[50] pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.[51]KamaganganDi sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta[52]. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang sama.Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. Bangsal Magangan yang terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton. Bangunan Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.[53]Kamandhungan KidulDi ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang, Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak Karang Nangka di daerah Sokawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang, Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan Pamengkang. [54]Siti Hinggil KidulArti dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti: tanah dan hinggil: tinggi. Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah di sekitarnya[55]. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan Pamengkang, tempat orang berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan)[56] [?] dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.[57]Kompleks belakangAlun-alun KidulAlun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.[58]Plengkung NirbayaPlengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar Ketawang[59]. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.Bagian lain KeratonPracimosonoKompleks Pracimosono merupakan bagian keraton yang diperuntukkan bagi para prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit keraton tersebut mempersiapkan diri di tempat ini. Kompleks yang tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat Pagelaran dan Siti Hinggil Lor.[60]Roto WijayanKompleks Roto Wijayan merupakan bagian keraton untuk menyimpan dan memelihara kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana. Sekarang kompleks Roto Wijayan menjadi Museum Kereta Keraton. Di kompleks ini masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai kendaraan resmi. Beberapa diantaranya ialah KNy Jimat, KK Garuda Yaksa, dan Kyai Rata Pralaya. Tempat ini dapat dikunjungi oleh wisatawan.[61]Kawasan tertutupKompleks Tamanan merupakan kompleks taman yang berada di barat laut kompleks Kedhaton tempat dimana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-jalan. Kompleks ini tertutup untuk umum. Kompleks Panepen merupakan sebuah masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini juga dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi keluarga Sultan[62]. Lokasi ini tertutup untuk umum. Kompleks Kraton Kilen dibangun semasa Sultan HB VII. Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi Sultan HB X dan keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.[63]Taman SariKompleks Taman Sari merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari (Fragrant Garden) berarti taman yang indah, yang pada zaman dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang merupakan