Country Risk Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Negara, Ekonomi Pasar, dan Pembangunan Kawasan May 31, 2007, 12:21 pm Filed under: Political Economy Oleh: AACh alah satu pertanyaan yang ingin saya harapkan jawabannya dari para ekonom adalah, apakah untuk menjadikan sebuah kawasan tertinggal atau kawa- san pinggiran menjadi kawa-san pertumbuhan kita juga harus menolak campur ta- ngan negara? Saya berharap semua ekonom, termasuk dari aliran propasar sekalipun, mengatakan tidak untuk pertanyaan tersebut. Karena, kalau ada yang mengatakan ya, ekonom itu tentu benar-benar hanya tahu ekonomi pasar sepotong-sepotong, namun latah membela ekonomi pasar. Orang yang reaktif dan emosional menyikapi gagasan intervensi negara untuk pengembangan kawasan tertinggal yang memiliki potensi ekonomi cukup besar tentu tidak memahami bahwa sistem ekonomi pasar yang kuat dan berkelanjutan untuk kawasan itu adalah sistem yang juga harus direncanakan terlebih dulu. Singapura adalah contoh terdekat di depan mata untuk tesis tersebut. Ekonomi pasar Indonesia selama Orde Baru, yang ditumbuhkan sejak awal tahun 1980-an, adalah contoh ekonomi pasar yang rapuh karena selain fondasi strukturalnya rapuh, fondasi regionalnya seperti dianggap tidak perlu direncanakan. Hasilnya sudah kita rasakan, yakni ekonomi pasar Indonesia tersebut mudah dihempaskan oleh tekanan ekonomi pasar global. Salah satu penyebab kerapuhan ekonomi pasar Indonesia tersebut adalah karena penguasa dan pengusaha di Indonesia terlalu mengeksploitasi nilai lokasi Jabotabek dan pasar tenaga kerja di Jawa untuk mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya. Semua mesin induk bagi pertumbuhan ekonomi dibiarkan bahkan didorong tumbuh pesat di kawasan ini. Akibatnya, pertumbuhan tersebut membawa perekonomian nasional kepada suatu situasi yang disebut berada pada tahap social limits to growth (Fred Hirsch, 1976). Pada situasi ini situasi ekonomi agregat sebetulnya sudah tidak efisien, bahkan berbahaya apabila dipaksa untuk melanjutkan pertumbuhan. Sebagai dalam situasi seperti ini monopoli alamiah maupun monopoli yang didukung oleh kebijakan makin berkembang dan merugikan sebagian masyarakat. Contoh di Negara Lain Ada beberapa contoh pembangunan regional yang akhirnya membuat ekonomi pasar di suatu negara terbukti menjadi kuat dan berdaya tahan panjang. Sayangnya faktor ini selalu diabaikan dalam memromosikan sistem ekonomi pasar. Promosi atas ekonomi pasar Amerika Serikat sendiri selalu menutupi faktor penting yang satu ini, sehingga seolah-olah ekonomi pasar yang kuat itu tidak memerlukan fondasi regional dalam kondisi tertentu. Ekonomi pasar ala Amerika Serikat seolah-olah hanya dibentuk oleh pengakuan atas hak-hak material individu yang difasilitasi oleh sistem perdagangan bebas dan jaminan atas hak milik dan karya intelektual (property rights). Seolah-olah hanya karena instrumen dan sistem seperti itu saja ekonomi Amerika Serikat mencapai kemajuan.

Cobalah kita bayangkan kalau kota industri film Los Angeles letaknya masih di sekitar New York City atau dekat Chicago. Lalu kota judi dan kota adu jotos Las Vegas juga terletak di sekitar New York City atau Chicago. Lalu andaikan Kota San Francisco juga di sekitar dekat dua kota bisnis tadi. Belum lagi kalau Silicon Valey yang di California dan industri pesawat Boeing di Seattle masih pula terletak di wilayah timur. Mungkin, walau tidak pasti, sejak dahulu perekonomian Amerika Serikat sering diganggu oleh ketidakstabilan sosial, politik dan pemerintahan (kelembagaan). Amerika Serikat mungkin sudah lama mengalami tahap social limits to growth dalam skala luas. Ekonomi Amerika Serikat tumbuh relatif berkesinambungan antara lain adalah karena adanya penyebaran dan kompetisi antarkota yang akhirnya mendorong tiap kota membangun dan mempertahankan keunggulan masing-masing. Masih ada sejumlah kota lagi yang letaknya terpencar di benua daratan Amerika itu dengan kekuatan distinctive competence sendiri-sendiri. Sebutlah misalnya Washington DC, Atlanta, Miami, atau Texas. Masing-masing juga memiliki daya tarik tersendiri bagi investor wisatawan atau pencari hiburan, maupun bagi pemerintah untuk penyelenggaraan event internasional. Mari kita menoleh pula ke Eropa dengan melihat pengalaman di dua negara, yakni Inggris dan Norwegia. Di Inggris, beberapa dekade lalu kawasan utara tergolong kawasan yang sangat tertinggal secara ekonomi dibanding kawasan Selatan yang berpusat di London. Tetapi ketimpangan antara utara dan selatan di Inggris ini tentu akan lebih parah jika pemerintahan (Partai Buruh) dulu tidak melakukan intervensi untuk mengembangkan daerah-daerah di wilayah utara. London Raya bisa menjadi pusat segala kegiatan nasional, mulai dari politik, industri, perdagangan dan sebagainya, yang menyimpan kesemrawutan. Artinya, Inggris juga bisa sejak lama dibebani oleh situasi social limits to growth kalau intervensi dalam pembangunan regional dan antarregional itu tidak dilakukan oleh pemerintah. Bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah Inggris pada masa lalu antara lain, mengadakan pengaturan penggunaan lahan, memberi insentif pajak kepada industri yang mau pindah ke lokasi baru, mendirikan pusat pelatihan tenaga kerja yang memberikan jasa pelatihan gratis kepada para pencari kerja, dan sebagainya. Dengan cara seperti ini akhirnya daerah yang tadinya tidak diminati oleh investor menjadi diminati dan berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru. Setelah daerah itu maju, tentu saja berbagai insentif tadi dicabut. Artinya, campur tangan pemerintah tadi hanya dimaksudkan untuk sementara dengan maksud untuk mengantarkan daerah-daerah tertinggal tersebut memasuki fase ekonomi pasar. Tertinggi Contoh lain yang bisa disebut adalah Norwegia, yang kini meraih status sebagai negara dengan pendapatan per kapita penduduk tertinggi di dunia. Mirip dengan Inggris, walau jumlah penduduknya kecil, dahulu pusat berbagai aktivitas nasional negara ini sangat terkonsentrasi di Kota Oslo yang terletak di ujung Selatan. Tetapi pemerintah Norwegia menyadari potensi negaranya di kawasan utara, baik di bidang kelautan, pariwisata maupun industri. Pemerintah Norwegia mengambil inisiatif menghidupkan sebuah kota kecil di wilayah paling utara negeri itu yang bernama Troms. Untuk mengembangkan kota tersebut pemerintah membangun dua

jembatan yang jaraknya terpisah sekitar empat kilometer satu sama lain dengan fungsi menghubungkan Pulau Troms dengan daratan Norwegia. Di sana juga dibangun bandar udara modern dan sejumlah dermaga pelabuhan laut. Selain itu, pemerintah Norwegia mendirikan pula Universitas Troms (lengkap dengan beberapa lembaga riset, rumah sakit dan laboratorium). Karena letaknya di kawasan paling utara Norwegia, negeri ini bisa mengklaim sebagai negara yang memiliki universitas yang berlokasi paling utara di dunia. Di samping melakukan intervensi dalam bentuk penyediaan infrastruktur dan pembangunan berbagai sarana kota, Pemerintah Norwegia sampai saat ini tetap memberikan insentif sosial bagi para pegawai negeri dan polisi yang mau bertugas di daerah ini. Para alumni akademi kepolisian, misalnya, akan mendapatkan tambahan gaji, tunjangan keluarga, dan tambahan biaya sekolah anak, bila mereka mau bertugas di wilayah utara. Artinya, pemerintah lebih melakukan sistem reward daripada menggunakan pendekatan represif atau mengeksploitasi sentimen nasionalisme dalam menugaskan aparat negaranya ke daerah-daerah pinggiran. Hasil dari kebijakan pengembangan yang sangat terencana tadi bukan hanya mengubah Pulau Troms yang tadinya hanya dihuni oleh penduduk dari beberapa desa kecil menjadi sebuah pulau dengan kota modern dan indah. Pulau Troms juga memiliki sebuah kota yang modern dan berfungsi memperkuat fondasi perekonomian nasional negara itu. Di Indonesia, kita sudah lama sadar bahwa kita punya potensi alam yang indah di berbagai kawasan di luar Jawa. Tetapi sebagian cerita tentang kawasan potensial itu banyak hanya membuat kita larut dalam mimpi panjang. Sebagian cerita lainnya berisi kisah-kisah menyedihkan, cerita tentang Fakfak di Papua, Nias di Sumatera Utara, Sabang di Aceh dan sebagainya. Di pertengahan masa Orde Baru mulai ada kesadaran untuk membangun kawasan tertinggal, khususnya kawasan timur. Namun, jika diamati dengan kacamata ekonomi-politik, kebijakan ini sebetulnya lebih sarat dengan bias-bias politik daripada kebijakan yang dilandaskan pada perencanaan strategis yang sungguh-sungguh. Sejumlah politisi dan elite dari daerah tertentu telah mendapatkan kursi jabatan atau nilai tawar politik di tingkat nasional sejak belasan tahun yang lalu. Tetapi, hingga kini kita belum melihat satu daerahpun yang tumbuh secara signifikan menjadi kawasan baru dengan kemajuan sosial, lingkungan, ekonomi dan pemerintahan yang berarti bagi kawasan timur sendiri maupun bagi kawasan nasional. Intervensi negara sudah lama dilakukan untuk kawasan timur Indonesia. Tetapi kalau kita pinjam bahasa latah sejumlah ekonom, pasar belum juga melirik Kawasan Timur Indonesia itu. Apa yang salah dengan bentuk campur tangan negara itu? Like Be the first to like this post.

PENGARUH COUNTRY RISK INDEX TERHADAP FOREIGN DIRECT INVESTMENT DI INDONESIA Rabu, 29 September 2010Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah yang membentang luas memiliki potensi sumber daya yang sangat besar dan pada saat yang sama membutuhkan dana yang sangat besar pula untuk melaksanakan pembangunan nasional. Untuk menyediakan dana pembangunan dan menggerakan perekonomian nasional, maka Pemerintah harus berupaya menggali sumber pembiayaan dalam negeri dan juga mencari sumber pembiayaan luar negeri sebagai pelengkap, salah satunya adalah Penanaman Modal Asing secara langsung atau foreign direct invest (FDI). Secara sederhana yang dimaksud dengan FDI adalah arus modal internasional dimana perusahaan dari suatu negara mendirikan atau memperluas perusahaannya di negara lain. Sumber pembiayaan FDI memiliki banyak keunggulan bagi negara penerima dibandingkan dengan sumber pembiayaan luar negeri lainnya, seperti aliran portofolio dalam pasar modal. FDI sangat penting dalam menjamin kelangsungan pembangunan di negara penerima, mengingat aktivitas FDI akan diikuti dengan transfer of technology, know-how, management skill, serta menghasilkan lapangan pekerjaan dan multiplier effect yang luas di sektor riil. Selain itu umumnya investor asing mempunyai akses dan jaringan dengan pasar global, sehingga dapat lebih mudah menghimpun dana kredit dari lembaga keuangan global serta memiliki akses pemasaran bagi kegiatan ekspor. Pilihan untuk menanamkan modal di suatu negara bagi investor asing sangat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan (profit), yaitu agar mendapatkan sumber bahan baku dan faktor produksi lainnya (termasuk tenaga kerja) yang lebih baik atau lebih murah, penetrasi pasar dan mengurangi resiko hambatan tariff perdagangan, serta memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. Namun faktor pertimbangan ekonomi bukanlah satu-satunya yang menentukan. Faktor lain yang diperhitungkan oleh investor asing adalah lingkungan atau kerangka kebijakan (policy framework), khususnya yang berkaitan dengan regulasi yang mendukung keterbukaan pasar, stabilitasi politik dan sosial, standarisasi kesepakatan internasional, perlindungan kepemilikan, serta kebijakan perdagangan dan perpajakan. Untuk itulah maka setiap negara harus mempersiapkan strategi, kebijakan, infrastruktur dan fasilitas yang baik agar dapat menciptakan iklim yang kondusif dan memenangkan kompetisi atas negara lainnya dalam menarik minat investor asing, tanpa meminggirkan keberadaan entrepreneur dan tenaga kerja domestik, serta nilai-nilai sosial, budaya dan lingkungan ekologis. Perkembangan FDI di Indonesia Kehadiran penanaman modal asing telah banyak berperan dalam proses pembangunan di Indonesia. Pemerintah sangat berkepentingan untuk menarik investasi asing dan tercermin dari diterbitkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, serta pembentukan Panitia Teknis Penanaman Modal pada tahun 1968 yang kemudian berubah menjadi Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tahun 1973. Selanjutnya serangkaian kebijakan untuk memperbaiki iklim investasi telah diterapkan, termasuk penerbitan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dari nilai nomimal, jumlah realisasi FDI di Indonesia mengalami fluktuasi yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi global. Seperti tampak dalam grafik 1, krisis ekonomi dunia yang terjadi pada era tahun 1997 menyebabkan arus masuk FDI ke Indonesia mengalami penurunan yang kurang menggembirakan, meskipun kemudian dapat meningkat kembali sehingga mencapai angka US$ 9,8 milyar pada tahun 2000 dan kembali menurun hingga di bawah US$ 4 milyar pada periode tahun 2001-2002. Dalam 3 tahun terakhir terlihat bahwa nilai realisasi FDI selalu berada di atas angka US$ 10 milyar, bahkan nilai realisasi tahun 2008 dapat mencapai angka US$ 14,8 milyar.

Lebih lanjut data BPKM menunjukan bahwa sektor usaha transportasi, gudang dan komunikasi menempati peringkat pertama yang diminati oleh investor asing pada tahun 2009 (US$ 4,1 milyar), diikuti oleh sektor industri kimia dan farmasi (US$ 1,1 milyar), perdagangan dan reparasi (US$ 706 juta), industri logam, mesin dan elektronika (US$ 654 juta), industri kendaraan bermotor dan transportasi (US$ 583 juta), industri makanan (US$ 552 juta) dan konstruksi (US$ 349 juta). Sedangkan negara asal investor asing yang banyak menanamkan modal di Indonesia adalah berturut-turut: Singapura (189 proyek senilai US$ 4,3 milyar), Belanda (32 proyek senilai US$ 1,1 milyar), Jepang (124 proyek senilai US$ 678 juta), Korea Selatan (186 proyek senilai US$ 624 juta), Inggris (61 proyek senilai US$ 587 juta), Seychel - Afrika (4 proyek senilai US$ 322 juta), Amerika Serikat (27 proyek senilai US$ 171 juta) dan Mauritius (6 proyek senilai US$ 159 juta). Untuk melihat lebih jauh kinerja penyerapan FDI dari suatu negara, salah satu indikator yang sering dipakai adalah hasil Matrix of Inward FDI Performance and Potential yang dikeluarkan oleh United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD). UNCTAD secara periodik telah melakukan penelitian terhadap kinerja realisasi FDI (yaitu perhitungan share FDI suatu negara terhadap total FDI global dibandingkan dengan share PDB suatu negara terhadap PDB global) dan potensi untuk menarik FDI (seperti kualitas infrastruktur dan ketrampilan, kapasitas teknologi, stabilitas ekonomi dan politik). Berdasarkan hasil penelitian terhadap 141 negara pada tahun 2006, UNCTAD menempatkan Indonesia pada peringkat 104 untuk Inward FDI Performance dan peringkat 100 untuk Inward FDI Potential. Sebagaimana tabel 3 terlihat bahwa untuk negara di kawasan ASEAN yang turut diteliti, tampak Singapura dan Thailand termasuk dalam kategori front runner (high performance, high potential), serta Vietnam termasuk dalam kategori above potential (high performance, low potential). Sedangkan 2 negara lainnya (Brunei Darussalam dan malaysia) termasuk dalam kategori below potential (low performance, high potential) dan 3 negara (Indonesia, Philipina dan Myammar) termasuk dalam kategori under performers (low performance, low potential).

TABEL 3 : MATRIX OF INWARD FDI PERFORMANCE AND POTENTIAL (2007)

Hasil ini menarik untuk dikaji lebih mendalam dan berkaitan erat dengan fenomena keberadaan proyek penanaman modal asing yang belum memulai aktivitasnya di Indonesia meskipun telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah (BPKM), sehingga dapat diketahui kendala dan rekomendasi pemecahan masalah. IMPLIKASI COUNTRY RISK INDEX DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Persepsi investor terhadap iklim investasi suatu negara seringkali dipertimbangkan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi aliran modal asing masuk ke suatu negara. Persepsi internasional yang direpresentasikan dengan country risk index juga dapat menggambarkan bagaimana kemampuan suatu negara dalam memfasilitasi pelaksanaan usaha dari berbagai aspek, seperti: kemudahan dalam melaksanakan usaha, daya saing, kualitas sumber daya manusia, stabililtas politik dan kebebasan. Salah satu penelitian yang secara komprehensif telah mengkaji permasalah ini adalah penelitian yang dilakukan oleh John H. Dunning (2002), yang menyimpulkan 3 faktor yang mempengaruhi arus masuk FDI adalah:

1. Economic Determinant, yang meliputi: (a) ukuran pasar; (b) kualitas sumber daya; (c) faktorefisiensi; dan (d) ketersediaan asset. 2. Policy Framework, yang meliputi: (a) stabilitas ekonomi, politik dan sosial; (b) aturan yang mendukung masuk dan beroperasinya suatu usaha; (c) standar kesepakatan internasional; (d) kebijakan dalam memfungsikan dan struktur pasar; (e) persetujuan internasional mengenai FDI; (f) kebijakan privatisasi; (g) kebijakan perdagangan dan perpajakan; dan (i) kebijakan industri. 3. Business Facilitation, yang meliputi : (a) insentif; (b) kapital sosial; (c) pelindungan kepemilikan; dan (d) kualitas infrastruktur.

Berdasarkan model yang dikembangkan oleh Dunning tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (Sari Nadia dan Arlyana Abubakar, 2009) membuat spesifikasi model persamaan yang mewakili ketiga variable independen di atas, sebagai berikut: (market size, trend GDP, interest rate, openness, GCI, CPI, Doing Business)hFDI = Dari uji regresi yang dilakukan terhadap Indonesia dan 9 negara sample lainnya (Brazil, Peru, Colombia, Turkey, Vietnam, Philipina, India, Mexico dan Thailand) terhadap panel data periode 2004-2008 telah menghasilkan signifikansi dari model tersebut. Model persamaan tersebut menunjukkan bahwa faktor fundamental ekonomi (yang diwakili oleh market size, trend GDP dan interest rate) secara statistik terbukti berpengaruh positif terhadap FDI di 10 negara sample tersebut. Begitu pula faktor kerangka kebijakan (yang diwakili oleh degree of openness) dan faktor fasilitas usaha (yang diwakili oleh Global Competitiveness Index/GCI, Corruption Perception Index/CPI dan Ease of Doing Business) terbukti secara empiris mempengaruhi keputusan investor menanamkan modalnya. Analisa regresi ini konsisten pula dengan Matrix Inward FDI Performance and Potential dari UNCTAD, dimana terdapat korelasi antara index GCI, CPI dan Doing Business dengan potensi dan kinerja FDI di masing-masing negara. Analisa country risk index untuk Indonesia memperlihatkan bahwa peringkat Global Competitiveness Index (GCI) relatif lebih baik dibandingkan performance pada variable lainnya. Berdasarkan laporan terbaru Global Competitivess Report 2010-2011 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum terlihat bahwa skor daya saing Indonesia secara keseluruhan menunjuk tren semakin meningkat (dari 4.26 menjadi 4.43), sehingga peringkatnya naik dari rangking 54 menjadi 44 dari 132 negara. Penilaian GCI tersebut didasarkan penilaian atas 12 pilar yang dikelompokkan dalam 3 faktor, dimana peringkat Indonesia untuk masing-masing pilar adalah sebagai berikut:

1. Basic Requirement (Institutions/61, Infrastructure/82, Macroeconomic Environment/35, Healthand Primary Education/62);

2. Efficiency Enhancers (Higher Education/66, Goods Market Efficiency/49, Labor MarketEfficiency/84, Financial Market Development/62, Technological Readiness/91, Market Size/15); 3. Innovation and Sophistication (Business Sophistication/37, Innovation/36). Berdasarkan indeks GCI tersebut maka upaya peningkatan daya saing Indonesia harus terus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dari Negara ASEAN lainnya, seperti Singapura (peringkat 3), Malaysia (26), Brunei Darussalam (28) dan Thailand (38). Indonesia harus semakin mampu meningkatkan pilar yang telah memiliki daya saing (yaitu: kapasitas inovasi, ketersediaan scientifist dan engineer, pengembangan cluster, serta value chain breadth) dan melalukan perbaikan perbaikan pada 3 area utama yang masih banyak memiliki keterbatasan (competitive disadvantages), yaitu infrastuktur jalan dan pelabuhan, ketersediaan energi listrik, serta kesiapan teknologi berupa rasio penggunaan komputer dan teknologi informatika. Untuk indeks kemudahan menjalankan usaha, hasil pemeringkatan Ease of Doing Business 2010 yang dikeluarkan oleh International Finance Corporation (IFC) - World Bank Group memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-122, atau berada di bawah Singapura (1), Thailand (12), Malaysia (23), Vietnam (93) dan Brunei Darussalam (96). Dari 10 aspek yang diteliti oleh IFC tersebut, terdapat 3 aspek dimana rangking Indonesia dinilai sangat rendah, yaitu: starting a business, employing worker, dan enforcing contract. Berkaitan dengan upaya untuk memperbaiki kualitas dari ketiga aspek tersebut, maka diperlukan serangkaian kebijakan di antaranya:

1. Mempersingkat waktu yang diperlukan mendapatkan perizinan dan memulai usaha, melaluipeningkatan pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009) dan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi secara Elektronika (SPIPISE). 2. Memperbaiki ketentuan ketenagakerjaan dengan memperhatikan kemudahan dan fleksibilitas bagi investor dalam proses hiring and firing, serta kepastian dan perlindungan bagi pekerja. 3. Memberikan kepastian hukum atas peraturan pusat dan peraturan daerah agar tidak menimbulkan beban biaya tambahan pada kegiatan berusaha. 4. Meningkatkan efisiensi waktu dan biaya dalam penyelesaian perselisihan usaha. Berkaitan dengan Corruption Perception Index (CPI) yang memiliki rentang skor 0-10 (highly corrupt to highly clean), data terbaru yang dikeluarkan oleh Transparency International memperlihatkan bahwa tindakan nyata perbaikan yang tengah berjalan terus dapat memperbaiki skor CPI dari 2.6 (tahun 2008) menjadi 2.8 (tahun 2009), sehingga peringkat Indonesia naik menjadi urutan ke-111 (tahun sebelumnya di urutan ke 126). Pencapaian ini tentunya tidak boleh membuat kita berpuas diri mengingat masih banyak negara yang memiliki indeks lebih baik. Pencapaian ini justru harus memacu akselerasi pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang menjadi salah satu dari 5 agenda utama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2009-2014. Akhirnya keberhasilan untuk menarik investasi asing dan mempertahankan kesinambungan-nya tidak hanya merupakan tugas dari pemerintah di tingkat pusat saja, melainkan juga memerlukan upaya nyata dari pemerintah di tingkat daerah dalam kerangka kemandirian dan otonomi daerah untuk mendukung iklim investasi yang kondusif, sehingga dapat memajukan kesejahteraan rakyat. Untuk itu maka perlu peningkatan kesamaan visi dan kesatuan langkah di antara instansi Pusat hingga Daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara akuntabel, baik instansi pelaksana atau penyedia layanan publik, instansi pengawasan, dan instansi penegak hukum, bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya. (Chairil/Adyawarman) Daftar Pustaka:

1. Dunning, John H (2002): Determinants of Foreign Direct Investment: Globalization-Induced

Changes and the Role of Policies, Annual World Bank Conference on Development Economics.

2. Nonnemberg, Marcelo Braga and Mario Jorge Cardodo de Mendonca (2004) : The Determinants 3. 4. 5. 6. 7. 8.of Foreign Direct Investment in Developing Countries, ANPEC - Brazilian Association of Graduate Programs in Economics, Proceedings of the 32th Brazilian Economics Meeting. Sarwedi (2002): Investasi Asing Langsung di Indonesia dan Faktor yang mempengaruhinya, Jurnal Akutansi dan Keuangan, Vol. 4, No. 1, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Sulstarova, Astrit (2008): FDI Performance and Potential Rankings, United Nations Conference on Trade and Development. Tambunan, Tulus (2006): Growth of Foreign Investment in Indonesia and Encountering Problems, Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Jakarta. United Nations Conference on Trade and Development (www.unctad.org): World Investment Report 2008, Transnational Corporations and the Infrastructure Challenge. World Economic Forum (www.weforum.org): The Global Competitiveness Report 2010-2011. Data Statistik Badan Kordinasi Penanaman Modal (www.bkpm.go.id): o Perkembangan Realisasi Investasi, 1990 31 Desember 2009. o Peringkat Realisasi Investasi PMA Menurut Negara, 1 Januari 31 Desember 2009. o Peringkat Realisasi Investasi Menurut Sektor, 1 Januari 31 Desember 2009.