23
LAPORAN KASUS (CASE REPORT) TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS Oleh: Shella Arivia 0918011078 Tri Agung Sanjaya 0918011100 Pembimbing dr. Hendra Sibero Tarigan, M.Kes.,Sp.KK dr. M. Syafei Hamzah, Sp.KK dr.Yulisna, Sp.KK dr. Arif Effendi, Sp.KK SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. Hi. ABDUL MOELOEK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

CR TEN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case report TEN

Citation preview

LAPORAN KASUS(CASE REPORT)TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

Oleh:Shella Arivia 0918011078Tri Agung Sanjaya 0918011100

Pembimbing dr. Hendra Sibero Tarigan, M.Kes.,Sp.KK dr. M. Syafei Hamzah, Sp.KKdr.Yulisna, Sp.KKdr. Arif Effendi, Sp.KK

SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMINRUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. Hi. ABDUL MOELOEKFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG2014

STATUS PASIEN

No. Rekam Medik: 336863Masuk RSAM: 19 Maret 2014Pukul: 10.30 WIB

I. ANAMNESISAlloanamnesis dari suami pasien, tanggal 22 Maret 2014, pukul 13.00 WIBIdentitas Nama penderita: Ny. NH Umur: 19 Tahun Jenis kelamin: Perempuan Alamat: Taman Agung, Kec Kalianda, Lampung Selatan Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga Pendidikan: SMA Agama: Islam Suku Bangsa: Palembang Status: Menikah

ALLOANAMNESISKeluhan utama:Lepuh pada kulit disertai kerusakan kulit pada dada, leher,perut punggung lipat paha dan pergelangan tangan serta kaki selama 4 hariKeluhan tambahan: Sisik kehitaman pada bibir, kulit terkelupas pada wajah Demam,mata berair

Riwayat Penyakit Sekarang

Pada hari Jum,at, 14 maret 2014, pasien mengeluhkan demam yang sifatnya terus menerus, disertai dengan mencret dengan frekuensi 3x/hari, disertai penurunan kesadaran. Pasien sempat kontrol berobat ke Bidan dan diberikan amoxicillin dan paacetamol. Karena tidak ada perubahaan, hari Sabtu 15 Maret 2014 pasien dibawa ke RS daerah dan mendapat perawatan.

Pada hari kedua perawatan (senin 17 Maret 2014), muncul adanya bintil-bintil berisi air dengan dasar kemerahan yang pada awalnya tersebar di dada dan sekitar leher. Sifatnya tidak gatal. Satu hari kemudian Selasa 18 Maret 2014 bintil tersebut menyebar sampai ke ketiak ,punggung dan perut. Kulit wajah mulai kemerahan dan bibir mengalami perdarahan. Akhirnya pasien dirujuk ke RSUAM.

Rabu 19 Maret 2014 bintil bintil tersebut pecah meninggalkan gambaran lepuh kulit disertai kerusakan kulit dengan dasar kemerahan, dan tersebar sebagian besar dada, leher,perut punggung, lipat paha dan pergelangan tangan serta kaki. Pada bibir tampak sisik kehitaman. Pasien juga mengeluhkan mata sering mengeluarkan air dan pandangan menjadi kabur. Kamis 20 Maret 2014, kerusakan kulit disertai dengan adanya bagian kulit yang terkelupas terutama pada bagian wajah.

Tidak pernah menderita gejala seperti ini sebelumnya. Riwayat asma dan alergi makanan maupun alergi obat-obatan pada diri pasien disangkal. Pasien memiliki riwayat demam berulang, disertai lemas sejak bulan Juli 2013 dan sering kontrol ke bidan yang sama dan mendapat obat paracetamol

Keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami penyakit yang sama. Tidak ada juga yang mempunyai riwayat alergi makanan ataupun alergi obat.

II. PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS Keadaan umum: Tampak Sakit Sedang Kesadaran: Compos mentis

Vital sign TD: 130/80 mmHg Nadi: 96 x/menit, teratur, isi cukup Respirasi: 26 x/menit Suhu: 38,7 OC Thoraks: Dalam Batas Normal Abdomen: Hepar teraba 1 jari dibawah costae XII dekstra dan lien teraba scuffner 1-2 KGB: Tidak diperiksa

STATUS DERMATOLOGIS Lokasi: Regio volar sinistra et dekstra, regio cruris sinistra et dekstra, regio fascialis, regio colli, regio Thorakalis anterior-posterior, regio abdomen Inspeksi: Regio fascialis & regio coli: Tampak eritema disertai krusta kekuningan dengan skuama-skuama halus yang tersebar generalisata. Pada labium oris tampak krusta kehitaman tesusun liniar Pada distribusi generalisata (meliputi: Regio volar sinistra et dekstra, regio cruris sinistra et dekstra, regio Thorakalis anterior-posterior, regio abdomen) tampak erosi dengan dasar eritema yang multipel disertai krusta tebal kehitaman pada daerah tepi erosi dengan ukuran numular-plakat, difus dengan sebaran generalisata

Tes manipulasi: Tidak dilakukan

Gambaran dermatologis pada daerah sekitar leher

Gambaran dermatologis pada daerah punggung

Gambaran dermatologis pada daerah punggung

Gambaran dermatologis pada pergelangan tangan dan kaki

LABORATORIUMTidak dilakukan

Diagnosis Banding Nekrolisis Epidermal Toksik Stevens-Johnson syndrome Stafilococcal Scalded Skin Syndrom Erithema multiforme Thermal burns (Combustio)

Diagnosis Kerja Nekrolisis Epidermal Toksik

PENATALAKSANAAN1. UMUM Memberikan penjelasan pada orangtua pasien tentang penyakit yang diderita

Menghentikan obat yang diduga menyebabkan penyakit yang diderita Stabilisasi jalan napas dan hemodinamik, perawatan luka, dan mengontrol nyeri. Terapi cairan yang adekuat serta koreksi elektrolit. Konsultasi dengan dokter spesialis lain (seperti spesialis Kulit, mata, penyakit dalam)

2. KHUSUS Sistemik IVFD NaCl:D5:Rl dengan perbandingan 1:1;1 Ceterizine 10 mg 2x1 tab Topikal : NaCl 0,9% untuk kompres mata dan bibir Silver sulfadiazine 1 % krim

Pemeriksaan Anjuran Pemeriksaan Histopatologi: Biopsi kulit

PrognosisQuo ad vitam: Dubia ad malamQuo ad functionam : Dubia ad malamQuo ad sanationam: Dubia

ANALISA KASUS

PEMBAHASANPada kasus ini,pasien didiagnosis toxic epidermal necrolis. Hal ini didasari dengan dengan adanya trias kelainan kulit, mukosa, dan mata, serta hubungannya dengan faktor penyebabnya. Dari anamnesis diketahui bahwa terdapat kelainan pada kulit yang awalnya berupa gambaran kulit berwarna kemerahan lalu berkembang jadi timbul gelembung-gelembung berisi cairan pada hampir seluruh badan dan pada beberapa tempat mengelupas terlihat kemerahan dan terasa perih. Dan kelainan kulit ini berkembang dengan terjadinya kerusakan kulit yang luas disertai dengan sisik yang muncul pada tepi luka dan lapisan kulit terkelupas dengan penyebaran menyeluruh hampir pada seluruh tubuh. Adapun diagnosa toxic epidermal necrolis didasari dari distribusi lesi pada luas tubuh yang diperkirakan >30 %.Pada pemeriksaan fisik, status generalis didapatkan pada pemeriksaan mata ditemukan konjungtiva hipersekresi dan gambaran dermatologis pada Regio fascialis & regio coli: Tampak eritema disertai krusta kekuningan dengan skuama-skuama halus yang tersebar generalisata. Pada labium oris tampak krusta kehitaman tesusun liniar. Pada distribusi generalisata (meliputi: Regio volar sinistra et dekstra, regio cruris sinistra et dekstra, regio Thorakalis anterior-posterior, regio abdomen) tampak erosi dengan dasar eritema yang multipel disertai krusta tebal kehitaman pada daerah tepi erosi dengan ukuran numular-plakat, difus dengan sebaran generalisata

Secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi (tetapi pada pasien ini tidak terlihat), kelainan pada mukosa, mata, serta dapat disertai dengan demam. Selain itu dapat didukung dengan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dapat pula terjadi peningkatan eosinophil. Biopsi kulit dapat direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus yang atipik.Pasien dapat diklasifikasikan menjadi tiga grup berdasarkan luas area epidermis yang mengelupas atau dapat dikelupas (tanda Nikolsky positif), yaitu:1. Sindroma Stevens-Johnson; bila kurang dari 10% luas permukaan tubuh (BSA)2. SJS/TEN overlap bila antara 10-30% luas permukaan tubuh3. TEN (Toxic Epidermal Necrolysis) bila lebih dari 30% luas permukaan tubuhPenyakit ini perlu dibedakan dengan Eritema Multiforme Majus (EMM). Lesi target yang menimbul (raised) baik yang tipikal maupun atipikal merupakan lesi karakteristik untuk EMM. Lesi ini kebanyakan muncul pada ekstremitas, namun kadangkala dapat pula terdapat pada wajah dan tubuh, terutama pada anak-anak. Sebaliknya, lesi target yang tersebar luas, seringkali berupa makula konfluens atau lesi target atipikal datar yang dominan di tubuh merupakan gambaran lesi yang khas pada Sindroma Stevens-Johnson. Perbedaan Eritema Multiforme, Sindroma Stevens-Johnson dan Epidermal Nekrolisis Toksik

Tabel 1. Perbedaan Eritema Multiforme dan Epidermal Necrolysis(SSJ/ENT)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Toxic Epidermal Necrolisis merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lemdir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum yang berat ; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. Pertama kali dideskrpsikan tahun 1956 oleh Lyell. Banyak penelitian mempertimbangakan bahwa steven Johnson sindrom dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah penyakit yang sama hanya berbeda manifestasi, daripada itu, banyak yang Penyebutan SJS-TEN(. Pada SJS, pelepasan epidermal terjadi kurang dari 10% total area tubuh. Pada transisional SJS-TEN , pelepasan epidermis tubuh terjadi antara 10-30% dari total area tubuh. Pada TEN , Pelepasan epidermis terdali pada lebih dari 30% dari total area tubuh. Pada sumber lain( Fitzpatrick:Bahwa SJS maupun TEN digolongkan sebagai suatu kelainan membran mukosa kulit yang disebut sebagai Epidermal Necrolysis/EN)

B. PATOFISIOLOGIPatofisiologi dari penyakit EN masih belum jelas, namun dapat ditegakkan bahwa Obat obatan merupakan faktor penyebab terpenting. Sedangkan selebihnya yang berkembang dalam penyebab terjadinya EN adalah faktor agen infeksius seperti bakteri atau virus.Sasaran utama SJS dan NET adalah pada kulit berupa dekstruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktifitass sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 juga meningkat. , juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat dalam dermis, sedangkan CD8 pada epidermis. Faktor resiko yang bisa memperberat SJS antara lain : penyakit HIV atau autoimun yang lain (misal SLE).

C. ETIOLOGIObat obatan merupakan faktor penyebab terpenting. Sedangkan selebihnya yang berkembang dalam penyebab terjadinya EN adalah faktor agen infeksius seperti bakteri atau virus.

Gambar 1.Obat dengan Resiko Epidermal NecrolysisD. MANIFESTASI KLINISBiasanya, proses penyakit dimulai dengan infeksi saluran pernapasan atas yang tidak spesifik. Hal ini merupakan bagian dari gejala prodormal yang biasanya berlangsung selama 1-14 hari . Selain itu dapat ditemukan juga gejala lain seperti: demam, sakit tenggorokan, menggigil, sakit kepala, dan malaise. Dalam sedikit kasus dapat juga ditemukan mual dan muntah. Lesi pada kulit muncul dengan tiba-tiba. Kulit akan mengalami keadaan melepuh selama 2-4 minggu, lesi yang terjadi biasanya non pruritik. Demam dilaporkan terjadi pada sekitar 85% kasus. Lesi yang terjadi pada bibir bisa terjadi sangat parah sehingga pasien sampai kesulitan untuk makan.

Gambar 2.Luas Permukaan Kulit Yang Terkena Pada SJS dan TEN

E. KELUHAN FISIK Ruam dapat mulai sebagai macula yang berkembang menjadi papul, vesikel, bula, plak, urtikaria, atau eritma konfluen Lesi khas memiliki penampilan target.target dianggap patogmonic. Berbeda dengan lesi pada eritema multiforme, lesi pada eritema multiforme hanya memiliki dua zona warna. Inti mungkin vesikuler, purpura, ataupun nekrotik. Zona tersebut dikelilingi oleh eritema macular. Beberapa menyebutnya target lesi Lesi dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Kulit ini rentan terhadap infeksi sekunder Lesi urtikarial biasanya tidak gatal Infeksi mungkin bertanggung jawab atas bekas luka yang berhubungan dengan morbiditas Meskipun lesi dapat terjadi di mana saja, akan tetapi bagian telapak tangan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor paling banyak dialporkan terjadi Keterlibatan mukosa termasuk adanya eritema, edema, ulserasi, dan nekrosis.

Gambar 3.Gejala Klinis Epidermal Necrolysis

F. DIAGNOSIS BANDING Stevens Johnson Syndrom Stafilococcal Scalded skin syndrome Burns Thermal Eritema multiforme

G. PEMERIKSAAN PENUNJANGTidak ada pemeriksaan laboratorium khusus ( keculai biopsy) yang dapat menegakkan diagnosis EN. Pemeriksaan darah :Namun tidak spesifik, seperti adanya anemia,ketidakseimbangan elektrolit,hipoproteinemia, hipoalbuminemia, dll. HItung darah lengkap dapat menunjukkan keadaan leusitosis yang non spesifik. Hitung jenis leukosis yang sangat tinggi dapat menunjukkan adanya infeksi bakteri. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi secara klinis dicurigai. Biopsi kulit merupakan alat diagnosis pasti terhadap SJS tapi bukan merupakan prosedur emergency

H. PENATALAKSANAANPrinsip penatalaksanaan pasien sebelum rumah sakit sama dengan penatalaksanaan pasien luka bakar, dengan pencegahan infeksi. Penatalaksanaan pasien SJS meliputi Penatalaksanaan simptomatik dan penatalaksanaan khusus.Penatalaksanaan simptomatik dari EN (SJS ataupun TEN) diasosiasikan dengan kehilangan cairan yang signifikan karena erosi pada kulit sehingga dapat terjadi kondisi hipovolemia dan ketidakseimbangan electrolit. Maka harus dilakukan terapi pengganti cairan/fluid replacement yang adekuat sama halnya dengan orang yang mengalami luka bakar.Pemberian nutrisi makanan dapat ditunjang dengan menggunakan Nasogastric tube(NGT) untuk mengurangi resiko terjadinya translokasi bakteri dari saluran cerna. Pemberian antibiotik profilaksis tidak diindikasikan, pasien baru dapat diberikan antibiotik bila diduga ditemukan gejala klinis infeksi. Tindakan debridement tak direkomendasikan karena pada epidermis yang mengalami nekrosis karena nekrosis superfisial bukan berarti tidak mungkin terjadi suatu proses re-epitelisasiPenatalaksanaan khusus disini meliputi:Kortikosteroid sistemik: Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada fase akut dapat memberikan hasil yang baik pada kasus SJS. Dosis yang digunakan seperti Prednison 60mg selama 4 hari. Setelah itu diturunkan menjadi 40mg/hari. Setelah satu minggu dosis diturunkan kembali menjadi 20mg/hari. Satu minggu kemudian dosis diturunkan kembali menjadi 10mg/hari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu kemudian pengobatan di stop. Namun penelitian lain menganggap bahwa penggunanan kortikosteroid tidak dapat menghambat progresivitas dari penyakit EN dan malah sering dihubungkan sebagai penyebab kematian pasien dikarenakan sepsis. Sejauh ini laporan menunjukkan bahwa kortikosteroid meningkatkan resiko mortalitas EN dan tidak direkomendasikan.Cyclosporin:Adalah agen imunosupresif yang kuat dan secara teori berguna dalam kasus EN meliputiaktivasi sel T helper 2 cytokines dan inhibisi dari sel CD 8 cytotoxic dan anti apoptotic effect. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keuntungan dari obat ini.Agen anti Tumor Necrosis Factor: Anti TNF monoklonal antibodi secara klinis sukses dalam menurunkan gejala EN. Adapun penatalaksanaan spesifik lain seperti imunoglobulin intravena aaupun plasmapheresis serta hemodialisis.SJS merupakan penyakit sistemik bermanifestasi bukan hanya pada kulit, melainkan juga pada mukosa dan mata untuk itu, kasus SJS perlu di konsultasikan pada berbagai disiplin ilmu seperti spesialis kulit kelamin untuk perawatan, spesialis gigi dan mulut, spesialis telinga hidung tenggorok, spesialis penyakit dalam, spesialis mata.

J. KOMPLIKASI Mata : ulserasi kornea, uveitis anterior, panophtalmitis, kebutaan Gastroenterology : striktur esophagus Genitourinary : Renal tubular nekrosis, gagal ginjal Kulit : pembentukan skar, infeksi sekunder

K. PROGNOSISAdapun prognosis dari EN tidak dipengaruhi dari dosis ataupun golongan obat yang diduga sebagai penyebab EN. Selain itu juga tidak dipengaruhi human imunodefisiensy virus. Adapun angka mortalitas berkisar 5 12 % untuk SJS sedangkan untuk TEN angka mortalitas melebihi 30%. Telah dibuat prognosis skor untuk EN yang disebut Score Ten.

Gambar 4.SCORTEN:Penentuan Prognosis Pada Epidermal Necrolysis

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. 2007. Sindrom Stevens-Johnson: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Hamzah M. 2007. Erupsi Obat Alergik.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Klauss, Wolff et al. 2008. Epidermal Necrolysis: Fitzpatrick, Dermatology in General Medicine seventh edition Volume 1 Page 349-355.

4. Siregar, R.S. 2004. Sindrom Stevens Johnson.: Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta.

6