Upload
dandy-wijaya
View
449
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 1/24
0
clinical science season
KEGAWATDARURATAN LUKA GIGITAN HEWAN
Oleh:
M. Adithya Prawiranata (0618011029)
Preceptor:
dr. Yuzar Harun, Sp.B, FINACS
SMF BEDAH
Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek
November 2011
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 2/24
1
1. GIGITAN ULAR
I. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering
dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya
pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling
kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah
satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan
subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka
untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi
mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia.
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat
saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara
subkutan atau intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
II. Tinjauan Pustaka
II.1 Komposisi, Sifat dan Mekanisme ³Kerja´ Bisa ular
Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga
pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin
saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai
macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 3/24
2
seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim
prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat
dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan
dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai
untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada
Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan
ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab
pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel
vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5-
nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum
jelas. (Sudoyo, 2006).
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak
bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998).
Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang
ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik,
sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak
tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat ±
zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo,
2006).
II.2 Jenis ± jenis ular berbisa
Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya
dari kira -kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa,
dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. (de Jong,
1998)
Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa
hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat
diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:
1. Famili Elapidae misalnya ular kobra, ular weling, ular welang, ular
sendok, ular anang dan ular cabai
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 4/24
3
2. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular
bandotan puspo
3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
4. Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat
dipakai rambu ± rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan
sebagai berikut:
Ciri ± ciri ular tidak berbisa:
y Bentuk kepala segi empat
panjang
y Gigi taring kecil
y Bekas gigitan, luka halus
berbentuk lengkung
Ciri ± ciri ular berbisa:
y Kepala segi tiga
y Dua gigi taring besar di rahang
atas
y Dua luka gigitan utama akibat
gigi taring
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 5/24
4
Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak
dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :
y Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon
rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae
menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun
prokoagulan memicu kaskade pembekuan)
y Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular
sendok), ular kobra, ular laut.
Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat padareseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti
-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang
mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.
Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik
sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.
II.3 Patofisiologi
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah
mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan
bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat
ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari
mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang
dikeluarkan.
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 6/24
5
Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat
merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi
pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular
berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah :
(1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan
dengan menghancurkan mukopolisakarida.
(2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk
efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis
otot.
(3) enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan
mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan
konsekuensi hemoragik. (Warrell, 2005)
II.4 Gejala klinis
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas
dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak
sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis
jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru,
dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang
terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa
lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala
dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual,
salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dansesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot
pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai
mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. (de Jong, 1998)
Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka
yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach,
1987) :
y Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit
± 24 jam)
y Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,
hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur
y Gejala khusus gigitan ular berbisa :
o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal,
peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit
(petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular
diseminata (KID)
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 7/24
6
o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis
oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma
o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda ± tanda 5P (pain,
pallor, paresthesia, paralysis pulselesness). (Sudoyo, 2006)
Menurut Schwartz (Depkes,2001) gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai
berikut:
Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :
Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan
ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya.
Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap
12 jam.
Menurut WHO (Warrell, 2005) gejala local dan tanda pada tempat gigitan :
y Bekas taring/gigitan
y Nyeri dan pendarahan lokal
y memar
y lymphangitis
y pembesaran lymphonodi
y inflamasi (bengkak, kemerahan, panas)
y melepuh
y infeksi lokal, formasi abses
y nekrosis
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular :
Gigitan Elapidae
Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa
sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat
gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan
gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan
melebar.
Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan padalapisan luar mata.
Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian
dalam bentuk paralisis dari urat ± urat di wajah, bibir, lidah dan
tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun,
susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan
kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 8/24
7
pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun,
denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali
terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam
dapat timbul gejala ± gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24
jam.
Gigitan Viperidae:
Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa
bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh
anggota badan, rasa sakit dekat gigitan
Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa
muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang
dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah,
urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah.Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan
jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang ± kadang tekanan darah
rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan
di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan
hebat.
Gigitan Hidropiidae:
Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan
muntah
Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot
ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai
dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik),
ginjal rusak, henti jantung.
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri
pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal yang perlu
dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin.
Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting.
Gigitan Coral Snake:
Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus
fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006)
Tanda dan gejala lokal :
1. Tanda gigi taring
2. Nyeri lokal
3. Pendarahan lokal
4. Bruising
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 9/24
8
5. lymphangitis
6. Bengkak, merah, panas
7. Melepuh
8. Necrosis
Gejala dan tanda sistemik umum :
Umum
Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration.
Kardiovascular (Viperidae) :
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia
cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva.
Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) :
b Perdarahan dari luka gigitan
b Perdarahan sitemik spontan ± dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis,melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti
petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva,
perdarahan intrakranial
Neurologik (Elapidae, Russell¶s viper) :
Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, ³heavy´
eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai
yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing
secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis
Otot rangka (sea snakes, Russell¶s viper) :
Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria,
hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut
Ginjal (Viperidae, sea snakes) :
LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria,
oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea,
pleuritic chest pain)
Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell¶s viper) :
y Fase akut: syok, hypoglycaemia
y Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of
secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism.
(Warrell, 1999).
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 10/24
9
II.5 Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-
dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.
Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)
EKG
Foto dada
II.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :
Anafilasis
Trombosis vena bagian dalam
Trauma vaskular ekstrimitas
Scorpion Sting
Syok septik
Luka infeksi
II.7 Penatalaksanaan
Berikut adalah langkah-langkah yang biasanya dilakukan dalam
menangani gigitan ular (Warrell, 2005) :
y Pertolongan pertama
y Segera kirim ke RS
y Resusitasi dan penanganan klinis segera
y Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis species ular
y Periksa lab
y Pemberian SABU
y Observasi respon SABU: untuk memutuskan peningkatan dosisnya
y Pemberian terapi suportif
y
Penanganan bekas gigitany Rehabilitasi
y Penanganan komplikasi kronis
Tujuan pertolongan pertama
y mencoba memperlambat absorpsi sistemik racun
y mempertahankan nyawa dan mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa keRS
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 11/24
10
y mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya
y mengatur transportasi pasien agar segera mendapat pertolongan medis
y Above all, do no harm!
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Cara
tradisional pada penanganan gigitan ular seperti metode penggunaan torniket (cara
ini sangat menyakitkan dan berbahaya apabila torniket dipasang terlalu lama
karena dapat menyebabkan iskemia dan akhirnya banyak yang menjadi gangren),
insisi tempat gigitan, pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit,
pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti
manfaatnya dan bahkan membahayakan. (WHO, 2005)
Recommended first aid methods
y Menenangkan korban yang mungkin sangat gelisah/ketakutany Immobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan atau bidai (karena
setiap gerakan atau kontraksi otot meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh
darah atau limfe)
y Pertimbangkan pressure-immobilisation untuk beberapa jenis ular Elapidae
y Hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat membuat infeksi,
meningkatkan absorpsi racun, dan meningkatkan pendarahan.
Tindakan Pelaksanaan
A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah
y Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
y Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung
alkohol
y
Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikatdaerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang
berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan
adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 12/24
11
Petunjuk awal bahwa pasien mengalami gejala keracunan berat :
y Ular teridentifikasi sebagai jenis yang berbahaya
y Pembesaran bengkak yang cepat pada tempat gigitan
y Cepat terjadi Pembesaran dari lokal lymphonodi, menunjukan bahwa racuntelah menyebar pada saluran limfe.
y Cepat terjadi gejala sistemik: kolaps (hypotension, shock), nausea, muntah,diare, nyeri kepala hebat, ³berat´ pada kelopak mata, mudah mengantuk atau
ptosis yang aal/opthalmoplegia
y Cepat terjadi perdarahan sistenik spontan
y Urin berwarna coklat gelap
B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai
berikut:
y Penatalaksanaan jalan napasy Penatalaksanaan fungsi pernapasan
y Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid
y Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka,
imobilisasi (dengan bidai)
y Periksa lab, Ambil 5 ± 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin,
APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N,
elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit,
menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati.
y Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection
y Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1ml berisi:
b 10-50 LD50 bisa Ankystrodon
b 25-50 LD50 bisa Bungarus
b 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix
b Fenol 0.25% v/v
Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose
5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi
lokal pada luka tidak dianjurkan. Dosis SABU pada anak dan dewasa sama,
karena ular menginjeksikan jumlah/dosis racun yang sama pula saat dia menggigitdewasa ataupun anak-anak.
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada
bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes,
2001):
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 13/24
12
Pedoman terapi SABU menurut Luck :
b Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
b Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan
darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah
pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin
spesifik, plasma fresh-frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, factor VIII), fresh whole
blood or platelet concentrates. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun)
maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor
perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk
tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan.
b Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen,
vitamin K, tranfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan
sulfas atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan
obat ± obatan narkotik depresan
b Terapi profilaksis
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah
P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
Beri toksoid tetanus
Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi (Sudoyo, 2006)
Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular :
b Penduduk di daerah di mana ditemuakan banyak ular berbisa dianjurkan
untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih
dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai
kaki
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 14/24
13
b Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular
b Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak
± semak
b Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti
b Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang
tergigit akibat kejadian semacam itu. (Sudoyo, 2006)
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 15/24
14
2. RABIES
I. PENDAHULUAN
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf
pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan
menular rabies terutama anjing, kucing dan kera.
Sampai kini hanya 5 Propinsi di Indonesia bebas historis rabies, yaitu Kalimantan
Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Irian Jaya. Sejak tahun 1994
propinsi yang tadinya endemis rabies, telah dibebaskan dari rabies pada manusia
pada hewan yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta sampai saat
ini ada 18 propinsi yang belum bebas kasus rabies. Pada tahun 1998 terjadioutbreak di Kab. Flores Timur, Prop. NTT. Jumlah rata-rata pertahun kasus
gigitan pada manusia oleh hewan penular rabies tiga tahun terakhir (1995-1997)
15.000 kasus, diantaranya 8.550 (57 %) divaksinasi anti rabies (VAR) dan 662
(1,5%) diberikan kombinasi VAR dan SAR (serum anti rabies). Selama tiga tahun
( 1995- 1997). Ditemukan rata-rata pertahun 59 kasus rabies pada manusia,
seangkan 22,44 spesimen dari hewan yang diperiksa, 1327 (59%) menunjukkan
positif rabies.
Mengingat akan adanya bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketentraman
masyarakat karena dampak buruknya yang selalu diakhiri dengan kematian, maka
usaha pengendalian penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu
dilaksanakan seintensif mungkin, bahkan menujupada program pembebasan.
Program pembebasan rabies merupakan kesepakatan Nasional dan merupakan
kerjasama kegiatan 3 (tiga) Departemen, yaitu Departemen Pertanian (Ditjen
Peternakan), Departemen Dalam Negeri (Ditjen PUOD) dan Departemen
Kesehatan (Ditjen PPM & PLP), sejak awal Pelita
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkandari hewan ke manusia. Virus rabies ditularkan ke manusia melalu gigitan hewan
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 16/24
15
misalnya oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar. Rabies disebut juga
penyakit anjing gila.
Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga Rhabdoviridae dan genus Lysavirus. Karakteristik utama virus keluarga Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negatif RNA yang tidak
bersegmen. Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan.
II.2 Patogenesis
Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 mingguvirus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak
mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-
perubahan fungsinya. Masa inkubasi bervariasi yaitu berkisar antara 2 minggu
sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu, berhubungan dengan jarak
yang harus ditempuh oleh virus sebelum mencapai otak.
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap
sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus kemudiankearah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf
otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringandidalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringanjaringannya, seperti kelenjar
ludah, ginjal, dan sebagainya.
II.3 Manifestasi Klinis
1. Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri
ditenggorokan selama beberapa hari.
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas
luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang berlebihan
terhadap rangsang sensorik.
3. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil dilatasi. Bersamaan
dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya, yang sangat khas
pada stadium ini ialah adanya macam-macam fobi, yang sangat terkenal
diantaranya ialah hidrofobi. Kontraksi otot-otot Faring dan otot-otot
pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 17/24
16
udara kemuka penderita atau dengan menjatuhkan sinar kemata atau dengan
menepuk tangan didekat telinga penderita.
Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsa da tahikardi. Tindak-
tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal disertai dengan saat-
saat responsif.
Gejala-gejala eksitasi ini dapat terus berlangsung sampai penderita
meninggal, tetapi pada saat dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot
melemah, hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.
4. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi Kadang-
kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis
otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang
belakang, yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
II.4 Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat
menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis
kadang-kadang belum sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada
kasus dengan perjalanan yang agak lama , misalnya gejala paralis yang dominan
dan mengaburkan diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat membantu
dalam menegakkan diagnosis.
Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal dan urin penderita. Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan
dari jaringan otak dan bahan tersebut setelah 1 ± 4 hari sakit. Hal ini berhubungan
dengan adanya neutralizing antibodies.
Pemeriksaan Flourescent Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan
antigen virus di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin, kulit dan
hapusan kornea, bahkan setelah teknik isolasi tidak berhasil. FAT ini juga bisa
negatif, bila antibodi telah terbentuk.
Serum neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan
terbentuk sampai hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat
dengan cepat. Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6 ± 10setelah onset klinis pada penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik
responimun ini, pada kasus yang divaksinasi dapat membantu diagnosis.
Walaupun secara klinis gejalanya patognomonik namun Negri bodies dengan
pemeriksaan mikroskopis (Seller) dapat negatif pada 10 % - 20 % kasus, terutama
pada kasus- kasus yang sempat divaksinasi dan penderita yang dapat bertahan
hidup setelah lebih dari 2 minggu.
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 18/24
17
II.5 Penanganan Luka Gigitan Hewan Menular Rabies
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan
cepat dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang
masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan
dengan air (sebaiknya air mengalir) dan sabun atau diteregent selama 10-15 menit,
kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain).
Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun
di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti
di atas.
Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila
memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum
Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar
luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping
itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/ vaksin anti tetanus,
anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.
II.6 Pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies
Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau disertai Serum Anti Rabies
(SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan mempertimbangkan hasil-
hasil penemuan dibawah ini.
1. Anamnesis :y Kontak / jilatan / gigitan
y Kejadian didaerah tertular / terancam / bebas
y Didahului tindakan provokatif / tidak
y Hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies
y Hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di tangkap atau
dibunuh dan dibuat.
y Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies
y Penderita luka gigitan pernah di VAR dan kapan?
y Hewan yang menggigit pernah di VAR dan kapan?
2. Pemeriksaan Fisik
-Identifikasi luka gigitan (status lokalis).
3. Lain ± lain
y Temuan pada waktu observasi hewan
y Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan
y Petunjuk WHO
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 19/24
18
Bila ada indikasi pengobatan Pasteur, maka terhadap luka resiko rendah
diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada
kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan
dan kaki.
Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk
luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka,
kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan
luka yang banyak (multipel).
Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies
atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada
kontak, maka tidak PERLU diberikan pengobatan VAR maupun SAR. Sedangkanapabila kontak dengan air luir pada kulit luka yang tidak berbahaya, maka
diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak dengan
air liur pada luka berbahaya.
Dosis dengan cara pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies adalah
sebagai berikut :
I. Dosisi dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR)
1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5
ml dalam syringe.a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment)
- Cara pemberian :
disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus (anak±anak di
daerah paha).
- Dosis
b. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah digigit (Post
Exposure Treatment)
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 20/24
19
- Cara pemberian : sama seperti pada butir 1.a.
- Dosis
2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)Kemasan :
- Dos berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml.- Dos berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.
a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment)- Cara pemberian : Untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara sub cutan (sc) di
sekitar daerah pusar. Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan secara intracutan (ic) di bagaian fleksor lengan bawah . -Dosis:
b. Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit (PostExposureTreatment)
- Cara pemberian : sama seperti pada butir 2.a.- Dosis
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 21/24
20
II. Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)
1. Serum hetorolog (Kuda)
- Kemasasn : vial 20 ml (1 ml = 100 IU)
- Cara pemberian :Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin,
sisanya disuntikkan intra maskuler.
- Dosis :
2. Serum Momolog
Kemasan : vial 2 ml ( 1 ml = 150 IU )
- Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin,
sisanya disuntikkan intra muskuler.- Dosis :
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 22/24
21
III. Dosis dan Cara Pemberian VAR Untuk pengebalan Sebelum Digigit
(Pre Exposure Immunization)
1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Kemasan :
Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam
syringe.
- Cara pemberian (cara I) :Disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah
deltoideus.- Dosis :
- Cara pemberian (cara II) :Disuntikkan secara intra cutan ( dibagian fleksor
lengan bawah ).- Dosis :
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 23/24
22
2. Suncling Mice Brain Vaccine (SMBV)Kemasan :
Dus berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 mlDus berisi 5 ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.
- Cara pemberian : Disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagian flektor lengan bawah.
- Dosis :
5/12/2018 Css Kegawatdaruratan Gigitan Hewan - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/css-kegawatdaruratan-gigitan-hewan 24/24
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and
Critical Care, University of Tennessee School of Medicine.
www.eMedicine.com.
2. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta
3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen
POM
4. Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
5. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.6. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite
in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre
for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University,
Thailand.
7. Warrell, D.A., 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite
in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Office
for South-East Asia. World Health House. Indraprastha Estate. New Delhi
110002. India.
8. Warrell, D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous
snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November),doi: 10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.
9. Departeman Kesehatan Direktorat Jenderal PPM & PL. 2000. Petunjuk perencanaan dan penatalaksanaan kasus gigitan hewan tersangka/rabies di
Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan10. Ditjen Peternakan, Ditjen PPM & PLP, Ditjen PUOD. 1993. Paket Program
Pemberantasan Rabies Terpadu se Pulau Jawa dan Kalimantan.
11. Ditjen Peternakan, Ditjen PPM & PLP, Ditjen PUOD. 1993. Paket Program
Pemberantasan Rabies Terpadu se Pulau Sumatera dan Sulawesi.
12. Gindo Simanjuntak, Winarno, Cecilia, Timoria, Sitti Ganefa, Toni Wandra,
Misriyah, Endang, Bahang and Thomas Ruosos. 1996 . preventiod and
Control of Zoonotic New Emerging and Remerging Diseases in Indonesia
Symposium on Prevention and Control of Selected Communicable DiseasesWith Epedemic Potential, SEARO, New Delhi, 3 ± 7 Juni 1996.