Upload
lymien
View
240
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 1
Daftar IsiDari Redaksi
Pemutusan hubungan diplomatik dari beberapa negara GCC dengan Qatar akan berdampak terhadap jalur distribusi logistik perdagangan Indonesia dari dan menuju Qatar. Bagaimana langkah Indonesia mengantisipasi dampak tersebut?
Berita Pendek Perdagangan
Serba - Serbi
Statistik Perdagangan
Halaman 25
Halaman 36
Halaman 38
Hal. 2
Hal. 10
Hal. 6
Komoditas pangan merupakan produk pokok/utama Indonesia yang memiliki peran strategis dalam perdagangan. Oleh karena itu, harga pangan pokok baik domestik maupun dunia menjadi salah satu perhatian khusus pemerintah Indonesia.
Fluktuasi Dan Kebijakan Harga Pangan Dunia
Harga dan Inflasi Pangan Pasca Implementasi Kebijakan Pengendalian Harga
Bagaimana gambaran perkembangan harga dan inflasi setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 yang mengatur kebijakan harga acuan di tingkat konsumen dan harga ditingkat produsen untuk beberapa jenis barang kebutuhan pokok?
Hal. 15
Mendorong Kembali Kejayaan Ekspor Teh Indonesia
Tingkat konsumsi teh dunia terus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 4,02% per tahun merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk ikut andil sebagai pemain utama pasar teh dunia.
Kebijakan Subsidi, Distribusi dan Harga Eceran Pupuk Dalam Mendukung Ketahanan Pangan
Hal. 20
Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat esensial bagi peningkatan produksi pangan. Kebijakan terkait pupuk akan berpengaruh terhadap pencapaian ketahanan pangan.
Dampak Pemutusan Hubungan Diplomatik Negara GCC Kepada Qatar bagi Indonesia
2 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
ISU PERDAGANGAN
Deky Paryadi
Qatar merupakan salah satu anggota Gulf Cooperation
Council (GCC). Lima negara di kawasan Timur Tengah lainnya
yang menjadi anggota GCC adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab,
Bahrain, Oman, dan Kuwait. Suhu politik di kawasan Timur
Tengah memanas setelah Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA),
dan Bahrain memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.
Pemutusan hubungan yang sudah terjalin selama 36 tahun itu
karena Qatar dianggap memberi dukungan kepada teroris serta
pandangan Qatar yang lebih condong ke Iran. Arab Saudi dan
Iran bertentangan dalam sejumlah isu regional, termasuk program
senjata nuklir. Kedua negara tersebut juga berselisih paham
karena Iran menanamkan pengaruhnya di Suriah, Lebanon, serta
Yaman (bbc.com, 2017).
Terkait dengan krisis yang terjadi di Timur Tengah tersebut,
Indonesia perlu melihat dampaknya khususnya pemutusan
hubungan diplomatik dari beberapa negara GCC dengan Qatar
terhadap perdagangan Indonesia. Adanya pemutusan hubungan
diplomatik tersebut tentu akan berdampak terhadap jalur distribusi
logistik dari dan menuju Qatar karena penutupan akses jalur darat,
laut dan udara oleh negara Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan
Bahrain yang memang berbatasan langsung dengan Qatar.
Menurut data Bank Dunia (2015), Arab Saudi, Uni Emirat
Arab dan Bahrain merupakan negara pengekspor produk pangan
terbesar ke Qatar. Lebih dari sepertiga pangan untuk rakyat Qatar
diimpor dari ketiga negara tersebut. Selama konflik tersebut, Arab
Saudi telah menutup akses darat, laut dan udara dengan Qatar,
sedangkan Uni Emirat Arab menutup bandara dan pelabuhan
untuk maskapai penerbangan dan kapal milik Qatar. Hal tersebut
menjadi pemicu kepanikan penduduk, sehingga sempat terjadi
pembelian makanan secara besar-besar oleh warga Qatar untuk
mengantisipasi kelangkaan bahan pangan. Penutupan akses
udara dan darat ini tentu berimplikasi terhadap rantai suplai
makanan masyarakat Qatar dalam jangka panjang.
Perbandingan Data Makroekonomi Indonesia dan Qatar
Berdasarkan indikator makro (IMF, 2017), Gross Domestic
Product (GDP) Indonesia sebesar USD 932,4 miliar sedangkan
GDP Qatar sebesar USD 63,9 miliar, namun secara GDP per
kapita Qatar jauh lebih besar dibandingkan Indonesia. GDP per
kapita Qatar mencapai USD 60.786 yang merupakan tertinggi
diantara negara anggota GCC yang lainnya, sedangkan GDP
per kapita Indonesia sebesar USD 3.604. Sebagai negara yang
memiliki GDP per kapita terbesar dibandingkan dengan negara
anggota GCC yang lain, Qatar sangat potensial menjadi pasar
bagi produk Indonesia, dikarenakan daya beli penduduk yang
tinggi.
Dampak Pemutusan Hubungan Diplomatik
Negara GCC Kepada Qatar bagi Indonesia
Tabel 1. Tabel Perbandingan Data Makroekonomi Indonesia dan Negara GCC, 2016
Sumber: World Development Indicators (2017), diolah Puska KPI
Negara Pendapatan Domestik Bruto Pendapatan Domestik Bruto Per kapita Inflasi Populasi
(USD Miliar) USD Per Tahun (%) Juta orang
Indonesia 932,4 3.604,2 3,5 2587GCC 53,4 - Saudi Arabia 639,6 20.152,1 3,5 31,7 - Uni Emirat Arab 371,5 37.677,9 1,7 9,8 - Oman 63,2 15.963,9 1,1 3,9 - Qatar 63,9 60.786,7 2,6 2,5 - Bahrain 31,9 24.182,9 2,7 1,3 - Kuwait 109,8 26.004,7 3,2 4,2
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 3
Kinerja Perdagangan Indonesia dan Qatar
Secara ekonomi, total perdagangan non migas antara
Indonesia dengan Qatar pada tahun 2016 tidak terlalu besar yaitu
sebesar USD 173 juta atau sekitar 4% dari total perdagangan
GCC dengan Indonesia, jika dibandingkan dengan Arab
Saudi sebesar 43% dan Uni Emirat Arab sebesar 41%. Total
perdagangan Migas dan Non Migas Indonesia dengan Qatar
pada tahun 2016 mencapai USD 915 juta yang didominasi oleh
perdagangan migas. Dalam periode 2012 – 2016 tren neraca
perdagangan Indonesia dengan Qatar mengalami pertumbuhan
negatif yaitu sebesar 18,5% (Tabel 2).
Tabel 2. Neraca Perdagangan Indonesia – Qatar
URAIAN Nilai : Juta USD Jan - Feb Perub Tren
2012 2013 2014 2015 2016 2016 2017 17/16 (%) 12-16(%)
Total Perdagangan 14 891.8 15 398.3 16 902.2 10 937.7 8 680.9 1 347.9 1 663.5 23.4 -13.3
Migas 8 562.0 9 466.1 9 603.2 4 977.6 3 976.2 589.9 900.1 52.6 -19.6
Non Migas 6 329.8 5 932.2 7 299.0 5 960.1 4 704.7 757.9 763.4 0.7 -5.7
Ekspor 3 882.8 3 809.3 5 225.5 4 521.8 3 366.4 556.0 511.5 -8.0 -1.1
Migas 4.7 5.4 2.1 54.3 24.4 0.8 0.3 -56.3 75.0
Non Migas 3 878.1 3 803.9 5 223.4 4 467.5 3 342.0 555.3 511.2 -7.9 -1.4
Impor 11 009.0 11 589.0 11 676.7 6 415.9 5 314.5 791.8 1 152.0 45.5 -18.5
Migas 8 557.3 9 460.7 9 601.1 4 923.3 3 951.9 589.1 899.8 52.7 -19.7
Non Migas 2 451.7 2 128.4 2 075.5 1 492.6 1 362.7 202.7 252.2 24.4 -14.2
Neraca Perdagangan - 7 126.1 - 7 779.8 - 6 451.2 - 1 894.0 - 1 948.2 - 235.8 - 640.4 171.6 -33.0
Migas - 8 552.6 - 9 455.3 - 9 599.1 - 4 869.0 - 3 927.5 - 588.4 - 899.4 52.9 -19.9
Non Migas 1 426.4 1 675.5 3 147.9 2 974.9 1 979.3 352.6 259.0 -26.5 13.1
Sumber: Pusdatin Kemendag (2017), diolah
Dari enam negara yang tergabung dalam GCC, Qatar
menduduki peringkat ke-5 sebagai negara tujuan ekspor non
migas Indonesia ke negara GCC. Pada tahun 2016 pangsa pasar
ekspor non migas Indonesia ke Qatar sebesar 1,7% dari total
ekspor non migas Indonesia ke negara GCC. Ekspor non migas
Indonesia ke negara GCC terbesar berturut-turut adalah ke negara
Uni Emirat Arab (47,5%), Arab Saudi (39,9%), Oman (6%) dan
Kuwait (3,6%). Beberapa produk ekspor terbesar Indonesia ke
Qatar antara lain: kendaraan bermotor (HS 8703235492 dan HS
8703235491), produk kayu (HS 4412390000, HS 4809900000,
HS 4402900000), kertas (HS 4802569000) dan karet ban (HS
4011100000).
Tabel 3. Ekspor Non Migas Indonesia ke Qatar (USD Juta)
No Negara Tujuan Nilai : USD Juta Perub.(%) Tren (%) Pangsa
2012 2013 2014 2015 2016 Jan-Feb Jan-Feb 2017/16 2012- Pasar (%)
2016 2017 2016 2016
GCC 3,878 3,804 5,223 4,468 3,342 555 511 -7.9 -1.4 100.0
1 Uni Emirat Arab 1,615 1,584 2,501 1,900 1,588 287 216 -24.7 1.5 47.5
2 Arab Saudi 1,771 1,734 2,156 2,061 1,333 206 231 11.9 -3.9 39.9
3 Oman 238 209 245 212 202 32 34 8.2 -3.1 6.0
4 Kuwait 130 143 171 146 122 16 14 -17.3 -1.1 3.6
5 Qatar 93 95 92 97 58 8 9 18.6 -9.0 1.7
6 Bahrain 31 38 58 53 40 6 7 18.2 8.5 1.2
Sumber: BPS (2017)
4 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Sementara itu, pangsa pasar untuk impor non migas Indonesia
dari Qatar pada tahun 2016 sebesar USD 115 juta atau sebesar
8,4% dari total impor non migas Indonesia dari negara-negara
GCC. Untuk impor non migas Qatar menduduki peringkat ke-3
sebagai negara sumber impor non migas Indonesia dari negara
GCC yaitu sebesar USD 16 Juta atau sekitar 8,4% dari pangsa
pasar GCC, sementara peringkat 1 dan 2 diduduki oleh Arab
Saudi (51,8%) dan Uni Arab Emirat (26,2%). Beberapa produk
impor terbesar Indonesia dari Qatar antara lain aluminium (HS
7601200000), belerang (HS 2503000000), produk besi dan baja
(HS 7207190000) dan bahan kimia (HS 3901109010 dan HS
3901200000).
Sumber: Pusdatin Kemendag (2017), diolah
Tabel 4. Impor Non Migas Indonesia ke Qatar (USD Juta)
No Negara Tujuan Nilai : USD Juta Perub.(%) Tren (%) Pangsa
2012 2013 2014 2015 2016 Jan-Feb Jan-Feb 2017/16 2012- Pasar (%)
2016 2017 2016 2016
GCC 2,452 2,128 2,076 1,493 1,363 203 252 24.4 -14.2 100.0
1 Arab Saudi 1,045 969 970 673 706 109 116 6.6 -10.9 51.8
2 Uni Emirat Arab 445 420 424 315 357 42 76 83.4 -7.1 26.2
3 Qatar 365 209 183 136 115 19 16 -16.1 -24.0 8.4
4 Kuwait 296 292 279 235 110 21 25 20.0 -19.7 8.1
5 Oman 226 213 194 114 61 9 12 27.5 -27.6 4.5
6 Bahrain 74 24 26 20 14 3 7 116.7 -29.5 1.0
Impor Indonesia dari Qatar di dominasi oleh sektor migas, di
mana pada tahun 2016 impor migas Indonesia dari Qatar mencapai
USD 742,86 juta atau sebesar 86,5% total impor Indonesia dari
Qatar. Defisit neraca perdagangan Indonesia disebabkan jumlah
impor migas Indonesia yang cukup besar dari Qatar. Berdasarkan
BPS (2017), Qatar merupakan 10 negara eksportir migas terbesar
di dunia dan 55% dari Gross Domestic Product (GDP) Qatar di
dominasi oleh sektor minyak dan gas alam.
Tabel 5. Negara Asal Impor Migas Indonesia (USD Ribu)
No Exporters 2012 2013 2014 2015 2016
1 Singapura 15,467.02 15,434.67 15,055.92 9,070.35 6,924.64 2 Malaysia 5,933.61 7,410.51 5,085.98 3,558.73 2,476.34 3 Saudi Arabia 4,154.21 5,557.47 5,546.61 2,748.73 2,019.50 4 Nigeria 2,735.00 3,091.96 3,286.06 1,284.49 1,280.08 5 Australia 219.26 278.77 413.31 383.77 976.16 6 Uni Emirat Arab 1,288.60 1,392.36 1,330.92 1,042.92 960.65 7 Korea Selatan 3,684.86 2,799.64 4,110.23 2,165.04 776.81 8 Qatar 1,231.16 1,271.86 1,443.66 596.01 742.86 9 Azerbaijan 1,233.53 1,738.50 2,421.26 1,284.07 483.02 10 Algeria 306.67 377.77 298.42 281.61 381.60 Sub Total 79,018.11 84,898.19 82,939.77 47,465.29 36,271.99 Lainnya 6,510.27 6,191.20 4,955.06 2,633.87 2,228.72 Total 42,764.19 45,544.69 43,947.42 25,049.58 19,250.36
Qatar juga merupakan negara pemasok migas utama ke
Indonesia. Pada tahun 2016, hampir 3,9% dari total impor migas
Indonesia berasal dari Qatar. Qatar merupakan mitra penting
bagi Indonesia dalam hal impor migas selain negara anggota
GCC yang lain seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Adanya
penutupan akses jalur distribusi dari dan ke Qatar, baik itu jalur
darat, laut dan udara oleh beberapa negara GCC lainnya (Arab
Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain) dikhawatirkan dapat membuat
harga minyak dunia bergejolak.
Sumber: Trademap (Juni 2017)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 5
Mengingat bahwa sektor migas merupakan kebutuhan utama
dalam proses industri, prediksi gejolak harga minyak dunia akibat
konflik politik yang terjadi di Timur Tengah ini dikhawatirkan akan
mempengaruhi industri dalam negeri Indonesia. Kenaikan harga
minyak ini akan berdampak terhadap inflasi dan daya saing
produk Indonesia.
Analisis Liberalisasi Perdagangan Indonesia-Qatar
Analisis ini mencoba menghitung potensi dampak kerjasama
perdagangan bilateral antara Indonesia dan Qatar. Simulasi
dilakukan dengan skenario penurunan tarif hingga 0% pada
seluruh pos tarif. Hasil simulasi liberalisasi seluruh pos tarif
dengan menggunakan pendekatan partial equilibrium melalui
skenario penurunan tarif hingga 0% untuk kedua Negara disajikan
pada Tabel 6:
Tabel 6. Simulasi Partial Equilibrium, Dampak Kerjasama Perdagangan
Indonesia-Qatar
Negara USD 000,- Peningkatan Kesejahteraan Kehilangan Impor Pendapatan Tarif
Indonesia 129,690.42 2,544.81 30,971.70
Qatar 37,938.77 662.48 9,476.07
Sumber: Simulasi Partial Equilibrium (2017), diolah BPPP Kemendag
Berdasarkan hasil simulasi, terlihat bahwa Indonesia akan
mengalami peningkatan impor sebesar USD 129,6 juta, sementara
Qatar akan mengalami kenaikan impor sebesar USD 37,5 juta.
Untuk Indonesia, peningkatan kesejahteraan akan sebesar USD
2,5 juta sementara Qatar sebesar USD 662,4 ribu. Potensi
kehilangan pendapatan tarif di sisi Indonesia akan sebesar USD
30,9 juta sementara untuk Qatar USD 9,4 juta.
Adanya pemutusan hubungan diplomatik negara-negara
GCC dengan Qatar ini akan menyebabkan terjadi trade creation
bagi Indonesia sebesar USD 97,3 juta. Trade creation ini berupa
keuntungan yang dapat dinikmati oleh konsumen di Indonesia
disebabkan adanya penghapusan tarif sehingga akan memperoleh
dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat
karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah.
Selain itu, penurunan tarif sebesar 0% juga akan menyebabkan
trade diversion bagi Indonesia sebesar USD 32,3 juta. Trade
diversion ini terjadi jika impor yang murah dari negara luar non
anggota Indonesia-Qatar digantikan oleh impor yang mahal
(karena produksi yang kurang efisien) dari Indonesia atau Qatar.
Hal ini dapat menyebabkan potential loss bagi consumer surplus
karena seharusnya konsumen dapat membayar harga yang
lebih murah.
Selain dalam hal perdagangan barang, Qatar merupakan
salah satu investor terbesar di Indonesia antara lain di industri
telekomunikasi, perbankan dan ritel. Sebelumnya Qatar telah
memiliki sejumlah investasi di Indonesia meliputi bidang
keuangan/perbankan dan komunikasi, antara lain melalui Qatar
National Bank (QNB) dan kepemilikan saham Indosat Ooredoo
(bbc.com, 2017).
Rekomendasi Kerjasama Perdagangan
Dari data perdagangan yang ada, total perdagangan antara
Indonesia dan Qatar memang belum signifikan dibandingkan
negara anggota GCC yang lain. Negara anggota GCC lainnya
memiliki potensi pasar ekspor yang lebih besar dibandingkan
Qatar, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait, namun
Qatar merupakan negara yang memiliki GDP per kapita terbesar
dalam GCC yang lain. Dengan kondisi politik Qatar saat ini yang
sedang dikucilkan oleh beberapa negara GCC, ada beberapa
rekomendasi yang dapat diantisipasi Indonesia, antara lain:
1. Pertama, apabila Qatar keluar dari keanggotaan Custom
Union GCC maka Indonesia memiliki kesempatan untuk
melakukan kerjasama perdagangan secara bilateral dengan
Qatar.
2. Kedua, Indonesia dapat tetap melakukan pendekatan
hubungan perdagangan dengan Custom Union GCC,
hal ini mengesampingkan status Qatar sebagai anggota
ataupun non anggota GCC, karena bagi Indonesia pasar
GCC sebagai sebuah Custom Union tetaplah yang paling
potensial. Jika kondisi saat ini masih belum memungkinkan
untuk melakukan negosiasi dengan Qatar, maka pendekatan
bussiness to bussiness antara pengusaha Indonesia dan
Qatar akan lebih memberikan dampak yang signifikan
terhadap hubungan perdagangan Indonesia dan Qatar.
6 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Mendorong Kembali Kejayaan Ekspor Teh Indonesia
Hasni
Teh yang merupakan salah satu minuman ciri khas Indonesia
selain kopi, terus diupayakan peningkatan akses pasar ekspornya.
Salah satunya melalui kegiatan misi advokasi teh Indonesia ke
Eropa yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan pada
awal Desember 2017. Indonesia sebagai negara tropis memiliki
produksi teh yang cukup diperhitungkan di kancah global.
Indonesia merupakan produsen teh nomor tujuh dunia dengan
pangsa produksi pada tahun 2016 mencapai 2,41% dari total
produksi teh dunia yang mencapai 8,4 juta ton (FAO, 2017).
Meskipun pertumbuhan ekspor teh dunia sedikit melambat rata-
rata 0,66% per tahun selama 2012-2016, namun diyakini ke
depan permintaan teh dunia akan kembali meningkat.
Permintaan ekspor teh dunia mulai mengalami pelambatan
sejak tahun 2014 dan semakin menurun pada tahun 2015.
Penurunan kinerja ekspor teh dunia merupakan akibat dari
penurunan produksi teh di beberapa negara produsen akibat
dampak perubahan kondisi cuaca berupa musim kemarau
panjang akibat El Nino dan konflik domestik di negara tujuan
ekspor. Negara eksportir teh terbesar dunia tahun 2016 adalah
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan pangsa pasar sebesar
20,36% kemudian berturut-turut diikuti oleh Sri Lanka (17,16%),
Kenya (15,59%) dan India (9,07%). Sedangkan Indonesia
menempati posisi ke-12 sebagai eksportir teh dengan pangsa
ekspor ke dunia sebesar 1,55 % (Trademap, 2017).
Proyeksi Produksi dan Harga Teh Dunia
Menurut prediksi FAO (2015), produksi teh hitam dunia akan
tumbuh sebesar 2,9% per tahun dan mencapai 4,17 juta ton pada
tahun 2023, sedangkan produksi teh hijau dunia diprediksi tumbuh
lebih tinggi yaitu sebesar 8,2% yang disebabkan pertumbuhan
produksi teh hijau dari RRT sehingga pada tahun 2023 produksi
teh hijau diprediksi mencapai 2,97 juta ton. Sementara itu
tingkat konsumsi teh dunia meningkat rata-rata 5,4% per tahun.
Peningkatan konsumsi teh secara global dipengaruhi oleh
penguatan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita
di beberapa negara konsumen teh. Peningkatan konsumsi teh
secara global diharapkan turut berdampak terhadap menguatnya
harga teh di tingkat internasional maupun nasional.
Volume ekspor teh hitam diproyeksikan mencapai 1,67
juta ton pada 2023 dengan tingkat pertumbuhan yang serupa
diproyeksikan untuk Afrika dan Asia. Namun pada 2023, volume
ekspor untuk Asia diproyeksikan mencapai 820.921 ton, lebih
tinggi dibandingkan dengan 743.384 ton untuk Afrika. Negara
eksportir utama teh hitam diperkirakan tetap sama, yaitu Kenya
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 7
Gambar 1. Perkembangan Harga Bulanan Teh Dunia, 2015-2017.Sumber: World Bank (2017), diolah
menjadi eksportir terbesar diikuti oleh Sri Lanka, India, Vietnam,
Indonesia, Malawi, Uganda dan Tanzania (FAO, 2015).
Ekspor teh hijau dunia diproyeksikan tumbuh 7,1% per tahun
dan mencapai 750.981 ton pada 2023. RRT diperkirakan akan
terus mendominasi dengan volume ekspor 458.579 ton, diikuti
oleh Vietnam di posisi kedua dengan 251.024 ton, Indonesia
dengan 18.500 ton, dan Jepang pada 7.631 ton. Food and
Agriculture Organization (FAO) mengestimasi harga teh hitam pada
2023 berkisar USD 2,81 per kg dengan catatan tidak ada reaksi
pasokan berlebih terhadap harga dari produsen saat ini (FAO,
2015). Sedangkan World Bank mengestimasi harga teh pada
tahun 2017-2020 berkisar antara USD 2,65/kg – USD 2,81/kg.
Kinerja Ekspor Teh Indonesia
Ekspor teh Indonesia pada tahun 2012 turun signifikan
6,0% dibanding tahun sebelumnya, penurunan ekspor teh
tersebut seiring dengan penurunan kapasitas produksi, akibat
berkurangnya luas lahan perkebunan teh Indonesia. Berdasarkan
laporan tahunan Statistik Perkebunan Indonesia (2017), luas area
perkebunan teh Indonesia, kepemilikannya masih didominasi
oleh perkebunan rakyat diikuti oleh perkebunan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan perkebunan teh milik swasta. Selama
periode 2010-2015, jumlah luas areal perkebunan teh di Indonesia
terus menurun karena alih fungsi lahan untuk tanaman lain yang
lebih menguntungkan. Contohnya, PTPN IV Perkebunan Marjandi
Sumatera Utara yang telah mengkonversi lahan perkebunan teh
menjadi perkebunan sawit.
Kinerja perkebunan rakyat masih rendah dibandingkan dengan
perkebunan negara maupun swasta, hal ini dikarenakan perkebunan
rakyat masih dikelola kurang optimal. Selain itu dampak dari
kemarau panjang akibat El Nino yang melanda beberapa daerah
sentra produksi teh pada tahun 2015, serta pertumbuhan ekspor
teh beberapa negara pesaing turut mempengaruhi penurunan
ekspor teh nasional (Rezamela dan Dalimoenthe, 2016).
Sebagai dampak berkurangnya kapasitas produksi, ekspor
teh Indonesia terus menurun. Apalagi produsen teh ekspor pada
umumnya adalah perusahaan perkebunan milik negara, yang
memiliki luas dan produksi lebih kecil dibanding perkebunan
rakyat. Disisi lain perkebunan rakyat lebih banyak memasok
kebutuhan teh di pasar domestik. Ekspor teh Indonesia mencapai
puncaknya pada tahun 2010 dengan nilai ekspor sebesar USD
178,5 juta kemudian mulai menurun sejak tahun 2011 menjadi
sebesar USD 166,7 juta. Sedangkan total nilai ekspor teh nasional
tahun 2016 mencapai USD 113,1 juta. Pangsa ekspor teh hitam
Indonesia tahun 2016 mencapai 62% sedangkan teh hijau 38%
(Trademap, 2017).
Penurunan kinerja ekspor teh Indonesia juga tidak terlepas
dari melemahnya harga teh asal Indonesia. Murahnya harga teh
di Indonesia dikarenakan banyak teh hitam di Indonesia yang
dipasarkan atau diekspor dalam keadaan kemasan tanpa merek.
Ekspor teh Indonesia tanpa merek ini dimanfaatkan oleh negara
lain yang mencampurnya dengan teh dari negara tersebut,
seperti Vietnam dan Sri Lanka. Setelah proses pencampuran teh
tersebut selesai kemudian diklaim sebagai teh asli yang berasal
dari negara tersebut. Padahal teh Indonesia memiliki cita rasa
yang khas dan terbaik dibanding teh dari negara lain. Hal ini tentu
menimbulkan kerugian secara tidak langsung terhadap upaya
peningkatan kinerja ekspor teh asal Indonesia.
Sepuluh negara tujuan ekspor utama teh Indonesia
memberikan kontribusi sebesar 73,02% pada Januari-Oktober
2017 dan mengalami pertumbuhan rata-rata negatif 5,36% per
tahun selama 2012-2016. Bila dibandingkan periode Januari-
8 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Oktober 2016, kinerja ekspor teh ke sepuluh negara tujuan utama
pada Januari-Oktober 2017 turun 0,58%. Di antara sepuluh
negara tujuan ekspor utama teh Indonesia, Singapura mengalami
pertumbuhan nilai ekspor yang paling baik pada Januari-Oktober
2017, yakni tumbuh 28,25% dibanding tahun sebelumnya. Secara
total, nilai ekspor teh pada Januari- Oktober 2017 meningkat
1,13% dibanding periode yang sama tahun lalu (Tabel 1).
Rusia merupakan negara tujuan ekspor teh Indonesia terbesar
dengan pangsa mencapai 14,45% pada Januari-Oktober 2017.
Selama periode tahun 2012-2016 ekspor teh Indonesia ke Rusia
mengalami penurunan rata-rata 3,72% per tahun. Penurunan
tersebut kembali turun pada Januari-Oktober 2017, dimana
ekspor teh ke Rusia turun 6,26% dibanding periode yang sama
tahun sebelumnya. Permasalahan domestik yang terjadi di Rusia
dan konflik global turut berdampak terhadap penurunan ekspor
teh ke negara Beruang Merah tersebut. Sedangkan Malaysia
dan Pakistan berada di posisi kedua dan ketiga, masing-masing
dengan pangsa 12,80% dan 9,05%.
Tabel 1. Nilai Ekspor Teh Berdasarkan Negara Tujuan
Tabel 2. Volume Ekspor Teh Berdasarkan Negara Tujuan
No. Uraian Nilai : Juta USD Jan - Okt Perub Tren Pangsa
2012 2013 2014 2015 2016 2016 2017 17/16 (%) 12-16(%) 2017 (%)
1 Rusia 20.5 20.7 17.0 19.7 17.4 14.8 13.9 -6.26 -3.72 14.452 Malaysia 15.0 18.3 18.6 15.3 14.9 12.2 12.3 1.46 -1.96 12.803 Pakistan 22.0 19.6 15.3 12.4 7.2 6.2 5.2 -15.52 -23.56 5.454 Australia 9.0 8.5 8.7 7.7 6.8 5.6 4.9 -12.06 -6.39 5.145 Jerman 8.9 9.3 6.7 7.6 9.4 8.1 8.7 7.51 -0.68 9.056 Amerika Serikat 8.0 9.6 7.8 6.4 5.2 4.3 4.3 -1.62 -12.01 4.447 Polandia 7.7 8.2 5.1 5.1 5.4 4.4 4.7 8.11 -11.13 4.908 Uni Emirat Arab 4.2 5.7 5.9 4.2 9.3 8.0 7.6 -4.79 13.35 7.869 Taiwan 2.0 2.5 3.3 4.5 4.8 3.8 4.4 14.17 26.32 4.5610 Singapura 3.2 3.2 3.9 3.3 2.8 2.5 2.7 7.91 -2.62 2.80 Sub Total 100.5 105.6 92.3 86.4 83.1 70.0 68.8 -1.63 -5.65 71.44 Lainnya 56.2 51.9 42.3 39.7 30.0 25.3 27.5 8.77 -14.14 28.56 TOTAL 156.7 157.5 134.6 126.1 113.1 95.3 96.3 1.13 -8.38 100.00
No. Uraian Nilai : Juta USD Jan- Okt Perub Tren Pangsa
2012 2013 2014 2015 2016 2016 2017 17/16 (%) 12-16(%) 2017 (%)
1 Rusia 10.4 10.0 9.2 11.4 9.7 8.3 8.3 -0.15 -0.04 17.932 Malaysia 7.2 8.9 10.3 8.6 8.3 6.7 7.4 10.47 2.53 16.103 Jerman 4.9 5.2 4.3 5.0 4.1 3.7 3.4 -8.67 -4.00 7.264 Amerika Serikat 4.0 4.8 4.4 3.8 4.0 3.2 3.1 -3.95 -2.25 6.725 Pakistan 8.9 8.2 7.4 5.5 3.8 3.3 3.6 9.19 -18.98 7.716 Uni Emirat Arab 2.0 2.6 3.0 2.2 2.7 2.3 2.1 -5.10 3.34 4.667 Polandia 3.6 3.8 2.5 2.5 2.4 1.9 2.3 20.14 -11.41 4.898 Australia 2.0 2.0 1.9 1.8 1.8 1.6 1.5 -7.23 -3.20 3.249 Taiwan 0.8 1.0 1.6 2.2 1.8 1.4 1.7 23.34 28.15 3.7510 RRT 1.9 3.0 4.1 3.6 1.5 1.4 1.3 -2.42 -3.15 2.92 Sub Total 45.8 49.6 48.8 46.4 40.2 33.7 34.7 2.92 -3.22 75.19 Lainnya 24.3 21.2 17.6 15.5 11.2 9.4 11.5 21.39 -17.07 24.81 TOTAL 70.1 70.8 66.4 61.9 51.3 43.2 46.2 6.96 -7.30 100.00
Sumber: BPS (2017), diolah
Sumber: BPS (2017), diolah
Tidak jauh berbeda dengan nilai, dari sisi kinerja volume
ekspor pada periode Januari-Oktober 2017 ternyata Rusia masih
menjadi negara tujuan ekspor utama teh Indonesia dengan
volume 8,3 ribu ton. Pangsa volume ekspor ke Rusia mencapai
17,93%. Malaysia dan Jerman menjadi negara tujuan ekspor teh
terbesar kedua dan ketiga dari sisi volume, pangsa ekspor ke
dua negara tersebut masing-masing sebesar 16,10% dan 7,26%.
Sepuluh negara tujuan ekspor teh terbesar memberikan kontribusi
volume ekspor sebesar 75,19% pada Januari-Oktober 2017. Dari
sepuluh negara tujuan ekspor utama teh Indonesia berdasarkan
volume, Taiwan mengalami pertumbuhan volume ekspor tertinggi
pada Januari-Oktober 2017 yakni tumbuh 23,34% dibanding
tahun sebelumnya. Volume ekspor teh ke sepuluh negara utama
meningkat sebesar 2,92% dibanding Januari - Oktober 2016,
sedangkan dari sisi tren selama periode 2012-2016 kinerja
volume ekspornya tumbuh negatif 3,22% per tahun. Secara total
volume ekspor teh pada Januari - Oktober 2017 menguat 6,96%
dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (Tabel 2).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 9
Upaya Peningkatan Ekspor Teh Indonesia
Tingkat konsumsi teh dunia terus mengalami peningkatan
rata-rata sebesar 4,02% per tahun merupakan peluang besar
bagi Indonesia untuk ikut andil sebagai pemain utama pasar
teh dunia (International Tea Committee, 2016). Namun ternyata,
kinerja ekspor teh Indonesia menurun rata-rata 8,38% per tahun
akibat semakin berkurangnya luas areal perkebunan teh, dampak
El Nino dan pertumbuhan ekspor teh dari negara pesaing.
Menurut Farid Akbany (Chairman Jakarta Tea Buyers’
Association) memasuki tahun 2000-an, teh Indonesia mendapat
banyak tantangan dari produsen di India dan Sri Lanka yang telah
memperbaiki mutu dan produktivitas tehnya, ditambah lagi Kenya
yang muncul dengan mutu teh yang diminati pasaran dengan
harga bersaing. Hal ini berdampak pada teh Indonesia yang agak
tersisih di pasar dunia, sehingga harga teh Indonesia melemah.
Selain itu, produsen juga mengalami kesulitan untuk investasi dan
perbaikan mutu, disamping upah tenaga kerja yang terus naik
menjadi masalah tersendiri di hampir semua usaha di Indonesia.
Berdasarkan analisis perkembangan ekspor teh Indonesia,
serta memperhatikan tren peningkatan konsumsi teh, maka
dukungan kebijakan yang penting dan mendesak diberikan dalam
rangka meningkatkan ekspor teh antara lain sebagai berikut:
a. Melakukan revitalisasi lahan teh dengan menambah lahan
perkebunan baru dan meminimalisir kegiatan konversi lahan
perkebunan teh menjadi perkebunan komoditi lain.
b. Meningkatkan produktivitas petani teh dan mempertahankan
mutu dan cita rasa teh asal Indonesia.
c. Mengupayakan pemberian merek (national branding) teh
nasional berkualitas ekspor untuk semakin meningkatkan
posisi daya saing teh nasional di pasar global.
d. Meningkatkan kualitas teh dan produk olahan teh
Indonesia agar daya saingnya semakin meningkat dengan
menjaga kualitas produksi teh yang dihasilkan dan proses
pengolahannya agar rasa dan aroma tehnya tetap terjaga.
e. Melakukan promosi teh dengan lebih giat lagi di luar negeri
misalnya dengan mengikuti pameran makanan dan minuman
bertaraf internasional.
10 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Fluktuasi Dan Kebijakan Harga Pangan Dunia
Kumara Jati
Peran harga pangan pokok terhadap kemiskinan jauh lebih
besar dibandingkan dengan komoditas bukan pangan
dengan sumbangan sebesar 73,3% (BPS, 2017). Hal itu tidak
mengherankan mengingat pengeluaran rumah tangga miskin
untuk konsumsi pangan pokok cukup besar mencapai 67%
dibandingkan pengeluaran untuk seluruh penduduk Indonesia
yang mencapai 49% (Nuryati, Nur & Prabowo, 2010). Konsumsi
komoditas pangan pokok harus memenuhi kebutuhan energi
manusia untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Manusia
membutuhkan karbohidrat, protein dan lemak sebagai sumber
diet dan tenaga. Energi yang direkomendasikan untuk dikonsumsi
untuk orang dewasa sekitar 1.800 kilo kalori (7.500 kj) setiap
harinya (WHO, 2010). Apabila energi yang dikonsumsi kurang dari
yang dibutuhkan maka manusia bisa menjadi malnutrisi/kurang
gizi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan menjelaskan definisi pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air,
baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/
atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan definisi
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
negara sampai perseorangan yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Apabila di suatu negara terdapat penduduk miskin yang belum
bisa mengakses dan membeli kebutuhan pangan pokok karena
tidak tersedianya atau harga yang tidak terjangkau, maka hak
dasar masyarakat belum dapat dipenuhi. Untuk itu, perlu juga
dilihat jenis komoditas apa yang lebih rentan terhadap fluktuasi
harga apabila terjadi peningkatan permintaan pada suatu waktu
tertentu. Hal ini perlu diantisipasi supaya otoritas terkait bisa
menyesuaikan kebijakan seperti apa dan untuk komoditas apa
yang perlu diterapkan secara spesifik dalam jangka pendek,
jangka menengah dan jangka panjang.
Komoditas pangan merupakan produk pokok/utama
Indonesia yang memiliki peran strategis dalam perdagangan.
Komoditas ini juga termasuk ke dalam jenis komoditas di sektor
pertanian dan perkebunan yang dapat menyerap banyak tenaga
kerja/labor intensive. Prospek pengembangan komoditas pangan
relatif baik dari sisi permintaan yang diperkirakan meningkat
dimasa yang akan datang.
Harga komoditas pangan sangat dipengaruhi oleh jumlah
pasokan. Harganya relatif stabil pada saat kondisi pasokan
normal, menurun pada saat pasokan berlimpah yaitu pada panen
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 11
raya, dan meningkat pada saat pasokan terbatas yaitu pada
masa paceklik. Musim panen raya relatif bervariasi untuk masing-
masing pangan pokok.
Selain itu ada beberapa tantangan dalam menghadapi
permasalahan di sektor pangan (Alimoeso, 2011): (1) produksi
pangan bersifat musiman dan berfluktuasi cenderung meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, (2) iklim sulit
diprediksi dan perlu model produksi yang komprehensif, (3) faktor
produksi pertanian semakin mahal dan langka yang meningkatkan
biaya produksi, (4) diperlukan sistem pemasaran di dalam negeri
yang lebih efisien, (5) harga pangan dunia semakin tidak stabil
dan sulit diprediksi karena berkaitan dengan harga pakan, minyak
bumi, pasar modal dan nilai tukar.
Selama ini, pengendalian harga pangan pokok dilakukan
sebagai upaya menjaga agar pelaku usaha lebih mudah
memprediksi iklim usaha dan prospek pasar luar negeri. Bentuk
pengendalian harga komoditas oleh pemerintah yaitu dari
sisi penawaran dengan cara membuat kebijakan yang bisa
menambah pasokan. Tingkat harga yang menguntungkan sangat
penting untuk kesinambungan usaha bagi produsen, namun
harga yang terjangkau (affordable) juga penting bagi konsumen
supaya hak-hak dasarnya terpenuhi (BPPKP, 2015).
Perubahan Keadaan Ketahanan Pangan di Dunia
Kekhawatiran terkait dengan ketahanan pangan bisa dilihat
dari sejarahnya sejak tahun 1943 pada Hot Springs Conference of
Food and Agriculture di USA. Konsep “keamanan, ketersediaan,
kesesuaian pasokan pangan untuk semua orang” mulai dibawa
ke ranah internasional. Pada tahun 1950an, negara maju seperti
USA dan Kanada mulai mengirim kelebihan pangan ke negara
lain. Selanjutnya, tahun 1960an, sudah mulai terealisasi bantuan
pangan dari negara maju ke negara berkembang, meskipun
terkadang sebenarnya justru menghambat perkembangan
ketahanan pangan. Kemudian, sejak tahun 1974 pada saat
World Food Conference di Roma secara eksplisit pertama kali
isu ketahanan pangan dibuat yang isinya yaitu: Setiap orang
(pria, wanita dan anak-anak) memiliki hak asasi untuk bebas
dari kelaparan dan malnutrisi untuk dapat dikembangkan secara
penuh dan dijaga kemampuan fisik dan mental. Hal ini dilakukan
sebagai bentuk antisipasi karena pada tahun 1972 terjadi krisis
pangan dunia (HDFS, 2011).
Krisis pangan dunia terjadi pada tahun 1972 karena
kurangnya pasokan dan meningkatnya permintaan. Produksi
pangan dunia pada tahun 1972 turun sebesar 33 juta ton untuk
pertama kalinya sejak 20 tahun (FAO, 2009). Pasokan pangan
juga turun karena cuaca buruk yang melanda tanaman pangan
(Joerin & Joerin, 2013). Dari sisi permintaan terjadi peningkatan
kebutuhan daging di semua negara maju (Schnitteker, 1973).
Dalam perkembangannya setelah terjadi krisis, pada tahun
1996 dalam acara World Food Summit (WFS) di Italia, konsep
ketahanan pangan diperbaharui menjadi kondisi dimana semua
orang, pada setiap saat, memiliki akses fisik, sosial dan ekonomi
terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi yang bisa
memenuhi kebutuhan diet dan preferensi pangan untuk hidup
yang aktif dan sehat (HDFS, 2011).
Krisis pangan dunia juga terjadi pada tahun 2007/2008 ketika
harga gandum dan jagung dunia naik dua kali lipat dalam dua
tahun dan harga beras dunia naik tiga kali lipat dalam beberapa
bulan (Headey, 2011), serta harga gula pada tahun 2010
merupakan yang tertinggi dalam 30 tahun (FAO, 2010). Menurut
Mueller, Anderson & Wallington (2011), harga pangan meningkat
karena permintaan makanan, biaya produksi, harga energi
dan harga pupuk meningkat. Lebih lanjut menurut Wood et al.
(2012) kenaikan harga pangan secara signifikan mempengaruhi
banyaknya rumah tangga yang jatuh ke dalam kemiskinan.
FAO, USDA dan Bank Dunia melaporkan bahwa krisis pangan
ini menyebabkan 75 sampai dengan 160 juta orang hidup dalam
kelaparan dan kemiskinan (Headey, 2011).
Krisis pangan tahun 1970an dan krisis pangan tahun
2007/2008 memiliki karakteristik yang relatif sama dikarenakan
peningkatan harga pangan (Heady & Fan, 2010). Krisis pangan ini
penting untuk dikaji karena meningkatkan biaya hidup dan inflasi
nasional. Orang miskin dan kelaparan adalah pihak yang paling
terkena dampaknya karena krisis pangan (IFPRI, 2009).
Setelah krisis pangan dunia terjadi di tahun 2007-2008, jumlah
12 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
kemiskinan dan kelaparan dunia meningkat. Akibat dari krisis
pangan ini terjadi peningkatan harga pangan pokok lebih dari
20% di 22 negara berkembang di dunia (UKAID, 2010). Secara
umum, harga pangan dunia meningkat lebih dari 100% antara
awal tahun 2007 dan pertengahan tahun 2008 (World Bank,
2013). Setelah krisis pangan dunia ini terjadi juga mengakibatkan
kemiskinan meningkat sebesar 100 juta (Ivanic & Martin, 2008)
sampai dengan 200 juta orang (Dessus et al., 2008). Orang miskin
dan hampir miskin yang tinggal di negara berkembang menderita
karena kondisi ini. FAO (2008) mengestimasi bahwa pada tahun
2007 terdapat 923 juta orang kekurangan gizi. Fluktuasi harga
pangan turun setelah pertengahan tahun 2008, namun meningkat
lagi antara Juni 2010 dan Juni 2011.
Untuk mengatasi kondisi akibat krisis pangan tersebut, tiga isu
utama menjadi fokus dalam perdagangan pangan dunia yaitu: (1)
mengurangi atau menghilangkan semua bentuk subsidi ekspor,
(2) memperbaiki akses pasar, dan (3) mengurangi dukungan
domestik yang menyimpang (Larue, Gervais & Pouliot, 2007).
Pengurangan subsidi khususnya untuk produk pertanian/pangan
menjadi komitmen anggota WTO sejak Uruguay Round. Untuk
akses pasar bisa dikembangkan bukan hanya fokus ke negara
tradisional tetapi diperbaiki juga ke arah pasar non-tradisional.
Lebih lanjut, terkait dengan akses pasar, anggota WTO menyetujui
konsep Tariff-Rate Quotas (TRQs) di sektor pangan/pertanian
untuk memberi akses ke semua pasar negara pengimpor. TRQs
berbeda dengan kuota, ini adalah kombinasi antara tarif dan
kuota absolut/mutlak. Kuota mutlak atau biasa disebut quota
adalah membatasi jumlah pangan yang bisa masuk ke suatu
negara dalam kurun waktu tertentu. Dengan ini, TRQs adalah alat
kebijakan perdagangan yang digunakan untuk melindungi pangan
di dalam negeri dari serbuan pangan negara lain.
Menurut Timmer, Falcon & Pearson (1983), kepentingan
yang saling bertentangan dari produsen dan konsumen
komoditas dalam ekonomi merupakan masalah mendasar
bagi keputusan kebijakan pemerintah. Dalam kasus komoditas
pangan, bukan hanya kepentingan produsen dan konsumen,
tetapi juga kepentingan pedagang harus dilihat sebagai masalah
mendasar. Koning et al. (2008) menyatakan bahwa pemerintah
dapat memberikan lebih banyak dukungan dana/investasi dalam
penelitian untuk meningkatkan hasil panen sambil mengurangi
emisi karbon ke lingkungan. Kenaikan hasil panen dari komoditas
pangan merupakan solusi alternatif untuk masalah konsumsi
pangan dunia yang akan meningkat di masa depan.
Kebijakan Harga Pangan di Asia Tenggara
Dari sisi pertimbangan politik, terdapat dua jenis respon
kebijakan dalam rangka memitigasi dampak negatif harga
komoditas pangan yaitu: jangka pendek dan jangka panjang.
Kebijakan jangka pendek mengacu pada program subsidi pangan
dan kebijakan jangka panjang mengacu pada investasi di sektor
pertanian. Penting bagi pemerintah untuk mendistribusikan
subsidi pangan sehingga situasi politik lebih stabil dan sistem
politiknya lebih sah. Ramadan & Thomas (2011) menyatakan
bahwa subsidi makanan merupakan kebijakan untuk melindungi
kesejahteraan konsumen dari kenaikan harga pangan. Kebijakan
jangka panjang mengacu pada produksi pangan berkelanjutan,
investasi infrastruktur tambahan dan integrasi pasar dunia.
Meskipun tidak ada penjelasan mengenai perbedaan waktu antara
kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, studi perbandingan
antara negara-negara ini dapat memberikan penjelasan yang baik
mengenai pilihan politik di negara-negara Asia Tenggara.
Tabel 1. Prioritas Kebijakan Jangka Pendek Sebagai Respon Dalam Mengatasi
Peningkatan Harga Pangan di Asia Tenggara
No Negara Penurunan Peningkatan Kontrol Harga/ Subsidi Bantuan Stimulasi Pajak Pasokan ke Konsumen Pangan produksi
1 Brunei Prioritas Prioritas Prioritas - -2 Kamboja - Prioritas Prioritas - Prioritas3 Indonesia Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas4 Laos Prioritas Prioritas Prioritas - Prioritas5 Filipina - - Prioritas Prioritas -6 Thailand - Prioritas Prioritas - Prioritas7 Vietnam - - Prioritas - Prioritas8 Malaysia Prioritas Prioritas Prioritas - -
Sumber: ADB (2011), Nazlioglu (2011), BPPKP (2015), Hermawan (2013) diolah
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 13
Tabel 1 menunjukkan prioritas kebijakan pangan di tujuh
negara di Asia Tenggara. Pemerintah di Asia Tenggara membuat
kombinasi kebijakan pangan yang berbeda dalam mengatasi
kenaikan harga pangan. Brunei, negara dengan sekitar 423.000
orang, merupakan pengimpor beras, jagung, gandum dan gula
memilih untuk mengurangi pajak, meningkatkan pasokan, dan
mengendalikan harga. Kamboja, negara dengan 15,76 juta orang,
merupakan importir produk nabati memilih untuk peningkatan
pasokan, kontrol harga dan stimulasi produksi. Indonesia,
negara dengan 261 juta orang, merupakan pengimpor gula,
daging sapi, gandum dan kedelai, memilih untuk menurunkan
pajak, meningkatkan pasokan, mengontrol harga khusus untuk
sembako, bantuan pangan dan stimulasi produksi. Laos, negara
dengan 6,7 juta orang, merupakan importir barang konsumsi,
dan memilih semua kebijakan kecuali bantuan pangan. Filipina,
negara dengan 103,3 juta orang, merupakan pengimpor produk
nabati dan gandum, memilih untuk mengontrol harga, dan
memberikan bantuan pangan. Thailand, negara dengan 68,86
juta orang, merupakan importir barang konsumsi dan gandum,
memilih kebijakan seperti Laos tetapi tanpa penurunan pajak.
Vietnam, negara dengan 92,7 juta orang, pengimpor produk
nabati dan gandum, memilih untuk mengontrol harga dan
menstimulasi produksi. Malaysia, negara dengan 31,7 juta orang,
pengimpor daging sapi dan gula, memilih untuk menurunkan
pajak, meningkatkan pasokan dan mengontrol harga. Delapan
negara di Asia Tenggara ini menerapkan kontrol harga karena
kebijakan tersebut merupakan satu dari kebijakan yang terbaik
dalam mengurangi atau menghambat peningkatan harga pangan
dunia ke harga domestik (Jongwanich and Park, 2011; BPPKP,
2015; Hermawan, 2013).
Dasar Pemikiran Keterlibatan Pemerintah dalam Kebijakan
Pangan
Arahan Presiden RI terkait keterlibatan pemerintah dalam
kebijakan pangan untuk mengendalikan fluktuasi harga diantaranya
yaitu (KPPU, 2016): (1) mendorong efektifitas perlindungan
kepada petani dalam memproduksi komoditas pangan, (2)
melindungi konsumen supaya bisa mendapatkan harga pangan
yang wajar dan kompetitif, serta (3) merumuskan solusi dari
permasalahan di bidang pangan. Dari Kementerian Perdagangan,
terdapat kesimpulan dari penelitian yang dilakukan BPPKP (2015)
terkait dengan Kajian Kebijakan Harga Pangan diantaranya yaitu:
(1) kebijakan harga sebaiknya dilakukan pada komoditas yang
penting dan strategis (beras, gula, minyak goreng, daging ayam,
cabai merah, cabai rawit dan bawang putih) yang dilihat dari andil
inflasi, pangsa pengeluaran masyarakat dan fluktuasi harga; (2)
kebijakan penetapan harga eceran tertinggi perlu dilakukan untuk
menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen dengan disertai
kebijakan operasi pasar terutama untuk beras, gula dan minyak
14 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Tabel 2. Alternatif Solusi untuk Merespon Peningkatan Harga Pangan
No Dibawah 1 Tahun 1 sampai 3 Tahun Lebih dari 3 Tahun (Jangka Pendek) (Jangka Menengah) (Jangka Panjang)
1 Menggelontorkan Stok Pangan Subsidi terhadap Input Investasi pada Peningkatan Produksi Pangan Kapasitas Produksi Pangan
2 Larangan/Pajak Ekspor Pangan Menaikkan Produksi Pangan Investasi pada Penelitian dan Pengembangan Pangan3 Kontrol Harga Pangan Mengenakan Tarif Variabel/ Investasi di Aset dan Subsidi Ekspor dan Pajak Infrastruktur yang Produktif
4 Mengurangi Tarif/Pajak Membangun Cadangan Pangan Investasi pada sistem pada Pangan kepemilikan lahan dan hak properti
Sumber: Benson et al. (2013), diolah
Beberapa tantangan dalam rangka implementasi kebijakan
harga komoditas pangan yang dihadapi pemerintah, yaitu:
(1) Belum efektifnya pengawasan/monitoring terkait dengan
fenomena spekulasi di dalam perdagangan pangan; (2) Belum
efektifnya law enforcement apabila terjadi pelanggaran regulasi
yang ada seperti penimbunan pangan yang mengakibatkan
kelangkaan; (3) Kurang maksimalnya pendataan badan usaha
dalam bidang perdagangan karena sistem pengadministrasian
yang belum efektif (BPPKP, 2015). Peran lembaga pemerintah
pengawas persaingan usaha di bidang pangan sangat penting
seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bisa
melakukan penyelidikan terkait adanya indikasi persaingan usaha
tidak sehat yang bisa merugikan konsumen dan menyebabkan
peningkatan jumlah keluarga miskin di Indonesia. Selain itu
koordinasi antar stakeholder dalam konsep penta helix yaitu
Academics, Business, Government, Community and Media
(ABGCM) sangat penting dalam mengurangi efek negatif fluktuasi
harga pangan dan mengefektifkan kebijakan pangan yang ada.
goreng; (3) kebijakan harga acuan juga dapat diterapkan kepada
komoditas bawang merah, cabai merah, daging ayam dan telur
ayam; (4) kebijakan harga khusus bisa diterapkan untuk seluruh
komoditas penting dan strategis yang diterapkan hanya pada Hari
Besar Keagamaan Nasional.
Benson et al. (2013) memberikan solusi tiga alternatif sebagai
respon dari kenaikan harga pangan. Ketiga usulan solusi alternatif
bagi pemerintah tersebut adalah (1) menstabilkan harga pangan
untuk konsumen (sisi harga), (2) meningkatkan produksi pangan
(sisi penawaran), dan (3) meningkatkan akses terhadap pangan
untuk kelompok sasaran tertentu (sisi pendapatan). Ketiga solusi
ini dibagi menjadi tiga kerangka manajemen waktu: dibawah satu
tahun (jangka pendek), satu sampai dengan tiga tahun (jangka
menengah), dan lebih dari tiga tahun (jangka panjang) (Tabel 2).
Kebijakan yang sebaiknya diambil tergantung dari seberapa besar
biaya yang ingin dikeluarkan dan manfaat yang ingin didapat
dari solusi tersebut. Untuk jangka pendek akan terkena biaya
yang relatif rendah namun manfaatnya juga relatif kecil. Apabila
pemerintah ingin menghasilkan manfaat yang lebih besar maka
perlu fokus kepada solusi jangka panjang terutama peningkatan
investasi di sektor pangan supaya bisa sekaligus menyerap
tenaga kerja dan pada akhirnya dapat menurunkan jumlah
keluarga miskin.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 15
Harga dan Inflasi Pangan Pasca Implementasi Kebijakan
Pengendalian HargaYati Nuryati
Stabilisasi harga pangan masih menjadi salah satu
agenda prioritas kebijakan pemerintah. Prioritas agenda
kebijakan pemerintah ini dikarenakan harga pangan senantiasa
fluktuatif khususnya menjelang hari besar keagamaan seperti
puasa dan lebaran serta natal dan tahun baru. Selain itu, masih
tingginya pangsa pengeluaran masyarakat terhadap pangan
mengharuskan pantauan terhadap harga harus terus dilakukan
selain menjaga kontinuitas pasokan, stabilitas & kepastian harga
serta perbaikan jalur distribusi. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS), saat ini ada kecenderungan perubahan pangsa
pengeluaran masyarakat dari pangan menuju non pangan.
Data pada Tabel 1 menunjukkan sebaliknya, pengeluaran untuk
pangan cenderung lebih besar dimana pangsa pengeluaran
masyarakat untuk pangan masih lebih dari 50% (BPS, 2016). Di
antara pangsa pengeluaran pangan, pengeluaran masyarakat
untuk beras relatif lebih tinggi, yaitu 15,77% dari seluruh total
pengeluaran pangan. Oleh karena itu menjaga stabilitas dan
harga terjangkau untuk pangan penting untuk terus dilakukan.
Tabel 1. Persentase Pengeluaran Rata-rata per Kapita sebulan Menurut Kelompok Barang di Indonesia
Kelompok 2012 2013 2014 2015 2016Barang
Pangan 47,71 47,19 46,45 50,09 51,61
Non Pangan 52,29 52,81 53,55 49,91 48,39
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS (2016)
Saat ini harga komoditi pangan terlihat cukup bervariasi antar
waktu. Selain faktor musim yang mempengaruhi harga pangan
khususnya produk pertanian, selama tahun 2017 juga terdapat
beberapa intervensi dalam upaya mengendalikan harga seperti
beberapa kebijakan terkait dengan pangan telah dikeluarkan,
salah satunya yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)
Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan harga
acuan pembelian di petani (HPP)1 dan harga acuan penjualan di
konsumen (HET)2. Dalam peraturan tersebut telah diatur kebijakan
harga acuan di tingkat konsumen dan harga ditingkat produsen
untuk beberapa jenis barang kebutuhan pokok, yaitu beras, gula,
minyak goreng, daging ayam, telur ayam, daging sapi, bawang
merah, jagung dan kedelai. Tulisan ini tidak membahas kedelai
dan jagung dikarenakan kedua komoditi tersebut peruntukkannya
lebih pada kebutuhan industri pakan ternak serta bukan konsumi
langsung3. Secara historis, data dalam tiga tahun terakhir
menunjukkan perkembangan harga pangan pokok (beras, gula,
minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur ayam ras dan
bawang merah) cenderung meningkat dan berfluktuasi. Harga
yang tidak stabil tentunya meresahkan masyarakat karena salah
satunya menjadi resiko bagi konsumen dalam hal pengaturan
besarnya pengeluaran dari seluruh total pendapatan rumah
tangganya.
Perkembangan Harga Pangan sebelum dan setelah
Implementasi Kebijakan Harga
Secara teori, harga produk pertanian khususnya produk
pangan ditentukan oleh pasokan baik lokal maupun impor,
permintaan, situasi harga pangan di pasar internasional serta
ekspektasi masyarakat (Tomek & Robinson, 2003). Lebih
lanjut, ketika pergerakan harga yang cenderung tinggi, maka
intervensi pemerintah diperlukan yaitu berupa kebijakan stabilisasi
harga yang bertujuan untuk menjaga harga yang stabil serta
pengendalian inflasi.
Dalam periode waktu tiga tahun terakhir (2015-2017) harga
beberapa barang kebutuhan pokok yang diatur oleh pemerintah
dalam kebijakan harga acuan relatif terkendali (Gambar 1), bahkan
harga selama tahun 2017 relatif terkendali dibandingan tahun
1 Harga Pembelian Pemerintah2 Harga Eceran Tertinggi3 Dalamperhitunganinflasi,kedelailebihkekonsumsitahudantempe.
16 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
sebelumnya. Peran pemerintah melalui upaya stabilisasi harga
melalui kontrol pasokan, monitoring harga di setiap wilayah serta
koordinasi dengan pemerintah terkait baik di pusat dan daerah
telah memberikan hasil yang cukup efektif.
Gambar 1. Perkembangan Harga Komoditi Pangan Pokok (Sebelum dan Sesudah
Penerapan Kebijakan Harga Acuan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras)Sumber: BPS (2017), diolah
Implementasi Kebijakan HET Beras Terhadap Inflasi
Berbeda dengan komoditas barang kebutuhan pokok lainnya,
beras merupakan komoditi yang sangat penting dan dikonsumsi
oleh hampir semua masyarakat Indonesia. Peraturan terkait
dengan kebijakan harga pada komoditi beras telah dikeluarkan
melalui Permendag Nomor 56/M-DAG/PER/7/2017 tentang HET
beras yang telah diimplementasikan per 1 September 2017.
Peraturan ini dikeluarkan untuk mengurangi spekulasi harga
sehingga harga tetap terkendali, menjaga inflasi serta daya beli
masyarakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
harga barang kebutuhan pokok sudah cenderung naik lebih
tinggi dari periode sebelumnya. Demikian juga dengan harga
beras, selama tahun 2017 relatif berfluktuasi dan cenderung naik.
Sebenarnya, kenaikan harga beras setiap bulan relatif kecil,
namun karena bobot beras terhadap inflasi cukup tinggi maka
sedikit saja kenaikan harga perlu menjadi perhatian karena
akan berdampak cukup besar pada inflasi. Banyak faktor yang
menyebabkan kenaikan harga beras, seperti pola musiman,
menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) serta harga
beras di pasar internasional. Faktor musim sangat menentukan
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 17
Gambar 2. Perkembangan volume beras Medium dan
Premium di Penggilingan, 2015-2017Sumber: BPS (2017), diolah
harga beras. Selama tahun 2017 terjadi musim hujan yang
panjang sehingga musim panen mundur. Perubahan pola musim
ini telah mempengaruhi volume produksi gabah yang masuk ke
penggilingan untuk menjadi beras.
Selama tahun 2017, volume gabah yang masuk penggilingan
untuk menjadi beras juga berfluktuasi terutama dimusim paceklik
dan musim gadu sehingga produksi beras yang dihasilkan juga
tidak stabil. Pasca implementasi kebijakan HET bersamaan
dengan musim gadu selama bulan Oktober-Desember serta
musim hujan yang panjang, berdampak pada suplai gabah kering
ke penggilingan berkurang. Sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2, volume beras medium dan premium di penggilingan
selama periode waktu tahun 2015-2017 (November) menunjukkan
peningkatan dan cenderung berfluktuasi terutama di tiga bulan
terakhir pada setiap tahunnya dikarenakan periode tersebut
merupakan musim paceklik dan musim gadu.
Kondisi ini juga dapat dilihat dari harga gabah kering di tingkat
penggilingan juga cenderung naik. Selama tahun 2017, harga
Gabah Kering Giling (GKG) sudah cenderung naik pada kisaran
Rp 5.300/kg – Rp 5.600/kg sehingga berdampak pada harga
beras medium dan harga beras premium di penggilingan yang
juga cenderung mengalami peningkatan (Tabel 2). Hal ini juga
mendorong naiknya harga beras di tingkat konsumen. Pasca
penerapan kebijakan HET beras, harga beras juga cederung
mengalami kenaikan (kualitas medium maupun premium). Selain
itu, kenaikan harga beras juga dikarenakan siklus panen yang
mundur sehingga musim gadu masih terjadi di bulan November.
Meski sudah ada yang mengalami panen4, tetapi tidak semua
wilayah menghasilkan gabah dengan kualitas kering yang baik.
Tabel 2. Harga Gabah, Harga Beras Medium dan Premium di Tingkat Penggilingan
Harga 2016 2017Gabah/Beras Sept Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus sept Okt Nop
GKG 5,397 5,636 5,621 5,564 5,313 5,622 5,677 5,549 5,579 5,590 5,621 5,688
Perub. (%) 1.53 -0.27 -1.01 -4.51 5.82 0.98 -2.25 0.54 0.20 0.55 1.19
Premium 9,111 9,431 9,408 9,389 9,325 9,436 9,444 9,384 9,437 9,471 9,503 9,538
Perub. (%) 0.95 -0.24 -0.20 -0.68 1.19 0.08 -0.64 0.56 0.36 0.34 0.37
Medium 8,965 9,100 9,048 8,705 8,654 8,790 8,794 8,744 8,823 8,935 9,116 9,280
Perub. (%) 0.34 -0.57 -3.79 -0.59 1.57 0.05 -0.57 0.90 1.27 2.03 1.80
Sumber: BPS (2017), diolah
4 Jika dilihat dari siklus panen padi, selama bulan Juli – Oktober merupakan panen gadu serta Nopember – Januari mulai panen kecil, kemudian bulan Feb – Juni terjadi panen raya.
18 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Kebijakan penentuan harga yang diinginkan oleh pemerintah
pada tingkat harga tertentu harus disertai dengan instrumen,
seperti pengaturan stok dan Operasi Pasar (OP). Selama
tahun 2017, operasi pasar baru dilaksanakan pada tanggal
10 Oktober 2017. OP ini dilakukan berdasarkan hasil rapat
Koordinasi Kementerian Teknis pada tanggal 12 September
2017 dengan menggunakan Cadangan Beras Pemerintah
(CBP) serta menindaklanjuti surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta
No 1967/-1.823.11 tanggal 18 September 2017 mengenai
rencana operasi pasar beras menggunakan CBP. Operasi
pasar hanya dilaksanakan di wilayah Jakarta, dalam rangka
mengatasi kekurangan stok beras kualitas medium di wilayah
tersebut. OP dengan menggunakan beras CBP dan Perum
Bulog selama bulan Oktober 2017 hingga Maret 2018 dengan
rincian distribusi sebanyak 75.000 ton dan harga HET untuk
beras OP yaitu sebesar Rp 8.100/kg. Sebelumnya, pelaksanaan
OP berada di bawah kewenangan Kementerian Pertanian sesuai
dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun
2016 Tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum (PERUM)
BULOG Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional yang berlaku
selama Februari - Agustus 2017.
Pelaksanaan OP menggunakan cadangan beras pemerintah
sebagaimana telah diatur dalam Permentan No 12 Tahun
2017 Tentang Operasi Pasar Menggunakan Cadangan Beras
Pemerintah Dalam Rangka Stabilisasi Harga. Pada kenyataannya,
OP yang harusnya dilaksanakan pada periode Februari-
Agustus 2017, baru terlaksana pada bulan Oktober 2017 dan
menyebabkan terjadinya keterlambatan sehingga pelaksanaan
OP pada waktu tersebut belum berdampak signifikan terhadap
penurunan harga beras di pasar. Harga beras setelah penerapan
1.2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
-0,2
-0,4
-0,270,04
0,920,99
0,62
JUL
AGUS SEPT OKT NOP
Sebelum HET Setelah HET
% (mom)Inflasi Beras
2017
Gambar 3. Inflasi Beras Pasca Penerapan
Kebijakan HET BerasSumber: BPS (2017), diolah
HET beras menunjukkan peningkatan dan berdampak pada
kenaikan inflasi beras yang terjadi selama bulan September
dan Oktober 2017. Nilai inflasi yang terbentuk pada komoditi
beras pasca penerapan kebijakan HET baru terlihat di bulan
November dimana nilai inflasi yang terbentuk cenderung turun
karena kenaikan harga beras sudah mulai melambat (Gambar
3). Namun demikian, komoditi beras masih menjadi komoditi
prioritas pemerintah yang masih terus diperhatikan.
Kestabilan harga, khususnya beras sangat penting karena
dapat mengurangi risiko petani padi dalam melakukan investasi
produktif dan inovasi teknologi baru yang akan meningkatkan
produktivitas. Sementara konsumen tidak harus mengeluarkan
biaya transaksi karena sering melakukan realokasi anggarannya
atau risiko karena turunnya pendapatan riil mereka akibat kenaikan
harga yang terjadi secara tiba-tiba serta adanya kepastian dalam
pengambilan keputusan (Sumaryanto, 2009).
Bagi penduduk miskin, stabilnya harga beras mempunyai
dimensi pemerataan pendapatan dan meringankan beban
mereka. Dengan stabilnya harga beras di pasar dalam negeri,
penduduk miskin tidak perlu melakukan pencadangan dana besar
untuk membeli beras. Bagi petani, stabilitas harga memungkinkan
petani tidak perlu menahan padinya karena takut harganya anjok
sehingga roda perekonomian dapat berjalan lebih lancar.
Implikasi Pengendalian Harga Terhadap Inflasi Bahan
Makanan dan Volatile Food
Pengendalian harga pangan terus dilakukan salah satunya
untuk mengurangi dampaknya terhadap inflasi, khususnya
inflasi bahan makanan dan volatile food5 dalam komponen inflasi
nasional. Pangan memiliki peran sangat strategis karena gejolak
yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kondisi makroekonomi,
dalam hal ini dapat ditunjukkan dalam kontribusinya terhadap
inflasi (Prastowo et al., 2008). Sejalan dengan hal itu,inflasi
5 Volatile foodadalahinflasibarang-barangyangkomponenharganyasangatbergejolak(fluktuatif)danumumnyainflasivolatile food didominasi oleh kelompok bahan pangan pokok (BPS, 2002).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 19
pangan memiliki andil yang lebih tinggi dibandingkan inflasi
non pangan. Titik-titik kritis inflasi bahan makanan dan volatile
food terjadi saat menjelang puasa dan lebaran serta hari raya
natal dan tahun baru. Upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas
harga barang kebutuhan pokok mulai terlihat dari perkembangan
inflasi bahan makanan dan volatile food selama tahun 2017 relatif
menurun dibandingkan periode sebelumnya (Gambar 4).
Gambar 4. Perkembangan Inflasi Bahan Makanan dan Volatile FoodSumber : BPS (2017), diolah
Pemerintah terus berupaya untuk menjaga stabilitas harga,
pasokan serta distribusi pangan melalui kebijakan harga pangan.
Kebijakan stabilisasi harga melalui penetapan harga pada
angka tertentu hanya akan berdampak dalam jangka pendek,
misalnya efektif selama bulan puasa dan lebaran atau natal dan
tahun baru. Menurut sifat musim dan karakteristik komoditas,
kenaikan harga menjelang puasa dan lebaran serta natal dan
tahun baru lebih dikarenakan oleh ekspektasi pelaku usaha yang
secara psikologis telah meningkatkan harga di periode tersebut.
Kebijakan harga dalam upaya pengendalian inflasi merupakan
salah satu instrumen, dan tetap perlu dilakukan perbaikan juga
dari sisi peningkatan produksi, perbaikan manajemen stok serta
perbaikan infrastruktur dan jalur distribusi. Dari sisi kelembagaan,
implementasi kebijakan memiliki dampak terhadap beberapa
stakeholder. Untuk itu koordinasi secara intensif penting
dilakukan baik di tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah
(Propinsi dan Kab/kota), pelaku usaha, BUMN serta peran Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) agar tujuan dari pelaksanaan
kebijakan tersebut berjalan efektif (menjaga/mengendalikan
harga).
Monitoring harga pangan di setiap wilayah merupakan salah
satu cara untuk menilai indikator stabilitas harga secara dini. Dalam
jangka panjang, kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas harga
di dalam negeri yang diterapkan pemerintah perlu diarahkan juga
pada aspek perlindungan konsumen seperti kebijakan dalam
rangka pengendalian impor untuk melindungi petani dari produk
impor dan praktek unfair trading antara lain dengan menerapkan
trade remedies dan trade defence instruments. Sementara
kebijakan lainnya dalam mendukung peningkatan produksi,
produktivitas serta standar mutu produk guna melindungi dan
memberdayakan petani tanpa harus membebani konsumen
perlu juga didukung oleh kebijakan dari sisi input produksi,
kebijakan resi gudang dan lainnya. Hal penting lainnya adalah
penegakan hukum dan aspek pengawasan dalam perdagangan
pangan, terutama beras dari hulu hingga hilir untuk mengurangi
konspirasi pemburu rente (rent seeking) yang menguasai mata
rantai perdagangan (rantai pasok) komoditi pangan di Indonesia.
20 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Achmad Suryana
Politik pangan negara dalam penyediaan pangan yang
cukup bagi seluruh penduduk tertulis dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, khususnya
dalam pasal 13 dan 14 disebutkan bahwa sumber penyediaan
pangan berasal dari produksi dalam negeri dan cadangan
pangan nasional. Apabila kedua sumber tersebut belum
mencukupi kebutuhan, pangan dapat dipenuhi dari impor.
Implementasi politik pangan Indonesia tercermin dalam kebijakan
pangan nasional pada saat ini yaitu berupa (1) penetapan sasaran
pencapaian swasembada pangan untuk pangan pokok dan
strategis dan (2) kebijakan impor pangan yang sangat hati-hati,
sebagai opsi terakhir untuk menjaga stabilitas harga pangan
pokok.
Salah satu kegiatan operasional dari kebijakan swasembada
pangan adalah pelaksanaan program peningkatkan produksi
pangan pokok di dalam negeri dengan sasaran tingkat
pertumbuhan produksi yang tinggi setiap tahun. Langkah ini
diperlukan untuk mengimbangi peningkatan permintaan pangan
pokok yang terus tumbuh akibat pertumbuhan penduduk dan
peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan
produktivitas usaha tani tanaman pangan dengan pertumbuhan
tinggi, salah satu bentuk kegiatan yang sangat penting adalah
pemupukan secara tepat sesuai kondisi lahan, lingkungan, dan
tanaman yang diusahakan. Di sinilah peran penting kebijakan
subsidi pupuk dalam mendukung pencapaian swasembada
pangan dan perwujudan ketahanan pangan nasional berkelanjutan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Kementerian
Pertanian (Kementan), pada tahun 2016 pangsa pengeluaran
untuk pupuk pada usaha tani tanaman pangan sebenarnya
tidak terlalu besar, yaitu masing-masing sekitar 8,4%, 15,6%,
dan 7,0% dari total biaya usaha tani padi, jagung, dan kedelai
tahun 2016 (Suryani et al. 2017). Badan Pusat Statistik (BPS)
melaporkan informasi serupa, yaitu untuk usaha tani padi, jagung
dan kedelai tahun 2014, pangsa biaya pupuk terhadap total biaya
usaha tani masing-masing sebesar 10,2%, 12,1%, dan 4,4%.
Walaupun pangsa biaya pupuk tersebut relatif kecil, namun faktor
produksi ini merupakan komponen esensial, karena produktivitas
tanaman yang tinggi sangat ditentukan oleh penggunaan pupuk
yang tepat.
TINJAUAN PERDAGANGAN
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 21
Penyediaan, Distribusi dan Harga Eceran Tertinggi
Pemerintah memahami bahwa pupuk sebagai salah satu
faktor produksi sangat esensial bagi peningkatan produksi
pangan, terlebih sejak diperkenalkannya benih padi Varietas
Unggul Baru (VUB). Melalui program Bimas (bimbingan massal)
yang dimulai akhir tahun 1960-an, benih padi VUB introduksi
dari International Rice Research Institute (IRRI) yaitu IR 5 dan
IR 8 diperkenalkan kepada petani secara intensif. Program ini
juga mensosialisasikan kepada petani varietas Pelita I-1 yang
merupakan perkawinan dari IR 5 dan varietas lokal Sintha
(bbpadi.litbang.pertanian.go.id). Benih-benih padi jenis VUB ini
memiliki potensi hasil/hektar yang tinggi, namun perlu didukung
dengan tambahan pasokan ketersediaan hara dalam tanah yang
tinggi pula, dalam dosis tertentu sesuai kondisi kesuburan tanah
dan diaplikasikan tepat waktu. Untuk merespon hal tersebut itu
Pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang
pupuk membangun pabrik pupuk Urea serta meningkatkan
penyediaan pupuk P dan K, dan memperlancar penyalurannya
sampai tingkat petani.
Untuk menjamin pupuk yang disediakan Pemerintah tersebut
terdistribusi dengan tepat kepada petani, berbagai peraturan-
perundangan diterbitkan. Agar pengawasan peredarannya
lebih mudah, pada tahun 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 77 Tahun 2005 tetang Penetapan Pupuk
Bersubsidi sebagai Barang dalam Pengawasan yang dirubah
dengan Perpres Nomor 15 Tahun 2011. Dalam Perpres tersebut
lingkup pengawasan mencakup pengadaan dan penyaluran
pupuk bersubsidi, termasuk jenis, jumlah, mutu, wilayah
pemasaran, harga eceran tertinggi (HET), dan waktu pengadaan
serta penyaluran. Pada saat ini, jenis pupuk bersubsidi dalam
pengawasan adalah pupuk anorganik Urea, SP 36, ZA, serta
NPK, dan pupuk organik.
Untuk mengatur pengadaan dan distribusi pupuk bersubsidi
secara lebih tertib, diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan
dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.
Pengadaan pupuk bersubsidi ditugaskan kepada BUMN
holding produsen pupuk, yaitu PT Pupuk Indonesia (Persero).
Distribusi pupuk bersubsidi diatur tertutup sepanjang rantai
disitribusinya, mulai dari lokasi gudang pupuk di pabrik produsen
(Lini I), ke gudang produsen di ibukota provinsi (Lini II), lalu ke
gudang produsen atau disributor (Lini III) sampai gudang atau
kios pengecer (Lini IV). PT Pupuk Indonesia (Persero) diserahi
tangungjawab atas pengadaan dan peyaluran pupuk bersubsidi
untuk sektor pertanian ini dan harus dilaksanakan sesuai dengan
prinsip 6 (enam) tepat. Dalam Permendag Nomor 15/2013
tersebut, istilah “prinsip enam tepat” diartikan sebagai prinsip
pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang meliputi tepat
jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu.
Untuk menjamin petani mampu membeli pupuk dalam rangka
mendorong penerapan pemupukan berimbang, Pemerintah
mengalokasikan anggaran subsidi pupuk dari APBN dan
menetapkan HET. Karena volume pupuk yang disubsidi cukup
besar, maka besaran anggaran subsidi untuk pupuk juga relatif
besar. Dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) volume alokasi
pupuk bersubsidi secara nasional rata-rata sekitar 9,5 juta per
tahun, dengan jumlah alokasi angaran subsidi pupuk rata-rata
30,6 trilyun rupiah per tahun.
Kebijakan penetapan volume alokasi pupuk bersubsidi
dan besaran HET diatur dengan Peraturan Menteri Pertanian
(Permentan) setiap tahun. Untuk tahun 2017 kebijakan
tersebut ditetapkan melalui Permentan Nomor 04/Permentan/
SR.310/3/2017 tentang Perubahan atas Permentan Nomor 69/
Permentan/SR.310/12/2016 tentang Alokasi dan Harga Eceran
Tertinggi Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian. Jumlah
alokasi pupuk bersubsidi tahun 2017 sebesar 9,55 juta ton,
dengan proporsi dua terbesar berupa pupuk Urea 43% dan NPK
27%, seperti disajikan dalam Gambar 1.
Urea 42,9%
SP 3610,5%
ZA11,0%
Organik8,9%
NPK26,7%
Gambar 1. Volume Alokasi Pupuk
Bersubsidi Berdasarkan Jenis
Pupuk, 2017Keterangan: total alokasi penyediaan pupuk bersubsisi 9.55 juta ton
22 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Pupuk bersubsidi ini diperuntukkan bagi petani dan petambak
yang telah bergabung dalam Kelompok Tani (KT), menyusun
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), dan melakukan
usaha tani tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan
peternakan yang mengusahakan luasan lahan maksimal 2,0
hektar setiap musim; dan petambak yang mengusahakan luasan
lahan maksimal 1,0 hektar setiap musim.
Besaran HET pupuk sudah lebih dari enam tahun tidak
dinaikkan Pemerintah. Dalam Permentan Nomor 04/2017
tersebut, untuk tahun 2017 HET/kg untuk pupuk Urea sebesar
Rp 1.800 (tidak berubah sejak 2012), pupuk NPK Rp 2.300
(berlaku sejak 2011), pupuk ZA dan SP 38 masing-masing Rp
1.400 dan Rp 2.000 (tidak dinaikkan sejak 2010), dan pupuk
organik Rp 500 (tidak berubah sejak 2012). Besaran HET pupuk
bersubsidi tahun 2017 ini di bawah 50% dari biaya produksi dan
distribusi masing-masing jenis pupuk, yang berarti Pemerintah
mensubsidi lebih dari 50% harga pupuk di pasar.
Dengan tidak dinaikkannya HET pupuk bersubsidi selama
delapan tahun (2010-2018) sementara biaya produksi pupuk naik
setiap tahun, maka proporsi besarnya subsidi pupuk terhadap
biaya produksinya meningkat setiap tahun. Kenaikan biaya
produksi pupuk antara lain disebabkan oleh terjadinya kenaikan
harga gas sebagai bahan baku pupuk urea, gas dibeli dalam
dolar Amerika Serikat (AS) sementara itu kurs rupiah melemah
setiap tahun, dan terdapat inflasi tahunan. Sebagai bahan
perbandingan, selama periode 2011-2017 harga pembelian
pemerintah (HPP) untuk padi dalam bentuk gabah kering panen
(GKP) dinaikkan dari 2.640 rupiah/kg menjadi 3.700 rupiah/kg
(Inpres perberasan) atau naik 54%; harga beras medium di pasar
meningkat dari 7,890 rupiah/kg menjadi 11.552 rupiah/kg (BPS)
atau naik 46%; dan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah
dari 9.070 rupiah menjadi 13.515 rupiah (rata-rata kurs tengah
tahunan dari beberapa bank) atau naik 49% (Tabel 1).
Tabel 1. Penyediaan dan Kebijakan Harga Pupuk Bersubsidi, 2011-2017No Uraian Satuan 2011 2013 2015 2017
1 Total volume pupuk bersubsidi 000 t 9.754 8.610 9.550 9.5502 Urea 000 t 5.100 3.860 4.100 4.1003 NPK 000 t 2.350 2.131 2.550 2.5504 HET Urea Rp/kg 1.600 1.800 1.800 1.8005 HET NPK Rp/kg 2.300 2.300 2.300 2.3006 HPP padi (GKP)(naik) Rp/kg 2.640 3.300 3.700 3.700+ (54%)7 Harga beras medium (naik) Rp/kg 7.890 8.941 10.915 11.552 (46%)8 Kurs (naik) Rp/$AS 9.070 12.189 12.440 13.516 (49%)
Sumber: Butir 1,2,3 ,4,5 dari beberapa dokumen Permentan, butir 6 dari Perpres dan Permendag, butir 7 dari BPS, dan Butir 8 dari perbankan.Ket: Pada tahun 2017 tingkat HPP dengan diskresi Pemerintah dapat dinaikkan sampai 10%.
Kebijakan Distribusi dan Pengawasan Pupuk Bersubsidi
Melalui Penggunaan Kartu Tani
Petani sudah memahami pentingnya pupuk untuk
mendapatkan hasil produksi yang tinggi dari usaha taninya.
Kondisi tersebut dapat terlihat dari angka partisipasi petani
dalam penggunaan pupuk yang tinggi. Hasil kajian PSEKP
untuk usaha tani tanaman pangan tahun 2016 memperlihatkan
angka partisipasi penggunaan pupuk Urea pada usaha tani padi
dan jagung mencapai 100%, yang artinya seluruh petani padi
dan jagung menggunakan pupuk Urea dalam usaha taninya.
Sementara itu, angka partisipasi penggunaan pupuk Urea pada
usaha tani kedelai sebesar 79,5%. Angka partisipasi penggunaan
pupuk majemuk NPK juga tinggi, yaitu 100% pada usaha tani
jagung, 88,5% pada padi, dan 82,1% pada kedelai. Sementara
itu, walaupun sudah disosialisasikan secara intensif dalam
beberapa tahun terakhir, angka partisipasi penggunaan pupuk
organik baru mencapai 47,5% pada usaha tani padi sawah,
35,6% pada jagung, dan 48,7% pada kedelai (Gambar 2).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 23
Gambar 2. Angka Partisipasi Penggunaan Pupuk Pada Usaha Tani
Tanaman Pangan, 2016
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan
PSEKP, dilihat dari dosis penggunaan pupuk, dalam 15 tahun
terakhir terjadi perubahan pemakaian pupuk ke arah pemupukan
berimbang sesuai dengan kondisi kesuburan lahan. Penggunaan
pupuk tunggal Urea dan SP 36 menurun, sementara itu
penggunaan pupuk majemuk NPK trennya meningkat. Pada
tahun 2010 pengunaan pupuk Urea/hektar sebesar 360
kg menurun menjadi 241 kg di tahun 2016. Penurunan ini
disubstitusi oleh peningkatan penggunaan pupuk NPK yang
pada tahun 2000 masih belum dikenal petani, pada tahun 2010
digunakan dengan dosis sebesar 86 kg/ha dan pada tahun
2016 sebesar 221 kg/ha.
Walaupun telah banyak upaya Pemerintah untuk menjamin
penyaluran pupuk guna memenuhi prinsip enam tepat, tetapi selalu
saja itikad tersebut tidak dapat dipenuhi seluruhnya dengan baik.
Permasalahan tersebut diantaranya terkait dengan kelemahan
pengawasan, penyaluran belum tepat sasaran, perembesan
pupuk bersubsidi ke pihak yang tidak berhak, kelangkaan pupuk
saat dibutuhkan di suatu daerah, dan harga pupuk bersubsidi
yang dibayar oleh petani lebih tinggi dari yang seharusnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah saat ini meluncurkan
kebijakan penggunaan Kartu Tani untuk meningkatkan ketepatan
penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani sekaligus mengatasi
penyalahgunaan penggunaan pupuk bersubsidi.
Kebijakan penggunaan Kartu Tani ini diimplementasikan
dengan menggandeng BUMN perbankan. Untuk di pulau Jawa,
kerja sama dengan Bank BRI dilakukan untuk melayani petani
di wilayah Provinsi Banten, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah;
Bank Mandiri di Provinsi Jawa Barat, dan Bank BNI di Provinsi
jawa Timur. Persiapan dan uji coba pelaksanaan pemanfaatan
Kartu Tani untuk penebusan dan pembayaran pupuk bersubsidi
sudah berlangsung di provinsi-provinsi tersebut. Sebagai
AngkaPartisipasi
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%Urea NPK SP36 ZA Organik
Padi Sawah Jagung Kedelai
24 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
contoh, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan
dan mensosialisasikan Petunjuk Praktis Penggunaan Kartu
Tani (biroinfrasda.jatengprov.go.id/). Dokumen tersebut secara
singkat namun jelas menerangkan mulai dari pengertian Kartu
Tani, maksud dan tujuan serta manfaat, dan tahapan penerbitan
sampai pemanfaatannya.
Berdasarkan Petunjuk Praktis tersebut, maksud dan tujuan
penggunaan Kartu Tani adalah untuk mewujudkan pendistribusian
dan pengawasan pupuk bersubsidi kepada petani yang berhak
menerima sesuai prinsip enam tepat serta pemberian layanan
perbankan bagi petani. Dengan kesiapan dari PT Pupuk
Indonesia (Persero), yaitu BUMN pupuk yang diberi penugasan
dalam penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi sampai lini
IV juga secara enam tepat, diharapkan inovasi penggunaan Kartu
Tani tersebut dapat meminimalisir permasalahan yang selama ini
terjadi, sehingga pupuk bersubsidi sampai kepada petani secara
enam tepat.
Sampai akhir tahun 2017 telah didistribusikan Kartu Tani
kepada sekitar 858 ribu petani di Jawa Barat (republika.co.id/
Ekonomi) dan sekitar 647 ribu untuk petani di 13 kabupaten di
Jawa Timur (http://bisnis.tempo.co/Bisnis). Sementara itu di Jawa
Tengah diberitakan pada awal tahun 2018 telah didistribusikan
sekitar 2,1 juta Kartu Tani kepada petani (www.solopos.com). Untuk
pelaksanaannya di setiap kios penyalur pupuk resmi dilengkapi
dengan Electronic Data Capture (EDC) untuk memfasilitasi proses
transaksi pembelian pupuk bersubsidi tersebut.
Beberapa respon awal yang muncul di masyarakat atas
implementasi kebijakan penggunaan Kartu Tani ini adalah
mengenai permasalahan keakurasian data Kartu Tani, baik
ketepatan petani yang berhak menerima maupun ketepatan
informasi yang terkandung di dalamnya, khususnya mengenai
jumlah subsidi yang berhak diterima petani. Perbaikan data
ini perlu dilakukan segera agar kredibilitas program Kartu Tani
dapat dijaga. Selain itu, penyesuaian data dalam Kartu Tani
perlu dilakukan secara berkelanjutan, sesuai dengan dinamika
kependudukan dan kepemilikan serta pengusahaan lahan
pertanian. Walupun intensitasnya tidak terlalu tinggi, tetapi
perubahan tempat tinggal, perpindahan kepemilikan lahan, dan
perubahan pelaku pengusahaan lahan (berupa garap sendiri,
sewa, gadai, garap) dalam satu tahun dapat saja terjadi. Dengan
upaya updating data secara berkelanjutan, subsidi pupuk dapat
secara langsung diterima petani dan distribusi pupuk secara
tepat dapat direalisasikan
Tantangan Subsidi dan Harga Eceran Dalam Mendukung
Ketahanan Pangan
Untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan,
peningkatan produksi pangan domestik, khususnya pangan
pokok secara terus-menerus mutlak diperlukan. Sehubungan
dengan itu, dukungan insentif untuk berusaha tani tanaman
pangan, yang salah satunya berupa penyediaan anggaran
subsidi agar harga pupuk yang dibeli petani lebih rendah masih
diperlukan. Kebijakan subsidi pupuk ini sebaiknya dirancang
agar pupuk sampai ke petani secara enam tepat dan petani
mampu menggunakan pupuk sesuai rekomendasi pemupukan
berimbang.
Anggaran subsisi pupuk meningkat terus dan saat ini
mencapai lebih dari Rp 30 triliun. Mengingat HET pupuk
bersubsidi sejak 2010-2012 belum dinaikkan, sementara harga
pangan dan kurs rupiah pada periode tersebut meningkat sekitar
50%, disarankan untuk secara gradual meningkatkan HET pupuk
bersubsidi dengan kenaikan antar jenis pupuk yang berbeda
sesuai arah kebijakan pemupukan berimbang. Kebijakan terakhir
ini dapat mendorong petani menggunakan pupuk lebih efisien,
meningkatkan produktivitas tanaman pangan/hektar, dan
mengurangi beban APBN untuk subsidi pupuk.
Biodata Penulis:Nama : Achmad SuryanaProfesi : Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian PertanianEmail : [email protected]
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 25
Peran Kebijakan Hilirisasi dan ISPO dalam
Meningkatkan Daya Saing CPO IndonesiaDalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2014-2019 (Bappenas, 2014), pemerintah mentargetkan
pertumbuhan ekonomi 7,5% pada tahun 2018. Untuk mendukung
target tersebut, ekspor non migas diharapkan tumbuh 12,0%
di tahun 2018. Salah satu produk andalan Indonesia untuk
peningkatan ekspor nasional adalah Crude Palm Oil (CPO)
mengingat kontribusi produksi dan ekspornya terhadap pasar
dunia yang terus meningkat.
Produksi CPO Indonesia pada tahun 2016 merupakan yang
tertinggi di dunia, yakni mencapai 36 juta ton atau 53,8% dari
total produksi CPO dunia. Produksi CPO Indonesia juga terus
mengalami peningkatan dari 8,3 juta ton di tahun 2000 menjadi
36 juta ton di tahun 2016 (Index Mundi, 2017). Indonesia juga
merupakan eksportir CPO dan turunannya terbesar di dunia selama
tahun 2016 dengan pangsa 39,8% dari total ekspor CPO dunia
(UN Comtrade, 2017). CPO merupakan produk penyumbang
ekspor non migas terbesar, yakni 13,7% terhadap ekspor non
migas tahun 2016 (Kementerian Perdagangan, 2017).
Kebijakan Hirilisasi CPO
CPO masih tergolong dalam produk primer yang memiliki nilai
tambah rendah yang ekspornya tergantung pada perkembangan
harga dan nilai tukar Rupiah yang berfluktuasi dan penuh
ketidakpastian (Maygirtasari et all., 2015). Oleh karena itu tidak
mengherankan jika kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan
hilirisasi yang mendorong ekspor CPO ke arah sektor manufaktur
atau industri berbasis agro yang bernilai tambah lebih tinggi.
Apalagi perkembangan agroindustri dipercaya berperan dalam
penciptaan nilai tambah (Supriyati & Erma Suryani, 2006).
Kebijakan pemerintah dalam mendorong hilirisasi CPO
dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/
PMK.011/2010 jo. Nomor 13/PMK.010/2017 tentang Penetapan
Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Pokok pengaturan dalam peraturan tersebut adalah semakin tinggi
Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO, semakin tinggi pula tarif Bea
Keluar (BK) yang diterapkan. Penentuan HPE CPO dan turunannya
sebagai acuan PMK tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan
Menteri Perdagangan yang dikeluarkan setiap bulan. Selain itu,
pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 13 tahun 2010 tentang Roadmap Pengembangan Industri
Hilir Kelapa Sawit (IHKS) Nasional, dimana klaster IHKS difokuskan
di tiga daerah, yaitu Sumatera Utara (Sei Mangkei), Riau (Dumai
dan Kuala Enok), dan Kalimantan Timur (Maloy).
Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah pasti
memunculkan dampak positif maupun negatif. Beberapa penelitian
dan kajian menunjukkan dampak positif dari kebijakan hilirisasi
BERITA PENDEK PERDAGANGAN
26 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
CPO. Kajian Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Kementerian
Keuangan (2013) dan Kusmartata et.all (2013) menyebutkan
bahwa kebijakan bea keluar ekspor CPO telah meningkatkan
kinerja ekspor CPO dan turunannya serta mengubah komposisi
produksi dan ekspor kelapa sawit Indonesia sehingga lebih
didominasi oleh produk hilir. Kajian Pusat Kebijakan Pendapatan
Negara, Kementerian Keuangan (2013) juga menyampaikan bahwa
kebijakan bea keluar ekspor CPO telah menarik investasi industi
hilir kelapa sawit dengan nilai mencapai sekitar USD 860 juta,
baik yang telah dan akan direalisasikan. Dampak positif lain dari
kebijakan bea keluar ekspor CPO adalah peningkatan pendapatan
pemerintah dari bea keluar sebesar Rp 24,1 miliar dan Industri
minyak goreng menikmati keuntungan karena memperoleh harga
bahan baku (CPO) dengan harga yang relatif murah dan tersedia
di pasar domestik, yakni dari sekitar 1.200 USD/mt menjadi sekitar
900 USD/mt (Salam et all, 2014).
Adapun dampak negatif dari kebijakan hilirisasi CPO adalah
kerusakan lingkungan diantaranya ekspansi kebun kelapa sawit
berdampak pada berkurangnya kuantitas air tanah, pencemaran
air, serta berkurangnya populasi satwa dan pabrik pengolahan CPO
menghasilkan limbah cair yang menimbulkan biaya eksternal bagi
masyarakat berupa biaya pengganti air bersih dan biaya berobat
(Utami, et All., 2017). Giandadewi, et. all (2017) juga menyebutkan
bahwa aktivitas perkebunan dan industri CPO berpengaruh pada
climate change (perubahan iklim) sebagai akibat dari penggunaan
pupuk dari aktivitas perkebunan yang menghasilkan emisi N2O
ditambah dengan Palm Oil Mill Effluent (POME) yang menghasilkan
gas metana.
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
Dalam rangka mempertahankan dampak positif dan
meminimalkan dampak negatif dari kebijakan hilirisasi CPO,
Kementerian Pertanian, melalui Peraturan Menteri Pertanian
Nomor: 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia membentuk
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai upaya untuk
mempertahankan keberadaan dan manfaat kelapa sawit dalam
jangka panjang. Pemerintah menerbitkan sertifikat ISPO bagi
perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan CPO yang
berkelanjutan berdasarkan kriteria tertentu. Sampai bulan Oktober
2017, pemerintah telah menerbitkan 300 sertifikat ISPO (setara
dengan luas areal sekitar 1,8 juta ha dan produksi 8,5 juta ton
CPO/tahun), mencakup 18% dari luas areal perkebunan sawit di
Indonesia (Kemenko Perekonomian, 2017).
Dalam menerbitkan sertifikat ISPO, berdasarkan Permentan
Nomor 19 tahun 2011 pemerintah memperhatikan beberapa kriteria
yang meliputi sektor lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi. Kriteria
tersebut antara lain legalitas izin usaha, perlindungan terhadap
pemanfaatan hutan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan,
tanggung jawab terhadap pekerja, tanggung jawab sosial
perkebunan kelapa sawit dan pabrik CPO, perberdayaan ekonomi
masyarakat, serta peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Komitmen pemerintah dalam meningkatkan daya saing CPO
masih terus dilakukan dengan melakukan diplomasi kepada
negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Pada tanggal 28 November
2017, Kementerian Luar Negeri melakukan briefing kepada para
Duta Besar negara-negara Uni Eropa untuk menegaskan posisi
Indonesia atas sikap dan kebijakan diskriminatif terhadap CPO oleh
berbagai pihak di Uni Eropa. Dalam briefing tersebut disampaikan
bahwa CPO justru merupakan minyak nabati berkelanjutan
karena jika kebutuhan dunia akan minyak nabati harus digantikan
oleh minyak rapeseed dan kedelai, maka kebutuhan luas lahan
kedelai atau rapeseed mencapai 5 sampai 10 kali lebih besar
daripada lahan perkebunan sawit. Selain itu, program replanting
dan peningkatan produktifitas petani kecil sawit merupakan
program strategis, karena produksi sawit dapat ditingkatkan
dengan menggunakan luasan lahan yang sama sekaligus dapat
meningkatkan kesejahteraan para petani dan perekonomian di
daerah-daerah lokasi perkebunan sawit yang sebagian besar
berlokasi jauh dari pusat pertumbuhan (Kementerian Luar Negeri,
2017).
Dari sektor lingkungan hidup, komitmen pemerintah
dalam mengurangi dampak negatif hilirisasi CPO melalui ISPO
membuahkan hasil berupa pergeseran pola deforestasi untuk
perkebunan kelapa sawit, sebagaimana disebutkan dalam
penelitian Austin, et. all (2017). Proporsi perkebunan kelapa sawit
yang menggantikan hutan menurun dari 54% selama tahun 1995-
2000, menjadi 18% selama tahun 2010 – 2015. Dengan komitmen
tersebut, kedepannya diharapkan kebijakan hilirisasi dan program
ISPO akan meningkatkan daya saing CPO Indonesia di pasar
internasional dan mampu menghadapi setiap hambatan khususnya
diskriminasi atau kampanye negatif dari beberapa Negara tujuan
ekspor. (Titis K. Lestari)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 27
Pemerintah Siap Genjot Ekspor ke Afrika
Lewat Penugasan Khusus Ekspor (PKE)Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia pada
pembukaan rapat kerja (RAKER) Kementerian Perdagangan
Tahun 2018, terdapat dua hal yang menjadi kunci pertumbuhan
perekonomian Indonesia yaitu peningkatan investasi dan
peningkatan ekspor nasional. Dalam mendukung pencapaian
pertumbuhan perekonomian tersebut, Kementerian Perdagangan
memiliki peran yang sangat penting khususnya dalam hal
meningkatkan ekspor Indonesia. Pada kesempatan tersebut,
Presiden juga menyatakan bahwa, Indonesia harus lebih fokus
pada pasar-pasar non-tradisional yang merupakan pasar ekspor
prospektif dengan perekonomian yang terus tumbuh seperti
negara-negara yang berada di kawasan Afrika dan Asia Selatan.
Dengan demikian, Kementerian Perdagangan saat ini tentu harus
memberikan perhatian khusus pada program-program yang
mendukung akselerasi pertumbuhan ekspor Indonesia khususnya
ke negara mitra dagang non-tradisional.
Akselerasi pertumbuhan ekspor tersebut, tentu harus didukung
oleh program-program yang bukan lagi bersifat business as usual,
dengan terobosan-terobosan terhadap program peningkatan
ekspor yang sudah berjalan. Berdasarkan hasil analisis hubungan
perdagangan Indonesia dengan negara yang tergabung
dalam selatan-selatan, yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian
Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan di tahun
2015, selama ini salah satu kendala yang dihadapi oleh para
eksportir Indonesia untuk dapat melakukan penertrasi ke pasar-
pasar non-tradisional khususnya Afrika dan Asia Selatan adalah
adanya kekhawatiran gagal bayar serta resiko ketidakstabilan
politik dan ekonomi negara-negara tersebut yang cukup tinggi.
Oleh karena itu, perlu adanya skema khusus yang dapat menjadi
stimulus bagi para eksportir untuk mau masuk dan menajajaki
pasar non-tradisional Afrika dan Asia Selatan.
Untuk mengatasi permasalahan tingginya resiko ekspor di
negara-negara non-tradisional, pemerintah telah mengeluarkan
program kebijakan khusus berupa Penugasan Khusus Ekspor
(PKE) kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)
yang didasari oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 134/
PMK.08/2015. Penugasan khusus ekspor (PKE) pemerintah
kepada LPEI tersebut bertujuan untuk menyediakan pembiayaan
ekspor atas transaksi atau proyek yang secara komersial yang
sulit dilaksanakan, tetapi dianggap perlu oleh pemerintah untuk
menunjang kebijakan atau program ekspor. Dengan demikian,
penugasan khusus diberikan secara selektif dan terbatas pada
sektor ekonomi, komoditas, negara tujuan ekspor, kriteria pelaku
pelaku ekspor dan bentuk pembiayaan ekspor tertentu yang
diputuskan dalam rapat dewan komite PKE.
Dewan komite penugasan khusus ekspor yang terdiri dari 3
Kementerian sebagai anggota tetap komite antara lain Kementerian
Perdagangan, Kementerian Keuangan dan Kementerian
Perindustrian. Dewan komite PKE memiliki wewenang antara lain:
a. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penugasan
khusus.
b. Melakukan penilaian hasil kajian aspek ekonomi atas program
ekspor yang diusulkan oleh Kementerian/Lembaga pemerintah
non Kementerian dengan mempertimbangkan beban dan
risiko fiskal.
Sumber dana pembiayaan PKE berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kriteria secara umum,
suatu sektor atau proyek ekspor dapat difasilitasi oleh LPEI antara
lain: i) Meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk Indonesia;
ii) mendukung pertumbuhan industri dalam negeri dan; iii) memiliki
potensi peningkatan dan pengembangan ekspor jangka panjang.
28 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Tabel 1. Payung Hukum Program PKE
No. Jenis Peraturan Uraian
1. Undang-Undang Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang LPEI Pasal 18 1. LPEI dapat melaksanakan penugasan khusus dari pemerintah
untuk mendukung program ekspor nasional atas biaya pemerintah. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal-hal yang terkait dengan
penugasan khusus pelaksanaan program Ekspor nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Peraturan Menteri Keuangan tentang Penugasan KhususMemuat tata cara pengajuan usul program Ekspor nasional dari Kementerian dan Lembaga, sumber dana, denda, provisi penjaminan, premi asuransi, penggantian kerugian (coverage), pembentukan komite penugasan khusus ekspor dan pembayaran.
3.KeputusanMenteriKeuangan(KMK) • KeputusanMenteriKeuanganNo.988/KMK.08/2015tentang Pembentukan Komite Penugasan Khusus Ekspor.
• Keputusan Menteri Keuangan tentang Program Ekspor yangdikeluarkan setelah Menteri Keuangan menyetujui rekomendasi yang dikeluarkan oleh dewan komite. Dengan demikian, akan dikeluarkan KMK yang bersifat dinamis sesuai hasil rapat dewan komite yang digunakan sebagai dasar bahwa sektor atau proyek-proyek tersebut disetujui untuk mendapatkan fasilitas PKE.
4.PeraturanInternalLPEI • PeraturanDewanDirekturtentangKebijakanatasPelaksanaan Penugasan Khusus
• PeraturanDirekturEksekutif tentangManualProdukPenugasanKhusus.
• Peraturan Direktur Eksekutif tentang Komite PembiayaanPenugasan Khusus.
Sumber: LPEI (2017)
Tata cara pengusulan program/proyek pembiayaan ekspor
yang akan mendapat fasilitas program PKE terdiri dari 2 tahap
yaitu tahapan pertama yang menjadi tanggung jawab dewan
komite PKE dan tahapan kedua yang menjadi tugas dan tanggung
jawab LPEI. Tata cara pengusulan program/proyek PKE disajikan
pada Gambar 1.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 29
Dewan Komite PKETahap I:
Menetapkan PROGRAM EKSPOR yang dianggap perlu oleh Pemerintah:• Meningkatkandayasaingdannilaitambahproduk
Indonesia.• Mendukungpertumbuhanindustridalamnegeri.• Memilikipotensipeningkatandanpengembangan
ekspor jangka panjang.
LPEITahap II:
Menetapkan TRANSAKSI/PROYEK yang secara komersil sulit dilaksanakan:• Sesuai dengan sektor ekonomi, komoditas,
negara tujuan ekspor, kriteria pelaku ekspor, dan bentuk fasilitas pembiayaan ekspor sebagaimana ditetapkan dalam KMK PKE yang diterbitkan setelah Menteri Keuangan menyetujui rekomendasi dewan komite.
• Memilikirisikopembiayaan/krediteksporyangtidakkompetitif bagi LPEI.
• Tidak ada perusahaan yang menyediakan jenispenjaminan kembali/reasuransi untuk Transaksi/ Proyek tersebut.
Penilaian aspek ekonomi
K/L mengajukan Usulan Program
Ekspor
Komite/Menkeu menyetujui/menolak
program ekspor
Pelaku Ekspor mengajukan
transaksi/Proyek
LPEI menyetujui/menolak
Transaksi/Proyek
Penilaianaspekfinansial
1 42 53 6
Gambar 1. Alur Program Penugasan Khusus Ekspor (PKE)Sumber: LPEI (2017)
Tahap I
1. Pimpinan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian
menyampaikan usulan program ekspor kepada Menteri c.q.
Komite dengan dilampiri paling kurang hasil kajian aspek
ekonomi.
2. Kajian Aspek Ekonomi sebagaimana dimaksud berisi mengenai:
a. Uraian mengenai rencana ekspor yang diajukan sebagai
penugasan khusus.
b. Analisis kelayakan dan efek pengganda penugasan khusus
bagi industri dalam negeri dan perekonomian nasional.
c. Bentuk fasilitas pembiayaan ekspor yang diperlukan
d. Perkiraan nilai pembiayaan ekspor dan jangka waktu yang
diperlukan
e. Potensi risiko yang mungkin terjadi.
3. Penyampaian usulan penugasan khusus oleh pimpinan
kementerian/lembaga pemerintah non kementerian
kepada Menteri dilakukan sesuai dengan siklus Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Komite melakukan
penelaahan/ penilaian hasil kajian aspek ekonomi, dengan
mempertimbangkan kemampuan dan risiko keuangan negara.
Atas hasil penilaian aspek Ekonomi tersebut, Dewan Komite
kemudian menyusun dan menyampaikan rekomendasi kepada
Menteri yang memuat: a. sektor ekonomi; b. komoditas; c.
negara tujuan ekspor; d. kriteria pelaku ekspor; e. bentuk
fasilitas penugasan khusus; dan f. besaran dana atas program
yang disetujui.
Tahap II
1. Eksportir/nasabah yang termasuk ke dalam kriteria sektor
yang mendapat pembiayaan dalam program PKE mengajukan
transaksi/proyek kepada LPEI dengan membawa dokumen
sesuai dengan yang dipersyaratkan oleh LPEI.
2. LPEI kemudian melakukan penilaian aspek finasial dari
dokumen-dokumen yang diajukan oleh nasabah.
3. Apabila seluruh persyaratan telah terpenuhi dan nasabah
telah memenuhi aspek finansial, maka LPEI akan menyetujui
transaksi/proyek yang diajukan. LPEI berhak untuk menyetujui
atau menolak usulan proyek yang diajukan oleh nasabah
berdasarkan hasil penilaian aspek finansial dan aspek standar
penilaian lainnya yang bersifat umum.
30 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Berdasarkan PMK No. 134/2015, fasilitas yang diberikan
oleh LPEI dalam skema PKE tersebut terdiri dari 3 skema yaitu
pembiayaan, penjaminan dan asuransi. Pembiayaan yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah LPEI melalui skema PKE
dapat memberikan pembayaran atas pembiayaan untuk pembeli
luar negeri (buyer’s credit), pembiayaan proyek luar negeri dan
pembiayaan investasi luar negeri.
LPEI mengenakan imbalan kepada nasabah atas pembiayaan,
provisi pinjaman, atau premi asuransi kepada nasabah
(pelaku ekspor). Imbalan atas pembiayaan dikenakan dengan
mempertimbangkan beberapa faktor antara lain: i) biaya yang
dikeluarkan untuk memberikan pembiayaan ekspor; ii) rating
nasabah; iii) unsur lainnya. Sementara, imbalan yang dikenakan
LPEI atas penjaminan dan premi asuransi didasarkan pada: i)
penggantian kerugian atau nilai kompensasi finansial dari jenis
resiko yang akan dijamin; ii) biaya yang akan dikeluarkan untuk
memberikan jaminan atau asuransi; iii) unsur lainnya.
Pada bulan September 2017 lalu, dewan komite PKE telah
mengadakan rapat pleno yang menghasilkan kesepakatan bahwa
PKE pemerintah kepada LPEI di tahun 2017 akan difokuskan untuk
mendorong ekspor ke negara-negara yang berada di kawasan Afrika.
Berdasar pertimbangan tersebut, pemerintah melalui Kementerian
Keuangan telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
No. 787/KMK.08/2017 tentang penugasan khusus kepada LPEI
untuk mendorong ekspor ke negara kawasan Afrika.
Berbeda dengan kebijakan Penugasan Khusus Ekspor
(PKE) yang tertuang pada KMK sebelumnya, KMK No. 167/
KMK.08/2016 yang membatasi penyediaan pembiayaan ekspor
hanya pada komoditas produk olahan ikan, alas kaki, tekstil dan
produk tekstil, furnitur serta produk olahan kayu, dalam KMK yang
baru diterbitkan saat ini, pemerintah memberikan banyak ruang
bagi seluruh eksportir yang memiliki keinginan untuk menjajaki
pasar Afrika. Hal tersebut terlihat dari tidak adanya batasan sektor
ekonomi dan komoditas yang menjadi fokus dalam KMK No.
787/2017. Para eksportir dapat langsung mengajukan transaksi
atau proyek ekspor yang ditujukan ke pasar Afrika kepada LPEI
untuk dapat mendapatkan pembiayaan, penjaminan dan asuransi.
Oleh karena itu, adanya KMK 787/2017 hendaknya dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para eksportir Indonesia untuk
melakukan penetrasi pasar Afrika dan untuk meningkatkan ekspor
nasional. Beberapa produk potensial ekspor Indonesia ke pasar
Afrika antara lain CPO, kopi, kertas, sabun, otomotif dan produk
ban (Tabel 3). Hal tersebut, mengingat masih besarnya potensi
pasar akan produk-produk tersebut yang ditunjukkan dengan
besarnya nilai indicative potential ekspornya. Namun demikian
program PKE KMK 787/2017 tidak hanya terbatas pada produk
tertentu saja, dapat dimanfaatkan untuk produk ekspor lain yang
ditujukan ke pasar Afrika.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 31
Tabel 2. Ketentuan Umum KMK No. 787/KMK.08/2017
Sektor Ekonomi yang menjadi fokus PKE : Seluruh sektorKomoditas yang dicakup KMK 787/2017 : Seluruh produk, baik barang maupun jasa, sepanjang memenuhi kontribusi dalam negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Negara Tujuan Ekspor : Negara-negara di kawasan Afrika kecuali negara yang mendapat perhatian khususKriteria Pelaku Ekspor : Semua pelaku ekspor, kecuali badan usaha berstatus penanaman modal asing yang mayoritas kepemilikannya dikuasai oleh badan hukum asing atau warga negara asing.Bentuk Fasilitas : Pembiayaan, penjaminan, atau asuransiPengenaan Imbalan : Besaran imbalan yang dikenakan LPEI kepada pelaku ekspor ditetapkan sebagai berikut: 1. Imbalan Pembiayaan:
a. Paling banyak sebesar 200 basis poin di bawah suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) dalam denominasi Rupiah dengan tenor yang setara;
b. Paling banyak sebesar 100 basis poin di atas suku bungan LIBOR 3 bulan dalam valuta asing.
2. Imbalan penjaminan paling banyak sebesar 50% dari imbal jasa penjaminan komersial LPEI; 3. Imbalan asuransi paling banyak sebesar 50% dari premi asuransi komersial LPEI.Alokasi Dana : Rp 1,3 TriliunJangka Waktu Penugasan : Sampai dengan 31 Desember 2022 dengan mempertimbangkan ketersediaan alokasi dana.
Sumber: Disarikan dari KMK No. 787/KMK.08/2017
Tabel 3. Beberapa Produk Potensial Ekspor Indonesia ke Pasar Afrika
No. HS Uraian Afrika Impor dari Indonesia Ekspor ke Afrika Impor dari Indonesia (USD Milyar) Dunia (USD Milyar) Dunia (USD Milyar) 2015 2016 2017 2015 2016 2017 2015 2016 2017
All products 4.31 3.64 2.75 150.37 144.49 168.81 510.86 471.40 263.40
1 ‘151190 Palm oil and its fractions, whether or not refined
(excluding chemically modified and crude) 1.14 1.03 1.07 11.00 11.06 13.81 2.13 2.48 1.84
2 ‘090111 Coffee (excluding roasted and decaffeinated) 0.12 0.09 0.10 1.19 1.00 1.18 0.59 0.58 0.25
3 ‘151110 Crude palm oil 0.44 0.32 0.09 4.39 3.31 4.70 0.74 0.82 0.25
4 480257 Uncoated paper and paperboard, of a kind used
for writing, printing or other graphic purposes, ... 0.08 0.08 0.07 0.42 0.44 0.59 0.35 0.33 0.30
5 ‘870322 Motor cars and other motor vehicles principally
designed for the transport of persons, incl. ... 0.07 0.05 0.06 1.17 1.13 1.15 4.04 3.28 1.70
6 ‘151620 Vegetable fats and oils and their fractions,
partly or wholly hydrogenated, inter-esterified, 0.09 0.09 0.06 0.18 0.31 0.32 0.38 0.39 0.18
7 ‘400122 Technically specified natural rubber “TSNR” 0.05 0.03 0.04 3.56 3.24 4.96 0.10 0.07 0.08
8 ‘151329 Palm kernel and babassu oil and their fractions,
whether or not refined, but not chemically ... 0.02 0.04 0.04 1.05 1.60 1.83 0.03 0.06 0.06
9 ‘540310 High-tenacity yarn of viscose rayon filament
(excluding sewing thread and yarn put up for retail ... 0.02 0.02 0.03 0.00 0.00 0.00 0.02 0.03 0.04
10 ‘340120 Soap in the form of flakes, granules, powder,
paste or in aqueous solution 0.07 0.06 0.03 0.16 0.21 0.29 0.27 0.24 0.11
11 ‘271019 Medium oils and preparations, of petroleum or
bituminous minerals, not containing biodiesel, ... 0.00 0.00 0.03 0.41 0.36 0.77 25.08 19.34 10.57
12 ‘401110 New pneumatic tyres, of rubber, of a kind used for
motor cars, incl. station wagons and racing ... 0.05 0.04 0.03 1.23 1.38 1.32 0.96 1.04 0.59
13 ‘291570 Palmitic acid, stearic acid, their salts and esters 0.06 0.04 0.03 0.09 0.09 0.13 0.12 0.09 0.08
14 ‘382319 Fatty acids, industrial, monocarboxylic; acid oils
from refining (excluding stearic acid, oleic ... 0.07 0.04 0.03 1.12 1.42 1.76 0.14 0.11 0.07
15 ‘210610 Protein concentrates and textured protein
substances 0.00 0.01 0.02 0.00 0.00 0.00 0.09 0.09 0.07
32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Cabotage dan Beyond Cabotage:
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 26 Tahun 2012
tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional
menyatakan bahwa salah satu aspek penggerak utama dalam
pengembangan sistem logistik nasional Indonesia adalah pelaku
dan penyedia jasa logistik. Selain aspek tersebut, pengembangan
Sistem Logisik Nasional juga bertumpu pada aspek lainnya yang
saling terkait yaitu: komoditas penggerak utama, infrastruktur
transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, manajemen
sumber daya manusia, serta regulasi dan kebijakan. Dalam
Perpres diatas diuraikan bahwa kondisi yang diinginkan dalam
pengembangan aspek pelaku dan penyedia jasa logistik adalah
terwujudnya pelaku logistik (PL) dan penyedia jasa logistik (PJL)
yang terpercaya dan profesional, yang tidak hanya mampu bersaing
dan menguasai sektor logistik dalam tataran lokal dan nasional,
tetapi juga mampu bersaing di tataran global sehingga terwujud
pemain lokal kelas dunia. Pada sektor angkutan laut, pemerintah
telah berusaha untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut dengan
memberikan peluang dan kesempatan berusaha yang seluas-
luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dan lokal dengan
memberlakukan asas cabotage dan beyond cabotage.
Asas cabotage mulai diinisiasi dan diberlakukan di dunia
pelayaran Indonesia sejak diterbitkannya Instruksi Presiden No. 5
Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.
Inpres ini menginstruksikan untuk menerapkan asas cabotage
secara konsekuen dan merumuskan kebijakan serta mengambil
langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi
dan kewenangan masing-masing guna memberdayakan industri
pelayaran nasional. Prinsip dan definisi cabotage di Indonesia
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran Pasal ayat 1 dan 2 yaitu bahwa (1) kegiatan angkutan
laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut
nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta
diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia dan (2)
kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang
antar pulau atau antar pelabuhan di wilayah perairan Indonesia.
Selama kurang lebih satu dasawarsa diterapkan, asas
cabotage terbukti cukup efektif dan berdampak signifikan
terhadap industri pelayaran nasional. Penerapan asas cabotage
dinilai berhasil dalam meningkatkan daya saing industri pelayaran
nasional. Berikut ini adalah beberapa dampak penerapan asas
cabotage di indonesia (Achmadi, 2016):
1. Jumlah armada kapal meningkat 132% dari 6.041 kapal pada
tahun 2005 menjadi 14.036 pada tahun 2014.
2. Jumlah kapasitas armada kapal meningkat 351% dari 3,66
juta DWT pada tahun 2005 menjadi 12,88 juta DWT pada
tahun 2013
Upaya Mendongkrak Performa Industri Pelayaran Nasional
Upaya Mendongkrak Performa Industri Pelayaran Nasional
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 33
3. Sejak diterapkannya asas cabotage jumlah perusahaan
pelayaran bertambah sebesar 2.866 perusahaan; jumlah
perusahaan pemasok peralatan maritim bertambah 51
perusahaan; perusahaan jasa pelayaran meningkat 1.894
perusahaan; dan perusahaan galangan kapal meningkat
sebesar 250 perusahaan.
4. Pada tahun 2005, kapasitas armada pelayaran Indonesia
berada di peringkat 4 di Asean, berada di bawah Malaysia
dan Philipina, sementara pada tahun 2013 kapasitas armada
pelayaran Indonesia menjadi peringkat 2 mengungguli
Malaysia dan Philipina.
Setelah melihat kebijakan cabotage yang cukup sukses
mendongkrak performa industri transportasi laut, pemerintah mulai
meluncurkan kebijakan yang tidak hanya mewajibkan penggunaan
kapal berbendera Indonesia di wilayah perairan Indonesia saja,
tetapi juga mendorong penggunaan kapal berbendera Indonesia
untuk bersaing di luar wilayah perairan Indonesia atau lebih dikenal
dengan kebijakan beyond cabotage. Pemerintah yang dalam hal
ini adalah Kementerian Perdagangan melalui Permendag No. 82
Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan
Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu, mulai
mewajibkan penggunaan armada kapal berbendera Indonesia
untuk ekspor dan impor beberapa komoditi yaitu CPO, batubara,
beras dan barang pengadaan pemerintah. Permendag ini juga
merupakan realisasi program perubahan term of trade ekspor dari
free on board (FOB) menjadi sistem cost, insurance and freight (CIF)
yang sudah disepakati bersama antara Kementerian Perdagangan
dengan dunia usaha dalam nota kesepahaman (Memorandum of
Understanding/MoU) pada 27 Februari 2013.
Kebijakan beyond cabotage ini disambut gembira oleh
para perusahaan pelayaran. Indonesian National Shipowners’
Association (INSA) menilai langkah Kementerian Perdagangan
mewajibkan penggunaan kapal yang dikuasai perusahaan
pelayaran akan memberikan dampak positif pada industri pelayaran
dan industri terkait lainnya. Kebijakan ini merupakan lompatan
besar guna mendongkrak performa neraca jasa perdagangan
Indonesia. Selama ini, transportasi laut selalu menjadi sorotan
karena sering menjadi salah satu penyumbang terbesar defisit
neraca jasa perdagangan Indonesia. Hal ini disebabkan, kegiatan
angkutan ekspor impor masih didominasi kapal asing. Tahun
2016 misalnya, penggunaan kapal asing pada kegiatan angkutan
ekspor impor mencapai 93,7% sedangkan penggunakan kapal
berbendera merah putih hanya 6,3% (Kontan, Desember 2017).
Pemerintah dan Pelaku usaha berharap penerapan kebijakan
beyond cabotage ini juga akan memberikan dampak positif yang
luas pada sektor lainnya, seperti industri galangan kapal, industri
komponen kapal, perbankan dan penciptaan lapangan kerja. (Avif
Haryana)
34 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Peran Kementerian Perdagangan Dalam Mencapai SDGs
Menurut United Nations Development Program (UNDP),
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau biasa lazim disebut
Sustainable Development Goals (SDGs) adalah aksi universal untuk
menghentikan kemiskinan, melindungi planet dan memastikan
semua orang merasakan kedamaian dan kemakmuran.
Pemerintah Republik Indonesia menanggapi serius aksi ini dengan
mengeluarkan Peraturan Presiden (PerPres) nomor 59 tahun 2017
perihal pelaksanaan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2017.
Dalam Perpres tersebut dimuat peta jalan atau road map yang
merupakan dokumen rencana yang memuat kebijakan strategis
tahapan-tahapan dalam pencapaian SDG tahun 2017 hingga
tahun 2030 yang sesuai dengan sasaran pembangunan nasional.
Dalam Perpres ini juga dimuat Rancangan Aksi Nasional (RAN) dan
Rancangan Aksi Daerah (RAD) yang merupakan bentuk dokumen
yang memuat perencanaan program dan kegiatan selama lima (5)
tahun ke depan untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara
langsung dan tidak langsung mendukung pencapaian SDG yang
sesuai dengan sasaran nasional dan daerah. Dalam Perpres ini
Presiden menginstruksikan seluruh Kementerian/Lembaga terkait
untuk turut serta membantu pencapaian aksi ini, tidak terkecuali
Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017,
Kementerian Perdagangan diharapkan perannya terkait program,
kegiatan dan indikator kegiatan, yang mendukung 3 pilar, yaitu: (1)
Pilar Pembangunan Sosial; (2) Pilar Pembangunan Ekonomi; dan
(3) Pilar Pembangunan Hukum dan tata Kelola, serta tercapainya
6 Tujuan SDG, yaitu: (1) Tujuan 3 tentang Kehidupan Sehat dan
Sejahtera; (2) Tujuan 8 tentang Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan
Ekonomi; (3) Tujuan 9 tentang Industri, Inovasi, dan Infrastruktur;
(4) Tujuan 10 tentang Berkurangnya Kesenjangan; (5) Tujuan 16
tentang Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh;
dan (6) Tujuan 17 tentang Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
Dalam RAN Kemendag, setiap unit eselon 1 mempunyai perannya
masing-masing. Sebagai contoh, Direktorat Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri (Ditjen Dagri) memiliki program pendukung tujuan 8,
9, dan 10 yaitu melalui pembangunan/revitalisasi pasar, bantuan
sarana usaha untuk pelaku usaha serta layanan perizinan dan
non perizinan perdagangan. Ini merupakan salah satu cara untuk
dapat membantu pencapaian tujuan-tujuan tersebut yaitu dengan
menjaga stabilitas harga bahan pokok serta pembangunan pasar
yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kelayakan
hidup masyarakat serta menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga
(PKTN) mendukung tujuan 3 yaitu kehidupan sehat dan sejahtera
melalui program edukasi konsumen cerdas, serta Inspektorat
Jenderal (Itjen) mendukung tujuan 16 melalui wilayah tertib
administrasi. Untuk Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
(Ditjen Daglu) dan Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan
Peran Kementerian Perdagangan Dalam Mencapai SDGs
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 35
Internasional (Ditjen PPI) menitikberatkan program mereka untuk
mencapai tujuan nomor 17, yaitu kemitraan untuk mencapai
tujuan, Kemendag, melalui Ditjen PPI, telah melakukan berbagai
perundingan baik itu secara bilateral maupun multilateral, guna
mendorong ekspor dan menjaga neraca perdagangan, sesuai
dengan mandat nomor dua. Pada poin tujuan 17.10, secara
umum mempromosikan mengenai perdagangan yang bebas,
tidak ada diskriminasi dan adil dibawah sistem WTO. Indonesia,
selain secara aktif berpartisipasi dalam berbagai macam forum
multilateral, percepatan SDG ditunjukan melalui kerjasama bilateral
dengan berbagai negara. Sampai saat ini, Indonesia sudah
memiliki berbagai kerjasama perdagangan dan ekonomi sebanyak
8 perjanjian kerjasama perdagangan (WTO, 2017). Sebanyak tujuh
kerjasama perdagangan sedang dalam proses perundingan, yaitu
Indonesia – European Union Comprehensive Economic Partnership
Agreement (CEPA), Indonesia – European FTA (Norwegia, Islandia,
Liechtenstein, dan Swiss), Chile, Peru, Australia, Turki, dan Iran
(Puska KPI, 2017). Indonesia juga masih merencakan berbagai
kerjasama perdagangan bilateral untuk tahun-tahun mendatang.
Indonesia juga sudah bergabung bersama Australia, India, Jepang,
Korea Selatan, Selandia Baru dan Tiongkok untuk dalam fora
ASEAN+. Hal ini merupakan bentuk upaya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi melalui kemitraan, yang dalam hal ini
mencakup berbagai perjanjian perdagangan.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP) merupakan research and development agency yang
bertugas untuk menghasilkan analisis empiris yang berfungsi
untuk membantu merumuskan kebijakan Menteri Perdagangan.
Sebagai unit think tank, BPPP mendukung proses perumusan
kebijakan di Kementerian Perdagangan melalui berbagai
rekomendasi kebijakan yang disusun berdasarkan hasil kajian
baik di subsektor perdagangan dalam negeri, luar negeri, dan
kerjasama perdagangan internasional. Total Kajian dan Analisis
yang dilakukan BPPP pada tahun 2017 sebanyak 71 judul kajian/
analisis dimana jumlah rekomendasi yang dipergunakan untuk
perumusan kebijakan sebanyak 39 rekomendasi (54,92% dari total
kajian/analisis). Sebagai contoh, BPPP kerap memberikan usulan-
usulan request offer Preferential Trade Agreement (PTA) dalam
berbagai perundingan bilateral, yang pada akhirnya digunakan
unit teknis sebagai pertimbangan dalam fora perundingan. Salah
satu memo kebijakan yang dihasilkan oleh BPPP adalah terkait
Biaya dan Manfaat Kerjasama ASEAN – Canada Free Trade
Agreement (FTA) bagi Indonesia. Dalam memo kebijakan tersebut,
BPPP mengusulkan agar Indonesia bergabung dengan perjanjian
ini karena jika Indonesia tidak bergabung, maka Indonesia akan
mengalami kerugian yang lebih besar baik dari sisi makroekonomi
maupun sisi sektoral. Hal seperti ini merupakan sebagaian dari
peran kecil namun bermanfaat dari BPPP untuk dapat membantu
mewujudkan SDG. (Bryan Zaharias)
36 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
Kementerian Perdagangan terus memperluas akses pasar
ekspor, khususnya pasar non tradisional. Hal tersebut disampaikan
oleh Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP), Kasan dalam acara Diseminasi Hasil Pengkajian dan
Pengembangan di Sektor Perdagangan dengan tema “Perluasan
Akses Pasar Produk Ekspor Indonesia” di Fakultas Ekonomika dan
Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB-UGM), Yogyakarta, Kamis
Diseminasi Kajian BPPP: Perluasan Akses Pasar Produk Ekspor Indonesia
(1/3). Dalam sesi pemaparan hasil kajian yang dipandu oleh Kepala
Pusat Pengkajian Kerja sama Perdagangan Internasional, Sri Nastiti
Budianti, BPPP menyampaikan dua hasil kajian terkait Perluasan
Akses Pasar Produk Ekspor Indonesia, yaitu Kajian Peningkatan
Ekspor Makanan Olahan Indonesia ke Timur Tengah oleh Peneliti
Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri, Naufa Muna dan
Kajian Manfaat dan Biaya Indonesia dalam ASEAN-Canada
FTA oleh Peneliti Pusat Pengkajian Kerja sama Perdagangan
Internasional, Dian Dwi Laksani. Guru Besar FEB UGM Prof.
Tri Widodo, Ph. D turut menyampaikan hasil kajiannya tentang
Perdagangan Internasional. Kegiatan ini mendapat sambutan yang
baik dari perwakilan lembaga, akademisi, dan pelaku usaha di
Yogyakarta.
Pada kesempatan yang sama telah dilaksanakan
penandatangan Nota Kesepahaman Kerja Sama dalam bidang
pengkajian dan penelitian, peningkatan kapasitas sumber daya
manusia, serta penyebaran informasi dan publikasi. Melalui kerja
sama ini diharapkan akan meningkatkan kualitas hasil kajian di
sektor perdagangan sehingga dapat memberikan rekomendasi
kebijakan yang tepat berbasis data dan analisis.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP), Kementerian Perdagangan, bekerjasama dengan Dinas
Perdagangan Propinsi Sumatera Selatan, Kantor Perwakilan
Bank Indonesia Propinsi Sumatera Selatan, dan Universitas
Sriwijaya menyelenggarakan Diseminasi Hasil Pengkajian dan
Pengembangan di Sektor Perdagangan pada tanggal 21 Maret
2018 di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Propinsi Sumatera
Selatan, Palembang. Tema yang diangkat adalah “Peran Logistik
Nasional dalam Mendukung Daya Saing Ekspor dan Stabilitas
Harga Pangan”.
Dalam sambutannya, Kepala BPPP menyampaikan bahwa
ketersediaan fasilitas logistik menjadi aspek penting untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu,
BPPP telah melakukan sejumlah kajian terkait peran fasilitas logistik
untuk meningkatkan kinerja perdagangan.
Acara diawali dengan sambutan dari Inspektur Jenderal
Kemendag, Srie Agustina mewakili pimpinan Kementerian
Perdagangan. Ditegaskan bahwa logistik sangat penting dalam
mendukung stabilitas harga pangan dan kinerja ekspor. BPPP
menyampaikan dua hasil kajian sesuai tema, yaitu Kajian Evaluasi
Diseminasi Kajian BPPP: Peran Logistik Nasional dalam Mendukung Daya Saing Ekspor dan Stabilitas Harga Pangan
SERBA SERBI
Manfaat Pusat Logistik Berikat Dalam Rangka Mendukung Daya
Saing Industri Nasional dan Kajian Implementasi Sistem Resi
Gudang Komoditas Perkebunan khusususnya Kopi yang seluruhnya
disampaikan oleh Peneliti dari Pusat Pengkajian Perdagangan
Dalam Negeri. Dalam kesempatan ini, Bank Indonesia turut
menyampaikan Kajian Dampak Makroekonomi dan Efisiensi Logistik
yang disampaikan oleh Kepala Grup Riset Ekonomi Departemen
Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Reza Anglingkusumo, Ph. D.
Sementara Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya, Prof.
Dr. Taufiq, S.E., M.Si menyampaikan Kajian Integrasi Pasar Beras
di Sumatera Selatan. Seluruh kegiatan diseminasi ini dipandu oleh
Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri, Sahudi.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 37
Produk hasil pertanian Indonesia memiliki peluang ekspor
yang besar sekaligus tantangan yang besar. Kondisi ini menjadi
gagasan utama dalam Seminar Nasional yang diadakan Badan
Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian
Perdagangan pada Kamis (12/4) di IPB International Convention
Center, Bogor, Jawa Barat.
Seminar mengusung tema Perdagangan Internasional Produk
Pertanian: Peluang dan Tantangan. Lima isu yang menjadi
fokus pembahasan yaitu promosi ekspor dan peningkatan daya
saing ekspor produk pertanian; perdagangan produk pertanian
menghadapi kebijakan proteksionis negara tujuan ekspor;
perdagangan internasional produk pertanian di era ekonomi digital;
perdagangan internasional produk pertanian sebagai bagian
strategi stabilisasi pasar domestik; serta perdagangan produk
pertanian dan pemenuhan bahan baku industri dalam negeri. Isu-
isu tersebut dibahas para narasumber yang merupakan pakar
ekonomi IPB, pengamat ekonomi, dan pemerintah.
Turut hadir dalam seminar ini Wakil Menteri Perdagangan
periode 2011-2014 Bayu Krisnamurthi, Rektor IPB sekaligus Ketua
Seminar Nasional: Perdagangan Internasional Produk Pertanian: Peluang dan Tantangan
Pemantauan Harga dan Pasokan Barang Kebutuhan Pokok di DaerahKementerian Perdagangan terus melakukan pemantauan
terhadap harga dan pasokan barang kebutuhan pokok (bapok)
menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) di daerah.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan,
Kasan, mengawali rangkaian kegiatan pemantauan ke pasar
rakyat, ritel modern, gudang Bulog, serta gudang distributor barang
kebutuhan pokok ke Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (24/4).
Terpantau harga dan stok dalam keadaan stabil. Berdasarkan
pemantauan, stok beras medium Bulog di sub divre Tanjung Pinang
mencapai 1.100 ton dan aman untuk 6 bulan ke depan. Bulog juga
diminta untuk memastikan pasokan beras medium ke seluruh kota/
kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau berjalan lancar hingga akhir
tahun.
Pada kesempatan lain, Kepala BPPP didampingi oleh Wakil
Gubernur Provinsi Gorontalo, Idris Rahim, melakukan pemantauan di
Kota Gorontalo (26/4). Tim mengawali pemantauan di Pasar Sentral,
Kota Gorontalo, dilanjutkan dengan memantau gudang Bulog
Subdivre Gorontalo, ritel modern Hypermart, gudang distributor PT
Cipta Langgeng Mitra Sukses, dan Pabrik Gula PT PG Gorontalo.
Hasil pantauan menunjukkan bahwa harga bapok masih di bawah
harga eceran tertinggi (HET) dan pasokan cukup untuk menghadapi
Puasa dan Lebaran 2018.
University Network for Indonesia Export Development (UNIED) Arif
Satria, serta sejumlah ekonom dan akademisi.
Seminar terselenggara atas kerja sama Kemendag dengan
Institut Pertanian Bogor, Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (PERHEPI), Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), dan
the Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
38 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
DATA STATISTIK PERDAGANGAN
Sumber : Kementerian Perdagangan (2018), diolah
PERKEMBANGAN HARGA BARANG KEBUTUHAN POKOK
DAN BARANG JENIS LAINNYA SECARA NASIONAL
SELAMA BULAN JANUARI SAMPAI DENGAN 26 APRIL 2018
NO KOMODITI TAHUN 2018 APRIL Rata2 Perub
Minggu Tanggal Apr 2018 Apr-Mar
(%) Jan Feb Mar Mg I Mg II MgIII 23 24 25 26
1 Minyak Goreng Curah 11,496 11,430 11,462 11,369 11,366 11,362 11,347 11,385 11,376 11,344 11,365 -0.96
2 Daging Sapi 116,939 116,932 117,306 117,660 117,810 117,574 116,942 117,020 117,020 116,959 117,502 2.3
3 Daging Ayam Ras 33,114 31,352 30,951 31,804 31,853 32,295 32,626 32,740 32,803 32,933 32,186 11.88
4 Telur Ayam Ras 25,218 23,987 23,463 23,112 23,513 23,920 24,054 24,101 24,099 24,136 23,652 1.59
5 Tepung Terigu 9,163 9,279 9,331 9,325 9,254 9,236 9,240 9,240 9,247 9,251 9,267 -0.63
6 Kedelai Impor 10,845 10,670 10,605 10,622 10,717 10,660 10,575 10,585 10,590 10,575 10,640 0.4
7 Kedelai lokal 11,158 10,317 10,147 10,146 10,278 10,228 10,292 10,277 10,292 10,292 10,227 0.76
8 Beras Medium 10,945 11,044 10,896 10,802 10,685 10,659 10,614 10,580 10,554 10,549 10,686 -2.02
9 Gula Pasir 12,543 12,455 12,411 12,357 12,388 12,376 12,373 12,349 12,319 12,335 12,365 -0.44
10 Cabe Merah Keriting 36,507 37,419 40,242 39,861 40,679 38,317 36,391 35,940 35,537 35,329 38,596 -14.42
11 Bawang Merah 25,086 25,381 27,827 34,426 36,359 37,595 37,746 37,841 37,230 36,850 36,403 85.48
12 Cabe Merah Besar 35,431 38,291 40,865 43,651 45,076 43,692 40,027 40,772 39,862 39,821 43,084 24.23
13 Cabe Rawit Merah 44,987 46,564 55,915 51,110 50,211 47,110 43,749 43,756 42,506 42,236 47,881 -76.81
14 Bawang Putih 23,155 26,598 30,683 33,159 33,290 33,416 32,906 33,126 32,819 32,388 33,175 25.42
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018 39
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
Periode 2013-2018 (JANUARI-MARET)
No. URAIAN Nilai : Juta USD JAN-MAR* Perub Tren
2013 2014 2015 2016 2017 2017 2018 18/17 (%) 13-17(%)
I E K S P O R 182.551,8 175.980,0 150.366,3 145.186,2 168.810,7 40.694,0 44.265,8 8,78 -3,43
- M I G A S 32.633,0 30.018,8 18.574,4 13.105,5 15.738,3 3.980,9 4.052,5 1,80 -20,45
- NON M I G A S 149.918,8 145.961,2 131.791,9 132.080,8 153.072,4 36.713,1 40.213,3 9,53 -0,58
II I M P O R 186.628,7 178.178,8 142.694,8 135.652,9 156.925,2 36.616,4 43.983,0 20,12 -6,01
- M I G A S 45.266,4 43.459,9 24.613,2 18.739,3 24.316,0 6.578,2 6.756,4 2,71 -18,81
- NON M I G A S 141.362,3 134.718,9 118.081,6 116.913,6 132.609,2 30.038,2 37.226,6 23,93 -2,66
III Total 369.180,5 354.158,8 293.061,1 280.839,1 325.735,9 77.310,4 88.248,8 14,15 -4,71
- M I G A S 77.899,4 73.478,7 43.187,5 31.844,8 40.054,3 10.559,1 10.808,9 2,37 -19,48
- NON M I G A S 291.281,1 280.680,1 249.873,5 248.994,3 285.681,6 66.751,3 77.439,9 16,01 -1,57
IV NERACA -4.076,9 -2.198,8 7.671,5 9.533,3 11.885,5 4.077,6 282,8 -93,06
- M I G A S -12.633,3 -13.441,1 -6.038,8 -5.633,9 -8.577,7 -2.597,3 -2.703,9 -4,10
- NON M I G A S 8.556,4 11.242,3 13.710,3 15.167,2 20.463,2 6.674,9 2.986,7 -55,25 22,67
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
PERIODE: JANUARI-MARET 2018
Sumber: BPS (2017), diolah PDSI Kementerian Perdagangan
Sumber: BPS, diolah Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementerian Perdagangan
Keterangan: *) Angka sementara
URAIAN 2018
JANUARI FEBRUARI MARET
EKSPOR 14.553,4 14.132,6 15.579,8
- MIGAS 1.323,6 1.390,9 1.337,9
- NON MIGAS 13.229,8 12.741,7 14.241,9
IMPOR 15.309,4 14.212,8 14.488,1
- MIGAS 2.259,2 2.260,6 2.262,4
- NON MIGAS 13.050,2 11.952,2 12.225,7
TOTAL PERDAGANGAN 29.862,8 28.345,4 30.067,9
- MIGAS 3.582,8 3.651,5 3.600,3
- NON MIGAS 26.280,0 24.693,9 26.467,6
NERACA 756,0 80,2 1.091,7
- MIGAS 935,6 869,7 924,5
- NON MIGAS 179,6 789,5 2.016,2
40 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I. No. 15, Tahun 2018
EKSPOR-IMPOR INDONESIA
2013-2018 (JANUARI-MARET)
NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
PERIODE 2013-2018 (JANUARI-MARET)
(Nilai : Juta USD)
200.000.00
180.000.00
160.000.00
140.000.00
120.000.00
100.000.00
80.000.00
60.000.00
40.000.00
20.000.00
0.00 2013 2014 2015 2016 2017 2017 2018
E K S P O R 182,551.8 175,980.0 150,366.3 145,186.2 168,810.7 40,694.0 44,265.8
I M P O R 186,628.7 178,178.8 142,694.8 135,652.9 156,925.2 36,616.4 43,983.0
Sumber: BPS (2017), diolah PDSI Kementerian Perdagangan
Sumber: BPS (2017), diolah PDSI Kementerian Perdagangan
2013 2014 2015 2016 2017 2018
- M I G A S -12,633.3 -13,441.1 -6,038.8 -5,633.9 -8,577.2 -2,703.9
- NON M I G A S 8,556.4 11,242.3 13,710.3 15,167.2 20,463.2 2,986.7
40 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume l. No. 15, Tahun 2018