Upload
nyoman-gede-prayudi
View
395
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Special Study I
Citation preview
DAMPAK TRANFUSI PADA THALASSEMIA
BAB I
PENDAHULUAN
-
Latar Belakang
Thalassemia berasal dari kata Yunani talassa, yang berarti laut. Yang dimaksud
dengan laut tersebut adalah Laut Tengah, karena penyakit ini pertama kali dikenal
di daerah sekitar Laut Tengah.1 Thalassemia untuk pertama kali dijelaskan oleh
Cooley (1925), yang ditemukannya pada orang Amerika keturunan Italia.
Penyakit ini ternyata banyak ditemukan di daerah Mediterania dan daerah sekitar
khatulistiwa.2
Thalassemia merupakan salah satu kelainan genetik terbanyak di dunia dengan
1.67% penduduk dunia sebagai pasiennya. Sekitar 7% penduduk dunia diduga
carrier thalassemia, dan sekitar 300.000-400.000 bayi lahir dengan kelainan ini
setiap tahunnya. Frekuensi gen thalassemia tertinggi di negara-negara tropis,
namun dengan tingginya angka migrasi, penyakit ini telah tersebar ke seluruh
dunia.3 Di Indonesia, thalassemia merupakan penyakit terbanyak di antara
golongan anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler.2 Data rekam
medis rawat jalan pusat Thalassemia Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan bahwa sejak tahun 1993
hingga Juli 2007 terdapat 1.267 pasien thalassemia dengan penambahan 70-80
pasien baru setiap tahunnya.4
Thalassemia disebabkan oleh kelainan sintesis rantai globin (α atau β) dengan
gambaran darah khas yaitu hipokrom mikrositer.5 Thalassemia mayor
memberikan gambaran klinis yang jelas berupa anemia berat, splenomegali,
ekspansi sumsum disertai deformitas tulang, dan kematian prematur. Thalassemia
minor biasanya tidak memberikan gejala klinis.2,5
Derajat anemia yang terjadi pada pasien thalassemia dapat bervariasi dari ringan
sampai berat akibat eritropoeisis yang tidak efektif. Transfusi Packed Red Cells
(PRC) masih merupakan tatalaksana suportif utama pada thalassemia dengan
tujuan mempertahankan kadar Hemoglobin (Hb) 9-10 gr/dL agar anak dapat
tumbuh dan berkembang secara normal.1,3 Pemberian transfusi darah yang
berulang-ulang dapat menimbulkan berbagai komplikasi, seperti hemosiderosis
dan hemokromatosis, yaitu menimbulkan penimbunan zat besi dalam jaringan
tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh seperti hati,
limpa, ginjal, jantung, tulang, dan pankreas. Tanpa transfusi yang memadai,
pasien thalassemia mayor akan meninggal pada dekade kedua.1 Efek lain yang
ditimbulkan akibat transfusi yaitu tertularnya penyakit lewat transfusi, seperti
penyakit hepatitis B, C, dan HIV.1,6
-
BAB II
DAMPAK TRANSFUSI PADA THALASSEMIA
-
2.1. Thalassemia
a. Definisi
Thalassemia adalah grup kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat
pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan produksi rantai globin.7 Defek genetik yang mendasari
meliputi delesi total atau parsial dari gen rantai globin; serta substitusi, delesi, atau
insersi nukleotida.8 Ketidakseimbangan rantai globin pada thalassemia akan
mempengaruhi kegagalan eritropoeisis dan mempercepat pengrusakan eritrosit.7
Thalassemia adalah penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal resesif
menurut hukum Mendel dari orangtua kepada anak-anaknya. Penyakit thalassemia
meliputi suatu keadaan penyakit dari gejala klinis yang paling ringan (bentuk
heterozigot) yang disebut thalassemia minor atau thalassemia trait, hingga yang
paling berat (bentuk homozigot) yang disebut thalassemia mayor.1,7
b. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
Secara klinis, thalassemia dibagi menjadi 3 grup. Klasifikasi ini memiliki
implikasi klinis diagnosis dan penatalaksanaan.7
1. Thalassemia mayor
2. Thalassemia minor
3. Thalassemia intermedia
Thalassemia juga bisa diklasifikasikan secara genetik menjadi α-, β-, δβ-, atau
thalassemia εγδβ, sesuai dengan rantai globin yang berkurang produksinya. Pada
beberapa thalassemia sama sekali tidak terbentuk rantai globin, disebut dengan
thalassemia αo atau βo. Bila produksinya rendah, disebut thalassemia α+ atau β+.
Sedangkan thalassemia δβ dapat dibedakan menjadi δβo dan δβ+, dimana terjadi
gangguan pada rantai δ dan β.7
Manifestasi klinis dari thalassemia mayor, minor, dan intermedia dapat dilihat
dalam tabel 1.6
Tabel 1. Manifestasi Klinis Thalassemia
MAYOR INTERMEDIA MINOR
Hemoglobin (gr/dL) < 7 7-10 > 10
Retikulosit (%) 2-15 2-10 < 5
Eritrosit berinti ++/++++ +/+++ 0
Morfologi eritrosit ++++ ++ +
Ikterus +++ +/++ 0
Splenomegali ++++ ++/+++ 0
Perubahan skeletal ++/+++ +/++ 0
-
2.2. Transfusi pada Thalassemia
Pasien thalassemia bergantung pada transfusi untuk mempertahankan kadar
hemoglobin (Hb) yang cukup bagi oksigenasi jaringan.6 Terapi diberikan secara
teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 gr/dL.8 Regimen ini
mempunyai keuntungan klinis yang nyata, sebab memungkinkan pasien
beraktifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan
masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang-tulang muka,
dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis.8 Meskipun begitu, tindakan
menaikkan kadar Hb hingga melebihi 15 gr/dL tidak dianjurkan.6
Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada kadar Hb < 6 gr/dL
dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut, yang berhubungan dengan
pertumbuhan yang terganggu, pembesaran limpa, dan atau ekspansi sumsum
tulang. Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus
diukur, vaksin hepatitis B diberikan, dan fenotip sel darah merah secara lengkap
ditentukan, sehingga alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi.7 Transfusi dengan
dosis 15-20 mL/kgBB Packed Red Cells (PRC) biasanya diperlukan setiap 4-5
minggu.8
Pada pasien thalassemia juga diberikan vitamin C, vitamin E, dan asam folat.
Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari bertujuan untuk meningkatkan ekskresi
besi dan hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Asam folat 2-5 mg/hari
diberikan untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat, dan vitamin E 200-400
IU/hari bertujuan untuk memperpanjang umur sel darah merah. Pemeriksaan
kadar feritin juga perlu dilakukan setiap 1-3 bulan untuk memantau kadar besi
dalam darah.9
2.3. Dampak Transfusi
a. Reaksi Tipe Cepat
Hemolisis Intravaskular Akut. Terjadi karena transfusi sel darah merah yang tidak
kompatibel, sehingga terjadi hemolisis. Hemolisis tersebut disebabkan oleh
antibodi yang terdapat di dalam plasma darah pasien. Hal ini sering terjadi karena
kesalahan penulisan formulir permintaan darah, pemberian label yang salah pada
tabung sampel yang dikirim ke bank darah, dan pengecekan darah yang kurang
memadai terhadap identitas pasien sebelum transfusi dimulai. Pasien thalassemia
memiliki risiko lebih besar untuk menerima darah yang salah jika sering berganti
rumah sakit.6,10
Pada pasien yang sadar, tanda dan gejala biasanya muncul dalam beberapa menit
sesudah transfusi dimulai. Kadang-kadang tanda dan gejala tersebut timbul pada
pemberian < 10 mL darah. Pada pasien yang tidak sadar, keadaan hipotensi dan
perdarahan yang tidak terkendali akibat Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) mungkin merupakan satu-satunya tanda yang menunjukkan transfusi yang
tidak kompatibel.6
Kontaminasi Bakteri dan Syok Septik. Tanda-tandanya biasanya muncul dengan
cepat sesudah transfusi dimulai, meskipun kemunculannya bisa saja tertunda
selama beberapa jam. Reaksi yang hebat dapat ditandai dengan panas tinggi yang
onsetnya mendadak, menggigil, dan hipotensi. Tindakan suportif yang segera dan
pemberian antibiotik dosis tinggi intravena sangat diperlukan.6,7
Overload Cairan. Dapat menimbulkan gagal jantung dan edema paru. Overload
cairan dapat terjadi karena terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, pemberian
transfusi (infus) terlalu cepat, atau fungsi ginjal terganggu. Keadaan ini terutama
terjadi pada pasien dengan anemia kronis berat atau pasien dengan penyakit
kardiovaskular.6
Reaksi Anafilaksis. Terjadi beberapa menit sesudah transfusi dimulai dan ditandai
oleh kolaps kardiovaskular, gawat nafas, dan tanpa febris. Risiko terjadinya reaksi
anafilaksis akan meningkat pada pemberian transfusi yang cepat, khususnya bila
digunakan Fresh Frozen Plasma (FFP) sebagai cairan penukar dalam terapi
pertukaran plasma.6
Sitokin plasma dapat menjadi salah satu penyebab bronkokonstriksi dan
vasokonstriksi pada beberapa resipien tertentu. Defisiensi IgA pada resipien
merupakan kelainan langka yang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis yang
sangat berat. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh setiap produk darah.6
Transfusion-Related Acute Lung Injury (TRALI). Biasanya disebabkan oleh anti-
netrofil spesifik atau anti-HLA antibodi dalam plasma donor. Kegagalan faal paru
yang terjadi dengan cepat biasanya muncul dalam waktu 1-4 jam sesudah transfusi
dimulai, terlihat gambaran opasitas yang difus pada rontgen toraks. Gejala TRALI
berupa dispnoe, takikardia, febris, dan hipotensi. Penatalaksanaannya meliputi
pemberian oksigen, kortikosteroid, diuretik, dan jika perlu digunakan ventilator.6,10
Pedoman untuk penegakan diagnosis dan penatalaksanaan reaksi transfusi akut
(tipe cepat) dapat dilihat dalam tabel 2 dan 3 berikut ini.6
Tabel 2. Penegakan Diagnosis Reaksi Transfusi Tipe Cepat
KATEGORI I : REAKSI RINGAN
Tanda
Urtikaria
Ruam
Gejala
Pruritus
Kemungkinan Penyebab
Hipersensitifitas
KATEGORI II : REAKSI CUKUP BERAT
Tanda
Flushing
Urtikaria
Menggigil
Febris
Gelisah
Takikardia
Gejala
Kecemasan
Pruritus
Palpitasi
Dispnoe ringan
Sakit kepala
Kemungkinan Penyebab
Hipersensitifitas sedang-berat
Reaksi transfusi febris nonhemolitik:
- Antibodi terhadap leukosit, trombosit
- Antibodi terhadap protein (IgA)
Kemungkinan kontaminasi dgn bakteri
KATEGORI III : REAKSI YANG MENGANCAM JIWA
Tanda
Menggigil
Gejala
Kecemasan
Kemungkinan Penyebab
Hemolisis akut intravaskular
Febris
Gelisah
Hipotensi (TD ↓ 20%)
Hemoglobinuria
DIC
Nyeri dada
Nyeri di tempat transfusi
Sesak nafas
Nyeri pinggang / punggung
Sakit kepala
Dispnoe
Kontaminasi bakteri / syok septik
Overload cairan
Anafilaksis
TRALI
-
Tabel 3. Penatalaksanaan Reaksi Transfusi Tipe Cepat
KATEGORI I : REAKSI RINGAN
Perlambat transfusi.
Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).
Jika dalam 30 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila tanda/gejalanya
memburuk, lakukan penatalaksanaan kategori 2.
KATEGORI II : REAKSI CUKUP BERAT
Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur infus tetap terbuka
dengan pemberian salin normal.
Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).
Antipiretik oral/rektal (misalnya parasetamol 10 mg/kgBB). Hindari aspirin pada
pasien dengan trombositopenia.
Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala anafilaksis (misalnya stridor,
bronkospasme).
Kumpulkan urin 24 jam untuk pemeriksaan hemolisis.
Jika terjadi perbaikan klinis, mulai lagi transfusi secara perlahan dengan unit darah
yang baru.
Jika dalam 15 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila tanda/gejalanya
memburuk, lakukan penatalaksanaan kategori 3.
KATEGORI III : REAKSI YANG MENGANCAM JIWA
Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur infus tetap terbuka
dengan pemberian salin normal.
Infus salin normal (20-30 mL/kgBB) untuk mempertahankan TD sistolik. Jika ada
hipotensi, berikan infus tersebut selama 5 menit dan tinggikan kedua tungkai pasien.
Pertahankan saluran nafas, beri oksigen aliran tinggi lewat masker oksigen.
Adrenalin (larutan 1:1000) IM 0.01 mg/kgBB.
Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala anafilaksis (misalnya stridor,
bronkospasme).
Diuretik IV (misalnya furosemid 1 mg/kgBB).
Periksa urin untuk menemukan tanda hemoglobinuria.
Kumpulkan urin 24 jam untuk memantau keseimbangan cairan.
Perhatikan perdarahan/luka di tempat tusukan. Jika terdapat bukti klinis/laboratorium
yang menunjukkan adanya DIC, berikan:
- Konsentrat trombosit (dosis dewasa 5-6 unit), dan
- Kriopresipitat (dosis dewasa 12 unit) atau FFP (dosis dewasa 3 unit)
Jika masih hipotensi, ulang pemberian infus salin normal (20-30 mL/kgBB) dalam 5
menit. Berikan preparat inotropik jika tersedia.
Jika terjadi gagal ginjal akut (K+, ureum, kreatinin ↑):
- Pertahankan keseimbangan cairan secara akurat.
- Ulangi suntikan diuretik.
- Berikan dopamin jika tersedia.
- Rujuk ke dokter spesialis jika diperlukan dialisis renal.
Jika curiga bakteremia (menggigil, febris, kolaps tanda ada bukti reaksi hemolitik),
berikan antibiotik broad spectrum IV.
-
b. Reaksi Tipe Lambat
Delayed Haemolytic Transfusion Reactions. Gejala timbul 5-10 hari sesudah
transfusi berupa febris, anemia, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria.
Biasanya tidak dilakukan terapi. Reaksi transfusi hemolitik lambat yang berat
disertai dengan gejala syok, gagal ginjal, serta DIC yang mengancam jiwa pasien
merupakan kejadian yang langka. Jika terjadi hipotensi dan oligouria, maka
dilakukan terapi seperti keadaan hemolisis intravaskular akut.8
Purpura Pasca Transfusi. Komplikasi yang jarang terjadi, tetapi berakibat fatal
pada tindakan transfusi sel darah merah atau konsentrat trombosit. Penyebabnya
adalah adanya antibodi terhadap antigen spesifik-trombosit dalam darah resipien.
Paling banyak dijumpai pada pasien wanita. Gejala berupa adanya tanda
perdarahan, dan trombositopenia akut berat (< 100.000/mm3) yang terjadi 5-10
hari sesudah transfusi.8
Penatalaksanaan:8
1. Kortikosteroid dosis tinggi.
2. Imunoglobulin intravena 2 gr/kgBB atau 0.4 gr/kgBB selama 5 hari.
3. Terapi pertukaran plasma.
4. Pantau jumlah trombosit resipien (N: 150.000-440.000/mm3).
5. Sebaiknya diberikan konsentrat trombosit dengan golongan ABO yang sama
seperti golongan darah pasien. Berikanlah konsentrat trombosit yang tidak
mengandung antigen spesifik-trombosit. Pemulihan jumlah trombosit biasanya
terjadi sesudah 2-4 minggu.
Graft vs Host Disease (GVHD). Terjadi pada resipien cangkokan sumsum tulang
yang mengalami imunodefisiensi, dan pada pasien imunokompeten yang
mendapat transfusi darah dari donor yang tipe jaringannya kompatibel dengan
pasien tersebut dan biasanya memiliki hubungan darah. Secara tipikal terjadi 10-
12 hari sesudah transfusi, ditandai dengan adanya febris, ruam dan deskuamasi
kulit, diare, hepatitis, serta pansitopenia. Terapi bersifat suportif dan tidak ada
yang spesifik. Sebagai pencegahan, dilakukan terapi sinar γ pada komponen sel
darah untuk menghentikan proliferasi limfosit.8,10
2.4. Dampak Transfusi Berulang pada Thalassemia
a. Hemosiderosis
Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang yang tidak dapat
dihindari, karena dalam setiap 500 mL darah dibawa 200 mg besi ke jaringan.8
Pada individu normal, semua besi plasma terikat pada transferin. Kapasitas
transferin untuk mengikat besi terbatas sehingga bila terjadi kelebihan besi seperti
pada pasien thalassemia, seluruh transferin akan berada dalam keadaan tersaturasi.
Akibatnya besi akan berada dalam plasma dalam bentuk tidak terikat, atau disebut
juga Non-Transferrin Bound Plasma Iron (NTBI). NTBI akan menyebabkan
pembentukan radikal bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran
in vitro.3
Besi yang berlebihan dalam tubuh terbanyak berakumulasi dalam hati, namun
efek paling fatal disebabkan oleh akumulasi di jantung.3 Siderosis miokardium
merupakan faktor penting yang ikut berperan pada kematian awal penderita.7
Gejala kelainan jantung lain yang ditemui adalah perikarditis dan gagal jantung
kongestif. Gagal jantung yang berkelanjutan akan menyebabkan blok
atrioventrikular sehingga dapat menyebabkan blok jantung total atau kanan atau
kiri. Juga ditemukan aritmia atrial pada setengah pasien thalassemia yang
mendapat transfusi teratur tanpa terapi pengikatan besi.3
Pada pasien-pasien yang lebih tua, penyakit hati adalah penyebab kematian yang
umum, dan sering diperberat dengan infeksi virus hepatitis C. Kelainan fungsi
endokrin juga ditemukan, dimana kelebihan besi di hipofisis anterior dapat
menyebabkan gangguan maturasi seksual. Di RSCM, Batubara dkk menemukan
sebanyak 56% pasien thalassemia mengalami hambatan pubertas. Lebih jauh lagi,
dapat terjadi amenore sekunder pada seperempat pasien yang berusia > 15 tahun,
diabetes mellitus pada 5-10% pasien dewasa, serta kerusakan kelenjar tiroid,
paratiroid, dan adrenal. Selain itu, kelebihan besi juga telah dihubungkan dengan
penurunan densitas tulang, hipertensi pulmonal, dan penurunan fungsi paru.3
Kadar kelebihan besi dalam tubuh dapat diukur dengan melakukan berbagai
pemeriksaan penunjang, baik pengukuran secara langsung maupun tidak
langsung.7
1. TIDAK LANGSUNG
Konsentrasi feritin serum/plasma
Saturasi transferin serum
Tes deferoksamin 24 jam
Pencitraan (CT scan hati, MRI hati, MRI jantung, MRI hipofisis anterior)
Evaluasi fungsi organ
2. LANGSUNG
Biopsi jumlah besi di hati dan jantung
Terapi kelasi besi secara umum harus dimulai setelah kadar feritin serum
mencapai 1000 µg/L, yaitu kira-kira 10-20 kali transfusi (± 1 tahun). Olivieri dkk
menyarankan pemeriksaan kadar besi hati dengan biopsi hati sebelum memulai
terapi kelasi besi. Terapi hanya dimulai bila konsentrasi besi hati minimal 3.2
mg/g berat kering hati. Apabila biopsi tidak mungkin dilakukan, terapi kelasi besi
dapat dimulai pada pasien usia < 3 tahun yang sudah mendapat transfusi teratur
selama 1 tahun.3
Hemosiderosis dapat diturunkan atau bahkan dicegah dengan pemberian
parenteral obat pengkelasi esi (iron chelating drugs).8 Obat pengkelasi besi yang
dikenal adalah deferoksamin, deferipron, dan deferasirox.3
1. Deferoksamin (DFO). Dosis standar adalah 40 mg/kgBB melalui infus
subkutan dalam 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil
selama 5 atau 6 malam/minggu. Lokasi infus yang umum adalah di
abdomen, daerah deltoid, maupun paha lateral. Penderita yang menerima
regimen ini dapat mempertahankan kadar feritin serum < 1000 µg/L. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah toksisitas retina, pendengaran,
gangguan tulang dan pertumbuhan, reaksi lokal dan infeksi.3,7,8
2. Deferipron (L1). Terapi standar biasanya menggunakan dosis 75
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Kelebihan deferipron dibanding
deferoksamin adalah efek proteksinya terhadap jantung. Anderson dkk
menemukan bahwa pasien thalassemia yang menggunakan deferipron
memiliki insiden penyakit jantung dan kandungan besi jantung yang lebih
rendah daripada mereka yang menggunakan deferoksamin. Meskipun
begitu, masih terdapat kontroversi mengenai keamanan dan toksisitas
deferipron sebab deferipron dilaporkan dapat menyebabkan
agranulositosis, artralgia, kelainan imunologi, dan fibrosis hati. Saat ini
deferipron tidak tersedia lagi di Amerika Serikat.3,7
3. Deferasirox (ICL-670). Deferasirox adalah obat kelasi besi oral yang baru
saja mendapatkan izin pemasaran di Amerika Serikat pada bulan
November 2005. Terapi standar yang dianjurkan adalah 20-30
mg/kgBB/hari dosis tunggal. Deferasirox menunjukkan potensi 4-5 kali
lebih besar dibanding deferoksamin dalam memobilisasi besi jaringan
hepatoseluler, dan efektif dalam mengatasi hepatotoksisitas. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah sakit kepala, mual, diare, dan ruam kulit.
4. Terapi Kombinasi. Dapat berupa terapi kombinasi secara simultan
maupun sekuensial. Terapi kombinasi secara simultan adalah pemberian
deferoksamin 2-6 hari seminggu dan deferipron setiap hari selama 6-12
bulan. Terapi kombinasi sekuensial adalah pemberian deferipron oral 75
mg/kgBB selama 4 hari diikuti deferoksamin subkutan 40 mg/kgBB
selama 2 hari setiap minggunya. Terapi kombinasi diharapkan dapat
menurunkan dosis masing-masing obat, sehingga menurunkan toksisitas
obat namun tetap menjaga efektifitas kelasi.3
b. Infeksi Virus Hepatitis
Penyakit ini dilaporkan sebagai penyebab kematian tersering pada pasien
thalassemia di atas 15 tahun. Kerusakan hepar yang disebabkan besi, yang
berhubungan dengan komplikasi sekunder dari transfusi dan infeksi virus hepatitis
C merupakan penyebab tersering hepatitis pada anak dengan thalassemia.7
c. Infeksi Yersinia
Infeksi Yersinia enterocolitica pertama kali ditemukan pada 2 pasien thalassemia
β pada tahun 1970. Infeksi harus dicurigai pada pasien dengan kelebihan besi
yang menderita panas tinggi dan fokus infeksi tidak ditemukan, seringkali disertai
dengan diare. Tanda-tanda kontaminasi bakteri dan syok septik biasanya muncul
dengan cepat sesudah transfusi dimulai, kendati kemunculannya bisa saja tertunda
selama beberapa jam. Reaksi yang hebat dapat ditandai dengan panas tinggi yang
onsetnya mendadak, menggigil, dan hipotensi. Meskipun pada kultur darah tidak
ditemukan adanya kuman Yersinia enterocolitica, terapi Gentamisin intravena dan
Trimetoprim + Sulfametoksazol oral sebaiknya diberikan segera dan diteruskan
sedikitnya 8 hari.6,7
d. Hipersplenisme
Sebagian besar pasien thalassemia mayor akan mengalami pembesaran limpa
yang bermakna yang disebabkan oleh eritropoeisis ekstramedular. Meskipun
hipersplenisme kadang-kadang dapat dihindari dengan transfusi lebih awal dan
teratur, namun banyak pasien yang memerlukan splenektomi. Indikasi terpenting
untuk splenektomi adalah meningkatnya kebutuhan transfusi, yang menunjukkan
unsur hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 mL/kg PRC/tahun
biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk
mempertimbangkan splenektomi. Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan sel
darah merah sampai 30% pada pasien yang indeks transfusinya melebihi 200
mL/kgBB/tahun. Karena adanya risiko infeksi, splenektomi sebaiknya ditunda
hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu sebelum dilakukan splenektomi,
pasien sebaiknya divaksinasi dengan vaksin pneumococcal dan Haemophilus
influenzae tipe B dan sehari setelah operasi diberi penisilin profilaksis.7,8
e. Hereditary Hemochromatosis
Timbul akibat dari ketidakseimbangan pada homeostasis besi terlalu banyak
akumulasi dari besi menyebabkan hereditary hemochromatosis (HH). Penyakit ini
pertama kali dijelaskan pada akhir abad ke 19 oleh von Recklinghausen dan juga
dengan Trosseau dan Troisier.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
-
3.1. Simpulan
1. Thalassemia merupakan suatu kelompok kelainan sintesis hemoglobin
yang heterogen. Thalassemia memberikan gambaran klinis anemia yang
bervariasi dari ringan sampai berat.
2. Transfusi darah masih merupakan tata laksana suportif utama pada
thalassemia agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal.
3. Transfusi dapat menyebabkan terjadinya reaksi transfusi tipe cepat
maupun tipe lambat.
4. Transfusi berulang pada thalassemia akan menyebabkan berbagai dampak,
antara lain hemosiderosis, infeksi virus dan bakteri, serta hipersplenisme.
5. Terapi hemosiderosis pada thalassemia adalah terapi kombinasi dari obat
pengkelasi besi (iron chelating drugs), terapi infeksi bakteri adalah
pemberian antibiotik, dan terapi hipersplenisme yaitu dengan splenektomi.
-
3.2. Saran
1. Sebaiknya dilakukan pemantauan fungsi organ secara berkala agar
berbagai dampak transfusi dapat dideteksi secara dini.
2. Perlu adanya kerjasama dan komunikasi yang baik dari dokter dan pasien
agar tujuan terapi dapat tercapai dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganie RA. Thalassemia: Permasalahan dan Penanganannya. Dalam:
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Patologi
pada Fakultas Kedokteran. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Hematologi. Dalam: Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 1. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, 1998.444-50
3. Ananta Y. Terapi Kelasi Besi pada Talasemia. Dalam: Sari Pustaka 2006
4. Yayasan Thalassaemia Indonesia. Grafik Data Penderita Thalassaemia
yang Berobat di Pusat Thalassaemia RSCM dari tahun 1993 s/d Juli
2007.http://www.thalassaemia-yti.or.id/data_penderita.htm. Diakses 1 Mei
2008.
5. Greaves M. Darah dan Sumsum Tulang. Dalam: Sarjadi, Editor. Patologi
Umum dan Sistematik, Vol.2, Edisi 2. Jakarta: EGC, 2000.740-2
6. World Health Organization. Syamsi RM, Editor. Penggunaan Klinis
Darah. Jakarta: EGC, 2005.141-5
7. Permono HB et al. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2005.64-85
8. Honig GR. Sindrom Thalassemia. Dalam: Wahab AS, Editor. Ilmu
Kesehatan Anak Nelson, Vol.II, Edisi 15. Jakarta: EGC, 2000.1708-11
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Thalassemia Beta. Dalam: Standar
Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Edisi I. Jakarta: PP IDAI, 2004.83-5
10. Thalassaemia International Federation. Guidelines for The Clinical
Management of Thalassaemia. Cyprus: TIF, 2000.9-19