172
PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA (Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar) SKRIPSI Oleh: MOH. IMAM SYAFI’I NIM : 98140713 JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA-SUDAN (UIIS) MALANG 2003

data baru 1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: data baru 1

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

(Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)

SKRIPSI

Oleh:

MOH. IMAM SYAFI’I

NIM : 98140713

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA-SUDAN (UIIS)

MALANG

2003

Page 2: data baru 1

ii

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

(Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)

SKRIPSI

Diajukan Kepada:

Dekan Fakultas Tarbiyah UIIS Malang

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam

Oleh:

Nama : Moh. Imam Syafi’i

NIM : 98140713

Jurusan : Pendidikan Islam

Fakultas : Tarbiyah

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA-SUDAN (UIIS)

MALANG

2003

Page 3: data baru 1

iii

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

(Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)

Tentang Pendidikan dan Kebudayaan

SKRIPSI

Oleh:

MOH. IMAM SYAFI’I

NIM : 98140713

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

Drs. A. Fatah Yasin, M. Ag NIP: 150 287 892

Tanggal, 11 September 2003

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Islam

Drs. Su’aib H. Muhammad, M. Ag NIP: 150 227 505

Page 4: data baru 1

iv

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

(Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)

SKRIPSI

Oleh:

MOH. IMAM SYAFI’I

NIM : 98140713

Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji dan Dinyatakan

Diterima Sebagai Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pdi)

Tanggal: September 2003

SUSUNAN DEWAN PENGUJI TANDA TANGAN

1. Ketua/Penguji : ( )

NIP.

2. Sekretaris/Pembimbing/Penguji : ( )

NIP.

3. Penguji Utama : ( )

NIP.

Mengesahkan

Dekan Fakultas Tarbiyah UIIS Malang

Drs. Asmaun Sahlan, M. Ag NIP. 150 215 372

Page 5: data baru 1

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Bapak dan Ibuku tercinta, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang sepenuh

Hati, sehingga kendala dan rintangan seberat apapun menjadi tidak berarti.

Adik-adikku yang selalu ceria dalam derita,

Hingga beragam kesulitan hidup menjadi sirna karenanya.

Seluruh keluargaku yang terus-menerus memberikan motivasi,

membantu dan mendukung sepenuhnya,

demi tercapainya cita-cita mulai di pentas akademika.

Segenap sahabat, karib, dan kenalan; yang karena kehadiran mereka

hidup terasa penuh warna, sehingga suka-duka menjelma menjadi

rangkuman do’a-do’a bertuah.

Page 6: data baru 1

vi

MOTTO

طيبة ب الله مثال كلمة طيبة كشجرة الم تر كيف ضر

ثا بت وفر عها فى السما ءاصلها

“Tidakkah kamu perhatikan Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik

seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan batangnya (menjulang) ke langit.”

(Q.S. Ibrahim: 24)

“Masyarakat yang cerdas adalah masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, maju dan mandiri serta berwawasan budaya.”

(Amanat Proklamasi Kemerdekaan RI ’45)

Page 7: data baru 1

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dalam kesempatan yang berharga ini, tiada kata yang pantas terucap

selain lantunan nada syukur ke hadirat Allah Swt yang senantiasa mencurahkan

kasih tanpa pamrih dan selalu mengucurkan sayang tiada terbilang kepada

semua makhluk. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada

Khotamil Ambiya’, Muhammad Saw, yang telah mempertaruhkan jiwa-raga dalam

merintis tatanan peradaban yang rahmatan lil ‘alamin. ‘Amma ba’du.

Fenomena yang ramai dibicarakan berkaitan dengan dunia pendidikan

dewasa ini adalah bagaimana mencari model pendidikan yang paling efektif

untuk diterapkan (secara nasional) di Indonesia. Hal ini bisa dicermati mulai

hadirnya konsep CBSA, life skill, sampai yang sedang hangat upaya

sosialisasinya, yakni KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Semuanya bermula

dari kondisi pendidikan nasional yang telah dinilai gagal, atau paling tidak

dianggap belum dapat bersaing di pentas global (Lihat: Kompas, medio April

2002)

Indikasi kegagalan pendidikan nasional bisa dilihat dari kian

bertambahnya angka pengangguran dari tahun ke tahun, maraknya kerusuhan

yang mengarah pada anarkis, suburnya budaya KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme)

serta banyaknya konflik yang mengarah pada dis integrasi bangsa (Lihat:

Darmaningtiyas, 1999: 23-53 dan Mulkhan, 2002: 69).

Secara spesifik, H.A.R. Tilaar menyoroti bahwa problem utama dari

kegagalan pendidikan nasional tersebut adalah lebih disebabkan karena

masyarakat (dalam arti khusus peserta didik) telah dimarginalkan dari akar

budaya mereka.

Page 8: data baru 1

viii

Bahkan pendidikan, tambah Tilaar, kini telah menjadi alat negara dan alat

kekuasaan, karena itu, pendidikan tidak lagi menjadi kewenangan pribadi untuk

menentukan apa saja yang akan diserap keotak. Lihat: Harian Pagi Jawa Pos

edisi Selasa 2 September 2003, hal: 16.

Suatu masyarakat, menurut H.A.R. Tilaar mempunyai keteraturan yang

diikat oleh sistem nilai hidup dalam kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.

Kebudayaan adalah jiwanya suatu masyarakat dengan nilai-nilai yang dimilikinya.

Nilai-nilai itulah yang telah hidup, menghidupi dan mengarahkan kepada

masyarakatnya kini dan masa depan. Maka bisa dibayangkan apa yang akan

terjadi jika kemudian masyarakat dipisahkan dari nilai-nilai asasi tersebut.

Dari sinilah H.A.R. Tilaar sebagai seorang intelektual dan sekaligus

praktisi pendidikan berusaha menggugah kesadaran masyarakat dan para

pengambil kebijakan pendidikan, melalui pemikiran, wacana, teori, dan ide-

idenya konseptual untuk merefleksikan kembali nilai-nilai dasar yang terkandung

dalam masyarakat Indonesia yang sangat plural, dalam sebuah paradigma

pendidikan nasional yang berakar pada budaya dasar bangsa Indonesia.

Sebagai insan akademis yang merupakan bagian dari komunitas bangsa

Indonesia, penulis merasa terpanggil untuk merespon pemikiran H.A.R. Tilaar

tersebut, dengan menyusun tugas akhir (skripsi) yang bertemakan pendidikan

berbasis budaya melalui kajian pustaka atas berbagai pemikiran H.A.R Tilaar

yang berkaitan dengan pembenahan pendidikan nasional.

Terselesaikannya skripsi ini semata-mata karena hidayah dan kasih

sayang dari Allah Swt. Di samping itu penulis juga tidak mungkin menafikan

peran dan dukungan yang tiada terhingga dari berbagai pihak. Untuk itu penulis

menghaturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

Page 9: data baru 1

ix

1. Emak dan Bapakku yang dengan penuh kesabaran mencurahkan kasih

sayangnya serta tanpa kenal lelah untuk selalu menginvestasikan nilai-

nilai kemanusiaan yang asasi.

2. Segenap saudara dan keluargaku yang senantiasa mempompa semangat

juang dalam merambah belantara pengetahuan melalui dukungan moral,

spiritual, dan material sehingga penyusunan skripsi ini dapat terlaksana

dengan baik.

3. Bapak Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed., Yang telah berkenan memberi

ijin kepada penulis untuk meneliti (melalui kajian pustaka) pemikiran-

pemikirannya yang berkaitan dengan pendidikan nasional.

4. Bapak Drs. A. Fatah Yasin, M. Ag., yang dengan tulus dan arif telah

membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku rektor UIIS Malang.

6. Bapak Drs. Asmaun Sahlan, M. Ag, dan Drs. Syu’aib H. Muhammad

selaku Dekan Fakultas Trbiyah dan Ketua Jurusan PAI UIIS Malang.

7. Bapak dan Ibu dosen UIIS Malang yang telah memberikan bekal

pencerahan daya pikir dan nalar kepada penulis selama menempuh studi.

8. Semua karyawan UIIS Malang yang telah memberikan pelayanan dengan

baik kepada penulis selama studi.

9. Sahabat-sahabat di HIMMAPRODA, UAPM, TK-2, PRAMUKA pangkalan

UIIS Malang, Forum TAFAKKUR, KELANA RIMBA dan PANTARA, yang

selalu eksis membantu dan menyertai penulis dalam mengasah serta

menggali nilai-nilai luhur budaya nasional untuk bersama-sama

mewujudkan tatanan nilai kemanusiaan yang rahmatan lil ‘alamin.

10. Adik Lely Marini yang keberadaanya senantiasa memberikan inspirasi

baru bagi penyusunan skripsi ini.

Page 10: data baru 1

x

11. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yang

tidak kuasa penulis menyebutkan satu persatu.

Semoga segala amal baik dan bantuan yang telah diberikan kepada

penulis dapat diterima oleh Allah Swt. Sebagai investasi kebaikan yang tidak

akan pernah terputus pahalanya.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak

terlepas dari kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu penulis mengharap

adanya kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak yang berkompeten,

demi perbaikan skripsi ini serta agar dapat dijadikan rujukan bagi

penulisan/penelitian karya ilmiah di kemudian hari yang lebih baik.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi pendorong bagi

terbentuknya sebuah paradigma pendidikan nasional yang mengedepankan nilai-

nilai asasi budaya bangsa, dan mudah-mudahan dapat menjadi sumbangan yang

berarti bagi hasanah keilmuan.

Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,

dan semoga Allah Swt. Senantiasa memberikan petunjuk dan rahmat Nya.

Amin.

Malang, September 2003

Penulis

Page 11: data baru 1

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGAJUAN

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PERSEMBAHAN

MOTTO

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Kegunaan Penelitian

E. Definisi dan Batasan Istilah

F. Metode Penelitian

G. Sistematikan Pembahasan

BAB II : TINJAUAN FILOSOFIS PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

A. Hakikat Pendidikan

B. Hakikat Kebudayaan

C. Hubungan Pendidikan dan Kebudayaan

D. Hakikat Tujuan Pendidikan Nasional

BAB III : PEMIKIRAN H.A.R. TILAAR TENTANG PENDIDIKAN

A. Latar Belakang Pemikiran H.A.R Tilaar

Page 12: data baru 1

xii

1. Biografi

2. Akar Pemikiran

B. Relasi Pendidikan dan Kebudayaan

1. Peranan Pendidikan dalam Kebudayaan

2. Peranan Kebudayaan dalam Pendidikan

3. Manusia yang Berpendidikan dan Berbudaya

C. Pendidikan Berbasis Budaya dalam Sistem Pendidikan Nasional

BAB IV : ANALISIS

A. Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan dan Pendidikan Nilai

B. Perlunya Pendidikan sebagai Sarana Pembentuk Watak yang Baik

C. Kritik atas Kekeliruan Kebijakan Pemerintah

D. Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional (Sebuah Pemikiran Baru)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran-Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 13: data baru 1

xiii

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA (Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)

Oleh Nama : Moh. Imam Syafi’i Nim : 98140713 Jurusan : Pendidikan Islam Fakultas : Tarbiyah UIIS Malang Pembimbing : Drs. A. Fatah Yasin, M. Ag

ABSTRAK

Pendidikan merupakan suatu proses untuk menghasilkan out put yang mengarah pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi. Sehingga manusia dapat hidup layak dan mampu mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat yang terus berkembang secara dinamis, akhirnya akan terbentuk subuah tatanan masyarakat yang beradab. Namun perlu disadari bahwa pendidikan bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Pendidikan merupakan proses yang dimensional, pendidikan banyak berkaitan dengan konsep-konsep dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga bisa dimaklumi jika dalam kondisi tertentu pendidikan lebih dititik beratkan pada pencapaian target yang sifatnya temporal (atau bisa jadi kepentingan pihak politik kekuasaan). Seperti yang terjadi pada masa orde baru di mana pendidikan lebih diarahkan pada pemberantasan buta huruf dan atau pemenuhan target REPELITA (Rancana Pembangunan Lima Tahun), sehingga proses pendidikan cenderung verbalistik dan intelektualistik. Kondisi seperti inilah yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia “asing”, manusia-manusia yang hanya tahu kenyataan kehidupan melalui kata-kata tanpa makna, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai menjauh atau bahkan lupa pada identitas bangsanya sendiri. H.A.R. Tilaar menanamkan mereka sebagai manusi-manusia “buaya” tanpa budaya. Seperti “bom waktu”, ketika tampil di tampuk kekuasaan mereka menjadi lupa daratan, KKN dan segala bentuk praktek menghalalkan segala macam cara terjadi hampir di setiap segmen kehidupan. Sementara di wilayah grass root, mereka tampil beringas; penjarahan, pembumi hangusan, main hakim sendiri telah menjadi suguhan yang memilukan. Kemudian muncul pertanyaan, di manakah peran pendidikan kita? Bukankah mereka nota bene nya pernah mengenyam pendidikan? Dari sinilah kemudian indikasi kegagalan pendidikan nasional kian menjadi jelas. Untuk mengatasi dan mengantisipasi agar kejadian seperti itu tidak terulang di kemudian hari, maka perlahan namun pasti, H.A.R. Tilaar berusaha untuk membangkitkan kembali kesadaran masyarakat Indonesia. Menurut H.A.R. Tilaar pembangunan nilai-nilai moral harus menjadi landasan bagi pembangunan peradaban suatu bangsa. Nilai-nilai moral yang kokoh dan etika standar yang kuat amat diperlukan bagi masyarakat suatu bangsa untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Nilai-nilai moral suatu bangsa sangat berkaitan erat dengan kekuatan suatu bangsa itu sendiri, bahkan bisa dikatakan sebagai ruh yang selanjutnya disebut sebagai kebudayaan atau identitas bangsa. Dari sinilah kemudian penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut pemikiran-pemikiran Tilaar yang terkait dengan upaya pembenahan pendidikan nasional dalam bingkai budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu rumusan masalah yang fokus dalam karya ilmiah ini adalah: a) Bagaimana landasan konseptual pemikiran H.A.R. Tilaar tentang pendidikan?, b) Bagaimana hubungan antara budaya dan pendidikan menurut H.A.R. Tilaar? Dan c) Untuk

Page 14: data baru 1

xiv

menjelaskan konsep pendidikan menurut H.A.R. Tilaar yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pendidikan nasional. Untuk itu dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif, sehingga hasil penelitian tidak berupa angka-angka melainkan berupa interpretasi dan kata-kata. Sedang pengumpulan datanya dilakukan dengan sumber data menggunakan teknik Library Research (kajian literatur) dengan menjadikan buku-buku karya H.A.R. Tilaar sebagai data primer, serta literatur-literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian ini sebagai data sekundernya. Kemudian data-data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan content analysis (analisis isi) yakni dengan cara memilah-milah data yang terkumpul untuk dianalisa isinya sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Dan untuk lebih mudah mendeskripsikan isi pembahasan, penulis menggunakan metode deskriptif, analisis-sintesis, hermeneutik dan komparasi. Beberapa ide pokok yang dapat penulis rumuskan setelah mengkaji permasalahan ini adalah: a. Sebagai dampak dari westernisasi/Globalisasi, Dunia Timur dewasa ini tengah

dihantui krisis (moral) yang dapat menyebabkan disorganisasi sosial. Oleh karena itu sangat diperlukan suatu visi ke arah mana bangsa ini akan menuju. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui sistem pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sehingga identitas bangsa semakin kokoh di tengah kompetisi global. Sebab hakikat pendidikan menurut H.A.R. Tilaar adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global.

b. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan interaktif. Proses pendidikan pada dasarnya adalah proses membudaya; dalam proses itu pendidikan bukan sekedar mentransfer nilai-nilai yang hidup dalam tradisi, tetapi juga berpatisipasi dalam kegiatan budaya yang ada dan mengantisipasi nilai-nilai yang mungkin muncul di masa depan. Sedang kebudayaan merupakan dasar/landasan utama dari praksis pendidikan, bukan hanya seluruh proses pendidikan yang berjiwakan kebudayaan nasional, tetapi juga seluruh unsur kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. Sebagai proses membudaya, pendidikan merupakan jalinan interaktif antara manusia dengan lingkungannya, termasuk lingkungan alam dan manusia. Oleh sebab itu pendidikan harus diarahkan agar semua potensi yang ada pada anak didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian anak didik harus menjadi centre. Sementara praksis pendidikan harus lebih mengedepankan aspek nilai-nilai luhur bangsa di mana kebudayaan Indonesia yang bhineka merupakan totalitas dari pengejawantahan pribadi bangsa. Hal ini juga harus didasarkan pada komitmen untuk menerima dan menyumbangkan budaya lokal sebagai unsur-unsur yang penting bagi terwujudnya budaya nasional yang kokoh dan dinamis.

c. Sistem Pendidikan Nasional bukan hanya sekedar menghasilkan manusia-manusia yang cerdas, tetapi juga yang bermoral tinggi dan produktif menghadapi tantangan kehidupan yang penuh dengan persaingan. Untuk itu pendidikan nasional menurut H.A.R. Tilaar harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Pentingnya pendidikan sebagai proses pembudayaan dan pendidikan nilai, b) Pentingnya pendidikan sebagai Sarana pembentuk watak yang baik, c) Perlunya pemerintah mengadakan pembenahan konsep pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek-aspek sebagai berikut: (1) Nilai dasar pendidikan, (2) Memperhatikan

Page 15: data baru 1

xv

fungsi sosiologis pendidikan, (3) Relasi kebudayaan dan pendidikan, (4) Pendidikan sebagai the agent of change, (5) pemerataan kesempatan pendidikan.

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan, baik para pemerhati maupun praktisi pendidikan, bahwa pendidikan adalah proses kehidupan yang dinamis, untuk itu agar kiranya selalu diupayakan memperbarui dan merumuskan konsep pendidikan yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Bagi para (calon) intelektual diharapkan selalu dapat berinovasi dalam mengupayakan paradigma pendidikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Analisa dalam karya ilmiah ini bukan dimaksudkan untuk melegitimasi kebijakan pendidikan, tetapi diharapkan mampu menggugah kesadaran para praktisi pendidikan (khususnya) dan seluruh komponen bangsa (umumnya). Di samping itu, hasil penelitian ini belum bisa dikatakan final, untuk itu diharapkan agar tentang pentingnya pendidikan berbasis budaya terdapat penelitian lebih lanjut yang mengkaji ulang atau bahkan mengembangkan hasil penelitian ini dengan topik atau obyek yang sama, baik yang secara khusus membahas pemikiran tokoh maupun yang secara umum membahas pendidikan berbasis budaya.

Page 16: data baru 1

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tuhan Yang Maha Kuasa telah menjadikan manusia fi ahsani taqwim1

(Q.S. Attiin: 5)1, selain itu manusia juga diberikan kemuliaan dibanding

dengan kebanyakan makhluk-makhluk Tuhan yang lain (Q. S. Al-Isra’ : 70).

Ini mengandung suatu pengertian bahwa Tuhan telah menciptakan manusia

dalam bentuk yang paling baik. Keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada

manusia berupa akal,2 membuat manusia sanggup membedakan dan

menerima ilmu serta berbagai pengetahuan sehingga mampu melahirkan

gagasan-gagasan baru sekaligus mampu menguasai alam wujud ini.3 Semua

itu tidak lepas dari potensi dasar (fitrah) yang dimilikinya. Fitrah yang

dimaksud adalah suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang

menetap / menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya, untuk

1 Fi ahsani taqwim, secara literal mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan, dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Cet. X, Jakarta, Mizan, 2000, hal:282. 2 Menurut Abu al-Huzamil, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain dan antar benda-benda dari yang lainnya. Akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap oleh panca indera. Harun Nasution, Akal dan wahyu dalam Islam, Jakarta, Ul-Press, 1986, hal: 12. 3 Lihat: Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Jakarta, Bumi Aksara, 1995, hal:79 Ahad, 8 Juni 2003. # Dalam hal ini Buceille mengartikan taqwim sebagai “mengorganisasikan sesuatu dengan cara terencana,” yang oleh karena itu berarti suatu susunan kemajuan yang telah lebih dahulu didefinisikan secara cermat (oleh sang pencipta). Maurice Buceille, Asal-usul manusia menurut Bibel, Al-Quran, Sain, Cet.XIII, Bandung, Mizan, 1999, hal:208.

Page 17: data baru 1

2

komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada-Nya, cenderung kepada

kebenaran (hanif), dan potensi tersebut adalah ciptaan Tuhan. Kelebihan

manusia yang dianugerahkan oleh Tuhan tersebut membuat manusia

dipercaya menyangga kedudukan yang tinggi di

dunia, yaitu sebagai khalifatullah fi al-ardl.4 Karena kelebihan-kelebihan

potensial yang dimiliki manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain ini

pula yang memungkinkan manusia kemudian dapat dididik, dan oleh

karenanya membutuhkan pendidikan.

Pendidikan merupakan sebuah proses dan sekaligus sistem yang

bermuara dan berujung pada pencapaian suatu kualitas manusia tertentu

yang dianggap dan diyakini sebagai yang ideal.5 Pendidikan bertujuan untuk

membantu individu agar dapat hidup layak dalam dunia yang terus

berkembang dan mampu mempertahankan eksistensiny adalam dinamika

kehidupan masyarakat.6 Namun pendidikan bukanlah sebuah proses yang

mudah, pendidikan merupakan kawasan yang padat isi, dan memiliki banyak

unsur. Pendidikan banyak berkaitan dengan konsep-konsep filosofis yang

4 khalifatullah fi al-ardl artinya khalifah (wakil atau pengganti) Allah (Tuhan) di bumi, untuk menjalankan mandat yang diberikan oleh Allah kepadanya, guna membangun dunia ini sebaik-baiknya. Muhaimin dan Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung, Trigenda Karya, 1993, hal: 61. Lihat juga: Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2001, hal: 19-24. 5 Masarudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun (Tinjuauan Fenomenologis), dalam Toyib dan Darmuin, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal:16-19. 6 Radja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta, Raja grafindo Persada, 2002, hal: 11.

Page 18: data baru 1

3

dikaitkan dengan sistem sosial, ekonomi, politik, bahkan hankam. Kerumitan

problematika yang melekat dalam dunia pendidikan bisa jadi mencerminkan

kerumitan hidup berbangsa dan bernegara itu sendiri.7 Maka perubahan

apapun dalam batang tubuh masyarakat mengisyaratkan dan diisyaratkan

oleh perubahan hampir di segala bidang.#

Harus pula dipahami bahwa pendidikan hanyalah sebagai alat.

Pendidikan sebagai alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan

watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, alat menanamkan

nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran

bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengangkat status sosial, alat

menguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial,

alat pemanusiaan, alat pembebas, dan sebagainya. Sebagai alat, maka

pendidikan memiliki tujuan yang ingin dicapai, dan dalam tujuan ini

terkandung misi dan visi tertentu.8 Problematika pendidikan muncul biasanya

terkait dengan upaya merealisasikan tujuan ideal yang diharapkan.

Kegagalan dalam merealisasikan tujuan akan dijadikan indikator

ketidakberhasilan pendidikan.

7 Lihat: Omi Intan Naomi, Mendidik Si Alim Pembangkang, Pemberontak, Cet. III, dalam Frieri dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal:Lxiv Dari asumsi ini bisa diambil pengertian bahwa segala apa saja yang berkenaan dengan pendidikan nasional, menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Ini mengisyaratkan bahwa pemerintah (sebagai pemegang kendali pendidikan nasional) tidak boleh menutup “mata” dan “telinga” terhadap realitas pendidikan di masyarakat, sehingga kebijakan yang diterapkan bisa sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan.

Page 19: data baru 1

4

Munculnya globalisasi peradaban yang meluas beriringan dengan

demokratisasi dan tuntutan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak

hanya mengubah tatanan budaya dan pola perilaku manusia, melainkan juga

telah mendorong munculnya berbagai gagasan baru tentang nilai-nilai sosial

yang dianggap ideal.9 Dalam tata kehidupan yang berkembang semakin

rumit, proses dan sistem pendidikan sukar berjalan dengan mulus, karena

akan terbentur pada berbagai persoalan. Rangkaian kejadian lokal, regional,

nasional, sampai tingkat global, yang merefleksikan kualitas manusia di

bawah standar ideal yang diinginkan merupakan bukti ketidakmulusan

jalannya proses dan sistem pendidikan.10 Pada gilirannya hal ini memberikan

pengaruh yang signifikan pada kerja pendidikan, sebagaimana halnya yang

terjadi dalam pendidikan nasional Indonesia.11

Dari berbagai persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan, masalah

utama yang harus dihadapi paling tidak berhubungan dengan: (1) Bagaimana

upaya pendidikan agar dapat dilaksanakan untuk memenuhi harapan

masyarakat dan mempertahankan ekstsistensinya dalam masyarakat yang

terus berkembang. (2) Mampukah pendidikan dalam melaksanakan fungsi

8Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, Cet.II Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal: 2-3 9 Lihat: Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem Filosofis Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002, hal:49. Gagasan baru tersebut oleh Sihombing dipandang sebagai keniscayaan dalam kehidupan masyarakat yang selalu bergerak secara dinamis. Dengan demikian upaya untuk selalu mencari paradigma pendidikan yang tepat, mutlak diperlukan; sebab jika tidak demikian perkembangan masyarakat (di segala bidang) akan macet. Hal penting yang ditawarkan oleh Sihombing, Menuju Pendidikan Bermakna Melalui Pendidikan Berbasis Masyarakat Cerdas Terampil Mandiri Konsep Strategi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Multiguna, 2002, hal:1-20.

Page 20: data baru 1

5

dan perannya untuk menyusun dan menata hari esok yang lebih baik. (3) Upaya

pendidikan dalam menghadapi tantangan masa kini dan merumuskan gagasan-

gagasan dan konsep-konsep baru mengenai fungsi dan peran pendidikan.12

Secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari

harapan apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan

perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun

kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar

bahkan pendidikan nasional menurut banyak kalangan bukan hanya belum

berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan peserta didik, melinkan

gagal dalam membentuk karakter dan kepribadian.13

10 Abdullah fadjar, Strategi Pengembangan Pendidikan Islam Melalui Riset dan Evaluasi, dalam USA, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1991, hal:141. 11 Fenomena ini bisa kita cermati dari berbagai upaya-uapaya pemerintah (yang secara idiil bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan nasional) melalui kebijakan-kebijakan riil di lapangan. Mulai dari model CBSA, life skill, KBM, pergantian sistem evaluasi belajar, model semester (untuk SD-SMU); dan seterusnya. 12 Masaruddin Siregar, Op.Cit., hal:7. Lihat juga: H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Cet. IV, Jakarta, Bumi Aksara, 2000, hal:ix. Dalam hal ini Bukhori mengintrepretasikan persoalan-persoalan di atas sebagai The Basic dalam pendidikan, di mana segenap kegiatan pendidikan yang mempersiapkan anak-anak untuk pekerjaan. Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hal:41. 13 Azzumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta, Kompas, 2002, hal:xiii-xiv. Indikasi kegagalan ini secara umum dapat dilihat dari bingkai krisis yang telah melanda bangsa Indonesia selama ini. Momentum jatuhnya pemerintahan orde baru adalah awal “ titik keruh” dari multi krisis. Dikatakan multi krisis karena bangsa ini tengah mengalami situasi dan kondisi yang sangat memprihatinkan di seluruh aspek berbangsa dan bernegara. Lihat: T. Jacob, Reformasi Menuju Masyarakat Beradab: Sebuah Pengantar, dalam Usman dkk. (Ed.), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal: 1-11. Menjamunya KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme), meningkatkan tindak kejahatan, makin tingginya tensi kekerasan yang mengarah pada menghalalkan segala cara, banyaknya pertikaian yang dipicu SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan), tingginya angka pengangguran, serta berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa; kesemuanya itu telah menjadi suguhan yang memilukan di pentas peradaban bangsa

Page 21: data baru 1

6

Dalam pandangan H.A.R. Tilaar, untuk menyelesaikan problematika

pendidikan yang terjadi dewasa ini, maka pendidikan baik secara teoritis

maupun secara praktis tidak boleh dilepaskan dari kebudayaan. Pendidikan

tidak terjadi dalam vakum (keadaan diam), tetapi terjadi dalam interaksi

antara manusia di dalam suatu masyarakat yang berbudaya. Oleh sebab itu

pendidikan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan. Proses pendidikan

bukan hanya sekedar mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan, tetapi juga

mengembangkan bahkan mematikan kebudayaan bangsa itu sendiri.

Sebagai proses transformasi, proses pendidikan mengalihkan nilai-nilai dari

satu generasi kepada generasi berikutnya. Di samping itu proses pendidikan

juga membentuk pribadi-pribadi kreatif yang menjadi penggerak serta

pengembang kebudayaan di mana dia berada. Dengan demikian, maka jika

terjadi krisis dalam kebudayaan, maka hal ini akan tampak dalam kegagalan

sistem pendidikannya.14

Indonesia. Padahal secara statistik (terhitung dari Repelita I) tingkat pemberantasan buta huruf dan partisipasi belajar masyarakat mengalami peningkatan secara spesifik. Ini artinya secara umum penduduk Indonesia (setidaknya pernah mengenyam pendidikan). Lihat: H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan Cet. V, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2001, hal:29-31. Sementara Kuntowijoyo mengingatkan bahwa dalam bingkai budaya, apa yang tengah dialami oleh bangsa ini merupakan proses dialetika dari realitas suku bangsa dengan segala karakteristik dan kecenderungan yang telah lama melekat. Oleh karena itu yang perlu dilakukan adalam membuka kembali lipatan sejarah agar lebih bisa diketahui siapa Masyarakat bangsa ini, untuk selanjutnya menyusun semacam agenda dan strategi kebudayaan yang sistematis dan terencana. Lihat: Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, Bandung, Mizan, 2002. 14 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, hal: 49-50. Ini jauh-jauh juga telah ditegaskan oleh Kartono, bahwa pendidikan dan dampaknya itu selalu saja mencakup hampir semua kehidupan masyarakat. Oleh karena itu mengembangkan sistem pendidikan harus selalu berakar pada kebudayaan bangsa itu sendiri, dalam hal ini

Page 22: data baru 1

7

Dalam konsepsi Freire, suatu tugas penting pendidikan kritis adalah

menterjemahkan polemik budaya ini. Menurut Mc Laren, dalam perspektif liyo

liya-ning liyan (the othemess), menggali kekhususan kontekstual sistem-

sistem budaya itu sangan dimungkinkan dalam upaya pengembangan

pendidikan. Dalam pengertian ini maka menjadi mungkin untuk melukiskan

lokalitas tertentu sistem-sistem budaya, dan melalui pemahaman terhadap

perbedaan itu, lalu melakukan tindakan penerjemahan budaya, guna

menyusun sebuah konstruk pendidikan yang membebaskan, yang

memanusiakan manusia.15

Menurut Tilaar, krisis kebudayaan merupakan krisis kemanusiaan. Di

dalam krisis yang sedang terjadi di Indonesia sekarang ini, terdapat manusia

yang tanpa disiplin, manusia yang menerapkan hukumnya sendiri, manusia

yang rakus dan kehilangan pertimbangan akal sehat. Apabila ada sebuah

teori yang menyatakan bahwa manusia menyimpan sifat kebinatangan dan

berbahaya jika tidak diarahkan, maka pendidikan nasional Indonesia

dikhawatirkan telah melahirkan manusia “buaya tanpa budaya”. Padahal

menurut Tilaar, hanya manusia budayalah yang dapat mewujudkan nilai-nilai

kemanusiaan.16

kebudayaan Indonesia. Lihat: Kartini Kartono, Tinjauan Holistik mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Op. Cit., hal:71. 15 M. Escobar, dkk., Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah kapitalisme yang Licik, Yogyakarta, LkiS, 2001, hal: xiii. 16 Tilaar menembahkan bahwa antara pendidikan dan kebudayaan terdapat keterkaitan yang saling memperkuat satu dengan yang lain. Dengan demikian krisis kebudayaan adalah krisis pendidikan. Dalam konteks nasional, reformasi total dalam kehidupan bangsa Indonesia harus pula merupakan reformasi total kebudayaan, dan dalam rangka reformasi total kebudayaan inilah terletak reformasi pendidikan nasional. H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal:51.

Page 23: data baru 1

8

pemahaman terhadap perbedaan itu, lalu melakukan tindakan penerjemahan

budaya, guna menyusun sebuah konstruk pendidikan yang membebaskan,

yang memanusiakan manusia.15

Menurut Tilaar, krisis kebudayaan merupakan krisis kemanusiaan. Di

dalam krisis yang sedang terjadi di Indonesia sekarang ini, terdapat manusia

yang tanpa disiplin, manusia yang menerapkan hukumnya sendiri, manusia

yang rakus dan kehilangan pertimbangan akal sehat. Apabila ada sebuah

teori yang menyatakan bahwa manusia menyimpan sifat kebinatangan dan

berbahaya jika tidak diarahkan, maka pendidikan nasional Indonesia

dikhawatirkan telah melahirkan manusia “buaya tanpa budaya”. Padahal

menurut Tilaar, hanya manusia budayalah yang dapat mewujudkan nilai-nilai

kemanusiaan.16 Dan inilah tugas mulia pendidikan nasional, yaitu untuk

melahirkan kembali manusia-manusia yang berbudaya, di mana nilai-nilai

kemanusiaan itu diwujudkan dalam kehidupan politik, ekonomi serta hukum

dalam masyarakat. Kebudayaan menuntut bukan saja manusia yang cerdas,

tetapi manusia yang cerdas berbudaya, inilah yang menurut Tilaar

dinamakan dengan educated and civilized

x Seseorang disebut berbudaya apabilaperilakunya dituntun oleh akal budinya sehingga mendatangkan kebudayaan bagi diri dan lingkungannya serta tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan. Djoko Widagho, Ilmu Budaya Dasar, Cet. III, 1993, hal:25. 15 M. Escobar, dkk., Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah kapitalisme yang Licik, Yogyakarta, LkiS, 2001, hal: xiii. 16 Tilaar menembahkan bahwa antara pendidikan dan kebudayaan terdapat keterkaitan yang saling memperkuat satu dengan yang lain. Dengan demikian krisis kebudayaan adalah krisis pendidikan. Dalam konteks nasional, reformasi total dalam kehidupan bangsa Indonesia harus pula merupakan reformasi total kebudayaan, dan dalam rangka reformasi total kebudayaan inilah terletak reformasi pendidikan nasional. H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal:51.

Page 24: data baru 1

9

human being (manusia yang terdidik dan berbudaya).17

Dalam dunia pendidikan di Indonesia belakangan ini muncul berbagai

gagasan baru sebagai kritik atas konsep yang selama ini berkembang dan

menjadi dasar pendidikan secara umum. Konsep tentang kecerdasan

emosional yang kemudian disusul dengan konsep kecerdasan spiritual telah

mewarnai gagasan-gagasan fundamental pendidikan. Kedua konsep filosofis

pendidikan tersebut menjadi lebih meluas memberi pengaruh praktek

pendidikan ketika bersamaan itu muncul pula gagasan tentang quantum

learning (perolehan).18

Dalam upaya membentuk tersebut tentunya bukan dengan eutoria idialis,

seperti mengadopsi besar-besaran sistem atau model yang meski telah

mapan diterapkan di negara lain, namun perlu diingat bahwa bangsa kita

punya sistem nilai sendiri, yang karenanya eksistensi bangsa ini dapat

mewarnai peradaban

x Seseorang disebut berbudaya apabila perilakunya dituntun oleh akal budinya sehingga mendatangkan kebudayaan bagi diri dan lingkungannya serta tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan. Djoko Widagho, Ilmu Budaya Dasar, Cet. III, 1993, hal:25. 17 H.A.R. Tilaar, Lok.Cit.,2000b. 18 Abdul Munir Mulkhan, Op.Cit., hal:51. Gagasan lain yang kini tengah gencar-gencarnya untuk disosialisasikan (secara nasional) adalah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Mulyasa mendefinisikan KBK sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standart performensi tertentu. E. Mulyasa, Kurukulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Cet.III, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2003, hal:139. Gagasan lain yang juga banyak menyita perhatian publik adalah Kurikulum Berbasis Life Skill, yang mempunyai orientasi sebagai upaya penyiapan para peserta didik agar siap pakai untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Menurut Muhaimin, Kurikulum Berbasis Kompetensi dikembangkan bertolak dari analisis kebutuhan pekerjaan atau kemampuan, minat dan bakat dari peserta didik itu sendiri.Lihat: Muhaimin, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Life Skill dalam Majalah Pendidikan Tarbiyah Plus Media Komunikasi Keilmuan Dan Pendidikan, Edisi I, Malang, UIIS Press, 2003, hal:5-9.

Page 25: data baru 1

10

implikasi riilnya menciptakan model sendiri yang dapat memberikan nilai

tetap di kancah global, dan bukan sekedar ikut-ikutan atau bahkan asal

”bercermin”, sementara kita lupa bahwa bangsa-bangsa punya harga diri

yang tercermin dari kebinekaan budaya bangsa. Maka tepat kiranya bahwa

dalam era reformasi ini dikembangkan upaya-upaya pembenahan secara

detektis pada konsep dasar pendidikan nasional kita. Eksistensinya, bahwa

kita bukan sekedar bangsa-bangsa konsumtif.

Dalam perspektif Tilaar, konsep pendidikan yang berkembang sekarang

ini sangat intelektualistis dan tidak memberikan kesempatanberkembang

kepada perkembangan intelegensi yang menyeluruh dari peserta didik,

karena peserta didik diajuhkan daro basis budaya mereka.19 Sehingga

menurutnya pendidikan nasional dewasa ini perlu mengadakan pergeseran

paradigma, khususnya di dalam kaitannya dengan kebudayaan nasional.

Pendidikan di Indonesia menurut Tilaar telah tercabut dari fungsi

kebudayaannya. Padahal peranan pendidikan nasional seharusnya adalah

untuk meletakkan dasar-dasar yang kuat dari nilai-nilai budaya yang

Penulis tidak menafsirkan aktualita dan urgensi dari gagasan-gagasan tersebut, namun yang akan menjadi titik tekan dari skripsi ini adalah bagaimana aneka ragaman gagasan tersebut dapat dikembangkan dengan berbijak pada nilai-nilai dasar budaya masyarakat. Oleh karena itu menurut hemat penulis, sebelum gagasan-gagasan tersebut dikembangkan lebih jauh, kiranya pemerintah harus segera membenahi konsep pendidikan dengan memberikan penekanan pada basis budaya masyarakat sebagai landasan fundamental (bagi upaya riil) melalui berbagai gagasan yang edang diupayakan sosialisasinya. Jika tidak demikian maka hal:67.dikhawatirkan gagasan-gagasan tersebut hanya akan kelihatan megah bentuk fisik dan atapnya saja, sementara dasarnya tidak jelas atau bahkan keropos.

Page 26: data baru 1

11

hidup di dalam masyarakat Indonesia yang akan dijadikan fondasi untuk

membentuk budaya masa depan yang lebih jelas dan terarah.20

Perubahan-perubahan sosial serta gejolak sosial politik yang terjadi di

Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan

pribadibagi seorang warga negara Indonesia yang berwatak dan bermoral.

Dalam GBHN 1999-2004 terdapat visi dan misi pembangunan nasional yang

di dalamnya memuat hal penting terkait dengan dunia pendidikan. Pertama,

pendidikan yang bermakna diperlukan bagi pengembangan pribadi dan

watak bagi hidup kebersamaan dan toleransi. Kedua, bangsa Indonesia perlu

untuk membangun suatu masyarakat yang demokratis, damai, berkeadilan

dan berdaya saing.21 Visi pembangunan tersebut menurut Tilaar memiliki

implikasi yang jauh bagi upaya membenahi pendidikan nasional.

Upaya-upaya pembenahan, baik secara teoritis maupun praktis dalam

19 Djohar menambahkan bahwa kondisi seperti inilah yang kemudian menimbulkan konsekuensi sebagai berikut: (1). Pendidikan kita telah kehilangan onbektivitas, (2). Pendidikan kita tidak mendewasakan anak, (3). Pendidikan kita tidak menumbuhkan pola berfikir, (4). Pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, (5). Pendidikan kita dirasa membelenggu, (6). Pendidikan kita tidak menghasilkan individu belajar, (7). Pendidikan kita dirasakan linear-indoktrinatif, (8). Pendidikan kita belum mampu memberdayakan dan membudayakan peserta didik. Djohar MS, Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta, LESFI, 2003, hal:4-10. 20 H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet.II, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000a, hal:63 21 H.A.R. Tilaar , Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, Menurut Latief, untuk mewujudkan visi pembangunan tersebut dibutuhkan kualisifikasi sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi. Maka orientasi yang paling utama adalah bagaimana pendidikan mampu ”membentuk” (kepribadian) dan bukan sekedar ”mencetak” (lulusan). Lihat: Yudi Latief, Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan, Bandung, Mizan, 1999, hal:191-194.

Page 27: data baru 1

12

pendidikan haruslah dipahami secara arif, karena upaya pendidikan dalam

dirinya sendiri memiliki batas-batas tertentu (karena terlalu luasnya cakupan

dan beban dalam pendidikan) yang tidak mungkin terlaksana secara total.

Kebajikan yang diharapkan dari pendidikan adalah upaya kreatif yang secara

terus menerus berusaha mengembangkan upaya pendidikan dengan penuh

dorongan, tanpa beban ketidakberhasilan.22

Dengan dorongan untuk memperbaiki kinerja pendidikan melalui dasar-

dasar analisis konseptual Tilaar sebagaimana latar belakang tersebut di atas

inilah, maka penulis menyusun sebuah karya ilmiah dengan judul: Pendidikan

Berbasis Budaya (Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar).

22 Abdullah Fadjar, Op.Cit. Dengan kata lain bahwa upaya pembenahan pendidikan harus selalu diupayakan secara simultan, dengan menitik beratkan pada pemberdayaan dan pemaknaan nilai-nilai dasar yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dianalogikan secara transformatif agar tercipta bangunan peradaban yang mengedepankan aspek kasih sayang terhadap semua makhluk yang ada di alam semesta ini. Dalam upaya membentuk tersebut tentunya bukan dengan eutoria idialis, seperti mengadopsi besar-besaran sistem atau model yang meski telah mapan diterapkan di negara lain, namun perlu diingat bahwa bangsa kita punya sistem nilai sendiri, yang karenanya eksistensi bangsa ini dapat mewarnai peradaban implikasi riilnyamenciptakan model sendiri yang dapat memberikan nilai tetap di kancah global, dan bukan sekedar ikut-ikutan atau bahkan asal ”bercermin”, sementara kita lupa bahwa bangsa-bangsa punya harga diri yang tercermin dari kebinekaan budaya bangsa. Maka tepat kiranya bahwa dalam era reformasi ini dikembangkan upaya-upaya pembenahan secara detektis pada konsep dasar pendidikan nasional kita. Eksistensinya, bahwa kita bukan sekedar bangsa-bangsa konsumtif.

Page 28: data baru 1

13

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam karya

ilmiah ini adalah:

1. Bagaimana landasan konseptual pemikiran H.A.R. Tilaar tentang

pendidikan?

2. Bagaimana hubungan antara budaya dan pendidikan menurut H.A.R.

Tilaar?

3. Bagaimana konsep pendidikan menurut pandangan H.A.R. Tilaar yang

dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pendidikan nasional?

C. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan

pembahasan penelitian karya ilmiah ini adalah:

1. Untuk menjelaskan landasan konseptual pemikiran H.A.R. Tilaar tentang

pendidikan.

2. Untuk menjelaskan hubungan antara budaya dan pendidikan menurut

H.A.R. Tilaar.

3. Untuk menjelaskan konsep pendidikan menurut pandangan H.A.R. Tilaar

yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pendidikan

nasional.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian karya ilmiah ini diharapkan dapat berguna untuk:

Page 29: data baru 1

14

1. Bahan rujukan bagi insan akademik yang hendak menyusun karya ilmiah

dengan tema kependidikan nasional, baik yang secara khusus menelaah

hasil pemikiran pendidikan H.A.R. Tilaar, maupun yang secara umum

membahas pendidikan berbasis budaya.

2. Menumbuhkan pemikiran progresif tentang upaya pengembangan

pendidikan nasional, dengan pemahaman dan pengkajian yang berpijak

pada pemikiran tokoh pendidikan kontemporer.

3. Menemukan ide-ide baru tentang pemikiran pendidikan yang dapat

digunakan sebagai dasar pengembangan pendidikan nasional, melalui

studi pemikiran tokoh.

4. Menjadi sumbangan pemikiran yang bisa memperluas hasanah keilmuan,

terutama bagi upaya pengembangan pendidikan nasional.

5. Membantu pembuat kebijakan pendidikan dalam upaya memperbaiki dan

mengembangkan pendidikan nasional.

E. Definisi dan Batasan Istilah

Agar dapat lebih mengarah dan sekaligus menghindari terjadinya

persepsi lain mengenai istilah-istilah yang ada, maka perlu adanya

penjelasan mengenai definisi istilah berikut beserta batasan-batasannya. Hal

ini diperlukan agar terdapat kesamaan penafsiran dan untuk menghindari

kekaburan pada pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini.

Adapun definisi dan batasan istilah yang berkaitan dengan judul dalam

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Page 30: data baru 1

15

1. Pendidikan.

Secara leksikal, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan

sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha

mendewasakan manusia melalui usaha pengajaran dan pelatihan.23

Menurut Indrakusuma Pendidikan adalah: ”Suatu usaha yang sadar, yang

teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi

tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan

tabi’at sesuai dengan cita-cita pendidikan.”24

Sedang menurut Marimba, pendidikan didefinisikan sebagai

bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama.25

Dengan demikian, yang dimaksud pendidikan dalam skripsi ini

adalah suatu usaha yang sadar yang dilakukan secara sistematis dan

terorganisir oleh orang-orang yang berkompeten (guru) kepada peserta

23 Tim Penyusun Kamus P.P.P.B. Dep. Dik. Bud., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Balai Pustaka, 1999, hal:232.

24 Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma’arif, 1975, hal:27. Cita-cita pendidikan yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sebagai upaya pengejawantahannya, maka cita-cita pendidikan tersebut secara operasional diatur dalam ketetapan Majelis Pemusyarakatan Rakyat. Sedang dalam pelaksanaan praktisnya diatur dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Lihat Subagio Atmodiwirjo, Manajemen Pendidikan Indonesia, Cet. II, Ardadizya Jaya, 2001, hal:26-33. 25 Yang di maksud kepribadian yang utama menurut Marimba adalah tercapainya kepribadian muslim. Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Cet. Ix, Bandung, Al-ma’arif, 1989, hal:19.

Page 31: data baru 1

16

didik (murid) agar supaya anak didik memiliki pengetahuan,

intelektualitas, keterampilan serta budi pekerti luhur sebagai bekal untuk

membangun peradaban yang rahmatan lil ’alamin (dapat memberikan dan

menumbuhkembangkan kasih sayang kepada seluruh alam semesta).

2. Basis

Berdasarkan arti leksikal, basis mengandung pengertian: dasar, asas,26

landasan atau tumpuhan.27 Secara etimologi kata basis sendiri berasal

dari Bahasa latin dan yunani, yakni basis, yang artinya: dasar, asas, alas,

sendi, kaki, pangkal, landasan; (1) suatu asas fundamental, (2) suatu

bagian dasar, fondasi atau menyangga utama.28

Dengan demikian bisa dijelaskan bahwa berbasis, berarti

menggunakan dasar, asas, landasan atau tumpuan. Maka untuk

selanjutnya bisa dijabarkan lagi mengenai pendidikan berbasis (tertentu

artinya adalah suatu usaha yang sadar yang dilakukan oleh orang-orang

yang berkompeten (guru) kepada peserta didik (murid) agar supaya anak

didik memiliki pengetahuan; intelektualita, ketrampilan serta budi pekerti

luhur sebagai bekal untuk membengun peradaban yang rahmatan

lil’alamin, dengan menggunakan dasar atau landasan (tertentu).

26 Trisno Yuwono dan silvita, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Surabaya, Arkala, 1995, hal:70. 27 Umberto Sihombing, Op.Cit., hal:ii.

Mulyasa juga menggunakan istilah based ketika menerjemah kata basis ke dalam Bahasa Inggris (Competency Based Curriculum = Kurikulum Berbasis Kompetensi). Dalam Bahasa Inggris, base(d) berarti dasar. Lihat: E. Mulyasa, Op.Cit., hal:37. 28 Komaruddin, dkk., Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta, bumi Aksara, 2000, hal:28.

Page 32: data baru 1

17

3. Budaya.

Analisa terhadap budaya ataupun kebudayaan dapat dilakukan

oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang kesemuanya

menekankan pada sudut pandang masing-masing. Dan sesungguhnya

memang terlampau luas untuk dapat dinyatakan oleh sesuatu rumusan

atau definisi yang pada dasarnya justru membatasi atau menyempitkan

ruang lingkup. A. Kroeber dan C. Kluchohn adalah para sarjana

antropologi yang telah berhasil menghimpun tidak kurang dari 160 atau

bahkan 179 dari definisi kebudayaan.29

Menurut Sastrosupono, kebudayaan merupakan suatu realitas

sehingga untuk dapat memaknainya tidak cukup hanya didefinisikan lewat

kata-kata atau pengertian ontologis, akan tetapi secara subyektif harus

diselami dan dirasakan melalui realitas-empiris.30

Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis perlu memberikan

batasan dan sekaligus penegasan istilah tentang budaya ataupun

kebudayaan agar bisa digunakan sebagai acuan untuk memahami

permasalahan yang hendak dibahas.

29 Slamet Sutrisno, Sedikit Tentang Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1981, hal:6. Dalam buku Culture, A Critical Review of Concept and Definitions A. Krober dan C. Kluckhohn mengklasifikasikan pengertian kebudayaan menurut tujuh kategori pokok, yaitu: 1) Ahli Sosiologi, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan

(adat, akhlak, kesenian, ilmu dan lain-lain) yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek masyarakat

Page 33: data baru 1

18

Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, antara budaya dan

kebudayaan itu artinya sama saja. 31 Namun dalam perspektif etimologis

(makna kata), budaya diartikan sebagai ”daya dari budi” yang berupa

cipta, karsa dan rasa; sedang kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa,

dan karsa tersebut.32 Akan tetapi dalam kontteks yang lebih luas, antara

budaya dan kebudayaan cenderung diidentikkan pemaknaannya, atau

setidaknya tidak sampai menimbulkan salah persepsi jika penggunaan

salah satu dari keduanya dilakukan dengan acak.

(2) Ahli Sejarahi, menekankan pertumbuhan kebudayaan dan mendefinisikan sebagai

warisan sosial atau tradisi. (3) Ahli Filsafat, menekankan aspek normatif, kaidah kebudayaan dan terutama pembinaan

nilai dan realisasi cita-cita. (4) Antropologi, melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of like kelakuan. (5) Psikologi, mendekati kebudayaan dari segi penyesuaian (adjusment) manusia kepada

alam sekelilingnya, kepada syarat-syarat hidup. (6) Ilmu Bangsa-Bangsa, gaya lama dan petugas museum menaksir kebudayaan atas hasil

artefact dan kesenian. (7) Pendefinisian Istimewa, sebagai dialectic of challenge and response (N.J. Toybeen);

Superstruktur ideologis yang mencerminkan pertentangan kelas (Marx): gaya hidup feodal artistokratis (Al-Farabi); kebudayaan sebagai comfort (montagu); dan lain-lain.

J.W.M. Bekker Sj., Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Cet. XI, Kanisius, Jakarta, 2001, hal:27-28. 30 Sastrosupono menambahkan bahwa apabila kita hendak membicarakan kebudayaan Jawa Misalnya, maka tidak cukup melihatnya dari sudut tarian saja. Tetapi lihatlah juga bahasannya, mata pencahariannya dan aspek-aspek yang lainnya. Pendekatan ini akan lebih baik lagi kalau kita langsung juga mengadakan pengamatan terhadap kehidupan orang Jawa, sebab dengan demikian kita melibatkan diri terhadap obyeknya. Barangkali dari pelibatan diri itu kita sanggupmenangkap dan merasakan beberapa hal mengenai kehidupan orang Jawa. Lihat: M. Supriyadi Sastrosupono, Menghampiri Kebudayaan, Bandung, Alumni, 1981, hal:9-15. 31 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cet. VIII, Jakarta, Rineka Cipta, 19890, hal: 181.

Page 34: data baru 1

19

Secara global budaya ataupun kebudayaan adalah suatu hal yang

kompleks, karena mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapat

oleh manusia sebagai anggota masyarakat.33

Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari manusia

dari pola-pola kelakuan yang normatif yaitu mencakup segala cara atau

pola berfikir merasakan dan bertindak. Soemardjan dan Soemardi juga

merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta

masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan

jasmaniah yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya.

Rasa meliputi jiwa manusia serta mewujudkan segala kaidah-kaidah dan

nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti luas, meliputi agama, idiologi,

kesenian dan semua unsur hasil ekspresi jiwa manusia. Sedang cipta

merupakan kemampuan mental, dan kemampuan berfikir yang

32 Tim Penyusun Kamus P.P.P.B. Dep.Dik.Bud., Op.Cit., hal:149. Pembedaan ini penting untuk penulis sampaikan di sini, sebagai upaya untuk mendudukkan persoalan kebahasaan. Dengan begitu bisa dimengerti kenapa ada istilah budaya dan kebudayaan; istilah mana yang tepat untuk menjelaskan persoalan tertentu. Dan yang terpenting adalah agar pembaca tahu bahwa kedua istilah tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi melalui proses pemaknaan ”dialektik” yang panjang. 33 Lihat: Richard E. Porter & Larry A. Samavor, Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antar budaya, Dalam Mulyana dan Rahmat (Ed), Komunikasi Antar Budaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Cet. V, Remaja Rosda Karya, Bendung, 2000, hal:18.

Page 35: data baru 1

20

menggunakan filsafat serta ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan oleh

karya untu menghasilkan teknologi. Baik karya, rasa maupun cipta

dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya

agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar ataupun seluruh

masyarakat.34

Sebagian sintesa dari berbagai pemikiran tentang pengertian

budaya ataupun kebudayaan, Tilaar (dengan berpijak pada rumusan

Koentjaraningrat) memberikan pengertian sebagai berikut: ”Keseluruhan

gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar,

beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”.35

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis

budaya dapat diartikan sebagai suatu proses pemberdayaan peserrta

didik dalam membangun dan membina peradaban yang rahmatan lil

’alamin, dengan menggunakan keseluruhan cipta, rasa, karya dan karsa

manusia yang didapat melalui proses belajar, sebagai asas fundamental

atau penyangga utamanya.

34 Tim D.J.P.K.A.I., Islam Untuk Disiplin Ilmu Sosiologi Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi Sosiologi, Jakarta, P.P.P.A. Depag, 2000, hal:34-35. 35 H.A.R Tilaar, 2000a, Op.Cit., hal:45. Menurut Tilaar, manusia yang sadar budaya merupakan awal dari tindakan budaya yang terarah dan kreatif. Tanpa sadar budaya tidak mungkin manusia dapat membudaya; atau dia adalah sekedar makhluk hidup yang bertindak secara otomatis sesuai dengan nalurinya, atau bertindak dalam suatu struktur dunia pengalaman yang sangat kaku atau lamban perubahannya. Ini mengandung pengertian bahwa tindakan berbudaya memerlukan pengarahan yang terstruktur dan sistematis. Lihat: H.A.R. Tilaar dan Suryadi, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Cet.II, Bandung, 1994, hal:195.

Page 36: data baru 1

21

Oleh karena kompleksnya kajian dan permasalahn yang ada

dalam dunia pendidikan dan kebudayaan, maka di sini penulis

memberikan batasan permasalahan dalam konteks keindonesiaan saja.

4. Studi atas Pemikiran H.A.R.Tilaar.

Secara literal, studi diartikan sebagai penelitian ilmiah, kajian,

telaah.36 Sementara pemikiran, mengandung makna proses, cara

memikir; atau suatu cara seseorang dalam memikirkan sesuatu yang

penting dan bermakna. 37

Sedang H.A.R. Tilaar adalah seorang intelektual sekaligus praktisi

dan ahli pendidikan nasional kontemporer yang paling banyak dijadikan

acuan dan paling produktif dalam karya-karya tulisnya. 38 H.A.R. Tilaar

yang sekarang ini menjadi Guru Besar di UNJ (Universitas ....................)

(1990-2003), serta masih tercata sebagai anggota Dewan Riset Nasional

(1999-2004); lahir di Tondano, Sulawesi Utara pada 16 Juni 1932. 39

Jadi studi atas pemikiran H.A.R Tilaar adalah sebuah upaya yang

dilakukan penulis untuk mengadakan penelitian ilmiah, mengkaji dan

menelaah segala pemikiran H.A.R. Tilaar yang berkaitan dengan budaya

dan pendidikan nasional.

36 Tim penyusun Kamus P.P.P.B. Dep.Dik.Bud., Op.Cit., hal:965. 37 Ibid, hal:768 Dalam Kamus Filsafat dijelaskan bahwa pikiran merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan dunia obyektif direfleksikan dalam konsep, putusan, teori, dan sebagainya, dan yang dikaitkan dengan pemecahan masalah-masalah. Pikiran mencakup proses-proses seperti: abstraksi, analisis, sintesis, perumusan tugas-tugas tertentu dan penemuan pemecahan-pemecahannya, peningkatan hipotesis, ide, dan sebagainya. Proses pikiran secara tetap (akan) menghasilkan suatu ide (pemikiran). Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Cet.II, Jakarta, Gramedia, 2000, hal:846-847.

Page 37: data baru 1

22

Sebagai kesimpulan sementara (hipotesis) yang bisa penulis

sampaikan adalah bahwa semua pemikiran H.A.R. Tilaar menekankan

pada pentingnya pendidikan berbasis budaya, pendidikan merupakan

proses membudaya sehingga antara pendidikan dan kebudayaan terjalin

hubungan yang sangat erat, oleh sebab itu pendidikan tidak bisa

dipisahkan dari akar budaya yang telah ada dasn tumbuh secara dinamis

dalam kehidupan masyarakat Indonesia; baik dalam kaitannya dengan

perbaikan kondisi pendidikan dewasa ini atau pun dalam idealita

pendidikan futuristik.

F. Metodologi Penelitian

1. Obyek dan Lingkup Studi

Berdasarkan judul yang penulis angkat, maka penelitian karya

ilmiah ini difokuskan pada obyek kajian tentang pendidikan berbasis

budaya, yang merupakan sebuah analisa tentang makna pendidikan,

hubungan antara pendidikan dan kebudayaan, serta upaya konstruktif

dalam pengembangan konsep yang selama ini menjadi wacana menarik

dan coba disosialisasikan penerapannya secara nasional di Indonesia.

Smentara penulis membatasi ruang lingkup studi pada pemikiran-

pemikiran H.A.R. Tilaar sebagai sentral penelitian.

38 Nurcholish Madjid, Kata Pengantar, dalam Ihwanuddin, dkk., Pendidikan untuk Indonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M. Sc. Ed, Jakarta, Grasindo, 2002, hal:xxxi. 39 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal:553-554.

Page 38: data baru 1

23

2. Jenis Penelitian

Dengan membatasi obyek studi dan ruang lingkup

permasalahannya, maka jenis penelitian dalam penelitian karya ilmiah ini,

penulis menggunakan library research atau penulisan berdasarkan

literatur (kajian pustaka).40 Dengan demikian penelitian karya ilmiah ini

dilakukan berdasarkan hasil studi terhadap beberapa bahan pustaka yang

relevan baik yang secara khusus membahas tentang pendidikan berbasis

budaya maupun upaya-upaya pembenahan pendidikan nasional, serta

beberapa tulisan yang ada kaitannya dengan wacana pendidikan

berbasis budaya.

Selain itu dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan

yang bersifat deskriptif-kualitatif, yakni menjelaskan keadaan atau

menggambarkan secara mendalam keadaan atau fakta yang ada tanpa

mengkonversikannya ke dalam bentuk angka-angka.41

40 Yang dimaksud dengan penelitian jenis kajian pustaka adalah kajian yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada kajian kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Kajian pustaka semacam ini biasanya dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau informasi dari berbagai sumber pustaka dan kemudian menyajikannya dengan cara baru atau keperluan baru. Tim Penyusun Pedoman Penelitian karya ilmiah IKIP Malang, Pedoman Penelitian karya ilmiah Skripsi, Artikel, dan Makalah, Malang, IKIP Press, 1993, hal:1-2.

41 Lihat: Sofyan Safri Harahap, Tips Menulis Skripsi & Menghadapi Ujian Komprehensif, Jakarta, Pustaka Quantum, 2001, hal:73-76.

Page 39: data baru 1

24

3. Sumber Data

Dalam setiap penelitian sumber data merupakan komponen

utama, tanpa sumber data penelitian tidak akan bisa berjalan. Untuk itu

dalam penelitian karya ilmiah ini, penulisan menggunakan sumber data

primer dan sumber data sekunder.42

Adapun yang menjadi data primer atau sumber datanya adalah buku-

buku karya H.A.R.Tilaar, antara lain: (1). Analisis Kebijakan Pendidikan

Suatu Pengantar (1993), (2). Pengembangan Sumber Daya Menusia

dalam Era Globalisasi, Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan

Pelatihan Menuju 2020 (1997), (3). Beberapa Agenda Reformasi

Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad-21 (1999), (4). Membenahi

Pendidikan Nasional (2002), (5). Pendidikan, Kebudayaan, dan

Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional

(2000), (6). Paradigma Baru Pendidikan Nasional (2000), (7). Manajemen

Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan (2001), (8).

Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformetif

untuk Indonesia (2002). Sedangakan sumber data sekunder adalah buku-

buku dan literatur-literatur lain yang terkait dengan tema utama karya

ilmiah ini.

42 Lihat Saifuddin azwar, Metode Penelitian, Cet. II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal:91

Page 40: data baru 1

25

4. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan metode yang digunakan, maka Teknik

pengumpulan data yang penulis anggap tepat dalam library research

adalah teknik dokumenter, yakni mengumpulkan dan menelaah berbagai

sumber berupa buku-buku, makalah, artikel, jurnal, majalah, koran, dan

berbagai literatur ilmiah lainnya dari karya atau pemikiran para pakar,

intelektual, praktisi, maupun para pengambil kebijakan yang berkompeten

di bidang pendidikan, di mana karya-karya tersebut mempunyai

keterkaitan dengan kajian tentang pendidikan berbasis budaya.43

5. Teknik Analisa Data

Sesuai dengan jenis dan sifat dari data yang diperoleh dalam

penelitian ini, maka Teknik analisis data yang digunakan adalah content

analysis atau analisis isi. Menurut Soejono danAbdurrahman, mengutip

dari Hadari Nawawi (1983), bahwa analisis isi dalam penelitian dilakukan

untuk mengungkapkan isi sebuah buku yang menggambarkan situasi

penulis dan masyarakat pada waktu buku itu ditulis. Di samping itu

dengan cara ini dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang

lain dalam bidang yang sama, baik berdasarkan perbedaan waktu

43 Lihat: Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penyusunan Skripsi Bidang Ilmu Agama Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hal:66. Lihat juga: Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hal:136.

Page 41: data baru 1

26

penulisannya maupun mengenai standart kualitas buku-buku tersebut

dalam mencapai sasarannya sebagai bahan yang disajikan kepada

masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu.44

6. Metode Penelitian

Adapun langkah metodis yang digunakan dalam menyusun

penelitian karya ilmiah ini adalah:

a. Deskriptif

Menurut Nazir, dengan mengutip Whitney (1960), metode

deskriptif adalah:

Pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.45

Metode ini bertujuan untuk membuat deskripsi, yaitu gambaran

atau lukisan secara sistematis, aktual dan akurat mengenai fenomena

atau hubungan antar fenomena yang disellidiki.46

44Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta, Rineka Cipta, 1999, hal:14. Dengan teknik ini, maka data kualitatif tekstual yang diperoleh dikatagorikan dengan memilah data sejenis kemudian menganalisanyasecara kritis untuk mendapatkan suatu formulasi analisa; dalam mengelola data tersebut peneliti lebih memfokuskan pada isi buku atau hasil pemikiran H.A.R. Tilaar serta buku-buku atau pemikiran-pemikiran lain yang ada kaitannya dengan wacana tentang pendidikan berbasis budaya dari pakar yang berkompeten, untuk selanjutnya dipaparkan secara sistematis, Neong Muhajir, Metodologi Penelitian kualitatif, Yogyakarta, Reka Surasin, 1989, hal:69. Lihat juga: Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. XIII, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000, hal:189-199. 45 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Cet.IV, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1999, hal:63-64.

Page 42: data baru 1

27

Dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk

memaparkan konsep para cendekiawan, tokoh dan ahli di bidang

pendidikan yang nantinya dapat mempermudah memahami dan

menghubungkan jalan pikiran maupun makna yang terkandung di

dalamnya secara runtut dan komprehensif.

b. Analisis-Sintesis

Metode analisis adalah metode yang dipakai untuk mendapatkan

konsep-konsep ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap obyek

yang diteliti; atau cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah

tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu

dengan pengertian yang lain, untuk sekedar memperoleh kejelasan

mengenai hal yang dimaksud.47 Dalam penelitian ini pendekatan

analisis dimaksudkan untuk menelaah secara kritis tentang istilah,

pengertian yang dikemukakan oleh para tokoh atau pemikir sehingga

dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian

menemukan suatu pengertian baru yang lebih lengkap dan tepat.

46 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2001, hal: 136-137. Menurut Pardoyo, metode deskriptif bisa digunakan untuk mengetahui latar belakang munculnya sebuah teori, kemudian memaparkan kembali teori tersebut dengan maksud untuk memahami jalan pikiran maupun makna yang terkandung di dalamnya secara runtut dan komprehensif. Lihat: Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik, Jakarta, Grafiti, 1993, hal:13. 47 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. II, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997, hal:59.

Page 43: data baru 1

28

Sedangkan metode sintesis adalah metode yang dipakai untuk

mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan cara mengumpulkan

atau menggabungkan. Metode ini pula berarti cara penanganan

terhadap obyek ilmiah tertentu dengan jalan menggebung-gabungkan

pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, yang pada

akhirnya dapat diperoleh pengertian yang sifatnya baru.48

Metode analisi tidak bisa dilepaskan dari metode sintesis, karena

metode sintesis merupakan suatu metode yang menyatukan

komponen-komponen yang terpisah, kemudian darinya disusun

menjadi satu tubuh keseluruhan yang saling terkait secara konsisten

dan koheren.49

Dengan pengkajian analisis-sintesis dalam penulisan ini,

dimungkinkan untuk mengungkapkan hakekat pemikiran seorang

tokoh dalam kurun waktu tertentu tentang pemikiran pendidikan

nasional tanpa melepaskan diri dari pendapat tokoh lain, untuk

kemudian dilakukan upaya memadukan pemikiran-pemikiran yang

searah/seide kedalam sebuah formulasi yang baru.

c. Hermeneutik

Secara etimologis, kata ”hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani

hermeneuein yang berarti menafsirkan, sehingga secara harfiah

48 Ibid, hal:61 49 Jujun S. Suriyasumantri, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Suatu Pengantar), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:ix.

Page 44: data baru 1

29

hermeneutika dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi.

Menurut Palmer (1979) hermeneutika adalah proses mengubah

sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Metode

hermeneutik disebut juga dengan langkah metodis interpretatif, yang

merupakan cara untuk memperoleh pemahaman yang mendalam,

dengan mengadakan penafsiran terhadap penelitian yang diteliti.50

Dalam penelitian karya ilmiah ini, yang diinterpretasikan adalah

berbagai Konsep dan pandangan berkaitan dengan makna pendidikan

dan kebudayaan berdasarkan analisis konseptual H.A.R. Tilaar serta

para tokoh dan pemerhati pendidikan untuk kemudian didialogkan

dengan realitas yang sedang terjadi pada dunia pendidikan naional

Indonesia. Dalam hal ini tinjauannya dibuat berdasarkan corak dan

model yang pernah ada dan atau yang sedang berlaku. Dengan

metode ini pula diharapkan dapat diungkap landasan sosio-kultural

munculnya ide-ide H.A.R. Tilaar.

d. Komparatif

Metode komparatif ini digunakan untuk mengetahui pandangan

seorang tokoh dan tokoh lain, baik menyangkut persamaan atau

50 Lihat: E. Sumariyono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, hal:23-24. Hermeneutik merupakan ancangan teoritis yang bermula dari disiplin teologi, filsafat, dan kritik sastra. Ancangan ini dapat menerangi penelitian kualitatif dan sekaligus memberikan perspektif terhadap semua orientasi teoritis lain yang telah dibahas. Amirul Hadi dan Hariyono, Metodologi Penelitian Pendidikan 2 Untuk IAIN dan PTAIS Semua Fakultas dan Jurusan Komponen MKK, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hal:71.

Page 45: data baru 1

30

perbedaan pemikirannya, sehingga dapat ditarik ”benang merah” atau

kejelasan hubungan yang menghubungkan antar pandangan yang

ada, juga pengaruh dan tanggapan atau kritik terhadap para tokoh lain

dan para tokoh berikutnya;51 atau dengan pengertian lain, metode

hermeneutik adalah metode pembahasan yang dilakukan dengan

menbandingkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang

dipandang sebanding untuk dicari perbedaan dan persamaannya

secara interpretatif, kemudian dari perbandingan itu diambil

kesimpulan.

Berdasarkan pengertian ini, Surahmad mengatakan bahwa

metode komparasi adalah memilih faktor-faktor tertentu yang

berhubungan dengan situasi dan fenomena yang diselidiki dengan

membandingkan satu faktor dengan faktor lain.52

Dengan demikian, yang akan menjadi obyek komparasi dalam

penelitian ilmiah ini adalah segenap pemikiran H.A.R. Tilaar dan para

pakar pendidikan, dengan harapan dapat diketahui titik temunya untuk

menjelaskan landasan konseptual , hubungan antara budaya dan

51 Lihat: Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV, Jakarta, Rineka Cipta, 1998, hal:247-248. 52 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, Edisi VII, Bandung, Tarsito, 1989, hal:143.

Page 46: data baru 1

31

pendidikan serta formulasi konsep pendidikan yang dapat digunakan

sebagai dasar pengembangan pendidikan nasional Indonesia.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang isi dan esensi dari

karya ilmiah ini, maka penulisannya dilakukan berdasarkan sistematika

berikut:

BAB I: Menguraikan berbagai hal pendahuluan yang menggambarkan

tentang latar belakang berkaitan dengan dunia pendidikan

nasional yang terkandung dalam penelitian ilmiah in; yang

didalamnya berisi rumusan masalah, tujuan pembahasan,

kegunaan penelitian, pembatasan masalah dan metode

pembahasan. Bab ini merupakan pengantar menuju inti

pembahasan.

BAB II: Merupakan tinjauan filosofis pendidikan berbasis budaya yang

membahas hakekat pendidikan, hakekat kebudayaan, hubungan

pendidikan dan kebudayaan, serta hakekat tujuan pendidikan

nasional.

BAB III:Merupakan Obyek dari penelitian karya ilmiah ini; yang

membahas pemikiran H.A.R. Tilaar tentang konsep dan

pengembangan pendidikan nasional yang berbasis pada budaya.

Bab ini berisi latar belakang mengenai biografi dan akar pemikiran

Page 47: data baru 1

32

H.A.R. Tilaar, relasi pendidikan dan kebudayaan, serta pendidikan

berbasis budaya dalam sistem pendidikan nasional.

BAB IV:Analisis; berisi uraian tentang pendidikan sebagai proses

pembudayaan dan pendidikan nilai, perlunya pendidikan sebagai

sarana pembentuk watak generasi bangsa, kritik atas kekeliruan

kebijakan pemerintah, paradigma baru sistem pendidikan

nasional (sebuah pemikiran baru); yang memuat pembahasan

tentang nilai dasar pendidikan, memperhatikan fungsi sosiologi

pendidikan, relasi kebudayaan dan pendidikan, pendidikan

sebagai the agent of change, dan pemerataan kesempatan kerja.

BAB V:Merupakan penutup yang meliputi kesimpulan-kesimpulan dari

seluruh uraian yang telah dikemukakan dan sekaligus sebagai

jawaban terhadap permasalahn yang terkandung dalam karya

ilmiah ini; bab V ini juga berisi saran-saran.

Page 48: data baru 1

33

BAB II

TINJAUAN FILOSOFIS PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

A. Hakikat Pendidikan

Pendidikan dipahami secara luas dan umum sebagai usaha

sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan

latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri

ke arah tercapainya pribadi-pribadi yang dewasa-susila1. Menurut

Dharmaningtyas, mengutip pendapat Sudarminta, kata pendidikan itu

sendiri mengandung sekurang-kurangnya empat pengertian, yaitu bentuk

kegiatan, proses, buah atau produk yang dihasilkan dari proses tersebut,

serta sebagai ilmu2.

Purwanto mendefinisikan pendidikan sebagai segala usaha

orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin

perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Atau dapat

dikatakan bahwa pendidikan adalah pimpinan yang diberikan dengan

sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya

(jasmani dan rohani) agar berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat3.

1Komponen yang tidak bisa dilupakan dan yang menentukan proses pendidikan adalah pendidikan dan anak didik. Anak didik sebagai individu yang akan dipenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah lakunya. Sedang pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan tadi. Selain itu masih ada komponen-komponen lain yang tidak bisa dinafikan keberadaannya, seperti metode, kurikulum, serta sarana-prasarana. Lihat : Tim D.J.P.K.A.I. Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu

Page 49: data baru 1

34

Drijaraka mengatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya

adalah suatau perbuatan fundamental dalam bentuk komunikasi antara

pribadi dan dalam komunikasi itu terjadi proses pemanusiaan manusia

muda, dalam arti proses hominisasi (proses menjadikan seseorang

sebagai manusia), dan humanisasi (proses pengembangan kemanusiaan

manusia). Pendidikan harus membantu seseorang agar tahu dan mau

bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara instinktif saja. Jadi

pendidikan adalah proses hominisasi4.

Sementara tafsir secara umum memberikan pengertian bahwa :

Pendidikan ialah pengembangan pribadi dalam semua speknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidkan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal dan hati5.

Pendidikan Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum Fakultas / Jurusan / Program Studi Pendidikan. Jakarta, P.P.P.A Depag, 2000, hal: 143-160. 2Dharmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis (Evaluasi Pendidikan dimasa Krisis), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal:3. 3Pimpinan dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam penyesuaikan terhadap masyarakat. Tanpa pimpinan, peserta didik akan tumbuh ke arah pemuasan nafsu yang pada dasarnya selalu bertentangan dengan apa yang berlaku dalam masyarakat. Ini mengandung pengertian bahwa pendidikan merupakan proses sosialisasi sistem sosial masyarakat. Lihat: Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Cet. IX, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1997, hal: 10.

Ki Hajar Dewantara salah seorang tokoh pendidikan nasional merumuskan hakikat pendidikan sebagai usaha orang tua bagi anak-anak dengan maksud untuk menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan rohani dan jasmani yang ada pada anak-anak. Pendidikan juga dimaksudkan untuk menuntun segala kekuatan yang ada, agar masyarakat mencapai keselamatan dan

Page 50: data baru 1

35

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pada bab I pasal 1

ayat 1, juga merumuskan konsep pendidikan sebagai berikut :

Pendidikan adalah usaha dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mengendalikan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.6

Dari definisi di atas, sepintas dapat dicermati bahwa hakikat

pendidikan selalu terkait dengan siapa anak didik, pendidik, dan

lingkungan yang ada atau yang diciptakan dalam proses pendidikan. Oleh

karena itu untuk mengetahui hakikat pendidikan secara mendalam akan

selalu berkaitan dengan kepercayaan akan sifat-sifat hakiki kemanusiaan

dan lingkunga nimana anak didik berada;7 atau dapat juga dikatakan

bahwa hakikat pendidikan itu sangat terkait erat dengan ideologi mana

yang dianut dalam mengungkapkan hakikat pendidikan itu.8

Dalam dunia pendidikan, kepercayaan akan adanya sifat hakiki

kemanusiaan ini dipertentangkan oleh dua teori besar; teori empirisme

kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan semacam ini menurutnya bertujuan untuk mendapatkan kesempurnaan hidup lahir dan batin, baik sebagai perseorangan, maupun sebagai anggota masyarakat, Lok.Cit. 4N. Driyarkara, Tentang Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 1980, hal: 87. 5Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994, hal: 26.

Menurut Al-Syaibany, pengembangan pribadi dalam semua aspeknya tersebut hanya akan berhasil apabila proses pendidikan dapat dilaksanakan secara intensif antara peserta didik dengan alam sekitar. Ini karena peserta didik dengan alam sekitar. Ini karena peserta didik adalah bagian dari alam sekitar. Jadi proses

Page 51: data baru 1

36

nativisme. Teori empirisme dengan tokoh utamanya John Locke dan

Francis Bacon mengemukakan anak yang baru lahir itu dapat

diumpamakan sebagai a sheet of white paper avoid of all characters.

Anak yang baru lahir itu seperti kertas putih bersih yang belum ditulisi

yang tidak memiliki bakat dan pembawaan apa-apa. Anak akan memiliki

kemampuan sekehendak pendidiknya.9 Dalam konsepsi empirisme ini

dapat dilihat bahwa kekuatan pendidikan ada pada pendidik, sehingga

pendidik atau lingkungan berkuasa atas pembentukan anak.

Berlawanan dengan teori empirisme, teori nativisme dengan tokoh

utamanya Schopenhauer berpandangan bahwa tiap-tiap anak sejak

dilahirkan sudah memiliki berbagai pembawaan/faktor-faktor bawaan yang

akan berkembang sendiri menurut arahnya masing-masing. Pembawaan

anak-anak itu ada yang baik dan ada yang buruk, pendidikan tidak perlu

dan tidak berkuasa apa-apa.10

pendidikan harus dipahami sebagai totalitas interaksi dari kehidupan. Lihat: Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemahan oleh Langgulung Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hal: 57-58.6Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Beserta Penjelasannya, Bandung, Citra Umbara, 2003, hal: 3. 7Omi Intan Naomi, Mendidik si Alim, Pembangkang, Pemberontak, dalam Freire, dkk, Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis,Cet. III, Terjemahan Oleh Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal : xii.

Menurut Faisal, pendidikan adalah suatu institusi pengkonservasian suatu masyarakat. Pengembangan pendidikan mesti bertolak dari realitas sosial berdasarkan waktu dan tempat, oleh karena itu sangat urgen memahami konteks dimana pendidikan itu berlangsung; cita-cita pendidikan harus diangkat dari keadaan menyeluruh suatu masyarakat dan juga ligkungan sosial khusus/lokal. Lihat: Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, Surabaya, Usaha regional, Tanpa Tahun, hal :92-95 8Mansour Fakih, Idiologi dalam Pendidikan, dalam O’neil, Idiologi-Idiologi Pendidikan, Terjemahan Oleh Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal: xii.

Page 52: data baru 1

37

Kedua teori ini kemudian dipertemukan oleh teori konvergensi,

yang mengungkapkan bahwa anak yang baru lahir itu memiliki potensi

bawaan, akan tetapi potensi ini hanya akan berkembang sesuai dengan

lingkungan yang ada. Jadi ada faktor bawaan dan faktor lingkungan yang

sama-sama memiliki peran bagi pembentukan karakter anak didik.11

Selain sifat hakiki kemanusiaan yang dapat dikelompokkan dalam

tiga teori umum tersebut diatas, konsep pendidikan juga sangat

berkaiatan dengan sifat dasar lingkungan sosial kemasyarakatan terkait

dengan sifat dasar manusia. Menururt Girox dan Aronowiz konsep

pendidikan juga dapat dipetakan dalam tiga aliran yang menggunakan

paradigma berbeda; paradigma konservatif, liberal dan kritis.12

Aliran yang menggunakan paradigma konservatif akan

menganggap bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan hukum

keharusan alami, suatu hal yang mustahil untuk dihindari. Hal ini

merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi

11Lihat : Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan , Surabaya, Usaha Nasional, 1973, hal : 86-87 12Lihat : Mansour Fakih, Op.Cit; hal: xiii-xvi. Idiologi pendidikan yang dipetakan oleh Gironx ini sejalan dengan analisis Freire (1970) tentang kesadaran idiologi masyarakat. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: (1) kesadaran magis, murid secara dogmatis menerima ”keberanian” dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ”makna” idiologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. (2) kesadaran naif, tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk berdaptasi dengan sistem yang (sebelumnya) sudah ditata (dan dianggap benar), (3) kesadaran kritis , dalam kesadaran kritis, tugas pendidikan adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan

Page 53: data baru 1

38

mereka bukanlah hal yang harus diperjuangkan, karena perubahan akan

mejadikan manusia lebih sengsara saja. Paradigma konservatif ini

dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak

dapat merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial,

hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia

yang tahu makna dinalik itu semua. Oleh karena itu tugas pendidikan

menurut aliran ini cenderung sebagai upaya melanggengkan struktur

sosial yang telah ada, bukan sebagai agen perubahan sosial.13

Aliran yang menggunakan paradigma liberal berangkat dari sebuah

keyakinan bahwa memang ada masalah dalam kehidupan sosial

kemasyarakatan, tapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan

persoalan ekonomi dan politik masyarakat. Kaum liberal beranggapan

bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang

berbeda. Mereka tidak melihat pendidikan dalam struktur kelas dan

dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender di masyarakat luas.

Bahkan pendidikan dimaksudkan sebagai sarana menstabilkan norma

dan nilai dalam masyarakat. Pendidikan juga dimaksudkan sebagai upaya

untuk mereproduksi dan mensosialisasikan nilai-nilai tata susila, dan nilai-

nilai dasar lain agar masyarakat luas berfungsi secara baik.14

struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. 13Ibid, hal : xiii. Menurut Tilaar, dalam aliran konservatif tidak terletak kemungkinan-kemungkinan baru di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan seterusnya di dalam kehidupan sosial. H.A.R.Tilaar, 20026, Op. Cit, hal: 247.Namun demikian, pada era konservatif ini, telah dirintis upaya

Page 54: data baru 1

39

Akar dari konsep pendidikan liberal adalah liberalisme Barat, yaitu

suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan,

melindungi hak dan kebebasan serta mengidentifikasi problem dan upaya

perubahan sosial secara instrumental demi menjaga stabilitas jangka

panjang.15

Menurut Giroux, aliran terakhir yang lebih kreatif dan kritis adalah

aliran yang menggunakan Paradigma kritis. Kalau aliran konservatif

pendidikan bertujuan untuk melanggengkan status quo dan kaum liberal

menginginkan adanya perubahan yang moderat bagi upaya menciptakan

stabilitas jangka panjang, maka paradigma kritis menghendaki perubahan

struktur secara fundamental di dalam politik ekonomi masyarakat di mana

pendidikan berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender tercermin

pula dalam dunia pendidikan, sehingga masalah utama dalam dunia

pendidikan adalah bagaimana melakukan refleksi kritis terhadap ideologi/

paham yang berkuasa kearah transformasi sosial yang ideal. Tugas

utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap

sistem dan struktur ketidakadilan serta melakukan dekonstruksi dan

14 Ibid, hal: xiv. Tilaar menilai bahwa meskipun aliran liberal menjadikan kebutuhan anak sebagai titik tolak dari praktek pendidikan. Namun perlu diingat bahwa seorang anak tidak semata-mata sesuai dengan kebutuhannya, akan tetapi seorang anak juga hidup dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Dengan demikian, lanjut Tilaar, kekurangan dari teori Liberal adalah masalah pendidikan anak di lingkungan budaya dan masyarakat perlu mendapatkan perhatian yang cukup menentukan. H.A.R.Tilaar, 20026, Op. Cit, hal: 249.

Page 55: data baru 1

40

advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Menurut paham ini,

pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif

maupun berjarak dengan masyarakat. Visi pendidikan adalah melakukan

kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil

dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil;

atau dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah upaya

memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena

sistem dan struktur yang tidak adil16

Memanusiakan manusia adalah tugas pokok dan yang senantiasa

dicita-citakan oleh dunia pendidikan.17 Buchori mengungkapkan bahwa

basic setiap kegiatan pendidikan seharusnya diarahkan kepada segenap

kegiatan yang mempersiapkan anak-anak untuk mampu menjalankan

kehidupan (preparing children for life), bukan sekedar mempersiapkan

anak-anak untuk pekerjaan. Inilah dasar yang sangat diperlukan guna

mempersiapkan anak-anak menjadi manusia. Menurut Buchori,

pendidikan seharusnya juga mampu membekali anak didik untuk

16Ibid, hal: xvi. Dalam pandangan Tilaar, aliran kritis tersebut disamartikan dengan pedagogik radikal atau pedagogik humaniter. Lebih lanjut, Tilaar menjelaskan bahwa pedagogik radikal adalah pedagogik pembebasan, bukansaja membebaskan individu dari keterbelakangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan, di dalam ekonomi karena tertimpa beban kemiskinan yang berstruktur, tetapi juga penindasan terhadap hak-hak asasinya sebagai manusia. H.A.R. Tilaar, Op, Cit. Hal: 254. 17Lihat: Mansour Fakih, Komodifikasi Pendidikan Sebagai Agama Kemanusiaan, dalam Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetensi dan Keadilan, Cet. II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal, hal: 1-5.

Page 56: data baru 1

41

mengatasi pendangkalan hidup. Untuk itu pendidikan perlu membantu

anak didik agar dapat memuliakan hidup (ennobling life)18.

Dari sini pendidikan ditantang untuk tidak hanya membantu anak

didik agar hidupnya berhasil, tetapi juga agar hidupnya lebih bermakna.19.

Maka pendidikan hars dapat memberikan kearifan, baik kearifan dalam

memahami siapakah dirinya sebagai individu, maupun kearifan dalam

memposisikan dirinya dalam kehhidupan sosial kemasyarakatan maupun

kehidupan berbangsa dan bernegara.20 Manusia tidak hanya terdiri dari

intelektualitasnya saja. Maka pendidikan yang baik tidak boleh tergoda

18Lihat: Muchtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hal: 40-43. 19 Akhir-akhir ini orang sering risau menghadapi persoalan pendidikan, lebih-lebih karena belakangan ini sederet peristiwa di dunia pendidikan kita mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat. Secara umum kerisauan itu tampak dalam tingkat lembaga maupun personal. Pada tingkat lembaga, masyarakat dirisaukan oleh kecenderungan pemerintah untuk melakukan penyeragaman atas berbagai aspek pendidikan sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, samapai pada taraf yang dirasakan memasung kebebasan dan kreativitas. Sedang pada tingkat personal pendidikan, kita semua sempat terkesima oleh serentetan berita dari pelosok tanah air tentang aneka tindak kekerasan antar murid, atau kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru terhadap murid-murid yang jelas-jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan. Lihat: Supratiknya, Hantu Masyarakat itu Bernama Pendidikan, dalam Sidhunata (Ed.), Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hal: 196. 20Asumsi ini bertolak dari kenyataan pendidikan yang selalu diarahkan untuk pengembangan nilai-nilai kehidupan manusia. Di dalam pengembangan nilai ini tersirat pengertian manfaat yang ingin dicapai oleh manusia dalam hidupnya. Sehingga apa yang ingin dikembangkan merupakan apa yang dapat dimanfaatkan dari arah pengembangan itu sendiri. Ada empat aspek pokok yang menjadi arah pendidikan, yaitu: (1) Pengembangan manusia sebagai makhluk individu, (2) Pengembangan manusia sebagai makhluk sosial, (3) Pengembangan manusia sebagai makhluk susila, (4) Pengembangan manusia sebagai makhluk religius. Dwi Nugroho Hidayanto (Ed.), Mengenal Manusia dan Pendidikan, Yogyakarta, Liberty, 1988, hal: 9.

Page 57: data baru 1

42

untuk menekankan kehebatan dan perkembangan intelektualitas semata-

mata. Disamping perkembangan intelektualitas, pendidikan juga harus

memperhatikan aspek pembinaan hati nurani, jati diri, rasa tanggung jawab,

sikap egaliter dan kepekaan normatif yang menyangkut nilai dan tata nilai.

Nilai, jati diri dan sikap egaliter itu menyangkut hati dan afeksi, bukan

masalah pengetahuan pengetahuan semata-mata. Oleh karenanya

pendidikan harus membantu membentuk hati dan perasaan, pendidikan

harus dengan sadar mampu membina cipta, rasa dan karsa anak didik,

melakukan pembinaan kognitif, afektif dan psikomotor secara simultan.21

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan

dimaksudkan untuk membimbing dan mengarahkan peserta didik agar

bisa mencapai kodrat kemanusiaannya, baik dalam kapasitasnya sebagai

individu maupun sebagai makhluk sosial.

b. Hakikat Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (1990), kata kebudayaan berasal dari bahasa

Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau

akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang

21Lihat: Muchtar Buchori, Op. Cit. Hal: 68-71 Dengan demikian, pendidikan harus dipahami sebagai sebuah proses

untuk mengarahkan peserta didik sebagai manusia sempurna. Manusia dikatakan sempurna apabila dapat mengembangkan unsur rasionalitas, kesadaran, akal budi (pengetahuannya); mengembangkan segi spritualitas, moralitas, sosialitas, keselarasan dengan alam, serta rasa dan emosinya. Lihat: Paul Suparno Sj., dkk., Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hal: 14.

Page 58: data baru 1

43

bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata budaya merupakan

perkembangan majemuk dari kata budi daya yang berarti daya dari budi,

sehingga dibedakan antara budaya yang berarti daya dar budi yang

berupa cipta, rasa dan karsa, dengan kebudayaan yang diartikan sebagai

hasil cipta, rasa dan karsa.22

Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar

berpikir, merasa dan mempercayai dan mengusahakan apa yang patut

menurut budayanya.23 Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik

komunikasi, tindakan-tindakan sosial kegiatan-kegiatan ekonomi dan

politik dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya . Apa yang

orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka

hidup dan berkomunikasi merupakan respon terhadap fungsi-fungsi dalam

budaya mereka.24

22M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Cet. VIII, Bandung, Refini Aditama, 2001, hal: 21.

Koentjaraningrat membangun konsep kebudayaan menjadi dua aspek, yakni: (1) Kebudayaan dalam arti sempit, adalah pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Aatau singkatnya kebudayaan adalah kesenian. (2) Kebudayaan dalam arti luas, adalah totalitas dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetus oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Lihat: Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Cet. XIX, Gramedia, Jakarta, 2000, hal: 1-2. 23Hal ini biasanya dilakukan melalui pola tingkah laku yang merupakan perwujudan dari kepribadian anggota masyarakat. Pola tingkah laku digariskan oleh pola cita, yang bersumber dari kebudayaan. Kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendfasari perilaku individu. Tim D.J.P.K.A.I. Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Antropologi Buku Daras Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi Antropologi, Jakarta, D.P.P.A. Depag, 2000, hal: 111. 24Richard E. Porter & Samovar, Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antar

Page 59: data baru 1

44

Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara

formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman,

kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirearkhi, agama, konsep alam

semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar

orang dari dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa, dana dalam bentuk

kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagaimodel-model bagi tindakan-

tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan

orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan

geografis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkenaan

dengan sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting

dalam kehidupan sehari-hari.25

Budaya, dalam Mulyana dan Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Cet. V, Bandung, Remaja Rosda, 2000, hal:18

Secara struktural manusia merupakan pelaku yang bertingkah laku dalam suatu lingkungan yang mengkondisikannya, sedangkan lingkungan bersifat dinamis dan dapat berubah berkat aktivitas pelaku yang mempunyai kemampuan untuk mencari alternatif bagi lingkungan hidupnya. Dari sini kemudian muncul istilah: ”Cara hidup menentukan pandangan hidup seseorang.” Soerjanto Poespowardojo, Alam Pikiran dan Kebudayaan, dalam Sutrisno (Ed.), Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya, Yogyakarta, Liberty, 1986, hal: 29. 25Richard E. Porter & Samovar, Lok. Cit.

Asumsi filosofis menggaris bawahi adanya nilai-nilai, hubungan-hubungan sosial, kebiasaan-kebiasaan dan berbagai pandangan hidup, yang secara signifikan membedakan antara masing-masing peradaban (kebudayaan). Perbedaan-perbedaan tersebut setiap saat akan saling bersentuhan antara budaya yang satu dengan yang lain seiring revivalitas serta upaya mencapai kesejahteraan oleh suatu bangsa. Inilah yang menjadi asumsi dasar bagi Hungtington dengan mengatakan bahwa sumber konflik dunia di masa mendatang adalah budaya. Lihat: Samuel P. Hungtington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet. II,

Page 60: data baru 1

45

Taylor dalam bukunya Primitif Culture (1871), mendefinisikan budaya

sebagai suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan,

kepercayaan seni, moral, hukum, adat istiadat serta kemampuan-

kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai

anggota masyarakat.26

Implikasi dari rumusan kebudayaan Taylor itu antara lain dapat

dikemukakan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam kebudayaan ada sebuah prasyarat, yakni adanya keteraturan

dalam kehidupan masyarakat. Hal ini tidak berarti bahwa individu

hanyalah sekedar pelengkap dalam kehidupan masyarakat yang

tertata, namun yang diperlukan disini adalah kebiasaan individu yang

bertanggungjawab dalam mengikuti keteraturan dalam hidup

bermasyarakat.

2. Kebudayaan merupakan proses pemanusiaan, artinya di dalam

kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, dan motivasi.

Di dalam proses pemanusiaan tersebut yang lebih penting bukanlah

sekedar prosedur dan teknologi, melainkan juga yang lebih penting

adalah isi atau materi dari perubahan dan perkembangan yang terjadi.

Terjemahan oleh Ismail, Yogyakarta, Qalam, 2001, hal: 7-11 26Wahyu Ms., Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Surabaya, Usaha Nasional, 1986, hal: 45. Lihat juga: Hungtington, Op. Cit. hal: 40; yang mengatakan bahwa kebudayaan menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia, yang mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi dan pola-pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi-generasi.

Page 61: data baru 1

46

3. Proses pemanusiaan manusia seharusnya diarahkan kepada apa

yang diinginkan (desirable) berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan

ideal.27

Dari beberapa definisi di atas, jika dicermati akan mencakup hal-hal

sebagai berikut :

1. Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks. Hal ini

berarti bahwa kebudayaan merupakan suatu kesatuan dan bukan

jumlah dari bagian-bagian. Keseluruhannya merupakan pola-pola atau

desain tertentu yang unik. Setiap kebudayaan memiliki mozaik yang

spesifik.

2. Kebudayaan merupakan suatu prestasi kreasi manusia yang

amaterial, artinya berupa bentuk-bentuk prestasi psikologis, seperti;

ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni dan sebagainya.

3. Kebudayaan dapat pula berbentuk fisik seperti hasil seni, terbentuknya

kelompok-kelompok keluarga.

4. Kebudayaan dapat pula berbentuk kelakuan-kelakuan yang terarah,

seperti hukum, adat-istiadat yang berkesinambungan.

5. Kebudayaan merupakan suatu realitas yang objektif, yang dapat

dianalisa.

27H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. II, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000, hal: 41.

Page 62: data baru 1

47

6. Kebudayaan diperoleh dari lingkungan.

7. Kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang terasing,

tetapi yang hidup dalam masyarakat tertentu.

Schutz (1970) menjelaskan bahwa seseorang memiliki sistem

pengetahuan dari budayanya berupa realitas yang tidak pernah

dipersoalkan lagi. Realitas ini menyediakan skema interpretatif bagi

seseorang untuk menfsirkan tindakannya dan tindakan orang lain. Sistem

makna kultural antara lain merupakan aturan budaya (cultural rules) dan

tema nilai (value themes).29

Aturan budaya memiliki tiga ciri. Pertama aturan adalah proposisi-

proposisi yang membimbing tindakan (Harre dan Scord, 1972). Aturan itu

memberi resep budaya bagi tindakan. Ia memberi tahu seseorang tentang

apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya untuk

memperoleh hasil yang diinginkan. Kedua, aturan menyediakan

seperangkat harapan. Ia memberi tahu seseorang tentang apa yang harus

diharapkan dari yang lain. Ketiga, aturan budaya memberi seseorang

makna. Makna suatu tindakan biasanya muncul dari aturan-aturan yang

diterapkan. Tanpa pengetahuan tentang aturan, seseorang tidak dapat

memahami maksud dan makna suatu tindakan.30

28Ibid, hal: 39-40. 29Jennifer Noesjirwan, Pengalaman Lintas Budaya, dalam Mulyana dan Rakhmat, Op. Cit., hal: 78 30Aturan akan senantiasa berhubungan dengan situasi-situasi sosial yang berulang.

Page 63: data baru 1

48

Kebudayaan merupakan penciptaan, penertiban, dan pengolahan

nilai-nilai insani. Tercakup didalamnya usaha untuk memanusiakan diri di

dalam alam lingkungan, baik fisik maupun sosial. Nilai-nilai yang ada

ditetapkan atau dikembangkan sehingga menjadi suatu yang sempurna.31

Dengan demikian manusia dalam proses budaya akan memanusiakan

dirinya dan memanusiakan lingkungan dirinya.

C. Hubungan Pendidikan dan Kebudayaan

Apabila disimak berbagai usaha para pakar untuk mencari jawaban

terhadap apakah kebudayaan itu, maka dapat disimpulkan bahwa inti dari

setiap kebudayaan adalah manusia.32 Dengan kata lain, kebudayaan

adalah khas insani. Hanya manusia yang berbudaya dan membudaya.33

Aturan menetapkan berbagai situasi sosial yang ditata dan dipola oleh prinsip kesatuan nilai budaya. Dari sini maka diketahui bahwa dalam suatu budaya yang Sberbeda akan menetapkan aturan yang berbeda untuk mencapai hal yang mungkin sama. Harapan akan tindakan juga berlainan. Begitu juga makna dari peristiwa yang sama; konsekuensinya, tindakan yang sama dinilai secara berlainan pula. Ada konflik antara struktur makna suatu budaya denganstruktur makna budaya lainnya. Derajat dan bentuk konflik tersebut adalah fungsi derajat dan tipe perbedaan antara aturan dan nilai yang berlaku dalam tiap-tiap budaya. Lihat: Ibid, hal: 179. 31Berpijak pada uaraian di atas maka hakekat kebudayaan adalah perwujudan proses pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam suatu perkembangan masyarakat; yang mencakup aspek-aspek esensial sebagai berikut: nilai insaniah, kontinuitas, totalitas, tersusun dan teratur, masyarakat. Slamet Sutrisno, Sedikit Tentang Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1983, hal: 25-26 32 Moh. Said, Etik Masyarakat Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980, hal: 102.

Menurut Sutrisnokebudayaan memang tidak pernah terelakkan dari lingkup kehidupan manusia, karena dalam kebudayaan manusia memanifestasikan pikiran dan perasaan, sikap dan kehendak, serta perilaku faktual. Kebudayaan bagi umat manusia dimaksudkan sebagai humanisasi, hal ini karena melalui pembudayaan manusia dapat mengaktualisasikan eksistensinya melalui pola-pola dan sistem kemasyarakatan yang terus berkembang secara dinamis. Slamet Sutrisno,

Page 64: data baru 1

49

Tidak mengherankan apabila usaha untuk mencari jawaban

terhadap hakikat kebudayaan akan singgah dalam pertanyaan mengenai

hakikat manusia.34 Disinilah terletak afinitas (daya gabung) antara

pendidikan dan kebudayaan. Kedua-duanya merupakan khas insani, oleh

karenanya pendidikan dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu

dengan yang lain.35

Manusia dengan lingkungan budayanya merupakan kesatuan

dunia besar yang dinamis, yang akan terus berkembang dan berubah.

Dinamika ini disebabkan karena manusia sanggup mengambil posisi dan

mampu mengubah lingkungannya kemudian membangun segenap energi

Karakteristik Kebudayaan dan Kaitannya denganm Pembangunan, dalam Sutrisno (ED.), Op. Cit, hal: 60-61. 33Lihat: Ali Syaifullah, Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Surabaya, Usaha Nasional, 1982, hal: 13-14.

Kebudayaan tidak langsung dimiliki manusia sejak lahir, melainkan diperoleh dalam hubungannya dengan manusia lain dalam suatu sistem kemasyarakatan. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan produk dari pikiran dan karya manusia. Produk itu kemudian menjadi suatu yang ada di luar dirinya dan dipelajari oleh individu lain melalui internalisasi dan adaptasi. Dwi Nugroho Hidayanto, Op. Cit., hal: 24 34Hal ini karena hanya manusialah satu-satunya makhluk Tuhan yang sanggup menerima mandat untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini. Lihat: Ahmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Kajian Filsafat Ilmu, Yogyakarta, LESFI, 2002, hal: 9. 35H.A.R. Tilaar, Op. Cit., hal: 37-38

Menurut Ahmad, pendidikan merupakan kebutuhan pokok di dalam merumuskan bentuk atau pola suatu kebudayaan yang menjadi ciri suatu masyarakat. Pendidikan juga dibutuhkan sebagai upaya pemindahan kebudayaan dari generasi ke generasi serta upaya-upaya penggabungannya. Sementara itu, kebudayaan dibutuhkan oleh pendidikan sebagai pijakan dalam merumuskan

Page 65: data baru 1

50

dan potensi yang ada di dalam diri dan lingkungannya menjadi benda

budaya. Jadi, lewat upaya transformasi, manusia mengangkat dunia pada

taraf insani, sehingga dunia merupakan totalitas karya dan totalitas

budaya insani.36

Totalitas budaya insani tersebut dipandang sebagai upaya manusia

dalam mencapai kemuliaan. Dalam hal ini Sastrosupono mengatakan

bahwa :

Manusia adalah makhluk yang menyandang kedudukan sebagai pemberdaya atau yang berbudaya. Secara aktif berarti manusia adalah makhluk yang membudaya. Tujuan dari membudaya itu adalah kebahagiaan dari hidup bersama serta kemuliaan manusia dan kemuliaan Sang Pencipta… Kebudayaan manusia akan dianggap tidak benar dan salah justru kalau bertentangan dengan kemanusiaan manusia sendiri dan tidak memanusiakan manusia.37 Uraian di atas menunjukkan bahwa peran kebudayaan pada

hakekatnya adalah memanusiakan manusia. Demikian halnya dengan

peran dan tujuan pendidikan, yang selalu menekankan prinsip-prinsip

humanisasi.

Terkait dengan hal tersebut di atas, dapat dilihat bahwa semua

kegiatan manusia termasuk kegiatan mendidik dan mendewasakan anak,

mengapresiasikan dan mengembangkan tatanan kehidupan ke arah yang lebih baik. Nazili Shaleh Ahmad, Pendidikan dan Masyarakat, Terjemahan oleh Syamsuddin, Yogyakarta, Liberty, 1989, hal: 37. 36Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta, Pradnya Paramita, 1997, hal: 72. 37M. Suprihadi Sastrosupono, Menghampiri Kebudayaan, Bandung, Alumni, 1982, hal: 28-29

Page 66: data baru 1

51

juga merupakan kegiatan kultural. Upaya kultural melalui proses

pendidikan ini adalah upaya memberikan bentuk baru sesuai dengan nilai-

nilai budaya yang disepakati sehingga anak didik akan mampu

bereksistensi di dalam kehidupan dunia.38 Oleh karena itu, setiap sistem

pendidikan yang sehat selalu berusaha memahami zamannya dan

berusaha pula memenuhi tuntutan-tuntutannya. Setiap sistem pendidikan

yang ingin ideal selalu berusaha mempersiapkan masyarakat yang

dilayaninya mengembangkan wawasan-wawasan baru untuk

mengakomodasikan perubahan-perubahan yang tampak akan datang.39

Interaksi antara pendidikan dan kebudayaan dalam suatu masyarakat

akan melahirkan watak yang dinamis pa sistem pendidikan itu sendiri.

Budi-daya atau kegiatan kultural manusia itu mampu mengadakan

hal-hal yang belum ada yang di alam ini masih berbentuk potensi, yaitu

lewatcampur tangan manusia terhadap alam. Dengan begitu semua

sektor kehidupan manusia merupakan momen-momen dari totalitas

budaya atau peradaban. Karena itu, eksistensi manusia itu selalu saja

38Lihat: Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Cet. III, Jakarta, Al-Husna Zikra, 1995, hal: 181-182. 39 Oleh karena itu, Koentjaraningrat mengingatkan agar selalu diupayakan dan dikembangkan nilai-nilai budaya yang berorientasi ke masa depan. Dan dengan bersifat hemat untuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan; lebih menilai tinggi orientasi ke hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi; lebih menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya; dan akhirnya menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuan sendiri, percaya pada diri sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri. Dan itu hanya bisa diupayakan melalui pendidikan. Koentjaraningrat, Op. Cit., hal: 36.

Page 67: data baru 1

52

Ada dalam konteks dunia-lingkungan bangsa dan lingkungan kebudayaan

suku-suku bangsa yang bersangkutan, yang dinamis, dan terus berubah

sifatnya, tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya yang fundamental.40

Semua warisan budaya disampaikan kepada generasi berikutnya

lewat tranmisi, pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar, dengan

penekanan kepada faktor rasio dan wawasan, dan bukan merupakan

kegiatan adaptasi secara pasif, kodrati dan otomatis terhadap alam. Oleh

karena itu upaya mendidik dan kegiatan belajar-mengajar pada anak

manusia itu sifatnya lebih kondisional dan kultural, dan jelas kurang

alamiah sifatnya.41

Transmisi kultural dari generasi ke generasi berikutnya lewat

proses mendidik itu sebagian besar berlangsung melalui transfer

pewarisan sosial nilai-nilai sosial-budaya, proses ini juga dikenal sebagai

perilaku membudaya yang pada esensinya merupakan pengubahan

secara berkesinambungan terhadap alam sekitar, berkat kemampuan

nalar dan budi daya manusia. Sebab itulah maka di tengah semua

kegiatan membangun diri sendiri dan membangun dunia lingkungannya,

maka pribadi manusia itu terus menerus belajar dan ia juga mengajar

kepada generasi berikutnya. Di tengah proses belajar inilah alam raya

dengan segala latar sosial-budaya yang ada dijadikan objek manipulasi

40 Kartini Kartono, Op. Cit., hal: 73 41 Ibid.

Page 68: data baru 1

53

Oleh manusia untuk diubah dan diberi bentuk serta dimensi baru oleh

rasio manusiam, kemudian semuanya dijadikan produk budaya. Kareba

itu kebudayaan merupakan suatu yang dipelajari oleh anak manusia.

Dalam hal ini, Van Peursen mengungkapkan bahwa seluruh kebudayaan

manusia merupakan produk dari kegiatan belajar, dan kegiatan belajar itu

berlangsung terus selama sejarah manusia berbudaya.42

Jadi bisa dipahami bahwa antara pendidikan dan kebudayaan

memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Pendidikan agar dapat

mencapai tingkat idialita memerlukan kebudayaan yang mapan,

sebaliknya kebudayaan agar dapat mencapai tingkat peradaban yang

tinggi, dibutuhkan sistem pendidikan yang baik dan responsible.

D. Hakekat Tujuan Pendidikan Nasional

Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan,

karena tujuan ini menentukan setiap gerak, langkah dan perbuatan

mendidik; jadi tujuan pendidikan merupakan penentuan kebijakan,

42Ibid, hal: 78

Mengenai keterkaitan hubungan antara pendidikan dan kebudayaan, Sumaatmadja memberikan rumusan sebagai berikut: (1) Manusia sebagai makhluk budaya, memiliki potensi dasar akal pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan (dididik), (2) Sebagai makhluk budaya , manusia memiliki sejumlah kebutuhan spiritual, sosial, emosional, pemahaman dan ketrampilan. Hal ini semua dapat dipenuhi melalui pendidikan, (3) Aspek-aspek mental yang menjadi kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk budaya, tercermin dan tampil pada perilakunya, (4) Perilaku manusia sebagai makhluk budaya, berbijak pada pembakuan nilai dan norma yang berlaku, (5) Melalui proses belajar, manusia sebagai peserta didik menjadi manusia yang manusiawi, manusia seutuhnya. Nursid Sumaatmadja, Pendidikan Kemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Alfabeta, 2002, hal: 43

Page 69: data baru 1

54

strategi pendidikan dan operasionalisasi/aplikasi pendidikan di wilayah

(suatu)negara.43 Yaitu orang akan membentuk tipe anak manusia

dan tipe masyarakat yang bagaimanakah, dengan tingkat kesejahteraan

seberapa jauhkah, yang keduanya dideterminir oleh tujuan pendidikan.

Lagi pula tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan, orang bisa

tersesat pada salah asuh, salah urus, salah didik; yang akhirnya justru

malah akan menjadi berbahaya secara sosial.44

Dalam ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, Tentang Garis-

Garis Besar Haluan Negara periode 1999-2004, tidak ada perumusan

tujuan pendidikan.45 Butir-butir pokok mengenai pendidikan, lebih

diarahkan pada perbaikan kualitas, baik kualitas pelayanan

maupunkualitas pelaksanaannya. Namun demikian, butir terakhir (7)

mengenai pendidkan sebagai berikut: “mengembangkan kualitas sumber

43Menurut Newbry dan Martin, persoalan (krisis) pendidikan yang dialami oleh negara-negara sedang berkembang telah menjadi dilema yang mampu membelokkan arah kebijakan (politik) pemerintah. Lihat: Kusnaka Adimihardja, Kerangka Studi Antropologi Sosial dalam Pembangunan, Edisi II, Bandung, Tarsito, 1983, hal: 1983. 44Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta, Pradnya Paramita, 1979, hal: iv.

Menurut Nasution, tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui proses pendidikan, sangat ditentukan oleh filsafat yang dianut oleh pemerintah (penguasa) dalam suatu negara. Kalau pemerintah bertukar, maka dengan sendirinya tujuan pendidikan pun berubah dan ini yang sering terjadi dalam dunia pendidikan nasional Indonesia. Lihat: S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. IV, Jakarta, Bumi Aksara, 2001, hal: 28. 45Dengan demikian tujuan pendidikan secara konstitusional tetap merujuk pada UUSPN No.20 tahun 2003 Tentang SISDIKNAS.

Page 70: data baru 1

55

daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh

melalaui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen

bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai

dengan hak dukungan dan lingkungan sesuai dengan potensinya.46

Pesan pendidikan di atas mengisyaratkan setidaknya ada dua hal

pokok yang bisa dicermati: Pertama, pendidikan tidak hanya ditujukan

secara formal di sekolah semata; akan tetapi keluarga, lingkungan dan

segenap komponen bangsa, diharapkan turut berperan aktif dalam proses

pendidikan sesuai dengan kompetensi masing-masing. Kedua, hasil atau

tujuan pendidikan yang diharapkan adalah terbentuknya sumber daya

manusia yang berkualitas sesuai dengan potensi diri dan lingkungan

masyarakat bangsa dan negara.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Bab II Pasal 2 secara

eksplisit disebutkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah

sebagai berikut :

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.47

46Tap MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN 1999-2004, Cet. II, Jakarta, Sina Grafika, 2002, hal: 28-29. 47Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidi

Page 71: data baru 1

56

Dari uraian tentang tujuan pendidikan nasional di atas, maka dapat

dijelaskan bahwa pendidikan nasional bermuara pada terbentuknya

manusia yang manusiawi yang memiliki keterpaduan menyeluruh berupa

semangat menghayati makna-makna esensial, seimbang pemikiran

dengan nurani, dan ketrampilannya, sehat, responsif terhadap kebutuhan

dan kepentingan orang lain, penuh perhatian serta kepedulian terhadap

kepentingan-kepentingan majemuk, berkemampuan akademik tinggi dan

memiliki tujuan hidup sesuai dengan nurani serta realitas kehidupan

dalam konteks kehidupan bersama, baik lokal, nasional, regional, maupun

global; yang kesemuanya itu dilandasi dengan keimanan dan ketaqwaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa.48

Ki Hajar Dewantara juga turut merumuskan tujuan pendidikan

sebagai berikut, bahwa pendidikan bertujuan untuk mendapatkan

kesempurnaan hidup lahir dan batin, baik sebagai perseorangan maupun

sebagai anggota masyarakat sosial.49

Kan Nasional (SISDIKNAS) Beserta Penjelasannya, Bandung, Citra Umbara, 2003, hal: 7. 48Lihat: Nursyid Sumaatmadja, Op. Cit., hal: 116.

Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa tujuan pendidikan itu muncul dan bersumber dari tujuan hidup manusia. Artinya, tujuan pendidikan merupakan kristalisasi dari tujuan hidup manusia yang akan memanfaatkan pendidikan tadi. Tujuan hidup ini kemudian dimanifestasikan dalam ide-ide, pikiran, perbuatan, serta harapan-harapan. Dalam konteks keindonesiaan, tuujuan pendidikan harus merupakan refleksi dari tujuan hidup segenap rakyat Indonesia. Maka melalui rumusan tujuan pendidikan yang jelas, pendidikan bisa dibangun dan dikembangkan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan keinginan rakyat. Kartini Kartono Lok. Cit. 49Driyarkara, menerjemahkan pendapat Ki Hajar Dewantara tersebut dengan mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah terjalinnya proses Humanisasi dan

Page 72: data baru 1

57

Pada dasarnya pendidikan diarahkan agar dapat mengadakan

perubahan melalui suatu proses yang direncanakan pada peserta didik,

proses tersebut dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran yang

meliputi usaha peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Melalui

proses pembelajaran terjadi pergeseran nilai-nilai yang selama ini ada dan

bersenyawa dengan peserta didik, bergerak ke arah yang diinginkan, yaitu

manusia yang cerdas, terampil, mandiri, gigih, ulet, mampu beradaptasi

dengan lingkungan dan berdisiplin tinggi.50

Dengan demikian hakekat tujuan pendidikan nasional adalah

terbentuknya manusia yang terampil dan inovatif, memiliki kepribadian

yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tertuang

dalam Pancasila; dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

dan proses Homonisasi . Lihat: Dharmaningtyas, Op. Cit., hal: 4. 50Umberto Sihombing, Menuju Pendidikan Bermakna Melalui Pendidikan Berbasis Masyarakat Cerdas Terampil Mandiri Konsep, Strategi dan Pelaksanaan, Jakarta, Multiguna, 2002, hal: 129

Barnadib menambahkan bahwa seyogyanya pendidikan itu diwujudkan atas dasar tujuan yang luas yang memberikan kemungkinan bagi setiap individu, sejalan dengan eksistensinya. Sifat pendidikan tersebut harus demokratis, mampu membentuk manusia pembangunan, sebagai manusia Indonesia seutuhnya seimbang lahir dan batin. Manusia Indonesiatidak diharapkan mengenal, memelihara kebudayaan sendiri, melainkan mengembangkan pada taraf yang sesuai dengan tuntutan zaman. Dan pendidikan (?)

Page 73: data baru 1

58

BAB III

PEMIKIRAN H.A.R. TILAAR TENTANG PENDIDIKAN

A. Latar Belakang Pemikiran H.A . R Tilaar

1. Biografi

Terlahir di Tataran, Tondano, Sulawesi Utara pada tanggal 16

Juni 1932, Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.Sc. Ed.,1 kini menjadi aset

nasional yang cukup disegani, terutama karena pemikiran kritisnya

dalam menyikapi kinerja pendidikan nasional. Disamping itu Tilaar juga

menjadi figur yang memiliki ide-ide cemerlang tentang bagaimana

caranya mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang tidak

meninggalkan nilai-nilai budaya lokal keindonesiaan.

Sebagai seorang pakar pendidikan, Tilaar melihat proses

pendidikan sebagai proses pembudayaan yang terjadi dalam interaksi

antar manusia dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Interaksi

tersebut terjadi dalam lingkungan alam (ekologi) yang perlu

dilestarikan serta lingkungan sosio, politik, ekonomi yang menghargai

nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Proses tersebut menurunya

harus memperhatikan tuntutan-tuntutan intergenerasi yaitu pelestarian

ekologis dan budaya melalui proses pendidikan. Selanjutnya proses

1 H.A.R Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan menuju 2020, Jakarta, Grasindo,

Page 74: data baru 1

59

Pemanusiaan itu juga merupakan proses inter-kultural yang

melibatkan budaya lokal, nasional dan global, menuju terciptanya

suatu masyarakat madani global yang berbasiskan masyarakat

madani Indonesia dengan cirinya yang khas, yaitu kebudayaan

nasional Indonesia yang berbhineka.2

Tilaar memang terhitung sebagai orang yang beruntung, dia

memiliki seorang istri yang juga memiliki pemikiran progresif tentang

bagaimana mentransnasionalisasikan nilai-nilai dan aset-aset nasional

sehingga Indonesia akan menjadi negara yang beradab, dia adalah

Martha Tilaar3 salah seorang pengusaha sukses di negeri ini, yang

mencoba meramu dan berpikir keras tentang bagaimana kekayaan

budaya dan alam Indonesia ini benar-benar mampu bersaing dengan

2Proses pendidikan yang dimaksud harus diorientasikan pada pemanusiaan manusia Indonesia yang interaktif berkesinambungan dan konsentris, artinya yang berakar pada budaya bangsa dalam membawa manusia dan masyarkat Indonesia ke dalam suatu masyarakat madani Indonesia memasuki pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang terbuka. Lihat: H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. II, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000, hal: 11

Istilah masyarakat madani (civil society) merujuk pada model perikehidupan masayarakat ideal di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW (622 M). Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip perlindungan terhadap kelompok minoritas. Lihat:Thoha Hammim, Islam dan Civil Society (Masyarakat Madani), dalam Ismail SM. Dan Mukti (Ed)., Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Mayarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2000, hal: 113-115. 3Pasangan Tilaar-Martha Tilaar dikaruniai empat orang putra, mereka adalah: (1) Brian David Emil, (2) Pingkan Engeliwn, (3) Wulan Maharani, (4) Kilala Esra. Lihat: H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Cet. III, Magelang, Tera Indonesia, 1999, hal: 428.

Page 75: data baru 1

60

perkembangan perkembangan global, sehingga Indonesia tidak

tertinggal dengan negara lain, khususnya negara-negara Barat.

Sebagai figur yang disegani pemikirannya dalam pendidikan

nasional, disamping pemikirannya yang komperehensif menyikapi

sistem pendidikan yang sedang berkembang, Tilaar juga pernah aktif

di dunia akademis dan organisasi profesi yang kesemuanya

terkosentrasi padadunia pendidikan. Tilaar pernah menjadi Guru Besar

di IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta), Guru Besar di

Universitas Indonesia mantan biro pendidikan dan kebudayaan

BAPPENAS (1984-1991), Anggota Dewan Penasehat Ikatan Sarjana

Indonesia (ISPI), konsultan Bank Dunia (1996), konsultan UNDP

(Indonesia Country Program, 1994), konsultan ADB (1995-1997), dan

masih setumpuk jabatan yang pernah ia emban dalam dunia

pendidikan.4

Pengalaman pendidikan Tilaar juga banyak terkosentrasi pada

jurusan pendidikan, ia mengawali studinya di Louwerierschool tahun

1946, Chr. Normaalschool tahun 1950. Kweekschool tahun 1952 se-

4H.A.R Tilaar pernah juga menjadi Dekan fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta (1976-1980), Staf Ahli Bappenas (1970-1974), Karo Kesra, Sosial, Kesehatan dan Perumahan Rakyat Bappenas (1974-1984), Asisten Menteri negara Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sumber Daya Manusia(1986-1993), Manggala BP-7 Pusat (1980-1998), Anggota Dewan Penyantun ASMI, Jakarta (1995-2000), Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta (1996-1999), Guru Besar pada UKI Jakarta, Anggota Badan Pertimbangan Buku Nasional (sejak 1978),

Page 76: data baru 1

61

muanya di Tomohon dan semua mendapat predikat dengan pujian,

gelar kesarjanaannya diraih di Universitas Indonesia dengan

spesialisasi Sarjana Pendidikan pada tahun 1961 dengan predikat

cumclaude. Gelar magisternya dengan konsentrasi pendidikan dia raih

di Indiana University, Bloomington Indiana M.Sc. Ed., tahun 1966, dan

gelar doktornya ia raih di universitas yang sama pada tahun 1969. Di

samping itu, Tilaar juga sering mengikuti pelatihan-pelatihan di

beberapa universitas terkenal di dunia, misalnya University of

Wincousin at Milwaukee (1965), University of Missouri (1966),

Michigan State University (1969), University of Sussex, Institute of

Development Studies (1972), Pelatihan di berbagai Lembaga PBB,

World Bank, Asian Development Bank. Sebagai orang yang cukup

disegani, biografi Tilaar tercantum dalam Who’s who in The World

yang terbit di Amerika Serikat pada tahun 2000.5

Sebagai seorang akademisi, Tilaar juga telah banyak menulis

karya ilmiah, buku-bukunya yang terbit diantaranya :

Anggota Pengurus Harian yayasan Buku Utama (sejak 1984), Anggota Dewan Penasehat UKRIDA Jakarta (sejak 1998), Anggota Dewan Riset Nasional (1999-2004), Anggota Ikatan Sarjana dan Pengembangan Sosial Indonesia (ISPSI), Anggota Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), dan Anggota Asosiasi Dosen Indonesia (ADI). Lihat: Ikhwanuddindan Murtadlo (ed)., Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed, Jakarta, Grasindo, 2002, hal: ix-x. 5H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal: 354.

Page 77: data baru 1

62

a. Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad

XXI, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

b. Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan,

Remaja Rosda Karya, Bandung, 1992.

c. Analisis Kebijakan Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung,

1993, (Karangan Bersama Dr. Ace Suryadi).

d. Lima Puluh Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional (1945-

1995), Suatu Analisis Kebijakan, Gramedia, Jakarta, 1995.

e. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi: Visi,

Misi dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020,

Gramedia, Jakarta, 1997.

f. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam

Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Bandung, 1998.

g. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia,

remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.

h. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

i. Membenahi Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2002

(Lihat: Tilaar, 2002a: 169).

j. Buletin Lembaga Manajemen Universitas Negeri Jakarta 1-10.6

6H.A.R. Tilaar, membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, hal: 169. Selain itu masih ada lagi, yaitu: Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar PedagogikTransformatif Untuk Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2002; serta Kekuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan Perspektif Studi Kultural. Lihat: Harian Pagi Jawa

Page 78: data baru 1

63

2. Akar Pemikiran

Dengan mengikuti pandangan David Bidney, Tilaar (2000a:

62) mengungkapkan bahwa ada contoh yang jelas tentang krisis yang

sedang melanda budaya Dunia Timur akibat dari proses westernisasi

kehidupan budaya sejalan dengan maraknya kolonialisme, sehingga

terjadilah proses akulturasi yang seringkali menghancurkan/merusak

kebudayaan lokal. Hal ini menyebabkan krisisyang menjurus kepada

hancurnya sendi-sendi kehidupan budaya yang orisinil/lokal. Tilaar

mencontohkan dengan semakin terlihat gejala krisis moralitas yang

terjadi dalam kehidupan generasi muda sebagai akibat akulturasi

budaya ini.7

Krisis semacam ini menurut Tilaar banyak disebabkan adanya

transformasi nilai yang sedang atau akan melanda dunia.8

Pos, Edisi Selasa 2 September 2003. 7David Bidney adalah mantan mahasiswa Prof. Bidney di Indiana University Tahun 60-an; dia menulis buku yang berjudul Theoritical Anthropologi (1967).

Gejala krisis moralitas yang dimaksud adalah penyalahgunaan obat-obatan terlarang (Narkoba), em-Barat-an” sikap dan gaya hidup, memudarnya wawasan kebangsaan, dan masih banyak lagi. Dan manakala gerakan reformasi (pasca jatuhnya orde baru) mulai berjalan, banyak “anomali-anomali” yang mestinya tidak perlu terjadi di bumi pancasila ini. Kejadian-kejadian pembumihangusan, penjarahan, main hakim sendiri dan sebagainya adalah bukti bahwa virus moralitas mulai menggejala. Menurut H.A.R. Tilaar bahwa gerakan reformasi adalah suatu keniscayaan, oleh karenanya yang perlu dipersiapkan oleh segenap komponen bangsa sekarang adalah bagaimana pembenahan-pembenahan tersebut diarahkan dan dibimbing oleh nilai-nilai gerakan reformasi moral yang hidup didalam kebudayaan bangsa Indonesia. 8Transformasi nilai tersebut merupakan ekses dari derasnya arus globalisasi. Globalisasi telah menciptakan dialisasi global yang mengakibatkan transdesensi dari nilai-nilai etatosentris. Nilai-nilai baru tersebut mengatasi keterlibatan dengan nilai-

Page 79: data baru 1

64

Transformasi ini diistilahkan oleh Tilaar ysebagai kekuatan-kekuatan

(santika) yang mengarahkan (saruka) yang merupakan kekuatan-

kekuatan dahsyat yang tidak dapat dibendung, tetapi dapat diarahkan

oleh kelompok masyarakat. Santika Saruka yang didefinisikan Tilaar

ada 4 macam ini, sehingga disebutnya CATUR SANTIKA SARUKA,

meliputi :

1. Kerjasama regional dan internasional yang intinya adalah

perdagangan internasional yang merupakan lokomotif dari

transformasi masyarakat global abad 21.

2. Demokrasi yang semakin meningkat dan dipercayai sebagai

bentuk kehidupan politik , sosial dan budaya yang lebih sesuai

dengan tuntutan kehidupan manusia berdasarkan pengalaman-

pengalaman masa lalu. Demokrasi akan merupakan bentuk-

bentuk kehidupan masyarakat masa depan karena menghargai

manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap

kehidupannya sendiri serta sesama umat manusia.

nilai berbangsa menuju nilai-nilai yang berlaku universal. Hal ini berarti akan terjadi pergeseran atau perubahan penghayatan nilai-nilai yang mengakibatkan adanya suatu goncangan budaya (Cultural Shock). Lihat: H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi Visi, Misi dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju, 2020, Jakarta, Grasindo, 1997, hal: 121-127. Lihat juga: Samuel P. Hungtington, Benturan AntarPeradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet. II, Terjemahan oleh Ismail, Yogyakarta, Qalam, 2001, hal: 73-116.

Page 80: data baru 1

65

3. Kemajuan dan wawasan ilmu pengetahuan serta teknologi yang

merupakan pendorong dalam berbagai bentuk kehidupan manusia

yang telah memberi kemudahan-kemudahan dalam peningkatan

taraf hidup manusia serta komunikasi yang semakin intens bagi

manusia. Dipihak lain, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak

terlepas dari tanggung jawab moral. Ilmu Pengetahuan dan

teknologijuga harus dapat dipahami sebagai bentuk yang bukan

menjadi tujuan utama manusia, tetapi sarana untuk meningkatkan

taraf hidup manusia itu sendiri sehingga perlu diletakkan dalam rel

moral dan agama.

4. Identitas suatu bangsa. Globalisasi menurut Tilaar, seharusnya

bukan diasumsikan sebagai massafikasi umat manusia tetapi

sebaliknya menonjolkan individualitas manusia. Individualitas atau

identitas suatu bangsa sebagai aset kekayaan manusia itu sendiri.

Globalisasi bukan akan menghancurkan budaya bangsa, tetapi

justru menyuburkan hidupnya berbagai jenis budaya global

sebagai sumbangan bagi lahirnya mozaik budaya internasional

yang lebih marak.9

Catur Santika Saruka ini bagaimanapun juga jika tidak

ditopang dengan kesiapan mental dan moral, maka akan berakibat

9H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 1997, hal: 55-56

Page 81: data baru 1

66

pada terjadinya krisis. Krisis dapat menyebabkan dis-organisasi sosial,

misalnya dalam gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia dengan

tuntutan pelaksanaan nilai-nilai demokrasi. Bangsa Indonesia ketika

memasuki era reformasi mengalami masa kritis, karena masyarakat

mengalami krisis kebudayaan. Apabila gerakan reformasi tidak

diarahkan sebagai gerakan moral, maka gerakan ini akan menjadi

salah arah. Gerakan reformasi akan malah menimbulkan krisis moral,

krisis sosial, krisis ekonomi dan berbagai jenis krisis lainnya. Oleh

sebab itu, gerakan reformasi total dewasa ini perlu diarahkan dan

dibimbing oleh nilai-nilai moral yang hidup di dalam kebudayaan

bangsa Indonesia. Dalam kaitan inilah menurut Tilaar peranan

pendidikan sangat menentukan, karena pendidikan yang didasarkan

nilai-nilai moral kultural bangsa dalam jangkja panjang dapat

memantapkan arah jalannya reformasi tersebut. Dalam jangka panjang

pendidikan akan menentukan pencapaian tujuan dari reformasi itu

sendiri.10

Dalam dunia yang sedang mengalami krisis dewasa ini, maka

10Ada respon menarik dari Taruna berkenaan dengan Catur Santika Saruka; dengan mengatakan bahwa langkah awal ( dan sekaranglah saatnya) untuk melaksanakan Catur Santika Saruka adalah dengan memberlakukan/menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Dasar pertimbangan yang diambil adalah bahwa tujuan utama dari MBS adalah menciptakan masyarakat peduli terhadap pendidikan. Dan jika masyarakat telah peduli dengan pendidikan, maka langkah berikutnya tinggal mengarahkan kemana mereka (sebaiknya) melangkah. Lihat: J.C. Tukiman

Page 82: data baru 1

67

sangat diperlukan suatu visi ke arah mana masyarakat dan bangsa ini

akan menuju. Tanpa visi yang jelas menurut Tilaar, yaitu visi yang

berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam kebudayaan bangsa

Indonesia, akan sulit untuk menetukan arah perkembangan

masyarakat dan bangsa ini ke masa depan, atau pilihan lain adalah

tinggal mengadopsi saja apa yang disebut budaya global. Mengadopsi

budaya yang sedang berkembang dalam peradaban dunia ini tanpa

dasar yang kuat dari kebudayaan sendiri berarti manusia Indonesia

akan kehilangan identitasnya. Di sinilah satu tantangan bagi

pendidikan nasional untuk dapat meletakkan dasar-dasar yang kuat

dari nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang

akan dapat dijadikan fondasi hidup untuk membentuk budaya masa

depan yang lebih jelas dan terarah.11

Dalam pemikiran Tilaar (1997 : 56) strategi dan rumusan

kebijakan pendidikan yang dilakukan, khususnya di Indonesia harus

melihat Catur Santika Saruka ini. Dengan tanpa memahami empat

Taruna, Manajemen Berbasis Sekolah Menuju Catur Santika Saruka, dalam Syarief dan Murtadlo, Op. Cit., hal: 362-381. 11H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 63

Dengan mengutip pendapat Irwan Abdullah, H.A.R. Tilaar menegaskan bahwa dalam menghadapi gejala-gejala krisis/disintegrasi sosial, maka langkah yang perlu ditempuh adalah dengan memperkuat apa yang disebut Kapital Sosial, yang dimaksud kapital sosial dari suatu masyarakat adalah sistem nilai yang hidup dan dipelihara serta dihormati untuk dilaksanakan dalam suatu masyarakat. Dan ini akan lebih efektif jika dilaksanakan melalui jalur pendidikan dalam arti yang luas. Lihat: H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2002, hal: 66.

Page 83: data baru 1

68

kekuatan ini pendidikan nasional dapat jatuh ke dalam usaha-usaha uji

coba dan tambal sulam serta menjadi korban berbagai jenis kebijakan

pendidikan yang tidak konsisten, yang terus menerus berganti tanpa

arah yang jelas karena hanya tunduk pada selera perorangan atau

struktur kekuasaan. Pendidikan nasional yang sangat strategis dalam

rangka membentuk sumber daya manusia Indonesia masa depan

yang ideal menurut Tilaar hendaknya didudukkan di dalam sebuah

kerangka berpikir strategik, yaitu yang sadar akan tantangan dan

peluang masa depan.12

Menurut Tilaar (2000b: 50-51) selama orde baru proses

pendidikan telah dilacurkan sebagai proses indoktrinasi serta telah

membatasi kebudayaan hanya pada aspek intelektual semata-mata.

Kebudayaan yang seharusnya meliputi aspek-aspek seni, teknologi,

ilmu pengetahuan, moral, dan agama selama ini hanya dikembangkan

dan dipahami dalam aspek intelektual semata (intelegence intelectual).

Disamping itu, pendidikan juga hanya mengarahkan pertumbuhan

pribadi manusia kepada kebutuhan industri semata.13

Pendidikan nasional dewasa ini menurut Tilaar (2000a: 63) perlu

mengadakan pergeseran paradigma khususnya di dalam kaitannya

dengan kebudayaan nasional.

12H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 1997, hal: 56 13 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000b, hal: 50.

Page 84: data baru 1

69

Pendidikan disinyalir Tilaar telah tercabut dari fungsi kebudayaannya.

Pendidikan nasional dewasa ini bersifat sangat intelektualistis dan tidak

memberikan kesempatan berkembang pada perkembangan intelegensi

yang menyeluruh dari peserta didik. Intelegensi peserta didik hanya

dibatasi pada pengembangan potensi yang sempit. Padahal kebudayaan

nasional akan semakin diperkaya jika ditunjang oleh sistem pendidikan

nasional yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada

pengembangan potensi yang limitless dari akal dan budi manusia.14

Gejala pemisahan pendidikan dari kebudayaan dalam

pendidikan nasional menurut TIlaar dapat dilihat dalam gejala-gejala

berikut:

1. Kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal mengenai kesenian, tarian

Berkaitan dengan Intelegence Intelectual, Topati Masang memberikan refleksi, bahwa tidak kurang dua belas tahun waktu yang dihabiskan di sekolah; suatu masyarakat yang relative panjang dan menjemukan tentunya, jika sekedar mengisinya dengan duduk, mencatat, sesekali bermain dan yang penting mendengarkan guru ceramah di depan meja kelas. Lewat sekolah, seseorang bisa meraih jabatan sekaligus mendapat cemoohan. Sekolah ternyata mampu meencetak manusia menjadi pejabat sekaligus penjahat. Dan inilah fenomena riil yang terjadi pada dunia pendidikan nasional Indonesia. Lihat: Roem Topati Masang, Sekolah Itu Candu, Cet. II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999. Sedang berkaitan dengan “kapitalisme” (industri) pendidikan, Mulkhan memberikan gambaran, bahwa kesenjangan antara pendidikan (untuk) rakyat dengan pendidikan (buat) ningrat telah mengkristal menjadi sebuah kredo bahwa rakyat harus tetap bodo, dan jika ada yang tidak bodo, maka itu merupakan “kecelakaan” sejarah. Lihat: Abdul Munir Mulkhan, kata pengantar, dalam Steven M. Chan, Pendidikan Liberal Berbais Sekolah, Terjemahan oleh Mulkhan dan Yawisah, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2002, hal: xii-xv. 14 Pergeseran paradigma mengenai potensi individu dalam interaksinya dengan kebudayaannya tentu akan dapat mengubah cara-cara penglihatan dan penyusunan kurikulum pendidikan nasional yang antara lain perlu dikaitkan dengan interaksi antara kemampuan potensi otak dengan lingkungannya, termasuk lingkungan kebudayaan. Di dalam kaitan ini, program pendidikan bukan ditekankan kepada banyaknya mata pelajaran di dalam kurikulum,tetapi membuka pengekang-pengekang yang menghalangi perkembangan potensi peserta didik, H..A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 63.

Page 85: data baru 1

70

Tradisional, benda-benda purbakala dan sastra tradisional.

2. Nilai-nilai kebudayaan dalm pendidikan telah dibatasi pada nilai

intelektual belaka.

3. Nilai-nilai agama banyak ditinggalkan dalam dunia pendidikan, karena

dianggap sebagai urusan lembaga-lembaga agama.15

Fenomena pendidikan nasional yang demikian itulah yang

kemudian membawa pemikiran-pemikiran jernih Tilaar sebagai tokoh

yang intens di dunia pendidikan mengembangkan beberapa pemikiran

yang banyak di arahkan pada bagaimana mengembangkan pendidikan

yang bertitik tolak pada budaya local keindonesiaan.

B. RELASI PENDIDIKAN dan KEBUDAYAAN

1. Peranan pendidikan dalam kebudayaan

Menurut Tilaar (2000a: 50) peranan pendidikan dalam kebudayaan

dapat dilihat dengan nyata dalam perkembangan kepribadian

manusia.TAnpa kepribadian manusia tidak akan ada kebudayan,

meskipun kebudayaan bukan sekedar jumlah dari keribadian-kepribadian.

15 Ibid, hal: 67 Ketiga gejala tersebut oleh Esten disederhanakan dalam bentuk pengertian bahwa selama ini manusia (peserta didik secara umum) hanya berperan sebagai obyek. Padahal sesungguhnya manusia adalah sentral (subyek) baik bagi pendidikan maupun kebudayaan. Sebagai obyek berarti manusia pasif. Manusia yang pasif berarti manusia yang tidak berkembang. Lihat: Mursal Esten, Strategi Kebudayaan Untuk Sistem Pendidikan, dalam Sindhunata (Ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokrasi Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal: 207-208.

Page 86: data baru 1

71

Para pakar antropologi menegaskan bahwa peranan individu

bukan hanya sekedar sebagai bidak-bidak dalam catur kebudayaan.

Individu adalah creator sekaligus manipulator dari kebudayaannya.16

Kroeber dan Kluckhon mengemukakan pengertian sebab-akibat

sirkuler, yang dimaksudkan bahwa antara kepribadian dan kebudayaan

terdapat suatu interaksi yang saling menguntungkan. Di dalam

pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan, dan seterusnya

kebudayaan akan dapat berkembang melalui kepribadian-kepribadian

tersebut. Inilah yang di sebut sebab-akibat sirkuler antara kepribadian dan

kebudayaan. Dari penjelasan ini dapat dicermati bahwa pendidikan bukan

16 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal:50. Wallace, seorang ahli etnopsikologi mengemukakan bahwa ada tiga kerangka yang menjadi obyek dan sasaran unsure-unsur kepribadian manusia, yang karenanya individu dapat menjadi creator dan sekaligus memanipulator dari kebudayaannya. Ketiga kerangka tersebut adalah: (1). Aneka warna kebutuhan organic diri sendiri, aneka warna kebutuhan serta dorongan psikologi diri sendiri, dan aneka warna kebutuhan serta dorongan organic maupun psikologi sesame manusia yang lain dari dirinya, sedang kebutuhan-kebutuhan tadi dapat dipenuhi atau tidak dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, sehinngga memuaskan dan bernilai positif baginya, atau tidak memuaskan dan bernilai negative. (2). Aneka warna hal yang bersangkutan dengan kesadaran individu mengenai bermacam-macam kategori manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda, zat, kekuatan, dan gejala alam, baik yang nyata maupun yang ghaib dalam lingkungan sekelilingnya. (3). Berbagai macam cara untuk memenuhi, memperkuat, berhubungan, mendapatkan atau mempergunakan, aneka warna kebutuhan dari hal tersebut di atas, sehingga tercapai keadaan memuaskan dalam kesadaran individu bersangkutan. Pelaksanaan berbagai macam cara dan jalan tersebut terwujud dalam aktifitas hidup sehari-hari dari seorang individu. Koentjaraningrrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cet. VIII, Jakarta, Rineka Cipta, 1990, hal: 112-113.

Page 87: data baru 1

72

semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif, tetapi perlu

mengembangkan kepribadian yang kreatif.17

Pendidikan antara lain didefinisikan Tilaar (1994:189) sebagai

suatu proses untuk memanusiakan manusia. Artinya, seorang bayi yang

lahir tidak dengan sendirinya akan menjadi manusia (yang berbuadaya),

karena menjadi manusia yang berbudaya hatuslah melalui pengisian

jasmani dan rohani (nurture). Proses pemanusiaan manusia ini memiliki

dua dimensi utama, statis dan dinamis. 18

Proses transfer ini cenderung bersifat statis, apabila tujuannya

untuk meneruskan nilai-nilai yang sudah ada dari generasi yang

memilikinya kepada generasi yang baru. Sifat konservatisme ini memang

memiliki alas an yang kuat, karena berdasarkan naluri untuk

mempertahankan diri sebagai perseorangan maupun kelompok akan

merasa aman, sehingga dapat melanjutkan kehidupannya. Rasa

kepastian dan keteraturan merupakan kondisi untuk berkembang.

Pemberontak generasi muda terhadap tradisi atau norma-norma yang

17 H. A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal:51. 18 Dalam dimensi dinamis, proses nurture merupakan transfer dari berbagai bentuk karya, rasa dan karsa dari budaya, di mana proses pendidikan itu terjadi. Dimensi ini merupakan dasar dari kelnjutan hidup dan budaya suatu masyarakat. Tanpa dimensi transfer ini suatu kebudayaan akan musnah. Transfer budaya dari generasi ke generasi terjadi dalam proses pendidikan H.A.R. Tilaar dan Sutaryadi, Analisis Kebijakan Pendidikan, CEt. II, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994, hal: 189. Proses transfer tersebut merupakan implikasi dari kenyataan manusia sebagai makhluk budaya; karenanya pikiran dan karya manusia dapat berkembang searas dengan zamannya, yang akhirnya akan menciptakan dunia terbuka. Yang dimaksud dunia terbuka adalah terjalinnya suasana interaktif global. Lihat: Dwi Nugroho Hidayanto, Mengenal Manusia dan Pendidikan, Yogyakarta, Liberty, 1988, hal: 25. 19 Dalam bidang pendidikan, proses perubahan kebudayaan ini merupakan aspek dinamis

Page 88: data baru 1

73

Sudah mapan menunjukkan bahwa kebuayaan itu bukan merupakan satu

yang statis, tetapi merupakan suatu yang dinamis. 19

Menurut Tilaar, terdapat tiga fungsi pendidikan dalam kaitannya

dengan upaya menjaga kesinambungan kebudayaan dan sebagai agen

pengembangan kebudayaan, pertama, fungsi preservasi dinamik dari

seluruh lembaga pendidikan. Kedua, fungsi partisipatoris, dan ketiga

fungsi prepatoris antisipatoris yang dikaitkan dengan masyarakat industri

masa depan. 20

Dalam fungsi preservasi dinamik, fungsi pendidikan adalah

mempertahankan unsure-unsur esensial dari kebudayaandan sejalan

dengan itu membuka diri terhadap unsure-unsur positif dari luar. Dalam

fungsi ini, tugas pendidikan adalah menanamkan aspirasi budaya dari

peserta didik melalui penghayatan-penghayatan budaya yang fungsional,

sekaligus mengembangkan daya kreatifitas peserta didik dalam

melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya. Dalam rangka

pendidikan budaya, pengembangan budaya dan bahasa daerah menurut

Tilaar perlu mendapat perhatian khusus, karena keduanya bukan saja

sebagai sumber dari kebudayaan nasional, tetapi juga merupakan

dari proses memanusiakan manusia. Pendidikan bukan hanya sekedar berfungsi sebagai proses transfer nilai-nilai budaya, tetapi sekaligus berfugsi sebagai agent dari transformasi budaya. H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 1994, hal: 189. 21 Ibid, hal: 190-192. Menurut Buchori, wacana antisipasi yang perlu dilakukan adalah berkaitan dengan budaya “politik” di Indonesia. Politik yang dimaksud adalah semua aspek kehidupan yang ada sangkut pautnya dengan masalah mengatur atau memerintah Negara atau masyarakat. Sedang budaya politik yang dimaksud adalah keseluruhan dari nilai-nilai dan sistem nilai yang mendasari perilaku politikl. Lihat: Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Kanisius, yogyakarta, 2001, hal: 159-161.

Page 89: data baru 1

74

Situasi-situasi primer berlangsungnya proses pendidikan itu sendiri.21

Dalam fungsi partisipatoris, pendidikan bukan hanya sekedar

dianggap sebagai pengawal (guardian) masa lalu dalam fungsinya

sebagai preservator budaya juga bukan hanya menyiapkan peserta didik

untuk masa depannya, karena pendidikan terutama bertanggung jawab

terhadap generasi masa kini. Dengan fungsi ini, proses pendidikan secara

aktif menggodok nilai-nilai budaya lama dengan nilai-nilai kontemporer

sehingga diharapkan kebutuhan masa kini dan akan dating dalam

kepribadian anak didik akan terwujud. Proses peramuan nilai-nilai budaya

itu menunjukkan betapa kebudayaan dan pendidikan merupakan dua

unsure yang saling mengikat. Kebudayaan itu hidup dan berkembang

karena proses pendidikan, dan proses pendidikan itu sendiri hanya ada

dalam suatu konteks kebudayaan.22

Fungsi prepatoris-antisipatoris banyak berhubungan dengan masa

depan anak didik. Fungsi preparatoris ini menurut Isac Asimov, tidak

mungkin dapat dicapai, karena masa depan adalah suatu masa yang

banyak kemungkinan. Namun scenario masyarakat masa depan dapat

diantisipasi berdasarkan analisis kecenderungan-kecenderungan yang

ada dan bakal ada di masa depan. Berdasarkan antisipasi masa depan

21 Ibid, hal: 190. 22 Ibid, hal: 191.

Page 90: data baru 1

75

inilah kemudian anak didik harus dibekali kemampuan-kemampuan yang

sifatnya antisipatoris.23 Dari ketiga fungsi pendidikan itu, tampak bahwa

proses pendidikan pada hakikatnya merupakan proses membudaya.

2. Peranan kebudayaan dalam pendidikan

Dengan mengutip konsep John Gillins, Tilaar mengungkapkan

beberapa hal tentang perkembangan pribadi manusia terkait dengan

kebudayaan:

a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak

disadari untuk belajar.

b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar aka reaksi-

reaksi kelakuan tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan kondisi,

yang terakhir ini kebudayaan merupakan perangsang-perangsang

untuk terbentuknya kelakuan-kelakuan tertentu.

c. Kebudayaan memiliki sistem rewardand punishment terhadap

kelakuan-kelakuan tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong

suatu bentuk kelakuan yang sesuai dengan sistem nilai dalam

kebudayan tersebut, dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap

kelakuan-kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman

hidup suatu masyarakat budaya tertentu.

d. Kebudayaan cendderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu

melalui proses belajar.24

23 Ibid. 24 H.A.R. Tilaar, op. Cit., 2000a, hal: 51.

Page 91: data baru 1

76

Dari analisa Gillins tersebut di atas, tampak sekali bahwa peranan

kebudayaan terhadap perkembangan kepribadian di atas, tampak sekali

bahwa peranan kebudayaan terhadap perkembangan kepribadian

manusia cukup besar. Tilaar juga mengakomodor konsep para pakar

psikologi behaviorisme juga menganalisis tentang pengaruh kebudayaan

terhadap perkembangan kepribadian manusia. Pengaruh tersebut

dillukiskan Tilaar, sebagai berikut:

a. Kepribadian adalah suatu proses. Seperti telah dijelaskan di atas

bahwa kebudayaan juga merupakan suatu proses. Hal ini berarti

antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu dinamika. Dinamika

tersebut bukan muncul secara otomatis, akan tetapi muncul dari actor

dan manipulator dari interaksi tersebut.

b. Kepribadian memiliki keterarahan dalam perkembangannya untuk

mencapai suatu misi tertentu. Keterarahan perkembangan tersebut

tentunya tidak diruang kosong, tetapi di dalam suatu masyarakat yang

berbudaya.

c. Dalam perkembangan kepribadian, salah satu factor pentng adalah

imajinasi. Imajinasi seseorang akan dapat diperolehnya secara

langsung dari lingkungan kebudayaan. Manusia tanpa imajinasi tidak

mungkin dapat mengembangkan kepribadiannya. Hal ini berarti

apabila seseorang terasing dari lingkungan kebudayaan maka dia

akan memulai dari nol di dalam perkembangan kepribadian.

Page 92: data baru 1

77

d. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam

masyarakat, agar ia dapat hidup dan berkembang. Tentunya manusia

itu dapat saja menentang tujuan hidup, namun demikian, itu berarti

seseorang akan melawan arus di dalam perkembangan hidupnya.

Yang paling efisien adalah dia secara harmonis mencari

keseimbangan antara tujuan hidupnya dengan tujuan hidup dalam

masyarakat.

e. Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang berkembang itu

dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu dekat dan tujuan dalam

waktu yang panjang. Namun tujuan-tujuan tidak akan dapat lepas dari

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

f. Berkenaan di dalam tujuan dan pengembangan kepribadian manusia,

dapatlah disimpulkan bahwa proses belajar adalah proses yang

ditujukan untuk mencapai tujuan. Learning is a goal teaching behavior.

g. Dalam psikoanalisa antara lain dikemukakan mengenai peranan

superego dalam perkembangan kepribadian. Super-ego tersebut tidak

lain adalah dunia masa depan yang ideal. Dan seperti yang telah

diuraikan, dunia masa depan yang ideal merupakan kemampuan

imajinasi yang dikondisikan serta diarahkan oleh nilai-nilai budaya

yang hidup di dalam masyarakat.

h. Kepribadian juga ditentukan oleh kondisi bawah sadar manusia (id).

Bersama-sama dengan ego dan juga id, keduanya merupakan energi

Page 93: data baru 1

78

yang ada dalam diri seseorang. Energi tersebut perlu dicarikan

keseimbangan dengan kondisi yang ada serta dorongan super-ego

yang diarahkan oleh nilai-nilai budaya. Dengan kata lain di dalam

perkembangan id, ego dan super-egodari kepribadian seseorang

berarti mencari keseimbangan antara energi yang ada dalam diri

dengan pola-pola budaya yang ada. Bidney mengungkapkan bahwa

individu bukan pemilik pasif dari nilai-nilai social budaya, tetapi juga

aktif di dalam menciptakan dan mengubah kebudayaannya.25

i. Dari uraian tersebut di atas, terlihat bahwa antara pendidikan dan

kebudayaan terdapat hubungan interaktif. Proses pendidikan pada

hakikatnya merupakan proses membudaya, dalam proses pendidikan

bukan sekedar mentransfer nilai-nilai yang hidup dalam tradisi, tetapi

juga berpatisipasi dalam kegiatan budaya yang ada dan

mengantisipasi nilai-nilai yang mungkin muncul di masa depan.

Dalam konggres Taman Siswa 1930, Ki Hajar Dewantara telah

menyodorkan konsep pendidikan: Pendidikan beralaskan garis hidup dari

bangsanya (kultiril nasional) yang ditujukan untuk keperluan peri

kehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya agar

dapat bersama-sama dengan Negara lain untuk kemulyaan segenap

manusia di seluruh dunia.26

25 Ibid, hal: 52-53. 26 Berdasar definisi tersebut, maka dapat diuraikan hal-hal berikut: (1) Kebudayaan tidak

Page 94: data baru 1

79

Berdasarkan alas an ini maka kebudayaan harus dijadikan dasar

dari praksis pendidikan. Bukan hanya seluruh proses pendidikan

berjiwakan kebudayaan nasional, tetapi juga seluruh unur kebudayaan

harus siperkenalkan dalam proses pendidikan.

Dengan mengutip konsep Brameld, Tilaar juga telah

mengemukakan tentang hubungan antara proses pendidikan dan proses

membudaya. Proses pendidikan adalah proses integrative dari proses

kebudayaan. Dalam analisis Brameld proses kebudayaan memiliki tiga

aspek yang saling berkaitan:

a. Kebudayaan memiliki tata susunan (order) yang kompleks, namun

merupakan suatu anyaman yang berpola. Dengan kata lain,

kebudayaan memiliki suatu sistem keteraturan. Keteraturan tersebut

memiliki dimensi vertical dan horizontal. Pada dimensi vertical dapat

dijumpai dalam lapisan-lapisan masyarakat, misalnya ada

pemimpin-rakyat, orang tua-anak, kelompok-kelompok ekonomi dan

sejenisnya.

b.

dapat dipisahkan dari pendidikan bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar pendidikan. Dari rumusan ini, maka pendidikan bukan hanya berhubungan aspek intelektual saja, melainkan juga kebudayaan secara keseluruhan. (2) Kebudayaan yang menjadi alasanpendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan dengan demikian, maka kebudayaan yang di maksud adalah kebudayaan yang riil, yaitu budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia. (3) Pendidikan memiliki arah, yaitu untuk mewujudkan keperluan peri kehidupan. Apa yang dimaksud peri kehidupan di sini bukan hanya satu aspek dalam kehidupan. (4) Arah tujuan pendidikan adalah untuk mengangkat derajat Negara dan rakyat. Di sini maka dapat dilihat betapa idealnya pendidikan nasional yang bukan bersifat individualistis, tetapi memiliki warna kerakyatan dan kesatuan nasional. Pendidikan nasional harus dapat mengangkat derajat dan harkat dari rakyat banyak dan juga harkat Negara. Ibid, hal: 68-70.

Page 95: data baru 1

80

Sedangkan dimensi horizontal merupakan tata susunan temporer,

misalnya asa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

c. Nilai-nilai kebudayaan ditransmisikan dengan proses-proses

acquiring melalui inquiring. Jadi proses pendidikan yang berakar

budaya bukan terjadi secara pasif atau culture determined tetapi

melalui proses interaktif antara pendidik dan peserta didik. Proses

tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan budaya melalui

kemampuan-kemampuan kreatif yang memungkinkan terjadinya

kreasi dan inovasi, sehingga akan ada penemuan-penemuan

budaya lain serta akan ada asimilasi, akulturasi dan seterusnya

tanpa meninggalkan keaslian budaya.

d. Proses pembudayaan ini tentu memiliki tujuan yang diidealkan dari

tiap-tiap budaya.27

Dari analisis ini, maka pendidikan sebagai pranatasosial yang berwujud

dalam bentuk lembaga atau institusi sekolah dapat dilihat sebagai

lembaga yang berkenaan dengan kelakuan-kelakuan tertentu, aitu

interaksi antara pendidik dan peserta didik untuk mewujudkan suatu

sistem norma.

27 Ibid, hal: 71-72 Dalam kaitannya dengan proses integrative tersebut, Kartono menambahkan bahwa peserta didik dengan lingkungan sekitarnya merupakan satu kesatuan/totalitas. Dia menjadi pribadi utuh di tengah dan dengan lingkungan budaya sendiri; sebab anak menyerap segenap unsure budaya lingkungannya. Di sana dia berkembang dan memanusiakan eksistensinya; kemudian peserta didik membentuk watak dan kepribadiannya di tengah kebudayaan kaumnya. Jadi eksistensi peserta didik dengan budaya alam, langit, bumi, sejarah kaumnya, keterbelakangan ataupun kemajuan teknologi zamannya, kepercayaan, dan agama yang dipeluk oleh masyarakat di sekitarnya; yang kesemua itu dibingkai dalam

Page 96: data baru 1

81

Dalam hal ini, sistem norma yang dominant akan menjadi pijakan

pengembangan pendidikan. Oleh karenanya lembaga pendidikan harus

mengkondisikan pengenalan dari keseluruhan unsur budaya local,

nasional, maupun global.

3. Manusia yang berpendidikan dan berbudaya

Dalamkonsepsi Tilaar, pendidikan baik secara teoritik maupun

secara praktis tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Pendidikan tidak

terjadi dalam vakum, tetapi dalam interaksi antar manusia di dalam suatu

masyarakat yang berbudaya. TIdak dapat dibayangkan adanya suatu

masyarakat tanpa budaya. Oleh karena itu pendidikan dan kebudayaan

merupakan suatu kesatuan. Kebudayaan itu dinamis dan terus

berkembng karena adanya proses pendidikan. Proses pendidikan bukan

hanya mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan, tetapi juga yang

mengembangkan bahkan dapat mematikan nilai-nilai kebudayaan itu

sendiri.28

Menurut Tilaar, banyak pakar yang menggangap konsep manusia

yang berpendidikan sama dengan manusia yang berbudaya.

suatu sistem pendidikan. Lihat: Kartini Kartono, Quo Vadis Tujuan Pendidikan? Harus Singkron dengan Tujuan Manusia, Bandung, Mandar Maju, 1991, hal: 82. 28 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000b, hal:49.

Menurut Fadjar, menggagas soal pendidikan pada dasarnya menggagas soal kebudayaan, soal peradaban. Bahkan secara spesifik gagasan pendidikan akan merambah wilayah pembentukan peradaban di masa depan. Pendidikan , memang adalah upaya merekonstruksi pengalaman-pengalaman peradaban umat manusia secara berkelanjutan. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung, Mizan, 1998, hal: 16.

Page 97: data baru 1

82

Konsep ini menurutnya benar karena menganggap bahwa pengertian

pendidkan adalah salah satu aspek dari kebudayaan.Dengan demikian,

seseorang yang telah berkembang sesuai dengan kebudayaannya adalah

seseorang yang telah memperoleh pendidikan yang bertujuan sama

dengan perkembangan pribadi di dalam kebudayaan di mana pendidikan

itu berlangsung.29 Akan tetapi Tilaar sendiri membedakan antara

pengertian manusia berpendidikan dan manusia berbudaya.

Manusia berpendidikan (educated man) diartikan sebagai manusia

yang telah berkembang kemampuan intelektualnya karena proses

pendidikan. Pengertian popular ini banyak disebabkan oleh adanya

berbagai model pendidikan yang hanya menekankan aspek intelektual

saja.

Sedangkan seseorang disebut berbudaya adalah seseorang yang

menguasai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya

nilai-nilai etis dan moral yang hidup dalam kebudayaan.30 Dari definisi ini,

maka bias jadi ada orang yang berpendidikan tetapi tidak berbudaya,

misalnya orang yang berpendidikan luas, tetapi hidupnya tidak bermoral.

29 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 128. Menurut Sumaatmadja, gagasan dasar pendidikan berpusat pada manusiasebagai makhluk budaya yang dapat didik, yang memiliki kebutuhan-kebutuhan spiritual, emosional, intelektual, dan social yang hidup serta kehidupannya berlandaskan pembakuan nilai dan norma yang berlaku, melalui pembelajaran kea rah manusia yang manusiawi. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang integratif yang bermuara pada pemanusiaan manusia.Lihat Nursid Sumatmadja, Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Alfabeta, 2002, hal:77-83. 30 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 128-129.

Page 98: data baru 1

83

Sebagai proses transformasi, proses pendidikan

mentransformasikan nilai-nilai dari suatu generasi kepada generasi

berikutnya. Di samping itu proses pendidikan akan membentuk pribadi-

pribadi yang kreatif yang menjadi penggerak dan pengembang suatu

budaya di mana dia berada.31 Pribadi yang tidak kreatif dan tidak produktif

akan menjadi beban kebudayaan atau beban dari masyarakatnya.32

Dengan demikian krisis kebudayaan adalah merupakan refleksi dari

kegagalan sistem budayanya.

31 Menurut Kartono, proses transformasi nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya disebut perilaku membudaya; yang ada pada esensinya merupakan pengubahan secara kesinambungan terhadap alam sekitar berkat kemampuan nalar dan budaya manusia. Oleh sebab itu, maka di tengah semua kegiatan membangun diri sendiri dan membangun dunia lingkungannya itu pribadi manusia harus terus menerus balajar, dan ia juga harus mengajak anak keturunannya. Hal ini seperti yang diistilahkan oleh Van Peursen (1972), bahwa seluruh kebudayaan manusia itu adalah produk dari kegiatan belajar. Dan kegiatan belajar ini berlangsung terus sepanjang sejarah manusia. Ini mengisyaratkan bahwa transformasi harus dilaksanakan secara kreatif dan inovatif. Lihat: Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta, Pradnya Paramita, 1997, hal: 71-78. 32 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal: 50. Menurut HAsyim, Krisis (moral) yang menimpa bangsa Indonesia dewasa ini lebih disebabkan karena masyarakat kita tidak hadir di ruang hampa kebudayaan; akan tetapi mereka berada di tengah ruang yang penuyh kegiata kebudayaan. Tapi sayangnya beragam kegiatan kebudayaan tersebut telah terkontaminasi (akibat masyarakat terpisahkan dari akar budayanya) oleh globalisasi, sehingga yang terjadi kemudian adalah hal-hal yang mengarah pada disintegrasi bangsa, untuk itu masyarakat kita harus segera melakukan rekonsiliasi guna mencari format dan naluri transformatif kebudayaan. Apa saja yang perlu ditransformasikan, ini tergantung kebijakan public dan kearifan pemerintah dalam mengayomi asset-aset budaya bangsa, dengan tetap menjadikan sistem pendidikan sebagai

Page 99: data baru 1

84

C. Pendidikan Berbasis Budaya dalam Sistem Pendidikan Nasional

E. Bloch mengatakan bahwa manusia belum mengetahui siapakah dia itu,

artinya manusia belum mengetahui pengetahuan yang lengkap tentang siapakah

dirinya sebenarnya. Ada yang mengatakan bahwa manusia adalah sejarah yang

memiliki masa lalu, masa kini dan cita-cita di masa depan. Oleh karenanya manusia

bukanlah suatu dictum atau suatu titik yang telah menjadi dan telah sempurna, tetapi

sesuatu yang terus-menerus menjadi. Oleh sebab itu pula dapat dimengerti

mengapa dikatakan bahwa manusia belum mengetahui siapakah sebenarnya dia

itu.33

Hakikat manusia dapat dilhat dari berbagai dimensi yang masing-masing

memberikan gambaran sesuai dengan dimensi penglihatannya masing-masing.

Manusia dapat dilihat dari dimensi religiusnya sebagai maklhuk Tuhan. Ia juga dapat

dilihat dari dimensi simbolis, yaitu sebagai maklhuk yang mengenal nilai-nilai etika,

estetika, iptek, dan lainnya. Manusia juga dapat dilihat dari segi kesejahteraanya;

hanya manusialah makhluk yang menyejarah, oleh sebab itu

paradigma. Lihat: Mustofa W. Hasyim, Jejak Luka Politik dan Budaya, Yogyakarta, LPSAS Prospek, 2000, hal: 202-206. 33 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal:129. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa manusia perlu dididik. Ada beberapa asumsi yang melatar belakangi kenapa manusia perlu dididik: Pertama, manusia lahir dalam keadaan belum siap pakai melainkan baru berupa potensi yang akan menjadi aktus melalui pendidikan. Kedua, kemampuan yang nampak itu dihasilkan manusia melalui pertumbuhan dan perkembangan, dan tidak secara mutlak mempercayakannya kepada dorongan atau instink yang terdapat di dalam dirinya, melainkan dipercayakan terhadap kegiatan pendidikan. Ketiga, tuntutan akan nilai dari hidupnya harus selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak cukup mempercayakannya terhadap instink dan mengikuti dorongan nafsu belaka. Melainkan nilai itu akan tampak dalam kegiatan pendidikan. Dwi Nugroho Hidayanto, Op. Cit., hal:31 manusia dapat terus menerus berkembang kemampuannya selama dunia ini ada.34

Page 100: data baru 1

85

Proses pendidikan itu sendiri merupakan interaksi antara manusia

dengan lingkungannya, termasuk lingkungan alam dan manusia. Dalam interaksi

tersebut, manusia bukan hanya hasil interaksi dengan alam dan sesamanya,

akan tetapi dia juga pelaku aktif di dalam interaksi tersebut.35

Oleh sebab itu proses pendidikan harus diarahkan agar semua potensi

yang ada pada anak didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai

dengan fitrahnya. Di dapat menyumbangkan kemampuannya untuk

pengembangan diri pribadi, pengembangan masyarakat dan juga bahasanya.

Dalam proses pemberdayaan ini, diperlukan berbagai prasyarat serta

prasarana dalam melaksanakannya. Hal yang cukup penting menurut Tilaar adalah

lingkungan pendidikan anak manusia harus memberikan kesempatan untuk

pengembangan potensinya. Lingkungan tersebut hendaknya memberikan

34 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 129-130. Untuk dapat menumbuhkembangkan kemampuannya setidaknya ada lima hal sebagai sikap

mental yang harus di siapkan oleh manusia: Pertama: dalam menghadapi hidup, manusia harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup, dan bahwa ada kesengsaraan bencana, dosa dan keburukan dalam hidup memang harus disadari, tetapi hal itu semuanya adalah untuk diperbaiki. Kedua, sebagai dorongan dari semua karya manusia, harus di nilai tinggi konsepsi bahwa manusia mengintensifikasikan karyanya untuk menghasilkan lebih banyak karya lagi. Ketiga, dalam hal menanggapi alam, manusia harus merasakan suatu keinginan untuk dapat menguasai alam serta kaidah-kaidahnya. Keempat, dalam segala aktivitas hidup, manusia harus dapat sebanyak mungkin berorientasi ke masa depan. Kelima, dalam membuat keputusan-keputusan manusia harus bisa berorientasi ke sesamanya, menilai tinggi kerjasama dengan orang lain, tanpa meremehkan kualitas individu dan tanpa menghindari tanggung jawab sendiri. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia, Cet. XIX, Jakarta, Djambatan, 2002, hal:388-389. 35 Lihat: H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal: 148-149. Itu pula sebabnya mengapa hanya manusia saja yang berhak menyandang sebutan makhluk membudaya. Lihat: Ali Syaifullah, Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan, Surabaya, Utama Offset Printing, 1982, hal:13-15

Page 101: data baru 1

86

kesempatan kepada perkembangan kemampuan anak didik agar dia tidak

terkungkung oleh tujuan-tujuan yang telah direkayasa. 36

Dengan begitu bukan hanya lingkungan yang merupakan sumber daya

pendidikan yang harus diperkaya tetapi juga manajemen serta para pelaksana

proses pendidikan tersebut harus sesuai dengan tuntutan kemerdekaan dan hak

asasi yang ada pada anak didik.

Sistem pendidikan yang demikian adalah sistem pendidikan yang diarahkan

kepada pemberdayaan anak manusia. Pemberdayaan tersebut harus merupakan

bagian dari kebudayaan masyarakat sehingga lingkungan mengkondisikan

terbentuknya sikap yang produktif dari diri anak didik. Pedagogik pembebasan

akhir-akhir ini menurut Tilaar, tidak lain merupakan proses pendidikan yang

memberdayakan peserta didik, masyarakat, juga negara yang memberikan

kesempatan yang seluas-luasnya bagi berkembangnya pribadi-pribadi yang bebas

yang mengenal kata hati dan

36 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal:56. Dalam pandangan Freire, manusia dipanggil untuk menjadi subyek yang sadar. Manusia itu sadar dalam bertindak. Karena itu manusia lebih sekedar hidup saja. Ia bereksistensi, ini bukan berarti bahwa manusia tidak terbatas, melainkan bahwa dengan praksisnya ia sanggup mengatasi situasi batasnya. Jika manusia hanya mengarah pada situasi batas ini, maka susutlah kemanusiaanya. Oleh karena itu pendidikan harus di arahkan untuk menjadikan peserta didik sebagai subyek. Lihat: Anton Sudiarja, Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam majalah mahasiswa Driyakarya, Dari Sudut-Sudut Filsafat Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hal: 109. Salah satu contoh dalam memposisikan anak didik sebagai subyek adalah dengan menjadikan dialog sebagai model pada pelaksanaan belajar mengajar. Dengan dialog anak didik akan teraktualisasikan ide-idenya, juga dialog akan menghindarkan suasana kemitraan antara guru dan murid. Dari sini menurut Freire dan Shor, Menjadi Guru Merdeka Petikan Pengalaman, Terjemahan oleh Budiman, Yogyakarta, LkiS, 2001, hal: 151. Lihat juga Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembesaran, Cet. II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal:189-199 kemanusiaan serta bebas dari segala oppresive ekonomis, politis maupun psikis.37

Page 102: data baru 1

87

Pendidikan telah dapat dipahami merupakan sebagian dari proses

kebudayaan, artinya apabila pendidikan itu dilepaskan dari kebudayaan, maka

tujuan pendidikan dapat dimanipulasi ke arah yang kurang jelas atau bahkan ke

arah yang salah dan dapat direkayasa oleh kekuatan-kekuatan politik penguasa.38

Pengalaman dalam konteks keindonesiaan menunjukkan, selama 32 tahun orde

baru terlihat bahwa pendidikan telah dimanipulasi untuk tujuan-tujuan di luar

pendidikan, bahkan menjadi alat untuk memperkokoh cengkeraman kekuasaaan

tertentu. Dengan demikian kebudayaan dalam arti yang sebenar-benarnya semakin

merana dan mati. Yang tersisa adalah puing-puing keuasaan yang juga telah

merampas kemerdekaan serta potensi pengembangan pribadi yang inovatif dan

produktif. Kehidupan manusia kontemporer yang penuh persaingan tetapi juga

penuh peluang membutuhkan pribadi-pribadi yang produktif dan pribadi-pribadi

tersebut hanya mungkin lahir dari suatu kebudayaan yang terbuka tetapi mantap dan

terarah ke masa depan yang lebih baik.

Reposisi pendidikan nasional dapat dirumuskan sebagai pengarahan proses

pendidikan sebagai proses pembudayaan serta pelaku kebudayaan

37 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal: 56. Berangkat dari pemikiran ini pula Tilaar kemudian mengkonsepsikan pedagogik transformatif bagi upaya pengembangan pendidikan nasional. 38 Kuntowijoyo menyebutkan sebagai redusir hak-hak rakyat ke dalam kepentingan kekuasaan ( status quo), di mana politik menjadi “panglima”. Oleh karena itu budaya harus di beri otonomi. Maksudnya ia adalah bagian dari dinamika masyarakat, tetapi tidak terikat denga kekuatan-kekuatan di dalamnya, seperti kekuatan politik dan komersial. Budaya itu seperti ikan di dalam air laut, hidup di dalamnya tetapi tidak menjadi asin. Lihat: Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, Bandung, Mizan, 2002, hal:82-89.

Page 103: data baru 1

88

yang produktif, oleh sebab itu sistem pendidikan nasionla harus memberikan

kesempatan pada pengembangan pribadi peserta didik untuk mengembangkan

inteleginsinya di dalam spektrum yang luas. Dengan demikian, sistem pendidikan

nasional akan menghasilkan self renewal reformation karena berpangkal kepada

manusia Indonesia yang berbudaya.39

Adanya suatu kekhawatiran bahwa gerakan reformasi dewasa ini akan

mengulang gerakan orde baru tidak akan terjadi lagi, karena reformasi yang

berkesinambungan didukung oleh manusia-manusia yang berjiwa reformasi melalui

pendidikan nasional yang didasarkan kepada kebudayaan dengan nilai-nilai luhur

yang ada di dalamnya. Sistem pendidikan nasional bukan hanya menghasilkan

manusia-manusia yang cerdas tetapi juga yang bermoral tinggi dan produktif

menghadapi tantangan kehidupan yang penuh persaingan.40

Oleh sebab itu, pendidikan nasional menurut Tilaar harus memenuhi kriteria

sebagai berikut :

a. Praksis pendidikan nasional harus dan perlu mengembangkan potensi intelektual

manusia Indonesia secara umum serta kaitan kemampuan tersebut dengan

kehidupan nyata dalam lingkungan yang semakin meluas dan mendalam yaitu

lingkungan keluarga, masyarakat lokal, lingkungan pekerjaan, lingkungan

pendidikan nasional dan global.

39 Ibid, hal:57 40 Kekhawatiran itu tercermin dari fenomena pemikiran H.A.R. Tilaar selama ini. Menurut Dharmaningtyas, apa yang menjadi ide/konsep H.A.R. Tilaar sebenarnya telah menjadi agenda serius bagi pemerintah. Oleh karena tiap masa pemerintah beda “kepentingan”, maka yang terjadi kemudian konsep fundamental H.A.R. Tilaar terabaikan lagi. Lihat: Dharmaningtyas, prolog yang disembunyikan dalam praktek pendidikan, dalam Syarief dan Murtadlo, Op. Cit., hal: 6-13

Page 104: data baru 1

89

b. Pendidikan nasional berperan dalam mengembangkan potensi yang secara

spesifik dari individu sesuai dengan potensi kepribadiannya. Dengan demikian

sistem pendidikan nasional harus mempunyai spektrum yang luas, sehingga

dapat menampung kebutuhan pengembangan pribadi peserta didik secara

individual.

c. Pendidikan nasional harus dan perlu mengembangkan sikap sopan santun

dalam pergaulan bermasyarakat. Nilai-nilai kebudayaan yang mengatur sikap

sopan santun tersebut perlu dikenal dan dilaksanakan oleh peserta didik

pertama-tama di dalam lingkungan keluarga, di dalam lingkungan sekolah dan

kemudian dalam masyarakat luas. Di dalam hal ini pendidikan budi pekerti di

lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) perlu digalakkan. Selain dari pada itu

lingkungan pendidikan sekolah merupakan suatu lingkungan dan suasana yang

dihidupi oleh nilai-nilai sopan santun yang dijunjung tinggi dalam kebudayaan

nasional.

d. Praksis pendidikan di semua lembaga pendidikan adalah mengembangkan

manusia Indonesia yang bermoral dalam tingkah laku, yang bersumber dari

kebudayaan nasional serta iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

dalam kehidupan sehari-hari.

e. Praksis pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan harus dan perlu

mengembangkan rasa kebangsaan Indonesia yang berbudaya kebangsaan

Indonesia, tanpa terperangkan dalam chavinisme yang sempit.41

41 Menurut H.A.R. Tilaar, istilah “praksis” di populerkan oleh teoretis sosial Perancis, Pierre

Bourdieu, yang menyatakan bahwa masyarakat dan budaya dibangun oleh pribadi-pribadi

Page 105: data baru 1

90

Menurut Kartodirjo kebudayaan dalam pendidikan nasional bukanlah

merupakan hal yang baru. Bahkan pendidikan nasional di dalam bentuknya yang

archaic adalah kegiatan kebudayaan. Ketika pendidikan nasional belum berbentuk

suatu sistem atau ketika pendidikan untuk bangsa Indonesia belum eksis dan hanya

ada pendidikan model kolonial pada masa penjajah, pendidikan dalam arti yang luas

tetap ada di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia di dalam bentuk kegiatan

kebudayaan. 42

Dalam era reformasi kita bertekad untuk membangun suatu masyarakat

Indonesia baru yaitu masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis

terdiri dari para anggotanya yang cerdas. Manusia yang cerdas bukan hanya

semata-mata memiliki kecerdasan intelek tetapi berbagai kecerdasan seperti

kecerdasan emosional dan kecerdasan etika serta estetika.

Menurut Tilaar, anggota masyarakat yang cerdas yang menjadi pilar-pilar

dari masyarakat Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya

(educaced and civiliced human being). Apabila hanya satu aspek saja dari pribadi

manusia Indonesia yang berkembang maka hasilnya seperti yang kita peroleh pada

masa yang lalu sebelum reformasi.

Hasil yang telah kita capai merupakan kegagalan paradigma lama

pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional telah menghasilkan manusia-

manusia parsial dalam perkembangan kepribadiannya, manusia yang dibangkitkan

amarahnya, yang tidak toleran dan kurang bertanggung jawab

kreatif melalui karya dan bicaranya sehingga kreasinya bersifat nyata alamiah dan bukan hasil lamunan yang abstrak. H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 139-140. 42Lihat: Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2, Jakarta, Gramedia,1993, hal: 99-199

Page 106: data baru 1

91

terhadap kehidupan sesamanya. Kehidupan yang bercorak KKN (korupsi-kolusi-

nepotisme) pada masa yang lalu menunjukkan kualitas manusia yang tidak

berbudaya. Kerusuhan, gejala-gejala disintegrasi bangsa yang kita lihat akhir-akhir

ini menunjukkan kekurangan komitmen terhadap kehidupan Indonesia yang

bersatu.

Manusia Indonesia seakan-akan kehilangan pegangan yang mengikat dalam

kehidupan bersama membentuk suatu masyarakat Indonesia yang tenteram-adil.

Ketiadaan unsur pengikat tersebut merupakan suatu hal yang perlu dipertanyakan.

Unsur pengikat tidak lain daripada kebudayaan yang hidup di tengah-tengah

masyarakat Indonesia yang beragam.

Paradigma beru reformasi pendidikan nasional haruslah didasarkan kepada

hal berikut:

a. Kebudayaan Indonesia yang bhineka dan merupakan suatu totalitas milik

bangsa Indonesia.

b. Kebhinekaan budaya nusantara yang menuntut eksistensi, artinya menuntut

pemeliharaan dan komitmen untuk menyumbang sebagai sumbangan unsur-

unsur budaya lokal bagi terwujudnya budaya nasional. 43

Paradigma baru reformasi pendidikan nasional yang berdasarkan

kebudayaan dengan demikian memerlukan redenfinisi mengenai visi, misi, dan

program pendidikan nasional yang kemudian perlu dijabarkan dalam berbagai

program lembaga kehidupan bermasyarakat termasuk lembaga pendidikan.44

43 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal: 209 44 Ibid

Page 107: data baru 1

92

Lembaga-lembaga pendidikan merupakan pranata sosial dari suatu

masyarakat yang berbudaya. Dengan demikian fungsi lembaga tersebut tidak lain

ialah memelihara, mengembangkan, dan mewujudkan nilai-nilai budaya yang

dimiliki oleh masyarakat pemiliknya. Lembaga-lembaga pendidikan yaitu

diselenggarakan oleh masyarakat semuanya merupakan pranata sosial yang

menjadi tumpuan kesinambungan hidup bersama yang diikat oleh nilai-nilai

kebudayaan. Tanpa nilai-nilai kebudayaan maka pada hakikatnya lembaga-lembaga

pendidikan tersebut tidak mempunyai hak hidup.45

Fungsi lain dari lembaga-lembaga pendidikan ialah mentransformasikan nilai-

nilai budaya mempunyai dua prinsip. Prinsip pertama ialah pengakuan adanya

kenyataan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Eksistensi kebudayaan

yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah keragamannya. Kedua nilai-nilai budaya

yang ada di dalam masyarakat Indonesia yang bhineka perlu dipilah-pilah untuk

memilih nilai-nilai yang luhur yang perlu dipertahankan serta meninggalkan nilai-nilai

yang tidak berfungsi lagi dalam menghadapi perubahan. Dengan demikian

transformasi budaya mengasumsikan adanya fungsi-fungsi imanen dan transenden.

Fungsi imanen yaitu memelihara nilai-nilai luhur di dalam kebudayaan, dan fungsi

transenden yaitu memilah-milah nilai-nilai yang

Visi, misi dan program pendidikan nasional secara konstitusional telah tertuang dalam penjelasan

atas undang-undang Rapublik Indonesia No.2 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yang pada

prinsipnya sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh H.A.R. Tilaar di atas. 45 Dalam era orde baru pendidikan formal maupun nonformal secara sistematis mulai terasingkan

dari kebudayaan, baik kebudayaan lokal maupun kebudayan nasional. Hal ini lebih disebabkan

antara lain karena perspektif yang parsial dari kebudayaan di dalam proses pendidikan nasional.

Dengan demikian fungsi pendidikan nasional sudah tidak sesuai

Page 108: data baru 1

93

ada untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman dan tuntutan perubahan

kehidupan masyarakat modern.46

Dengan demikian telah jelas kiranya betapa peranan kebudayaan dalam

usaha kita membangun masyarakat Indonesia baru. Kekayaan budaya nusantara

merupakan landasan yang sangat kuat untuk membina suatu masyarakat yang

demokratis yang mengakui adanya keragaman budaya sebagai kekayaan nilai-nilai

luhur dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Menggambarkan adanya pendidikan tanpa kebudayaan berarti menafikan

keberadaan kebudayaan dan proses pendidikan itu sendiri. Kebudayaan tidak dapat

eksis tanpa pendidikan, begitu pula pendidikan menjadi kosong tanpa keberadaan

kebudayaan yang merupakan isi dari proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan tanpa

kebudayaan akan menghasilkan robot-robot tanpa arah dan bukan mustahil

menghasilkan manusia-manusia yang tidak berbudaya atau menumbuhkan

manusia-manusia dan masyarakat yang tidak beradab.

Perubahan paradigma pendidikan nasional berdasarkan kebudayaan

menuntut struktur pendidikan nasional yang tidak sentralistik karena

dengan amanat pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ibid hal: 210. 46 Ibid, hal: 211

Menurut Habibie, oleh karena setiap zaman ada tantangannya sendiri-sendiri, maka

yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia kita adaptif terhadap

perubahan. Disamping itu yang tak kalah pentingnya adalah mereka harus dibekali kesadaran etis

dan keinginan yang kuat untuk membaktikan karyanya demi kepentingan orang banyak

(pembangunan). Lihat B.J. Habibie, Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pembangunan Bangsa

Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia, Jakarta, Cides, 1995, hal: 315-117.

Page 109: data baru 1

94

berdasarkan kepada kenyataan kebudayaan nusantara yang bhineka. Bentuk dan

struktur pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat merupakan suatu tuntutan.

Sistem pendidikan yang demikian juga sejalan dengan jiwa desentralisasi dan

otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi. 47

Tilaar juga menegaskan bahwa krisis yang dihadapi oleh masyarakat dan

negara Indoneisa dewasa ini antara lain yang mengkhawatirkan adalah suatu gejala

kearah disintegrasi bangsa. Dengan demikian muncul pertanyaan apakah masih ada

unsur-unsur perekat bagi persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia? Dalam

hal ini dapat diambil berbagai pandangan para ahli mengenai fungsi kebudayaan

sebagai sarana perekat kehidupan masyarakat. Menurut Vygotsky, kognisi 48 bersifat

sosial dan mental. Artinya kegiatan kognitif manusia hanya bisa terjadi di dalam

llingkungan sosial dan budaya. Selanjutnya kegiatan kognitif bersifat mental yang

hanya dapat distimulasi oleh lingkungan. Dengan kata lain antara kognisi dan

lingkungan budaya merupakan suatu kesatuan. Penelitian akhir-akhir ini mengenai

perkembangan kognisi serta kemajuan komputer menunjukkan bahwa

pengembangan kognisi yang distimulasi oleh lingkungan sosial dan budaya

merupakan suatu proses.49

47 Lihat: H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional Cet. II, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, hal:

17-28. Lihat juga: Azzumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan

Demokrasi, Jakarta, Kompas, 2002, hal:3-9. 48 Kognisi adalah proses pengenalan dan penafsiran lingkungan oleh seseorang berdasarkan

pengetahuan faktual yang empirik. Tim penyusun Kamus P.P.P.B. Dep. Dik. Bud, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Balai Pustaka, 1999, hal: 511. 49 H.A.R.Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal: 215.

Menurut Kartono, tidak mungkin anak hidup di luar fisik dan lingkungan budaya

kaumnya. Ia dilahirkan dan dihidupi, didewasakan dan dididik di tengah masyarakat dan kaum

kerabatnya. Maka kebudayaan kaum dan bangsanya itu dihayati oleh anak sebagai bagian dari

kepribadiannya. Oleh karena itu benar kiranya jika kognisi memiliki dimensi sosial dan mental.

Lihat: Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta, Pradnya

Paramita, 1997 hal: 75.

Page 110: data baru 1

95

Hal ini berarti bahwa di dalam perkembangan kognisi diperlukan apresiasi

budaya. Apresiasi budaya bukan sesuatu yang lahir dengan sendirinya tetapi

merupakan suatu proses antara individu dengan kebudayaannya atau di dalam

proses belajar. Apresiasi budaya adalah merupakan suatu proses belajar.

Pendidikan kebudayaan, juga dalam hal pendidikan yang berdasarkan

kebudayaan berarti bahwa kebudayaan bukan hanya dipelajari terlebih

diapresiasikan. Hubungan antara kognisi dengan lingkungan berarti bahwa

perkembangan kognisi juga aspek-aspek lainnya dari kepribasian manusia seperti

berbagai jenis intelengihanya dapat berkembang di dalam interaksi dengan

lingkungan atau kebudayaannya. Dengan interaksi tersebut maka individu-individu

dapat berhubungan satu dengan yang lain sehingga dapat tumbuh dan berkembang

rasa persatuan. Tanpa pengenalan satu dengan yang lain akan muncul saling curiga

dan tidak menutup kemungkinan ke arah perpecahan. Dengan demikian terjadilah

suatu kesatuan bangsa yang kaya dengan nuansa-nuansa budaya dari masing-

masing unsur etnis. Kebudayaan sebagai suatu bangsa muncul dari

keanekaragaman budaya etnis tetapi juga dapat disatukan demi untuk mencapai

tujuan bersama. Pentingnya budaya lokal termasuk bahasa daerah di dalam teori

Vygotsky yang berkembang dalam Ecological Psychology menunjukkan bahwa

unsur-unsur lokal merupakan fondasi dari perkembangan kognitif manusia.50

Di dalam kehidupan modern yang serba terbuka perkembangan kognisi

merupakan unsur yang sangat penting. Bukankah abad 21 merupakan abad

50 H.A.R.Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal:217

Page 111: data baru 1

96

terbuka yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang memerlukan

kemampuan kognitif yang besar? Oleh sebab itu pengembangan kognisi di dalam

proses pendidikan yang menuntut adanya interaksi denga lingkungan berarti pula

menuntut pengenalan da apresiasi budaya lokal.

Apabila dilihat peranan kebudayaan sebagai perekat persatuan bangsa,

maka kebudayaan juga berfungsi sebagai alat prekat kesatuan Negara. Di samping

apresiasi terhadap budaya lokal atau etnis maka tahap berikutnya bagi masyarakat

dan bangsa Indonesia adalah apresiasi kebudayaan nasional. Memang kebudayaan

nasional belum terbentuk (secara sempurna, untuk itu membutuhkan pembenahan-

pembenahan) tetapi di dalam proses pembentukan yang terus menerus

sebagaimana yang telah diikrarkan oleh para pemuda pada tahun 1928.51

Di dalam kebudayaan nasional antara lain kita lihat peranan bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional dijadikan sebagai perekat kesatuan negara.

Dengan bahasa nasional dapat terjadi komunikasi antar etnis yang beragam. Dan

dengan demikian pula dapat dapat merupakan salah satu unsur untuk

melaksanakan efisiensi di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah

satu tugas pendidikan nasional ialah pengembangan bahasa Indonesia sebagai

bahasa nasional dan merupakan salah satu unsur kebudayaan nasional.

51 Ibid, hal: 218.

Berkaitan dengan kebudayaan nasional, Ki Hadjar Dewantara mengajukan gagasan

bahwa kebudayaan nasional harus unik, berkepribadian khas dan bermutu tinggi, sehingga dapat

memenuhi kebutuhan setiap warga bangsa Indonesia akan perasaan bangga terhadap bangsa

sendiri dan menjadi acuan identitas nasionalnya. Permasalahannya sekarang adalah,

bagaimana agar gagasan tersebut tidak sekedar menjadi ornamen sejarah? Lihat: I Gusti Gede

Ardana, Ilmu Budaya Dasar (Kumpulan Bahan Kuliah), Denpasar, UNUD Press, 1987, hal:6-13

Page 112: data baru 1

97

Pengembangan kebudayaan nasional bukan berarti menghilangkan kebudayaan

lokal atau kebudayaan etnis, karena kebudayaan etnis merupakan unsur-unsur

fondasi dari kebudayaan nasional.

Melihat bahwa kebudayaan itu merupakan suatu totalitas yang integratif,

maka pendidikan baik yang formal maupun non-formal harus berkenaan dengan

seluruh aspek budaya dan bukan semata-mata dibatasi kepada nilai-nilai ilmu

pengetahuan. Ilmu pengetahuan saja baru merupakan salah satu aspek dari suatu

kebudayaan. Dengan demikian pendidikan nasional bukan hanya meliputi pelajaran

tetapi lebih esensi ialah nilai-nilai kebudayaan sebagai keseluruhan, dan dengan

ditopang semangat pribadi yang unggul.

Page 113: data baru 1

98

BAB IV

ANALISIS

Menurut Rahman, dalam dunia pendidikan Prof. Dr. H.A.R. Tilaar,

M.Sc.Ed merupakan tokoh yang patut diperhitungkan eksistensinya. Sepanjang

kariernya beliau begitu aktif dan concerned dalam memperuangkan perbaikan

pendidikan di lndonesia, khususnya dalam kapasitasnya sebagai seorang ilmuan

sekaligus praktisi pendidikan.1 Dari ide-ide konseptual Tilaar sebagaimana telah

diuraikan dalam bab III, beberapa hal yang perlu penulis analisa adalah sebagai

berikut:

A. Pendidikan Sebagai Proses Pembudayaan dan Pendidikan Nilai

Pendidikan lebih banyak dikonsepsikan Tilaar sebagai proses

pembudayaan. Sebagai proses pembudayaan, pendidikan tidak hanya sekedar

pengalihan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan

teknis tertentu yang perlu dilakukan, tetapi juga penumbuhan dan

pengembangan peserta didik menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan

beradab, yang tercermin dalam sistem nilai yang dianut seseorang

dalam

1 Arif Rachman, lahir di Malang, 19 Juni 1942, Pernah menempuh pendidikan di Luar negeri; antara lain di Highland Park High School, N.J, USA (1990), Victoria University, N.Z. (1965), Tavistock House London (1970), dan R.E.L.C. Singapore (1982). S1-nya diperoleh dari IKIP Jakarta (1970), S2-nya tahun (1984). la memperoleh gelar Doktor Pendidikan dari IKlP Jakarta tahun 1997, Aktif di berbagai organisasi. Sekarang menjabat sebagai kepala SMU Lab. Schoo l IKlP Jakarta sejak 1991 sampai sekarang. Syarief dan Murtadlo, Pendidikan Untuk Masyarakat lndonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed., Jakarta, Grasindo, 2002, hal: 489.

Page 114: data baru 1

99

sebuah tatanan masyarakat. Oleh karena itu pendidikan sebagai proses

pembudayaan semestinya menurut Tilaar banyak memuat pendidikan nilai.2

Pendidikan nilai adalah upaya untuk membantu peserta didik mengenal,

menyadari pentingnya, dan menghayati nilai-nilai yang pantas dan semestinya

dijadikan paduan bagi sikap dan perilaku manusia, baik secara perorangan

maupun bersama-sama dalam suatu masyarakat. Nilai akan menjadi dasar

prinsip dan norma yang dapat memandu sikap dan perilaku seseorang dalam

kehidupannya. Kualitas seseorang ditentukan oleh nilai-nilai yang dia hayati

sebagai pemandu sikap dan perilaku.3

Setiap kebudayaan rnemiliki sistem nilai, baik yang dalam kenyataan

dihayati maupun yang masih berupa cita-cita, sebagai suatu yang layak

diupayakan perwujudannya demi masa depan manusiawi yang lebih baik.

Mengingat manusia sendiri adalah pusat dan perilaku aktif

kegiatan

2 Lihat: H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani lndonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung, Remaja Rosda Karya,2000a, Bab III. H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000b, Bab XIV. H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Magelang, Tera lndonesia, 1999, Bab V. 3 Nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang menjadi dasar atau kepribadian bangsa lndonesia, dan selanjutnya di "institusi"kan menjadi Pancasila.

Menurut Poespo Wardojo, kedudukan pancasila bagi bangsa lndonesia adalah: (1). Sebagai Dasar Negara; pancasila dimaksudkan sebagai landasan serta pedoman bagi kehidupan bangsa dan negara dalam menyongsong masa depan. (2), Sebagai idiologi Negara; pancasila dimaksudkan sebagai keseluruhan sistem ide yang secara normatif memberikan persepsi, landasan serta pedoman tingkah laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. (3). Sebagai Filsafat, a. filsafat sebagai metode, menunjukkan cara berfikir dan cara mengadakan analisa yang dapat dipertanggung jawabkan untuk dapat menjabarkan idiologi pancasila, b. pancasila sebagai filsafat, mengandung arti sebagai pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan idiologi pancasila. Lihat: Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebagai Pedekatan Sosio-Budaya, Jakarta, Gramedia, 1989, hal: 1-14.

Page 115: data baru 1

100

pengembangan kebudayaan, maka strategi yang paling efektif menurut Tilaar

adalah melalui kegiatan pendidikan.

Pada Zaman Orde Baru, pendidikan nilai itu selalu dikaitkan dengan

nilai-nilai dasar Pancasila (sebagai filosofi atau pandangan-dunia bangsa

lndonesia) yang kemudian disajikan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila

dan Kewarganegaraan (sebelumnya disebut Pendidikan Moral Pancasila). Akan

tetapi pendidikan nilai di sekolah yang berlangsung sebelumnya terlalu negara-

sentris, kering, hambar, bahkan cenderung ideologis dan pro-status quo.

Reformasi di bidang pendidikan nilai di sekolah juga dipandang mendesak

karena diduga salah satu biang terpuruknya bangsa ini dalam krisis

multidimensi diakibatkan kegagalan pendidikan nilai dan moral di sekolah.

Hal ini menurut Tilaar juga masih ditambah tidak adanya kebijakan

pendidikan yang mendasarkan diri pada kekuatan Catur Santika Saruka yang

meliputi kerjasama regional dan internasional, demokrasi dan HAM, ilmu

pengetahuan dan teknologi serta identitas bangsa.4

Formulasi substansi dan materi pengajaran pendidikan nilai yang lama,

terlalu berpola deduktif, khas kebijakan politik Orde Baru yang ingin mengontrol

semua bidang kehidupan. Pemaknaan nasionalisme, misalnya, jarang

sekali

4 Padahal dalam kesepakatan APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) dan KTT Bogor tahun 1994, negara-negara maju telah akan melaksanakan perdagangan bebas mulai tahun 2010, sedang bagi negara-negara berkembang mulai tahun 2010. Dan jauh sebelum itu, berdasarkan kesepakatan pemirnpin ASEAN di Singapura tahun 1992, bahwa ASEAN Free Trade Arga (AFTA) akan di berlakukan mulai tahun 2003. H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasl Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020, Jakarta, Grasindo , 1977, hal: 1.

Page 116: data baru 1

101

dikaitkan dari sudut pandang kelompok-kelompok masyarakat yang begitu

beragam. Nasionalisme disajikan dalam bentuknya yang negara-sentris.

Separatisme dimaknai secara hitam-putih tanpa dilihat dari perspektif lebih luas.

Sementara itu, nilai-nilai seperti kejujuran, ketulusan, kebajikan, dan

semacamnya, banyak tampil sekadar semacam petuah tanpa eksplorasi

mendalam dari raison de êntrenya, eksplisit maupun implisit.5

Momentum lahirnya kebijakan otonomi daerah, yang diatur dalam UU

No. 22/1999, seperti memberi napas baru bagi dunia pendidikan yang terengah-

engah. Berdasar undang-undang itu, wewenang terbesar bidang pendidikan

ada di tangan pemerintah daerah, baik kebijakan menyangkut alokasi budget

maupun kebijakan yang bersifat strategis di bidang kurikulum. Apalagi dengan

diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 044/U/2002 tentang

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka perangkat pemulihan daya

pendidikan semakin tersedia.

Dari perspektif otonomi pendidikan ini, pemikiran Tilaar tentang

pendidikan sebagai proses pembudayaan dan pendidikan nilai menjadi suatu

yang riil yang dapat diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di seluruh

wilayah nusantara terkait dengan sudah adanya upaya reformasi

lni menunjukkan betapa orde waktu itu kurang tanggap terhadap gejala global yang nantinya akan memberikan dampak cukup signifikan terhadap kelangsungan kehidupanberbangsa dan bernegara; atau bisa jadi ini merupakan "strategi" untuk menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai asasinya. 5 Dunia pendidikan pun akhirnya tidak luput dari cengkeraman hegemonik kekuasaan. Ini bukan berarti pendidikan tidak berkepentingan dengan politik; bahkan mestinya mulai sekarang harus dirancang bagaimana menyusun materi politik yang baik (sesuai dengan nilai asasi bangsa lndonesia) ke dalam kurikulum sekolah, sebab pada saat alih generasi nanti, jangan sampai terulang kembali di mana pemerintah dikendalikan oleh sistem politik yang tidak benar. Lihat: Muchtar Buchori, Peran Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik Di

Page 117: data baru 1

102

dalam pendidikan di lndonesia. Akan tetapi secara rinci-sistematis, karya-karya

Tilaar belum mendiskusikan peluang pengembangan pendidikan moral atau

pendidikan nilai di sekolah yang berbasis sumber daya atau hasanah setempat,

yakni yang bisa berupa sejarah atau pemikiran yang bersumber dari kearifan

lokal. Walaupun telah mengkonsepsikan pedagogik transformatif, akan tetapi

karya Tilaar ini masih terlalu filosofis-teoretik, belum mengakar pada ciri

kebudayaan lokal keindonesiaan.6

Asumsi dasarnya adalah, dalam warisan sejarah dan pemikiran lokal itu

ada sejumlah etos dan nilai moral yang inheren dan betul-betul hidup dalam

masyarakat, sehingga ada keterjalinan yang cukup kuat antara peserta didik

dengan kurikulum yang disajikan. Bahkan, hasanah yang juga bisa disebut

tradisi ini pada titik tertentu dapat menjelma visi dan orientasi bersama yang

dapat mengarahkan gerak maju masyarakat.

Dalam ranah itu pula dimungkinkan terjadinya proses dialog-kreatif baik

bersifat personal-eksistensial maupun sosial-kolektif dengan nilai-nilai

keberadaban yang menjadi muasal/permulaan akar hidup masyarakat itu

sendiri. Selain karena memang didukung oleh instrumen kebijakan yang cukup

memungkinkan itu, peluang pengembangan ini menjadi terbuka karena

belakangan ini relative semakin mudah mengakses hasanah lokal melalui

Indonesia, dalam Sindhunata (Ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal: 17-31. 6 Lihat: H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, Bab Xlll-XVl. Pedagogik transformatif di sini bertitik tolak dari pandangan bahwa perubahan sosial mempengaruhi proses pendidikan dan

Page 118: data baru 1

103

buku- buku ilmiah populer. Buku-buku itu setidaknya sudah bisa menjadi bahan

awal untuk mengangkat hasanah lokal yang selama ini kurang diperhatikan

gunadisajikan kepada siswa di sekolah; belum lagi bila pemerintah daerah nanti

membaca peluang ini dan mengeksplorasi serta memberdayakan karya-karya

putra daerah di seantero perguruan tinggi yang mengupas hasanah lokal itu.

Karya-karya semacam ini yang bersifat ilmiah dan berbasis penelitian serius

kemungkinan besar akan cukup banyak ditemukan dilingkungan akademik.

Dengan memberi ruang pada hasanah dan sejarah lokal, berarti dunia

pendidikan akan berusaha mempertautkan kembali keterputusan dunia

pendidikan dengan proses pembudayaan yang menjadi titik akhir pendidikan

moral.

Proses internalisasi nilai-nilai moral tidak lagi akan bercorak terlalu

deduktif, tetapi bisa lebih bersifat induktif sehingga secara perlahan dan

mendalam dapat diturunkan ke lubuk pemahaman peserta didik. Alur induksi

nilai-nilai itu menjadi mungkin karena nilai-nilai itu sendiri sudah terjangkarkan/

menancap secara cukup baik dalam ingatan panjang wawasan kebudayaan

masyarakat.7

Memang dalam proses penerapannya nanti, kreativitas pemerintah

(terutama Dewan Pendidikan di masing-masing kabupaten) akan banyak

dituntut kreativitasnya, terutama dalam meramu bahan-bahan untuk

bidang

sebaliknya, perubahan sosial di sebabkan karena kreatifitas dari manusia itu sendiri. Dalam proses timbal balik dari kedua kekuatan tersebut melahirkan pedagogik transformasi.

Page 119: data baru 1

104

studi ini. Demikian juga yang menyangkut penyediaan fasilitas pendukung dan

sistematisasi bahan mentah yang relatif masih belum terstruktur. Tantangan

ini di sisi lain dapat meningkatkan kepedulian putra daerah bagi pengembangan

pendidikan dan konservasi hasanah lokal yang belakangan terancam punah

dilibas arus globalisasi.

B. Perlunya Pendidikan sebagai Sarana Pembentukan Watak Generasi

Bangsa

Pendidikan yang bermaksud membantu terbentuknya watak yang baik

dan kepribadian yang utuh sebagai bagian dari pendidikan budaya, akan

menekankan pengenalan dan pengembangan potensi-potensi kemanusiaan

peserta didik. Dalam hal ini, segi pengenalan dan penerimaan diri, penumbuhan

harga diri dan kepercayaan diri, penumbuhan macam-macam intelegensia

peserta didik menjadi suatu yang juga penting. Pendidikan yang baik adalah

pendidikan yang berguna dalam dinamika perkembangan masyarakat manusia.

Pendidikan semacam itu harus dapat membekali peserta didik dengan

pengetahuan dan keterarnpilan yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan

dan memenuhi kebutuhan hidupnya.8

7lnternalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan, sampai ia hampir meninggal, di mana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan hasrat, nafsu serta emosi yang diperlakukannya sepanjang hidup. Menurut Koentjaraningrat, manusia mempunyai bakat yang telah terkandung dalam gennya untuk mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu serta emosi dalam kepribadian individunya, tetapi wuiud dan pengaktifan dari berbagai macam isi kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimuli yang berada disekitar alam dan lingkungan sosial maupun budaya, Koentjaraningrat, Pengantar llmu Antrapolagi, Cet. Vlll, Jakarta, Rineka Cipta, 1990. hal:228. 8Christoper.J. Lucas (1976), menyakinkan bahwa pendidikan menyimpan kekuatan luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberikan informasi

Page 120: data baru 1

105

Dengan tanpa meninggalkan kepentingan pendidikan di atas dalam

perspektif budaya sebagaimana analisis Tilaar, pendidikan harus

mendapatkan tempat semestinya. Salah satu hal penting sebagai upaya

membantu terbentuknya watak yang baik dan kepribadian utuh peserta

didik, maka segi praktis dan pragmatis tidak boleh menjadi satu-satunya hal

yang dikedepankan dengan mengorbankan hal yang lain. Watak dan

kepribadian bangsa akan sangat ditentukan oleh watak dan kepribadian

individu-individu yang membentuk masyarakat bangsa tersebut.9

Dalam proses pendidikan yang diarahkan kepada individu,

pembentukan watak dan karakter tidak dapat diabaikan begitu saja, karena

hal ini dapat mengakibatkan kemerosotan watak dan kepribadian bangsa.

Hal ini akan memiliki konsekuensi yang serius bagi kemampuan bangsa

tersebut dalam percaturan internasional yang semakin sulit dihindari

akibat arus globalisasi yang semakin intens.

Bagi Sudarminta,10 maksud dan tujuan pendidikan pada hakikatnya

memiliki dua tujuan dasar. Kedua hal itu, katanya mengutip gagasan

filosof yang paling berharga mengenai pegangan hidup masa depan dunia, serta membantu anak didik dalam mempersiapkan kebutuhan hidup yang esensial demi menghadapi perubahan. Mengingat sedemikian strategisnya keberadaan pendidikan, sedikit saja salah dalam menerapkan kebijakan, maka berapa banyak anak didik yang jadi korban. Lihat: Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta, LP3EN, 1998, hal: 53 9 Berkaitan dengan nilai-nilai yang akan membentuk watak dan kepribadian bangsa, Al- Ghazali (1058-llll), menegaskan bahwa sistem pendidikan hendaknya bertujuan terutama untuk membentuk budi pekerti yang baik yang akan mernbuahkan perilaku yang baik untuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat secara seimbang. Secara implisit penegasan ini mengisyaratkan bahwa pendidikan yang tidak diorientasikan pada tercapainya budi pekerti luhur, maka pendidikan justru hanya sekedar "pabrik" yang mencetak intelektual-intelektual tak bermoral. Lihat: Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-Ghazali Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, terjemahan Oleh Naingolam dan Hasan, Jakarta, Dea Press. 2000. hal: 32-56. 10 J. Sudarminta, lulus sarjana pendidikan dari lKlP Sanata Dharma Yogyakarta 1979. Meraih gelar M.A.A. di bidang filsafat pada tahun 1986 dari Fordham University, New York, dan kemudian gelar Ph. D. bidang filsafat dari universitas yang sama tahun 1988. Saat ini menjabat sebagai ketua STF Driyakara, Jakarta, Dosen luar biasa di Umika Atma Jaya,

Page 121: data baru 1

106

Driyarkara, adalah proses membentuk sosok profil manusia dengan

mentalitas sangat human (manusiawi) yang memiliki penampilan fisik yang

sehat, normal, dan wajar kelakuannya. Tegasnya, praktik penyelenggaraan

pendidikan harus selalu mengacu pada dua hal penting, yakni proses

humanisasi dan hominisasi. Dari arti katanya Humanisasi berarti proses

membawa dan mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri

hingga punya mentalitas sangat manusiawi. Artinya, orang lalu punya

kemampuan untuk menempatkan diri secara wajar, pengendalian diri, dan

tentu saja berbudaya. Sedang hominisasi diartikan sebagai proses

menjadikan seseorang sebagai manusia,l1

Menjadi manusia yang manusiawi dengan sendirinya akan

mengandaikan orang itu juga berbudaya dan beradab (civilized).

Pendidikan yang bisa membentuk orang menjadi berbudaya dan beradab

akan berangkat dari dua proses, yakni inkulturasi dan akulturasi. Yang

pertama lebih mengacu pada proses internalisasi semua nilai-nilai tradisi

serta upaya keras mengenal budaya sendiri, sehingga akhirnya orang bisa

berakar kuat pada kebudayaannya sendiri. Yang kedua lebih mengacu

kepada aspek keterbukaan, toleransi atas masuknya pengaruh unsur-unsur

kebudayaan asing. Pada konteks yang kedua inilah, penguasaan bahasa

asing menjadi mutlak agar kita bisa berdialog dengan masyarakat dan

budaya asing. Kedua hal ini akan saling menopang, karena tidak mungkin

seseorang dengan mudah menerima pengaruh budaya asing dan menjadi

toleran terhadapnya kalau ia tidak punya pijakan kuat terhadap budaya

sendiri.

Jakarta dan pada jurusan Filsafat program pascasarjana Universitas lndonesia. Syarief dan Murtadlo, Op. Cit., hal: 496. 11 Lihat: J.Sudarminta Sj. Pendidikan dan Pembentukan watak yang baik, dalam Syarief dan Murtadlo, Op. Cit., hal:455-468.

Page 122: data baru 1

107

Dalam analisis Tilaar, walaupun sudah banyak menganalisis dua

komponen ini, ternyata Tilaar lebih banyak mengedepankan aspek inkulturisasi

daripada akulturasi.12 Padahal, di era global seperti sekarang ini sudah tak

memungkinkan lagi bagi anak didik semua untuk hidup sendiri, terpisah dari

pergaulan global. Untuk dapat merealisasikan hal ini akan sangat perlu

dikedepankan lilma visi dasar pendidikan manusia abad ke-21 sebagaimana

pernah diajukan oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and

Cultural Organizatian). Pertama, Iearning how to think (belajar bagaimana

berpikir) yang memuat aspek-aspek pendidikan yang mengedepankan

rasionalitas, keberanian bersikap kritis, mandiri, hobi membaca;

kedua,learning how to do (belajar hidup) yang memuat aspek-aspek

keterampilan dalam keseharian hidup termasuk kemampuan pribadi

memecahkan setiap masalah; ketiga, learning to be (belajar menjadi diri sendiri)

yang berarti aspek mendidik orang agar dikemudian hari orang bias tumbuh

berkembang sebagai pribadi yang mandiri, punya harga diri, dan bukan

sekadar memiliki having (materi). Being dan having, dua kategori filosofis

yang mengacu pada cara berada manusia harus dibedakan. Aspek keempat

adalah leaming how tolearn (belajar untuk belajar hidup) yang berarti

menyadarkan bahwa pengalaman sendiri itu tak pernah mencukupi sebagai

12 Asumsi ini di dasarkan pada analisis H.A.R Tilaar mengenai Catur Santika Saruka (Empat Kekuatan Global yang Mengarahkan). Lihat H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi Visi Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020 Jakarta, Grasindo, 1997, hal:42-114.

Page 123: data baru 1

108

bekal hidup. Orang perlu juga mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir

imaginatif hal-hal yang barangkali malah tidak kita peroleh dari bangku sekolah.

Sedangkan aspek kelima adalah leaming how to live together (belajar

hidup bersama) yang mensyaratkan pendidikan memberikan ruang bagi

pembentukan kesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global

bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik

dan budaya lain.13 Pendidikan nilai, seperti tanggung jawab atas pelestarian

lingkungan, toleransi, perdamaian, penghormatan HAM, menjadi perlu

diperhatikan guna membentuk manusia yang baik secara manusiawi.

c. Kritik atas Kekeliruan Kebijakan Pemerintah

Tilaar banyak mengusulkan agar visi pendidikan nasional dirumuskan

kembali. Perumusan kembali visi pendidikan berupa perubahan landasan

falsafah itu penting dilakukan untuk menghadapi persaingan yang begitu ketat

pada era global ini.14 Falsafah pendidikan yang baru nanti harus dikaitkan

dengan aspirasi berbangsa seperti tertuang dalam konstitusi negara,

mengaitkannya dengan konsep ketahanan, keutuhan, kerukunan dan kesatuan

berbangsa.15 Di sinilah diharapkan akan diketemukan apa yang

seharusnya

13 H.A.R. Tilaar, menambahkan bahwa kesadaran tersebut akan rnemberikan implikasi pada terbentuknya suatu masyarakat madani (civil society) di mana setiap anggota dapat mengembangkan potensinya bagi kesejahteraan masyarakatnya, serta dapat berkomunikasi dengan sesama manusia secara efektif. Ibid., hal: 260. 14 Dalam sambutannya, mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional), A Malik Fadjar telah memberi rekomendasi, bahwa pemikiran-pemikiran H.A.R. Tilaar selayaknya dan diharuskan dapat memberikan atau dijadikan konstribusi bagi kajian atas konsep yang mendasari pengembangan dan perbaikan nasional. Falsafah, visi, misi dan tujuan pendidikan nasional, termasuk landasan budaya, karena kita percaya bahwa setiap pembangunan dan reformasi memiliki dimensi budaya (rekomendasi setengkapnya ada 10 butir). Lihat A. Malik Fadjar,

Page 124: data baru 1

109

menjadi esensi pendidikan yang memang benar-benar diperlukan secara

konsisten. Karena sekarang ini dibutuhkan fondasi kuat untuk dapat

membangun pendidikan nasional yang kuat.

Virus pendidikan selama ini adalah karena pelaksanaan pendidikan

malah menjadi sumber masalah daripada potensi pemecah masalah. Disisi lain,

dari tahun ke tahun perubahan yang dilakukan pemerintah hanyalah berupa

kosmetik atau sekadar diobok-obok.18 Padahal yang dibutuhkan justru

perubahan mendasar, yakni pada landasan falsafah pendidikan itu sendiri yang

selama ini nyaris tak pernah dibicarakan oleh penyelenggara pendidikan

nasional. Virus ini lebih gemar melihat ke belakang dan mengukur keberhasilan

dari pencapaian di masa lalu, bukan dengan potensinya yang relevan terhadap

tantangan masa mendatang. Visi pendidikan bagi orang seperti itu adalah

pendidikan yang berusaha menciptakan pemasungan, bangsa yang direduksi

menjadi bonsai sama dan sebangun dalam nalar, aspirasi, sikap dan tutur kata

bahkan dalam mimpi mereka.

Hal-hal sernacam itulah yang menurut Tilaar menjadi sumber malapetaka

pendidikan secara nasional. Bagaimanapun usaha itu dilembagakan ia

akan

Kata Sambutan Menteri Pendidikan Nasional, dalam Syarief dan Murtadlo, Op. Cit., hal; xvii-xxii. 15Dalam GBHN 1999-2004 dijelaskan; (1). Berkaitan dengan pendidikan, bahwa kebijakan pemerintah adalah melakukan pembaharuan sistem pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum, berupa disversifikasi kurikulum untuk melayani, keberagaman peserta didik,Penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional (butir ke-3); (2). Berkaitan dengan kebudayaan, bahwa arah kebijakan pemerintah adalah merumuskan nilai-nilai kebudayaan lndonesia sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas perilaku kehidupan ekonomi, politik, hukum, dan kegiatan kebudayaan dalam rangka

Page 125: data baru 1

110

tetap gagal, karena titik tolak dan orientasinya hanya pada kepentingan

stabilitas politik kekuasaan, bukan kepada kepentingan kemajuan bangsa dalam

konteks yang wajar.

Adanya ilusi skala nasional yang berupa obsesi para pemimpin

merupakan petunjuk kuat bahwa mereka sama sekali tidak mampu memahami

hakikat pendidikan dalam rangka memberdayakan dan memandirikan bangsa

yang besar ini.

Rakyat telah digiring memasuki kehidupan serupa itu dan kini mereka

menyaksikan hasilnya: sebuah ilusi atau kepalsuan di dalam skala yang besar.

llusi skala nasional itu tak dapat mengklaim mampu memberikan daya tahan

ekonomis, daya tahan moral, bahkan daya nalar sekalipun kepada bangsa

ini.

Kondisi bangsa yang begitu tercabik-cabik menyusul porak-porandanya

tatanan ekonomi, serta hancur-leburnya sistem sosial budaya. Pada saat

bersamaan manifestasi perilaku tak bermoral semakin menjadi-jadi, terpecah-

belahnya bangsa sampai tiadanya kemampuan berbuat jujur, berpikir sehat,

bertutur sopan mulai dari rakyat sampai elite politik yang berkuasa. Bahkan

pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas berbudaya masyarakat (butir ke-2). Tap MPR No.IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negar a 1999-2004, Cet. II, Jakarta, Sinar Grafika,2OO2, hal: 28-29. 16 Dharmaningtyas memberikan istilah untuk kondisi pendidikan pada masa orde baru sebagai alat kekuasaan dan militeristik. Lihat: Dharmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Kisis (Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal: 125-14517 Azra mencatat setidaknya ada tujuh msalah pokok berkenaan dengan hancurnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara akibat kegagalan pendidikan nasional: (1). Arah pendidikan telah kehilangan obyektivitasnya, (2). Proses pendewasaan diri tidak berlangsung, (3). Proses pendidikan sangat membelenggu peserta didik (bahkan guru), (4). Beban kurikulum yang demikian berat (lebih parah lagi hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka), (5). Sebagian

Page 126: data baru 1

111

sekarang ini tampak bahwa hampir tidak ada sisa pengaruh yang menunjukkan

bahwa bangsa ini telah (pemah) besar atau dibesarkan oleh pendidikan di masa

lalu.17

Tilaar juga mengungkapkan bahwa selama ini, visi pendidikan dan filosofi

pendidikan nasional hanya diorientasikan tambal-sulam soal kurikulum,

akreditasi atau Ebtanas yang hanya sekedar serangkaian masalah praktis

teknis, hanya konsekuensi atau akibat dari pemahaman konsepsional dan

falsafah dasar bangsa ini tentang pendidikan, artinya, adalah salah jika orang

berpendapat bahwa yang perlu diprioritaskan sekarang adalah perbaikan

kurikulum yang tidak pas.18 Analisis Tilaar ini akan sangat bermanfaat jika

ditambahkan sebuah argument bahwa tanpa adanya sebuah pemahaman

bahwa kurikulum yang tidak pas itu ternyata dilahirkan oleh sebuah konsep

yang tidak pas pula. Jadi bukan sebaliknya.

D. Paradigma Baru Sistem Pendidikan Nasional (Sebuah Pemikiran Baru)

Perjalanan panjang proses pendidikan nasional lndonesia selama ini

dirasa penuh dengan dinamika dan romantika. Dinamika ini sangat dirasakan

besar mata pelajaran disampaikan dalam bentuk verbalisme disertai dengan rote-memoriting, (6). Peserta didik dihadapkan pada nilai-nilai yang sering bertentangan, (7). Peserta didik mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik di lingkungannya. Azzumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demikratisasi, Jakarta, Kompas, 2002, hal. xi. 18 Lihat: H.A.R Tilaar, Paradigm Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000b, hal:1-10, H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk lndonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal: 362-375. H.A.R. Tilaar dan Suryadi, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Cet. ll, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994, hal: 97-101. H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan, Cet. ll, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2001, hal: 42.

Page 127: data baru 1

112

dengan munculnya berbagai kebijakan yang sering menimbulkan polemik,

sedangkan romantikanya dirasakan dengan munculnya berbagai kendala dalam

melaksanakan kebijakan tersebut, 19

Hasil pendidikan kita memang cukup memadai, walaupun masih jauh dari

memuaskan. Kemajuan zaman yang terlalu pesat akhir-akhir ini ternyata

membawa berbagai fenomena baru yang bisa mereduksi nilai-nilai konsepsi

filosofis pendidikan nasional. Akibatnya konstruksi pendidikan nasional kita

menjadi tidak kukuh apabila tidak segera dilakukan reformulasi konsep.

Sekarang sudah saatnya dilaksanakan reformulasi konsep dan rekonstruksi

fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan

masyarakat serta nilai-nilai dasar pendidikan nasional itu sendiri.

Tilaar sudah banyak mengungkapkan bahwa pada dasarnya pendidikan

itu merupakan usaha untuk memajukan bertumbuhnya kecerdasan, kepribadian,

dan tubuh anak didik.20 Dengan demikian keberhasilan suatu proses pendidikan

sangat tergantung pada sejauh mana bertumbuhnya kecerdasan, kepribadian

dan tubuh tersebut dapat dicapai secara bersama-sama. Tinggi dan rendahnya

pertumbuhan ketiga matra tersebut sangatlah menentukan tingkat keberhasilan

19Darmawan memberikan refleksi bahwa selama ini sekolah tidak dijadikan sebagai tempat anak melatih diri, menampilkan dirinya untuk berbuat sesuatu dan mendapat koreksi bahwa salah atau benar, berbuat baik atau tidak baik, akan tetapi sekolah dijadikan sebagai panggung pentas untuk rnemperoleh juara, sedangkan untuk mempersiapkan pentasnya di sekolah itu harus mengikuti kursus di luar. Akibatnya sekolah bukan menjadi tempat belajar dan tempat mencari pengalaman, sehingga anak kehilangan hak-haknya sebagai anak. Andy Darmawan, Pengantar Editor, dalam Djohar, Ms., Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan 2003, Yogyakarta, LESFI, hal: vii. 20 Lihat: H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. ll, 2000, hal: 127-140.

Page 128: data baru 1

113

proses pendidikan bagi anak didik. Di sisi yang lainnya, kebersamaan

bertumbuhnya ketiga matra juga menjadi faktor penentu.

Dalam konteks kebudayaan maka pendidikan merupakan proses

pembudayaan anak. Kalau budaya itu sendiri merupakan buah keadaban

manusia maka melalui proses pendidikan anak didik dituntun menjadi manusia

yang makin beradab. Adalah keliru bila anak didik yang diberi pendidikan justru

menjadi manusia yang makin tidak beradab.

Proses pendidikan harus berpusat kepada anak didik (student centered),

bukan pada pendidik atau orang lain yang menjadi bagian dari proses

pendidikan tersebut.2l Ketika suatu proses pendidikan akan dilangsungkan

maka pertama kali yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang terlibat dalam

proses pendidikan tersebut ialah kesiapan anak didik.22 sejauh mana tingkat

kecerdasannya, bagaimana kepribadiannya, serta bagaimana kondisi tubuhnya.

Bahwasannya kesiapan pendidik juga penting, bahwa kesiapan media juga

penting, bahwa kesiapan lingkungan juga sangat penting, dan sebagainya,

hal itu memang benar; akan tetapi, semua itu t idak dapat menggeser

keutamaan anak didik,

21Di sini konsep humanisasi Freire menemukan momentumnya. Menurut Freire, manusia yang humanis adalah manusia yang menjadi pencipta (creator) dari sejarah (realitasnya) nya sendiri. Oleh karena pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia maka pendidikan harus mengarahkan manusia pada pengenalan realitas dan dunianya. Dan bagaimana itu bisa terjadi jika pendidikan diredusir untuk tujuan yang tidak memanusiakan, kapitalisasi misalnya; sehingga keberadaan yang terjadi adalah eksploitasi kuantitasi kuantitas dari peserta didik. Lihat: Anton $udiarjo, Filsafat Pendidikan Paulo Friere, dalarn Majalah Mahasiswa Driyakarya Sebuah Bunga Rampai dari Sudut-Sudut Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1977, hal: 107-118. 22 ldentifikasi ini menurut Atmowidirjo dianggap penting agar penyampaian pengetahuan tidak salah arah, juga agar efektifitas pembelajaran bisa mencapai tahap maksirnal tanpa

Page 129: data baru 1

114

Bahwa pendidikan itu juga sering diartikan sebagai suatu proses

pengabdian kepada sang anak.23 hal itu menunjukkan bahwa demikian penting

dan strategisnya posisi anak didik dalam proses pendidikan itu sendiri. Karena

pendidikan tersebut harus berpusat pada anak didik maka dalam prosesnya

harus berpedoman pada keinginan, gagasan dan juga kreativitas anak didik (tut

wuri handayani).

Oleh karena setiap anak memiliki kecerdasan dasar, kepribadian dasar,

dan kondisi tubuh yang berbeda maka dalam pengembangannya disesuaikan

pada keinginan, gagasan dan kreativitas masing-nnasing anak didik. Hanya saja

manakala ditemui keinginan, gagasan dan kreativitas yang tidak mendidik,

barulah pamong atau pendidik rnemberikan bimbingannya.

Dalam hal ini pendidik harus pandai-pandai menyesuaikan anak didik,

dan bukan anak didik yang harus menyesuaikan pendidiknya. Secara asasi

setiap orang hidup memiliki hak untuk memajukan pertumbuhan

kecerdasannya, serta tidak satu pun kekuatan dan kekuasaan di dunia ini yang

boleh meniadakan hak tersebut. Secara asasi setiap orang hidup juga memiliki

hak untuk memajukan pertumbuhan kepribadiannya, serta tidak satu pun

kekuatan dan kekuasaan di dunia ini yang boleh meniadakan hak tersebut.

menimbulkan tekanan pada peserta didik. Lihat: Edari T. Atmowidirjo, Perkembangan Anak

Suatu Tinjauan dari Sudut Psikologi Perkembangan, dalam Gunarsa et. Al. (Ed.), Psikologi

Perkembangan Anak dan Remaja, Cet. Vlll, Jakarta, Gunung Mulia, 2000, hal: 3-15. 23 Anak didik merupakan tunas yang pada saatnya nanti akan memegang peran penting dalam kehidupan yang akan mewarnai dan mengarahkan peradaban dunia ini. Maka bisa jadi kerusakan peradaban justru lebih disebabkan karena kita tidak benar dalam mengurus anak didik. Lihat: Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam lslam I, Cet. ll, Terjemahan oleh Miri Lc, Jakarta, Pustaka Amani, 1999, hal: 157-164.

Page 130: data baru 1

115

Pada sisi yang lainnya setiap orang hidup memiliki hak untuk memajukan

pertumbuhan tubuhnya, serta tidak satu pun kekuatan dan kekuasaan di

dunia ini yang boleh meniadakan hak tersebut. Hak memajukan pertumbuhan

kecerdasan, kepribadian dan tubuh itulah yang merupakan hak pendidikan.24

Atas dimilikinya hak pendidikan oleh setiap warga negara tersebut maka

para penyelenggara negara memiliki kewajiban memberikan atau

menyelenggarakan pendidikan untuk warga negaranya itu. Di sisi lainnya,

dikarenakan hak pendidikan tersebut bersifat asasi maka penyelenggaraan

pendidikan harus dapat dinikmati oleh siapa saja tanpa memandang berbagai

perbedaan antarumat manusia itu sendiri; antara lain perbedaan etnis, suku,

kelompok, status ekonomi, dan status sosial.

1. Nilai Dasar Pendidikan

Dengan diselenggarakannya pendidikan maka kecerdasan, kepribadian,

dan tubuh anak didik bisa tumbuh secara lebih maju. Di samping itu

anak didik dapat menjadi manusia yang lebih beradab. Untuk dapat

mewujudkan hal ini semua maka penyelenggaraan pendidikan haruslah

didasarkan pada nilai-nilai dasar yang kukuh. Sudah barang tentu nilai-nilai

24 H,A.R. Tilaar, memformulasikan fenomena ini ke dalam proses hominisasi dan proses humanisasi. Dalam proses hominisasi dimaksudkan pengembangan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia harus dibesarkan agar dia dapat berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedang proses humanisasi berarti manusia itu bukan sekedar dapat hidup dan makan saja, tetapi juga dia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Lihat: H.A.R. Titaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani lndonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasianal, Cet. ll, Bandung, Rosda Karya, 2000, hal:24.

Page 131: data baru 1

116

dasar ini tidaklah mati dan kaku tetapi senantiasa berkembang dinamis

sesuai dengan tantangannya.

Dari berbagai analisis Tilaar, maka dapat diketahui bahwa pendidikan

nasional lndonesia juga memiliki nilai-nilai dasar yang berhubungan dengan

latar belakang budaya masyarakat lndonesia itu sendiri yang kesemuanya

terakumulasi dalam falsafah Pancasila. Dari berbagai tulisan Tilaar, penulis

merumuskan, minimal terdapat tujuh nilai dasar pendidikan nasional yang

seharusnya dikembangkan; masing-masing menyangkut kemerdekaan,

kebangsaan, keseimbangan, kebudayaan, kemandirian, kemanusiaan

dan kekeluargaan. Adapun penjelasan secara rinci atas nilai-nilaiyang

dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, menyangkut kemerdekaan. Pelaksanaan pendidikan bangsa

harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Dengan

demikian pengembangan ide, pemikiran dan kreativitas tidak dikalahkan oleh

hal-hal yang sifatnya pragmatis. Dari Yang Maha Esa, setiap manusia itu

diberikan kemerdekaan untuk mengembangkan diri dari ikatan-ikatan natuur

menuju tercapainya tingkatan cultuur. Kemerdekaan untuk mengembangkan

diri itulah hakikat pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan itu tidak dapat

dibatasi oleh tirani kekuasaan, politik atau kepentingan tertentu. Nilai dasar

kemerdekaan inilah yang menjadi landasan pengembangan semangat

demokrasi anak didik.

Page 132: data baru 1

117

Kedua, menyangkut kebangsaan. Secara fundamental pendidikan itu

hendaknya didasarkan pada nilai-nilai kebangsaan yang hakiki. Realitas

tentang terdapatnya perbedaan agama, etnis, suku, budaya, adat,

kebiasaan, status sosial, ekonomi, dan sebagainya, hendaknya justru

dijadikan kerangka dasar dalam pengembangan sistem, Dengan demikian

tujuan pendidikan bisa memajukan bangsa secara keseluruhan yang di

dalamnya terdapat berbagai perbedaan itu; dan implikasi dalam

penyelenggaraan itu sendiri tidak boleh membeda-bedakan agama, etnis,

suku, budaya, adat, kebiasaan, status sosial, ekonomi, dan sebagainya.

Ketiga, menyangkut keseimbangan. Pendidikan hendaknya sanggup

memberikan keseimbangan di dalam upaya memajukan bertumbuhnya

kecerdasan, kepribadian dan tubuh anak didik. Pendidikan yang hanya

mengedepankan bertumbuhnya kecerdasan akan menghasilkan manusia

yang tidak sehat raga-jiwanya. Pendidikan yang hanya mengedepankan

bertumbuhnya kepribadian hanya menghasilkan manusia yang tertinggal.

Sedangkan pendidikan yang hanya mengedepankan bertumbuhnya tubuh

menghasilkan manusia yang tidak berbobot kecerdasan dan

kepribadiannya. Di sinilah keseimbangan diperlukan.

Keempat, rnenyangkut kebudayaan. Kebudayaan bangsa

merupakan roh pendidikan nasional. Pengembangan pendidikan harus

selalu diselaraskan pada kebudayaan bangsa sendiri, meskipun tidak berarti

harus menolak budaya manca yang datang. Untuk berpadu dengan budaya

Page 133: data baru 1

118

manca dapat diterapkan Konsep Trikon, yaitu kontinuitas, konsentrisitas dan

konvergensitas. Maknanya, mengembangkan budaya luhur bangsa sendiri

dan menyeleksi datangnya budaya manca dengan memberi kemungkinan

berpadunya budaya bangsa dan budaya manca, menuju terbentuknya

budaya baru yang lebih baik.

Kelima, menyangkut kemandirian. Kemandirian menjadi dasar bagi

segala bentuk usaha dalam pencapaian kemajuan hidup. Kemandirian juga

rnerupakan landasan bagi bangsa lndonesia guna bersaing dengan bangsa-

bangsa lain. Tanpa kemandirian, usaha pencapaian kemajuan hidup sulit

membuahkan hasil optimal. Tanpa kemandirian maka sulit bagi bangsa kita

untuk mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain. Sudah barang tentu

kemandirian ini dalam pelaksanaannya tidak harus dilalui dengan

meniadakan kerja sama dengan kelompok lain.

Keenam, menyangkut kemanusiaan. Pendidikan harus di

selenggarakan di atas nilai-nilai kemanusiaan seperti kejujuran, kesopanan,

dan kesantunan. Nilai-nilai kemanusiaan dapat membuahkan keluhuran budi

bagi anak didik. Setiap anak didik hendaknya berbudi pekerti luhur setelah

mengalami proses pendidikan di tingkat mana pun. Budi pekerti merupakan

modal utama untuk mengembangkan diri di tengah-tengah masyarakat;

tanpa modal budi pekerti yang luhur maka kehadirannya di masyarakat tidak

membawa manfaat, kecuali membawa azab.

Page 134: data baru 1

119

Ketujuh, menyangkut kekeluargaan. Sebuah keluarga yang harmonis

memiliki nilai-nilai ideal untuk menyelenggarakan pendidikan nasional

Indonesia. lmplikasinya, penyelenggaraan pendidikan harus dilakukan

dengan pendekatan kekeluargaan yang dalam hal ini tertandai dengan

akrabnya hubungan antara sesama pamong, sesama siswa, dan antara

pamong dengan siswa sebagaimana akrabnya hubungan antara sesama

anggota dalam suatu keluarga. Pendekatan ini disebut dengan Sistem

Among yang dapat memberikan porsi seimbang di antara pendekatan

organisatoris, dengan pendekatan organis dalam melaksanakan sistem

pendidikannya.

Ketujuh nilai dasar pendidikan tersebut di atas berkaitan langsung

dengan target pencapaian keberhasilan pendidikan itu sendiri. Dengan

mengembangkan niai-nilai dasar pendidikan tersebut maka target

pencapaian keberhasilan pendidikan yaitu anak didik yang cerdas,

berkepribadian luhur, dan bertubuh sehat bisa diwujudkan. Demikian juga

dengan mengembangkan nilai-nilai dasar pendidikan tersebut maka target

pencapaian keberhasilan pendidikan yaitu anak yang beradab akan lebih

gampang diwujudkan.25

2. Memperhatikan Fungsi Sosiologis Pendidikan

Fungsi sosiologik pendidikan pada dasarnya dapat dipahami sebagai

penerusan nilai-nilai kebudayaan generasi yang lebih tua ke pada generasi

yang lebih mudah. Setiap masyarakat berkeinginan meneruskan warisannya

Page 135: data baru 1

120

kepada keturunannya, baik berupa keterampilan, nilai, fakta maupun sikap.

Keinginan itu biasanya dinyatakan dalam upaya pendidikan kepada generasi

muda, lantaran pendidikan dianggap paling efektif.26

Jika upaya pendidikan diselenggarakan semata-mata oleh masyarakat

sendiri tanpa campur tangan pihak lain, maka pendidikan itu merupakan

peristiwa sosial, yaitu sosialisasi generasi muda. Namun demikian, tidak

selamanya masyarakat itu dapat menyelenggarakan pendidikan generasi

mudanya secara rnandiri. Dalam kondisi yang demikian, maka biasanya

pemerintahlah yang turun tangan. Kalau sudah demikian maka pendidikan

bukan saja merupakan peristiwa sosiologik tetapi juga merupakan peristiwa

politik. Dalam kaitan makna yang demikianlah, semua keputusan strategis dalam

bidang pendidikan adalah merupakan keputusan politik,27

25Dalam Perspektif Undang-Undang Republik lndonesia No.2 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS dan GBHN 1999-2004; ke tujuh nilai dasar pendidikan tersebut menjadi prinsip penyelenggaraan pendidikan dan juga menjadi arah kebijakan penyelenggaraan negara republik lndonesia (Lihat: hal: 7-11 dan hal: 27-31) 26Menurut Tilaar, pandangan mengenai hubungan antara masyarakat dan pendidikan dapat dikategorikan ke dalam empat teori; yaitu: (1).Teori fungsionalisme, menyatakan bahwa pendidikan modern disebabkan karena berubahnya kebutuhan fungsional yang menyertai proses industrilisasi. (2). Teori Karl Marx, menyatakan bahwa sistem disiplin kerja bagi kelas pekerja yang sedang timbul, menunjukkan adanya ketidak harmonisan di dalam masyarakat kapitalis. Dengan demikian, Visi pendidikan (kurikulum) pada dasarnya hanya menunjang eksistensi sistem yang ada. (3). Teori Kredensial, menyatakan bahwa pendidikan telah dijadikan suatu komoditas yang mempunyai nilai yang sangat tinggi. (4). Teori pendidikan sebagai pembangunan bangsa (Nation Building), menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan rasa persatuan dan jati diri nasional, maka pendidikan merupakan alat yang utama dan efektif di dalam membangun suatu Nation State. Pesan utama yang terkandung dalam masing-masing teori tersebut adalah bagaimana pendidikan dapat menjadi pelopor bagi perubahan social. Lihat: H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta,Grasindo, 2002, hal: 411-414. 27H.A.R. Tilaar sendiri mengakui bahwa tidak mungkin dalam suatu negara, pendidikan akan bias ”bebas nilai” dari politik (campur tangan pemerintah). Akan tetapi bukan berarti politik menjadi “panglima”, justru bagaimana dengan atau peran politik dapat memajukan dan

Page 136: data baru 1

121

Atas pijakan yang demikian, maka penerusan nilai warisan melalui

pendidikan tidak lagi berjalan mulus dan lancar. Sering terjadi gesekan

kepentingan, perbedaan pendapat tentang cara dan apa yang harus

diwariskan. Fenomena empiric tersebut telah menghadirkan berbagai

persoalan dalam bidang pendidikan yang penyelesaiannya bagai mengurai

benang kusut, lantaran kuatnya sikap kohesif dari berbagai kelompok

kepentingan.

3. Relasi kebudayaan dan Pendidikan

Dalam era globalisasi seperti sekarang, tidak satu pun masyarakat

yang homogen. Dari sudut pandang orang luar, suatu bangsa atau

masyarakat tampaknya homogen, seperti Kebudayaan Jawa, cara hidup

orang Sumba. Semuanya tampak seperti suatu masyarakat yang padu dan

seragam. Namun bila diamati secara saksama, kenyataan sebenarya tidak

demikian. Di Jawa, dikenal ada budaya Sunda, budaya Jawa (Jawa Timur,

Banyumasan, Solo dan sebagainya). Di Sumba, walau pulaunya kecil, di

sana hidup kurang lebih 10 suku, dengan bahasa daerah yang berbeda dan

budaya yang juga berbeda.28

Keanekaragaman bangsa lndonesia, pada satu sisi merupakan asset

bangsa yang sangat besar, tetapi pada sisi lain menyimpan berbagai

mendewasakan sistem pendidikan agar bisa berdiri tegak di atas nilai-nilai kultural tanpa merasa rendah diri di hadapan bangsa lain. Lihat: H.A.R. Tilaar,Op.Cit., 2000b, hal; 26-38 28 Lihat Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet.XIX, Jakarta, Djambatan, 2002, hal: 374-393.

Page 137: data baru 1

122

persoalan substansial yang memiliki daya rekat kedaerahan yang kuat

dengan bobot kepentingan yang amat variatif. Dalam menentukan kebijakan

pendidikan, misalnya, pelestarian budaya nasional. Budaya suku mana yang

dianggap representatif, alat ukurnya apa? Konflik dalam kurikulum yang

akhirnya memunculkan kurikulum muatan lokal, pada dasamya merupakan

konflik antar kelompok tentang pendapat atau kehendak berkenaan dengan

nilai dan cita-cita yang harus diwariskan kepada generasi penerusnya.

Berbagai kepentingan daerah, suku dan agama ikut menentukan bobot

pertentangan dalam konflik kurikulum.

Dalam perspektif makna yang demikian, keanekaan budaya sering

juga berurusan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

sebab setiap kelompok etnik memiliki sikap dan kepentingan yang berbeda

terhadap ilmu dan teknologi. Sementara pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan

teknologi tetap mengalami kemajuan pesat, sehingga hasanahnya makin

kaya. Kekayaan tersebut sebenarnya memberikan peluang terhadap

pilihan yang makin luas dan banyak. Tetapi justru karena banyak pilihan

menimbulkan banyak konflik dan pertentangan tentang pengetahuan dan

teknologi macam apa yang layak diberikan kepada generasi muda dalam

rangka pelestarian budaya. Pertentangan dan konflik di atas selalu hadir

dalam kemasan social dan politik di lndonesia.

Pada pilahan lain Sudjatmoko (1991) mengatakan pendidikan dan

kebudayaan merupakan dua konsep yang memiliki hubungan kausalitas,

Page 138: data baru 1

123

sekaligus merupakan harta termahal yang dimiliki manusia dalam

kehidupannya. Jika pendidikan suatu masyarakat maju, akan mengakibatkan

kebudayaan berkembang ke tingkat yang lebih tinggi. Atau sebaliknya,

semakin maju kebudayaan suatu masyarakat akan mengakibatkan semakin

berkembang pula praktek pelaksanaan pendidikan pada masyarakat

tersebut.29

Berkenaan dengan paparan-paparan tersebut di atas, maka hal

esensial dalam bidang pendidikan adalah bagaimana menyiasati program

pembelajaran yang mendidik, bukan semata-mata sebagai penerusan nilai-

nilai luhur warisan nenek moyang, melainkan penerjemahan nilai-

nilai tersebut ke dalam konteks masa kini dengan antisipasi masa depan secara

bermakna bagi setiap peserta didik.

4. Pendidikan sebagai The Agent Of Change

Manheim30 mengatakan bahwa sekolah pada masa lampau adalah suatu

tempat latihan untuk menyesuaikan diri dengan suatu masyarakat yang mapan

dengan cara meniru. Sedangkan sekolah modern adalah suatu pengantar untuk

suatu masyarakat yang telah dinamis. Pengetahuan baru harus dimasukkan

29 Dari asumsi di atas Esten menegaskan bahwa dalam kenyataan pluralitas, proses pembentukan kebudayan lndonesia (dengan demikian) berlangsung tidak melalui proses sentralisasi (seperti yang pernah dijadikan paradigma di era orde baru. Beberapa sentra dan kantong-kantong kebudayaan harus ditumbuhkan dan dikembangkan guna meningkatkan nilai-nilai budaya etnis dapat dipadukan dan menemukan titik singgung dengan nilai-nilai budaya global. Nilai-nilai budaya demikian yang akan membentuk-sistem budaya dalam menghadapi tantangan kebudayaan di masa depan. Implikasi harus terlihat dengan jelas di dalam sistem pendidikan Lihat: Mursal Esten, Strategi kebudayaan untuk sistem pendidikan, dalam Sindhunata, Menggagas paradigma Baru Pendidikan Demokratisasi Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal:207 -21 1 .

Page 139: data baru 1

124

dalam kurikulum dan bersifat koheren. Orang harus memperkirakan tingkah laku

yang tepat untuk hari depan yang tidak dikenal dan secara demikian

meningkatkan tekanan untuk mendidik bagi adaptabilitas outputnya. Tetapi

hal itu memungkinkan hilangnya nilai-nilai yang telah berabad-abad dibangun,

terjadi diskontinuitas kultural dan krisis dalam identitas pribadi.3l Integrasi sosial

dalam dasar-dasar pengajarannya sebagian tergantung pada kemampuan

sekolah untuk meramu keluwesan adaptif dengan merujuk masa lalu sambil

menghindari idividualisme maupun ortodoksi kebudayaan.

Pendidikan menghadapi banyak kekuatan-kekuatan dalam

masyarakat yang kompleks. Penyesuaian ke satu arah bisa menimbulkan

ketegangan serius pada arah yang lain. Pendidikan dijadikan tempat

pembinaan bakat, suatu perusahaan pemrosesan sumber daya manusia,

yang menyiapkan tenaga untuk spesifikasi kebutuhan pekerjaan. Pemro-

sesan model demikian hampir tidak rnengganggu peserta didik yang hanya

memikirkan vocational, tetapi secara serius mengganggu minat intelektual

peserta didik yang memikirkan identitas pribadi mereka dan keadilan

30 Karl Mannheim (1893-1947) adalah sosiolog asal Hungaria yang mengajar di Universitas London. Yang digelutinya adalah struktur kemasyarakatan serta sosiologi pengetahuan. Karyanya yang terkenal adalah Essays on the Sociology of Knowledge (Essai-essai tentang psikologi pengetahuan (1952). William F O'nneil, ldiologi-ldiologi Pendidikan, Terjemahan oleh Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal:671. 31 Modemisme sering diidentikkan dengan penguasaan akan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang biasanya akan membawa ekses pada konsumerisme. Konsumerisme terbangun atas kapitalisme dan pragmatisme. Di sini perlu direnungkan kembali apa yang dikhawatirkan oleh Y.B. Mangunwijaya, yang mengatakan: "... apa guna kita memiliki sekian ratus ribu Alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka." Lihat: M.Escobar, dkk., Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah Kapitalisme yang Licik, Cet. lIl, Terjemahan oleh Rahayu, Yogyakarta, LkiS, 2001, hal: sampul belakang"

Page 140: data baru 1

125

social dalam masyarakat, merasa kurang dilayani oleh sistem pendidikan

yang diikat dengan kebutuhan-kebutuhan kemajuan teknologi. Apabila sistem

pendidikan terpesona dengan tuntutan pekerjaan, pendidikan juga akan

melupakan kebutuhan-kebutuhan orang di luar pekerjaan. Sistem pendidikan

yang demikian menjadi lebur dalam tuntutan pertumbuhan ekonomi, dan pada

gilirannya pendidikan akan kehilangan identitas dirinya.32

Banyak bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin, merasa bahwa sistern

pendidikan memainkan peranan penting dalam pembangunan bangsa dan

perubahan nasional.33 Sistem pendidikan berusaha menciptakan sumber daya

manusia terdidik bagi sektor-sektor yang meluas dari suatu pekerjaan yang

cepat berubah. Apapun maksud pendidikan dalam masyarakat modern,

tujuannya adalah integrasi nasional dan kompetensi modern yang saat ini

cenderung ke arah maya atau virtual. Akhirnya pendidikan menjadi suatu

kekuatan kreatif dalam masyarakat yang dapat melayani dunia industri dan

pemerintah.

32 Dalam kondisi seperti ini, Sunoto tetap menjadikan pancasila sebagai asas bagi pembentukan sikap, watak, dan intelektualita bangsa lndonesia- Asumsi dasarnya adalah bahwa pancasila adalah miniatur yang komplit dari sekian banyak nilai-nilai luhur bangsa lndonesia sejak berabad-abad yang lalu. Selain itu pancasila juga telah banyak diuji kredibilitasnya. Lihat: Sunoto, MengenalFilsafat Pancasila 2 Pendekatan melalui sejarah dan pelaksanaannya,Cet. V, Yogyakarta, Hanindita, 1985, hal: 1-13

Tilaar pun sependapat dengan pancasila sebagai paradigma bagi proses pendidikan, dengan catatan pancasila harus ditempatkan pada "ruang hampa' (obyektivitas). Sebab pudarnya nilai-nilai pancasila selama ini adalah karena pancasila justru dijadikan komoditi subyektivitas. Lihat: H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2002b, hal: 192-203. Lihat juga: M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Cet. lV, Bandung, Ravika Aditama, 2001, hal: 60-69. 33Lihat: H.A.R. Tilaar, Pembangunan Sumber Daya Manusia dalam Era Globlisasi Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020,Jakarta, Grasindo, 1997,hal: 102-111.

Page 141: data baru 1

126

5. Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Keberhasilan upaya pemerataan kesempatan untuk menikmati

pendidikan di lndonesia, telah diakui oleh banyak pemerhati masalah

pendidikan. Sebagai contoh, untuk tingkat Sekolah Dasar, lndeks partisipasi

kasar di lndonesia telah mencapai 100%. Tetapi deskripsi yang diperoleh

akan berbeda, l antaran equality of access belum diikuti oleh equality of

survival karena masih terdapat angka putus sekolah yang cukup tinggi.

Demikian pula equality of output masih pada lataran keinginan daripada

kenyataan, karena pada umumnya para guru atau juga dosen masih

menyikapi tugas-tugas kependidikannya sebagai lebih berfungsi menyaring

peserta didik yang semakin heterogen akibat masalisasi kesempatan,

daripada memberikan layanan ahli yang profesional.34

Salah satu masalah yang tak kunjung selesai dalam pendidikan

adalah pemerataan (equality) dan.keadilan (equity). secara khusus dapat

dipertanyakan: pemerataan yang bagaimana yang adil bagi semua pihak?

Pemerataan pendidikan merupakan topik yang senantiasa menjadi tumpuan

(focus) dalam setiap tahapan pembangunan di negara kita. Dengan alasan,

demi pertanggungjawaban kepada rakyat (sesuai pasal 31 UUD '45),

mungkin juga demi prestise penguasa. Secara sangat mencolok kita melihat

dan mendengar statemen pemerataan pendidikan. Seperti yang telah kita

34 Lihat: Harian Pagi Kompas Edisi 03 Maret 2000 dan Edisi 16 April 2002

Page 142: data baru 1

127

alami, bahwa program pemerataan pendidikan lebih menekankan

pemenuhan fisik pendidikan, seperti pemenuhan daya tampung, ratio siswa

dengan ruang, ratio siswa dengan guru dan sebagainya". Akibatnya laju

pembangunan gedung sekolah cukup tinggi, sementara tuntutan kualitas

agak terabaikan. Kondisi obyektif ini hanya merupakan solusi jangka pendek

dan equality, sedangkan aspek jangka panjang dalam bentuk equity masih

jauh dari harapan.

Selanjutnya dikemukakan tiga konsep pemerataan sebagai berikut:

Pertama, perlakukan yang sama kepada mereka yang menurut kriteria

tertentu termasuk kategori yang sama. Kedua, upaya mengurangi

ketidak merataan penghasilan (out come), yang diukur berdasarkan

pendapatan (in come), kesejahteraan, dan harga diri, Ketiga, pemerataan

kesempatan. Ide ini merupakan indikator masyarakat yang adil, karena

memberikan kesempatan yang sama kepada anggota masyarakat untuk

bersaing memperoleh keuntungan sosial.

Jika konsep pemerataan pendidikan diterjemahkan ke dalam kegiatan

operasional, akan menghasilkan perlakuan yang berbeda-beda. Untuk

jelasnya diuraikan sebagai berikut:

Pertama; Pemerataan memperoleh pendidikan dasar yang universal.

Diasumsikan setiap anak berhak memperoleh pelayanan pendidikan

universal. Andaian (asumsi) ini didasarkan pada pandangan: humanistik

yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan upaya persiapan yang

Page 143: data baru 1

128

ampuh untuk membina hidup seutuhnya dan pandangan ekonomi yang

mengatakan bahwa manusia itu merupakan human capital, karena itu perlu

diberi pendidikan dasar yang universal agar kelak dapat meningkatkan

produktivitas. Kedua; Pemerataan penyajian mutu pendidikan. Adalah wajar

jika anak memperoleh pendidikan dengan mutu yang sama. Dan bukannya

menyamakan mutu lewat Ebtanas, sementara kualitas pelayanan sangat

berbeda. Ketiga; Pemerataan pendidikan melalui pendidikan bebas. Yang

dimaksudkan adalah siswa tidak memiliki keharusan untuk membayar uang

sekolah. Kesempatan memperoleh pendidikan jangan dihalangi oleh

kemiskinan atau ketiadaan uang. Keempat; Perlakuan sama bagi siswa.

Yang dimaksud adalah terciptanya suasana demokratis dan tidak diskriminatif

dalam proses pendidikan.

Toffler adalah salah satu dari pakar kajian masa depan

memprediksikan bahwa masyarakat masa depan akan ditandai oleh

globalisasi yang disertai dengan peningkatan peranan individu.35 Artinya di

satu pihak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang

informatika, telekomunikasi dan komputer berdampak meningkatkan access

35 Alfin Toffler, lahir di Brooklyn 4 Oktober 1928. la mendapat pendidikan di Universitas New York. Pernah menjadi Profesor tamu di universitas cornell dan mengajar di New School for Social Research. la seorang dosen yang banyak di cari dan memperoleh gelar kehormatan dari ilmu pengetahuan, sastra dan hukum. Future Shock adalah karyanya yang telah diterbitkan dalam 30 bahasa. Future Shock (kejutan masa depan) merupakan suatu krisis baik fisik mupun psikologis, sebagai akibat kelebihan beban pada sistem adaptasi organisme manusia dan pada proses pengambilan keputusannya. Dan ini terjadi justru di tengah derasnya arus

Page 144: data baru 1

129

terhadap berbagai kejadian di seluruh dunia sampai taraf yang tidak pernah

dibayangkan sebelumnya, sehingga menampilkan tatanan kekuasaan baru

yang dapat menantang kalau tidak menjungkirbalikkan tatanan kekuasaan

yang tetah mapan. Dalam perspektif demikian, maka sistem pendidikan kita

harus mampu mengakomodasi berbagai fenomena empirik, agar bangsa ini

tidak ketinggalan dari bangsa lain tanpa harus kehilangan identitas diri.

globalisasi. Lihat: Alvin Toffler, Kejutan Masa Depan, Cet.lV, terjemahan oleh Kusdiyatinah SB, Jakarta, Panta Simpti, 1992, hal:437.

Jika Toffler memberikan solusi diagnosis berupa kepekaan dan kesadaran diri terhadap persoalan kita sendiri (dalam konteks futurisme sosial); maka H.A.R. Tilaar juga menawarkan solusi sebagai tindakan preventif dari ganasnya globalisasi, yakni Catur Santikan Saruka (dalam konteks futurisme kebangsaan).

Page 145: data baru 1

130

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Problem, utama dari ketidak berdayaan atau bahkan kegagalan pendidikan

nasional dewasa ini adalah lebih disebabkan oleh konsep pendidikan yang

berkembang masih bersifat verbalistik dan intelektualistik serta tidak memberikan

kesempatan inovatif kepada perkembangan inteligensi yang menyeluruh dari

peserta didik; menurut H.A.R. Tilaar, hal ini yang menjadikan peserta didik

terjauhkan dari basis budaya mereka.

Dari beberapa penjelasan yang telah diuraikan di atas; mulai dari landasan

konseptual pemikiran pendidikan, hubungan antar budaya dan pendidikan, serta

formulasi konsep pendidikan yang dapat digunakan sebagai dasar dan acuan bagi

pengembangan pendidikan nasional menurut pandangan H.A.R. Tilaar; di sini

penulis akan memberikan suatu kesimpulan akhir yang dapat menggambarkan

secara garis besar pembahasan-pembahasan tersebut. Adapun kesimpulan yang

dapat diambil dari berbagai pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, hal ini akan

memberikan implikasi bahwa di dalam peserta didik terdapat kemampuan-

kemampuan yang immanen sebagai mahluk yang hidup di dalam suatu tatanan

masyarakat. Kemampuan-kemampuan tersebut berupa dorongan-dorongan,

keinginan, elan vital, yang ada pada manusia. Kemampuan-kemampuan

tersebut harus dikembangkan dan diarahkan sesuai dengan nilai-nilai yang

Page 146: data baru 1

131

hidup atau dihidupkan dalam masyarakat. Dengan demikian eksisitensi manusia

dapat ditumbuh kembangkan melalui proses pendidikan. Eksistensi manusia

merupakan suatu keadaan yang interaktif, di mana keberadaan manusia selalu

berarti dengan hubungan antar sesama manusia baik yang dekat maupun dalam

ruang lingkup yang semakin luas dalam upaya membangun tatanan peradaban

yang rahmatan Lil’alamin. Ini mengandung suatu pengertian bahwa proses

pendidikan bukan sekedar menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota

masyarakat, akan tetap proses pendidikan tersebut adalah masyarakat itu

sendiri, Dalam hal ini H.A.R. Tilaar mengkonsepsikan pendidikan sebagai

proses pembudayaan. Visi atau tujuan pendidikan adalah kongruen dengan visi

masyarakat di mana pendidikan itu berada. Karena proses pendidikan

mengandalkan niiai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, maka dengan

sendirinya proses pendidikan adalah penghayatan dan perwujudan dari nilai-

niiai tersebut. Dan hal ini hanya bisa terjadi apabila pendidikan diletakkan pada

tempat yang sebenarnya, yakni sebagai bagian yang tak terpisahkan dari

kehidupan manusia yang pada dasarnya adalah kehidupan bermoral. Oleh

karena itu H.A.R. Tilaar menambahkan bahwa sebagai proses pembudayaan

pendidikan semestinya banyak memuat pendidikan nilai.

2. Inti dari kehidupan bermasyarakat adalah nilai-nilai. Kebudayaan merupakan

tatanan nilai yang memiiiki suatu sistem keteraturan, keteraturan tersebut

memilki dimensi vertikal dan horizontal Dalam setiap dimensi nilai-nilai

kebudayaan ditransmisikan dengan proses-proses acquiring melalui inquiring.

Page 147: data baru 1

132

Proses tersebut akan memberikan kondisi yang disadari atau tidak adalah untuk

belajar, dan ini terjadi secara berulang-ulang dalam suatu tatanan masyarakat.

Dengan demikian antara kebudayaan dan pendidikan terdapat hubungan

interaktif. Kebudayaan menjadi bagian yang integratif dari pendidikan.

Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, bahkan kebudayaan

merupakan alas atau dasar bagi pendidikan. Oleh karena kebudayaan

merupakan dasar bagi praksss pendidikan, maka bukan hanya seluruh proses

pendidikan yang berjiwakan kebudayaan nasional, tetapi seluruh unsur

kebudayaan juga harus diperkenaikan di dalam proses pendidikan. H.A.R.

Tilaar menegaskan bahwa proses pendidikan pada hakekatnya merupakan

proses membudaya. Dalam proses itu pendidikan bukan sekedar mentransfer

nilai-nilai yang hidup dalam tradisi masyarakat, tetapi juga berpartisipasi dalam

kegiatan budaya yang ada dan mengantisipasi nilai-nilai yang mungkin muncul

di masa depan. Dengan demikian proses pendidikan yang berakar atau berbasis

budaya bukan terjadi secara pasif, tetapi melalui proses interaktif antara

pendidik dan peserta didik. Proses tersebut memungkinkan terjadinya

perkembangan budaya melalui kemampuan-kemampuan kreatif yang dapat

memunculkan kreasi dan inovasi, tanpa mensnggalkan keaslian budaya atau

tanpa kehilangan identitas. Dan pendidikan sebagai pranata sosial yang

berwujud daiam bentuk lembaga atau institusi sekolah, harus secara simultan

mengkondisikan pengenalan dari keseluruhan unsur budaya lokal, nasional,

maupun global.

Page 148: data baru 1

133

3. Sistem Pendidikan Nasional diharapkan tidak hanya sekedar menghasilkan

manusia-manusia yang cerdas, tetapi juga yang bermoral tinggi dan produktif

menghadapi tantangan kehidupan yang penuh dengan persaingan. Untuk itu

pendidikan nasional harus memenuhi kriteria-kriteria berikut: a)

Pentingnya pendidikan sebagai proses pembudayaan dan pendidikan niiai, b)

Pentingnya pendidikan sebagai Sarana pembentuk watak yang baik, c)

Perlunya pemerintah mengadakan pembenahan konsep penndidikan

nasionaldengan mengedepankan aspek-aspek sebagai berikut: (1) Nilai dasar

pendidikan, (2) Memperhatikan fungsi sosiologis pendidikan, (3) Relasi

kebudayaan dan pendidikan, (4) Pendidikan sebagai the agent of change, (5)

pemerataan kesempatan pendidikan.

B. Saran

Semakin kokoh nilai-nilai moral suatu bangsa, semakin kuat pula bangsa

tersebut. Sebab nilai-nilai moral inilah yang mengikat dan menggerakkan warga

bangsa tersebut. Oleh karena itu, pembangunan peradaban bangsa harus dimulai

dengan pembangunan kembali moral bangsa Indonesia. Dengan demikian, bangsa

ini memerlukan warga yang memiki intelektual dan integritas.

Untuk itulah, dengan selesainya pengkajian tentang pendidikan berbasis budaya

melalui studi atas pemikiran H.A.R. Tilaar ini, ada beberapa hat yang selayaknya segera

dipikirkan bersama:

1. Era reformasi adalah era untuk terciptanya masyarakat terbuka dan percaya kepada

Page 149: data baru 1

134

partisipasi masyarakat di dalam pengembangan dirinya sendiri. Untuk itu diperlukan

mobifisasi dan peran aktif dari para pemikir, pengembang dan pengambi! kebijakan

yang berkompeten; guna membenahi pendidikan nasionai Indonesia melalui teori-

teori dan konsep-konsep yang sesuai dengan karakter bangsa dan tantangan zaman,

agar dapat berdiri sejajar dengan bangsa lain dalam menatap dan menata masa depan

tanpa kehilangan integritas.

2. Bagi calon intelektual dan sarjana muslim (khususnya), hendaknya lebih peka, adaptif

dan inovatif dalam menyikapi setiap gejala yang timbul dalam masyarakat berkenaan

dengan upaya mencari paradigma bagi kokohnya landasan dasar pendidikan nasionai

Indonesia. Karena tanpa landasan dasar yang kuat, sehebat dan semaju apapun suatu

model pendidikan, maka justru yang terjadi adalah mewabahnya "virus" alienasi.

3. Analisa dalam kajian pendidikan berbasis budaya ini bukan dimaksudkan untuk

melegitimasi atau bentuk legalisasi terhadap konsep pendidikan nasionai Indonesia,

melainkan untuk menumbuhkembangkan pemikiran kreatif dan adaptif terhadap

fenomena pendidikan yang terus bergerak secara dinamis di tengah komunitas

mayarakat Indonesia yang plural. Dengan harapan dapat menggugah kesadaran

seluruh komponen bangsa ini untuk sedapat mungkin bersikap arif dan bijak dalam

menangani dan mengembangkan dunia pendidikan nasional tanpa harus

mengesampingkan atau bahkan mengorbankan nilai-nilai asasi dari bangsa ini.

4. Hasil analisa dari kajian tentang pendidikan berbasis budaya ini merupakan sebuah

wacana yang berbijak pada pemikiran seorang tokoh pendidikan nasional Indonesia

kontemporer, H.A.R. Tilaar, tentunya tidak terlepas dari subyektifitas serta

Page 150: data baru 1

135

keterbatasan ruang lingkup materi dan pembahasan; untuk itu belum bisa dikatakan

final conclution dari hasil yang ada, sebab suatu kemungkinan dalam proses mencari

kebenaran yang hakiki akan selalu muncul kapan dan di manapun, sehingga tidak ada

kebenaran yang mutiak. Oleh karena itu diharapkan ada peneiitian baru yang

mengkaji ulang atau bahkan mengembangkan penelitian melalui obyek atau topik

yang sama yakni tentang pendidikan berbasis budaya. Tentunya dengan pendekatan

dan model yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan yang ada.

Page 151: data baru 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Adimihardja, Kusnaka. 1983, Kerangka Studi Antropologi Sosial

dalam Pembangunan. Cet. It, Tarsito. Bandung.

2. Ahmad, Nazi Shaleh. 1989. Pendidikan dan Masyarakat. Terjemahan

oleh Syamsuddin. Liberty. Yogyakarta.

3. Al-Syaibany, Omar muhammad Al-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan

Islam.Terjemahan oleh langgulung. Bulan Bintang. Jakarta.

4. Anton, Sudiarjo 1977. Sebuah Bunga Rampai dan Sudut-Sudut

Filsafat. Kanisius.Yogyakarta.

5. Ardana, I Gust! Gde. 1987. ilmu Budaya Dasar (Kumpuian Bahan Kuliah).

UNUD Press. Denpasar.

6. Arifin, ML 2000. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Cet. IV. Bumi

Aksara. Jakarta.

7. Arikunto, Suharsims. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Edisi Revisi IV. Rineka Cipta. Jakarta.

8. Atmowidirjo, Edari T. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Cet

VIII. Gunung Mulia. Jakarta.

9. Atmodiwirjo, Subagio. 2001, Manajemen Pendidikan Indonesia. Cet. II.

Ardadizya Jaya. Jakarta.

10. Azra, Azumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan

Demokratisasi. Kompas, Jakarta,

11. Azwar, Saifuddin. 1999. Metode Penelitian. Cet. II. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

12. Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Cet. II. Gramedia, Jakarta.

Page 152: data baru 1

13. Bakker, Anton. 1984. Metode-Metode Filsafat. Ghalia Indonesia. Jakarta.

14. Barnadib, Imam. 1983. Pemikiran Tentang Pendidikan Baru. And

Offset. Yogyakarta.

15. Bisri, Cik Hasan. 2001. Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan

Penyusunan Skripsi Bidang ilmu Agama Islam. Raja Grafindo

Persada. Jakarta.

16. Buchori, Mochtar, 2001. Pendidikan Antisipatoris. Kanisius. Yogyakarta.

17. Bucaille, Maurice, 1999, Asal-Usul Manusia Menurut Bibel Al-Qur”an Sain.

Mitan. Bandung.

18. Chan, Stevan M. 2002. Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah. Terjemahan oleh

Mulkhan dan Yawisah. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

19. Dharmaningtiyas. 1999. Pendidikan Pada dan Setelah Khsis (Evaiuasi

Pendidikan Di Masa Krisis). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

20. Djohar.

21. Driyarkara, N. 1980. Tentang Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta.

22. _____ . 1977. Dan Sudut-Sudut Filsafat Sebuah Bunga Rampai. Kanisius.

Yogyakarta.

23. Escobar. M., dkk.. 2001. Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah Kapitalisme yang

Licik. Terjemahan oleh mindi Rahayu. LKiS. Yogyakarta.

24. Fadjar, Malik. 1998. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam. LP3EN. Jakarta.

25. _____ . 1998. Madrasah dan Tantangan Modernitas, Mizan. Bandung.

26. _____ Faisal, Sanapiah. Tanpa Tahun, Sosiologi Pendidikan . Usaha Nasional,

Surabaya.

27. William F dalam O'neil. 2001. Idiologi-ldiologi Pendidikan. Terjemahan oleh Naomi. Pustaka PeSajar. Yogyakarta.

Page 153: data baru 1

28. Freire, Yanto. 2001. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.Terjemahan oleh Agung P. Cet. II. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

29. _____ . 1998. Sekolah Kapitalisme yang Licik. Terjemahan oleh Mundi R. LkiS.Yogyakarta.

30. _________ . 1999. Menggugat Pendidikan; Fundamentalis. Konservatif. Liberal.Anarkhis. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi (Ed.). Pustaka Pelajar.

31. _____ dan Ira Shor. 2001. Menjadi Guru Merdeka Petikan Pengalaman. Terjemahan oleh Budiman. LKiS. Yogyakarta.

32. Gunarsa, Singgih D. et al (Ed.), Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Cet. VHI, Jakarta, Gunung Mulia, 2000,

33. Habibie, B.J. 1995. Ilmu PenCetahuan Teknologi dan Pembangunan Bangsa Mnuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. Cides. Jakarta.

34. Hadi, Amirul dan Hariyono. 1998. Metodologi PeneliHan Pendidikan 2 Untuk IAIN dan PTAIS Semua Fakultas dan Jurusan Komponen MKK. Pustaka Setia. Bandung.

35. Hamim, Thoha. 2000. Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

36. Harahap, Sofyan Safri. 2001. Tips Menufis Skripsi & Menghadapi Ujian Komprehensif. Pustaka Quantum. Jakarta.

37. Harian Pagi Jawa Pos, Edisi 02 September 2003.

38. Harian Pagi Kompas Edisi 03 Maret 2000.

39. ________, Edisi 16 Aprii 2002.

40. Hasyim, Mustofa W. 2000. Jejak Luka Politik dan Budaya, LPSAS PROSPEK. Yogyakarta.

41. Hidayanto, Dwi Nugroho. 1988. Mengenal Manusia dan Pendidikan. Liberty. Yogyakarta.

42. Hungtington, Samuel P. 2001. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Cet. II. Terjemahan oleh ismail. Qaiam. Yogyakarta.

43. Amir Daien Indrakusuma. 1973. Pengantar llmu Pendidikan. Usaha Nasional. Surabaya.

44. Jacob, T. Reformasi Menuju Masyarakat Beradab: Sebuah Pengantar. dalam Usman dkk. (Ed.). 2000. Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Page 154: data baru 1

45. Kartodirdjo, Sartono. 1993. Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Gramedia. Jakarta.

46. Kartono, Kartini. 1991. Quo Vadis Tujuan Pendidikan? Hams Sinkron dengan Tujuan Manusia. Mandar Maju. Bandung.

47. 1997. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional.

Pradnya Paramita. Jakarta.

48. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar llmu Antropologi. Cet.VIII. Rineka Cipta.

Jakarta.

49. _____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cet. XSX. Gramedia.

Jakarta.

50. _____ . 2002. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Cet XSX. Djambatan. Jakarta.

51. Komaruddin, dkk.. 2000. Kamus Istifah Karya Tulis llmiah. Bumi Aksara. Jakarta.

52. Hamim, Thoha. 2000. Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madam, Pustaka Peiajar, Yogyakarta.

53. Harahap, Sofyan Safri. 2001. Tips Menulis Skripsi & Menghadapi Ujian Komprehensif. Pustaka Quantum. Jakarta.

54. Harian Pagi Jawa Pos, Edisi 02 September 2003.

55. Harian Pagi Kompas Edisi 03 Maret 2000.

56. _____ , Edisi 16 April 2002.

57. Hasyim, Mustofa W. 2000. Jejak Luka Politik dan Budaya. LPSAS PROSPEK. Yogyakarta.

58. Hidayanto, Dwi Nugroho. 1988. Mengena! Manusia dan Pendidikan. Liberty. Yogyakarta.

59. Hungtington, Samuel P. 2001. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Cet. SS. Terjemahan oleh Ismail. Qalam. Yogyakarta.

60. Indrakusuma, Amir Daiert. 1975. Pengantar llmu Pendidikan Islam. Al-Ma'arif. Bandung.Amir Daien Indrakusuma. 1973. Pengantar llmu Pendidikan. Usaha Nasional. Surabaya.

61. Jacob, T. Reformasi Menuju Masyarakat Beradab: Sebuah Pengantar. dalam Usman dkk. (Ed.). 2000. Membongkar Mitos Masyarakat

Page 155: data baru 1

Madani. Pustaka Peiajar. Yogyakarta.

62. Kartodirdjo, Sartono. 1993. Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Gramedia. Jakarta.

63. _________ . 1997. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional. Pradnya Paramita. Jakarta.

64. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar llmu Antropologi. Cet. VIII. Rineka Cipta. Jakarta.

65. _____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cet. XIX. Gramedia.Jakarta.

66. _____ . 2002. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Cet. XIX. Djambatan.Jakarta.

67. Komaruddin, dkk.. 2000. Kamus Istilah Karya Tulis limiah. Bums Aksara. Jakarta.

68. Nasution, S. 2001. Asas-Asas Kurikulum. Cet. IV. Bumi Aksara. Jakarta.

69. Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Cet.IV. Ghalia Indonesia. Jakarta.

70. Pardoyo. 1993. Sekutarisasi Dalam Polemik. Grafiti Jakarta.

71. Paul, Suparno. dkk. 2002. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Kanisius. Yogyakarta.

72. Poespowardojo, Soerjanto. 1989. Filsafat Pancasila Sebagai Pendekatan Sosio-Budaya. Gramedia. Jakarta.

73. Purwanto, Ngaiim. 1997. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet. IX. Remaja Rosda Karya. Bandung.

74. Mulyana, Deddy dan Rachmat (Ed.) 2000. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Cet. V. Remaja Rosda Karya. Bandung.

75. Said, Moh. 1980. Etik Masyarakat Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta.

76. Sastrosupono, M. Suprihadi. 1982. Menghampiri Kebudayaan. Alumni. Bandung.

77. Shihab, Quraish. 2000. Wawasan Al-Qur'an. Cet. X. Mizan. Jakarta.

Page 156: data baru 1

78. Sihombing, Umberto. 2002. Menuju Pendidikan Bermakna Melalui Pendidikan Berbasis Masyarakat Cerdas Terampil Mandiri Konsep, Strategi dan Pelaksanaan. Multiguna. Jakarta.

79. Sj, Bakker J.W.M. 2001. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Cet. XI. Kanisius. Jakarta.

80. Sindhunata (Ed.). 2000. Menggagas Paradigma Bam Pendidikan; Demokratisasi. Otonomi. Civil Society dan Giobalisasi. Kanisius. Yogyakarta.

81. .2001. Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman. Kanisius. Yogyakarta.

82. Soejono dan Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan. Rineka Cipta. Jakarta.

83. Soelaeman, M. Munandar. 2001. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Cet. VIII. Refini Aditama. Bandung.

84. Soerjanto, Poespowardojo. 1989. Filsafat Pancasila Sebagai Pendekatan Sosio-Budaya. Gramedia. Jakarta.

85. Sudarto. 1997. Metodologi Penelitian Filsafat. Cet.ll. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

86. Sulaiman, Fathiyah Hasan. 2000. Sistem Pendidikan Menumt Al-Ghazali Solusi Menghadapi Tantangan Zaman. terjemahan Oleh Naingolam dan Hasan. Dea Press. Jakarta.

87. Sumaatmadja, Nursid. 2002. Pendidikan Kemanusiaan Manusia Manusiawi. Alfabeta. Bandung.

88. Sumariyono, E. 1999. Hermeneutik Sehuah Metode Filsafat Edisi Revisi. Kanisius. Yogyakarta.

89. Suparno, Sj.. Paul dkk. 2002. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Kanisius. Yogyakarta.

90. Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Remaja Rosda Karya. Bandung.

91. Surakhmad, Winamo. 1989. Pengantar Penelitian llmiah Dasar Metode Teknik. Edisi VSI. Tarsito. Bandung.

92. Suriyasumantri, Jujun S. 1988. Ilmu PenCetahuan dan Metodenya (Suatu Pengantar). Yayasan Obor. Indonesia. Jakarta.

93. Sudiarjo, Anton. 1977. Sebuah Bunga Rampai dari Sudut-Sudut Filsafat. Kanisius. Yogyakarta.

Page 157: data baru 1

94. Sulaiman, Fathiyah Hasan. 2000. Sistem Pendidikan Menumt Al-Ghazali Solusi Menghadapi Tantangan Zaman. Terjemahan Oleh Naingolam dan Hasan. Dea Press. Jakarta.

95. Sunoto, 1985. Mengenal Filsafat Pancasila 2 Pendekatan melalui sejarah dan pelaksanaannya. Cet. V. Hanindrta. Yogyakarta.

96. Sutrisno, Slamet. 1981.Sedikit Tentang Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia. Liberty. Yogyakarta.

97. Sutrisno (Ed.). 1986. Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Liberty. Yogyakarta.

98. Syaifullah, Ali. 1982. Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan. Utama Offset Printing. Surabaya.

99. Syarief, Ikhwanuddin dan Murtadlo. 2002. Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar. M.Sc. Ed.. Grasindo. Jakarta.

100. Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. II. Remaja Rosda Karya. Bandung.

101. Tap MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haitian Negara 1999-2004. 2002. Cet. II. Sinar Grafika. Jakarta.

102. Tilaar. H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional Cet. II. Rineka Cipta. Jakarta.

103. ____ . 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk Indonesia. Grasindo. Jakarta.

104. ____ . 2001. Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan

Cet. V. Remaja Rosda Karya. Bandung.

105. ____ . 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.

106. ____ . 2000. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Cet.ll. Remaja Rosda Karya. Bandung.

107. ____ . 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Cet. III. Tera Indonesia. Magelang.

108. _____. 1997. Pengembangan Sumber Day a Manusia dalam Era Globalisasi Visi. Misi. dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020. Grasindo. Jakarta.

109. ____ . dan Ace Suryadi. 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar. Cet. II. Remaja Rosda Karya. Bandung.

Page 158: data baru 1

110. Tim D.J.P.K.A.I.. 2000. Islam Untuk Disiplin Ilmu Sosiologi Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi Sosiologi. P.P.P.A. Depag. Jakarta.

111. ____ . 2000. Islam untuk Disiplin Ilmu Antropologi Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi Antropologi. P.P.P.A. Depag. Jakarta.

112. ____ . 2000. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum Fakultas/Jurusan/Program Studi Pendidikan. P.P.P.A. Depag. Jakarta.

113. Tim Dosen F1P-IKIP Malang. 1988. Pengertian Dasar-Dasar Kependidikan. Cet. III. Usaha Nasina!. Surabaya.

114. Tim Penyusun Kamus P.P.P/.B. Dep. Dik. Bud.. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Balai Pustaka. Jakarta.

115. Tim Penyusun Pedoman Penelttian karya ilmiah IKIP Malang. 1993. Pedoman Penelitian karya ilmiah Skripsi, Artikel. dan Makalah. IKIP Press. Malang.

116. Toffler, Alvin. 1992. Kejutan Masa Depan. Cet lV. Terjemahan oieh Kusdiyatinah SB. Panta Simpati. Jakarta.

117. Topatimasang, Roem. 1999. Sekolah Itu Candu. Cet.IS. Pustaka Peiajar. Yogyakarta.

118. Toyib, Ruslan dan Damnuin. 1999. Pemikiran Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer Pendidikan Islam. Pustaka Peiajar. Yogyakarta.

119. Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Dalam Islam I. Cet. II. Terjemahan oleh Miri Lc. Jakarta. Pustaka Amani. 1999.

120. Undang-Undang Republrk Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDiKNAS) Beserta Penjelasannya. 2003. Citra Umbara. Bandung.

121. Wahono, Francis. 2001. Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan. Cet. II. Pustaka Peiajar. Yogyakarta.

122. Wahyu, Ms.. 1986. Wawasan llmu Sosial Dasar. Usaha Nasional. Surabaya.

123. Widagdho, Djoko. 1993. llmu Budaya Dasar. Cet. IIS. Bumi Aksara. Jakarta.

124. William, F. O'Neil. 2001. Ideologi-ldeologi Pendidikan. Pustaka Peiajar. Yogyakarta.

125. Yuwono, Trisno dan silvita. 1995. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi Terbaru. Arkala. Surabaya.

Page 159: data baru 1

126. Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik llmu Pengetahuan Manusia Kajian Filsafat llmu. LESFI. Yogyakarta.

127. Zuhairini, dkk.. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Cet.H. Bumi Aksara. Jakarta.

Page 160: data baru 1

DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MALANG Jl. Gajayana Dinoyo No. 50 Telp. (0341) 551354 Fax (0341) 572533 Malang

Nomor :/E/1/II/ Lampiran : 1 (satu) berkas Perihal : Bimbingan Skripsi Mahasiswa

Malang, 12 Agustus 2002 Kepada Yth. Bpk. Drs Fatah Yasin M. Ag Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang

Assalamu'alaikum Wr. Wb Mengharap kesediaan Bapak / Ibu untuk memberikan bimbingan Skripsi kepada mahasiswa: Nama : Moh Imam Syafi'i NIM : 98140713 Prodi/Jurusan : Tarbiyah/Pendidikan Islam Semester/ Tahun AK. :VIII/2001/2002 Judul :PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA

(Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)

Jangka Waktu Penyusunan : 3 (tiga) bulan Mulai tanggal : Sampai Tanggal : _________________

Sesuai dengan program studinya, maka dimohon Bapak/ Ibu mengarahkan judul Skripsi ke bidang Tarbiyah. Adapun kesempurnaan judul, outline dan proposal diserahkan kepada Bapak/ Ibu pembimbing melalui proses bimbingan dan atau seminar.

Demikian, atas kesediaan dan kerjasamanya disampaikan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb

a.n Ketua Ketua Jurursan Tarbiyah Drs. Asmaun Sahlan, M.Ag

NIP. 150 215 372

Keterangan 1. Surat pengantar ini dibuat rangkap 3 (tiga), dengan rincian:

- Satu berkas untuk Dosen Pembimbing - Satu berkasuntuk arsip Jurusan Tarbiyah - Satu berkas

2. Masing-masing dilengkapi dengan outline dan proposal.

Page 161: data baru 1

DEPARTEMENAGAMA RI UMVERSITAS ISLAM INDONESIA-SUDAN

dh. SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MALANG Jl. Gajayana 50 Telp, (0341) 551354 Malang

Nomor : E. m / TL.00 /1244 / 2002 Malang, 16 Nopember 2002 Lamp. : 1 (Satu) berkas ' Hal : RESEARCH Kepada

Yth. Bapak H.A.R. Tilaar Di-

Jakarta.

Assalamu'alaikum Wr.Wb. Dengan ini kami mohon dengan hormat agar yang tersebut dibawah ini:

N a m a : Moh. Imam Syafi'i NIM : 98140713 Semester/Jurusan : IX/Tarbiyah Program studi : Pendidikan Agama Islam

Dalara rangka menyelesaikan tugas akhir studi/menyusun skripsinya , mohon yang

bersangkutan diberikan ijin/kesempatan untuk mengadakan research (penelitian)

didaerah / lingkungan wewenang Bapak di Jakarta dalam bidang -bidang yang

sesuai dengan judul skripsinya yaitu : Pendidikan Berbasis Budaya ( Studi atas

Pemikiran H.A.R. Tilaar). Sebagaimana proposal terlampir.

Demikian atas perkenan dan perhatian Bapak / Saudara kami sampaikan terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb An. Rektor Pembantu Rektor I DR. H. Muhaimin, MA NIP. 150 215 375

Page 162: data baru 1

Malang, 09 April 2003

Hal : Permohonan ijin penulisan dan penjelasan.

Kepada Yth,, Bapak Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, ML Sc. Ed Di-

Jakarta

Dengan hormat,

Pup syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan ni'mat dan

karunia-Nya, sehingga saya berkesempatan untuk menimba pengetahuan dari

Bapak Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M. Sc. Ed.

Bersama dengan surat ini, saya ingin menyampaikan penghargaan yang

setinggi-tingginya atas segala usaha dan perjuangan bapak di bidang

pendidikan (khususnya pengembangan pendidikan nasional). Saya percaya

dan yakin bahwa buah dari pemikiran bapak tersebut akan menjadi konstribusi

yang tidak ternilai harganya bagi perbaikan dan pengembangan pendidikan

nasional di masa mendatang.

Berawal dari ketertarikan saya terhadap pemunculan ide-ide baru Bapak Tilaar

yang seialu menyejukkan khasanah intelektual pendidikan nasional, maka saya

yang masih "buta" dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam dunia

pendidikan (khususnya di Indonesia), dan bagaimana nasib pendidikan

nasional di tengah arus globalisasi dewasa ini; merasa sangat tertarik untuk

menelaah dan menyelami (lebih jauh kem'rtau pernikiran pendidikan yang bapak

kembangkan. Dari sini kemudian saya ingin menulis sebuah karya ilmiah yang

berjudul: Pendidikan Berbasis Budaya (Studi Mas Pernikiran H.A.R. Tilaar).

Karya ilmiah tersebut juga merupakan tugas akhir (skripsi) saya untuk

menyelesaikan studi program S1 di Universitas islam Indonesia Sudan (UllS)

Page 163: data baru 1

Malang. (kelengkapan biografi saya terlampir)

Sehubungan dengan penulisan karya ilmiah tersebut, maka besar harapan

saya agar bapak berkenan memberikan izin dan memberikan penjelasan

dari beberapa pertanyaan (terlampir) yang saya ajukan guna membantu

kesempurnaan penulisan karya ilmiah ini.

Demikian surat ini, apabila ada hal-haf yang kurang berkenan saya mohon

maaf yang sebesar-besarnya. Dan atas segala perhatian serta izin yang bapak

berikan saya ucapkan banyak terima kasih.

Pemohon,

Moh. Imam Syafi'i

Page 164: data baru 1

Lampiran 1

Hal-Hal Yang Perlu Saya Ketahui dari Bapak Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, Bfl.Sc.Ed,

1. Bagaimanakah konsep pendidikan menurut bapak?

2. Bagaimana hubungan antara pendidikan dengan kebudayaan?

3. Menurut bapak, bagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia selama ini,

sudahkah sistem pendidikan nasional dapat benar-benar mereaiisasikan tujuan

pendidikan nasional yang dicita-citakan ?

4. Bagaimana model pendidikan "ideal" yang seharusnya diterapkan di Indonesia?

5. Bagaimana caranya agar nilai- nilai "ideal" budaya Indonesia dapat

ditrasformasikan kepada generasi bangsa ini melalui proses pendidikan, padahal,

orientasi pendidikan modern sela!u mengarah pada penguasaan ketrampian-

ketrampilan teknis, dengan mengandalkan kecerdasan rasional tanpa

mengedepankan niiai-niiai etis-budaya ?

6. Ketengkapan (detail) biodata/biogral bapak?

Nb. 1. Saya memohon dengan amat sangat, agar kiranya bapak berkenan memberikan

seperlunya salinan diktat, makalah, materi ceramah dan atau apa saja dari

pemikiran bapak yang berhubungan serta yang dapat membantu sempurnanya

proses penyusunan laporan akhir (skripsi) kami.

2. Berikut ini buku-buku tulisan bapak dan atau tentang pemikiran bapak, yang

sudah saya dapatkan

a) Manajemen Pendidikan, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1992.

b) Analisa Kebijakan Pendidikan, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1993 (Karya

bersama Dr. Ace Suryadi).

c) Beberapa Agenda Refonrtasi endidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21,

Page 165: data baru 1

Magelang, Tera Indonesia, 1998.

d) Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Bandung,

Remaja Rosda Karya, 1999.

e) Paradigma Bam Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000.

f) Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2002.

g) Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta, Grasindo, 2002.

h) Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R.

Tilaar, M. Sc. Ed., Jakarta, Grasindo, 2002.

Page 166: data baru 1

BIODATA

Nama Lengkap :Moh. Imam Syafi'i

Nim : 98140713

Tempat, Tanggal Lahir : Tuban, 15 Mei 1972

Alamat Rumah : Jl. Raya Masjid Besar "Baitur Rahman" RT 01, RW

02, No. 282, Beji - Jenu - Tuban - Jawa Timur.

Alamat Sekarang : Depot Pecel Lele "Gang Mojo" Jl. Soekarno-Hatta

Timur 30, Mojolangu - Lowokwaru - Malang -Jawa

Timur, Kode Pos 65142.

Agama : Islam.

Riwayat Pendidikan : Tamat Ml "Manbail Futuh" Tuban, Tahun 1986

: Tamat MTs "Manbail Futuh" Tuban, Tahun 1989

: Tamat MA "Manbail Futuh" Tuban, Tahun 1992

: Tamat D II "STAIN" Malang, Tahun 2000 : Transfer ke

Fakuitas Tarbiyah Jurusan PI UIIS d/h STAIN Malang

Tahun 2000 sampai sekarang.

Page 167: data baru 1

Jakarta, 14 April 2003

Kepada Yth. Sdr. Moh. Imam Syafe'i

Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Jurusan

Pendidikan Islam Universitas Islam Indonesia

Sudan Malang - Jawa Timur

Terima kasih atas surat Anda yang baru saya terima. Alangkah bangganya

seorang guru membaca surat seorang murid yang belum dikenalnya namun

berminat untuk mengkritisi pemikiran-pemikiran gurunya. Tidak ada guru yang

berbangga selain dari pemikiran-pemikirannya secara kritis dikembangkan lebih

lanjut oleh para muridnya.

Seorang murid yang baik yaitu seorang yang berhasil rnengembangkan lebih

lanjut pemikiran dari gurunya. Oleh sebab itu saya merasa sangat bangga dan

dihormati apabila Anda berminat untuk mengkaji lebih lanjut pemikiran-pemikiran

saya. Namun demikian pemikiran Anda jangan berhenti di mana tulisan saya

sendiri seakan-akan menemui jalan buntu. Ilmu pengetahuan terus berkembang

dan pemikiran seorang Tilaar hanyalah merupakan titik kecil di samudera yang

luas ilmu pengetahuan yang tidak mengenal akhir. Anda mudah-mudahan

melanjutkan pemikiran-pemikiran saya yang sente tidak lengkap dan memerlukan

pemikiran-pemikiran yang lebih cemerlang seperti Anda.

Kami mengharapkan dan mendoakan agar supaya niat dan kerja keras Anda

akan mencapai hasil demi untuk rnengembangkan ilmu pengetahuan khususnya

ilmu pendidikan yang dapat diterapkan bagi pengembangan pendidikan Islam di

Indonesia.

Saya sudah melihat koleksi tulisan saya yang Anda miliki yang boleh dikatakan

agak lengkap. Ada satu buku lagi yang perlu sebagai kelengkapan dari trilogi

pemikiran saya mengenai hubungan antara kebudayaan dan pendidikan. Adapun

trilogi yang saya maksud adalah:

1. Pendidikan dalam menghadapi perubahan budaya global dalam buku

Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Era Globalisasi. Penerbit

Page 168: data baru 1

Grasindo 1997.

2. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Penerbit Remaja

Rosdakarya 1999.

3. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Pedagogik

Transformatif untuk Indonesia. Penerbit Grasindo 2002.

Dua buku yang terakhir sudah Anda miliki. Buku yang pertama saya kirimkan

bersama surat ini.

Kami doakan semoga Anda berhasil menyelesaikan skripsi tepat waktu.

Amin.

Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.Sc, Ed.

Page 169: data baru 1

Malang, 17 Mei 2003 Hal: Ucapan Terima Kasih

Kepada Yth., Bapak Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M. Sc. Ed Di

Jakarta

Dengan hormat,

Tiada kata yang terindah dan termegah selain tanpa terukurnya untaian rasa

syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa; dimana hanya berkat pertolongan dan

kasih sayang Nya tan, seorang murid yang sedang kebingungan di tengah

gempita samudra ilmu pengetahuan, dapat berkonsultasi di bawah kemilau

cemertang pemikiran sang guru (semoga bapak Tlaar tidak keberatan ketika

kedua bibir nurani saya harus mengatakan bahwa bapak adalah sang guru yang

akan menjadi pelepas dahaga dari ketidak menentuan sistem pendidikan

nasional kita).

Beribu kata maaf terpaksa mengaiun seiring tumpukan tinta hati yang tertuang

melalui kertas ini, atas keteriambatan ucapan terima kasih saya, ha! ini

dikarenakan adanya beberapa kendala teknis yang tidak dapat dihindarkan.

Waiau demikian saya berharap keteriambatan ini tidak akan mengurangi rasa

hormat dan kekaguman saya atas segala kebaikan dan ketulusan hati bapak

dalam menyikapi dahaga intelektuaiita saya.

Sungguh suatu kehormatan yang tiada ternilai manakala saya menerima respon

baik (bahkan terlalu baik) dari bapak: mengenai buku-buku tambahan, teriebih isi

surat dari bapak yang terasa begitu menyejukkan hati. isi surat bapak (tertanggal

09 April 2003) seolah telah menerbangkan jiwa-raga saya kesuatu tempat yang

sebelumnya tak "berani" saya bayangkan, saya seolah mendapatkan suplemen

rasa percaya diri yang sebelumnya tengah tenggelam di dasar pusaran arus

ketidakmenentuan bidup, saya pun sepertinya bangkit (dari ketidakberdayaan,

dari iuka yang tidak saya ketahui karena apa, untuk apa dan mengapa demikian);

melangkah diantara kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tertuang dalam tiap

Page 170: data baru 1

alfabet dari surat bapak (surat tersebut telah saya terima padatanggal 21 April

2003).

Semoga semua ini bukan sekedar fatamorgana, atau hanya bias senandung

sentimentil dari jiwa yang telah terkalahkan oleh perburuan "nasib baik". Sehingga

ketika lipatan waktu memaksa umat manusia untuk merampungkan sekenario

pembudayaan hidup, nama saya akan tetap tergores di antara daftar nama-nama

murid yang siap dsbimbing oleh bapak Tilaar sampai benar-benar menemukan atau

bahkan mencapai titik Omega.

Kiranya hanya ini sementara yang dapat saya sampaikan dalam mengiringi letupan

rasa terima kasih saya atas segala kebaikan budi bapak.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan memberikan balasan dengan sebaik-

baik balasan , dan semoga bapak Tilaar sekeluarga diberkati-Nya. Arnin.

Demikian surat ucapan terima kasih ini saya buat, mohon maaf apabila terdapat

kekurangan dan kesalahan; serta terima kasih atas segala perhatian bapak

Penulis Skripsi

Pendidikan Berhasis Budaya

(StudiAtas Pemikiran H.A.R. Tilaar)

Moh. Imam Syafi'i

Page 171: data baru 1

DEPARTEMEN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MALANG Jl. Gayana 50 Telp. (0341) 551354-572533 Fax. (0341) 572535 Malang 65144

BUKTI KONSULTASI

1. Nama Mahasiswa : Moh. Imam Syafi’i 2. NIM / Jurusan : 98140713 P / Pendidikan Agama Islam 3. Pembimbing : Drs. A. fatah Yasin, M. Ag 4. Judul : Pendidikan Berbasis Budaya

(Studi atas P{emikiran H.A.R. Tilaar)

No Tanggal Hal yang di konsultasikan Tanda Tangan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

21 April 2003

28 April 2003

05 Mei 2003

09 Juni 2003

14 Juli 2003

04 Agustus 2003

01 Sept 2003

09 Sept 2003

Pengajuan Proposal

Penyempurnaan Proposal

Persetujuan Proposal

Bab II

Bab III

Bab IV

Bab V

Persetujuan Keseluruhan

Mengetahui Dekan Tarbiyah

Drs. Asmaun sahlan, m. Ag

NIP. 150 215 37

Page 172: data baru 1

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Moh Imam Syafi'i

Nim :98140713

Jurusan : Pendidikan Ssiam

Fakuitas : Tarbiyah

Menyatakan bahwa "skripsi" yang saya buat memenuhi persyaratan kelulusan pada

Jurusan Pendidikan Islam Fakuitas Tarbiyah Universitas islam Indonesia Sudan

(IMS) Malang, dengan judul:

Pendidikan Berbasis Budaya

(Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)

adalah hasil karya saya sendiri, bukan "duplikasi" dart karya orang lain.

Selanjutnya apabila dikemudian hari ada "claim" dari pihak lain, bukan menjadi

tanggung jawab dosen pembimbing dan atau pengelola Fakultas Tarbiyah

Universitas Islam Indonsia Sudan (UIIS) Malang, tetapi tanggung jawab saya sendiri.

Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari

siapa pun.

Malang, September 2003

Hormat saya

Moh. Imam Syafi’i