Upload
rachmat-saputra
View
129
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1. Demokrasi Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Periode panjang pergerkan nasional yang didominasi oleh munculnya organisasi
modern digantikan periode revolusi nasional. Revolusi yang menjadi alat tercapainya
kemerdekaan merupakan kisah sentral sejarah indonesia. Semua usaha untuk mencari
identitas (jati) diri, semangat persatuan guna menghadapi kekuasaamn kolonial, dan untuk
membangun sebuah tatanan sosial yang adil akhirnya membuahkan hasil dengan
diproklamasikannya kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada masa revolusi 1945 – 1950 banyak kendala yang dihadapi bangsa
indonesia, misalnya perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan
bersenjata dengan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial
dan mereka yang menentangnya dan antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di
awal revolusi tidak satupun perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan.
Semua permasalahan itu baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok kekuatan
itu duduk satu meja untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa tujuan pertama bangsa
indonesia adalah kemerdekaan bangsa indonesia. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan
perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi bersama-sama berhasil mencapai
kemerdekaan.
2. Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Setelah indonesia merdeka, kini menghadapi prospek menentukan masa
depannya sendiri. Warisan yang ditinggalkan pemerintahan kolonial berupa kemiskinan,
rendahnya tingkat pendidikan dan tradisi otoriter merupakan merupakan pekerjaan rumah
yang harus diselesaikan para pemiipin nasional indonesia. Pada periode tahun 1950-an
muncul kaum nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai islam yang
memegang kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa kedua
kelompok inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi di
Indonesia.
Undang – Undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer
dimana baedan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta
para menteri yang mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk
berdasarkan koalisi pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi
ternyata kurang mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi
tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam
barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif yang menyusun program-
program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi (Miriam
Budiardjo, 70).
Pada umumnya kabinet dalam masa pra pemilu tahun 1955 tidak dapat bertahan
lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi
dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan dalam untuk
melaksanakan programnya. Pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang
diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak
dapat dihindarkan. Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan
demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir. Mengingat kondisi
yang harus dihadapi pemerintah indonesia pada kurun waktu 1950-1959, maka tidak
mengherankan bahwa pelaksanaan demokrasi mengalami kegagalan karena dasar untuk
dapat membangun demokrasi hampir tidak dapat ditemukan. Mereka yang tahu politik
hanya sekelompok kecil masyarakat perkotaan. Para politisi Jakarta, meskipun mencita-
citakan sebuah negara demokrasi. Kebanyakan adalah kaum elite yang menganggap diri
mereka sebagai pengikut suatu budaya kota yang istimewa. Mereka bersikap paternalistik
terhadap orang-orang yang kurang beruntung yakni masyarakat pedesaan. Tanggung
jawab mereka terhadap struktur demokrasi parlementer yang merakyat adalah sangat
kecil. Bangunan indah sebuah demokrasi parlementer hampir tidak dapat berdiri dengan
kokoh.
3. Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Di tengah-tengah krisis tahun 1957 dan pengalaman jatuh bangunnya
pemerintahan, mengakibatkan diambilmnya langkah-langkah menuju suatu pemerintahan
yang oleh Soekarno dinamakan Demokrasi Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang
didominasi oleh kepribadian soekarno yang prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi
terpimpin diambil bersama-sama dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini
terdapat beberapa penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya partai-partai
politik dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada berusaha
berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan legitimasi, bimbingan atau
perlindungan. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955
dan menggantikanya dengan DPRGR, padahal dalam penjelasan UUD 1945 secara
ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak berwenang membubarkan DPR.
Melalui demokrasi terpimpin Soekarno berusaha menjaga keseimbangn politik yang
merupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukan
kembali dan memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang
masa depan bangsanya, tetapi ia tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima oleh
pimpinan nasional lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya tidak dapat
terealisasi. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri periode demokrasi
terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi Pancasila.
4. Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan
pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal
pemerintahan orde hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru
diharapkan melenyapkan rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan
menerapkan demokrasi Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali
azas negara hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi manusia baik dalam
aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat
dihindarkan secara institusional. Dalam rangka mencapai hal tersebut, lembaga-lembaga
dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan-ikatan pribadi (Miriam, 74). Sekitar 3
sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang
menyimpang dari cita-citanya semula. Kekuatan – kekuatan sosial-politik yang bebas dan
benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan
sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol sosial.
Kekuatan sosial politik yang diikutsertakan dalam pemilu dibatasi. Mereka tidak lebih
dari suatu perhiasan dan mempunyai arti seremonial untuk dipertontonkan kepada dunia
internasional bahwa indonesia telah benar-benar berdemokrasi, padahal yang sebenarnya
adalah kekuasaan yang otoriter. Partai-partai politik dilarang berperan sebagai oposisi
maupun kontrol sosial. Bahakan secara resmi oposisi ditiadakan dengan adanya suatu
“konsensus nasional”. Pemerintahan Soeharto juga tidak memberikan check and balances
sebagai prasyarat dari sebuah negara demokrasi (sarbini Sunawinata, 1998 ;8).
Pada masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua
sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat hanya
patuh dengan sang pemimpin. Mental paternalistik mengakibatkan soeharto tidak boleh
dikritik. Para menteri selalu minta petunjuk dan pengarahan dari presiden. Sikap mental
seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan pelapisan budaya yang
pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus, sedangkan rakyat lapisan bawah
tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai tekanan yang diterima rakyat dan cita-
cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang tidak pernah tercapai,
mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya
mengalami keruntuhan.
5. Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang
menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan soeharto digantikan pemerintahan transisi
presiden Habibie yang didukung sepenuhnya oleh TNI. Lembaga-lembaga di luar
presiden dan TNI tidak mempunyai arti apa-apa. Seluruh maslah negara dan bangsa
Indonesia menjadi tanggung jawab presiden/TNI. Reformasi menuntut rakyat Indonesia
untuk mengoreksi pelaksanaan demokrasi. Karena selama soeharto berkuasa jenis
demokrasi yang dipraktekkan adalah demokrasi semu. Orde Baru juga meninggalkan
warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik.
Tugas utama pemerintahan Habibie ada dua, yakni pertama bekerja keras agar harga
sembilan pokok (sembako) terbeli oleh rakyat sambil memberantas KKN tanpa pandang
bulu. Kedua, adalah mengembalikan hak-hak rakyat guna memperoleh kembali hak-hak
azasinya.
Agaknya pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi
pelaksanaan demokrasi yang selama ini dikebiri oleh pemerintahan Orde baru.
Pemerintahan Habibie menyuburkan kembali alam demokrasi di Indonesia dengan jalan
kebebasan pers (freedom of press) dan kebebasan berbicara (freedom of speech).
Keduanya dapat berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya
kekuasaan yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh. Membangun kembali
Indonesia yang demokratis dapat dilakukan melalui sistem keparataian yang sehat dan
pemilu yang transparan. Sistem pemilu multipartai dan UU politik yang demokratis
menunjukkan kesungguhan pemerintahan Habibie. Asalkan kebebasan demokratis seperti
kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan kebebasan mimbar tetap dijalankan maka
munculnya pemerintahan yang KKN dapat dihindari.
Dalam perkembanganya Demokrasi di indonesia setelah rezim Habibie
diteruskan oleh Presiden Abdurahman wahid sampai dengan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sangat signifikan sekali dampaknya, dimana aspirasi-aspirasi rakyat dapat
bebas diutarakan dan dihsampaikan ke pemerintahan pusat. Hal ini terbukti dari setiap
warga negara bebas berpendapat dan kebebasan pers dalam mengawal pemerintahan yang
terbuka sehingga menghindarkan pemerintahan dari KKN mungkin dalam prakteknya
masih ada praktik-praktik KKN di kalangan pemerintahan, namun setidaknya rakyat tidak
mudah dibohongi lagi dan pembelajaran politik yang baik dari rakyat indonesia itu sendiri
yang membangun demokrasi menjadi lebih baik. Ada satu hal yang membuat indonesia
dianggap negara demokrasi oleh dunia Internasional walaupun negara ini masih jauh
dikatakan lebih baik dari negara maju lainnya adalah Pemilihan Langsung Presiden
maupun Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung. Mungkin rakyat indonesia masih
menunggu hasil dari demokrasi yang yang membawa masyarakat adil dan makmur secara
keseluruhan.
C. Penutup
Pada intinya demokrasi adalah persamaan hak dan kedudukan dari setiap warga
negara di dalam sebuah negara yang demokratis. Demokrasi harus ditegakkan dalam
berbagai bidang, yakni demokrasi politik, demokrasi ekonomi, demokrasi hukum dan
demokrasi pendidikan. Sedang inti demokrasi itu sendiri adalah keadilan. Demokrasi
yang sesungguhnya adalah demokrasi tanpa embel-embel dibelakangnya, karena tiga
macam demokrasi yang diterapkan di indonesia ternyata gagal. Dengan demikian,
demokrasi dalam arti universal dan komprehensif dapat diciptakan melalui tegaknya
keadilan politik, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan keadilan hukum.
Demokrasi Membutuhkan Ekonomi
PENDAPAT yang umum berlaku adalah bahwa negara miskin tidak akan berhasil
mengembangkan demokrasi (India dapat dikatakan sebagai kekecualian). Tentu saja beberapa
negara miskin berupaya untuk mengembangkan demokrasi, namun suatu negara yang
mengembangkan demokrasi pada saat tingkat pembangunannya rendah hampir dapat
dipastikan akan mengalami kegagalan.
Demokrasi untuk berkembang membutuhkan dukungan ekonomi. Bagi negara berkembang,
seperti Indonesia, melakukan konsolidasi demokrasi yang sebenarnya (genuine democracy)
merupakan tantangan terpenting dan sekaligus tersulit. Penjelasan sederhana dari
keberhasilan konsolidasi di banyak negara adalah dicirikan oleh dukungan dari keberhasilan
dalam pembangunan ekonomi. Bagi Indonesia yang sedang dalam tahapan konsolidasi
demokrasi maka perkembangan ekonomi yang lebih baik dan lebih cepat
akan mengarahkan kepada keberhasilan berjalannya demokrasi. Namun, sebaliknya, stagnasi
ekonomi memastikan akan gagalnya demokrasi.
Studi yang komprehensif mengenai kaitan demokrasi dan perkembangan ekonomi dilakukan
oleh Adam Przeworski dan Fernando Limongi. Mereka mempelajari perilaku setiap negara
berkaitan dengan penerapan demokrasi dan tingkat perkembangan ekonominya (lebih
tepatnya pendapatan per kapita) pada kurun waktu tahun 1950-1990. Dari perhitungan
mereka, negara yang pendapatan per kapitanya di bawah 1.500 dollar AS, eksperimen
demokrasinya hanya bertahan selama delapan tahun untuk kemudian mengalami kegagalan.
Pendapatan per kapita di sini dihitung menurut PPP (Purchasing Power Parity) yang
disesuaikan dengan tingkat biaya hidup di negara yang bersangkutan. Pendapatan per kapita
PPP ini lebih tinggi daripada pendapatan per kapita secara riil yang tidak memperhitungkan
perbedaan tingkat harga dan daya beli di masing-masing negara. Untuk negara dengan
pendapatan per kapita antara 1.500-3.000 dollar AS, eksperimen demokrasi bertahan rata-rata
sekitar 18 tahun. Pendapatan per kapita di atas 6.000 dollar AS membuat proses demokrasi
dapat bertahan. Sekali suatu negara menjadi negara kaya, maka demokrasi menjadi
berkesinambungan.
Pendapatan per kapita Indonesia secara riil sekarang ini adalah sekitar 800 dollar AS dan
menurut PPP sekitar 3.000 dollar AS. Di lihat dari sisi perkembangan ekonomi, Indonesia
mempunyai peluang yang cukup baik, sekalipun masih cukup besar kemungkinan gagalnya,
untuk terus dapat mengembangkan demokrasi. Proses perkembangan demokrasi di Indonesia
telah berlangsung selama sekitar lima tahun. Jika perkembangan ekonomi lambat dengan
pengangguran yang relatif tinggi dan cenderung meningkat seperti yang kita alami sekarang
ini, maka menurut studi tersebut demokrasi di Indonesia kemungkinan hanya akan dapat
bertahan sekitar dua sampai dengan tiga pemilihan umum lagi. Jika perkembangan ekonomi
dapat lebih baik, sehingga pendapatan per kapita dapat menjadi dua kali lipatnya dalam satu
dekade ke depan, maka kemungkinan demokrasi di Indonesia akan dapat berkembang secara
berkesinambungan.
Dalam lima tahun pertama masa demokrasi di Indonesia, perekonomian Indonesia baru dalam
tahap stabilitas belum dapat tumbuh tinggi, bahkan tingkat pendapatan per kapita belum
kembali ke tingkat masa sebelum krisis. Proses pemulihan ekonomi yang lambat dan
pengangguran yang meningkat membuat sebagian pemilih kecewa sebagaimana ditunjukkan
oleh penurunan perolehan suara PDI-P dalam pemilihan umum legislatif April yang lalu, dan
Presiden Megawati hanya menduduki urutan kedua dalam pemilihan presiden putaran
pertama, serta adanya keinginan bagi munculnya pemimpin baru sebagaimana ditunjukkan
oleh cukup tingginya popularitas Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, jika pemerintahan baru nantinya tidak dapat memperbaiki perekonomian secara
berarti dalam masa lima tahun ke depan, maka kekecewaan masyarakat bukan saja terhadap
pemerintah, tetapi juga terhadap demokrasi akan meningkat dan akan mengancam
keberlanjutan demokrasi. Stagnasi ekonomi dalam lima tahun ke depan bukan saja akan
mengarahkan pemilih untuk mendapatkan pemimpin baru tetapi juga semakin menurunkan
kepercayaan mereka terhadap proses demokrasi.
Untuk membuat pendapatan per kapita dua kali lipat dalam satu dekade ke depan tentu saja
tidak mudah. Namun, jika presiden terpilih dapat membentuk kabinet (ekonomi) yang andal,
yang dapat menstimulasi dan menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, maka
perkembangan ekonomi akan dapat berjalan jauh lebih cepat. Perkembangan ekonomi
sekarang ini di beberapa sektor, seperti bangunan, transportasi-telekomunikasi, perdagangan,
keuangan, dan bahkan industri manufaktur sudah memperlihatkan peningkatan yang
menggembirakan, sekalipun belum optimal, terutama untuk sektor manufaktur.
Sayang sekali pertumbuhan sektor pertambangan yang semestinya diuntungkan oleh
tingginya harga minyak dan komoditas pertambangan justru mengalami pertumbuhan negatif.
Begitu pula perkembangan sektor pertanian masih mengecewakan. Dari sisi pengeluaran,
dalam kegiatan investasi dan ekspor masih harus dilakukan upaya ekstra untuk meningkatkan
kinerjanya. Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif tidak saja membutuhkan
langkah-langkah di bidang ekonomi, tetapi juga hukum dan kerja sama yang lebih baik dan
probisnis antara pemerintah pusat dan daerah.
Kebijaksanaan moneter sudah berada di tangan Bank Indonesia yang independen, sehingga
tidak terlalu mendapatkan tekanan politis baik dari eksekutif maupun legislatif untuk
kepentingan tertentu yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Tinggal pilihan
kebijaksanaan pemerintahan baru apakah akan mengarahkan kebijaksanaan fiskal yang lebih
stimulatif, tentu saja dengan tetap memperhatikan kehati-hatian fiskal (fiscal prudentiality),
atau tetap konservatif seperti sekarang ini. Mempertahankan kebijaksanaan fiskal yang
konservatif berarti membutuhkan kompensasi dalam langkah-langkah berani dan tegas untuk
mengatasi permasalahan struktural yang menghambat investasi, seperti hukum,
ketenagakerjaan, dan kerja pemerintah daerah. Jika tidak, maka kebijaksanaan moneter dan
fiskal yang netral seperti sekarang ini hanya akan menghasilkan pertumbuhan rendah dan
pengangguran yang tinggi.
Di tangan pemerintahan baru tidak saja pemulihan dan perkembangan ekonomi
dipertaruhkan, tetapi juga keberlanjutan demokrasi.
SBY Puji Perkembangan Demokrasi Indonesia
JAKARTA - Tradisi demokrasi yang ditumbuhkan di Indonesia, harus menghasilkan
keseimbangan antara kebebasan dan penghormatan terhadap hukum.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kebebasan dan penghormatan kepada
hukum adalah dua sisi dari mata uang yang sama dari demokrasi.
“Itulah sebabnya, kebebasan yang mengabaikan penghormatan kepada hukum hanya akan
menghasilkan instabilitas dan kekacauan. Ke depan, marilah kita mengambil tanggung jawab
kolektif untuk memastikan bahwa demokrasi kita akan terus tumbuh, justru karena sama-
sama ditopang oleh kebebasan dan supremasi hukum,” ungkap Presiden SBY, dalam pidato
kenegaraan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2010).
Presiden menandaskan, demokrasi juga berkembang dalam konteks politik. Sistem
presidensial yang dianut Indonesia, menurut SBY, berkembang di atas landasan multipartai.
“Sangat jelas, ini membawa tantangan tersendiri. Strategi demokrasi yang kita pilih pada
dasarnya mencoba menegaskan bahwa sistem presidensial harus diperkuat di atas landasan
sistem kepartaian yang sehat dan kontributif,” ujar Presiden.
Presiden menambahkan demokrasi multipartai, harus mampu menghasilkan proses-proses
politik yang efektif, serta memberikan manfaat bagi rakyat.
Tidak hanya itu, esensi demokrasi juga berarti menjaga kemajemukan dalam berpolitik.
“Dalam sistem politik demokrasi yang sehat dan produktif, kemajemukan harus dapat
menjadi kekuatan pendorong, the driving force, sebuah kemajuan, bukan sebaliknya, menjadi
penghalang,” sambungnya.
Presiden juga menyatakan, demokrasi telah melewati ujian berat di reformasi 10 tahun
gelombang pertama.
“Setelah didera oleh krisis multidimensional, bangsa Indonesia telah bangkit kembali. Kini,
Indonesia bukan hanya telah pulih dari krisis moneter, namun telah menjadi negara
demokrasi yang sangat dinamis,” sebutnya.