28
1 DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN MENGHADAPI REFORMASI BIROKRASI SUATU TELAAHAN BAGI AGENDA PENELITIAN KEBIJAKAN KEHUTANAN Oleh : Ismatul Hakim RINGKASAN Proses desentralisasi sektor kehutanan yang terhambat selama ini disebabkan oleh belum jelasnya kegiatan dan program prioritas kehutanan apa yang harus dilaksanakan. Yang dipahami oleh masyarakat saat ini bahwa : kerusakan hutan dan lahan pencurian kayu terjadi dimana- mana, sedangkan laju perbaikan dan penanaman tanaman hutan masih sarat dengan masalah. Hal ini disebabkan oleh terlalu lamanya kita berada dalam suasana yang sentralistis di masa Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi kekuasaan (birokrasi), ketertutupan dan tidak transparanan dalam manajemen (pengelolaan), polat pendekatan struktural (kaku) dari atas ke bawah, statis dan monolog, serta berorientasi pada target keproyekan. Sementara itu, proses dan dinamika masyarakat dan kelembagaannya kurang diperhatikan dengan baik. Oleh sebab itu, beberapa prioritas kegiatan dan program dalam pembangunan kehutanan yang menonjol sesuai dengan kondisi dan permasalahan saat ini adalah : (1) Pola Tataguna dan Penataan hutan sebagai prakondisi pembangunan (kehutanan) harus sudah jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak (stakeholder). Di masa depan, sudah saatnya harus ditetapkan mana yang kawasan hutan dan mana yang bukan kawasan hutan yang harus dipertahankan. Pola Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) harus dikaji ulang oleh semua stakeholder. Penggunaan istilah Hutan Alam yang digenjot untuk produksi hasil hutan (kayu) selama ini harus jelas kapan akan kita akhiri. Eksploitasi dan penebangan hanya dapat dilakukan oleh siapa saja pengelola yang menanam pada hutan/lahan yang ditanami sendiri. Jika masih ada hutan (alam) yang dieksploitasi maka harus terbuka dan transparan kepada publik, karena ada hak-hak masyarakat di dalamnya. Ke depan kita hanya harus bangga dengan sebutan Departemen Penanaman Hutan, daripada Kerusakan Hutan dan Illegal Logging. Tentang kawasan hutan yang akan dan sudah dikonversi sudah saatnya dikonsolidasikan dan dikoordinasikan dengan Rancangan Umum Tata Ruang Nasional (RUTRN dan RTRWP) dengan instansi terkait seperti Bappenas, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Bappeda di tingkat propinsi/kabupaten. (2) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Perum Perhutani di Pulau Jawa dan PT. Inhutani di Luar Jawa harus menjadi contoh (teladan) dalam hal keberhasilannya membangun Hutan Tanaman (Kebun Kayu) dan produksi hasil hutan (kayu) kepada swasta dan masyarakat luas. BUMN harus dapat membina dan membimbing usaha swasta seperti perusahaan HTI dan masyarakat dalam mengembangkan Hutan Rakyatnya terutama dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemen dan kelembagaannya. Di Pulau Jawa, Hutan Rakyat telah banyak berhasil menggerakkan roda ekonomi dan usaha masyarakat terutama di kelompok usaha kecil, menengah dan kelompok tani/koperasi hutan di pedesaan. Pemerintah dan BUMN harus dapat merangsang dan memfasilitasi kemudahan di bidang Iptek, manajemen dan kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, (3) Yang termasuk dalam kategori Hutan (alam), lebih-lebih yang saat ini kita kenal sebagai Hutan lindung, Hutan/Kawasan Konservasi, Suaka Alam, Cagar Alam atau Suaka Marga satwa harus dijaga dan dilindungi oleh semua pihak terutama Pimpinan Nasional, Pimpinan Daerah dan masyarakat luas. Perlu membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya fungsi lindung dan fungsi konservasi (public awareness) hutan. Masyarakat akan dapat membangun kelembagaan dan hukumnya sendiri dengan penuh kesadaran akan eksistensi hutan dan koservasi alam. Hutan dan kawasan konservasi menjadi tanggung jawab semua pihak (multi-stakeholder). Pemerintah (pusat dan daerah) harus membangun kepercayaan baru kepada semua pihak dan masyarakat karena selama ini terkesan Pemerintah seperti pemilik hutan, bukan pengatur, pengurus dan penata hutan. Selama ini hutan/kawasan hutan adalah monopoli dalam penguasaan hutan/kawasan hutan.

DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

1

DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN MENGHADAPI REFORMASI BIROKRASI

SUATU TELAAHAN BAGI AGENDA PENELITIAN KEBIJAKAN

KEHUTANAN

Oleh : Ismatul Hakim

RINGKASAN

Proses desentralisasi sektor kehutanan yang terhambat selama ini disebabkan oleh belum jelasnya kegiatan dan program prioritas kehutanan apa yang harus dilaksanakan. Yang dipahami oleh masyarakat saat ini bahwa : kerusakan hutan dan lahan pencurian kayu terjadi dimana-mana, sedangkan laju perbaikan dan penanaman tanaman hutan masih sarat dengan masalah. Hal ini disebabkan oleh terlalu lamanya kita berada dalam suasana yang sentralistis di masa Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi kekuasaan (birokrasi), ketertutupan dan tidak transparanan dalam manajemen (pengelolaan), polat pendekatan struktural (kaku) dari atas ke bawah, statis dan monolog, serta berorientasi pada target keproyekan. Sementara itu, proses dan dinamika masyarakat dan kelembagaannya kurang diperhatikan dengan baik.

Oleh sebab itu, beberapa prioritas kegiatan dan program dalam pembangunan kehutanan yang

menonjol sesuai dengan kondisi dan permasalahan saat ini adalah : (1) Pola Tataguna dan Penataan hutan sebagai prakondisi pembangunan (kehutanan) harus

sudah jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak (stakeholder). Di masa depan, sudah saatnya harus ditetapkan mana yang kawasan hutan dan mana yang bukan kawasan hutan yang harus dipertahankan. Pola Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) harus dikaji ulang oleh semua stakeholder. Penggunaan istilah Hutan Alam yang digenjot untuk produksi hasil hutan (kayu) selama ini harus jelas kapan akan kita akhiri. Eksploitasi dan penebangan hanya dapat dilakukan oleh siapa saja pengelola yang menanam pada hutan/lahan yang ditanami sendiri. Jika masih ada hutan (alam) yang dieksploitasi maka harus terbuka dan transparan kepada publik, karena ada hak-hak masyarakat di dalamnya. Ke depan kita hanya harus bangga dengan sebutan Departemen Penanaman Hutan, daripada Kerusakan Hutan dan Illegal Logging. Tentang kawasan hutan yang akan dan sudah dikonversi sudah saatnya dikonsolidasikan dan dikoordinasikan dengan Rancangan Umum Tata Ruang Nasional (RUTRN dan RTRWP) dengan instansi terkait seperti Bappenas, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Bappeda di tingkat propinsi/kabupaten.

(2) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Perum Perhutani di Pulau Jawa dan PT. Inhutani di Luar Jawa harus menjadi contoh (teladan) dalam hal keberhasilannya membangun Hutan Tanaman (Kebun Kayu) dan produksi hasil hutan (kayu) kepada swasta dan masyarakat luas. BUMN harus dapat membina dan membimbing usaha swasta seperti perusahaan HTI dan masyarakat dalam mengembangkan Hutan Rakyatnya terutama dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemen dan kelembagaannya. Di Pulau Jawa, Hutan Rakyat telah banyak berhasil menggerakkan roda ekonomi dan usaha masyarakat terutama di kelompok usaha kecil, menengah dan kelompok tani/koperasi hutan di pedesaan. Pemerintah dan BUMN harus dapat merangsang dan memfasilitasi kemudahan di bidang Iptek, manajemen dan kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat,

(3) Yang termasuk dalam kategori Hutan (alam), lebih-lebih yang saat ini kita kenal sebagai Hutan lindung, Hutan/Kawasan Konservasi, Suaka Alam, Cagar Alam atau Suaka Marga satwa harus dijaga dan dilindungi oleh semua pihak terutama Pimpinan Nasional, Pimpinan Daerah dan masyarakat luas. Perlu membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya fungsi lindung dan fungsi konservasi (public awareness) hutan. Masyarakat akan dapat membangun kelembagaan dan hukumnya sendiri dengan penuh kesadaran akan eksistensi hutan dan koservasi alam. Hutan dan kawasan konservasi menjadi tanggung jawab semua pihak (multi-stakeholder). Pemerintah (pusat dan daerah) harus membangun kepercayaan baru kepada semua pihak dan masyarakat karena selama ini terkesan Pemerintah seperti pemilik hutan, bukan pengatur, pengurus dan penata hutan. Selama ini hutan/kawasan hutan adalah monopoli dalam penguasaan hutan/kawasan hutan.

Page 2: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

2

(4) Penanganan lahan kritis dan Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah saatnya dibuat kelembagaan khusus (otonom) di tingkat pusat (dan daerah) yang melibatkan semua pihak terkait dari hulu sampai ke hilir dalam kerangka Pengelolaan Sumber Daya Air secara terpadu untuk mengembalikan fungsi ekologis dan hidro-orologis dari hutan/lahan bagi kelestarian ekosistem kehidupan manusia. Embrio kelembagaan baru dalam Pengelolan DAS atau Sumber Daya Air terdiri dari unsur Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup. Pendekatan multi-pihak secara kolaboratif dalam pengelolaan DAS atau Sumber Daya Air (SDA) harus semakin ditingkatkan.

(5) Proses desentralisasi dalam pembangunan sektor kehutanan baru dapat berjalan setelah adanya kemauan dan kesanggupan semua pihak terutama Pemerintah (pusat, propinsi dan daerah) untuk berkolaborasi dalam mengelola Sumber Daya Hutan atas dasar kesadaran, komitmen dan pemahaman yang sama terhadap fungsi dan peran Sumber Daya Alam (Hutan). Jika belum ada kesamaan antara para pihak, maka percuma saja kita bicara tentang pemberdayaan masyarakat. Di lain pihak, sebaliknya pemerintah akan tertinggal oleh masyarakat di desa dan di sekitar hutan yang sudah banyak berhasil membangun hutan rakyat. Dan sudah saatnya, justru pemerintah harus belajar dari masyarakat dalam mengelola lahan dan hutan.

(6) Dalam menuju desentralisasi sektor kehutanan secara terarah, maka berbagai kebekuan yang masih tersisa dalam birokrasi terutama di tingkat pusat yang masih bernuansa kekuasaan, memusat, tertutup, monolog, kaku dan statis dalam pola kepemimpinan, pengambilan keputusan, rekrutmen pejabat, struktur organisasi dan kultur kerjanya harus segera dicairkan. Pola pendekatan fungsional lebih diperlukan dalam rangka reformasi birokrasi di sektor kehutanan, karena sudah terlalu banyaknya permasalahan yang muncul di permukaan. Sebagai konsekwensinya, maka setiap orang dituntut untuk dapat meningkatkan kinerjanya dan prestasi kerjanya dalam menangani berbagai permasalahan dan melaksanakan suatu program di lapangan. Dengan cara ini, dapat dibedakan antara akuntabilitas perorangan dan akuntabilitas pimpinan instnasi. Jabatan, proyek maupun kegiatan ditawarkan secara terbuka. Pola seperti ini yang akan dapat membersihkan berbagai bentuk manipulasi dan korupsi di birokrasi (KKN) akibat sudah terlalu bernuansa politis. Tidak perlu terjadi diskriminasi antara tenaga struktural dan tenaga fungsional di birokrasi, akan tetapi kepemimpinan dan kelembagaan kehutaan diisi atas dasar kapasitas dan kemampuan seseorang (profesionalisme). Oleh karena itu, peran tenaga fungsional seperti peneliti, widyaiswara, penyuluh dan dosen serta aktivis LSM harus lebih difungsikan dalam melakukan reformasi birokrasi di bidang kehutanan. Dengan demikian tidak ada lagi kesan kumuh di birokrasi. Kata Kunci : Desentralisasi, pemberdayaan masyarakat, kelembagaan, multi-stakeholder, public awareness, forest for people, reformasi birokrasi. I. PENDAHULUAN Hutan merupakan karunia Tuhan YME yang memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia di bumi. Selama ini kita menyebut hutan merupakan penyangga kehidupan, bahkan sebenarnya hutan yang merupakan kumpulan masyarakat pepohonan itu sendiri adalah kehidupan karena tumbuh dan berkembang dalam suatu rentang ruang dan waktu tertentu. Proses regenerasi hutan terjadi secara alami maupun buatan oleh manusia mengikuti “Hukum Alam”. Dengan cara apapun tumbuh dan terbentuknya, tetap saja bahwa hutan adalah karunia Tuhan yang tidak ternilai harganya. Mengelola hutan yang baik merupakan bentuk dari rasa syukur manusia kepada Tuhannya. Indonesia yang dikaruniai hutan tropis seluas 120 juta hektar harus dikelola dengan sebaik-baiknya sebagai modal untuk membangun bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keberadaan hutan harus menjadi indikator kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan harus didasarkan pada pertimbangan profesional-ilmiah kehutanan dan penuh

Page 3: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

3

rasa tanggung jawab. Mengelola hutan yang didasarkan pada kepentingan bisnis (ekonomi) dan politik semata akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem kehidupan berupa bencana alam seperti bahaya banjir, tanah longsor, dan kekeringan panjang yang berakibat pada gagalnya produksi pangan nasional, terhambatnya kegiatan industri dan pembangunan sektor lainnya yang berada di bagian hilir. Kerusakan hutan adalah bencana nasional dan ancaman laten bagi kesinambungan kepemimpinan nasional. Kashio (1995) mengatakan bahwa pengurasan terhadap hutan-hutan alam dan tidak berfungsinya ekosistem-ekosistem hutan memicu serangkaian permasalahan lingkungan, sosial dan ekonomi seperti : (1) sering terjadinya banjir bandang, kekeringan dan tanah longsor, (2) erosi dan siltasi tanah, (3) lenyapnya keanekaragaman hayati, (4) berubahnya pola iklim/cuaca dan (5) kekurangan air, kayu bangunan, kayu bakar dan makanan ternak. Penduduk pedesaan yang banyak merasakan dampak buruknya yang lebih menyengsarakan kehidupannya. Karena hutan dan lahan terus ditekan untuk mengikuti gerak dan arah kepentingan ekonomi dan politik, atau hutan hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih kepentingan memperoleh uang dan kekuasaan. Pembangunan kehutanan yang merupakan tanggung jawab institusi, administrasi dan birokrasi kehutanan (dari pusat, propinsi dan daerah) selama ini belum memberikan pengaruh positif terhadap kelestarian hutan dan lahan di Indonesia. Bahkan setelah mencapai hampir 35 tahun pembangunan bangsa, keberadaan hutan dan lahan kita semakin rusak dan kritis. Jumlah hutan dan lahan kita yang rusak semakin meningkat dengan tajam. Berdasarkan sumber Master Plan Badan Planologi Kehutanan tahun 2000, jumlah hutan dan lahan yang rusak mencapai seluas 96,3 juta hektar. Penyebab utama kerusakan hutan dan lahan adalah karena faktor manusia seperti : praktek penebangan liar dan perambahan kawasan hutan (illegal logging), perdagangan hasil hutan (kayu) gelap (illegal trading) dan karena faktor alam seperti : terjadinya kebakaran dan kekeringan. Diduga bahwa salah satu penyebab dari gagalnya kita dalam mengemban misi “hutan lestari dan rakyat sejahtera” adalah karena kebijaksanaan dan pola kepemimpinan pemerintahan yang bersifat sentralistis. Setelah memasuki era reformasi dan demokratisasi, pembangunan kehutanan diharapkan dapat menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan yang muncul dalam pembangunan kehutanan. Harapan semua pihak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut di atas menuntut untuk diterapkannya pola Desentralisasi Sektor Kehutanan sebagai anti-tesa terhadap pola pembangunan kehutanan yang sentralistis. Pelaksanaan Desentralisasi Sektor Kehutanan didasarkan pada UU No. 41 mengenai kehutanan tahun 1999, UU No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah yang saat ini telah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004, UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 mengenai Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai daerah Otonom, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2001 mengenai Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2001 mengenai Pemanfaatan

Page 4: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

4

Dana Reboisasi (DR). Maka sejak tanggal 1 Januari 2001 dinyatakan sebagai mulai berlakunya penerapan kebijakan Desentralisasi Sektor Kehutanan ke daerah, dengan menerapkan program Otonomi Daerah (OTODA). Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, wewenang Pemerintah Pusat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Namun untuk beberapa hal masih dirasa perlu kendali dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat, misalnya pengaturan Sumber Daya Alam (termasuk hutan). Menurut Arief Efendi (2001), secara umum OTODA sangat menguntungkan daerah karena mereka berwenang mengatur rumah tangganya sendiri dengan penuh tanggung jawab dan berbagai improvisasi. Setiap masalah dapat cepat diantisipasi. Kelemahannya, jika Daerah lepas kendali maka yang terjadi adalah kerusakan sumber daya alam. Setelah program Desentralisasi dan OTODA berjalan selama 5 tahun, nampak kepada kita bahwa program dan kebijakan Desentralisasi belum memberikan pengaruh positif terhadap kelestarian hutan, rehabilitasi lahan dan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi Sektor Kehutanan belum dapat menjawab permasalahan riel kehutanan di lapangan. Bahkan yang terjadi adalah jumlah hutan yang rusak dan lahan kritis semakin meningkat dan banyak terjadinya bencana alam di mana-mana. Hal tersebut menunjukkan semakin pentingnya sektor Kehutanan bagi kesinambungan pembangunan nasional. Oleh karena itu program Desentralisasi Sektor Kehutanan harus dapat menyadarkan semua pihak dan masyarakat luas untuk melestarikan hutan dan merehabilitasi lahan-lahan yang rusak. Bahkan kerusakan hutan akan menjadi hambatan bagi kesinambungan pembangunan sektor lain seperti pertanian, pertambangan, sumberdaya air, sumberdaya mineral dan energi, pemukiman penduduk, pedesaan, perkotaan, industri dan sektor jasa lainnya. Isu desentralisasi Sektor Kehutanan yang akhir-akhir ini lebih bertendensi pada euphoria kebebasan mengeksploitasi dan menebang hutan (alam) secara bebas tanpa memperhatikan kelestariannya untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan berebut anggaran antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Daerah akan menyulitkan pencapaian sasaran dan misi pembangunan Kehutanan. Program Desentralisasi Sektor Kehutanan harus dapat memberikan pemahaman yang sama kepada semua jajaran pemerintah baik pusat, propinsi dan daerah untuk mengelola hutan (alam) dan lahan secara lestari. Untuk mencapai tujuan diatas, maka paper ini mencoba akan membahas tentang permasalahan dalam desentralisasi Sektor Kehutanan, bagaimana cara mengatasinya, dan program-program apa saja yang harus dikerjakan oleh pemerintah untuk mendorong partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Penyusunan Paper ini dimaksudkan untuk memahami berbagai permasalahan dalam program Desentralisasi Sektor Kehutanan, dan selanjutnya mencoba mencari jalan keluar dalam menangani berbagai permasalahan yang muncul, serta menyusun strategi, kebijakan, langkah dan program yang tepat untuk mendukung pencapaian sasaran dan misi pembangunan kehutanan yaitu : Hutan Lestari dan Rakyat Sejahtera. Dasar pemikiran diatas, diharapkan dapat

Page 5: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

5

menjadi bahan masukan bagi upaya reformasi birokrasi di sektor kehutanan sehingga secara kelembagaan mampu menghadapi berbagai bentuk perubahan yang dihadapi. Selanjutnya, mencoba membuat kajian dan uji-coba-uji coba di daerah propinsi dan kabupaten/kota bagaimana bentuk nyata dari model partisipasi masyarakat dalam membangun hutan dalam berbagai kondisi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Karena meskipun program Otonomi Daerah telah berjalan, tetapi masih terbatas pada wacana di tingkat birokrasi dan administrasi. Desentralisasi Sektor Kehutanan belum memberikan nuansa baru di masyarakat tentang hutan dan peranannya dalam pembangunan melalui langkah-langkah yang terarah dan terpadu dengan mengerahkan kekuatan yang ada di masyarakat. II. KERANGKA ANALISA PERMASALAHAN Pembangunan Kehutanan yang menggunakan pola Sentralistis selama masa Pemerintahan Orde Baru (32 tahun) telah mengakibatkan rusak sumber daya hutan sehingga menimbulkan terjadinya : (1) banjir bandang, kekeringan dan tanah longsor, (2) erosi dan siltasi tanah, (3) lenyapnya potensi kekayaan keanekaragaman hayati, (4) perubahan iklim/cuaca yang ekstrim dan (5) kekurangan pasokan air, ketersediaan kayu dan makanan ternak. Ruang lingkup pembangunan sektor Kehutanan meliputi : pengusahaan hutan (produksi), pengelolaan Hutan Lindung dan Kawasan Konservasi, Pengelolaan/Rehabilitasi Lahan Kritis (DAS), Penataan dan Penatagunaan Kawasan, Pengembangan IPTEK Kehutanan (Litbang) dan Pengembangan Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Kehutanan. Di masa Orde Baru, pembangunan kehutanan yang sentralistis dicirikan oleh beberapa hal diantaranya : berorientasi pada struktur yang statis, pendekatannya bersifat atas-bawah (top-down), pengelolaannya bersifat tertutup (close management), kurang transparan kepada publik, lebih berorientasi pada kekuasaan, bisnis dan politik, serta belum menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan kehutanan. Pola sentralisasi ini menyebabkan lemahnya tingkat partisipasi masyarakat (dalam membentuk forest community) dan tidak adanya kelembagaan usaha kehutanan rakyat yang kuat. Pembangunan Kehutanan adalah monopoli Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan. Sebagai konsekwensinya, maka pembangunan kehutanan pada era reformasi harus menerapkan Kebijakan Desentralisasi Sektor Kehutanan. Sebagai akibatnya, maka bencana yang menimpa terhadap kehidupan umat manusia saat ini harus diakui oleh kita bersama sebagai kesalahan dalam melakukan pengaturan dan pengurusan (administration and governance) terhatap hutan dan alam Indonesia. Desentralisasi Sektor Kehutanan yang harus diterapkan adalah merupakan anti-tesa terhadap pola Sentralisasi. Ciri-ciri dari pola Desentralisasi meliputi : berorientasi pada fungsi, kultur, nilai, norma dan proses yang dinamis, pendekatannya bersifat dari bawah ke atas (bottom-up), pengelolaannya bersifat

Page 6: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

6

terbuka (open management), bersifat tranparan kepada publik, didasarkan pada prinsip rasional, objektif dan ilmiah ( ilmu dan teknologi) kehutanan, serta mendorong proses pemberdayaan (partisipasi) masyarakat (setempat) seluas-luasnya sebagai subyek pembangunan kehutanan (pembentukan profesional forest community) dan mengarah kepada pembentukan lembaga kehutanan rakyat yang kuat. Percuma saja kita mendambakan istilah desentralisasi jika tetap tidak memberdayakan rakyat dalam memperbaiki hutan yang rusak dan lahan kritis. Indikator pemberdayaan harus menjadi pisau analisis dalam pembangunan kehutanan di masa depan. Dengan menerapkan kebijakan Desentralisasi, Sektor Kehutanan diharapkan dapat menjadikan seluruh kekuatan masyarakat dan kelembagaan masyarakat yang terbentuk menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan kehutanan di Indonesia. Sehingga otomatis masyarakat yang menjaga hutannya sendiri. Pendekatan yang terlalu formal dan kaku di masa Sentralisasi selalu membuat Pemerintah terlambat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di lapangan. Desentralisasi harus dapat membantu Pemerintah (pusat) untuk mempertajam pencapaian misi dan sasaran pembangunan kehutanan. Desentralisasi tidak perlu terganjal oleh adu kekuatan dan tarik menarik antara unsur birokrasi dan administrasi Pemerintah (pusat, propinsi dan daerah). Oleh karena itu, pelimpahan wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan dan lahan dari pusat ke daerah jangan dibatasi pada kekuatan tarik menarik dan adu kekuatan antara unsur-unsur Pemerintah. Sebagai tuntutan terhadap pelaksanaan misi dan kebijakan Desentralisasi Sektor Kehutanan, maka sebagai langkah awal diperlukan adanya perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian terhadap kinerja birokrasi Pemerintahan baik di tingkat Pusat (Departemen Kehutanan), di tingkat propinsi (Dinas Kehutanan Propinsi) dan di tingkat daerah (Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota) sehingga terjalin adanya Koordinasi, Integrasi, Sinergi dan Sinkronisasi (KISS) yang kuat satu sama lain. Kinerja birokrasi yang sehat merupakan awal bagi munculnya kembali kepercayaan masyarakat dan bangsa kepada otoritas kebijakan kehutanan dan akan dapat mengokohkan kelembagaan kehutanan yang kuat yang dapat menopang tugas pembangunan kehutanan. Berikut, akan disajikan tinjauan terhadap permasalahan dalam program pembangunan kehutanan setelah kita menjalani era desentralisasi kurang lebih 5 (lima) tahun. III. TINJAUAN PERMASALAHAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN A. Kegiatan Pengusahaan Hutan Produksi Kegiatan Pengusahaan Hutan (Produksi) di masa Orde Baru dilaksanakan oleh Pemerintah dengan memberikan hak pengelolaannya kepada pihak swasta yang dianggap mampu dan layak melalui pemberian kepada Badan Usaha Milik swasta (BUMS) dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di luar Jawa dan kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT.

Page 7: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

7

INHUTANI I, II, III, IV, dan V untuk pengelolaan hutan produksi (alam) di luar Jawa dan Perum PERHUTANI di Pulau Jawa. Sedangkan pengusahaan hutan produksi oleh Lembaga Usaha Perorangan (lokal) dan Koperasi (lokal) selama ini belum memperoleh perhatian dari Pemerintah. Pengusahaan Hutan Produksi oleh BUMN pada prinsipnya harus lebih baik dan lebih profesional daripada BUMS. Akan tetapi antara keduanya seringkali diliputi permasalahan. Lebih-lebih pada masa sekarang, tanggung jawab pengelolaan BUMN tidak langsung berada di bawah tanggung jawab Menteri Kehutanan yang menyebabkan BUMN melaksanakan manajemen standar ganda. Pengusahaan hutan produksi oleh BUMN harus lebih baik daripada oleh Badan Usaha Milik Swasta atau Lembaga Usaha Perorangan (lokal) dan Koperasi (lokal) karena dari kegiatan BUMN ini Pemerintah dapat mengambilkan kebijakan dan langkah-langkah dalam pengusahaan dan pengelolaan hutan produksi. Akan tetapi nampaknya, masih sulit kita menjadikan BUMN sebagai sumber data dan informasi kebijakan yang akurat. Oleh karena itu, aspek efisiensi dan profesionalisme pengelolaan BUMN harus memperoleh perhatian serius dari Departemen Kehutanan. BUMN yang masih mendapatkan beban dari Departemen seringkali menyebabkan inefisiensi dan tidak profesional. Pembinaan yang semestinya dilakukan oleh Departemen Teknisnya seringkali hanya menjadi beban bagi BUMN tersebut. Posisi BUMN Kehutanan saat ini yang masih dibawah kendali Kementrian BUMN sehingga akan semakin memperparah kondisi hutan kita karena hutan tetap dijadikan mesin kepentingan para politisi dan bisnis. Kita mesti awasi langkah para politisi dan keserakahan bisnis. Di lain pihak, fasilitas sebagai anak emas yang diberikan oleh Departemen teknisnya seringkali menyebabkan BUMN tersebut menjadi manja. Misalnya BUMN yang hanya mengharapkan jatah tebangan atau IPK di masa lalu menyebabkan BUMN-nya menjadi malas untuk membuka elternatif pengembangan usaha dan investasi. Banyak BUMN yang hanya hidup dari bunga deposito dan simpanan asset perusahannya. Kinerja pegawai BUMN sudah seperti pegawai negeri Departemen Teknisnya. Disamping itu juga kita pernah mengembangkan pola pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman secara patungan dengan pihak swasta, dengan istilah HPH Patungan atau HTI Patungan. Bagaimana tingkat keberhasilannya harus kita tinjau secara seksama. Mana yang berhasil dan mana yang gagal, harus kita cari faktor-faktor/indikator-indikator kuncinya untuk menata kembali. Penempatan orang-orang Departemen dalam perusahaan BUMN atau perusahaan patungan tidak berdasarkan pada obyektifitas, profesionalitas dan kapasitas SDM yang bersangkutan, akan tetapi atas dasar bagi-bagi kekuasaan dan jatah penghasilan tambahan. Bahkan masih banyak yang mantan pejabat juga tetap bertahan sebagai komisaris di perusahaan BUMN dan perusahaan patungan mewakili Departemen. Hal ini semuanya harus ditata ulang. Lebih baik mengirim orang-orang profesional dan menguasai bidang-bidangnya agar seseorang yang ditunjuk menjadi wakil Departemen di BUMN dan HPH/HTI patungan benar-benar orang yang dapat memajukan perusahaan. Demikian pula dengan pengelolaan hutan produksi di Pulau Jawa yang wewenangnya diberikan oleh Pemerintah Pusat dhi. Departemen Kehutanan

Page 8: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

8

kepada Perum Perhutani sebagai satu-satunya perusahaan kehutanan negara. Model pengelolaan hutan produksi oleh Perum Perhutani harus memberikan contoh terbaik dalam pengelolaan hutan di pulau Jawa kepada usaha perorangan dalam pengusahaan Hutan Rakyat. Sistem Pengelolaan Hutan/lahan Produksi oleh Perum Perhutani sudah terlalu kuno. Bayangkan saja dalam era Desentralisasi ini Gubernur (Jawa Barat) yang sedang membuat Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis dengan dukungan seluruh jajaran KORPRI dan BUMD di Jawa Barat harus minta ijin ke Perhutani untuk menanami lahan-lahan kosong karena alasan Kawasan Hutan. Nampak disini, bahwa Pengusahaan dan Pengelolaan Hutan/Lahan oleh Perhutani sangat tidak efisien karena anggaran tahunannya lebih banyak untuk mengurusi biaya overhead kantor, gaji karyawan dan peralatan sarana-prasarana bahkan untuk biaya corporate image yang bersifat pemborosan (longgar) dalam sistem penggunaan uang dibandingkan untuk penanaman pohon dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Adanya Perum Perhutani di Pulau Jawa sama sekali tidak berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat. Bahkan sebelum adanya UU Otonomi Daerah No 25 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004, kayu yang berasal dari Hutan Rakyat selalu diklaim bermutu rendah dan harga yang murah dan rakyat tidak mudah memperoleh benih bibit tanaman jati yang unggul. Sehingga akhir-akhir ini publik sangat mudah diombang-ambingkan oleh berbagai jenis bibit jati emas, jati super atau jati unggul. Perhutani masih kurang menyatu dengan rakyat yang tinggal di sekita hutan, dan belum berhasil mensejahterakan rakyat dan tidak berhasil membangun komunitas profesi Kehutanan di Pulau Jawa bahkan dengan Pemerintah Daerah. Meskipun saat ini sudah dikembangan pola PHBM (pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) oleh Perhutani, akan tetapi masih dalam tahap awal. Meskipun demikian, sudah ada perubahan dalam iklim usaha oleh Perhutani, karena masyarakat sudah bisa bersahabat dengan petugas lapangan Perhutani jika dibandingkan di masa lalu dimana rakyat sangat takut kepada para petugas lapangan Perhutani seperti mantri dan asper kehutanan maupun administratur. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hutan juga sudah mulai tumbuh. Dengan lahirnya kembali Dinas-dinas Kehutanan Di Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II di seluruh Propinsi di Pulau Jawa, maka membangun profesi kehutanan di daerah harus menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan. Perhutani tetap dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai perusahaan profesional kehutanan yang mengelola dan mengusahakan Hutan Produksi (Hutan Tanaman Jati) sedangkan tanggung jawab terhadap keberadaan hutan (kawasan hutan) secara keseluruhan dalam Era OTODA mestinya sudah berada pada Gubernur. Berarti Kawasan hutan dan kawasan konservasi alam menjadi kembali tanggung jawab Dinas Kehutanan atas nama Gubernur. Bentuk-bentuk organisasi dan program Kehutanan pusat di daerah seperti UPT semuanya harus menjadi tanggung jawab Daerah atau dalam bentuk koordinasi. Tidak mengambang seperti sekarang. Adanya Pusat Pengembangan dan pengendalian (Pusbangdal) kehutanan di beberapa wilayah tidak lagi untuk memperkuat struktur kekuasaan yang selama ini memusat, akan tetapi sebaliknya harus mengarah pada pemberdayaan daerah dan masyarakat.

Page 9: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

9

Dalam era Desentralisasi ini, Perhutani harus lebih profesional sebagai perusahaan negara yang dapat melayani Pemerintah Daerah dan rakyat yang sebenarnya lebih memahami manfaat dan fungsi hutan bagi kehidupan. Wajar saja jika Menteri Kehutanan beberapa tahun yang lalu memberlakukan moratorium penebangan Hutan Produksi Perum Perhutani. Bahkan kalau perlu dihentikan untuk sementara sambil menungggu lahirnya Peraturan Pemerintah (pusat) dan PERDA tentang Perhutani. Lebih dari itu Perhutani harus direstrukturisasi dengan melakukan analisa kritis terhadap semua kegiatan dan anggaran serta program selama ini. Peraturan Pemerintah tentang Perum Perhutani yang mengatur tentang Perhutani secara keseluruhan harus secepatnya dirombak. Konsep PHBM (Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat) sebagai upaya Perhutani dalam memberdayakan masyarakat lokal belum cukup memberikan jaminan pengelolaan hutan/lahan dan rakyat sejahtera. Program pemberdayaan masyarakat lokal harus lebih jauh dari itu, yaitu dengan memfasilitasi masyarakat lokal untuk mengemukakan idaman mereka terhadap desa dan lingkungan (hutan) tempat tinggal mereka karena istilah pemberdayaan masyarakat sudah menjadi komoditas baru para birokrat di mana-mana, sama dengan istilah pengentasan kemiskinan tetapi kemiskinan rakyat tetap dipelihara. Kemiskinan sudah menjadi proyek sejak lama, sekarang pemberdayaan rakyat sudah akan menjadi proyek baru. Oleh karena itu, di tingkat pusat cukup ada perwakilan Kepemimpinan dan Organisasi Perhutani yang bersifat corporate secretary atau executive secretary dan menyerahkan pengurusan Perhutani kepada Pemerintah Daerah melalui PERDA dimana Gubernur diberikan wewenang penuh untuk menetapkan Dewan Direksi dan Dewan Komisarisnya. Hal ini merupakan implikasi dari penyederhanaan organisasi semua kantor Pusat di Jakarta. Penyempurnaan PP tentang Perhutani tidak sekedar bernuansa maju mundurnya dari nama Perseroan Terbatas (PT) menjadi Perusahaan Umum (Perum) atau sebaliknya saja. Akan tetapi harus menyentuh hakekat daripada Desentralisasi yaitu perbaikan hutan/lahan yang rusak dan pemberdayaan rakyat secara total. Demikian pula dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan/lahan oleh INHUTANI yang telah gagal mengelola hutan alam produksi di luar Jawa. BUMN dan BUMS di sektor kehutanan harus independen dari campur tangan pihak birokrasi serta tidak menjadi tempat singgah para mantan pejabat Kehutanan atau mereka yang terbuang. BUMN harus diisi oleh tenaga-tenaga ahli dan manager profesional kehutanan. Sedangkan untuk perusahaan swasta (BUMS) Kehutanan harus mengutamakan profesionalisme kehutanan dan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada masyarakat atau kelembagaan masyarakat lokal untuk lebih berperan aktif. Jika masyarakat dan kelembagaan lokal tidak mampu, maka dilakukan sistem partnership (kemitraan usaha) dengan perusahaan profesional kehutanan yang berminat dalam bentuk pengaturan manajemen (saham) dan pengaturan-pengaturan pekerjaan di lapangan. Sambil berjalan, manajemen pengusahaan hutan/lahan harus dapat mengalihkan manajemen dan teknologi kepada masyarakat lokal secara bertahap. Rakyat harys diberi kesempatan untuk membuat agenda hidupnya sampai benar-benar berdaya dan mandiri, terlepas

Page 10: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

10

dari berbagai kendala dan hambatan yang merintanginya selama 30 tahun dalam kebodohan dan kemiskinan. Sektor kehutanan merupakan satu-satunya yang punya potensi untuk memberdayakan rakyat dan menghapus kemiskinan baik kemiskinan struktural maupun kultural. Dengan kata lain, pengusahaan dan pengelolaan hutan dan lahan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui BUMN, BUMS dan Usaha Perseorangan (CV) atau Koperasi harus memiliki profesionalisme kehutanan dan memiliki misi pendidikan dan penyuluhan kepada rakyat. Jika tidak berarti kita telah mengarahkan masyarakat untuk mengelola dan mengusahakan hutan dan lahan seenaknya, tidak memperhatikan kaidah-kaidah ilmu kehutanan dan semangat kerimbawanan. Profesi kehutanan harus banyak mewarnai sistem dalam pengusahaan dan pengelolaan hutan. Sebagai hasil daripada kegiatan pengusahaan hutan Produksi (alam) dan Hutan Tanaman (HTI) yang terlalu sentralistis, kita mengalami kesulitan dalam menunjukkan contoh BUMN atau BUMS atau Koperasi atau Usaha Perorangan yang berhasil dalam menerapkan sistem pengelolaan Hutan Lestari. Sebagai Departemen Kehutanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Hutan (Alam dan Tanaman), Departemen Kehutanan harus berani memberikan reward and punishment kepada perusahaan pengelola hutan dan lahan berdasarkan kepada kriteria dan indikator yang telah ditetapkan. Mana perusahaan Hutan Produksi (Alam) dan HTI yang berhasil, untuk diangkat ke permukaan mensosialisasikan success story-nya kepada publik. Dan mana perusahaan yang benar-benar gagal agar menunjukkan failure story-nya kepada publik. Karena kurang konsisten dalam menerapkan sanksi yang tegas kepada pihak BUMN, BUMS, Usaha Perorangan (CV) dan Koperasi maka di akhir pemerintah Orde Baru terjadi pergeseran dalam prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Lestari yang terlalu bertendensi kepada politik, kekuasaan dan bisnis (KKN) sehingga terjadi pembentukan konglomerasi dalam pengusahaan hutan dan lahirlah Raja-raja Hutan. Berarti telah terjadi pengingkaran terhadap penerapan kaidah-kaidah kelestarian dalam pengelolaan hutan. Inilah kesalahan besar di akhir masa Sistem Sentralisasi Sektor Kehutanan. Sehingga daerah dan masyarakat selama ini merasa dijadikan objek dan penonton dalam mengelola hutan. Wajar saja jika dalam memasuki era Desentralisasi, terjadi euphoria kedaerahan dalam pengusahaan hutan karena di masa sentralisasi, kita lebih mendahulukan kepentingan kekuasaan di atas dan bisnis daripada profesionalisme dalam pengelolaan hutan. Seharusnya di era Desentralisasi tidak lagi perlu ada istilah kekuasaan, akan tetapi pekerjaan dan tanggung jawab. Yang didesentralisasikan bukan lagi kekuasaan tetapi pekerjaan dan tanggung jawab. Pemerintah (government) selama ini hanya berkesan kekuasaan yang berorientasi kepentingan politis dan bisnis, bukan pekerjaan mengurus (governance) dan mengatur (administration). Akibat euphoria Desentralisasi diatas, maka banyak pemerintah daerah yang membuat kebijakan, langkah dan program seenaknya terhadap potensi hutan alam (produksi). Diantaranya adalah ada beberapa kasus nyata dari hasil studi yang dilakukan oleh CIFOR tentang dampak Desentralisasi Hutan terhadap

Page 11: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

11

sumber daya hutan di 6 (enam) kabupaten yaitu : Riau, Kutai Barat, Malinau, Kota Waringin Timur, Kapuas dan Barito. Dengan adanya Desentralisasi Sektor Kehutanan, dampak yang muncul di Kabupaten Riau antara lain : (1) sharing sumber daya yang tidak jelas, (2) munculnya raja kecil, (3) illegal logging meningkat secara dramatis selama periode reformasi terutama di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (Potter, L dan Badcock, S, 2001). Di kabupaten Kutai Barat, isu yang berkembang adalah : (1) 13 PERDA telah dirancang, (2) PEMDA telah mengalokasikan 223 lisensi meliputi areal seluas 22.300 hektar. Dengan menerapkan hal tersebut Kutai Barat telah menghasilkan US $ 37,300,-. (3) Eskalasi konflik antara perusahaan kayu dengan penduduk lokal, (4) kesempatan untuk mendapatkan PAD lebih besar terutama dari Sektor Pajak (Anne Casson, 2001). Di Kabupaten Malinau dampak yang dihasilkan berupa : (1) Kabupaten akan melakukan langkah mengamankan porsi yang lebih besar dari fee dan royalty, (2) Malinau akan menarik investasi baru di berbagai sektor, (3) Pemegang HPH harus membayar konpensasi untuk masyarakat lokal. Fee yang direncanakan adalah Rp 3000,-/m3 selama periode 1995 – 2000 dan Rp 5000,-/m3. (4) HPH memberi signal adanya 2 (dua) beban baru berupa; fee konpensasi Rp 20.000,-/m3 untuk masyarakat lokal dan pungutan Rp 50.000,-/m3 untuk PEMDA (Barr. et.al., 2001). Pada bulan Februari 2001, PEMDA Kabupaten Malinau mengeluarkan sekurangnya 39 IPPK yang meliputi luasan 56.000 hektar dimana ijin-ijin tersebut berukuran luas 100 hektar sampai 3000 hektar yang terletak di 2 (dua) dari 5 (lima) Kecamatan. Selain itu, PEMDA Malinau telah mencari penghasilan dan penerimaan resmi dari alokasi ijin skala kecil kegiatan konversi hutan melalui 2 (dua) jenis pungutan baru. Pertama, pemegang IPPK diminta untuk membayar sebesar Rp 200.000,- per hektar, kedua, penerima IPPK diminta untuk membayar retribusi produksi sebesar Rp 15.000,- per m3 dari hasil kayu yang dipanen. Dari 39 IPPK tersebut, PEMDA diproyeksikan dapat mengumpulkan uang sebesar Rp 53 milyar,-, meningkat 9 kali lipat dari anggaran untuk tahun 2000. Di Kabupaten Kotawaringin Timur dampak yang muncul berupa : (1) PEMDA di-estimasi akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp 62 milyar,- dari sumber daya alamnya. Pada tahun 2000, sebagian besar penerimaan ini berasal dari illegal logging, legal logging dan pertambangan. (2) Keputusan PEMDA tampaknya berorientasi pada tujuan ekonomi jangka pendek dan eksploitasi sumber daya alam (Anne Casson, 2001). Di Kabupaten Kapuas dampak yang muncul berupa : (1) Retribusi baru yang mampu menarik uang sebesar Rp 300 juta,-, (2) Penduduk lokal diijinkan untuk memotong kayu sampai diameter 20 cm di hutan rawa dan 30 cm di lahan hutan kering dan (3) PEMDA telah menyetujui ijin kepada 25 HPH ( Mc Carthy, JF., 2001)

Page 12: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

12

Sedangkan di Kabupaten Barito Selatan dampak yang muncul berupa : (1) Pada saat yang bersamaan target sebesar Rp 4 milyar,- yang memuat kenaikan PAD sebesar 228 %. Idealnya adalah sebesar Rp 10 milyar,-. (2) Lebih jauh lagi, Pemerintah Kabupaten mempunyai target meningkatkan retribusi daerah mencapai 438 % dalam waktu satu tahun (Mc Carthy, JF., 2001). Bahkan saat ini, praktek illegal logging semakin memperparah kondisi hutan di seluruh wilayah Kalimantan. Diperkirakan hutan Kalimantan akan habis pada tahun 2010 jika tidak ada kebijakan dan langkah strategis dalam pengurusan hutan.

Menurut Suripto (2005), Penebangan liar sekarang ini merebak kembali. Hal ini dapat ditunjukan pada ponton-ponton warga Malaysia yang pada umumnya berlabuh di Sibu, yaitu salah satu kota di Serawak di tepian sungai Rejang. Kota ini memiliki akses jalan raya dan kereta api yang bagus ke wilayah Kuching melalui kota-kota Satikel, Bandar Sri Aman, Sarian, dan Bau. Pada saat pemerintahan Presiden SBY melakukan pembersihan terhadap cukong-cukong gelap kayu gelondongan dalam rangka program 100 harinya, ponton-ponton itu parkir berderet di kota Sibu. Namun demikian, ketika terjadi kesibukan luar biasa akibat bencana tsunami di Aceh dan Sumatra Utara, ponton-ponton itu telah menghilang dan sebagian ternyata sudah loading log di Papua dan Kalimantan Barat.

Dalam lima tahun terakhir ini modus sindikasi penyelundupan kayu gelondongan ilegal terpola di Papua. Modus ini secara tidak langsung bersumber dari vested bisnis antara tokoh masyarakat setempat dengan warga asing yang memiliki kemampuan finansial dan market leader perdagangan kayu mancanegara. Salah satu cukong yang kuat di Papua adalah dimotori oleh tiga sekawan Hendri Johannes, Joe, dan RK (tokoh pemuda yang kini menjadi anggota DPR) (Suripto, 2005). Tripranaji (2005) Ahli Peneliti Utama (P3SE Pertanian) berpendapat bahwa illegal logging bersumber dari tiga sumber (setan) yaitu : setan masyarakat setempat karena desakan ekonomi, setan birokrat karena jiwa keserakahan dan kerakusan dan setan cukong kayu yang bekerja dengan uang haram. Program desentralisasi harus dapat meratakan borok-borok yang bertebaran dalam dunia kehutanan. Selama belum adanya kesamaan pemahaman dan kebersamaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, masalah kehutanan tidak akan terselesaikan dan program kehutanan tidak akan berjalan mulus. Menurut Prof. Dudung Darusman (2005), permasalahan kehutanan sebenarnya sangat sederhana, akan tetapi orang-orangnya yang rumit sehingga semua masalah yang mudah menjadi rumit. Dampak lain dari adanya Desentralisasi Sektor Kehutanan adalah jumlah ijin pemanenan hutan yang dikeluarkan oleh otoritas lokal telah meningkat secara tajam, yang menimbulkan konflik yang tidak dapat terelakkan atas hak dan pemberian penghargaan. Sebelum adanya Desentralisasi Sektor Kehutanan, dalam 12 tahun terakhir penanaman HTI untuk pulp, pengembangan usaha perkebunan, logging, pengembangan usaha bermodal kecil dan kegiatan transmigrasi telah menghabiskan lahan seluas 4 juta hektar hutan di Kalimantan,

Page 13: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

13

yang telah menyingkirkan komunitas Dayak yang biasa hidup di dalam hutan secara perladangan berpindah. Di Propinsi Jawa Barat muncul dampak berupa rusaknya sumber daya hutan. Dimana pada periode tahun 1997 – 2003 terjadi peningkatan kerusakan hutan (lahan) yang paling parah. Pada tahun 1990, luas hutan di Jawa barat masih sekira 790.000 hektar, sedangkan pada tahun 1997 luasnya menurun menjadi sekira 600.000 hektar dan pada tahun 2000 (setelah reformasi berjalan selama 3 tahun) luas hutannya berkurang menjadi sekira 350.000 hektar. Dan kini ketika diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 sampai awal tahun 2003, luas hutan di Jawa Barat hanya terdapat kurang dari 80.000 hektar saja (Handoyo dan Lukas dalam Surili, 2003). Fakta rusaknya hutan ini kemudian memicu munculnya PERDA Propinsi Jawa Barat No. 19 tahun 2003 tentang pengurusan hutan di Jawa barat dan Banten yang kontroversial karena memberikan hak kepada siapa saja untuk ikut mengelola hutan asalkan memperoleh ijin dari PEMDA. Kenyataan tersebut diatas akan membahayakan kondisi hutan alam yang kondisinya sudah semakin tipis. Pernyataan Ibu Megawati Soekarnoputeri pada saat menjabat sebagai Presiden yang menyarankan untuk membiarkan dulu hutan untuk bernafas bukan akan membuat hutan alam kita beristirahat untuk produksi, bahkan akan habis jika dasar pengelolaan hutan alam sekedar menebang untuk mendapatkan PAD. Ini pula, barangkali yang mendasari pemikiran kebijakan Menhut untuk melakukan moratorium penebangan di Pulau Jawa. Langkah-langkah yang harus ditempuh untuk memperbaikinya adalah dengan mengembangkan pemahaman yang utuh tentang sistem pengusahaan dan pengelolaan Hutan Lestari kepada daerah. Melakukan sosialisasi tentang dasar-dasar ilmiah dan prefesionalisme, semangat kerimbawanan, kriteria, indikator dan pedoman pengelolaan hutan lestari kepada daerah dan masyarakat luas. Secara mikro, Jika memang daerah akan lebih berperan dalam pengusahaan dan pengelolaan hutan maka dilakukan pembinaan dan pelatihan yang profesional kepada para calon BUMS, Usaha Perorangan dan Koperasi setempat. Setiap pengusahaan hutan harus bertanggung jawab terhadap kelestariannya. Sedangkan secara makro, kita harus melihat dan mengambil keputusan terhadap Hutan Alam yang masih ada untuk berhenti dieksploitasi atau diteruskan sampai berapa tahun ke depan, dengan mempertimbangkan kelestarian hutan, keseimbangan ekosistem dan kemampuan daya dukung lingkungannya bukan hanya kepentingan ekonomi saja. B. Perlindungan Hutan Dan Kawasan Konservasi Indonesia yang merupakan salah satu negara yang menyimpan banyak jenis flora dan fauna di dunia. Kalau luas daratan 1,3 persen dari seluruh luas muka bumi, Indonesia memiliki 17 persen dari total seluruh species dunia. Sayang

Page 14: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

14

sekali Indonesia termasuk dalam salah satu daftar panjang untuk species yang terancam punah. Diantaranya 77 jenis mamalia, 21 jenis reptilia, 126 jenis burung yang terancam raib. Penyebab utama menurunnya populasi adalah karena kegiatan perburuan untuk perdagangan dan akibat berbagai aktivitas manusia. Walaupun manusia sendiri membuat peraturan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa liar. Jelas-jelas di lapangan bahwa kita membuat aturan tegas tentang satwa untuk dilindungi dan dilarang untuk ditangkap, dibunuh, dimiliki, dipelihara dan diniagakan dalam keadaan hidup atau mati. Termasuk bagian-bagian tubuhnya dan juga barang-barang yang terbuat dari bagian tubuhnya dengan sangsi-sangsi hukuman 5 tahun atau denda maksimum 100 juta rupiah. Akan tetapi manusia itu sendiri yang melanggar aturan yang dibuatnya. Atas dasar pemikiran tersebut diatas, maka masyarakat luas bahkan dunia internasional menaruh minat dan perhatian yang besar terhadap kekayaan Keanekaragaman Hayati (Mega-Bio Diversitas) yang dimiliki oleh hutan dan alam Indonesia. Sehingga dalam era Desentralisasi Sektor Kehutanan, kegiatan perlindungan dan pelestarian hutan lindung dan kawasan konservasi masih harus dibawah kendali Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan), karena didalamnya terkandung misi kemanusiaan dan lingkungan. Akan tetapi pada kenyataannya dilapangan sudah banyak sekali hutan lindung dan kawasan konservasi yang rusak akibat semakin maraknya illegal logging maupun perambahan oleh oknum masyarakat. Dalam Era Desentralisasi keterlibatan PEMDA propinsi dan kabupaten sangat dibutuhkan untuk menjaga dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini praktis antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten di lapangan relatif tidak terlihat gejala-gejala konflik yang keras antara satu sama lain. Birokrasi Pemerintah baik Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota harus meningkatkan koordinasi dalam (1) mengamankan hutan lindung dan kawasan konservasi terutama nilai flora dan fauna yang dimilikinya dan (2) memanfaatkannya untuk tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, sosial budaya dan pariwisata bagi masyarakat luas. Terhadap potensi flora dan faunanya harus dilakukan inventarisasi secara akurat, sehingga kegiatan perburuan dan pengambilannya untuk diperjualbelikan didalam negeri dan ke luar negeri dapat diatur dengan sebaik-baiknya. Dalam era Desentralisasi, keperluan masyarakat dan kehidupan terhadap keberadaan hutan (lindung atau hutan) sangat tinggi sehingga masyarakat harus diikutkan berpartisipasi dalam menjaga dan memelihara hutan lindung dan kawasan konservasi. Masyarakat harus dapat menjadi kekuatan utama dalam kegiatan ini. Desentralisasi Sektor Kehutanan harus dapat mendorong partisipasi masyarakat dan penguatan organisasi pecinta alam di masyarakat dengan melibatkan semua komponen kekuatan masyarakat di daerah.

Page 15: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

15

Oleh karena itu, praktek dan pemberian ijin pengelolaan hutan lindung untuk pertambangan harus dikaji ulang karena ternyata banyak sekali protes dari masyarakat di daerah. Pengurusan tambang yang dapat merusak keberadaan hutan lindung akan mengurangi kepercayaan masyarakat dan dunia internasional kepada birokrasi Kehutanan baik pusat, propinsi maupun daerah. Kalaupun ijin telah dikeluarkan tentunya harus tetap diawasi. Institusi pusat yang ada di daerah seperti : Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), lembaga Taman Nasional, lembaga Taman Suaka Alam, Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan Taman Wisata harus melakukan Koordinasi, Integrasi, Sinergi dan Sinkronisasi (KISS) dengan Pemerintah Daerah (PEMDA) Tingkat I dan Tingkat II melalui Dinas Kehutanan. Dikeluarkannya ijin Pertambangan di arael hutan lindung terntu merupakan tanggung jawab para pejabat Departemen Kehutanan yang hanya diam (tanpa reaksi) terhadap kekuatan bisnis dan politik kekuasaan. Ini juga harus dikoreksi oleh Menteri Kehutanan baru. C. Kegiatan Pengelolaan/Rehabilitasi Lahan Kritis (DAS) Sistem Sentralisasi telah menyebabkan semakin banyaknya lahan kritis di tanah air sehingga semakin banyak DAS yang masuk kategori super kritis. Dalam masa kekeringan panjang banyak daerah tangkapan air (catchment areas) sesuatu DAS mengalami kering kerontang. Di bagian hulunya sudah terdegradasi akibat pola penggunaan lahannya yang tidak lagi mengindahkan aspek-aspek konservasi. Banyak catchment areas yang tidak berfungsi, bahkan banyak sumber-sumber air yang kering. Pendekatan DAS dalam pembangunan menjadi suatu kebutuhan. Semua stake holders atau institusi terkait dengan penggunaan lahan di sekitar DAS harus memberikan perhatian penuh terhadap revitalisasi fungsi DAS dalam suatu ekosistem lingkungan. Pada waktu masih berlakunya UU No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, pengelolaan hutan dilakukan berdasarkan kepada satuan DAS. Tingkat kerusakan dan kekritisan DAS dapat dilihat dari kondisi DASnya karena hutan adalah bagian hulu dari DAS. Demikian pula dengan tingkat kekritisan lahan di lahan sekitar DAS dapat diukur dari kondisi konservasi tanah di sekitar DAS. Maka dalam kegiatan pengelolaan hutan atau lahan kita mengenal istilah “one river, one plan, one management’. Dalam rangka pelaksanaan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, Departemen Kehutanan telah memiliki Keputusan Menteri Kehutanan No. 52 tahun 2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Setiap stakeholder atau institusi terkait mulai dari hulu, tengah dan hilir harus turut bertanggung jawab terhadap setiap kegiatan yang dilakukannya. Kegiatan monitoring tata air dan konservasi tanah di areal lahan sekitar DAS merupakan indikator untuk melihat tingkat kekritisan suatu ekosistem DAS secara keseluruhan. Departemen Kehutanan pernah mewajibkan setiap HPH untuk melakukan monitoring dan evaluasi tata air dan konservasi tanah di areal kawasan hutan dengan memasang Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS). Akan tetapi semua

Page 16: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

16

pihak hanya menganggap sebagai formalitas, bukan sebagai beban tanggungjawab dalam pengelolaan hutan alam terhadap tata air dan konservasinya. Padahal dari sisi kepentingan dan dasar-dasar pemikirannya sangat baik. Di masa desentralisasi kegiatan ini perlu memperoleh perhatian penuh, meskipun dengan teknologi yang sederhana dan biaya yang murah. Dengan berlakunya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang baru, maka pengelolaan DAS tidak lagi menjadi tanggung jawab penuh Departemen Kehutanan, bahkan penanganan DAS menjadi rancu. Padahal, pada dasarnya pengelolaan hutan dan lahan tidak bisa lepas dari DAS. Disini fungsi Departemen Kehutanan untuk menjaga dan melestarikan hutan yang merupakan bagian hulu menjadi seolah-olah terlepas dari pengelolaan DAS. Dalam kondisi mengambang seperti ini, penerapan konsep desentralisasi dalam pengelolaan DAS menjadi terpecah-pecah kedalam pewilayahan administratif Propinsi, Kabupaten dan Kotamadya. Munculnya ego wilayah dan daerah, akan mengakibatkan tidak terjadinya KISS antar institusi Pemerintah Pusat (Departemen Kehutanan) dengan Dinas Kehutanan tingkat I dan Dinas Kehutanan tingkat II. Tidak tersuratnya lagi persoalan DAS dalam UUPK No. 41 tahun 1999 di satu pihak menuntut tanggung jawab Departemen lain seperti Pertanian, Pemukiman dan Prasarana wilayah (Pekerjaan Umum), Kantor Menteri Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Pertambangan, Transmigrasi dan Perindustrian serta Badan Pertanahan Nasional untuk ikut bertanggung jawab dalam menangani lahan kritis (DAS). Di lain pihak, berbagai keterbatasan kemampuan Departemen Kehutanan dari segi sarana/prasarana dan anggaran untuk merehabilitasi lahan kritis akan melahirkan harapan baru untuk meraih dukungan secara politik (political will) dari Departemen lain bahwa DAS harus memberikan manfaat bagi masyarakat luas sehingga kondisi daerah catchment dari setiap DAS menjadi baik. Keinginan dan kesadaran ini telah muncul di setiap Departemen terkait, tinggal bagaimana kita memulai melakukan Koordinasi, Integrasi, Sinergi dan Sinkronisasi (KISS)-nya. Dengan konsep pola RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) program penanganan lahan kritis untuk setiap satuan DAS dan RTL-RLKT (Rencana Teknis Lapangan-Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) untuk jangka pendek (1 – 5 tahun) menjadi terhambat. Pada umumnya Dinas Kehutanan tngkat I dan tingkat II belum memahami benar untuk menerapkan konsep ini. Atau Departemen Kehutanan belum melakukan sosialisasi pola penanganan lahan kritis (DAS) kepada pemerintah daerah. Atau mungkin saja kita hanya setengah hati melimpahkan tanggung jawab dan wewenang kepada daerah. Kondisi yang mengambang ini akan membahayakan lahan itu sendiri atau setiap instansi bisa bertindak sendiri-sendiri. Dalam era Desentralisasi, Pemerintah Pusat, Propinsi dan Daerah harus memiliki cara pandang dan cara pemahaman masalah dan cara penanganan masalah lahan kritis (DAS) yang sama satu sama lain, terutama dalam hal penataan ruang dan penggunaan lahan. Program daerah dalam pemanfaatan tata ruang (RTRWP) harus memperhatikan kondisi kekritisan lahan yang terdapat

Page 17: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

17

pada pola RLKT dan RTL-RLKT. Jika masing-masing tetap bertahan pada ego instansinya maka lahan akan menjadi semakin kritis dan masyarakat masyarakat semakin menderita. Padahal dalam program penanganan lahan kritis, sangat bergantung kepada partisipasi masyarakat luas, khususnya yang tinggal di sekitar DAS baik di bagian hulu, di bagian tengan atau di bagian hilir. Salah satu kegagalan selama ini dalam program penanganan lahan kritis seperti : reboisasi, penghijauan, sengonisasi, program padat karya (jaring pengaman sosial) di awal reformasi adalah karena masyarakat belum dijadikan sebagai subyek dalam pelaksanaan kegiatan. Pemerintah masih setengah-setengah dalam melaksanakan rehabilitasi lahan kritis bersama masyarakat. Hingga saat ini Pemerintah belum memiliki lembaga masyarakat lokal yang kuat. Meskipun secara kualitatif, hasil dari gerakan-gerakan penanaman tersebut telah ada dengan berkembangnya hutan rakyat di Pulau Jawa. Di era Desentralisasi kegiatan ini harus ditata lebih baik lagi mulai dari : penetapan status lahan yang akan ditanami, sistem pengelolaannya bersama masyarakat, pola/teknologi penanamannya, sistem pemanenannya, serta sistem kelembagaannya mulai dari tingkat bawah per individu petani sampai kepada penguatan lembaga lokalnya (Kelompok Tani atau Koperasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat atau Pondok Pesantren). Pengembangan partisipasi masyarakat di bidang rehabilitasi lahan pernah dilakukan pada awal masa reformasi melalui pembentukan Koperasi Wanatani dan Koperasi Pondok Pesantren atas prakarsa Muslimin Nasution Menteri Kehutanan dan Perkebunan, kemudian tidak dilanjutkan karena belum menjadi gerakan institusi Pemerintah. Ke depan hal ini dapat dilanjutkan secara intensip untuk menuju pada penguatan partisipasi dan lembaga masyarakat dalam gerakan penanaman atau rehabilitasi lahan kritis. Selama tingkat partisipasi masyarakat dan penguatan kelembagaan masyarakat lokal belum terjadi, maka gerakan apapun yang dicanangkan seperti GERHAN atau Social Forestry sebagai pendekatan dalam program rehabilitasi lahan kritis atau penanaman untuk menghijaukan kembali hutan dan lahan yang rusak tidak akan membuahkan hasil yang nyata di lapangan. GERHAN Yang saat ini sedang dikerjakan oleh Depertemen Kehutanan tidak akan memberikan hasil yang nyata karena hanya bernuansa proyek. Maka untuk mengatasi kegagalan Program GERHAN yang terkesan tergesa-gesa Departemen Kehutanan sejak awal harus mempersiapkan kelembagaannya dengan melibatkan langsung Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Daerah sebagai penanggung jawab/pelaksana langsung di lapangan mulai dari penetapan lahannya, sistem pengelolaannya bersama masyarakat, pola /teknologi penanamannya, sistim pamanenan/pemanfaatan hasilnya dan sistem kelembagaannya, dengan pembinaan teknis profesional dilakukan secara bersama oleh UPT. Jika kondisi kelembagaannya rapuh maka program GERHAN akan rawan provokasi yang hanya menjanjikan kegagalan dan korban-korban proyek. Ditjen RLPS dalam hal ini BPDAS dan Perum PERHUTANI harus melakukan sosialisasi dan pendidikan profesional forestry dalam bentuk nyata di lapangan dengan melibatkan penuh kekuatan masyarakat mulai dari kegiatan pembibitan,

Page 18: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

18

penanaman dan pemeliharaan tanaman hutan, sambil membentuk kelembagaannya yang kuat. Pada tahun-tahun selanjutnya kita tinggal mengintepsifkan pengelolannya secara lebih terarah. Tidak selalu harus memusat di Jakarta yang bernuansa KKN. D. Penataan Hutan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kegiatan penataan dan penatagunaan kawasan hutan dalam pembangunan kehutanan bukan sekedar kegiatan prakondisi, akan tetapi yang mengkondisikan semua kegiatan pembangunan kehutanan. Perbedaan Departemen Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam mengurus dan mengatur penguasaan lahan adalah dalam hal hutannya yang tumbuh diatas sebuah hamparan lahan. Kepentingan Departemen Kehutanan adalah terhadap keberadaan hutannya, bukan sekedar mengatur dan mengurus lahan. Tidak logis kalau Departemen Kehutanan dengan mudah melepaskan hutan/kawasan hutan dengan mengkonversinya atau membiarkannya rusak atau gundul. Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah jika kawasan hutan sudah gundul masih merupakan otoritas Departemen Kehutanan ?. Hutan diperlukan dengan fungsi ganda- mulai dari fungsi ekologis/konservasi, fungsi hidro-orologis, fungsi produksi, fungsi sosial-budaya, fungsi pendidikan dan ilmu pengetahuan, dan fungsi rekreasi. Terlalu berani sebenarnya keputusan membagi-bagi hutan/kawasan hutan seperti yang dimuat dalam TGHK. Karena setiap tegakan hutan apalagi dari hutan alam berfungsi ganda seperti diatas dan tegakan pohon atau hutan adalah kehidupan. Akibat kebijakan yang Sentralistis dalam pengelolaan kawasan hutan selama ini mengakibatkan rendahnya partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan melestarikan hutan karena terkesan KKN-nya. Karena urusan kawasan selama ini terlalu terpusat, pemerintah daerah tidak diberikan wewenang apa-apa. Tidak ada upaya membangun kepercayaan (trust), kesamaan pandangan dan kebersamaan antara pusat dan daerah. Jika kondisi ini tetap dipertahankan maka praktek-praktek illegal logging dan perambahan kawasan hutan dan hutan alam akan semakin semarak. Dalam era Desentralisasi harus diciptakan kesan di masyarakat bahwa hutan atau kawasan hutan adalah milik dan tanggung jawab semua komponen masyarakat, bukan milik/kekuasaan Pemerintah (Departemen Kehutanan), Dinas Kehutanan Tk. I atau Dinas Kehutanan Tk. II. Hal ini harus dipahami secara umum dan terbuka kepada masyarakat terutama tentang manfaat dan fungsi hutan bagi kesinambungan kehidupan manusia dan pembangunan. Seperti terjadi di negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Asia lainnya, demikian tingginya kesadaran masyarakat dan bangsanya terhadap kelestarian hutan. Dalam hal ini pemerintah harus berani melakukan perubahan dengan membuat keputusan yang tegas dan berani untuk penyempurnaan (modifikasi) Konsep TGHK karena setelah banyaknya lahan hutan alam (konversi) dilepas telah terjadi perubahan jumlah dan penyebaran areal kawasan hutan. Tidak lagi ragu-

Page 19: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

19

ragu seperti sekarang, di satu pihak melakukan moratorium tebangan, di lain pihak tetap mengeluarkan ijin HPH, bahkan ada lelang HPH. Bahkan ada juga pengeluaran ijin Pengelolaan Hutan Lindung untuk usaha pertambangan yang sudah pasti ada kepentingan kekuasaan, politik dan bisnisnya (KKN) dan banyak ditentang oleh masyarakat lokal dan LSM. Pemerintah harus berani dan tegas memutuskan penghentian penebangan hutan (alam) karena pertimbangan kondisi hutan dan lahan yang parah. Setelah dilakukan penyempurnaan TGHK baru kemudian dijadikan masukan bagi penyusunan Tata Ruang Nasional sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Tidak perlu perhitungan dan pertimbangan yang rumit-rumit karena hanya akan merugikan ekosistem hutan kita. Jika pengelolaan hutan dilakukan dengan penuh keragu-raguan seperti sekarang maka akan semakin memperparah kondisi hutan kita, misalnya : (1) dimana hutan ditebangi terus dan illegal logging semakin meningkat, (2) program rehabilitasi lahan dan hutan tidak berhasil. Keraguan ini terjadi karena ada berbagai kepentingan politik dan kekuasaan yang tetap membebani program-program kehutanan terutama setelah era reformasi. Dalam era Desentralisasi, Birokrasi kehutanan harus lebih memahami lagi kondisi hutan dan lahan dengan mengurangi arogansinya dalam mengatur dan mengurus hutan dan lahan. Arogansi yang harus dipertahankan adalah mempertahankan eksistensi hutan yang harus dilestarikan, bahkan lahan-lahan yang rusak harus ditanami lagi seperti kehendak Ibu Presiden Megawati Soekarnoputeri di masa lalu pada pencanangan program penghijauan di Kalimantan Tengah bahwa dengan melakukan penanaman sekarang, maka dalam masa 20 tahun yang akan datang sudah terbentuk lagi tegakan hutan dimana-mana untuk kepentingan anak-cucu generasi penerus bangsa (forest for heritage). Pola penataan dan penatagunaan kawasan hutan harus tegas dan terbuka kepada publik. Ke depan kita tidak perlu lagi ada pengelompokkan Hutan Alam Produksi atau Hutan Tanaman. Yang ada adalah setiap kawasan hutan atau hutan atau alam harus dijaga dan dilindungi kelestariannya. Sedangkan fungsi produksi hanya dilakukan pada lahan tanaman atau “kebun kayu”. Oleh karena itu perlu ada masa transisi yang tegas untuk ditetapkan oleh Departemen Kehutanan kapan kita tidak lagi mengeksploitasi hutan alam. Kita hanya pantas memanen terhadap apa yang telah kita tanam. Terhadap areal hutan konversi yang sudah dilepas harus dilakukan penataan ulang lahan penggantinya karena diantara lahan-lahan kawasan hutan yang sudah dikonversi untuk tujuan lain seperti perkebunan, pertambangan, transmigrasi dan lain-lain banyak yang tidak beres dan tidak jelas pengurusan administrasinya dan inventarisasi lahan penggantinya (Perlu dibuat semacam Land Resource Accounting). Kebijakan Nasional Kehutanan (National Forest Policy) harus dapat membangkitkan kesadaran semua pihak termasuk otoritas politik dan pekonomian untuk memulihkan hutan dan kawasan hutan yang rusak. Jika tidak maka Sektor Pembangunan lainnya yang ada di bagian tengah dan hilir akan

Page 20: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

20

mandeg dan terganggu, sehingga cost externalities dalam pembangunan semakin besar. Dalam hal ini harus ada komitmen bersama dari para rimbawan dan para pecinta hutan untuk menekan semua pihak agar kebijakan nasional dalam pembangunan di masa mendatang harus didasarkan pada semboyan “prioritas pembangunan hutan lestari untuk mendukung pembangunan pertanian dan industri” sebagai dasar penyusunan program pembangunan jangka panjang mendatang, minimal untuk waktu 10 – 20 tahun mendatang. Hutan tidak lagi dikelola atas dasar kepentingan kekuasaan, politik, dan bisnis yang melelahkan yang hasilnya hanya bencana alam dan lingkungan. E. Pengembangan IPTEK dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam era desentralisasi, peran tenaga fungsional harus dioptimalkan seperti peneliti, penyuluh, dan widyaiswara. Bahkan tenaga fungsional paling memahami permasalahan lapangan dibanding dengan tenaga struktural. Kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan di Indonesia merupakan tanggung jawab Badan Litbang Kehutanan dan Fakultas/Jurusan kehutanan di berbagai Perguruan Tinggi, LIPI dan baru-baru ini LSM. Seharusnya kegiatan litbang menjadi bagian yang menyatu dengan Usaha Produksi atau Pengelolaan Hutan dan Lahan serta Konservasi Alam di lapangan. Badan Litbang seharusnya bertindak sebagai pengawas atau pembina pada Unit-Unit Usaha Produksi atau Pengelolaan di lapangan. Peranan riset dalam Unit Kegiatan Produksi dan Pengelolaan sangat penting dalam meningkatkan tingkat dan mutu produksi dan manajemen suatu unit usaha. Sementara itu Badan Litbang memiliki 4 (empat) Pusat Litbang dan UPT-UPT, dan masing-masing Puslitbang dan UPT mempunyai Plot-plot penelitian berupa Hutan Percobaan. Masing-masing puslit dan UPT sudah punya asset berupa data base hasil penelitian yang sangat berguna bagi Pimpinan Departemen kehutanan dalam proses pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan pembangunan. Badan Litbang telah mempunyai peran yang cukup besar baik secara institusi maupun perorangan tenaga fungsional (peneliti). Di masa Sentralisasi yang lalu, terkesan bahwa Badan Litbang Kehutanan merupakan alat pemerintah dalam melakukan justifikasi (kebenaran) ilmiah terhadap berbagai kebijakan dan kegiatan Pembangunan Kehutanan. Atau paling tidak Badan Litbang hanya diam atau menjadi penonton terhadap penetapan suatu kebijakan Departemen kehutanan, sehingga kegiatan riset hanya berisi tentang daftar judul kegiatan penelitian berupa keinginan-keinginan para peneliti dan pengembangan institusi. Seringkali judul penelitian atau pengembangan lingkup Badan Litbang Kehutanan tidak terkait dengan permasalahan kehutanan aktual di lapangan dan kebijakan Departemen Kehutanan. Ini merupakan masalah konvensional yang sering muncul. Di lain pihak, Badan Litbang di masa lalu sering mengerjakan riset-riset pesanan dari pihak ketiga (swasta atau BUMN) yang memerlukan dukungan ilmiah

Page 21: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

21

Badan Litbang. Badan Litbang seringkali dijuluki sebagai “sulit berkembang”. Litbang tidak berdaya, peneliti bekerja tidak mengait dengan mainstream permasalahan kehutanan aktual. Peneliti hanya sibuk mengurusi “angka kredit” atau kum untuk memperoleh jabatan fungsional peneliti. Banyak hasil penelitian dan pengembangan kehutanan sudah tidak nyambung dengan permasalahan aktual di lapangan. Penjenjangan jabatan peneliti mulai dari Asisten Peneliti, Ajun Peneliti, Peneliti dan Ahli Peneliti (Sembilan Jenjang Jabatan Peneliti) menurut aturan lama, dan aturan baru (Surat keputusan MENPAN No. KEP/128/M.PAN/9/2004 menjadi empat (4) jenjang peneliti (Peneliti Pertama, Peneliti Muda, Peneliti Madya dan Peneliti Utama) belum berkorelasi positif dengan kemampuan ilmiah pejabat fungsional dan kemampuannya dalam menjawab permasalahan pembangunan kehutanan. Badan Litbang belum mengaktualisasikan dirinya sebagai lembaga “scientific authority” di bidang Kehutanan. Hasil-hasil penelitian yang menumpuk dan disebarkan oleh Badan Litbang belum memberikan pengaruh nyata terhadap peran optimal Badan Litbang sebagai pemandu (leading agent) kegiatan pembangunan kehutanan. Kekuatan otoritas Kehutanan sebagai institusi yang bertanggungjawab terhadap kelestarian hutan dan lahan terletak pada komitmen dari para penyelenggara ketatanegaraan (birokrasi) kehutanan dalam mempertahankan hutan dan memperbaiki (menanami) lahan yang rusak menjadi hutan-hutan baru. Pengelolaan Litbang yang terlalu birokratik dan politik yang membuat Litbang sebagai tempat penyaluran pejabat yang berorientasi kekuasaan dan kepen tingan sempit akan membuat Litbang tidak optimal. Kita harus mencoba memberikan otoritas penuh kepada para tenaga fungsional (peneliti) untuk menentukan arah pembangunan kehutanan ke depan. Karena selama ini fokus kegiatan Litbang terlalu birokratik dan lebih banyak untuk melayani kepentingan politik para pejabat struktural sehingga membuat pengelolaan Litbang menjadi boros. Hal ini disebabkan karena Litbang masih belum memperoleh perhatian besar dari pimpinan Departemen Kehutanan. Meskipun masih terkesan boros, akan tetapi Litbang relatif lebih bersih dari unit eselon I lainnya yang sudah banyak berkunjung ke Gedung Bundar (Kejaksaan Agung). Coba kita kaji perkembangan program dan anggaran Litbang dari tahun ke tahun, lebih banyak pemborosan untuk pelayanan dan kegiatan institusi birokrasi daripada penelitian. Sudah sekian lama otoritas ilmu kehutanan (litbang) berada dibawah sub-ordinasi kekuasaan dan kepentingan pembagian jatah jabatan. Pada masa sebelum reformasi, Badan Litbang pernah mengundang hampir seluruh Perguruan Tinggi yang memiliki Fakultas/Jurusan kehutanan untuk membantu menyelesaikan permasalaghan hutan dan kehutanan di Ind onesia melalui kerjasama penelitian bersama dengan Badan Litbang kehutanan melalui koordinasi Balai-balai Penelitian (UPT-UPT) lingkup Badan Litbang. Hal ini sangat penting untuk dilanjutkan dalam era Desentralisasi Kehutanan oleh Badan Litbang kehutanan atau Departemen Kehutanan untuk membangun “Forest Scientific Community” di Indonesia. Karena masing-masing Perguruan Tinggi tersebut memiliki peranan yang sangat besar di daerahnya.

Page 22: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

22

Terutama dalam melakukan reformasi dan reformulasi konsep pembangunan Kehutanan di masa mendatang. Semua Perguruan Tinggi tersebut sangat memahami kondisi lokal dan permasalahan aktual tentang hutan dan kehutanan di daerahnya. Melalui forum ini, Badan Litbang dapat memberikan pengaruh dalam menggalang Koordinasi, Integrasi, Sinergi dan Sinkronisasi (KISS) pembangunan kehutanan di daerah. Departemen Kehutanan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah daerah melalui Perguruan Tinggi, dan juga menyerap keinginan daerah. Dalam era Desentralisasi, Badan Litbang dapat lebih leluasa dalam melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan hasilnya. Peran UPT Litbang harus lebih menonjol dalam menjalin KISS dengan jajaran Dinas kehutanan baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kota, serta melakukan sosialisasi hasil risetnya kepada masyarakat luas. Karena yang menggunakan hasil riset ini adalah para stakeholders, maka riset yang dikerjakan herus merupakan kegiatan yang diperlukan dalam pembangunan kehutanan di masa mendatang seperti hutan tanaman, perlindungan hutan, social forestry, rehabilitasi lahan kritis (DAS), Konservasi Alam, pengembangan hutan kota, peningkatan partisipasi masyarakat dan penguatan kelembagaan kehutanan masyarakat. Sebagai lembaga riset (ilmiah), Badan Litbang harus dapat menghasilkan para ahli atau pakar di bidang hutan dan kehutanan yang mandiri dalam hal otoritas ilmu melalui para tenaga fungsionalnya seperti Ahli peneliti dan Peneliti. Badan Litbang harus mampu menciptakan suasana yang kondisif bagi para peneliti dalam hal kebebasan ilmiah dan profesionalisme. Pada saat ini sudah langka ilmuan atau cendekiawan kehutanan yang benar-benar murni dan mumpuni. Kepemimpinan Litbang adalah kepemimpinan yang memahami visi dan misi Litbang sebagai scientific authority. Tidak sama dengan isntitusi lain di lingkup departemen. Bahkan Pembangunan Kehutanan masa depan harus dipandu lagi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, Badan Litbang yang memiliki peluang untuk memberi arahan bagi pembangunan kehutanan. Dalam beberapa kesempatan pertemuan dan seminar hasil-hasil penelitian, seringkali muncul tekanan dari Dinas Kehutanan mengenai peranan Badan Litbang sebagai tempat para pakar/ahli dan peneliti kehutanan bekerja. Berarti masih banyak kesenjangan terjadi antara para peneliti dengan Pimpinan Badan Litbangnya. Misalnya masalah tentang : peranan Litbang dalam program GERHAN, peranan BUMN, HPH, HTI dan HTI/HPH Patungan. Termasuk penempatan para peneliti dalam BUMN atau perusahaan patungan mewakili Departemen Kehutanan akan menguntungkan usaha perusahaan karena peneliti memiliki modal/aset ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan kekuasaan. Keberadaan Badan Litbang dengan peranan peneliti didalamnya harus terus dievaluasi karena sebenarnya sudah banyak para ahli dan peneliti yang mendalami bidang-bidang yang diperlukan di lapangan. Dilema struktural-fungsional harus dicarikan jalan pemecahannya. Penempatan pejabat di lingkungan kerja Badan Litbang Kehutanan harus didasarkan pada visi dan misi

Page 23: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

23

manajerial dan kepemimpinan setiap tenaga (pejabat) struktural maupun fungsional. Tidak semua peneliti memiliki visi kepemimpinan, dan tidak semua staf/pejabat struktural baik/cocok untuk memimpin lembaga di lingkungan Badan Litbang. Fit and proper test harus dibuat secara objektif, ilmiah dan terbuka, bukan asal-asalan ataupun rekayasa. Bahkan kenyataan terjadi di hampir lembaga penelitian kehutanan di pusat atau di daerah (balai-balai), dilemma seperti ini juga terjadi. Bahkan yang tidak mampu sebenarnya bukan penelitinya, akan tetapi bidang pengembangannya atau pejabat strukturalnya yang belum optimal. Oleh sebab itu, kesempatan dan peluang untuk perbaikan sistem kepemimpinan, stuktur kerja birokrasi dan budaya kerja sebenarnya dengan mereformasi Badan Litbang Kehutanan untuk diberdayakan. Termasuk dalam mempimpin institusi di Badan Litbang sudah harus dikembalikan kepada para penelitinya karena seorang peneliti sudah memliki data base tentang ilmu pengetahuan dan teknologi di bidangnya masing-masing. Hal ini sudah sejalan dengan perkembangan system ketatanegaraan bahwa lembaga penelitian harus dipimpin oleh seseorang yang berasal dari kalangan peneliti. Terlalu besar gap informasi antara mereka yang dibesarkan pada jabatan fungsional peneliti dengan jabatan struktural (birokrasi). F. Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Kehutanan Kepada Masyarakat Kegiatan pendidikan, latihan dan penyuluhan kehutanan selama ini hampir sama dengan Badan Litbang kehutanan yang masih berorientasi pada pelayanan ke atas, belum berorientasi pada partisipasi masyarakat dan penguatan kelembagaan masyarakat. Seringkali kegiatan pendidikan dan latihan kehutanan dilakukan berdasarkan pada pesanan dari pihak ketiga atau untuk memenuhi permintaan penegmbangan mutu SDM pihak swasta kehutanan yang sifatnya seremonial. Misalnya di perusahaan-perusahaan HPH atau sekedar untuk kegiatan proyek. Akibat semakin terbatasnya anggaran Departemen kehutanan, maka kegiatan-kegiatan pendidikan reguler (SKMA) sudah akan dihentikan. Padahal sebenarnya dalam era Desentralisasi hal ini sangat penting. Kegiatan pendidikan dan latihan kehutanan di masa depan harus dianggap sebagai utama dalam mendorong partisipasi masyarakat, yang berfungsi sebagai strategi penyuluhan (forest extension) kepada masyarakat luas. Peranan SKMA sangat penting untuk menyediakan tenaga-tenaga ahli kehutanan menengah yang berdedikasi dan ber-disiplin tinggi di tingkat lapangan. Bahkan lebih memberikan manfaat langsung kepada pengguna. Hal berbeda dengan tenaga S2 dan S3 yang disekolahkan oleh Departemen ternyata belum/tidak mampu menjawab permasalahan kehutanan di lapangan. Program S2 dan S3 yang sekarang dibiayai oleh Departemen Kehutanan ternyata tidak banyak memberikan pengaruh nyata dalam keberhasilanpembangunan kehutanan. Karena banyak yang tidak mengabdikan ilmunya di lapangan. Bahkan kecenderungannya banyak yang senang bekerja di administrasi sebagai tenaga struktural yang tidak memerlukan skill dari ilmunya. Hal ini disebabkan kon disi yang kurang menguntungkan akibat pengaruh kekuasaan, politik dan

Page 24: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

24

bisnis yang sentralistis di masa lalu. Kondisi ini nampaknya belum bergeser sedikitpun. Arah peningkatan SDM Departemen harus kepada kebutuhan pembangunan di masa mendatang. Tidak berkutat pada power struggle yang bernuansa KKN. Hampir sama dengan Badan Litbang, Pusdiklat kehutanan sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan, akan tetapi di bidang SDM sehingga posisi dan perannya akan sangat penting. Pendidikan lebih bersifat umum, sedangkan kegiatan pelatihan sudah mengarah pada spesialisasi teknis. Selama ini pendidikan kehutanan masih merupakan kegiatan terbatas lingkup Departemen Kehutanan, swasta dan BUMN kehutanan. Ke depan harus dapat mendorong masyarakat luas untuk memahami akan arti hutan dan manfaatnya bagi kehidupan. Oleh sebab itu, penetapan “target group”, model dan sistem pendidikan” dan ‘mutu dari pada materi kurikulum pendidikan” harus ditata lagi. SKMA-SKMA akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dengan semakin memasyarakatnya pendidikan tentang hutan dan kehutanan kepada masyarakat, baik melalui Sekolah/Perguruan Tinggi formal sipil atau militer, lembaga informal seperti Pondok Pesantren dan Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun secara non-formal melalui ceramah dan diskusi. Sudah ada Surat keputusan Bersama (SKB) antara Menteri kehutanan dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang pendidikan kehutanan kepada masyarakat. Pendidikan kehutanan (ekosistem) perlu ditanamkan kepada anak sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMA, Sekolah Taruna, Sekolah Militer, Pondok Pesantren, sampai Perguruan Tinggi. Perlu didorong program pendidikan tinggi di semua Universitas di tanah air. Tidak terpaku pada Perguruan-Perguruan Tinggi tua seperti IPB dan UGM yang justru membuat penguatan persaingan jabatan lewat sentimen almamater. Pendidikan kehutanan harus menjurus pada peningkatan profesionalisme dan intelektualisme forester (rimbawan). Tetapi nampaknya SKB tersebut belum ada tindak lanjut operasionalnya di lapangan. Kegiatan Diklatluh justru harus lebih berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat dan penguatan lembaga-lembaga masyarakat. Adanya UPT-UPT Pusat Diklatluh di daerah harus membuat kegiatan-kegiatan yang merupakan “community based on forestry education and training”. Karena era Desentralisasi sektor Kehutanan ini mengarah pada peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan di Indonesia sebagai pemandu (leading agent) maka antara Badan Litbang kehutanan dengan Pusat Diklat dan Pusluh Kehutanan harus terdapat Koordinasi, Integrasi, Sinergi dan Sinkronisasi (KISS). Bahkan sudah saatnya kegiatan litbang, diklat dan penyuluhan diintergrasikan untuk mengantisipasi tuntutan pemberdayaan masyarakat. Selama ini antara ketiga institusi tersebut berjalan sendiri-sendiri, sehingga sangat tidak efisien dan tidak efektif. Sudah terlalu berorientasi pada kepentingan intern (proyek) masing-masing. Ke depan harus terjadi adanya kebersamaan dan keterkaitan diantara ketiganya, yang sering disebut sebagai

Page 25: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

25

“Research, Education and Extension Linkage”. Kondisi ini tidak akuntabel kepada publik, yang berarti struktur kelembagaan Kehutanan sudah tidak kondusif dengan kebutuhan di lapangan. G. Kesimpulan Dan Saran (1) Pola Tataguna dan Penataan hutan sebagai prakondisi pembangunan (kehutanan) harus sudah jelas dan mudah dipahami oleh semua pihak (stakeholder). Di masa depan, sudah saatnya harus ditetapkan mana yang kawasan hutan dan mana yang bukan kawasan hutan yang harus dipertahankan. Penggunaan istilah Hutan Alam yang digenjot untuk produksi hasil hutan (kayu) harus jelas kapan akan kita akhiri. Eksploitasi dan penebangan hanya dapat dilakukan oleh siapa saja yang menanam pada hutan yang ditanami sendiri. Jika masih ada hutan (alam) yang dieksploitasi maka harus terbuka dan transparan kepada publik, karena ada hak-hak masyarakat di dalamnya. Ke depan kita hanya harus bangga dengan sebutan Departemen Penanaman Hutan, daripada Kerusakan Hutan dan Illegal Logging. Tentang kawasan hutan yang akan dan sudah dikonversi sudah saatnya konsolidasikan dan dikoordinasikan dengan Rancangan Umum Tata Ruang Nasional (RUTRN dan RTRWP) dengan instansi terkait seperti Bappenas, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Bappeda di tingkat propinsi/kabupaten. (2) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Perum Perhutani di Pulau Jawa dan PT. Inhutani di Luar Jawa harus menjadi contoh (teladan) dalam hal keberhasilannya membangun Hutan Tanaman (Kebun Kayu) dan produksi hasil hutan (kayu). BUMN harus dapat membina dan membimbing usaha swasta seperti perusahaan HTI dan masyarakat dalam mengembangkan Hutan Rakyatnya terutama dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi, manajemen dan kelembagaannya. Di Pulau Jawa, Hutan Rakyat telah banyak berhasil menggerakkan roda ekonomi dan usaha masyarakat terutama di kelompok usaha kecil, menengah dan kelompok tani/koperasi hutan. Pemerintah dan BUMN harus dapat merangsang dan memfasilitasi kemudahan dalam mengembangkan Hutan Rakyat. (3) Yang termasuk dalam kategori Hutan (alam), lebih-lebih yang saat ini kita kenal sebagai Hutan lindung, Hutan/Kawasan Konservasi, Suaka Alam, Cagar Alam atau Suaka Marga satwa harus dijaga dan dilindungi oleh semua pihak terutama masyarakat luas. Perlu membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya fungsi lindung dan fungsi konservasi (public awareness). Masyarakat akan dapat membangun kelembagaan dan hukumnya sendiri dengan penuh kesadaran akan eksistensi hutan dan koservasi alam. Hutan dan kawasan konservasi menjadi tanggung jawab semua pihak (multi-stakeholder). Pemerintah (pusat dan daerah) harus membangun kepercayaan baru kepada semua pihak dan masyarakat. (4) Penanganan lahan kritis dan Daerah Aliran Sungai (DAS) sudah saatnya dibuat kelembagaan khusus (otonom) di tingkat pusat (dan daerah) yang melibatkan semua pihak terkait dari hulu sampai ke hilir dalam kerangka Pengelolaan Sumber Daya Air secara terpadu untuk mengembalikan fungsi ekologis dan hidro-orologis dari hutan/lahan bagi kelestarian ekosistem kehidupan manusia. Embrio kelembagaan Pengelolan DAS atau Sumber Daya

Page 26: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

26

Air terdiri dari unsur Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup. (5) Dalam era desentralisasi, pengelolaan hutan di tanah air kita harus bercirikan manajemen modern yang ditandai dengan adanya : transparansi, keterbukaan, profesional, pendekatan partisipatif dan fungsional, demokratis dan berkeadilan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pola selama ini bahwa tanggung jawab dan wewenang penuh yang terpusat pada Departemen kehutanan harus didistribusikan proporsional kepada Pemerintah Daerah dan pihak lain yang terkait secara bersama-sama (kolaboratif). Pola pendekatan kekuasaan (power) sudah harus ditinggalkan. Pendekatan yang lebih mengena dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan adalah pendekatan kolaboratif yang melibatkan multi-stakeholder. Pendekatan monoton seperti selama ini tampak telah gagal. Oleh sebab itu, tahap pertama harus dilakukan penyadaran kepada semua pihak baik di pusat maupun daerah dan masyarakat luas (people’s awareness) untuk bersama-sama mengelola hutan dengan penuh rasa tanggung jawab secara bersama-sama. Perlu adanya pengakuan kepada masyarakat, bahwa selama ini kita telah gagal dalam mengemban amanat menjaga kelestarian hutan sehingga perlu adanya upaya membentuk masyarakat kehutanan (forestry community) baru yang berorientasi pada perjuangan untuk menanami kembali lahan-lahan yang rusak. (6) Kelembagaan birokrasi kehutanan dari pusat sampai ke daerah harus dapat mempelopori untuk turun ke lapangan menanami hutan dan lahan yang rusak. Pendekatan selama yang bernuansa proyek dan pengelolaan kawasan hutan yang didelegasikan kepada BUMN dan swasta harus sudah dirubah. Tanggung jawab harus dipikul oleh semua orang mulai daripada pejabat tinggi sampai pada staf biasa untuk turun ke lapangan menanami hutan dan lahan yang rusak. Bahkan semua elit dan kekuatan bangsa dari pusat sampai ke daerah diajak untuk turun ke lapangan. Lembaga birokrasi kehutanan harus memfasilitasi kemudahan-kemudahan kepada masyarakat mulai dari benih, bibit, sarana produksi dan dana kepada siapa saja yang mau menanami pohon-pohon. Semua proyek yang dibuat oleh Pemerintah harus ada buktinya di lapangan untuk secara bertahap digunakan untuk menanam. Indikator keberhasilan suatu kegiatan atau program kehutanan harus bukan lagi proyek, akan tetapi hasilnya (berupa) tanaman/pohon dan tingkat produksi (riap), dan kelestarian fungsi ekologis dan hidro-orologisnya. (7) Sebagai konsekwensi dari desentralisasi, maka semua persoalan teknis operasional pengelolaan kawasan hutan meliputi manajemen dan kelembagaannya harus didistribusikan ke daerah dalam hal ini di tingkat propinsi. Peran BUMN-nya juga harus semakin menyatu dengan daerah, misalnya Perum Perhutani di Pulau Jawa dan PT. INHUTANI di Luar Jawa secara kelembagaan dan manajemennya sudah harus merupakan perangkat daerah, tidak berjalan sendiri antara Dinas kehutanan dengan BUMN. Pola pengelolaan dan kelembagaan yang memusat selama ini cenderung boros dan tidak efektif karena banyak menyedot anggaran untuk overhead, administrasi, birokrasi dan lobby yang tidak perlu.

Page 27: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

27

(8) Disarankan agar di tingkat pusat cukup dengan kelembagaan yang ramping semacam corporate secretary atau executive secretary. Demikian pula dengan urusan lahan kritis atau Daerah Aliran Sungai (DAS), Hutan Lindung, Hutan /Kawasan Konservasi serta penataan/penatagunaan kawasan hutan sudah harus diturunkan ke daerah. Sehingga pejabat pusat tidak hanya bangga dengan kerusakan hutan yang sudah mencapai 96 juta hektar. Mencari solusinya adalah dengan mempercayakannya kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian organisasi Departemen Kehutanan cukup ramping dan dinamis serta berorientasi ke daerah dan ke masyarakat di desa. Semuanya berorientasi ke lapangan dan ke desa. Pendekatan pembangunan kehutanan ke depan lebih bernuansa fungsional, bukan struktural atau arogansi kekuasaan terhadap kawasan (monopoli). Oleh karena itu, tenaga fungsional seperti peneliti, penyuluh, widyaiswara dan lainnya harus banyak diperankan dalam dalam menggerakkan kelembagaan kehutanan dan masyarakat di desa. Pendekatan kekuasaan hanya akan menambah semakin rusaknya Sumber Daya Hutan kita. DAFTAR PUSTAKA

Barr, C. et.al., 2001. The impacts of decentralisation on forests and forest dependent communities in Malinau district, East Kalimantan. CIFOR. Bogor. Indonesia.

Casson, A, 2001. Decentralisation of policies affecting forests and estate crops in Kutai Barat district, East Kalimantan. CIFOR. Bogor. Indonesia.

Casson, A, 2001. Decentralisation of policies affecting forests and and estate crops in Kutawaringin Timur district, Central Kalimantan. CIFOR. Bogor. Indonesia.

Darusman, D, 2005. Pertemuan Dewan Pakar P3SE Kehutanan tanggal 17 Maret 2005. P3SE Kehutanan. Bogor.

Efendi, A, 2003. Otonomi Daerah Untuk Sektor Kehutanan. Majalah Surili No. 4. Dinas Kehutanan Jawa Barat. Bandung.

Kashio, M, 1995. Introductory remarks on teak in the forestry development framework in Asia and the Pacific. Teak For Future. FAO Regional Officer for Asia and Pacific (RAP). Bangkok. Thailand.

Rumboko, L dan Handoyo, 2003. Kebijakan Moratorium Tebangan Di Jawa Barat. Majalah Surili. Dinas Kehutanan Prop. Jawa Barat. Bandung.

Mc Carthy, JF, 2001. Decentralisation of policies affecting forests and estate crops in Kutai Barat district, East Kalimantan. CIFOR. Bogor. Indonesia.

Mc Carthy, JF, 2001. Decentralisation and forest management in Kapuas district, Central Kalimantan. CIFOR. Bogor. Indonesia.

Potter, L et. Al., 2001. The effects of Indonesia’s decentralisation on forest and estate crops : Case study on Riau province, the original districts of Kampar and Indragiri Hulu. CIFOR. Bogor. Indonesia.

Suripto, 2005. Memberantas Illegal Logging. Harian Republika Terbitan tanggal 16 Maret 2005. Jakarta.

Tripranaji, 2005. Diskusi Khusus Tentang Penelitian Kelembagaan tanggal 21 Maret 2005 di P3SE Pertanian. Bogor.

Tripranaji, 2003. Menuju transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. P3SE Pertanian. Bogor.

Page 28: DESENTRALISASI SEKTOR KEHUTANAN …puspijak.org/uploads/info/Desentralisasi1.pdf · Pemerintahan Orde Baru yang dicirikan beberapa hal diantaranya arogansi ... berbagai bentuk manipulasi

28

*) Ajun Peneliti Muda pada Pusat Litbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan Bogor